Kasus Bullying

27
Daftar Isi I. Bab 1. Pendahuluan.......................................... ................ 1 1.1. Latar Belakang........................................ ................... 1 1.2. Rumusan Masalah......................................... ............. 2 1.3. Tujuan makalah......................................... ................. 2 II. Bab 2.Pembahasan......................................... ................... 2 2.1. Pengertian Bullying............................................. ...... 2 2.2. Sejarah Bullying............................................. ........... 3 2.3. Kasus Bullying di Indonesia...................................... 4 Page | 0 Halaman

description

makalah

Transcript of Kasus Bullying

Page 1: Kasus Bullying

Daftar Isi

I. Bab 1. Pendahuluan.......................................................... 1

1.1. Latar Belakang........................................................... 11.2. Rumusan Masalah...................................................... 21.3. Tujuan makalah.......................................................... 2

II. Bab 2.Pembahasan............................................................ 2

2.1. Pengertian Bullying................................................... 22.2. Sejarah Bullying........................................................ 32.3. Kasus Bullying di Indonesia...................................... 42.4. Jenis-jenis Bullying.................................................... 62.5. Faktor-Faktor Penyebab Bullying.............................. 72.6. Dampak Perilaku Bullying......................................... 82.7. Karakteristik Pelaku Bullying................................... 92.8. Penanganan Kasus Bullying Di Indonesia................ 122.9. Hak Asasi Manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999.. 15

III. Bab 3. Penutup.................................................................. 16

3.1. Kesimpulan................................................................ 163.2. Referensi.................................................................... 17

Page | 0

Halaman

Page 2: Kasus Bullying

Bab 1.Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.

Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.

Pada makalah ini saya akan membahas mengenai isu HAM dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu di sekolah dan di kampus. Sebenarnya banyak pelanggaran HAM yang terjadi di sekolah atau di kampus yang tidak kita sadari. Namun, yang harus lebih kita perhatikan adalah pelanggaran HAM dalam kasus bullying, baik bullying verbal, fisik, maupun yang terselubung. Di Indonesia bullying yang terjadi di sekolah ataupun kampus masih dianggap hal yang lumrah. Padahal, dampak yang ditimbulkan sangatlah besar, terutama bagi korban. Korban bullying terutama yang berbentuk verbal, seperti ejekan, pelecehan menggunakan kata-kata kasar, dan lain sebagainya, biasanya akan mengalami trauma berkepanjangan sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Oleh karena HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Seperti Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai HAM, yang termasuk ke dalam HAM ialah hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, serta hak anak. Maka sudah seyogyanya kita mulai menyadari dan peduli terhadap salah satu kasus parah ini yang membuat generasi bangsa makin lemah.

Page | 1

Page 3: Kasus Bullying

1.2. Rumusan Masalah

Pada makalah ini penulis mengidentifikasikan uraian makalah dengan rumusan sebagai berikut:

1.2.1. Pengertian bullying1.2.2. Sejarah bullying1.2.3. Kasus bullying di Indonesia1.2.4. Jenis-jenis bullying1.2.5. Faktor-faktor penyebab bullying1.2.6. Dampak perilaku bullying1.2.7. Karakteristik pelaku bullying1.2.8. Penanganan kasus bullying di Indonesia1.2.9. Hak Asasi Manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999

1.3. Tujuan makalah

Adapun makalah ini telah diselesaikan dengan tujuan penulisan sebagai berikut:

1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari bullying1.3.2. Untuk mengenal sejarah bullying1.3.3. Untuk mengantisipasi perilaku bullying pada kehidupan1.3.4. Untuk mengetahui upaya pencegahan bullying1.3.5. Untuk mengetahui penanganan kasus bullying di Indonesia

BAB 2.

Pembahasan

2.1. Pengertian bullying

Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya, berupa stress yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya. Apalagi Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah,

Page | 2

Page 4: Kasus Bullying

malu dan kecewa pada diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan disalahkan.

Dengan penekanan tentang bully yang dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya. Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang. Sang korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan sang pelaku.

2.2. Sejarah bullying

Sejarah bullying dimulai bahkan sejak ratus ribu tahun yang lalu saat manusia Neanderthal digantikan oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih berkembang. Tema utama yang terekam dari sejarah-sejarah mengenai perilaku bullying adalah eksploitasi yang lemah oleh yang kuat, bukan secara tidak sengaja namun secara purposif atau bertujuan.

Sekalipun bullying telah menjadi sebuah masalah selama berabad-abad, bullying tidak menerima perhatian penelitian signifikan sampai tahun 1970-an (Olweus, 1978). Profesor Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan diri pada topik tersebut dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur bullying. Banyak penelitian Olweus menjelaskan mengapa beberapa anak melakukan bullying dan mengapa beberapa lainnya menjadi korban bullying. Bukan itu saja, Olweus juga menunjukkan bahwa bullying di sekolah dapat direduksi secara signifikan. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat penting.

Hasil studi dari Olweus mengesankan banyak peneliti sosial di dunia. Sebelum abad ke -20 berakhir, ratusan studi serupa telah dilakukan di banyak negara. Buku, artikel, website, video dan CD mulai bermunculan dengan maksud untuk menjelaskan apa saja yang perlu kita lakukan untuk mereduksi bahkan menghentikan bullying di sekolah.

Sebagaimana yang diindikasikan oleh Olweus (1978), penelitian berkenaan dengan bullying dimulai di negara-negara Eropa. Perhatian penelitian di Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an mengarah pada kampanye intervensi nasional pertama menentang bullying. Kesuksesan penelitian ini memotivasi negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, dan Irlandia untuk meneliti bullying (Ross, 2002; Smith&Brain, 2000). Sejak akhir tahun 1980-an, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaksanakan penelitian-penelitian lintas bangsa setiap empat tahun berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia sekolah.

Page | 3

Page 5: Kasus Bullying

Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan bullying dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian tersebut.

Di Asia, Jepang merupakan negara yang telah melakukan upaya-upaya untuk memahami bullying dan mengembangkan cara-cara untuk mencegah bullying. Kata Bahasa Jepang ijime diterjemahkan sebagai “bullying” dalam Bahasa Inggris. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah. Selain itu, Tanaka (2001) menggambarkan shunning sebagai suatu tipe bullying yang khas ditemukan di Jepang. Shunning adalah satu tipe bullying dimana sekolompok teman sebaya secara kolektif mengabaikan dan mengeluarkan seorang korban (dari kelompoknya).

Di Amerika, bullying jelas-jelas merupakan sebuah isu serius. Menurut Ross (2002), bullying itu dianggap bentuk agresi yang paling dominan ditemukan di sekolah-sekolah Amerika dan berpengaruh kuat pada sebagian besar para siswa bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.

2.3. Kasus bullying di Indonesia

Menurut survei yang dilakukan oleh Latitude News pada 40 negara, bahwa di temukan fakta seputar Bullying. Salah satu faktanya adalah bahwa pelaku bullying biasanya para siswa atau mahasiswa laki-laki. Sedangkan siswi atau mahasiswi lebih banyak menggosip ketimbang melakukan aksi kekerasan dengan fisik. Dari survei tersebut juga terdapat negara-negara dengan kasus bullying tertinggi di seluruh Dunia. Dan yang parahnya, Indonesia masuk di urutan ke dua. Pada survei tersebut indonesia tepat stu peringkat berada di bawah Jepang dan di atas Amerika Serikat dan Kanada.

Tentu kalian masih ingat kasus yang terjadi pada STPDN /IPDN yang sampai menelan korban jiwa. Dan entah sudah berapa ratus dan mungkin bahkan ribuan dan jutaan orang yang pernah mengecap pendidikan di STPDN/IPDN yang rusak mental dan jiwanya karena telah di Bullying Oleh Seniornya dan pada akhirnya sebagai pembalasan mereka kembali melakukan hal yang sama seperti kakak seniornya, melakukan Bullying. Dan itu akan terus terjadi secara turun temurun dan lembaga pendidikan yang Notabene nya adalah pencetak Pejabat. Kasus STPDN itulah yang menjadi bom bullying yang telah meledak hingga sekarang.

Di Indonesia sendiri ada beberapa kasus bullying yang sempat menjadi sorotan publik dan melibatkan polisi. Di Jakarta saja misalnya, kasus penindasan terhadap junior seperti tidak ada habisnya dari waktu ke waktu. Berikut 5 kasus yang sempat terkuak di publik dan diantaranya adalah sekolah ternama

1. Kasus Bullying di SMA 90 Jakarta2. Kasus Bullying SMA 82 Jakarta

Page | 4

Page 6: Kasus Bullying

3. Kasus Bullying SMA 46 Jakarta4. Kasus Bullying SMA 70 Jakarta5. Kasus Bullying SMA Don Bosco Pondok Indah

Lapangan di kawasan Bintaro menjadi saksi bisu aksi kekerasan yang terjadi di SMA 90 Jakarta. Siswa kelas 1 dipaksa buka baju, push up, lari dan ditampar. Kasusnya adalah para korban yang merupakan junior Dibawa kakak kelas dari parkiran ke daerah Bintaro (belakang McD). Di sana disuruh push up, buka baju dan lari. Di sana juga disuruh suit. Yang kalah, ditampar dengan keras. Kira-kira dari zuhur sampai ashar. Hal ini disampaikan Aba di SMA 90 Jakarta, Jl Sabar, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2008). Aba mengalami luka bibir pecah, memar di pelipis.

Dia mengatakan, sedikitnya 68 siswa kelas 1 dari 9 kelas dipaksa ikut 'penataran. Dan itu Disuruh kelas 2 dan 3. Setelah kejadian itu, SMA 90 lantas menskorsing 31 siswanya yang terlibat bullying selama 5 hari. Para senior menandatangani surat perjanjian di atas materai agar tidak mengulangi perbuatannya.

Pada kasus bullying di SMA 90 Jakarta yang terungkap pada tanggal 1 Desember 2008, sebanyak 33 orang siswa SMAN 90 sempat terjaring razia preman polisi, karena tertangkap basah tengah melakukan ospek ilegal, terhadap adik kelasnya dikawasan Bintaro, Tangerang, Banten. Namun petugas akhirnya melepaskan ke 33 siswa tersebut karena belum cukup bukti untuk menahan mereka.

Dan yang terparah pada saat ini adalah kasus bullying yang terjadi di SMA Don Bosco, Pondok Indah. Karena pihak sekolah membantah adanya kasus bullying pada sekolah yang mereka kelola. Maka keluarga dari pihak korban langsung melaporkannya kepada pihak hukum yang berwajib.

Kasus ini berawal dari seorang siswa baru yang mengikuti masa orientasi siswa (MOS) di SMA Seruni Don Bosco yang diduga menjadi korban bullying oleh kakak kelasnya. Siswa berinisial A ini mengaku dipukuli dan disundut rokok di sekolahnya oleh kakak kelasnya. Orang tua korban melaporkan kasus kekerasan ini ke Polres Jakarta Selatan, Rabu 25 Juli 2012. Tindakan penganiayaan dan pelecehan diduga dilakukan 18 siswa kelas XII sekolah tersebut. Dari hasil visum, tampak korban dinyatakan mengalami luka pada beberapa bagian tubuh akibat sundutan rokok dan pukulan. Ditemukan bekas luka memar dan luka bakar di tengkuk leher.

Itulah kiranya gambaran kasus bullying yang terjadi di Indonesia. Namun sebenarnya masih banyak lebih dari hanya sekedar itu. Bahkan ada juga yang sampai menelan korban jiwa seperti yang terjadi di STPDN. Dan semua itu motifnya sama, yaitu superioritas senior kepada juniornya.

Page | 5

Page 7: Kasus Bullying

2.4. Jenis-jenis bullying

Beragam upaya telah ditempuh untuk menetapkan garis pemisah antara subtipe-subtipe bullying secara umum. Hal ini dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis-jenis bullying menurut cara penyampaian perilaku bullying itu sendiri.

Olweus (1993, dalam Rigby:37) di awal studinya membagi bullying menjadi tiga jenis yakni:

a. Bullying fisik. Misalnya memukul, menendang dan sebagainya.b. Bullying verbal. Misalnya menjuluki dengan nama yang buruk dan sebagainya.c. Bullying gestural. Misalnya memandang orang lain dengan pandangan sinis atau mengancam.

Crick dan Gothpeter (1995) menambahkan jenis lain dari bullying yang dilakukan secara non-fisik dan melibatkan agresi tidak langsung, namun dampaknya sangat buruk bagi aspek emosional korban. Bullying jenis ini disebut bullying relasional yang diartikan sebagai ‘upaya membahayakan orang lain melalui manipulasi yang bertujuan dan perusakan terhadap hubungan pertemanannya’ (Crick & Gothpeter 1995; dalam Rigby 2002:38). Pendapat ini didukung oleh Galen dan Underwood (1997:589) yang menambahkan bahwa bullying relasional melibatkan tindakan-tindakan seperti ‘penolakan secara verbal, ekspresi wajah negatif, gerak tubuh mengancam atau tidak menyenangkan, dan bentuk yang lebih langsung seperti penyebaran rumor yang keliru dan pengasingan sosial’.

Pada yahun 2004 peneliti O’Moore dan Minton menambahkan satu lagi jenis bullying yang melibatkan agresi tidak langsung dan media elektronik, jenis bullying ini disebut electronic bullying atau e-bullying atau cyber bullying. Seiring dengan perkembangan teknologi, cara-cara untuk melakukan tindakan bullying pun semakin banyak salah satunya adalah dengan memanfaatkan fasilitas internet dan alat elektronik seperti komputer, kamera, handphone dan perekam audio-video. Pelaku bullying dapat mengirimkan gambar, teks, animasi yang sifatnya mengancam, menyebarkan rumor dan gosip, dan menebar teror melalui berbagai fasilitas e-mail, sms, telepon, testimoni website, chatting room, webcam, video call dan sebagainya dengan tujuan untuk mempermalukan atau menyakiti korbannya.

Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso,).

Page | 6

Page 8: Kasus Bullying

2.5. Faktor-faktor penyebab bullying

Bully atau pelaku bullying adalah seseorang yang secara langsung melakukan agresi baik fisik, verbal atau psikologis kepada orang lain dengan tujuan untuk menunjukkan kekuatan atau mendemonstrasikan pada orang lain. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:

a. Hubungan keluarga

Anak akan meniru berbagai nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga menjadi nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi). Sehubungan dengan perilaku imitasi anak, jika anak dibesarkan dalam keluarga yang menoleransi kekerasan atau bullying, maka ia mempelajari bahwa bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalm membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya, sehingga kemudian ia meniru (imitasi) perilaku bullying tersebut. Menurut Diena Haryana, karena faktor orangtua di rumah yang tipe suka memaki, membandingkan atau melakukan kekerasan fisik. Anak pun menganggap benar bahasa kekerasan.

b. Teman sebaya

Salah satu faktor besar dari perilaku bullying pada remaja disebabkan oleh adanya teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Menurut Djuwita Ratna (2006) pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi tergantung pada keluarga nya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan konformitas. Berkenaan dengan faktor teman sebaya dan lingkungan sosial, terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan bullying adalah (1) kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku, (2) persaingan yang tidak relistis, (3) perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya, dan (4) ketidak mampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008:47).

c. Pengaruh media

Survey yang dilakukan kompas (Ipah Saripah, 2006:3) memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

Melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa (2007), terangkum beberapa pendapat orangtua tentang mengapa anak-anak menjadi pelaku bullying, diantaranya: karena mereka pernah menjadi korban bullying, ingin menunjukkan eksistensi diri, ingin diakui, pengaruh tayangan TV yang negatif, senioritas, menutupi kekurangan diri,

Page | 7

Page 9: Kasus Bullying

mencari perhatian, balas dendam, iseng, sering mendapat perlakuan kasar dari pihak lain, ingin terkenal dan ikut-ikutan (Sejiwa, 2007).

2.6. Dampak perilaku bullying

Bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku, individu yang menyaksikan dan iklim sosial yang pada akhirnya akan berdampak terhadap reputasi suatu komunitas. Terdapat banyak bukti tentang efek-efek negatif jangka panjang dari tindak bullying pada para korban dan pelakunya. Pelibatan dalam bullying sekolah secara empiris teridentifikasi sebagai sebuah faktor yang berkontribusi pada penolakan teman sebaya, perilaku menyimpang, kenalakan remaja, kriminalitas, gangguan psikologis, kekerasan lebih lanjut di sekolah, depresi, dan ideasi bunuh diri. Efek-efek ini telah ditemukan berlanjut pada masa dewasa baik untuk pelaku maupun korbannya.

Bullying juga berpengaruh pada sekolah dan masyarakat. Sekolah dimana bullying itu terjadi seringkali dicirikan dengan para siswa yang merasa tidak aman di sekolah, rasa tidak memiliki dan ketidakadaan hubungan dengan masyarakat sekolah, ketidakpercayaan di antara para siswa, pembentukan gang formal dan informal sebagai alat untuk menghasut tindakan bullying atau melindungi kelompok dari tindak bullying, indakan hukum yang diambil menentang sekolah yang dilakukan oleh siswa dan orang tua siswa, turunnya reputasi sekolah di masyarakat, rendahnya semangat juang staf dan meningginya stress pekerjaan, dan iklim pendidikan yang buruk. Berikut adalah dampak dari bullying ditinjau dari aspek manusianya:

a. Dampak bagi korban

Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center (Sanders, 2003) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).

Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.

Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (2000, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self-

Page | 8

Page 10: Kasus Bullying

esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.

b. Dampak bagi pelaku

National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi (Sanders, 2003). Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.

Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.

c. Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)

Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.

2.7. Karakteristik pelaku bullying

Rigby (2002) mengidentifikasi karakteristik fisik dan karakteristik mental dari pelaku bullying atau bully. Pelaku bullying merupakan agresor, provokator dan inisiator situasi bullying. Si pelaku umumnya siswa yang memiliki fisik besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau sedang namun memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan teman-temannya dikarenakan faktor status sosial atau kedudukan. Pelaku bullying biasanya mengincar anak yang secara penampilan fisik terlihat berbeda dari dirinya atau orang kebanyakan misalnya yang memiliki warna rambut alami yang mencolok, berkacamata, terlalu kurus, terlalu gemuk atau bahkan yang memiliki cacat fisik.

Page | 9

Page 11: Kasus Bullying

Karakteristik mental pelaku bullying dipengaruhi oleh aspek kognitif, afektif dan behavioral dalam diri si pelaku itu sendiri. Pada aspek kognitif, Tim Field (1999 dalam Rigby 2002) mengemukakan beberapa karakteristik pelaku bullying atau bully, yakni:

a. kurang pemahaman akan apa yang dikatakan orang lainb. sering memunculkan dugaan yang salahc. memiliki memori yang selektifd. paranoide. kurang dalam hal insightf. sangat pencurigag. terlihat cerdas namun penampilan sebenarnya tidak demikianh. tidak kreatifi. kesal terhadap perbedaan minorj. kebutuhan impulsif untuk mengontrol orang laink. tidak dapat belajar dari pengalaman

Sementara itu pada aspek afektif, Field (1999 dalam Rigby 2002) menguraikan juga beberapa karakteristik pelaku bullying, diantaranya:

a. tidak matang secara emosionalb. tidak mampu menjalin hubungan akrabc. kurang kepedulian terhadap orang laind. moody dan tidak konsistene. mudah marah dan impulsiff. tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal

Terkait aspek behavioral atau perilaku, karakteristik perilaku bullying terangkum dari apa yang dinyatakan Batsche & Knoff (1994 dalam Banks, 1997) dan Olweus (1993 dalam Rigby 2002) yakni, kurang empati (have a lack of emphaty and compassion), interpersonal skill buruk (poor interpersonal skill), tidak terampil dalam anger manajemen (have a trouble in anger management or anger resolution), kendali diri lemah (have bad self control), kurang bertanggung jawab (refusal to accept responsibility for his/her behavior) dan memiliki pola perilaku impulsif agresif (have a greater than average impulsive aggressive behavior patterns).

Duncan (2005) dalam seminarnya yang bertema Bully Abuse: How Children Harm Other Child, mendukung pernyataan tersebut dengan menuliskan sejumlah karakteristik pelaku bullying dalam daftar ciri-ciri bully, yakni sebagai berikut :

1) Melakukan perilaku agresif berulang 2) Berpikiran positif terhadap penggunaan kekerasan 3) Kurang kasih sayang dalam suatu hubungan 4) Mengalami kebingungan dalam diri 5) Mengembangkan pola perilaku impulsif 6) Menggantikan/menyalurkan kemarahan pada orang lain 7) Beralih dari korban menjadi pelaku

Page | 10

Page 12: Kasus Bullying

8) Dianggap lebih dominan dari korban 9) Agresif, merasa tidak aman dan cemas 10) Anti-sosial dan terisolir 11) Memiliki/memendam rasa kebencian dan frustasi 12) Memiliki pandangan diri (self views) positif yang tidak realistis 13) Tidak mampu menyesuaikan terhadap pengharapan baru/kurang jelas 14) Menunjukkan ketidaknyamanan sosial dan kebingungan 15) Seringkali tidak sadar dan tidak peduli terhadap rasa dendam korbannya 16) Diasingkan dan terisolasi dari kehidupan sekolah dan teman sebaya 17) Memandang sekolah sebagai sesuatu yang tidak bermakna 18) Memiliki pola perilaku dan sejarah bertindak kejam terhadap binatang 19) Memiliki pola perilaku pembuat onar 20) Kurang toleransi terhadap frustasi 21) Suka membanggakan diri dan kurang memahami kebutuhan orang lain 22) Kurang memiliki empati dan rasa iba 23) Kebutuhan yang berlebihan akan kekuasaan dan superioritas 24) Kebutuhan yang berlebih akan perhatian (haus perhatian) 25) Mengeksternalisasikan kesalahan 26) Bermasalah dalam resolusi amarah (anger resolution) 27) Tidak toleran, berprasangka, dan membeda-bedakan orang lain 28) Humor yang tidak pantas, sarkastik, dan menyakitkan hati. 29) Melontarkan ejekan, olok-olok yang mencela, meremehkan dan menghina/mempermalukan 30) Lebih memilih kelompok social yang tertutup 31) Mengendalikan suatu perkumpulan social teman sebaya 32) Kaku dan berpendirian keras (dogmatis) 33) Agresif secara seksual 34) Kurang memiliki sensitivitas terhadap gender dan budaya 35) Mengalami kekosongan atau kehampaan spiritual 36) Seringkali berpikiran negatif dan irrasional 37) Menggunakan obat-obatan terlarang 38) Melakukan tindakan yang beresiko 39) Sikap menantang dan merusak (destruktif)40) Kurang memiliki ketabahan

Terkait dengan karakteristik pelaku bullying yang menunjukkan kurangnya keterampilan interpersonal pada pelaku bullying, hasil penelitian yang dilakukan Rigby, Cox dan Black (1997) terhadap siswa sekolah menengah di Australia yang teridentifikasi sebagai pelaku bullying, korban dan bukan keduanya, mengindikasikan bahwa pelaku bullying secara siginifikan merupakan individu yang kurang kooperatif dibanding individu lainnya. Rigby, Cox dan Black (1997) menyatakan bahwa,

Page | 11

Page 13: Kasus Bullying

‘Bullies were, among other things, more likely than others to dislike being in join projects, to prefer not to share their ideas, to avoid consulting with others and to believe that committees are waste of time. It seems likely that for many of the bullies working constructively with others had not been a happy experience’.

Ditemukan banyak alasan mengapa seseorang menjadi pelaku bullying. Alasan yang paling jelas adalah bahwa pelaku bullying merasakan kepuasan apabila ia “berkuasa” di kalangan teman sebayanya. Tidak semua pelaku bullying melakukan aksinya sebagai kompensasi kepercayaan diri yang rendah. Banyak diantara mereka justru memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi sekaligus dorongan untuk selalu menindas dan menggencet anak yang lebih lemah. Hal ini dapat dikarenakan mereka tidak pernah didik untuk memiliki empati terhadap orang lain. Pelaku bullying umumnya temperamental, menjadikan korban sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya terhadap suatu hal. Ada juga pelaku bullying yang sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri.

Hal ini didukung oleh pernyataan Olweus (2002) dalam OSDFS National Technical Assistance Meeting yang mengemukakan fakta yang mengejutkan mengenai kontradiksi dalam karakteristik pelaku bullying,

‘In contrast to the popular notion that bullies lack social skills, research has shown that bullies are actually quite adept at reading social cues and perspective-taking. Rather than using these skills prosocially, such as to empathize with others, they instead use them to identify and prey on peer vulnerabilities’.

Di Indonesia sendiri, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahma Nuraini (2008) ditemukan beberapa karakteristik pelaku bullying yakni: 1) suka mendominasi orang lain; 2) suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; 3) sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain; 4) hanya peduli pada kebutuhan dan kesenangan mereka sendiri; 5) cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka; 6) memandang rekan yang lebih lemah sebagai mangsa; 7) menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka kepada targetnya; 8) tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya; 9) tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, yaitu tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan; 10) haus perhatian.

2.8. Penanganan kasus bullying di Indonesia

Bullying merupakan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial secara keseluruhan. Serangan dari pelaku bullying terjadi dalam suatu konteks sosial dimana guru dan orangtua umumnya tidak menyadari permasalahan tersebut, dan para remaja lainnya rentan untuk terlibat dalam situasi bullying sementara beberapa lainnya tidak mengetahui cara untuk keluar dari situasi tersebut.

Page | 12

Page 14: Kasus Bullying

Bullying yang terjadi tidak dapat didiamkan begitu saja. Setelah mengenali dan menyadari bahwa praktik bullying telah terjadi, maka perlu ada upaya untuk mengatasi bullying tersebut. Penanganan tidak hanya ditujukan kepada korban bullying, akan tetapi pelaku bullying juga perlu penanganan khusus agar tidak mengulangi tindakannya tersebut.

a. Penanganan Terhadap Pelaku Bullying.

Nusantara (2008:31) menyatakan bahwa “Pelaku bullying harus ditangani dengan sabar dan tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogratif”. Karena Itu, jangan pernah menyalahkan pelaku bullying, tapi sebaliknya beri kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya. Tumbuhkan empatinya, agar pelaku dapat merasakan perasaan sang korban saat menerima perlakuan bullying. Angkatlah kelebihan atau bakat sang pelaku bullying di bidang yang positif, usahakan untuk mengalihkan energinya pada bidang yang positif.

Namun selain itu juga diatur dalam undang-undang. Diantaranya adalah undang-undang perlindungan anak. Yaitu meskipun tidak ada peraturan mewajibkan sekolah harus memiliki kebijakan program anti bullying, tapi dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 54 dinyatakan:

“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Dengan kata lain, siswa mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai tugas untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan.

Yang dimaksud dengan anak dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1).

Namun jika keluarga korban tidak puas dengan penanganan pihak pengelola sekolah, maka orang tua korban dapat melaporkan pelaku bullying kepada pihak hukum yang berwajib. Lembaga bantuan hukum dapat memberikan dukungan terhadap individu yang tidak memiliki kekuasaan dalam menghadapi wewenang pihak sekolah. Pihak pengadilan pun dapat memutuskan bahwa sekolah tidak melakukan hal sebagaimana mestinya dan memberikan ganti rugi/kompensasi terhadap korban yang menderita.

Aspek hukum Bullying dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP diantaranya:

Page | 13

Page 15: Kasus Bullying

Pasal 368 (1):

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 351 KUHP:

Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

b. Penanganan Terhadap Korban

Korban bullying juga memerlukan penangan khusus. Nusantara (2008:32) menyatakan bahwa “korban bullying mungkin lebih cendrung menutup diri, sehingga perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia mau lebih terbuka untuk menceritakan masalahnya”. Jika korban sudah mau terbuka maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu dengan menghormati pilihan dan membekalinya dengan cara-cara menghadapi pelaku bullying. Patut diingat bahwa bullying tidak dapat dihadapi dengan bullying, karenanya korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Korban bullying dapat menanggapi ejekan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak memasukkan ke dalam hati, sehingga pelaku bullying akan melihat dirinya sebagai pribadi yang kuat dan tidak akan mengganggunya lagi.

Di SMA Don Bosco Terapi diharapkan menjadi jalan keluar untuk para korban bullying yang terjadi di sana. Kedua kubu dalam kasus bullying di SMA ini akhirnya mengambil langkah damai setelah menjalani mediasi yang dibantu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Para korban dan orangtua yang melapor mencabut laporannya ke polisi dan meminta aparat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus ini.

pengawasan guru terhadap siswa, penerapan peraturan dan kode etik sekolah, membangun kesadaran dan pemahaman siswa tentang bullying, dan menciptakan kondisi sekolah yang ramah terhadap siswa mungkin dapat menjadi langkah tepat untuk menanggulangi bullying.

Berdasarkan uraian di atas, maka bullying harus ditangani tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi pihak korban. Hal ini merupakan tanggung jawab berbagai pihak dalam mengatasinya. Peranan sekolah sebagai institusi pendidikan sangat dibutuhkan, mengingat

Page | 14

Page 16: Kasus Bullying

bahwa tindakan bullying sebagian besar terjadi di sekolah. Pengawasan, sebagai komponen utama dalam sekolah dapat berperan dalam mengatasi bullying.

2.9. Hak Asasi Manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999

Bagaimanapun secara bahasa istilah maupun hukum, bullying adalah hal buruk yang secara ekstrim telah merasuki kehidupan bangsa Indonesia. Dan setiap warga negara seharusnya menghindari hal yang disebut bullying ini. Karena Bullying adalah perilaku yang sudah sangat melanggar hukum. Dan bahkan lebih mengerikan dibandingkan perkelahian.

Sebagaimana Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

UU No. 39 Tahun 1999 mencantumkan asas-asas dasar hak asasi manusia diantaranya:

Beberapa asas dasar hak asasi manusia yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 adalah:

a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hokum dan perlakuan yang sama di depan hukum. b. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. c. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. d. Setiap orang diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. e. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.

Secara operasional hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Indonesia dalam UU No. 39 Tahun 1999 meliputi:

a. Hak hidup (Pasal 9), b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10), c. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-16), d. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19), e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27), f. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35),

Page | 15

Page 17: Kasus Bullying

g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42), h. Hak turut serta dalam pemerintah (Pasal 43-44), i. Hak wanita (Pasal 45-51), dan j. Hak anak (Pasal 52-66)

Bagaimanapun undang-undang telah secara gamblang membuat keadilan di bumi Indonesia. Bagi anak-anak yang sudah terlibat bullying maka sebagai proses rehabilitasi perlu dilakukan penyaluran minat dan bakat dengan tepat ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan ekskul di sekolah, maupun di luar sekolah. Penyesuaian diri siswa dengan lingkungan sosial serta pengembangan diri dalam mengembangkan potensi positifnya juga perlu dilakukan dalam langkah pengentasan. Hal terpenting bagi pelaku bullying adalah perbaikan. Perbaikan akhlak dan budi pekertinya.

BAB 3.

Penutup

3.1. kesimpulan

Bullying merupakan perilaku agresif yang sangat berbahaya, Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan Bullying. Namun pada realisasinya bullying cenderung lebih kejam dan memiliki impact yang sangat parah bagi korbannya. Bahkan ada yang sampai menjadi depresi dan kehilangan akal sehatnya akibat menjadi korban bullying.

Bullying harus dihapuskan. Di negeri ini dimana Tuntutan untuk menegakkan HAM kini sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dari dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Yaitu kasus yang perlahan tapi pasti dapat menghancurkan generasi bangsa jika terus dibiarkan mengakar dan membudaya. Apalagi bullying lebih cenderung terjadi di aspek pendidikan.

Kita mungkin mengetahui bullying memang bukanlah sebuah kasus, bahkan lebih cocok untuk di bilang sebagai “penyakit”. Namun penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak mana pun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Dan segala penyakit pun pasti ada obatnya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.

Page | 16

Page 18: Kasus Bullying

3.2. Referensi

Antara. 2006. Selamatkan Putra/i Anda dari ”Bullying”. (Online). Tersedia: http://www.antara.co.id/print/index.php?id=33112. (5 Mei 2007).

Caroline, Eugeenicia. (tanpa tahun). Teror di Lingkungan Sekolah. (Online). Tersedia: http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg00750.html. (15 Juni 2007).

Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton; Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka.

Craig, W. M., & Pepler, D.J. (1997). Observations of bullying and victimization in the school yard. Canadian Journal of School Psychology. 13, 41-59.

Star, Linda. 2000. Sticks and Stones and Names Can Hurt You: De-Myth-tifying the Classroom Bully! (Online) Tersedia: http://www.educationworld.com/a_issues/issues102.shtml. (15 Juni 2007).

Susanti, Inda. 2006. Bullying Bikin Anak Depresi dan Bunuh Diri. (Online). Tersedia: http://www.kpai.go.id/mn_access.php?to=2-artikel&sub=kpai_2-artikel_bd.html . (15 Juni 2007).

Supriyadi, Drs.. 2006. Bullying; Apa itu?. (Online). Tersedia: http://www.pendidikan.com/artikel-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm. (15 Juni 2007).

Tanpanama.2006.Jaringan untuk Cegah Kekerasan. (Online).Tersedia: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm. (15 Juni 2007).

Page | 17