Jurnal lengkap sekali

125
Pembelajaran Kolaborasi dengan Strategi Pesta Pertanyaan untuk Meningkatkan Partisipasi Siswa, Keterampilan Sosial, dan Prestasi Belajar Syaiful Khafid Email: [email protected] Jln. Perempatan RT 03/RW 03 Weru Paciran, Lamongan 62264 ABSTRACT: Purpose of this class action research is for knowing collaboration learning application with strategy of question party can increase: (1) student paticipation in learning geography, (2) student social skill learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student positive response toward collaboration learning application with question party strategy. Prosedure of this class action research include three cycles, and every cycle consists of planning, implementation, observation, and replection.This action research is done in SMA Negeri 1 Sidayu, with the subject is students class X-1 amoumt 32 people who consist of 9 boys and 23 girls. The research result shows that collaboration learning application with question party strategy can increase: (1) student participation in learning geography, (2) student social skill in learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student has positive response toward question party strategy application. Kata kunci: pembelajaran kolaborasi, strategi pesta pertanyaan, partisipasi siswa, keterampilan sosial, prestasi belajar Sebagian besar siswa beranggapan bahwa belajar adalah aktivitas yang tidak menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan atau kompetensi dasar, baik yang sedang disampaikan guru maupun yang sedang dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu hampir selalu dirasakan sebagai beban daripada 1

description

 

Transcript of Jurnal lengkap sekali

Page 1: Jurnal lengkap sekali

Pembelajaran Kolaborasi dengan Strategi Pesta Pertanyaan untuk Meningkatkan Partisipasi

Siswa, Keterampilan Sosial, dan Prestasi Belajar

Syaiful KhafidEmail: [email protected]

Jln. Perempatan RT 03/RW 03 Weru Paciran, Lamongan 62264

ABSTRACT: Purpose of this class action research is for knowing collaboration learning application with strategy of question party can increase: (1) student paticipation in learning geography, (2) student social skill learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student positive response toward collaboration learning application with question party strategy. Prosedure of this class action research include three cycles, and every cycle consists of planning, implementation, observation, and replection.This action research is done in SMA Negeri 1 Sidayu, with the subject is students class X-1 amoumt 32 people who consist of 9 boys and 23 girls. The research result shows that collaboration learning application with question party strategy can increase: (1) student participation in learning geography, (2) student social skill in learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student has positive response toward question party strategy application.

Kata kunci: pembelajaran kolaborasi, strategi pesta pertanyaan, partisipasi siswa, keterampilan sosial, prestasi belajar

Sebagian besar siswa beranggapan bahwa

belajar adalah aktivitas yang tidak

menyenangkan, duduk berjam-jam dengan

mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu

pokok bahasan atau kompetensi dasar, baik yang

sedang disampaikan guru maupun yang sedang

dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu hampir

selalu dirasakan sebagai beban daripada upaya

aktif untuk memperdalam ilmu. Mereka tidak

menemukan kesadaran untuk mengerjakan

seluruh tugas-tugas sekolah. Sebagian besar

siswa yang mengganggap, mengikuti pelajaran

tidak lebih sekedar rutinitas untuk mengisi daftar

absensi, mencari nilai, melewati jalan yang harus

ditempuh, dan tanpa disertai kesadaran untuk

menambah wawasan ataupun mengasah

keterampilan.

Semangat belajar siswa menurun, selain

disebabkan oleh ketidaktepatan metodologis

pembelajaran yang diterapkan oleh guru, juga

berakar pada paradigma pendidikan konvensional

yang selalu menggunakan metode pengajaran

klasikal dan metode ceramah, tanpa pernah

diselingi berbagai metode yang menantang untuk

berusaha, termasuk adanya penyekat ruang

1

Page 2: Jurnal lengkap sekali

struktural yang begitu tinggi antara guru dan

siswa. Peristiwa yang menonjol ialah siswa kurang

berpartisipasi, kurang terlibat, dan tidak memiliki

inisiatif, serta kontributif baik secara intelektual

maupun emosional. Pertanyaan dari siswa,

gagasan, ataupun pendapat jarang muncul.

Kalaupun ada pendapat yang muncul jarang

diikuti oleh gagasan lain sebagai respon (Khafid,

2008: 19).

Ada tiga faktor penyebab rendahnya

pertisipasi siswa dan keterampilan sosial dalam

proses belajar mengajar, yaitu: (1) siswa kurang

memiliki kemamuan untuk merumuskan gagasan

sendiri, (2) siswa kurang memiliki keberanian

untuk menyampaikan pendapat kepada orang

lain, dan (3) siswa belum terbiasa bersaing

menyampaikan pendapat dengan teman yang lain

(Abimanyu, 1995:8). Kesalahan tersebut, tidak

dapat hanya dibebankan kepada siswa saja,

tetapi yang pertama bertanggung jawab

hendaknya guru. Guru kadang-kadang secara

sadar atau tidak menerapkan sifat otoriter,

menghindari pertanyaan dari siswa,

menyampaikan ilmu pengetahuan secara searah,

menganggap siswa sebagai penerima, pencatat,

dan pengingat. Karena itu, guru Geografi

hendaknya memiliki pemahaman yang memadai

tentang siswa yang menjadi sasaran tugasnya.

Pemahaman ini menyangkut kesiapan,

kemampuan, ketidakmampuan, dan latar

belakang siswa yang semua itu akan membantu

gutu dalam melaksanakan tugasnyanya.

Kewajiban guru dalam pembelajaran bukan

hanya menyampaikan konsep-konsep materi agar

dapat dimengerti oleh siswa, melainkan juga

perlu memberikan pengalaman kepada siswa

untuk berlatih bekerja sama misanya membuat

pertanyaan, dan partisipasi dalam mengikuti

kegiatan belajar mengajar Geografi di kelas. Pada

pembelajaran Geografi di kelas X-1 SMA Negeri 1

Sidayu dijumpai banyak kesulitan, permasalahan

itu berasal dari asumsi: 1) kegiatan pembelajaran

kurang menekankan aktivitas belajar siswa, 2)

upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa

bekerja sama dalam memecahkan masalah

menggunakan model pembelajaran kolaborasi

dengan strategi pesta pertanyaan belum

mendapat perhatian guru, 3) penyelesaian

masalah kegeografian tidak cukup hanya

menghafal konsep-konsep saja, dan 4) guru

2

Page 3: Jurnal lengkap sekali

belum mencoba aneka metode pembelajaran

yang diintegrasikan ke dalam penelitian tindakan.

Berdasarkan hasil pengamatan yang

dilakukan pada siswa kelas X-1 ketika diberikan

soal-soal yang berkaitan dengan materi pokok:

konsep Geografi, pendekatan Geografi, prinsip

Geografi, dan aspek Geografi pada semester gasal

dengan nilai rata-rata yang diperoleh 62,5 dan

46% dari siswa tidak tuntas belajar. Hal itu

menunjukkan masih belum maksimal penguasaan

materi pelajaran Geografi. Penelitian ini

memberikan solusi memperbaiki sekaligus

meningkatkan mutu proses belajar mengajar

melalui pembelajaran kolaborasi dengan strategi

pesta pertanyaan diharapkan dapat

meningkatkan aktivitas siswa, partisipasi dalam

berdiskusi, keterampilan sosial, prestasi belajar

Geografi, dan respon positif siswa terhadap

model pembelajaraan kolaborasi dengan strategi

pesta pertanyaan.

Beberapa kelebihan pembelajaran kolaborasi

dengan strategi pesta pertanyaan, yaitu adanya

kerja sama dalam kelompok dan untuk

menentukan keberhasilan kelompok bergantung

pada keberhasilan individu sehingga setiap

anggota kelompok tidak bisa menggantungkan

pada anggota yang lain. Setiap siswa mendapat

kesempatan sama untuk menunjang timnya

mendapat nilai yang maksimal, sehingga

termotivasi untuk belajar. Dengan demikian,

setiap individu merasa mendapat tugas dan

tanggung jawab sendiri-sendiri, sehingga tujuan

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan dapat berjalan bermakna dan tujuan

pembelajaran dapat dicapai secara maksimal

sesuai dengan harapan tujuan pendidikan

nasional.

Dalam konteks di atas, tugas guru adalah

mempermudah siswa untuk belajar, memberikan

kondisi yang kondusif yang mampu menciptakan

pembelajaran bermakna secara signifikan bagi

diri siswa secara holistik, tujuannya untuk

kepentingan kelompok meliputi guru,

komunitasnya termasuk siswa. Keingintahuan

siswa secara bebas, keterbukaan, dan segala

sesuatunya dapat digali dan dipertanyakan. Pada

akhirnya, tuntutan mutu pendidikan untuk

mampu menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas dapat dicapai sesuai dengan harapan

kita.

3

Page 4: Jurnal lengkap sekali

Pengertian kolaborasi sering disamakan

dengan kooperasi. Kerja sama yang disebut

kooperasi ini adalah sebuah struktur kerja sama

dalam bentuk kerja kelompok. Di dalam struktur

kerja kooperasi ini terjadi proses-proses interaksi

antaranggota kelompok, yang disebut kolaborasi.

Kolaborasi merupakan suatu landasan interaksi

dan cara hidup seseorang di mana individu

bertanggung jawab atas tindakannya, yang

mencakup kemampuan belajar dan menghargai

serta memberikan dukungan terhadap

kelompoknya. Melalui aktivitas itu, kita dapat

mengidentifikasi perilaku-perilaku kolaborasi,

menempatkan perilaku tersebut dalam urutan

yang sesuai, dan pebelajar

mendemonstrasikannya. Inti keterampilan

kolaborasi adalah kemampuan untuk melakukan

tukar pikiran dan perasaan antara pebelajar yang

satu sama lainnya pada tingkatan yang sama

(Setyosari, 2009).

Pembelajaran kolaborasi menekankan

pentingnya pengembangan belajar secara

bermakna dan pemecahan masalah secara

intelektual serta pengembangan aspek sosial.

Dengan demikian, di antara pebelajar bergantung

satu sama lain dan mereka bekerja sama saling

menguntungkan. Dalam praktik atau

penerapannya, pembelajaran kolaborasi yang

dilakukan di sekolah lebih berkenaan dengan

kerja kelompok biasa yang antaranggotanya tidak

bergantung satu sama lain.

Pembelajaran kolaborasi merupakan sistem

pembelajaran yang memberi kesempatan kepada

pebelajar untuk bekerja sama dengan yang lain

dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh

dikatakan, pembelajaran kolaborasi hanya

berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok

atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja

sama secara terarah untuk mencapai tujuan yang

sudah ditentukan dengan jumlah anggota

kelompok pada umumnya terdiri atas 4-6 orang

(Lie, 2002; Khafid, 2010).

Pembelajaran kolaborasi merupakan suatu

model pembelajaran yang saat ini banyak

digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar

mengajar yang berpusat pada siswa, terutama

untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan

guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat

bekerja sama dengan orang lain, siswa yang

agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model

4

Page 5: Jurnal lengkap sekali

pembelajaran ini telah terbukti dapat

dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan

berbagai usia.

Djajadisastra (dalam Isjoni, 2007: 19-20)

mengemukakan, metode belajar kelompok atau

lazim disebut dengan metode kolaborasi

merupakan suatu metode mengajar di mana

siswa disusun dalam kelompok-kelompok pada

waktu menerima pelajaran atau mengerjakan

soal-soal dan tugas-tugas. Pendapat Nasution

dikutip Isjoni (2007: 20) belajar kelompok itu

efektif kalau setiap individu merasa bertanggung

jawab terhadap kelompok, siswa turut

berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu

lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang

konstruktif pada kelakuan seseorang dan setiap

anggota aman dan puas di dalam kelas.

Suryosubroto (dalam Isjoni, 2007: 20)

menyebutkan, belajar kelompok dibentuk dengan

harapan para siswa dapat berpartisipasi aktif

dalam pembelajaran.

Beberapa ciri pembelajaran kolaborasi

adalah: 1) setiap anggota memiliki peran, 2)

terjadi hubungan interaksi langsung di antara

siswa, 3) setiap anggota kelompok bertanggung

jawab atas belajarnya dan juga teman-teman

sekelompoknya, 4) guru membantu

mengembangkan keterampilan-keterampilan

interpersonal kelompok, dan 5) guru hanya

berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan

(Isjoni, 2007: 20)

Strategi pesta pertanyaan adalah suatu

strategi pembelajaran yang digunakan untuk

melatih siswa aktif membuat pertanyaan

kemudian dijawab teman-temannya (Sulistyo,

2007: 9). Strategi pesta pertanyaan yang

diterapkan dalam pembelajaran ini bertujuan

agar informasi yang diterima siswa dapat

disimpan dalam memori jangka panjang sehingga

tidak menjadi pengetahuan sesaat. Otak kita

perlu mempertanyakan informasi, merumuskan,

dan menjelaskannya pada orang lain agar dapat

menyimpannya dalam memori.

Di samping itu, strategi pesta pertanyaan ini

dapat melatih siswa untuk belajar meneliti

asumsi, mengakui sudut pandang yang berbeda,

dan mempertimbangkan makna kata. Dengan

menggunakan pertanyaan-pertanyaan secara

rutin, siswa belajar meneliti asumsi, menghadapi

5

Page 6: Jurnal lengkap sekali

Dijaw

ab oleh kelompok lain

Dij

awab

ole

h ke

lom

pok

lain

Setiap sisw

a bekerja sama m

embuat pertanyaan

Set

iap

sisw

a be

kerj

a sa

ma

mem

buat

per

tany

aan

Setiap siswa bekerja sam

a mem

buat pertanyaan

Dijawab oleh kelompok lain

Dijaw

ab oleh kelompok lain

Dija

wab

ole

h ke

lom

pok

lain

Dijaw

ab oleh kelompok lain

Dija

wab

ole

h ke

lom

pok

lain

Setiap siswa bekerja sam

a mem

buat pertanyaan

Setia

p si

swa

beke

rja s

ama

mem

buat

per

tany

aan

Setia

p si

swa

beke

rja s

ama

mem

buat

per

tany

aan

Set

iap

sisw

a be

kerj

a sa

ma

mem

buat

per

tany

aan

prasangka, mengakui sudut pandang yang

beragam, dan mempertimbangkan makna kata.

Pendapat Mulyasa sebagaimana dikutip

Sulistyo (2007) bahwa tanya jawab yang

berlangsung selama pembelajaran didorong oleh

inkuiri siswa. Dengan demikian, rasa ingin tahu

siswa dapat disalurkan melalui kegiatan pesta

pertanyaan yang dibimbing oleh guru sebagai

pembimbing dengan peran selaku motivator,

fasilitator, dan konsultan. Kegiatan bertanya

antara siswa dan siswa, atau siswa dan guru

dapat mendorong siswa untuk aktif berpikir dan

belajar sepanjang hayat. Pertanyaan dalam

interaksi belajar mengajar adalah penting, karena

dapat menjadi perangsang yang memotivasi

siswa untuk aktif, kreatif, dan bersemangat dalam

berpikir dan belajar sehingga dapat

membangkitkan pengertian baru.

Langkah-langkah yang ditempuh untuk

menerapkan strategi pesta pertanyaan dalam

memahami ‘uniflying geography’ supaya siswa

memiliki keterampilan Geografi, sebagai berikut:

1) guru menyajikan materi pelajaran Geografi

melalui lembar kegiatan siswa; 2) setiap siswa

dalam kelompok bekerja sama membuat

pertanyaan berkaitan dengan materi yang

sedang dibahas; 3) pertanyaan dari suatu

kelompok dikumpulkann untuk diberikan kepada

kelompok lain yang terdekat; (4) setiap kelompok

menjawab pertanyaan; dan 5) kegiatan

presentasi membahas pertanyaan dan jawaban

dari kelompok-kelompok.

Lebih jelasnya, skenario model pembelajaran

kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan pada

mata pelajaran Geografi untuk memahami

konsep ‘uniflying geography’ supaya siswa

memiliki penguasaan Geografi yang benar dan

berwawasan mondial, dapat digambarkan

sebagai berikut.

6

Page 7: Jurnal lengkap sekali

Gambar 1. Skenario Strategi Pesta Pertanyaan

Partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan

keterlibatan semua pelaku siswa dalam

mempelajari Geografi (Adisasmita, 2008: 2;

Sukidin dkk. 2002: 159) mengemukakan bahwa

partisipasi siswa merupakan suatu tingkat

sejauhmana peran siswa melibatkan diri di dalam

kegiatan dan menyumbangkan tenaga dan

pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Partisipasi siswa dalam belajar diartikan kegiatan

atau keadaan mengambil bagian dalam suatu

aktivitas pembelajaran Geografi untuk mencapai

suatu kemanfaatan secara optimal.

Pembelajaran kolaborasi dengan strategi

pesta pertanyaan dilakukan oleh guru akan

mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih

kondusif, karena siswa lebih berperan serta,

terjadi keraja sama kooperatif, lebih terbuka, dan

sensitif dalam proses pembelajaran. Siswa

dituntut berani mengemukakan ide-ide, kerja

sama atau keterampilan sosial, melontarkan

permasalahan, dan mencari solusinya. Menurut

Supriatna (2005) pembelajaran kolaborasi dapatt

membangun keterampilan sosial dalam diri siswa.

Pendapat Budimansyah (2002: 1) supaya aktif

terlibat belajar siswa harus memiliki kemampuan

untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan

konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai.

Prestasi belajar Geografi adalah kemampuan

menuntaskan dalam arti memahami atau

menguasai materi minimal pada mata pelajaran

Geografi yang ditunjukkan dari hasil ulangan

harian siswa dengan standar ketuntasan belajar

minimal yang ditentukan guru. Prestasi belajar

siswa setelah mengikuti kegiatan belajar

mengajar dengan kriteria ketuntasan minimal

pada mata pelajaran Geografi.

Pengertian prestasi adalah rumusan hasil

yang telah dicapai oleh seseorang setelah

melakukan atau menyelesaikan suatu pekerjaan.

Prestasi belajar ini tampak dalam tingkah laku

7

Page 8: Jurnal lengkap sekali

individu, baik dari segi kognitif, afektif maupun

psikomotorik. Slameto (2003: 45), menyatakan

“prestasi belajar adalah suatu kemajuan yang

merupakan kesimpulan konsep atau nilai yang

dapat diterapkan dalam hidup, situasi atau

pengalaman baru, pergaulan dengan teman,

perilaku di sekolah, di rumah ataupun di dalam

lingkungan tetangga”. Dengan demikian

pengertian prestasi belajar dapat disimpulkan

sebagai hasil yang dicapai siswa dalam proses

belajar di sekolah yang berupa penguasaan

pengetahuan, kecakapan hidup, dan sikap yang

umumnya dinyatakan dalam bentuk angka.

Prestasi belajar semakin terasa penting

karena mempunyai beberapa tujuan, yaitu: 1)

prestasi belajar menunjukkan indikator kualitas

dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai

siswa, 2) prestasi belajar sebagai lambang

pemuasan hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan

asumsi bahwa hal ini sebagai tendensi

keingintahuan dan merupakan kebutuhan umum

pada manusia, 3) prestasi belajar sebagai bahan

informasi dalam inovasi pendidikan. Asumsinya

bahwa prestasi belajar dapat dijadikan

pendorong bagi siswa untuk meningkatkan ilmu

dan berperan sebagai umpan balik dalam

meningkatkan mutu pendidikan, 4)

prestasi belajar sebagai indikator internal dari

suatu lembaga pendidikan, indikator

internal dalam artian bahwa prestasi belajar

dapat dijadikan indikator tingkat

produktivitas suatu lembaga pendidikan, dan 5)

prestasi belajar dapat dijadikan

indikator terhadap daya serap atau

kecerdasan siswa. Dalam proses belajar

mengajar, siswa merupakan masalah yang

pertama dan utama, karena siswalah

yang diharapkan dapat menyerap seluruh

materi pelajaran yang diprogramkan

dalam kurikulum.

Berdasarkan uraian di atas maka

permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut: 1) bagaimanakah partisipasi siswa dalam

mempelajari Geografi, ketika diimplementasikan

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan?; 2) apakah implementasi

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan dapat meningkatkan keterampilan

sosial siswa?; 3) apakah implementasi

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

8

Page 9: Jurnal lengkap sekali

pertanyaan dapat meningkatkan prestasi belajar

Geografi?; dan 4) bagaimanakah respon siswa

terhadap pembelajaran kolaborasi dengan

strategi pesta pertanyaan?

METODE

Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Sidayu,

Gresik pada semester gasal tahun pelajaran

2010/2011. Subjek penelitian ini adalah siswa

kelas X-1 dengan jumlah siswa sebanyak 32 siswa.

jumlah siswa laki-laki sebanyak 9 siswa,

sedangkan siswa perempuan berjumlah 23 siswa.

Dipilihnya kelas X-1 sebagai subjek penelitian

tindakan ini dengan alasan bahwa sebagian siswa

di kelas ini kurang bergairah belajar, motivasi

belajar rendah, aktivitas belajar siswa pasif, dan

rendahnya prestasi belajar kalau dibandingan

dengan kelas-kelas lainnya. Peneliti adalah guru

Geografi yang mendapat tugas tambahan sebagai

kepala SMA Negeri 1 Sidayu.

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan

penelitian tindakan kelas, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri

melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk

memperbaiki kinerjanya sebagai pendidik

sehingga kualitas proses dan hasil belajar siswa

menjadi meningkat (Wardhani, 2007: 15).

Penelitian tindakan kelas merupakan suatu

proses investigasi terkendali yang berdaur ulang

dan reflektif mandiri yang dilakukan oleh guru

bertujuan untuk memperbaiki sistem, cara kerja,

proses, isi, kompetensi, atau situasi

pembelajaran.

Status guru dalam penelitian tindakan kelas

ini adalah sebagai pengamat atau peneliti

sekaligus sebagai pelaksana tindakan. Secara

umum pelaksanaan akan dilakukan selama tiga

siklus yang pada siklusnya diterapkan tindakan

tertentu. Dalam setiap siklus aktivitas penelitian

dilakukan melalui prosedur penelitian yang

berupa: 1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan

tindakan, 3) pengamatan tindakan, dan 4)

refleksi.

Penelitian tindakan kelas ini menggunakan

teknik pengumpulan data antara lain: 1) metode

observasi yaitu dilakukan untuk memperoleh

data dari siswa yang sedang melakukan

tindakan pembelajaran materi pokok: konsep

Geografi, pendekatan Geografi, prinsip Geografi,

dan aspek Geografi melalui pembelajaran

kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan, 2)

9

Page 10: Jurnal lengkap sekali

metode angket, yaitu digunakan untuk

mengukur respon siswa. Daftar pertanyaan

diberikan kepada siswa untuk mengetahui

gambaran permasalahan yang dihadapi, dan 3)

metode tes, yaitu dilakukan untuk mengetahui

ketuntasan belajar setelah siswa mengikuti

serangkaian kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan pengamatan kondisi awal kelas

X-1 nilai rata-rata ulangan harian di bawah kelas

X lainnya. Dari data-data yang diperoleh yaitu

data prestasi belajar Geografi, partisipasi siswa,

dan keterampilan sosial siswa merupakan data

utama dalam penelitian ini, sedangkan data

respon siswa adalah data pendukung. Data

tersebut dianalisis dengan teknik deskripsi dan

persentase.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Keadaan awal sebelum implementasi

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan pada mata pelajaran Geografi yang

membahas materi pokok pengantar Geografi

(konsep. pendekatan, prinsip, dan aspek

Geografi) menggunakan metode pembelajaran

konvensional yaitu ceramah, penugasan dan

tanya jawab. Hasil tes ulangan harian adalah rata-

rata nilai 68,5 ketuntasan secara klasikal 62,5%,

dua belas siswa yang tidak tuntas.

Penelitian tindakan kelas pada siklus I ini

siswa mengkaji materi pokok: konsep Geografi.

Perangkat pembelajaran yang disiapkan meliputi,

desain pembelajaran, bahan ajar Geografi, dan

soal evaluasi. Dalam RPP dirancang dengan

kegiatan pendahuluan yang meliputi menjelaskan

tujuan pembelajaran memberikan motivasi, dan

apersepsi kepada siswa. Kegiatan inti yang

direncanakan antara lain: menjelaskan materi

konsep Geografi, membentuk kelompok, setiap

kelompok menyusun soal, setiap berdiskusi

menjawab pertanyaan, dan setiap kelompok

secara bergilir melakukan presentasi. Sebelum

kegiatan pembelajaran ditutup pada siklus I ini

dilakukan apresiasi terhadap setiap kelompok

yang sudah melakukan presentasi.

Kegiatan yang dilakukan guru pada saat

pembelajaran antara lain menyampaikan

informasi tentang materi konsep Geografi siswa

membentuk kelompok, kegiatan strategi pesta

pertanyaan diarahkan untuk melatih siswa

bekerja sama dalam membuat dan menjawab

pertanyaan dari materi Geografi yang ditentukan.

10

Page 11: Jurnal lengkap sekali

Guru membimbing siswa dalam mempelajari

beragam sumber, membuat soal, berdiskusi,

menjawab soal, dan mengawasi kegiatan siswa.

Guru memberikan penghargaan kepada

kelompok yang memperoleh skor atau nilai

tertinggi. Selanjutnya ditutup dengan

menyimpulkan bersama dan memberi tugas

rumah untuk minggu depan.

Memperhatikan hasil observasi terlihat

adanya kenaikan jumlah siswa yang tuntas hasil

belajarnya. Nilai rata-rata yang dicapai pada

ulangan harian awal sebesar 68,5 sedangkan

pada siklus I mencapai 75,94. Ketuntasan klasikal

pada ulangan harian awal hanya mencapai 62,5%,

pada siklus I ini meningkat menjadi 88%, tetapi

ada tiga siswa belum tuntas. Partisipasi siswa

dalam PBM rata-ratanya mencapai 75%. Dari data

partisipasi siswa tersebut kegiatan yang paling

menonjol yang dilakukan sebagian besar siswa

adalah kegiatan membaca dan mencatat materi

penting mencapai 94% dan kegiatan melakukan

kerja sama kooperatif sebesar 100%.

Keterampilan sosial siswa dalam melaksanakan

strategi pesta petanyaan pada siklus I yaitu

kemampuan siswa untuk bekerja sama sedikit,

mendengarkan dengan aktif banyak, merespon

pendapat teman sedang, mengambil giliran

beride sedang, mempresentasikan hasil kerja

kelompok sedang.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah

dilakukan dapat dievaluasi dan direfleksi dengan

ditemukan hambatan yaitu: 1) sebagian siswa

ada yang terlalu mendominasi dalam kerja

sama, sehingga kesempatan teman untuk ikut

kerja sama masih belum maksimal, 2) penjelasan

guru pada materi pelajaran dianggap cukup

menyita waktu sehingga perlu dikurangi pada

siklus berikutnya, dan 3) ada tiga siswa yang

belum tuntas.

Pada siklus II materi yang dibahas adalah

pendekatan dan prinsip Geografi. Perangkat yang

disiapkan meliputi desain pembelajaran, bahan

ajar Geografi, dan lembar kegiatan siswa.

Berdasarkan refleksi pada siklus I maka perlu ada

dua tindakan, yaitu waktu untuk memberikan

penjelasan kepada siswa perlu dikurangi dan

kesempatan untuk memberikan giliran kepada

siswa lain dalam melakukan kerja sama masih

dapat dimaksimalkan.

11

Page 12: Jurnal lengkap sekali

Tindakan guru pada siklus II ini telah sesuai

dengan yang direncanakan pada desain

pembelajaran sehingga tidak banyak memakan

waktu. Sebelum kegiatan pembelajaran selesai

diadakan apresiasi terhadap setiap kelompok

berhasil melakukan presentasi, dan pemberian

penghargaan kepada kelompok yang

memperoleh nilai terbaik.

Berdasarkan observasi pada siklus II

ditemukan adanya kenaikan jumlah siswa yang

tuntas belajarnya. Pada siklus I ketuntasan belajar

secara klasikal 88 %, siklus II naik menjadi 96,8%

dan nilai rata-rata siklus I sebesar 75,94, siklus II

menjadi 82,66. Siswa yang tidak tuntas pada

siklus II ada dua anak. partisipasi siswa pada

siklus I mencapai 75%, pada siklus II meningkat

menjadi 79%. Keterampilan siswa dalam

melaksanakan strategi pesta pertanyaan meliputi:

kemampuan siswa untuk bekerja sama banyak,

mendengarkan dengan aktif banyak, merespon

pendapat teman sedang, mengambil giliran

mengemukakan pendapat banyak,

mempresentasikan hasil kerja sama banyak.

Refleksi pada siklus II ini ditemukan

permasalahan yaitu: (1) penyediaan buku paket

Geografi bagi siswa diperlukan kerana banyak

siswa yang belum memiliki buku paket, karena itu

siswa yang tidak memiliki buku paket dianjurkan

untuk pinjam di perpustakaan sekolah, dan (2)

masih ada dua siswa yang belum tuntas

belajarnya. Bimbingan pada siswa yang belum

tuntas pada saat proses belajar mengajar

Geografi dimaksimalkan.

Pada siklus III ini materi yang diajarkan adalah

aspelk Geografi. Perangkat pembelajaran yang

disiapkan meliputi desain pembelajaran, bahan

ajar, dan lembar kegiatan siswa. Rencana

pembelajaran dan pelaksanaan pesta pertanyaan,

secara garis besar masih sama dengan siklus I dan

II. Namun berdasarkan refleksi siklus II terdapat

dua siswa yang belum tuntas, pada siklus III ini

siswa tersebut diberikan bimbingan yang lebih

baik secara khusus. Penyediaan buku paket

Geografi dilengkapi dari pinjaman perpustakaan

setiap siswa satu buku.

Hasil observasi pada siklus III menunjukkan

ada peningkatan. Nilai rata-rata pada siklus II

sebesar 82,66, pada siklus III naik menjadi 91,25.

Persentase ketuntasan klasikal naik dari 94%

menjadi 100%. Partisipasi siswa dalam proses

12

Page 13: Jurnal lengkap sekali

belajar mengajar meningkat dari 79% pada siklus

II menjadi 86% pada siklus III. Keterampilan siswa

dalam melaksanakan strategi pesta pertanyaan

mencapai 100%. Data respon siswa terhadap

proses belajar mengajar Geografi rata-rata

mencapai 93,77%. Hasil ulangan harian siswa

pada ulangan harian awal 68,5, sedangkan

ulangan harian akhir mencapai nilai 82,5 dengan

ketuntasan belajar klasikal 100%.

Pada siklus III ini menunjukkan adanya

peningkatan dari berbagai hal, tetapi berdasarkan

refleksi siklus III ini masih ditemukan

permasalahan yaitu: (1) buku referensi siswa dan

guru kurang. Oleh karena itu, pengadaan buku

referensi lain selain buku paket sangat

diperlukan, dan (2) saat presentasi hasil diskusi

kurang tersedianya waktu yang cukup. Untuk

ketercapaian tujuan maka perlu adanya

manajemen waktu atau penembahan waktu agar

kegiatan pembelajaran dapat berlangsung lebih

maksimal.

Implementasi pembelajaran kolabosi dengan

strategi pesta pertanyaan mampu meningkatkan

prestasi belajar siswa. Peningkatan penguasaan

materi pengantar Geografi (konsep, pendekatan,

prinsip, dan aspek Geografi) dapat dilihat dari

hasil kuis dari siklus I, siklus II dan siklus III bahkan

dapat dilihat dari hasil ulangan harian. Hal ini

didukung keunggulan pembelajaran kolaborasi, di

antaranya: 1) prestasi belajar lebih tinggi; 2)

pemahaman lebih mendalam; 3) belajar lebih

menyenangkan; 4) mengembangkan

keterampilan kepemimpinan; 5) mening-katkan

sikap positif; 6) meningkatkan harga diri; 7)

belajar secara inklusif; 8) merasa saling memiliki;

dan 9) mengembangkan keterampilan masa

depan (Isjoni, 2007; Setyosari, 2009:)

Dengan strategi pesta pertanyaan dapat

membuat kemajuan besar para siswa ke arah

pengembangan sikap, nilai, dan berpartisipasi

dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang

sesuai dengan tujuan pembelajaran Geografi. Hal

ini dapat tercapai karena tujuan utama

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan adalah untuk memperoleh

pengetahuan dari sesama temannya.

Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh dari gurunya,

tetapi dari belajar kelompok. Seorang teman

haruslah memberikan kesempatan kepada teman

yang lain untuk mengemukakan pendapatnya

13

Page 14: Jurnal lengkap sekali

dengan cara menghargai pendapat orang lain,

saling mengoreksi kesalahan, dan saling

membetulkan sama lainnya (Lie, 2002: 12).

Dengan strategi pesta pertanyaan dapat

meningkatkan partisipasi siswa dan keterampilan

sosial dalam mempelajari atau mengakaji materi

esensial dan sulit Geografi. Di samping itu,

strategi ini memotivasi atau membuat kemajuan

besar para siswa ke arah pengembangan sikap,

nilai, dan berpartisipasi dalam komunitas mereka

dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan

pembelajaran Geografi. Hal ini dapat tercapai

karena tujuan utama pembelajaran kolaborasi

dengan strategi pesta pertanyaan adalah untuk

memperoleh pengetahuan dari sesama

temannya. Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh

dari gurunya, tetapi dari belajar kelompok.

Seorang teman haruslah memberikan

kesempatan kepada teman yang lain untuk

mengemukakan pendapatnya dengan cara

menghargai pendapat orang lain, saling

mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan

sama lainnya. Dengan demikian, prestasi belajar

siswa pada mata pelajaran Geografi dapat

meningkat secara signifikan.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menghasilkan empat butir

pernyataan sebagai simpulan yaitu: 1) partisipasi

siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran

Geografi meningkat, karena sudah poses belajar

mengajar menjadi lebih berpusat kepada siswa,

2) keterampilan sosial siswa mengalami

peningkatan, 3) prestasi belajar Geografi

mengalami peningkatan secara signifikan, dan 4)

respon positif siswa terhadap pembelajaran

kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan.

Berkaitan dengan simpulan di atas, guru

Geografi dan sekolah disarankan: 1) menerapkan

pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta

pertanyaan, dan 2) menyediakan sarana

pendukung kegiatan pembelajaran yang berupa

sumber belajar, misalnya buku paket Geografi

dan media pembelajaran berupa peta dan atlas

bahkan menggunakan laboratorium Geografi.

DAFTAR RUJUKAN

Adisasmita, R. 2008. Membangun Desa Partisipatif. Yogayakarta: Graha Ilmu.Abimanyu. 1995. Upaya Meningkatkan Partisipasi Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Alumni.Budimansyah, D. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Genesindo.

14

Page 15: Jurnal lengkap sekali

Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Ilmu Pendidikan Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28.Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1):73-78.Lie, A. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Lndasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai, dan Tanggung Jawab. Pidato jabatan guru besar bidang ilmu teknologi pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang.Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempenmgaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.Sulistyo, S. 2007. Peningkatan Prestasi Belajar IPS melalui Pendekatan Kooperatif dengan Strategi Pesta Pertanyaan di SMPN 1 Kraton Kabupaten Pasuruan. Pasuruan: SMP Negeri 1 Pasuruan Press.Sukidin dkk. 2002. Penelitian Tindakan Kelas.

Surabaya: Insan Cendekia.Supriatna, N. 2005 Mengajarkan Keterampilan

Sosial yang Diperlukan Siswa di Era Global. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, I (19):12-20.

Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Bumi Aksara.Wardhani, IGAK. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.

Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan

Profesionalisme Guru

Oleh

Rochmanu Fauzi

NIP.195901101981032015 .

15

Page 16: Jurnal lengkap sekali

Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan

Profesionalisme Guru

Rochmanu Fauzi

Abstrak: supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran, yaitu (1) pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan (3) kolaboratif. Teknik-teknik supervisi pengajaran yang paling bermanfaat adalah kunjungan kelas, pembicaraan individual, Diskusi kelompok, demonstrasi mengajar, dan sebagainya. Para guru lebih menghargai supervisor yang hangat dan menghargai guru. Dalam praktiknya supervisi pengajaran masih berorientasi pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian tersebut disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin, dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan seusai supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah pelaksanaan supervisi dilaksanakan.

Kata kunci: mutu pendidikan, supervisi

pengajaran.

16

Page 17: Jurnal lengkap sekali

Cara hidup suatu bangsa sangal erat

kaitannya dengan tingkat pendidikannya,

Pendidikan bukan hanya sekedar

melestaiikan kebudayaan dan meneruskan

dari generasi ke generasi. Akan tetapi juga

diharapkan akan dapat mengubah dan

mengembangkan pengetahuan.

Sementara itu, salah satu fenomena di

bidang pendidikan yang banyak disoroti oleh

para pemerhati, cendekiawan maupun

masyarakat pada umumnya adalah masalah

mutu pendidikan. Membahas masalah mutu

pendidikan, sebenarnya membahas masalah

yang sangat kompleks. Oleh karena masalah

mutu pendidikan selalu kait-mengkait dengan

indikator-indikator lainnya. Salah satu

instrumen yang dianggap cukup efektif untuk

meningkatkan mutu pendidikan adalah

dengan supervisi pengajaran oleh Kepala

Sekolah maupun Pengawas.

Untuk itu perlu adanya pergeseran

dari paradigma lama menuju ke paradigma

yang baru. Paradigma baru manajemen

pendidikan tinggi, terdiri dari akreditasi,

akuntabilitas, evaluasi, otonomi dan mutu.

Kelima paradigma baru pendidikan tersebut

saling terkait satu sama lain dan seyogyanya

ini dijadikan acuan dalam proses

peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena

itu, mutu sebagai salah satu paradigma yang

harus ditata secara terus menerus dan

berkelanjutan. Menurut Mastuhu (2003)

dalam pengelolaan suatu unit pendidikan,

mutu dapat dilihat dari "masukan", "proses",

dan "hasil".

Permasalahan pendidikan yang

diidentifikasi (Depdikbud, 1983), sampai saat

ini, formulasinya tetap sama, yaitu masalah

(1) masalah kuantitatif, (2) masalah

kualitatif, (3) masalah relevansi, (4) masalah

efisiensi, (5) masalah efektivitas, dan (6)

masalah khusus.

Uraian secara singkat masalah-

masalah tersebut adalah sebagai berikut ini.

1. Masalah Kuantitatif

Masalah kuantitatif adalah masalah

yang timbul sebagai akibat hubungan antara

pertumbuhan sistem pendidikan pada satu

pihak dan pertumbuhan penduduk Indonesia

pada pihak lain. Untuk mengatasi masalah ini

perlu adanya suatu sistem pendidikan

nasional yang memungkinkan setiap warga

ncgara Indonesia memperoleh pendidikan

yang layak sebagai bekal dasar kehidupannya

sebagai warga negara. Dalam rangka

pemerataan pendidikan ini, perlu

dilaksanakan kewajiban belajar dengan

segala konsekuensinya dalam bidang

pembiayaan, ketenagaan, dan peralatan.

2. Masalah kualitatif

Masalah kualitatif adalah masalah

bagaimana peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia gara bangsa Indonesia

dapat meinpertahankan eksistcnsinya. Dalam

17

Page 18: Jurnal lengkap sekali

masalah ini tercakup pula masalah

ketinggalan bangsa Indonesia dan

perkembangan modern. Ditinjau dari latar

bclakang ini, masalah kualitas pendidikan

merupakan masalah yang memprihatinkan

dalam rangka kelangsungan hidup bangsa

dan negara. Dalam sistem pendidikan ini

sendiri, masalah kualitas menyangkut

banyak hal, antara lain kualitas calon

anak didik, guru dan tenaga kependidikan

lainnya, prasarana, dan sarana. Penanganan

aspek kualitatif ini berhubungan erat dengan

penanganan aspek kuantitatif sehingga perlu

sekali adanya keseimbangan yang dinamis

dalam proses pengembangan pendidikan

nasional, sehingga peningkatan kualitas tidak

sampai menghambat peningkatan kuantitas

dan sebaliknya.

3. Masalah relevansi

Masalah relevansi adalah masalah

yang timbul dari hubungan antara sistem

pendidikan dan pembangunan nasional serta

antara kepentingan perorangan, keluarga,

dan masyarakat, baik dalam jangka pendek

maupun dalam jangka panjang. Hal ini

meminta adanya keterpaduan di dalam

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

nasional agar pendidikan merupakan wahana

penunjang yang efektif bagi proses

pembangunan dan ketahanan nasional.

Masalah ini dengan sendirinya mempunyai

kaitan pula dengan masalah pokok di dalam

pembangunan nasional, seperti masalah tata

nilai, industri. pembangunan pertanian,

perencanaan tenaga kerja, dan pertumbuhan

wilayah.

4. Masalah efisiensi

Masalah efisiensi pada hakikatnya

adalah masalah pengelolaan pendidikan

nasional. Adanya keterbalasan dana dan daya

manusia sungguh-sungguh memerlukan

adanya sistem pengelolaan efisien dan

terpadu. Keterpaduan pengelolaan tidak

hanya tercermin di dalam hubungan antara

negeri dan swasta, antara pendidikan

sekolah dan pendidikan luar sekolah, antara

departemen yang satu dan departemen yang

lain, di dalam lingkungan jajaran Departemen

Pendidikan Nasional sendiri, tetapi juga di

antara semua unsur dan unit lersebut.

5. Masalah efektif itas

Masalah efektifitas adalah masalah

yang menyangkut keampuhan pelaksanaan

pendidikan nasional. Dalam hubungan

dengan permasalahan keseimbangan yang

dinamis antara kualitas dan kuantitas, di

samping keterbalasan sumber dana dan

tenaga, efektivitas proses pendidikan amat

penting. Hal ini berkaitan dengan kurikulum,

termasuk aspek metodologi dan evaluasi,

serta masalah guru, pengawas, dan masukan

instrumental lainnya.

6. Masalah khusus

Di samping masalah-masalah umum

yang telah dibicarakan di atas, perlu

18

Page 19: Jurnal lengkap sekali

dibicarakan pula beberapa masalah khusus

sebagai berikut. Guru sebagai pelaksana

pendidikan faktor kunci di dalam

pelaksanaan sistem pendidikan nasional.

Masalah guru menyangkut soal pengadaan di

lembaga-lembaga pendidikan guru,

pembinaan sistem karir dan prestasi kerja,

pengangkatan, pemerataan dan penyebaran

menurut wilayah dan bidang studi,

pembinaan karir dan prestasi, status, dan

kesejahteraan. Masalah yang kompleks ini

menyangkut banyak lembaga dan unit serta

koordinasi dan kerjasama antara lembaga

dan unit tersebut.

Esensi dari permasalahan-

permasalahan pendidikan pada hakekatnya

adalah bermuara pada satu istilah yaitu

kualitas pendidikan atau mutu pendidikan.

Mastuhu (2003) mengemukakan bahwa kata

kunci untuk menggambarkan Sistem

Pendidikan Nasional yang bagaimana yang

diperlukan dalam abad-abad mendatang

ialah pendidikan yang bermutu. Selanjutnya,

Mastuhu mengatakan bahwa mutu (quality)

merupakan suatu istilah yang dinamis yang

turus bergerak; jika bergerak maju dikatakan

mutunya bertambah baik, sebaliknya jika

bergerak mundur dikatakan mutunya

merosot. Mutu dapat berarti superiority

atau excellence yaitu melebihi standar

umum yang berlaku. Sedangkan sesuatu

dikatakan bermutu jika terdapat kecocokan

antara syarat-syarat yang dimiliki oleh benda

yang dikehendaki dengan maksud dari

orang yang menghendakinya (Idrus, dkk.,

2002).

Dalam pengelolaan suatu unit

pendidikan, mutu dapat dilihat dari: "ma-

sukan", "proses", dan "hasil". 'Masukan"

meliputi: siswa. Tenaga pengajar,

administrator, dana, sarana, prasarana,

kurikulum, buku-buku perpustakaan,

laboratorium, dan alat-alat pembelajaran,

baik perangkat keras maupun perangkat

lunak. "Proses" meliputi, pengelolaan

lembaga, pengelolaan program studi,

pengelolaan program studi. pengelolaan

kegiatan belajar-mengajar, interaksi

akademik antara civitas akademika, seminar

dialog, penelitian, wisata ilmiah, evaluasi dan

akreditasi. Sedangkan "hasil": meliputi

lulusan. penerbitan-penerbitan, temuan-

temuan ilmiah, dan hasil-hasil kinerja

lainnya.

Ketiga unsur di atas (input, proses,

dan output) terus berproses atau berubah-

ubah. Oleh karena itu, pengelola unit

pendidikan atau sekolah perlu menetapkan

patokan atau benchmark, yaitu standar

target yang harus dicapai dalam suatu

periode waktu tertentu dan terus berusaha

melampuinya. Seperti dikemukakan oleh

Watson (dalam Taroeratjeka, 2000) bahwa

suatu upaya pencarian mutu secara terus-

menerus demi mendapatkan cara kerja yang

19

Page 20: Jurnal lengkap sekali

lebih baik agar mampu tampil bersaing

melampui standar umum.

Menurut Supriadi (2000) kita tidak

perlu dipusingkan oleh pertanyaan-

pertanyaan mengenai validitas

metodologisnya atau berusaha mencari

excuse apabila ternyata ada hasil-hasil studi

yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sikap

optimis perlu untuk dikembangkan bagi

pendidikan di Indonesia, walaupun hasil

surveinya tidak menyenangkan sesuai dengan

yang diharapkan. langkah selanjutnya

membuat visi ke depan untuk meningkatkan

kualitas manajemen pendidikan.

Suatu saran yang dikemukakan oleh

Supriadi dalam menghadapi permasalahan

rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia

adalah memiliki visi global dan kehendak

untuk bersaing secara internasional, maka

insan pendidikan mulai para pengajar dan

peneliti di lembaga pendidikan tenaga

kependidikan di perguruan tinggi dan

pengambil keputusan dituntut untuk

membuka wacana terhadap studi-studi

internasional.

KONSEP DASAK SUPERVISI PENGAJARAIN DI

SEKOLAH

Di antara masalah-masalah pendidikan

yang sedang mendapat pcrhatian pemerintuh

salah salunya adalah puningkatan mutu

pendidikan (Benly, IW2). Dalam PROPENAS

(2002) dijelaskan bahwa sampai dengan awal

abad ke-21 pembangunan pendidikan masih

menghadapi krisis ekonomi berbagai

bidang kcliidupan. Walaupun sejak tahun

2000, ekonomi Indonesia telah mulai tumbuh

positif (4,8 persen), akibat krisis dalam

kehidupan sosial, politik dan kepercayaan

dikawatirkan masih akan memberi yang

kurang menguntungkan terutama bagi upaya

peningkatan kualitas SDM. Program

peningkatan mutu pendidikan di sekolah

dasar dapat dicapai manakala proses belajar

mengajar dapat berlangsung dengan baik.

berdayaguna dan berhasil guna.

Dalam mengkaji risalah mutu

pendidikan, tidak dapat lepas dari

penyelenggaraan sistem pendidikan. Dari

berbagai faktor penyebab rendahnya mutu

pendidikan, ditinjau dari aspek manajemen

pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam

tiga faktor, yaitu: (a) faktor instrumental

sistem pendidikan, (b) faktor sistem

manajemen pendidikan, termasuk di

dalamnya sistem pembinaan profesional

guru, dan (c) faktor substansi manajemen

pendidikan (Mantja, 1998). Untuk dapat

melaksanakan pembinaan terhadap guru agar

lebih profesional, maka instrumen yang

sangat relevan dan tepat adalah dengan

melalui supervisi pengajaran. Oleh karena

supervisi pengajaran pada hakikatnya adalah

untuk meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam melaksanakan

tugas pokoknya sehari-hari yaitu mengajar

para peserta didik di kelas.

20

Page 21: Jurnal lengkap sekali

Dari berbagai kajian mengenai

rumusan definisi mengenai supervisi, Mantja

(1998) menuliskan formulasi tentang

supervisi pengajaran adalah semua usaha

yang sifatnya membantu guru atau melayani

guru agar ia dapat memperbaiki,

mengembangkan, dan bahkan meningkatkan

pengajarannya, serta dapat pula

menyediakan kondisi belajar murid yang

efek'if dan efisien demi pertumbuhan

jabatannya untuk mencapai tujuan

pendidikan dan meningkatkan mutu

pendidikan. Definisi yang dirumuskan oleh

Mantja ini sudah mewakili konsep supervisi

pengajaran.

Apabila dikaji dari tujuannya supervisi

pada hakikatnya adalah untuk membantu

guru untuk meningkatkan kualitas proses

belajar mengajarnya. Harsosandjojo (1999)

mengemukakan tujuan supervisi yaitu

membantu guru dalam hal (1) membimbing

pengalaman belajar sisvva, (2) menggunakan

sumber-sumber pengalaman belajar, (3)

menggunakan metode-metode yang baru dan

alat-alal pelajaran modern, (4) memenuhi

kebutuhan belajar para siswa, (5) menilai

proses pembelajaran dan hasil belajar siswa,

(6) mcmbina reaksi mental atau moral kerja

guru-guru dalam rangka pertumbuhan

pribadi dan jabatan mereka, (7) melihat

dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan, dan

(8) mengguaakan waktu dan tenaga mereka

dalam pembinaan sekolah. Tujuan supervisi

ini pada akhirnya adalah ditujukan untuk

meningkatkan kualitas para siswa. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Sergiovanni

(1983) bahwa tujuan supervisi ialah (1)

tujuan akhir adalah untuk mencapai

pertumbuhan dan perkembangan para siswa

(yang bersifat total). Dengan demikian

sekaligus akan dapat memperbaiki

masyarakat, (2) tujuan kedua ialah

membantu kepala sekolah dalam

menyesuaikan program pendidikan dari

waktu ke waktu secara kontinyu (dalam

rangka menghadapi tantangan perubahan

zaman), (3) tujuan dekat ialah bekerjasama

mengembangkan proses belajar mengajar

yang tepat. Tujuan tersebut ditambah

dengan (4) tujuan perantara ialah membina

guru-guru agar dapat mendidik para siswa

dengan baik, atau menegakkan disiplin kerja

secara manusiawi.

Dalam kaitannya dengan tugas-tugas

supervisor, secara lebih khusus Nurtain

(1989) membagi 10 (sepuluh) bidang tugas

supervisor yang dirinci sebagai berikut ini.

Tugas I , pengembangan kurikulum. Tugas 2,

pengorganisasian pengajaran. Tujuan 3,

pengadaan staf. Tugas 4, penyediaan

fasilitas. Tugas 5, pcnycdiaan bahan-bahan.

Tugas 6, penyusunan penataran pendidikan.

Tugas 7, pemberian orientasi anggota-

anggota staf. Tugas 8, berkaitan dengan

pelayanan murid khusus. Tugas 9,

pengembangan hubungan masyarakat. Dan

21

Page 22: Jurnal lengkap sekali

yang terakhir tugas 10, penilaian

pengajaran.

Mengkaji tugas-tugas supervisi

pengajaran tersebut di atas, dapat ditelaah

dari tujuan supervisi pengajaran itu sendiri.

Sesuai dengan fungsi pokok supervisi, yaitu

memperbaiki dan mengembangkan situasi

belajar mengajar dalam rangka mencapai

tujuan pendidikan nasional, maka tujuan

supervisi pendidikan mencakup tujuan dasar,

tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan dasar supervisi pendidikan,

adalah membantu tercapainya tujuan

pendidikan nasional dan tujuan pendidikan

institusional. Tujuan pendidikan nasional

secara rinci dan jelas dirumuskan dalam

GBHN. Sedangkan tujuan institusional dapat

dilihat di dalam kurikulum yang memuat

landasan, program dan pengembangan.

Tujuan umum supervisi pendidikan,

adalah membantu memperbaiki dan

mengembangkan administrasi pendidikan.

Administrasi yang dimaksud adalah meliputi

baik administrasi sebagai substansi maupun

administrasi sebagai proses.

Administrasi sebagai substansi

meliputi hal-hal sebagai berikut: (1)

administrasi kesiswaan, (2) administrasi

ketenagaan, (3) administrasi kurikulum, (4)

administrasi keuangan, (5) administrasi

sarana/prasarana, dan (6) administrasi

hubungan masyarakat. Sedangkan

administrasi sebagai proses meliputi hal-hal

terkait dengan unsur-unsur manajemen,

antara lain (1) kegiatan perencanaan

(planning), (2) kegiatan pengorganisasian

(organizing), (3) kegiatan pengarahan

(actuating) yang meliputi kegiatan

pengarahan (directing) dan kegiatan

pengkoordinasian (coordinating), dan (4)

kegiatan pengawasan (controlling).

Berdasarkan uraian tersebut di atas,

dapat dikemukakan bahwa untuk

meningkatkan kualitas belajar mengajar,

guru adalah faktor sentral yang perlu

mendapatkan perhatian secara optimal.

Media untuk meningkatkan profesionalisme

guru adalah melalui supervisi pengajaran.

Supervisi pengajaran pada hakikatnya adalah

ditujukan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran yang dilakukan oleh guru di

kelas, sehingga tujuan akhirnya adalah

kualitas hash belajar siswa dapat

ditingkatkan secara optimal.

SUPERVISI PENGAJARAN

Dalam pemakaiannya secara umum

supervisi diberi arti sama dengan director,

manager. Dalam bahasa umum ini ada

kecenderungan untuk membatasi pemakaian

istilah supervisor kepada orang-orang yang

berada dalam kedudukan yang lebih bawah

dalam hicrarkhi manajemen.

Dalam sistem sekolah, khususnya

dalam sistem sckolah yang ialah berkembang,

situasinya agak lain. Dalam Good (1976)

22

Page 23: Jurnal lengkap sekali

supervisi didefinisikan sebagai segala usaha

dari para pejabat sekolah yang diangkat yang

diarahkan kepada penyediaan kepemimpinan

bagi para guru dan tenaga kependidikan lain

dalam perbaikan pengajaran, melihat

stimulasi pertumbuhan professional dan

perkembangan dari para guru, seleksi dan

revisi tujuan-tujuan peudidikan, bahan

pengajaran, dan metoda-metoda mengajar,

dan evaluasi pengajaran.

Wiles (1982) menjelaskan bahwa supervisi

sebagai bantuan dalam pengembangan

situasi belajar-mengajar yang lebih baik; ia

adalah suatu kegiatan pelajaran yang

disediakan untuk membantu para guru

menjalankan pekerjaan mereka dengan lebih

baik. Peranan supervisor adalah mendukung,

membantu, dan membagi, bukan menyuruh.

Wiles (1982) selanjutnya mengatakan bahwa

supervisi yang baik hendaknya

mengembangkan kepemimpinan di dalam

kelompok, membangun program latihan

dalam jabatan untuk meningkatkan

keterampilan guru, dan membantu guru

meningkatkan kemampuannya dalam menilai

hasil pekerjaannya.

SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI

PEMBINAAN PROFESIONAL GURU

Memperhatikan penting dan

peranannya pendidikan dasar dan menengah

yang demikian besar, maka pendidikan dasar

dan menengah harus dipersiapkan dengan

sebaik-baiknya. Oleh karena itu,

pembinaan terhadap para guru di sekolah

dasar merupakan suatu kebutuhan yang tidak

dapat ditunda-tunda lagi. Pembinaan

terhadap guru sekolah dasar, terutama

diarahkan pada pembinaan proses belajar

mengajar. Pembinaan proses belajar

mengajar adalah usaha memberi bantuan

pada guru untuk memperluas pengetahuan,

meningkatkan keterampilan mengajar dan

menumbuhkan sikap profesional, schingga

guru menjadi lebih ahli dalam mengelola

KBM untuk membclajarkan anak didik dalam

rangka mencapai tujuan pembelajaran dan

tujuan pendidikan di SD (Depdikbud,

1999/2000).

Supervisi pendidikan di sekolah dasar

lebih diarahkan untuk meningkatkan

kemampuan guru sekolah dasar dalam

rangka peningkatan kualitas proses belajar

mengajar. Supervisi ini dapat dilakukan oleh

siapa saja, baik Kepala Sekolah maupun

Pengawas Sekolah yang bertugas sebagai

supervisor melalui pemberian bantuan yang

bercorak pelayanan dan bimbingan

profesional, sehingga guru dapat

melaksanakan tugasnya dalam proses belajar

mengajar dengan lebih baik dari prestasi

sebelumnya.

Supervisi pendidikan di sekolah pada

hakekatnya adalah dalam rangka

pembinaan terhadap para guru. Adapun

sasaran pembinaannya, antara lain (1)

23

Page 24: Jurnal lengkap sekali

merencanakan kegiatan belajar mengajar

sesuai dengan strategi belajar aktif, (2)

mengelola kegiatan belajar mengajar

yang menantang dan menarik, (3) menilai

kemajuan anak belajar, (4) memberikan

umpan balik yang bermakna, (5)

memanfaatkan l ingkungan sebagai

sumber dan media pengajaran, (6)

membimbing dan melayani siswa yang

mengalami kesulitan belajar, terutama

bagi anak lamban dan anak pandai, (7)

mengelola kelas sehingga tercipta

l ingkungan belajar yang menyenangkan,

dan (8) menyusun dan mengelola catatan

kemajuan anak (record keeping)

(Depdikbud, 1999/2000).

Menurut Mantja (1990) supervisi

atau pembinaan profesional adalah

bantuan atau layanan yang diberikan

kepada guru, agar ia belajar bagaimana

mengembangkan kemampuannya untuk

meningkatkan proses belajar-mengajar di

kelas. Supervisor atau pembina, yaitu

Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, atau

semua pejabat yang terl ibat dalam

layanan supervisi , adalah pihak yang

selama ini dipandang berwewenang, dan

karena itu pula dianggap paling

bertanggung jawab dalam kegiatan

supervisi.

Ki las balik kaji historis supervisi

pengajaran, pada awalnya isti lah yang

dimunculkan adalah supervisi pendidikan

(Kurikulum 1975). Kemudian. pada

Kurikulum 1984 dan 1994 digunakan

isti lah pembinaan profesional guiu atau

pembinaan guru untuk jenjang sekolah

dasar. Walaupun demikian isti lah

supervisi pendidikan dalam Kurikulum

SMU 1994 masih tetap digunakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kegiatan supervisi pendidikan

maupun pembinaan profesional

merupakan nama layanan yang digunakan

secara bergantian dalam praktik

pendidikan pada sekolah-sekolah di

Indonesia.

Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa supervisi

(pembinaan profesional guru )

dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari

yaitu mengelola proses belajar-mengajar

dengan segala aspek pendukungnya

sehingga berjalan dengan baik khususnya

dalam kegiatan belajar mengajar,

sehingga tujuan pendidikan dasar dapat

tercapai secara optimal.

Pada hakikatnya kegiatan

pembinaan menyangkut dua belah pihak

yaitu pihak yang dilayani atau pihak yang

dibina dan pihak yang melayani atau yang

membina (Ekosusilo, 2003). Baik yang

dibina maupun pembina harus sama-sama

memiliki kemampuan yang berkembang

24

Page 25: Jurnal lengkap sekali

secara serasi sesuai dengan kedudukan

dan peran masing-masing. Oleh sebab itu,

sasaran pembinaan profesional ini adalah

kedua belah pihak yaitu guru sebagai

pihak yang dibina dan kepala sekolah

atau pengawas sekolah sebagai pihak

yang membina.

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM SUPERVISI

PENDIDIKAN

Secara garis besar ada tiga

pendekatan dalam supervisi pendidikan,

yaitu (1) pendekatan langsung (directive

approach), (2) pendekatan tidak langsung

(non directive approach), dan (3)

pendekatan kolaboratif (collaborative

approach). Pendekatan langsung adalah

sebuah pendekatan supervisi , di mana

dalam upaya peningkatan kemampuan

guru peran kepala sekolah dasar,

pengawas TK/SD, dan pembina lainnya

lebih besar dari pada peran guru yang

bersangkutan. Pendekatan tidak langsung

adalah sebuah pendekatan supervisi , di

mana dalam upaya peningkatan

kemampuan guru peran kepala sekolah,

pengawas TK/SD, dan Pembina lainnya

lebih kecil daripada peran guru yang

bersangkutan. Pendekatan kolaboratif

adalah sebuah pendekatan supervisi , di

mana dalam upaya peningkatan

kemampuan guru peran kepala sekolah,

pengawas TK/SD, dan pembina lainnya

sama besarnya dengan peran guru yang

bersangkutan.

Penggunaan pendekatan tersebut

disesuaikan dengan dua karakteristik

guru yang akan diberi supervisi , yaitu

tingkat abstraksi guru (level of teacher

abstraction) dan tingkat komitmen guru

(level of teacher commitment). Daya

abstraksi guru bisa tinggi, sedang, dan

bisa juga rendah. Demikian pula dengan

komitmen guru bisa tinggi, sedang, dan

rendah. Pendekatan supervisi yang

digunakan harus disesuaikan dengan

tinggi-rendahnya daya abstraksi dan

komitmen guru yang disupervisi .

1. Guru yang memiliki daya abstraksi dan

komitmm yang rendah sebaiknya

disupervisi dengan pendekatan

langsung.

2. Guru yang memiliki daya abstraksi

yang rendah, tetapi komitmennya

tinggi, sebaiknya disupervisi dengan

pendekatan kolaboiatif.

3. Guru yang memiliki daya abstraksi

yang tinggi tetapi komitmennya

rendah, sebaiknya disupervisi dengan

pendekatan kolaboratif.

4. Guru yang memiliki daya abstraksi dan

komitmen yang tinggi sebaiknya

disupervisi dengan pendekatan tidak

langsung (Bafadal, 2003).

TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI

25

Page 26: Jurnal lengkap sekali

Bagaimana Kepala Sekolah dalam

mensupervisi para guru ?. Dalam konteks

ini, maka Kepala Sekolah perlu mengenal

dan mempraktekkan teknik-teknik

supervisi pendidikan yang lazim

digunakan dalam pelaksanaan supervisi

pengajaran. Ada tersedia sejumlah teknik

supervisi yang dipandang bermanlaat

untuk merangsang dan mengarahkan

perhatian guru-guru terhadap kurikulum

dan pengajaran, untuk mengidentif ikasi

masalah-masalah yang bertalian dengan

mengajar dan belajar, dan untuk

menganalisis kondisi-kondisi yang

mengeli l ingi mengajar dan belajar. Yang

berikut ini pada umumnya dipandang

teknik yang paling bermanfaat bagi

supervisi.

1. Kunjungan kolas.

Kunjungan kelas (sering disebut

kunjungan supervisi) yang dilakukan

kepala sekolah (atau pengawas/penil ik)

adalah teknik paling efektif untuk

mengamati guru bekerja, alat, metode,

dan teknik mengajar tertentu yang

dipakainya, dan untuk mem-pelajari

situasi belajar secara keseluruhan dengan

memperhatikan semua faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan murid.

Dengan menggunakan hasil analisis

observasinya, ia bersama dengan guru

dapat menyusun suatu program yang baik

untuk memperbaiki kondisi yang

melingkari mengajar-belajar d i kelas

tertentu. Sudan tentu, kunjungan kelas,

agar efektif, hendaknya dipersiapkan

dengan telit i dan dilaksanakan dengan

sangat berhati-hati dengan disertai budi

bahasa yang baik pula.

Pada umumnya kunjungan kelas hendaknya

diikuti oleh pembicaraan individual antara

kepada sekolah dengan guru.

2. Pembicaraan individual

Pembicaraan individual merupakan

teknik supervisi yang sangat penting karena

kesempatan yang diciptakannya bagi kepala

sekolah (pengawas/penilik) untuk bekerja

secara individual dengan guru sehubungan

dengan masalah-masalah profesional

pribadinya. Masalah-masalah yang mungkin

dipecahkan melalui pembicaraan individual

bisa macam-macam: masalah-masalah yang

bertalian dengan mengajar, dengan

kebutuhan yang dirasakan oleh guru, dengan

pilihan dan pemakaian alat pengajaran,

teknik dan prosedur, atau bahkan masalah-

masalah yang oleh kepala sekolah dipandang

perlu untuk dimintakan pendapat guru.

Apapun yang dijadikan pokok pembicaraan,

ia mewakili teknik yang sangat baik untuk

membantu guru mengembangkan arah diri

dan tumbuh dalam pekerjaan.

3. Diskusi Kclompok

26

Page 27: Jurnal lengkap sekali

Dengan diskusi kelompok (atau sering

pula disebut pertemuan kelompok) dimaksud

sualu kegiatan dimana sekelompok orang

berkumpul dalam situasi bcrlatap muka dan

melalui interaksi lisan bertukar informasi

atau berusaha untuk mencapai suatu

keputusan tentang masalah-masalah

bersama. Kegiatan diskusi ini dapal

mengambil beberapa bentuk pertemuan staf

pengajar, seperti: diskusi panel, seminar,

lokakarya, konperensi, kelompok studi,

pekerjaan komisi, dan kegiatan lain yang

bertujuan untuk bersama-sama

membicarakan dan menilai masalah-masalah

tentang pendidikan dan pengajaran.

Pertemuan-pertemuan serupa ini dipadang

suatu kegiatan yang begitu penting dalam

program supervisi modern, sehingga guru

sebenarnya hidup dalam suasana pelbagai

jenis pertemuan kelompok.

4. Demonstrasi mengajar

Demonstrasi mengajar merupakan

teknik yang berharga pula. Rencana

demonstrasi yang telah disusun dengan teliti

dan dicetak lebih dulu, dengan menekankan

pada hal-hal yang dianggap penting atau

pada nilai teknik mengajar

tertentu, akan sangat membantu.

Pembicaraan sehabis demonstrasi bisa

menjelaskan banyak aspek. Suatu analisis

observasi adalah perlu.

5. Kunjungan kelas antar guru

Sejumlah studi telah mengungkapkan

bahwa kunjungan kelas yang dilakukan guru-

guru di antara mereka sendiri adalah efektif

dan disukai. Kunjungan ini biasanya

direncanakan atas permintaan guru-guru.

Teknik ini akan lebih efektif lagi jika tiap

observasi diikuti oleh suatu analisis yang

berhati-hati.

6. Pengembangan kurikulum

Perencanaan penyesuaian dan

pengembangan kurikulum menyediakan

kesempatan yang sangat baik bagi partisipasi

guru. Pentingnya relevansi kurikulum dengan

kebutuhan murid dan masyarakat bagi

pemeliharaan dan peningkatan kualitas

pendidikan di negara kita diakui. Tetapi

dalam prakteknya, sekolah-sekolah secara

individual tidak banyak melakukan usaha

untuk menyesuaikan dan mengembangkan

kurikulum standar itu dengan kebutuhan

murid dan masyarakat terus berubah.

Terserah kepada kepala sekolah untuk

menciptakan perhatian dan keinginan bagi

pekerjaan penting dan terus-menerus itu.

Penyesuaian dan pengembangan kurikulum

dilakukan di sekolah dengan

mengembangkan materi muatan lokal.

Muatan lokal ini sesuai dengan potensi

lingkungan sekitar sekolah.

6. Buletin supervisi

Buletin supervisi merupakan alat

komunikasi yang efektif. Ia bisa berisi

27

Page 28: Jurnal lengkap sekali

pengumuman-pengumuman, ikhtisar tentang

penelitian-penelitian, analisis presentasi

dalam pertemuan-pertemuan organisasi

professional, dan perkembangan dalam

berbagai bidang studi.

7. Perpustakaan Profesional

Perpustakaan professional sekolah

merupakan sumber informasi yang sangat

membantu kepada peitumbuhan professional

personil pengajar di sekolah. Perpustakaan

professional menyediakan tidak saja suatu

sumber informasi, tapi ia juga suatu

rangsangan bagi kepuasan pribadi. Buku-

buku tentang pandangan professional,

bacaan suplementer yang lebih baru, dan

majalah professional yang banyak jumlah-nya

itu hendaknya tersedia bagi semua guru. Juga

sumbangan-sumbangan dari guru dapat

menjadi bagian dari "gudang" informasi ini.

8. Lokakarya

Lokakarya menyediakan kesempatan

untuk Kerjasama, untuk memperteukan ide-

ide, untuk mendiskusikan masalah-masalah

bersama alau khuais, dan untuk

pertumbuhan pribadi dan professional dalam

berbagai bidang studi. Ada banyak jenis

lokakarya itu. Dalam lokakarya seni,

barangkali sebagian bcsar waktu akan diisi

dengan partisipasi sungguh dengan

mempelajari keterampilan dan teknik-teknik

kegiatan scni. Dalam lokakarya matematika

lebih banyak tckanan mungkin diberikan

kepada menganalisis dan memilih

pengalaman belajar yang sesuai, menemukan

bahan teknologi pengajaran dan metode-

metode presentasi ini, dan menilai program-

program baru.

9. Survey sekolah-masyarakat

Suatu studi yang komprehensif

tentang masyarakat akan membantu guru

dan kepala sekolah untuk memahami dengan

lebih jelas program sekolah yang akan

memenuhi kebutuhan dan kepentingan

murid.

Sebenarnya ada teknik-teknik lain,

tetapi yang diterapkan di atas dengan singkat

adalah teknik-teknik yang dalam sejumlah

penelitian dipandang telah menunjukkan

manfaatnya bagi supervisi. Untuk

pembahasan yang lebih terurai pembaca

disarankan untuk membaca sumber-sumber

lain.

Pada hakekatnya tidak ada satu teknik

tunggal yang bisa memenuhi segala ke-

butuhan; dan bahwa sualu teknik tidaklah

baik alau buruk pada umumnya, melainkan

dalam kondisi tertentu. Masalah yang utama

adalah menetapkan kebutuhan. Beberapa

teknik hubungan antara sekolah dengan

masyarakat yang diperkenalkan oleh

Sahertian (1989) antara lain adalah seperti:

(1) laporan kepada orang tua murid, (2)

majalah sekolah, (3) surat kabar sekolah, (4)

pameran sekolah, (5) open house, (6)

28

Page 29: Jurnal lengkap sekali

kunjungan ke sekolah, (7) kunjungan ke

rumah murid, (8) melalui penjelasan yang

diberikan oleh personil sekolah, (9)

gambaran keadaan sekolah melalui

murid-murid, (10) melalui radio dan

televisi , (11) laporan tahunan, (12)

organisasi perkumpulan alumni sekolah,

(13) melalui kegiatan ekstra kurikulum,

dan (14) pendekatan secara akrab.

RESPON DAN SIKAP GURU TERHADAP

SUPERVISI PENGAJARAN

Kajian tentang sikap guru terhadap

supervisi menjadi perhatian Neagley &

Evans (dalam Mantja, 1998) dengan

merujuk sejumlah hasil penelit ian

beberapa pakar supervisi pengajaran.

Temuan-temuan yang dilaporkan, antara

lain (1) supervisi yang efektif harus

didasarkan atas prinsip-prinsip yang

sesuai dengan perubahan sosial dan

dinamika kelompok, (2) para guru

menghendaki supervisi dari kepala

sekolah, sebagaimana yang seharusnya

dikerjakan oleh tenaga personel yang

berjabatan supervisor, (3) kepala sekolah

tidak melakukan supervisi dengan baik,

(4) semua guru membutuhkan supervisi

dan mengharapkan untuk disupervisi , (5)

para guru lebih menghargai dan menilai

secara positif peri laku supervisi yang

"hangat", sal ing mempercayai,

bersahabat, dan menghargai guru, (6)

supervisi dianggap bermanfaat bi la

direncanakan dengan baik, supervisor

menunjukkan sifat membantu dan

menyediakan model-model pengajaran

yang efektif, (7) supervisor memberikan

peran serta yang cukup tinggi kepada

guru untuk pengambilan keputusan dalam

wawancara supervisi , (8) supervisor

mengutamakan pengembangan

keterampilan hubungan insani, seperti

halnya dengan keterampilan teknis dan

(9) supervisor seharusnya menciptakan

ikl im organisasional yang terbuka, yang

memungkinkan pemantapan hubungan

yang saling menunjang (supportive).

Dalam praktiknya supervisi

pengajaran yang dilaksanakan selama ini

masih cenderung berorientasi pada

administratif saja. Walaupun sudah

dirumuskan dalam kegiatan supervisi

bahwa aspek yang disupervisi adalah

administratif dan edukatif, namun pada

kenyataannya masih cenderung lebih

dominan aspek administratif. Fenomena

ini dikaji secara khusus dalam Konferensi

Pendidikan di Indonesia: Mengatasi Krisis

Menuju Pembaruan, yang diikuti para

pakar yang kompclen. Salal i satu

rekomendasi dari konferensi ini, khusu'snya

yang berkaitan langsung dengan masalah

supervisi dikemukakan sebagai berikut ini.

Rekomendasi 23

29

Page 30: Jurnal lengkap sekali

Fungsi-fungsi pengawasan pada semua

jenjang pendidikan dioptimalkan seba-

gai sarana untuk memacu mutu

pendidikan. Pengawasan dimaksud

dengan mengutamakan aspek-aspek

akademik daripada administratif

sebagaimana berlaku selama ini (Jalal

& Supriadi, 2001).

Keefektifan penerapan orientasi dan

pendekptan supervisi di atas, tidak hanya

tergangung pada supervisor saja, melainkan

juga sangat dipengaruhi oleh persepsi,

respon, dan sikap guru terhadap orientasi

dan supervisi yang dilakukan oleh supervisor.

Penelitian mengenai sikap guru terhadap

supervisi dikemukakan oleh Ekosusilo (2003)

bahwa guru tidak terlalu positif terhadap

supervisi yang dilakukan supervisor.

Selanjutnya dikemukakan oleh Ekosusilo

dalam simpulan penelitiannya bahwa

supervisi yang dilakukan supervisor dianggap

biasa-biasa saja dan monoton itu-itu saja,

bahkan nampak diacuhkan. Namun guru

tidak menampakkan ketidak-setujuannya di

hadapan supervisor, karena dilandasi rasa

hormat sekaligus tidak ingin menimbulkan

konflik. Penelitian yang dilakukan Mantja

(1989) juga menyimpulkan bahwa respon dan

sikap guru terhadap supervisi ditentukan

oleh kemanfaatan, data pengamatan yang

obyektif, kesempatan menanggapi balikan,

perhatian supervisor terhadap gagasan guru.

Supervisi yang teratur dan hubungan yang

diciptakan dapal mengurangi ketegangan

emosional guru. Guru lebih menyukai

pendekatan supervisi kolaboratif atau non

direktif.

KENDALA-KENDALA PELAKSANAAN SUPERVISI

PENGAJARAN

Dalam pelaksanaannya, supervisi

pengajaran di sekolah banyak menghadapi

kendala. Mantja (1990) dalam temuan

disertasinya meuyalakan bahwa kendala-

kendala yang kurang menunjang keefektifan

supervisi, antara lain: sikap personil sekolah

yang kurang positif terhadap supervisi

pengelola teknis edukatif; kurangnya

keterampilan supervisi kepala sekolah;

pengendalian emosional supervisor dalam

menerima respons guru; kepala sekolah yang

karena kurangnya tenaga guru haras

memegang kelas atau bidang studi tertentu,

sehingga supervisi menjadi kurang efektif;

dan adanya guru yang tingkat pendidikannya

lebih tinggi dari kepala sekolahnya. Temuan

Mantja ini, nampaknya mempunyai kadar

transferabilitas yang cukup tinggi, karena

kendala-kendala di jenjang pendidikan dasar

berkisar pada permasalahan-permasalahan

temuan tersebut di atas. Isvanto (1999)

mengemukakan bahwa permasalahan

pendidikan, antara lain adalah manajemen

sekolah yang tidak efektif, dan kemampuan

manajemen kepala sekolah pada umumnya

rendah terutama di sekolah negeri dan

30

Page 31: Jurnal lengkap sekali

pembinaan karier dan kesejahteraan guru

yang tidak konsisten.

Mengkaji perihal kendala-kendala

dalam pelaksanaan supervisi, temuan

Ekosusilo (2003) menarik untuk dikemukakan

di sink Temuan penelitian Ekosusilo tentang

pelaksanaan supervisi antara lain: (1)

supervisor tidak mengkomunikasikan

rencana/program supervisinya kepada para

guru sebagai subyek supervisi, (2) fokus

supervisi hanya terarah pada aspek

administrasi, kurang menyentuh pada

pengembangan kemampuan guru dalam

mengelola proses belajar mengajar, (3)

supervisor tidak melaksanakan kunjungan

kelas secara serius, (4) supervisor

mendominasi pembicaraan dan berjalan satu

arah, (5) tidak ada penilaian umpan balik,

dan (6) supervisor tidak pernah meminta

pada guru untuk meminta pada guru untuk

memberikan komentar maupun penilaian

terhadap supervisi yang telah dilaksanakan.

Kendala-kendala inilah yang mengakibatkan

supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh

Pengawas Sekolah di sekolah dasar tidak

dapat optimal, sehingga tujuan pokok

pelaksanaan supervisi untuk meningkatkan

kualitas kegiatan belajar mengajar tidak

dapat tercapai. Temuan Ekosusilo (2003) ini

memberikan gambaran bahwa pembinaan

profesional guru masih perlu ditingkatkan

lebih lanjut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan uraian tentang

peningkatan mutu pendidikan melalui

supervisi pengajaran di atas, maka dapatlah

disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1)

masalah-masalah dalam bidang pendidikan

adalah (a) masalah kuantitatif, (b) masalah

kualitatif, (e) masalah relevansi, (d) masalah

efisiensi, (e) masalah efektivitas, dan (f)

masalah khusus; (2) supervisi pengajaran

pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari

yaitu mengajar para peserta didik di kelas;

(3) supervisor atau pembina, yaitu Pengawas

Sekolah, Kepala Sekolah, atau semua pejabat

yang terlibat dalam layanan supervisi, adalah

pihak yang dianggap paling bertanggung

jawab dalam kegiatan supervisi; (4) ada tiga

pendekatan dalam supervisi pengajaran,

yaitu (a) pendekatan langsung, (b)

pendekatan tidak langsung, dan (c)

pendekatan kolaboratif; (5) teknik-teknik

supervisi pendidikan yang paling bermanfaat

bagi supervisi antara lain adalah: (a)

kunjungan kelas, (b) pembicaraan individual,

(c) diskusi kelompok, (d) demonstrasi

mengajar, (e) kunjungan kelas antar guru, (1)

pengembangan kurikulum, (g) bulletin

supervisi, (h) perpustakaan profcsioml, (i)

lokakarya, (j) survey sekolah-masyarakat; (6)

para guru lebih menghargai dan menilai

31

Page 32: Jurnal lengkap sekali

secara positif perilaku supervisi yang

"hangat", saling mempercayai, bersahabat,

dan menghargai guru; dan (7) dalam

praktiknya supervisi pengajaran yang

dilaksanakan selama ini masih cenderung

berorientasi pada administratif saja.

Saran-saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka

dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai

berikut: (1) untuk meningkatkan kemampuan

supervisor, maka perlu secara rutin ada

program penyegaran bagi para supervisor,

sehingga dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tujuau supervisi dan sesuai

dengan keinginan para guru; (2) arah

supervisi perlu difokuskan/ditekankan

kepada aspek akademik tanpa mengabaikan

faktor administratif sebagai pelengkap

pelaksanaan supervisi tcrhadap para guru di

sekolah; (3) dalam pelaksanaan supervisi di

sekolah, para supervisor perlu membekali

format dokumen yang dapat merekam dan

mencatat kegiatan guru dalam melaksanakan

tugas-tugasnya di sekolah; (4) dalam

melaksanakan supervisi pengajaran

disarankan untuk menggunakan prosedur

supervisi klinis, dan (5) perlu ada pertemuan

sesuai supervisi untuk mendiskusikan hasil

supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala

Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai

upaya tindak lanjut setelah pelaksanaan

supervisi dilaksanakan.

32

Page 33: Jurnal lengkap sekali

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi' la Sekolah Dasar Membantu Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru-Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang.

Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran Buku II I D Pedoman Administrasi dan Supervisi . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi . Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1995. Pedoman Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Ekosusilo, M. 2003. I iasi l Penelit ian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press.

Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3-Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education.

Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tseptual-historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21 s' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister

33

Page 34: Jurnal lengkap sekali

Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII).

Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA(EDUCATION FOR ALL)

DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN

Soesetijo *)

ata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat

mengembangkan potensi dirinya melalui proses

pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui

oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan

bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan,

dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerin-tah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menan-datangani “Education for All”. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS

34

Page 35: Jurnal lengkap sekali

pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-

undang. Untuk itu, seluruh komponen

*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.

bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa

yang merupakan salah satu tujuan negara

Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu Negara

yang menandatangi deklarasi “Education for All”.

Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga

sebagai wujud keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka Indonesia telah

mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun

1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada tahun

1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9

Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan

anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat

menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar

(SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat

menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga

halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9

Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15

tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.

Dalam lingkungan masyarakat Indonesia

yang pluralistis di mana setiap anak yang

mengalami berbagai jenis kebudayaan

diharapkan belajar beradaptasi terhadap

kebudayaan utama Indonesia (mainstream

culture), upaya pendekatan belajar bagi setiap

anak harus lebih banyak dikaji secara mendalam

sesuai dengan perkembangan dan tuntutan

zaman dan sesuai dengan kebutuhan

perkembangan anak (Developmentally

Appropriate Practice, DAP). Sejak kemerdekaan

bangsa ini maka telah disebutkan dalam UUD

1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap anak Indonesia

berhak untuk belajar. UUD ini dilandasi oleh

filsafat yang serasi dengan hak asasi manusia

yang menjaga kedaulatan manusia yang memiliki

hak untuk belajar.

Berbagai program yang diarahkan untuk

mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib

Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan

secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan

hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di

berbagai Negara adalah mengenai anak-anak

yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak

dapat menyelesaikan pendidikan SD, sehingga

mereka ini menjadi warga Negara yang buta

aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang

terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan

SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke

dalam kelompok tenaga kerja kasar.

Konsep Pendidikan untuk Semua (PUS)

Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua

dan Semua untuk Pendidikan” adalah

mengupayakan agar setiap warga Negara dapat

memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib

Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan

“Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk

Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik

35

Page 36: Jurnal lengkap sekali

pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial

kemasyarakatan, maupun warga Negara secara

individual, secara bersama-sama atau sendiri-

sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif

dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua

dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan

potensi dan kapasitas masing-masing.

Sebagai unit organisasi terkecil, orang tua

dari setiap keluarga tergugah dan ter-panggil

untuk setidak-tidaknya membimbing dan

membelajarkan anak-anaknya, baik melalui

pendidikan formal persekolahan, lembaga

pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga

pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk

belajar melalui lembaga pendidikan sekolah

sudah jelas yaitu mulai dari Taman Kanak-Kanak

(TK) sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan lain hal, seorang

anak tidak memungkinkan untuk mengikuti

pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat

mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan

pembelajaran pada pendidikan non-formal,

seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP,

dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang

anak tidak memungkinkan juga mengikuti

pendidikan melalui pendidikan formal dan non-

formal, maka masih ada model pendidikan

alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di

Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini,

orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-

lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit

pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang

menyelenggarakan Sekolah di Rumah” dan

kemudian mengirimkan anaknya untuk

mengikuti pendidikan di lembaga atau unit

pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri

dengan latar belakang pendidikan dan

pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing

dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada

akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian

persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan

SD, SMP atau SMA.

Pendidikan untuk Semua (PUS)

Pada tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien,

Thailand , 115 negara dam 150 organi-sasi saling

bertemu dan mengadakan Konferensi Dunia

membahas Education for All (EFA) atau

Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam rangka

mewujudkan tujuan terse-but, perlu koalisi yang

luas dari pemerintah nasional, masyarakat sipil

kelompok, dan lembaga pembangunan seperti

UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen

untuk mencapai enam tujuan pendidikan yaitu :

1. Memperluas dan meningkatkan

perawatan anak usia dini yang

komprehensif dan pendidikan, terutama

bagi yang paling rentan dan anak-anak

yang kurang beruntung.

2. Memastikan bahwa pada 2015 semua

anak, khususnya anak perempuan, yang

dalam keadaan sulit, dan mereka yang

termasuk etnik minoritas, memiliki akses

lengkap dan bebas ke wajib pendidikan

dasar yang berkualitas baik.

36

Page 37: Jurnal lengkap sekali

3. Memastikan bahwa kebutuhan belajar

semua pemuda dan dewasa dipenuhi me-

lalui akses adil untuk pembelajaran yang

tepat dan program keterampilan hidup.

4. Mencapai 50% peningkatan dalam

keaksaraan orang dewasa pada tahun

2015, khususnya bagi perempuan, dan

akses ke pendidikan dasar dan pendidikan

ber-kelanjutan bagi semua orang dewasa

secara adil.

5. Menghilangkan perbedaan gender pada

pendidikan dasar dan menengah pada

tahun 2005, dan mencapai kesetaraan

gender dalam pendidikan dengan 2015,

dengan fokus pada perempuan bahwa

mereka dipastikan mendapat akses penuh

dan sama ke dalam pendidikan dasar

dengan kualitas yang baik.

6. Meningkatkan semua aspek kualitas

pendidikan dan menjamin semua,

sehingga diakui dan diukur hasil

pembelajaran yang dicapai oleh semua,

khususnya dalam keaksaraan, berhitung

dan kecakapan hidup yang esensial.

Setelah satu dekade, karena lambatnya

kemajuan dan banyaknya Negara yang jauh dari

keharusan untuk mencapai tujuan tersebut,

masyarakat internasonal menegas-kan kembali

komitmennya terhadap Pendidikan Untuk Semua

di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan

sekali lagi pada bulan September tahun itu. Pada

pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra

mereka mengadopsi dua dari delapan tujuan

Pendidikan Untuk Semua yang dikenal dengan

nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu

MDG 2 mengenai pendidikan dasar dan universal

serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam

pendidikan pada tahun 2015.

Indonesia, sebagai anggota Perserikatan

Bangsa Bangsa (PBB) turut menyepa-kati

komitmen dunia untuk menyelenggarakan

program Education for All (EFA) atau Pendidikan

untuk Semua (PUS). Komitmen dunia itu telah

dikumandangkan pada kon-ferensi dunia di

Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Namun baru

dideklarasikan seba-gai sebuah gerakan dunia

pada pertemuan di Dakar, Senegal, pada 26-28

April 2000. The Dakar Framework for Action

berisikan enam tujuan utama: 1) memperluas

pendi-dikan untuk anak usia dini; 2) menuntaskan

wajib belajar untuk semu (2015); 3)

mengembangkan proses pembelajaran/keahlian

untuk orang muda dan dewasa; 4) me-ningkatnya

50% orang dewasa yang melek huruf (2015)

khususnya perempuan; 5) me-ningkatkan mutu

pendidikan; dan (6) menghapuskan kesenjangan

gender.

Target pencapaian EFA pada 2015 itu

kemudian disepakati untuk dipercepat. Komitmen

mempercepat target EFA digaungkan E-9

Ministerial Review Meeting on Educationfor All

atau para menteri pendidikan dari Sembilan

Negara berpenduduk terbesar dunia, pada

pertemuan di Denpasar, Bali, 12 Maret 2008.

Anggota E-9 adalah Negara dengan jumlah

penduduk sekitar 60% populasi dunia. Selain

37

Page 38: Jurnal lengkap sekali

Indonesia, anggota E-9 adalah Bangladesh, Brazil,

Cina, Mesir, India, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan.

Indonesia merasa berkepentingan

menandatangani konvensi tersebut untuk

memperkuat komitmen bersama sebagai bangsa

dalam memenuhi hak-hak setiap anak

memperoleh pendidikan. Upaya mencapai target

EFA merupakan bagian dari upaya pembangunan

pendidikan nasional secara keseluruhan. Sudah

banyak yang dapat dica-pai dalam pembangunan

pendidikan sejak kemerdekaan. Tapi juga besar

pekerjaan ru-mah dan tantagan era sekarang

dalam rangka menghasilkan sumber daya

manusia yang unggul untuk pembangunan.

Kaitannya dengan Kerangka Aksi Dakar

Pendidikan untuk Semua, seluruh war-ga yang

menandatangani deklarasi termasuk Indonesia,

berupaya memegang komitmen memperluas dan

memperbaiki pendidikan. Indonesia telah

menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan

Untuk Semua (RAN-PUS), yang dijabarkan ke

dalam Rancangan Aksi Daerah Pendidikan Untuk

Semua (RAD-PUS) pada semua provinsi dan

sebagian besar kabupaten/kota.

Sebagian dari komitmen menjalankan

Pendidikan untuk Semua, pemerintah

mencanangkan penuntasan program Wajib

Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar Dikdas 9

Tahun mencakup jenjang pendidikan

SD/MI/pendidikan setara dan SMP/MTs/

pendidikan setara. Program ini secara resmi

dicanangkan Presiden Soeharto pada tanggal 2

Mei 1994. Saat itu, Presiden Soeharto

menargetkan program tersebut tuntas pada

tahun 2004, dengan indikator utama berupa

angka partisipasi kasar (APK) SMP/

MTs/pendidikan setara minimal 95%. Pada tahun

2004, Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI

sebesar 94,12% dan Angka Partisipasi Kasar (APK)

SMP/MTs 81,22%. Han-taman krisis ekonomi

yang merangsek sejak akhir tahun 1997 itu,

membuat target dire-visi menjadi akhir tahun

2008. Keputusan menjadwal ulang itu dilakukan

pada tahun 2000, saat Abdurrahman Wahib

menjadi Presiden RI.

Landasan Pendidikan Untuk Semua di Indonesia

Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan

untuk semua atau education for all di Indonesia

didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah:

1. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1 :

“setiap warga Negara berhak mendapat

pendidikan.”

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) :

a) Kewajiban bagi orangtua untuk

memberikan pendidikan dasar bagi

anaknya (pasal 7 ayat 2)

b) Kewajiban bagi masyarakat memberikan

dukungan sumber daya dalam

penyelenggaraan pendidikan (pasal 9)

c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung

jawab bersama pemerintah, pemerintah

daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).

Kebijakan Pendidikan di Indonesia

38

Page 39: Jurnal lengkap sekali

Bangsa yang maju adalah bangsa yang

memperlihatkan pendidikan dalam

pembangunannya. Karena pendidikan

merupakan proses

Proses pendidikan merupakan upaya

sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya.

Sebab, jika manusia berhenti melakukan

pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan

terjadi pada sistem peradaban dan budaya

(Suyanto, 2006) manusia. Dengan ilustrasi ini,

maka baik pemerintah maupun masyarakat

berupaya untuk melakukan pendidikan dengan

standar kualitas yang diinginkan untuk

memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan

yang dibangun harus disesuaikan dengan

tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat

menghasilkan outcome yang relevan dengan

tuntutan zaman (Suyanto, 2006).

Indonesia, telah memiliki sebuah sistem

pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU

No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di

Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan

empat strategi dasar, yakni; pertama,

pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan. Secara umum strategi itu

dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni

peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.

Pembangunan peningkatan mutu diharapkan

dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan

produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan

pemerataan pendidikan diharapkan dapat

memberikan kesempatan yang sama dalam

memperoleh pendidikan bagi semua usia

sekolah (Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH.

Sanaky, 2003). Dari sini, pendidikan dipandang

sebagai katalisator yang dapat menunjang

faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai

upaya pengembangan sumberdaya manusia

(SDM) menjadi semakin penting dalam

pembangunan suatu bangsa.

Untuk menjamin kesempatan memperoleh

pendidikan yang merata disemua kelompok

strata dan wilayah tanah air sesuai dengan

kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu

strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : (a)

menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan

bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Indonesia dalam menghadapi tantangan global,

(b) menyelenggarakan pendidikan yang dapat

dipertanggungjawabkan (accountasle) kepada

masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana

serta pengguna hasil pendidikan, (c)

menyelenggarakan proses pendidikan yang

demokratis secara profesional sehingga tidak

mengorbankan mutu pendidikan, (d)

meningkatkan efisiensi internal dan eksternal

pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,

(e) memberi peluang yang luas dan meningkatkan

kemampuan masyarakat, sehingga terjadi

diversifikasi program pendidikan sesuai dengan

sifat multikultural bangsa Indonesia, (f) secara

bertahap mengurangi peran pemerintah menuju

ke peran fasilitator dalam implementasi sistem

pendidikan, (g) Merampingkan birokrasi

39

Page 40: Jurnal lengkap sekali

pendidikan sehingga lebih lentur (fleksibel) untuk

melakukan penyesuaian terhadap dinamika

perkembangan masyarakat dalam lingkungan

global (Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair

AH. Sanaky, 2003).

Empat strategi dasar kebijakan pendidikan

yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi

Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan

Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan

kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya

melanjutkan pendidikan yang elite dengan

kurikulum yang elitis yang hanya dapat

ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70%

lainnya tidak bisa mengikuti (Kompas, 4

September 2004). Dengan demikian, tuntutan

peningkatan kualitas pendidikan, relevansi

pendidikan, efesiensi pendidikan, dan

pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan

pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit

mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan

SDM yang semakin merata di berbagai daerah.

Proses menuju perubahan sistem

pendidikan nasional banyak menuai kendala

serius. Apalagi ketika membicarakan konteks

pendidikan nasional sebagai bagian dari

pergumulan ideologi dan politik penguasa.

Problem-problem yang dihadapi seringkali

berkaitan dengan kebijakan-kebijakan (policies)

yang sangat strategis. Maka, dalam konteks

kebijakan pendidikan nasional, menurut

Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan

mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki

komitmen yang kuat untuk membenahi sistem

pendidikan nasional”.(Suyanto,2006). Artinya,

kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang

menggambarkan rumusan-rumusan

permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai

dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, “terutama

berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional

yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil

dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat 4 UUD

Amandemen keempat). Tetapi, sampai sekarang

kebijakan strategi belum dapat diwujudkan

sepenuhnya, pendidikan nasional masih

menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat

kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di

sekolah” (Suyanto, 2006).

Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada

perubahan fundamental dalam sistem

pendidikan nasional. Perubahan sistem

pendidikan tersebut mengikuti perubahan

sistem pemerintah yang sentralistik menuju

desentralistik atau yang lebih dikenal dengan

otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi

nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan

kita (Suyanto, 2006). Sistem pendidikan kita pun

menyesuaikan dengan model otonomi.

Kebijakan otonomi di bidang pendidikan

(otonomi pendidikan) kemudian banyak

membawa harapan akan perbaikan sistem

pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih

sangat baru, maka sudah barang tertentu

banyak kendala yang masih belum terselesaikan.

Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22

tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan

40

Page 41: Jurnal lengkap sekali

dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi

sangat erat kaitanya dengan desentralisasi.

Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal

dapat tumbuh dalam suasana bebas,

demokratis, rasional dan sudah barang tentu

dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”.

Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi

dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional,

yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah

dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu

mewujudkan sistem dan iklim pendidikan

nasional yang demokratis dan bermutu, guna

memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif,

berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat,

berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan

serta menguasai iptek dalam rangka

mengembangkan kualitas manusia Indonesia.

(Soedjiarto,1999).

Untuk mewujudkan misi tersebut mesti

diterapkan arah kebijakan sebagai berikut,

yaitu : (1) perluasan dan pemerataan

pendidikan, (2) meningkatkan kemampuan

akademik dan profesionalitas serta

kesejahteraan tenaga kependidikan, (3)

melakukan pembaharuan dalam sistem

pendidikan nasional termasuk dalam bidang

kurikulum, (4) memberdayakan lembaga

pendidikan formal dan PLS secara luas, (5) dalam

realisasi pembaharuan pendidikan nasional

mesti berdasarkan prinsip desentralisasi,

otonomi keilmuan, dan manajemen, (6)

meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang

dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif

dan efisien terutama dalam pengembangan

iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan

semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu

reaktif dalam seluruh komponen bangsa.

(Soedjiarto, 1999).

Beberapa kalangan pakar dan praktisi

pendidikan, mencermati kebijakan otonomi

pendidikan sering dipahami sebagai indikasi

kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi

dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi

pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin

dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum

Pendidikan (BHP) yang oleh beberapa pengamat

dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem

yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”

(Suyanto, 2006).

Persoalan sekarang, apakah sistem

pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk

mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang

modern, memiliki kemampuan daya saing yang

tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya

tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara

kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya

belum sepenuhnya siap benar menghadapi

tantangan persaingan (Suyanto, 2006).

Sementara, disatu sisi, bidang pendidikan kita

menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih

melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia

kerja, baik secara nasional maupun regional.

(Suyanto, 2006).

41

Page 42: Jurnal lengkap sekali

Berbagai problem fundamental yang

dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang

tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita

jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan,

kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan

output pendidikan kita yang masih sangat

rendah kualitasnya. Problem-problem

pendidikan yang bersifat metodik dan strategik

yang membuahkan output yang sangat

memprihatinkan. Output, pendidikan kita

memiliki mental yang selalu tergantung kepada

orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki

mental yang bersifat mandiri, karena memang

tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang

pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi

“pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap

tahunnya, pendidikan nasional kita

memproduksi pengangguran terselubung.

Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan

sistem pendidikan kita yang masing sedang

merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai

insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau

banyakan berharap akan datangnya perubahan

“fundamental” terhadap sistem pendidikan

(Suyanto, 2006) di Indonesia.

Posisi Indonesia dalam PUS

Indonesia merupakan salah satu Negara

yang menandatangani deklarasi “Education for

All.” Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus

juga sebagai wujud keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka Indonesia telah

mencnangkan Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun

1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada

tahun 1994, Indonesia mencanangkan Sekolah

Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan

pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-

anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD.

Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib

Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP

(13-15 Tahun) dapat menyelesaikan penddikan

SMP.

Jalal dan Supriadi (2001) mengemukakan

meskipun strategi perluasan dan pemerataan

kesempatan pendidikan terfokus kepada program

wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,

jenis dan jenjang pendidikan lainnya yang

tercakup. Indikator-indikator keberhasilannya

adalah: (a) mayoritas penduduk berpendidikan

minimal SMP dan partisipasi pendidikan

meningkat yang ditunjukkan dengan APK-SD 15%,

APK SMP mencapai 80%, APK SLTA mencapai

47%, dan APK PT sebesar 12% dengan perluasan

terkendali untuk bidang-bidang unggulan dan

teknologi, (b) meningkatnya budaya belajar di

kalangan masyarakat yang ditunjukkan antara

lain dengan meningkatnya peserta program

pendidikan berkelanjutan seperti kursus-kursus,

program pendidikan masyarakat, meningkatnya

penduduk melek huruf hingga mencapai 88%

pada tahun 2005; (c) meningkatnya proporsi

penduduk kurang beruntung yang memperoleh

kesempatan pendidikan.

Kebijakan program yang harus dilakukan

adalah:

42

Page 43: Jurnal lengkap sekali

1. Memperluas kesempatan pendidikan dengan

prioritas pada pendidikan dasar;

2. Meningkatkan layanan pendidikan kepada

kelompok yang kurang beruntng, termasuk

kaum perempuan;

3. Mengembangkan layanan pendidikan

alternatif tanpa mengorbankan mutu

program;

4. Menetapkan standar kompetensi minimal

keluaran pendidikan;

5. Melanjutkan program PMTAS secara

terseleksi dan terkendali bagi yang benar-

benar memerlukan;

6. Melanjutkan program beasiswa bagi kalangan

anak-anak miskin;

7. Meningkatkan anggaran pemerintah untuk

pendidikan secara bertahap dan terencana;

dan

8. Meningkatkan partisipasi keluarga dan

masyarakat dalam membiayai pendidikan.

Sebagai wujud komitmen pemerintah

terhadap pentingnya program Pendidikan Untuk

Semua (Education for All/EFA), Kementerian

Pendidikan Nasional menggelar sejumlah

kegiatan melalui Pekan Aksi Global Pendidikan

Untuk Semua 2010. Tema aksi tahun ini adalah

“Pembiayaan Pendidikan Bermutu Hak untuk

Semua”. Aksi ini yang dipusatkan di tiga kota,

yaitu di Jakarta, Bandung, dan Makasar pada 19-

25 April 2010.

Menurut Ela Yulaciawati (2010), aspek

pembiayaan dalam program Pendidikan untuk

Semua cukup problematik. Sejumlah pertanyaan

muncul menyangkut aspek pembiaya-annya,

terutama mengenai standar biaya pendidikan

bermutu untuk semua orang. Berapa biaya untuk

pendidikan anak-anak yang terpinggirkan

(marjinal). Kemudian, apakah pembiayaan itu

akan bermanfaat atau malah mubazir? Untuk

mendidik anak-anak yang marjinal, pemerintah

tidak cukup hanya memikirkan aspek

pendidikannya saja, melainkan juga memikirkan

aspek kebutuhan dasar mereka.

Dikemukakan lebih lanjut oleh Ela (2010)

tidak semua program pendidikan yang diberikan

bagi kelompok marjinal dapat menghasilkan

produk pendidikan seperti yang diharapkan.

Kegiatan lain dari pecan aksiglobal program

Pendidikan untuk Semua adalah workshop

layanan pendidikan bagi para orang lanjut usia.

Masih menurut Ela (2010) orang berusia lanjut

umumnya tidak bisia mandiri, oleh karena itu

perlu ada materi pendidikan kecakapan hidup.

Pendidikan ini bertujuan mempersiapkan orang-

orang menjelang usia lanjut agar bisa hidup

mandiri dan sehat pada saat mereka telah berusia

lanjut. Jika mereka bisa mandiri dan sehat di usia

senja, maka biaya hidup me-reka akan bisa lebih

ditekan. Jadi arahnya untuk efisiensi bagi Negara.

Dalam waktu yang bersamaan juga

diselenggarakan kegiatan workshop layanan

pendidikan bagi anak-anak terpinggirkan, yaitu

keluarga korban eksploitasi seksual anak (ESA),

anak perempuan jalanan, dan anak dari para

pekerja rumah tangga. Seluruh rangkaian acara

tersebut merupakan bagian dari kampanye

43

Page 44: Jurnal lengkap sekali

tahunan dunia yang dise-lenggarakan Kampanye

Global Campaign for Education, sebuah koalisi

internasional organisasi nonpemerintah dan

serikat guru.(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Identifikasi Kendala-kendala Implementasi

Progeram PUS

Dalam implementasi PUS di Indonesia

tidak berjalan mulus, banyak kendala yang

ditemui di lapangan. Dari sisi structural birokrasi

di Kementerian Pendidikan Nasional (2007) masih

dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan

kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan

komunikasi dengan berbagai instansi dan unit

kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah.

Disamping itu masalah lainnya adalah

menyesuaikan jadwal sesuai target,

memberdayakan dan mengoptimalkan tenaga

yang tersedia melalui pembentukan tim kerja

sebagai wujud koordinasi fungsional, dan

mengoptimakan sarana dan fasilitas yang ada.

Temuan lainnya, dapat diidentifikasi dari

riset yang dilakukan oleh Choiri (2006) dalam

penelitiannya yang berjudul ‘Akuntabilitas Kinerja

Dinas Pendidikan Kabupaten Malang (Studi Kasus

tentang Akuntabilitas Adminitrasi Pelaksana

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Sembilan Tahun di Kecamatan Bululawang

Kabupaten Malang). Berdasarkan penelitiannya,

Choiri (2006) memaparkan hasil penelitiannya

sebagai berikut: alasan perlunya dilakukan

akuntabilitas administrasi oleh Dinas Pendidikan

adalah untuk mempertanggungjawabkan suatu

program/kebijakan baik proses maupun hasilnya,

serta untuk memenuhi standar criteria yang

sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam

pelaksanaan program wajib belajar sembilan

tahun di kabupaten Malang terlihat bahwa

instansi (sekolah-sekolah) tidak melaksanakan

akuntabilitas administrasinya. Untuk mengatasi

permasalahan ini Dinas Pendidikan berupaya

untuk mengembangkan berbagai kebijakan

terkait dengan implementasi Program Wajib

Belajar Sembilan tahun. Namun hal inipun

ternyata tidak membawa perubahan yang

signifikan, sebab dalam pelaksanaannya masih

terdapat berbagai penyimpangan. Adapun faktor

pendukungnya adalah: tersusunnya kurikulum

dengan baik, koordinasi yang baik diantara pihak-

pihak yang terlibat, serta partisipasi masyarakat.

Sedangkan faktor-faktor yang menghambat

diantaranya: kapasitas dan kemampuan tenaga

pelaksana rendah, kemampuan dan motivasi

tenaga pelaksana rendah, dukungan dana

operasional rendah, respon orang tua yang belum

maksimal, sikap moral masyarakat serta

lingkungan sosial yang tidak sehat.

Hasil analisis terhadap Pelaksanaan

Akuntabilitas Administrasi adalah sebagai berikut:

dalam pelaksanaan program wajib belajar

Sembilan tahun di kabupaten Malang terlihat

bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak

melaksanakan akuntabilitas administrasinya. Hal

ini terlihat misalnya tidak ada laporan pemberian

beasiswa diberikan. Sekolah-sekolah tidak merasa

44

Page 45: Jurnal lengkap sekali

perlu memberikan laporan kepada instansi

diatasnya yakni Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang. Mereka justru hampir semua membuat

kebijakan sendiri terkait dengan penyaluran dana

beasiswa yang tidak sesuai dengan pedoman

yang diberikan oleh Dinas Pendidiikan. Dilihat

dari perspektif empat jenis Akuntabilitas, belum

satupun jenis akuntabilitas yang dapat dipenuhi

sesuai standar oleh Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang, sehingga hal ini perlu mendapatkan

perhatian dari berbagai pihak yang terlibat.

Sedangkan faktor pendukung maupun

penghambat lebih merupakan faktor-faktor yang

memberikan penekanan. Semuanya justru berada

di tangan pada penyelenggara akuntabilitas

sendiri, bagaimana mereka-mereka bisa

mengelola potensi maupun tantangan yang

dihadapinya.

Sementara itu, diprediksikan pendidikan

untuk semua (PUS) yang telah dicanangkan oleh

pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional).

Sebagaimana diekspos dalam harian Kompas,

Rabu, 7 Juli 2010 bahwa target Pendidikan Untuk

Semua ataupun Education for All, terutama

pendidikan dasar universal, dikhawatirkan tidak

tercapai pada tahun 2015 saat tenggat Tujuan

Pendidikan Milenium. Krisis ekonomi global

menjadi sala satu hambatan besar pencapaian

target tersebut. Hal ini terungkap dalam

pembukaan 1st General Assembly Forum of Asia

Pasific Parliamentarians for Education (FASPED)

atau Forum Parlemen untuk Pendidikan Asia

Pasifik, Selasa (6 Juli 2010). Sidang pertama yang

diikuti oleh 26 parlemen dan dua parlemen

diwakili oleh perwakilannya di Jakarta. Dalam

sambutannya, Presiden FASPED Marzuki Alie

mengatakan, krisis keuangan global pada 2008

merupakan rintangan terbesar untuk pencapaian

tujuan Education for All (EFA).

Dampak krisis finansial global telah

mengancam akses pendidikan bagi jutaan anak di

seluruh dunia. Saat ini sekitar 72 juta anak usia

sekolah dasar belum mendapatkan pendidikan

dasar. Kombinasi kemiskinan, lambatnya

pembangunan ekonomi, dan krisis finansial global

akan menggerogoti pencapaian Negara-negara

pada dekade sebelumnya. Hal tersebut berarti

turut mengganggu target pencapaian Tujuan

Pembangunan Milineum nomor dua, yang

indikatornya antara lain angka partisipasi dasar

angka melek huruf umur 15-25 tahun.

Ancaman tentang melesetnya pencapaian

target terutama terjadi di Negara berkembang

yang sebagian besar di kawasan Asia Pasifik.

Menurut Education for All Global Monitoring

Report 2010, target EFA tercancam gagal tercapai

di Negara berkembang. Resesi ekonomi yang

terjadi pada tahun 2008 diperkirakan telah

menjerumuskan sekitar 90 juta orang ke dalam

kemiskinan ekstrem. Saat ini sebagian Negara

yang terkena dampak sangat besar masih dalam

proses pemulihan dari tingginya harga pangan

yang telah mengakibatkan 175 juta kasus

malnutrisi tahun 2007 dan 2008. Pendidikan juga

tidak kebal dari pengaruh-pengaruh tersebut

45

Page 46: Jurnal lengkap sekali

karena hal-hal itu kemudian rentan

dikebelakangan.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan

Director of UNESCO Bangkok Office, Regional

Bureau for Education in The Asia Pasific, Gwang-

Jo Kim. “Kita tetap belum on the track (dalam

jalur) untuk memenuhi target EFA pada tahun

2015. Akan nada 56 juta anak di luar sekolah jika

kita tidak melipatgandakan upaya kita, yang

sebagiannya di wilayah Asia Pasifik.” Ujarnya. Dia

mencontohkan, pada tahun 1999 kawasan Asia

Timur dan Pasifik merupakan tempat tinggal 6

juta anak usia pendidikan dasar yang tidak

bersekolah. Tahun 2007, jumlahnya meningkat

menjadi 9 juta anak. Sementara sejumlah Negara,

terutama India, mencapai kemajuan sangat baik.

“Waktu yang tersisa tinggal lima tahun lagi,“

katanya.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli

Jalal mengatakan, Indonesia masih dalam jalur

pencapaian target EFA. Di tengah krisis ekonomi

dunia, Indonesia tetap memprioritaskan anggaran

pendidikan, bantuan operasional sekolah guna

mengurangi hambatan biaya anak ke sekolah,

buku pelajaran online, program pendidikan

kesetaraan, dan peningkatan kualifikasi guru. Ini

merupakan beberapa upaya pemerintah yang

terus dilakukan. Sementara itu anggaran untuk

fungsi pendidikan dalam APBN tahun 2010 telah

mencapai sekitar Rp 209,5 triliun.

Marzuki Alie mengatakan, perlu peran

aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam

proses pembangunan pendidikan. Di tengah

sulitnya ekonomi dunia dan berbagai tekanan,

pemerintah telah menghadapi berbagai pilihan

kebijakan yang sulit. Parlemen berkewajiban

meminta pemerintah mengalokasikan dana yang

cukup untuk pendidikan dan memonitor

pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan

pembangunan nasional pendidikan.(KOMPAS,

Rabu, 7 Juli 2010).

Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS

Dalam upayanya mencapai tujuan

“Pendidikan untuk Semua” pada 2015, peme-

rintah Indonesia saat ini menekankan

pelaksanaan program wajib belajar sembilan

tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai

15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO

member dukungan teknis dan dana.

Bersama dengan pemerintah daerah,

masyarakat dan anak-anak di delapan propinsi di

Indonesia, UNICEF mendukung program

Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak

(CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326

sekolah pada tahun 2004 menjadi 1.496 pada

tahun 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru

dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih

menantang bagi sekitar 275.078 siswa.

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah

mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar.

Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang

bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun

demikian, negeri ini masih menghadapi masalah

pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang

46

Page 47: Jurnal lengkap sekali

tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti,

misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan

masih ada dua juta anak. Indonesia tetap belum

berhasil memberikan jaminan hak atas

pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih

banyak masalah yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran

yang efektif, manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak

usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses

aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia

dini terutama anak-anak yang tinggal di

pedalaman dan pedesaan. Anak-anak Indonesia

yang berada di daerah tertinggal dan terkena

konflik sering harus belajar di bangunan sekolah

yang rusak karena alokasi anggaran dari

pemerintah daerah dan pusat yang tidak

memadai. Metode pengajaran masih berorientasi

pada guru dan anak tidak diberi kesempatan

memahami sendiri. Metode ini masih

mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia.

Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi

lemah tidak termotivasi dari pengalaman

belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan

sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.(UNICEF,

2010).

Indonesia telah mengalami kemajuan di

bidang pendidikan dasar dalam 20 tahun terakhir

ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun

yang bersekolah mencapai 94 persen. Tetapi

Indonesia tetap belum berhasil memberikan

jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak.

Apalagi, masih banyak masalah yang harus

dihadapi, masalah tersebut antara lain :

- Anak putus sekolah diperkirakan masih ada

dua juta anak.

- Kualifikasi guru yang masih kurang.

- Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu

masih beroientasi kepada guru dan anak didik

tidak diberi kesempatan memahami sendiri.

- Manajemen sekolah yang buruk.

- Kurangnya keterlibatan masyarakat.

- Kurangnya akses pengembangan dan

pembelajaran usia dini bagi sebagian besar

anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-

anak yang tinggal di pedalaman dan

pedesaan.

- Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan

pusat yang tidak memadai.

- Biaya pendidikan yang tinggi.

Untuk mencapai Pendidikan Untuk

Semua, pemerintah Indonesia dibantu oleh

UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-

kegiatan antara lain :

1. Sistem Informasi Pendidikan Berbasis

Masyarakat

UNICEF mendukung langkah-langkah

pemerintah Indonesia untuk meningkatkan

akses pendidikan dasar melalui Sistem

Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat.

Dengan system ini memungkinkan

penelusuran semua anak usia dibawah 18

tahun yang tidak bersekolah.

2. Program Wajib Belajar 9 Tahun

47

Page 48: Jurnal lengkap sekali

Dalam upaya mencapai tujuan “Pendidikan

untuk Semua” pada 2015, pemerintah

Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan

program wajib belajar Sembilan tahun bagi

seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15

tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO

member dukungan teknis dan dana.

3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC)

Bersama dengan pemerintah daerah,

masyarakat dan anak-anak di delapan

propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung

program Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini

berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada

2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini

membantu 45.454 guru dan menciptakan

lingkungan belajar yang lebih menantang bagi

sekitar 275.078 siswa.

Di samping itu, yang tidak kalah

pentingnya adalah peran Kepala Sekolah dan

Pengawas Sekolah dalam menyukseskan program

PUS yang dicanangkan pemerintah. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal

Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga

Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional

(Dirjen PMPTK Kemendiknas) Baedhowi yang

mengatakan bahwa peran Kepala Sekolah dan

Pengawas Sekolah juga sangat penting guna

meningkatkan kualitas dan pelayanan pendidikan

saat ini. Apabila kompetensi Kepala Sekolah baik,

maka hubungan yang signifikan terhadap

peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Apabila

Kepala Sekolahnya baik dan memiliki

kompetensi bagus, maka kepala sekolah itu

diyakini bisa melakukan pengelolaan sekolah

dengan baik pula.(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasar pemaparan tersebut di atas,

maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut: (1)

hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan

Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan

agar setiap warga Negara dapat memenuhi

haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib

Belajar 9 Tahun); (2) masalah yang harus dihadapi

dalam program PUS, antara lain: (a) anak putus

sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak, (b)

kualifikasi guru yang masih kurang, (c) metode

pengajaran yang tidak efektif itu masih

beroientasi kepada guru dan anak didik tidak

diberi kesempatan memahami sendiri, (d)

manajemen sekolah yang buruk, (e) kurangnya

keterlibatan masyarakat, (f) kurangnya akses

pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi

sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun

terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman

dan pedesaan, (g) alokasi anggaran dari

pemerintah daerah dan pusat yang tidak

memadai, dan (h) biaya pendidikan yang tinggi;

(3) untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua,

pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF dan

UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara

48

Page 49: Jurnal lengkap sekali

lain: (a) Sistem Informasi Pendidikan Berbasis

Masyarakat, (b) Program Wajib Belajar 9 Tahun,

dan (c) Program Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC); (4) dalam 20 tahun

terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di

bidang pendidikan dasar, terbukti rasio bersih

anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai

94 persen; (5) pembangunan pendidikan di

Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan

empat strategi dasar, yakni; pertama,

pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan, (6) Indonesia tetap belum

berhasil memberikan jaminan hak atas

pendidikan bagi semua anak; apalagi, masih

banyak masalah yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran

yang efektif, manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat, dan (7) peran Kepala

Sekolah dan Pengawas Sekolah sangat penting

guna meningkatkan kualitas dan pelayanan

pendidikan.

Saran

Berdasarkan butir-butir simpulan di atas,

maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai

berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di

Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa

perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja,

peningkatan kerjasama, koordinasi dan

komunikasi dengan berbagai instansi dan unit

kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2)

untuk dapat mewujudkan program PUS, semua

komponen bangsa, baik pemerintah, swasta,

lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan,

maupun warga Negara secara individual, secara

bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen

untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan

“Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk

Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas

masing-masing; (3) pembangunan pendidikan

makin disadari sebagai sektor yang strategis

untuk menunjang pembangunan sektor secara

keseluruhan, oleh karena itu pembangunan

pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap

dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4)

perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut

aktif dalam proses pembangunan pendidikan,

parlemen berkewajiban meminta pemerintah

mengalokasikan dana yang cukup untuk

pendidikan dan memonitor pemerintah dalam

mengimplementasikan tujuan pembangunan

nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara)

harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana

dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan

tahun.

PENDIDIKAN KARAKTER:WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Soesetijo *)

Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi

49

Page 50: Jurnal lengkap sekali

Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi.

Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam

jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung

utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi

sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran

yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada

Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

karakter serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan Nasional bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga Negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

*)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan

nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang

pendidikan selalu mengacu pada tujuan

pendidikan nasional tersebut di atas. Hal

tersebut berkaitan dengan pembentukan

karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,

beretika, bermoral, sopan santun dan

berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan

penelitian di Harvard University Amerika Serikat

(Ali Ibrahim Akbar, 2000 dalam Mendiknas, 2010)

ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan

semata-mata oleh kemampuan mengelola diri

dan orang lain (soft skills). Penelitian ini

mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan

sekitar 20 persen oleh hard skills dan sisanya 80

persen soft skills. Bahkan orang-orang tersukses

di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak

didukung kemampuan soft skills daripada hard

skills. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu

pendidikan karakter peserta didik sangat penting

untuk ditingkatkan. Oleh karena itu, Kementerian

Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah

menyusun grand design pendidikan karakter

bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan pendidikan

telah mengembangkannya pada tahun 2014.

(Media Indonesia.com, 15-9-2010).

Data dan fakta menunjukkan, bahwa dari

hasil penelitian psikologi sosial menun-jukkan

bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan

oleh peranan ilmu sebesar 18%. Sisanya, 82%

dijelaskan oleh keterampilan emosional, soft skills

dan sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini menunjukkan

bahwa soft skills memberikan kontribusi bagi

keberhasilan karir seseorang.

Wacana pendidikan karakter pada akhir-

akhir ini memperoleh perhatian yang cukup

Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi

50

Page 51: Jurnal lengkap sekali

intens dari pemerhati pendidikan. Pemerintah

menyatakan, bahwa pendidikan budaya dan

karakter bangsa selama ini telah diterapkan dan

menjadi kesatuan dengan kurikulum pendidikan

yang sesungguhnya telah dipraktekkan dalam

kegiatan belajar mengajar di sekolah. Menurut

Direktur Pembinanan SMP, Ditjen Manajemen

Pendidikan Dasar dan Menengah, Didik Suhardi

(KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari 2010)

pendidikan budaya dan karakter bangsa ini

memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan

pada teori. Pendidikan budaya dan karakter

bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi.

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter adalah “cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu

untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup

kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan

Negara.(Suparlan, 2010).

Pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan)

pilar yang saling kait mengkait, yaitu: (1)

responsibility (tanggung jawab), (2) respect (rasa

hormat), (3) fairness (keadilan), (4) courage

(keberanian), (5) honesty (kejujuran), (6)

citizenship (kewarganegaraan), (7) self-discipline

(disiplin diri), (8) caring (peduli), dan (9)

perseverance (ketekunan).

Penyelenggaraan pendidikan nasional

tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan

serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari

itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan

semangat kebangsaan sebagai warga bangsa

dengan karakter ke-Indonesia-an.(Rumapea,

2010).

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku

manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang

Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan

perbuatan berdsarkan norma-norma agama,

hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem

penanaman nilai-nilai karakter kepada warga

sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,

kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap

Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,

lingkungan, maupun kebangsaan sehingga

menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan

karakter di sekolah, semua komponen

(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk

komponen-komponen pendidikan itu sendiri,

yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan

penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau

pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan

sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-

kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,

pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan

lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam

praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat

dari standar nasional pendidikan yang menjadi

acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan

implementasi pembelajaran dan penilaian di

51

Page 52: Jurnal lengkap sekali

sekolah, tujuan di lembaga pendidikan

sebenarnya dapat dicapai dengan baik.

Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi

yang harus diajarkan dan dikuasai serta

direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan

sehari-hari. Menurut Dr. Anita Lie (2010) syarat

menghadirkan pendidikan karakter dan budaya di

sekolah harus dilakukan secara holistik.

Sebagai upaya untuk meningkatkan

kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,

Kementerian Pendidikan Nasional

mengembangkan grand design pendidikan

karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis

satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan

konseptual dan operasional pengembangan,

pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan

jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam

konteks totalitas proses psikologis dan social-

kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati

(Spiritual and emotional development), Olah Pikir

(intellectual development), Olah Raga dan

Kinestetik (Physical and kinestetic development),

dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity

development). Pengembangan danimplementasi

pendidikan karakter perlu dilakukan dengan

mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional pada 13 ayat 1

menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri dari

atas pendidikan formal, nonformal, dan informal

yang saling melengkapi dan memperkaya.

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan

keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal

sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi

yang sangat besar dalam keberhasilan

pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di

sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang

dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada

dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika

dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di

sekolah berkontribusi hanya sebesar 30%

terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama

dalam lingkungan keluarga belum memberikan

kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian

kompetensi dan pembentukan karakter peserta

didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua

yang relative tinggi, kurangnya pemahaman

orang tua dalam mendidik anak di lingkungan

keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan

sekitar dan pengaruh media elektronik ditengarai

bisa berpengaruh negatif terhadap

perkembangan dan pencapaian hasil belajar

peserta didik. Salah satu alternatif untuk

mengatasai permasalahan tersebut adalah

melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu

memadukan dan mengoptimalkan kegiatan

pendidikan informal lingkungan keluarga dengan

pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini,

waktu belajar peserta didik di sekolah perlu

dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar

dapat dicapai, terutama dalam pembentukan

karakter peserta didik.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan

dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.

Materi pembelajaran yang berkaitan dengan

52

Page 53: Jurnal lengkap sekali

norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran

perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan

dengan konteks kehidupan sehati-hari. Dengan

demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak

hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh

pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam

kehidupan peserta didik sehari-hari di

masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini

diselenggarakan sekolah merupakan salah satu

media yang potensial untuk pembinaan karakter

dan peningkatan mutu akademik peserta didik.

Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan

pendidikan di luar mata pelajaran untuk

membantu pengembangan peserta didik sesuai

dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat

mereka melalui kegiatan yang secara khusus

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat

terkait dengan manajemen atau pengelolaan

sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah

bagaimana pendidikan karakter direncanakan,

dilaksanaan dan dikendalikan dalam kegiatan-

kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.

Pengelolaan tersebut antara lain mengikuti, nilai-

nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,

pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga

kependidikan, dan komponen terkait lainnya.

Dengan demikian, manajemen sekolah

merupakan salah satu media yang efektif dalam

pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan Karakter yang Efektif

Menurut Lickona, dkk. (2007) terdapat

11 pinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan

efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan

nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi

karakter yang baik, (2) definisikan ‘karakter’

secara komprehensif yang mencakup pikiran,

perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan

yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam

pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas

sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa

kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6)

buat kurikulum akademik yang bermakna dan

menantang yang menghormati semua peserta

didik, mengembangkan karakter, dan membantu

siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong

motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah

sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang

berbagi tanggung jawab dalam pendidikan

karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti

yang sama yang membimbing pendidikan siswa,

(9) tumbuhkan kebersamaan dalam

kepemimpinan moral dan dukungan jangka

panjangbagi inisiatif pendidikan karakter, (10)

libatkan keluarga dan anggota masyarakat

sebagai mitra dalam upaya pembangunan

karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi

staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan

sejauh mana siswa memanifestasikan karakter

yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekal

dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti

kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab,

dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain

53

Page 54: Jurnal lengkap sekali

bersama dengan nilai-nilai kerja pendukungnya

seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan

kegigihan—sebagai basis karakter yang baik.

Sekolah harus berkomitmen untuk

mengembangkan karakter peserta didik

berdasarkan nilai-nilai dimaksud mendefinisikan-

nya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati

dalam kehidupan sekolah sehari-hari, men-

contohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan

mendiskusikannya, menggunakannya sebagai

dasar dalam hubungan antarmanusia, dan

mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di

sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua

komponen sekolah bertanggung jawab terhadap

standar-standar perilaku yang konsisten sesuai

dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian,

kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai

etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam

pendidikan karakter berupaya untuk

mengembangkan keseluruhan aspek kognitif,

emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.

Siswa memahami nilai-nilai inti dengan

mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati

perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan

masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar

peduli terhadap nilai-nilai inti dengan

mengembangkan keteram-pilan empati,

membentuk hubungan yang penuh perhatian,

membantu menciptakan komunitas bermoral,

mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan

merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk

mengembangkan karakter melihat diri mereka

sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah

segala sesuatu yang berlangsung di sekolah

mempengaruhi perkembangan karakter siswa.

Pendekatan yang komprehensif menggunakan

semua aspek persekolahan sebagai peluang

untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa

yang sering disebut dengan istilah kurikulum

tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan

prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan

siswa dengan guru, staf sekola lainnya, dan

sesama mereka sendiri; proses pengajaran;

keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran;

pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan

disiplin); kurikulum akademik, academic

curriculum (mata pelajaran inti, termasuk

kurikulum kesehatan jasmani), dan program-

program ekstrakurikuler, extracurricular

programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan,

dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu

meningkatkan efektivitas kemitraan dengan

merekrut bantuan dan komunitas yang lebih luas

(bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan,

pemerintah, dan media) dalam mempromosikan

pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang

tua ini dalam banyak hal seringkali tidak dapat

berjalan dengan baik karena terlalu banyak

menekankan pada penggalangan dukungan

financial, bukan pada dukungan program.

Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang

terjebak kepada tawar menawar sumbangan,

54

Page 55: Jurnal lengkap sekali

bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter

dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus

menyertakan usaha untuk menilai kemajuan.

Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat

perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh

mana sekolah menjadi komunitas yang lebih

peduli dan saling menghargai?, (2) pertumbuhan

staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai

sejauh mana staf sekolah mengembangkan

pemahaman tentang apa yang dapat mereka

lakukan untuk mendorong pengembangan

karakter?, (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa

memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan

tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu

dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan

karakter untuk mendapatkan baseline dan

diulang lagi di kemudian hari untuk menilai

kemajuan.(http://www.mediaindonesia.com,

diakses tanggal 14 September 2010).

Menurut Doni Koesoemo A (2010)

pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh

mesti menyertakan tiga basis desain dalam

pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program

pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi

wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter

berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi

guru sebagai pendidik dan siswa sebagai

pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan

karakter adalah proses relasional komunitas kelas

dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-

pembelajar bukan monolog, melainkan dialog

dengan banyak arah sebab komunitas kelas

terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama

berinteraksi dengan materi. Memberikan

pemahaman dan pengertian akan keutamaan

yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,

termasuk di dalamnya pula adalah ranah

noninstruksional, seperti manajemen kelas,

konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu

terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter

berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba

membangun kultur sekolah yang mampu

membentuk karakter anak didik dengan bantuan

pranata sosial sekolah agar nilai tertentu

terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.

Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup

hanya dengan memberikan pesan-pesan modal

kepada anak didik. Pesan moral ini mesti

diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran

melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang

tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku

ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter

berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas

sekolah tidak hanya berjuang sendirian.

Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti

keluarga, masyarakat umum, dan Negara, juga

memiliki tanggung jawab moral untuk

mengintegrasikan pembentukan karakter dalam

konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga

Negara lemah dalam penegakan hukum, ketika

mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan

sanksi yang setimpal, Negara telah mendidik

55

Page 56: Jurnal lengkap sekali

masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak

menghargai makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya akan bisa

efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini

dilaksanakan secara simultan dan sinergis.

Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat

parsial, inkonsisten dan tidak efektif.

Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga

Pendidikan

Pendidikan karakter yang bakal diterapkan

di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata

pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter

tersebut akan diintegrasikan dengan mata

pelajaran yang sudah ada serta melalui

keseharian pembelajaran di sekolah. Menurut

Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal,

dikemukakan bahwa pendidikan karakter yang

didorong pemerintah untuk dilaksanakan di

sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan

siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam

pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam

kurikulum, tetapi selama ini tidak dikedepankan

dan diajarkan secara tersurat.

(http://bukuohbuku.wordpress.com, 1

September 2010).

Beberapa Upaya Pencarian Soft Skills di Beberapa

Negara

Upaya di berbagai Negara mengenai

pentingnya solft skills juga beragam. Dari

berbagai liteatur yang disarikan dalam modul

bahan ajar oleh suatu Tim di Dirjen Dikti (2008)

telah diupayakan di berbagai negara seperti

Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan

Indonesia.

1. Pengalaman di Taiwan

Taiwan sebagai salah satu Negara yang

memandang kemajuan pembangunan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi hasilnya dirasakan

tanpa meningkatkan harkat dan martabat dari

manusia. Moral menjadi salah satu tuntutan yang

ingin dilengkapi seiring dengan kemajuan dari

ranah pengetahuan.

Upaya ini dilakukan melalui berbagai

pendekatan, diantaranya adalah dengan

membentuk komite disiplin dan moral di bawah

Kementerian Pendidikan. Komite disiplin

kemudian mencoba menetapkan berbagai

standar etika yang mesti diterapkan di masing-

masing satuan pendidikan, termasuk memonitor

implementasinya.

Kemudian mengembangkan kurikukum

moral dan etika yang nantinya diterapkan dalam

system pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah

dengan mengimplementasikan aturan di sekolah

sebagai cara meningkatkan nilai-nilai moral dan

etika. Taiwan menyadari bahwa berpikir kritis

adalah penting maka arah pengembangan

ditujukan pada ranah ini, termasuk

kewarganegaraan, dan nilai-nilai sosial.

2. Pengalaman di Korea Selatan

Di Korea Selatan, sebagai salah satu

Negara yang juga mengalami kemajuan kemajuan

56

Page 57: Jurnal lengkap sekali

yang pesat pendidikannya, juga sadar akan

pentingnya soft skills. Ini dikembangkan dengan

seperangkat upaya. Secara makro, meningkatkan

anggaran pendidikan dan mempertahankan

kebijakan komitmen yang tinggi semenjak tahun

1945. Semangat dan komitmen ini dilahirkan

sebagai akibat dari Korea Selatan juga ingin me-

nyaingi perkembangan kemajuan ilmu dan

teknologi yang dihasilkan oleh Jepang, sebagai

sebuah Negara tetangga yang lebih dulu berhasil.

Diantaranya adalah dengan

mengupayakan perbaikan metode pengajaran

dan pe-nyampaian materi ajar, misalnya dengan

menekankan kesadaran guru akan pentingnya ka-

rakter; mulai dari suasana, kemampuan, dan

fasilitas yang mengarah kepada pembentukan

karakter.

Hasil dari upaya ini telah menyebabkan

Korea Selatan tampil sebagai salah satu Negara

yang memiliki karakter khas, untuk tampil

menyaingi Jepang. Dengan karakter kerja keras,

salah satunya, telah pula menghasilkan produk

manufaktur yang mampu masuk ke kancah

internasional.

Sebagai catatan tambahan, Korea Selatan

tercatat sebagai salah satu Negara dimana tingkat

akses masyarakat mudanya terhadap pendidikan

tinggi termasuk tertinggi di dunia. Memulai kerja

kerasnya semenjak tahun 1945. Sekarang

komitmen anggaran dan dukungan masyarakat

adalah sangat besar dalam memajukan

pendidikan.

3. Pengalaman di Jepang

Merespons akan tuntutan pentingnya

membangun karakter anak, maka di Jepang

menurut Scribner (2007) dalam Tim Dikti (2008)

untuk memenuhi aspek soft skills, dimasukkan ke

dalam kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di sekolah

dan di rumah.

Anak-anak Jepang diberi rasa

tanggungjawab yang tinggi dalam

mengembangkan fungsinya kepada adik-adik

sewilayahnya, dimulai dengan proses datang ke

sekolah, metode belajar di sekolah sampai pada

menanamkan rasa kemandirian yang tinggi dan

semangat untuk menang. Kemudian terbiasa

untuk mengembangkan kreativitas di dalam

kelas, Sudah menjadi motto bagi anak didik

Jepang, bahwa kerja kelompok menjadi salah satu

yang perlu dibiasakan.

Karakter kerja keras dan mandiri yang

dibangun dalam prinsip bushido, menyebabkan

bangsa Jepang menghasilkan generasi yang

sanggup menguasai berbagai iptek untuk

berbagai bidang dan proses industrialisasi.

Sayang sekali, Jepang dalam membangun

karakter bangsa masih dibatasi oleh berbagai

kendala. Dimana kendala utama dari proses

pembangunan manusia di Jepang masih belum

sanggup mengkikis kebiasaan “bunuh diri” dari

sebagian dari mereka yang frustasi.

4. Pengalaman di Australia

Sementara di Australia, pengembangan

soft skills dilakukan semenjak usia dini, melalui

57

Page 58: Jurnal lengkap sekali

system penyampaian dan desain pemebelajaran.

Desain pembelajaran yang menyebabkan unsur-

unsur soft skills terintegrasi dalam setiap proses

pembelajaran.

Di Australia pembentukan kepercayaan

diri anak-anak mulai pada pra sekolah.

Pembiasaan anak-anak untuk mengisi masa akhir

minggu dengan orang tua, baik untuk

kepentingan olah raga dan rekreasi.

Anak-anak Australia terbiasa percaya diri.

Karena setiap minggu mereka didorong untuk

sanggup menyampaikan pengalaman kepada

teman se kelasnya. Dan model seperti ini

dilaksanakan secara terus menerus.

Guru sangat berperan dalam

mengkomunikasikan soft skills di sekolah. Anak-

anak diajarkan akan hak dan tanggungjawabnya.

Termasuk share bekerja dan hidup berkelompok.

Itulah pemandangan pada sekolah-sekolah dasar

sampai menengah yang dikembangkan.

5. Pengalaman di Indonesia

Kesadaran akan soft kills juga berkembang

di Indonesia, namun dalam waktu yang terlalu

lama dan metode yang tidak tepat. Upaya

menekankan pentingnya pendidikan P-4 sewaktu

zaman Presiden Suharto telah didesain kegiatan-

kegiatan yang lebih terpusat. Oleh karena

penekanan hanya kepada civic education, atau

pendidikan civic, maka hasil dari usaha P-4 hanya

sebatas bagaimana hidup bermasyarakat dan

bernegara saja.

Kelemahan utama yang dirasakan

bahwa pengembangan soft skills lebih bersifat

indoktrinasi. Dengan kata lain upaya Indonesia

dalam mendorong soft skills selama berpuluh-

puluh tahun melalui penataran P-4 dianggap

gagal, mengingat model itu saat sekarang sudah

tidak dipakai lagi. Bahkan dianggap kegiatan P-4

dapat saja menyimpang dari yang dipahami oleh

kebanyakan para ilmuwan. Diantaranya bahkan

yang diberikan lebih kepada ilmuwan, bukanlah

bagaimana membentuk keterampilan perangkat

lunak warga Negara. Selain dari itu para

instruktur banyak yang tidak terbekali dengan

baik. Sehingga kegatan soft skills semacam itu

lebih diartikan kepada proyek-proyek kegiatan

oleh mereka yang berkuasa.

Akselerasi adat juga merupakan upaya-

upaya untuk mempertahankan soft skills,

mengingat kandungan budaya lokal adalah

menuntun soft skills. Misalnya bagaimana budaya

dalam bertutur kata sepantasnya. Maka proses

tutur kata masyarakat adat mesti dipertahankan.

Upaya ini dilakukan oleh kaum adat. Namun hal

ini belum terlalu baik diupayakan dalam

mendiseminasikan soft skills.

Demikian juga, bagaimana kehidupan

bergotong-royong diupayakan masih eksis.

Sayang sekali kehidupan yang semacam itu

semakin sirna. Singkat kata soft skills belum

secara konsisten untuk digarap dan dipelajari.

Apa yang dapat dimaknai dari segala

upaya untuk mencari solf skills di berbagai Negara

? Negara maju Asia Timur serta Indonesia ? Maka

58

Page 59: Jurnal lengkap sekali

upaya untuk mengembangkan karakter masih

dalam batas keterbasan. Keterbatasan terutama

masih menganggap bahwa taksonomi ranah

keilmuan menjadi menonjol.

Sekalipun ada upaya untuk meningkatkan

ranah soft skills, namun juga kelihatannya sangat

beragam dalam melihat komponen-

komponennya. Diantaranya, masih luputnya

memasukkan unsur bagaimana anak didik kita

semakin berilmu dia sadar semakin sadar akan

eksistensinya, posisinya dengan Sang Pencipta.

Hal inilah yang menyebabkan bahwa dimensi

trancedental skills menjadi bahan yang mesti

disadari penting masuk sebagai salah satu

taksonomi soft skills.(Elfindri, dkk, 2010).

Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD

Pendidikan karakter yang dicanangkan

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)

akan diterapkan pada semua jenjang pendidikan,

namun porsinya akan lebih besar diberikan pada

Sekolah Dasar (SD). Menurut Menteri Pendidikan

Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh,

mengatakan pendidikan karakter harus dimulai

sejak dini yakni dari jenjang pendidikan sekolah

dasar SD). Pada jenjang SD ini porsinya mencapai

60 persen dibandingkan dengan jenjang

pendidikan lainnya. Hal ini agar lebih mudah

diajarkan dan melekat di jiwa anak-anak itu

hingga kelak ia dewasa. Pendidikan karakter

harus dimulai dari SD karena jika karakter tidak

terbentuk sejak dini maka akan susah untuk

merubah karakter seseorang. Pendidikan karakter

tidak mendapatkan porsi yang besar pada tingkat

Taman Kanak-Kanak (TK) atau sejenisnya

karena TK bukan merupakan sekolah tetapi

taman bermain. TK itu taman bermain untuk

merangsang kreativitas anak, bukan tempat

belajar. Oleh karena itu, jika ada guru yang

memberikan tugas atau PR maka guru tersebut

tidak memahami tugasnya. Sedangkan dalam

menanamkan karakter pada seseorang yang

paling penting adalah kejujuran, karena kejujuran

bersifat universal.

Pertimbangan yang rasional tentang

mengapa penerapan pendidikan karakter harus

dimulai pada siswa SD, karena siswa SD masih

belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang

baik sangat memungkinkan untuk ditanamkan

sifat-sifat atau karakter untuk membangun

bangsa. Oleh karena itu, selain orang tua, guru SD

juga mempunyai peranan yang sangat vital untuk

menempuh karakter siswa. Pembinaan karakter

yang termudah di-lakukan adalah ketika anak-

anak masih di bangku SD. Itulah sebabnya kita

memprioritas-kan pendidikan karakter di tingkat

SD. Bukan berarti pada jenjang pendidikan

lainnya tidak mendapat perhatian namun

porsinya saja yang berbeda.

Dengan demikian maka diharapkan dunia

pendidikan dapat sebagai motor pengge-rak

untuk memfasilitasi peserta didik menjadi cerdas,

juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun

sehingga keberadaannya sebagai anggota

masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain. Esensinya pembinaan

karakter harus dilakukan pada semua tingkat

59

Page 60: Jurnal lengkap sekali

pendidikan hinga Perguruan Tinggi (PT) karena PT

harus mampu berperan sebagai mesin informasi

yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang

cerdas, sejahtera dan bermanfaat serta mampu

bersaing dengan bangsa manapun.

Model Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah

Pertama (SMP)

Menurut Mochtar Buchori (2007) dalam

Kemendiknas (2010) “Pembinaan Karakter di

Sekolah Menengah Pertama”, bahwa pendidikan

karakter seharusnya membawa peserta didik ke

pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan

nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan

nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan

karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera

lebih operasional sehingga mudah

diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk

meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil

pendidikan di sekolah yang mengarah pada

pencapaian pembentukan katakter dan akhlak

mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan

seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.

Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta

didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan

dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji

dan menginternalisasi serta mempersonalisasi

nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga

terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan

institusi mengarah pada pembentukan budaya

sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,

tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-

simbol yang dipratikkan oleh semua warga

sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya

sekolah merupakan ciri khas, karakter atau

watak, dan citra sekolah tersebut di mata

masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah

seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di

Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga

sekolah, meliputi para peserta didik, guru,

karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah

menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah

yang selama ini telah berhasil melaksanakan

pendidikan karakter dengan baik dijadikan

sebagai best practices, yang menjadi contoh

untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Memalui program ini diharapkan lulusan

SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

berkarakter mulia, kompetensi akademik yang

utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian

yang baik sesuai norma-norma dan budaya

Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,

pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi

budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter

dapat diketahui melalui pencapaian indicator

oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam

Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara

lain meliputi sebagai berikut :

1. Mengamalkan ajaran agama yang

dianut sesuai dengan tahap

perkembangan remaja;

60

Page 61: Jurnal lengkap sekali

2. Memahami kekurangan dan kelebihan

diri sendiri;

3. Menunjukkan sikap percaya diri;

4. Mematuhi aturan-aturan social yang

berlaku dalam lingkungan yang lebih

luas;

5. Menghargai keragaman agama,

budaya, suku, ras, dan golongan social

ekonomi dalam lingkup nasional;

6. Mencari dan menerapkan informasi

dari lingkungan sekitar dan sumber-

sumber lain secara logis, kritis dan

kreatif;

7. Menunjukkan kemampuan berpikir

logis, kritis, kreatif, dan inovatif;

8. Menunjukkan kemampuan belajar

secara mandiri sesuai dengan potensi

yang dimilikinya;

9. Menunjukkan kemampuan

menganalisis dan memecahkan

masalah dalam kehidupan sehari-hari;

10. Mendeskripsikan gejala alam dan

social;

11. Memanfaatkan lingkungan secara

bertanggung jawab;

12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan

dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara demi

terwujudnya persatuan dalam Negara

kesatuan Republik Indonesia;

13. Menghargai karya seni dan budaya

nasional;

14. Menghargai tugas pekerjaan dan

memiliki kemampuan untuk berkarya;

15. Menerapkan hidup bersih, sehat,

bugar, aman, dan memanfaatkan

waktu luang dengan baik;

16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara

efektif dan santun;

17. Memahami hak dan kewajiban diri dan

orang lain dalam pergaulan di

masyarakat; menghargai adanya

perbedaan pendapat;

18. Menunjukkan kegemaran membaca

dan menulis naskah pendek

sederhana;

19. Menunjukkan keterampilan

menyimak, berbicara, membaca, dan

menulis dalam bahasa Indonesia dan

bahasa Inggris sederhana;

20. Menguasai pengetahuan yang

diperlukan untuk mengikuti

pendidikan menengah;

21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian

pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya

sekolah yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan

keseharian, dan simbol-simbol yang dipratikkan

oleh semua warga sekolah, dan masyarakat

sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai

tersebut.(Kemendiknas, 2010).

Penyelenggaraan pendidikan nasional

tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan

serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari

itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan

61

Page 62: Jurnal lengkap sekali

semangat kebangsaan sebagai warga bangsa

dengan karakter ke-Indonesia-an. Bangsa ini

harus kembali kepada bangsa yang berbudi.

Mampu memiliki budi pekerti yang luhur yang

diajarkan oleh para leluhur bangsa. Caranya,

dengan mengajarkan pendidikan karakter kepada

anak-anak mulai dari bangku sekolah.

Memberikan mereka pemahaman yang jelas

tentang karakter yang harus dimiliki manusia

Indonesia di masa depan.

Dengan olah raga, olah raga, dan olah jiwa

sekolah kami terus menerus menanamkan nilai-

nilai luhur yang harus dimiliki manusia Indonesia.

Oleh karena itu, kami mengemasnya dalam

berbagai bentuk kegiatan kesiswaan yang dimulai

dari saat siswa pertama kali masuk sekolah

sampai keluar (lulus) dari sekolah.

Pembangunan karakter dan pendidikan

karakter menjadi suatu keharusan, karena

pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik

menjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi

pekerti dan sopan santun, sehingga

keberadaannya sebagai anggota masyarakat

menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun

orang lain. Menanamkan karaker pada seseorang

yang paling penting adalah kejujuran, karena

kejujuran bersifat universal. (Mahatma, 2010).

Pendidikan Karakter Integral

Pendidikan karakter hanya akan menjadi

sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih

utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan

nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang

dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran

justru malah bersifat kontraproduktif bagi

pembentukan karakter anak didik.

Pendekatan parsial yang tidak didasari

pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih

menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri

anak, malah menjerumuskan mereka pada

perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita

berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita

bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses

penanaman nilai yang seringkali dipahami secara

sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan

seringkali pendekatan ini tidak didasari prinsip

pedagogi pendidikan yang kokoh.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai

kejujuran, banyak skolah beramai-ramai

membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak

untuk jujur dalam membeli dan membayar

barang yang dibeli tanpa ada yang

mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan

anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran

dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan

yang tampaknya relevan dalam mengembangkan

nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar

pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial

yang mampu mengarahkan dan membentuk

pribadi anak didik.

Alih-alih mendidik anak menjadi jujur,

dibanyak tempat anak yang baik malah tergoda

menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah

bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang

ingin dibentuk tidak disertai dengan pemangunan

perangkat sosial yang dibutuhkan dalam

62

Page 63: Jurnal lengkap sekali

kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda

menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah

menyerambah dalam diri para pendidik, siswa

dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu,

pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang

dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.

Pendidikan karakter semestinya terarah

pada pengembangan kultur edukatif yang

mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi

yang integral. Adanya bantuan sosial untuk

mengembangkan keutamaan merupakan ciri

sebuah lembaga pendidikan.

Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan

sosial ini tidak berfungsi, sebab anak malah

tergoda menjadi pencuri. Kegagalan kantin

kejujuran adalah sebuah indikasi, bahwa para

pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang

makna kejujuran dalam konteks pendidikan.

Mereka tidak mampu melihat persoalan yang

lebih mendalam yang menggerogoti sendi

pendidikan kita.(Doni Koesoema A, 2010).

Sementara itu, untuk mengembangkan

pendidikan karakter di sekolah, Kementerian

Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memberikan

bantuan kepada sekolah-sekolah yang ditunjuk

sebagai percontohan. Sebagai contoh sebanyak

10 sekolah di semua jenjang pendidikan di Nusa

Tenggara Barat mendapatkan bantuan dari

Kementerian Pendidikan Nasional untuk

mengembangkan pendidikan karakter. Setiap

sekolah yang mendapatkan percontohan

menerima bantuan sebesar Rp. 10.000.000,00

untuk menerapkan dan membina

pengembangan pendidikan karakter.

(http://www.antaranews.com, diakses tanggal 7

September 2010).

Sementara itu, Mendiknas, Muhammad

Nuh mengemukakan bahwa intinya pembinaan

karakter harus dilakukan pada semua tingkat

pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT) karena

PT harus mampu berperan sebagai mesin

informasi yang membawa bangsa ini menjadi

bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan

bermartabat serta mampu bersaing dengan

bangsa manapun.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas,

maka dapatlah dikemukakan beberapa simpulan

sebagai berikut: (1) karakter adalah cara berpikir

dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap

individu untuk hidup dan bekerjasama, baik

dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat,

bangsa dan Negara; (2) Pendidikan karakter

meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait

mengkait, yaitu: (a) responsibility (tanggung

jawab), (b) respect (rasa hormat), (c) fairness

(keadilan), (d) courage (keberanian), (e) honesty

(kejujuran), (f) citizenship (kewarganegaraan), (g)

self-discipline (disiplin diri), (h) caring (peduli),

dan (i) perseverance (ketekunan); (3) pembinaan

karakter harus dilaksanakan pada semua tingkat

pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT), (4)

pembangunan karakter dan pendidikan karakter

63

Page 64: Jurnal lengkap sekali

menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak

hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas,

juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun,

sehingga keberadaannya sebagai anggota

masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain, (5) pendidikan karakter yang

didalamnya ada akhlak mulia akan menjadi jati

diri bangsa untuk mencapai kejayaan dan

kemajuan di dunia internasional, (6) pendidikan

budaya dan karakter bangsa harus dipraktekkan,

titik beratnya bukan teori, (7) menghadirkan

pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus

dilakukan secara holistik, karena tidak bisa

terpisah dengan pendidikan sifatnya kognitif atau

akademik, (8) permasalahannya, mayoritas guru

belum punya kemauan untuk melaksanakan

pendidikan karakter, kesadaran sudah ada hanya

saja belum menjadi sebuah aksi nyata, (9) grand

design tentang pendidikan karakter sudah

tersusun, hanya belum disosialisasikan ke seluruh

pelosok nusantara, terutama ke lembaga-

lembaga pendidikan, dan (10) program

pendidikan karakter tidak hanya dilakukan satu

sampai dua tahun, namun secara

berkesinambungan hingga 2025.

Saran

Berdasarkan butir-butir simpulan di atasa,

maka untuk mengimplemetasikan pendidikan

karakter di lembaga pendidikan dikemukakan

saran sebagai berikut : (1) untuk implementasikan

pendidikan karakter di sekolah dasar (SD),

sebagai porsi yang cukup besar (60%), maka perlu

disusun buku petunjuk pelaksanaan (juklak)

yang dapat digunakan sebagai acuan para tenaga

kependidikan pada jenjang pendidikan dasar, (2)

sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa

penerapan pendidikan karakter dapat

diimplementasikan mulai pada jenjang

pendidikan dasar sampai dengan pendidikan

tinggi. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan

semuanya secara cermat, perlu diterbitkan buku

pinter yang memberikan acuan kepada guru dan

dosen agar pendidikan karakter dapat diterapkan

sesuai dengan yang diharapkan, (3) dalam

konteks pembelajaran di kelas atau ruang kuliah,

pendidikan karakter dapat diintegrasikan pada

mata pelajaran atau mata kuliah yang relevan, (4)

agar tenaga kependidikan (guru dan dosen)

mempunyai acuan yang baku tentang penerapan

pendidikan karakter, maka perlu segera

disosialisasikan grand design tentang pendidikan

karakter, (5) pendidikan karakter harus

diwujudkan untuk kepentingan anak-anak

Indonesia dalam konteks kehidupan social dan

buaya masyarakat, (6) perlu diadakan TOT

(Training of Trainer) untuk pendidikan karakter

bagi seluruh tenaga tenaga kependidikan, baik

guru maupun dosen, (7) pelaksanaan pendidikan

karakter di sekolah jangan hanya bersifat instan,

karena pemerintah saat ini sedang intens dengan

soal ini, tantangannya justru bagaimana

pendidikan di sekolah itu berjalan seimbang

antara penguasaan pengetahuan dan

pembentukan karakter siswa, dan (8) perlu

segera disosialisiasikannya grand design

64

Page 65: Jurnal lengkap sekali

pendidikan karakter di lembaga pendidikan mulai

jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai

dengan perguruan tinggi.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAHDALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME

Syaiful Khafid E-mail: [email protected]

ABSTRAK: Filsafat pendidikan konstruktivisme bertujuan menjadikan siswa yang memiliki kualitas dan maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. Konstruktivisme memandang belajar ialah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborasi, refleksi, dan interpretasi, sedangkan mengajar adalah proses membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Tugas guru ialah memfasilitasi, membimbing, dan mengonsultani terutama dalam memahami materi sulit. Guru geografi harus menguasai bahan secara luas dan mendalam dengan dilandasi pemahaman konsep kunci, sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan siswa yang berbeda. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar dan evalusi belajar yang otentik. Kendala yang dihadapi dalam implementasi pendidikan geografi di antaranya kesalahan cara pandang terhadap belajar dan pembelajaran, rendahnya budaya belajar di kalangan guru dan siswa. Solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan seminar pendidikan geografi, guru geografi yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi dituntut untuk meningkatkan kompetensi profesional, siswa

diberikan pencerahan pentingnya belajar mandiri dan membudayakan budaya mem-baca, guru mengembangkan bahan pembelajaran geografi, serta sekolah dan keluarga menyediakan sumber belajar yang beragam.

Kata kunci: pendidikan geografi, perspektif konstruktivisme

Permasalahan pendidikan geografi yang terjadi

sekarang ini disebabkan krisis paradigma, yaitu

adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian antara

tujuan yang ingin dicapai dan paradigma yang

digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut Ardhana (2001: 1) paradigma diartikan

sebagai pola pikir atau cara kerja. Sebagai contoh,

kalau kehidupan masa depan menuntut

kemampuan memecahkan masalah baru secara

inovasi maka apa yang diajarkan kepada siswa di

sekolah adalah menghafal atau memecahkan

masalah lama secara lebih baik. Kalau masa

depan menuntut pola perilaku yang unik dan

divergen maka apa yang ditanamkan kepada

siswa sekarang ialah perilaku yang konformistis

dan seragam. Begitu juga, kalau masa depan

menuntut kemampuan bekerja sama dengan

sesama teman maka apa yang diajarkan kepada

siswa sekarang adalah persaingan.

65

Page 66: Jurnal lengkap sekali

Persoalan praktik pembelajaran geografi di

sekolah tersebut antara lain dapat diselesaikan

dengan merefleksi filsafat pendidikan yang

digunakan. Filsafat pen-didikan, yang menyeliki

hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan

dengan tujuan, latar belakang, cara, hasilnya, dan

hakikat ilmu pendidikan yang berhu-bungan

analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya

(Mudyahardjo, 2004: 5). Filsafat ilmu pendidikan

dapat dibataskan sebagai analisis kritis

komprehensif tentang pendidikan sebagai salah

satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan

melalui riset, baik kuantitatif maupun kualitatif.

Praktik pembelajaran yang terjadi sekarang

ini sebagian besar masih meru-pakan paradigma

behavioristik yang banyak dijumpai pada abad

industri, terma-suk dalam hal pengembangan

desain pembelajaran khususnya pendidikan geo-

grafi. Pendapat Wayan Ardhana sebagaimana

dikutip oleh Mustaji dan Sugiarso (2005:2),

bahwa kualitas proses dan produk pembelajaran

belum memadai, lebih-lebih kalau dikaitkan

dengan usaha mempersiapkan manusia Indonesia

di masa depan. Hasil yang kurang memuaskan ini

mungkin sebagian terjadi karena keku-

rangmampuan guru dalam melaksanakan

pembelajaran yang memenuhi tuntutan

perkembangan, sebagian lagi mungkin terjadi

karena kesalahan cara pandang guru terhadap

pembelajaran geografi.

Pembelajaran geografi yang terjadi sekarang

ini sebagian besar menggunakan desain

pembelajaran dengan pendekatan behavioristik.

Strategi pembelajarannya memakai format

penyampaian informasi, karena teori ini

menganggap bahwa belajar ialah perolehan

pengetahuan, sedangkan mengajar ialah

memindahkan pengetahuan kepada siswa, belum

menekankan aktivitas siswa mengonstruksi atau

membangun sendiri pengetahuannya. Di sekolah

guru masih tetap sebagai sumber belajar yang

paling dominan, belum memanfaatkan sumber

belajar yang beragam. Pembelajaran geografi

sebagian berpusat pada kegiatan mendengar dan

mengha-fal, belum mengarah pada kegiatan

belajar aktif dan kreatif, artinya siswa memba-

ngun sendiri pengetahuannya.

Suatu kesalahan besar yang masih terdapat

dalam pembelajaran geografi di sekolah adalah

kurangnya penjabaran secara kontekstual dan

66

Page 67: Jurnal lengkap sekali

operasional terhadap konsep-konsep esensial dan

materi sulit dengan perspektif konstruktivisme

dan spasial, yang dikemukakan dalam buku teks

ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

Sebagai akibat, tujuan pembelajaran geografi

tersebut belum pernah tercapai. Keluhan dan

kenyataan bahwa pembelajaran geografi tidak

menarik dan membosankan masih sering

terdengar dan sangat dirasakan. Hal ini

disebabkan guru belum mampu bagaimana

membelajarkan geografi kepada siswa dengan

perspektif konstruktivisme.

Suatu sudut pandang baru dalam pendidikan

dan pembelajaran pada mata pelajaran geografi

yang memberikan peluang terjadinya proses aktif

siswa mem-bangun sendiri pengetahuannya,

memanfaatkan sumber belajar yang beragam,

adanya peluang siswa berkolaborasi, dan berpikir

divergen dengan menekankan studi lapangan

yang sesuai karakter geografi (ruang, tempat,

lingkungan, dan peta) dikenal dengan perspektif

konstruktivisme spasial.

Tujuan pembelajaran dalam perspektif

konstruktivisme menekankan belajar bagaimana

belajar, menciptakan pemahaman baru, yang

menuntut aktivitas kreatif produktif dalam

konteks nyata, yang mendorong siswa untuk

berpikir ulang dan mendemonstrasikannya.

Menurut Degeng (1998: 8), belajar adalah

penyusunan pengetahuan dari pengalaman

konkret, aktivitas kolaboratif, reflektif, dan inter-

pretatif. Sebaliknya, mengajar ialah menata

lingkungan supaya siswa termotivasi dalam

menggali makna dan menghargai ketidakpastian.

Konstruktivisme sebenarnya sudah lama

walaupun dianggap masih relatif baru dan belum

banyak diimplementasikan ke dalam proses

pembelajaran pada mata pelalajaran geografi di

sekolah, termasuk dalam hal pengembangan

desain pembelajaran geografi. Sisi lain, sekarang

ini pendekatan konstruktivistik menjadi wacana

yang menarik di kalangan akademisi, pendidik,

dan masyarakat belajar sebagai upaya

memperbaiki dan meningkatkan kualitas

implementasi pembela-jaran geografi di sekolah.

Beradasarkan latar belakang tersebut maka

permasalahan implementasi pen-didikan geografi

sekolah dalam perspektif konstruktivisme dapat

dirumuskan yaitu: (1) apakah sumbangan

konstruktivisme terhadap pendidikan geografi

67

Page 68: Jurnal lengkap sekali

sekolah?; (2) apa sajakah kendala implementasi

pembelajaran geografi di sekolah dengan

perspektif konstruktivisme?: dan (3)

bagaimanakah solusi implementasi

pembelajaran geografi di sekolah dengan

perspektif knstruktivisme?

SUMBANGAN KONSTRUKTIVISME TERHADAP

PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAH

Perubahan Cara Pandang terhadap Makna Belajar

Menurut pandangan konstruktivisme, belajar

merupakan proses aktif siswa mengonstruksi

pengetahuan secara mandiri dan sosial. Belajar

juga merupakan proses mengasimilasikan dan

menghubungkan pengalaman atau bahan yang

dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai

seseorang sehingga penger-tiannya

dikembangkan. Proses tersebut antara lain

dicirikan sebagai berikut.

a. Belajar berarti membentuk makna. Makna

diciptakan oleh siswa dari apa yang

mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.

Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh

pengertian yang telah mereka miliki.

b. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus

menerus. Setiap kali berhadapan

dengan fenomena atau persoalan yang baru,

diadakan rekonstruksi, baik secara

kuat maupun lemah.

c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan

fakta, melainkan lebih suatu peng-

embangan pemikiran dengan membuat

pengertian yang baru. Belajar bukanlah

hasil perkembangan, melainkan perkembangan

itu sendiri, suatu perkembangan

yang menuntut penemuan dan pengaturan

kembali pemikiran seseorang.

d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada

waktu skema seseorang dalam

keraguan yang merancang pemikiran lebih

lanjut. Situasi ketidakseimbangan

(disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk

membaca belajar.

e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman

siswa dengan dunia fisik dan ling-

kungannya.

f. Hasil belajar seseorang bergantung pada apa

yang telah diketahui si pelajar:

68

Page 69: Jurnal lengkap sekali

konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang

mempengaruhi interaksi dengan

bahan yang dipelajari.

Perubahan Peran Siswa Menjadi Aktif, Kreatif,

dan Mandiri

Filsafat konstruktivisme menekankan bahwa

belajar ialah kegiatan yang aktif, siswa

membangun sendiri pengetahuannya. Siswa

mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini

merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-

ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada

dalam pikiran mereka. Menurut kons-truktivisme,

siswa sindirilah yang bertanggung jawab atas

hasil belajarnya. Mere-ka membawa

pengertiannya yang lama dalam situasi belajar

yang baru. Mereka sendiri yang membuat

penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan

cara mencari makna, membandingkannya dengan

apa telah ia ketahui dan menyelesaikan kete-

gangan antara apa yang telah ia ketahui dan apa

yang ia perlukan dalam penga-laman yang baru

(Suparno, 1997; Gandhi HW, 2011).

Konstruktivisme memandang, belajar adalah

suatu proses organik untuk menemukan sesuatu,

bukan suatu proses mekanik untuk

mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu

perkembangan pemikiran dengan membuat

kerangka pengertian yang berbeda. Siswa harus

memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis,

mengetes hipotesis, memanipulasi objek,

memecahkan persoalan, mencari solusi,

menggambarkan, meneliti, berdialog,

mengadakan refleksi, mempertanyakan,

mengekspresikan gagasan, dan sejenisnya untuk

membentuk konstruksi baru. Siswa harus

membentuk pengetahuan mereka sendiri dan

guru membantu sebagai mediator dalam proses

pembentukan itu. Belajar yang berarti terjadi

melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian,

dan dalam proses selalu memperbarui tingkat

pemikiran yang tidak lengkap.

Setiap siswa mempunyai cara sendiri untuk

mengerti maka penting bahwa setiap siswa

mengerti kekhasannya juga keunggulan dan

kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka

perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi

mereka sendiri. Siswa mempunyai cara yang

cocok untuk membangun pengetahuannya yang

kadang sangat berbeda dengan teman-teman

yang lain. Karena itu, mengerti kekhususannya

69

Page 70: Jurnal lengkap sekali

sendiri sangat penting dalam memajukan belajar

seseorang. Dalam konteks ini, sangat perlu bahwa

siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-

macam cara belajar yang cocok dan guru

menciptakan dan/atau mengujicobakan aneka

model pembelajaran inovatif melalui penelitian

tindakan.

Ketika pertama datang ke kelas, siswa sudah

membawa makna tertentu ten-tang dunianya.

Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat

mengembangkan pengetahuan yang baru.

Mereka juga membawa perbedaan tingkat

intelektual, personal, sosial, emosional, dan

kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman

mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang

dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti

oleh guru agar dapat membantu memajukan dan

memperkem-

bangkannya sesuai dengan pengetahuan yang

lebih ilmiah.

Menuju Pola Belajar Kolaborasi yang lebih

Bermakna dan Menyenangkan

Pengetahuan dapat dibentuk baik secara

individual maupun sosial, kelompok belajar dapat

dikembangkan. Suparno (1997: 9) menjelaskan

bagaimana pengaruh progresivisme terhadap

belajar dalam kelompok, yang dikenal dengan

pola belajar kolaborasi. Menurut dia, dalam

kelompok belajar siswa harus mengungkapkan

bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang

akan dibuatnya dengan persoalan itu. Inilah salah

satu cara menciptakan refleksi yang menuntut

kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan

dilakukan. Selanjutnya, ini akan memberikan

kesem-patan kepada seseorang untuk secara aktif

membuat abstrak. Usaha menjelaskan sesuatu

kepada kawan-kawan justru membantunya untuk

melihat sesuatu dengan lebih jelas dan bahkan

melihat inkonsistensi pandangan mereka sendiri.

Mengerti bahwa teman lainnya belum

memiliki jawaban yang siap, akan meningkatkan

keberanian siswa untuk mencoba dan mencari

jalan. Sekaligus, jika ia menemukan jawaban, itu

akan mendorong yang lain untuk menemukannya

juga. Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang

ditunjukkan teman dianggap kurang meyakinkan

dibandingkan kalau ditunjukkan guru. Ini akan

meningkatkan harga diri mereka.

Pandangan konstruktivisme sosial

menekankan belajar berarti dimasukkannya

70

Page 71: Jurnal lengkap sekali

seseorang ke dalam suatu dunia simbolik.

Menurut Suparno (1997: 64), pengeta-huan dan

pengertian dikonstruksi kalau seseorang terlihat

secara sosial dalam dialog dan aktif dalam

percobaan-percobaan dan pengalaman.

Pembentukan mak-na merupakan dialog

antarpribadi. Belajar merupakan proses

masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang

yang terdidik. Dalam hal ini, siswa bukan hanya

memerlukan akses ke pengalaman fisik,

melainkan juga ke konsep-konsep dan model-

model ilmu pengetahuan konvensional. Guru

berperan penting karena mereka menyediakan

kesempatan yang cocok dan prasarana

masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini,

kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa

berdialog dan berinteraksi dengan para ahli,

dengan lembaga penelitian, dengan sejarah

penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat

pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu

dan merangsang siswa untuk membangun sendiri

pengeta-huannya.

Perubahan Cara Pandang terhadap Makna

Mengajar

Pandangan filsafat konstruktivisme,

mengajar bukanlah kegiatan memindah-kan

pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu

kegiatan yang memung-kinkan siswa membangun

sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti

partisipasi dengan siswa dalam membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari keje-

lasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.

mengajar merupakan suatu bentuk belajar

sendiri, atau dapat dikatakan bahwa mengajar

adalah membantu seseorang berpikir secara

benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.

Mengajar adalah proses membantu

seseorang untuk membentuk pengetahuan-nya

sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer

pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru)

kepada yang belum tahu (siswa), melainkan

membantu seseorang agar dapat mengonstruksi

sendiri pengetahuannya melalui kegiataannya

terhadap fenomena dan objek yang ingin

diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana

dan situasi yang memungkinkan dialog secara

kritis perlu dikembangkan.

Tugas guru dalam proses tersebut lebih

menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang

71

Page 72: Jurnal lengkap sekali

pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan

siswa mengung-kapkan gagasan dan konsepnya,

serta kritis menguji konsep siswa. Yang terpen-

ting adalah menghargai dan menerima pemikiran

siswa apa pun adanya sambil menunjukkan

apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru harus

menguasai bahan secara luas dan mendalam

sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan

siswa yang berbeda.

Perubahan Peran Guru Geografi

Menurut prinsip konstruktivisme, seorang

guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dan

konsultan yang membantu supaya proses belajar

siswa berjalan dengan maksimal. Tekanan ada

pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin

atau pun guru geografi yang mengajar. Fungsi

fasilitator, motivator, konselor, dan konsultan

dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai

berikut.

a. Menyediakan pengalaman belajar yang

memungkinkan siswa bertanggung

jawab dalam membuat rancangan, proses,

dan penelitian. Karena itu, jelas

memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas

utama seorang guru.

b. Menyediakan atau memberikan kegiatan

yang merangsang keingintahuan sis-

wa dan membantu mereka untuk

mengekspresikan gagasan-gagasannya dan

mengomunikasikan ide ilmiah mereka.

Menyediakan sarana yang merangsang

siswa berpikir secara produktif. Menyediakan

kesempatan dan pengalaman

yang paling mendukung proses belajar siswa.

Guru harus menyemangati siswa.

Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.

c. Memonitor, mengevalusi, dan menunjukkan

apakah pemikiran siswa jalan atau

tidak. Guru menunjukkan dan

mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu

berlaku untuk menghadapi persoalan baru

yang berkaitan. Guru membantu

mengevaluasi hipotesis dan simpulan siswa.

d. Sebagai konsultan, guru menjelaskan materi

sulit yang tidak dapat dipahami

siswa. Materi geografi dikategorikan sulit kalau

memenuhi kriteria, yakni (a)

abstrak, artinya tidak nyata dan sulit

dibayangkan siswa, (b) kompleks, artinya

72

Page 73: Jurnal lengkap sekali

perlu penalaran mendalam dengan

menggabungkan antarbidang ilmu, dan (c)

asing, artinya tidak dikenal siswa karena tidak

terjangkau.

Menuntut Guru Menguasai Bahan Ajar dengan

Mendalam dan Luas

Peran guru geografi sangat menuntut

penguasaan materi mendalam dan luas. Guru

geografi perlu memiliki pandangan yang sangat

luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang

akan diajarkan. Pengetahuan luas dan mendalam

memung-kinkan seorang guru menerima

pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa

dan juga memungkinkan apakah gagasan itu jalan

atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan

seorang guru mengerti aneka metode dan model

untuk sampai pada suatu pemecahan masalah

tanpa terpasung pada satu metode atau model.

Selain itu, guru geografi juga dituntut untuk

dapat mengembangkan bahan dalam mengelola

pembelajaran dengan kekhususan daerah

(keunikan wilayah), baik yang menyangkut

kondisi khas keadaan alam dan kehidupan

daerah, kebutuhan lingkungan serta ketersediaan

(keterlimpahan maupun keterbatasan) fasilitas

sarana dan prasarana belajar mengajar. Karena

geografi itu, merupakan ilmu observasional,

menurut Iman Sudradjat (Daldjoeni, 1997: 130)

maka diper-lukan pengamatan lapangan. Selain

itu, pengetahuan peta ditambahkan supaya

pemahaman konsep keruangan menjadi lebih

jelas.

Sebagai contoh, untuk sekolah yang para

siswanya hidup di wilayah dengan kondisi daerah

pegunungan kapur (dengan gejala karst) yang

’tandus’ dan kurang hujan, pengembangan bahan

perlu diperluas dengan membahas lebih lanjut

keadaan pola persebaran air, khususnya sungai di

bawah tanah, keadaan morfologi bentang lahan,

dan juga kemungkinan tumbuhan yang paling

sesuai untuk diusahakan di daerah yang

bersangkutan.

Guru konstruktivis harus memahami konsep

kunci. Konsep kunci adalah suatu konsep yang

hanya spesifik terdapat pada satu disiplin ilmu.

Seorang guru yang berlatar belakang pendidikan

ekonomi tidak boleh mengajar geografi, karena

guru itu tidak memahami konsep kunci geografi,

walaupun guru itu menguasai bahan ajar

geografi. Guru yang hanya menguasai bahan ajar

73

Page 74: Jurnal lengkap sekali

saja atau hanya memahami konsep inti, belum

mampu mengajarkan geografi yang sesuai

karakter geografi. Pengertian konsep inti adalah

suatu konsep yang secara bersama-sama dimiliki

oleh beberapa disiplin ilmu. Guru yang demikian

ini selamanya belum mampu membelajarkan

wawasan kegeografian kepada siswa secara

maksimal.

Perubahan Konsep Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran geografi

mengharuskan guru adalah membantu agar siswa

mampu mengontruksi pengetahuannya sesuai

dengan situasinya yang konkret maka strategi

pembelajaran perlu juga disesuaikan dengan

kebutuhan dan situasi siswa. Karena itu, tidak ada

suatu strategi pembelajaran yang satu-satunya

yang dapat digunakan di manapun dan dalam

situasi apapun. Strategi pembela-jaran yang

disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran,

bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap guru

profesional akan mengembangkan gaya mengajar

dan model pembelajarannya sendiri. Mengajar

adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya

penguasaan teknik, melainkan juga intuisi.

Beberapa ciri strategi pembelajaran

geografi dengan perspektif konstrukti-visme, di

antaranya (1) orientasi, artinya siswa diberi

kesempatan untuk mengem-bangkan motivasi

dalam mempelajari suatu topik. Siswa diberi

kesempatan untuk melakukan observasi terhadap

topik yang akan dipelajari; (2) elicitasi, artinya

siswa dibantu mengungkapkan idenya secara

jelas dengan berdiskusi, menulis laporan,

membuat peta, dan sejenisnya yang berkaitan

dengan studi geografi. Siswa diberikan

kesempatan untuk mendiskusikan apa yang

diobservasikan, dalam wujud tulisan geografi,

peta, ataupun globe; (3) restrukturisasi ide

melalui klarifikasi ide, membangun ide yang baru,

dan mengevaluasi ide barunya dengan

eksperimen di laboratorium geografi; (4)

penggunaan ide dalam banyak situasi; dan (5)

Review, artinya bagaimana itu ide berubah

menjadi lebih jelas dan leng-kap.

Hubungan Guru dan Siswa sebagai Mitra Belajar

Geografi

Dalam konstruktivisme, guru bukanlah yang

mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu

dan karena itu, mereka harus diberi tahu. Pada

74

Page 75: Jurnal lengkap sekali

proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan

membangun pengetahuannya, sedangkan guru

membantu agar pencarian itu berjalan baik. Pada

banyak hal, guru dan siswa ber-sama-sama

membangun wawasan kegeografian dan berpikir

geografik. Dalam artian inilah hubungan guru dan

siswa lebih sebagai mitra yang bersama-sama

membangun wawasan kegeografian dengan

mendalam dan luas.

Perubahan Model Pembelajaran Geografi

Model pembelajaran yang dikembangkan

dengan perspektif konstruktivisme adalah model

pembelajaran berbasis masalah dan

pembelajaran kolaborasi. Model pembelajaran ini

mencakup suatu pendekatan yang luas dan

menyeluruh (Arends, 1997: 7). Model

pembelajaran berbasis masalah meliputi

kelompok-kelompok belajar, siswa bekerja sama

memecahkan suatu masalah yang telah

disepakati bersama. Siswa menggunakan

bermacam-macam keterampilan dan prosedur

pemecahan masalah serta berpikir kritis. Dengan

demikian, model pembelajaran yang

dikembangkan menggunakan sejumlah

keterampilan metodologis dan prosedural,

misalnya merumuskan masalah, mengajukan

pertanyaan, melakukan penelitian, berdiskusi,

dan memperdebatkan temuan, bekerja secara

kolaboratif, menciptakan suatu karya, dan

melakukan presentasi.

Pembelajaran kolaborasi menekankan

pentinya pengembangan belajar secara bermakna

dan pemecahan masalah secara intelektual serta

pengembangan aspek sosial. Dengan demikian, di

antara siswa bergantung satu sama lain dan

mereka bekerja sama saling menguntungkan.

Dalam praktiknya, pembelajaran kolaborasi yang

dilakukan di sekolah lebih berkenaan dengan

kerja kelompok biasa yang antaranggotanya tidak

bergantung satu sama lain (Setyosari, 2010).

PRESKRIPSI MERANCANG PEMBELAJARAN

GEOGRAFI

Proposisi: Belajar ialah proses pemaknaan

informasi baru. Belajar adalah penyu-

sunan pengetahuan dari pengalaman

konkrit, aktivitas kolaborasi, dan

refleksi serta interpretasi.

Implikasinya terhadap pembelajaran

dan evaluasi :

75

Page 76: Jurnal lengkap sekali

Dorong munculnya diskusi

terhadap pengetahuan baru yang

dipe-lajari. Pengetahuan baru

bukan dijiplak untuk diterima

sebagai-mana adanya melainkan

dibangun oleh siswa secara aktif.

Dorong munculnya berpikir

divergen, kaitan, dan pemecahan

gan-da, bukan hanya ada satu

jawaban benar.

Dorong munculnya berbagai jenis

luapan pikiran/aktivitas, seperti:

main peran, simulasi, debat, dan

pemberian penjelasan kepada

teman berkaitan dengan

kegeografian.

Tekankan pada keterampilan

berpikir kritis: analisis,

membanding- kan, generalisasi,

memprediksi, menghipotesis, yang

kesemuannya

untuk mencari solusi dalam

perspektif studi geografi.

Kaitkan informasi baru ke

pengalaman pribadi atau ke

pengetahuan konsep-konsep

geografi yang telah dimiliki oleh

siswa.

Gunakan informasi pada situasi

baru.

Proposisi: Progresivisme berangkat dari

pengakuan bahwa orang yang belajar

harus bebas. Hanya di alam yang

penuh dengan kebebasan si belajar

dapat mengungkapkan makna yang

berbeda dari hasil interpretasinya

terhadap segala sesuatu yang ada di

dunia nyata. Kebebasan menjadi

unsur yang esensial dalam lingkungan

belajar.

Implikasinya terhadap pembelajaran

dan evaluasi :

Sediakan pilihan tugas (tidak

semua mengerjakan tugas yang

sama).

Sediakan pilihan bagaimana cara

memperlihatkan bahwa siswa

telah menguasai apa yang

dipelajari.

76

Page 77: Jurnal lengkap sekali

Sediakan waktu yang cukup untuk

memikirkan dan mengerjakan

tugas.

Jangan terlalu banyak

menggunakan tes yang telah

ditetapkan waktunya.

Sediakan kesempatan untuk

berpikir ulang dan melakukan per-

baikan.

Libatkan pengalaman-pengalaman

konkrit.

Proposisi: Strategi yang dipakai siswa dalam

belajar akan menentukan proses dan

hasil belajarnya.

Implikasinya terhadap pembelajaran

dan evaluasi:

Berikan kesempatan untuk

menerapkan cara berpikir dan

belajar yang paling cocok dengan

dirinya.

Suruh siswa melakukan evaluasi

diri tentang cara berpikirnya,

tentang cara belajarnya, tentang

mengapa ia menyukai tugas

tertentu.

Proposisi : Motivasi dan usaha mempengaruhi

belajar dan unjuk kerja.

Implikasinya terhadap pembelajaran

dan evaluasi:

Motivasilah siswa dengan tugas-

tugas riil dalam kehidupan sehari-

hari dan kaitkan tugas-tugas

dengan pengalaman pribadinya.

Dorong siswa untuk memahami

kaitan antara usaha dan hasil.

Proposisi : Belajar pada dasarnya memiliki aspek

sosial. Kerja kolaborasi sangat

berharga.

Implikasinya terhadap pembelajaran

dan evaluasi:

Beri kesempatan untuk melakukan

kerja kelompok,

Gabungkan kelompok-kelompok

yang heterogen,

Dorong siswa untuk memainkan

peran yang bervariasi,

Perhitungkan proses dan hasil

kelompok.

77

Page 78: Jurnal lengkap sekali

BEBERAPA KENDALA IMPLEMENTASI

PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Ada beberapa faktor yang dapat

menghambat implementasi pembelajaran

geografi dengan perspektif konstruktivisme

adalah sebagai berikut.

1. Kesalahan cara pandang guru geografi

terhadap pembelajaran;

2. Rendahnya budaya belajar untuk

meningkatkan kompetensi profesional di ka-

langan guru geografi;

3. Kesalahan cara pandang siswa terhadap

belajar;

4. Rendahnya budaya belajar dan membaca di

kalangan siswa;

5. Belum tersedianya buku paket geografi yang

dikembangkan dengan pendekatan

geografi; dan

6. Belum beragamnya sumber belajar dan sarana

pendidikan yang disediakan oleh

sekolah.

SOLUSI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN

GEOGRAFI

Beberapa solusi yang dapat digunakan untuk

implementasi pembelajaran geo-grafi sesuai

dengan perspektif konstruktivisme adalah

sebagai berikut.

1. Mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan

seminar pendidikan geografi yang

mengubah cara pandang guru geografi

terhadap pembelajaran yang aktif, inova-

tif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

2. Guru geografi yang sudah mendapatkan

tunjangan sertifikasi dituntut untuk me-

ningkatkan kompetensi profesional, misalnya

melanjutkan pendidikan ke S2

prodi pendidikan geografi dan memiliki laptop

standar.

3. Siswa diberikan pencerahan pentingnya

belajar mandiri dan membudayakan

budaya membaca.

4. Guru mengembangkan bahan pembelajaran

geografi dengan model R2D2 dalam

perspektif keruangan.

5. Sekolah dan keluarga menyediakan sumber

belajar yang beragam dan sarana

pendidikan yang memadai, sehingga siswa

dapat membangun sendiri wawasan

kegeografiannya.

78

Page 79: Jurnal lengkap sekali

KESIMPULAN

Konstruktivisme dipandang sangat penting

dipelajari dan dipraktikkan dalam pendidikan

geografi sekolah, karena memiliki banyak

keunggulan, terutama untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran geografi yang menekankan

kreativitas siswa dalam belajar geografi dan

membangun guru geografi profesional yang

mampu mengujicobakan model pembelajaran

berbasis masalah dan model pembelajaran

kolaborasi pada mata pelajaran geografi melalui

penelitian tindakan.

Konstruktivisme memandang belajar

merupakan penyusunan pengetahuan dari

pengalaman konkret, aktivitas kolaborasi,

refleksi, dan interpretasi, sedang-kan mengajar

sebagai proses membantu siswa untuk

membentuk pengetahuannya sendiri. Peran guru

sebagai fasilitator, motivator, konselor, dan

konsultan bagi siswa terutama dalam memahami

materi sulit.

Guru geografi yang progresivis harus

menguasai bahan ajar geografi secara luas dan

mendalam yang dilandasi pemahaman konsep

kunci, sehingga dapat lebih fleksibel menerima

gagasan siswa yang berbeda. Kebebasan

menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan

belajar dan evaluasi belajar otentik.

Kendala implementasi pembelajaran geografi,

di antaranya (1) kesalahan cara pandang guru

geografi terhadap pembelajaran; (2) rendahnya

budaya belajar untuk meningkatkan kompetensi

profesional di kalangan guru geografi; (3)

kesalahan cara pandang siswa terhadap belajar;

(4) rendahnya budaya belajar dan membaca di

kalangan siswa; (5) belum tersedianya buku paket

geografi yang dikembangkan dengan

pendekatan geografi; dan (6) belum beragamnya

sumber belajar dan sarana pendidikan yang

disediakan sekolah.

Solusi kendala tersebut adalah (1)

mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan

seminar pendidikan geografi yang mengubah cara

pandang guru geografi terhadap pembelajaran;

(2) guru geografi yang sudah mendapatkan

tunjangan ser-tifikasi dituntut untuk

meningkatkan kompetensi profesional; (3) siswa

diberikan pencerahan pentingnya belajar

mandiri dan membudayakan budaya membaca;

(4) guru mengembangkan bahan pembelajaran

79

Page 80: Jurnal lengkap sekali

geografi; dan (5) sekolah dan kelu-arga

menyediakan sumber belajar yang beragam.

DAFTAR RUJUKAN

Ardhana, W.2001. Reformasi Pembelajaran Menghadapi Abad Pengetahuan. Ma- kalah disampaikan dalam kuliah perdana program S2Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya di Surabaya, 19 Mei.Ariends, R.I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw- Hill.Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah. Bandung: Alumni.Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang, 30 November.Gandhi HW, T.W. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-madzab Filsafat Pendi- dikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.Mudyahardjo, R. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.Mustaji dan Sugiarso. 2005. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik Penerapan dalam Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya: Unesa University Press.Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai, dan Tanggung Jawab. Pidato jabatan guru besar bidang ilmu teknologi pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan disampaikan dalam sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang.Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kani- sius.

80