KAD

32
CASE REPORT Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dextra + Hemiplegi Sinistra Perceptor : dr. Yusnita Debora, Sp.An Oleh: Lailatus Syifa Selian 1018011071 Resti Fratiwi Fitri 1018011021 Igus Ulfa Yaze 1018011012

description

Keto-Asidosis Diabetikum yang diberikan rehidrasi. proses terjadinya syok.

Transcript of KAD

CASE REPORT

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dextra + Hemiplegi Sinistra

Perceptor :

dr. Yusnita Debora, Sp.An

Oleh:Lailatus Syifa Selian 1018011071Resti Fratiwi Fitri 1018011021Igus Ulfa Yaze 1018011012

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH AHMAD YANI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNGMETRO

2014

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas

rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang

berjudul “Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus

Pedis Dextra + Hemiplegi Sinistra” tepat pada waktunya. Adapun tujuan

pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam

mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Stase Anestesiologi

Rumah Sakit Umum Daerah Ahmad Yani Metro.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr.Hartawan, Sp.An dan dr.

Yusnita, Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk saya dalam

menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak sekali

kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat

bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang

membacanya.

Metro, Juni 2014

Penulis

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4

BAB II LAPORAN KASUS........................................................................ 5

BAB III ANALISA KASUS ........................................................................ 11

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 19

3

BAB I

PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak

penderita diabetes mellitus tipe 1 (DMT1). Mortalitas terutama berhubungan

dengan terjadinya edema serebri (menyebabkan 57%-87% dari seluruh kematian

karena KAD). Angka kematian akibat KAD di Amerika Serikat adalah 1%-3%.

Frekuensi KAD sendiri bervariasi antar negara, berkisar antara 15% dan 67% di

Eropa dan Amerika Utara dan dapat lebih sering di negara negara sedang

berkembang. KAD sering terjadi sebagai presentasi klinis awal pasien DMT1,

namun tidak jarang pula terjadi pada pasien yang sudah terdiagnosis DMT1. Pada

pasien DMT1, KAD terjadi umumnya akibat tidak diberikannya suntikan insulin

(sering akibat depresi atau karena masalah biaya) atau karena terapi insulin yang

tidak adekuat pada masa sakit/trauma.

Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan oleh penurunan insulin efektif di

sirkulasi yang disertai peningkatan hormon regulator kontra seperti glukagon,

katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hal ini menyebabkan

peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal, serta gangguan penggunaan

glukosa perifer dengan akibat hiperglikemia dan hiperosmolalitas. Peningkatan

lipolisis, disertai produksi benda keton (beta-hidroksibutirat, asetoasetat),

menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis

menyebabkan diuresis osmotik, dan hilangnya elektrolit. Kriteria biokimia untuk

diagnosis KAD meliputi hiperglikemia (kadar glukosa >11 mmol/L (>200

mg/dL)) disertai pH vena <7,3 dan/atau bikarbonat <15 mmol/L. Terdapat juga

glukosuria, ketonuria dan ketonemia.

KAD dapat terjadi pada saat diagnosis maupun pada penderita lama. KAD

berulang terjadi bila pemberian insulin tidak teratur, sering karena tidak diberikan.

Pada anak remaja, ketoasidosis diabetes hampir selalu dikarenakan ketidak-

patuhan pemberian insulin. Namun dapat pula terjadi sebagai akibat sedang

menderita sakit lain pada penderita diabetes, misalnya diare, infeksi dll.

4

BAB II

LAPORAN KASUS

Masuk ICU RSUD Ahmad Yani Metro:Tanggal 9 Juni 2014No. RM : 239368

A. ANAMNESIS

1. Identitas

Nama : Ny. Darsi

Usia : 56 thn

Pendidikan : -

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Seputih Raman

2. Keluhan

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang : Pindahan dari ruang bedah dengan

keadaan umum tampak sakit berat,

gelisah, Gula darah 305, terdapat

ulkus pada pedis dextra.

Riwayat Penyakit Dahulu : Diabetes Melitus Tipe II

Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

Kesadaran : Somnolent

Tekanan darah : 123/85 mmHg

Nadi : 108 x/menit

RR : 27 x/menit

5

T : 36,6 0C

GCS : E2 M5 V2

2. Status Lokalis

Kepala : tidak ada kelainan

Rambut : tidak ada kelainan

Muka : tidak ada kelainan

Mata : tidak ada kelainan

Telinga : keluar cairan

Hidung : tidak ada kelainan

Mulut : bibir pucat

Lidah : kotor

Tenggorokan : tidak ada kelainan

Dada : ronchi

Abdomen : tidak ada kelainan

Genital : tidak ada kelainan

Ekstremitas : luka kaki kanan dan parese sinistra

Nutrisi : anoreksia

Eliminasi : kateter

Aktivitas : terganggu penuh

Psikologis : gelisah

C. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium tanggal 09 Juni 2014

Hematologi

- Hb : 7,5 gr/dL

- Leukosit : 10,3x103 /ul

- Eritrosit : 2,8x106 / uI

- Trombosit : 414x103/ul

- Hematokrit : 20,2 %

- MCV : 72,2 fL

- MCH : 26,8 pg

- MCHC : 37,1 g/dL

6

- RDW : 13,1 %

- MPV : 6,7 fL

- Ureum : 45

- Creatinin : 1,18

- Albumin : 2,28

- Glukosa Sewaktu : 257

- pH Urin : 5,5

- Glukosa urin : +2

- Leukosit urin : +3

- Keton urin : +2

- Protein urin : +2

D. Resume

Pada tanggal 8 juni 2014 pukul 23.00 OS masuk ICU Pindahan dari ruang

bedah dengan keadaan umum tampak sakit berat, penurunan kesadaran,

gelisah, dan terdapat ulkus pada pedis dextra.

E. Diagnosis

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dextra

+ Hemiplegi Sinistra

F. Rencana Tindakan

IVFD RL/6jam

Piracetam 3 dd 3gram IV

Ranitidin 3 dd IV

Kalnex 3 dd IV

Ceftriaxone 2 dd 1 gram IV

Humulin 2 U/jam syringe pump.

Pro Transfusi PRC sampai Hb 10g/dl (Ca glukona post transfusi)

GV/hari

Konsul Spesialis Syaraf

7

G. Follow Up

Waktu Subjective Objective Assesment Planning9-6-14 Penurunan

kesadaranKU : TSBTD : 128/65mmHgHR : 102x/menitRR : 23x/menitSat O2 : 99%Pulmo : wheezing (+/+)Ext : pittingedema (-/-)Babinski : ulkus/-Balance cairan = +569

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dexta + susp Hemiplegi sinistra

IVFD RL/6jam Piracetam 3 dd 3gram IV Ranitidin 3 dd IV Kalnex 3 dd IV Meropenem 3ddIV Ceftriaxone 2 dd 1 gram IV Humulin 2 U/jam syringe pump. Pro Transfusi PRC sampai Hb

10g/dl (Ca glukona post transfusi) GV/hari Konsul Spesialis Syaraf Rontgen thorak AP Pemeriksaan Urinalisis + profil

lipid10 Penurunan

kesadaranKU : TSBTD : 119/63mmHgHR : 86x/menitRR : 20x/menitSat O2 : 99%Pulmo : wheezing (+/+)Ext : pittingedema (-/-)Babinski : ulkus/-Balance cairan -810

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dexta + susp Hemiplegi sinistra

IVFD RL/6jam Piracetam 3 dd 3gram IV Ranitidin 3 dd IV Kalnex 3 dd IV Ceftriaxone 2 dd 1 gram IV Meropenem 3 dd IV Citicolin 1000 mg / 12 jam infuse Cloramphenicol tetes Dexamethasone metronidazole

11 Penurunan kesadaran

KU : TSBTD : 125/64mmHgHR : 77x/menitRR : 25x/menitSat O2 : 99%Pulmo : wheezing (-/-)Ext : pittingedema (-/-)Babinski : ulkus/-Balance cairan -610

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dexta + susp Hemiplegi sinistra

IVFD RL/6jam Piracetam 3 dd 3gram IV Ranitidin 3 dd IV Kalnex 3 dd IV Ceftriaxone 2 dd 1 gram IV Meropenem 3 dd IV Citicolin 1000 mg / 12 jam infuse Cloramphenicol tetes Dexamethasone Metronidazole

12 Penurunan kesadaran

KU : TSBTD : 120/60mmHgHR : 80x/menitRR : 22x/menitSat O2 : 100%Pulmo : wheezing (-/-) ronki (-/-)Ext : pittingedema (-/-)Babinski : ulkus/-Balance cairan -259

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dexta + susp Hemiplegi sinistra

IVFD RL/6jam Piracetam 3 dd 3gram IV Ranitidin 3 dd IV Kalnex 3 dd IV Meropenem 3 dd 1 IV Citicolin 1000 mg/12 jam infuse Manitol 4 dd 1 (50cc) Chlorampenicol tetes Dexamethasone 3x1 IV

8

13-4-14 Penurunan kesadaran, NGT merah hitam.

KU : TSBTD : 85/50mmHgHR : 65x/menitRR : 43x/menitSat O2 : 94%Pulmo : wheezing (-/-) ronki (-/-)Ext : pittingedema (-/-)Babinski : ulkus/-Balance cairan = +1104

Diabetes Melitus Tipe II + Ketoasidosis Diabetikum + Ulkus Pedis Dexta + susp Hemiplegi sinistra

IVFD RL/6jam Piracetam 3 dd 3gram IV Ranitidin 3 dd IV Kalnex 3 dd IV Meropenem 3 dd 1 IV Citicolin 1000 mg/12 jam infuse Manitol 4 dd 1 (50cc) Chlorampenicol tetes Humulin Adv dr.Ronald

AB ampikasin + metronidazol + meropenem

14-6-14 Pasien meninggal dunia pikul 05.00 WIB

9

BAB III

ANALISA KASUS

1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?

Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan :

Hiperglikemia (glukosa sewaktu257 g/dl)

Keton urin (+2)

Ureum/creatinin (45/1,18)

pH urin 5,5

protein urin (+2)

Elektrolit darah dan osmolalitas serum tidak dilakukan pemeriksaan

Analisis gas darah tidak dilakukan

Darah lengkap (pada KAD sering dijumpai gambaran lekositosis),

HbA1c, urinalisis (dan kultur urine bila ada indikasi).

Foto polos dada tidak ada kelainan.

Ketosis (Ketonemia dan Ketonuria)

Aseton plasma tidak dilakukan

10

Penegakan diagnosis pada pasien ini kurang memenuhi syarat, karena

pemeriksaan yang dilakukan hanya glukosa darah, keton urin. Sedangkan

pemeriksaan pH arteri, serum bikarbonat, keton serum, osmolaritas

serum, dan anion gap tidak dilakukan.

2. Apakah penyebab dari ketoasidosis pada pasien ini?

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan

peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis

merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi

bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,

katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut

mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan

meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi

akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan

glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat

nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada

ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat

karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).

Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang

bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan

KAD. Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi

menyebabkan diuresis osmotic yang akan mengakibatkan hipovolemia dan

penurunan glomerular filtration rate. Mekanisme yang mendasari

peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi

defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator

menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitive pada jaringan lemak.

Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam

lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan

substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran

asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari

ketoasid.

11

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang

prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi

glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara

menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co

A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak

bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I),

enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine,

yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I

diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat

dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan

CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketogenesis.

3. Apakah penanganan pada kasus ini sudah tepat?

Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan

pendekatan terstruktur olehdokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat

banyak sekali pedoman penatalaksanaan KAD pada literature kedokteran, dan

hendaknya semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan disesuaikan dengan

kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit

hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway.

Pedoman ini harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka

mencapai tujuan terapi. Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care

pathway dapat memperbaiki hasil akhir penatalaksanaan KAD secara

signifikan. Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi

dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identiÞ kasi faktor

presipitasi komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus

menerus. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada

penatalaksanaan KAD

1. Terapi cairan

2. Terapi insulin

3. Natrium

4. Kalium

5. Bikarbonat

12

6. Fosfat

7. Magnesium

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi

9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai

10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)

Pada pasien ini aspek-aspek diatas sudah terpenuhi dan terkontrol dengan

baik.

13

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi

akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat

darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat

sampai menyebabkan syok.

Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I ,

disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton akibat kekurangan

atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia, asidosis, dan keton

akibat kurangnya insulin.

2. Etiologi

Dalam 50% kejadian KAD, kekurangan insulin, peningkatan konsumsi atau produksi

glukoasa, atau infeksi adalah faktor pencetus. Stressor-stressor utama lain yang dapat

mencetuskan diabetic ketoasidosis adalah pembedahan, trauma, terapi dengan steroid

dan emosional.

3. Patofisiologi

Gejala dan tanda yang timbul pada KAD disebabkan terjadinya hiperglikemia dan

ketogenesis. Defisiensi insulin merupakan penyebab utama terjadinya hiperglikemia

atau peningkatan kadar glukosa darah dari pemecahan protein dan glikogen atau

lipolisis atau pemecahan lemak. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dengan

hipovolemia kemudian akan berlanjut terjadinya dehidrasi dan renjatan atau syok.

Glukoneogenesis menambah terjadinya hiperglikemik. Lipolisis yang terjadi akan

meningkatkan pengangkutan kadar asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi

ketoasidosis, yang kemudian berakibat timbulnya asidosis metabolik, sebagai

kompensasi tubuh terjadi pernafasan kussmaul.

4. Tanda Dan Gejala

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas,

status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah

ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera

14

dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,

perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu

pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau

berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda

KAD sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan

polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of

sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun,

respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma.

Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.

Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan

prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena

gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya

pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik

dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik. Gejala klinis yang muncul :

a. Poliuria

b. Polidipsi

c. Penglihatan kabur

d. Lemah

e. Sakit kepala

f. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada

saat berdiri)

g. Anoreksia, Mual, Muntah

h. Nyeri abdomen

i. Hiperventilasi

j. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)

k. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)

l. Terdapat keton di urin

m. Nafas berbau aseton

n. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic

o. Kulit kering

p. Keringat

q. Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic

15

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Kadar glukosa darah: > 259 mg/dl

b. Elektrolit darah (tentukan corrected Na) dan osmolalitas serum.

c. Analisis gas darah, BUN dan kreatinin.

d. Darah lengkap (pada KAD sering dijumpai gambaran lekositosis), HbA1c,

urinalisis (dan kultur urine bila ada indikasi).

e. Foto polos dada.

f. Ketosis (Ketonemia dan Ketonuria)

g. Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok

h. Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l

i. Pemeriksaan Osmolalitas = 2[Na+K] + [GDR/18] + [UREUM/6]

j. Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang

mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir

k. Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH < 7,3 dan penurunan pada HCO3

250 mg/dl

6. Penatalaksanaan

Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan

ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.

Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU

Fase I/Gawat :

a. Rehidrasi

1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama,

lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)

2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)

3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi

4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 – 48

jam).

5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%

6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)

7) Monitor keseimbangan cairan

b. Insulin

1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)

2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic

16

3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam sekali

4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L ³250mg%,

Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3

5) Infus K (tidak boleh bolus)

a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L

b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L

c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L

d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam

c. Infus Bicarbonat

d. Antibiotik dosis tinggi

Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi

Fase II/Maintenance:

a. Cairan maintenance

1) Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian

2) Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU

b. Kalium

Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak. Minumlah yang

cukup untuk mencegah dehidrasi.

Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya

efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan

saja akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan

bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah

disebabkan oleh rehidrasi. Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami

adalah penentuan diit cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi

dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan

penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

17

fluid deficit = (0,6 x BB) x delta Na

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan

menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.

Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap

kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl. Nilai corrected

serum sodium concentration >140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air

menunjukkan deÞ sit cairan yang berat. Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala

klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat

menolong untuk menentukan derajat dehidrasi adalah:

5% : penurunan turgor kulit, membrane mukosa kering, takikardia

10% : capillary re! ll time 3 detik, mata cowong�

> 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian

cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 " 12 jam pertama dan sisanya

dalam 12 " 16 jam berikutnya. Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan

cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 " 8 liter.2,5,9 Pada

pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan

intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. Terdapat beberapa

kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang

membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli

menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk

resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 " 20

ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1 " 1,5 liter). Sebuah sumber

memberikan petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam

pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien

terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1 " 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 "

500 ml/jam pada jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status

hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar

elektrolit serum, dan pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45%

diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan diberikan untuk

mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan

18

Osmolalitas serum total = 2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8

kecepatan 4 " 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan

ekstraselular terjadi secara gradual. Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi

pada pemakaian normal saline dan berdasarkan strong-ion theory untuk asidosis

(Stewart hypothesis). Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan

tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na

serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal

dinilai, infus cairan harus mengandung 20 " 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3

KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan

dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan

masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis. Pemberian cairan harus dapat mengganti

perkiraan kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan

osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan

ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas

serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan

selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk itu

pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong.

Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan

dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada

NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia

dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang

terlalu cepat

Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD

19

Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang komprehensif

termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk pemeriksaan

elektrolit dan analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus

dimonitor secara hati-hati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan

kepada setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko kardiovaskular. Terdapat

bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa parameter yang

ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit, BUN, kreatinin,

osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 " 4 jam sampai keadaan stabil tercapai.

Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1 " 2 jam. Pemeriksaan kadar

gula darah yang sering adalah penting untuk menilai efikasi pemberian insulin dan

mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar gula darah

250 mg/ dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit

serum diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6 " 8 jam terapi. Jumlah pemberian

kalium sesuai kadar kalium, terapi fosfat sesuai indikasi.

7. Komplikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian akibat KAD adalah:

a. Terlambat didiagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma.

b. Pasien belum tahu bahwa ia menyandang DM.

c. Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat, seperti:

renjatan (syok), stroke, dll.

20

d. Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang suksesnya penatalaksanaan

KAD

Komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD yaitu:

a. Edema paru

b. Hipertrigliserida

c. Infark miokard akut

d. Hipoglikemia

e. Hipokalsemia

f. Hiperkloremia

g. Edema otak

h. Hipokalemia

DAFTAR PUSTAKA

21

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.

2. Van Zyl DG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SA Fam Prac

2008;50:39-49.

3. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange

current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange; 2010.p.1111-5.

4. Chiasson JL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic

hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal 2003;168(7):859-66.

5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and management of diabetic ketoacidosis

in adults. Hospital Physician 2008;15:21-35.

6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic

hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.

7. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care

2004;27(1):94-102.

8. Alberti KG. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker

KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.1438-49.

9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar

syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a

fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins;2000.p.336-46.

10. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of

diabetic ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.

11. Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician 2005;71(9):

1705-14.

12. Kitabachi AE, Wall BM. Management of diabetic ketoacidosis. American Family

Physician 1999;60:455-64

22