Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

92
Jurnal MANAJEMEN DAKWAH Kajian Manajemen Lembaga Keuangan Syariah, ZISWAF, Haji dan Umroh Penyunting ahli Prof. Dr. Murodi, MA Wahyu Prasetyawan, Ph.D Mitra Bastari Prof. Dr. Asep Muhyiddin, MA (UIN Bandung) Prof. Dr. Bahri Ghozali, MA (IAIN Raden Intan Lampung) Penyunting Pelaksana Amirudin, M.Si Muhammad Zen, MA Drs. Cecep Castrawijaya, MA Editor Bahasa Dr. Suparto, M.Ed Dr. Ahmadi Rojali Jawab, MA Tata Usaha H. Mulkanasir, BA., S.Pd., MM Drs. M. Sungaidi, MA Alamat Redaksi: Program Studi Manajemen Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Telp./Fax. (62-21) 7432728 – 1310 / 7470 3580 Website: http://md.fidik.uinjkt.ac.id/

description

Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi ol. 1 No. 1 Mei 2013

Transcript of Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Page 1: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | i

Jurnal

MANAJEMEN DAKWAH Kajian Manajemen Lembaga Keuangan Syariah, ZISWAF, Haji dan Umroh

Penyunting ahli Prof. Dr. Murodi, MA

Wahyu Prasetyawan, Ph.D

Mitra Bastari Prof. Dr. Asep Muhyiddin, MA (UIN Bandung)

Prof. Dr. Bahri Ghozali, MA (IAIN Raden Intan Lampung)

Penyunting Pelaksana Amirudin, M.Si

Muhammad Zen, MA Drs. Cecep Castrawijaya, MA

Editor Bahasa

Dr. Suparto, M.Ed Dr. Ahmadi Rojali Jawab, MA

Tata Usaha

H. Mulkanasir, BA., S.Pd., MM Drs. M. Sungaidi, MA

Alamat Redaksi: Program Studi Manajemen Dakwah

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Telp./Fax. (62-21) 7432728 – 1310 / 7470 3580 Website: http://md.fidik.uinjkt.ac.id/

Page 2: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

ii | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................i

Daftar Isi ............................................................................................................ ii

Editorial............................................................................................................. iii

1. Murodi

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia ............ 1

2. Hasanudin Strategi Fundraising Zakat dan Wakaf .......................................................... 9

3. Muhammad Zen Evaluasi Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Kabupaten Lebak ........................ 25

4. Sudirman Tebba Media Dakwah dan Ekonomi Umat ............................................................. 47

5. Cecep Castrawijaya Fungsi Mesjid Sebagai Sarana Dakwah..................................................... ..60

6. H. Mulkanasir Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi dalam Tubuh Organisasi dan Lembaga ................................................................. 75

Pedoman Penulisan ............................................................................................ 87

Page 3: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | iii

EDITORIAL

Manajemen, baik dipandang sebagai ilmu (science) maupun seni (art,) pada awal eksistensinya, dapat dicermati kerap kali berkutat pada persoalan industri dan bussines. Perkembangan selanjutnya, justru manajemen sangat diperlukan dan bermanfaat bagi setiap usaha dalam berbagai bidang, tak terkecuali bidang pengembangan dakwah. Karena semua aktivitas manusia yang memiliki tujuan tak bisa terlepaskan dari urgensi manajemen. Sebab manajemen memberikan plumas bagi roda aktivitas manusia untuk menggapai tujuan yang diharapkan. Karena itu, eksistensi manajemen sangat berperan agar substansi dakwah yang akan disampaikan kepada mad’u –melalui berbagai metode—menjadi efektif dan efisien.

Agar proses manajemen dakwah berjalan sesuai dengan koridornya, baik sebagai kajian ilmiah, maupun dalam penerapan manajemen dakwah, maka kontribusi pemikiran pengembangan model manajemen dakwah menjadi suatu keharusan. Istilah manajemen dan dakwah, meski berlatar belakang dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, namun keterpaduan di antara dua disiplin ilmu ini dapat memberikan warna tersendiri dalam khazanah keilmuan Islam. Manajemen dan Dakwah meski berangkat dari perbedaan yang “menyolok”, urgensi manajemen rupanya sudah menjadi sebuah keharusan bagi da’i/manajer untuk optimalisasi gerakan dakwah.

Kajian manajemen dakwah dalam jurnal perdana ini hadir sebagai wahana aktualisasi karya dosen, guru, alumni, mahasiswa dan masyarakat dalam bidang manajemen dakwah. Selanjutnya jurnal ini disusun sebagai bentuk sumbangsih kepada para pembaca yang ingin mengikuti perkembangan keilmuan manajemen dakwah secara khusus. Jurnal ini memuat artikel-artikel secara umum tentang manajemen dakwah yang dibatasi menjadi tiga kelompok kajian. Pertama; kajian manajemen lembaga keuangan syariah. Kedua; manajemen zakat, infak, sedekah dan wakaf, dan ketiga manjemen haji dan umroh

Oleh karena itu, edisi kali ini menampilkan para penulis yang menyampaikan artikelnya pada tiga kajian tersebut. Penulis pertama Murodi mengangkat tentang praktik ibadah haji di Indonesia. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang mesti dipenuhi bagi mereka yang berkemampuan (Istitha’ah). Studi ini mengangkat studi kasus muslim Indonesia. Penulis kedua Hasanudin membahas tentang bagaimana strategi fundrising zakat dan wakaf. Artikel ini mengupas bagaimana cara mengumpulkan zakat dan wakaf sesuai syariat. Selanjutnya, artikel yang ketiga yang disajikan oleh Muhammad Zen berkaitan dengan evaluasi Perda Zakat No. 11 Tahun 2005 di Kabupaten Lebak. Paper ini menjelaskan hasil observasi evaluasi Perda Zakat di BAZDA Lebak dari tahun ke tahun. Sayangnya, evaluasi efektivitas perda tersebut terhadap penghimpunan baru tergali potensi melalui infak/sedekah dari pengusaha. Sedangkan zakat mal/profesi, tergali dari kalangan masyarakat luas dan di kalangan PNS masih minim. Hal ini dapat diketahui dari data yang diperoleh bahwa belum semua instansi pemerintahan yang menunaikan zakat mal/profesi. Kekurangan Perda Pengelolaan Zakat lainnya juga belum mencantumkan sanksi terhadap orang yang enggan berzakat secara mengikat dan

Page 4: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

iv | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

memaksa. Padahal salah satu kekuatan hukum, apabila di dalamnya ada sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi bagi muzakki yang enggan berzakat, dengan begitu potensi zakat dapat terhimpun secara maksimal.

Kajian selanjutnya adalah mengenai media dakwah dan ekonomi umat. artikel ini mengupas tentang bagaimana media massa bisa menjadi media dakwah bagi pemberdayaan bagi ekonomi ummat.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Cecep Castrawijaya di mana mesjid mempunyai fungsi ideal yang tidak hanya sebatas tempat shalat saja, namun lebih luas dari itu bahwa mesjid bisa dijadikan sarana dakwah. Artinya Mesjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, juga sebagai pusat kebudayaan. Oleh karena itu, masjid harus diorganisir secara modern, sehingga fungsi mesjid mampu merespon secara pro aktif perkembangan dan dinamika masyarakat, baik yang menyangkut hubungan vertikal maupun hubungan yang bersifat horizontal.

Mulkanasir dalam artikelnya menganalisis bahwa penyebab utama tumbuhnya penyakit administrasi yang melekat dalam tubuh organisasi adalah manusia itu sendiri dalam kata lain, sistem administrsi organisasi akan berjalan baik dan optimal, jika pengelola administrasi memiliki visi, misi, tujuan, program dan struktur yang baik, dan dijadikan oleh subjeknya secara baik dan benar.

Page 5: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 1

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

Murodi Guru Besar Jurusan Manajemen Dakwah

Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Pilgrimage to Mecca is one of the Islamic pillars that has to be fulfilled by those are able. In this case, ability is not only on the basis of material possession and safety consideration, but also of physical health. Based on these, a Muslim is obliged to perform pilgrimage. The pilgrimage has been performed since the time of Abraham p.b.u. The Indonesian government has been making some efforts to serve this particular program better. It has done a lot of progress in administering the program although it still faces some critiques. For Indonesian Muslim, the pilgrimage has its own specific meaning. Keywords: Haji, Istitha’ah, Indonesia, Pengalaman Muslim

Pendahuluan

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Karena itu, setiap Muslim yang memiliki kemampuan (istitha’ah), wajib menunaikannya sekali seumur hidup. Banyak Muslim memiliki pandangan bahwa jika seseorang telah menunaikan ibadah haji, maka ia telah menyempurnakan agamanya. Ibadah haji berlangsung dalam siklus sekali setahun dan jatuh pada bulan-bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah ([Musim] haji adalah bulan-bulan yang dimaklumi [Q.S. 2: 197]). Artinya, ibadah haji tidak boleh dilaksanakan pada bulan lain. Pada bulan lain, Muslim hanya dapat melaksanakan ibadah umrah yang seringkali disebut dengan istilah “haji kecil”.

Pelaksanaan ibadah haji yang sudah berlangsung cukup lama, katakan saja sejak nabi Ibrahim as hingga kini, memiliki banyak makna, di antaranya makna filosofis, historis, sosiologis, selain makna teologis. Tulisan ini berusaha mencoba menguraikan secara singkat makna haji bagi umat Islam Indonesia.

Kajian Teori Berhaji: Perspektif Muslim Indonesia

Dalam tataran historis, Ibadah Haji memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Paling tidak, sejak nabi Ibrahim as, melaksanakan prosesi ritual ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Karena itu, diketahui bahwa sejak zaman jahiliyah, masyarakat Arab, baik yang berdiam di

Page 6: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

2 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

bagian utara maupun selatan. Selalu datang berkunjung ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Bedanya, ketika itu, banyak mereka yang berhaji, tidak didasari millat Ibrahim, tuntunan ajaran nabi Ibrahim. Baru setelah Islam berkembang di jazirah Arabia, prosesi ritual ibadah haji dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam. Ketentuan itu berlaku hingga kini.

Rukun Islam kelima ini, juga dilaksanaan umat Islam Indonesia, terlebih setelah hubungan ulama Nusantara dengan ulama Haramain semakin kuat. Bagi masyaraat Indonesia, berhaji tidak hanya sekadar melaksanakan ritual keagamaan, sesuai syari’at Islam, juga merupakan salah satu sarana mobilitas sosial keagamaan, bahkan bisa menjadi sebuah label otoritas keagamaan seseorang. Mereka yang telah berhaji, menggunakan gelar tersebut pada nama depannya. Dalam kata lain, berhaji memiliki banyak makna, spiritual, filosofis, sosoilogis, ekonomis, bahkan politis, terutama pada awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Berhaji sangat sarat dengan nilai-nilai politis dan ekonomis. Karena itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi haji, guna mengatur perjalanan haji umat Islam Hindia Belanda. Hal penting dari kebijakan tersebut adalah kekhawatiran pemeritah terhadap dampak negatif bagi pergerakan dan perjuangan umat Islam dalam menentang penjajah Belanda, dengan konsep Jihad Fi sabilillah. Konsep ini menjadi momok bagi penjajah, karena dampak politis sekembalinya mereka dari berhaji, sangat kuat terasa. Umat Islam semakin gencar melakukan perlawanan. Kenyataan tersebut dapat dipahami oleh pemerintah kolonial Belanda, bahwa Haji tidak hanya sebuah ritual ibadah, juga tempat pertemuan umat muslim sedunia. Bahkan ia menjadi muktamar terbesar umat Islam sedunia. Di kota Mekkah dan Madinah, mereka bertemu dengan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia, kemudian bertukar pikiran mengenai keadaan umat Islam di negara masing-masing. Dari sinilah kemudian muncul keinginan umat Islam membebaskan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Barat Kristen. Dalam konteks ini banyak ditemukan data perlawanan umat Islam sekembalinya dari haji (Arief Subhan, 2010).

Dalam konteks Indonesia, ibadah haji tidak hanya merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang mampu, tetapi juga memiliki makna sosiologis dan historis. Karena, bagaimanapun, perkembangan Islam Indonesia, tidak bisa dipahami terlepas dari ibadah haji. Rukun Islam kelima ini memberikan kontribusi sangat penting dalam bidang intelektual-keagamaan dan sosial-politik. Karena itu, tidak berlebihan apabila, peran sentral ibadah haji dalam kehidupan kaum Muslim tersebut mendorong pemerintah kolonial Belanda, dan kemudian pemerintah Republik Indonesia, untuk mengurus seluruh proses penyelenggaraan ibadah haji dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang bertujuan mengatur pelaksanaan ibadah haji.

Makna tesebut berkaitan sangat erat dengan persepsi kaum Muslim Indonesia tentang Mekkah dan Madinah. Hal ini dapat dilihat dari pandangan dan banyak kajian sarjana, bahwa umat Islam Indonesia melihat Mekkah sebagai pusat Islam, baik secara sosial-intelektual, keagamaan dan politik. Hal ini membawa implikasi penting bagi kaum Muslim Indonesia dalam memposisikan Mekkah dan Madinah. Pada umumnya mereka melihat Mekkah dan Madinah sebagai pusat

Page 7: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 3

(center)—tempat intelektualitas, praktik ke agamaan, dan politik. Oleh karena itu, segala sesuatu yang datang dari kota suci tersebut diakui memiliki nilai keislaman lebih kuat dibanding praktik-pratik keagamaan kaum Muslim di wilayah lain. Mekkah diakui sebagai pemegang otoritas keagamaan tertinggi yang menjadi acuan Muslim Indonesia (Arief Subhan, 2010).

Interaksi antara Islam yang berkembang di Asia Tenggara, khususnya kepulauan Nusantara, dan rekannya di Timur Tengah, sudah berlangsung lama. Sejak masa-masa awal perkembangan Islam, para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Anak Benua India telah mendatangi kepulauan Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan Islam kepada masyarakat setempat. Selanjutnya, penetrasi Islam di masa yang lebih belakangan kebanyakan dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara. Semua itu berkelindan dengan jamaah haji asal Indonesia (Azyumardi Azra, 2013).

Makna Ibadah Haji.

Dalam konteks Indonesia, penting dicatat bahwa haji juga mengandung dimensi sosial-politik. Seperti dicatat para sejarawan, pada akhir abad ke-18, Mekkah menjadi basis gerakan gerakan Wahabiyah di bawah pimpinan Muhammad ibn ‘Abdul Wahab (1703-87) bekerjasama dengan Dinasti Sa’udi di Najd. Mereka memberantas segala bentuk keyakinan dan praktik keagamaan yang mereka pandang tidak sejalan dengan teks al-Qur’an. Meskipun dalam corak berbeda-beda, gerakan Wahabiyah telah mengilhami lahirnya berbagai gerakan serupa di Dunia Muslim. Di Indonesia, gerakan Padri di Sumatra Barat (1807-1832) adalah satu-satunya contoh. Gerakan Paderi berkembang menjadi perang sipil menyusul keterlibatan pihak kolonial di dalamnya, yang membela kaum adat yang justru menjadi target gerakan Islam (Christine Elizabeth Dobbin, 1983). Contoh lain adalah Perang Jawa (1825-1930) yang sepenuhnya didukung para ulama dan haji (Murodi, 2000). Merekalah yang mengisi dimensi keagamaan dalam perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro tersebut. Kasus lain adalah pemberontakan Banten yang terjadi pada 1888. Pemberontakan yang muncul di kalangan petani Banten tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari peranan ulama dan haji (Sartono Kartodirdjo, 1966). Kasus-kasus itulah yang memperkuat dimensi politik dalam haji. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa haji berkaitan erat dengan gerakan anti-penjajahan.

Selanjutnya, haji juga memiliki makna sebagai tempat perjumpaan (encounter) kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia yang memungkinkan terjadinya tukar menukar informasi (exchange informations) mengenai keadaan kaum Muslim dari belahan dunia lain. Dalam konteks ini, Martin van Bruinessen, mengatakan bahwa haji merupakan media yang mempersatukan Muslim Indonesia dengan Muslim dari seluruh dunia. Haji juga merupakan media komunikasi dan informasi yang penting. Melalui haji Muslim Indonesia membangun komunikasi dengan saudaranya dari India, Pakistan, Afghanistan,

Page 8: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

4 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Iran, Turki, Uni Soviet (kini Rusia) dan negara-negara Arab lain (Martin van Bruinessen, 1997).

Seperti diketahui, Ibadah haji merupakan rukun Islam (al-arkan al-Islam) kelima. Karena itu, setiap Muslim yang memiliki kemampuan (istitha’ah), wajib menunaikannya sekali seumur hidup. Oleh karena itu, banyak Muslim memiliki pandangan seragam bahwa jika seseorang telah menunaikan ibadah haji, maka ia telah menyempurnakan agamanya. Bagi kaum Muslim, ibadah haji mengandung banyak makna. Pertama, secara antropologis, ibadah haji merupakan jenis ibadah yang di dalamnya terkandung unsur festival. Muslim dari seluruh dunia, dari beragam etnis, bangsa, dan negara—bahkan dari beragam madzhab—bergerak menuju Ka’bah, pusat peribadatan Islam, dengan pakaian yang sama, niat yang sama, dan ucapan yang sama—Labbaik Allahumma Labbaik.. Mereka bergerak dengan Karavan atau Kafilah menuju Ka’bah di Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Jamarat. Perjalanan ini menggambarkan nilai-nilai egaliterianisme dalam ajaran Islam di mana manusia adalah sama di hadapan Allah Swt (Arief Subhan, 2010).

Kedua, secara sosiologis, ibadah haji merupakan media mobilitas sosial bagi yang melaksanakannya. Dalam kasus Indonesia, gelar haji merupakan status sosial yang menyimbolkan sebuah kelas sosial tertentu. Penyandangnya tidak hanya dilihat memiliki kemampuan ekonomi, terkadang bahkan dilihat sebagai ‘alim, yang seseorang yang memiliki otoritas dalam bidang ilmu keislaman. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa gelar haji dapat diibaratkan sebagai “modal agama”(religious capital) yang memiliki kekuatan dan legitimasi dalam pertarungan di lingkungan komunitas, baik di kota maupun di desa, dan dijadikan sebagai media strategis untuk memperoleh pengakuan sosial (M. Amin Akkas, 2005).

Ketiga, masih berkaitan dengan perspektif sosiologis, haji berkaitan dengan terbentuknya komunitas santri di Indonesia. Seperti diketahui, tidak sedikit Muslim Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan sebagainya, tinggal untuk belajar Islam di Mekkah. Para haji dan dan santri lulusan Mekkah inilah yang memberikan banyak sumbangan bagi perkembangan Islam Indonesia dalam bentuk pendirian pesantren, lembaga pendidikan Islam tradisional, yang tersebar di hampir seluruh Indonesia. Para santri lulusan Mekkah ini bertindak sebagai pendiri, pemimpin, dan pengasuh pesantren. Mereka adalah “para arsitek” pendidikan Islam Indonesia (Arief Subhan, 2009).

Keempat, lebih dari semua itu, haji merupakan bentuk ibadah seorang hamba kepada Sang Khalik, mengandung makna filosofis, yang sangat sentral dalam penghayatan ibadah haji. Ibadah haji merupakan sebuah perjalanan menuju Allah Swt dengan penekanan kepada ketundukan dan ketaatan. Oleh karena itu, seorang haji mengalami transformasi spiritual menuju sikap dan perilaku lebih baik. Inilah yang disebut dengan haji mabrur, sebuah kualitas haji yang—seperti disebutkan dalam sebuah hadis—“tidak ada balasannya, kecuali surga” (Al-Muwattha, Bab Haji).

Page 9: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 5

Ibadah haji, sebagaimana diketahui, berpusat di beberapa tempat suci. Kota Mekkah, Masjidil Haram, Ka’bah, Shafa dan Marwa, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Jamarat. Di tempat-tempat itu, yang luasnya sangat terbatas, tidak kurang dari tiga juta Muslimin dari seluruh dunia datang pada waktu hampir bersamaan untuk mengerjakan ritual tertentu dalam ibadah haji. Haji menjadi sebuah festival di mana kota Mekkah dan tempat-tempat tersebut “hidup 24 jam” dengan berbagai aktivitas. Bergelombang manusia menuju masjid, sebagian lainnya berbelanja, dan kelompok lainnya berziarah mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Muslim yang sangat beragam dari segi etnis dan budaya terefleksi dalam pola perilaku yang mereka tunjukkan dalam festival haji. Dalam sebuah ensiklopedi disebutkan, bahwa sekitar 50 persen jamaah haji berasal dari wilayah Arab, 35 persen berasal dari wilayah Asia, 10 persen berasal dari wilayah sub-Sahara Afrika, dan 5 persen berasal dari negara-negara Eropa dan Barat pada umumnya (Robert Bianchi, 1995, Arief Subhan, 2010).

Karena itu, tak dapat dipungkiri, bahwa dalam ibadah haji terdapat nilai kemanusiaan universal. Di tempat-tempat tersebut, setiap Muslim adalah sama dan sederajat. Dalam ritual “tidak mengenakan pakaian berjahit”, hanya mengenakan baju ihram—berupa sarung dan selendang—tanpa penutup kepala; tidak dapat dibedakan lagi stratifikasi sosial masyarakat Muslim. Semua tunduk dan patuh kepada perintah Allah Swt dalam pakaian yang sama. Manusia adalah sama di hadapan Allah; dan pakaian ihram tidak hanya menyimbolkan kesederhanaan dan sikap rendah hati, tetapi juga menyampaikan pesan tentang kemanusiaan universal. Tidak boleh ada perbedaan hakiki antarsesama manusia—terutama yang menyangkut“nilai manusia sebagai manusia”. Nilai-nilai egaliter; sebuah pandangan yang meletakkan manusia dalam kesamaan derajat, yang merupakan doktrin utama dalam Islam, tercermin jelas dalam upacara pelaksanaan ibadah haji. Seluruh jamaah haji mengenakan pakaian putih dan menanggalkan status sosial, ekonomi, dan politik. Semuanya bergerak dengan Ka’bah, rumah Allah, sebagai porosnya, dan keridlaan Allah sebagai tujuan utamanya. Doktrin egalitarianisme merupakan salah satu doktrin utama dalam Islam. Nabi Muhammad Saw selalu menekankan kesatuan antara tawhid dan egalitarisnisme. Muslim yang beriman kepada Allah, mengandung arti bahwa ia menegasikan yang selain Allah. Dan mata Allah, semua manusia adalah sama, lepas dari etnisitas, sosial-ekonomi, afiliasi politik, dan budaya. Hanya taqwa yang akan mengantarkan manusia dekat kepada Allah swt.

Istitha’ah Berhaji: Sebuah Keniscayaan.

Dalam pelaksanaan ibadah haji, ada satu syarat yang mesti dipenuhi para jama’ah calon haji, yaitu istitha’ah atau kemampuan; baik istitha’ah maliyah, istitha’ah amniyah dan istiitha’ah badaniah. Ketiga persyaratan ini mesti terpenuhi dengan baik. Jika tidak, prosesi ritual ibadah haji akan terganggu.

Istitha’ah Maliyah, salah satu faktor yang sangat menentukan. Seseorang baru diwajibkan melaksanakan ibadah haji, jika ia telah memiliki kemampuan material yang cukup untuk pelaksanaan ibadah haji. Kemampuan material itu tidak hanya bagi dirinya yang akan menjalankan ibadah haji, juga bagi keluarga

Page 10: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

6 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

yang akan ditinggalkan selama pelaksanaan ibadah haji. Selain itu, ini yang masih menjadi perdebatan, dengan kemampuan material seperti ini, sebelum ia melaksanakan ibadaha hji, wajib menyelesaikan hutang piutangnya, sehingga keberangkatannya ke tanah suci tidak terganggu persoalan hutang. Perjalanan ibadah haji seseorang, ibarat pengembaraannya yang sangat jauh. Ia memerlukan bekal yang cukup. Tidak hanya taqwa dan kemampuan pengetahuan keagamaan, juga bekal material bagi keluarga yang ditinggalkanya.

Selain Istitha’ah maliah (Kemampuan material atau finansial), yang mesti diperhatikan oleh para jemaah calon haji, adalah persyaratan istitha’ah am niah, (keamanan selama pergi pulang dalam melaksanakan ibadah haji). Faktor keamanaan ini juga menjadi penting, baik keamanaan di dalam negeri, perjalanan, maupun di tempat pelaksanaan ibadah haji, untuk prosesi ibadah haji. Keamanaan di dalam negeri merupakan satu keharusan, untuk kelancaran proses pembekalan dan pemberkasan adminstrasi perjalanan haji di dalam negeri, meski pada periode kolonial, keamanaan terganggu oleh penajajahan Belanda.

Syarat ketiga adalah Istitha’ah Badaniah (kemampuan dan daya tahan fisik). Ketahanan daya tahan fisik ini penting, mengingat ibadah haji, berbeda dengan ibadah lainnya, yang mengharuskan adanya kekuatan daya tahan fisik para jema’ah calon haji, terutama pada saat thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah. Proses ini memerlukan ketahanan fisik prima. Jika tidak atau kurang prima, maka dikhawatirkan banyak jema’ah kelelahan, karena kondisi fisik dan daya tahan tubuh mereka yang menurun (Arief Subhan, 2010).

Meskipun sebelum keberangkatan, di tanah air, telah dilakukan tes kesehatan, pelayanan rujukan bagi jema’ah calon haji, dan pembinaan kesehatan, tetapi masih banyak ditemukan adanya ketidakberdayaan secara fisik bagi para jama’ah calon haji Indonesia.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, SpRM, diketahui, bahwa data profil kesehatan haji tahun 2005 dan 2006 tercatat angka kunjungan rawat jalan sebanyak 454.675 kunjungan dari 180.558 orang jemaah haji, dengan rata – rata 2,25 kali kunjungan perjamaah, dengan urutan terbanyak kasus penyakit saluran pernapasan (67,05%) dan penyakit muskulos keletal (9,08%). Sedangkan kasus rawat inap pasca haji di BPHI (Balai Pengobatan Haji Indonesia di Arab Saudi) sebesar 44,73% dengan urutan teratas penyakit kardiovaskular, dan penyebab kematian terbanyak adalah penyakit kardiovaskular sebesar 53,78% (Syarif Hasan Luthfie, 2010).

Oleh karena itu, ketidaksiapan fisik pada jamaah calon haji dapat mengundang kelelahan, seperti menurunnya respons jaringan terhadap stimulus yang tetap atau dibutuhkannya stimulus yang lebih besar untuk memproduksi suatu respons. Selama berlangsungnya proses ritual ibadah haji, sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bahwa tidak ada satu pun kegiatan ritual haji yang tidak menggunakan fisik. Faktor kelelahan akibat aktivitas fisik yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada jemaah haji, walaupun banyak faktor penyebab lainnya. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap daya tahan fisik, menurut Syarief Hasan Luthfie,

Page 11: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 7

adalah rendahnya tingkat kemampuan endurans, keluhan pegal pada otot merupakan kelelahan otot karena aktivitas berjalan kaki yang cukup tinggi, yang diakibatkan ketidakmampuan elemen kontraktil otot untuk melakukan fungsinya yang disebabkan habisnya cadangan energi dalam otot, penimbunan asam laktat, gangguan kardiovaskular dan neuromuskular. Keseimbangan faali tubuh terganggu akibat aktivitas yang berlebihan tanpa ada persiapan endurans (Syarif Hasan Luthfie, 2010).

Dengan merujuk pada hasil reiset tersebut, dapat dipahami bahwa istitha’ah badaniah seorang jemaa’ah calon haji sangat diperlukan. Karena pada dasarnya, ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang sangat mengandalkan ketahanan fisik, selain kemampuan pengetahuan keagamaan soal haji dan kemampuan materi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah seharusnya semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang akan melaksanakan ibadah haji, memperhatikan problem ketahanan fisik. Hanya, memang, untuk kasus Indonesia, cukup problematik. Karena banyak jema’ah calon haji berusia di atas 50 tahun, bahkan ada yang lebih dari itu. Selain itu, banyak pula di antara mereka yang sudah berhaji lebih dari satu kali. Pemerintah Indonesia, meski sudah mengatur masalah ini, tetap saja mengalami kesulitan. Karena mereka tetap berpendirian bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 ini. Bahkan banyak pula di antara mereka yang berkinginan meninggal di Tanah Haram. Jika harapan itu tercapai, maka mereka masuk ahli surga, karena sedang berjihad di jalan Allah lewat ritual ibadah haji. persoalan inilah yang menjadi problem tersendiri bagi pemerintah (Syarif Hasan Luthfie, 2010).

Sementara untuk masyarakat muslim Indonesia, semestinya jika mereka sudah berhaji, dan sesuai syari’at hanya sekali seumur hidup, memberikan kesempatan kepada muslim lainnya untuk berhaji. Terlebih apabila usia mereka telah lanjut. Hanya, memang, terkadang banyak di antara mereka yang berangkat dalam kondisi fisik kurang prima, saat pelaksaan ibadah haji, mereka mampu melaksanakan semua syarat dan rukun haji dengan baik, melebihi mereka yang berkondisi fisik prima.

Dengan melihat kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa istitha’ah merupakan problem tersendiri yang dihadapi para jema’ah calon haji dan pemerintah Indonesia, adalah masalah istitha’ah ini. Kita berharap, ke depan, pemerintah Indonesia terus berbenah diri untuk menata perhajian menjadi lebih baik lagi.

Penutup

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang mesti dipenuhi bagi mereka yang berkemampuan (Istitha’ah). Tidak hanya Istitha’ah Maliah, Amniah, juga Badaniah. Jika ketiga istitha’ah tersebut terpenuhi, maka seorang muslim telah memilki kewajiban melaksanakan ibadah haji.

Page 12: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Ibadah Haji dan Problem Istitha’ah: Pengalaman Muslim Indonesia.

8 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Dalam tataran sejarahnya, Muslim Indonesia telah lama melakukan perjalanan ibadah haji, terlebih sejak abad ke-17 hingga kini. Perjalanan haji di Indonesia pernah dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap membahayakan eksistensinya. Sebab, banyak di antara mereka yang kembali, membawa ideologi baru yang dianggap radikal dan mengancam kekuasannya. Tetapi, seiring perjalanan waktu, terutama di masa Orde Lama dan Orde Baru hingga Orde Reformasi, pemerintah telah berusaha maksimal memenej persoalan perhajian di Indonesia, meski banyak menuai kritik.

Bagi Muslim Indonesia, khususnya, ibadah haji memiliki makna tersendiri. Paling tidak berhaji merupakan sarana mobilitas sosial, di mana seseorang jika telah menyelesaikan ibadah haji, ia akan menempati status sosial tersendiri di tengah masyarakatnya. Selain itu, menjadi peneguh atas otoritas social keagamaan yang dimilikinya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Daftar Pustaka

Bruinessen, Martin van, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci, Orang Nusantara Naik Haji” dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein (ed.), Indonesia dan Haji (Jakarta: INIS, 1997)

Akkas, M. Amin, haji dan Reproduksi Sosial: Strategi Untuk Memperoleh Pengakuan Sosial pada Masyarakat Kota Pinggiran, ( Jakarta: Mediacita, 2005), Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Edisi Revisi, ( Jakarta : Kencana, 2013)

Bianchi, Robert, “Hajj”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), Volume 2

Dobbin, Christine Elizabeth, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 (London: Curzon Press, 1983)

Kartodirdjo, Sartono, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel : A Case Study of Social Movements in Indonesia (Leiden: KITLV, Nijhoff, 1966).

Luthfie, Syarief Hasan, Penggunaan Insol dan Pengaruhnya terhadap Kemampuan Endurens Jema’ah Calon Haji Indonesia, ( Jakarta: UIN Jakarta Press, 2010). Murodi, Melacak Asalu Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20 M : Pergulatan Antara Modernitas dan Identitas, ( Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009)

Page 13: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 9

STRATEGI FUNDRASING ZAKAT DAN WAKAF

Hasanudin Dosen Jurusan Manajemen Dakwah

Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Fundraising is an important component in administering alms and

endowments for it ensures the success of the organization of charity. At least it can be seen as to survive, develop the organization, support independency, create supporting platform, and initiate an effective and strong organization. A charity organization is in urgent need to develop it innovation to conduct fundraising, for it can collect many resources from individual, organization, community, the government, corporate, and legal body organization. These resources can be used to support programs and activities that ensure the achievement of organization’s vision and mission. Keywords: Strategi, Fundraising, Zakat, Wakaf.

Pendahuluan Dalam dua dasa warsa terakhir, ada kemajuan yang cukup pesat dalam

fundraising (penggalangan) dana ZIS (Zakat, Infak, dan Shadaqah). Beberapa lembaga seperti Yayasan Dompet Dhuafa Republika (DD) di Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) di Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid (DT) di Bandung, Yayasan Baitulmaal Muamalat (BMM) di Jakarta, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) di Jakarta, dan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah) DKI Jakarta, melakukan penggalangan ZIS secara profesional dan inovatif. Seperti layaknya lembaga filantropi modern, mereka menggunakan strategi direct mail, media campaign, special event, dan strategi modern lainnya dalam menggalang ZIS (Zaim Saidi ; 2003 ; h. xxxiii).

Program fundraising dikemas dengan canggih dan inovatif sehingga menarik minat masyarakat. Dompet dhuafa, misalnya, meluncurkan program zakat on-line dan internet banking yang memungkinkan donatur untuk membayarkan zakatnya lewat internet atau lewat debet rekening. Mereka juga menggunakan email atau SMS (Short Message Service) bekerja sama dengan m-zakat (mobile zakat) untuk menggalang dana dari masyarakat (Zaim Saidi ; 2003 ; h. 73 - 75). Hal serupa dilakukan oleh Baitulmaal Muamalat (BMM), sebuah yayasan yang didirikan PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia, Tbk (Hasanudin ; 2010 ; h. 2). Sedangkan DPU Daarut Tauhid menggunakan radio campaign lewat radio MQ dan program televisi yang dikelolanya untuk menggalang dana masyarakat.

Kesan profesional juga nampak dengan adanya divisi khusus penggalangan dana atau divisi pemasaran yang menjadi semacam “mesin pencari

Page 14: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

10 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

dana” bagi keenam lembaga tersebut. YDSF, misalnya, memiliki departemen marketing yang membawahi Jupen (Juru Penerang/semacam humas) dan Jungut (Juru Pungut) yang terjun ke lapangan untuk mencari donatur baru dan memungut dananya secara teratur (Zaim Saidi ; 2003 ; h. 139 – 164). Sementara DD mengembangkan pola marketing murni dalam pencarian donatur lewat direktorat penghimpunan. Direktorat ini membawahi divisi corporate marketing yang menggalang dana dari perusahaan dan divisi retail marketing yang menangani donatur individual. DD juga mempunyai beberapa sales marketing yang terjun ke berbagai tempat untuk mencari donatur.

Dalam menjalankan aktivitasnya, keenam lembaga ini juga benar-benar menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat, khususnya para donatur. Karena itulah, mereka selalu berupaya menjalankan prinsip transparansi dan keterbukaan dalam mengelola dana yang diterima dari masyarakat. Di kalangan pengelola dana umat, keenamnya mempelopori proses transparansi ini dengan melibatkan akuntan publik independen pada proses audit laporan keuangannya. Mereka juga secara rutin melaporkan pemasukan dan pemanfaatan dananya kepada para donatur, secara langsung maupun lewat publikasi media.

Kajian Teori Pengertian Strategi Fundraising

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1995 ; h. 1902) strategi adalah: Ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai. Secara etimologi, strategi berasal dari bahasa Yunani, strategos yang berati jenderal. Strategi pada mulanya berasal dari peristiwa peperangan yaitu sebagai suatu siasat untuk mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi berkembang untuk semua kegiatan organisasi termasuk keperluan ekonomi, sosial, budaya, dan agama (Rafiudin ; 1997 ; h.76). Menurut Sondang Siagian, stategi adalah cara terbaik untuk mempergunakan dana, daya, dan tenaga yang tersedia sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan (Sondang Siagian ; 1986 ; h. 17). Chandler, yang dikutip Supriyono, mendefinisikan strategi sebagai penuntun dasar goals (tujuan) jangka panjang dan tujuan lembaga serta pemakaian cara-cara bertindak dan alokasi sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan (Supriyono ; 1985 ; h. 9). Bagi Onong Uctjana (1999 ; h.32), strategi adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai tujuan. Sementara menurut Steiner dan Minner (2002 ; h.20) strategi adalah penempatan misi, penetapan sasaran organisasi, dengan mengingat kekuatan eksternal dan internal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat, sehingga tujuan dan sasaran utama organisasi akan tercapai.

Dalam pelaksanaannya, strategi adalah upaya bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan. Karena strategi merupakan upaya pelaksanaan, maka strategi pada hakikatnya merupakan suatu seni yang implementasinya didasari oleh intuisi, perasaan, dan hasil pengalaman. Strategi juga dapat merupakan ilmu, yang langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan data dan fakta yang ada. Seni dan ilmu yang digunakan untuk membina atau mengelola sumber daya yang dimiliki dalam suatu rencana atau tindakan. Strategi

Page 15: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 11

biasanya menjangkau masa depan, sehingga pada umumnya strategi disusun secara bertahap dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. (http://id.shvoong.com).

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa strategi merupakan satu kesatuan rencana yang terpadu yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Menyusun strategi perlu dikaitkan dengan lingkungan organisasi, sehingga dapat disusun kekuatan strategi organisasi. Dalam pencapaian tujuan organisasi diperlukan alternatif strategi yang dipertimbangkan dan harus dipilih. Strategi yang dipilih akan diimplementasikan oleh organisasi dan akhirnya memerlukan evaluasi terhadap strategi tersebut.

Sementara itu, yang dimaksud fundraising menurut Kamus Inggris-Indonesia adalah pengumpulan dana. Orang yang mengumpulkan dana disebut fundraiser (Peter Salim ; 2000 ; h.607). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 ; h. 541), yang dimaksud dengan pengumpulan adalah proses, cara, pengumpulan, penghimpunan, pengerahan. Fundraising dapat diartikan sebagai kegiatan menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari masyarakat (baik individu, kelompok, organisasi, perusahaan ataupun pemerintah) yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional lembaga yang pada akhirnya untuk mencapai misi dan tujuan dari lembaga tersebut. Fundraising adalah suatu kegiatan penggalangan dana dari individu, organisasi, maupun badan hukum. Fundraising juga merupakan proses mempengaruhi masyarakat.

Dalam fundraising, selalu ada proses mempengaruhi. Proses ini meliputi kegiatan memberitahukan, mengingatkan, mendorong, membujuk, merayu atau mengiming-iming, termasuk juga melakukan penguatan/stressing, jika hal tersebut memungkinkan atau diperbolehkan. Fundraising sangat berhubungan dengan kemampuan perseorangan, organisasi, badan hukum untuk mengajak dan mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan kesadaran dan kepedulian.

Subtansi dasar fundraising dapat diringkas pada tiga hal; motivasi, program, dan metode ( www.hendrakholid.net). Motivasi, adalah serangkaian pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan dan alasan-alasan yang mendorong donatur untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Dalam kerangka fundraising, nazhir atau amil harus terus melakukan edukasi, sosialisasi, promosi, dan transfer informasi sehingga menciptakan kesadaran dan kebutuhan pada calon wakif atau muzakki. Program, yaitu kegiatan pemberdayaan implementasi visi dan misi lembaga perwakafan (nazhir) sehingga masyarakat yang mampu tergerak untuk memberikan zakat dan wakaf. Sedang metode fundraising adalah pola, bentuk atau cara-cara yang dilakukan oleh sebuah lembaga dalam rangka menggalang dana dari masyarakat. Metode fundraising harus mampu memberikan kepercayaan, kemudahan, kebanggaan dan manfaat lebih bagi masyarakat donatur.

Jadi, yang dimaksud dengan strategi fundraising adalah Ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya untuk melaksanakan kegiatan menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari individu, kelompok, organisasi, masyarakat, pemerintah, perusahaan, maupun badan hukum yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional organisasi untuk mencapai misi dan tujuan organisasi.

Page 16: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

12 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Pengertian Zakat dan Wakaf

Zakat, ditinjau dari segi bahasa merupakan kata dasar (masdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik (Mu’jam Wasith, Juz 1, hal.398). Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik. Dari segi istilah fiqh, al-Zakah ism li qadar makhshush min mal makhshush yajibu sharfuhu ila ashnaf makhshush. (Muhammad Al-Syarbini, hal.187 ). (zakat adalah suatu sebutan untuk kadar tertentu dari harta tertentu yang wajib dibagikan untuk pihak-pihak yang juga tertentu).

Zakat berarti tumbuh (numuww), berkembang dan berkah disebut dalam HR. At-Tirmidzi atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan seperti disebut dalam QS. At-Taubah : 103:

Artinya: Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS : At-Taubah/9 : 103).

Zakat juga berarti bertambah (ziyadah). Jika diucapkan, zaka al-zar’, artinya adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakaata al-nafaqaah, artinya nafkah tumbuh dan bertambah jika diberkati. Zakat berarti “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at- tath-hiir), (www.semuabisnis.com).

Abu Muhammad Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa lafadz zakat diambil dari zakah yang berarti nama’ (kesuburan dan penambahan). Abu Hasan al-Wahidi mengatakan bahwa zakat mensucikan harta dan memperbaikinya, serta menyuburkannya. Menurut Mohammad Daud Ali, zakat berasal dari kata zaka, artinya tumbuh dan subur. Makna lain dari zaka, sebagaimana digunakan al-Qur’an adalah suci dari dosa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi bahasa zakat diartikan an-nama’ yang berarti kesuburan/ tumbuh/ berkembang. Zakat, al-barakatu, keberkahan, thaharah, kesucian, dan ash-shalahu, keberesan (Majma Lughah al-Arabiyah ; 1972 ; hal. 396).

Menurut istilah, al-Mawardi dalam kitab Hawi, zakat adalah sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan yang tertentu. Asy-Syaukani, mengatakan bahwa zakat adalah memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya. Zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh syara’. Menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).

Page 17: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 13

Dengan perkataan “hak telah ditentukan besarnya“ (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak berupa pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan“yang wajib (dikeluarkan)“ (yajibu), berarti zakat tidak mencangkup hak-hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunah). Sedangkan ungkapan“pada harta-harta tertentu“ (fi amwaalin mu’ayyanah ) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya (www.gaulislam.com).

Menurut istilah syara' juga, zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu atau hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.” (Al-‘inayah hlm.481).

Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan, “Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah SWT.” Menurut Mazhab Syafi’I, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut mazhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud dengan kelompok khusus adalah delapan kelompok yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat al-Taubah ayat 60.

Dari sini jelaslah bahwa kata zakat, menurut terminologi para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penunaian”, yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Zakat dinamakan sedekah karena tindakan itu akan menunjukan kebenaran (shidiq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan keta’atan kepada Allah SWT. Zakat menurut syara‘ dalam bahasa Al-Qur’an dan as-sunnah digunakan juga kata shadaqah, berbeda dengan nama-nama yang diberi nama (al-ahkam al-sulthaniah bab II) :“wilayah al-shadaqat“ (http://labkom.unikom.co.id).

Sementara itu, wakaf secara bahasa menurut Al-Azhari (jilid 9) dalam Tahdzibu al-Lughah berarti al-habsu (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’, yang berarti menahan sesuatu. Imam Anatarah, dalam syairnya, berkata: “Untaku tertahan di suatu tempat, Seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu”. Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.

Dengan demikian, pengertian wakaf, secara bahasa, adalah menyerahkan harta (tanah, uang, bangunan, dan lain-lain) kepada orang-orang miskin--atau untuk orang-orang miskin--untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang

Page 18: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

14 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu (Zamakshsyari).

Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan kata-kata di atas (segala jenis hewan dan tanah) atau yang lainnya, termasuk ungkapan yang tidak lazim (jelek). Yang benar, adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu”, tanpa memakai hamzah (auqaftu) (Qamus Muhit). Adapun, yang semakna dengan kata “habistu”, adalah seperti ungkapan: “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”. tidak dibaca “auqaftu”, karena hal itu adalah ungkapan yang salah.

Sedangkan, kata mauquf (obyek wakaf) adalah bentuk masdar atau menunjukkan bentuk masdar dari kata “waqafa”, meskipun yang dimaksud adalah isim maf’ul (objek). Karenanya, bentuk pluralnya adalah auqaf, seperti kata waqtu (waktu) yang bentuk pluralnya adalah auqat (Mathrazi, 1328 H).

Sebagai kata benda, kata wakaf semakna dengan kata al-habsu. Kalimat: habistu ahbisu habsan dan kalimat: ahbastu uhbisu ahbaasan, maksudnya adalah waqaftu, yaitu menahan. Dan kalimat hubisa al-faras fi sabilillah (menahan kuda di jalan Allah) dan kalimat ahbisuhu (aku menahannya), berarti kuda itu menjadi muhbis atau haabis (tertahan), dan kata muannatsnya adalah habisah (kuda betina yang tertahan). Sedangkan bentuk pluralnya adalah habais (barang-barang yang tertahan), sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits: “…yang demikian itu adalah habisun fi sabilillah”, artinya kuda yang ditahan oleh para prajurit sebagai tunggangan untuk berjihad (perang).

Kata haabis adalah isim fa’il (kata ganti subyek) yang bermakna isim maf’ul (kata ganti objek), dan setiap yang tertahan di muka bumi ini dinamakan haabis, yang terletak di atas sesuatu, waqafahu shahibuhu wakafan muharraman, sahabatnya mewakafkan dia sesuatu yang tidak bisa diwariskan, tidak dihibahkan dan tidak pula dijual, baik rumah ataupun kurma, dimana barang tersebut bentuk dasarnya didiamkan untuk jangka waktu yang lama, dan hasilnya disalurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan (Tim DEPAG, 2006).

Pengertian menghentikan ini, jika dikaitkan dengan waqaf dalam istilah ilmu tajwid ialah tanda berhenti dalam bacaan Al-Qur’an. Begitu pula bila dihubungkan dalam masalah haji yaitu wuquf, berarti berdiam diri atau bertahan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Definisi wakaf menurut etimologis atau lughat yang bermakna menahan harta dan memanfaatkan hasilnya di jalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan. Maknanya disini, menghentikan manfaat keuntungannya dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta (‘ain benda itu), seperti menjual, mewariskan, menghibahkan, mentransaksikannya, maka setelah di

Page 19: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 15

jadikan harta wakaf, tidak boleh tidak, hanya untuk keperluan agama semata, bukan untuk keperluan si wakif atau individual lainnya (Abdul Halim, 2005).

Abu Bakar Jabir Al-Jazair mengartikan wakaf sebagai penahanan harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwaris, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima zakat.

Sementara dalam UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dalam perspektif ekonomi, wakaf dapat didefinisikan sebagai pengalihan dana (atau aset lainnya) dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan pendapatan untuk konsumsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun kelompok.

Dari beberapa definisi diatas, mengindikasikan sifat abadi wakaf atau dengan ungkapan lain, istilah wakaf diterapkan untuk harta benda yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu sendiri. Oleh karenanya wakaf identik dengan tanah, kuburan, masjid, langgar, meskipun adapula wakaf buku-buku, mesin pertanian, binatang ternak, saham dan aset, serta uang tunai (wakaf tunai/cash waqf). Dengan demikian, secara garis besar wakaf dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, direct wakaf dimana aset yang ditahan/diwakafkan dapat menghasilkan manfaat/jasa yang kemudian dapat digunakan oleh orang banyak (beneficaries) seperti rumah ibadah, sekolah dan lain-lain. Kedua, adalah wakaf investasi (aset yang diwakafkan digunakan untuk investasi). Wakaf aset ini dikembangkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dapat dijual untuk menghasilkan pendapatan, dimana pendapatan tersebut kemudian digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, pusat kegiatan umat Islam, dan lain-lain (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007).

Sedangkan menurut istilah, wakaf didefiniskan sebagai berikut: Pertama, Imam Nawawi, yang bermadzhab Syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan: “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”. Definisi ini dikutip oleh Al-Munawi dalam bukunya, Al-Taisir (Al-Munawi, 2003).

Kedua, Ahmad Imam Syarkhasi, dari madzhab Hanafi, mendefinisakn wakaf dengan: Habsul mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair, menahan harta dari jangkauan (kepemilikan) orang lain (Al-Syarkhasi, Jilid 12). Kata mamluk (harta milik) adalah kata untuk memberikan pembatasan harta yang tidak bisa dianggap milik. Kalimat ‘an al-tamlik min al-ghair (dari jangkauan (kepemilikan) orang lain, artinya bahwa harta yang akan diwakafkan itu tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan wakif.

Ketiga, Ibn Arafah, dari Madzhab Maliki, mendefinisikan wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya meski hanya perkiraan (pengandaian) (Muhammad Abid Abdullah Al-Kabasi, 2003). Kalimat “memberikan manfaat” berarti mengcualikan pemberian barang, seperti hibah.

Page 20: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

16 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Maka orang yang berhibah berarti memberikan barang kepada yang dihibahkan. Kalimat “sesuatu” berarti selain manfaat uang atau yang diuangkan. Kalimat “batas waktu keberadaannya” adalah kalimat penjelas untuk sesuatu yang dipinjamkan dan sesuatu yang dikelola.

Keempat, Ibn Qudamah, dari kalangan madzhab Hambali, memberikan definisi wakaf sebagain menahan yang asal dan memberikan hasilnya (Ibn Qudamah, Al-Mughni ma’a Syarh Al-Kabir, jilid 6). Dari sini, jelas bahwa definisi tersebut berasal dari hadits Nabi SAW kepada Umar bin Khathab, dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah (jilid 7) “Tahanlah asalnya dan alirkan hasilnya” Maksud dari kata “asal” adalah baraang yang diwakafkan. Maksud dari kalimat “mengalirkan manfaat” adalah memberikan manfaat barang yang diwakafkan, barupa keuntungan dan hasilnya, untuk suatu kemaslahatan tertentu.

Prinsip, Urgensi, dan Keterampilan Fundraising Prinsip Fundraising

Ada beberapa prinsip Fundraising. Pertama, Harus Meminta, seorang penggalang dana yang efektif harus meminta dengan jelas apa yang harus diberikan, setelah memperhitungkan kemampuan dan kemauan donatur untuk memberi sumbangan ketika ia (penggalang dana) memutuskan apa yang dimintanya dari donatur bersangkutan. Ia juga harus mengulangi permintaan itu untuk menekankan pesannya, dan ia harus membuat segalanya sedemikian rupa sehingga mudah bagi donatur untuk memberikan jawaban (Michael Norton, 2001).

Kedua, Pendekatan Pribadi, banyak penggalang dana yang lebih suka mengirimkan surat meminta sumbangan. Ini bukan merupakan cara yang efektif untuk mendapat sumbangan. Fundraiser perlu memikirkan masak-masak bagaimana melakukan pendekatan yang terbaik (efektif). Setidaknya ada dua cara yang patut dipertimbangkan: (1) Adakan pertemuan di lokasi program, karena dengan begitu calon donatur dapat melihat kegiatan lembaga dan bertemu muka dengan kelompok-kelompok yang mendapat manfaat dari program. (2) Gambarkan rekaman program dengan rekaman video, atau dengan foto-foto, atau bawalah beberapa orang rekan kerja ke rapat-rapat penggalang dana (www.google.com/Yayasan Obor Indonesia).

Ketiga, Memahami Sudut Pandang Donatur. Dalam diri donatur mungkin timbul berbagai perasaan dan pikiran ketika ia memutuskan akan memberikan sumbangan. Seorang penggalang dana harus memahami proses ini (www.google.com/Yayasan Obor Indonesia). Tindakan memberi sumbangan dilandasi oleh keyakinan, harapan, dan kemurahan hati. Penggalang dana juga perlu memahami bahwa donatur mungkin punya alasan pribadi sehingga ia mau memberi sumbangan, dan membangun di atas kepentingan donatur itu (www.google. Com/Menggalang Dana).

Keempat, Menggalang Dana berarti Berhubungan dengan Donatur. Donatur tidak memberi sumbangan pada organisasi. Donatur memberi sumbangan untuk menolong orang lain atau melakukan sesuatu guna mewujudkan dunia yang lebih baik. Tugas penggalang dana adalah menunjukkan bahwa ia dapat berperan membantu donatur melakukan apa yang ingin dilakukannya. Salah

Page 21: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 17

satu cara untuk menunjukkan itu adalah melalui study kasus, yaitu dengan cara melukiskan kegiatan yang dilakukan dengan contoh-contoh dari orang-orang yang pernah dibantu, tunjukkan bagaimana penggalang dana mengubah kehidupan mereka, tunjukkan apa yang dilakukan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih asri, dan sebagainya. Dengan demikian penggalang dapat menunjukkan kepada donatur bahwa uang sumbangan merekalah yang menghasilkan semua perbaikan dalam kehidupan itu.

Kelima, Menggalang Dana Berarti Menjual. Menggalang dana adalah sebuah proses yang terdiri atas dua tahap: Tahap ke-1, Menunjukkan kepada calon donatur bahwa ada kebutuhan penting yang dapat dipenuhi melalui kegiatan lembaga (www.google. Com/Menggalang Dana). Jika mereka sependapat bahwa kebutuhan itu penting, dan perlu dilakukan sesuatu yang berarti untuk itu, dan jika mereka sependapat bahwa bahwa organisasi anda sedang melakukan sesuatu yang berarti untuk mengadakan perubahan, dan jika anda dapat menunjukkan kepada mereka bahwa dukungan dari mereka akan dapat membuahkan hasil yang baik lagi-maka akan mudah meminta mereka untuk memberi sumbangan (Michael Norton, 2001).

Tahap ke-2, Menggalang dana bukan berarti meminta uang tetapi lebih mengenai menjual ide bahwa donatur dapat mewujudkan perubahan dalam masyarakat. Menggalang dana juga lebih banyak mengenai “menjual” dari pada mengenai “bercerita”. Menggalang dana adalah meyakinkan orang agar mau menyumbang, dan menunjukkan alasan-alasan mengapa kegiatan bersangkutan penting (www.gooogle.com/menggalang dana). Sukses Fundraiser tergantung pada kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu untuk membantu dan mendukung (www.gooogle.com/menggalang dana).

Keenam, Kepercayaan dan Hubungan Masyarakat. Orang lebih suka memberi sumbangan kepada organisasi dan kegiatan yang sudah mereka kenal. Ini berarti reputasi organisasi dan hubungan masyarakat yang baik sangat penting (www.gooogle.com/menggalang dana). Berita di media mengenai kegiatan organisasi, memaparkan hasil-hasil yang dicapai dalam brosur yang dikirimkan kepada penyumbang, mendapatkan dan menyebarkan komentar mengenai mutu kegiatan dari para ahli dan tokoh-tokoh masyarakat, semua ini dapat membuat orang menyadari pentingnya apa yang lembaga lakukan dan membuat orang yakin bahwa lembaga melakukan kegiatan yang berguna dan membuahkan hasil, dan ini membuat lebih mudah bagi mereka untuk memutuskan mendukung kegiatan.

Ketujuh, Donor tidak tahu berapa harus memberi. Salah satu masalah adalah donatur tidak tahu harus memberi berapa besar. Mereka mungkin tidak ingin memberi terlalu besar, tetapi di pihak lain, mereka juga mungkin tidak ingin memberi terlalu sedikit, agar tidak dikira kikir (www.gooogle.com/menggalang dana).

Kedelapan, Mengucapkan Terima Kasih. Mengucapkan terima kasih sangat penting, karena dengan mengucapkan terima kasih, berarti menghargai dan mengakui kedermawanan donatur (www.gooogle.com/menggalang dana). Mengucapkan terima kasih juga sebuah tindakan untuk kepentingan sendiri dalam arti yang baik, yaitu donatur menjadi merasa lebih dekat dengan organisasi dan boleh jadi bersemangat untuk memberi sumbangan lagi di masa depan.

Page 22: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

18 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Kesembilan, Keterlibatan dan Kesungguhan Berbuat untuk Jangka Panjang. Yang diperlukan sebenarnya adalah donatur memberi sumbangan secara teratur dan dalam jumlah cukup besar. Semua upaya untuk mencari donatur dan meyakinkannya sehingga ia mau memberi sumbangan akan benar-benar berhasil hanya jika donatur terus memberi selama bertahun-tahun dan memberi sumbangan yang cukup besar. Dan jika donatur kemudian bersedia meminta teman-temanya untuk membantu atau menyumbangkan waktu sebagai sukarelawan, itu berarti fundraiser mendapat bonus. Untuk mencapai ini berarti fundraiser harus mengajak donatur agar mau terlibat dalam kegiatan organisasi dan sungguh-sungguh membantu organisasi mencapai tujuannya.

Kesepuluh, Tanggung Jawab dan Melapor. Bila fundraiser mendapat dana dari seseorang, maka mempunyai tanggung jawab untuk: (1)Memastikan uang itu dibelanjakan untuk tujuan yang telah ditentukn sebelumnya. Bila ini tidak dilakukan, itu berarti telah ingkar janji. (2)Memastikan uang itu dibelanjakan dengan sebaik-baiknya dan benar-benar mencapai hasil yang nyata. Langkah selanjutnya adalah memberi laporan kepada para donatur sekalipun donatur tidak memintanya. Ini dilakukan untuk menunjukkan kepada donatur bahwa dana sumbangannya digunakan dengan efektif (www.gooogle.com/menggalang dana).

Urgensi Fundraising

Menurut Michael Norton (2001) Menggalang dana adalah unsur yang sangat penting karena menentukan berhasil atau tidaknya organisasi. Urgensinya terletak pada 5 (lima) hal yaitu:

Pertama, Bertahan hidup. Semua organisasi perlu uang agar dapat terus hidup, baik untuk membiayai proyek dan program pembangunan masa depan, membayar upah dan gaji staf, biaya operasi kantor, pengeluaran rutin, merawat bangunan kantor dan kendaraan, dan untuk membeli alat-alat baru. Daftar kebutuhan itu menjadi sangat panjang. Satu hal yang pasti adalah bila uang tidak dihimpun, organisasi tidak dapat melakukan kegiatan. Bila kegiatan tidak dilakukan, maka semua kebutuhan yang mendesak itu tidak dapat terpenuhi.

Kedua, Perluasan dan pengembangan. Organisasai yang ingin terus hidup di masa depan perlu memperluas dan mengembangkan kegiatan, meningkatkan layanan, memperluas kegiatan ke daerah atau wilayah lain, melakukan penelitian, melakukan kampanye dan advokasi, mengadakan eksperimen dan mencari terobosan. Untuk itu diperlukan dana dalam jumlah yang lebih besar lagi.

Ketiga, Mengurangi hidup bergantung. Banyak organisasi yang dibiayai dana yang diperoleh dari satu atau beberapa donatur besar. Ini dapat menempatkan organisasi dalam situasi hidup bergantung pada pihak lain. Jika salah satu dari dana bantuan itu dihentikan, maka dapat menimbulkan krisis keuangan. Mencari donatur-donatur baru dan menciptakan sumber-sumber penghasilan lain dapat mengurangi hidup bergantung.

Keempat, Membangun landasan pendukung. Menggalang bukan semata-mata urusan uang. Menggalang dana juga berurusan dengan menggalang pendukung. Setiap pendukung sangat penting bagi sebuah organisasi fundraiser. Semua pendukung dapat diyakinkan untuk memberi lagi dalam jumlah yang lebih besar. Mereka juga dapat menjadi sukarelawan atau mengajak teman-teman

Page 23: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 19

mereka untuk mendukung organisasi. Jumlah pendukung menunjukkan tingkat dukungan yang dapat dicapai organisasi, dan karena itu dapat menambah kekuatan lobi dan kampanye organisasi.

Kelima, Menciptakan organisasi yang efektif dan kokoh. Menggalang dana bukan hanya soal mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan agar organisasi bertahan hidup dan menyusun rencana untuk mengadakan perluasan dan pengembangan. Menggalang dana juga soal membantu mewujudkan organisasi yang efektif dan kokoh yang mampu hidup terus di masa depan. Cara yang dapat dilakukan adalah membangun kelompok donatur yang besar dan aktif, mencari orang-orang yang mau mendukung dan merasa turut terlibat dan penting bagi organisasi, serta bersedia memberi dukungan dalam jangka panjang.

Keterampilan Fundraising

Ada sejumlah keterampilan yang perlu dikuasai fundraiser jika ingin berhasil dalam menggalang dana, yaitu : Mulai mengikuti pelatihan atau menggali pengalaman yang diperlukan, mencari jalan untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan dengan cara mengerahkan orang lain untuk membantu, kesungguhan membantu mewujudkan tujuan organisasi, kemampuan meminta, kemampuan meyakinkan, percaya diri dalam menghadapi penolakan, kegigihan, kejujuran, keterampilan sosial, keterampilan berorganisasi, imajinasi dan kreativitas, kontak dan kemampuan menambah kontak, dan menangkap peluang (Michael Norton, 2001). Menyusun Strategi Fundraising

Strategi Menggalang dana menurut Michael Norton (2001) merupakan tulang punggung kegiatan Fundraising sebuah organisasi. Karena itu perlu menyusun langkah-langkah strategis, sebagai berikut:

1. Menentukan Kebutuhan Proses ini dapat diawali dengan menentukan tujuan dan kebutuhan organisasi terlebih dahulu. Seperti: Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi dari sisi keuangan agar organisasi dapat terus melakukan kegiatan pada tingkat operasi yang sekarang? Berapa jumlah uang yang sudah dapat dipastikan akan tersedia dan berapa yang perlu digalang untuk membiayai pengeluaran? Hitung-hitungan ini biasanya dalam bentuk anggaran tahunan dan anggaran bergulir untuk jangka pendek dan jangka menengah (misalnya, untuk lima tahun yang akan datang).

2. Bagaimana agar Organisasi bisa Berkembang Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membiayai organisasi di masa depan: Pertama, Pengembangan Modal. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan dana abadi (corpus funds) dan mengurangi hidup bergantung kepada pihak luar dan mengembangkan sumber dana independen. Kedua, Mengembangkan landasan keanggotaan dan pendukung. Ketiga, Kemampuan berdiri sendiri untuk jangka panjang.

3. Mengidentifikasi Sumber Daya Dalam menyusun strategi menggalang dana yang baik, sebaiknya kita mengidentifikasi sumber-sumber dana yang mungkin dapat digali:

Page 24: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

20 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Dukungan dari perseorangan, dia diajak menjadi anggota atau memberi sumbangan, Sumbangan besar selama hidup, dan warisan setelah meninggal dunia, Dukungan dari kegiatan Fundraising, seperti menggalang dana yang berasal dari sumbangan masyarakat, mengadakan malam hiburan, acara missal seperti jalan kaki 10 kilometer, Pemberian dalam bentuk barang (oleh perorangan atau perusahaan), Pendapatan dari imbalan, kutipan, dan hasil berjualan, Pendapatan investasi dari dana abadi atau bunga deposito, Hibah dari lembaga pemerintah pusat, Hibah dari lembaga non pemerintah, Hibah dari pemerintah daerah (kota, kecamatan, provinsi, negara bagian), Hibah dari lembaga donor internasional atau nasional, Hibah dari yayasan internasional atau lokal, Dukungan dari perusahaan (memberi sumbangan, atau menjadi sponsor), Menyumbangkan keahlian dan ketrampilan atau fasilitas (Michael Norton, 2001).

4. Menilai Peluang Sebelum memutuskan sumber-sumber mana yang akan digali, perlu mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini : pengalaman di masa lalu, pendukung organisasi yang berkaitan, Kita ingin menjadi organisasi macam apa, Gaya kita melakukan kegiatan, radikal atau konservatif, inovatif atau pelopor? Sumber daya dan keahlian yang dimiliki, Sumber dana yang ada sekarang, peluang yang terbuka, dan siapa yang kita kenal.

Tabel 1

SUMBER DANA

Sumber Jangka Pendek dan Sumber Jangka Panjang

Jangka Pendek Jangka Panjang

1. Hibah dari sebuah Yayasan untuk sebuah proyek tertentu

2. Sumbangan dana dari sebuah perusahaan

3. Perusahaan jadi sponsor 4. Hasil menggalang dana dari rumah

ke rumah 5. Hibah dari pemerintah untuk waktu

terbatas

1. Kerjasama dengan lembaga donor untuk menggalang dana jangka panjang

2. Acara malam dana setiap tahun 3. Pendapatan dari iuran anggota 4. Sumbangan tahunan dari donor 5. Kontrak jangka panjang penyedia

jasa dengan lembaga pemerintah

5. Mengidentifikasi Hambatan

Hambatan akan selalu ada ketika kita melakukan sesuatu. Ada hambatan yang timbul karena sifat organisasi dan apa yang diperjuangkannya. Ada yang timbul dari dalam tubuh organisasi sendiri. Beberapa datang dari luar. Apapun sumber hambatan, perlu diperhitungkan ketika menyusun rencana menggalang dana.

6. Merumuskan Srategi Ada beberapa teknik sederhana yang dapat anda gunakan untuk perencanaan strategis. Berikut ini empat teknik yang mungkin berguna untuk anda: Matriks Ansoff (Ansoff Matrix), membandingkan teknik lama dengan teknik baru, Analisis SWOT (Strength: Kekuatan, Weakness:

Page 25: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 21

Kelemahan, Opportunity: Peluang, dan Threats: Ancaman), Analisis Pihak berkepentingan, dan Analisis PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi). Dalam implementasinya, penggalangan dana dapat memanfaatkan strategi pelayanan dan informasi serta program selling yang melibatkan selebriti dan tokoh terkenal (Michael Norton, 2001).

Teknik Menggalang Dana Menurut Michael Norton (2002) sedikitnya, ada 9 (sembilan) teknik

penggalangan dana zakat dan wakaf, yaitu: 1. Membentuk Kelompok Penggalangan Dana

Salah satu cara lembega zakat dan wakaf dalam menyelenggarakan pemungutan (Fund Raising) adalah dengan membentuk kelompok penggalangan dana yang bertugas mencari, memungut zakat dari para Muzakki. Imam Nawawi mengatakan hendaklah para imam (pemimpin suatu lembaga) dan pelaksana serta orang yang diserahi tugas membagikan zakat, melakukan pencatatan para Mustahiq untuk mengetahui jumlah dan ukuran kebutuhan mereka. Sehingga seluruh zakat itu diselesaikan setelah diketahui jumlah zakat itu, agar segera diselesaikan hak mereka dan untuk menjaga terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.(M.Djamal Doa, 2004; 20) Artinya sebelum melaksanakan kegiatan pengumpulan dana, minimal diketahui dahulu Deskripsi atau gambaran peta Mustahiq (Nurani Galih Savitri, 2010).

2. Menyelenggarakan Acara Penggalangan Dana Misalnya dilakukan dengan cara menyelenggarakan sebuah event untuk pengumpulan dana. Seperti: malam amal, lelang lukisan, lelang busana tokoh terkenal, lelang karya tokoh, konser musik amal atau bentuk event lain yang digunakan untuk penggalangan dana.

3. Kontak Perusahaan Dalam hal ini, para petugas penggalang dana zakat serta wakaf mengontak perusahaan-perusahaan untuk diajak kerjasama atau untuk mendayagunakan dana perusahaan yang sudah terhimpun dalam dana CSR (Corporate Social Responsibility), dari aktifitas ini para penggalang dana harus benar-benar dapat meyakinkan perusahaan, dana yang dikelola dan didayagunakan itu dapat didistribusikan kepada yang berhak dan tepat sasaran, serta menjaga nama baik perusahaan yang mempercayakan dananya untuk dikelola (Yuli Pujihardi, 2005).

4. Direct Mail dan Pendekatan Pribadi Taktik yang dilakukan oleh LAZ dengan cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, khususnya yang berpotensi menyumbangkan dananya. Strategi Direct Fundraising ini dilakukan dengan tujuan bisa mewujudkan donasi masyarakat seketika atau langsung setelah terjadinya proses interaksi tersebut. Teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak secara langsung dengan masyarakat calon donatur. Selain berdialog langsung, maka pertemuan ini juga biasanya digunakan untuk membagikan brosur, leaflet atau barang cetakan lain guna mendukung keberhasilan penggalangan dana. Tidak sedikit pula pertemuan ini digunakan untuk menghimpun donasi secara langsung.

Page 26: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

22 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

5. Buletin dan Media Publikasi LAZ ( Lembaga Amil Zakat) dalam perjalanannya dan perkembangannya juga perlu untuk menerbitkan bulletin, buku, kampanye Zakat, spanduk, Banner, menyewa Space satu lembar yang menjelaskan aktifitas dan kegitan yang sedang dilaksanakan, akan dilaksanakan dan yang sudah dilaksanakan dalam suatu surat kabar nasional, dan lain-lain. Tujuannya agar masyarakat awam tahu akan pentingnya berzakat. Hal ini dilakukan dengan dua hal; membuat berita dan memasang iklan.

6. Auto Debet Dalam perjalanan dan perkembangan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dewasa ini banyak lembaga yang sudah mempunyai rekening sendiri di Bank-Bank Milik BUMN maupun Swasta, tujuannya agar Muzakki mudah dalam menyalurkan zakatnya (Zaim saidi dll, 2006).

7. M-Zakat/SMS Zakat Beberapa LAZ saat ini sudah ada fasilitas pembayaran zakat melalui Short Massage Service (SMS), contohnya BAZNAS Dompet Dhuafa Republika, LAZ Indosat, Telkomsel dan lain-lain. Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi para penggunadan penikmat telpon selular untuk berinfaq dan berzakat, secara otomatis para penikmat telpon selular yang menggunakan fasilitas ini akan berkurang saldo pulsanya.

8. Telefundraising yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak telepon kepada masyarakat calon donatur. Telepon iniumumnya dilakukan sebagai follow up dari surat yang telah dilakukan atau pertemuan yang pernah dilakukan.

9. Kerjasama Program Yaitu taktik yang dilakukan oleh LAZ dengan cara bekerjasama dengan organisasi atau perusahaan pemilik dana. Dalam hal ini LAZ mengajukan proposal kegiatan kepada sebuah organisasi atau perusahaan. Proposal tersebut dipresentasikan di hadapan personil yang mewakili organisasi atau perusahaan. Dalam proposal tersebut harus termuat manfaat proposal bagi masyarakat yang dibantu, bagi organisasi atau perusahaan yang akan membiayai program dan bagi LSM tersebut. Dalam proposal tersebut digambarkan sekilas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Mekanisme bentuk donasi yang bisa dilakukan oleh organisasi atau perusahaan seperti bantuan langsung dari dana sosial yang sudah dianggarkan, penyisihan laba perusahaan atau dari potongan setiap transaksi belanja konsumen perusahan.

Penutup Strategi fundraising adalah Ilmu dan seni menggunakan semua sumber

daya untuk melaksanakan kegiatan menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari individu, kelompok, organisasi, masyarakat, pemerintah, perusahaan, maupun badan hukum yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional organisasi untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Setiap fundraiser hendaknya memahami prinsip, urgensi, dan keterampilan fundraising.

Page 27: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 23

Menyusun Strategi Fundraising dimulai dengan Menentukan Kebutuhan, merumuskan bagaimana agar Organisasi bisa Berkembang, mengidentifikasi sumber daya, menilai peluang, mengidentifikasi hambatan, dan merumuskan strategi. Sementara teknis fundraising terdiri dari: Membentuk Kelompok Penggalangan Dana, Membentuk Kelompok Penggalangan, Menyelenggarakan Acara Penggalangan Dana, Kontak Perusahaan, Direct Mail dan Pendekatan Pribadi, Buletin dan Media Publikasi,e Auto debet, sms-Zakat, Telefundraisng, dan kerja sama program.

Daftar Pustaka

Al-Azhari, Materi wakaf dalam Tahdzibu al-Lughah, jilid 9. Al-Shahah (Taj Al-Lughah wa Shahahu Al-Arabiyyah), karangan Al-Jauhari, jilid 4

Efendi, Onong Uchjana, 1999. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Halim, Abdul, 2005. Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press.

Hasanudin, 2010. Manajemen Zakat dan Wakaf, Dakwah Press: Jakarta.

Majma Lughah al-Arabiyah, 1972. al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Dar el-Ma’arif.

Mathrazi, al-Maghrib, India: Dairat al-Ma’arif al-Nidzamiyah, 1328 H, jilid 2, cet.I.

Al-Munawi, 2003. Taisir Al-Wuquf ‘ala Gawamidi Ahkam Al-Wuquf, seperti dikutip Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Ciputat: Dompet Dhuafa dan IIMaN.

Norton, Michael, 2001. Menggalang Dana; Penuntun bagi LSM dan Organisasi Sukerela di Negara-negara Selatan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-1.

Pujihardi, Yuli, 2005. “Panduan Menggalang Dana Perusahaan; Teknik dan Kiat Sukses Menggalang Dana Sosial Perusahaan” Jakarta: Piramedia.

Qudamah, Ibn, Al-Mughni ma’a Syarh Al-Kabir, jilid 6.

Rafiudin dan Maman Abd. Jalil, 1997. Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung: Pustaka Setia.

Saidi, Zaim dkk, 2003. Pola dan Strategi Penggalangan Dana Sosial di Indonesia, Jakarta: PIRAC.

Saidi, Zaim, As’ad Nugroho dan Hamid Abidin, 2006. Merebut Hati Lembaga Donor; Kiat Sukses Pengembangan Program; Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis, Jakarta: Piramedia.

Salim, Peter, 2000. Salim’s Ninth Collegiate English- Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, cet. Ke-1.

Page 28: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Strategi fundrasing zakat dan wakaf

24 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Savitri, Nurani Galuh, 2010. “Panduan Manajemen Kerelawanan; Teknik dan Kiat Sukses Mengelola Program Kerelawanan” Jakarta: Piramedia,

Siagian, Sondang, 1986. Analisis Serta Perumusan Kebijaksanaan dan Strategi Organisasi, Jakarta: PT. Gunung Agung.

Supriyono, 1985. Manajemen Strategi dan Kebijaksanaan Bisnis, Jogjakarta: BPFE.

Steiner , George dan John Minner, 2002. Manajemen Strategik, Jakarta: Erlangga.

Al-Syarbini, Muhammad, Al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Suja’, Indonesia: Dar Ihya Al-Kutub, tt., Juz I.

Tim DEPAG, 2006. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Tim PPPB, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: DP&K dan Balai Pustaka.

Wadjdy, Farid, dan Mursyid, 2007. Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http: //www.BlogDetik.com/

http://www.gaulislam.com/definisi-zakat-infaq-dan-shadaqah.

www.google.com (yayasan obor Indonesia, menggalang dana).

http://www.hendrakholid.net, dikutip tanggal 19 April 2013.

http://id.shvoong.com, dikutip tanggal 19 April 2013.

http://labkom.unikom.co.id

http://www.semuabisnis.com/articles/169611/1

Page 29: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 25

EVALUASI PERDA ZAKAT NO.11 TAHUN 2005 KABUPATEN LEBAK

Muhammad Zen

Ketua LAZIS dan Dosen Jurusan Manajemen Dakwah Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Lebak district is one of districts that has unique characteristics when it became one of supervised villages under the auspieces of the Ministry of Rural Development Acceleration. This study found that this regency has Zakat bylaw which affected the growing numbers of those who pay alms giving that contribute to the welfare of Lebak communities. However, evaluating the effectiveness of Zakat Bylaw has rarely been done. Local regulation, as a matter of fact, plays as juristic platform to support the implementation of local autonomy policies and assistanship tasks. Among local policies implemented is Lebak District Bylaw number no 11 year 2005 on administering zakat. Keywords: Perda, Zakat, Pemberdayaan, Evaluasi, Dampak, Pengusaha Pendahuluan

Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak memiliki hari jadi yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang memiliki masyarakat mayoritas beragama muslim 98,96% dan tercatat sebagai daerah yang tertinggal (Bappeda Kab. Lebak, 2009). Pada tahun 2005, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia telah menetapkan Kabupaten Lebak sebagai salah

satu daerah tertinggal dari 199 Kabupaten tertinggal yang ada di Indonesia.

Pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat setempat secara progresif berusaha mengubah ketertinggalan dengan berbagai pembangunan tertinggal. Termasuk di dalamnya adalah pembangunan infrastruktur, peningkatan transparansi dan partisipasi masyarakat, dan penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat termasuk dalam pengelolaan dana zakat dengan adanya keluar perda (BPS Kab. Lebak,

2008). Perda ini merupakan penegasan terhadap penghimpunan dan penyaluran zakat yang dilakukan oleh amilin dalam hal ini Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kabupaten Lebak yang harus dikelola secara amanah dan transfaran. Sekilas Kabupaten Lebak

Page 30: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

26 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

1. Demografi wilayah Kabupaten Lebak diantaranya meliputi: a. Luas wilayah

Kabupaten Lebak, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Banten, Indonesia. Ibukotanya adalah Rangkasbitung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang di utara, Provinsi Jawa Barat di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Pandeglang di barat (BPS Kab. Lebak, 2008). Kabupaten Lebak terdiri atas 28 kecamatan, yang dibagi lagi atas 340 desa dan 5 kelurahan. Adapun luas wilayah kabupaten Lebak 304.472 Ha (3.044,72 Km²)

b. Jumlah penduduk

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Lebak adalah sebesar 1.203.680, yang terdiri dari 618.636 penduduk laki-laki dan 585.044 perempuan. (BPS Kab. Lebak, 2008).

2. Jaringan Sosial Pengelolaan zakat

Berdasarkan penjelasan Ketua BAZDA Lebak bahwa di Lebak tidak ditemukan satupun lembaga amil zakat di Kabupaten Lebak, yang ada justru baru BAZDA Kab. Lebak. Adapun jaringan sosial pengelola zakat BAZDA Kabupaten Lebak dengan lembaga lainnya yaitu terjadi hubungan interaktif BAZDA ke Bupati, ada hubungan konsultatif BAZDA ke DPRD Lebak, ada hubungan konsultatif BAZDA ke ulama, ada hubungan PNS ke BAZDA dalam pembayaran zakat, ada hubungan Kemenag ke BAZDA dalam pembayaran zakat, ada hubungan BAZ Kecamatan ke BAZDA dalam pembayaran zakat, ada hubungan penyaluran zakat BAZDA ke mustahik, dan ada hubungan para pengusaha ke BAZDA dalam pembayaran infak tender. Lebih jelasnya dapat dilihat bagan sebagai berikut: Sumber: data diolah dari berbagai sumber

BAZDA LEBAK

BAZ KECAMA

TAN

ULAMA LEBAK

PNS

LEBAK

KEMENAG LEBAK

DPRD

LEBAK

BUPATI LEBAK

PENGUS

AHA LEBAK

MUSTA

HIK

Page 31: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 27

Proses Lahirnya Perda Zakat Lebak

1. Proses penyusunan a. Latar belakang lahirnya perda No. 11 Tahun 2005

Ketua Pansus Raperda Zakat Kabupaten Lebak, M. Husein, menjelaskan raperda pengelolaan zakat adalah hak inisiatif umat Islam tanpa dibiaya anggaran DPRD Kabupaten Lebak, dan dapat sumbangan dana dari sumber lain. Perda zakat merupakan sebagai konsekuensi logis dari adanya otonomi daerah dalam rangka merubah sistem sentralistik ke desentralisasi yang mendorong umat Islam menunaikan zakat (M. Husein, 2010).

Lahirnya Perda Bupati Kab. Lebak No. 11 Tahun 2005 adanya filosofi meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berzakat, dan yang sangat penting pengelolaannya dalam aspek manajerial perlu ditingkatkan potensinya. Di samping, merupakan sebagai landasan bagi ‘amilin untuk bekerja secara profesional. Perda ada karena adanya political will eksekutif maupun legislatif yang sepakat dengan para ulama bahwa peran zakat sangat berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan daerah jika diatur dan dikelola dengan baik dan profesional dengan didukung adanya Perda pengelolaan Zakat.

Senada juga Wakil Bupati Lebak Ir. H. Amir Hamzah, MSi menjelaskan latar belakang perda zakat berawal dari keprihatinan masyarakat yang kurang mampu dari sisi ekonomi karena banyaknya orang miskin di kabupaten Lebak dan ketidak-pedulian terhadap zakat bahkan masyarakat hanya membayar zakat fitrah saja. Selama ini jumlah dana terkumpul di Bazda tidak sampai 100 juta. Berarti ada yang salah waktu itu mengandalkan zakat fitrah tidak ada zakat mal, infak dan sedekah (wawancara Wakil Bupati Lebak, 2010).

Salah satu upaya untuk melakukan optimalisasi penghimpunan Zis sebagai sarana kesejahteraan masyarakat. Melalui jalur formal kepemerintahan, mereka menuntut kepada DPRD Kab. Lebak untuk segara dibuat aturan yang berkaitan dengan perda zakat, yang kemudian lahir Perda No.11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat. Melihat realitas sosial-politik yang terjadi saat itu, para anggota dewan melihat peluang untuk memfungsikan penghimpunan dan pendayagunaan zakat di Kabupaten Lebak. Pengesahan Raperda tersebut, karena melihat realitas masyarakat Lebak yang mayoritas beragama muslim, sehingga akan muncul kembali citra positif terhadap DPRD Kabupaten Lebak. Jadi berdasarkan kondisi tersebut, tim pansus raperda perda DPRD Lebak betul-betul ingin memberikan kontribusi masyarakat secara nyata. Kewajiban pemerintah dengan munculnya perda pengelolaan zakat sebagai payung hukum. Mayoritas Islam sadar pentingnya pembangunan masjid dan tidak perlu memintanya melalui jalan-jalan raya.

Di samping ada sisi tujuan dibuatnya perda tersebut, untuk meningkatkan potensi kesadaran berzakat, berinfak dan bersedekah di Kabupaten Lebak. serta menciptakan kesalehan sosial guna mencapai

Page 32: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

28 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lebak. Pengembangan dan pengelolaan zakat menjadi perhatian serius dari pemerintah (eksekutif dan legislatif) yang diaplikasikan antara lain dalam bentuk penetapan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengelo laan Zakat.

b. Yang mengusulkan perda/instruksi

Menurut Ketua pansus Raperda Moh. Husen, MH Sebelum ditetapkan keputusan Perda No 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat Kabupaten lebak proses penyusunan perda dilakukan atas inisiatif aspirasi umat Islam yang disampaikan melalui Departemen Agama yang kemudian diteruskan ke anggota DPRD Kabupaten Lebak komisi A dan B. Bagai gayung bersambut anggota DPRD pun mengkaji serius dengan studi banding dan mendatangkan ahli/tokoh Prof Suparman yang kemudian diputuskanlah Perda No.11 tahun 2005 (M. Husein, 2010).

c. Pihak yang terlibat dalam proses pembahasan

Proses penyusunan dan penetapan keputusan yang berlangsung ; Pertama, bahwa PERDA ini sebagai penajaman dan aplikasi dari UU No. 38 tahun 1999 dan Otonomi Daerah. Kedua, sebagai bentuk akomodir DPRD terhadap keinginan masyarakat yang menghendaki adanya satu peraturan yang dapat dijadikan payung hukum dalam upaya menghimpun dana zakat, infak dan sedekah sebagai upaya mensejahterakan masyarakat di Kabupaten Lebak.

Pada saat proses penyusunan, seluruh anggota dewan menyetujui gagasan untuk disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui perwakilannya --MUI, Depag, dan pengusaha-- sebagai bahan masukan untuk penetapan PERDA, katakanlah melalui RAPERDA. Ada nara sumber yang didatangkan yaitu Prof. Suparman pernah dilibatkan dalam proses penyusunan awal RAPERDA. Pembentukan perda ini melibatkan elemen warga masyarakat yang kompeten dalam hal moralitas (Wawancara Komisi C DPRD Lebak, 2010).

Singkatnya raperda ini melibatkan seluruh komponen terutama DPRD Kab. Lebak, Depag, MUI, pengusaha, tokoh masyarakat/muzakki, Bupati, Wakil Bupati sebagai Ketua BAzda dan sebagainya.

d. Waktu penyusunan kebijakan

Menurut Ketua Pansus waktu penyusunan kebijakan Raperda kurang lebih satu bulanan pada waktu itu bulan ramadhan dengan agenda acara rutin seperti Rapat dengan MUI, sesepuh, DPRD dan melakukan tinjauan ke kantor baz.

e. Kendala dalam penyusunan kebijakan

Ketua Pansus DPRD Kabupaten Lebak menjelaskan tidak dijumpai adanya kendala dalam menyusun kebijakan perda pengelolaan zakat. konteks sosio-politik saat perda tersebut disahkan, konstalasi politik yang berkembang saat itu sangat mendukung. Karena keinginan DPRD

Page 33: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 29

Kabupaten Lebak menyetujui perda itu, sehingga memunculkan kelancaran dalam pembahasan menjadi perda No. 11 Tahun 2005. Namun sangat disayangkan pemotongan gaji untuk zakat, infak dan sedekah tidak signifikan padahal DPRD yang menyusun perda tersebut (Wawancara M. Husein, 2010).

Ketua Pansus Raperda pengelolaan Zakat Husein, MH menjelaskan untuk mengesahkan suatu Raperda Pengelolaan Zakat diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Karena ini adalah dorongan aspirasi umat Islam untuk mengkaji raperda dengan studi banding dan menghadirkan tim ahli, tidak menyulutkan semangat tim pansus menangani raperda ini meskipun tidak disiapkan dana dari DPRD pada waktu itu.

Kendala lainnya yaitu tidak disebut di perda redaksi tentang pemotongan zakat PNS 2,5% karena beberapa alasan : pertama; kekuarangannya disebabkan oleh UU N0 38 Tahun 1999 sendiri karena perda sesuai dengan UU yang ada, seperti adanya hirarki BAZ Kecamatan ke BAZ Kab. Padahal sulit sekali direalisasikan untuk koordinasi dan lain-lain.

Evaluasi dan Monitoring Perda/Kebijakan daerah

1. Deskripsi proses penerapan perda Berdasarkan hasil Focus Group Discusssion terhadap evaluasi

penerapan perda no 11 tahun 2005 Kabupaten Lebak banyak yang mengomentari sisi negatifnya yaitu perda ini tidak langsung dibarengi adanya Peraturan Bupati secara teknis. Sehingga awal-awal pemungutannya tidak begitu signifikan. Pemerintah Kabupaten Lebak hanya membuat surat edaran akan anjuran pemotongan zakat langsung dari gaji, tidak dalam bentuk Perbut (Peraturan Bupati). Sebab, kalau digali dari potensi zakat dan infak/sedekah dari PNS saja sangat besar sekali kurang lebih Rp. 5.000.000.000 jika perda ini dioptimalkan. Apalagi kalau dana ZISWAF masyarakat umum juga ikut tergali potensinya Laporan Bazda Lebak, 2008 – 2010).

Dalam perda tersebut termaktub hanya memberikan sanksi kepada pengelola zakat yang lalai dan tidak amanah sedangkan bagi muzakki yang enggan berzakat tidak disebutkan akan diberikan sanksinya. Alhasil, tidak ada sanksi yang diberikan kepada muzakki yang enggan berzakat berpengaruh berarti bagi para pelaku pelanggaran. Bahkan ada temuan yang cukup menarik yaitu jumlah para pengusaha mengeluarkan infak dan sedekah 1,5% meningkat, karena ada sanksi bagi pengusaha yang mendapatkan proyek kerja sama dengan pemerintah. Ini baru proyek kerja sama saja bagaimana kalau dana zakat juga tergali pasti dana yang terkumpul di BAZDA Lebak akan semakin meningkat luar biasa (http://www.bawean.net/2010/09/pelatihan-pengelolaan-zakat.html).

2. Besar dukungan kepala daerah terhadap zakat daerah

Inti adanya perda yaitu adanya payung hukum pengelolaan zakat yang

Page 34: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

30 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

profesional di Kabupaten Lebak yang diwakilkan adanya pengelolaan zakat pemerintah melalui BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) Kabupaten Lebak. BAZDA Kabupaten Lebak periode 2007-2010 berusaha menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan secara tepat sasaran dan berdayaguna.

Upaya ini didorong dan didukung penuh oleh Bupati Lebak H. Mulyadi Jayabaya yang duduk sebagai Ketua Komisi Pengawas. Perda sangat membantu bagi pengelola zakat --dalam hal ini BAZDA Kabupaten Lebak-- sebagai payung legalitas formal sebagai pengelola zakat. Peran Bupati sangat terlihat apalagi kegigihannya dalam mewujudkan perda (Hamzah Amir, 2009).

Berdasarkan surat edaran Bupati Lebak nomor 912/107-Prog/2007 perihal pengelolaan infak dan shadaqah para rekanan pelaksana/kegiatan di Kabupaten Lebak. Surat edaran ini berdasarkan Perda Kabupaten Lebak Nomor 11 tahun 2005 tentang pengelolaan zakat dan menindak lanjuti nota kesepakatan antara Badan amil zakat Daerah Kabupaten Lebak dengan asosiasi Kontraktor Kabupaten Lebak tanggal 14 Juni 2007 serta untuk menginsentifkan pemungutan infak dan shadaqah.

Dengan demikian kaitan antara Perda No. 11 tahun 2005, dengan nota kesepakatan antara Badan amil zakat Daerah Kabupaten Lebak dengan asosiasi Kontraktor Kabupaten Lebak tanggal 14 Juni 2007 sangat terkait bahkan diperkuat dengan adanya surat surat edaran Bupati Lebak nomor 912/107-Prog/2007 perihal pengelolaan infak dan shadaqah para rekanan pelaksana/kegiatan di Kabupaten Lebak.

3. Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan perda

Sebelum adanya Perda No 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat Kabupaten lebak, Perda ini sering kali diprotes oleh PNS yang merasa dirugikan. Karena dengan Perda tersebut sering kali terjadi pemotongan gaji PNS yang kurang nishab. Namun, pihak DPRD kabupaten Lebak komisi C menganggap bahwa perda No. 11 tahun 2005 tersebut cukup effektif sehingga perlu dikembangkan adanya sosialisasi di seluruh elemen masyarakat.

Dari sisi materi (Content) Perda, ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji ulang. Hal tersebut antara lain, pemotongan gaji PNS 2,5% yang masih debatable karena diterjemahkan belum ada sosialisasi dan tidak termaktub dalam perda tersebut. Objek zakat dari perda tersebut dinilai masih umum tidak mencantumkan zakat profesi/penghasilan. Perda tersebut, hanya mencakup bentuk-bentuk zakat secara umum/klasik saja. Kemudian, dari segi pembinaan mustahik dirasa sangat tidak efektif belum dijumpai adanya pendampingan baik melalui pelatihan wirausaha maupun melalui pendampingan seperti adanya pengajian bersama. Karena tidak adanya sarana yang mendukung dalam proses pembinaan, dapat dijumpai banyak para peminjam dana dari BAZDA yang tidak mengembalikan bantuan modal ke BAZDA Lebak. Lambat laun, Bazda Lebak menetapkan kebijakan pemberian modal

Page 35: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 31

melalui kelompok yang beranggotakan 5-6 orang perkelompok tidak lagi perindividu.

Dampak perda terhadap perkembangan zakat di daerah Lebak

Tujuan semula dibuatnya Perda No.11 tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 6 yaitu untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama, meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan social, dan meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Dan kalau tujuan itu dijadikan tolok ukur keberhasilan dari implementasi Perda tersebut ternyata sudah cukup menggembirakan dan sesuai harapan masyarakat umum Lebak. Meskipun perlu ditingkatkan kembali dari sisi penghimpunan dan pendistribusian zakat.

Sebelum adanya perda, eksistensi Bazda Lebak awalnya hanya berfungsi mengumpulkan zakat fitrah. Setelah adanya perda pengelolaan zakat No. 11 Thn 2005 ternyata Bazda Lebak memiliki fungsi yang lebih, dalam fundraising (penghimpunan) tidak hanya zakat fitrah melainkan juga sumber yang lainnya seperti zakat Mal/Profesi, infak dan sedekah. Sehingga pendapatan/ penghimpunan dari zakat, infak dan sedekah meningkat secara signifikan. Hal lain yang mengakibatkan perda ini efektif menurut Ketua Pansus raperda yaitu tingkat sosialisasi yang inten dan dukungan penuh pengusaha melalui MOU akan memberikan 1,5% dari setiap proyek/tender (wawancara H. Sumantri, 2010).

Salah satu yang dapat menjadi indikator keberhasilan adanya PERDA ini adalah peningkatan jumlah zakat yang terhimpun. Lebak memiliki PERDA Zakat sejak tahun 2005 ternyata telah menunjukkan perkembangan perolehan zakat yang cukup signifikan yang dikumpulkan Bazda Lebak. Tercatat pada tahun 2003 Rp. 99.886.818, kemudian pada tahun 2004 bertambah menjadi Rp. 172.885.146, tahun 2005 Rp. 340.021.218, tahun 2006 Rp. 520.244.459, tahun 2007 Rp. 2.709.259.259.074, tahun 2008 Rp. 4.009.675.075, tahun 2009 Rp. 3.942.247.794.

Dari data tersebut terjadi peningkatan yang drastis di mulai pada tahun 2007 sebesar Rp. 2.709.259.259.074. Menurut Ketua Bazda kabupaten Lebak Ir. H. Amir Hamzah, MSi terjadinya kenaikan pendapatan ZIS karena gagasan besar yang dibangun dengan kebijakan, kesepahaman dan kebersamaan antara Kepala Daerah dan para pengusaha untuk bersedia menyalurkan infak dan sedekahnya melalui Bazda Lebak.

Program unggulan lain dalam upaya mendorong Mustahik Menjadi Muzakki adalah rencana pendirian Mini Market BAZDA Lebak. Yang secara prinsip; pemilik saham mini market adalah mustahik (fakir miskin), dan mereka akan menerima penghasilan dari keuntungan mini market. Program ini baru dalam tahap pengadaan lahan dan sedang menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam pendirian/pembukaan mini market tersebut.

Program terakhir adalah, Bedah Rumah Keluarga Miskin yang Sholeh. Program ini akan berjalan, dan sekarang baru pada tahap meng-inventarisir calon mustahik yang akan menerima bantuan bedah rumah/ perbaikan rumah. Karena masih banyak terdapat warga miskin yang rumahnya tidak layak huni atau bahkan tidak memilikii rumah. Diantara program yang belum masuk dalam program

Page 36: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

32 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

kerja BAZDA Lebak, namun sudah diinventarisir dan sudah disiapkan pada draft program kerja selanjutnya adalah di bidang kesehatan, seperti penyediaan mobil ambulance sampai pada rencana pendirian Klinik Kesehatan Mustahik (KKM).

Temuan fakta lapangan terkait pengelolaan zakat di Kabupaten Lebak

Hadirnya Perda No 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat membawa adanya respon pro dan kontra. Bagi yang pro merasa dengan adanya perda akan semakin memantapkan menunaikan zakat dan bagi yang kontra perda dan adanya pemotongan gaji tidak ada landasan hukumnya baik perda maupun peraturan Bupati. Perda ini sering kali diprotes oleh PNS yang merasa dirugikan. Karena dengan Perda tersebut terjadi pemotongan gaji PNS yang kurang nisahab.

Menurut ketua pansus praktek perda zakat sudah berjalan dan menggembirakan terbukti setelah perda berjalan peningkatan penghimpunan dana ZIS Bazda meningkat sangat fenomal. Hanya saja, sampai kini penghimpunan dari masyarakat luas masih sangat minim, ada yang menjelaskan karena boleh jadi minimnya sosialisasi kepada masyarakat Lebak, sehingga dimungkinkan banyak diantara para muzakki yang tidak mengetahui peraturan tersebut. Untuk hal itu Ketua pansus menawarkan alternatif solusi dalam menyosialisasikan Perda tersebut yaitu dengan cara memasang Perda dan memberikan sanksi tegas. Efektivitas perda belum 100% dapat terlaksana karena ini baru menyentuh para pengusaha dan para pejabat saja dan memang ini harus dengan tangan besi untuk mengefektifkannya,

1. Persepsi publik/stakeholder atas keberadaan perda/kebijakan zakat

Persepsi publik/stakeholder atas keberadaan perda/kebijakan zakat Kabupaten Lebak penting dilakukan untuk mengetahui persepsi dari seluruh komponen atas evaluasi dampak perda tersebut. Adapun persepsi yang dimintai pendapat meliputi: pertama; pemangku kebijakan yaitu terdiri dari eksekutif, DPRD, kedua; subyek kebijakan yaitu BAZDA, dan ketiga subyek kebijakan yaitu Muzakki (PNS, pengusaha, masyarakat umum, dll), Mustahik, Akademisi, Ormas, Ulama dan masyarakat.

a. Pemangku kebijakan

1) Eksekutif Bupati Lebak H Mulyadi Jayabaya dianugrahi Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono bintang keteladanan akhlak mulia pada Jumat (25/5) di Jakarta. Penghargaan itu diberikan kepada Muljadi Jayabaya karena selama memimpin Kabupaten Lebak, ia sangat memperhatikan moral masyarakat melalui lembaga Pendidikan Agama Islam serta bentuk sosial lainnya termasuk dalam membesarkan BAZDA Kabupaten lebak.

Kegiatan nyata yang dilaksanakan Jayabaya, berhasil membuat rancangan Peraturan Daerah (Perda) nomor 11 dan 12 Tahun 2005 tentang pelaksanaan wajib sekolah madrasah Diniyah dan Zakat. Perda itu selain mengatur anak-anak usia SD wajib belajar pendidikan agama

Page 37: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 33

melalui sekolah madrasah juga diwajibkan masyarakat membayar zakat. Bentuk perhatian Bupati lainnya, saat ini seluruh pengelola madrasah

diniyah maupun pengelola pondok pesantren dapat bantuan uang insentif dari pemkab Lebak. Bantuan insentif itu, lanjutnya, masing-masing untuk guru madrasah diniyah senilai Rp250 ribu per orang, sedang pengelola pondok pesantren memperoleh bantuan insentif sebesar Rp500 ribu. Disamping itu, untuk menekan anak-anak putus sekolah bupati juga telah mendirikan pendidikan SMP/MTS khusus bagi anak-anak yatim piatu. Sebab, dengan adanya pendidikan tersebut sehingga anak-anak dari keluarga tak mampu bisa menikmati pendidikan. Hal ini sesuai dengan Visi pembangunan daerah Kabupaten Lebak tahun 2005 – 2025 adalah : ‘lebak menjadi daerah yang maju dan religius berbasis perdesaan’

Dalam mewujudkan visi pembangunan daerah teersebut ditempuh melalui misi Pembangunan daerah sebagai berkut: a) Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Kabupaten Lebak yang

beriman, bertaqwa dan berbudaya b) Mewujudkan daya saing investasi bebasis sumberdaya c) Memajukan tingkat kemakmuran dan produktifitas masyarakat secara

merata d) Mewujudkan Lebak sebagai daerah konservasi melalui optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

e) Mengembangkan potensi sumberdaya daerah untuk mengurangi disparitas.

Sebagai ukuran tercapainya daerah Kabupaten Lebak sebagai

daerah investasi yang maju dan berkelanjutan, pembangunan daerah dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut : a) Terwujudnya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Lebak yang

beriman, bertakwa dan berbudaya b) Terwujudnya daya saing investasi berbasis sumberdaya c) Terwujudnya kemakmuran dan produktivitas Masyarakat secara

merata d) Terwujudnya Lebak sebagai daerah konservasi berkelanjutan melalui

optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup

e) Terwujudnya pengembangan potensi sumberdaya daerah untuk mengurangi disparitas antar wilayah

Menurut pemerhati zakat Bupati Lebak tidak membuat PP (peraturan pemerintah) secara teknis melalui Peraturan Bupati. Berdasar pada Keputusan Bupati Lebak Nomor: 400/Kep.54/Sos/2007 tentang Pembentukan Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Kabupaten Lebak 2007-2010, Dewan Pertimbangan dipimpin oleh Ketua MUI Lebak sedangkan Ketua Komisi Pengawas adalah H. Mulyadi Jaya

Page 38: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

34 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Baya. SK Bupati juga menetapkan Badan Pelaksana yang diketuai oleh Ir. H. Amir Hamzah, MSi. Dilihat dari personalianya, komposisi Badan Pelaksana BAZDA Lebak mungkin agak berbeda coraknya dengan beberapa BAZ di kabupaten lain yang menempatkan orang-orang yang sudah pensiun sebagai personalia. Asumsinya mungkin mereka akan lebih banyak waktu yang bisa diluangkan untuk BAZDA. Namun di BAZDA Lebak semua pengurus di Badan Pelaksana adalah fase produktif yang harus totalitas bekerja dan mengutamakan produktifitas karya.

2) DPRD

Anggota DPRD Kabupaten Lebak komisi C KH. Wawan Gunawan menjelaskan Perda memiliki manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Perda zakat sudah berjalan dan harus ada evaluasi, apalagi banyak perda yang tidak dapat dilaksanakan. Apalagi adanya semangat tranfaransi partisipasi accountabalitas (TPA) yang bisa lepas dari pelaksana perda pengelola zakat yaitu Bazda Kabupaten Lebak. Pelaksanaan perda no 11 tahun 2005 mulai efektif dengan beberapa program bazda dari sisi pemberdayaan dan penghimpunan, namun perlu dikembangkan prestasi penghimpunan ZIS yang kian meningkat.

Pemberdayaan dana zakat BAZDA Kabupaten Lebak kepada masyarakat belum sampai kepada seluruh wilayah Rangkasbitung, baru sekitar tujuh kecamatan yang ada di Cikulur. Peraturan tersebut minimal memberikan bantuan modal kepada para pedagang. Mereka mendapatkan pinjaman Rp. 500.000 dan mereka diharapkan mengembalikan dana tersebut selama sepuluh sebulan, perbulan Rp. 50.000,-. Meskipun pinjaman dana tersebut tidak ada bunga, tingkat pengembalian masih rendah 30% kembalikan dana zakat dan 70% tidak mengembalikan zakat. Yang jelas, zis bazda sudah memberikan pemberdayaan ekonomi masyarakat (wawancara Ade Sumardi, 2010).

Kontribusi yang tampak yaitu bermanfaaat bagi pembangunan Kabupaten Lebak terutama ekonomi masyarakat dan pembangunan masjid/musholla. Adapun Laporan penggunaan dana zis bazda kepada muzakki, sudah dilakukan melalui buletin, koran lokal dan diinformasikan saat idul fitri.

Berbeda dengan Ketua Pansus Perda Zakat menegaskan banyak perda yang ada di Kabupaten Lebak tidak dijalankan seperti rokok. Perda zakat alhamdulillah sudah berjalan. Ini karena Bupati Lebak pro aktif dalam membentuk pengurus BAZDA dan Baz kecamatan. Sehingga pendapatan ZIS BAZ Kabupaten Lebak terbukti tiap tahun mengalami kenaikan. Bahkan bazda kini memiliki program unik untuk kesejahteraan masyarakat seperti program M3: mustahik menjadi muzakki, pembuatan minimarket, beasiswa penghafal al-qur’an, bedah rumah sakinah, Struktur kepengurusan berbeda skrg dengan sebelum perda. Sekarang dengan orang yang produktif kalau dulu non produktif/pensiunan.

Page 39: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 35

Ketua pansus memberikan beberapa catatan atas eksistensi perda zakat yaitu pertama; dari sisi kepengurusan Bazda sekarang apakah dalam menyusun kepenguruan tersebut sesuai dengan usulan dari Depag yang dijelaskan pada pasal 8. Kedua; persoalan kurangnya kesadaran mengembalikan zakat bagi yang meminjam bantuan dana usaha, karena dalih dana zakat adalah hak mereka. Ketiga; masyarakat lebih percaya kepada lembaga tertentu atau lebih banyak menyerahkan zakatnya langsung kepada Kiai/ustadz. Keempat; tindak pidana atau pemberian sanksi yang termuat pada pasal 23 sangat lemah, sanksi baru diberikan kepada pengelola saja belum kepada wajib zakat semestinya juga dikenakan, agar kesadaran zakat ke BAZDA semakin meningkat. Kelima; fungsi pengawasan BAZDa Kabupaten Lebak hendaknya dimaksimalkan dan perlu adanya komisi pengawas indivinden yang berasal dari organisasi masjid di kabupaten. Diharapkan nantinya pengawas juga sewaktu-waktu mengundang akuntan publik untuk mengaudit keuangan BAZDA Kabupaten Lebak sebab, sampai kini sepertinya belum dilaksanakan oleh BAZDA Kabupaten Lebak.

Ketua DPRD Kabupaten Lebak Ade Sumardi menjelaskan perda zakat memiliki sisi positif yaitu memberikan kontribusi dan bermanfaaat bagi pembangunan Kabupaten Lebak. Hanya saja ada sisi kekurangan dari pelaksanaan perda zakat yaitu harus diupayakan dan ditingkatkan sosialisasi sadar berzakat kepada seluruh masyarakat Lebak. Sebab, masih banyak warga yang memberikan zakat langsung kepada mustahik, tidak melalui BAZDA Lebak.

b. Subyek kebijakan

1) BAZDA Ketua Badan Pelaksana BAZDA Kabupaten Lebak, H Amir Hamzah menjelaskan dalam kepengurusan 2007-2010, BAZDA mencanangkan Program sebagai berikut: 1. Mustahik Menjadi Muzakki (M-3), melalui:

a) Modal Usaha Bergulir b) Pendirian Mini Market

2. Memuliakan Anak Yatim dan Orang Miskin (Mengayomi) 3. Bea Studi Islam (BSI) 4. Bedah Rumah Keluarga Miskin yang Sholeh (Berkemas) 5. Peduli Sarana Keagamaan (PSK)

Kelima point diatas merupakan hasil Revitalisasi program yang pada periode sebelumnya sebagian sudah dijalankan dengan baik seperti pada point 2, 3, dan 5, namun dilakukan penyempurnaan kembali. Misalnya untuk program Memuliakan Anak Yatim dan orang miskin, selain santunan, khusus untuk perhatian pendidikan mereka maka BAZDA bekerja sama dengan Yayasan Ikhlas Mulia hati yang didirikan oleh H. Mulyadi Jaya baya dan H. Amir Hamzah, menampung mereka untuk sekolah dan pesantren dari tingkat SMP sampai SMA/SMK

Page 40: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

36 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

(Laporan Bazda Lebak, 2009). Program Bea Studi Islam, untuk tahun ini dan kedepan akan lebih fokus pada pelajar/santri/mahasiswa yang menempuh studi hafalan (tahfidz) alQur’an. Ini seiring dengan program pengembangan keagamaan Pemerintah Daerah dan juga menopang gagasan mengenai Rangkasbitung Kota Pelajar, Lebak Daerah Pendidikan. Sedangkan pada program Peduli Sarana Keagamaan, seperti bantuan untuk Masjid, Musholla, Majlis Taklim, Pesantren, kini jumlah sebaran bantuannya dibatasi/bertahap namun jumlah ‘nominal’ bantuannya kami perbesar dengan asumsi agar tercapai hasil yang signifikan. Untuk berusaha mengentaskan kemiskinan umat, BAZDA Lebak meluncurkan program "Dana Bergulir" (DB) bagi para pengusaha mikro. Program DB ini disalurkan untuk pengusaha bakulan, gerobank dorong, dan pengusaha mikro lainnya. Sasarannya dan misinya jelas, bagaimana membuat pedagang sayuran "suhun" (memakai nyiru di atas kepala), sekadar contoh, berubah menggunakan gerobak, kemudian berubah lagi menggunakan kios, dan seterusnya. Ini bagian dari program Mustahik Menjadi Muzakki. Sebagai gambaran, sejak digulirkan pertama kali pada 23 Juli 2007, telah ada 190 perorangan dan 11 kelompok usaha mikro yang telah mendapatkan bantuan BAZDA dengan nilai pinjaman yang diterima bervariasi, mulai Rp 300 ribu sampai Rp 3 juta per orang, tergantung dari hasil survey/verifikasi lapangan. Sampai saat ini, dana yang disalurkan bersifat pinjaman tanpa bunga. Peminjam diwajibkan mengembalikan modal secara bertahap yang diikat melalui akad pada saat serah terima modal. Lamanya pengembalian berkisar antara 5-12 bulan. Program ini sudah dievaluasi dan mencari model-model pemberdayaan yang cocok. Kini model pemberdayaan seperti yang dilakukan oleh peraih Nobel Profesor Muhammad Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh menjadi salah satu pertimbangan dan sudah diterapkan. Model pemberian modal perorangan kemudian dinilai BAZDA kurang efektif, sebab dana tersebut yang diberikan kepada masyarakat dalam pengembaliannya sangat rendah. Inilah mental kebanyakan mereka yang dapat pinjaman modal dari Bazda Lebak, karena menganggap zakat sehingga disepelekan. Untuk meminimalisasi tingkat kemacetan dalam pengembalian dana tersebut BAZDA menetapkan pemberian modal melalui kelompok yang terdiri dari 5-6 orang. Keuntungan sistem ini adanya saling kontrol diantara anggota. Bagi kelompok yang bermasalah maka tidak dapat pinjaman modal lagi. Penghimpunan dana di BAZDA Lebak bisa dilihat dari nilai nominal dana yang dikumpulkan mencapai lebih dari Rp. 3,6 Milyar (pembukuan tahun 2008). Dana tersebut jauh meningkat bila dibandingkan pada tahun 2003 dengan nilai kurang dari Rp. 100 juta, atau pada tahun 2006 sebesar Rp. 521 juta. Untuk meningkatkan kesadaran dan menggali potensi penghimpunan dana, BAZDA Lebak mengadakan nota kesepahama n

Page 41: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 37

(memorandum of understansing, MoU) antara para pengusaha setempat. MoU ditandatangani oleh Ketua BAZDA Ir. H. Amir Hamzah, MSi dengan beberapa wakil dari asosiasi pengusaha pada 14 Juni 2007. Inti dari MoU tersebut adalah bahwa para pengusaha akan memberikan infak sebesar 1,5 persen dari nilai kontrak usaha/projek yang didapatkan dari Pemerintah Daerah. Hitunghitungan kasar, proyek pembangunan yang dijalankan oleh asosiasi pengusaha yang berasal dari APBD/APBN di Kabupaten Lebak sekitar Rp. 400 Milyar. Dengan demikian, infak yang ditargetkan dihimpun oleh BAZDA sekitar Rp. 6 Milyar. Ini hitung-hitungan kasar. Bagi para pengusaha, infak sebesar itu, tidak menjadi persoalan, asalkan tidak ada pungutan atau setoran lain di luar itu sebagai uang proyek. Dalam hal ini, ketua Dewan Pengawas sekaligus Bupati Lebak menjamin tidak adanya pungutan atau setoran ke pemerintah daerah atas proyek yang ada, baik secara resmi maupun tidak. Tentu saja pungutan pajak tidak bisa dihindari. Sebaliknya, zakat untuk masyarakat masih minim yang membayarnya ke BAZDA karena sanksi tegas tidak ada. Padahal dalam Perda tersebut telah dijelaskan BAZDA berhak menegur muzakki yang belum dan tidak mau berzakat (pasal 13 ayat 3) dan adanya kewenangan Bupati dapat memberikan sanksi tegas kepada mereka (pasal 24). Oleh karena itu, ketua BAZDA Lebak sepakat ada sanksi bagi muzakki yang tidak mengeluarkan zakat. Sebab, kalau aturan tidak memakai sanksi bagaikan macan ompong yang tidak punya kekuatan apa-apa dan sanksinya bisa didenda dua kali lipat. Kalau dalam al-Qur’an sangat jelas sanksi bagi yang enggan membayar zakat tempatnya neraka, dan zakat harus diambil / dipaksa. Potensi ZIS di Kabupaten Lebak baru tergali potensi infak pengusaha dan zakat PNS bagi yang mau dan itu hanya golongan IV saja, golongan yang lain belum tergali potensinya. Apalagi masyarakat luas lebih tertarik memberikan zakat langsung kepada ulama. Pandangan ini perlu diberikan apresiasi positif tidak negatif bahwa ulama bukan hanya sebagai amilin tapi bisa juga sebagai fisabilillah dan wajib dizakati, sebab ulama memiliki banyak santri –baik yatim maupun tidak mampu-- yang menjadi tanggung jawab kiai dalam hal pangan dan sebagainya. Karena itu pemahaman masyarakat dengan ulama itu dido’akan dan penggunaannya jelas menyebabkan masyarakat kebanyakan memberikan langsung ke ulama. Ke depan Ketua BAZDA Lebak tidak mewajibkan setor zakat ke BAZDA, silakan kepada masyarakat mau menyalurkan zakat langsung boleh atau setor dulu ke BAZDA lebih baik lalu kemudian diambil lagi untuk dibagikan ke masyarakat yang dibuktikan dengan data autentik. Agar penghimpunan ZISWAF BAZDA KAbupaten Lebak semakin meningkat.

Page 42: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

38 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Apalagi ada program BAZDA ingin memiliki dana abadi yang bersumber dari infak atau sedekah dengan jalan diinvestasikan dan terpilih mitranya yaitu Alfa Mart. Diantara alasan berinvestasi yaitu mengamankan infak sedekah menjadi jangka panjang menjadi pendapatan lestari. Kalau diberikan langsung pasti cepat habis. Ketua BAZDA Lebak menjelaskan meskipun ada yang tidak setuju dengan alasan kami. Kita ingin BAZDA mempunyai warisan yang baik / usaha yang abadi dan Alfa itu usaha yang mempunyai nama dan lestari, walaupun saya nanti sudah tidak menjadi ketua BAZDA tapi tetap usaha berjalan sebab ada dana abadi yang diambil keuntungannya saja yang dapat diberikan dan disalurkan kepada fakir miskin (Wawancara Amir Hamzah, 2010). Ke depan juga ada obsesi dari BAZDA ingin punya target dua tahun sekali punya minimarket dan bisnis lainnya/ unit usaha bazda sehingga bazda bisa hidup dari dana tersebut. Bahkan BAZDA punya mimpi untuk berbisnis dengan bersistem seperti restoran terkenal, Rumah Sakit dan lain-lain. Ketua Bazda Lebak menilai positif dari keberadaan perda pengelolaan zakat, Umat bisa terlayani dan persoalan dapat teratasi, contohnya disobang salah satu kecamatan di Lebak ada kristenisasi kemudian dapat diselamati dengan kirim ulama sebagai pembentengan aqidah kemudian dibangun majlis ta’lim supaya masyarakat tersebut dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Berbeda dari sisi kekurangan Perda zakat dapat diamati sebagai berikut Pertama; orang yang belum mengerti akan terpaksa mengeluarkan zakat, Kedua; belum adanya ketegasan sanksi, dalam sejarah orang tidak berzakat memang harus diperangi. Ketiga; pengusaha non-muslim tidak diambil. Keempat; Kesadaran masyarakat berzakat ke Bazda masih sedikit, oleh karena itu sosialisasi zakat kepada masyarakat perlu ditingkatkan meskipun sudah banyak program gebyar program Bazda yang sudah dilakukan dalam menumbuhkembangkan kesadaaran dan kepercayaan masyarakat dalm berzakat.

2) Lembaga zakat masyarakat

Berdasarkan pengamatan yang ada, lembaga zakat masyarakat atau yang dikenal LAZ (lembaga amil zakat) di Lebak tidak ditemukan satupun yang kami dijumpai. Umumnya, masyarakat ketika berzakat langsung memberikan kepada panitia masjid/musholla, atau diberikannya langsung kepada fakir miskin ataupun kepada ustadz atau kiai. KH Wawan Gunawan menegaskan sebaiknya zakat tidak hanya satu badan (BAZ) harus ada kompetitor seperti LAZ. agar kinerja organisasi menjadi lebih baik. Oleh karena itu LAZ harus ada sebagai pembanding dan tidak sepakat kalau LAZ dihilangkan.

c. Obyek kebijakan

1) Muzakki (PNS, pengusaha, masyarakat umum, dll)

Page 43: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 39

Perda ini banyak dinilai berbagai kalangan memiliki manfaat luar biasa bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Lebak. Namun, ada juga yang menilai Perda ini dinilai merugikan PNS berpenghasilan pas-pasan. Berdasarkan pengamatan pemungutan zakat PNS oleh BAZDA Kabupaten Lebak ternyata dapat ditemukan ada dua respon positif dan negatif yaitu pro dan kontra. Bagi PNS yang pro zakat dipotong menilai zakat dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat bahkan mereka berpendapat karena ZIS usahanya menjadi berkah dan bisa bertambah, ada juga yang menceritakan pengalaman pribadinya terhindar dari bahaya seperti dari kebakaran/ meledaknya tabung gas di rumahnya (Wawancara Haryono, 2010). PNS pro juga menilai bagus zakat dengan sistem pemotongan gaji PNS langsung sebab mereka bisa diingatkan untuk menunaikan zakat dari pada lupa tidak menunaikannya. PNS pro menilai dalam aplikasinya hendaknya BAZDA Lebak perlu melakukan sosialisasi zakat lebih luas kepada perusahaan dan masyarakat luas. Sebab, PNS juga awalnya menyalurkan zakat maal/profesi langsung ke mustahik saudara atau tetangga dan kini sudah berubah mereka dengan senag hati bisa menyalurkannya melalui BAZDA. PNS yang pro juga menilai dan merasa puas dalam pengelolaan zakat BAZDA Lebak menjadi lebih baik, kalau dahulu tidak ada laporan, sekarang sudah ada laporan transparansi ke semua muzakki. Bahkan dari segi SDM jauh lebih muda dan produktif mereka bukan yang pensiunan. Menurut mereka idealnya dana ZIS bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata di Bazda Lebak sudah dipraktekkan di antaranya melalui pembangunan sarana ibadah, bantuan modal untuk pedagang pecel dan pedagang bakulan. Bahkan mereka mengapresiasi atas kinerja pengurus Bazda Lebak yang sudah membuat laporan perkembangan dana ZIS secara periodik tiap tiga bulan sekali kepada para muzakki. Bagi PNS yang kontra yang --tidak mau disebutkan namanya dan jumlahnya tidak banyak-- menyatakan potongan zakat PNS tidak ada landasan hukumnya atau dalil qat’i menurut syar’i dan perda, sebab dalam fiqih tidak ada zakat PNS bahkan perda zakat tidak menyebutkan bahwa gaji PNS dipotong 2,5% apalagi masalah zakat adalah masalah individu dalam menunaikannya. PNS yang kontra menjelaskan bahwa mereka biasa menyalurkan zakat maal langsung ke mustahik atau diberikan kepada lembaga zakat ormas Islam yang hati mereka lebih yakin dan lebih tenang saat memberikan zakat kepada lembaga tersebut. Mereka juga beralasan dengan adanya pemotongan langsung dari gaji merugikan PNS. Sebab, menurut mereka PNS gajinya tidak utuh (kurang lebih 80%-an) sebab harus bayar pajak (10%) dan zakat (2,5%) juga, belum lagi harus membayar kebutuhan bayar hutang, kebutuhan lainnya yang mendesak.

Page 44: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

40 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Demikian juga dengan para pengusaha umumnya mereka tidak keberatan dengan kebijakan pemotongan 1,5% dari tender. Pada prinsipnya semua pengusaha setuju meskipun ada yang mengeluhkan pemotongan dari tender 1,5% bagi pengusaha kecil dirasakan cukup lumayan besar dan memberatkan sudah dipotong PPN 10% dipotong juga 1,5%. Sehingga bagi pengusaha mereka mengeluarkan infak atau sedekah karena terpaksa bukan dari kesadaran peribadi. Menurut para pengusaha pemotongan ini adalah keharusan yang dapat ditunaikan oleh para pengusaha bisa langsung ke rekening BAZDA atau melalui pemindahbukuan dari salah satu bank pemerintah. Suka atau tidak suka harus dipotong 1,5%, sebab kalau tidak membayarnya maka pengusaha tersebut tidak akan cair dapat dana atas proyek. Ada syarat pencairan dana bagi pengusaha dari awal berita acara harus mengeluarkan 1,5% ke BAZDA Lebak. Pernah suatu ketika ada teman pengusaha tidak bayar 1,5% ke BAZDA ternyata tidak lancar dan gagal mendapatkan tender. Ketua Umum Gapensi Kabupaten Lebak H Sumantri Jaya Baya menjelaskan perda zakat sudah efektif terbukti dana bazda meningkat menjadi 4 milyar yang awalnya kecil, dana tersebut terbanyak berasal dari infak/sedekah pengusaha. Pengusaha umumnya menjelaskan eksistensi BAZDA Lebak sudah bagus dan mereka setuju kalau penyaluran zakat diberikan untuk pembangunan masjid, apalagi ada kebijakan pemerintah kalau bangun masjid dilarang meminta-minta di tengah jalan raya (Wawancara H. Sumantri, 2010). Sehingga dana ZIS diharapkan dapat menjadi salah satu solusinya. Mereka juga menilai pengelolaan zakat BAZDA Lebak sudah baik SDMnya dan ramah-ramah, namun harus lebih bagus lagi kedepannya. Senada juga Sekretaris GAPKINDO Bay Juarsa menjelaskan pengelolaan zakat oleh BAZDA Lebak selama ini sudah bagus, meskipun penerapan secara utuh belum maksimal. Adapaun manfaat ZIS di BAZDA menurut para pengusaha diantaranya dapat dibangun masjid/musholla/pesantren dan sebagainya. Para pengusaha juga setuju dengan penyaluran ZIS langsung kepada pedagang kecil –seperti tukang pecel dan tukang sayur-- dengan dana bergulir. Namun masih disayangkan dalam penyaluran dana zisnya pihak BAZDA Lebak tidak pernah melibatkan dan mengajak dari unsur pengusaha/asosiasi (Wawancara Bay Juarsa, 2010). Mengenai transparansi, Ketua Gapensi Kabupaten Lebak mangakui sudah mendapatkan laporan perkembangan dana bazda setahun sekali atau perbulan sekali melalui buletin dan lain-lain. Sebaliknya, para pengusaha mengeluhkan dan kurang setuju kalau penyaluran zakat diberikan kepada Masjid di Warung Gunung (yang dimiliki Bupati) ini menjadi salah sasaran, seharusnya yang dibantu hendaknya masjid masyarakat. Demikian juga mereka tidak setuju dengan adanya kerja sama bisnis bazda dengan alfa mart, sebab menurut

Page 45: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 41

mereka dana zis lebih baik dihabiskan saja dengan diberikan kepada fakir dan miskin. Ketika mereka diminta pendapat tentang penyebab masyarakat termasuk pengusaha memberikan zakat tidak melalui Bazda, Ketua Gapensi Kabupaten Lebak menjelaskan salah satu penyebabnya karena kurangnya sosialisasi dan perlu adanya tangan besi. Berbeda yang dijelaskan oleh Direktur PT Tirtayasa Jaya A Ganif mengapa memilih mengeluarkan zakat langsung kepada saudara jauh, yayasan yatim piatu, atau guru ngaji/kiai, sebab lebih afdhal/lebih baik tenang dan didoakan. Menurutnya tahun ini dia bisa mengeluarkan zakat langsung ke BAZDA Lebak dengan catatan berani tidak ulama/pengurus bazda orang yang bayar zakat lebih berkah dan membayar zakat ke BAZDA lebih afdal dan bisa didoakan. Belum lagi ada informasi masyarakat pemberian zakat BAZDA Lebak menjelang pilkada bernuansa politis (Wawancara Bay Juarsa, 2010). Para pengusaha umumnya sepakat bahwa dengan perda ini dapat membawa dampak yang cukup signifikan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pemberian modal tanpa bunga, pembangunan rumah syakinah, pembangunan masjid/musholla dan sebagainya.

2) Mustahiq (beneficiaries dana zakat)

Mustahik yang mendapatkan bantuan dana modal usaha dari BAZDA Kabupaten Lebak sangat merasa terbantu dengan pemberian modal tersebut tanpa bunga yang memberatkan. Seperti ibu Eno Asnaiya pedagang sayuran yang pernah mendapatkan dana tahun 2009 sebesar Rp. 500.000,- menjelaskan modal usaha tersebut digunakan untuk penambahan modal usaha beli sembako beli beras dan terigu (wawancara Eno Asnaya, 2010). Ibu Asnaiya menjelaskan cara mengembalikan dana modal tersebut dengan mengangsurnya selama sepuluh kali/sepuluh bulan. Sebesar Rp. 50.000,- ditambah sedekah lima ribu terserah mustahik, jadi Rp. 55.000 langsung dibayar ke kantor BAZDA. Tercatat Ibu ini ternyata tidak lengkap membayarnya cuma dua bulan saja kami mengangsurnya karena sakit. Sama halnya dengan Nia Kurniasih pedagang nasi yang mendapatkan modal Rp. 500.000 tahun 2007 tidak bisa melunasi lengkap karena alasan tidak jualan. Mengapa demikian, ternyata menurut pengakuan dari kedua Ibu ini karena tidak adanya pendampingan dari ust/bazda melalui pengajian atau pelatihan yang diberikan. Meskipun Ibu itu tidak melunasinya, tetapi mereka tetap sangat berharap ada asa dalam diri mereka kepada BAZDA Lebak semoga di tahun ke depan mereka dapat bantuan modal lagi (Wawancara Nia Kurniasih, 2010). Karena pemberian modal perorang dinilai tidak effektif, BAZDA menerapkan melalui pemberian modal perkelompok diantaranya kelompok Ibu Lina dan Lussy (sebagai ketua dan bendahara kelompok)

Page 46: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

42 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

mereka mendapatkan bantuan modal usaha dari BAZDA Lebak sudah dua kali bantuan. Bantuan modal pertama tahun 2008 perkelompok beranggotakan enam orang sebesar Rp. 3.000.000,- jadi perorang Rp. 500.000,-, dan kedua tahun 2010 perkelompok beranggotakan enam orang sebesar Rp. 4.500.000,- jadi perorang Rp. 750.000. Bebeda dengan model pemberian model perorangan, dalam mengembalikkan modal perkelompok dilakukan secara kolektif tidak individu dengan mengangsurnya selama sepuluh kali/sepuluh bulan. Tahun lalu setiap orang kami dapat Rp. 500.000,- berarti tiap bulan kami mengangsurnya Rp. 50.000. Dan silakan kalau ada yang kasih infak ada yang Rp. 1000 dan ada juga yang Rp. 5000. Kelompok usaha yang berbeda jenis usahanya ini menjelaskan bantuan modal dana tersebut digunakan untuk penambahan modal usaha 60% dan 40% untuk digunakan untuk keperluan lainnya seperti biaya anak sekolah (Wawancara Lina dan Lussy, 2010). Meskipun tidak ada pendampingan dari BAZDA Lebak melalui pengajian atau pelatihan. Namun tingkat pengembalian modal usaha melalui koletif dinilai sangat baik dan lancar tidak macet dalam pengembalian modal usaha. Sebab, sebelum kelompok ini mendapatkan bantuan modal mereka dikasih tahu bahwa yang bertanggung jawab mengangsurnya dalam pengembalian adalah ketua dan bendahara kelompok tidak secara individu. Meskipun sebelum dicairkan dana tersebut, BAZDA Lebakan melakukan upaya cek dan ricek satu persatu, apakah betul-betul setiap anggota mempunyai usaha masing-masing. Kelompok usaha ini juga berharap kepada pengurus BAZDA Lebak bahwa pertama kalau bisa tahun depan modalnya ditambahkan, kedua ada binaan melalui pengajian/pelatihan, dan ketiga ada beasiswa sekolah untuk anak mereka.

3) Ormas

Pengurus NU Kabupaten Lebak Ir. Didih M. Sudi, M.Si menjelaskan Pemberdayaan BAZDA Lebak tahun ini kurang lebih 100 jt-an. Melalui model pemberian dana kepada kelompok usaha meminimalisasi kredit macet. Demikian halnya menurut pengurus NU ini kerjasma mitra BAZDA lebak dengan Alfa Mart harapannya kalau ketua BAZDA Lebak nanti tidak menjadi pejabat harapannya keuangan Bazda semakin meningkat dan memiliki dana abadi (wawancara FGD, 2010).

4) Akademisi

Menurut akademisi, Nurul Huda Ma’arif, MA (Dosen STAI Latansa Mashiro Lebak, 2010) ada hal yang perlu dikoreksi dan dievalusi dan menjadi catatan-catatan ringan Perda Zakat dan badan pelaksananya yaitu: a) Perlunya diselenggarakan evaluasi dan monitoring penyelenggaraan

Perda Zakat secara kontinyu dan berkesinambungan oleh seluruh elemen masyarakat (sesuai Pasal 21).

Page 47: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 43

b) Perda Zakat dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu yang mulia, utamanya untuk “mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial” dan “meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat”. (Pasal 6 point b dan c). Untuk memotret ketercapaian atau tidaknya tujuan ini, maka dalam hal ini BAZDA Kab. Lebak harus membuat ukuran-ukuran riil pertahunnya berdasar data-data yang bisa diterpertanggungjawabkan. Umpamanya, melalui pemberdayaan dana zakat produktif, berapa mustahik zakat yang berhasil diangkat status sosialnya menjadi muzakki dalam setiap tahunnya. Jika angka perubahan status ini didapatkan, dapat dinilai Perda Zakat yang telah ditetapkan sejak tahun 2005 ini apakah mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Lebak atau sebaliknya.

c) Perlunya upaya-upaya memproduktifan dana zakat (amanat Pasal 18). Seperti diketahui, obyek zakat tidak terbatas pada zakat fithrah, melainkan zakat maal maupun profesi.

d) Perlunya penggalian potensi dana zakat secara sungguh-sungguh. Dalam hal ini BAZDA Kab. Lebak, sudah seharusnya bisa memetakan berapa nilai total potensi zakat di wilayahnya pertahun. Harapannya, potensi yang ada ini bisa digali secara maksimal, sehingga menghasilkan penerimaan yang maksimal pula. Jika melihat rekapitulasi penerimaan BAZDA Lebak 2008 dan 2009, maka terlihat zakat maal oleh pengusaha mendapat nilai nol. Artinya, penerimaan zakat maal dari pengusaha jauh dari potensi yang ada. Memang benar, infak mereka menempati posisi penerimaan tertinggi selama dua tahun itu.

e) Adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar atau yang enggan membayar zakat. Dalam Perda Zakat Kab. Lebak, ketegasan sanksi hanya diberikan kepada amil yang tidak amanah. (Pasal 23 nomor 1). Sayangnya, ketegasan sanksi bagi amil yang tidak amanah ini tidak dibarengi oleh ketegasan sanksi bagi pelanggar zakat. (Pasal 13 nomor 3).

f) Dalam pendistribusian dana zakat itu harus jelas. Masing-masing asnaf haruslah mendapatkan bagian sesuai porsinya. Dalam rekapitulasi BAZDA Lebak tahun 2008 dan 2009 misalnya, tampak sekali alokasi pembiayaan operasional amilin cukup besar: Rp. 351.524.295 (2008) dan 327.188.450 (2009). Kisarannya di atas Rp. 300 juta pertahun, dengan berbagai kebutuhan pembiayaannya. Padahal, dalam Pasal 25, disebutkan bahwa “Pemerintah Daerah wajib membantu biaya operasional BAZ yang dianggarkan dalam APBD Kab. Lebak.” Artinya, biaya operasional BAZDA (seharusnya) telah dianggarkan dalam APBD, sehingga tidak perlu menyedot banyak dana zakat.

g) Ke depan kemungkinan menjadikan zakat sebagai unsur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kab. Lebak.

h) Perlunya penjelasan yang detail dan baik serta payung hukum yang legal perihal angka potongan 2,5 % untuk PNS dan retribusi 1,5 %

Page 48: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

44 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

dari nilai tender bagi pelaku usaha, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan keluhan. Dalam memberikan catatan BAZDA Kab. Lebak, Nurul Huda menegaskan sudah seharusnya BAZDA Lebak melakukan sosialisasi kepada seluruh PNS, Pengusaha dan masyarakat luas. Demikian halnya BAZDA Lebak diharapkan dapat memetakan potensi zakat di wilayah ini pertahun. Harapannya, potensi yang ada ini bisa digali secara maksimal, sehingga menghasilkan penerimaan yang maksimal pula.

5) Ulama, masyarakat

Menurut para ulama potensi zakat di Kabupaten Lebak perlu digali dan dikembangkan kembali agar di tahun berikutnya penghimpunan dana yang besar tidak hanya infak dan sedekah, namun juga diharapkan dari sumber lainnya --seperti wakaf, zakat mal-- dapat meningkat. Sehingga sosialisasi perda perlu dikembangkan menjadi keniscayaan (wawancara Abdurahman Hilail, 2010). Penghimpunan dana Bazda Lebak memang sudah cukup memuaskan, meskipun yang dominan baru tergali potensi melalui infak/sedekah pengusaha. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kembali potensi zakat dari Zakat Mal/Profesi/Pendapatan dari PNS dan masyarakat umum yang belum tergali secara maksimal. Sebab dalam pasal 2 disebutkan setiap masyarakat yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki orang muslim berkewajiban menunaikan zakat. (Perda Lebak Nomor 11 Tahun 2005) Zakat adalah al-Ibadah al-Maliyah al-Ijtima'iyyah, ibadah di bidang harta yang memiliki fungsi sosial dan posisi serta kedudukan yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. KH. Ahmad Syatibi Hanbali (Ketua MUI Kabupaten Lebak) menjelaskan adanya perda zakat dapat memiliki manfaat setidak-tidaknya bisa membantu salah seorang warga janda tua yang rumahnya rubuh dapat dibangun kembali rumahnya sumber dana tersebut dari dana BAZDA Kabupaten Lebak. Senada juga KH. Asef, MA (Pengurus IFSPP/ Ikatan Forum Silaturrahim Pondok Pesantren) menjelaskan perda sudah berjalan dan memiliki manfaat Luar biasa bagi pembangunan ekonomi di Kabupaten Lebak. Sepengatahuan saya eksistensi zakat melalui lembaga pengelola zakat atau BAZDA Lebak sudah bagus dengan program penghimpunan dan pemberdayaan Namun perda itu baru bisa efektif di kalangan PNS dan pengusaha saja tidak menyentuh masyarakat luas oleh karena itu perlu adanya sosialisasi BAZDA Lebak akan urgensi fiqih kontemporer kepada ulama kampung secara luas yang nantinya dapat diteruskan oleh para ulama tersebut. KH. Zainuddin Amir (Pengasuh Ponpes Maulana Hasanuddin) menjelaskan ada sisi positif perda zakat agar masyarakat peduli dan sadar

Page 49: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 45

berzakat. Sebab, zakat harus ada latihan dan daya paksa di semua tingkatan baik pengusaha maupun muzakki secara umum. Demikian juga KH. Abdurrahman Hilal (Pengasuh Pesantren Darul Qoriin) menjelaskan Perda zakat Kabupaten Lebak tidak bertentangan dan sesuai berdasarkan QS. At-taubah(9): 103.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, berkaitan dengan implementasinya, ternyata Perda tersebut sejak disahkan pada 8 Desember 2005 sampai sekarang sudah berjalan cukup efektif dan sudah ada perubahan yang signifikan dalam penghimpunan zakat. Banyak elemen masyarakat yang sudah tahu keberadaan Perda tersebut termasuk Ormas Islam seperti NU dan Pesantren-pesantren yang ada di Kab. Lebak termasuk media lokal.

Namun evaluasi atas efektivitasnya perda terhadap penghimpunan baru tergali potensi melalui infak/sedekah dari pengusaha sedangkan zakat mal/profesi tergali dari kalangan masyarakat luas dan di kalangan PNS masih minim, hal ini dapat dicermati belum semua instansi dalam pemerintahan yang menunaikan zakat mal/profesi. Setelah dianalisis permasalahan yang muncul adalah masih kurangnnya sosialisasi kepada seluruh instansi pemerintah dan sosialisasi kepada masyarakat berkaiatan dengan Perda tersebut. Sehingga sosialisasi perda zakat perlu ditingkatkan kembali terutama dalam perkembangan fiqh zakat kontemporer yang kebanyakan masyarakat Lebak masih memberikan zakatnya langsung diberikan kepada mustahik (baik kepada saudara jauh, yatim piatu, fakir miskin atau melalui guru mengaji/kiai), Kekurangan Perda Pengelolaan Zakat juga belum mencantumkan sanksi terhadap orang yang enggan berzakat secara mengikat dan memaksa. Padahal salah satu kekuatan hukum, apabila di dalamnya ada sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi bagi muzakki yang enggan berzakat maka potensi zakat dapat terhimpun secara maksimal. Daftar Pustaka Abbas, Muhamad, Konflik Sosial : Ancaman Pelayanan Publik di Era Otonomi

Daerah, Jurnal PSPK Edisi April-Juni 2002. Bappeda Kab. Lebak, 2009 BPS Kabupaten Lebak Dunn, William N. 1999. Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University

Press. Yogyakarta, Hamzah, Amir, “Masa Depan Zakat Indonesia: Studi Kasus Zakat Sebagai Intrumen Pembangunan Daerah di Lebak” disampaikan pada acara Wisuda The Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), Jakarta. 28 Oktober 2009 http://www.bawean.net/2010/09/pelatihan-pengelolaan-zakat.html, diakses

tanggal 15 Oktober 2010 http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=34456 RPJMD Kabupaten Lebak Tahun 2009–2014

Page 50: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

46 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 11 Tahun 2005 tentang “Pengelolaan Zakat”. Laporan Bazda Lebak 2008, 2009, 2010 “Wawancara Pribadi” : 1. “Wawancara Pribadi” dengan Ketua BAZDA Kabupaten Lebak, Amir

Hamzah, Tanggal 18 Agustus 2010, waktu 12.00-15.00 2. “Wawancara Pribadi” dengan Ketua Gabungan Pengusaha Seluruh

Indonesia (Gapensi) Kabupaten Lebak, H. Sumantri, Tanggal 13 Agustus 2010, waktu 10.00 -13.00

3. “Wawancara Pribadi” dengan Sekretaris Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (Gapkindo) Kabupaten Lebak, Bay Juarsa, Tanggal 13 Agustus 2010

4. “Wawancara Pribadi” dengan Direktur PT Tirtayasa Jaya Kabupaten Lebak, A. GANIF, Tanggal 07 Agustus 2010, waktu 13.00 -14.00

5. “Wawancara Pribadi” dengan Ketua DPRD Kabupaten Lebak, Ade Sumardi, Tanggal 13 Agustus 2010

6. “Wawancara Pribadi” dengan Komisi C DPRD Kabupaten Lebak, KH Wawan Gunawan, Tanggal 18 Agustus 2010, waktu 13.00-15.00

7. “Wawancara Pribadi” dengan Komisi A DPRD Kabupaten Lebak, Enden, Tanggal 18 Agustus 2010, waktu 10.00-11.00

8. “Wawancara Pribadi” dengan ASDA I DPRD Kabupaten Lebak, Haryono, Tanggal 20 Agustus 2010, waktu 10.00-11.00

9. “Wawancara Pribadi” dengan PNS Kabupaten Lebak, Sumardi, Tanggal 16 Agustus 2010, waktu 10.00-11.00

10. “Wawancara Pribadi” dengan Eno Asnaya pedagang sayuran, Tanggal 15 Agustus 2010, waktu 10.00-11.00

11. “Wawancara Pribadi” dengan Lina dan Lussy, Kelompok usaha, Tanggal 22 Agustus 2010, waktu 16.00-17.00

12. “Wawancara Pribadi” dengan Nia Kurniasih, pedagang nasi, Tanggal 19 Agustus 2010, waktu 12.00-13.00

13. “Wawancara Pribadi” dengan KH Abdurrahman Hilal, Pengasuh Ponpes Darus Qariin, Tanggal 16 Agustus 2010, waktu 15.00-16.00

14. “Wawancara Pribadi” dengan KH Badru, Ketua ISFPP Kab. Lebak, Tanggal 16 Agustus 2010, waktu 11.00-13.00

15. “Wawancara Pribadi” dengan KH Asef, Pengasuh Ponpes Riaydussholihin, Kab. Lebak, Tanggal 16 Agustus 2010, waktu 11.00-13.00

16. Hasil diskusi dan wawancara Focus Group Diskusion PERDA ZAKAT Kabupaten Lebak Tanggal 25 Agustus 2010, Aula Dila Sampay-Kabupaten Lebak.Adapun peserta yang hadir: Ir. H. Amir Hamzah, M. Si (Ketua Bazda Lebak/ Wakil Bupati Lebak), M. HUSEIN (Ketua Pansus Perda Zakat/ komisi a/ dprd pkb), Arif (IMZ), Ganif (Direktur PT Tirtayasa Jaya Kabupaten Lebak), Amad (Kakemenag Lebak), KH. Abdurrahman Hilal (Pengasuh Pesantren Darul Qoriin), Nurul Huda Ma’arif, MA (Akademisi), Drs. KH. Pupu Mahpuddin (Bazda Lebak), KH. Zainuddin Amir (Pengasuh Pesantren Sultan Hasanuddin), KH. Ahmad Syatibi Hanbali (Ketua MUI

Page 51: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Dampak Perda Zakat No.11 Tahun 2005 Di Kabupaten Lebak

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 47

Kabupaten Lebak), KH. Wawan (DPRD Lebak komisi C), Ade (Ketua Komisi B DPRD Kab. Lebak), Ir. Didih M. Sudi, M.Si (Dewan Syuro PCNU Kab. Lebak), KH Asef, Pengasuh Ponpes Riaydussholihin dan Muhammad Zen.

Page 52: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 47

MEDIA DAKWAH DAN EKONOMI UMAT

Sudirman Tebba Guru Besar Jurusan Manajemen Dakwah

Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Da’wa media play significant roles in influencing public perspectives by stirring and touching the emotion and thoughts of the people through television, newspapers, radio and movies with their high persuasive power. This is needed for those highly educated and illiterate. Mass media function are not only to develop da’wa programs, but also, from business and economic angle, to develop Muslim communities. Unfortunately, most of mass media are owned by non Muslims. It is actually the time for Muslims to develop da’wa media toward community economic development. In line with this, community economic development can be the most effective way of da’wa, for it reinforces the economic community progress. Hence, it can be seen as financial resources to support Islamic da’wa through alms giving, charity, and endowment that contribute to the Indonesian economic pillars. Keywords: Media, Pers, Ekonomi, Dakwah, Umat

Pendahuluan Sejalan dengan berkembangnya media massa dewasa ini berkembang pula media dakwah. Media dakwah mempunyai pengertian yang luas, tetapi di sini hanya dibatasi pada media massa yang dapat digunakan untuk menyampaikan dakwah, yaitu media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid, serta media elektronik, seperti radio, televisi, dan internet (international networking atau lengkapnya international connection networking). Internet biasanya dianggap sebagai gabungan komputer, televisi dan telepon. Media massa mempunyai fungsi-fungsi yang berguna dalam menjalankan dakwah. Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan (M. Burhan Mungin, 2006). Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi masyarakat yang maju. Fungsi edukasi juga terdapat dalam kegiatan dakwah yang biasa disebut amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan). Misalnya dalam agama diperintahkan untuk belajar atau menuntut ilmu agar manusia mencapai kebudayaan dan peradaban yang tinggi untuk keperluan manusia sendiri.

Page 53: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

48 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Sebaliknya agama melarang keburukan, seperti meminum minuman keras dan narkoba, karena akan merusak pikiran. Kalau pikiran sudah rusak orang gampang tergoda melakukan keburukan yang lain, seperti menipu, berbohong, mencuri, merampok, memperkosa dan membunuh orang lain. Selain itu media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan jujur serta benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi. Sebaliknya pula masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu informasi yang banyak dimiliki masyarakat menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya. Dalam agama juga sebagaimana yang disampaikan dalam dakwah terdapat banyak informasi, seperti kehidupan nabi-nabi terdahulu dan umat mereka, agar kita dapat mengambil pelajaran dari mereka, sehingga tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu yang mereka lakukan yang membuat mereka hancur dan hanya dikenang dalam sejarah. Dalam agama juga ada informasi tentang masa depan, seperti kiamat dan kehidupan sesudah mati agar kita dalam kehidupan sekarang tetap dalam kebaikan dan menjauhi perbuatan yang buruk karena semua itu ada balasannya nanti di akhirat. Media massa juga sebagai media hiburan. Sebagai agent of change media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, sehingga media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya. Dalam dakwah juga ada acara-acara hiburan, seperti sinetron dan musik religi. Sinetron seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI dan Ustad Fotokopi di SCTV sudah menjadi acara-acara unggulan di kedua stasiun TV itu. Kalau dulu sinetron religi hanya tayang pada bulan Ramadhan, kalau sekarang kedua sinetron tadi tayang setiap hari dengan iklan yang juga melimpah. Secara lebih spesifik peran media massa saat ini lebih menyentuh persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat secara aktual, seperti harus lebih spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan, sehingga mampu menjadi media edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Dalam memotret realitas media massa harus fokus pada realitas masyarakat, bukan pada potret kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu, sehingga informasi tidak menjadi propaganda kekuasaan dan potret figur kekuasaan. Sebagai lembaga edukasi media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi, sehingga kasus-kasus pengaburan berita dan iklan tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.

Page 54: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 49

Media massa juga harus menjadi early warning system. Hal ini terkait dengan peran media massa sebagai media informasi, di mana lingkungan saat ini menjadi sumber ancaman. Media massa menjadi sebuah sistem dalam sistem besar peringatan terhadap ancaman lingkungan, bukan hanya menginformasikan informasi setelah terjadi bahaya dari lingkungan itu. Kemudian dalam hal menghadapi ancaman masyarakat yang lebih besar, seperti terorisme seharusnya media massa lebih banyak menyoroti aspek fundamental pada terorisme seperti mengapa terorisme terjadi bukan hanya pada aksi-aksi terorisme. Dengan demikian, media massa mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi khalayak (pembaca, pendengar dan penonton), karena jangakaunnya yang sangat luas dalam waktu yang singkat. Karena itu, media massa sangat berguna untuk menunjang kegiatan dakwah, Untuk itu para dai, muballig atau juru dakwah harus memahami karakteristik pers, radio, film dan televisi dalam kapasitas atau kemampuannya sebagai media massa yang dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah atau sebagai alat perjuangan bagi para dai dan muballig dalam menyeru amar ma’ruf nahi nunkar (Anwar Arifin, 2011). Setiap jenis media massa (pers, film, radio dan televisi) memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam kapasitasnya sebagai komunikasi atau media dakwah. Perkembangan semua jenis media massa itu secara teknis didukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang sekarang ini telah mencapai teknologi digital. Hal ini akan lebih memudahkan dan mempercepat penyebaran pesan dakwah kepada penerima (mad’u). Pers sebagai media cetak yang mencakup surat kabar dan majalah hanya dapat dilihat oleh mata saja (media visual). Sedangkan radio hanya dapat didengar saja (media auditif). Film dan televisi merupakan media yang dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga sekaligus, bahkan kelihatan hidup (media audio visual). Dewasa ini berkembang pula media interaktif atau media sosial melalui jaringan komputer (internet) atau yang disebut cyber media. Penggunaan salah satu di antara semua jenis media yang tersedia itu untuk kepentingan dakwah sangat tergantung kepada kemampuan para dai dan muballig memperhatikan kebutuhan atau kemampuan khalayak mencerna dan menerima pesan-pesan dakwah yang akan disampaikan. Jadi, pemilahan dan pemilihan atas jenis media massa oleh dai dan muballig didasarkan pada kemampuannya serta kebutuhan dan kepentingan serta lokasi publik atau penerima (mad’u) yang dijadikan sasaran dakwah. Apalagi setiap jenis media massa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pers sebagai media massa yang paling tua dan sekaligus sebagai media cetak yang bersifat visual hanya dapat ditangkap oleh mata saja tentu memiliki keunggulan dan kelemahan sekaligus. Kelemahan yang melekat pada pers yang meliputi surat kabar dan majalah adalah karena hanya dapat dibaca dan tidak memiliki aspek bunyi suara manusia, sehingga kurang persuasif dan aspek hiburannya sangat kurang. Dengan demikian, dalam menggugah dan menyentuh emosi dan sentimen khalayak surat kabar dan majalah hanya bersifat sederhana dan tidak terlalu mengikat publik dalam penerapannya.

Page 55: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

50 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Kajian Teori Kata pers berasal dari kata Latin pressa atau bahasa Inggris press yang

berarti mesin cetak. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi alat-alat mencetak dari suatu ide untuk disebarkan kepada masyarakat. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi media yang menyebarkan ide atau pesan kepada masyarakat, yang dicetak dengan alat-alat percetakan sebelumnya. Media yang dimaksud adalah buku, surat kabar, majalah, buletin, brosur atau pamflet yang isinya mengandung idea atau pemberitahuan kepada masyarakat. Pada hakikatnya pers adalah alat komunikasi manusia dalam arti saluran dari pernyataan mnusia yang bersifat umum atau terbuka dan aktual serta teratur waktu terbitnya serta dalam bentuk tercetak. Pers kemudian dibagi dalam dua jenis, yaitu pers dalam arti luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti luas meliputi semua barang tercetak seperti surat kabar, majalah, buku, buletin dan pamflet. Sedang pers arti sempit adalah surat kabar. Kemudian pengertian pers berkembang menjadi semua alat-alat komunikasi massa sebagaimana dianut di Amerika. Dalam Undang-undang No: 40 Tahun 1999 tentang Pers dirumuskan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan dalam Undang-undang No: 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers dirumuskan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunkasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya dilengkapi atau tidak dilengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya. Berdasarkan kedua undang-undang per situ terlihat ada pergeseran pengertian pers dalam arti yang luas, sehingga pers tidak lagi hanya sebagai media cetak, tetapi juga dapat menjangkau media elektronik (radio dan televisi) dan segala jenis saluran yang tersedia termasuk juga internet. Pergeseran pengertian pers di Indonesia tentu berkaitan dengan perkembangan demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun demikian pers tetap dipandang sebagai wahana atau media komunikasi selain sebagai lembaga sosial. Demikian pula pers dalam arti sempit adalah surat kabar. Surat kabar yang tercetak yang pertama kali di dunia ialah Relation yang terbit tahun 1609 di Jerman. Namun cikal bakal surat kabar dapat dilacak dari munculnya acta diurna (pengumuman pemerintah) dan acta senatus (pengumuman senat) pada masa pemerintahan Julius Caesar di Kerajaan Romawi tahun 59 sebelum masehi. Seiring dengan berkembangnya teknologi percetakan surat kabar berkembang pesat sebagai media massa hingga saat ini. Selain itu surat kabar dan majalah hanya dapat disimak oleh khalayak yang berpendidikan dan yang memiliki kebiasaan membaca yang tinggi dan sulit disimak oleh mereka yang tidak berpendidikan. Surat kabar dan majalah juga

Page 56: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 51

menghadapi hambatan yang bersifat geografis, karena dalam penyebarannya memerlukan waktu yang lama untuk jarak yang jauh. Jadi, berita yang disajikan oleh surat kabar dan majalah kepada khalayaknya tidak secepat oleh radio dan televisi. Surat kabar dan majalah tidak mampu menundukkan ruang dan waktu secara cepat. Meskipun demikian suratkabar dan majalah (pers dalam arti sempit), memiliki keunggulan lain sebagai alat komunikasi massa dan media dakwah yang mewakili media yang berbentuk the printed writing (yang berbentuk tulisan) atau media dari yang berupas media visual (yang hanya dapat ditangkap mata), yaitu dapat dibaca kapan dan di mana saja. Surat kabar dan majalah juga relatif lebih mampu membawakan materi yang panjang dan masalah yang kompleks. Kompleksitas dan panjangnya materi ditambah pula variasinya yang tak terbatas, sangat berpengaruh pada penerimaan khalayak terhadap materi yang disuguhkan kepadanya. Itulah sebabnya keunggulan surat kabar dan majalah tidak dijumpai pada media lainnya, seperti film, radio dan televisi. Khalayak surat kabar dan majalah memerlukan tingkat kecerdasan tertentu dan kemampuan membaca untuk menangkap secara jernih kompleksitas dan variasitas materi-materi yang dihidangkan. Media massa yang lahir sesudah media cetak adalah film yang lahir pada akhir abad ke-19 (1895) dan mencapai puncaknya antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Film dikenal juga dengan nama gambar hidup atau wayang gambar. Selain itu film juga sering disebut movie dan sinema. Selain berarti film sinema juga bermakna gedung tempat pertunjukan film (bioskop). Sedangkan orang yang ahli perfilman atau pembuatan film disebut sineas, dan teknik pembuatan film disebut sinematografi. Sejak abad yang lalu berkembang sinema elektronik yang kemudian dikenal dengan akronim sinetron yang dalam bahasa Inggris disebut soap opera dan dalam bahasa Spanyol disebur telenovela. Sinetron pada umumnya merupakan cerita tentang kehidupan manusia secara dramatis dan disiarkan melalui televisi, sehingga sinetron bukanlah media, melainkan salah satu produk dalam penyiaran televisi. Kendatipun demikian, sinetron tetap dapat diberi muatan dakwah, terutama yang bersifat universal (memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran) dan dakwah yang bersifat khusus yang menonjolkan pesan akidah, syariah dan akhlak Islam. Untuk memahami esensi film dan sekaligus untuk membedakan dengan sinetron, video atau cakram padat (CD – Compact Disc), maka perlu ditelaah pengertian film menurut undang-undang. Dalam Undang-undang No: 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dirumuskan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Dengan demikian, film dipandang selain sebagai karya seni budaya dan sebagai pranata sosial (social institution), film juga merupakan media komunikasi massa, karena dapat dipertunjukkan kepada banyak dengan membawa sejumlah pesan yang berisi gagasan vital kepada publik (khalayak) dengan daya pengaruh yang besar. Berdasarkan pengertian itu film memiliki tiga makna. Pertama, film sebagai karya seni budaya yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dan

Page 57: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

52 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

dapat dipertunjukkan dengan tanpa suara. Pengertian ini menunjuk kepada bentuk fisik dari film sebagai fenomena kultural yang dibuat oleh sineas yang melibatkan banyak orang. Kedua, film adalah pranata sosial selain karena dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang terorganisasi, juga film memiliki seperangkat nilai atau gagasan vital, visi dan misi yang diserap dari masyarakat. Pengertian ini menunjuk kepada karakteristik atau kepribadian film yang ditentukan oleh pemilik atau produser setiap pelaku kegiatan atau pelaku usaha perfilman yang dapat berbeda atau sama antara satu dengan lainnya. Ketiga, film adalah media massa menunjuk kepada kapasitas film menyalurkan gagasan atau pesan kepada penontonnya tanpa menggunakan media lain. Berdasarkan ketiga pengertian film itu dapat disimpulkan bahwa film dalam pengertian yang pertama film secara fisik selain dapat dipertunjukkan di bioskop atau tempat lain, tetapi juga dapat melalui media massa yang lain, yaitu televisi. Dalam hal ini film dapat mencakup juga sinetron. Sedangkan dalam pengertian kedua dan ketiga yang menunjuk bahwa film sebagai lembaga sosial dan media massa yang dipertunjukkan sendiri tanpa media lain (televisi), sehingga sinetron tidak termasuk di dalamnya. Sebagai media komunikasi massa film dapat menjadi media dakwah yang efektif dengan pendekatan seni budaya, yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi. Pesan dakwah dapat diekspresikan dalam bentuk cerita dan disajikan dalam film kepada khalayak dengan daya pengaruh yang besar. Film sebagai media yang bersifat audio-visual memang lebih banyak disajikan dalam bentuk hiburan dengan cerita yang menarik. Demikian pula film jarang sekali mengembangkan topik dari surat kabar, meskipun hal itu dapat juga dilakukan. Kelemahan film sebagai media komunikasi terutama karena besarnya hambatan geografis karena harus ditonton atau dilihat di sebuah tempat tertentu, sehingga khalayaknya harus menyediakan waktu tersendiri untuk pergi ke tempat yang sudah disediakan (bioskop atau lapangan terbuka). Itulah sebabnya khalayak yang dapat dijangkau oleh film jauh lebih terbatas dari pada radio, surat kabar, majalah, dan televisi. Selain kelemahan itu film memiliki keunggulan terutama karena film dapat dinikmati oleh semua kalangan dari khalayak yang buta huruf sampai yang berpendidikan tinggi. Demikian juga film memiliki daya persuasif yang tinggi, terutama karena menyajikan gambar yang hidup (bergerak dan bersuara). Gambar hidup yang disajikan oleh film itu mempunyai kecenderungan umum yang unik dalam keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Kebanyakan persoalan atau hal yang bersifat abstrak dan samar-samar serta sulit dapat disuguhkan oleh film kepada khalayak secara lebih baik dan efisien. Demikian pula film menyuguhkan pesan dengan menghidupkan atau dapat mengurangi jumlah besar keraguan. Apa yang disuguhkan oleh film lebih mudah diingat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa film mempunyai kekuatan mempengaruhi yang sangat besar, dan sumber dari kekuatannya ialah pada emosi dari khalayak. Hal ini disebabkan oleh karena khalayak lebih mudah untuk menerima dan mengerti isi film dari pada membaca surat kabar dan majalah.

Page 58: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 53

Namun aktualitas film sangat rendah dalam menghidangkan atau menyajikan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Peran ini diambil alih oleh televisi dan radio. Justru itu penyajian dakwah dalam film memang harus disajikan dalam bentuk cerita yang menarik. Film yang berisi pesan dakwah biasanya disebut film dakwah atau film religi. Sebutan itu kemudian dapat disebut sebagai citra media. Kini film telah berkembang dengan dukungan teknologi yang makin canggih, termasuk teknologi digital. Dalam masa permulaan pembuatan film terdapat sejumlah orang yang sangat berjasa, antara lain Niepe (1822) dan Deuguerre (1839) dari Prancis, Voigtlander (1844) dari Jerman, Eastman (1888), Edison dan Dickson (1895) dari Amerika Serikat.

Media massa berikutnya adalah radio. Radio adalah siaran atau pengiriman suara atau bunyi melalui udara. Radio juga dikenal dalam bahasa Inggris broadcasting yang dipahami sebagai penyiaran. Karena itu, segala sesuatu dapat disiarkan melalui radio, seperti berita, musik, pidato, puisi, drama dan dakwah yang dapat didengar oleh masyarakat luas. Dengan isi siaran yang bersifat terbuka itu dan menyeluruh khalayak yang luas (massa), maka radio kemudian disebut media komunikasi massa atau media massa. Selain itu, radio juga berarti pesawat penerima siaran radio.

Sebagai media penyiaran radio serumpun dengan televisi dalam Undang-undang No: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam undang-undang itu dirumuskan bahwa penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/ atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui radio, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Dirumuskan juga bahwa penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

Radio sebagai penyiaran merupakan jenis media massa yang ketiga yang lahir di dunia setelah pers dan film. Secara teknis radio pada awal perkembangannya dimulai ketika Heinrich Hertz (ahli fisika Jerman) berhasil mengirim dan menerima gelombang radio pada tahun 1887. Hasil temuan Heinrich itu kemudian diteruskan oleh Guglielmo Marconi dari Italia yang mendemonstrasikan penggunaan gelombang elektromagnetik kepada The New Time pada tahun 1901, dan berhasil mengirimkan sinyal yang melampaui Samudra Atlantik. Sebelum itu Marconi menciptakan wireless telegraph (1896) yang menggunakan gelombang radio untuk membawa pesan dalam bentuk kode morse dari sebuah pemancar kepada suatu alat penerima. Radio sendiri digunakan secara baik sekitar tahun 1920.

Sebagai media komunikasi radio dapat digunakan juga sebagai media dakwah dalam arti menyalurkan pesan-pesan dakwah dalam arti yang luas. Penggunaan radio sebagai media dakwah sudah banyak dilakukan di Indonesia yang dikenal sebagai radio dakwah yang umumnya didirikan oleh lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga penyiaran komunitas.

Radio memiliki keunggulan terutama karena radio tidak mengenal rintangan geografis, seperti pada surat kabar atau film. Itulah sebabnya berita atau

Page 59: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

54 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

informasi melalui radio dapat diterima di mana saja, sehingga khalayaknya jauh lebih besar dari pada surat kabar dan film. Hal ini juga disebabkan karena pesawat penerima radio lebih murah, sehingga banyak orang dapat memilikinya.

Selain itu siaran radio dapat diterima atau didengar bukan hanya oleh orang yang berpendidikan, tetapi juga orang yang tidak berpendidikan. Radio mendapat banyak khalayak, terutama karena radio lebih banyak menghidangkan hiburan dan informasi yang aktual. Radio mampu melaporkan kepada khalayak mengenai peristiwa yang sedang berlangsung yang disebut sebagai laporan pandangan mata. Bahkan banyak orang dalam fase pertama mendengar atau memperoleh berita melalui radio. Para dai dan muballig dapat menyiarkan secara lengkap ceramah agama, khutbah salat Jumat atau khutbah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha secara langsung ketika peristiwa berlangsung. Dakwah secara dialogis dengan pendengar dapat juga dilakukan dengan bantuan telepon.

Sebaliknya radio sebagai media yang hanya dapat ditangkap oleh telinga saja memiliki kekurangan yang mendasar, karena radio tidak dilengkapi dengan gambar, sehingga untuk membayangkan kejadian yang sesungguhnya khalayak hanya menggunakan imajinasinya sendiri. Pesan yang dibawakan oleh radio hanya sekilas saja dan tidak bisa ditarik lagi setelah mengudara, sehingga sangat terikat oleh waktu, terutama karena memiliki waktu siaran tertentu. Demikian juga siaran radio bersifat einmalig atau sekali jalan, karena isi siaran hanya dapat didengar sekali saja dan sesudah itu hilang dan tidak dapat didengar lagi.

Meskipun begitu siaran radio memiliki keunggulan, terutama karena radio memiliki aspek bunyi suara manusia sebagai ciri utamanya. Justru itu media ini mempunyai sifat persuasif yang tinggi dan mampu menciptakan keakraban dengan khalayak atau publiknya. Karena itu khalayak dapat berpartisipasi dalam kesempatan yang bersifat seremonial. Para pendengar dapat memperoleh sesuatu perasaan partisipasi persona dari radio yang dapat menimbulkan suatu kedekatan untuk melakukan kontak secara langsung.

Demikian pula radio mempunyai suatu keuntungan dengan sifatnya yang unik dibanding dengan media cetak, yakni dari kecepatannya, terutama mengenai penyebaran atau penyiaran berita-berita. Selain itu pendengar radio dapat membentuk dirinya sebagai suatu kelompok, karena simultan para pendengar itu menggabungkan diri dalam mendengarkan materi yang sama. Kemudian kelompok itu dapat mengembangkan dan memperkuat sugestibilitas dari pada khalayak itu.

Selain itu radio memiliki kelebihan lain, yaitu khalayak yang dapat dijangkau jauh lebih luas dibandingkan dengan surat kabar dan meliputi seluruh lapisan masyarakat. Jadi, bukan saja golongan yang terdidik atau golongan intelektual saja yang dapat mengikuti siaran radio, tetapi juga golongan yang berpendidikan rendah dan bahkan yang buta huruf pundapat menikmatinya. Khalayak radio lebih suka siaran yang ringan-ringan saja dan cenderung memiliki kesetiaan kepada penyiar dari pada lembaganya atau stasiun radionya.

Khalayak atau orang yang menjadi sasaran dan pendengar radio dilihat dari segi kultural tergolong rata-rata orang yang tingkat pendidikannya tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dipahami karena memang lebih banyak

Page 60: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 55

menghidangkan entertainment (hiburan) dibanding pesan dan informasi yang disajikan oleh surat kabar dan majalah.

Media massa selanjutnya adalah televisi. Televisi adalah media penyiaran yang serumpun dengan radio. Kalau radio hanya menyiarkan suara, maka televisi mampu menyalurkan suara dan gambar sekaligus, sehingga televisi dapat dipandang sebagai penggabungan film dengan radio. Itulah sebabnya televisi disebut sebagai media audio visual, karena siarannya dapat ditangkap oleh telinga dan mata.

Kata televisi berasal dari kata Inggris television, yang berarti tampak dari jauh (tele berarti jauh dan vision berarti tampak). Televisi merupakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau angkasa yang menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) yang dapat dilihat dan dapat didengar. Selain itu televisi dapat juga diartikan sebagai pesawat penerima siaran televisi. Kemudian televisi berkembang sebagai media massa, karena suara dan gambar yang disiarkan menyentuh khalayak yang banyak (massa) serta bersifat terbuka.

Dalam Undang-undang No: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengan pandang yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup berupa program yang teratur dan berkesinambungan. Dalam hal ini televisi dipandang sebagai media massa bersama radio dalam kelompok penyiaran.

Televisi sebagai media massa merupakan jenis media massa yang keempat yang hadir setelah pers, film dan radio. Televisi telah mengubah dunia dengan terciptanya dunia baru bagi masyarakat dengan seluruh keunggulan dan kelemahannya sebagai media massa. Televisi merupakan penggabungan radio dan film, sehingga kekurangan radio dan film bisa diatasi oleh televisi. Sebagai media yang bersifat audio visual televisi telah tampil sebagai media yang relatif sempurna. Meskipun demikian kelebihan yang terdapat dalam surat kabar atau barang cetakan lainnya tidak dijumpai dalam siaran televisi.

Berdasarkan hal itu, maka televisi sangat penting untuk menjadi media dakwah. Hal ini telah banyak dilakukan di Indonesia. Pada umumnya lembaga penyiaran televisi di Indonesia menyediakan waktu untuk kegiatan dakwah, seperti azan untuk panggilan salat dan acara-acara khusus pada bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Juga sinetron religi yang ditayangkan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Televisi juga bermanfaat sebagai media yang menyajikan dialog-dialog tentang berbagai masalah agama dan umat Islam.

Penyiaran televisi berkembang dengan pesat sesudah Perang Dunia II (1945). Meskipun begitu, televisi sesungguhnya telah mulai dikenal sejak tahun 1920, kemudian berkembang lagi dengan hadirnya televisi publik tahun 1930. Peletak dasar utama teknologi pertelevisian ialah Paul Nipkow dari Jerman yang dalam tahun 1884 menemukan sebuah alat yang disebut jantra Nipkow atau Nipkow sheibe. Temuan itu kemudian melahirkan electrische telescop atau televisi elektris. Perkembangan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang penyiaran radio dan penemuan tentang film yang berlangsung secara evolusi dan kumulatif.

Page 61: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

56 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Berkat dukungan teknologi yang makin canggih, terutama teknologi digital, televisi telah mengubah dunia dan telah tercipta suatu dunia baru. Sejak kelahirannya televisi telah berperan sebagai media massa yang menawarkan rangkaian citra dan bentuk-bentuk baru yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Masa depan televisi akan bergantung kepada kemampuan manusia melakukan berbagai penilaian dan mengambil dan keputusan terhadap tantangan masa depan.

Televisi telah mampu menampilkan keunggulan dari ciri khasnya. Keunggulan dan ciri khas yang dilahirkan oleh televisi terutama dalam hal kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari. Televisi merupakan produk kultural yang unik. Bentuk-bentuk pemberitaan, perbincangan, visualisasi dan dramatisasi yang dikembangkan oleh televisi melahirkan suatu kultur publik yang sama sekali berbeda dari yang penah ada sebelumnya. Tentu saja banyak dari bentuk yang dikembangkan dari film dan radio, seperti berita, drama, perbincangan dalam berbagai program, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya.

Keunggulan televisi sebagai media audio visual (dengar pandang) terletak pada daya persuasinya yang sangat tinggi, karena khalayak dapat melihat gambar hidup dan suara sekaligus. Bahkan suara dan gambar hidup itu dapat diterima oleh khalayak pada saat sebuah peristiwa tablig atau khutbah yang sedang terjadi melalui liputan secara langsung. Dengan demikian, televisi memiliki kecepatan dan aktualitas yang tinggi dengan daya persuasif yang tinggi pula. Televisi juga dapat mengembangkan topik yang disajikan oleh media cetak (surat kabar dan majalah). Saat ini siaran televisi dapat dilihat dalam mobil yang sedang melaju dan bahkan dapat dilihat melalui telepon genggam, sehingga hambatan-hambatan yang bersifat teknis dan geografis dapat diatasi.

Sebagai alat media komunikasi atau media dakwah jelas sekali bahwa dalam usaha mempengaruhi khalayak dengan jalan menggugah dan menyentuh emosi dan pikirannya, televisi mempunyai banyak keunggulan yang menonjol dibandingkan dengan surat kabar, radio dan film. Karena itu, penyiaran televisi sebagai media dakwah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak sebanyak mungkin dengan daya persuasif yang tinggi. Hal ini sangat diperlukan, baik untuk khalayak dakwah yang berpendidikan tinggi maupun yang buta huruf.

Jadi, dari segi fungsi media massa, cetak dan elektronik, yang ada sangat bermanfaat untuk pengembangan kegiatan dakwah. Tetapi dari segi ekonomi dan bisnis media massa telah menjadi perusahaan yang memerlukan modal yang besar. Misalnya stasiun televisi yang tayang secara nasional modalnya bisa sampai Rp 1 trilyun. Sedangkan umat Islam pada umumnya kehidupan ekonomi mereka dalam keadaan lemah, sebab ekonomi Indonesia dikuasai oleh kelompok nonmuslim.

Itu sebabnya dulu TV Global yang semula diperuntukkan bagi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), tetapi tidak ada pengusaha muslim yang sanggup mendanai stasiun televisi itu, maka akhirnya jatuh kepada MNC Group yang pemiliknya adalah nonmuslim. Begitu pula Harian Republika telah jatuh ke tangan nonmuslim.

Tetapi kalangan nonmuslim menyadari perlunya acara atau program atau berita yang bernuansa Islam yang kita sebut media dakwah karena mayoritas khalayak adalah muslim. Hanya saja mereka kadang selipkan iklan yang tidak

Page 62: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 57

sesuai dengan semangat dakwah, seperti iklan rokok, iklan bank yang menjalankan sistem bunga atau bintang iklannya memakai pakaian yang sangat minim. Itu karena mereka membuat media dakwah bukan untuk mengembangkan dakwah, sebab mereka nonmuslim, tetapi semata-mata bertujuan bisnis.

Karena itu, pengembangan media dakwah sebaiknya disertai dengan pengembangan ekonomi umat. Bahkan pengembangan ekonomi umat dapat menjadi cara berdakwah yang paling efektif, karena secara nyata mendorong umat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Pembahasan Pengembangan Ekonomi Umat Menurut M. Dawam Rahardjo (1999) pemberdayaan ekonomi umat mengandung tiga misi. Pertama ialah misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran-ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal, misalnya besaran-besaran produksi, lapangan kerja, laba, tabungan, investasi, ekspor-impor dan kelangsungan usaha. Kedua ialah pelaksanaan etika dan ketentuan hukum syariah yang harus menjadi ciri kegiatan ekonomi umat Islam, dan ketiga ialah membangun kekuatan ekonomi umat Islam, sehingga menjadi sumber dana pendukung dakwah Islam yang dapat ditarik melalui zakat, infak, sedekah, wakaf dan menjadi bagian dari pilar perekonomian Indonesia. Dalam mencapai misi pertama sebuah proyek bisnis umat Islam harus mampu menjawab pertanyaan who, what, how dan for whom? Tampaknya mudah untuk menjawab pertanyaan who, karena jawabnya tentu saja adalah umat Islam sebagai pelaku ekonomi dan bisnis. Persoalan akan timbul ketika harus menjawab siapa yang dimaksudkan sebagai umat Islam di sini, apakah umat Islam pada umumnya ataukah lebih spesifik lagi, yaitu orang-orang yang disebut sebagai golongan santri. Kedua pengertian ini bisa dipakai untuk keperluan yang berbeda. Pertanyaan what, yakni apa yang harus dihasilkan oleh umat Islam tergantung pada permintaan pasar. Namun nilai-nilai budaya kaum muslim bisa mempengaruhi jenis komoditi , baik barang dan jasa yang dianggap memenuhi kriteria halalan thayyiban, yaitu barang dan jasa yang halal menurut syariat Islam yang memenuhi kualitas tertentu secara minimal maupun maksimal. Ada pula komoditas khas, seperti pakaian dan alat-alat beribadah, yang kini justru lebih banyak diproduksi oleh nonmuslim di negara-negara yang mungkin anti-Islam, seperti sajadah yang dibuat di Rumania dan RRC atau permadani yang dibuat di rumah penjara di India. Sedang bagaimana (how) barang-barang itu diproduksi, diperdagangkan dan dikonsumsikan tergantung pada dua faktor utama, yaitu mutu SDM dan tingkat perkembangan teknologi dan manajemen. Lebih jauh faktor ini tergantung pada tingkat perkembangan pendidikan dan Iptek umat Islam yang tak bisa dilepaskan dari kondisi Indonesia secara keseluruhan. Pertanyaan for whom menyangkut paling tidak dua aspek. Pertama ialah bagaimana kerangka prioritas barang dan jasa harus diproduksi. Kedua ialah siapa yang harus menerima manfaat pembangunan. Aspek pertama menyangkut distribusi kekayaan dan pendapatan pada berbagai golongan masyarakat.

Page 63: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

58 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Aspek kedua ekonomi umat ialah etika dan syariah yang merupakan ciri khas persoalan ekonomi dan bisnis dalam pandangan Islam. Kaum muslim harus berbisnis berdasarkan etika bisnis, misalnya tidak boleh menimbun (hoarding) ketika masyarakat kelangkaan barang untuk mencari keuntungan, menyuap pejabat untuk mendapatkan order atau menipu konsumen dengan kualitas produk yang tidak sesuai dengan yang diiklankan. Jika dewasa ini tampak belum berkembang etika bisnis, maka sudah menjadi kewajiban bagi para ahlinya untuk merumuskan sebuah etika bisnis modern. Dalam bidang etika ini umat Islam bisa memberi sumbangan dengan mengeluarkan saran-saran yang berdasarkan hukum fiqih, tentu saja dengan pengertian bahwa tidak semua aturan-aturan Islam dapat diterima oleh pemeluk agama lain, misalnya larangan makanan yang berasal dari babi atau disembelih tidak cara Islam. Tetapi di Thailand yang umat Islamnya minoritas, terhadap peraturan bahwa semua hewan disembelih secara Islam,karena itu dapat diterima oleh semua pemeluk agama, tetapi sebaliknya cara agama lain belum tentu bisa diterima oleh kaum muslim. Perlu diingat pula bahwa banyak larangan Islam itu dapat diterima oleh umum atau bersifat universal, misalnya larangan terhadap minuman keras dan obat bius atau perjudian yang merusak akhlak masyarakat. Bahkan larangan riba umpamanya bisa diterima oleh sebagian umat lain, setidaknya mereka bisa mengikuti tanpa keberatan yang prinsipil. Misalnya Bank Islam Al-Barakah dari Kuwait memiliki beberapa promotor orang Kristen yang bisa diterima oleh yang bersangkutan berdasarkan kepercayaan Kristen yang dalam kitab sucinya terdapat larangan riba. Ada pula kalangan nonmuslim yang memanfaatkan kepercayaan Islam sebagai potensi bisnis. Di Singapura misalnya ada bisnis yang bernilai milyaran dolar untuk memproduksi halal food yang tidak saja dapat dijual kepada kaum muslim, tetapi juga kepada umum. Sedang misi ketiga pemberdayaan ekonomi umat adalah menjadikan umat Islam sebagai kekuatan ekonomi dalam arti positif. Dewasa ini kekuatan umat Islam baru dalam arti politis, sedangkan kekuatan ekonomi masih berada di tangan golongan nonmuslim. Kaum muslim masih lebih berkedudukan sebagai konsumen dari pada produsen. Sudah tentu sebagai konsumen adalah sebuah kekuatan tersendiri, tetapi kekuatan itu lebih banyak dimanfaatkan oleh kalangan nonmuslim. Dengan pemberdayaan atau pengembangan ekonomi umat, maka diharapkan kehidupan ekonomi umat menjadi lebih baik, sehingga mampu membuat media dakwah dan media massa pada umumnya yang besar. Kalau umat Islam membuat media dakwah, maka tentulah tujuannya adalah pengembangan dakwah selain bisnis. Ini bedanya media dakwah yang dibikin oleh golongan nonmuslim yang semata-mata hanya bertujuan bisnis. Sama halnya bank syariah yang dibuat oleh golongan muslim semata-mata bertujuan bisnis, bukan untuk menerapkan Islam dalam ekonomi. Sedangkan umat Islam yang membuat bank syariah selain bertujuan bisnis juga untuk menerapkan Islam dalam kehidupan ekonomi umat.

Page 64: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Media Dakwah dan Ekonomi Umat

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 59

Penutup

Media massa mempunyai fungsi-fungsi yang berguna dalam menjalankan dakwah. Dalam dakwah terdapat banyak informasi yang bisa diambil hikmah/pelajaran dalam rutinitas sehari-hari. Seperti informasi dakwah tentang masa depan atau adanya hari akhir tentunya menyeru agar kita dalam kehidupan sekarang tetap dalam kebaikan dan menjauhi perbuatan yang buruk karena semua itu ada balasannya nanti di akhirat kelak. Itulah sebabnya, media dakwah di antaranya media massa berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai istitusi pelopor perubahan dalam menjalankan paradigmanya sebagai institusi pencerahan masyarakat sebagai media dakwah.

Peran ini tentu kerap dipraktekkan di antaranya oleh televisi dan radio. Penyajian dakwah dalam film dan kisah memang harus disajikan dalam bentuk cerita yang menarik. Film dan kisah yang berisi pesan dakwah biasanya disebut film/radio dakwah atau film/radio religi. Sebutan itu kemudian dapat disebut sebagai citra media. Bahkan harapannya kemudian pengembangan media dakwah tersebut dikembangkan dan sebaiknya disertai dengan pengembangan ekonomi umat. Sebab, pengembangan ekonomi umat dapat menjadi cara berdakwah yang paling efektif, karena secara nyata mendorong umat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Daftar Pustaka Mungin, M. Burhan, 2006, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan

Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana. Arifin, Anwar, 2011. Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi,

Yogyakarta: Graha Ilmu Rahardjo, M. Dawam Rahardjo, 1999. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi,

Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.

Page 65: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 60

FUNGSI MESJID SEBAGAI SARANA DAKWAH

Cecep Castrawijaya Ketua Prodi Jurusan Manajemen Dakwah

Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Mosque is derived from an Arabic word which means the place of prostrating or of worshipping God. Moreover, all places in this world can be regarded as mosque for Muslim communities. Therefore, for a Muslim he or she can perform prayer everywhere on this earth except graveyards, dirty places according to Islamic law, and some other places that are prohibited according to Islamic law. Mosque and Islamic da’wa are two interrelated factors. Mosque has important functions in the process of da’wa as showed by the Prophet p.b.u and his companions in the advent of Islamic era. Therefore, da’wa is the noblest activity in Islam and mosque is its main medium. Keywords: Fungsi Mesjid , Dakwah, Sarana, Media Dakwah

Pendahuluan Islam merupakan agama yang ajarannya harus ditegakan oleh pemeluknya dalam kehidupan nyata. Untuk itu perjuangan dalam menegakan agama Islam harus dilakukan secara bersama-sama oleh para pemeluknya dengan kerja sama yang baik. Agar kebersamaan dalam memperjuangkan agama Allah bisa berjalan dengan baik, maka mesjid merupakan sarana yang tepat untuk dijadikan lembaga dalam membangun dan melaksanakan kegiatan dakwah. Sebagai lembaga dakwah, mesjid mempunyai fungsi ideal yang tidak hanya sebatas rutinitas tempat shalat saja. Tetapi menyangkut pula segala aspek yang bertalian dengan kaum muslimin. Artinya Mesjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, namun juga sebagai pusat kebudayaan. Oleh karena itu Mesjid harus diorganisir secara modern sehingga fungsi mesjid mampu merespon secara proaktif perkembangan dan dinamika masyarakat, baik yang menyangkut hubungan vertikal maupun horizontal. Kompleknya masalah yang dihadapi mesjid sebagai lembaga dakwah, maka penyelenggaraan kegiatan-kegiatan dakwah yang diadakan oleh mesjid tidak mungkin dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, mesjid memiliki penghayatan makna berorganisasi, yaitu dengan mengadakan modifikasi mesjid yang ada baik dari segi organisasi maupun manajemennya. Kajian Teori Pengertian Mesjid

Ditinjau dari sudut etimologi, kata mesjid berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar kata s-j-d yang bermakna “sujud atau menundukan kepala sampai ketanah” (ibn manzhur, 1976). Kata mesjid merupakan kata jadian dari akar kata aslinya yang berupa kata benda “sajdan”, Kata jadina ini berupa “isim makan”

Page 66: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 61

yakni kata benda yang menunjukan tempat. Dengan demikian, mesjid adalah tempat sujud atau tempat menundukan kepala hingga ketanah sebagai ungkapan ketunduka penuh terhadap Allah SWT.

Secara kebahasaan, kata mesjid tergolong dalam kategori “sima’i”, sebuah bentu kata yang harakatnya menyalahi kaidah gramatika bahasa Arab. Kata mesjid semestinya memilki bacaan “masjad” bukan “mesjid “ karena menunjukan tempat dan mengikuti ‘wazan’ (timbangan kaidah kebahasaan Arab) “maf’al” bukan “maf’alun” (Ibn Aqil, 1971). Pengertian etimologi tersebut diatas tidak menunjukan perbedaan signifikan dengan pengertian terminology, dimana mesjid didefinisak sebagai tempat sembahyang/shalat jum’at dalam konteks keindonesiaan yang memiliki bangunan fisik besar seperti yang dikenal masyarakat muslim Indonesia (Sidi Gazalba).

Definisi mesjid seperti tersebut di atas, pada giliranya menimbulkan salah persepsi pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia sehingga mereka membeda-bedakan antara tempat shalat berbentuk mesjid dengan tempat shalat berbentuk mushala, oadahal keduanya merupakan tempat sujud yang dapat digunakan untuk shalat lima waktu dan shalat jum’at.

Pengertian mesjid , sebenarnya untuk memudahkan ummat Islam dalam menjalankan shalat berjama’ah, karena mesjid atau mushala bukan merupakan tempat sujud satu-satunya dimana seorang muslim baik secara betrkelompokmaupun individual dapat menjalankan shalat jum’at dan shalat lima waktu lainya dalam sehari dan semalam. Shalat jum’at bias saja dilaksanakan ditempat sujud selain mesjid seperti mushala, lapangan, dan permukaan bumi terbuka. Kenyataan bahwa seluruh bumi Allah adalah tempat sujud dikukuhkan oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “seluruh jagat raya ini telah dijadikan mesjid bagiku.

)رواه مسلم(رض كلھا مسجد األ

Artinya: seluruh jagat raya ini telah dijadikan mesjid bagiku. Pernyataan Nabi Muhammad SAW, tersebut di atas menunjukan bahwa

pelaksanaan ibadah shalat yang merupakan penghambaan, pengabdian, dan ketaatan seorang hamba kepada sang pencipta, tidaklah terikat dengan lokasi tertentu karena pelaksanaan ibadah shalat bias saja dilaksanakan dirumah, kantor, lading, hutan, gunung, udara, kendaraan, dan bahkan dipinggir jalan sekalipun. Tempat-tempat tersebut merupakan mesjid -mesjid (tempat-tempat sujud) bagi ummat Islam.

Latar Belakang Pendirian Mesjid Sebagaimana telah diketahui bahwa mesjid berasal dari bahasa Arab yang

berarti tempat sujud atau tempat menyembah Tuhan dan seluruh jagat raya yang dihuni ini merupakan mesjid -mesjid ummat Islam, maka setiap ummat Islam boleh menjalankan shalat di seluruh kawasan manapun dimuka bumi selain kuburan, tempat-tempat yangb bernajis, dan tempat-tempat yang menurut syariat Islam tidak sesuai dijadikan sebagai tempat menjalankan shalat.

Page 67: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

62 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Dalam pandangan Islam, tempat-tempat tersebut di atas menyalahi aturan agama sehingga pembanguna mesjid diatas tanah-tanah yang disebutkan diatas, merupakan larangan keras. Pelarangan keras ini sejalan dengan pernyataan sabda Nabi Muhammad SAW

تخذوا قبورأنبیائھم مساجداقاتل هللا الیھود اArtinya: Semoga Allah SWT memerangi orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah. (Al-Lu’luil wal marjan).

Sejarah Pendirian Mesjid Sebagai Sarana Dakwah Awal Islam Dalam sejarah peradaban Islam, populasi Madinah terkenal dengan

masyarakat yang memilki karakter watat halus dan mempunyai sikap bersahabat dengan para pendatang “Al-Muhajirin” dan keyakinan yang dianut dan bawanya, sehingga masyarakat kota tersebut lebih dapat menerima dan merespon secara positif ajaran-ajaran baru yang dideklarasikan Nabi Muhammad SAW, sebagai pengemban misi ilahiyyah yang suci. Dengan antusias masyarakat Medinah mengirin utusan resmi membawa pesan yang berisikan penawaran tulus penduduk kota kepada nabi Muhammad agar bersedia hijrah pindah domisili di Medinah, sang Nabi pun menyetujui hasrat tulus masyarakat Madinah setelah adanya dua kali utusan dalam waktu dua tahun secara berturut-turut menemui Nabi Muhammad SAW pada musim haji. Pertemuan antara Nabi Muhammad SAW dan para delegasi masyarakat Madinah ini dikenal dengan pertemuan pertama dan kedua “ Bai’at Aqabah “ (pertemuan aqabah).

Ketika masyarakat non-muslim (kafir) Mekkah mendengar berita pertemuan antara delegasi Nabi dengan para para delegasi, dan Nabi Muhammad SWA menggunakan momentum pertemuan sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan hijrah ke Madinah, masyarakat kafir Mekkah segera mengepung rumah kediaman Nabi dalam sebuah operasi invansi yang disebut dengan invansi “under sieag”. Namun operasi kepungan tidak berhasil sebab Allah SWT melindungi Nabi Muhammad SAW. Nabi keluar rumah dengan meninggalkan Ali bin Abi Thalib yang disuruh Nabi untuk mengisi tempat tidurnya beliau (Al-Lu’luil wal marjan). Pada saat tersebut para pengepung yang sedang mengintai Nabi keluar rumah, tidak mampu mengalahkan rasa kantuknya sehingga tertidur lelap tanpa disadari. Pada saat mereka terbangun, sasaran yang menjadi target operasi sudah tidak berada di rumah dan pengejaran serta pendobrakan pun dilakukan meski tidak menghasilkan apa yang dicari alias sia-sia belaka.

Peran dan Fungsi Mesjid dalam Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW Sebagaimana sudah kita maklumi bersama bahwa mesjid memiliki kedudukan penting bagi ummat Islam dalam upaya membentuk pribadi dan kepribadian masyarakat yang Islami. Dalam rangaka mewujudkan urgensitas itulah, mesjid harus dapat diberdayakan atau difungsikan sebaik0baiknya dalam arti harus dioptimalkan dalam pemungsiannya.

Fungsi mesjid sebagai pusat pembersihan diri ummat Islam dari segala dosa, nista, dan kemaksiatan yang dilakukan, haruslah mendapat perhatian serius dikalnagn umat Islam. Pengembangan kembali mesjid sebagai pusat-pusat

Page 68: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 63

rehabilitasi spiritual dan bengkel reparasi ummat untuk menuju dan membentuk manusia seutuhnya yang berakhlak Al-Karimah (berbudi pekerti yang luhur sejalan dengan ajaran-ajaran kesopan santunan, budi pereki yang luhur, dan lain sebagainya) melalui pelaksaan ibadah shalat dan keguiatan-kegiatan keagamaan lainya yang diselenggarakan didalam mesjid adalah merupakan keniscayaan yang harus mendapat perhatian utama dan diujudkan dalam kegiatan sehari-hari (Ahmad Yani dkk).

Untuk dapat mengoptimalkan peran dan fungsi mesjid pada masa sekarang ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu; bagaimana mesjid difungsikan pada masa Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Peran dan fungsi mesjid pada masa Rasulullah ini sangat penting untuk diketahui agar kita tidak menyimpang dalam memfungsikan mesjid dari maksud didirikanya. Apalagi menurut Drs. Miftah farid : Mesjid dalam peradaban Islam, bukan sekedar sebuah tempat kegoatan keagamaan dan kebudayaan, tetapi merupakan suatu tata kelembagaan yang menjadi sarana pembinaan masyarakat dan keluarga muslim serta insane-insan peradaba Islam (Miftah Farid, 1997).

Dengan demikian, mesjid dalam Islam memiliki banyak peran dan fungsi pada zaman nabi Muhammad SAW, antara lain: Tempat Pelaksanaan Peribadatan

Sebagaimana penulis elaborasikan pada bagian pertama bab ini, bahwa mesjid berasal dari kata sajada-yasjudu yang berarti “ menundukan kepala hingga sampai ketanah atau sujud sebagai ekspresi penghamban dan penyerahan diri secara total dihadapan Allah SWT. Dengan demikian fungsi dan peran mesjid yang utama dan pertama adalah tempat shalat dan dzikir kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh aktivitas yang diselenggarakan dimesjid memiliki orientasi mengingat Allah SWT/dzikrullah. Tempat Pertemuan

Pada zaman Nabi Muhammad SAW hidup, mesjid menjadi tempat pertemuan atau convention center yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad dalam pertemuan-pertemuan penting bersama para sahabatnya secara rutin. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan di mesjid antara Nabi Muhammad SAW dan para sabatnya ini, bukan saja pertemuan secara fisik, tetapi juga mempertemukan hati nurani dan pikiran sehinga terjalin hubungan yang sangat erat dan akrab antara Nabi dan para sahabat serta antara sesame para sahabat, dan dalam waktu yang sama juga meningkatkan kedekatan mereka kepada Allah. Tempat Berkonsultasi

Dalam kehidupan sehari-hari ummat Islam sebagai komunitas baru yang berdomisili di kota Madinah, banyak masalah-masalah terkait dengan urusan pribadi, keluarga, maupun urusal ummat secara keseluruhan yang muncul kepermukaan dan memerlukan jawaban. Para sahabat Nabi Muhammad SAW membawa masalah-masalah tersebut kedalam mesjid dalam rangka menanyakan langsung kepada Rasulullah. Oleh karena itu, mesjid pada zaman Nabi SAW

Page 69: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

64 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

berfungsi sebagai tempat berkonsultasui (semacam kantor dewan penasehat agung) baik dalam merencanakan suatu masalah maupun memecahkan sebuah persoalan ummat. Mesjid menjadi tempat pengaturan strategi perang, perjanjian perdamaian dengan pihak lawan, dan peningkatan kemaslahatan ummat, yang dilakukan Rasulullah bersama para sahabatnya.

Pengumuman-pengumuman penting menyangkut kehidupan masyarakat muslim baik duka dan suka serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan langsung dengan kesatuan sosial disekitar mesjid diumumkan di mesjid (Sidi Gazalba). Kebiasaan Rasulullah bermusyawarah di mesjid dilanjutkan oleh para penggantinya, para khalifah. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, ketika mendapati urusan penting menyangkut kepentingan ummat Islam, ia memanggil para sahabatnya untuk menghadiri pertemuan konsultasi(musyawarah) yang diselenggarakan dimesjid . Tempat Kegiatan Sosial

Mejid sebagai komponen fasilitas sosial merupakan salah satu fasilitas yang merupakan bangunan tempat berkumpukl bagi sebagian besar ummat Islam untuk melakukan ibadah sebagai kebutuhan spiritual yang diperlukan oleh umat manusia, disamping kebutuhan material. Dengan demikian agar kesejaheteraan material dan spiritual dapat dicapai, maka fasiolitas-fasilitas untuk memenuhi kedua kebutuhan terseburt harus tersedia secara memadai di dalam suatu lingkungan (Nana Rukmana, 2002).

Mesjid sebagai salah satu pemenuh keburuhan spiritual sebenatrnya bukannya berfungsi sebagai (tempat shalat) saja, tetepi juga merupakan pusat kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi mesjid adalah sebagai tempat yang didalamnya banyak disebut-sebut nama Allah (tempat berdzikir), tempat beri’tikaf, tempat beribadah shalat, tempat pertemuan ummat Islam untuk membicarakan urusan sosial kemasyarakatan dan perjuangan.

Pada masa Rasulullah, masalah sosial tentu tidak sedikit, karena itu, banyak sahabat Rasul yang memerlukan bantuan sosial sebagai resiko dari keimanan yang mereka hadapi dan sebagai konsekuensi perjuangan. Disamping itu, masalah-masalah sosial lainnya seperti kemiskinan memang selalu ada sepanjang masa. Untuk mengatasi masalah sosial itu, Rasulullah dan para sahabatnya menjadikan mesjid sebagai tempat kegiatan sosial, misalnya dengan mengumpulkan zakat, infaq dan shadaqah melalui mesjid , lalu menyalurkannya kepada para sahabat yang sangat membutuhkanya. Dengan demikian, keberadaan mesjid sangat bersar fungsinya pada masa Rasullullah.(Ahmad Yani). Tempat Pengobatan Orang Sakit

Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Pusat-pusat pengobatan konvensional seperti yang dikenal pada masa dewasa ini misalnya klinik, rumah sakit, dikala itu belum didirikan di kota Madinah. sebagai gantinya, mesjid difungsikan sebagai balai pengobatan bagi pasukan-pasukan muslim yang menderita luka-luka pada perang. Pada zaman Nabi, bila prajurit-prajurit muslim mengalami luka-luka akibat pertempuran, maka mereka mendapatkan perawatan

Page 70: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 65

dan pengobatan dilingkungan mesjid , tenda-tenda darurat pun yang dikenal dengan Rafidah didirikan disekitar mesjid oleh para kaum wanita. Diantara sahabat yang dirawat di tenda tersebut ialah Sa’ad bin Mutadh yang akhirnya meningal dunia dalam perawatan. Tempat Pembinaan Ummat dan Kegiatan Dakwah Islamiyah

Mesjid dan dakwah Islamiyah merupakan dua faktor yang memiliki kaitan erat satu sama lain, saling isi mengisi di antara keduanya, kalau diumpamakan laksana gudang dengan barangnya (Nana Rukmana, 2002). Mesjid amat besar fungsinya dalam dak’wah, baik dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, maupun antar sesama sahabat. Oleh karenanya, dakwah merupakan sesuatu yang sangat mulia dalam Islam dan mesjid menjadi sarana utamanya. Pembinaan dan Pengembangan Jama’ah Mesjid

Mesjid sebagai pusat kegiatan peribadatan terutama shalat lima waktu sehari akan tegak dan makmur jika diisi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rangka mewujudkan pembangunan bidang spiritual/rohami bagi jama’ah mesjid . Kegiatan pembangunan bidang spiritual harus menjadi prioritas pengurus mesjid agar mesjid dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat pembinaan umat.

Bila kapasitas mesjid besar dan luas, maka sudah barang tentu jama’ah akn banyak. Tetapi bila kapasitas mesjid itu kecil dan tidak luas, tentu jama’ahnya sedikit. Bila masyarakat disekitarnya adalah orang-orang yang taat beribadah, mesjid pun dengan sendirinya akan punya banyak jamaah. Tetapi bila masyarakat di sekitarnya tidak suka beribadah, maka mesjid itu akan kurang jama’ahnya. Jumlah jama’ah saja belum otomatis menjadi ukuran kemakmuran mesjid . Sebab, di samping jumlah, kemakmuran mesjid juga ditentukan semaraknya kegiatan di mesjid tersebut.

Salah satu kegiatan mesjid yang penting adalah pembinaan jamaha. Melalui kegiatan ini jama’ah mesjid diaktifkan dan ditingkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal ibadah mereka, sehingga mereka menjadi muslim dan muslimah yang semakin kaffah. Pembinaan itu ternyata berlangsung tahap demi tahap. Dimulai dengan pendataan jama’ah , jumlah, jenis kelamin, tingkat usia, pendidikan, kehidupan sosial ekonomi, dan sebagainya untuk mengetahui kondisi dan situasi jama’ah. Selanjutnya, pola dan sistim pembinaan itu disesuaikan dengan kondisi dan situasi jama’ah.

Model pembinaan jama’ah mesjid yang lazim dilaksanakan adalah pengajian berdasarkan tingkat usia, yang menghasilkan: kelompok pengajian anak-anak, remaja, orang tua, pelajar, mahasiswa, dan kelompk umum. Keuntungan model ini, materi yang diberikan mudah disesuaikan dengan sasaran-meski tetap dirasakan belum terdapat sebuah panduan yang standar dalam hal materi ini. Ada pula pembinaan jama’ah yang dilaksanakan mengikuti tingkat pendidikan, yang mengahsilkan pengelompokan: tingkat SD, SLTP, SLTA, Mahasiswa, dan umum.

Page 71: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

66 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Pembinaan jama’ah tentu tidak terbatas hanya berupa pengajian. Ada pula bentuk-bentuk dan sistim lainnya yang dapat digunakan antara lain, melalui kekeluargaan, pelatihan peningkatan keterampilan, kursus-kursus,. Seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW, posisi mesjid sebagai pusat pengkajian, pembinaan dan pembangunan umat terbukti sukses menimbulkan gairah umat Islam secar positif. Semenjak hari pertama priode hijrah, Nabi membangun dua wadah suci, yakni Mesjid Quba dan Mesjid Nabawi.

Di mesjid Nabawi, ada ruangan yang disebut Raudhah dan ruangan Madrasatun Nabi. Di tempat ini Nabi SAW membina para sahabat dan membina mereka menjadi penegak risalah. Rasululah mempraktekan mesjid sebagai rumah ibadah, tempat shalat berjama’ah, dan tempat beri’tikaf, juga sebagai wadah pembinaan (jiwa dan rohani) umat/ masyarakat yang bercirikan sifat tolong menolong, memiliki akhlakul karimah, giat dan rajin, tekun belajar, dan menimba ilmu pengetahuan.

Pemantauan atas kegiatan takmiratul mesjid dewasa ini akan menemukan fakta sebagai berikut: 1) Mesjid yang hanya diramaikan sekali seminggu, yakni pada waktu shalat

Jum’at pada hari jum’at. 2) Mesjid yang dimanfaatkan sekadar untuk menunaikan shalat setiap waktu

shalat fardlu. 3) Mesjid yang sudah mempunyai kegiatan, selain hanya Jum’at juga diadakan

dakwah Islam sekali dalam sebulan. 4) Mesjid yang sibuk dengan berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan

pelajaran agama, seperti belajar tilwatil Qur’an bagi anak-anak muslimin, ceramah, agama bagi umum, dan

5) Mesjid yang sangat sibuk dengan aktivitas, hingga mesjid itu senantiasa ramai. Ya, lantaran taman kanak-kanaknya, madrasahnya, pengajian ibu-ibunya, pengakian untuk para pemudanya dan pemudinya, ya juga pengajian untuk umu.

Kesadaran kaum muslimin, khsusunya mereka yang sudah merasa terpanggil meningkatkan ilmu-ilmu syari’ah Islam, sungguh patut disyukuri. Di beberapa tempat, jama’ah mesjid mempergunakan kesempatan di luar kesibukannya mencari rezeki, berusaha, dan bekerja dengan berbagai kegiatan: a. Kuliah tujuh menhit (kultum) sebelum atau sesudah shalat Dzuhur dan shalat

Ashar, atau pengajian antara shalat Maghrib dan Isya. b. Kuliah subuh sesudah shalat Subuh c. Ceramah mingguan d. Pengajian khusus untuk remaja mesjid , dan e. Pengajian bulanan.

Sistim pelajaran di atas secara sistematis dengan mengatur rencana pelajaran, sehingga terdapat kesinambungan antara materi pelajaran yang satu dan yang berikutnya. Paket dengan rancanagn yang berkeseinambungan ini penting untuk menghindari uraian para guru yang berputar-putar pada satu masalah. Isi paket rencana pelajaran bisa sangat beragam. Misalnya, tentang akidah, tentang syari’ah dan ibadah, tentang akhlak, tentangmencari rizki yan halal sesuai dengan dengan ajaran Islam, tentang cara hidup bertetangga, bermasyarakat. Prinsip-

Page 72: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 67

prinsip dasar kesemua materi itu sesungguhnya sudah tertera di dalam Qur’an dan Hadits.

Ruang lingkup kajian dakwah/agama memang luas dan banyak macamnya. Materi pelajaran lalu disusun berdasarkan urutan prioritas kemanfaatanya. Diperkiarakan pula tingkat yang hendak dicapai setiap tahunnya, baik untuk jama’ah umum maupun jama’ah khsusu: muslimah mesjid , remaja mesjid , calon-calon imam dan khatib. Program pemberian materi agama ini sangat relevan jika dikaitkan denga gejala memprihatinkan yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Gejala tersebut adalah melemahnya kepribadian muslim, pengaruh (negative) berbagai aliran dan paham /ideology terhadap pandangan pikiran Islam, dan merosotnya persaudaraan umat.

Materi pelajaran yang harus mendapat prioritas adalah : a. Akidah Islamiyah b. Akhlakul Karimah c. Syari’ah dan ibadah d. Pikrul Islami terhadap berbagai bidang kehidupan e. Ijtima’iyah Islamiyah dan ukhuwah Islamiyah, dan f. Materi perkembangan dunia Islam yang terus maju dan meningkat perlu

diperhatikan. Pelajaran tafsir dan hadits juga penting, agar jama’ah memahami risalah

dengan lebih mendalam. Akan lebih teratur dan berkelanjutan jika setiap materi pelajaran ditangani oleh seorang guru. Ceramah bulanan pun diusahakan yang bersifat aktual, dengan materi pilihan, sehingga jama’ah memiliki wawasan terhadap perkembangan mutkhir. Amal-amal sosial jama’ah juga digiatkan, sehingga terbina persaudaraan yang utuh dalam lingkungan jama’ah. Dengan begitu, para pengurus mesjid telah memfasilitasi pengisian dan pembinaan kepribadian, meningkatkan pengetahuan, dan mempererat persataun umat Islam.Kegiatan pembinaan dan pengembangan seperti tersebut di atas dapat mengembangkan dan membantu jama’ah mesjid dalam: Peningkatan Kualitas Jama’ah

Mesjid yang makmur, disamping diukur dari ramainya jama’ah dan maraknya kegiatan, juga dari kualitas jama’ahnya. Jama’ah yang baik dan berkualitas akan lebih efektif dalam memakmurkan mesjid . Sebab, mereka akan berusaha meningkatkan berbagai aktivitas yang menarik sehingga masyarakat dating memakmurkan mesjid . Apabila kualitas jama’ahnya rendah atau pas-pasan, tingkat kemajuan mesjid pun biasanya jalan di tempat atau bergerak sangat lamban. Peningkatan kualitas jama’ah ini menyangkut pemahaman dan penghayatan agama di satu pihak dan aspek pengamalan ajaran di pihak lain. Jadi, di dalamnya tercakup aspek ilmu (pamahaman), aspek iman (penghayatan), dan aspek anal (pengejewantahan) dalam perspektif agama.

Menumbuhkan Hidup Berjama’ah

Hasil perjalanan Rasulullah SAW, dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj ketika bertemu dan menghadap Allah SWT di Shidratul Muntaha, adalah perintah mendirikan shalat. Sejak itulah umat Islam diwajibkan melaksnakan ibadah shalat

Page 73: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

68 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

lima waktu sehari semalam. Dalam shalat ini manusia berkomuniaksi dan “berhadapan” langsung dengan Allah (hablum minallah). Dalam shalat berjama’ah, manusia dapat berkomunikasi dan bertatap muka dengan sesama (hablum minannas).

Shalat berjama’ah memiliki makna yang besar bagi umat Islam yan menjalankannya. Nilai yang mereka peroleh bukan saja berupa ganjaran dari Allah sebanyak 27 kali lipat dari ganjaran shalat sendirian, melainkan juga dapat merasakan nikmatnya shalat secara bersama-sama dengan saudara-saudara seiman dan seagama. Melalui shalat berjama’ah ini dapat ditumbuhkan semangat hidup beroragnisasi dan usaha-usaha merealisasikan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Memasyarakatkan Silaturrahmi Pengurus Mesjid Dengan Jama’ah

Dua unsure yan sangat penting dan menentukan dalam pelakanaan kegiatan mesjid ialah pengurus dan jama’ah mesjid . Pengurus mesjid adalah mereka yang dipercayakan oleh para jama’ah untuk mengelola mesjid . Sedang jama’ah mesjid bermula dari orang-orang yang mengikuti shalat berjama’ah di mesjid , lalu meluas cakupannya menjadi orang-orang yang mengikuti kegiatan mesjid . Di dalam kegaiatan mesjid tercakup kegiatan ibadah dan aktivitas lain yang bermanfaat buat umat/masyarakat.

Pengurus dan jama’ah mesjid tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Pengurus tidak akan ada, kalau tidak ada jama’ah, dan jama’ah tidak akan terurus, kalau tidak ada pengurus. Tanpa jama’ah mesjid akan kosong. Disinilah pentingnya hubungan antara pengurus dan jama’ah mesjid . Hubungan di sini tidak hanya dalam arti ikatan lahiriah semata, tetapi juga dalam artri ikatan batiniah. Saling pengertian dan ikatan yang erat antara kedua belah pihak akan memperlancar dan menyukseskan kegiatan-kegiatan mesjid . Aplikasi Pembinaan dalam Pemakmuran Mesjid

Program-program pembinaan jamah mesjid sebagaimana dijelaskan di atas, tidak akan berjalan dengan baik jika komponen pengurus mesjid tidak memiliki perhatian serius serta kesungguhan dalam melaksanakan pembinaan tersebut.Selain dapat meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan jama’ah, pembinaan itu juga memberika kontribusi positif bagi pemakmuran mesjid .

Untuk mewujudkan aplikasi pembinaan dalam pemakmuran jama’ah mesjid ini, perlu adanya kesadaran tinggi di kalangan pengurus mesjid dalam menjalankan aktifitas dakwah dan kegiatan pengembangan-pengembangan spiritual keagamaan lainya, sebab kegiatan seperti ini dapat menopang dan mendorong jama’ah mesjid untuk meningkatkan diri, dan mengembangkan kualitas wawasan keislaman yang pada giliranya dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaaan.

Kesungguhan pengurus dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, menjadi faktor yang krusial dan efektif dalam merealisasikan pembianaan jama’ah mesjid dan masyarakat disekelilingnya. Dengan demikian, pengurus dituntut mengaktualisasikan kembali peran dan fungsi mesjid yang semula menjadi

Page 74: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 69

tempat menyembah Allah/tempat shalat, menjadi pusat-pusat pembinanaa spiritual dan peningkatan wawasan ilmu pengetahuan, serta pengembangan keilmuan sehingga jama’ah mesjid secara khusus dan masyarakat dilingkungan mesjid secara umum, dapat merasakan urgensitas dan signifikansi keberadaan mesjid tersebut. Reposisi mesjid sebagai tempat pembinaan umat Islam, adalah sebuah keteguhan yang harus mendapat perhatian bagi kalangan pengurus mesjid .

Profesionalisasi Personalia Organisasi Manajemen Mesjid Prinsip Profesionalisme

Jika ditinjau dari aspek peran sentral mesjid dalam upaya pembinaan umat dan mengembangkan da’wah Islamiyah, maka faktor yang sangat penting adalah mengelola mesjid dengan baik. Pengelolaan mesjid dengan benar memerlukan profesionalitas sehingga mesjid tidak lagi dikelola secara tradisional atau konvensional. Pengelolaan mesjid secara profesional harus menjadi bahan pemikiran pengurus mesjid sebagai upaya mengembangkan berbagai kegiatan mesjid . Dengan demikian, manajeman mesjid memerlukan orang-orang yang bekerja full time, bukan hanya patuh waktu atau sisa-sisa waktu dan tenaga/ fikiran untuk mengelola mesjid . Dewasa ini belum terfikir melakukan pendataan terhadap jama’ah mesjid oleh pengurus mesjid , sehingga pengurus mesjid dan jama’ahnya tidak saling mengenal, apalagi menjadi suatu kesatuan jama’ah.

Pada masa rasulullah, tatkala beliau bersalaman dengan jama’ahnya, Nabi Muhammad SAW, mengetahui dan mengenal jama’ahnya (Nana Rukmana, 2002), bahkan ketika beliau berjumpa dengan jama’ahnya. Beliau mengenalinya. Oleh karenanya, Rasulullah SAW, dapat mengenali jama’ah yang hadir dan yang tidak hadir dalam shalat jama’ah di mesjid . Pendataan jama’ah seperti itu, amat diperlukan dan diharapkan dapat mengetahui kondisi sosial ekonomi jama’ah, tingkat pendidikan jama’ah, dan lain sebagainya. Data based jama’ah ini akan membantu pengurus dalam mengembangkan kegiatan da’wah sehingga dapat mengenai sasaran yang diharapkan.

Pendataan jama’ah dapat dilakukan melalui pemyebaran umpamanya 300 exemplar daftar isisan (questionnaire) kepada seluruh jama’ah yang hadir pada saat pengajian berlangsung. Kemudian hasilnya disebarkan kepada seluruh jama’ah yang hadir melalui media bulletin, sehingga masing-masing jama’ah mengetahui kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, pekerjaan, alamat rumah, dan lain segbagainya. Informasi seperti ini sangat penting bagi pengurus mesjid dalam melaksanakan kegiatan kuliah/ pengajian untuk menentukan tema-tema ceramah, serta menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan spiritual tersebut, karena dalam daftar isian juga ditanyakan tentang tema-tema kuliah, pengajian atau ceramah-ceramah yang diminati oleh jama’ah.

Sejalan dengan kemajuan teknologi yang menjalar disegala bidang kehidupan dewasa ini, para pengurus mesjid belum memikirkan atau belum terpikir untuk mengembangkan jaringan (net working) antara satu mesjid dengan mesjid lainya, sesuai dengan jenjang hirarkinya, padahal dalam era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, sangat menuntut pengurus mesjid untuk dapat memanfaatkan jaringan tersebut, terutamasekali mesjid -mesjid besar yang sudah

Page 75: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

70 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

memiliki jaringan informasi dengan dunia luar dan dengan masyarakata jama’ah mesjid lainnya.

Profesionalime dalam melakukan suatu pekerjaan, pengelolaan, dan pengaturan manajemen mesjid , bukan saja menjadi tuntutan zaman sejalan dengan berkembangnya arus informasi dan teknologi terkini, akan tetapi juga menjadi prinsip ajaran Islam. Al-Qur’an sudah mengarahkan untuk menentukan kepatutan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan atas dasar keahlian dan kekompetensinya dalam bidang yang dikuasainya, sehingga merupakan suatu keharusan memilih seseorang dalam posisi kepengurusan tertentu di mesjid sesuai dengan keahlian dan kecakapan yang dimilikinya Mustaq Ahmad, 2001).

Profesionalisme berarti menunjukan suatu kecekatan, keahlian, dan kepandaian dalam mengelola kegiatan-kegiatan mesjid . Dengan kata lain, para pengurus mesjid memiliki produktifitas yang tinggi dalam menghasilkan kegiatan-kegiatan yang berkualitas serta menemukan inonvasi-inovasi baru dalam implementasi kegiatan tersebut. Dalam kitab Umdah al-Qa’ri yang dikarang oleh Badr al-Din al-Aeini bahwa prinsip produktifitas ini amat dianjurkan sebagaimana Nabi meminta tiap individu muslim untuk terus berkarya sebaik-baiknya agar menjadi umat yang produktif, inovatif, dan profesionalitif dengan tidak mengenal keputus asaan hingga ajal menjemputnya, seperti dinyatakan Nabi dalam sebuah haditsnya:

اعة وفى ید أحدكم فسیلة فاستطاع إال تقوم حتى إذا یغرسھا فلیغرسھا فلھ بذلك أجرس قامت السArtinya: Jika saja kiamat tiba, sementara ditanganmu ada sebuah biji

kacang yang masih sempat ditanam, maka tanamlah biji tersebut sebelum kiamat terjadi, karena ada ganjaranya “ (H.R. Bukhari )

Demikian arti pentingnya sebuah professionalisme dalam pengelolaan

mesjid , karena dapat menghasilkan produktifitas kegiatan-kegiatan dan program-progran berkualitas yang dapat menambah dan memberikan kontribusi bagi peningkatan wawasan spiritual jama’ah mesjid . Pembinaan Kualitas Jama’ah Mesjid Dalam Kesatuan Sosio-Kuttural

Jama’ah sekitar mesjid harus dibina agar menjadi kesatuan jama’ah dengan kepribadian muslim yang baik. Kesatuan jama’ah ini harus mengandung kesatuan sosio-struktural dan kesatuan sosio-ekonomi. Kesatuan sosio-kultural dmaksudkan agar imam dan pengurus mesjid serta jama’ah mesjid mempunyai struktur yang jelas. Imam dan pengurus mansjid harus mengetahui wilayah binaannya, berapa jumla jama’ahnya, bagaimana keghidupanya, imana bekerjanya dan lain-lain tentang kondisi umatnya.

Kesatuan sosio-kultural yakni imam dan pengurus serta jama’ah, dinbina dalam adapt istiadat Islami melalui kultur shalat. Bila shalat harus teratur, tepat pada waktunya, berpakaian rapi, ikhlas dan khusu, maka kehidupan masyarakat pun juga harus demikian. Kesatuan sosio-ekonomi dimaksudkan agar jama’ah dalam satu wilayah mesjid dibina sebagai kesatuan kesejahteraan ekonomi. Ekonomi kejama’ahan ditiap mesjid merupakan komponen dari sistim ekonomi kejama’ahan umat isllam yang secara makro dapat mewujudkan kemandirian umat Islam dalam bidang ekonomi.

Page 76: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 71

Menurut Nana Rukmana (2002), ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka membina dan memelihara jama’ah antara lain: a. Menyelenggarakan pengajian-pengajian, kuliah subuh, peringatan hari-hari

besar Islam dan nasional. b. 2.Menyelenggarakan kegoiatan pendidikan bagi anak-anak pemuda dan orang

tua, baik pria maupun wanita, dalam rangka meningkatkan kehidupan beragama.

c. Pembinaan remaja yang diselengarakan secara koordinatif dan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, pemerintah maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan.

d. Pembinaan remaja secara terarah, terkoordinir dan berencana, hendaknya dilakukan oleh coordinator mesjid tingkat propinsi dengan langkah-langkah : penelitian, Penyusunan Pola Pembinaan, Pelaksanaan dan Evaluasi

e. Memberi pertolongan berupa dana sakitdan kematian serta pertolonhgan lainya bagu ijama’ah yang mendapatmusibah dan memerlukan.

f. Membantu pengurusan zakat dan sedekah oleh badan amil zakat (B.A.Z), penyelembelehan hewan qurban, khitanan masal dan lain-lain.

g. Mengusahakan adanya perpustakaan. Mesjid yang makmur disamping diukur dari ramainya jama’ah dan

maraknya kegiatan, juga dilihat dari kualitas dan kesatuan jama’ahnya. Jama’ah yang baik dan berkualitas akan lebih efektif dalam memakmurkan mesjid . Oleh karena itu, peningkatan kualitas jamah sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas kemakmuran dan pengelolaan mesjid . Peningkatan kualitas jama’ah ini menyangkut pemahaman dan [penghayatan agama di satu puhak dan aspek pengamalan ajaran di pihak lain. Oleh karena iyu, didalamnya tercakup aspek ilmu (pemahaman), aspek iman (penghayatan), dan aspek amal (pengejawantahan) dalam perspektif agama. Denga kualitas jama’ah yang bertambah baik dari waktu ke waktu, perbaikan kualitas dan kemakmuran mesjid pun dapat berjalan seiring. Adapun materi pelajaran yang harus diprioritaskan dalam upaya pembinaan jama’ah ini berturut-turutsebagai berikut : a. Aqidah Islamiyah b. Akhlakul karimah c. Syariah dan Ibadah d. Ijtimaiyah Islamiyah dan Ukhuwah Islamiyah e. Wawasan perkembangan dunia Islam

Pelajaran ilmu tafsir dan hadits juga penting, agar jama’ah memahami risalah dengan lebihmendalam. Sebaiknya setiap materi pelajaran ditangani oleh seorang guru agar penyempaianya dapat lebih teratur dan sistematis. Ceramah bulanan atau mingguan diusahakan yang bersifat actual dengan materi pilihan, sehingga jama’ah memiliki wawasan terhadap perkembangan mutakhir. Secara spesifik, pembinaan jama’ah tyersebut dapat dilakukan melalui forum-forum sebagai berikut: a. Kuliah tujuh menit(kultum) sebelum atau sesudah shalat dzuhur dan shalat

ashar b. Kuliah subugh sesudah shalat subuh berjama’ah

Page 77: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

72 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

c. iliah Dhuha setiap minggu pagi d. Pengajian khusus untuk remaja mesjid e. Pengajian khusus untuk ibu-ibu f. Pengajian bulanan untuk umum g. Latihan dakwah, dan lain-lain.

Nana Rukmana (2002), lebih lanjut menjelaskan bahwa kegiatan

pembinaan jama’ah melalui media dakwah ini pada prinsipnya harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat, baik rohani maupun jasmani. Oleh karena itu, kegiatan dakwah di mesjid harus dititik beratkan pada upaya: 1) Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama setiap pribadi

muslim 2) Meningkatkan dan mempererat ukhuwah Islamiyah, 3) Meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara di kalangan umat

Islam sebagai perwujudan dari pengamalan ajaran Islam 4) Meningkatkan etos kerja dalam rangka mendukung kehidupan sosial ekonomi

umat/ meningkatkan taraf hidup umat 5) Menumbuhkan semangat gotong royong, kebersamaan, dan kesetiakawanan

sosial melalui kegiatan kegiatan yang bersifat kemanusiaan. Ada beberapa kegiatan yang juga dapat dilakukan dalam rangka

mendukungmkegiatan dakwah tersebut, antara lain : 1) Menerbitkan buku-buku, brosur maupun bulletin secara berkala yang memuat

ajaran-ajaran pokok agama Islam, keutamaan dan hikmah dari ajaran-ajaran Islam

2) Memilih dan menetapkan sejumlah da’i/mubaligh yang mampu melaksanakan tugas dakwah baik dan bijaksana

3) Menyelenggarakan penataran secara berkala untuk para imam dan khatib serta mubaligh dengan tujuan untuk meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan srta kecakapan teknik dan manajemen dakwah

4) Mengamati dan meneliti aliran-aliran yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran Islam yang ada disekitar mesjid atau dilakukan oleh jama’ah mesjid

5) Mengembangkan apresiasi dan seni budaya yang bernafaskanIslam bagi para pemuda dan remaja melaui perlombaan-perlombaan

6) Meningkatkan mutu khutbah dengan mengutammakan pada materi pokok sebagai berikut a. meningkatkan yukhuwah Islamiyah dan kesatuan umat Islam serta

menjauhkan kata-kata yang dapat memecah belah kesatuan umat b. Koreksi tehadap pengertian-pengertian keliru tentang Islam c. Mengkaitkan isi khutbah dengan kenyataan yang terjadi dilingkunag

masyarakat d. Mengingatkan akan peristiwa-peristiwa penting sejarah Islam e. Nasehat dan peringatan agar orang ingat kepada hai pembalasandan

perhitungan di akhirat, menghayati nilai-nilai ketuhanan yang dapatr menjadi penyegar hati, ajaka kepada kebajikan, amarma’ruf nahi munkar.

Page 78: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 73

Dengan meningkatkan mutu atau kualitas khutbah sebagaimana dikemukakan di atas, maka diharapkan dapat meningkatkan ilmu, keimanan, dan ketaqwaan, serta dapa memberikan bimbingan agama kepada para jama’ah dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup yang dighadapi.

Secara keseluruhan materi dakwah/ khutbah harus menarik, dapat merangsang jama’ah untuk mengikuti, mengetahui dan melaksanakan seluruh materi dakwah yang disampaikan. Oleh karena itu, materi dakkwah harus sesuai dengan dengan kebutuhan jama’ah, actual, kontekstual dan factual. Ateri dakwah harus sesuai dengan perkembangan zaman agar tidak terkesan monoton, membosankan, harus disampaikan secara tepat dengan kondisi dan situasi penting yang berkembang dan selalu dibicarakan masuayarakat, sehingga dapat menarik perhatian. Namun tentunya harus tetap kajianya dari sudut pandangan ajaran Islam, bukan hanya semata-mata membacakan apa yang sudah dimuat dalam masmedia, karena dikhawatirkan akan menimbullkan kebosanan. Di samping itu, materi dakwah harus mengacu pada realitas kehidupan manusia, sehingga dapat memberikan jawaban Islam terhadap persoalan umat. Oleh karena itu, siyogyanya pengurus mesjid , khususnya seksi dalkwah dapat menuyiapkan/menyusun tema-tema actual dan kontekstual untuk para penvcermaha bulanan, mingguan atau untuk khatib. Hal ini penting untuk menjamin agar tema yang duiceramahkan atau disampaikan dalam khutbah jum’at tidak berulang-ulang sehingga menimbulkan kebosanan para jama’ah.

Fasilitas Mesjid Sebagai Media Dakwah Mesjid sebagai tempat ibadah harus memiliki berbagai pasilitas yang

bermanfaat bagi jama’ah dan masyarakat sekitarnya. fasilitas mesjid dapat berfungsi berfungsi pertama-tama untuk kegiatan beribadah menyembah Alah SWT, tapi tidak tertutup kemungkinan digunakan untuk kepentingan lain. Baik kegiatan yang diadakan di dalam mesjid maupun yang dilaksanakan diluar untuk keperluan masyarakat. Jama’ah dan masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas ini untk kepentingan tertentu.

Fasilitas mesjid yang didayagukanan dengan baik akan menjadikanya berfungsi sosial dan dakwah di samping dapat pula mendatangkan income (pendapatan) bagi kas mesjid . Fasilitas mesjid yang dapat didayagukan dengan peraturan-peraturan yang jelas, agar tidak tidak disalah gunakan sehingga berfungsi dengan baik ialah sebagai berikut: aula mesjid , halaman mesjid dan perpustakaan mesjid . Penutup

Mesjid memiliki fungsi tidak hanya tempat shalat semata, melainkan juga bisa berfungsi sebagai sarana dakwah. Fungsi mesjid sebagai sarana dakwah bisa memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki masjid. Sebagai lembaga dakwah, mesjid mempunyai fungsi ideal yang tidak hanya sebatas rutinitas tempat shalat saja. Tetapi menyangkut pula segala aspek yang bertalian dengan kaum muslimin. Artinya Mesjid bukan hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai pusat dakwah. Karena itu, penyelenggaraankegiatan-kegiatan dakwah yang diadakan oleh mesjid tidak mungkin dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Oleh

Page 79: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Fungsi Mesjid sebagai Sarana Dakwah

74 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

karena itu mesjid memiliki penghayatan makna berorganisasi. Yaitu dengan mengadakan modifikasi mesjid yang ada baik dari segi organisasinya maupun manajemennya. Daftar Pustaka Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Baerut: Dar al-Fikr, 1976), Jild 2 Ibn Aqil, Al-fiyah IbnMalik, (Kairo: Dar al-kutb Al-Arabiy, 1971) Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka

Antara, tth) Ahmad Yani dan Achmad Satori Ismail, Menuju Mesjid Idea, (Jakarta: LP2SI,

tth), Cet. Ke-1 Miftah Farid, Masyarakat Ideal, (Bandung: Pustaka, 1997) Nana Rukmana, Mesjid dan Dakwah, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002), Cet.

Ke-1 Oxford Illustrated Dictionary, (Cambrige: Longman, 1867) Yohanes Yahya, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Graha Ilmu, 2006), Cet. Ke-1 M.Karibet Wijayakusuma dan Ismail Yusanto, Pengantar Manajemen Syariat,

(Jakarta: Khaerul Bayan, 2002) KODI DKI, Idarah Mesjid , (Jakarta: Ttp, Tth) Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Bagian

Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu konomi YKPN, 1995), Cet. Ke-1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an, 1973) Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001),

Cet. Ke-11 Badr al-din al-aeini, Umdah al-qa’ri (Syarah kitab Shahih Al-Bukhari, ttp, tth, ),

Juz ke-12 Ahmad asy-Syarabaasyi, Dialog Islam. (Surabaya : Penerbit Zikir, 1997) D.W., Nana Rukmana “ Mesjid dan Dakwah “, Jakarta : Al-Mawardi Prima,

2002, Cet.1 Widjadjakusuma, M. Karebet, Pengantar Manajemen Syari’at, (Jakarta: Khaerul

Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2002) Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1987), Cet.x, Supardi dan Teuku Amrudin, Manajemen Mesjid dalam Pembangnan

Masyarakat, Optimalisasi Peran dan Fungsi Mesjid

Page 80: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 75

MANUSIA SEBAGAI PENYEBAB UTAMA TUMBUHNYA PENYAKIT ADMINISTRASI

DALAM TUBUH ORGANISASI DAN LEMBAGA

Mulkanasir Sekretaris Prodi Jurusan Manajemen Dakwah FIDKOM

Fakulats Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Administration is a system that develops and grows freely in the body of any organization. It is also important to sustain the organization work process to ensure the achievement of its vision, mission, and goals. It is important to note that the dysfunction of administration lead to the failure of many organizations to reach their vision and mission. The inability of administration to show its function is due to the emerging problems that caused by administration actors, humans as subjects. Human beings are inseparable from administration, for they who can ensure the administration to function. However, in some cases human beings also contribute to the dysfunction of administration. This happens in some government bureaucratic organizations. Therefore, anticipation and mitigation efforts are needed to prevent such condition to occur.

Key Words : Administrasi, Organisasi/Lembaga, Penyakit Birokrasi

Pendahuluan

Uraian dalam tulisan ini mengambarkan bagaimana fenomena yang muncul

dan terjadi di kalangan birokrasi secara luas tentang hambatan-hambatan dan masalah-masalah yang timbul, menjadikan birokrasi berada pada kondisi porak poranda tidak memiliki konsitensi dan kredibilitas di mata publik. Masalah-masalah dan hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh karena persoalan patologi dalam administrasi biroktrasi yang telah melanda dan mempengaruhi kerja birokrasi secara keseluruhan. Ternyata penyakit administrasi merupakan salah satu biang keladi terjadinya kerusakan atau penyakit secara keseluruhn bagi birokrasi di Indonesia.

Hampir setiap organisasi yang terbangun dan tersebar di dunia ini memiliki tujuan yang mulya dan biasanya tujuan tersebut teraplikasi dalam sebuah visi, misi, tujuan dan program kerja yang jelas. Implikasi dari visi, misi dan tujuan serta program kerja inilah yang memunculkan gerak dan langkah organisasi. Kondisi inilah yang dikatakan bahwa organisasi berjalan sebagaimna mestinya sesuai dengan tujuan yang diiginkan. Untuk mencapai sebuah tujuan sebagaimana diinginkan organisasi tidak bisa berjalan begitu saja tanpa adanya unsur lain yang menunjang yaitu sebuah kerja sama manusia sedikitnya dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki komitmen untuk mencapai tujuan

Page 81: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

76 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

organisasi lebih efektif dan effisien . Kerja sama manusia dua atau lebih seperti inilah yang biasa kita sebut sebagai proses kerja administrasi dalam arti yang luas.

Secara terpisah administrasi sendiri tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga muncul sebuah hasil dari sebuah proses administrsi yang tidak efektif dan tidak pula effisien. Munculnya sebuah proses administrasi yang tidak semestinya ini bisa terjadi karena adanya pengaruh negatif faktor-faktor lingkungan baik internal maupun ekternal administrasi. Pengaruh negatif yang sangat kuat terhadap proses kerja administrasi akan menimbulkan hambatan-hambatan adminitrasi, tekadang bisa sangat kuat sehingga sangat merugikan bagi proses administrasi. Dalam kondisi semacam ini bisa disebut sebagai penyakit adminitrasi. Fenomena semacam ini sering kita jumpai dalam proses kerja administrasi terutama di jajaran birokrasi di Indonesia.

Disadari atau tidak fenomena maraknya penyakit adminitrasi pada jajaran birokrasi menjadi persoalan yang harus ditangani dengan serius karena administrasi merupakan sebuah sistem yang sangat berpengaruh bagi organisasi. Pernyataan ini bukan idak beralasan, karena administrasi memiliki dua fungsi yang sangat penting yaitu pertama administrasi memiliki fungis manajerial, yang berkerja dalam tataran konsep, pengaturan dan perecanaan, sementara kedua memiliki fungsi sebagai sebuah kerja penunjang dalam persoalan-persoalan ketata-usahaan. Kajian Teori

Secara etimogis administrasi beasal dari bahasa Latin yang terdiri dai kata ad + ministrare yang secara operasional berarti melayani, membantu dan memenuhi (Nawawi Hadrawi, 1994). Menurut Handayaningrat (1990) dalam bahasa Belanda digunakan dengan kata Administratie masih pada pengertian ketatausahaan saja dan dapat menimbulkan gambaran yang keliru terhadap kata administrasi, ini yang kemudian dikenal sebagai administrasi dalam arti sempit.

Dalam Bahasa Inggris administrasi biasa disebut dengan administration memiliki arti yang sangat luas, di sinilah banyak para ahli berpendapat, mereka mengemukakan pengertian administrasi secara luas, di antara mereka adalah Prof. Dr. Hadrawi Nawai mengemukakan lebih khusus tentang Ilmu Administrasi. Menurutnya Ilmu Administrasi adalah sebuah ilmu yang membahas secara teoritis tentang proses pengendalian keja sama sejumlah manusia di dalam sebuah organisasi (1994.24). Sementara menurut Leonard D. White, dia mengemukakan sebagai berikut : “ Administration is a process common to all group effort, public or private, civil or military, lerge scale or small scale” artinya administrasi adalah sebuah proses yang pada umumnya tedapat pada semua usaha kelompok negara atau swasta, sipil atau ,militer, baik usaha yang besar atau usaha yang kecil. Pendapat lain dikemukakan oleh H.A. Simon dan kawan-kawan, katanya : “Administration as the activites of groop cooperating to accomplish common goals” artinya : Administrasi adalah merupakan kegiatan kelompok di mana masing-masing menyelenggarakan kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Yang terakhir pengertian administrasi juga dikemukakan oleh William H. Newman dalam Handayaningrat, 1990,sebgai berikut : “ Administration has been defined as the guidance, leadership and control of the effort of a group of

Page 82: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi

Yang Melekat Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 77

individuals towards some common goal” artinya : Administrasi adalah sebagai sebuah bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan terhadap adanya usaha-usaha kelompok individu-individu guna tercapinya usaha bersama.

Berdasarkan pengertin-pengertian terebut disimpukan bahwa administrasi ternyata memiliki ciri-ciri yang mengindikasikan sebuah proses kerja adminitrasi. Adapun ciri-ciri adminitrasi seara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama adanya kelompok manusia yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih, kedua adanya kerja sama dari kelompok tersebut, ketiga adanya sebuah kegiatan atau proses atau usaha yang dilakukan oleh keompok keempat adanya leadership ( kepemimpinan ) dan pengawasan, yang kelima adanya sebuah tujuan ( goal ).

Penyakit administrasi atau patologi administrasi jika di kaitkan dengan ilmu kedokteran, difahami sebagai sebuah penyakit yang melekat pada organ tubuh manusia yang membuat orang itu mengalami disfungsi. Jika meminjam istilah kedokteran itu, patologi birokrasi atau patologi adminisrasi menjadi bisa dipahami sebagai penyakit yang melekat dalam suatu organisasi atau lembaga birokrasi yang membuat organisasi atau lembaga menjadi disfungsional. Sampai di sini diketahui bahwa penyakit administrasi atau patologi administrasi kebanyakan timbul di kalangan organisasi birokrasi. Oleh karena itu muncul perkataan Patologi Birokrasi (Bureaucracy pathology) yaitu merupakan himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti sikap menyelisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, berlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.

Pakar yang lain menyatakan bahwa patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Artinya birokrasi merupakan organisasi yang memiliki kepastian pada posisi tertentu dan berperan terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintahan atau lembaga pada suatu negara. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) menyatakan bahwa pentingnya mengetahui patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, kemudian dianalogikan bagi suatu birokrasi. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.

Hubungan Administrasi dengan Organisasi atau Lembaga

Adminitrasi berada pada posisi yang sangat luas melingkupi semua sistem kehidupan manusia yang terjadi di alam ini, sementara semua sitem kehidupan manusia harus terbentuk sedemikian rupa melalui berbagai bentuk dan jenis kegiatan, agar administrasi menjadi sebuah nilai yang dibutuhkan oleh sitem kehidupan manusia tersebut. Lihat gambar di bawah ini.

Page 83: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

78 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Gambar 1

Sumber : Handayaningrat Soewarno (1990)

Sistem yang diamksudkan sini adalah diantaranya organisasi atau lembaga, di mana organisasi atau lembaga merupakan wadah yang terbentuk sebagai sebuah kancah yang tersistem, di dalamnya terdapat struktur-struktur yang menunjukkan posisi kerja dan job kerja, secara keseluruhan dimaksudkan untuk mencapi tujuan tertentu. Intinya organisasi atau lembaga sebagai wadah atau tempat kerja sama manusia dan sebagai motor penggeraknya adalah manusia (Makmur, 2007). Untuk menggerakkan sebuah oragnisasi atau lembaga manusia perlu melakukan kerja sama dengan sesamanya, tanpa kerja sama ini maka organisasi atau lembaga akan menjadi mati dan tidak bisa bergerak. Ini artinya bahwa organisasi atau lembaga merupakan sebuah sistem yang tidak dapat terlepas dari persoalan administrasi.

Melihat betapa eratnya hubungan antara administrasi dan organisasi atau lembaga maka administrasi secara fungsioanal harus mampu memelihara dirinya sehingga tidak tercemar oleh pengaruh lain yang akan menjadikan dirinya dihinggapi oleh penyakit-penyakit yang akan mempengaruhi jalannya organisasi dan lembaga. Reformasi Administrasi.

Bicara tentang reformasi administrasi, tulisan ini mengkaitkannya dengan birokrasi pemerinthan atau lembaga pemerintah, karena birokrasi pemerintahan secara fungsional berkaitan dengan masalah-masalah aministrasi. Dengan pemahaman lain, pembahasan tentang reformasi adminitrasi lebih kepada pembahasan terhadap reformasi birokrasi, karena dalam adminitrasi birokrasi inilah seringnya terjadi permasalahan-permasalahan adminitrasi yang menje-mukan.

Sebuah ilustrasi tentang birokrasi dinyatakan oleh Kristian Widya Wicaksono (2006) bahwa mereka pegawai negeri sipil adalah sosok manusia yang bekerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan serta identik dengan sebuah adagium” Mengapa harus dipermudah apabila dapat dipersulit” Gambaran umum tersebut sudah sangat melekat dalam benak publik di Indonesia sehingga banyak kalangan yang berasumsi bahwa perbedaan antara dunia preman dengan

2

3

4

56

Keterangan :

1. Administrasi

2. Organisasi.

3. Manajemen

4. Kepemimpinan

5. Pengambilan Keputusan

6. Hubungan Antar Manusia

1

Page 84: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi

Yang Melekat Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 79

birokrasi hanya terletak pada pakaian dinas saja. Pernyataan seperti ini tentunya menjadi keprihatinan bagi semua pihak terutama bagi para pengambil keputusan birokrasi. Oleh karena itu perlu adanya sebuah reformasi di kalangan birokrasi dalam melaksanakan adminitrasi pemerintahan. Jika hal ini tidak segera ditangani maka persepsi publik terhadap apparatur dan lembag-lembaga pemerintahan akan selalu negatif, akibatnya pemerintah berada pada posisi yang sulit karena tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi pudar, sementara masyarkat atau publik adalah sebagai mitra pemeritah dalam melaksanakan pembangunan di semua sektor.

Dalam kontek birorasi pemerintahan, sebagai ujud reformasi adminitrasi maka aministrasi birokrasi harus dapat menunjukkan sejumlah indikasi berupa prilaku-prilaku yang megarah kepada indikasi sebagai berikut : a. Proses pekerjaan dilakukan dengan stabil giat dan semangat. b. Melakukan individu yang berhubungan dengannya adalah dengan secara adil

dan berimbang. c. Mepekerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi

profesional dan lebih berorientasi pada keberhasilan program. d. Mempromosikan staf berdasarkan sitem merit (sistem merit dimaksudkan

adalah mutasi maupun pemberian upah terhadap karyawan atau pegawai yang didasarkan atas landasan ilmiah, objektif, dan prestasi kerja) dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikan. Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan (Kristian Widya Wicaksono, 2006).

Jika prilaku brokrasi dapat tercermin pada empat hal tersebut maka diharapkan akan terjadi sebuah reformasi administrsi birokrasi, citra birokrasi mejadi lebih baik dan lebih transfaran, sementara publik akan secara berlahan mengubah persepsi mereka terhadap para birokrat dari persepsi yang negatif kepada persepsi yang posisif. Penyakit-penyakit Administrasi.

Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala penyakit administrasi dalam birokrasi atau lembaga-lembaga pemerintahn menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih (www.arrosyadi.wordpress.com).

Page 85: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

80 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Penyakit Administrasi Yang Kronis

Sondang P. Siagian (1988) menuliskan ada 11 patologi birokrasi yang dapat dijumpai sebagai penyakit kronis administrasi, yaitu : a. Penyalahgunaan Wewenang dan Tanggung Jawab.

Manusia yang memegang wewenang dan tanggung jawab dalam struktur birokrasi terkadang tidak seutuhnya menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya karena disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan mengesampingkan kepentingan organisasis. Akibatnya kewenangan dan tangung jawabnya menjadi rapuh dan menjadi samar-samar lalu organisasi menjadi terlantar, sementara masyarakat yang mustinya memperoleh pelayanan dengan benar harus memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh yang betanggung jawab walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan prosedur yang sebenranya.

b. Pengaburan Masalah. Betapa banyaknya masalah yang dihadapi teruama dalam proses aministrasi birokrasi pemerintah, misalnya masalah kemiskinan, masalah lapangan keja, masalah hukum dan sebaginya, masalah yang dihadapi kadanag-kadang tidak tuntas diselesaikan karena masalah terebut dikaburkan. Salah satu contoh masalah yang dikaburkan adalah masalah wanita tuna susila (WTS) sebagai sebuah julukan yang mengerikan di kalangan masyarakat sebagai sebuah konotasi bagi wanita yang sudah sangat rusak baik moral etika maupun agama dan keimannya, kata WTS ini kemudin disamarkan dengan kata pekerja sex komersial ( PSK ), padahal wanita macam ini adalah wanita yang secara moral tidak benar, secara agama adalah pebuatan maksiat. Dengan perubahan kalimat WTS menjadi PSK ini merupakan usaha pengkaburan istilah sehingga memberi ruang bagi WTS untuk tetap exis dan mendapatkan penghargaan secara moril.

c. Indikasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kita semua mengetahui bahwa pada masa orde baru pemerintahannya menuai sebuah penykit aministrasi yang sudah sangat mengakar dan kronis di kalangan birokrasi pemerintahan , yaitu munculnya penyakit koprupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan pada tahun 1997 an korupsi di Indonesia telah masuk keperimgkat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, demikian pula dalam masalah kolusi dan nepotisme. Penyakit semacam ini merupakan venomena yang sangat sulit diberantas, sampai masa reformasipun tak kunjung berakhir. Pada Pemerintaah SBY sekarang ini betapa gigihnya para penegak kebenaran melalui institusinya yang dikenal dengan Tim Pemberantasan Korupsi (KPK), berupaya selalu mengidentifikasi para pelaku korupsi di negeri ini. Sudah sedemikian gencarnya para koruptor kelas kakap sampai kelas teri teridentifikasi oleh Tim Pembereantasan Korupsi dan mereka memperoleh ganjaran dari perbuatan mereka, namun masih tak jera juga para pelaku korupsi meraja lela di mana-mana.

d. Indikasi Mempertahankan Status Quo. Diantra penyakit administrasi yang biasa berkembang juga adalah status quo. Status quo bisa diartikan sebagi sebuah usaha manusia yang ingin mempertahankan sistem atau tatanan yang sudah melekat selama kurun waktu yang lama. Keinginan manusia seperti ini biasa terjadi di kalangan birokrasi,

Page 86: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi

Yang Melekat Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 81

mereka menginginkan kebiasaan kebiasaan lama tetap tepelihara walupun sesungguhnya kebiasaan itu tidak lagi relevan dengan sistem yang berjalan kemudian. Sebagai contoh ketika pemerintahn orde baru di bawah pimpinan Suharto tumbang, maka tidak sedikit para kroni yang dekat dengannya ingin mempertahankan sitem yang telah berjalam selama itu, walaupun mereka harus berhadapan dengan masa berikutnya sebagai masa reformasi. Ini artinya bahwa mereka para kroni Suharto ingin mempetahankan status quo.

e. Empire Building (membina kerajaan). Ada sabahagian kelompok kerja atau unit kerja tertentu yang ingin memunculkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan, dimana pimpinan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, pimpinan adalah seseorang yang wajib diikuti, dia tidak pernah salah, ucapannya adalah sebagai penetu hitam dan putihnya sebuah organisasi. Seseorang yang memimpin dengan cara seperti ini sesungguhnya sudah tidak sesuai lagi dikembangkan di masa sekarang ini, karena pemimpin bukanlah seorang raja yang selalu benar dan bisa berbuat apa saja kepada bawahannya. Namun demikian masih saja kadang terjadi dan berkembang dimana seorang pemimpin masih berprilku sebagai seorang raja.

f. Ketakutan pada Perubahan, Inovasi dan Resiko. Penyakit takut terhadap perubahan, inovasi dan resiko ini hampir mirip dengan mempertahankan statu quo, namun ini lebih kepada persoalan mental seorang pegawai yang tidak siap bekerja, dan juga persoalan pegawai yang tidak memiliki wawasan yang luas yang disebabkan apakah karena budaya hidup yang selama ini berkembang pada dirinya atau karena tingkat pendidikan dan latihan yang memang belum dipersiapkan pada pegawai itu. Oleh karena itu pegawai menjadi was-was dan tidak siap untuk menerima perubahan, tidak siap untuk berinovasi dan tidak siap untuk menerima resiko dalam bekerja. Mental seperti ini merupakan penyakit yang akan menggangu bagi berkembangnya organisasi dan sitem kerja yang baik.

g. Tidak Peduli Pada Kritik Dan Saran. Kritik dan saran merupakan sebuah fenomena yang biasa terjadi dan biasa dilakukan dalam kancah organisasi baik organisasi pemerintahan maupun non pemerintah. Namun dimaklumi bahwa kenyataan yang terjadi ketika seseo-rang menduduki jabatan apalagi ia sudah lama menduduki jabatan itu, terkadang timbul anggapan bahwa dirinya adalah seorang yang paling hebat, paling tau, paling senior dan paling benar, sehingga tertutup baginya untuk menerima kritik dan saran bahkan tidak lagi perduli terhadap kritik dan saran dari orang lain. Sikap seperti ini sesungguhnya merupakan penyakit administrasi yang sulit disembuhkan, terkeculi jika telah tumbuh kesadaran pada diri akan keterbatasan dirinya sebagai manusia biasa. Sikap pemimpin yang seperti ini akbiatnya akan mempengaruhi organisasi menjadi organisasi yang sulit berkambang.

h. Takut Mengambil Keputusan. Merupakan salah satu tugas pemimpin organisasi adalah mengambil keputusan. Tidak jarang seorang pimpinan organisasi yang tak mampu megambil keputusan, atau lamban dalam mngambil keputusan. Seseorang pemimpin yang memiliki mental ragu-ragu tidak memilki dasar-dasar atau

Page 87: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

82 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

landasan kerja atau prinsip kerja yang kuat bahkan tidak memahami bagaimana tehnik-tehnik pengambilan keputusan maka dengan sendirinya akan menimbulkan sifat yang selalau ragu-ragu dalam pengambilan keputusan. Sifat ini tidak boleh terjadi dalam lingkup organisasi birokrasi karena akan berakibat pada kerja organisasi yang lamban, sementara adminitrasi birokrasi dituntut untuk kerja cepat, tepat dan lugas dalam menyelesaikan segala persolanan organisasi.

i. Kurangnya Kreatifitas dan Eksperimentasi. Kreaktivitas dan eksperimentasi bagi para pegawai di lingkungan birokrasi adalah merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Kreaktif adalah sebuah ketrampilan dari pegawai yang tergabung antara pemikiran-pemikiran baru atau nalar untuk melakukan sesuatu yang baru guna memperlancar pekerjaan-pekerjan karena adanya persoalan atau masalah baru yang berkaitan dengan pekerjaannya dan dia mau melakukan experimen atau percobaan-percobaan dari kreaktivitas yang di ciptakannya itu. Disayangkan bahwa di lingkungan brokrasi para pegawainya kurang kreaktif dan kurang eksperimentatif sehinga pekerjaan terkesan monoton, apabila ada persolalan maka akan berhenti sampai di situ saja tidak ada inisiatif untuk melakukan kreasi baru untuk menyelesaikan persolan yang timbul bahkan pegawai justeru terkesan menghindar dari persoalan yang dihadapinya.

j. Kredibilitas Yang Rendah, Kurang Visi Yang Imajinatif. Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal agar pegawai itu bisa dipercaya dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sokrates mengatakan, "Kunci utama untuk kejayaan adalah membuat apa yang nampak dari diri kita menjadi kenyataan." Jadi kredibilitas yang rendah adalah seseorang yang sulit dipercaya tentang kemampuannya, terutama untuk bekerja dengan profesional. Jika ini dimiliki oleh para pegawai maka akan menghambat kerja administrasi akibatnya adalah organsasi tidak mendapatkan kepercayaan dari publik dan pamor oragniasi menurun.

k. Minimnya Pengetahuan Dan Keterampilan. Pengetahuan dan ketrampilan merupakan penyempurna bagi seseorang dalam melaksanakan tugas kejanya, di sisi lain pengetahuan dan ketrampilan merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi baik dan tidaknya sebuah pekerjan. Banyak diantara pegawai yang ditugaskan pada suatu tugas tertentu, namun ia tidak memeiliki pengetahuan, maka perkerjaannya tidak akan berjalan dengan baik, akibatnya organisasi megalami kerugian yang tidak sedikit.

Upaya-Upaya Penanggulangan Penyakit Adminitrasi. a. Reposisi manusia.

Untuk mereposisikan manusia setidaknya perlu mengetahui bahwa keperbedaan sifat dan karater manusia ini bisa dipengaruhi oleh jenetika, oleh lingkungan dan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir yang perlu dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Ada tiga teori yang menjelaskan bahwa pembentukan sikap mental, prilaku dan karekter manusia:

Page 88: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi

Yang Melekat Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 83

yang pertama adalah teori genetika, kedua teori sosial dan ketiga teori ekologis (P Siaian Sondang, 2006). Atas dasar pemikiran dari tiga teori tersebut terseut secara umum dapat dikatakan bahwa untuk menagani persoalan prilaku dan metal yang tidak baik perlu mereposisikan mausia yaitu dengan melakukan eksekusi kepada semua orang sebagai dari sejak lahir, hendaknya manusia sudah terbiasa dengan pebuatan-perbuatan dan baik, memilki prilaku yang baik dan moral serta etika yang baik, ini dapat dieksekusi melalui pendidikan dengan tiga lingkungan pendidikan yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat atau sosial (Tirtarahardaj Umar, 1994). Aplikasinya adalah melalui model-model pendidikan, baik dalam keluarga maupun sekolah pada semua tingkatan, dapat pula diseksekusi melalui pendidikan sosial. Model-model tersebut dapat dilakukan misalnya dengan pendidikan kritik dan saran lingkup keluarga yang dalam bahasa agama adalah “tawshaou bilhaq tawashou bisshobr”, di dunia pendidikan formal mulai pada tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi perlu adanya perubahan sitem belajar yaitu bagaimana seseorang murid atau siswa atau mahasiswa memperoleh materi secara teori dan praktik tentang bagaimana menanggulangi praktek korupsi, menanggulangi mental, prilaku dan kareakter yang tidak baik dan sterusnya, demikian juga lingkungan masyarakat harus berperan serta mendukung untuk itu baik lingkungan masyarakat terdekat dimana manusia hidup, lingkugan organisasi dan lingkungan kerja seseorang. Berkenaan dengan penyakit administrasi maka upaya pertama adalah bagaimana penyebab yang pertama berupa pengaruh lingungan yang tidak relevan dengan reformasi administrasi harus dihindarkan sedemikain rupa, agar manusia yang menjalankan proses kerja administrasi dapat dengan konsisten melaksanakan kerjanya dengan baik dan benar guna mendukung kerja pemerintahan yang baik.

b. Pembenahan Administrasi Secara Menyeluruh. Untuk membenahi administrasi secara keseluruhan menurut hemat penulis ada tiga hal yang penting sebagai berikut : Pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas, kepemimpinan yang adil dan kuat, alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik, adanya pengawasan tidak berpihak. Ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat (www.arrosyadi.wordpress.com).

Page 89: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

84 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

c. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi. Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan plus public accountability plus transparancy. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, maka penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi. Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut : • Participation. Masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tiak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah. • Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum. • Transparancy. Segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan. • Responsiveness. Pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon yang baik terhadap tuntutan masyarakat dalam meningkatkan pembangunan di segal bidang. Patologi yang selama ini terjadi adalah dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, ini merupakan sebuh keslahan yang fatal. • Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah. • Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan. • Strategic vision.

Page 90: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi

Yang Melekat Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 85

Melalui straegi visi ini akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi yang lebih menantang.

Penutup

a. Administrasi tidak selamanya berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya pengaruh negatif faktor-faktor lingkungan baik internal maupun ekternal administrasi dan manajemen. Pengaruh negatif akan menimbulkan hambatan-hambatan adminitrasi, dan hambatan ini tekadang bisa sangat kuat sehingga sangat merugikan bagi proses administrasi. Kondisi semacam ini disebut sebagai penyakit adminitrasi. Penyakit administrsi dijumpai dalam proses kerja di jajaran birokrasi.

b. Gejala penyakit administrasi dalam birokrasi, pada prinsipnya disebabkan dari persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana, tindakan pejabat yang melanggar hukum, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, dan akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi.

c. Untuk menanggulangi penyakit administrasi perlu perhatian pada tiga hal yaitu : pertama upaya penanggulangan melalui reposisi manusianya yaitu melakukan eksekusi kepada semua orang agar dari sejak lahir, dieksekusi melalui pendidikan dengan tiga lingkungan pendidikan yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat atau sosial yang kedua adalah pembenahan administrasi secara menyeluruh termasuk melakukan upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat sebagai pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Ketiga Good Governance Sebagai Agenda Reformasi. Ini dapat dilakukan jika prinsip-prinsip Good Governance dapat dijalankan dengan baik yaitu jika terdapat partisipasi masyarakat, Supermasi hukum, trnasfaran, respon yang kuat terhadap masyarakt, efektif efisien, bertanggung jawab, memiliki visi dan strategi.

Daftar Pustaka

Handayaningrat, Soewarno, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajmen, CV Haji Masagung, Jakarta,1990.

Leonard D. White, Introduction to the study of Public Administration, Mc. Millian Co. N.Y. Fort Ed

Llihat situs http://arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi/ Llihat situs http://rismankudratumar.blogspot.com/2008/11/perubahan-patologi-

birokrasi-ke-etika_10.html Lihat situs http://arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi/ Lihat situs http://mahmudisiwi.net/definisi-ekologi-manusia/ Makmur,H Filsafat Adminitrasi,Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 2007.

Page 91: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Manusia sebagai Penyebab Utama Tumbuhnya Penyakit Administrasi Dalam Tubuh Organisasi Dan Lembaga

86 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 1 No. 1 Mei 2013

Nawawi Hadrawi, Prof., Dr. H., dkk, Ilmu Administrasi, Balai Aksara, Jakarta, 1994

P Siaian Sondang, Prof., Dr.MPA, Filsaft Adminitrasi, PT Bumi Aksaran, Jakarta, 2006.

Tirtarahardaj Umar, dkk, Pengantar Pendidikan, Proyek P2TK Direktorat Jendeal Pendidikan Tinggi Departemn Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994.

Widya Wicaksono Kristian, Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan, Graha Ilmu Jogjakarta, 2006.

Page 92: Jurnal lengkap Manajemen Dakwah UIN Jakarta Edisi I

Vol. 1 No. 1 Mei 2013 Jurnal Manajemen Dakwah | 87

PEDOMAN PENULISAN

1. Artikel yang ditulis untuk jurnal Manajemen Dakwah merupakan hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang manajemen. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 points dengan spasi 1. Panjang tulisan 10 s/d 30 halaman dengan ukuran kertas A4 dan margin 3,5cm.

2. Tulisan merupakan karya asli atau belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi pada media lain.

3. Tata cara penulisan sumber kutipan dari text book menggunakan teknik bodynote, yaitu penulisan sumber kutipan (nama penulis, tahun penerbitan), langsung diketik pada uraian kalimat penulisan.

4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel, di bawah nama dicantumkan nama instansi.

5. Sistematika Penulisan - Pendahuluan; berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,

hipotesis (jika ada), rancangan penelitian, tinjauan pustaka. - Metode Penelitian - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar Pustaka

Bagian ini hanya memuat referensi yang benar-benar dirujuk; dengan demikian, referensi yang dimasukkan pada bagian ini akan ditemukan tertulis pada bagian-bagian sebelumnya. Sistematika penulisannya adalah: Menurut abjad. Tidak perlu dikelompokkan berdasarkan buku, jurnal, koran, ataupun berdasarkan tipe publikasi lainnya. Sistematika penulisan untuk buku: nama penulis (kata terakhir lebih

dahulu, lalu nama pertama dan seterusnya). Tahun publikasi. Judul buku. Penerbit, kota.

Sistematika penulisan untuk jurnal: nama penulis (kata terakhir lebih dahulu, lalu nama pertama dan seterusnya). Tahun publikasi. “Judul tulisan.” Nama jurnal. Volume, nomor. Penerbit, kota.

Sistematika penulisan untuk skripsi/tesis/disertasi: nama penulis (kata terakhir lebih dahulu, lalu nama pertama dan seterusnya). Tahun lulus. Judul skripsi/tesis/disertasi. Penerbit, kota.

Sistematika penulisan untuk artikel dari internet: nama penulis (kata terakhir lebih dahulu, lalu nama pertama dan seterusnya). Tanggal, bulan, dan tahun download. Judul tulisan. Alamat situs.

Sistematika penulian untuk artikel dalam koran/majalah: nama penulis (kata terakhir lebih dahulu, lalu nama pertama dan seterusnya). Tanggal, bulan dan tahun publikasi. “Judul tulisan.” Nama koran. Penerbit, kota.