PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)...
Transcript of PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)...
a
ETIKA DAKWAH,
KAJIAN KRITIS PROFESIONALISASI
DAKWAH
TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat meraih
gelar Magister Agama (M.A.) dalam bidang Dakwah dan Komunikasi
pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
H. Edi Amin (NIM: 01.2.00.1.07.01.0151)
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2004
b
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Karya tulis yang berjudul “Etika Dakwah, Kajian
Kritis Profesionalisasi Dakwah”, adalah Tesis karya:
Nama lengkap : H. Edi Amin Nomor Pokok : 01.2.00.1.07.01.0151 Program Studi : Dakwah dan Komunikasi
Disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Tesis. Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf Dr. H. A. Wahib Mu’thi
Jakarta, Oktober 2004 Jakarta, Oktober 2004
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2004
c
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis yang berjudul ETIKA DAKWAH, KAJIAN KRITIS PROFESIONALISASI DAKWAH telah diujikan pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Desember 2004. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) konsentarasi Dakwah dan Komunikasi.
Jakarta 8 Desember 2004
Tim Penguji
Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf Dr. H. A. Wahib Mu’thi
NIP. NIP.
Penguji I Penguji II
Andi Faisal Bakti, Ph.D. Prof. Dr. Hj. Ismah Salman, M.Hum.
NIP. NIP.
d
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Th ) = ط ( A ) = ا(
Zh ) = ظ (B) = ب(
) ت = (T) ع= ( ‘
Gh ) =غ (Ts ) = ث (
F) = ف (J) = ج (
Q ) =ق (H) = ح(
K ) =ك ( Kh) = خ(
L ) = ل (D) = د(
M ) = م (Dz) = د(
N ) =ن (R ) = ر (
H ) = ه ( S) = س(
)ش = (Sy) ء= ( ’
e
Y ) =ي (Sh ) = ص(
T) =ة (Dh) = ض( B. Vokal Pendek D. Diftong
a ) = أو ( a = ____
ay) = أي (i = ____
u = _____
C. Vokal Panjang E. Pembauran
Al ) =ال ( â ) = ___ ا(
al-sy ) = الش (î ) = __ ى(
wa al- ) = و ال (û ) = __ و(
f
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الر حمن الر حيم
Segala puji hanya milik Allah SWT. semata, dengan
kasih-Nya telah memberikan segala kemudahan dalam
penulisan tesis ini. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang
telah menerangi kita dari zaman kegelapan.
Segala limpahan berkah dan rahmat-Nya penulis tak
hentinya bersyukur. Mengingat begitu beratnya kendala
yang dirasakan penulis di saat-saat menyelesaikan Tesis
ini. Alhamdulillah, kebahagiaan selalu menyelimuti
penulis dalam setiap waktu, khususnya disaat penulisan
berlangsung.
Kebahagiaan yang selalu dicari manusia modern
terasa kian berat untuk diraih, khususnya kebahagiaan
batin. Itulah yang menyebabkan penulis tertarik untuk
mengkaji dan menulis etika, karena ia bertujuan untuk
memperoleh kebahagiaan. Etika dakwah berarti meraih
kebahagiaan sekaligus keridhaan.
g
Penulis haturkan terimakasih yang tiada terhingga
kepada seluruh pihak yang telah membantu mempermudah
penyelesaian Tesis ini. Pertama kepada kedua orang tua
penulis tercinta, Ayahanda Sumadji HS, dan ibunda
Paitun, serta kedua orang tua (mertua) di Gorontalo Abah
Hasan Al-Hasni dan Umi Fatma Al-Hasni. Atas do’a mereka
penulis senantiasa dibukakan pintu hati keberkahan dari
langit.
Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.
Dr. H.M. Yunan Yusuf, selaku pembimbing yang telah
dengan sabar di tengah kesibukannya memberikan arahan,
nasehat, dan masukan berharga selama penulis
menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini. Juga kepada
Dr. H.A. Wahib Mu’thi, sebagai pembimbing dua, yang
telah mengarahkan penulis dengan penuh antusias dan
kritis, hingga kemudahan sangat dirasakan oleh penulis.
Dengan sangat hormat juga penulis berterimakasih kepada
bapak Andi Faisal Bakti, Ph.D. dan ibu Prof. Dr. Hj.
Ismah Salman, yang telah bersedia menguji dengan
antusias dan kritis tesis ini.
h
Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh
keluarga besar sivitas akademika Program Pascasarjana
UIN Jakarta, terutama Bapak Rektor UIN, Prof. Dr. H.
Azyumardi Azra, M.A., direktur Pascasarjana, Prof. Dr.
H. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., beserta kedua
asisten direkturnya: Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A., dan
Dr. H. Abdul Chair, M.A., seluruh staf akademik, dan
karyawan perpustakaan.
Selanjutnya ucapan terimakasih saya haturkan
kepada para dosen Penulis di Pascasarjana, beliau
adalah: Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf, Prof. Dr. H. Syamsir
Salam, M.Sc. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA, Dr. H.
Hidayat Nurwahid, MA., Andi Faisal Bakti, P.hD., Dr. H.
Mukhtar Aziz, M.A., dan lain-lain yang tidak tersebut
namanya.
Secara khusus saya juga mengucapkan terima kasih
kepada Direktur Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dan
pimpinan pesantren Kaligrafi Al-Qur’an Sukabumi Jawa-
Barat, Bapak H.D. Sirojuddin, AR, MA., yang telah
meminjamkan literatur kepustakaanya.
Terimakasih selanjutnya kepada para sahabat karib
penulis di Kampus maupun aktivis organisasi: Akhi H.
i
Mawardi, Ustad H. Harjani Hefni, Lc.,MA, Akhi Munir,
Akhi Zuni Nurrochim, MA, Akhi Ahmad Tholabi Kharli, MA,
Aa’ Dede Syamsuddin, Akhi H. Lalu Ahmad Zainuri,MA,
Akhi Nurul Badruttamam,MA., Akhi Ibrahim, Ukhti
Faizah,MA., Akhi Taufik, Ukhti Wahyu Ilaihi, MA. Juga
untuk seluruh para sahabat di “Rahmat Semesta”, dan staf
pengajar LEMKA Jakarta dan Pesantren Kaligrafi Sukabumi.
Kepada keluarga Penulis di Lampung: Mbah Djari
dan Mbah Sutijah, Mbak Esti, Bang Duki, Mas Teguh dan
mas Yus dan mbak lilik. Do’a dan kebersamaan dengan
mereka tak pernah dapat dilupakan.
Yang terakhir, penulis berterimakasih dan
memberikan penghargaan yang tulus buat istriku yang
tersayang, Vera Al-Hasni, dengan penuh pengertian dan
kesabaran telah mendampinggi penulis baik dalam suka dan
duka, terutama selama menjalani kuliah di Pascasarjana.
Juga buat putra pertama penulis, Majid Fatih Al-Jamali,
yang telah memberikan senyuman manisnya, hingga penulis
semakin termotivasi untuk menyelesaikan tesis ini.
Karya Tulis ini pasti masih banyak kekurangannya.
Untuk itu, kritik dan saran selalu saya nantikan. Semoga
j
maklum adanya. Mudah-mudahan penulis dapat berkarya
lebih baik lagi di hari esok. Amin.
Ciputat, 13 Oktober 2004
H. Edi Amin
k
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………i
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………iii
TRANSLITERASI…………………………………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………vi
DAFTAR ISI………………………………………………………xi
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah…………………………………………1
B.Definisi Operasional………………………………………………7
C.Rumusan dan Batasan Masalah……………………………9
D.Tujuan Penelitian……………………………………………………11
E.Manfaat Penelitian…………………………………………………11
F.Tinjauan Pustaka …………………………………………………12
G.Metode Penelitian……………………………………………………14
H.Sistematika Penulisan…………………………………………16
BAB II TINJAUAN UMUM ETIKA DAN DAKWAH
A.Pengertian Etika…………………………………………………18
l
1. Sejarah Etika Barat…………………………………22
2. Beberapa Teori Etika Terkait…………33
a.
Naturalisme……………………………………
…………33
b.
Teleologi…………………………………………
…………34
c.
Hedonisme…………………………………………
…………35
d. Utilitarisme……………………………………………37
e. Deontologis………………………………………………40
B. Pengertian
Dakwah…………………………………
…………41
C. Pengertian Etika
Dakwah……………………………46
1.Sejarah Etika Islam…………………………………49
2.Teori Etika Islam………………………………………52
D. Urgensi Mempelajari
Etika Dakwah……57
m
E. Butir-Butir Pemikiran Kode Etik
dan Etika Dakwah…………………………………………59
1.Muhammad Sayyid Al-Wakil……………………62
2.Ali Mustafa Yakub………………………………………63
3.Toha Yahya Omar……………………………………………63
4.Koordinasi Dakwah Islam (KODI)
Propinsi DKI Jakaera………………………………64
BAB III PROBLEMATIKA ETIKA DAKWAH
A.Da’i Sebagai Teladan………………………………………69
B.Upah (gaji) Bagi Seorang Da’i………………70
C.Dakwah dan Pluralisme Agama……………………73
D.Dakwah dan Penegakkan Tauhid…………………78
E.Dakwah dalam Lingkup Politik…………………82
F.Globalisasi dan Dakwah Masa Depan……89
BAB IV RUMUSAN ETIKA DAKWAH DALAM KONTEKS DAKWAH
YANG PROFESIONAL
A.Etika Dakwah dalam Keteladanan…………………92
B.Etika Dakwah dalam Keikhlasan……………………97
C.Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama…104
D.Etika Dakwah dalam Bertauhid……………………119
n
E.Etika Dakwah dalam Politik…………………………127
F.Etika Dakwah dalam Globalisasi………………137
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan……………………………………………………………………144
B.Saran…………………………………………………………………………………147
DAFTAR KEPUSTAKAAN……………………………………………………………………………148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berawal dari “sakitnya” bangsa ini, penulis
tertarik ketika krisis yang melanda Indonesia disebabkan
dari adanya krisis moral. Muncul pertanyaan, mana peran
umat Islam (da’i) dalam peningkatan moral? Apakah mereka
tertidur, bak kehilangan elan profetik agamanya? Dakwah
semarak di mana-mana, namun mengapa korupsi, kolusi dan
nepotisme juga merajalela di setiap lini kehidupan.
Benarkah iman hanya di dalam masjid, ketika keluar
ditanggalkan? Salahkah motode dakwah selama ini? atau
masyarakatnya yang sudah begitu “sakit”? Bukankah
masyarakat “sakit” karena pemimpinnya yang “sakit”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan bermaksud mencari
kambing hitam, atau memojokkan pihak-pihak terkait,
sebaliknya perenungan terhadap pertanyaan-pertanyaan di
atas diharapkan dapat memunculkan paradigma pemikiran
yang solutif dan win win solution. Tidak saling tuding
dan memojokkan.
2
Tuhan mencipta manusia bukan hanya untuk
kehidupan yang segera tanpa nilai (value) dan hampa
makna. Mengingat bahwa kehidupan itu diakhiri dengan
maut dan ketiadaan, maka tujuan yang hendak dicapai
adalah agama akan mengantar pemeluknya pada kebahagiaan
di kehidupan yang lain.1 Inilah yang membedakan etika
Islam dan etika umum (barat). Dalam Islam ada jaminan
keabadian di hari akhir. Dengan janji kebahagiaan dan
keabadiaan itu, maka pengejawantahan nilai-nilai agama
dalam dakwah adalah suatu keniscayaan, meninggalkannya
adalah suatu kenaifan.
Fazlur Rahman, dalam Major Themes of the Quran
menyatakan, “tidak diragukan lagi, bahwa tujuan sentral
Al-Quran adalah untuk menciptakan sebuah tata sosial
yang mantap dalam hidup di muka bumi, yang adil dan
diasaskan pada etika.2 Dalam perspektif Islam, apakah
individu yang lebih penting ataukah masyarakat, tidak
menjadi soal besar. Yang jelas, antara individu dan
1Mohammaed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai
tantangan dan jalan baru, Jakarta: INIS, 1994, Cet. I, 2.213. 2Dikutip dari Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1995), Cet. II, h. 64.
3
masyarakat harus saling bergantung dan berkaitan. Kita
misalnya, tidak akan mengenal individu tanpa masyarakat
( the societiless individual ). Yang amat ditekankan
Islam ialah perlunya keamanan ontologis bagi binaan
sebuah masyarakat dan peradaban di mana prinsip-prinsip
moral-transendental menjadi asasnya yang utama. Tanpa
asas moral yang kukuh ini, jangan diharapkan bahwa
keadilan yang menjadi cita-cita abadi umat manusia akan
terwujud.3
Nabi Muhammad mengklaim dirinya sebagai reformis
moral, dalam sebuah hadis disebutkan:
انما بعثت ألتمم مكارم األ خالق“sungguh aku diutus untuk memyempurnakan akhlak” (HR Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Bukhari).
Kesempurnaan ahklak Nabi diabadikan dalam Al-
Quran (QS.Al-qalam:4). Moral yang diajarkannya bukan
“etika” khusus, akan tetapi meliputi segala tindakan
sehari-hari sebagai aplikasi dan aktualisasi ajaran-
3Ahmad Syafii Maarif, “Agama dan Pembangunan: Corak Masyarakat
Islam Masa Depan”, Ulumul Quran, Vol. III, no. I, 1992, h. 99
4
ajaran yang diterangkan dalam hukum Tuhan.4 Al-Quran
tidak lain adalah kitab moral tertinggi umat Islam.
Aisyah ketika ditanya bagaimana akhlak Nabi, jawabnya,
“akhlaknya adalah Al-Qur’an”, (H.R. Muslim). Semua
kebenaran, yang empiris sekalipun, masih memiliki
keterbatasan, namun bagi umat Islam kebenaran Al-quran
adalah mutlak. Interpretasi terhadap Al-Quran yang
beragam bukanlah untuk mereduksi nilai moral yang ada,
namun sebagai khazanah intelektual yang harus terus
bergerak dinamis sepanjang zaman, menembus waktu.
Etika5 dalam dakwah bisa berarti kode etik dakwah,
yakni aturan main bagi da’i, berkenaan dengan nilai etis
4Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), cet. I, h. 66. 5Dalam tradisi filsafat “etika” lazim dipahami sebagai suatu
teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Sedangkan moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, sedangkan etika bekerja pada level teori. Dikutip dari Paul W. Tailor, Problems of moral Philosophy, California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3, yang dikutip kembali oleh Komaruddin Hidayat dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. II, h. 509.
5
dalam dakwah. Ia merupakan moral dalam Islam yang
muaranya adalah hati nurani yang berdasarkan akal dan
wahyu.6 Etika dalam dakwah akan membentuk etika dakwah
yang berarti penilaian etis mengenai perilaku dakwah.
Sebagaimana dikatakan oleh kalangan ahli-ahli politik
barat mengenai etika politik adalah “ethical assesment
of political behaviors”, (penilaian etis mengenai
perilaku politik).7 Dalam tesis ini, penulis menyajikan
etika dakwah dalam arti “sistem nilai” atau “cara hidup”
etis dalam dakwah. Al-ghazali dalam tujuan mempelajari
etika lebih setuju bahwa ia akan meningkatkan sikap dan
perilaku sehari-hari. Perilaku yang akan memiliki
konsekuensi pertanggung jawaban ke pada Tuhan di hari
kemudian. Maka selanjutnya, etika Al-ghazali juga
6Pengintegrasian antara akal dan hati nurani (qalbu) dengan petunjuk wahyu akan menghasilkan pemikiran yang tidak hanya mendasarkan pada pertimbangan rasionalitas dan pragmatis semata, tetapi juga pada waktu yang bersamaan pertimbangan qalbu ikut dimainkan.Lihat M. Yunan Yusuf, “Internalisasi Etika Islam ke dalam Etika Nasional”, Dakwah, Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. I, No. 3, 1999, h. 4-5.
7A. Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Rosda, 2001), Cet. ke-1, h. 111, lebih jelasnya pengertian etika dakwah dapat dilihat pada bab II, tesis ini.
6
dikatakan bercorak teleologis (aliran filsafat yang
mengajarkan bahwa segala ciptaan di dunia ini ada
tujuannya) sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada
akibatnya.8 Ringkasnya, tujuan utama etika adalah
kebahagiaan. Mulyadhi menyimpulkan bahwa etika—yakni
filsafat moral atau ilmu akhlak—tidak lain dari pada
ilmu atau “seni“ hidup (the art of living) yang
mengajarkan cara hidup bahagia, atau bagaimana
memperoleh kebahagiaan.9
Mungkin kita bertanya, mengapa dakwah memerlukan
etika (Islam)? Bukankah seruan dakwah adalah seruan
moral agar manusia berada dalam rel ke-Tuhanan? Betul
yang didakwahkan adalah moral, tetapi pertanyaannya,
apakah ada jaminan bagi pendakwah sudah beretika. Tak
jarang kita jumpai pendakwah malah menghujat, adakalanya
menyuarakan kepentingan golongan, atau dicarter saat
kampanye untuk memuluskan partai tertentu. Bahkan tak
jarang pula mengatas namakan agama untuk tujuan politik
8M.Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin, (Bandung:
Pustaka, 1988), Cet. I, h. 13. 9Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat
Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. I, h. 67.
7
sesaat, atau politisasi agama. Agama hanya tampil wajah
dan simbol, tanpa isi dan subtansi.
Dalam penelitian tesis ini, penulis berusaha
mengkaji etika dakwah dengan kritis. Terbentuknya da’i
yang profesional dengan pemahaman dan pengamalan etika
dakwah adalah harapan dari penulisan tesis ini.
Akhirnya, mengingat pentingnya etika dakwah, saya
tertarik untuk menulis sebuah tesis dengan judul “Etika
Dakwah, Kajian Kritis Profesionalisasi dakwah.
B. Definisi Operasional
Dalam laporan ini penulis menggunakan beberapa
istilah teknis yang perlu dijelaskan. Beberapa istilah
yang dimaksud adalah:
1 ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak); 2
kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; 3 nilai
mengenai benar dan salah yang
8
dianut golongan atau
masyarakat.10
Ajakan untuk mengamalkan
ajaran agama (Islam).
Penyelidikan (dengan pikiran)
Bersifat selalu berusaha
menemukan kesalahan atau
kekeliruan.11
Profesionalisasi Pemrofesionalan. Sedangkan
profesional adalah Bidang
pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian
(ketrampilan, kejuruan, dsb)
C. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari kajian ini, memunculkan pertanyaan mendasar yang
akan menjadi masalah pokok, yaitu apa rumusan etika
10Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), Cet. III, h. 237. 11Ibid, h. 466.
9
dakwah dalam konteks dakwah yang profesional, dengan
batasan permasalahan yang akan diangkat dalam karya
tulis ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana pengertian etika, dakwah, dan etika
dakwah, urgensi etika dakwah, dan butir-butir
pemikiran kode etik dan etika dakwah.
2.Bagaimana problematika etika dakwah, meliputi:
a.Da’i sebagai teladan
b.Upah (gaji) bagi seorang da’i
c.Dakwah dan pluralisme agama
d.Dakwah dan penegakkan tauhid
e.Dakwah dalam lingkup politik
f.Globalisasi dan dakwah masa depan
3.Bagaimana rumusan etika dakwah dalam konteks dakwah
yang profesional, meliputi:
a.Etika Dakwah dalam Keteladanan
b.Etika Dakwah dalam Keikhlasan
c.Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama
d.Etika Dakwah dalam Bertauhid
e.Etika Dakwah dalam Politik
f.Etika Dakwah dalam Globalisasi
10
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi beberapa
tujuan:
1.Untuk mengetahui makna etika, dakwah dan etika
dakwah.
2.Untuk mengetahui problematika etika dakwah.
3.Untuk mengetahui dan memahami etika dakwah dalam
konteks dakwah yang profesional.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini sebenarnya tidak
hanya untuk membuktikan kebenaran pelbagai asumsi serta
menjawab berbagai persoalan yang diajukan, tetapi
diharapkan dapat memberikan kontribusi profesionalisasi
dakwah. Nilai-nilai luhur etika dakwah mendesak untuk
dilaksanakan para da’i. Secara akademis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan wacana dinamisasi etika
dakwah.
11
F. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa
literatur berkait erat dengan pembahasan. Secara
spesifikasi sangat sedikit kajian dakwah yang berbicara
tentang etika.
Pembahasan etika Islam yang juga akan mendasari
etika dakwah diulas oleh Majid Fakhry dalam Etika Dalam
Islam, edisi aslinya berjudul Ethical Theories in Islam.
Dalam pendahuluannya Majid mengutarakan bahwa Al-Quran
yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan
sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti
yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan ethos
Islam12.
Adalah Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Sejarah
dan Metode Dakwah Nabi membahas kode etika dakwah.
Pembahasannya hanya 12 halaman, namun demikian cukup
memberikan kontribusi bagi penulisan ini. Ia menegaskan
12Majid Fakhry, Op.Cit., h. xv
12
bahwa etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri. Namun
secara khusus, dalam dakwah terdapat etika-etika
tersendiri, (diantaranya-pen) seperti yang dicontohkan
Nabi13.
Prof. Toha Yahya Umar dalam bukunya Ilmu Dakwah
membahas Etika Dakwah. Walaupun singkat, namun
pembahasannya cukup signifikan. Dengan singkat ia
memaparkan etika dalam perspektif budaya lokal, atau
dalam perspektif para pemikir seperti: Sacrotes,
Immanuel Kant, John Locke, Darwin, dll. Secara kongrit
ia juga menghubungkan Etika dengan dakwah.14
Selanjutnya buku karya Dr. Muhammad Sayyid al-
Wakil yang berjudul Ususu ad-Da’wah wa Adabuhu ad-Du’at,
yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan menjadi
Prinsip dan Kode Etik Dakwah, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2002), Cet. Ke-1. Buku tersebut mengupas
13Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta:
PT. Pustaka Ilmu, 2000), cet. II, h. 36 14Baca Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1992),
cet. V, h. 19-33
13
asas-asas dakwah dan adab seorang da’i dengan cukup
komprehensif.
Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI
Jakarta bersama Forum Komunikasi Lembaga-Lembaga Dakwah
serta Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta telah menyusun
dan menyepakati buku Adab dan Akhlak Muballigh. Secara
singkat buku ini membicarakan kode etik da’i. Sangsi dari
pelanggaran kode etik tersebut hanya sebatas sangsi
moral, itupun tidak ada pengawasan bagi pelanggar kode
etik. Akhirnya kode etik tersebut sama halnya dengan
himbauan moral bagi da’i.
Dari beberapa literatur tersebut dengan ditambah
literatur terkait lainnya, penulis mencoba mengangkat
kembali wacana etika dakwah dalam perspektif yang
berbeda, yaitu kajian kritis etika dakwah atas berbagai
ketimpangan dakwah dewasa ini.
G. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode deskripsi-analisis
dalam penulisan tesis ini. Yakni berusaha memahami makna
etika, dakwah, etika dakwah, problematikanya, dan
14
rumusan etika dakwah dengan harapan meningkatkan dakwah
yang profesional. Adapun objek penelitian ini adalah
kepustakaan (Library Research).
Sumber data penelitian ini meliputi: Al-Quran
dan Al-Hadis, serta beberapa literatur etika, dakwah
dan literatur lain yang terkait.
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai
hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar
serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa
perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan dan dilarang.15 Dasar teori etika tersebut
akan dipergunakan dalam pengambilan keputusan dengan
didasari semangat Al-Quran dan As-Sunnah.
Tidak ketinggalan pula buku K. Bertens dengan
judul etika. Ia menjelaskan tahapan dalam metode etika
terapan, yaitu: 1. Sikap awal, 2. Informasi, 3. Norma-
norma Moral, 4. Logika. Tahapan dan metode tersebut
membantu penulis dalam mengkaji etika dakwah dengan
lebih kritis dan sistematis.
15Majid Fakhry, Loc. Cit.
15
H. Sistematika Penulisan
Tesis ini sebagaimana lazimnya terdiri dari lima
bab yaitu:
Bab I, adalah pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi
delapan sub bab yaitu: latar belakang masalah yang
mendasari penulisan, definisi operasional, rumusan dan
batasan masalah yang akan dijawab, tujuan penelitian,
manfaat penelitian yang dicapai, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, tinjauan umum etika dan dakwah, yang
dibagi menjadi: A. pengertian etika, meliputi sejarah
etika barat, beberapa teori etika terkait seperti
naturalisme, teleologi, hedonisme, utilitarisme
deontologis; B. pengertian dakwah; C. pengertian etika
dakwah meliputi sejarah etika Islam dan teori etika
Islam; D. urgensi mempelajari etika dakwah; E. butir-
butir pemikiran kode etik dan etika dakwah yang ditulis
oleh: Muhammad Sayyid Al-Wakil, Ali Mustafa Yakub dan
Toha Yahya Omar dan Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI
Jakarta.
16
Bab III, membahas tentang problematika etika
dakwah. Kajian bab ini berisi uraian problematika dakwah
yang meliputi: da’i sebagai teladan, upah (gaji) bagi
seorang da’i, dakwah dan pluralisme agama, dakwah dan
penegakkan tauhid, dakwah dalam lingkup politik, yang
terakhir globalisasi dan dakwah masa depan.
Bab VI, berisi rumusan etika dakwah dalam konteks
dakwah yang profesional, meliputi: etika dakwah dalam
keteladanan, etika dakwah dalam keikhlasan, etika dakwah
dalam pluralisme agama, etika dakwah dalam bertauhid,
etika dakwah dalam politik, dan etika dakwah dalam
globalisasi.
Sedangkan bab V, adalah bagian penutup yang
berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ETIKA DAN DAKWAH
A. Pengertian Etika
Seperti halnya dengan banyak istilah yang
menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun berasal
dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang
biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap cara berpikir. Dalam bentuk jamak
(ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti
terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya
istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles
(384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul
kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.1 Ia
adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku
1K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004), Cet. ke-8, h. 4.
19
kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang
lain bertindak (Verderber, 1978: 323).2
Etika adalah ilmu pengetahuan mengenai
kesusilaan. Ini berarti bahwa etika membicarakan
kesusilaan secara ilmiah.3 Ahmad Amin mendefinisikan
etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat.4
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, etika
memiliki tiga arti: 1. ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah yang
2Deddy Mulyana, Pengantar Etika Komunikasi: Konstruksi Manusia
yang Terikat Budaya, dalam Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996), Cet. ke-1, h. v.
3H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), Cet. ke-2, h. 4.
4Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. ke-8, h. 2.
20
dianut suatu golongan atau masyarakat.5 Setelah
mempelajari penjelasan kamus, bisa dibedakan tiga arti
mengenai kata “etika”. Tetapi urutannya mungkin lebih
baik terbalik, karena arti ketiga lebih mendasar
daripada arti pertama. Perumusannya juga bisa dipertajam
lagi. Dengan demikian sampailah pada tiga arti: pertama,
kata “etika” bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang “etika suku-suku
Indian”, “etika agama Budha”, “etika Protestan” (ingat
akan buku termasyhur Max Weber, The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism), maka tidak dimaksudkan “ilmu”,
melainkan arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini
bisa dirumuskan juga sebagai “sistem nilai”. Dan boleh
dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam
hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan asas atau nilai
moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Beberapa
5Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. ke-3, h. 237.
21
tahun yang lalu oleh Departemen Republik Indonesia
diterbitkan sebuah kode etik, untuk rumah sakit yang
diberi judul: “Etika Rumah Sakit Indonesia” (1986),
disingkatkan sebagai ERSI. Di sini dengan “etika” jelas
dimaksudkan kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti
lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru
menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-
asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk)
yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat--
seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini
sama artinya dengan filsafat moral.6
Menurut Haidar Bagir, etika pada umumnya
diidentikkan dengan moral (moralitas). Namun, meskipun
sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika
dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat,
jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik
dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”,
maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik
dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi
6K. Bertens, Loc. Cit.
22
sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau
‘ilm al-akhlâq), dan moral (akhlâq) adalah prakteknya.
Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan
dengan filsafat moral.7
1. Sejarah Etika Barat
Memahami sejarah etika Barat erat kaitannya
dengan mempelajari periodisasi filsafat Barat, karena
etika adalah bagian integral atau cabang dari filsafat.
Bahkan “trilogi bangunan” filsafat: “logika-etika-
estetika” merupakan satu kesatuan organik yang satu sama
lain tidak dapat dipisahkan.8 Oleh sebab itu, penulis
akan mencoba memaparkan periodisasi filsafat Barat
dengan maksud mendapat pemahaman sejarah etika Barat.
Achmad Charris Zubair memaparkan kategorisasi
periode sejarah filsafat sebagai berikut:9
a. Filsafat Yunani Kuno (5 SM – 5 M)
7M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. ke-1, h. 15.
8Thomas English Hill, Contempory Ethical Theories, (New York: Macmillan, 1959), h. 157-158.
9Lihat Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-3, h. 1-4.
23
Ciri kosmosentris (alam), manusia sebagai bagian
dari alam. Perintis etika yang terkenal pada zaman
ini adalah Socrates (469-399 S.M.) dengan
menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan
akhlak dan hubungan manusia satu dengan lainnya. Ia
berpendapat bahwa yang seharusnya difikirkan ialah
perbuatan yang berkaitan dengan kehidupan, maka
dikatakan “ia menurunkan filsafat dari langit ke
bumi”. Socrates terkenal sebagai perintis Ilmu
akhlak (Etika), karena ia yang pertama berusaha
dengan sungguh-sungguh membentuk hubungan kehidupan
manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia
berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan
itu, tidak akan benar kecuali bila didasarkan pada
ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa
“keutamaan itu ialah ilmu”.10
Lalu datang Plato (427-347 S.M.). Dia telah
mengarang beberapa buku, yang masih terdapat dalam
masa ini, dalam bentuk percakapan. Bukunya yang
terpenting adalah “Republic”. Buah fikirannya dalam
10Ahmad Amin, Op.Cit., h. 142.
24
akhlak termuat dalam percakapan itu, bercampur
dengan penyelidikannya mengenai filsafat.
Pandangannya dalam akhlak berdasar “teori contoh”.
Jelasnya dia berpendapat bahwa dibelakang alam
lahir ini ada alam lain yakni alam ruhani. Tiap-
tiap kewujudan berbadan, sebagai gambaran contoh
yang tidak berbeda dalam alam rohani. Dia
mencocokkan itu dengan akhlak, maka ia berkata:
diantara contoh ini adalah contoh untuk kebaikan.
Yaitu arti yang mutlak, azali, kekal dan amat
sempurna. Tiap-tiap bentuk perhubungan manusia itu
dekat kepadanya dan beroleh sinar cahayanya, maka
ia lebih dekat kepada kesempurnaan. Untuk
memahamkan contoh ini, menghajatkan kepada latihan
jiwa dan akal. Oleh karena itu, tidak akan
mengetahui keutamaan di dalam bentuknya yang baik
kecuali orang ahli fikir (ahli filsafat).11
Lalu datang Aristoteles (394-322 SM), murid Plato.
Ia memberikan kuliah sambil berjalan di tempat yang
teduh. Dia memberikan penegasan bahwa tujuan etika
11Ibid., h. 143-144.
25
adalah “bahagia”. Dan untuk mencapai kebahagiaan
itu haruslah mempergunakan kekuatan akal dengan
sebaik-baiknya. Dia pencipta teori serba tengah.
Keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua
keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah
antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-
tengah antara membabi buta dan takut.12
b.Abad Pertengahan (5 M – 15 M)
Ciri teosentris, peranan gereja sangat dominan,
muncul istilah Imago Dei, Homo Viator. Pada abad
ini ukuran “baik” adalah segala sesuatu yang sesuai
dengan perintah Tuhan. Orientasinya super –natural.
Pada waktu itu terjadi konfrontasi antara filsafat
dan gereja. Gereja pada waktu itu memerangi
filsafat Yunani dan Romawi dan menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa
kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Namun
di antara golongan gereja ada juga yang menerima
percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan
12Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu
Pengantar), (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), Cet. ke-2, h. 39-40.
26
ajaran gereja. Inilah yang menciptakan suasana di
mana filsafat akhlak yang lahir pada masa itu
merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan
ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termashur
adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquino (1226-
1274).13
c.Abad ke-15-16
Ciri humanisme, orientasi pada manusia. Renaissance
membuat “self confidence” untuk berprestasi.
Humanisme melahirkan individualisme dan
naturalisme.
1)Individualisme, secara individual lebih diarahkan
pada pribadi masing-masing. Etikanya berarti
tanggung jawab secara individual, dampaknya
mendorong prestasi, dan kreaktivitas secara
individual. Secara de facto, individualisme yang
mendorong munculnya tokoh-tokoh ilmu pengetahuan
dan bukan kolektivisme. Dampak negatifnya,
individualisme mendorong egoistisisme (bukan
13Ibid., h. 40-41.
27
manusia yang menjadi ukuran tetapi “aku”), diri
sendiri lebih penting daripada masyarakat.
Dijiwai oleh semboyan “struggle for life”,
“survival of the fittest”, nampak dalam bidang
sosial, politik dan ekonomi.
2) Naturalisme, manusia dianggap mempunyai kodrat
yang ansich baik, yang harus dihargai dan
menjadi ukuran.Dipakai sebagai titik tolak dalam
bidang sosial, politik, ekonomi; di sini sudah
ditaruh benih ateisme sehingga pada abad ke-18
timbul aliran-aliran yang bersifat ateistik,
pada abad ke-19 muncul Marx, abad ke-20 Marleau
Pounty, Sartre, dan sebagainya.
d. Abad ke-17
Humanisme mendorong rasionalisme dan empirisme.
Manusia harus menggunakan rasio (akal budinya)
untuk bisa menguasai dunia, rasio yang dilandasi
empiri (pengalaman). Rasionalisme dan empirisme
mendorong ilmu pengetahuan.
e. Abad ke-18
Mendorong lahirnya materialisme dan positivisme.
28
1) Materialisme, penghargaan besar terhadap
materi, manusia didorong untuk mengadakan
materi. Orientasi pada materi berarti juga
mengingkari hal-hal yang bersifat immateri.
Berkembang ke arah ateisme.
2) Positivisme, mendorong pada perhitungan
kuantitatif, menerjemahkan sesuatu secara
kuantitatif. Ilmu pengetahuan terutama ilmu
pengetahuan alam maju pesat, sehingga pada abad
ke-19 timbul ilmu pengetahuan sosial yang
berorientasi pada positivisme. Tokoh yang
terkenal Auguste Comte, dengan 3 tahapnya:
a) Tahap religius
b) Tahap metafisik-rasional (dalam
bentuk-bentuk kualitatif)
c) Tahap positif.
f. Abad ke-19
Timbul reaksi sosialisme dari Karl Marx
(Marxisme), timbul Neo-Positivisme dan kemudian
ateisme.
29
1) Ateisme: suatu orientasi yang
mempertanggung jawabkan bahwa sikap dirinya
adalah ateis. Jadi bukan sekedar mengingkari
Tuhan, tetapi juga supaya lebih bebas dalam
penghargaanya kepada manusia.
2) Marxisme: ateisme untuk membebaskan
manusia dari kesengsaraan. Ateisme dari Marx
adalah humanisme. Baginya agama adalah kumpulan
dari orang-orang yang sakit dan frustasi. Untuk
membebaskannya orang harus bangun, sebab
kepercayaan terhadap Tuhan adalah mimpi.
Sosialisme dari Marx dikaitkan dengan gerakan
untuk membebaskan manusia dari alienasi,
khususnya alienasi ekonomi, dengan memperbaiki
struktur eekonomidan seluruh kehidupan manusia.
Ekonomi dianggap sebagai faktor dasar dari
kehidupan manusia.
g. Abad ke-20
Timbul materialisme modern yang didukung oleh
teknologi maju. Dampak yang nampak, justru
materialisme inilah yang membuat manusia sebagai
30
penguasa yang bersifat serakah terhadap dunia.
Serakah tidak hanya terhadap alam, tetapi juga
terhadap manusia. Di Amerika timbul pragmatisme:
orientasi yang hanya menghargai sesuatu sejauh
mempunyai fungsi. Pragmatisme terhadap barang mati
tidak apa-apa, tetapi apabila dihadapkan kepada
manusia, timbul persoalan bahwa manusia hanya
sebagai fungsi dari suatu sistem yang lebih besar,
sehingga tidak nampak subjeknya.
Totoh-tokoh Etika dalam zaman baru tidak puas
terhadap pandangan filsafat lama. Oleh sebab itu,
timbullah reformasi pemikiran yang menonjol identitasnya
sendiri, mereka adalah:14
a. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir
Perancis yang menjadi pembangun mazhab
rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari
adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima
sesuatu akal harus tampil melakukan pemeriksaan.
Dari awalnya akallah yang menjadi pangkal untuk
mengetahui dan mengukur segala sesuatu;
14Ibid.
31
b. Spinoza (1632-1677) keturunan Yahudi yang
melepaskan diri dari segala ikatan agama dengan
menandaskan filsafatnya kepada rasionalisme.
Menurut dia, untuk mencapai kebahagiaan manusia
haruslah berdasarkan rasio (akal);
c. Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham
pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak
manusia;
d. John Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan
faham Epicurus ke faham Utilitarisme. Fahamnya
tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar di
sana. Utilitarisme adalah faham yang memandang
bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh
gunanya;
e. Immanuel Kant (1724-1804) ahli pikir jerman
terkemuka. Dalam bidang etika ia meyakini adanya
kesusilaan. Titik berat etikanya adalah rasa
kewajiban (panggilan hati nurani) untuk melakukan
sesuatu. Rasa kewajiban melakukan sesuatu
berpangkal pada budi.
32
Dapatlah dikatakan bahwa pada zaman baru ini
bermunculan berbagai mazhab etika. Ada yang
memperbaharui faham lama dan ada yang secara radikal
mengadakan revolusi pemikiran, tetapi tidak sedikit pula
yang mempertahankan etika teologis yakni ajaran akhlak
yang berdasarkan Ketuhanan.15
2. Beberapa Teori Etika Terkait
Pada umumnya, pandangan-pandangan mengenai etika
yang berkembang di belahan dunia ini dikelompokkan
menjadi tiga: etika hedonistik, utilitarian, dan
deontologis. Dengan kata lain, pemikiran masing-masing
mereka bisa mengandung prinsip-prinsip lebih dari satu
aliran besar tersebut di atas.16 Namun demikian, perlu
pula penjelasan beberapa teori etika yang terkenal:
a.Naturalisme
Yang menjadi ukuran (kriteria) baik dan buruknya
perbuatan manusia menurut aliran etika naturalisme,
ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah (naluri)
15Ibid. 16M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika
Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002),Cet. ke-1, h.16.
33
manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun
batin. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang
menjadi tujuan setiap manusia didapat dengan jalan
memenuhi panggilan natur atau kejadian manusia itu
sendiri. Itulah sebabnya, aliran tersebut dinamakan
“Naturalisme”.17
Etika naturalistik menelaah apa yang dilakukan
manusia secara kodrati, artinya berdasar keadaan dalam
diri manusia sendiri, dan atas dasar ini menjabarkan apa
yang harus dilakukan. Kenyataannya banyak manusia yang
berbuat tidak sesuai dengan kodratnya. Para ahli etika
naturalistik berpendapat adalah kekeliruan jika manusia
menentang kodratnya. Melalui cara inilah ia dapat
mencapai tujuan hidupnya dan menemukan kebahagiaan yang
sebenarnya. Oleh sebab itu manusia hendaknya
meninggalkan perilaku yang salah, untuk keperluan
tersebut ia harus diberi gambaran tentang kehidupan
sesuai dengan alam sebagai kehidupan yang terbaik.
17Hamzah Ya’qub, Op. Cit., ke-2, h. 43.
34
Dengan demikian pengertian “alam” memperoleh watak
pengertian norma.18
b.Teleologi
Aliran etika yang menentukan salah benarnya satu
perbuatan dari hasil perbuatan itu dinamai aliran
teleologi (Yunani: teleos=tujuan). Menurut aliran ini,
perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri secara intrinsik
tidak ada yang salah dan yang benar. Pada perbuatan
harus diperhitungkan hasil dari perbuatan itu.19
Secara umum memang dapat dikatakan, bahwa
perbuatan tertentu seperti berkata benar adalah baik,
tetapi di dalam situasi tertentu kadang-kadang dusta
akan memberi hasil yang baik. Seorang jendral misalnya ,
mendustai prajuritnya yang terdesak di medan perang
dengan mengatakan, bahwa mereka akan mendapat bala
bantuan. Dirangsang oleh berita ini yang pada hakekatnya
adalah dusta tetapi menggembirakan bagi prajurit-
18H. De Vos, Op. Cit., h. 159. 19M. Said, Etik Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1980), Cet. ke-2, h. 78.
35
prajurit itu, mereka akan bertempur lebih giat sehingga
akhirnya mereka menang.20
c.Hedonisme
Hedonisme bertolak dari pendirian bahwa menurut
kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang dalam
bahasa Yunaninya disebut “hedone”; dari kata inilah
timbul istilah “hedonisme”. Secara negatif usaha ini
terungkap dalam sikap menghindari rasa sakit, dan secara
positif terungkap dalam sikap mengejar apa saja yang
dapat menimbulkan rasa nikmat. Namun hedonisme tidak
sekadar menetapkan kenyataan kejiwaan ini, melainkan
juga berpendapat bahwa kenikmatan benar-benar merupakan
kebaikan yang paling berharga atau yang tertinggi bagi
manusia, sehingga dengan demikian adalah baik baginya
apabila mengusahakan kenikmatan.21
Di dalam filsafat Yunani kuno tokoh pertama yang
dikenal mengajarkan aliran hedonisme ialah Demokritus
(400 SM – 370 SM) yang memandang kesenangan sebagai
tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudnya
20Ibid. 21H. De Vos, Op. Cit., h. 161.
36
bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai
perangsang bagi intelek manusia.22
Pengikut Socrates yang bernama Aristippus (395
SM)mengajarkan, bahwa kesenanganlah yang merupakan satu-
satunya nilai yang ingin dicari manusia. Akhirnya
dikemukakan di sini Epikurus (341 – 270 SM) sebagai
tokoh dari zaman Hellenisme yang telah memperdalam
aliran hedonisme.
Karena kelezatan itu merupakan tujuan hidup
manusia, maka jalan yang mengantarkan ke sana
dipandangnya sebagai keutamaan (perbuatan mulia).
Epikurus sebagai tokoh utama aliran ini menerangkan 3
macam kelezatan.
d.Utilitarisme
Sesuai dengan nama aliran ini, maka yang menjadi
prinsip baginya, ialah kegunaan (utility) dari hal
perbuatan tersebut. Jadi aliran ini menilai baik
22M. Said, Op. Cit., h. 79, dikutip dari Eduard Zeller,
Outlines of the History of Greek Philosophy, (Newyork: Meridian Books, 1957), h. 85.
37
buruknya suatu perbuatan atas dasar besar kecilnya
manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia.23
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral
di United Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke
seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf
Skotlandia, David Hume (1711-1776), sudah memberi
sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi
utilitarisme menurut bentuk lebih matang berasal dari
filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan
bukunya Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya sebagai
dasar etis untuk membaharui hukum inggris, khususnya
hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu
teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat
kongret. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan para warga negara dan bukan
memaksakan perintah-perintah Ilahi atau melindungi hak-
hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi
kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah
ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan
23Hamzah Ya’qub, Op. Cit., 44.
38
suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat
tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur
berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang
diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat.
Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain,
menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai
tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual
yang dilakukan atas dasar suka sama suka.24
Tokoh Utilitarisme lainnya adalah John Stuart
Mill. Baginya penghidupan sosial adalah sesuatu yang
wajar bagi manusia. Antara perhatian seseorang dan
perhatian masyarakat tidak ada perbedaan yang jelas.
Perasaan sosial merupakan tenaga yang kuat yang semakin
meningkat kalau kalau orang bertambah maju. Kalau orang
bekerja sama di lingkungan masyarakat sebagaimana
mestinya, perhatiannya pun akan menjadi sama, sebab
mereka sadar bahwa perhatian orang lain menurut
hakekatnya berada dalam keadaan yang selaras dengan
perhatian orang seorang. Tujuan Mill ialah hendak
meningkatkan rasa kebahagiaan masyarakat, supaya dapat
24K. Bertens, Op.Cit., h. 246-247.
39
mencapai jumlah rasa senang yang sebanyak-banyaknya;
bukanlah tujuannya untuk meningkatkan kebahagiaan orang
seorang.25
e.Deontologis
Etika deontologis (berasal dari kata deon yang
berarti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan
etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran
ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri dan,
pada saat yang sama, tidak (murni) rasional.26
Yang menciptakan sistem moral ini adalah filosof
besar jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Pemikirannya
tidak mudah tetapi sangat berpengaruh, sehingga ia bisa
dianggap sebagai salah seorang pemikir terbesar di
bidang filsafat moral. Menurut Kant, yang bisa disebut
baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang
baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau
dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensia,
misalnya, adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh
25M. Said, Op.Cit., h. 84. 26M. Amin Abdullah, Op.Cit., h. 16.
40
kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh kehendak yang
jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan
keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak
yang jahat.27
B. Pengertian Dakwah
Dakwah secara etimologi terambil dari akar kata
da’a ( ) yang berarti memanggil, mengundang atau
menyeru, sinonim dengan nâda ( ). Dakwah memiliki
banyak arti, namun jika digeneralisasikan ia berarti
mengajak kepada kebaikan dan berpegang teguh setia dan
taat pada agama (Islam).28 Banyak definisi telah dibuat
untuk merumuskan pengertian dakwah yang intinya adalah
mengajak manusia ke jalan Allah agar mereka berbahagia
di dunia dan akherat.29
27K. Bertens, Op. Cit., h. 245-255. 28Sa’id bin Musfir bin Mufrih Al-Qahthawi, Ad-Da’wah Ila Al-
Allah, (Makkah Al-Mukarramah, Dar Thoibah Al-Khodroou, 1423 H), h. 129.
29Lihat Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-2, h. 19, dikutip dari Syeikh Ali Mahfudh, Hidayah al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’adz wa al-Khitabaah, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt), h. 17.
41
Sedangkan dakwah secara terminologi seperti yang
definisikan Syekh Islam Ibn Taymiyyah: “Dakwah adalah
ajakan untuk beriman kepada-Nya, dan percaya pada
risalah yang dibawa Rasul-Nya dengan membenarkan segala
yang dikabarkan berupa kandungan yang berisi ajakan
untuk bersyahadah, melaksanakan shalat, membayar zakat,
puasa ramadhan, menunaikan haji, dan seruan untuk
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitabnya, Rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan, percaya
pada takdir baik dan buruk, dan seruan kepada hamba
untuk menyembah Tuhan seakan ia melihat-Nya.30
Menurut Muhammad Sayyid Al-Wakil dakwah adalah
mengajak dan mengumpulkan manusia untuk kebaikan serta
membimbing mereka kepada petunjuk dengan cara beramar
makruf dan nahi munkar. Allah SWT berfirman:
لتكن منكم امة یدعون الى الخیر ویأ مرون با لمعروف و
و ینهون عن المنكر واولبك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian satu golongan yang mengajak kepada kebaikan dan
30Ibid.
42
memerintah yang makruf, mencegah yang munkar, dan mereka itu orang-orang yang menang”. (QS. Ali Imrân: 104)31
Dakwah disebutkan di dalam Al-Quran (QS. Ibrahîm:
36) sebagai ‘panggilan’ Tuhan kepada masyarakat manusia
untuk menemukan agama yang benar di dalam Islam. Istilah
ini telah berkembang selama berabad-abad menjadi sebuah
ideologi eksplisit tentang proselitisme. Dakwah, yang
tidak pernah dipisahkan dari konteks politik dan sosial
kaum Muslim, telah digunakan untuk menyebarkan klaim
tertentu dari dinati-dinasti semisal Abbasiyah dan
sekte-sekte seperti Ismailiyah. Di bawah Ismailiyah,
kenyataannya, istilah ini menjadi sungguh-sungguh
sinonim dengan propaganda, dan para juru dakwah (da’i,
jamak du’a) Ismailiyah dari dinasti Fatimiyah yang
berpusat di Mesir telah mendapatkan keberhasilan dalam
merekrut para pengikut, baik bagi doktrin agama maupun
afiliasi politik. Pendidikan merupakan hal yang sentral
dalam seluruh konseptualisasi dakwah. Melalui kerja para
31Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah,
terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Cet. ke-1, h. 1-2.
43
da’i, Muslim maupun non Muslim memperoleh suatu
pemahaman tentang hidup---seperti bagaimana memahami Al-
Qur’an, menerapkan syariat, dan melakukan aktivitas
keseharian di dalam semangat Islam. Baik yang secara
formal dilakukan dilingkungan istana, sebagaimana halnya
para pemuka Fatimiyah sendiri, maupun secara informal di
lingkungan para sarjana.32
Sekarang, tradisi dakwah ini telah mulai
diformulasi ulang dalam suatu cara yang halus tetapi
penting. Pendidikan masih berperan sentral, dan bahkan
pola-pola politisasi telah terulang kembali. Sebagai
contoh, kelompok Syi’ah utama di Irak yang beroposisi
terhadap pemerintahan Saddam Husein (yang kini telah
tumbang-pen). (lahir 1937) memunculkan nama Hizb Al-
Da’wah Al-Islamiyyah (Partai Dakwah Islam). Sementara
salah satu sarana utama bagi penyebaran agama dan ide-
ide politik di Libia adalah Jam’iyah Al-Da’wah Al-
Islamiyah (Organisasi Dakwah Islam). Bahkan tradisi
32Lihat Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik
Muslim, terj. Rofik Suhud, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 48, dikutip dari M. Canard, “Da’wa”, Encyclopedia of Islam, (Leyden: E.J. Brill, 1965), Edisi baru, h. 169.
44
dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan
ide-ide tentang aktivisme kesejahteraan sosial---klinik
kesehatan gratis, sup ayam bagi orang-orang miskin,
subsidi perumahan, dan bentuk-bentuk bantuan mutual
lainnya yang seringkali menggantikan pelayanan
pemerintah yang tidak efektif atau malahan tidak ada.
Kaitan eksplisit dengan tradisi ‘sebelumnya’ adalah
pernyataan bahwa kaum Muslim, karena diwajibkan memenuhi
seruan Tuhan, harus menjalankan kewajiban yang
dititahkan Al-Qur’an untuk menciptakan keseimbangan
(mizan) dan keadilan (‘adl, qist) dalam urusan-urusan
manusia. Karena Islam menyajikan sebuah pandangan hidup
total (total way of life), maka seorang Muslim akan
turun derajat tanggung jawabnya jika mereka gagal
memperbaiki ketidakadilan sosial dan ketimpangan
ekonomi.33
C. Pengertian Etika Dakwah
Sebagaimana pengertian etika dalam kamus di atas
yang memiliki tiga makna: 1. ilmu tentang apa yang baik
33Ibid, h. 48-49.
45
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat. Bila kita ambil
pengertian pertama berarti etika sebagai ilmu (filsafat
moral). Bila kita ambil pengertian ke dua maka berarti
yang dimaksud etika dakwah adalah pembicaraan tentang
kode etik dakwah. Bila diambil pengertian yang ketiga
berarti Etika dakwah adalah nilai etis perilaku dakwah.
Tesis ini, penulis titiberatkan pada pengertian
etika dakwah yang ke tiga, yaitu nilai-nilai atau norma-
norma etis dalam dakwah. Adapun nilai-nilai etis, hingga
membentuk etika dakwah, yang diangkat dalam tulisan ini
adalah: etika dakwah dalam keteladanan, etika dakwah
dalam keikhlasan, etika dakwah dalam pluralisme agama,
etika dakwah dalam bertauhid, etika dakwah dalam
politik, dan etika dakwah dalam globalisasi.
Menurut K. Bertens, bahwa arti ke-3 dalam kamus
tersebut lebih mendasar. Arti ini juga bisa dirumuskan
sebagai ‘sistem nilai’. Atau ---menurut Paul Edwards---
46
sebuah pola umum atau “cara hidup”.34 Namun, tidak
menutup kemungkinan tulisan ini juga bercorak filosofis,
yakni etika sebagai seperangkat nilai baik-buruk suatu
perilaku dakwah. Dengan kata lain etika dakwah di sini
adalah bagian dari filsafat dakwah. Penulis berusaha
menyelaraskan “etika wahyu” dan “etika rasional” dalam
membentuk etika dakwah dalam penulisan tesis ini. “Hanya
kerjasama” antara keduanya yang akan menyelamatkan
manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan
kepribadian.35
Yang menentukan dalam mengukur etis atau
tidaknya dakwah adalah nilai-nilai dasar yang dipakai
sebagai acuannya. Dalam hal ini, maka Al-Qur’an dan
hadis adalah acuan utama dalam menentukan nilai-nilai
etis dakwah. Tentunya ayat dan hadis yang diterapkan
sesuai dengan kondisi masyarakat dakwah dan perkembangan
zaman yang dinamis. Meminjam terminologi Majid Fakhry
34Lihat Paul Edwadrs (ed.), The Encyclopaedia of Philosophy,
(New York: McMillan Publishing Co., 1967), Vol. III, h. 82-83, dikutip oleh Muhbib Abdul Wahab, “Revitalisasi Etika Islam Dalam Pendidikan”, Misykat Al-Anwar, Volume 8, Nomor 1, Juni 2002, h. 450 35Lihat M. Amin Abdullah, Op. Cit., h. 220.
47
yakni mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara
yang lebih langsung. Seperti biasanya dalam masalah ini
para penulis agama, khususnya pada periode yang paling
awal, telah memikirkan tentang konsep-konsep kunci al-
Qur’an tentang iman, warầ’ dan tha’ah dan sering
menggunakan catatan dari al-Qur’an dan Sunnah untuk
mendukung disquisisi moral atau agama mereka.36
1. Sejarah Etika Islam
Islam mengajarkan umatnya agar berbuat baik
kepada siapapun. Islam juga menganjurkan berbuat adil
dan melarang perbuatan aniaya. Demikian sekelumit ajaran
yang termaktub dalam Al-Quran.
Pernyataan Nabi Muhammad bahwa “aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak” (HR Malik dalam Al-Muwaththa dan
al-Bukhari)37 merupakan pernyataan memerangi bangsa Arab
36lihat Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Cet. ke-1, h. 68, lihat pula Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. ke-2, h. 42.
37Lihat Abdul Badî’ Shaqr, Meneladani Akhlak Nabi, Hadis-hadis pilihan tentang Akhlak Mulia, (Bandung: Al-Bayan, 2004), Cet ke-1, h. 68.
48
jahiliyah dari kebobrokan moral dan penyesatan akidah.
Hasilnya sangat gemilang, dalam waktu singkat, Nabi
mampu merubah bangsa Arab menjadi bangsa yang agung dan
beradab.
Fenomena tersebut menginspirasi pemikir Islam
dalam menyelidiki moral (akhlâk) hingga terbentuklah
ilmu akhlak (etika) secara sistematis. Yang termashur
melakukan penyelidikan tentang akhlak dengan berdasar
ilmu pengetahuan ialah Abu Nasr Al Farabi (W. 339 H).
Demikian juga Ikhwanus Sofa dalam risalah brosurnya, dan
Ali Ibnu Sina (370 – 428 H). Mereka telah mempelajari
filsafat Yunani, terutama pendapat bangsa Yunani
mengenai akhlak. Boleh jadi penyelidikan bangsa Arab
terbesar mengenai akhlak adalah yang dilakukan oleh Ibnu
Maskawaih (w. 421 H) dalam kitabnya yang terkenal
Tahdzibul akhlâk wa Tathhirul a’raq.38
Dengan demikian Maskawaih telah mengangkat akhlak
atau kajian tentang akhlak kepada martabat ilmu yang
utuh (tersendiri) dari ilmu-ilmu filsafat. Dengan
demikian, dia telah menegaskan dalam bidang-bidang Islam
38Ahmad Amin, Op. Cit., 149.
49
otoritas pemikiran pemikiran tersendiri bagi otoritas
yang ditegaskan oleh Aristoteles pada Yunani klasik
ketika dia menulis ‘risalah tentang etika kepada
Necamacus’. Dalam kenyataannya kitab Tahdzib tersebut
menyempurnakan inti pandangan Aristoteles.39
Tema-tema besar pada kitab Tahdzib tersebut telah
disempurnakan/disesuaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab
Mizānul ‘Amal dan diberikan bentuk keislaman padanya
(yakni Islamisasinya telah tuntas). Sementara Nasiruddin
Thusi (meninggal tahun 672 H/ 1273 M) telah
menerjemahkan kitab tersebut ke dalam bahasa Parsi.
Sampai pada masa sekarang ini, kita tidak melihat upaya
dalam bahasa Arab yang menyamai upaya Maskawaih. Bahkan
pengkajian kitab Tahdzibul Akhlâk telah terhenti di
dunia Arab-Islam sejak masa Muhammad Abduh sampai
sekarang. Seperti diketahui, pemimpin pembaharu tersebut
mengkajinya dan membahasnya di al-Azhar pada permulaan
abad ini. Benar bahwa pengajaran akhlak dalam bentuk
kurikulum untuk menggolongkan nilai-nilai keutamaan dan
39M. Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme, Jauhari, et.al., (ed.) (Surabaya: Al-Fikr, 1999), Cet. Ke-1, h. 284.
50
keburukan, yaitu berdasar kepada pembagian tradisional
antara yang baik dan yang buruk di bawah pandangan
‘keagamaan’ tetap berlangsung di sekolah-sekolah, tetapi
tidak terdapat suatu pembahasan filosofis atau teologis
tentang dasar-dasar pandangan bagi nilai-nilai yang
dipraktekkan secara aktual, yakni dalam kehidupan yang
berjalan dari hari ke hari. Pemikiran teoritis sekitar
akhlak dalam kemasan klasik telah ditopang dan
disempurnakan melalui penetapan aturan-aturan
keberakhlakan dan politis yang bertentangan dengan
(aturan-aturan) yang diperintahkan oleh pemikiran
keagamaan atau filosofis. Penetapan ini telah tuntas
melalui karya-karya sastera yang ‘agung’ dan melalui
risalah-risalah, kaidah-kaidah puitis atau literatur-
literatur kesejarahan dan geografis. Dan Maskawaih
sendiri telah menulis sebuah kitab terkenal dalam ilmu
sejarah yang diberi judul Tajaribul Umam (pengalaman
bangsa-bangsa). Dalam kitab ini dia menyampaikan kepada
masyarakat zamannya pandangan filosof mukmin tentang
51
pandangan penerapan keberakhlakan dan politis secara
menyeluruh.40
2. Teori Etika Islam
Ada beberapa kecenderungan teori etika dalam
Islam yang dapat ditipologikan dalam: a. Etika
Skriptural, b. etika teologis, c. Etika Filosofis, d.
Etika Religius. Tipologi ini didasarkan pada
kecenderungan dalam menggunakan sumber dan subtansi
pemikiran etika, serta keterpengaruhannya dengan
pemikiran di luar Islam, seperti etika filosofis yang
sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, Plato dan
Neoplatonisme.41
a. Etika skriptural, sesuai dengan namanya,
menunjuk pada pemikiran di bidang etika Islam
yang mendasarkan diri pada teks-teks atau
pernyataan-pernyataan moral al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW. Wacana ini dikembangkan oleh para
teolog dan filosof dengan penuh ketelitian
40M. Arkoun, Op. Cit., h. 285. 41Lihat Muhbib Abdul Wahab, Op. Cit., h. 45.
52
abstraksi dan analisis mereka berdasarkan
metode-metode dan kategori-kategori diskursif
yang berkembang pada abad 8 dan 9. 42
b. Etika Teologi, dengan landasan pokoknya
dari Al-Qur’an dan Sunnah dan percaya penuh
terhadap keduanya, hanya saja dalam penafsiran
dan elaborasinya cenderung dibawa ke dalam
wacana teologis, seperti konsep kemahakuasaan
dan keadilan Tuhan. Penganjurnya adalah
Mu’tazilah yang telah memformulasikan antara
sistem etika Islam abad ke-8 dan ke-9 dengan
dasar pengandaian deontologi dan Asy’ariyah yang
telah mendirikan sistem moralitas voluntaris
yang kuat, yang tidak menolak metode diskursif
para filosof, akan tetapi tetap setia terhadap
konsep al-Qur’an tentang kemahakuasaan Tuhan.
Tuhan Yang Maha Pencipta dan Pemurah sekaligus
sebagai Sumber Utama Wujud dan Kebaikan di
dunia.43 Etika teologis dapat dibagi menjadi
42Ibid., dikutip dari Majid Fakhry, Op. Cit., h. xxi. 43Lihat Majid Fakhry, Op. Cit., h. xxi.
53
tiga, yaitu: rasionalis, semi rasionalis dan
voluntarisme dan anti rasionalis. Yang pertama
(rasionalis) diwakili oleh Mu’tazilah, yang
kedua (semi rasionalis) oleh Asy’ariyah, dan
yang ketiga (semi rasionalis dan voluntarisme)
oleh Zhahiriyah, terutama Ibn Hazm dan Ibn
Taimiyah. Kedua nama terakhir menolak validitas
argumentasi dialektis dan teologis dan
mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber
pokok kebenaran agama diinterpretasikan secara
harfiah.44
c. Etika Filosofis, muncul sebagai sebuah
wacana pemikiran yang mengadopsi dan memberi
warna Islam pada pemikiran etika Plato dan
Aristoteles serta Neoplatonisme. Aliran ini,
antara lain diwakili oleh Ibn Miskawaih, al-
Thusi dan al-Dawwani. Aliran ini cenderung
mengedepankan argumen-argumen filosofis.
d. Etika Religius, berakar dari konsepsi Al-
Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam
44Ibid. h. xix.
54
semesta. Teori ini agak berbeda dari tipe
moralitas skriptural di mana para penganjurnya
telah menerima pengaruh filsafat Yunani dan
Teologi Islam dan menjadi sadar akan terma-terma
yang dilancarkan oleh aliran dialektika pada
abad ke-8 sebagai hasil konfrontasi dan kontak
dengan filsafat Yunani dan teologi Kristen di
Damaskus, Baghdad, dan pusat-pusat belajar
lainnya di Timur Dekat. Bahan-bahan etika
religius adalah pandangan dunia al-Qur’an,
konsep-konsep teologi, kategori-kategori
filsafat, dan dalam beberapa hal sufisme. Maka
sistem etika ini muncul dalam bentuk yang sangat
kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang
paling islami. Diantara eksponennya adalah al-
Hasan al-Basri (w. 728 M), seorang asketik abab
ke-8; al-Mawardi (w. 1058 M) seorang ahli hukum
Syafi’i dan teolog yang menulis karya etika
Right Conduct (Adab) in Matters Worldly and
Religious; dan al-Raghib al-Isfahani (w. 1108)
penulis karya etika Kitab al-Dzari’ah ilâ
55
Makarim al-Syari’ah, yang telah mempengaruhi al-
Ghazali dan penulis lainnya. Al-Ghazali, yang
sistem etikanya mencakup moralitas filosofis,
teologis dan sufistik adalah contoh yang paling
representatif dari tipe etika religius.45
D. Urgensi Mempelajari Etika Dakwah
Mempelajari etika bukan hanya mengetahui
pandangan (theory), tetapi juga mempengaruhi dan
mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan
menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, dan memberi
faedah kepada sesama manusia. Etika mendorong kehendak
manusia agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu
berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.46
“Sebuah masyarakat tanpa etika adalah masyarakat
yang menjelang kehancuran”, ucap S. Jack Odell yang
dikutip Richard L. Johannesen. Menurut odell, “konsep
dan teori dasar etika memberikan kerangka yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau moral
45Ibid. 46Ahmad Amin, Op.Cit., h.7.
56
setiap orang”. Odel yakin bahwa “prinsip-prinsip etika
adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas
sosial. Tanpa prinsip-prinsip etika, mustahil manusia
bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan, kecemasan,
keputusasaan, kekecewaan, pengertian, dan
ketidakpastian”.47
Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di
satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman
kepercayaan mereka, di lain pihak sekaligus mau
berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak
menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat
yang sedang berubah itu.48
Demikian pula etika dakwah, ketika ia dapat
diterima dan dipahami dengan baik oleh insan dakwah,
maka tujuan dakwah yang rahmatan lil’alamîn dengan
sendirinya akan terwujud. Selain itu wujud kongkrit
pentingnya etika dakwah adalah mewujudkan manusia yang
bahagia dunia dan akherat.
47Richard L. Johannesen, Op. Cit. h. 6. 48Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. ke-17, h. 16.
57
E. Butir-Butir Pemikiran Kode Etik dan Etika Dakwah
Kode etik adalah kumpulan asas dan nilai moral
(akhlak). Kode etik sebetulnya tidak merupakan hal yang
baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku
moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui
ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan
dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu
contoh tertua adalah ‘Sumpah Hippokrates’ yang bisa
dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi
dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang
digelari ‘bapa ilmu kedokteran’ dan hidup dalam abad ke-5
SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini
merupakan buah pena Hippokrates sendiri, tapi setidak-
tidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan
meneruskan semangat profesional yang diwariskan dokter
Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang
sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode
etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan
dan tersebar bagitu luas seperti sekarang ini. Jika
sungguh benar zaman kita diwarnai suasana etis yang
58
khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak
kode-kode etik ini.49
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat
moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.
Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga
karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-
sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang
mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu memiliki
tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas
suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi
menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu
kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang
mempergunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu
dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia
dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif
profesi ini. Dengan adanya kode etik, kepercayaan
masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena
setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya
akan terjamin. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan
49K. Bertens, Op. Cit., h. 280.
59
arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga
menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.50
Dakwah sebagai suatu profesi, tentu juga punya
aturan main yang tertuang dalam bentuk kode etik dakwah.
Namun, kode etik dakwah yang ada belum sepenuhnya
berjalan efektif. Kurang efektifnya kode etik dakwah
disebabkan beberapa faktor:
1. Kurang tersosialisasinya kode etik dakwah yang
ada. Hal ini mengakibatkan da’i tidak sepenuhnya
mengetahui rambu-rambu dalam dakwah, mad’u pun
demikian;
2. Kode etik dakwah yang ada, masih terserak.
Tidak ada kesepakatan yang pasti tentang kode etik
yang ada. Beberapa pemikir dan penulis dakwah
merumuskan tentang kode etik dakwah, berdasarkan
pendapat sendiri, tidak mengacu pada kesepakatan
bersama. Kode etik yang ideal adalah dibentuk
berdasarkan kesepakatan bersama oleh komunitas
(profesi) dakwah. Kemudian dilaksanakan, ditaati
50Ibid., h. 280-281.
60
dan diawasi, atau bila perlu dikenakan sangsi
hukuman bagi yang melanggar;
3. Kurang efektifnya kode etik dakwah
selanjutnya adalah karena aktivitas dakwah belum
dianggap sebagai profesi. Dalam kerangka ini,
kalau boleh dikatakan dengan ekstrem, maka kode
etik adalah hal yang mengada-ada.
Beberapa penulis tentang kode etik dakwah, dan
butir-butir pemikirannya adalah sebagai berikut:
1. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil51
a. Iman (percaya) kepada apa yang
didakwahkan;
b. Qudwah hasanah (keteladanan yang
baik;
c. Istiqamah;
d. Sabar menghadapi berbagai kendala dan
penderitaan;
e. Lapang dada dan lembut (santun);
51Butir-butir kode etik dakwah yang beliau telurkan adalah yang
paling komprehensif sepanjang penelusuran penulis. Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Ed. ke-1, h. 107-137.
61
f. Tawadhu (rendah hati);
g. Zuhud dan tekun berdakwah;
h. Tekun dan kuat beribadah;
i. Ikhlas (tanpa pamrih);
j.Tanggap dan mengerti tentang kondisi dan
lingkungan di sekitarnya;
2. Ali Mustafa Yaqub52
a. Tidak memisahkan antara ucapan dan
perbuatan;
b. Tidak melakukan toleransi agama;
c. Tidak mencerca sesembahan lawan;
d. Tidak melakukan diskriminasi;
e. Tidak memungut imbalan;
f. Tidak mengawani pelaku maksiat;
g.Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui;
3. Toha Yahya Omar53
52Lihat Ali Mustafa yakub, Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000), Cet. ke-2, h.36-47. 53Lihat M.Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta: al-
Mawardi Prima, 2004), Cet. ke-1, h. 97-98.
62
a.Berlaku Sopan
b.Jujur
4.Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI
Jakarta54
a.Muballigh menyampaikan ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, atas dasar
niat yang tulus ikhlas melalui pendekatan hikmah,
mau’idzah hasanah dan mujadalah billati hiya
ahsan;
b.Muballigh adalah pelopor penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam;
c.Muballigh memiliki kebebasan mimbar yang
bertanggungjawab kepada Allah Swt. dan
kemaslahatan umat;
d.Muballigh senantiasa lebih mengutamakan kepada
kepentingan agama Islam, masyarakat, bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi atau
kelompoknya;
54Lihat Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI Jakarta,
Adab dan Akhlak Muballigh, 2002, h. 8.
63
e.Muballigh secara sendiri-sendiri atau bersama-
sama berusaha secara terus-menerus meningkatkan
pengetahuan dan mengembangkan mutu profesinya;
f.Muballigh mempunyai kejujuran dalam menyampaikan
dakwahnya;
g.Muballigh senantiasa berusaha dan menjaga agar
forum dakwah tidak disalahgunakan oleh pihak
manapun demi terciptanya ukhuwah Islamiyah;
h.Muballigh senantiasa berusaha menjalin hubungan
baik dengan semua pihak dengan tetap berpegang
teguh pada ajaran Islam;
i.Muballigh bersikap terbuka dan toleran serta
menerima dengan lapang dada setiap nasehat dan
kritik untuk kepentingan pencapaian tujuan
dakwah;
Toha Yahya Omar, dalam pendapatnya tentang
hubungan etika dan dakwah menggunakan kalimat etika
dakwah. Sedangkan Ali Mustafa Yaqub menggunakan istilah
etika dakwah dan kode etik dakwah adalah (istilah) yang
sama. Bila kita merujuk pada makna etika dalam kamus,
maka Toha Yahya omar benar menggunakan istilah etika
64
dakwah. Sedangkan Ali mustafa yaqub tidak sepenuhnya
salah. Ali Mustafa Yaqub akan lebih baik, jika
menggunakan istilah kode etik dakwah saja, tanpa
menyamakannya dengan etika dakwah. Karena etika (dakwah)
memiliki tiga makna, yang di antaranya adalah kode etik.
Sedangkan pembicaraan Ali Mustafa Yakub adalah seputar
kode etik, bukan etika (dakwah) dalam arti yang lebih
luas.
67
BAB III
PROBLEMATIKA ETIKA DAKWAH
Al-Qur’an adalah suatu ajaran yang berkepentingan
terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi
tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah tindakan
politik, keagamaan (dakwah) ataupun sosial, dipandang al-
Qur’an sebagai ibadah atau ‘pengabdian pada Tuhan. Karena
itu, al-Qur’an mengutamakan semua penekanan-penekanan
moral dan faktor-faktor psikologis yang melahirkan
kerangka berpikir yang benar bagi tindakan. Ia
memperingatkan manusia terhadap kesombongan dan rasa
cukup-diri (self-sufficiency), yakni humanisme murni di
satu pihak, dan putus asa serta patah semangat di pihak
lain. Ia terus-menerus mendesak agar orang ‘selalu
waspada (taqwa)’ dan ‘takut pada Tuhan’ di satu pihak,
dan menegaskan ‘rahmat Tuhan dan kebaikan esensial
manusia’ di lain pihak. Dan seterusnya. Jelas bahwa
dorongan dasar al-Qur’an adalah untuk membebaskan sebesar
mungkin energi moral manusia yang kreaktif. Pandangan
umum dan merata di kalangan Barat, dan melalui mereka,
68
juga kelompok-kelompok non-Muslim yang lain, bahwa
Tuhannya al-Qur’an adalah si Maha Lalim yang sewenang-
wenang menimbulkan rasa takut daripada perasaan yang
lain-lain, barangkali adalah pemahaman yang paling
kekanak-kanakan atas al-Qur’an sendiri. Yang sebagian
berakar dari prasangka yang telah lama, dan sebagian juga
dari perumusan-perumusan teologi tentang Islam dari zaman
pertengahan yang dibuat oleh teolog-teolog Islam sendiri
dan, tentu saja, sikap kongkrit yang dihasilkannya di
kalangan kaum muslimin sendiri pada umumnya.1
Etika muncul sebagai respon dari disquisisi moral
yang berlangsung dalam suatu masyarakat. Dalam konteks
dakwah, etika dakwah merupakan respon dari munculnya
permasalahan-permasalahan menyangkut problem etis dakwah.
Dakwah dituntut untuk dapat mengembangkan metode yang
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Etika berusaha
memandu dan membingkai agar dakwah yang dinamis tersebut
tidak menyimpang dari nilai etis.
1Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1997), Cet. ke-3, h.354.
69
A. Da’i Sebagai Teladan
Sebagai pengemban dan penyebar risalah agama,
seorang da’i hendaklah menjadi uswah dan qudwah bagi
ummat. Kita sering mendengar pernyataan bahwa krisis yang
multidimensional di negara ini disebabkan lemahnya moral
dan keteladanan serta lembeknya etika. Kehancuran moral
tersebut, memang banyak faktornya, diantaranya adalah
kurang dihayatinya nilai-nilai agama. Persoalan ini
terdengar klasik, tapi tetap menjadi wacana yang hangat
bila kita buka kembali. Seperti diungkapkan oleh Gibben
dalam tesisnya The Decline and Fall of Roman Empire
(Mundur dan Jatuhnya imperium Romawi), yang menyebabkan
hancurnya suatu negara adalah kehancuran akhlak.2
Saat ini, banyak figur yang dianut masyarakat
diluar figur seorang da’i. Kita bisa melihat histerisnya
para penonton konser musik sheila on-7 atau pertandingan
sepak bola tim idolanya, yang terkadang menelan korban
sia-sia, bukan mati syahid di jalan Allah. Kita bisa
saksikan betapa semaraknya pertunjukkan AFI (Akademi
Fantasi Indosiar) di malam minggu di salah satu stasiun
2Lihat Nurcholish Madjid, Bunga Rampai Bimbingan Rohani Islam, (Jakarta: BAPINROH DKI, 2002), h. 98.
70
televisi swasta di negeri ini, hingga nyaris anak-anak
kecil sampai dewasa hafal tema lagu acara tersebut. Ini
adalah fenomena bahwa masyarakat sekarang, khususnya
generasi muda membutuhkan panutan yang positif, untuk
mengarahkan pada kondisi spiritualitas yang mapan dan
stabil. Pondasi agama yang kokoh dan kuat adalah bekal
efektif untuk mengarungi samudra kehidupan masa depan
dengan lebih baik.
Di sinilah seorang da’i sebagai penerus para Nabi
memiliki peran dan tanggung jawab yang signifikan.
Bagaimana kiprah dakwahnya dapat diterima dan mendapat
simpatik dari semua lapisan masyarakat. Kemasan dakwah
yang menarik serta syarat dengan pendidikan moral adalah
hal yang sangat mendesak untuk direalisasikan. Dakwah
pada kenyataannya bukan hanya untuk ummat Islam semata,
tapi juga untuk ummat lain sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.
B. Upah (Gaji) Bagi Seorang Da’i
Upah (gaji) terkadang masih dianggap tabu oleh
sebagian da’i atau masyarakat. Pembayaran gaji bagi da’i
dianggap suatu hal yang menyalahi perintah Allah seperti
yang termaktub dalam firmannya surat as-Saba’: 47
71
ق ل م ا س أ ل تكم م ن اج ر فه و لك م ان اج ري اال عل ى اهللا
وهوعلىكل شيء شهید
“Katakanlah: Aku tidak minta upah (balasan) kepadamu, balasan itu untukmu. Upahku tidak lain hanya dari Allah. Ia menjadi saksi atas segala sesuatu”. (QS. As-Saba’: 47)
علیه ماال ان اجري اال على اهللا ویقوم ال ا سئلكم
“Wahai kaumku, aku tidak meminta (imbalan) harta kepadamu dalam menyampaikan seruanku…” (QS. Hûd: 29)
Ayat di atas menggambarkan larangan mengambil
upah dari kerja dakwah. Benarkah demikian, suatu hal yang
paradok bila di satu sisi da’i dituntut harus bekerja
dengan profesional, namun di sisi lain dilarang menerima
upah (gaji). Benarkah pula bahwa nilai ikhlas ditentukan
oleh materi?
Dalam hal ini, tiga kelompok mazhab berbeda
pendapat mengenai boleh tidaknya da’i menerima imbalan
dari pihak yang didakwahi:
72
1.Kelompok pertama terdiri dari para ulama madzhab
Hanafi, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa
memungut imbalan dalam menyiarkan ajaran Islam itu
hukumnya haram secara mutlak, baik ada perjanjian
sebelumnya untuk itu maupun tidak.
2.Kelompok kedua terdiri antara lain Imam Malik bin
Anas, Imam as-Syafi’i, dan lain-lain. Mereka
berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyebarkan
ajaran Islam itu hukumnya boleh, baik ada perjanjian
sebelumnya maupun tidak.
3.Kelompok ketiga antara lain terdiri dari al-Hasan
al-Bashri, al-Sya’bi, Ibnu Sirin dan lain-lain.
Mereka berpendapat bahwa apabila ada perjanjian
sebelumnya untuk memungut imbalan dalam mengajarkan
agama Islam, maka hal itu hukumnya haram. Tetapi
apabila tidak ada perjanjian apa-apa, kemudian orang
yang mengajarkan agama Islam itu diberi imbalan,
maka hal itu hukumnya boleh.3
Terdapatnya perbedaan pendapat mengenai upah
dalam pengajaran Islam (dakwah), menunjukkan dinamisasi
3Lihat Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000), Cet. ke-2, h. 43-44.
73
pemikiran di kalangan umat, dan ulama mazhab. Perbedaan
tersebut diharapkan tidak mengurangi sikap profesional
bagi da’i. Masyarakat luas sebagai mad’u juga dianjurkan
bersikap bijak, menghargai profesi da’i.
C. Dakwah dan Pluralisme Agama
Ketika membincangkan kemerdekaan agama, maka
sepatutnya kita gunakan literatur kitab agama yang kita
yakini. Agama (Islam) seingat kita sangat menjunjung
tinggi kemerdekaan beragama ini. Agama adalah keyakinan
bukan paksaan. Agama adalah kedamaian bukan permusuhan.
Manusia dibekali fitrah, untuk membedakan yang
baik dan buruk. Seperti ayat yang termaktub dalam al-
Qur’an:
فألهمها فجورها و تقو ها
“maka Aku ilhamkan kepada manusia jalan buruk dan baiknya” (QS Al-Syams: 8).
Kesalahan penggunaan fitrah adalah pengingkaran
hati yang paling dalam, hingga menyebabkan hidup tanpa
keseimbangan, kemudian jatuh pada kenistaan nan rendah
74
(sâfilîn). Fitrah yang mengarah pada kebaikan (al-ma’rûf)
hendaklah ditumbuh suburkan. Pada dasarnya potensi
kefitrahan manusia dipenuhi kebaikan (ihsān). Karena,
selain secara fisik dan psikologis manusia sebagai
makhluk terbaik, ia juga secara fitrah memiliki nilai-
nilai kemanusiaan. Atau menurut DR. Kuntowijoyo dengan
mengutip Al-Qur’an:
كنتم خیر ا مة ا خرجت للن اس ت أمرون ب ا لمع روف و تنه ون
عن المنكر وتؤمنون باهللا
“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah” (QS. Ali- ‘Imrân: 110).
Berarti manusia memiliki potensi penting yaitu;
humanisasi, liberasi dan transendensi. Tiga muatan nilai
inilah yang mengkarakteristikkan ilmu sosial profetik,
yang sering diderivasikan dari misi historis Islam, yaitu
ilmu sosial yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat
75
menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.4 Liberasi
yang dimaksud Kunto Wijoyo juga mencakup kemerdekaan
beragama sebagai hak asasi individu.
Menurut Natsir Iman seseorang hanya dapat
ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi daripada tekanan
dan paksaan. Memang sudah begitu pembawaan fithrah
manusia. Kata Sayidina Ali: “hati bila dipaksa buta”
(innal qalba idzâ ukriha ‘umiya).5 Suasana bebas memeluk
agama, memberikan peluang besar bagi masing-masing agama
untuk mendakwahkan misi ajarannya.
Dakwah dalam lingkup agama merupakan sarana
penyebarluasan dan sosialisasi. Kemerdekaan beragama
hendaklah dipahami dan menjadi pegangan erat bagi juru
dakwah. Menginggat pluralisme agama yang ada. Agama
adalah suatu petunjuk (hidayah), tak seorangpun yang
mampu memberi ataupun memaksa. Dakwah hanya terbatas pada
media informatif. Kita hanya ingin mencoba bahwa “agama
4Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1998), Cet. VIII, h. 288-289. 5M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Yayasan Capita Selecta,
2000), Cet. X, h. 123.
76
adalah pesan (nasehat)” (ad-dînu an-nasîhah).6 Sampai di
sini, dakwah memiliki keterbatasan (untuk tidak
mengatakan kelemahan), agar manusia berendah diri dan
jauh dari kesombongan. Da’i hanyalah perantara,
penyampai tidak lebih dari itu. Tugas Nabi Muhammad pun
tak lebih daripada menyampaikan, yaitu memberi tahu,
memperingatkan, dan membimbing manusia. Keberhasilan atau
kegagalan dakwah bukanlah tanggung jawabnya, melainkan
tanggung jawab Allah.7 Allahlah yang menentukan,
membimbing, atau membiarkan siapa saja yang dikehendaki-
Nya. 8 Allah SWT. Maha mengetahui siapa-siapa hambanya
yang mampu menerima hidayah (Islam), dan juga Memgetahui
siapa yang ingkar.
Dengan memahami kemerdekaan beragama, seorang juru
dakwah diharapkan mampu melakukan tugas dakwah dengan
bijak, serta memiliki strategi yang handal guna
pencapaian misi agama yang hanîf. Uslûb bahasa yang
6Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran, Vol. IV, No.1, 1993.
7Lihat QS 42:48; 10:99, Sebagaimana dikutip oleh Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-1, h. 153.
8Lihat QS 2:142; 10:25; 6:88; 22:16; 24:35, Ibid .
77
persuasif seperti; qaulan balîgha, qaulan layyina, qaulan
maisûra, qaulan karîma, qaulan syadîda, yang sesuai
dengan objek dakwah juga hendaknya dipahami.9 Sebaliknya,
perilaku yang kasar, main paksa justru menjauhkan
simpatik orang lain.10 Allah berfirman:
ولوكنت فظا غلیظ القلب ال نفضوا من حولك
“.... Jika sekiranya engkau keras hati, niscaya mereka lari dari sisimu....” (QS. Ali-‘Imrân: 159). Pemahaman kemerdekaan beragama terasa begitu
penting, mengingat keniscayaan pluralisme agama. Secara
intern dan ekstern pemahaman kemerdekaan agama setidaknya
akan menghasilkan toleransi beragama. Berujung pada
dialog dan buahnya adalah kerukunan agama. Pernyataan ini
terkesan begitu ideal, namun begitulah kurang lebih yang
dipesankan agama. Berbeda namun saling kasih.
Mengistilahkan terminologi Nasir tamara bahwa dalam
Islam, keragaman budaya lokal selalu ditempatkan dalam
9lihat Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), Cet. ke-2, h. 200. 10Lihat Abu Zahrah, Dakwah Islamiah, terj. H. Ahmad Subandi
dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), cet. ke-1, h. 155.
78
rangka membangun peradaban Islam yang global (unity in
diversity).11
D. Dakwah dan Penegakkan Tauhid
Selain krisis moral, keteladanan, umat juga
mengalami krisis tauhid yang tidak kalah hebatnya.
Tayangan-tayangan mistis yang tidak mendidik di televisi
semakin semarak, tentunya semakin memperpuruk ketauhidan
kepada Allah. Sikap hidup materialistis yang kian
konsumtif juga memperparah situasi tauhid yang labil. Tak
jarang materi dijadikan “tuhan” karena ia menjadi tujuan.
Tauhid merupakan pondasi utama umat, jika ia
rapuh, niscaya angin badai dengah mudah menerpanya.
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan Maha Esa menciptakan
manusia dalam bentuk terbaik, untuk menyembah dan
mengabdi kepada-Nya.12 Ini berarti bahwa seluruh
keberadaan manusia di muka bumi bertujuan mematuhi Tuhan,
menjalankan perintah-Nya. Tauhid Juga menegaskan bahwa
11Nasir Tamara, dkk., Agama dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. ke-1, h. xxii.
12Sesuai dengan ayat, “Dan Aku tak menciptakan jin atau manusia kecuali agar menyembah dan mengabdi kepada-Ku” (QS. 51:56).
79
tujuan ini termasuk kekhalifahan manusia di muka bumi,
firman-Nya:
…ة انى جاعل فى األرض خلیفةواد قال ربك للملنك
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di atas bumi (Adam)... (QS. Al-Baqarah: 30)
Karena, menurut Al-Quran Tuhan telah memberikan
amanat-Nya kepada manusia, amanat yang tak mampu dipikul
langit dan bumi, dan yang mereka hindari dengan
ketakutan, firman-Nya:
انا عرضنا األمانة على السموت واالرض و الجبال ف أبین ان
یحملنها واشفقن منها وحملها االنسان انه كان ظلوما جهوال
“Sesungguhnya telah Kami unjukkan amanah (perintah) kepada langit, bumi dan gunung-gunung lalu mereka enggan memikulnya dan takut menerimanya, kemudian amanah itu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu aniaya lagi bodoh” (QS. Al-Ahzâb: 72). Amanat Tuhan adalah pelaksanaan bagian etika dari
kehendak Tuhan. Hakikatnya menuntut bahwa amanat itu
diwujudkan dalam kebebasan, dan manusia adalah satu-
80
satunya makhluk yang mampu melakukannya. Di manapun
kehendak Tuhan diwujudkan sesuai dengan hukum alam,
perwujudannya bukan moral, tetapi mendasar (elemental)
atau bermanfaat (utilitarian). Hanya manusia yang mampu
mewujudkannya dengan kemungkinan melakukan atau tidak
melakukannya sama sekali, atau melakukan sebaliknya atau
sebagian. Kemerdekaan manusia untuk mematuhi perintah
Tuhanlah yang menjadikan pelaksanaan perintah moral.13
Lemahnya tauhid adalah problem yang berat bagi
dakwah. Sebagai pondasi agama, ia amat penting untuk
dikaji dan diamalkan. Tugas para Nabi yang utama dan
pertama adalah penegakkan tauhid:
وما ارسلنا من قبلك من رسول اال نوحى الی ه ان ه ال ال ه اال ان ا
فا عبدون “Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah Aku” (QS Al-Anbiyâ’: 25)
13Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-1, h. 117.
81
Tauhid adalah penegasan bahwa Allah adalah sang
pencipta yang tunggal. Tiada pencipta selain Dia.
Pemahaman yang mendalam tentang tauhid akan membuahkan
sikap positif bagi individu dan tercermin dalam kehidupan
sosial.
E. Dakwah dalam lingkup Politik
Polarisasi dakwah, mengharuskan berbagai kalangan
muslim memebentuk partai politik Islam. Walaupun sebagian
mereka lebih memilih jalan kultural. Nurcholish Madjid,
memiliki jargon terkenal “Islam yes, partai Islam, no”.
Artinya debatable mengenai perlunya partai Islam atau
tidak adalah merupakan polemik yang memperkaya khasanah
intelektual kita. Mungkin ini tidak akan pernah berakhir.
Kita jangan terjebak pada rekreasi intelektual
berkepanjangan. Ada tugas dakwah yang menunggu kita di
depan. Biarlah aktivis politik muslim, berjuang melalui
parpolnya, disanalah dunia artikulasi dakwah yang
dipandang tepat oleh kata hatinya. Dan biarkan pula
seorang (seperti) Cak Nur terjun sebagai guru bangsa.
Permasalahan yang signifikan adalah bagaimana
kiprah politikus muslim dalam parpol? Mampukah ia
82
memberikan kontribusi bagi perbaikan ummat? Bukankah
politik seperti sarang penyamun, ketika berada di
dalamnya hanya ada dua pilihan, merampok atau dirampok?
Pertanyaan-pertanyaan sumbang selalu menyeruak tatkala
politik dihubungkan dengan agama. Merupakan PR besar bagi
aktivis partai Islam untuk mengembalikan citra politik
yang baik dan bermoral.
Kalau melihat dan menilai sejarah politik Islam,
khususnya di Indonesia sepertinya lebih cocok kalau
merunduk daripada harus berdiri tegak. Kelabu itu
konkritnya. Bukan bermaksud menafikan kontribusi
politikus muslim pada bangsa ini, tetapi belum adanya
terobosan yang memadai bagi perbaikan bangsa yang sudah
60 tahun merdeka. Orde lama politik Islam dimusuhi, orde
baru politik Islam dizalimi, dan orde reformasi politik
Islam malah jalan sendiri-sendiri.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum
berhasil mencapai efektivitas politik (political
effectivity). Salah satu pangkal inefektivitas politik
ini menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan.
Kepemimpinan partai belum mampu memfungsikan partai
83
sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat
Islam.14
Menurut Allan Samson lebih lanjut, terdapat tiga
faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi,
dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik
Islam, yaitu: (a) adanya overestimasi banyak pimpinan
partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya, atau
aplikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos
kemayoritasan (the myth of the numerical majority); (b)
bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang
disengaja oleh kekuatan politik luar; dan (c) adanya
perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang
hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik (religious
belief and political action).15
14lihat M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun
Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), Cet. ke-1, h.10, dengan mengutip Allan A. Samson, “Religious belief and Political Action in Indonesia Politics” dalam R. William Liddle (ed) Political Participation in Modern Indonesia, monograph Series No. 19 (Yale University), h. 118; lihat juga Allan A. Samson, Islam and Politics in Indonesia (disertasi tidak dipublikasikan dari University of California Berkeley, 1972).
15Op.Cit. h. 11.
84
Selain problem di atas, politik Islam juga
diliputi oleh problem lain meliputi kurang
dikembangkannya kajian strategi tentang kondisi sosial-
politik dan kecenderungannya sebagai dasar untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan strategi sebagai isu-isu
politik.16
Di atas semua itu, problem mendasar politik Islam
adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam
skala antar partai-partai Islam maupun dalam skala intra
satu partai Islam. Partai-partai Islam rentan terhadap
konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa
internal.17
Analisa Allan Samson sepertinya banyak benarnya,
puncaknya pada pemilu 2004 ini, suara pemilih partai
Islam terpecah. Tak jauh beda dengan pemilu sebelumnya
(1999) yang juga kalah. Naif, memang, menggapa para
politikus partai Islam bercerai berai, tak dapat bersatu.
Umat sebagai pemilih (konstituen) perlu mendapat
pendidikan politik yang baik, politik yang memihak
kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
16Ibid. 17Ibid.
85
Khususnya pada level grass root, pendidikan politik
mereka sangat rendah, didukung faktor geografis, yang
sebagian mereka berada di pedesaan, lereng gunung, dan
pelosok-pelosok, menambah sulitnya informasi dan
komunikasi. Ini adalah problem tersendiri.
Adapun seorang politikus Muslim yang diragukan
integritas moralnya tetapi tetap mendapat dukungan luas
dalam suatu masyarakat mungkin pertanda dari dua
fenomena. Pertama, karena lemahnya informasi dalam
masyarakat tersebut hingga kelemahan karakter seorang
politikus tidak banyak dikenal masyarakat. Dia tetap aman
dalam kedudukannya selama cacat-celanya masih tersembunyi
dari intipan orang banyak. Dalam masyarakat yang tidak
diizinkan pers bebas atau dalam masyarakat feodal,
fenomena seperti ini bukanlah barang langka. Dia ada di
mana-mana, tapi tidak boleh diungkapkan secara terus
terang. Dalam kondisi semacam ini tidak diragukan lagi
pasti terjadi perbenturan dan ketegangan antara misi
dakwah dan budaya politik yang sedang bertahan. Dakwah
mengiginkan keterbukaan dan informasi yang benar,
sementara budaya politik, demi status quo kekuasaan,
membela prinsip ketertutupan agar dosa-dosa sejarah
86
penguasa tidak diketahui umum. Ketegangan seperti ini
dapat menimbulkan akibat yang fatal. Apa yang dialami
oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir pada 1950-an dan oleh
Masyumi di Indonesia pada 1960, barangkali merupakan
contoh yang masih hangat dari dua kecenderungan yang
saling berlawanan itu. Budaya politik dari Gamal Abd.
Nasser dan Soekarno berhadapan muka dengan budaya politik
egaliter dari Ikhwan Al-Muslimin dan Masyumi, telah
berakhir dengan ‘kekalahan’ di pihak yang terakhir.18
Kedua, memang masyarakat secara keseluruhan sedang
sakit. Seorang pemimpin atau suatu sistem politik yang
korup misalnya tetap saja merasa aman dalam kedudukannya,
sementara masyarakat bersikap acuh tak acuh. Tugas dakwah
dalam menghadapi suasana yang pengap semacam ini menjadi
lebih berat. Masyarakat yang mengindap sakit terus
seperti ini jelas memerlukan obat penawar (syifâ) yang
tidak sederhana. Gerakan dakwah perlu bekerja keras untuk
merumuskan suatu strategi dakwah berdasarkan data
sosiologis yang andal dan akurat. Ilmu-ilmu sosial amat
diperlukan dalam perumusan strategi ini. Dalam pada itu
18Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 113.
87
dakwah yang hanya menekankan aspek-aspek ritual dari
agama ataupun yang tenggelam dalam lamunan mesianisme
dengan merindukan turunya ratu adil sudah tentu tidak
akan menolong keadaan. Umat yang telah kehilangan elan
vital akibat tekanan politik yang begitu lama memerlukan
suatu cultural break-through untuk membangunkan kesadaran
dan harga diri mereka kembali. Kepada umat yang semacam
ini perlu dikelaskan bahwa Tuhan hanya mau turun tangan
menolongnya bila mereka mampu ‘memancing’ perhatian-Nya
dengan kerja serius, penuh semangat dan punya alamat yang
pasti. Tuhan memang tidak bersikap netral dalam sejarah;
Dia berpihak, berpihak kepada golongan manusia yang
bertaqwa dan berbuat baik, firman-Nya:
والد ین جاهدوا فینا لنهد ینهم سبلنا وان اهللا لمع المحسنین“Orang-orang yang berjuang dalam (menunaikan hak) Kami, niscaya Kami tunjukkan mereka ke jalan Kami. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-‘Ankabut: 69).
Maka menjadilah tugas dakwah selanjutnya untuk
mendidik umat agar mereka memulihkan harga diri mereka
yang telah tercemar selama ini. Umat Islam menghendaki
88
umat yang mampu mengubah dan mengarahkan kekuatan-
kekuatan sejarah menuju terbentuknya satu tata kehidupan
yang bermoral, egaliter, adil dan sejahtera.19
F. Globalisasi dan Dakwah Masa Depan
Globalisasi dengan segala kecanggihan teknologinya
memudahkan informasi diterima dengan cepat. Berbagai
informasi diserap tanpa adanya filter dan batasan. Di
sinilah dakwah mendapatkan tantangan yang menarik.
Bagaimana kemasan dakwah dapat bersaing dengan kemajuan
informasi tanpa kehilangan nilai etisnya?.
Dalam kaitan dakwah dan dunia Internasional,
Abdurrahman Wahid menyarankan pemetaan kerja untuk
melakukan langkah-langkah strategis. Pertama, adalah
kejelasan wawasan dakwah Islam itu sendiri: sudahkah
memadai kalau dicukupkan pada penyebaran agama Islam saja
secara formal seperti dilakukan sekarang, ataukah justeru
harus diletakkan dalam kerangka yang lain sama sekali?
Kalau dalam kerangka baru, maka sampai di manakah dapat
19Ibid., 114.
89
dirumuskan batasan-batasan transformatifnya sepanjang
yang menyangkut perubahan struktur masyarakat.20
Kedua, apakah strategi dasar yang harus ditempuh
oleh dakwah Islam dalam lingkup internasional, sebagai
kekuatan pembebaskah atau justeru sebagai pelestari
status quo? Apakah landasan keimanan dari kerja
pembebasan manusia secara utuh dan bulat itu? Apakah
penghalangnya?21
Ketiga, bagaimanakah pendapat mayoritas dalam hal
ini dapat dirumuskan bersama, dan dirasakan sebagai
sesuatu yang mengikat? Mungkinkah dari institusi-
institusi internasional Islam sekarang, yang merupakan
perpanjangan tangan dari sistem kapitalis internasional,
diharapkan kerja penanganan masalah-masalah internasional
itu secara penuh? Kalau tidak, lembaga apakah yang dapat
melakukannya? Sudahkah diberi perhatian serius kepada
20Abdurrahman Wahid, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Seminar
Nasional dan Diskusi Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), Editor Amrullah Ahmad, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), Cet. ke-1, h. 129.
21Ibid.
90
tradisi “berwarna lokal” untuk memecahkan masalah-masalah
internasional itu?22
Langkah-langkah strategis dan Pertanyaan-
pertanyaan Gus Dur, sangat analitis dan tajam, merupakan
PR yang krusial, dan mendesak untuk dilaksanakan.
Walaupun sudah lebih dari 20 tahun gagasan tersebut
ditelurkan, tapi tidak ada salahnya jika dikaji kembali.
Tapi sekali lagi bahwa tulisan ini bukanlah untuk membuat
ataupun menjawab pertanyaan tersebut, tapi cenderung
kearah strategis-etis dakwah masa depan dalam konteks
global.
22Ibid.
92
BAB IV
RUMUSAN ETIKA DAKWAH DALAM
KONTEKS DAKWAH YANG PROFESIONAL
A. Etika Dakwah dalam Keteladanan
Krisis keteladanan, mengusik penulis untuk
mengangkat wacana ket
Win32.anf
eladanan dalam etika dakwah. Khususnya kawula
muda muslim, vigur keteladanan bagi mereka terasa
samar, di tengah pencarian jati diri. Orang tua yang
tidak bisa memberikan keteladanan, menambah semakin
peliknya permasalahan ini. Sosok teladan ideal sulit
sekali didapatkan, sementara nilai-nilai agama juga
jauh dari mereka, karena corak pendidikan yang kurang
menekankan aspek agama yang kurang proporsional. Agama
hanya dijadikan kebutuhan sekunder dalam batin mereka.
Krisis keteladanan, telah menyulut krisis moral, dan
krisis multidimensional lainnya.
93
Sesungguhnya Islam menetapkan Rasulullah sebagai
sebaik-baik teladan bukan sekedar untuk dibanggakan,
bukan pula untuk direnungkan saja. Tetapi Islam
menampilkan keteladanan itu di hadapan umat manusia
agar bisa diikuti dan diterapkan pada diri mereka,
sesuai kemampuan masing-masing. Islam melihat bahwa
keteladanan merupakan sarana dakwah dan tarbiyah yang
paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem
tarbiyah yang kontinyu atas dasar prinsip keteladanan
tersebut.1 Penegasan Nabi Muhammad sebagai teladan
termaktub dalam Al-Qur’an:
كم ف ي رس ول اهللا أس وة ح سنة لم ن ك ان یرج و اهللا لقد كان ل
.والیوم األخر ودكر اهللا كثیرا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut (mengingat) Allah”. (QS. Al-Ahzâb: 21).
1Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Studi Atas Berbagai
Prinsip dan Kaidah yang Harus dijadikan Acuan Dalam Dakwah Islamiyah, terj. Abdul Salam Maskur, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2, h. 206.
94
Dalam situasi seperti ini, maka peranan da’i
diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan,
bukan menambah bumerang karena perangainya yang tidak
pula bisa diteladani. Keteladanan seorang da’i sebagai
wujud tanggungjawab, komitmen dan kersadarannya akan
pewaris nabi, adalah hal yang mutlak dipegang oleh
setiap da’i. Keteladanan dapat tercermin dalam lingkup
yang paling individu, keluarga, baru merambah pada
lingkungan dan masyarakat luas. Tahapan ini penting
mengingat masyarakat kita yang semakin kritis menyoal
segala permasalahan sosial.
Tanggung jawab individu, seperti yang terekam
dalam Firman-Nya:
یایه ا ال ذ ی ن ءامن وا عل یكم انف سكم ال ی ضركم م ن ض ل ادا
…اهتدیكم“Wahai orang-orang yang beriman, kalian bertanggung jawab atas diri kalian sendiri. Tidak akan bisa mencelakakan kalian orang-orang yang sesat jika kalian diberi petunjuk... ”, (QS. Al-Mâidah: 105)
95
Tanggung jawab individu di sini, bukan berarti
mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga atau orang
lain. Tanggung jawab bersifat pribadi kepada Allah atas
segala perbuatan yang dilakukannya di dunia ini.
Sedangkan perbuatan tersebut boleh jadi terpaut dengan
amal shalih kepada sesama manusia.
Seorang anak harus memperoleh teladan yang baik
sejak dini dalam keluarganya, terutama dari kedua orang
tuanya, agar dasar-dasar Islam meresap sejak masa
kanak-kanak, sehingga mewarnai pertumbuhan pribadinya
menjadi pribadi yang mulia. Di samping itu manusia juga
perlu memperoleh keteladanan dalam masyarakatnya, agar
terwarnai hidupnya dengan kebiasaan yang bersih.
Dengannya mereka akan mampu memikul amanah Allah.
Sementara masyarakat sendiri harus memperoleh teladan
yang baik dari para pemimpin dan para tokoh mereka agar
terealisir prinsip-prinsip itu dalam diri mereka.2
Para pemimpin, konkritnya para pemegang
kekuasaan sebagai publik figur, tentunya mempunyai
tanggungjawab yang besar dalam proses pembelajaran
2Jum’ah Amin Abdul Aziz, Op. Cip., h. 207.
96
keteladanan. Sikap dan sifat boros, sombong, korupsi,
kolusi, nepotisme, memutar balikkan hukum, tindakan
arogansi kekuasaan, dan cercaan lain yang sering
ditujukan kepada pihak pemegang kekuasaan hendaklah
dihindari sejauh-jauhnya. Sebaliknya, sikap teguh dalam
iman, sederhana, hemat, bersahaja, memihak “wong
cilik”, menegakkan keadilan, adalah sikap yang harus
melekat pada para pemegang amanah kekuasaan. Kalau
sikap keteladanan dipelopori dan dimulai dari para
pemimpin bangsa, dalam segala sektor, maka tentu akan
berdampak positif bagi segenap masyarakat.
Alangkah indahnya jikalau umat mampu meneladani
sikap rasul dalam teladan. Bagaimana tidak, Beliu
diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak
manusia. Tergambar jelas sikap teladan Nabi dalam
sebuah dialog tatkala Aisyah ditanya sahabat tentang
akhlak Nabi, jawabnya:3
.فان خلق نبي اهللا صلى اهللا علیه و سلم كان القران
3Lihat Said Bin Ali Al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwah Bijak,
terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet. ke-1, h. 68.
97
“Sesungguhnya Akhlak Nabi SAW. Adalah Al-Qur’an”, (HR. Muslim)
Sebagai teladan, seorang da’i hendaknya terus menerus beristiqamah, membenarkan pandangannya, dan meluruskan pikirannya hingga tahu agama dengan benar, kokoh dan memahaminya dengan pemahaman yang mendalam.4
B. Etika Dakwah dalam Keikhlasan
Ikhlas adalah jika seseorang melakukan
perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Menurut
ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sah
ibadah, sedangkan ahli fikih tidak berpendapat
demikian. Jika amal merupakan badan jasmani, maka
ikhlas adalah roh (jiwa)-nya. Menurut Ibnu Qayyim al-
Jauziah, seseorang yang ikhlas dalam melakukan
perbuatan, tujuan, cita-cita dan amalanya semata-mata
hanya karena Allah SWT., maka ia akan senantiasa
menyertainya.5
4Lihat Musthafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qaradhawi,
Harmoni Antara Kelembutan dan Ketegasan, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. ke-1, h. 24.
5Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. ke-2, h. 191.
98
Kalau suatu amal ibadah dilakukan dengan motif
tunggal dan alasan ini ialah untuk mendapat tidak lain
daripada kedekatan (taqarrub) kepada Allah, maka
keadaan jiwa ini disebut ikhlas. Tingkatnya yang
tertinggi tercapai jika satu-satunya motif di belakang
amal tersebut adalah untuk menyenangkan Allah. Inilah
ikhlas yang paling tulus. Jika motif tunggal itu adalah
untuk menikmati kesenangan di surga atau menghindari
hukuman di neraka, maka ikhlas akan lebih rendah
tingkatnya. Berbuat amal ibadah semata-mata untuk motif
duniawi atau melakukannya terutama guna mencapai
kedekatan kepada Allah dan mencampurnya dengan motif
kepentingan sendiri yang duniawi, maka berarti dalam
kasus ini tidak terdapat keikhlasan. Jadi seseorang
yang memberi sedekah kepada seorang pengemis dengan
maksud tunggal untuk menyenangkan Allah adalah orang
yang ikhlas (mukhlis). Kalau ia memberinya hanya agar
ia tidak diganggu, atau untuk mengusir pengemis itu
sekaligus menyenangkan Allah, ia tidak mesti dipandang
sebagai seorang yang ikhlas. Suatu motif duniawi,
seperti telah dikatakan, mungkin dicampur dengan alasan
99
mendekatkan diri kepada Allah sebagai sekutu, mitra
atau pembantu motif tadi, dan secara ikhlas motif
mencapai kedekatan kepadan-Nya haruslah bebas
sepenuhnya dari alasan memuaskan perasaan jasmani dalam
suatu bentuk dari yang tiga tersebut. Mencampur motif
itu ada kalanya nyata dan kadang-kadang tersembunyi,
sering demikian sukar untuk diketahui sehingga si
penganut merasa bahwa ia melakukan suatu amal hanya
untuk menyenangkan Allah, tapi nyatanya ia berbuat itu
karena alasan yang lain.6
Di sinilah peranan niat, sangat menentukan
kualitas keikhlasan. Tujuan suatu perbuatan jika
niatnya tunggal, hanya untuk menyenangkan Allah, maka
ia dianggap sebagai tingkatan ikhlas tertinggi. Boleh
jadi seorang da’i sudah memasang niat tugas dakwahnya
tak lain mengharap ridho Allah semata. Namun dalam
perjalanannya tak semulus yang dibayangkan, ada
gangguan-gangguan, hingga niat awal yang terpatri
6M. Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1988), Cet. ke-1, h. 196-197.
100
tercampur dengan niat lain, seperti riya’, sombong,
pamrih, dll.
Keikhlasan atau kemurnian batin adalah nilai
yang amat rahasia dalam diri seseorang. Sebagai ruh
amal perbuatannya, ia tidak nampak begitu saja oleh
orang luar, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan
sendiri, tapi terutama oleh Tuhan Yang Maha tahu (al-
‘Alîm). Pada tingkat pribadi seseoraang, keikhlasan
terasa sebagai tindakan yang tulus terhadap diri
sendiri (true to one’s self) dalam komunikasinya dengan
Sang Maha Pencipta (al-Khâliq) dan usaha mendekaatkan
diri kepada-Nya. Maka keikhlasan dalam beragama adalah
juga bermakna ketulusan kepada keutuhan (integritas)
diri yang paling mendalam, yang kemudian
mengejawantahkan dalam akhlak mulia, berupa perbuatan
baik kepada sesama. Itulah prinsip utama agama yang
benar, dan itulah inti perintaah Allah kepada hamba-
Nya.7
7Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah
telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. ke-4, h. 50.
101
Tugas dakwah adalah sangat mulia, maka seorang
da’i harus memiliki dan menjaga komitmen yang kuat pada
niat tulus dalam dakwah, komitmen yang harus senantiasa
ditingkatkan. Upah atau gaji sebagai hasil dari kerja
profesional, adalah konsekwensi dari kerja profesi
tersebut, di sini nilai ikhlas akan mendapat cobaan.
Pada tingkatan ikhlas yang tertinggi dengan pengharapan
ridha Allah semata, maka upah atau gaji bukanlah
sebagai tujuan, maka besar kecil upah bukanlah
persoalan. Bahkan tanpa upahpun nilai keikhlasannya tak
akan luntur. Bila persoalan upah atau gaji diserahkan
pada manajer, hendaklah ia sekata dengan da’inya, tidak
mengambil keuntungan dan kesempatan sepihak,
kepentingan dan pendidikan umat harus dinomorsatukan.
Pada tingkatan ikhlas yang lebih rendah (ikhlah no. 2)
selain mengharap ridha Allah dalam dakwah, ia juga
mengharapkan upah yang layak dari kerja profesinya,
maka di sinilah nilai keikhlasan dapat luntur atau
pudar tatkala upah yang diharap tidak sesuai dengan
kehendak. Pada tingkatan ikhlas terendah (ikhlas no.3),
pengharapan ridha Allah semakin kabur, karena ia
102
tercampur dengan riya’ dan pengharapan upah yang
berlebihan, tak jarang ia membatalkan tugas dakwah
lantaran nego upah yang tidak sesuai dengan permintaan.
Walaupun sudah kerja secara profesional, tak
jarang dijumpai da’i mengembalikan upah yang ia
terima. Ia yakin benar bahwa rezeki telah ada yang
mengatur. Maka jika ia melihat ada pihak yang
membutuhkan, tak segan-segan ia memberikan upah yang ia
terima guna kemaslahatan. Ia tidak pernah merasa
kehilangan, karena penuh keyakinan akan ke-Maha kuasaan
Allah meliputi segenap Alam. Mementingkan orang lain
(al-itsar) merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan
ini, orang menahan diri dari yang diingininya, demi
memberikannya kepada orang lain yang menurut hematnya
lebih berhak.8
Abu Muhammad al-Mishri mengemukakan bahwa para
ulama berselisih paham dalam masalah mengambil upah
mengajar Al-Qur’an, ilmu agama, memutuskan suatu
perkara, menulis buku-buku agama, memberikan fatwa,
8Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi
Hidayat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. ke-1, h. 48.
103
menulis serta memperjualbelikan Al-Qur’an, dan tentu
saja menulis dan memperjualbelikan buku-buku agama. Ia
berpendapat bahwa boleh mengambil upah dalam masalah
tersebut, kecuali dalam memberikan fatwa. Dalam
kebolehannya, Abu Muhammad mensyaratkan kewajiban
berniat ikhlas karena Allah SWT. dalam mengambil upah,
serta mengharapkan pahala agar dekat dengan Allah SWT
semata.9
Ikhlas harus dimiliki dan dijadikan cita-cita
oleh para da’i untuk berjuang mencurahkan segala daya
dan kemampuannya, menyebarkan risalah tanpa pamrih,
semata-mata mengharap keridhaan Allah semata. Adapun
tanda ikhlas dalam dakwah ini adalah dia harus tanggap
dan menjiwai dakwahnya. Harta, tenaga, waktu dan
pikirannya beserta seluruh sarananya ia korbankan untuk
berdakwah. Itulah arti ikhlas dalam dakwah.10
9Lihat Abu Muhammad al-Mishri Isham bin Mar’i, Bolehkah Ustadz Menerima Amplop, terj. Abdul Qadir Jilani dan Abu Salman, (Jakarta: Pustaka Inner, 2004), Cet. ke-1, h. 97-99.
10Muhammad Sayyid al-Wakil, Prinsip dan Kode etik Dakwah, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Cet. ke-1, h. 129.
104
C. Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama
Dakwah tidak bisa meniscayakan adanya agama yang
beraneka ragam. Karena ada keaneka ragaman agama itu,
maka ada misi dakwah. Agama yang membawa misi
kebahagian, memungkinkan menjadi sarang konflik,
tatkala tafsiran eksklusif muncul dari masing-masing
agama. Mengemuka perang yang mengatasnamakan agama.
Sungguh naif. Fenomena ini ada di depan mata kita,
peristiwa Ambon, Poso, hingga serangan Amerika ke
Afganistan, semuanya sarat dengan motif agama. Ini
menandakan bahwa belum sepenuhnya makna pluralisme
dipahami. Pluralisme agama terhenti pada sebuah wacana
dan dialog, tidak menyentuh esensinya.11
Menurut Ahmad Gaus AF, kerusuhan sosial yang
sampai menjarah rumah-rumah ibadah, dan karena itu
sering disebut ‘kerusuhan antaragama’, sebenarnya tidak
11Tulisan serupa dapat di lihat dalam “Kemerdekaan Agama Dalam
Wilayah Dakwah” oleh Edi Amin dalam buku Rahmat Semesta, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. ke-1, h. 33-41.
105
ada kaitannya ---dan kalaupun ada tidak bersifat
langsung—dengan masalah kerukunan agama.12
Kenapa ‘konflik agama’ bukan masalah kebebasan
beragama? Menurut Gaus karena asumsi kebebasan beragama
adalah lebih pada pola-pola hubungan yang terbentuk di
tingkat vertikal, yakni antara aturan-aturan yang
ditetapkan negara dengan para pemeluk agama. Dengan
demikian, kebebasan beragama sebenarnya sama dengan
kebebasan pers, kebebasan akademik, kebenasan
menyatakan pendapat, atau kebebasan berserikat, sekadar
menyebut beberapa contoh. Karena itu, tidak heran bahwa
para pejuang prodemokrasi untuk suatu kebebasan
beragama, misalnya, berada dalam mainstream yang sama
dengan gerakan untuk memperjuangkan kebebasan pers,
kebebasan berserikat dan lain-lain.13
Menelaah pendapat Gaus, kebebasan (kemerdekaan)
adalah meliputi berbagai aspek kehidupan. Selanjutnya
adalah, apakah kita terjajah secara individu, sosial,
atau agama? Atau sebaliknya kita menjajah orang lain?
12Ahmad Gaus AF, “Isu Kebebasan Beragama”, KOMPAS, Selasa, 14 Juli 1998.
13Ibid.
106
Biasanya tidak sadar, kita berada dalam buih, atau
bahkan menginjak hak orang lain. Naudzubillah.
Kembali pada kemerdekaan beragama dalam lingkup
dakwah jika dilihat dengan jitu, merupakan ajang
antaragama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (dimensi
positif untuk menarik pengikut). Tak selalu harus
berkoar ini yang benar, karena penarik simpatik
terkadang hanya melalui hal-hal yang kecil, sepele.
Dengan bahasa lain terkadang dakwah bil hal lebih
efektif dari dakwah mimbar. Atau Meminjam bahasa bapak
Prof. Dr. M. Yunan, bahwa dakwah dengan tindakan nyata
(bil hâl) lebih berpengaruh dari kegiatan dakwah yang
lainnya. Lisân al-hâl, afshahu min lisân al-maqâl.14
Setiap agama dituntut untuk bersikap sedewasa
mungkin dalam menghadapi segala problem yang berkaitan
dengan interaksi antar agama. Pluralisme positif yang
hendaknya dipupuk dan dikembangkan. Pluralisme positif
memiliki kaedah bahwa, selain agama sendiri ada agama
14Lihat M. Yunan Yusuf, “Dakwah bil Hal”, Dakwah, Jurnal
Kajian dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2, November, 2001, h. 32.
107
lain yang harus dihormati. Kebenaran agama pun tidak
ditafsirkan dengan rigid. Pluralitas eksistensi agama,
yang kita sebut kemudian eksoterisme agama, karenannya
tidakklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan
yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan
keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang
bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan
selalu ditemukan setiap agama (samawi-Pen), walaupun
masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan
bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus
inilah maka kesulitan, kesalah pahaman dan perselisihan
antar pemeluk agama sering kali muncul ke permukaan.
Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan
ragam bahasa, sementara kita cenderung melihat
perbedaannya ketimbang persamaannya. Kecenderungan
melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena
setiap orang beriman senantiasa ingin mencari,
mengenggan dan membela kebenaran yang diyakininya
berdasarkan pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya.
Dan sikap demikian tentu saja sikap yang terpuji,
108
selama tidak menimbulkan situasi sosial yang
destruktif.15
Rasulullah SAW juga mengembangkan dan
memberlakukan pluralisme positif. Ketika beliau berada
di madinah, dengan masyarakatnya yang beraneka ragam
suku dan agama, ia mencanangkan Piagam Madinah (Mitsaq
al-Madinah).16 Dengan perjanjian yang merupakan
manifesto politik penting ini, maka Rasul telah
berhasil menyatukan penduduk Madinah yang berbeda agama
dan turunan darah untuk menghadapi musuh. Dokumen
politik ini, mempunyai arti yang maha penting dalam
perjalanan sejarah dakwah Islamiyah.17
Nabi tidak pernah merekayasa agar mereka
(suku/agama yang berbeda) lenyap atau meeninggalkan
kota Madinah. Sebaliknya, mereka bersama orang
Muhajirin dari Makkah dan orang-orang Anshar
15Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, Perspektif Filsafat Parenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. ke-1, h. 70.
16Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), Cet. III, h. 13.
17Lihat A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet. III, h. 292.
109
diperlakukan sebagai satu umat. Mereka juga wajib
bersama mempertahankan Madinah terhadap musuh, wajib
menjaga ketertiban. Kalau orang mau masuk Islam…ya
syukur, tidak juga tidak jadi soal. Tidak ada usaha
Islam untuk memakai cara-cara politik agar ada hegemoni
di Madinah, padahal Islam semakin kuat.18
Sejarah membuktikan bahwa di tempat di mana Islam
mayoritas, golongan minoritars terlindunggi. Ada hah-
hak asasi yang dijamin oleh Islam yang harus
diberlakukan secara adil pada semua golongan.
Pemerintahan dalam Islam harus menetapkan undang-
undang tentang kebebasan berpikir dan beragama. Harus
diatur bahwa segala ajaran Islam adalah terbagi dua
golongan : a) bersifat pokok (ushul) yang tidak boleh
ditawar, yaitu percaya kepada Tuhan, para utusan-Nya,
18Piagam Madinah dan Terjemahannya dapat dilihat pada Ahmad
Sukadja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandigan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1, h. 47-57.
110
dan kepada hari akhirat. b) Bersifat cabang (furu’),
yaitu segala soal diluar 3 yang pokok.19
Demikian sukses Nabi membangun membangun
Masyarakat Madinah yang terbuka, adil, egaliter, dan
demokratis. Suatu tatanan masyarakat yang oleh pakar
sosiologi dan futorolog Robert N. Bellah dinilai
sebagai luar biasa modern. Ia modern dalam tingkat
komitmen, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi dari
seluruh lapisan masyarakat, ucap N. Bellah. Bahkan
terlalu modern, sehingga setelah Nabi sendiri wafat
tidak bertahan lama. Timur tengan dan manusia saat itu
belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan
untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti
dirintis Nabi.20
Sebuah paradigma bisa dianggap menawarkan
semanggat pembebasan jika ia mampu meratakan jalan dan
membuka kemungkinan bagi transformasi sosial dalam
19Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi negara Bermoral Menurut Imam Al-Gazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, h. 199.
20Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan & Peradaban Ulumul Quran, Vol. VII, No. 2, 1996, h. 52, dikutip dari R.N. Bellah, Ed., dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976, h. 150-151.
111
lingkungan kehidupan di sekitar kita. Paling tidak
perubahan pada tingkat kesadaran kita, mesti lebih dulu
bisa diwujudkan.21
Agama, pendeknya, boleh menawarkan jalan
kebenaran, tapi kita tidak boleh merasa paling benar.
Agama boleh menawarkan kemenagan, tapi tidak boleh
cenderung ingin menang sendiri. Allah, yang memiliki
agama itu, boleh bersikap serba mutlak, tapi bukanlah
kita sendiri cuma makhluk serba daif, dan tidak
mutlak?22
Dalam Islam, ada hak-hak yang dijamin. Bahkan
diantaranya hak untuk tidak beriman.23 Dalam Surah
Yunus (10): 99 dinyatakan dengan jelas:
ولوشاء ربك المن من فى االرض كلهم جمیعا افانت تك ره
.الناس حتى یكونوا مؤمنین
21Mohammad Sobary, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman Mencari Solusi, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet. ke-1, h. 35.
22Ibid. 23Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:
Mizan, 1997), Cet. I, h. 164.
112
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yûnus: 99). Nilai toleransi beragama, sikap tidak memaksa
dalam beragama ditegaskan dalam satu kaidah atau
prinsip tidak ada paksaan dalam agama:
ال اكراه فى الدین قد تبین الرشد من الغي“tiadalah ada paksaan dalam agama, nyatalah sudah jalan yang benar dari jalan yang salah (seasat)...” (QS. Al-Baqarah: 256). Maka setelah menegaskan kemerdekaan memeluk agama
ini, Islam berkata bahwa adalah kewajiban tiap-tiap
orang yang beriman supaya mempertahankan kemerdekaan
menyembah Tuhan. Toleransi yang diajarkan Al-Quran
terhadap golongan agama bukanlah semata-mata toleransi
yang negatif. Akan tetapi toleransi yang mewajibkan
tiap-tiap pemeluknya untuk berjuang dan menjunjung
kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja akan
tetapi juga bagi agama-agama ahli kitab. Yakni
113
melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam Gereja,
Biara, Sinagog dan Masjid di mana disebut nama Allah.24
Demikian ketentuan tegas yang diberikan oleh Islam
sebagai pegangan bagi pengikut-pengikutnya:
ولوالدف ع اهللا الن اس بع ضهم ب بعض له دمت ص وامع وبی ع
وصلوت ومساجد یدكرفیهااسم اهللا
“.... jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja-gereja pendeta dan gereja-gereja Nasrani dan gereja-gereja Yahudi dan masjid-masjid, di dalamnya banyak disebut nama Allah.... (QS. al-Haj: 40) Kita tahu, lanjut Natsir bahwa kecintaan kepada
agama masing-masing itu bisa menimbulkan ta’asub agama
atau fanatisme yang berlebih-lebihan. Oleh karena
itulah Islam di dalam ajarannya tentang ini amat tegas
dan terang untuk menghindarkan yang demikian itu.25
24Lihat Muhammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Jakarta:
Media Dakwah, 2000), cet. I, h.97. 25Ibid, h.98.
114
Kewajiban Rasul ialah menjelaskan ayat-ayat
Tuhan, tanda-tanda kebesaran Tuhan di seluruh alam.
Kebenaran ada di tiap sudut peri-kehidupan, asal
manusia sudi mencarinya. Mata manusia dibukakan dan
telingga dinyaringkan untuk menangkap bekas kuasa Ilahi
pada seluruh yang ada ini. Dijelaskan kepada manusia,
bahwasannya kebahagiaan hidup yang sejati, kekayaan
yang tidak pernah menurun dan perniagaan yang sekali-
kali tidak pernah menderita kerugian, hanya satu saja,
yaitu aqidah yang baik, keyakinan hidup.Apalah artinya
hidup yang tanpa keyakinan. Diinggatkan kepada manusia
bahwa semuannya ingin keadilan, semua menolak
kelaliman. Ingin kebenaran dan menolak kesalahan.
Kekuatan iman memperluas musik dalam jiwa, sehingga
telingga dapat memperbedakan mana suara musik yang
sumbang dan mana irama yang heboh dan mana nada yang
janggal. Oleh sebab itu maka kebenaran, keadilan,
keindahan, pada hakekatnya adalah ‘satu hakekat’,
memakai ragam nama.26
26Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1992), Cet. ke-4, h. 241.
115
Mereka tidak dipaksa buat menerima (dakwah-pen),
tetapi mereka diajak buat mendengar. Di hadapan seruan
ini diharapkan semua memasang telingga. Baik dia raja
kuasa, atau dia miskin papa. Sebab sama keadaan datang
mereka ke dunia, sama tidak punya apa-apa, dan sama
keadaan perginya dari dunia, sama-sama tidak membawa
apa-apa.27 Allah berfirman sehubungan pelarangan
memaksa dalam hidup beragama:
لقرا ن من یخا ف وعید وما انت علیهم بجبار فدكر با
“.... dan bukanlah engkau seorang pemaksa yang berkuasa atas mereka; maka ingatkanlah dengan Al-Quran barangsiapa yang takut dengan ancamanku” (QS. Qaf: 45)
Jelaslah kiranya bahwa sikap memaksa akan
menjauhkan simpatik orang lain. Alangkah inginnya
Muhammad SAW supaya pamannya sendiri menerima risalah
yang dibawanya. Akan tetapi keinginannya tak kunjung
terlaksana. Nyata pulalah firman Allah:
27Ibid.
116
انك ال تهدي من احببت ولكن اهللا یهدي من یشاء وهو اعل م
بالمهتدین
“Sesungguhnya engkau tidak (mampu) memberi hidayah kepada orang yang engkau sukai; akan tetapi allah (yang) memberi hidayah kepada siapa yang ia kehendaki dan dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah itu”. (QS. Al-Qasas: 56).28 Dakwah Nabi adalah dakwah yang simpatik, bermula
dari hal-hal yang sederhana. Di dalamnya adalah juga
kesederhanaan hidup.
Penulis terkesan cerita yang dikutip Buya Hamka
tentang pribadi Nabi yang sederhana. Pada suatu hari,
tatkala Rasullullah sampai di puncak kejayaannya,
masuklah umar bin Khattab ke dalam rumah beliau
berlepas lelah. Tak ada perhiasan di dinding, tak ada
kemegahan sebagai kepala perang yang tak terkalahkan.
Kalau akan dikatakan ada juga, hanya sebuah guriba
28M. Natsir, op. cit., h. 127.
117
tempat air dari kulit kambing, tergantung di dinding,
yaitu persediaan untuk air wudhu tatkala bangun shalat
tahajjud di malam hari. Maka menanggislah Umar.
‘Mengapa engkau menangis, wahai umar’? ‘Seluruh Masyrik
dan Maghrib telah tunduk di bawah kekuasaanmu, ya
pesuruh Tuhan. Dan anak kunci seluruh jazirah Arab
telah terpegang di tangan tuan, tetapi tuan masih
begini-begini saja.’ Dengan terharu Rasulullah
menjawab: ‘ingatlah umar! Soal ini bukanlah soal
kekaisaran seperti di Roma atau Kisra di Persia. Aku
adalah Nabi, hai Umar. Aku bukan Raja!’29
D. Etika Dakwah dalam Bertauhid
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan sejak dini
bahwa manusia menghadapi pilihan moral yang
fundamental. Mereka tidak bisa melayang-layang separuh
jalan. Pada satu sisi, mereka bisa memilih untuk
berdiri dengan takzim di hadapan Pencipta mereka dan
29Hamka, Op.Cit., h. 243
118
menerima tuntutan moral-Nya. Dalam hal ini Tuhan,
dengan kasih sayang-Nya, akan membimbing mereka yang
beriman, membuat mereka saleh dan suci. Atau manusia
bisa, sebaliknya memalingkan diri dari Pencipta mereka,
dan menjadi tenggelam dalam keinginan-keinginan pribadi
saat itu, dan menyembah berbagai dewa kecil untuk
keberhasilan. Dalam hal ini Tuhan juga akan berpaling
dari mereka, dan mereka akan menjadi orang-orang jahat
dan rendah. Karena seorang manusia tidak dapat memilih
untuk menjadi suci semaunya (suatu fakta yang terlalu
mudah untuk dialami); ia tidak mengendalikan caranya
sendiri, tetapi dapat mencapai kesucian moral melalui
kekuasaan Tuhan.30
Sikap tauhid akan menghasilkan pribadi yang
hanya kenal tunduk kepada Allah. Rasa ketergantungan
kepada Zat Yang Tunggal ini menyebabkan seseorang
berani menghadapi tantangan hidup ini dengan penuh
gairah. Bahkan setiap tantangan akan dirasakannya
sebagai kesempatan untuk membuktikan pengabdiannya yang
30Marshall G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. ke-2, Jild. 1, h.
119
ikhlas kepada yang telah menciptakan tantangan-
tantangan ini. Sadar akan kenyataan bahwa Allah SWT.
Akan senantiasa berlaku adil dalam memutuskan siapa-
siapa yang akan menang dalam pertandingan hidup ini,
maka ia akan tawakkal sesudah mempersiapkan diri secara
lengkap dan penuh perhitungan rasional. Harapan akan
menang yang fifty-fifty itu membuatnya memiliki
semangat tanding yang sangat tinggi, karena dibalik
setiap kemenangan (achievement) yang besar itu terdapat
suatu kebahagiaan yang intens pula.31
Mengesakan Allah (tauhid) dan menolak
penyekutuan (syirik) terhadap-Nya merupakan doktrin
terpenting yang mendominasi pemahaman-pemahaman dan
ajaran-ajaran samawi. Hal itu juga merupakan asas
segala macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh
para Nabi dan Rasul, sebagaimana tercantum dalam kitab-
kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Selain itu,
tauhid dan syirik termasuk di antara masalah-masalah
31M. Imaduddin Abdulrahim, “Sikap Tauhid Dan Motivasi Kerja”,
Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 6, 1990, h. 43
120
yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Tak
seorangpun berbeda pendapat dalam pokok-pokok (ushul)-
nya. Mereka semua, tak terkecuali, mengesakan
(mentauhidkan) Allah SWT dari segi Zat-Nya, perbuatan-
Nya serta ibadah kepada-Nya.32
Kaum muslimin yang digambarkan pada spasi di
atas adalah mereka yang ke-Islamanya sudah baik
(mapan), dalam artian telah mengesakan Allah dari segi
Zat-Nya, Perbuatan-Nya serta ibadah kepada-Nya. Namun,
kaum muslimin yang kurang paham, atau yang pura-pura
kurang paham, adalah jumlahnya juga tidak sedikit. Oleh
sebab itu, dunia perdukunan dan sejenisnya juga tidak
pernah sepi. Meminta sesuatu dengan perantara sang
dukun, permintaan yang bersifat instant, bahkan tak
jarang cenderung negatif. Allah sebagai tujuan telah di
nomor sekiankan. Allah sebagai yang Maha pemberi seakan
menjadi makhluk yang kikir karena tak mampu memberikan
solusi bagi nafsunya yang buruk.
32Ja’far Subhani, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan
Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-7, h. 13.
121
Fenomena ini harus dapat ditangkap oleh da’i,
agar dakwah yang disajikan mampu mengikis kebiasaan
sebagian masyarakat yang berpaham tahayul, khurafat,
dan menyekutukan Allah.
Langkah-langkah yang dapat diambil da’i adalah,
pertama menjelaskan dan meyakinkan pada umat bahwa
tauhid atau mengesakan Allah adalah pondasi terpenting
dalam ajaran Islam, bahkan tak terkecuali agama-agama
samawi lainnya. Itulah makna yang hakiki dari pengakuan
dua kalimah syahadah, tiada Tuhan selain Allah. Tiada
tempat bergantung selain hanya kepada-Nya, tiada amal
perbuatan kecuali berpengharapan ridho-Nya semata.
Tiada sesuatu kecuali ada yang membuatnya. Tiada
makhluk kecuali ada penciptanya, Allah adalah Tujuan
akhir kehidupan manusia. Kita lihat Nabi Nuh AS dan
para rasul yang datang setelahnya memulai dakwahnya
kepada ajaran tauhid (pengesaan Allah). Al-Qur’an
menceritakan kisah-kisah mereka dalam berdakwah
sebagaimana Al-Qur’an juga memberikan gambaran yang
jelas kepada kita tentang fakta ini, seakan-akan kita
hidup bersama mereka. Kita saksikan apa yang terjadi
122
waktu itu, seperti cerita tentang Nuh AS, Allah
berfirman:33
ا ن ال . ولق د ا رس لنا نوح ا ا ل ى قوم ه ا ن ي لك م ن د ی ر مب ین
تعبدوا اال اهللا
“Dan sesungguhnya telah Kami utus Nuh kepada kaumnya. (Ia berkata): “Sesungguhnya aku memberi peringatan yang nyata kepadamu. Yakni, janganlah kalian menyembah (beribadah) kecuali hanya kepada Allah... ”, (QS. Hud: 25-26)
Kedua, memaparkan bahayanya menyekutukan Allah,
sebagai lawan dari mengesakan-Nya. Logika sederhana
misalnya, jika Allah bukanlah tujuan utama, tentu ada
tujuan utama lainnya. Tujuan utama lainnya inilah dalam
arti, menduakan Allah dengan makhluk lain. Menyamakan-
Nya dengan yang lain saja sudah tidak mungkin, apalagi
jika sudah menduakannya. Seorang kekasih bila diduakan,
pasti akan cemburu dan terjadi pertengkaran yang
berujung pada perpisahan. Apalagi Allah sebagai sang
33Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Op. Cit., h. 80.
123
pencipta, menduakannya tentu akan mengundang murka-Nya.
Firma-Nya:
ان اهللا ال یغفر ان یشرك به ویغفر ما دون دلك لمن یشاء
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakinya....”. (QS. An-Nisa’: 116) Langkah ketiga adalah, mengetahui bahwa tauhid
tidak hanya terhenti pada pengesaan Allah dan beribadah
kepadanya semata. Tauhid menempatkan manusia pada suatu
etika berbuat atau bertindak, yaitu etika di mana
keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dengan
tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi
aliran ruang dan waktu, dalam dirinya dan lingkungan
sekitarnya.34 Tauhid yang mulanya bersifat individu,
berubah menjadi tauhid sosial.
Kualitas-kualitas pribadi selalu melandasi
kualitas-kualitas masyarakat, semata-mata karena
34Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 35.
124
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi. Oleh karena
itu dapat diharap bahwa kualitas-kualitas pribadi yang
tertanam melalui tauhid itu akan terwujud pula dalam
kualitas-kualitas masyarakat yang keanggotaannya
terdiri dari pribadi-pribadi serupa itu. Maka efek
pembebasan semangat tauhid pada tingkat kemasyarakatan
dapat dilihat sebagai kelanjutan efek pembebasan pada
tingkat pribadi.35
Jika sikap dasar (tauhid) manusia ini dapat
dipupuk terus, maka produktifitas umat akan meningkat.
Baik semangat beribadah kepada Allah dan bekerja meraih
kesejahteraan di dunia, serta kepekaan berempati
terhadap orang lain.
E. Etika Dakwah dalam Politik
35Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah
telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Op.Cit., h. 85.
125
Realitas politik Islam cenderung terpuruk di
negeri ini, bahkan dalam realitas dunia. Kekalahan
Islam politik disebabkan banyak faktor, yang paling
fondamental adalah rapuhnya etika politik. Di sinilah
etika dakwah masuk dalam ruang politik. Membingkai
politik dengan etika dakwah adalah komitmen yang
selayaknya dipegang oleh politikus muslim. Kekuasaan
bukanlah “ujung”, tapi awal sebuah perjuangan. Bila
kekuasaan dijadikan tujuan maka pupuslah idealisme
perjuangan. Politik sendiri jangan diartikan sebagai
upaya meraup kekuasaan sebanyak-banyaknya. Tapi ia
harus dimaknai sebagai sebuah proses perjuangan. Dan
sebuah perjuangan akan berhasil jika ditopang oleh
kesatuan. Kesatuan dalam berjuang menggapai ridha Allah
SWT., sebagaimana pesan al-Qur’an:
واعتصموا بحبل اهللا جمیعا وال تفرقوا وا دكروا نعم ت اهللا
عل یكم اد كن تم اع داء ف ألف ب ین قل وبكم فأص بحتم بنعمت ه
…اخوانا
126
“Berpeganglah kamu sekalian kepada taali (agama) Allah dan janganlah kamu berpecah-belah dan ingatlah akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu dipersatukannya hatimu, sehingga kamu jadi bersaudara dengan nikmat-Nya...” (QS. Âli ‘Imrân: 103)
Terdapatnya kubu Islam, Islam-nasionalis,
Nasionalis dan sekuler adalah realitas politik di
Indonesia. Perpedaan pendapat menyangkut hubungan Islam
dan negaralah yang menyebabkan wacana klasik tersebut
terus bergulir.
Mensinyalir persoalan tersebut, sesuai dengan
realitas politik di Indonesia, maka garis besarnya
terdapat dua kekuatan dalam memandang Islam dan negara.
Pertama, kaum subtansialis, yang memiliki pokok-pokok
pandangan; (a) bahwa subtansi iman dan amal lebih
penting daripada bentuknya, (b) Pesan-pesan Al-qur’an
dan Hadis, yang bersifat abadi dalam esensinya dan
universal dalam maknanya, harus ditafsirkan kembali
oleh masing-masing generasi kaum muslimin sesuai dengan
kondisi sosial pada masa mereka, (c) mereka menerima
struktur pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk
127
negara Indonesia yang final. Kedua, kaum skripturalis,
mereka berpandangan; (a) Bahwa pesan-pesan Agama
sebagian besarnya sudah jelas termaktub dalam Al-qur’an
dan Hadis,(b) dan hanya perlu diterapkan dalam
kehidupan karena itu, maka lebih cenderung berorientasi
kepada syari’at.36
Dari kedua kelompok tersebut jelas bahwa, disatu
pihak institusi (Negara) Islam tidak perlu, yang
terpenting adalah komitmen penerapan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan berbangsa, ini dianut oleh kaum
subtansialis. Dipihak lain , kelompok skripturalis,
yang berpandangan bahwa pesan-pesan Agama perlu adanya
institusi yang mengaturnya yaitu negara Islam, yang
berorientasi syari’at.
Bila diamati dengan seksama, sesungguhnya kedua
kelompok tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama, yaitu sama-sama ingin mengartikulasikan pesan
36Lihat Mark R Woodward, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 285-289.
128
agama dengan penuh komitmen dan integral (kaffah),
hanya berbeda dalam praktek. Tujuan yang sama inilah
yang hendaknya dibangun dan dikedepankan, berlomba-
lomba dalam kebaikan dan kebenaran. Terutama saat ini,
dengan menjamurnya partai politik Islam.
Menyoal maraknya partai politik Islam, Prof.Dr.
Azyumadi Azra melihat adanya tiga corak kecenderungan
baru, yaitu formalistik, subtantifistik dan
sekularistik. Dari tiga kecenderungan yang diajukannya,
ia menganjurkan agar partai Islam semestinya memakai
pola subtantifistik, artinya memunculkan Islam dari
substansinya bukan sebagai ajaran formal.37
Lain halnya dengan Gus Dur, yang dengan tegas
menyatakan tiga macam respon dalam hubungan Islam
dengan negara (state) yaitu; integratif, fakultatif dan
konfrontatif.38 Hubungan integratif, meminjam
terminologi Gus Dur, Islam menghilangkan sama sekali
kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan
ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Hubungan antara
37Republika (Jakarta), 25 Mei 1999. 38Abdurahman Wahid ,”Membangun Hubungan Islam dan Negara”,
Kompas (Jakarta), 5 Nopember 1998.
129
kehidupan mereka dengan negara ditentukan oleh pola
hidup kemasyarakatan yang mereka ikuti.
Yang menarik ketika, Bahtiar Effendy menawarkan
hubungan politik yang integratif, antara Islam dan
negara, bukanlah berarti ‘yes’ terhadap pemerintah yang
berkuasa, tetapi ada konsekuensi logis-rasionalnya,
yakni; keterwakilan kaum Muslim secara proporsional
dalam lembaga-lembaga politik negara, ini jelas
berlainan dengan Gus Dur yang menghilangkan kedudukan
Islam formalnya dan dipertahankannya komitmen nasional
bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler, hal ini
mengharuskan dipertimbangkan dan diakuinya nilai-nilai
keagamaan dalam proses membuat kebijakan.
Dengan demikian, akan tercapai suatu makna
perjuangan yaitu menciptakan kesejahteraan dan keadilan
sebagai perwujudan pengabdian pada agama dan bangsa.
Dengan kesadaran ini, partai satu dengan yang lainnya
akan saling menghormati (walaupun beda platform). Atau,
bisa disebut dengan “beda yang satu”, yaitu satu dalam
130
iman.39 Sehingga perbedaan artikulasi perjuangan
merupakan aset bagi tumbuhnya sebuah sinergi sosial
dalam rangka menciptakan kehidupan yang beradab dan
penuh rahmat. Jika ini tidak terlaksana dengan baik,
maka akan ada benturan dari kedua kelompok besar
tersebut yang saling tuding, jegal merasa benar sendiri
dan seterusnya. Disinilah, mungkin, ada benarnya tesis
Karl Marx bahwa Agama adalah “candu” kehidupan.40 Niat
yang baik “teracuni” oleh dominasi ego yang
berorientasi pada kepentingan materi. Agama kehilangan
elan profetiknya, Rahmatan lil ‘alamin berubah menjadi
Mafsadah lil ‘alamin.
39Lihat ulasan buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara,
Transformasi Pemikiran Pratek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,1998), Cet. ke-1, dalam resensi Edi Amin, “Konvergensi Islam dan Negara”, kompas (Jakarta), 27 Desember 1998.
40Situasi agama yang mengawang inilah yang dilukiskan Karl Marx dalam artikelnya pada tahun 1984: ”Religion is the sign of the oppressed creature, the heart of τ heartles world , just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people”, untuk jelasnya lihat Karl Marx and F. Engels, On Religion, New York: Schocken Books, 1977,p.42. Dikutip kembali oleh Ahmad Syafii Maarif, membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 105.
131
Dengan kesadaran moral yang tingi dalam
memaknai perjuangan politik, maka tatanan masyarakat
yang adil dan makmur di bawah ridho Ilahi dengan
sendirinya akan tercapai. Dengan demikian, pertanyaan
apakah dasar negara Pancasila atau Islam bukanlah
menjadi persoalan besar.41 Kuntowijoyo berpendapat
bahwa pancasila adalah sebagai teodemokrasi, dimana
kekuasaan itu dibatasi dari atas oleh Tuhan (yang mana
dalam Islam disebut syari’ah, dalam hindu dharma) dan
dari ‘bawah’ oleh rakyat.42
Qamaruddin Khan menyatakan bahwa Ibnu Taymiyyah
tidak pernah tertarik dengan masalah asal usul dan
bentuk negara. Tidak menjadi persoalan baginya apakah
otoritas negara tersebut diperoleh dari Allah atau dari
41Sebagaimana dikehendaki Islam bahwa khilafah bertanggung
jawab terhadap perbaikan dan keselamatan rakyat dengan adanya hukum yamg menjaminnya. Tanpa melihat bentuk pemerintahannya. Lebih jelas lihat Ismai’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Moh, Ridzuan, et al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992),Cet. ke-2, h. 167-170.
42Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-1, h. 61-62.
132
semacam pemilihan suara. Apalagi kekuatan-kekuatan-
kekuatan sejarah telah memunculkan otoritas negara maka
Ibnu Taymiyyah memandangnya sebagai sebuah fakta dan
tidak perduli dengan cara bagaimanakah negara tersebut
telah tercipta. Ia hanya mendambakan supremasi otoritas
Syari’ah di dalam negara. Ia tidak mempermasalahkan
kekuasaan pemimpin negara, ahl as-syawkah, sesuatu
klan, atau sesuatu dinasti. Ia berkata bahwa kekuasaan
tertinggi hanya dimiliki oleh Syari’ah. Qamaruddin Khan
selanjutnya berkata: pada zaman sekarang ini, apabila
dunia Islam hendak hidup sebagai sebuah masyarakat yang
bersatu, efektif, terhormat, dan berbahagia maka kita
harus menafsirkan kembalai Syari’ah seperti yang telah
dilakukan Ibn Taymiyyah agar sesuai dengan kondisi
kebudayaan modern dan memenuhi persyaratan-persyaratan
kehidupan yang dinamis.43
Mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah adalah
tugas para Nabi dan Rasul serta mereka yang mengikuti
jalannya. Nabi Muhammad adalah contoh yang terbaik
43Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, terj.
Anas Mahyudin, (Bandung:Pustaka, 1995), Cet. II, h. 309, 313.
133
untuk itu. Iqbal dalam karyanya yang kini telah dinilai
sebagai karya klasik, The Reconstruction of Religius
Thought in Islam, dengan amat tajamnya membedakan visi
seorang Nabi dan visi seoraang sufi, sebagaimana
dikutip:
“Muhammad dari Arabia telah mi’raj, mencapai langit yang tertinggi dan ia kembali, saya bersumpah demi Allah jika sekiranya aku telah mencapai titik itu, aku takkan pernah kembali. ini adalah perkataan seorang ruhaniawan besar Muslim, Abdul Quddus dari Gangoh. Dalam seluruh jajaran literatur sufi akan sangat sukarlah tampaknya menemukan perkataan, yang dalam satu kalimat, mengungkaapkan suatu persepsi yang demikian tajam tentang perbedaan tipe kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Seorang sufi tidak ingin kembali dari kesantaian ‘pengalaman wahdaniah’ dan bahkan bila ia benar-benar kembali, dan memang harus kembali, kepulangannya tidak bermakna banyak bagi kemanusiaan pada umumnya.”44
Kemudian Iqbal mempertegas lagi perbedaan itu:
“Kembalinya Nabi bersifat kreaktif. Dia kembali untuk
44Muhammad Iqbal, The Reconstruction Religious Thought in Islam, (Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1971), h. 124, dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 114.
134
menempatkan dirinya dalam putaran waktu dengan tujuan
mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu
menciptakan sebuah dunia cita-cita yang segar.” Di sini
kita dapat menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah
seorang Nabi adalah misi kemanusiaan, misi sejarah
dengan dimensi yang sangat luas. Dan dalam perspektif
telaah kita, politik hanyalah satu dimensi dari
kegiatan dakwah yang serba meliputi itu.45
Walupun begitu, politik memiliki peran yang
signifikan dalam dakwah. Negara yang ideal, akan
menempatkan agama di atas segalanya, karena wahyu
adalah pesan Tuhan yang harus ditaati. Makna agama di
atas segalanya adalah ia dijadikan imam, bukan lipstik.
Dengan sendirinya, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama di negeri kita, patut diperpertanyakan kembali
efektifitasnya dalam membangun moral bangsa.
45Ibid.
135
F. Etika Dakwah dalam Globalisasi
Tantangan dakwah dalam era globalisasi tak bisa
terelakkan lagi. Kemajuan teknologi memacu perkembangan
zaman dengan cepat. Fenomena ini memunculkan
permasalahan tersendiri dalam dakwah. Di satu sisi
dakwah terbantu dengan mudahnya komunikasi, namun di
sisi lain tantangan dakwah semakin berat. Arus
kebudayaan asing, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam muncul begitu cepat.
Formulasi dakwah yang tepat, baik materi,
metode, media dan perangkat pendukung dakwah lainnya
semakin mendesak untuk direalisasikan. Tentunya dengan
mengacu pada etika global yang ada, agar fotmat dakwah
yang ada tidak keluar dari nilai etis internasional.
Etika Global menekankan perlu dikembangkannya
komitmen umat manusia kepada budaya baru yang berwajah
lebih manusiawi. Komitmen tersebut merupakan ‘arah-arah
pasti’ (irrevocable directives) yang dapat membimbing
136
umat manusia menuju satu kemanusiaan, satu peradaban,
satu masa depan.46
Di antara ‘arah-arah Pasti’ (dalam deklarasi
etika global) tersebut adalah: pertama, Komitmen
terhadap budaya tanpa kekerasan dan penghormatan
terhadap hidup. Komitmen ini dimaksudkan sebagai
kerangka etik untuk mengeliminasi segala bentuk
permusuhan, kebencian, dan kekerasan ---baik antara
orang perorang, maupun antara bangsa, suku-bangsa, dan
agama. Dalam bahasa agama, komitmen ini merupakan
pengejawantahan dari perintah ‘jangan membunuh’!.
Kedua, Komitmen kepada budaya solidaritas, dan tata
ekonomi yang adil. Komitmen ini merupakan solusi etik
terhadap segala bentuk eksploitasi manusia manusia atas
manusia, kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi
antara kaya-miskin. Komitmen ini merupakan
pengejawantahan dari perintah agama ‘jangan mencuri’!.47
Ketiga, Komitmen kepada budaya toleransi dan
kejujuran. Prinsip etik, yang paralel dengan ajaran
46M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), Cet. ke-1, h. 210.
47Ibid.
137
agama ‘jangan bohong’! ini, dimaksudkan sebagai
antitesis terhadap kecurangan, kemunafikan, dan
demagogi, terutama dalam bidang politik. Keempat,
komitmen kepada budaya persamaan dan kemitraan antara
wanita dan pria. Nilai etika ini merupakan penjabaran
terhadap perintah agama ‘jangan berzina’!, yang
termanifestasi dalam berbagai bentuk eksploitasi dan
diskriminasi seksual dewasa ini.48
Etika global tersebut, yang dideklarasikan,
dalam perspektif agama, adalah pesan moral, yang tidak
bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai agama yang
ada. Etika tersebut dimaksudkan sebagai sumbangan dan
jawaban agama-agama terhadap problema kehidupan umat
manusia pada era globalisasi. Dengan demikian, dakwah
dalam konteks globalisasi memperoleh peluang yang
terbentang luas. Namun, Peluang yang besar bukan
berarti tidak ada tantangan.
Etika Global (global Ethic) tersebut dihasilkan
dalam Parlemen Agama-agama sedunia ke-2 pada tahun 1993
di Chicago, Amerika Serikat. Sedangkan Parlemen Agama-
48Ibid.
138
agama Sedunia pertama diselenggarakan seabad yang lalu
1893 dengan melahirkan gagasan yang terkenal dengan
‘teologi Universal’. ‘Teologi Universal’ lebih merupakan
satu kerangka teoritis yang mengakui adanyapluralisme
keagamaan dan adanya titik temu pandang agama-agama,
Etika Global merupakan kerangka praktis berupa
paradigma etik dan moral untuk dijelmakan dalam
kehidupan.49
Refleksi dari pemahaman etika global tersebut,
memunculkan etika dakwah dalam globalisasi,
diantaranya: pertama, Mengedepankan serta menebarkan
kasih sayang sesama manusia, sebagai pengejawantahan
dari nilai rahmatan lil ‘alamîn. Sebaliknya sikap
keras, kasar dan sombong justru akan merugikan dakwah.
Allah menegur orang-orang sombong dalam firman-Nya:
وال تصعر خد ك للناس وال تمش فى األرض مرحا ان
اهللا ال یحب كل مختال فخور
49Lihat Ibid., h. 207-208.
139
“Janganlah engkau palingkan pipi (muka) terhadap manusia (karena sombong) dan janganlah engkau berjalan di atas bumi dengan sangat gembira. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi bermegah-megah” (QS. Luqmân: 18) Kedua, Mengedepankan diplomasi dan komunikasi
serta menjauhi sikap diskriminatif dan stereotip.
Diplomasi dan komunikasi yang baik, akan menimbulkan
efek positif dan simpatik mad’u, selanjutnya sikap
simpatik tersebut dapat meningkat pada rasa keingin
tahuan akan mempelajari Islam, selanjutnya memeluk
Islam atas dasar kesadaran dan pengetahuannya tersebut,
yang tentunya tidak lepas dari hidayah Allah. Di
sinilah pentingnya peran media dalam membangun hubungan
diplomasi serta komunikasi. Khususnya media cetak dan
elektronik, di mana informasi dapat diakses dengan
cepat.
Quraish Shihab berpendapat, bahwa dalam rangka
mewujudkan ‘jembatan’ antara agama (dakwah-pen) dan
kehidupan kontemporer, maka (paling tidak) ada tiga
140
bidang yang menonjol di mana ajaran agama dapat
berperan:50
1. Mewujudkan satu kekuatan pendorong bagi setiap
pribadi dan masyarakat guna meningkatkan amal
usaha dan kreasi mereka;
2. Mewujudkan isolator-isolator antara pribadi-
pribadi dan penyelewengan-penyelewengan;
3. Memelihara satu tingkat etik dalam melaksanakan
tugas sehari-hari.
Mencermati pemikiran di atas, maka poin ke tiga
adalah relevan dengan tulisan ini, walaupun bukan
berarti menafikan kontribusi poin satu dan dua. Poin ke
tiga di atas bermaksud untuk menciptakan kehidupan
dengan landasan etika. Memelihara harus kita artikan
sebagai konsistensi terhadap etika yang melandasi suatu
kehidupan atau suatu profesi dan mengupayakan etika
dakwah yang dinamis dalam menghadapi segala tantangan
zaman.
50Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, (Bandung:
Mizan, 1997), Cet. ke-14, h. 201.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat
Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-1. Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987, Cet. ke-1. Abdulrahim, M. Imaduddin, “Sikap Tauhid Dan Motivasi
Kerja”, Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 6, 1990. Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,
Yogyakaarta: Prima Duta, 1983, Cet. ke-1. Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Negara Bermoral Menurut
Imam Al-Gazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1.
Ahmad, Amrullah (editor), Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial, Seminar Nasional dan Diskusi Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), Yogyakarta: Prima Duta, 1983, Cet. ke-1.
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, Cet. ke-8. Amin, Edi, “Konvergensi Islam dan Negara”, kompas
(Jakarta), 27 Desember 1998.
149
Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan
Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet. ke-2. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern:
Berbagai tantangan dan jalan baru, Jakarta: INIS, 1994, Cet. ke-1.
………………………, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam
dan Post Modernisme, Surabaya: Al Fikr, 1999, Cet. ke-1.
Aziz, Jum’ah Amin Abdul, Fiqih Dakwah, Studi Atas
Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus dijadikan Acuan Dalam Dakwah Islamiyah, terj. Abdul Salam Maskur, Solo: Intermedia, 1998, Cet. Ke-2.
Bertens, K., Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2001,Cet. ke-6. Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1980, Cet. ke-1. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1990, Cet. ke-3. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. ke-2.
Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1992, Cet. ke-1.
150
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi Politik
Muslim, terj. Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.
Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin
Baidhawy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996, Cet. ke-1.
Al-Faruqi, Ismail Raji, terj. Rahmani Astuti, Tauhid,
Bandung: Pustaka, 1988, Cet. Ke-1. Al-Faruqi, Ismail R. & Al-Faruqi, Lois Lamya, terj.
Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.
Gaus AF, Ahmad, “Isu Kebebasan Beragama”, KOMPAS,
Selasa, 14 Juli 1998.
Ghazali, M. Bahri, Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikaasi Dakwah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. ke-1.
Hasjmy, A., Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1994, Cet. ke-3. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1992, Cet. ke-4.
151
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, M. Wahyuni, Agama Masa
Depan, Perspektif Filsafat Parenial, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1.
Hidayat, komaruddin, Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1.
Hodgson, Marshall G. S., The Venture Of Islamn Iman dan
Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara, Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-2, Jilid ke-1.
Hill, Thomas English, Contempory Ethical Theories, New
York: Macmillan, 1959. Johannesen, Richard L., Etika Komunikasi, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1996, Cet. ke-1. Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu, Panorama
Filsafat Islam,Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-1. Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah,
terj. Anas Mahyudin, Bandung:Pustaka, 1995, Cet. ke-2.
Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI Jakarta,
Adab dan Akhlak Muballigh, 2002. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:
Mizan, 1997, Cet. ke-1.
152
-----------, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi,
Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-8.
Maarif, Ahmad Syafii, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1995, Cet. ke-2.
-----------, Ahmad Syafii, “Agama dan Pembangunan: Corak
Masyarakat Islam Masa Depan”, Ulumul Quran, Vol. III, no. I, 1992.
Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, Ulumul
Quran, Vol. VII, No. 2, 1996. -----------, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. ke-4.
-----------, Bunga Rampai Bimbingan Rohani Islam,
Jakarta: BAPINROH DKI, 2002. -----------, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan
keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran, Vol. IV, No.1, 1993.
Magnis Suseno, Franz, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1989, Cet. ke-17.
153
Mahmud, Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, Metode
Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. ke-1.
Malaikah, Musthafa, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qaradhawi,
Harmoni Antara Kelembutan dan Ketegasan, terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, Cet. ke-1.
Mar’i, Abu Muhammad al-Mishri Isham bin, Bolehkah Ustadz
Menerima Amplop, terj. Abdul Qadir Jilani dan Abu Salman, Jakarta: Pustaka Inner, 2004, Cet. ke-1.
Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi
Hidayat, Bandung: Mizan, 1994, Cet. ke-1. Mubarok , Achmad, Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001, Cet. ke-2. Muis, A., Komunikasi Islam, Bandung: Rosda, 2001, Cet.
ke-1. Natsir, Mohammad, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah,
2000, Cet. ke-10. -----------, Islam Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Media
Dakwah, 2000, cet. ke-1. Omar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1992,
cet. ke-5.
154
Al-Qahthani, Said Bin Ali, Dakwah Islam Dakwah Bijak,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994, Cet. ke-4. Al-Qahthani, Said Bin Musfir Bin Mufrih, Ad-Dakwah
Ilallah, Tajârib wa dzikrayat, Makkah Al-Mukarrah: Dar Thaibah Al-Khadrak, 1423 H, Cet. ke-2.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka, 1997, Cet. ke-3. Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih,
Bandung: Muthahhari Press: 2003, Cet. Ke-2. Said, M., Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1980, Cet. ke-2. Semesta, Rahmat, Metode Dakwah, Jakarta: Prenada Media,
2003, Cet. ke-1. Shaqr, Abdul Badî’, Meneladani Akhlak Nabi, Hadis-hadis
pilihan tentang Akhlak Mulia, Bandung: Al-Bayan, 2004, Cet ke-1.
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” Al-Quran, Bandung:
Mizan, 1997, Cet. ke-14. Sobary, Mohammad, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman
Mencari Solusi, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, cet. ke-1.
155
Subhani, Ja’far, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan
Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-7.
Sukarja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar
1945 Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995, Cet. ke-1.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1989, Cet. ke-17.
Syamsuddin, Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani, Jakarta: Logos, 2000, Cet. ke-1.
Tamara, Nasir, dkk., Agama dan Dialog Antar Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 1996, cet. ke-1. Quasem, M.Abul, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin,
Bandung: Pustaka, 1988, Cet. ke-1. Subhani, Ja’far, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan
Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-7.
Vos, De, H., Pengantar Etika, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya, 2002, Cet. ke-2.
156
Wahab, Muhbib Abdul, “Revitalisasi Etika Islam Dalam
Pendidikan”, Misykat Al-Anwar, Volume 8, Nomor 1, Juni 2002.
Wahid, Abdurahman ,”Membangun Hubungan Islam dan
Negara”, Kompas (Jakarta), 5 Nopember 1998. Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Prinsip dan Kode Etik Dakwah,
Jakarta: Akademika Pressindo, 2002, Cet. ke-1. Woodward, Mark R, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.
Yaqub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi,
Jakarta: PT. Pustaka Ilmu, 2000, Cet. ke-2. Ya’qub, Hamzah, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah
(Suatu Pengantar),Bandung: Diponegoro, 1983, Cet. ke-2.
Yusuf, M. Yunan, “Internalisasi etika Islam ke dalam
Etika Nasional: Agenda Dakwah dalam Perspektif Pemikiran Islam”, Dakwah, Jurnal Kajian dan Kemasyarakatan, Vol. 1. No. 2, November, 2001.
Yusuf, M. Yunan, “Dakwah bil Hal”, Dakwah, Jurnal Kajian
dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2, November, 2001.