PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)...

161
a ETIKA DAKWAH, KAJIAN KRITIS PROFESIONALISASI DAKWAH TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Magister Agama (M.A.) dalam bidang Dakwah dan Komunikasi pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta H. Edi Amin (NIM: 01.2.00.1.07.01.0151) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2004

Transcript of PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)...

a

ETIKA DAKWAH,

KAJIAN KRITIS PROFESIONALISASI

DAKWAH

TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat meraih

gelar Magister Agama (M.A.) dalam bidang Dakwah dan Komunikasi

pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

H. Edi Amin (NIM: 01.2.00.1.07.01.0151)

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2004

b

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Karya tulis yang berjudul “Etika Dakwah, Kajian

Kritis Profesionalisasi Dakwah”, adalah Tesis karya:

Nama lengkap : H. Edi Amin Nomor Pokok : 01.2.00.1.07.01.0151 Program Studi : Dakwah dan Komunikasi

Disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Tesis. Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf Dr. H. A. Wahib Mu’thi

Jakarta, Oktober 2004 Jakarta, Oktober 2004

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2004

c

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis yang berjudul ETIKA DAKWAH, KAJIAN KRITIS PROFESIONALISASI DAKWAH telah diujikan pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Desember 2004. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) konsentarasi Dakwah dan Komunikasi.

Jakarta 8 Desember 2004

Tim Penguji

Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf Dr. H. A. Wahib Mu’thi

NIP. NIP.

Penguji I Penguji II

Andi Faisal Bakti, Ph.D. Prof. Dr. Hj. Ismah Salman, M.Hum.

NIP. NIP.

d

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Th ) = ط ( A ) = ا(

Zh ) = ظ (B) = ب(

) ت = (T) ع= ( ‘

Gh ) =غ (Ts ) = ث (

F) = ف (J) = ج (

Q ) =ق (H) = ح(

K ) =ك ( Kh) = خ(

L ) = ل (D) = د(

M ) = م (Dz) = د(

N ) =ن (R ) = ر (

H ) = ه ( S) = س(

)ش = (Sy) ء= ( ’

e

Y ) =ي (Sh ) = ص(

T) =ة (Dh) = ض( B. Vokal Pendek D. Diftong

a ) = أو ( a = ____

ay) = أي (i = ____

u = _____

C. Vokal Panjang E. Pembauran

Al ) =ال ( â ) = ___ ا(

al-sy ) = الش (î ) = __ ى(

wa al- ) = و ال (û ) = __ و(

f

KATA PENGANTAR

بسم اهللا الر حمن الر حيم

Segala puji hanya milik Allah SWT. semata, dengan

kasih-Nya telah memberikan segala kemudahan dalam

penulisan tesis ini. Shalawat dan salam semoga tercurah

kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang

telah menerangi kita dari zaman kegelapan.

Segala limpahan berkah dan rahmat-Nya penulis tak

hentinya bersyukur. Mengingat begitu beratnya kendala

yang dirasakan penulis di saat-saat menyelesaikan Tesis

ini. Alhamdulillah, kebahagiaan selalu menyelimuti

penulis dalam setiap waktu, khususnya disaat penulisan

berlangsung.

Kebahagiaan yang selalu dicari manusia modern

terasa kian berat untuk diraih, khususnya kebahagiaan

batin. Itulah yang menyebabkan penulis tertarik untuk

mengkaji dan menulis etika, karena ia bertujuan untuk

memperoleh kebahagiaan. Etika dakwah berarti meraih

kebahagiaan sekaligus keridhaan.

g

Penulis haturkan terimakasih yang tiada terhingga

kepada seluruh pihak yang telah membantu mempermudah

penyelesaian Tesis ini. Pertama kepada kedua orang tua

penulis tercinta, Ayahanda Sumadji HS, dan ibunda

Paitun, serta kedua orang tua (mertua) di Gorontalo Abah

Hasan Al-Hasni dan Umi Fatma Al-Hasni. Atas do’a mereka

penulis senantiasa dibukakan pintu hati keberkahan dari

langit.

Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih

dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.

Dr. H.M. Yunan Yusuf, selaku pembimbing yang telah

dengan sabar di tengah kesibukannya memberikan arahan,

nasehat, dan masukan berharga selama penulis

menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini. Juga kepada

Dr. H.A. Wahib Mu’thi, sebagai pembimbing dua, yang

telah mengarahkan penulis dengan penuh antusias dan

kritis, hingga kemudahan sangat dirasakan oleh penulis.

Dengan sangat hormat juga penulis berterimakasih kepada

bapak Andi Faisal Bakti, Ph.D. dan ibu Prof. Dr. Hj.

Ismah Salman, yang telah bersedia menguji dengan

antusias dan kritis tesis ini.

h

Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh

keluarga besar sivitas akademika Program Pascasarjana

UIN Jakarta, terutama Bapak Rektor UIN, Prof. Dr. H.

Azyumardi Azra, M.A., direktur Pascasarjana, Prof. Dr.

H. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., beserta kedua

asisten direkturnya: Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A., dan

Dr. H. Abdul Chair, M.A., seluruh staf akademik, dan

karyawan perpustakaan.

Selanjutnya ucapan terimakasih saya haturkan

kepada para dosen Penulis di Pascasarjana, beliau

adalah: Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf, Prof. Dr. H. Syamsir

Salam, M.Sc. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA, Dr. H.

Hidayat Nurwahid, MA., Andi Faisal Bakti, P.hD., Dr. H.

Mukhtar Aziz, M.A., dan lain-lain yang tidak tersebut

namanya.

Secara khusus saya juga mengucapkan terima kasih

kepada Direktur Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) dan

pimpinan pesantren Kaligrafi Al-Qur’an Sukabumi Jawa-

Barat, Bapak H.D. Sirojuddin, AR, MA., yang telah

meminjamkan literatur kepustakaanya.

Terimakasih selanjutnya kepada para sahabat karib

penulis di Kampus maupun aktivis organisasi: Akhi H.

i

Mawardi, Ustad H. Harjani Hefni, Lc.,MA, Akhi Munir,

Akhi Zuni Nurrochim, MA, Akhi Ahmad Tholabi Kharli, MA,

Aa’ Dede Syamsuddin, Akhi H. Lalu Ahmad Zainuri,MA,

Akhi Nurul Badruttamam,MA., Akhi Ibrahim, Ukhti

Faizah,MA., Akhi Taufik, Ukhti Wahyu Ilaihi, MA. Juga

untuk seluruh para sahabat di “Rahmat Semesta”, dan staf

pengajar LEMKA Jakarta dan Pesantren Kaligrafi Sukabumi.

Kepada keluarga Penulis di Lampung: Mbah Djari

dan Mbah Sutijah, Mbak Esti, Bang Duki, Mas Teguh dan

mas Yus dan mbak lilik. Do’a dan kebersamaan dengan

mereka tak pernah dapat dilupakan.

Yang terakhir, penulis berterimakasih dan

memberikan penghargaan yang tulus buat istriku yang

tersayang, Vera Al-Hasni, dengan penuh pengertian dan

kesabaran telah mendampinggi penulis baik dalam suka dan

duka, terutama selama menjalani kuliah di Pascasarjana.

Juga buat putra pertama penulis, Majid Fatih Al-Jamali,

yang telah memberikan senyuman manisnya, hingga penulis

semakin termotivasi untuk menyelesaikan tesis ini.

Karya Tulis ini pasti masih banyak kekurangannya.

Untuk itu, kritik dan saran selalu saya nantikan. Semoga

j

maklum adanya. Mudah-mudahan penulis dapat berkarya

lebih baik lagi di hari esok. Amin.

Ciputat, 13 Oktober 2004

H. Edi Amin

k

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………i

LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………ii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………iii

TRANSLITERASI…………………………………………………iv

KATA PENGANTAR…………………………………………………vi

DAFTAR ISI………………………………………………………xi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah…………………………………………1

B.Definisi Operasional………………………………………………7

C.Rumusan dan Batasan Masalah……………………………9

D.Tujuan Penelitian……………………………………………………11

E.Manfaat Penelitian…………………………………………………11

F.Tinjauan Pustaka …………………………………………………12

G.Metode Penelitian……………………………………………………14

H.Sistematika Penulisan…………………………………………16

BAB II TINJAUAN UMUM ETIKA DAN DAKWAH

A.Pengertian Etika…………………………………………………18

l

1. Sejarah Etika Barat…………………………………22

2. Beberapa Teori Etika Terkait…………33

a.

Naturalisme……………………………………

…………33

b.

Teleologi…………………………………………

…………34

c.

Hedonisme…………………………………………

…………35

d. Utilitarisme……………………………………………37

e. Deontologis………………………………………………40

B. Pengertian

Dakwah…………………………………

…………41

C. Pengertian Etika

Dakwah……………………………46

1.Sejarah Etika Islam…………………………………49

2.Teori Etika Islam………………………………………52

D. Urgensi Mempelajari

Etika Dakwah……57

m

E. Butir-Butir Pemikiran Kode Etik

dan Etika Dakwah…………………………………………59

1.Muhammad Sayyid Al-Wakil……………………62

2.Ali Mustafa Yakub………………………………………63

3.Toha Yahya Omar……………………………………………63

4.Koordinasi Dakwah Islam (KODI)

Propinsi DKI Jakaera………………………………64

BAB III PROBLEMATIKA ETIKA DAKWAH

A.Da’i Sebagai Teladan………………………………………69

B.Upah (gaji) Bagi Seorang Da’i………………70

C.Dakwah dan Pluralisme Agama……………………73

D.Dakwah dan Penegakkan Tauhid…………………78

E.Dakwah dalam Lingkup Politik…………………82

F.Globalisasi dan Dakwah Masa Depan……89

BAB IV RUMUSAN ETIKA DAKWAH DALAM KONTEKS DAKWAH

YANG PROFESIONAL

A.Etika Dakwah dalam Keteladanan…………………92

B.Etika Dakwah dalam Keikhlasan……………………97

C.Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama…104

D.Etika Dakwah dalam Bertauhid……………………119

n

E.Etika Dakwah dalam Politik…………………………127

F.Etika Dakwah dalam Globalisasi………………137

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan……………………………………………………………………144

B.Saran…………………………………………………………………………………147

DAFTAR KEPUSTAKAAN……………………………………………………………………………148

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berawal dari “sakitnya” bangsa ini, penulis

tertarik ketika krisis yang melanda Indonesia disebabkan

dari adanya krisis moral. Muncul pertanyaan, mana peran

umat Islam (da’i) dalam peningkatan moral? Apakah mereka

tertidur, bak kehilangan elan profetik agamanya? Dakwah

semarak di mana-mana, namun mengapa korupsi, kolusi dan

nepotisme juga merajalela di setiap lini kehidupan.

Benarkah iman hanya di dalam masjid, ketika keluar

ditanggalkan? Salahkah motode dakwah selama ini? atau

masyarakatnya yang sudah begitu “sakit”? Bukankah

masyarakat “sakit” karena pemimpinnya yang “sakit”?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan bermaksud mencari

kambing hitam, atau memojokkan pihak-pihak terkait,

sebaliknya perenungan terhadap pertanyaan-pertanyaan di

atas diharapkan dapat memunculkan paradigma pemikiran

yang solutif dan win win solution. Tidak saling tuding

dan memojokkan.

2

Tuhan mencipta manusia bukan hanya untuk

kehidupan yang segera tanpa nilai (value) dan hampa

makna. Mengingat bahwa kehidupan itu diakhiri dengan

maut dan ketiadaan, maka tujuan yang hendak dicapai

adalah agama akan mengantar pemeluknya pada kebahagiaan

di kehidupan yang lain.1 Inilah yang membedakan etika

Islam dan etika umum (barat). Dalam Islam ada jaminan

keabadian di hari akhir. Dengan janji kebahagiaan dan

keabadiaan itu, maka pengejawantahan nilai-nilai agama

dalam dakwah adalah suatu keniscayaan, meninggalkannya

adalah suatu kenaifan.

Fazlur Rahman, dalam Major Themes of the Quran

menyatakan, “tidak diragukan lagi, bahwa tujuan sentral

Al-Quran adalah untuk menciptakan sebuah tata sosial

yang mantap dalam hidup di muka bumi, yang adil dan

diasaskan pada etika.2 Dalam perspektif Islam, apakah

individu yang lebih penting ataukah masyarakat, tidak

menjadi soal besar. Yang jelas, antara individu dan

1Mohammaed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai

tantangan dan jalan baru, Jakarta: INIS, 1994, Cet. I, 2.213. 2Dikutip dari Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1995), Cet. II, h. 64.

3

masyarakat harus saling bergantung dan berkaitan. Kita

misalnya, tidak akan mengenal individu tanpa masyarakat

( the societiless individual ). Yang amat ditekankan

Islam ialah perlunya keamanan ontologis bagi binaan

sebuah masyarakat dan peradaban di mana prinsip-prinsip

moral-transendental menjadi asasnya yang utama. Tanpa

asas moral yang kukuh ini, jangan diharapkan bahwa

keadilan yang menjadi cita-cita abadi umat manusia akan

terwujud.3

Nabi Muhammad mengklaim dirinya sebagai reformis

moral, dalam sebuah hadis disebutkan:

انما بعثت ألتمم مكارم األ خالق“sungguh aku diutus untuk memyempurnakan akhlak” (HR Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Bukhari).

Kesempurnaan ahklak Nabi diabadikan dalam Al-

Quran (QS.Al-qalam:4). Moral yang diajarkannya bukan

“etika” khusus, akan tetapi meliputi segala tindakan

sehari-hari sebagai aplikasi dan aktualisasi ajaran-

3Ahmad Syafii Maarif, “Agama dan Pembangunan: Corak Masyarakat

Islam Masa Depan”, Ulumul Quran, Vol. III, no. I, 1992, h. 99

4

ajaran yang diterangkan dalam hukum Tuhan.4 Al-Quran

tidak lain adalah kitab moral tertinggi umat Islam.

Aisyah ketika ditanya bagaimana akhlak Nabi, jawabnya,

“akhlaknya adalah Al-Qur’an”, (H.R. Muslim). Semua

kebenaran, yang empiris sekalipun, masih memiliki

keterbatasan, namun bagi umat Islam kebenaran Al-quran

adalah mutlak. Interpretasi terhadap Al-Quran yang

beragam bukanlah untuk mereduksi nilai moral yang ada,

namun sebagai khazanah intelektual yang harus terus

bergerak dinamis sepanjang zaman, menembus waktu.

Etika5 dalam dakwah bisa berarti kode etik dakwah,

yakni aturan main bagi da’i, berkenaan dengan nilai etis

4Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1980), cet. I, h. 66. 5Dalam tradisi filsafat “etika” lazim dipahami sebagai suatu

teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Sedangkan moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, sedangkan etika bekerja pada level teori. Dikutip dari Paul W. Tailor, Problems of moral Philosophy, California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3, yang dikutip kembali oleh Komaruddin Hidayat dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. II, h. 509.

5

dalam dakwah. Ia merupakan moral dalam Islam yang

muaranya adalah hati nurani yang berdasarkan akal dan

wahyu.6 Etika dalam dakwah akan membentuk etika dakwah

yang berarti penilaian etis mengenai perilaku dakwah.

Sebagaimana dikatakan oleh kalangan ahli-ahli politik

barat mengenai etika politik adalah “ethical assesment

of political behaviors”, (penilaian etis mengenai

perilaku politik).7 Dalam tesis ini, penulis menyajikan

etika dakwah dalam arti “sistem nilai” atau “cara hidup”

etis dalam dakwah. Al-ghazali dalam tujuan mempelajari

etika lebih setuju bahwa ia akan meningkatkan sikap dan

perilaku sehari-hari. Perilaku yang akan memiliki

konsekuensi pertanggung jawaban ke pada Tuhan di hari

kemudian. Maka selanjutnya, etika Al-ghazali juga

6Pengintegrasian antara akal dan hati nurani (qalbu) dengan petunjuk wahyu akan menghasilkan pemikiran yang tidak hanya mendasarkan pada pertimbangan rasionalitas dan pragmatis semata, tetapi juga pada waktu yang bersamaan pertimbangan qalbu ikut dimainkan.Lihat M. Yunan Yusuf, “Internalisasi Etika Islam ke dalam Etika Nasional”, Dakwah, Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. I, No. 3, 1999, h. 4-5.

7A. Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Rosda, 2001), Cet. ke-1, h. 111, lebih jelasnya pengertian etika dakwah dapat dilihat pada bab II, tesis ini.

6

dikatakan bercorak teleologis (aliran filsafat yang

mengajarkan bahwa segala ciptaan di dunia ini ada

tujuannya) sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada

akibatnya.8 Ringkasnya, tujuan utama etika adalah

kebahagiaan. Mulyadhi menyimpulkan bahwa etika—yakni

filsafat moral atau ilmu akhlak—tidak lain dari pada

ilmu atau “seni“ hidup (the art of living) yang

mengajarkan cara hidup bahagia, atau bagaimana

memperoleh kebahagiaan.9

Mungkin kita bertanya, mengapa dakwah memerlukan

etika (Islam)? Bukankah seruan dakwah adalah seruan

moral agar manusia berada dalam rel ke-Tuhanan? Betul

yang didakwahkan adalah moral, tetapi pertanyaannya,

apakah ada jaminan bagi pendakwah sudah beretika. Tak

jarang kita jumpai pendakwah malah menghujat, adakalanya

menyuarakan kepentingan golongan, atau dicarter saat

kampanye untuk memuluskan partai tertentu. Bahkan tak

jarang pula mengatas namakan agama untuk tujuan politik

8M.Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin, (Bandung:

Pustaka, 1988), Cet. I, h. 13. 9Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat

Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. I, h. 67.

7

sesaat, atau politisasi agama. Agama hanya tampil wajah

dan simbol, tanpa isi dan subtansi.

Dalam penelitian tesis ini, penulis berusaha

mengkaji etika dakwah dengan kritis. Terbentuknya da’i

yang profesional dengan pemahaman dan pengamalan etika

dakwah adalah harapan dari penulisan tesis ini.

Akhirnya, mengingat pentingnya etika dakwah, saya

tertarik untuk menulis sebuah tesis dengan judul “Etika

Dakwah, Kajian Kritis Profesionalisasi dakwah.

B. Definisi Operasional

Dalam laporan ini penulis menggunakan beberapa

istilah teknis yang perlu dijelaskan. Beberapa istilah

yang dimaksud adalah:

1 ilmu tentang apa yang baik dan

apa yang buruk dan tentang hak

dan kewajiban moral (akhlak); 2

kumpulan asas atau nilai yang

berkenaan dengan akhlak; 3 nilai

mengenai benar dan salah yang

8

dianut golongan atau

masyarakat.10

Ajakan untuk mengamalkan

ajaran agama (Islam).

Penyelidikan (dengan pikiran)

Bersifat selalu berusaha

menemukan kesalahan atau

kekeliruan.11

Profesionalisasi Pemrofesionalan. Sedangkan

profesional adalah Bidang

pekerjaan yang dilandasi

pendidikan keahlian

(ketrampilan, kejuruan, dsb)

C. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari kajian ini, memunculkan pertanyaan mendasar yang

akan menjadi masalah pokok, yaitu apa rumusan etika

10Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1990), Cet. III, h. 237. 11Ibid, h. 466.

9

dakwah dalam konteks dakwah yang profesional, dengan

batasan permasalahan yang akan diangkat dalam karya

tulis ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana pengertian etika, dakwah, dan etika

dakwah, urgensi etika dakwah, dan butir-butir

pemikiran kode etik dan etika dakwah.

2.Bagaimana problematika etika dakwah, meliputi:

a.Da’i sebagai teladan

b.Upah (gaji) bagi seorang da’i

c.Dakwah dan pluralisme agama

d.Dakwah dan penegakkan tauhid

e.Dakwah dalam lingkup politik

f.Globalisasi dan dakwah masa depan

3.Bagaimana rumusan etika dakwah dalam konteks dakwah

yang profesional, meliputi:

a.Etika Dakwah dalam Keteladanan

b.Etika Dakwah dalam Keikhlasan

c.Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama

d.Etika Dakwah dalam Bertauhid

e.Etika Dakwah dalam Politik

f.Etika Dakwah dalam Globalisasi

10

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi beberapa

tujuan:

1.Untuk mengetahui makna etika, dakwah dan etika

dakwah.

2.Untuk mengetahui problematika etika dakwah.

3.Untuk mengetahui dan memahami etika dakwah dalam

konteks dakwah yang profesional.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini sebenarnya tidak

hanya untuk membuktikan kebenaran pelbagai asumsi serta

menjawab berbagai persoalan yang diajukan, tetapi

diharapkan dapat memberikan kontribusi profesionalisasi

dakwah. Nilai-nilai luhur etika dakwah mendesak untuk

dilaksanakan para da’i. Secara akademis, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan wacana dinamisasi etika

dakwah.

11

F. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa

literatur berkait erat dengan pembahasan. Secara

spesifikasi sangat sedikit kajian dakwah yang berbicara

tentang etika.

Pembahasan etika Islam yang juga akan mendasari

etika dakwah diulas oleh Majid Fakhry dalam Etika Dalam

Islam, edisi aslinya berjudul Ethical Theories in Islam.

Dalam pendahuluannya Majid mengutarakan bahwa Al-Quran

yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan

sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti

yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan ethos

Islam12.

Adalah Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Sejarah

dan Metode Dakwah Nabi membahas kode etika dakwah.

Pembahasannya hanya 12 halaman, namun demikian cukup

memberikan kontribusi bagi penulisan ini. Ia menegaskan

12Majid Fakhry, Op.Cit., h. xv

12

bahwa etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri. Namun

secara khusus, dalam dakwah terdapat etika-etika

tersendiri, (diantaranya-pen) seperti yang dicontohkan

Nabi13.

Prof. Toha Yahya Umar dalam bukunya Ilmu Dakwah

membahas Etika Dakwah. Walaupun singkat, namun

pembahasannya cukup signifikan. Dengan singkat ia

memaparkan etika dalam perspektif budaya lokal, atau

dalam perspektif para pemikir seperti: Sacrotes,

Immanuel Kant, John Locke, Darwin, dll. Secara kongrit

ia juga menghubungkan Etika dengan dakwah.14

Selanjutnya buku karya Dr. Muhammad Sayyid al-

Wakil yang berjudul Ususu ad-Da’wah wa Adabuhu ad-Du’at,

yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan menjadi

Prinsip dan Kode Etik Dakwah, (Jakarta: Akademika

Pressindo, 2002), Cet. Ke-1. Buku tersebut mengupas

13Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta:

PT. Pustaka Ilmu, 2000), cet. II, h. 36 14Baca Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1992),

cet. V, h. 19-33

13

asas-asas dakwah dan adab seorang da’i dengan cukup

komprehensif.

Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI

Jakarta bersama Forum Komunikasi Lembaga-Lembaga Dakwah

serta Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta telah menyusun

dan menyepakati buku Adab dan Akhlak Muballigh. Secara

singkat buku ini membicarakan kode etik da’i. Sangsi dari

pelanggaran kode etik tersebut hanya sebatas sangsi

moral, itupun tidak ada pengawasan bagi pelanggar kode

etik. Akhirnya kode etik tersebut sama halnya dengan

himbauan moral bagi da’i.

Dari beberapa literatur tersebut dengan ditambah

literatur terkait lainnya, penulis mencoba mengangkat

kembali wacana etika dakwah dalam perspektif yang

berbeda, yaitu kajian kritis etika dakwah atas berbagai

ketimpangan dakwah dewasa ini.

G. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode deskripsi-analisis

dalam penulisan tesis ini. Yakni berusaha memahami makna

etika, dakwah, etika dakwah, problematikanya, dan

14

rumusan etika dakwah dengan harapan meningkatkan dakwah

yang profesional. Adapun objek penelitian ini adalah

kepustakaan (Library Research).

Sumber data penelitian ini meliputi: Al-Quran

dan Al-Hadis, serta beberapa literatur etika, dakwah

dan literatur lain yang terkait.

Teori etika adalah gambaran rasional mengenai

hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar

serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa

perbuatan dan keputusan tersebut secara moral

diperintahkan dan dilarang.15 Dasar teori etika tersebut

akan dipergunakan dalam pengambilan keputusan dengan

didasari semangat Al-Quran dan As-Sunnah.

Tidak ketinggalan pula buku K. Bertens dengan

judul etika. Ia menjelaskan tahapan dalam metode etika

terapan, yaitu: 1. Sikap awal, 2. Informasi, 3. Norma-

norma Moral, 4. Logika. Tahapan dan metode tersebut

membantu penulis dalam mengkaji etika dakwah dengan

lebih kritis dan sistematis.

15Majid Fakhry, Loc. Cit.

15

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini sebagaimana lazimnya terdiri dari lima

bab yaitu:

Bab I, adalah pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi

delapan sub bab yaitu: latar belakang masalah yang

mendasari penulisan, definisi operasional, rumusan dan

batasan masalah yang akan dijawab, tujuan penelitian,

manfaat penelitian yang dicapai, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, tinjauan umum etika dan dakwah, yang

dibagi menjadi: A. pengertian etika, meliputi sejarah

etika barat, beberapa teori etika terkait seperti

naturalisme, teleologi, hedonisme, utilitarisme

deontologis; B. pengertian dakwah; C. pengertian etika

dakwah meliputi sejarah etika Islam dan teori etika

Islam; D. urgensi mempelajari etika dakwah; E. butir-

butir pemikiran kode etik dan etika dakwah yang ditulis

oleh: Muhammad Sayyid Al-Wakil, Ali Mustafa Yakub dan

Toha Yahya Omar dan Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI

Jakarta.

16

Bab III, membahas tentang problematika etika

dakwah. Kajian bab ini berisi uraian problematika dakwah

yang meliputi: da’i sebagai teladan, upah (gaji) bagi

seorang da’i, dakwah dan pluralisme agama, dakwah dan

penegakkan tauhid, dakwah dalam lingkup politik, yang

terakhir globalisasi dan dakwah masa depan.

Bab VI, berisi rumusan etika dakwah dalam konteks

dakwah yang profesional, meliputi: etika dakwah dalam

keteladanan, etika dakwah dalam keikhlasan, etika dakwah

dalam pluralisme agama, etika dakwah dalam bertauhid,

etika dakwah dalam politik, dan etika dakwah dalam

globalisasi.

Sedangkan bab V, adalah bagian penutup yang

berisi kesimpulan dan saran.

17

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ETIKA DAN DAKWAH

A. Pengertian Etika

Seperti halnya dengan banyak istilah yang

menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun berasal

dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk

tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang

biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak,

watak; perasaan, sikap cara berpikir. Dalam bentuk jamak

(ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti

terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya

istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles

(384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat

moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul

kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang

biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.1 Ia

adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku

1K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2004), Cet. ke-8, h. 4.

19

kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang

lain bertindak (Verderber, 1978: 323).2

Etika adalah ilmu pengetahuan mengenai

kesusilaan. Ini berarti bahwa etika membicarakan

kesusilaan secara ilmiah.3 Ahmad Amin mendefinisikan

etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan

buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh

setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang

harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan

menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus

diperbuat.4

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, etika

memiliki tiga arti: 1. ilmu tentang apa yang baik dan

apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan

dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah yang

2Deddy Mulyana, Pengantar Etika Komunikasi: Konstruksi Manusia

yang Terikat Budaya, dalam Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996), Cet. ke-1, h. v.

3H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), Cet. ke-2, h. 4.

4Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. ke-8, h. 2.

20

dianut suatu golongan atau masyarakat.5 Setelah

mempelajari penjelasan kamus, bisa dibedakan tiga arti

mengenai kata “etika”. Tetapi urutannya mungkin lebih

baik terbalik, karena arti ketiga lebih mendasar

daripada arti pertama. Perumusannya juga bisa dipertajam

lagi. Dengan demikian sampailah pada tiga arti: pertama,

kata “etika” bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan

norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang

atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Misalnya, jika orang berbicara tentang “etika suku-suku

Indian”, “etika agama Budha”, “etika Protestan” (ingat

akan buku termasyhur Max Weber, The Protestant Ethic and

the Spirit of Capitalism), maka tidak dimaksudkan “ilmu”,

melainkan arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini

bisa dirumuskan juga sebagai “sistem nilai”. Dan boleh

dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam

hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.

Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan asas atau nilai

moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Beberapa

5Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. ke-3, h. 237.

21

tahun yang lalu oleh Departemen Republik Indonesia

diterbitkan sebuah kode etik, untuk rumah sakit yang

diberi judul: “Etika Rumah Sakit Indonesia” (1986),

disingkatkan sebagai ERSI. Di sini dengan “etika” jelas

dimaksudkan kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti

lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru

menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-

asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk)

yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat--

seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi

suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini

sama artinya dengan filsafat moral.6

Menurut Haidar Bagir, etika pada umumnya

diidentikkan dengan moral (moralitas). Namun, meskipun

sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika

dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat,

jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik

dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”,

maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik

dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi

6K. Bertens, Loc. Cit.

22

sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau

‘ilm al-akhlâq), dan moral (akhlâq) adalah prakteknya.

Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan

dengan filsafat moral.7

1. Sejarah Etika Barat

Memahami sejarah etika Barat erat kaitannya

dengan mempelajari periodisasi filsafat Barat, karena

etika adalah bagian integral atau cabang dari filsafat.

Bahkan “trilogi bangunan” filsafat: “logika-etika-

estetika” merupakan satu kesatuan organik yang satu sama

lain tidak dapat dipisahkan.8 Oleh sebab itu, penulis

akan mencoba memaparkan periodisasi filsafat Barat

dengan maksud mendapat pemahaman sejarah etika Barat.

Achmad Charris Zubair memaparkan kategorisasi

periode sejarah filsafat sebagai berikut:9

a. Filsafat Yunani Kuno (5 SM – 5 M)

7M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. ke-1, h. 15.

8Thomas English Hill, Contempory Ethical Theories, (New York: Macmillan, 1959), h. 157-158.

9Lihat Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-3, h. 1-4.

23

Ciri kosmosentris (alam), manusia sebagai bagian

dari alam. Perintis etika yang terkenal pada zaman

ini adalah Socrates (469-399 S.M.) dengan

menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan

akhlak dan hubungan manusia satu dengan lainnya. Ia

berpendapat bahwa yang seharusnya difikirkan ialah

perbuatan yang berkaitan dengan kehidupan, maka

dikatakan “ia menurunkan filsafat dari langit ke

bumi”. Socrates terkenal sebagai perintis Ilmu

akhlak (Etika), karena ia yang pertama berusaha

dengan sungguh-sungguh membentuk hubungan kehidupan

manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia

berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan

itu, tidak akan benar kecuali bila didasarkan pada

ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa

“keutamaan itu ialah ilmu”.10

Lalu datang Plato (427-347 S.M.). Dia telah

mengarang beberapa buku, yang masih terdapat dalam

masa ini, dalam bentuk percakapan. Bukunya yang

terpenting adalah “Republic”. Buah fikirannya dalam

10Ahmad Amin, Op.Cit., h. 142.

24

akhlak termuat dalam percakapan itu, bercampur

dengan penyelidikannya mengenai filsafat.

Pandangannya dalam akhlak berdasar “teori contoh”.

Jelasnya dia berpendapat bahwa dibelakang alam

lahir ini ada alam lain yakni alam ruhani. Tiap-

tiap kewujudan berbadan, sebagai gambaran contoh

yang tidak berbeda dalam alam rohani. Dia

mencocokkan itu dengan akhlak, maka ia berkata:

diantara contoh ini adalah contoh untuk kebaikan.

Yaitu arti yang mutlak, azali, kekal dan amat

sempurna. Tiap-tiap bentuk perhubungan manusia itu

dekat kepadanya dan beroleh sinar cahayanya, maka

ia lebih dekat kepada kesempurnaan. Untuk

memahamkan contoh ini, menghajatkan kepada latihan

jiwa dan akal. Oleh karena itu, tidak akan

mengetahui keutamaan di dalam bentuknya yang baik

kecuali orang ahli fikir (ahli filsafat).11

Lalu datang Aristoteles (394-322 SM), murid Plato.

Ia memberikan kuliah sambil berjalan di tempat yang

teduh. Dia memberikan penegasan bahwa tujuan etika

11Ibid., h. 143-144.

25

adalah “bahagia”. Dan untuk mencapai kebahagiaan

itu haruslah mempergunakan kekuatan akal dengan

sebaik-baiknya. Dia pencipta teori serba tengah.

Keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua

keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah

antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-

tengah antara membabi buta dan takut.12

b.Abad Pertengahan (5 M – 15 M)

Ciri teosentris, peranan gereja sangat dominan,

muncul istilah Imago Dei, Homo Viator. Pada abad

ini ukuran “baik” adalah segala sesuatu yang sesuai

dengan perintah Tuhan. Orientasinya super –natural.

Pada waktu itu terjadi konfrontasi antara filsafat

dan gereja. Gereja pada waktu itu memerangi

filsafat Yunani dan Romawi dan menentang penyiaran

ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa

kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Namun

di antara golongan gereja ada juga yang menerima

percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan

12Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu

Pengantar), (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), Cet. ke-2, h. 39-40.

26

ajaran gereja. Inilah yang menciptakan suasana di

mana filsafat akhlak yang lahir pada masa itu

merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan

ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termashur

adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquino (1226-

1274).13

c.Abad ke-15-16

Ciri humanisme, orientasi pada manusia. Renaissance

membuat “self confidence” untuk berprestasi.

Humanisme melahirkan individualisme dan

naturalisme.

1)Individualisme, secara individual lebih diarahkan

pada pribadi masing-masing. Etikanya berarti

tanggung jawab secara individual, dampaknya

mendorong prestasi, dan kreaktivitas secara

individual. Secara de facto, individualisme yang

mendorong munculnya tokoh-tokoh ilmu pengetahuan

dan bukan kolektivisme. Dampak negatifnya,

individualisme mendorong egoistisisme (bukan

13Ibid., h. 40-41.

27

manusia yang menjadi ukuran tetapi “aku”), diri

sendiri lebih penting daripada masyarakat.

Dijiwai oleh semboyan “struggle for life”,

“survival of the fittest”, nampak dalam bidang

sosial, politik dan ekonomi.

2) Naturalisme, manusia dianggap mempunyai kodrat

yang ansich baik, yang harus dihargai dan

menjadi ukuran.Dipakai sebagai titik tolak dalam

bidang sosial, politik, ekonomi; di sini sudah

ditaruh benih ateisme sehingga pada abad ke-18

timbul aliran-aliran yang bersifat ateistik,

pada abad ke-19 muncul Marx, abad ke-20 Marleau

Pounty, Sartre, dan sebagainya.

d. Abad ke-17

Humanisme mendorong rasionalisme dan empirisme.

Manusia harus menggunakan rasio (akal budinya)

untuk bisa menguasai dunia, rasio yang dilandasi

empiri (pengalaman). Rasionalisme dan empirisme

mendorong ilmu pengetahuan.

e. Abad ke-18

Mendorong lahirnya materialisme dan positivisme.

28

1) Materialisme, penghargaan besar terhadap

materi, manusia didorong untuk mengadakan

materi. Orientasi pada materi berarti juga

mengingkari hal-hal yang bersifat immateri.

Berkembang ke arah ateisme.

2) Positivisme, mendorong pada perhitungan

kuantitatif, menerjemahkan sesuatu secara

kuantitatif. Ilmu pengetahuan terutama ilmu

pengetahuan alam maju pesat, sehingga pada abad

ke-19 timbul ilmu pengetahuan sosial yang

berorientasi pada positivisme. Tokoh yang

terkenal Auguste Comte, dengan 3 tahapnya:

a) Tahap religius

b) Tahap metafisik-rasional (dalam

bentuk-bentuk kualitatif)

c) Tahap positif.

f. Abad ke-19

Timbul reaksi sosialisme dari Karl Marx

(Marxisme), timbul Neo-Positivisme dan kemudian

ateisme.

29

1) Ateisme: suatu orientasi yang

mempertanggung jawabkan bahwa sikap dirinya

adalah ateis. Jadi bukan sekedar mengingkari

Tuhan, tetapi juga supaya lebih bebas dalam

penghargaanya kepada manusia.

2) Marxisme: ateisme untuk membebaskan

manusia dari kesengsaraan. Ateisme dari Marx

adalah humanisme. Baginya agama adalah kumpulan

dari orang-orang yang sakit dan frustasi. Untuk

membebaskannya orang harus bangun, sebab

kepercayaan terhadap Tuhan adalah mimpi.

Sosialisme dari Marx dikaitkan dengan gerakan

untuk membebaskan manusia dari alienasi,

khususnya alienasi ekonomi, dengan memperbaiki

struktur eekonomidan seluruh kehidupan manusia.

Ekonomi dianggap sebagai faktor dasar dari

kehidupan manusia.

g. Abad ke-20

Timbul materialisme modern yang didukung oleh

teknologi maju. Dampak yang nampak, justru

materialisme inilah yang membuat manusia sebagai

30

penguasa yang bersifat serakah terhadap dunia.

Serakah tidak hanya terhadap alam, tetapi juga

terhadap manusia. Di Amerika timbul pragmatisme:

orientasi yang hanya menghargai sesuatu sejauh

mempunyai fungsi. Pragmatisme terhadap barang mati

tidak apa-apa, tetapi apabila dihadapkan kepada

manusia, timbul persoalan bahwa manusia hanya

sebagai fungsi dari suatu sistem yang lebih besar,

sehingga tidak nampak subjeknya.

Totoh-tokoh Etika dalam zaman baru tidak puas

terhadap pandangan filsafat lama. Oleh sebab itu,

timbullah reformasi pemikiran yang menonjol identitasnya

sendiri, mereka adalah:14

a. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir

Perancis yang menjadi pembangun mazhab

rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari

adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima

sesuatu akal harus tampil melakukan pemeriksaan.

Dari awalnya akallah yang menjadi pangkal untuk

mengetahui dan mengukur segala sesuatu;

14Ibid.

31

b. Spinoza (1632-1677) keturunan Yahudi yang

melepaskan diri dari segala ikatan agama dengan

menandaskan filsafatnya kepada rasionalisme.

Menurut dia, untuk mencapai kebahagiaan manusia

haruslah berdasarkan rasio (akal);

c. Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham

pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak

manusia;

d. John Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan

faham Epicurus ke faham Utilitarisme. Fahamnya

tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar di

sana. Utilitarisme adalah faham yang memandang

bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh

gunanya;

e. Immanuel Kant (1724-1804) ahli pikir jerman

terkemuka. Dalam bidang etika ia meyakini adanya

kesusilaan. Titik berat etikanya adalah rasa

kewajiban (panggilan hati nurani) untuk melakukan

sesuatu. Rasa kewajiban melakukan sesuatu

berpangkal pada budi.

32

Dapatlah dikatakan bahwa pada zaman baru ini

bermunculan berbagai mazhab etika. Ada yang

memperbaharui faham lama dan ada yang secara radikal

mengadakan revolusi pemikiran, tetapi tidak sedikit pula

yang mempertahankan etika teologis yakni ajaran akhlak

yang berdasarkan Ketuhanan.15

2. Beberapa Teori Etika Terkait

Pada umumnya, pandangan-pandangan mengenai etika

yang berkembang di belahan dunia ini dikelompokkan

menjadi tiga: etika hedonistik, utilitarian, dan

deontologis. Dengan kata lain, pemikiran masing-masing

mereka bisa mengandung prinsip-prinsip lebih dari satu

aliran besar tersebut di atas.16 Namun demikian, perlu

pula penjelasan beberapa teori etika yang terkenal:

a.Naturalisme

Yang menjadi ukuran (kriteria) baik dan buruknya

perbuatan manusia menurut aliran etika naturalisme,

ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah (naluri)

15Ibid. 16M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika

Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002),Cet. ke-1, h.16.

33

manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun

batin. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang

menjadi tujuan setiap manusia didapat dengan jalan

memenuhi panggilan natur atau kejadian manusia itu

sendiri. Itulah sebabnya, aliran tersebut dinamakan

“Naturalisme”.17

Etika naturalistik menelaah apa yang dilakukan

manusia secara kodrati, artinya berdasar keadaan dalam

diri manusia sendiri, dan atas dasar ini menjabarkan apa

yang harus dilakukan. Kenyataannya banyak manusia yang

berbuat tidak sesuai dengan kodratnya. Para ahli etika

naturalistik berpendapat adalah kekeliruan jika manusia

menentang kodratnya. Melalui cara inilah ia dapat

mencapai tujuan hidupnya dan menemukan kebahagiaan yang

sebenarnya. Oleh sebab itu manusia hendaknya

meninggalkan perilaku yang salah, untuk keperluan

tersebut ia harus diberi gambaran tentang kehidupan

sesuai dengan alam sebagai kehidupan yang terbaik.

17Hamzah Ya’qub, Op. Cit., ke-2, h. 43.

34

Dengan demikian pengertian “alam” memperoleh watak

pengertian norma.18

b.Teleologi

Aliran etika yang menentukan salah benarnya satu

perbuatan dari hasil perbuatan itu dinamai aliran

teleologi (Yunani: teleos=tujuan). Menurut aliran ini,

perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri secara intrinsik

tidak ada yang salah dan yang benar. Pada perbuatan

harus diperhitungkan hasil dari perbuatan itu.19

Secara umum memang dapat dikatakan, bahwa

perbuatan tertentu seperti berkata benar adalah baik,

tetapi di dalam situasi tertentu kadang-kadang dusta

akan memberi hasil yang baik. Seorang jendral misalnya ,

mendustai prajuritnya yang terdesak di medan perang

dengan mengatakan, bahwa mereka akan mendapat bala

bantuan. Dirangsang oleh berita ini yang pada hakekatnya

adalah dusta tetapi menggembirakan bagi prajurit-

18H. De Vos, Op. Cit., h. 159. 19M. Said, Etik Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1980), Cet. ke-2, h. 78.

35

prajurit itu, mereka akan bertempur lebih giat sehingga

akhirnya mereka menang.20

c.Hedonisme

Hedonisme bertolak dari pendirian bahwa menurut

kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang dalam

bahasa Yunaninya disebut “hedone”; dari kata inilah

timbul istilah “hedonisme”. Secara negatif usaha ini

terungkap dalam sikap menghindari rasa sakit, dan secara

positif terungkap dalam sikap mengejar apa saja yang

dapat menimbulkan rasa nikmat. Namun hedonisme tidak

sekadar menetapkan kenyataan kejiwaan ini, melainkan

juga berpendapat bahwa kenikmatan benar-benar merupakan

kebaikan yang paling berharga atau yang tertinggi bagi

manusia, sehingga dengan demikian adalah baik baginya

apabila mengusahakan kenikmatan.21

Di dalam filsafat Yunani kuno tokoh pertama yang

dikenal mengajarkan aliran hedonisme ialah Demokritus

(400 SM – 370 SM) yang memandang kesenangan sebagai

tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudnya

20Ibid. 21H. De Vos, Op. Cit., h. 161.

36

bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai

perangsang bagi intelek manusia.22

Pengikut Socrates yang bernama Aristippus (395

SM)mengajarkan, bahwa kesenanganlah yang merupakan satu-

satunya nilai yang ingin dicari manusia. Akhirnya

dikemukakan di sini Epikurus (341 – 270 SM) sebagai

tokoh dari zaman Hellenisme yang telah memperdalam

aliran hedonisme.

Karena kelezatan itu merupakan tujuan hidup

manusia, maka jalan yang mengantarkan ke sana

dipandangnya sebagai keutamaan (perbuatan mulia).

Epikurus sebagai tokoh utama aliran ini menerangkan 3

macam kelezatan.

d.Utilitarisme

Sesuai dengan nama aliran ini, maka yang menjadi

prinsip baginya, ialah kegunaan (utility) dari hal

perbuatan tersebut. Jadi aliran ini menilai baik

22M. Said, Op. Cit., h. 79, dikutip dari Eduard Zeller,

Outlines of the History of Greek Philosophy, (Newyork: Meridian Books, 1957), h. 85.

37

buruknya suatu perbuatan atas dasar besar kecilnya

manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia.23

Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral

di United Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke

seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf

Skotlandia, David Hume (1711-1776), sudah memberi

sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi

utilitarisme menurut bentuk lebih matang berasal dari

filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan

bukunya Introduction to the Principles of Morals and

Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya sebagai

dasar etis untuk membaharui hukum inggris, khususnya

hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu

teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat

kongret. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum adalah

memajukan kepentingan para warga negara dan bukan

memaksakan perintah-perintah Ilahi atau melindungi hak-

hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi

kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah

ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan

23Hamzah Ya’qub, Op. Cit., 44.

38

suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat

tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur

berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang

diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat.

Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain,

menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai

tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual

yang dilakukan atas dasar suka sama suka.24

Tokoh Utilitarisme lainnya adalah John Stuart

Mill. Baginya penghidupan sosial adalah sesuatu yang

wajar bagi manusia. Antara perhatian seseorang dan

perhatian masyarakat tidak ada perbedaan yang jelas.

Perasaan sosial merupakan tenaga yang kuat yang semakin

meningkat kalau kalau orang bertambah maju. Kalau orang

bekerja sama di lingkungan masyarakat sebagaimana

mestinya, perhatiannya pun akan menjadi sama, sebab

mereka sadar bahwa perhatian orang lain menurut

hakekatnya berada dalam keadaan yang selaras dengan

perhatian orang seorang. Tujuan Mill ialah hendak

meningkatkan rasa kebahagiaan masyarakat, supaya dapat

24K. Bertens, Op.Cit., h. 246-247.

39

mencapai jumlah rasa senang yang sebanyak-banyaknya;

bukanlah tujuannya untuk meningkatkan kebahagiaan orang

seorang.25

e.Deontologis

Etika deontologis (berasal dari kata deon yang

berarti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan

etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran

ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri dan,

pada saat yang sama, tidak (murni) rasional.26

Yang menciptakan sistem moral ini adalah filosof

besar jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Pemikirannya

tidak mudah tetapi sangat berpengaruh, sehingga ia bisa

dianggap sebagai salah seorang pemikir terbesar di

bidang filsafat moral. Menurut Kant, yang bisa disebut

baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang

baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau

dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensia,

misalnya, adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh

25M. Said, Op.Cit., h. 84. 26M. Amin Abdullah, Op.Cit., h. 16.

40

kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh kehendak yang

jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan

keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak

yang jahat.27

B. Pengertian Dakwah

Dakwah secara etimologi terambil dari akar kata

da’a ( ) yang berarti memanggil, mengundang atau

menyeru, sinonim dengan nâda ( ). Dakwah memiliki

banyak arti, namun jika digeneralisasikan ia berarti

mengajak kepada kebaikan dan berpegang teguh setia dan

taat pada agama (Islam).28 Banyak definisi telah dibuat

untuk merumuskan pengertian dakwah yang intinya adalah

mengajak manusia ke jalan Allah agar mereka berbahagia

di dunia dan akherat.29

27K. Bertens, Op. Cit., h. 245-255. 28Sa’id bin Musfir bin Mufrih Al-Qahthawi, Ad-Da’wah Ila Al-

Allah, (Makkah Al-Mukarramah, Dar Thoibah Al-Khodroou, 1423 H), h. 129.

29Lihat Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-2, h. 19, dikutip dari Syeikh Ali Mahfudh, Hidayah al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’adz wa al-Khitabaah, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt), h. 17.

41

Sedangkan dakwah secara terminologi seperti yang

definisikan Syekh Islam Ibn Taymiyyah: “Dakwah adalah

ajakan untuk beriman kepada-Nya, dan percaya pada

risalah yang dibawa Rasul-Nya dengan membenarkan segala

yang dikabarkan berupa kandungan yang berisi ajakan

untuk bersyahadah, melaksanakan shalat, membayar zakat,

puasa ramadhan, menunaikan haji, dan seruan untuk

beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-

kitabnya, Rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan, percaya

pada takdir baik dan buruk, dan seruan kepada hamba

untuk menyembah Tuhan seakan ia melihat-Nya.30

Menurut Muhammad Sayyid Al-Wakil dakwah adalah

mengajak dan mengumpulkan manusia untuk kebaikan serta

membimbing mereka kepada petunjuk dengan cara beramar

makruf dan nahi munkar. Allah SWT berfirman:

لتكن منكم امة یدعون الى الخیر ویأ مرون با لمعروف و

و ینهون عن المنكر واولبك هم المفلحون

“Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian satu golongan yang mengajak kepada kebaikan dan

30Ibid.

42

memerintah yang makruf, mencegah yang munkar, dan mereka itu orang-orang yang menang”. (QS. Ali Imrân: 104)31

Dakwah disebutkan di dalam Al-Quran (QS. Ibrahîm:

36) sebagai ‘panggilan’ Tuhan kepada masyarakat manusia

untuk menemukan agama yang benar di dalam Islam. Istilah

ini telah berkembang selama berabad-abad menjadi sebuah

ideologi eksplisit tentang proselitisme. Dakwah, yang

tidak pernah dipisahkan dari konteks politik dan sosial

kaum Muslim, telah digunakan untuk menyebarkan klaim

tertentu dari dinati-dinasti semisal Abbasiyah dan

sekte-sekte seperti Ismailiyah. Di bawah Ismailiyah,

kenyataannya, istilah ini menjadi sungguh-sungguh

sinonim dengan propaganda, dan para juru dakwah (da’i,

jamak du’a) Ismailiyah dari dinasti Fatimiyah yang

berpusat di Mesir telah mendapatkan keberhasilan dalam

merekrut para pengikut, baik bagi doktrin agama maupun

afiliasi politik. Pendidikan merupakan hal yang sentral

dalam seluruh konseptualisasi dakwah. Melalui kerja para

31Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah,

terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Cet. ke-1, h. 1-2.

43

da’i, Muslim maupun non Muslim memperoleh suatu

pemahaman tentang hidup---seperti bagaimana memahami Al-

Qur’an, menerapkan syariat, dan melakukan aktivitas

keseharian di dalam semangat Islam. Baik yang secara

formal dilakukan dilingkungan istana, sebagaimana halnya

para pemuka Fatimiyah sendiri, maupun secara informal di

lingkungan para sarjana.32

Sekarang, tradisi dakwah ini telah mulai

diformulasi ulang dalam suatu cara yang halus tetapi

penting. Pendidikan masih berperan sentral, dan bahkan

pola-pola politisasi telah terulang kembali. Sebagai

contoh, kelompok Syi’ah utama di Irak yang beroposisi

terhadap pemerintahan Saddam Husein (yang kini telah

tumbang-pen). (lahir 1937) memunculkan nama Hizb Al-

Da’wah Al-Islamiyyah (Partai Dakwah Islam). Sementara

salah satu sarana utama bagi penyebaran agama dan ide-

ide politik di Libia adalah Jam’iyah Al-Da’wah Al-

Islamiyah (Organisasi Dakwah Islam). Bahkan tradisi

32Lihat Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik

Muslim, terj. Rofik Suhud, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 48, dikutip dari M. Canard, “Da’wa”, Encyclopedia of Islam, (Leyden: E.J. Brill, 1965), Edisi baru, h. 169.

44

dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan

ide-ide tentang aktivisme kesejahteraan sosial---klinik

kesehatan gratis, sup ayam bagi orang-orang miskin,

subsidi perumahan, dan bentuk-bentuk bantuan mutual

lainnya yang seringkali menggantikan pelayanan

pemerintah yang tidak efektif atau malahan tidak ada.

Kaitan eksplisit dengan tradisi ‘sebelumnya’ adalah

pernyataan bahwa kaum Muslim, karena diwajibkan memenuhi

seruan Tuhan, harus menjalankan kewajiban yang

dititahkan Al-Qur’an untuk menciptakan keseimbangan

(mizan) dan keadilan (‘adl, qist) dalam urusan-urusan

manusia. Karena Islam menyajikan sebuah pandangan hidup

total (total way of life), maka seorang Muslim akan

turun derajat tanggung jawabnya jika mereka gagal

memperbaiki ketidakadilan sosial dan ketimpangan

ekonomi.33

C. Pengertian Etika Dakwah

Sebagaimana pengertian etika dalam kamus di atas

yang memiliki tiga makna: 1. ilmu tentang apa yang baik

33Ibid, h. 48-49.

45

dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan

dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah yang

dianut suatu golongan atau masyarakat. Bila kita ambil

pengertian pertama berarti etika sebagai ilmu (filsafat

moral). Bila kita ambil pengertian ke dua maka berarti

yang dimaksud etika dakwah adalah pembicaraan tentang

kode etik dakwah. Bila diambil pengertian yang ketiga

berarti Etika dakwah adalah nilai etis perilaku dakwah.

Tesis ini, penulis titiberatkan pada pengertian

etika dakwah yang ke tiga, yaitu nilai-nilai atau norma-

norma etis dalam dakwah. Adapun nilai-nilai etis, hingga

membentuk etika dakwah, yang diangkat dalam tulisan ini

adalah: etika dakwah dalam keteladanan, etika dakwah

dalam keikhlasan, etika dakwah dalam pluralisme agama,

etika dakwah dalam bertauhid, etika dakwah dalam

politik, dan etika dakwah dalam globalisasi.

Menurut K. Bertens, bahwa arti ke-3 dalam kamus

tersebut lebih mendasar. Arti ini juga bisa dirumuskan

sebagai ‘sistem nilai’. Atau ---menurut Paul Edwards---

46

sebuah pola umum atau “cara hidup”.34 Namun, tidak

menutup kemungkinan tulisan ini juga bercorak filosofis,

yakni etika sebagai seperangkat nilai baik-buruk suatu

perilaku dakwah. Dengan kata lain etika dakwah di sini

adalah bagian dari filsafat dakwah. Penulis berusaha

menyelaraskan “etika wahyu” dan “etika rasional” dalam

membentuk etika dakwah dalam penulisan tesis ini. “Hanya

kerjasama” antara keduanya yang akan menyelamatkan

manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan

kepribadian.35

Yang menentukan dalam mengukur etis atau

tidaknya dakwah adalah nilai-nilai dasar yang dipakai

sebagai acuannya. Dalam hal ini, maka Al-Qur’an dan

hadis adalah acuan utama dalam menentukan nilai-nilai

etis dakwah. Tentunya ayat dan hadis yang diterapkan

sesuai dengan kondisi masyarakat dakwah dan perkembangan

zaman yang dinamis. Meminjam terminologi Majid Fakhry

34Lihat Paul Edwadrs (ed.), The Encyclopaedia of Philosophy,

(New York: McMillan Publishing Co., 1967), Vol. III, h. 82-83, dikutip oleh Muhbib Abdul Wahab, “Revitalisasi Etika Islam Dalam Pendidikan”, Misykat Al-Anwar, Volume 8, Nomor 1, Juni 2002, h. 450 35Lihat M. Amin Abdullah, Op. Cit., h. 220.

47

yakni mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara

yang lebih langsung. Seperti biasanya dalam masalah ini

para penulis agama, khususnya pada periode yang paling

awal, telah memikirkan tentang konsep-konsep kunci al-

Qur’an tentang iman, warầ’ dan tha’ah dan sering

menggunakan catatan dari al-Qur’an dan Sunnah untuk

mendukung disquisisi moral atau agama mereka.36

1. Sejarah Etika Islam

Islam mengajarkan umatnya agar berbuat baik

kepada siapapun. Islam juga menganjurkan berbuat adil

dan melarang perbuatan aniaya. Demikian sekelumit ajaran

yang termaktub dalam Al-Quran.

Pernyataan Nabi Muhammad bahwa “aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak” (HR Malik dalam Al-Muwaththa dan

al-Bukhari)37 merupakan pernyataan memerangi bangsa Arab

36lihat Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), Cet. ke-1, h. 68, lihat pula Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. ke-2, h. 42.

37Lihat Abdul Badî’ Shaqr, Meneladani Akhlak Nabi, Hadis-hadis pilihan tentang Akhlak Mulia, (Bandung: Al-Bayan, 2004), Cet ke-1, h. 68.

48

jahiliyah dari kebobrokan moral dan penyesatan akidah.

Hasilnya sangat gemilang, dalam waktu singkat, Nabi

mampu merubah bangsa Arab menjadi bangsa yang agung dan

beradab.

Fenomena tersebut menginspirasi pemikir Islam

dalam menyelidiki moral (akhlâk) hingga terbentuklah

ilmu akhlak (etika) secara sistematis. Yang termashur

melakukan penyelidikan tentang akhlak dengan berdasar

ilmu pengetahuan ialah Abu Nasr Al Farabi (W. 339 H).

Demikian juga Ikhwanus Sofa dalam risalah brosurnya, dan

Ali Ibnu Sina (370 – 428 H). Mereka telah mempelajari

filsafat Yunani, terutama pendapat bangsa Yunani

mengenai akhlak. Boleh jadi penyelidikan bangsa Arab

terbesar mengenai akhlak adalah yang dilakukan oleh Ibnu

Maskawaih (w. 421 H) dalam kitabnya yang terkenal

Tahdzibul akhlâk wa Tathhirul a’raq.38

Dengan demikian Maskawaih telah mengangkat akhlak

atau kajian tentang akhlak kepada martabat ilmu yang

utuh (tersendiri) dari ilmu-ilmu filsafat. Dengan

demikian, dia telah menegaskan dalam bidang-bidang Islam

38Ahmad Amin, Op. Cit., 149.

49

otoritas pemikiran pemikiran tersendiri bagi otoritas

yang ditegaskan oleh Aristoteles pada Yunani klasik

ketika dia menulis ‘risalah tentang etika kepada

Necamacus’. Dalam kenyataannya kitab Tahdzib tersebut

menyempurnakan inti pandangan Aristoteles.39

Tema-tema besar pada kitab Tahdzib tersebut telah

disempurnakan/disesuaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab

Mizānul ‘Amal dan diberikan bentuk keislaman padanya

(yakni Islamisasinya telah tuntas). Sementara Nasiruddin

Thusi (meninggal tahun 672 H/ 1273 M) telah

menerjemahkan kitab tersebut ke dalam bahasa Parsi.

Sampai pada masa sekarang ini, kita tidak melihat upaya

dalam bahasa Arab yang menyamai upaya Maskawaih. Bahkan

pengkajian kitab Tahdzibul Akhlâk telah terhenti di

dunia Arab-Islam sejak masa Muhammad Abduh sampai

sekarang. Seperti diketahui, pemimpin pembaharu tersebut

mengkajinya dan membahasnya di al-Azhar pada permulaan

abad ini. Benar bahwa pengajaran akhlak dalam bentuk

kurikulum untuk menggolongkan nilai-nilai keutamaan dan

39M. Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme, Jauhari, et.al., (ed.) (Surabaya: Al-Fikr, 1999), Cet. Ke-1, h. 284.

50

keburukan, yaitu berdasar kepada pembagian tradisional

antara yang baik dan yang buruk di bawah pandangan

‘keagamaan’ tetap berlangsung di sekolah-sekolah, tetapi

tidak terdapat suatu pembahasan filosofis atau teologis

tentang dasar-dasar pandangan bagi nilai-nilai yang

dipraktekkan secara aktual, yakni dalam kehidupan yang

berjalan dari hari ke hari. Pemikiran teoritis sekitar

akhlak dalam kemasan klasik telah ditopang dan

disempurnakan melalui penetapan aturan-aturan

keberakhlakan dan politis yang bertentangan dengan

(aturan-aturan) yang diperintahkan oleh pemikiran

keagamaan atau filosofis. Penetapan ini telah tuntas

melalui karya-karya sastera yang ‘agung’ dan melalui

risalah-risalah, kaidah-kaidah puitis atau literatur-

literatur kesejarahan dan geografis. Dan Maskawaih

sendiri telah menulis sebuah kitab terkenal dalam ilmu

sejarah yang diberi judul Tajaribul Umam (pengalaman

bangsa-bangsa). Dalam kitab ini dia menyampaikan kepada

masyarakat zamannya pandangan filosof mukmin tentang

51

pandangan penerapan keberakhlakan dan politis secara

menyeluruh.40

2. Teori Etika Islam

Ada beberapa kecenderungan teori etika dalam

Islam yang dapat ditipologikan dalam: a. Etika

Skriptural, b. etika teologis, c. Etika Filosofis, d.

Etika Religius. Tipologi ini didasarkan pada

kecenderungan dalam menggunakan sumber dan subtansi

pemikiran etika, serta keterpengaruhannya dengan

pemikiran di luar Islam, seperti etika filosofis yang

sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, Plato dan

Neoplatonisme.41

a. Etika skriptural, sesuai dengan namanya,

menunjuk pada pemikiran di bidang etika Islam

yang mendasarkan diri pada teks-teks atau

pernyataan-pernyataan moral al-Qur’an dan Sunnah

Nabi SAW. Wacana ini dikembangkan oleh para

teolog dan filosof dengan penuh ketelitian

40M. Arkoun, Op. Cit., h. 285. 41Lihat Muhbib Abdul Wahab, Op. Cit., h. 45.

52

abstraksi dan analisis mereka berdasarkan

metode-metode dan kategori-kategori diskursif

yang berkembang pada abad 8 dan 9. 42

b. Etika Teologi, dengan landasan pokoknya

dari Al-Qur’an dan Sunnah dan percaya penuh

terhadap keduanya, hanya saja dalam penafsiran

dan elaborasinya cenderung dibawa ke dalam

wacana teologis, seperti konsep kemahakuasaan

dan keadilan Tuhan. Penganjurnya adalah

Mu’tazilah yang telah memformulasikan antara

sistem etika Islam abad ke-8 dan ke-9 dengan

dasar pengandaian deontologi dan Asy’ariyah yang

telah mendirikan sistem moralitas voluntaris

yang kuat, yang tidak menolak metode diskursif

para filosof, akan tetapi tetap setia terhadap

konsep al-Qur’an tentang kemahakuasaan Tuhan.

Tuhan Yang Maha Pencipta dan Pemurah sekaligus

sebagai Sumber Utama Wujud dan Kebaikan di

dunia.43 Etika teologis dapat dibagi menjadi

42Ibid., dikutip dari Majid Fakhry, Op. Cit., h. xxi. 43Lihat Majid Fakhry, Op. Cit., h. xxi.

53

tiga, yaitu: rasionalis, semi rasionalis dan

voluntarisme dan anti rasionalis. Yang pertama

(rasionalis) diwakili oleh Mu’tazilah, yang

kedua (semi rasionalis) oleh Asy’ariyah, dan

yang ketiga (semi rasionalis dan voluntarisme)

oleh Zhahiriyah, terutama Ibn Hazm dan Ibn

Taimiyah. Kedua nama terakhir menolak validitas

argumentasi dialektis dan teologis dan

mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber

pokok kebenaran agama diinterpretasikan secara

harfiah.44

c. Etika Filosofis, muncul sebagai sebuah

wacana pemikiran yang mengadopsi dan memberi

warna Islam pada pemikiran etika Plato dan

Aristoteles serta Neoplatonisme. Aliran ini,

antara lain diwakili oleh Ibn Miskawaih, al-

Thusi dan al-Dawwani. Aliran ini cenderung

mengedepankan argumen-argumen filosofis.

d. Etika Religius, berakar dari konsepsi Al-

Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam

44Ibid. h. xix.

54

semesta. Teori ini agak berbeda dari tipe

moralitas skriptural di mana para penganjurnya

telah menerima pengaruh filsafat Yunani dan

Teologi Islam dan menjadi sadar akan terma-terma

yang dilancarkan oleh aliran dialektika pada

abad ke-8 sebagai hasil konfrontasi dan kontak

dengan filsafat Yunani dan teologi Kristen di

Damaskus, Baghdad, dan pusat-pusat belajar

lainnya di Timur Dekat. Bahan-bahan etika

religius adalah pandangan dunia al-Qur’an,

konsep-konsep teologi, kategori-kategori

filsafat, dan dalam beberapa hal sufisme. Maka

sistem etika ini muncul dalam bentuk yang sangat

kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang

paling islami. Diantara eksponennya adalah al-

Hasan al-Basri (w. 728 M), seorang asketik abab

ke-8; al-Mawardi (w. 1058 M) seorang ahli hukum

Syafi’i dan teolog yang menulis karya etika

Right Conduct (Adab) in Matters Worldly and

Religious; dan al-Raghib al-Isfahani (w. 1108)

penulis karya etika Kitab al-Dzari’ah ilâ

55

Makarim al-Syari’ah, yang telah mempengaruhi al-

Ghazali dan penulis lainnya. Al-Ghazali, yang

sistem etikanya mencakup moralitas filosofis,

teologis dan sufistik adalah contoh yang paling

representatif dari tipe etika religius.45

D. Urgensi Mempelajari Etika Dakwah

Mempelajari etika bukan hanya mengetahui

pandangan (theory), tetapi juga mempengaruhi dan

mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan

menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, dan memberi

faedah kepada sesama manusia. Etika mendorong kehendak

manusia agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu

berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.46

“Sebuah masyarakat tanpa etika adalah masyarakat

yang menjelang kehancuran”, ucap S. Jack Odell yang

dikutip Richard L. Johannesen. Menurut odell, “konsep

dan teori dasar etika memberikan kerangka yang

dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau moral

45Ibid. 46Ahmad Amin, Op.Cit., h.7.

56

setiap orang”. Odel yakin bahwa “prinsip-prinsip etika

adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas

sosial. Tanpa prinsip-prinsip etika, mustahil manusia

bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan, kecemasan,

keputusasaan, kekecewaan, pengertian, dan

ketidakpastian”.47

Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di

satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman

kepercayaan mereka, di lain pihak sekaligus mau

berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak

menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat

yang sedang berubah itu.48

Demikian pula etika dakwah, ketika ia dapat

diterima dan dipahami dengan baik oleh insan dakwah,

maka tujuan dakwah yang rahmatan lil’alamîn dengan

sendirinya akan terwujud. Selain itu wujud kongkrit

pentingnya etika dakwah adalah mewujudkan manusia yang

bahagia dunia dan akherat.

47Richard L. Johannesen, Op. Cit. h. 6. 48Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok

Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. ke-17, h. 16.

57

E. Butir-Butir Pemikiran Kode Etik dan Etika Dakwah

Kode etik adalah kumpulan asas dan nilai moral

(akhlak). Kode etik sebetulnya tidak merupakan hal yang

baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku

moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui

ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan

dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu

contoh tertua adalah ‘Sumpah Hippokrates’ yang bisa

dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi

dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang

digelari ‘bapa ilmu kedokteran’ dan hidup dalam abad ke-5

SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini

merupakan buah pena Hippokrates sendiri, tapi setidak-

tidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan

meneruskan semangat profesional yang diwariskan dokter

Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang

sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode

etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan

dan tersebar bagitu luas seperti sekarang ini. Jika

sungguh benar zaman kita diwarnai suasana etis yang

58

khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak

kode-kode etik ini.49

Profesi adalah suatu moral community (masyarakat

moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.

Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga

karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-

sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.

Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang

mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu memiliki

tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas

suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi

menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu

kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang

mempergunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu

dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia

dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif

profesi ini. Dengan adanya kode etik, kepercayaan

masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena

setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya

akan terjamin. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan

49K. Bertens, Op. Cit., h. 280.

59

arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga

menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.50

Dakwah sebagai suatu profesi, tentu juga punya

aturan main yang tertuang dalam bentuk kode etik dakwah.

Namun, kode etik dakwah yang ada belum sepenuhnya

berjalan efektif. Kurang efektifnya kode etik dakwah

disebabkan beberapa faktor:

1. Kurang tersosialisasinya kode etik dakwah yang

ada. Hal ini mengakibatkan da’i tidak sepenuhnya

mengetahui rambu-rambu dalam dakwah, mad’u pun

demikian;

2. Kode etik dakwah yang ada, masih terserak.

Tidak ada kesepakatan yang pasti tentang kode etik

yang ada. Beberapa pemikir dan penulis dakwah

merumuskan tentang kode etik dakwah, berdasarkan

pendapat sendiri, tidak mengacu pada kesepakatan

bersama. Kode etik yang ideal adalah dibentuk

berdasarkan kesepakatan bersama oleh komunitas

(profesi) dakwah. Kemudian dilaksanakan, ditaati

50Ibid., h. 280-281.

60

dan diawasi, atau bila perlu dikenakan sangsi

hukuman bagi yang melanggar;

3. Kurang efektifnya kode etik dakwah

selanjutnya adalah karena aktivitas dakwah belum

dianggap sebagai profesi. Dalam kerangka ini,

kalau boleh dikatakan dengan ekstrem, maka kode

etik adalah hal yang mengada-ada.

Beberapa penulis tentang kode etik dakwah, dan

butir-butir pemikirannya adalah sebagai berikut:

1. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil51

a. Iman (percaya) kepada apa yang

didakwahkan;

b. Qudwah hasanah (keteladanan yang

baik;

c. Istiqamah;

d. Sabar menghadapi berbagai kendala dan

penderitaan;

e. Lapang dada dan lembut (santun);

51Butir-butir kode etik dakwah yang beliau telurkan adalah yang

paling komprehensif sepanjang penelusuran penulis. Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Ed. ke-1, h. 107-137.

61

f. Tawadhu (rendah hati);

g. Zuhud dan tekun berdakwah;

h. Tekun dan kuat beribadah;

i. Ikhlas (tanpa pamrih);

j.Tanggap dan mengerti tentang kondisi dan

lingkungan di sekitarnya;

2. Ali Mustafa Yaqub52

a. Tidak memisahkan antara ucapan dan

perbuatan;

b. Tidak melakukan toleransi agama;

c. Tidak mencerca sesembahan lawan;

d. Tidak melakukan diskriminasi;

e. Tidak memungut imbalan;

f. Tidak mengawani pelaku maksiat;

g.Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui;

3. Toha Yahya Omar53

52Lihat Ali Mustafa yakub, Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi,

(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000), Cet. ke-2, h.36-47. 53Lihat M.Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta: al-

Mawardi Prima, 2004), Cet. ke-1, h. 97-98.

62

a.Berlaku Sopan

b.Jujur

4.Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI

Jakarta54

a.Muballigh menyampaikan ajaran Islam yang

bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, atas dasar

niat yang tulus ikhlas melalui pendekatan hikmah,

mau’idzah hasanah dan mujadalah billati hiya

ahsan;

b.Muballigh adalah pelopor penghayatan dan

pengamalan ajaran Islam;

c.Muballigh memiliki kebebasan mimbar yang

bertanggungjawab kepada Allah Swt. dan

kemaslahatan umat;

d.Muballigh senantiasa lebih mengutamakan kepada

kepentingan agama Islam, masyarakat, bangsa dan

negara daripada kepentingan pribadi atau

kelompoknya;

54Lihat Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI Jakarta,

Adab dan Akhlak Muballigh, 2002, h. 8.

63

e.Muballigh secara sendiri-sendiri atau bersama-

sama berusaha secara terus-menerus meningkatkan

pengetahuan dan mengembangkan mutu profesinya;

f.Muballigh mempunyai kejujuran dalam menyampaikan

dakwahnya;

g.Muballigh senantiasa berusaha dan menjaga agar

forum dakwah tidak disalahgunakan oleh pihak

manapun demi terciptanya ukhuwah Islamiyah;

h.Muballigh senantiasa berusaha menjalin hubungan

baik dengan semua pihak dengan tetap berpegang

teguh pada ajaran Islam;

i.Muballigh bersikap terbuka dan toleran serta

menerima dengan lapang dada setiap nasehat dan

kritik untuk kepentingan pencapaian tujuan

dakwah;

Toha Yahya Omar, dalam pendapatnya tentang

hubungan etika dan dakwah menggunakan kalimat etika

dakwah. Sedangkan Ali Mustafa Yaqub menggunakan istilah

etika dakwah dan kode etik dakwah adalah (istilah) yang

sama. Bila kita merujuk pada makna etika dalam kamus,

maka Toha Yahya omar benar menggunakan istilah etika

64

dakwah. Sedangkan Ali mustafa yaqub tidak sepenuhnya

salah. Ali Mustafa Yaqub akan lebih baik, jika

menggunakan istilah kode etik dakwah saja, tanpa

menyamakannya dengan etika dakwah. Karena etika (dakwah)

memiliki tiga makna, yang di antaranya adalah kode etik.

Sedangkan pembicaraan Ali Mustafa Yakub adalah seputar

kode etik, bukan etika (dakwah) dalam arti yang lebih

luas.

67

BAB III

PROBLEMATIKA ETIKA DAKWAH

Al-Qur’an adalah suatu ajaran yang berkepentingan

terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi

tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah tindakan

politik, keagamaan (dakwah) ataupun sosial, dipandang al-

Qur’an sebagai ibadah atau ‘pengabdian pada Tuhan. Karena

itu, al-Qur’an mengutamakan semua penekanan-penekanan

moral dan faktor-faktor psikologis yang melahirkan

kerangka berpikir yang benar bagi tindakan. Ia

memperingatkan manusia terhadap kesombongan dan rasa

cukup-diri (self-sufficiency), yakni humanisme murni di

satu pihak, dan putus asa serta patah semangat di pihak

lain. Ia terus-menerus mendesak agar orang ‘selalu

waspada (taqwa)’ dan ‘takut pada Tuhan’ di satu pihak,

dan menegaskan ‘rahmat Tuhan dan kebaikan esensial

manusia’ di lain pihak. Dan seterusnya. Jelas bahwa

dorongan dasar al-Qur’an adalah untuk membebaskan sebesar

mungkin energi moral manusia yang kreaktif. Pandangan

umum dan merata di kalangan Barat, dan melalui mereka,

68

juga kelompok-kelompok non-Muslim yang lain, bahwa

Tuhannya al-Qur’an adalah si Maha Lalim yang sewenang-

wenang menimbulkan rasa takut daripada perasaan yang

lain-lain, barangkali adalah pemahaman yang paling

kekanak-kanakan atas al-Qur’an sendiri. Yang sebagian

berakar dari prasangka yang telah lama, dan sebagian juga

dari perumusan-perumusan teologi tentang Islam dari zaman

pertengahan yang dibuat oleh teolog-teolog Islam sendiri

dan, tentu saja, sikap kongkrit yang dihasilkannya di

kalangan kaum muslimin sendiri pada umumnya.1

Etika muncul sebagai respon dari disquisisi moral

yang berlangsung dalam suatu masyarakat. Dalam konteks

dakwah, etika dakwah merupakan respon dari munculnya

permasalahan-permasalahan menyangkut problem etis dakwah.

Dakwah dituntut untuk dapat mengembangkan metode yang

dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Etika berusaha

memandu dan membingkai agar dakwah yang dinamis tersebut

tidak menyimpang dari nilai etis.

1Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,

1997), Cet. ke-3, h.354.

69

A. Da’i Sebagai Teladan

Sebagai pengemban dan penyebar risalah agama,

seorang da’i hendaklah menjadi uswah dan qudwah bagi

ummat. Kita sering mendengar pernyataan bahwa krisis yang

multidimensional di negara ini disebabkan lemahnya moral

dan keteladanan serta lembeknya etika. Kehancuran moral

tersebut, memang banyak faktornya, diantaranya adalah

kurang dihayatinya nilai-nilai agama. Persoalan ini

terdengar klasik, tapi tetap menjadi wacana yang hangat

bila kita buka kembali. Seperti diungkapkan oleh Gibben

dalam tesisnya The Decline and Fall of Roman Empire

(Mundur dan Jatuhnya imperium Romawi), yang menyebabkan

hancurnya suatu negara adalah kehancuran akhlak.2

Saat ini, banyak figur yang dianut masyarakat

diluar figur seorang da’i. Kita bisa melihat histerisnya

para penonton konser musik sheila on-7 atau pertandingan

sepak bola tim idolanya, yang terkadang menelan korban

sia-sia, bukan mati syahid di jalan Allah. Kita bisa

saksikan betapa semaraknya pertunjukkan AFI (Akademi

Fantasi Indosiar) di malam minggu di salah satu stasiun

2Lihat Nurcholish Madjid, Bunga Rampai Bimbingan Rohani Islam, (Jakarta: BAPINROH DKI, 2002), h. 98.

70

televisi swasta di negeri ini, hingga nyaris anak-anak

kecil sampai dewasa hafal tema lagu acara tersebut. Ini

adalah fenomena bahwa masyarakat sekarang, khususnya

generasi muda membutuhkan panutan yang positif, untuk

mengarahkan pada kondisi spiritualitas yang mapan dan

stabil. Pondasi agama yang kokoh dan kuat adalah bekal

efektif untuk mengarungi samudra kehidupan masa depan

dengan lebih baik.

Di sinilah seorang da’i sebagai penerus para Nabi

memiliki peran dan tanggung jawab yang signifikan.

Bagaimana kiprah dakwahnya dapat diterima dan mendapat

simpatik dari semua lapisan masyarakat. Kemasan dakwah

yang menarik serta syarat dengan pendidikan moral adalah

hal yang sangat mendesak untuk direalisasikan. Dakwah

pada kenyataannya bukan hanya untuk ummat Islam semata,

tapi juga untuk ummat lain sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.

B. Upah (Gaji) Bagi Seorang Da’i

Upah (gaji) terkadang masih dianggap tabu oleh

sebagian da’i atau masyarakat. Pembayaran gaji bagi da’i

dianggap suatu hal yang menyalahi perintah Allah seperti

yang termaktub dalam firmannya surat as-Saba’: 47

71

ق ل م ا س أ ل تكم م ن اج ر فه و لك م ان اج ري اال عل ى اهللا

وهوعلىكل شيء شهید

“Katakanlah: Aku tidak minta upah (balasan) kepadamu, balasan itu untukmu. Upahku tidak lain hanya dari Allah. Ia menjadi saksi atas segala sesuatu”. (QS. As-Saba’: 47)

علیه ماال ان اجري اال على اهللا ویقوم ال ا سئلكم

“Wahai kaumku, aku tidak meminta (imbalan) harta kepadamu dalam menyampaikan seruanku…” (QS. Hûd: 29)

Ayat di atas menggambarkan larangan mengambil

upah dari kerja dakwah. Benarkah demikian, suatu hal yang

paradok bila di satu sisi da’i dituntut harus bekerja

dengan profesional, namun di sisi lain dilarang menerima

upah (gaji). Benarkah pula bahwa nilai ikhlas ditentukan

oleh materi?

Dalam hal ini, tiga kelompok mazhab berbeda

pendapat mengenai boleh tidaknya da’i menerima imbalan

dari pihak yang didakwahi:

72

1.Kelompok pertama terdiri dari para ulama madzhab

Hanafi, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa

memungut imbalan dalam menyiarkan ajaran Islam itu

hukumnya haram secara mutlak, baik ada perjanjian

sebelumnya untuk itu maupun tidak.

2.Kelompok kedua terdiri antara lain Imam Malik bin

Anas, Imam as-Syafi’i, dan lain-lain. Mereka

berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyebarkan

ajaran Islam itu hukumnya boleh, baik ada perjanjian

sebelumnya maupun tidak.

3.Kelompok ketiga antara lain terdiri dari al-Hasan

al-Bashri, al-Sya’bi, Ibnu Sirin dan lain-lain.

Mereka berpendapat bahwa apabila ada perjanjian

sebelumnya untuk memungut imbalan dalam mengajarkan

agama Islam, maka hal itu hukumnya haram. Tetapi

apabila tidak ada perjanjian apa-apa, kemudian orang

yang mengajarkan agama Islam itu diberi imbalan,

maka hal itu hukumnya boleh.3

Terdapatnya perbedaan pendapat mengenai upah

dalam pengajaran Islam (dakwah), menunjukkan dinamisasi

3Lihat Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000), Cet. ke-2, h. 43-44.

73

pemikiran di kalangan umat, dan ulama mazhab. Perbedaan

tersebut diharapkan tidak mengurangi sikap profesional

bagi da’i. Masyarakat luas sebagai mad’u juga dianjurkan

bersikap bijak, menghargai profesi da’i.

C. Dakwah dan Pluralisme Agama

Ketika membincangkan kemerdekaan agama, maka

sepatutnya kita gunakan literatur kitab agama yang kita

yakini. Agama (Islam) seingat kita sangat menjunjung

tinggi kemerdekaan beragama ini. Agama adalah keyakinan

bukan paksaan. Agama adalah kedamaian bukan permusuhan.

Manusia dibekali fitrah, untuk membedakan yang

baik dan buruk. Seperti ayat yang termaktub dalam al-

Qur’an:

فألهمها فجورها و تقو ها

“maka Aku ilhamkan kepada manusia jalan buruk dan baiknya” (QS Al-Syams: 8).

Kesalahan penggunaan fitrah adalah pengingkaran

hati yang paling dalam, hingga menyebabkan hidup tanpa

keseimbangan, kemudian jatuh pada kenistaan nan rendah

74

(sâfilîn). Fitrah yang mengarah pada kebaikan (al-ma’rûf)

hendaklah ditumbuh suburkan. Pada dasarnya potensi

kefitrahan manusia dipenuhi kebaikan (ihsān). Karena,

selain secara fisik dan psikologis manusia sebagai

makhluk terbaik, ia juga secara fitrah memiliki nilai-

nilai kemanusiaan. Atau menurut DR. Kuntowijoyo dengan

mengutip Al-Qur’an:

كنتم خیر ا مة ا خرجت للن اس ت أمرون ب ا لمع روف و تنه ون

عن المنكر وتؤمنون باهللا

“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah” (QS. Ali- ‘Imrân: 110).

Berarti manusia memiliki potensi penting yaitu;

humanisasi, liberasi dan transendensi. Tiga muatan nilai

inilah yang mengkarakteristikkan ilmu sosial profetik,

yang sering diderivasikan dari misi historis Islam, yaitu

ilmu sosial yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat

75

menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.4 Liberasi

yang dimaksud Kunto Wijoyo juga mencakup kemerdekaan

beragama sebagai hak asasi individu.

Menurut Natsir Iman seseorang hanya dapat

ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi daripada tekanan

dan paksaan. Memang sudah begitu pembawaan fithrah

manusia. Kata Sayidina Ali: “hati bila dipaksa buta”

(innal qalba idzâ ukriha ‘umiya).5 Suasana bebas memeluk

agama, memberikan peluang besar bagi masing-masing agama

untuk mendakwahkan misi ajarannya.

Dakwah dalam lingkup agama merupakan sarana

penyebarluasan dan sosialisasi. Kemerdekaan beragama

hendaklah dipahami dan menjadi pegangan erat bagi juru

dakwah. Menginggat pluralisme agama yang ada. Agama

adalah suatu petunjuk (hidayah), tak seorangpun yang

mampu memberi ataupun memaksa. Dakwah hanya terbatas pada

media informatif. Kita hanya ingin mencoba bahwa “agama

4Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi,

(Bandung: Mizan, 1998), Cet. VIII, h. 288-289. 5M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Yayasan Capita Selecta,

2000), Cet. X, h. 123.

76

adalah pesan (nasehat)” (ad-dînu an-nasîhah).6 Sampai di

sini, dakwah memiliki keterbatasan (untuk tidak

mengatakan kelemahan), agar manusia berendah diri dan

jauh dari kesombongan. Da’i hanyalah perantara,

penyampai tidak lebih dari itu. Tugas Nabi Muhammad pun

tak lebih daripada menyampaikan, yaitu memberi tahu,

memperingatkan, dan membimbing manusia. Keberhasilan atau

kegagalan dakwah bukanlah tanggung jawabnya, melainkan

tanggung jawab Allah.7 Allahlah yang menentukan,

membimbing, atau membiarkan siapa saja yang dikehendaki-

Nya. 8 Allah SWT. Maha mengetahui siapa-siapa hambanya

yang mampu menerima hidayah (Islam), dan juga Memgetahui

siapa yang ingkar.

Dengan memahami kemerdekaan beragama, seorang juru

dakwah diharapkan mampu melakukan tugas dakwah dengan

bijak, serta memiliki strategi yang handal guna

pencapaian misi agama yang hanîf. Uslûb bahasa yang

6Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran, Vol. IV, No.1, 1993.

7Lihat QS 42:48; 10:99, Sebagaimana dikutip oleh Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-1, h. 153.

8Lihat QS 2:142; 10:25; 6:88; 22:16; 24:35, Ibid .

77

persuasif seperti; qaulan balîgha, qaulan layyina, qaulan

maisûra, qaulan karîma, qaulan syadîda, yang sesuai

dengan objek dakwah juga hendaknya dipahami.9 Sebaliknya,

perilaku yang kasar, main paksa justru menjauhkan

simpatik orang lain.10 Allah berfirman:

ولوكنت فظا غلیظ القلب ال نفضوا من حولك

“.... Jika sekiranya engkau keras hati, niscaya mereka lari dari sisimu....” (QS. Ali-‘Imrân: 159). Pemahaman kemerdekaan beragama terasa begitu

penting, mengingat keniscayaan pluralisme agama. Secara

intern dan ekstern pemahaman kemerdekaan agama setidaknya

akan menghasilkan toleransi beragama. Berujung pada

dialog dan buahnya adalah kerukunan agama. Pernyataan ini

terkesan begitu ideal, namun begitulah kurang lebih yang

dipesankan agama. Berbeda namun saling kasih.

Mengistilahkan terminologi Nasir tamara bahwa dalam

Islam, keragaman budaya lokal selalu ditempatkan dalam

9lihat Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1999), Cet. ke-2, h. 200. 10Lihat Abu Zahrah, Dakwah Islamiah, terj. H. Ahmad Subandi

dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), cet. ke-1, h. 155.

78

rangka membangun peradaban Islam yang global (unity in

diversity).11

D. Dakwah dan Penegakkan Tauhid

Selain krisis moral, keteladanan, umat juga

mengalami krisis tauhid yang tidak kalah hebatnya.

Tayangan-tayangan mistis yang tidak mendidik di televisi

semakin semarak, tentunya semakin memperpuruk ketauhidan

kepada Allah. Sikap hidup materialistis yang kian

konsumtif juga memperparah situasi tauhid yang labil. Tak

jarang materi dijadikan “tuhan” karena ia menjadi tujuan.

Tauhid merupakan pondasi utama umat, jika ia

rapuh, niscaya angin badai dengah mudah menerpanya.

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan Maha Esa menciptakan

manusia dalam bentuk terbaik, untuk menyembah dan

mengabdi kepada-Nya.12 Ini berarti bahwa seluruh

keberadaan manusia di muka bumi bertujuan mematuhi Tuhan,

menjalankan perintah-Nya. Tauhid Juga menegaskan bahwa

11Nasir Tamara, dkk., Agama dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. ke-1, h. xxii.

12Sesuai dengan ayat, “Dan Aku tak menciptakan jin atau manusia kecuali agar menyembah dan mengabdi kepada-Ku” (QS. 51:56).

79

tujuan ini termasuk kekhalifahan manusia di muka bumi,

firman-Nya:

…ة انى جاعل فى األرض خلیفةواد قال ربك للملنك

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di atas bumi (Adam)... (QS. Al-Baqarah: 30)

Karena, menurut Al-Quran Tuhan telah memberikan

amanat-Nya kepada manusia, amanat yang tak mampu dipikul

langit dan bumi, dan yang mereka hindari dengan

ketakutan, firman-Nya:

انا عرضنا األمانة على السموت واالرض و الجبال ف أبین ان

یحملنها واشفقن منها وحملها االنسان انه كان ظلوما جهوال

“Sesungguhnya telah Kami unjukkan amanah (perintah) kepada langit, bumi dan gunung-gunung lalu mereka enggan memikulnya dan takut menerimanya, kemudian amanah itu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu aniaya lagi bodoh” (QS. Al-Ahzâb: 72). Amanat Tuhan adalah pelaksanaan bagian etika dari

kehendak Tuhan. Hakikatnya menuntut bahwa amanat itu

diwujudkan dalam kebebasan, dan manusia adalah satu-

80

satunya makhluk yang mampu melakukannya. Di manapun

kehendak Tuhan diwujudkan sesuai dengan hukum alam,

perwujudannya bukan moral, tetapi mendasar (elemental)

atau bermanfaat (utilitarian). Hanya manusia yang mampu

mewujudkannya dengan kemungkinan melakukan atau tidak

melakukannya sama sekali, atau melakukan sebaliknya atau

sebagian. Kemerdekaan manusia untuk mematuhi perintah

Tuhanlah yang menjadikan pelaksanaan perintah moral.13

Lemahnya tauhid adalah problem yang berat bagi

dakwah. Sebagai pondasi agama, ia amat penting untuk

dikaji dan diamalkan. Tugas para Nabi yang utama dan

pertama adalah penegakkan tauhid:

وما ارسلنا من قبلك من رسول اال نوحى الی ه ان ه ال ال ه اال ان ا

فا عبدون “Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah Aku” (QS Al-Anbiyâ’: 25)

13Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya

Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-1, h. 117.

81

Tauhid adalah penegasan bahwa Allah adalah sang

pencipta yang tunggal. Tiada pencipta selain Dia.

Pemahaman yang mendalam tentang tauhid akan membuahkan

sikap positif bagi individu dan tercermin dalam kehidupan

sosial.

E. Dakwah dalam lingkup Politik

Polarisasi dakwah, mengharuskan berbagai kalangan

muslim memebentuk partai politik Islam. Walaupun sebagian

mereka lebih memilih jalan kultural. Nurcholish Madjid,

memiliki jargon terkenal “Islam yes, partai Islam, no”.

Artinya debatable mengenai perlunya partai Islam atau

tidak adalah merupakan polemik yang memperkaya khasanah

intelektual kita. Mungkin ini tidak akan pernah berakhir.

Kita jangan terjebak pada rekreasi intelektual

berkepanjangan. Ada tugas dakwah yang menunggu kita di

depan. Biarlah aktivis politik muslim, berjuang melalui

parpolnya, disanalah dunia artikulasi dakwah yang

dipandang tepat oleh kata hatinya. Dan biarkan pula

seorang (seperti) Cak Nur terjun sebagai guru bangsa.

Permasalahan yang signifikan adalah bagaimana

kiprah politikus muslim dalam parpol? Mampukah ia

82

memberikan kontribusi bagi perbaikan ummat? Bukankah

politik seperti sarang penyamun, ketika berada di

dalamnya hanya ada dua pilihan, merampok atau dirampok?

Pertanyaan-pertanyaan sumbang selalu menyeruak tatkala

politik dihubungkan dengan agama. Merupakan PR besar bagi

aktivis partai Islam untuk mengembalikan citra politik

yang baik dan bermoral.

Kalau melihat dan menilai sejarah politik Islam,

khususnya di Indonesia sepertinya lebih cocok kalau

merunduk daripada harus berdiri tegak. Kelabu itu

konkritnya. Bukan bermaksud menafikan kontribusi

politikus muslim pada bangsa ini, tetapi belum adanya

terobosan yang memadai bagi perbaikan bangsa yang sudah

60 tahun merdeka. Orde lama politik Islam dimusuhi, orde

baru politik Islam dizalimi, dan orde reformasi politik

Islam malah jalan sendiri-sendiri.

Politik Islam di Indonesia secara umum belum

berhasil mencapai efektivitas politik (political

effectivity). Salah satu pangkal inefektivitas politik

ini menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan.

Kepemimpinan partai belum mampu memfungsikan partai

83

sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat

Islam.14

Menurut Allan Samson lebih lanjut, terdapat tiga

faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi,

dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik

Islam, yaitu: (a) adanya overestimasi banyak pimpinan

partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya, atau

aplikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos

kemayoritasan (the myth of the numerical majority); (b)

bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang

disengaja oleh kekuatan politik luar; dan (c) adanya

perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang

hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik (religious

belief and political action).15

14lihat M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun

Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), Cet. ke-1, h.10, dengan mengutip Allan A. Samson, “Religious belief and Political Action in Indonesia Politics” dalam R. William Liddle (ed) Political Participation in Modern Indonesia, monograph Series No. 19 (Yale University), h. 118; lihat juga Allan A. Samson, Islam and Politics in Indonesia (disertasi tidak dipublikasikan dari University of California Berkeley, 1972).

15Op.Cit. h. 11.

84

Selain problem di atas, politik Islam juga

diliputi oleh problem lain meliputi kurang

dikembangkannya kajian strategi tentang kondisi sosial-

politik dan kecenderungannya sebagai dasar untuk

merumuskan kebijakan-kebijakan strategi sebagai isu-isu

politik.16

Di atas semua itu, problem mendasar politik Islam

adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam

skala antar partai-partai Islam maupun dalam skala intra

satu partai Islam. Partai-partai Islam rentan terhadap

konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa

internal.17

Analisa Allan Samson sepertinya banyak benarnya,

puncaknya pada pemilu 2004 ini, suara pemilih partai

Islam terpecah. Tak jauh beda dengan pemilu sebelumnya

(1999) yang juga kalah. Naif, memang, menggapa para

politikus partai Islam bercerai berai, tak dapat bersatu.

Umat sebagai pemilih (konstituen) perlu mendapat

pendidikan politik yang baik, politik yang memihak

kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

16Ibid. 17Ibid.

85

Khususnya pada level grass root, pendidikan politik

mereka sangat rendah, didukung faktor geografis, yang

sebagian mereka berada di pedesaan, lereng gunung, dan

pelosok-pelosok, menambah sulitnya informasi dan

komunikasi. Ini adalah problem tersendiri.

Adapun seorang politikus Muslim yang diragukan

integritas moralnya tetapi tetap mendapat dukungan luas

dalam suatu masyarakat mungkin pertanda dari dua

fenomena. Pertama, karena lemahnya informasi dalam

masyarakat tersebut hingga kelemahan karakter seorang

politikus tidak banyak dikenal masyarakat. Dia tetap aman

dalam kedudukannya selama cacat-celanya masih tersembunyi

dari intipan orang banyak. Dalam masyarakat yang tidak

diizinkan pers bebas atau dalam masyarakat feodal,

fenomena seperti ini bukanlah barang langka. Dia ada di

mana-mana, tapi tidak boleh diungkapkan secara terus

terang. Dalam kondisi semacam ini tidak diragukan lagi

pasti terjadi perbenturan dan ketegangan antara misi

dakwah dan budaya politik yang sedang bertahan. Dakwah

mengiginkan keterbukaan dan informasi yang benar,

sementara budaya politik, demi status quo kekuasaan,

membela prinsip ketertutupan agar dosa-dosa sejarah

86

penguasa tidak diketahui umum. Ketegangan seperti ini

dapat menimbulkan akibat yang fatal. Apa yang dialami

oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir pada 1950-an dan oleh

Masyumi di Indonesia pada 1960, barangkali merupakan

contoh yang masih hangat dari dua kecenderungan yang

saling berlawanan itu. Budaya politik dari Gamal Abd.

Nasser dan Soekarno berhadapan muka dengan budaya politik

egaliter dari Ikhwan Al-Muslimin dan Masyumi, telah

berakhir dengan ‘kekalahan’ di pihak yang terakhir.18

Kedua, memang masyarakat secara keseluruhan sedang

sakit. Seorang pemimpin atau suatu sistem politik yang

korup misalnya tetap saja merasa aman dalam kedudukannya,

sementara masyarakat bersikap acuh tak acuh. Tugas dakwah

dalam menghadapi suasana yang pengap semacam ini menjadi

lebih berat. Masyarakat yang mengindap sakit terus

seperti ini jelas memerlukan obat penawar (syifâ) yang

tidak sederhana. Gerakan dakwah perlu bekerja keras untuk

merumuskan suatu strategi dakwah berdasarkan data

sosiologis yang andal dan akurat. Ilmu-ilmu sosial amat

diperlukan dalam perumusan strategi ini. Dalam pada itu

18Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 113.

87

dakwah yang hanya menekankan aspek-aspek ritual dari

agama ataupun yang tenggelam dalam lamunan mesianisme

dengan merindukan turunya ratu adil sudah tentu tidak

akan menolong keadaan. Umat yang telah kehilangan elan

vital akibat tekanan politik yang begitu lama memerlukan

suatu cultural break-through untuk membangunkan kesadaran

dan harga diri mereka kembali. Kepada umat yang semacam

ini perlu dikelaskan bahwa Tuhan hanya mau turun tangan

menolongnya bila mereka mampu ‘memancing’ perhatian-Nya

dengan kerja serius, penuh semangat dan punya alamat yang

pasti. Tuhan memang tidak bersikap netral dalam sejarah;

Dia berpihak, berpihak kepada golongan manusia yang

bertaqwa dan berbuat baik, firman-Nya:

والد ین جاهدوا فینا لنهد ینهم سبلنا وان اهللا لمع المحسنین“Orang-orang yang berjuang dalam (menunaikan hak) Kami, niscaya Kami tunjukkan mereka ke jalan Kami. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-‘Ankabut: 69).

Maka menjadilah tugas dakwah selanjutnya untuk

mendidik umat agar mereka memulihkan harga diri mereka

yang telah tercemar selama ini. Umat Islam menghendaki

88

umat yang mampu mengubah dan mengarahkan kekuatan-

kekuatan sejarah menuju terbentuknya satu tata kehidupan

yang bermoral, egaliter, adil dan sejahtera.19

F. Globalisasi dan Dakwah Masa Depan

Globalisasi dengan segala kecanggihan teknologinya

memudahkan informasi diterima dengan cepat. Berbagai

informasi diserap tanpa adanya filter dan batasan. Di

sinilah dakwah mendapatkan tantangan yang menarik.

Bagaimana kemasan dakwah dapat bersaing dengan kemajuan

informasi tanpa kehilangan nilai etisnya?.

Dalam kaitan dakwah dan dunia Internasional,

Abdurrahman Wahid menyarankan pemetaan kerja untuk

melakukan langkah-langkah strategis. Pertama, adalah

kejelasan wawasan dakwah Islam itu sendiri: sudahkah

memadai kalau dicukupkan pada penyebaran agama Islam saja

secara formal seperti dilakukan sekarang, ataukah justeru

harus diletakkan dalam kerangka yang lain sama sekali?

Kalau dalam kerangka baru, maka sampai di manakah dapat

19Ibid., 114.

89

dirumuskan batasan-batasan transformatifnya sepanjang

yang menyangkut perubahan struktur masyarakat.20

Kedua, apakah strategi dasar yang harus ditempuh

oleh dakwah Islam dalam lingkup internasional, sebagai

kekuatan pembebaskah atau justeru sebagai pelestari

status quo? Apakah landasan keimanan dari kerja

pembebasan manusia secara utuh dan bulat itu? Apakah

penghalangnya?21

Ketiga, bagaimanakah pendapat mayoritas dalam hal

ini dapat dirumuskan bersama, dan dirasakan sebagai

sesuatu yang mengikat? Mungkinkah dari institusi-

institusi internasional Islam sekarang, yang merupakan

perpanjangan tangan dari sistem kapitalis internasional,

diharapkan kerja penanganan masalah-masalah internasional

itu secara penuh? Kalau tidak, lembaga apakah yang dapat

melakukannya? Sudahkah diberi perhatian serius kepada

20Abdurrahman Wahid, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Seminar

Nasional dan Diskusi Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), Editor Amrullah Ahmad, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), Cet. ke-1, h. 129.

21Ibid.

90

tradisi “berwarna lokal” untuk memecahkan masalah-masalah

internasional itu?22

Langkah-langkah strategis dan Pertanyaan-

pertanyaan Gus Dur, sangat analitis dan tajam, merupakan

PR yang krusial, dan mendesak untuk dilaksanakan.

Walaupun sudah lebih dari 20 tahun gagasan tersebut

ditelurkan, tapi tidak ada salahnya jika dikaji kembali.

Tapi sekali lagi bahwa tulisan ini bukanlah untuk membuat

ataupun menjawab pertanyaan tersebut, tapi cenderung

kearah strategis-etis dakwah masa depan dalam konteks

global.

22Ibid.

92

BAB IV

RUMUSAN ETIKA DAKWAH DALAM

KONTEKS DAKWAH YANG PROFESIONAL

A. Etika Dakwah dalam Keteladanan

Krisis keteladanan, mengusik penulis untuk

mengangkat wacana ket

Win32.anf

eladanan dalam etika dakwah. Khususnya kawula

muda muslim, vigur keteladanan bagi mereka terasa

samar, di tengah pencarian jati diri. Orang tua yang

tidak bisa memberikan keteladanan, menambah semakin

peliknya permasalahan ini. Sosok teladan ideal sulit

sekali didapatkan, sementara nilai-nilai agama juga

jauh dari mereka, karena corak pendidikan yang kurang

menekankan aspek agama yang kurang proporsional. Agama

hanya dijadikan kebutuhan sekunder dalam batin mereka.

Krisis keteladanan, telah menyulut krisis moral, dan

krisis multidimensional lainnya.

93

Sesungguhnya Islam menetapkan Rasulullah sebagai

sebaik-baik teladan bukan sekedar untuk dibanggakan,

bukan pula untuk direnungkan saja. Tetapi Islam

menampilkan keteladanan itu di hadapan umat manusia

agar bisa diikuti dan diterapkan pada diri mereka,

sesuai kemampuan masing-masing. Islam melihat bahwa

keteladanan merupakan sarana dakwah dan tarbiyah yang

paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem

tarbiyah yang kontinyu atas dasar prinsip keteladanan

tersebut.1 Penegasan Nabi Muhammad sebagai teladan

termaktub dalam Al-Qur’an:

كم ف ي رس ول اهللا أس وة ح سنة لم ن ك ان یرج و اهللا لقد كان ل

.والیوم األخر ودكر اهللا كثیرا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut (mengingat) Allah”. (QS. Al-Ahzâb: 21).

1Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Studi Atas Berbagai

Prinsip dan Kaidah yang Harus dijadikan Acuan Dalam Dakwah Islamiyah, terj. Abdul Salam Maskur, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2, h. 206.

94

Dalam situasi seperti ini, maka peranan da’i

diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan,

bukan menambah bumerang karena perangainya yang tidak

pula bisa diteladani. Keteladanan seorang da’i sebagai

wujud tanggungjawab, komitmen dan kersadarannya akan

pewaris nabi, adalah hal yang mutlak dipegang oleh

setiap da’i. Keteladanan dapat tercermin dalam lingkup

yang paling individu, keluarga, baru merambah pada

lingkungan dan masyarakat luas. Tahapan ini penting

mengingat masyarakat kita yang semakin kritis menyoal

segala permasalahan sosial.

Tanggung jawab individu, seperti yang terekam

dalam Firman-Nya:

یایه ا ال ذ ی ن ءامن وا عل یكم انف سكم ال ی ضركم م ن ض ل ادا

…اهتدیكم“Wahai orang-orang yang beriman, kalian bertanggung jawab atas diri kalian sendiri. Tidak akan bisa mencelakakan kalian orang-orang yang sesat jika kalian diberi petunjuk... ”, (QS. Al-Mâidah: 105)

95

Tanggung jawab individu di sini, bukan berarti

mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga atau orang

lain. Tanggung jawab bersifat pribadi kepada Allah atas

segala perbuatan yang dilakukannya di dunia ini.

Sedangkan perbuatan tersebut boleh jadi terpaut dengan

amal shalih kepada sesama manusia.

Seorang anak harus memperoleh teladan yang baik

sejak dini dalam keluarganya, terutama dari kedua orang

tuanya, agar dasar-dasar Islam meresap sejak masa

kanak-kanak, sehingga mewarnai pertumbuhan pribadinya

menjadi pribadi yang mulia. Di samping itu manusia juga

perlu memperoleh keteladanan dalam masyarakatnya, agar

terwarnai hidupnya dengan kebiasaan yang bersih.

Dengannya mereka akan mampu memikul amanah Allah.

Sementara masyarakat sendiri harus memperoleh teladan

yang baik dari para pemimpin dan para tokoh mereka agar

terealisir prinsip-prinsip itu dalam diri mereka.2

Para pemimpin, konkritnya para pemegang

kekuasaan sebagai publik figur, tentunya mempunyai

tanggungjawab yang besar dalam proses pembelajaran

2Jum’ah Amin Abdul Aziz, Op. Cip., h. 207.

96

keteladanan. Sikap dan sifat boros, sombong, korupsi,

kolusi, nepotisme, memutar balikkan hukum, tindakan

arogansi kekuasaan, dan cercaan lain yang sering

ditujukan kepada pihak pemegang kekuasaan hendaklah

dihindari sejauh-jauhnya. Sebaliknya, sikap teguh dalam

iman, sederhana, hemat, bersahaja, memihak “wong

cilik”, menegakkan keadilan, adalah sikap yang harus

melekat pada para pemegang amanah kekuasaan. Kalau

sikap keteladanan dipelopori dan dimulai dari para

pemimpin bangsa, dalam segala sektor, maka tentu akan

berdampak positif bagi segenap masyarakat.

Alangkah indahnya jikalau umat mampu meneladani

sikap rasul dalam teladan. Bagaimana tidak, Beliu

diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak

manusia. Tergambar jelas sikap teladan Nabi dalam

sebuah dialog tatkala Aisyah ditanya sahabat tentang

akhlak Nabi, jawabnya:3

.فان خلق نبي اهللا صلى اهللا علیه و سلم كان القران

3Lihat Said Bin Ali Al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwah Bijak,

terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet. ke-1, h. 68.

97

“Sesungguhnya Akhlak Nabi SAW. Adalah Al-Qur’an”, (HR. Muslim)

Sebagai teladan, seorang da’i hendaknya terus menerus beristiqamah, membenarkan pandangannya, dan meluruskan pikirannya hingga tahu agama dengan benar, kokoh dan memahaminya dengan pemahaman yang mendalam.4

B. Etika Dakwah dalam Keikhlasan

Ikhlas adalah jika seseorang melakukan

perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Menurut

ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sah

ibadah, sedangkan ahli fikih tidak berpendapat

demikian. Jika amal merupakan badan jasmani, maka

ikhlas adalah roh (jiwa)-nya. Menurut Ibnu Qayyim al-

Jauziah, seseorang yang ikhlas dalam melakukan

perbuatan, tujuan, cita-cita dan amalanya semata-mata

hanya karena Allah SWT., maka ia akan senantiasa

menyertainya.5

4Lihat Musthafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qaradhawi,

Harmoni Antara Kelembutan dan Ketegasan, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. ke-1, h. 24.

5Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. ke-2, h. 191.

98

Kalau suatu amal ibadah dilakukan dengan motif

tunggal dan alasan ini ialah untuk mendapat tidak lain

daripada kedekatan (taqarrub) kepada Allah, maka

keadaan jiwa ini disebut ikhlas. Tingkatnya yang

tertinggi tercapai jika satu-satunya motif di belakang

amal tersebut adalah untuk menyenangkan Allah. Inilah

ikhlas yang paling tulus. Jika motif tunggal itu adalah

untuk menikmati kesenangan di surga atau menghindari

hukuman di neraka, maka ikhlas akan lebih rendah

tingkatnya. Berbuat amal ibadah semata-mata untuk motif

duniawi atau melakukannya terutama guna mencapai

kedekatan kepada Allah dan mencampurnya dengan motif

kepentingan sendiri yang duniawi, maka berarti dalam

kasus ini tidak terdapat keikhlasan. Jadi seseorang

yang memberi sedekah kepada seorang pengemis dengan

maksud tunggal untuk menyenangkan Allah adalah orang

yang ikhlas (mukhlis). Kalau ia memberinya hanya agar

ia tidak diganggu, atau untuk mengusir pengemis itu

sekaligus menyenangkan Allah, ia tidak mesti dipandang

sebagai seorang yang ikhlas. Suatu motif duniawi,

seperti telah dikatakan, mungkin dicampur dengan alasan

99

mendekatkan diri kepada Allah sebagai sekutu, mitra

atau pembantu motif tadi, dan secara ikhlas motif

mencapai kedekatan kepadan-Nya haruslah bebas

sepenuhnya dari alasan memuaskan perasaan jasmani dalam

suatu bentuk dari yang tiga tersebut. Mencampur motif

itu ada kalanya nyata dan kadang-kadang tersembunyi,

sering demikian sukar untuk diketahui sehingga si

penganut merasa bahwa ia melakukan suatu amal hanya

untuk menyenangkan Allah, tapi nyatanya ia berbuat itu

karena alasan yang lain.6

Di sinilah peranan niat, sangat menentukan

kualitas keikhlasan. Tujuan suatu perbuatan jika

niatnya tunggal, hanya untuk menyenangkan Allah, maka

ia dianggap sebagai tingkatan ikhlas tertinggi. Boleh

jadi seorang da’i sudah memasang niat tugas dakwahnya

tak lain mengharap ridho Allah semata. Namun dalam

perjalanannya tak semulus yang dibayangkan, ada

gangguan-gangguan, hingga niat awal yang terpatri

6M. Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin,

(Bandung: Pustaka, 1988), Cet. ke-1, h. 196-197.

100

tercampur dengan niat lain, seperti riya’, sombong,

pamrih, dll.

Keikhlasan atau kemurnian batin adalah nilai

yang amat rahasia dalam diri seseorang. Sebagai ruh

amal perbuatannya, ia tidak nampak begitu saja oleh

orang luar, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan

sendiri, tapi terutama oleh Tuhan Yang Maha tahu (al-

‘Alîm). Pada tingkat pribadi seseoraang, keikhlasan

terasa sebagai tindakan yang tulus terhadap diri

sendiri (true to one’s self) dalam komunikasinya dengan

Sang Maha Pencipta (al-Khâliq) dan usaha mendekaatkan

diri kepada-Nya. Maka keikhlasan dalam beragama adalah

juga bermakna ketulusan kepada keutuhan (integritas)

diri yang paling mendalam, yang kemudian

mengejawantahkan dalam akhlak mulia, berupa perbuatan

baik kepada sesama. Itulah prinsip utama agama yang

benar, dan itulah inti perintaah Allah kepada hamba-

Nya.7

7Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah

telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. ke-4, h. 50.

101

Tugas dakwah adalah sangat mulia, maka seorang

da’i harus memiliki dan menjaga komitmen yang kuat pada

niat tulus dalam dakwah, komitmen yang harus senantiasa

ditingkatkan. Upah atau gaji sebagai hasil dari kerja

profesional, adalah konsekwensi dari kerja profesi

tersebut, di sini nilai ikhlas akan mendapat cobaan.

Pada tingkatan ikhlas yang tertinggi dengan pengharapan

ridha Allah semata, maka upah atau gaji bukanlah

sebagai tujuan, maka besar kecil upah bukanlah

persoalan. Bahkan tanpa upahpun nilai keikhlasannya tak

akan luntur. Bila persoalan upah atau gaji diserahkan

pada manajer, hendaklah ia sekata dengan da’inya, tidak

mengambil keuntungan dan kesempatan sepihak,

kepentingan dan pendidikan umat harus dinomorsatukan.

Pada tingkatan ikhlas yang lebih rendah (ikhlah no. 2)

selain mengharap ridha Allah dalam dakwah, ia juga

mengharapkan upah yang layak dari kerja profesinya,

maka di sinilah nilai keikhlasan dapat luntur atau

pudar tatkala upah yang diharap tidak sesuai dengan

kehendak. Pada tingkatan ikhlas terendah (ikhlas no.3),

pengharapan ridha Allah semakin kabur, karena ia

102

tercampur dengan riya’ dan pengharapan upah yang

berlebihan, tak jarang ia membatalkan tugas dakwah

lantaran nego upah yang tidak sesuai dengan permintaan.

Walaupun sudah kerja secara profesional, tak

jarang dijumpai da’i mengembalikan upah yang ia

terima. Ia yakin benar bahwa rezeki telah ada yang

mengatur. Maka jika ia melihat ada pihak yang

membutuhkan, tak segan-segan ia memberikan upah yang ia

terima guna kemaslahatan. Ia tidak pernah merasa

kehilangan, karena penuh keyakinan akan ke-Maha kuasaan

Allah meliputi segenap Alam. Mementingkan orang lain

(al-itsar) merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan

ini, orang menahan diri dari yang diingininya, demi

memberikannya kepada orang lain yang menurut hematnya

lebih berhak.8

Abu Muhammad al-Mishri mengemukakan bahwa para

ulama berselisih paham dalam masalah mengambil upah

mengajar Al-Qur’an, ilmu agama, memutuskan suatu

perkara, menulis buku-buku agama, memberikan fatwa,

8Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi

Hidayat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. ke-1, h. 48.

103

menulis serta memperjualbelikan Al-Qur’an, dan tentu

saja menulis dan memperjualbelikan buku-buku agama. Ia

berpendapat bahwa boleh mengambil upah dalam masalah

tersebut, kecuali dalam memberikan fatwa. Dalam

kebolehannya, Abu Muhammad mensyaratkan kewajiban

berniat ikhlas karena Allah SWT. dalam mengambil upah,

serta mengharapkan pahala agar dekat dengan Allah SWT

semata.9

Ikhlas harus dimiliki dan dijadikan cita-cita

oleh para da’i untuk berjuang mencurahkan segala daya

dan kemampuannya, menyebarkan risalah tanpa pamrih,

semata-mata mengharap keridhaan Allah semata. Adapun

tanda ikhlas dalam dakwah ini adalah dia harus tanggap

dan menjiwai dakwahnya. Harta, tenaga, waktu dan

pikirannya beserta seluruh sarananya ia korbankan untuk

berdakwah. Itulah arti ikhlas dalam dakwah.10

9Lihat Abu Muhammad al-Mishri Isham bin Mar’i, Bolehkah Ustadz Menerima Amplop, terj. Abdul Qadir Jilani dan Abu Salman, (Jakarta: Pustaka Inner, 2004), Cet. ke-1, h. 97-99.

10Muhammad Sayyid al-Wakil, Prinsip dan Kode etik Dakwah, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), Cet. ke-1, h. 129.

104

C. Etika Dakwah dalam Pluralisme Agama

Dakwah tidak bisa meniscayakan adanya agama yang

beraneka ragam. Karena ada keaneka ragaman agama itu,

maka ada misi dakwah. Agama yang membawa misi

kebahagian, memungkinkan menjadi sarang konflik,

tatkala tafsiran eksklusif muncul dari masing-masing

agama. Mengemuka perang yang mengatasnamakan agama.

Sungguh naif. Fenomena ini ada di depan mata kita,

peristiwa Ambon, Poso, hingga serangan Amerika ke

Afganistan, semuanya sarat dengan motif agama. Ini

menandakan bahwa belum sepenuhnya makna pluralisme

dipahami. Pluralisme agama terhenti pada sebuah wacana

dan dialog, tidak menyentuh esensinya.11

Menurut Ahmad Gaus AF, kerusuhan sosial yang

sampai menjarah rumah-rumah ibadah, dan karena itu

sering disebut ‘kerusuhan antaragama’, sebenarnya tidak

11Tulisan serupa dapat di lihat dalam “Kemerdekaan Agama Dalam

Wilayah Dakwah” oleh Edi Amin dalam buku Rahmat Semesta, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. ke-1, h. 33-41.

105

ada kaitannya ---dan kalaupun ada tidak bersifat

langsung—dengan masalah kerukunan agama.12

Kenapa ‘konflik agama’ bukan masalah kebebasan

beragama? Menurut Gaus karena asumsi kebebasan beragama

adalah lebih pada pola-pola hubungan yang terbentuk di

tingkat vertikal, yakni antara aturan-aturan yang

ditetapkan negara dengan para pemeluk agama. Dengan

demikian, kebebasan beragama sebenarnya sama dengan

kebebasan pers, kebebasan akademik, kebenasan

menyatakan pendapat, atau kebebasan berserikat, sekadar

menyebut beberapa contoh. Karena itu, tidak heran bahwa

para pejuang prodemokrasi untuk suatu kebebasan

beragama, misalnya, berada dalam mainstream yang sama

dengan gerakan untuk memperjuangkan kebebasan pers,

kebebasan berserikat dan lain-lain.13

Menelaah pendapat Gaus, kebebasan (kemerdekaan)

adalah meliputi berbagai aspek kehidupan. Selanjutnya

adalah, apakah kita terjajah secara individu, sosial,

atau agama? Atau sebaliknya kita menjajah orang lain?

12Ahmad Gaus AF, “Isu Kebebasan Beragama”, KOMPAS, Selasa, 14 Juli 1998.

13Ibid.

106

Biasanya tidak sadar, kita berada dalam buih, atau

bahkan menginjak hak orang lain. Naudzubillah.

Kembali pada kemerdekaan beragama dalam lingkup

dakwah jika dilihat dengan jitu, merupakan ajang

antaragama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (dimensi

positif untuk menarik pengikut). Tak selalu harus

berkoar ini yang benar, karena penarik simpatik

terkadang hanya melalui hal-hal yang kecil, sepele.

Dengan bahasa lain terkadang dakwah bil hal lebih

efektif dari dakwah mimbar. Atau Meminjam bahasa bapak

Prof. Dr. M. Yunan, bahwa dakwah dengan tindakan nyata

(bil hâl) lebih berpengaruh dari kegiatan dakwah yang

lainnya. Lisân al-hâl, afshahu min lisân al-maqâl.14

Setiap agama dituntut untuk bersikap sedewasa

mungkin dalam menghadapi segala problem yang berkaitan

dengan interaksi antar agama. Pluralisme positif yang

hendaknya dipupuk dan dikembangkan. Pluralisme positif

memiliki kaedah bahwa, selain agama sendiri ada agama

14Lihat M. Yunan Yusuf, “Dakwah bil Hal”, Dakwah, Jurnal

Kajian dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2, November, 2001, h. 32.

107

lain yang harus dihormati. Kebenaran agama pun tidak

ditafsirkan dengan rigid. Pluralitas eksistensi agama,

yang kita sebut kemudian eksoterisme agama, karenannya

tidakklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan

yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan

keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang

bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan

selalu ditemukan setiap agama (samawi-Pen), walaupun

masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan

bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus

inilah maka kesulitan, kesalah pahaman dan perselisihan

antar pemeluk agama sering kali muncul ke permukaan.

Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan

ragam bahasa, sementara kita cenderung melihat

perbedaannya ketimbang persamaannya. Kecenderungan

melihat perbedaan itu pun tidak perlu disalahkan karena

setiap orang beriman senantiasa ingin mencari,

mengenggan dan membela kebenaran yang diyakininya

berdasarkan pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya.

Dan sikap demikian tentu saja sikap yang terpuji,

108

selama tidak menimbulkan situasi sosial yang

destruktif.15

Rasulullah SAW juga mengembangkan dan

memberlakukan pluralisme positif. Ketika beliau berada

di madinah, dengan masyarakatnya yang beraneka ragam

suku dan agama, ia mencanangkan Piagam Madinah (Mitsaq

al-Madinah).16 Dengan perjanjian yang merupakan

manifesto politik penting ini, maka Rasul telah

berhasil menyatukan penduduk Madinah yang berbeda agama

dan turunan darah untuk menghadapi musuh. Dokumen

politik ini, mempunyai arti yang maha penting dalam

perjalanan sejarah dakwah Islamiyah.17

Nabi tidak pernah merekayasa agar mereka

(suku/agama yang berbeda) lenyap atau meeninggalkan

kota Madinah. Sebaliknya, mereka bersama orang

Muhajirin dari Makkah dan orang-orang Anshar

15Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa

Depan, Perspektif Filsafat Parenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. ke-1, h. 70.

16Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), Cet. III, h. 13.

17Lihat A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Cet. III, h. 292.

109

diperlakukan sebagai satu umat. Mereka juga wajib

bersama mempertahankan Madinah terhadap musuh, wajib

menjaga ketertiban. Kalau orang mau masuk Islam…ya

syukur, tidak juga tidak jadi soal. Tidak ada usaha

Islam untuk memakai cara-cara politik agar ada hegemoni

di Madinah, padahal Islam semakin kuat.18

Sejarah membuktikan bahwa di tempat di mana Islam

mayoritas, golongan minoritars terlindunggi. Ada hah-

hak asasi yang dijamin oleh Islam yang harus

diberlakukan secara adil pada semua golongan.

Pemerintahan dalam Islam harus menetapkan undang-

undang tentang kebebasan berpikir dan beragama. Harus

diatur bahwa segala ajaran Islam adalah terbagi dua

golongan : a) bersifat pokok (ushul) yang tidak boleh

ditawar, yaitu percaya kepada Tuhan, para utusan-Nya,

18Piagam Madinah dan Terjemahannya dapat dilihat pada Ahmad

Sukadja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandigan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1, h. 47-57.

110

dan kepada hari akhirat. b) Bersifat cabang (furu’),

yaitu segala soal diluar 3 yang pokok.19

Demikian sukses Nabi membangun membangun

Masyarakat Madinah yang terbuka, adil, egaliter, dan

demokratis. Suatu tatanan masyarakat yang oleh pakar

sosiologi dan futorolog Robert N. Bellah dinilai

sebagai luar biasa modern. Ia modern dalam tingkat

komitmen, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi dari

seluruh lapisan masyarakat, ucap N. Bellah. Bahkan

terlalu modern, sehingga setelah Nabi sendiri wafat

tidak bertahan lama. Timur tengan dan manusia saat itu

belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan

untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti

dirintis Nabi.20

Sebuah paradigma bisa dianggap menawarkan

semanggat pembebasan jika ia mampu meratakan jalan dan

membuka kemungkinan bagi transformasi sosial dalam

19Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi negara Bermoral Menurut Imam Al-Gazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, h. 199.

20Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan & Peradaban Ulumul Quran, Vol. VII, No. 2, 1996, h. 52, dikutip dari R.N. Bellah, Ed., dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976, h. 150-151.

111

lingkungan kehidupan di sekitar kita. Paling tidak

perubahan pada tingkat kesadaran kita, mesti lebih dulu

bisa diwujudkan.21

Agama, pendeknya, boleh menawarkan jalan

kebenaran, tapi kita tidak boleh merasa paling benar.

Agama boleh menawarkan kemenagan, tapi tidak boleh

cenderung ingin menang sendiri. Allah, yang memiliki

agama itu, boleh bersikap serba mutlak, tapi bukanlah

kita sendiri cuma makhluk serba daif, dan tidak

mutlak?22

Dalam Islam, ada hak-hak yang dijamin. Bahkan

diantaranya hak untuk tidak beriman.23 Dalam Surah

Yunus (10): 99 dinyatakan dengan jelas:

ولوشاء ربك المن من فى االرض كلهم جمیعا افانت تك ره

.الناس حتى یكونوا مؤمنین

21Mohammad Sobary, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman Mencari Solusi, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet. ke-1, h. 35.

22Ibid. 23Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:

Mizan, 1997), Cet. I, h. 164.

112

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yûnus: 99). Nilai toleransi beragama, sikap tidak memaksa

dalam beragama ditegaskan dalam satu kaidah atau

prinsip tidak ada paksaan dalam agama:

ال اكراه فى الدین قد تبین الرشد من الغي“tiadalah ada paksaan dalam agama, nyatalah sudah jalan yang benar dari jalan yang salah (seasat)...” (QS. Al-Baqarah: 256). Maka setelah menegaskan kemerdekaan memeluk agama

ini, Islam berkata bahwa adalah kewajiban tiap-tiap

orang yang beriman supaya mempertahankan kemerdekaan

menyembah Tuhan. Toleransi yang diajarkan Al-Quran

terhadap golongan agama bukanlah semata-mata toleransi

yang negatif. Akan tetapi toleransi yang mewajibkan

tiap-tiap pemeluknya untuk berjuang dan menjunjung

kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja akan

tetapi juga bagi agama-agama ahli kitab. Yakni

113

melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam Gereja,

Biara, Sinagog dan Masjid di mana disebut nama Allah.24

Demikian ketentuan tegas yang diberikan oleh Islam

sebagai pegangan bagi pengikut-pengikutnya:

ولوالدف ع اهللا الن اس بع ضهم ب بعض له دمت ص وامع وبی ع

وصلوت ومساجد یدكرفیهااسم اهللا

“.... jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja-gereja pendeta dan gereja-gereja Nasrani dan gereja-gereja Yahudi dan masjid-masjid, di dalamnya banyak disebut nama Allah.... (QS. al-Haj: 40) Kita tahu, lanjut Natsir bahwa kecintaan kepada

agama masing-masing itu bisa menimbulkan ta’asub agama

atau fanatisme yang berlebih-lebihan. Oleh karena

itulah Islam di dalam ajarannya tentang ini amat tegas

dan terang untuk menghindarkan yang demikian itu.25

24Lihat Muhammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Jakarta:

Media Dakwah, 2000), cet. I, h.97. 25Ibid, h.98.

114

Kewajiban Rasul ialah menjelaskan ayat-ayat

Tuhan, tanda-tanda kebesaran Tuhan di seluruh alam.

Kebenaran ada di tiap sudut peri-kehidupan, asal

manusia sudi mencarinya. Mata manusia dibukakan dan

telingga dinyaringkan untuk menangkap bekas kuasa Ilahi

pada seluruh yang ada ini. Dijelaskan kepada manusia,

bahwasannya kebahagiaan hidup yang sejati, kekayaan

yang tidak pernah menurun dan perniagaan yang sekali-

kali tidak pernah menderita kerugian, hanya satu saja,

yaitu aqidah yang baik, keyakinan hidup.Apalah artinya

hidup yang tanpa keyakinan. Diinggatkan kepada manusia

bahwa semuannya ingin keadilan, semua menolak

kelaliman. Ingin kebenaran dan menolak kesalahan.

Kekuatan iman memperluas musik dalam jiwa, sehingga

telingga dapat memperbedakan mana suara musik yang

sumbang dan mana irama yang heboh dan mana nada yang

janggal. Oleh sebab itu maka kebenaran, keadilan,

keindahan, pada hakekatnya adalah ‘satu hakekat’,

memakai ragam nama.26

26Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang,

1992), Cet. ke-4, h. 241.

115

Mereka tidak dipaksa buat menerima (dakwah-pen),

tetapi mereka diajak buat mendengar. Di hadapan seruan

ini diharapkan semua memasang telingga. Baik dia raja

kuasa, atau dia miskin papa. Sebab sama keadaan datang

mereka ke dunia, sama tidak punya apa-apa, dan sama

keadaan perginya dari dunia, sama-sama tidak membawa

apa-apa.27 Allah berfirman sehubungan pelarangan

memaksa dalam hidup beragama:

لقرا ن من یخا ف وعید وما انت علیهم بجبار فدكر با

“.... dan bukanlah engkau seorang pemaksa yang berkuasa atas mereka; maka ingatkanlah dengan Al-Quran barangsiapa yang takut dengan ancamanku” (QS. Qaf: 45)

Jelaslah kiranya bahwa sikap memaksa akan

menjauhkan simpatik orang lain. Alangkah inginnya

Muhammad SAW supaya pamannya sendiri menerima risalah

yang dibawanya. Akan tetapi keinginannya tak kunjung

terlaksana. Nyata pulalah firman Allah:

27Ibid.

116

انك ال تهدي من احببت ولكن اهللا یهدي من یشاء وهو اعل م

بالمهتدین

“Sesungguhnya engkau tidak (mampu) memberi hidayah kepada orang yang engkau sukai; akan tetapi allah (yang) memberi hidayah kepada siapa yang ia kehendaki dan dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah itu”. (QS. Al-Qasas: 56).28 Dakwah Nabi adalah dakwah yang simpatik, bermula

dari hal-hal yang sederhana. Di dalamnya adalah juga

kesederhanaan hidup.

Penulis terkesan cerita yang dikutip Buya Hamka

tentang pribadi Nabi yang sederhana. Pada suatu hari,

tatkala Rasullullah sampai di puncak kejayaannya,

masuklah umar bin Khattab ke dalam rumah beliau

berlepas lelah. Tak ada perhiasan di dinding, tak ada

kemegahan sebagai kepala perang yang tak terkalahkan.

Kalau akan dikatakan ada juga, hanya sebuah guriba

28M. Natsir, op. cit., h. 127.

117

tempat air dari kulit kambing, tergantung di dinding,

yaitu persediaan untuk air wudhu tatkala bangun shalat

tahajjud di malam hari. Maka menanggislah Umar.

‘Mengapa engkau menangis, wahai umar’? ‘Seluruh Masyrik

dan Maghrib telah tunduk di bawah kekuasaanmu, ya

pesuruh Tuhan. Dan anak kunci seluruh jazirah Arab

telah terpegang di tangan tuan, tetapi tuan masih

begini-begini saja.’ Dengan terharu Rasulullah

menjawab: ‘ingatlah umar! Soal ini bukanlah soal

kekaisaran seperti di Roma atau Kisra di Persia. Aku

adalah Nabi, hai Umar. Aku bukan Raja!’29

D. Etika Dakwah dalam Bertauhid

Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan sejak dini

bahwa manusia menghadapi pilihan moral yang

fundamental. Mereka tidak bisa melayang-layang separuh

jalan. Pada satu sisi, mereka bisa memilih untuk

berdiri dengan takzim di hadapan Pencipta mereka dan

29Hamka, Op.Cit., h. 243

118

menerima tuntutan moral-Nya. Dalam hal ini Tuhan,

dengan kasih sayang-Nya, akan membimbing mereka yang

beriman, membuat mereka saleh dan suci. Atau manusia

bisa, sebaliknya memalingkan diri dari Pencipta mereka,

dan menjadi tenggelam dalam keinginan-keinginan pribadi

saat itu, dan menyembah berbagai dewa kecil untuk

keberhasilan. Dalam hal ini Tuhan juga akan berpaling

dari mereka, dan mereka akan menjadi orang-orang jahat

dan rendah. Karena seorang manusia tidak dapat memilih

untuk menjadi suci semaunya (suatu fakta yang terlalu

mudah untuk dialami); ia tidak mengendalikan caranya

sendiri, tetapi dapat mencapai kesucian moral melalui

kekuasaan Tuhan.30

Sikap tauhid akan menghasilkan pribadi yang

hanya kenal tunduk kepada Allah. Rasa ketergantungan

kepada Zat Yang Tunggal ini menyebabkan seseorang

berani menghadapi tantangan hidup ini dengan penuh

gairah. Bahkan setiap tantangan akan dirasakannya

sebagai kesempatan untuk membuktikan pengabdiannya yang

30Marshall G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. ke-2, Jild. 1, h.

119

ikhlas kepada yang telah menciptakan tantangan-

tantangan ini. Sadar akan kenyataan bahwa Allah SWT.

Akan senantiasa berlaku adil dalam memutuskan siapa-

siapa yang akan menang dalam pertandingan hidup ini,

maka ia akan tawakkal sesudah mempersiapkan diri secara

lengkap dan penuh perhitungan rasional. Harapan akan

menang yang fifty-fifty itu membuatnya memiliki

semangat tanding yang sangat tinggi, karena dibalik

setiap kemenangan (achievement) yang besar itu terdapat

suatu kebahagiaan yang intens pula.31

Mengesakan Allah (tauhid) dan menolak

penyekutuan (syirik) terhadap-Nya merupakan doktrin

terpenting yang mendominasi pemahaman-pemahaman dan

ajaran-ajaran samawi. Hal itu juga merupakan asas

segala macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh

para Nabi dan Rasul, sebagaimana tercantum dalam kitab-

kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Selain itu,

tauhid dan syirik termasuk di antara masalah-masalah

31M. Imaduddin Abdulrahim, “Sikap Tauhid Dan Motivasi Kerja”,

Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 6, 1990, h. 43

120

yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Tak

seorangpun berbeda pendapat dalam pokok-pokok (ushul)-

nya. Mereka semua, tak terkecuali, mengesakan

(mentauhidkan) Allah SWT dari segi Zat-Nya, perbuatan-

Nya serta ibadah kepada-Nya.32

Kaum muslimin yang digambarkan pada spasi di

atas adalah mereka yang ke-Islamanya sudah baik

(mapan), dalam artian telah mengesakan Allah dari segi

Zat-Nya, Perbuatan-Nya serta ibadah kepada-Nya. Namun,

kaum muslimin yang kurang paham, atau yang pura-pura

kurang paham, adalah jumlahnya juga tidak sedikit. Oleh

sebab itu, dunia perdukunan dan sejenisnya juga tidak

pernah sepi. Meminta sesuatu dengan perantara sang

dukun, permintaan yang bersifat instant, bahkan tak

jarang cenderung negatif. Allah sebagai tujuan telah di

nomor sekiankan. Allah sebagai yang Maha pemberi seakan

menjadi makhluk yang kikir karena tak mampu memberikan

solusi bagi nafsunya yang buruk.

32Ja’far Subhani, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan

Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-7, h. 13.

121

Fenomena ini harus dapat ditangkap oleh da’i,

agar dakwah yang disajikan mampu mengikis kebiasaan

sebagian masyarakat yang berpaham tahayul, khurafat,

dan menyekutukan Allah.

Langkah-langkah yang dapat diambil da’i adalah,

pertama menjelaskan dan meyakinkan pada umat bahwa

tauhid atau mengesakan Allah adalah pondasi terpenting

dalam ajaran Islam, bahkan tak terkecuali agama-agama

samawi lainnya. Itulah makna yang hakiki dari pengakuan

dua kalimah syahadah, tiada Tuhan selain Allah. Tiada

tempat bergantung selain hanya kepada-Nya, tiada amal

perbuatan kecuali berpengharapan ridho-Nya semata.

Tiada sesuatu kecuali ada yang membuatnya. Tiada

makhluk kecuali ada penciptanya, Allah adalah Tujuan

akhir kehidupan manusia. Kita lihat Nabi Nuh AS dan

para rasul yang datang setelahnya memulai dakwahnya

kepada ajaran tauhid (pengesaan Allah). Al-Qur’an

menceritakan kisah-kisah mereka dalam berdakwah

sebagaimana Al-Qur’an juga memberikan gambaran yang

jelas kepada kita tentang fakta ini, seakan-akan kita

hidup bersama mereka. Kita saksikan apa yang terjadi

122

waktu itu, seperti cerita tentang Nuh AS, Allah

berfirman:33

ا ن ال . ولق د ا رس لنا نوح ا ا ل ى قوم ه ا ن ي لك م ن د ی ر مب ین

تعبدوا اال اهللا

“Dan sesungguhnya telah Kami utus Nuh kepada kaumnya. (Ia berkata): “Sesungguhnya aku memberi peringatan yang nyata kepadamu. Yakni, janganlah kalian menyembah (beribadah) kecuali hanya kepada Allah... ”, (QS. Hud: 25-26)

Kedua, memaparkan bahayanya menyekutukan Allah,

sebagai lawan dari mengesakan-Nya. Logika sederhana

misalnya, jika Allah bukanlah tujuan utama, tentu ada

tujuan utama lainnya. Tujuan utama lainnya inilah dalam

arti, menduakan Allah dengan makhluk lain. Menyamakan-

Nya dengan yang lain saja sudah tidak mungkin, apalagi

jika sudah menduakannya. Seorang kekasih bila diduakan,

pasti akan cemburu dan terjadi pertengkaran yang

berujung pada perpisahan. Apalagi Allah sebagai sang

33Lihat Muhammad Sayyid Al-Wakil, Op. Cit., h. 80.

123

pencipta, menduakannya tentu akan mengundang murka-Nya.

Firma-Nya:

ان اهللا ال یغفر ان یشرك به ویغفر ما دون دلك لمن یشاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakinya....”. (QS. An-Nisa’: 116) Langkah ketiga adalah, mengetahui bahwa tauhid

tidak hanya terhenti pada pengesaan Allah dan beribadah

kepadanya semata. Tauhid menempatkan manusia pada suatu

etika berbuat atau bertindak, yaitu etika di mana

keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dengan

tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi

aliran ruang dan waktu, dalam dirinya dan lingkungan

sekitarnya.34 Tauhid yang mulanya bersifat individu,

berubah menjadi tauhid sosial.

Kualitas-kualitas pribadi selalu melandasi

kualitas-kualitas masyarakat, semata-mata karena

34Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti

(Bandung: Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 35.

124

masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi. Oleh karena

itu dapat diharap bahwa kualitas-kualitas pribadi yang

tertanam melalui tauhid itu akan terwujud pula dalam

kualitas-kualitas masyarakat yang keanggotaannya

terdiri dari pribadi-pribadi serupa itu. Maka efek

pembebasan semangat tauhid pada tingkat kemasyarakatan

dapat dilihat sebagai kelanjutan efek pembebasan pada

tingkat pribadi.35

Jika sikap dasar (tauhid) manusia ini dapat

dipupuk terus, maka produktifitas umat akan meningkat.

Baik semangat beribadah kepada Allah dan bekerja meraih

kesejahteraan di dunia, serta kepekaan berempati

terhadap orang lain.

E. Etika Dakwah dalam Politik

35Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah

telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Op.Cit., h. 85.

125

Realitas politik Islam cenderung terpuruk di

negeri ini, bahkan dalam realitas dunia. Kekalahan

Islam politik disebabkan banyak faktor, yang paling

fondamental adalah rapuhnya etika politik. Di sinilah

etika dakwah masuk dalam ruang politik. Membingkai

politik dengan etika dakwah adalah komitmen yang

selayaknya dipegang oleh politikus muslim. Kekuasaan

bukanlah “ujung”, tapi awal sebuah perjuangan. Bila

kekuasaan dijadikan tujuan maka pupuslah idealisme

perjuangan. Politik sendiri jangan diartikan sebagai

upaya meraup kekuasaan sebanyak-banyaknya. Tapi ia

harus dimaknai sebagai sebuah proses perjuangan. Dan

sebuah perjuangan akan berhasil jika ditopang oleh

kesatuan. Kesatuan dalam berjuang menggapai ridha Allah

SWT., sebagaimana pesan al-Qur’an:

واعتصموا بحبل اهللا جمیعا وال تفرقوا وا دكروا نعم ت اهللا

عل یكم اد كن تم اع داء ف ألف ب ین قل وبكم فأص بحتم بنعمت ه

…اخوانا

126

“Berpeganglah kamu sekalian kepada taali (agama) Allah dan janganlah kamu berpecah-belah dan ingatlah akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu dipersatukannya hatimu, sehingga kamu jadi bersaudara dengan nikmat-Nya...” (QS. Âli ‘Imrân: 103)

Terdapatnya kubu Islam, Islam-nasionalis,

Nasionalis dan sekuler adalah realitas politik di

Indonesia. Perpedaan pendapat menyangkut hubungan Islam

dan negaralah yang menyebabkan wacana klasik tersebut

terus bergulir.

Mensinyalir persoalan tersebut, sesuai dengan

realitas politik di Indonesia, maka garis besarnya

terdapat dua kekuatan dalam memandang Islam dan negara.

Pertama, kaum subtansialis, yang memiliki pokok-pokok

pandangan; (a) bahwa subtansi iman dan amal lebih

penting daripada bentuknya, (b) Pesan-pesan Al-qur’an

dan Hadis, yang bersifat abadi dalam esensinya dan

universal dalam maknanya, harus ditafsirkan kembali

oleh masing-masing generasi kaum muslimin sesuai dengan

kondisi sosial pada masa mereka, (c) mereka menerima

struktur pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk

127

negara Indonesia yang final. Kedua, kaum skripturalis,

mereka berpandangan; (a) Bahwa pesan-pesan Agama

sebagian besarnya sudah jelas termaktub dalam Al-qur’an

dan Hadis,(b) dan hanya perlu diterapkan dalam

kehidupan karena itu, maka lebih cenderung berorientasi

kepada syari’at.36

Dari kedua kelompok tersebut jelas bahwa, disatu

pihak institusi (Negara) Islam tidak perlu, yang

terpenting adalah komitmen penerapan nilai-nilai Islam

dalam kehidupan berbangsa, ini dianut oleh kaum

subtansialis. Dipihak lain , kelompok skripturalis,

yang berpandangan bahwa pesan-pesan Agama perlu adanya

institusi yang mengaturnya yaitu negara Islam, yang

berorientasi syari’at.

Bila diamati dengan seksama, sesungguhnya kedua

kelompok tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang

sama, yaitu sama-sama ingin mengartikulasikan pesan

36Lihat Mark R Woodward, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma

Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 285-289.

128

agama dengan penuh komitmen dan integral (kaffah),

hanya berbeda dalam praktek. Tujuan yang sama inilah

yang hendaknya dibangun dan dikedepankan, berlomba-

lomba dalam kebaikan dan kebenaran. Terutama saat ini,

dengan menjamurnya partai politik Islam.

Menyoal maraknya partai politik Islam, Prof.Dr.

Azyumadi Azra melihat adanya tiga corak kecenderungan

baru, yaitu formalistik, subtantifistik dan

sekularistik. Dari tiga kecenderungan yang diajukannya,

ia menganjurkan agar partai Islam semestinya memakai

pola subtantifistik, artinya memunculkan Islam dari

substansinya bukan sebagai ajaran formal.37

Lain halnya dengan Gus Dur, yang dengan tegas

menyatakan tiga macam respon dalam hubungan Islam

dengan negara (state) yaitu; integratif, fakultatif dan

konfrontatif.38 Hubungan integratif, meminjam

terminologi Gus Dur, Islam menghilangkan sama sekali

kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan

ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Hubungan antara

37Republika (Jakarta), 25 Mei 1999. 38Abdurahman Wahid ,”Membangun Hubungan Islam dan Negara”,

Kompas (Jakarta), 5 Nopember 1998.

129

kehidupan mereka dengan negara ditentukan oleh pola

hidup kemasyarakatan yang mereka ikuti.

Yang menarik ketika, Bahtiar Effendy menawarkan

hubungan politik yang integratif, antara Islam dan

negara, bukanlah berarti ‘yes’ terhadap pemerintah yang

berkuasa, tetapi ada konsekuensi logis-rasionalnya,

yakni; keterwakilan kaum Muslim secara proporsional

dalam lembaga-lembaga politik negara, ini jelas

berlainan dengan Gus Dur yang menghilangkan kedudukan

Islam formalnya dan dipertahankannya komitmen nasional

bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler, hal ini

mengharuskan dipertimbangkan dan diakuinya nilai-nilai

keagamaan dalam proses membuat kebijakan.

Dengan demikian, akan tercapai suatu makna

perjuangan yaitu menciptakan kesejahteraan dan keadilan

sebagai perwujudan pengabdian pada agama dan bangsa.

Dengan kesadaran ini, partai satu dengan yang lainnya

akan saling menghormati (walaupun beda platform). Atau,

bisa disebut dengan “beda yang satu”, yaitu satu dalam

130

iman.39 Sehingga perbedaan artikulasi perjuangan

merupakan aset bagi tumbuhnya sebuah sinergi sosial

dalam rangka menciptakan kehidupan yang beradab dan

penuh rahmat. Jika ini tidak terlaksana dengan baik,

maka akan ada benturan dari kedua kelompok besar

tersebut yang saling tuding, jegal merasa benar sendiri

dan seterusnya. Disinilah, mungkin, ada benarnya tesis

Karl Marx bahwa Agama adalah “candu” kehidupan.40 Niat

yang baik “teracuni” oleh dominasi ego yang

berorientasi pada kepentingan materi. Agama kehilangan

elan profetiknya, Rahmatan lil ‘alamin berubah menjadi

Mafsadah lil ‘alamin.

39Lihat ulasan buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara,

Transformasi Pemikiran Pratek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,1998), Cet. ke-1, dalam resensi Edi Amin, “Konvergensi Islam dan Negara”, kompas (Jakarta), 27 Desember 1998.

40Situasi agama yang mengawang inilah yang dilukiskan Karl Marx dalam artikelnya pada tahun 1984: ”Religion is the sign of the oppressed creature, the heart of τ heartles world , just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people”, untuk jelasnya lihat Karl Marx and F. Engels, On Religion, New York: Schocken Books, 1977,p.42. Dikutip kembali oleh Ahmad Syafii Maarif, membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 105.

131

Dengan kesadaran moral yang tingi dalam

memaknai perjuangan politik, maka tatanan masyarakat

yang adil dan makmur di bawah ridho Ilahi dengan

sendirinya akan tercapai. Dengan demikian, pertanyaan

apakah dasar negara Pancasila atau Islam bukanlah

menjadi persoalan besar.41 Kuntowijoyo berpendapat

bahwa pancasila adalah sebagai teodemokrasi, dimana

kekuasaan itu dibatasi dari atas oleh Tuhan (yang mana

dalam Islam disebut syari’ah, dalam hindu dharma) dan

dari ‘bawah’ oleh rakyat.42

Qamaruddin Khan menyatakan bahwa Ibnu Taymiyyah

tidak pernah tertarik dengan masalah asal usul dan

bentuk negara. Tidak menjadi persoalan baginya apakah

otoritas negara tersebut diperoleh dari Allah atau dari

41Sebagaimana dikehendaki Islam bahwa khilafah bertanggung

jawab terhadap perbaikan dan keselamatan rakyat dengan adanya hukum yamg menjaminnya. Tanpa melihat bentuk pemerintahannya. Lebih jelas lihat Ismai’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Moh, Ridzuan, et al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992),Cet. ke-2, h. 167-170.

42Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-1, h. 61-62.

132

semacam pemilihan suara. Apalagi kekuatan-kekuatan-

kekuatan sejarah telah memunculkan otoritas negara maka

Ibnu Taymiyyah memandangnya sebagai sebuah fakta dan

tidak perduli dengan cara bagaimanakah negara tersebut

telah tercipta. Ia hanya mendambakan supremasi otoritas

Syari’ah di dalam negara. Ia tidak mempermasalahkan

kekuasaan pemimpin negara, ahl as-syawkah, sesuatu

klan, atau sesuatu dinasti. Ia berkata bahwa kekuasaan

tertinggi hanya dimiliki oleh Syari’ah. Qamaruddin Khan

selanjutnya berkata: pada zaman sekarang ini, apabila

dunia Islam hendak hidup sebagai sebuah masyarakat yang

bersatu, efektif, terhormat, dan berbahagia maka kita

harus menafsirkan kembalai Syari’ah seperti yang telah

dilakukan Ibn Taymiyyah agar sesuai dengan kondisi

kebudayaan modern dan memenuhi persyaratan-persyaratan

kehidupan yang dinamis.43

Mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah adalah

tugas para Nabi dan Rasul serta mereka yang mengikuti

jalannya. Nabi Muhammad adalah contoh yang terbaik

43Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, terj.

Anas Mahyudin, (Bandung:Pustaka, 1995), Cet. II, h. 309, 313.

133

untuk itu. Iqbal dalam karyanya yang kini telah dinilai

sebagai karya klasik, The Reconstruction of Religius

Thought in Islam, dengan amat tajamnya membedakan visi

seorang Nabi dan visi seoraang sufi, sebagaimana

dikutip:

“Muhammad dari Arabia telah mi’raj, mencapai langit yang tertinggi dan ia kembali, saya bersumpah demi Allah jika sekiranya aku telah mencapai titik itu, aku takkan pernah kembali. ini adalah perkataan seorang ruhaniawan besar Muslim, Abdul Quddus dari Gangoh. Dalam seluruh jajaran literatur sufi akan sangat sukarlah tampaknya menemukan perkataan, yang dalam satu kalimat, mengungkaapkan suatu persepsi yang demikian tajam tentang perbedaan tipe kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Seorang sufi tidak ingin kembali dari kesantaian ‘pengalaman wahdaniah’ dan bahkan bila ia benar-benar kembali, dan memang harus kembali, kepulangannya tidak bermakna banyak bagi kemanusiaan pada umumnya.”44

Kemudian Iqbal mempertegas lagi perbedaan itu:

“Kembalinya Nabi bersifat kreaktif. Dia kembali untuk

44Muhammad Iqbal, The Reconstruction Religious Thought in Islam, (Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1971), h. 124, dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995), Cet. ke-2, h. 114.

134

menempatkan dirinya dalam putaran waktu dengan tujuan

mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu

menciptakan sebuah dunia cita-cita yang segar.” Di sini

kita dapat menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah

seorang Nabi adalah misi kemanusiaan, misi sejarah

dengan dimensi yang sangat luas. Dan dalam perspektif

telaah kita, politik hanyalah satu dimensi dari

kegiatan dakwah yang serba meliputi itu.45

Walupun begitu, politik memiliki peran yang

signifikan dalam dakwah. Negara yang ideal, akan

menempatkan agama di atas segalanya, karena wahyu

adalah pesan Tuhan yang harus ditaati. Makna agama di

atas segalanya adalah ia dijadikan imam, bukan lipstik.

Dengan sendirinya, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila

pertama di negeri kita, patut diperpertanyakan kembali

efektifitasnya dalam membangun moral bangsa.

45Ibid.

135

F. Etika Dakwah dalam Globalisasi

Tantangan dakwah dalam era globalisasi tak bisa

terelakkan lagi. Kemajuan teknologi memacu perkembangan

zaman dengan cepat. Fenomena ini memunculkan

permasalahan tersendiri dalam dakwah. Di satu sisi

dakwah terbantu dengan mudahnya komunikasi, namun di

sisi lain tantangan dakwah semakin berat. Arus

kebudayaan asing, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

Islam muncul begitu cepat.

Formulasi dakwah yang tepat, baik materi,

metode, media dan perangkat pendukung dakwah lainnya

semakin mendesak untuk direalisasikan. Tentunya dengan

mengacu pada etika global yang ada, agar fotmat dakwah

yang ada tidak keluar dari nilai etis internasional.

Etika Global menekankan perlu dikembangkannya

komitmen umat manusia kepada budaya baru yang berwajah

lebih manusiawi. Komitmen tersebut merupakan ‘arah-arah

pasti’ (irrevocable directives) yang dapat membimbing

136

umat manusia menuju satu kemanusiaan, satu peradaban,

satu masa depan.46

Di antara ‘arah-arah Pasti’ (dalam deklarasi

etika global) tersebut adalah: pertama, Komitmen

terhadap budaya tanpa kekerasan dan penghormatan

terhadap hidup. Komitmen ini dimaksudkan sebagai

kerangka etik untuk mengeliminasi segala bentuk

permusuhan, kebencian, dan kekerasan ---baik antara

orang perorang, maupun antara bangsa, suku-bangsa, dan

agama. Dalam bahasa agama, komitmen ini merupakan

pengejawantahan dari perintah ‘jangan membunuh’!.

Kedua, Komitmen kepada budaya solidaritas, dan tata

ekonomi yang adil. Komitmen ini merupakan solusi etik

terhadap segala bentuk eksploitasi manusia manusia atas

manusia, kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi

antara kaya-miskin. Komitmen ini merupakan

pengejawantahan dari perintah agama ‘jangan mencuri’!.47

Ketiga, Komitmen kepada budaya toleransi dan

kejujuran. Prinsip etik, yang paralel dengan ajaran

46M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), Cet. ke-1, h. 210.

47Ibid.

137

agama ‘jangan bohong’! ini, dimaksudkan sebagai

antitesis terhadap kecurangan, kemunafikan, dan

demagogi, terutama dalam bidang politik. Keempat,

komitmen kepada budaya persamaan dan kemitraan antara

wanita dan pria. Nilai etika ini merupakan penjabaran

terhadap perintah agama ‘jangan berzina’!, yang

termanifestasi dalam berbagai bentuk eksploitasi dan

diskriminasi seksual dewasa ini.48

Etika global tersebut, yang dideklarasikan,

dalam perspektif agama, adalah pesan moral, yang tidak

bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai agama yang

ada. Etika tersebut dimaksudkan sebagai sumbangan dan

jawaban agama-agama terhadap problema kehidupan umat

manusia pada era globalisasi. Dengan demikian, dakwah

dalam konteks globalisasi memperoleh peluang yang

terbentang luas. Namun, Peluang yang besar bukan

berarti tidak ada tantangan.

Etika Global (global Ethic) tersebut dihasilkan

dalam Parlemen Agama-agama sedunia ke-2 pada tahun 1993

di Chicago, Amerika Serikat. Sedangkan Parlemen Agama-

48Ibid.

138

agama Sedunia pertama diselenggarakan seabad yang lalu

1893 dengan melahirkan gagasan yang terkenal dengan

‘teologi Universal’. ‘Teologi Universal’ lebih merupakan

satu kerangka teoritis yang mengakui adanyapluralisme

keagamaan dan adanya titik temu pandang agama-agama,

Etika Global merupakan kerangka praktis berupa

paradigma etik dan moral untuk dijelmakan dalam

kehidupan.49

Refleksi dari pemahaman etika global tersebut,

memunculkan etika dakwah dalam globalisasi,

diantaranya: pertama, Mengedepankan serta menebarkan

kasih sayang sesama manusia, sebagai pengejawantahan

dari nilai rahmatan lil ‘alamîn. Sebaliknya sikap

keras, kasar dan sombong justru akan merugikan dakwah.

Allah menegur orang-orang sombong dalam firman-Nya:

وال تصعر خد ك للناس وال تمش فى األرض مرحا ان

اهللا ال یحب كل مختال فخور

49Lihat Ibid., h. 207-208.

139

“Janganlah engkau palingkan pipi (muka) terhadap manusia (karena sombong) dan janganlah engkau berjalan di atas bumi dengan sangat gembira. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi bermegah-megah” (QS. Luqmân: 18) Kedua, Mengedepankan diplomasi dan komunikasi

serta menjauhi sikap diskriminatif dan stereotip.

Diplomasi dan komunikasi yang baik, akan menimbulkan

efek positif dan simpatik mad’u, selanjutnya sikap

simpatik tersebut dapat meningkat pada rasa keingin

tahuan akan mempelajari Islam, selanjutnya memeluk

Islam atas dasar kesadaran dan pengetahuannya tersebut,

yang tentunya tidak lepas dari hidayah Allah. Di

sinilah pentingnya peran media dalam membangun hubungan

diplomasi serta komunikasi. Khususnya media cetak dan

elektronik, di mana informasi dapat diakses dengan

cepat.

Quraish Shihab berpendapat, bahwa dalam rangka

mewujudkan ‘jembatan’ antara agama (dakwah-pen) dan

kehidupan kontemporer, maka (paling tidak) ada tiga

140

bidang yang menonjol di mana ajaran agama dapat

berperan:50

1. Mewujudkan satu kekuatan pendorong bagi setiap

pribadi dan masyarakat guna meningkatkan amal

usaha dan kreasi mereka;

2. Mewujudkan isolator-isolator antara pribadi-

pribadi dan penyelewengan-penyelewengan;

3. Memelihara satu tingkat etik dalam melaksanakan

tugas sehari-hari.

Mencermati pemikiran di atas, maka poin ke tiga

adalah relevan dengan tulisan ini, walaupun bukan

berarti menafikan kontribusi poin satu dan dua. Poin ke

tiga di atas bermaksud untuk menciptakan kehidupan

dengan landasan etika. Memelihara harus kita artikan

sebagai konsistensi terhadap etika yang melandasi suatu

kehidupan atau suatu profesi dan mengupayakan etika

dakwah yang dinamis dalam menghadapi segala tantangan

zaman.

50Lihat M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, (Bandung:

Mizan, 1997), Cet. ke-14, h. 201.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat

Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-1. Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah

Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987, Cet. ke-1. Abdulrahim, M. Imaduddin, “Sikap Tauhid Dan Motivasi

Kerja”, Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 6, 1990. Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,

Yogyakaarta: Prima Duta, 1983, Cet. ke-1. Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Negara Bermoral Menurut

Imam Al-Gazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1.

Ahmad, Amrullah (editor), Dakwah Islam dan Perubahan

Sosial, Seminar Nasional dan Diskusi Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), Yogyakarta: Prima Duta, 1983, Cet. ke-1.

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan

Bintang, 1995, Cet. ke-8. Amin, Edi, “Konvergensi Islam dan Negara”, kompas

(Jakarta), 27 Desember 1998.

149

Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan

Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet. ke-2. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern:

Berbagai tantangan dan jalan baru, Jakarta: INIS, 1994, Cet. ke-1.

………………………, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam

dan Post Modernisme, Surabaya: Al Fikr, 1999, Cet. ke-1.

Aziz, Jum’ah Amin Abdul, Fiqih Dakwah, Studi Atas

Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus dijadikan Acuan Dalam Dakwah Islamiyah, terj. Abdul Salam Maskur, Solo: Intermedia, 1998, Cet. Ke-2.

Bertens, K., Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2001,Cet. ke-6. Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Jakarta:

Bulan Bintang, 1980, Cet. ke-1. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1990, Cet. ke-3. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,

Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. ke-2.

Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami, Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1992, Cet. ke-1.

150

Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi Politik

Muslim, terj. Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.

Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin

Baidhawy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996, Cet. ke-1.

Al-Faruqi, Ismail Raji, terj. Rahmani Astuti, Tauhid,

Bandung: Pustaka, 1988, Cet. Ke-1. Al-Faruqi, Ismail R. & Al-Faruqi, Lois Lamya, terj.

Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.

Gaus AF, Ahmad, “Isu Kebebasan Beragama”, KOMPAS,

Selasa, 14 Juli 1998.

Ghazali, M. Bahri, Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikaasi Dakwah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. ke-1.

Hasjmy, A., Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: PT

Bulan Bintang, 1994, Cet. ke-3. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1992, Cet. ke-4.

151

Hidayat, Komaruddin dan Nafis, M. Wahyuni, Agama Masa

Depan, Perspektif Filsafat Parenial, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1.

Hidayat, komaruddin, Kontekstualisasi Doktrin Islam

Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1.

Hodgson, Marshall G. S., The Venture Of Islamn Iman dan

Sejarah dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara, Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-2, Jilid ke-1.

Hill, Thomas English, Contempory Ethical Theories, New

York: Macmillan, 1959. Johannesen, Richard L., Etika Komunikasi, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1996, Cet. ke-1. Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu, Panorama

Filsafat Islam,Bandung: Mizan, 2002, Cet. ke-1. Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah,

terj. Anas Mahyudin, Bandung:Pustaka, 1995, Cet. ke-2.

Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Propinsi DKI Jakarta,

Adab dan Akhlak Muballigh, 2002. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:

Mizan, 1997, Cet. ke-1.

152

-----------, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi,

Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-8.

Maarif, Ahmad Syafii, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1995, Cet. ke-2.

-----------, Ahmad Syafii, “Agama dan Pembangunan: Corak

Masyarakat Islam Masa Depan”, Ulumul Quran, Vol. III, no. I, 1992.

Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, Ulumul

Quran, Vol. VII, No. 2, 1996. -----------, Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah

Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. ke-4.

-----------, Bunga Rampai Bimbingan Rohani Islam,

Jakarta: BAPINROH DKI, 2002. -----------, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan

keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran, Vol. IV, No.1, 1993.

Magnis Suseno, Franz, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok

Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1989, Cet. ke-17.

153

Mahmud, Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, Metode

Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. ke-1.

Malaikah, Musthafa, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qaradhawi,

Harmoni Antara Kelembutan dan Ketegasan, terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, Cet. ke-1.

Mar’i, Abu Muhammad al-Mishri Isham bin, Bolehkah Ustadz

Menerima Amplop, terj. Abdul Qadir Jilani dan Abu Salman, Jakarta: Pustaka Inner, 2004, Cet. ke-1.

Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi

Hidayat, Bandung: Mizan, 1994, Cet. ke-1. Mubarok , Achmad, Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2001, Cet. ke-2. Muis, A., Komunikasi Islam, Bandung: Rosda, 2001, Cet.

ke-1. Natsir, Mohammad, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah,

2000, Cet. ke-10. -----------, Islam Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Media

Dakwah, 2000, cet. ke-1. Omar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1992,

cet. ke-5.

154

Al-Qahthani, Said Bin Ali, Dakwah Islam Dakwah Bijak,

Jakarta: Gema Insani Press, 1994, Cet. ke-4. Al-Qahthani, Said Bin Musfir Bin Mufrih, Ad-Dakwah

Ilallah, Tajârib wa dzikrayat, Makkah Al-Mukarrah: Dar Thaibah Al-Khadrak, 1423 H, Cet. ke-2.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung:

Pustaka, 1997, Cet. ke-3. Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih,

Bandung: Muthahhari Press: 2003, Cet. Ke-2. Said, M., Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradnya

Paramita, 1980, Cet. ke-2. Semesta, Rahmat, Metode Dakwah, Jakarta: Prenada Media,

2003, Cet. ke-1. Shaqr, Abdul Badî’, Meneladani Akhlak Nabi, Hadis-hadis

pilihan tentang Akhlak Mulia, Bandung: Al-Bayan, 2004, Cet ke-1.

Shihab, M. Quraish, “Membumikan” Al-Quran, Bandung:

Mizan, 1997, Cet. ke-14. Sobary, Mohammad, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman

Mencari Solusi, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, cet. ke-1.

155

Subhani, Ja’far, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan

Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-7.

Sukarja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar

1945 Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995, Cet. ke-1.

Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok

Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1989, Cet. ke-17.

Syamsuddin, Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat

Madani, Jakarta: Logos, 2000, Cet. ke-1.

Tamara, Nasir, dkk., Agama dan Dialog Antar Peradaban,

Jakarta: Paramadina, 1996, cet. ke-1. Quasem, M.Abul, Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin,

Bandung: Pustaka, 1988, Cet. ke-1. Subhani, Ja’far, Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan

Syirik, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-7.

Vos, De, H., Pengantar Etika, Yogyakarta: PT Tiara

Wacana Yogya, 2002, Cet. ke-2.

156

Wahab, Muhbib Abdul, “Revitalisasi Etika Islam Dalam

Pendidikan”, Misykat Al-Anwar, Volume 8, Nomor 1, Juni 2002.

Wahid, Abdurahman ,”Membangun Hubungan Islam dan

Negara”, Kompas (Jakarta), 5 Nopember 1998. Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Prinsip dan Kode Etik Dakwah,

Jakarta: Akademika Pressindo, 2002, Cet. ke-1. Woodward, Mark R, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma

Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1.

Yaqub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi,

Jakarta: PT. Pustaka Ilmu, 2000, Cet. ke-2. Ya’qub, Hamzah, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah

(Suatu Pengantar),Bandung: Diponegoro, 1983, Cet. ke-2.

Yusuf, M. Yunan, “Internalisasi etika Islam ke dalam

Etika Nasional: Agenda Dakwah dalam Perspektif Pemikiran Islam”, Dakwah, Jurnal Kajian dan Kemasyarakatan, Vol. 1. No. 2, November, 2001.

Yusuf, M. Yunan, “Dakwah bil Hal”, Dakwah, Jurnal Kajian

dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2, November, 2001.

157

Zahrah, Abu, Dakwah Islamiah, terj. H. Ahmad Subandi dan

Ahmad Sumpeno, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. ke-1.

Zubair, Achmad Charris, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1995, Cet. ke-3.