jurnal kesmas
Transcript of jurnal kesmas
EditorialApakah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dapat Terus Dilaksanakan?
Sebuah Analisis Sejarah dan Budaya 113
Makalah KebijakanPolitik Pembangunan dan Kebijakan Privatisasi Pelayanan Kesehatan
Dumilah Ayuningtyas 115
Artikel PenelitianEvaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal antara Puskesmas Cakupan Tinggi
dengan Puskesmas Cakupan Rendah Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard
Ernawati, Djaswadi Dasuki, Abdul Wahab 120
Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Perusahaan Peserta Program Jaminan Kecelakaan Kerja
pada PT Jamsostek Cabang Medan
Gerry Silaban, Soebijanto, Adi Heru Soetomo,
Lientje Setyawati Maurits, Suma’mur, P.K. 130
Hambatan dan Harapan Sistem Kredensial Dokter:
Studi Kualitatif di Empat Rumah Sakit Indonesia
Herkutanto, Astrid Pratidina Susilo 140
Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKI pada Anak Sekolah
di Daerah Gondok Endemik Berat di Kota Surabaya
Oktarina, Dwi Astuti Soekisno Putri 148
Analisis Penetapan Pasar Sasaran
Rumah Sakit Stella Maris Makassar Tahun 2008
Asiah Hamzah, Darmawansyah, Sukri Palutturi, Petrus Romeo 156
Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya Anggaran Obat
Pemerintah Kota Batam setelah Pembebasan
Biaya Retribusi Pasien Puskesmas
Nurliyasman, Rustamaji, Sri Suryawati 162
Resensi BukuStrategic Management of Health Care Organizations 171
KorespondensiDeveloping Framework for Civil Aviation Occupational Health and Safety System In Indonesia 172
JurnalManajemen
Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management
Volume 12/Nomor 03/September/2009
Daftar Isi
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 113
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 113 - 114
Editorial
APAKAH UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
DAPAT TERUS DILAKSANAKAN?
SEBUAH ANALISIS SEJARAH DAN BUDAYA
Di penghujung tahun 2009 ini, usia Undang –
Undang (UU) Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) telah lima tahun (UU No. 40/2004).
Selama lima tahun, praktis UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) tidak berjalan. Salah satu
penyebabnya adalah bahwa UU SJSN ini
membutuhkan UU lain yaitu UU Badan Pengelola
Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak kunjung selesai.
Pernyataan menarik adalah bahwa UU SJSN ini terlihat
tidak efektif untuk merubah masyarakat dan tentunya
pertanyaannya mengapa gagal? Salah satu
penjelasan adalah bahwa UU SJSN tidak
memperhatikan sejarah masyarakat yang akan diatur
oleh UU. Sebuah UU dapat gagal karena tidak berhasil
merubah tata kehidupan masyarakat. Artinya tata
kehidupan yang sudah berlangsung lama sejarahnya
tidak bisa diubah. Masyarakat secara sengaja atau
tidak sengaja menolak pelaksanaan UU.
Diskusi mengenai kebijakan dan history
merupakan hal menarik untuk diperdebatkan. Sebuah
kebijakan (misal UU) dapat bersifat ahistorik jika tidak
mempertimbangkan atau melihat sejarah. Namun
perlu dicatat bahwa kebijakan memang dapat
bertujuan membalikkan sejarah atau merubah sebuah
tradisi. Lee Kuan Yew dengan kebijakan keras
berpuluh tahun mampu merubah perilaku kebersihan
penduduk Singapura. Jadilah sekarang situasi
Singapura yang lebih bersih dibanding London
(sebagai benchmark Lee Kuan Yew). Situasi ini
berbeda dengan kebiasaan hidup tidak bersih dalam
sejarah masyarakat perantauan Chinese. Kebijakan
Singapura bersih tersebut berhasil membalikkan
peninggalan sejarah. Kebijakan Singapura memang
sangat keras karena melihat budaya kebersihan
dalam sejarah Singapura yang tidak baik. Jadi kalau
sebuah kebijakan tidak memperhatikan sejarah/tradisi
budaya, maka kebijakan ini mempunyai risiko tidak
berjalan. Hanya di atas kertas.
Undang-Undang (UU) SJSN merupakan hal
sangat berat karena harus mampu merubah berbagai
hal termasuk perubahan budaya masyarakat, dokter,
tenaga kesehatan lainnya, pimpinan dan staf
perusahaan asuransi kesehatan, pejabat dinas
kesehatan, sampai ke pejabat. Undang-Undang (UU)
SJSN bukan hanya merubah prosedur, tapi budaya
yang sudah menjadi tradisi, menjadi bagian dari
sejarah panjang sektor kesehatan Indonesia. Tradisi
dokter mendapat fee for service tidak hanya 10
tahunan. Sudah lama sekali.
Sejarah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan kebijakan. Pada tahun 1948,
pemerintah Inggris dari Partai Buruh secara keras
menasionalisasi semua pelayanan kesehatan agar
terjadi pemerataan. Hal ini tidak terjadi di Amerika
Serikat. Dengan menasionalisasi RS swasta,
pemerintah Inggris dapat melakukan intervensi
dengan kuat. Patut dicatat bahwa sekitar tahun 1948
medico industrial compleks belum sekuat sekarang.
Dalam konteks perubahan di Inggris, kebijakan
menasionalisasi menjadi NHS dilakukan oleh PM
Partai Buruh saat itu, dalam suasana rekonstruksi
Inggris pasca Perang Dunia II. Kebijakan ini
menasionalisasi pelayanan kesehatan swasta,
kemanusiaan (termasuk keagamaan), pemerintah
lokal diinisiasi oleh kantor PM Inggris yang cenderung
lebih ke kiri (sosialis) yaitu Partai Buruh.
Kebijakan ini sangat memperhatikan tradisi
dalam sejarah, termasuk tradisi pendapatan tinggi
dokter yang sangat kuat. Para pengambil kebijakan
paham bahwa para dokter pasti menentang. Oleh
karena itu, Aneurin Bevan (Menteri Kesehatan Inggris
saat itu) menyatakan: “I stuffed their mouths with
gold”. Agar tidak ditentang dokter, kebijakan ini
sangat memperhatikan pendapatan para dokter
sehingga mau berubah.
Dari gambaran ini, kita dapat melihat betapa
rapuhnya UU SJSN. Terbukti selama lima tahun tidak
berjalan. Kerapuhan timbul dari berbagai sudut.
Pertama dari saat disahkannya. Undang-Undang
(UU) SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari
akhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU)
semacam ini sering disebut sebagai “Midnight Laws”.
Dapat dipahami bahwa periode kepresidenen
berikutnya tidak merasa memiliki (ownership) UU
SJSN. Sangat berbeda dengan NHS di Inggris yang
disiapkan bertahun-tahun sebelumnya sebagai
agenda Partai Buruh. Oleh karena itu, UU SJSN perlu
diamandemen dengan salah satu tujuan adalah
meningkatkan kepemilikan dan dukungan politis dari
pemerintah yang berkuasa.
114 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Laksono Trisnantoro: Apakah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional ...
Kerapuhan kedua, UU SJSN tidak bicara
banyak mengenai tradisi di sektor kesehatan,
termasuk peran para dokter yang sangat powerfull.
Masalah apakah para dokter akan kekurangan
income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.
Kenyataan memang sudah terjadi. Model UU SJSN
memberikan insentif rendah dibanding OOP. Undang-
Undang (UU) SJSN tidak bicara banyak mengenai
bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke
berbagai tempat, UU SJSN tidak bicara banyak
mengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidak
kenal risiko dan lain-lain. Banyak sekali hal
operasional tidak dibahas.
Kerapuhan ketiga, UU SJSN mencakup
kesehatan dan berbagai aspek welfare dalam
hubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini sangat
politis. Berbagai kepentingan dan ideologi yang
saling bertentangan dapat terjadi. Hal ini dapat dilihat
dari kecurigaan para industrialis terhadap UU SJSN
ini yang dianggap mengurangi daya kompetisi produk
Indonesia. Undang-Undang (UU) SJSN menjadi
sangat rapuh pada perdebatan ideologis. Akibatnya
masalah teknis yang banyak terdapat disektor
kesehatan menjadi terabaikan. Komponen
kesehatan bisa menjadi tidak terurus secara baik
dalam UU SJSN.
Oleh karena itu, diusulkan agar UU SJSN
diamandemen dan kalau bisa dipisahkan sendiri.
Dari titik ini kemudian disusun UU Asuransi
Kesehatan dan atau UU Jaminan Kesehatan
Nasional. Mengingat beratnya masalah yang sampai
mencakup tata kehidupan dan sejarah yang sudah
panjang, diharapkan jangan diletakkan bersama-
sama dengan jaminan sosial lainnya (Laksono
Trisnantoro, [email protected]).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 115
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
POLITIK PEMBANGUNAN
DAN KEBIJAKAN PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN
THE POLITIC OF DEVELOPMENT AND HEALTH PRIVATIZATION IN HEALTH SERVICE
Dumilah Ayuningtyas
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
ABSTRACTA wave into democratization and liberalization which influenced
the development of government politic had arisen. This wave
also provided space for public’s participation or any other
private sector on development privatization including public
service. Thus health sector is not an exception in this case.
Substantive definition of privatization is action of diminishing
the government’s participation (state control) and increasing
private’s partaking. Although the inclination for escalation of
privatization policy on health service seems promising, yet it
still need endeavor to ensure that the implementation of
privatization in Indonesia does not contradict with government’s
obligation and objective in giving broadened and attainable
health service with good quality.
Keywords: government political development, privatization’s
policy on health service
ABSTRAKTelah terjadi gelombang menuju demokratisasi dan liberalisasi
yang mempengaruhi politik pembangunan pemerintah dan
memberi ruang bagi kesertaan masyarakat atau pihak swasta
lainnya dalam privatisasi pembangunan termasuk pelayanan
publik tak terkecuali di bidang kesehatan. Pengertian subtanstif
privatisasi adalah kegiatan mengurangi peranan pemerintah
(state control) dan meningkatkan peran swasta (”the act of
reducing the role of government and expanding that of the
private sector”). Meski terdapat kecenderungan meningkatnya
kebijakan privatisasi bagi pelayanan kesehatan diperlukan
upaya untuk memastikan bahwa pelaksanaan privatisasi di
Indonesia tidak malah bertentangan dengan kewajiban dan
tujuan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan
yang merata, terjangkau dan berkualitas.
Kata Kunci: politik pembangunan pemerintah, kebijakan
privatisasi pelayanan kesehatan
PENGANTAR
Telah terjadi arus perubahan sistem politik
kepemerintahan sebagai sebuah transisi menuju
demokrasi di negara-negara baru, yang seringkali
juga disebut sebagai gelombang ketiga demokrasi.
Sebuah gelombang biasanya mencakup liberalisasi
atau upaya demokratisasi dari sistem-sistem politik
yang tidak atau belum sepenuhnya demokratis.1
Liberalisasi di bidang politik akan berkorelasi dengan
arah kebijakan pembangunan di suatu pemerintahan
utamanya di sektor ekonomi.2 Salah satu ciri dari
proses liberalisasi dibidang ekonomi adalah
keputusan pemerintah baik pusat dan daerah untuk
melakukan privatisasi aset-aset pelayanan publik,
termasuk di sektor kesehatan, tak terkecualikan,
hal ini terjadi pula di Indonesia.
Politik dan Arah Pembangunan Pemerintah
Era reformasi membawa dinamika politik yang
sangat deras, antara lain terepresentasi dalam
pergantian pengelolaan kekuasaan dengan tak
kurang dari lima kepala negara dimiliki Indonesia di
tahun 1997-2005. Pada rentang waktu itu pula, terjadi
perubahan signifikan dalam bidang kesehatan
termasuk kebijakan pembiayaan kesehatan. Khusus
di sektor perumahsakitan, pemerintah telah
beberapa kali mengganti status rumah sakit berturut-
turut mulai dari pengguna PNBP, Perusahaan
Jawatan (Perjan) bagi 13 Rumah Sakit Umum
Pemerintah (RSUP), berubah dalam pilihan menjadi
Perum atau Persero dengan lahirnya Undang-Undang
(UU) No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Berikutnya keluar Peraturan Pemerintah
(PP) No. 8/2003 yang paralel dengan BUMN dan
mempengaruhi status Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) menjadi bentuk Badan Layanan Umum
(BLU) berdasarkan UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, bahkan di ibukota tiga
RSUD telah ditetapkan sebagai Perseroan Terbatas
(PT) melalui tiga buah Peraturan Daerah (Perda)
yaitu: Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta
No.13,14,15/2004 tentang Perubahan Bentuk Badan
Hukum menjadi PT dan Penyertaan Modal
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada PT. Rumah
Sakit Haji, Pasar Rebo dan Cengkareng bersamaan
dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang
Otonomi Daerah.
Menarik untuk mencermati korelasi antara
kondisi politik dengan perubahan arah pembangunan
pemerintah pada contoh kasus perumahsakitan
tersebut. Alternatif jawaban atas pertanyaan adakah
politik mempengaruhi arah pembangunan
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 115 - 119
Makalah Kebijakan
116 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Dumilah Ayuningtyas: Politik Pembangunan dan Kebijakan ...
pemerintah bisa diperoleh bila mengacu pada
pandangan Bjorn Hettne tentang Development
Theories in the Three Worlds yang menyebutkan
setidaknya ada empat model pembangunan yang
pernah diterapkan di seluruh dunia dan kesemuanya
menyandarkan pada konteks dominasi politik yang
berkembang, masing-masing: teori modernisasi,
teori liberal, teori ketergantungan, dan teori alternatif.3
Teori modernisasi melihat masyarakat Eropa
sebagai role model bagi pembangunan negara-
negara berkembang di Asia dan Afrika. Teori kedua,
yaitu teori liberal menggunakan logika liberalisme
yang dirintis Adam Smith sebagai acuan utama untuk
melihat pembangunan. Teori ketergantungan
terutama dilatarbelakangi pemikiran Marxis yang
melihat perekonomian global sebagai eksploitatif
terhadap negara-negara berkembang dan
menyarankan agar negara-negara tersebut berusaha
memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga
mengurangi ketergantungan pada ekonomi global.
Teori terakhir merupakan perkembangan lebih lanjut
dari pemikiran-pemikiran pembangunan yang lain dan
berpandangan bahwa pembangunan seharusnya
lebih melibatkan kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi yaitu kelompok minoritas dan
termasuk juga kaum perempuan.
Pembangunan Indonesia berkisar di antara
kedua teori pembangunan pertama dan keduanya
pernah digunakan dalam perjalanan pembangunan
pemerintah. Teori modernisasi digunakan pada masa
orde baru, sementara itu pada masa dan pasca
reformasi pemerintah cenderung menggunakan teori
atau model liberalisasi. Pandangan tersebut dapat
diterima setidaknya jika kita menelaah lebih dalam
pengertian tentang kedua model tersebut. Model
pembangunan pertama sering disebut pula sebagai
“Teori Pembangunan yang Eropasentris”, karena
memandang negara-negara di Eropa adalah
gambaran ideal masyarakat yang ingin maju. Asumsi
teori ini adalah dualitas antara Masyarakat Barat dan
Masyarakat Timur yang terkategori sebagai
masyarakat maju (bagi barat) dan terbelakang yang
semestinya diadabkan (untuk timur). Oleh karenanya,
teori ini memberikan ruang bagi bantuan luar negeri
terutama untuk negara-negara berkembang. Teori ini
memang tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran
Keynes yang menitikberatkan peran pemerintah
dalam menggerakkan perekonomian. Logika liberal
agar pemerintah tidak ikut campur dalam kehidupan
perekonomian warganya harus dilanggar.3 Teori ini
mengizinkan pengeluaran besar-besaran dalam
anggaran pemerintah negara berkembang untuk
pembangunan negara, maka fenomena BUMN adalah
sesuatu yang lazim.
Di lain pihak, model pembangunan liberal relatif
”tidak ramah” terhadap peran pemerintah. Berbeda
dengan logika teori modernisasi yang bersifat
progresif, teori liberal cenderung melihat pentingnya
logika keseimbangan yang melepaskannya pada
keseimbangan neraca antara sektor permintaan dan
penawaran. Teori liberal tidak memiliki role model
dalam tujuan pembangunan yang hendak
dicapainya, namun teori ini melihat bahwa kondisi
perekonomian terbaik hanya dapat tercapai saat
negara membiarkan masyarakat berikut individu-
individu di dalamnya menggunakan sumber daya
(faktor produksi) sebebas mungkin. Pemerintah tidak
boleh ikut campur karena akan merusak mekanisme
pasar yang dikatakan dikendalikan oleh invisible hand.
Privatisasi Pembangunan di Mancanegara dan
di Indonesia
Cita-cita dunia barat sebagian besar adalah cita-
cita liberal yang menyepakati tentang arti liberalisme,
selain kebebasan atau liberte individu yaitu hal-hal
yang akan menyelamatkan dan mempertinggi
kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan
konstitusi, aturan hukum, dan toleransi. Pada batasan
konsep liberalisme seperti inilah ruang privatisasi
pembangunan pemerintah berada.
Adanya arus besar privatisasi sebagai
representasi politik liberalisasi setidaknya dapat
dipahami dengan mengacu pada pandangan J.A. Kay
dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa privatisasi
tidak semata-mata soal pengalihan kepemilikan badan
usaha saja melainkan merupakan cara mengubah
hubungan antara pemerintah dan sektor swasta
”...means of changing relationship between the
government and private sector”,4 secara lebih subtanstif
dalam perspektif filsafat-politik, privatisasi berarti
kegiatan mengurangi peranan pemerintah (state control)
dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi adalah:
”the act of reducing the role of government and
expanding that of the private sector.”5
Pada praktiknya, terdapat perbedaan dalam
penetapan batasan dan pelaksanaan privatisasi.
Sebagai contoh, Amerika Serikat (selanjutnya
disebut AS) privatisasi diartikan sebagai minimalisasi
peranan pemerintah dan maksimalisasi peran sektor
swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik
maupun kepemilikan aset-asetnya. John D. Donahue
memberikan konsep berikutnya tentang privatisasi
yang lebih menekankan pada peningkatan kinerja
sektor publik dengan pelibatan kekuatan sektor
swasta dalam layanan publik dengan ungkapan: ”the
term more often refers to the private delivery of goods
and services that are still paid collectively’.5
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 117
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Sementara di Inggris, konsep privatisasi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda.
Dalam arti sempit privatisasi didefinisikan sebagai
konsep penjualan aset-aset publik, sebagaimana
ungkapan Peter M. Jackson dan Catherine M.Price:
”privatization could be defined in narrow terms
restricting the concept to the sale of public as sets.”.
Berikutnya, privatisasi lebih diartikan sebagai proses
pengalihan bentuk hukum perusahaan negara
berdasarkan perundang-undangan yang ada dan
kemudian diikuti dengan penjualan saham-saham
perusahaan tersebut kepada pihak swasta: “the
formation of a company under the Companies Act
1985 and the sub sequent sale of at least 50% of
the shares to private shareholder”.. Penekanan pada
penjualan aset publik berupa perusahaan negara
kepada pihak lain dengan terlebih dahulu mengalihkan
bentuk hukum perusahaan tersebut menjadi
perusahaan swasta sesuai dengan UU Perusahaan
yang ada dan kemudian menjualnya sebagian atau
seluruhnya saham-sahamnya kepada pihak swasta
dianggap sebuah ciri privatisasi di Inggris.6
Sebagai sebuah kebijakan, privatisasi telah
memunculkan pro dan kontra dengan dasar
argumentasi masing-masing. Antara lain ungkapan
mantan Menteri Ekonomi dan Keuangan Spanyol
Carlos Solchaga mewakili kelompok pro: privatisasi
adalah bagian dari proses demokrasi. Dalam banyak
kasus, privatisasi merupakan solusi terbaik karena
dengan privatisasi perusahaan dapat lebih cepat
berkembang dan maju, sehingga membuka peluang
lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Belum lagi
daya saing, yang berarti dapat meningkatkan profit
dan menurunkan tarif atau harga”.5 Dukungan serupa
juga diberikan oleh seorang ekonom dari Australia
National University Indonesia Project, Ross Mcleod.
Menurutnya ada beberapa alasan yang membuat
privatisasi merupakan jalan yang tepat untuk sebuah
perubahan yaitu pertama, privatisasi mengefektifkan
manajemen lembaga terkait, sehingga jika pemimpin
dianggap tidak mampu lagi memegang kendali
perusahaan atau melakukan kesalahan yang
berakibat fatal pada perusahaan maka ia dapat
dipecat. Tidak seperti sistem yang dipakai saat ini,
jika pemimpin melakukan kesalahan, sanksi yang
diberikan hanya mutasi jabatan. Kedua, proses
rekrutmen, promosi dan remunerasi dalam sistem
kepegawaian yang mengacu pada sistem yang
berlaku pada lembaga pemerintah menghasilkan
banyak pegawai dengan kualitas yang di bawah dari
yang diharapkan, sementara perusahaan
membutuhkan pegawai dengan kualitas sesuai yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja peusahaan.
Ketiga, perusahaan negara yang belum terprivatisasi
akan sangat banyak mendapatkan intervensi politik
dari pemerintah maupun legislatif, sehingga akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan
perusahaan, terutama dalam hal investasi, profit
sharing, dan lain-lain.7
Sementara kelompok yang kontra
mengemukakan bahwa privatisasi berhubungan
langsung dengan fenomena global, karena sistem
ekonomi yang terpusat pada negara (state centered
economic system) ditransformasikan menjadi suatu
sistem ekonomi yang berpusat pada mekanisme
pasar bebas (free market economic system). Hal
ini dianggap sebagai bentuk penjarahan kekayaan
negara model baru dari kolonialisme dan liberalisme
yang telah terbukti memiskinkan masyarakat di
negara dunia ketiga.5
Di Indonesia, terdapat beberapa konsep dan
pemahaman yang menjadi dasar pelaksanaan
privatisasi. Antara lain, konsep privatisasi sebagai
bentuk pengurangan intervensi pemerintah ke BUMN,
dan memberikan lebih banyak kebebasan bagi
BUMN untuk beroperasi sesuai dengan anggaran
dasarnya.8 Konsep ini memang lebih banyak
menekankan kepada pengurangan intervensi
pemerintah ke BUMN yang pada akhirnya bertujuan
membuat BUMN mandiri dalam operasionalnya
sehari-hari. Berdasarkan definisi dan konsep
privatisasi ini, sudah banyak BUMN di Indonesia
yang diprivatisasi oleh pemerintah semenjak tahun
1990-an seperti Indosat, Telkom, tambang timah,
dan lainnya.
Selain itu, privatisasi di Indonesia juga sering
diartikan sebagai kegiatan mengalihkan sebagian
tugas pemerintah ke sektor swasta. Pada definisi
ini, pemerintah mengalihkan sebagian tugasnya
kepada pengusaha swasta, seperti penanganan
sampah, penyediaan air minum dan berbagai
layanan publik lainnya, sehingga banyak prasarana
dan pelayanan publik yang dibangun oleh pihak
swasta, seperti rumah sakit, sekolah, angkutan
umum, jalan tol, angkutan udara, dan perumahan.
Artinya pelaksanaan privatisasi di Indonesia
menganut dua konsep privatisasi, yang
memfokuskan pada pelayanan publik, seperti di AS
dan juga pada penjualan BUMN, seperti di Inggris.9
Dengan peningkatan kinerja, perluasan partisipasi
masyarakat dan tingkat manfaat yang dapat diambil
menjadi beberapa dasar pelaksanaan privatisasi
seperti tertuang dalam UU RI No. 19/2003 tentang
BUMN pasal 1 ayat 12 tetang privatisasi: ” .. adalah
penjualan saham persero, baik sebagian maupun
seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka
118 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Dumilah Ayuningtyas: Politik Pembangunan dan Kebijakan ...
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat”.
Privatisasi Pelayanan Kesehatan
Pengurangan peran pemerintah karena
ketidakmampuan menanggung sendiri beban dan
biaya pengembangan pelayanan kesehatan bahkan
pemeliharaan pelayanan kesehatan dengan alternatif
penyertaan pihak swasta menjadi salah satu dasar
penetapan kebijakan privatisasi. Pemindahan
sebagian tugas pengelolaan pelayanan kesehatan
kepada organisasi sukarelawan, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau perusahaan-perusahaan
privat ‘for profit ataupun non profit ‘ mengacu pada
berbagai peraturan pemerintah yang mengikat.
Banyak pemerintahan negara-negara sedang
berkembang yang bahkan telah lama tergantung
kepada sektor swasta atau organisasi pemberi
bantuan dalam penyediaan pelayanan kesehatan.
Meski seolah terkesan pragmatis, namun hal ini
dapat dipandang sebagai fenomena sementara
karena pemerintah akan memulihkan dan
memperkuat perannya kembali dengan mengambil
bila telah tersedia sumber dana yang mencukupi.
Dasar pertimbangan lain adalah cepatnya
pertumbuhan tuntutan pasar di era perdagangan
bebas pada lembaga-lembaga pemerintah, tak
terkecuali di bidang kesehatan yang mengharuskan
dilakukannya upaya-upaya terobosan termasuk
pengubahan bentuk status kepemilikan atau
privatisasi. Korporatisasi atau privatisasi pelayanan
kesehatan diyakini akan mampu menjawab masalah-
masalah inefisiensi pengelolaan keuangan, belum
optimalnya mutu pelayanan kesehatan dan
sebagainya. Kebijakan privatisasi bahkan dipandang
sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk
menyelamatkan keuangan negara dan daerah.
Argumentasi dukungan terhadap kebijakan
privatisasi antara lain: sebagai upaya mengurangi
beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu
sumber pendanaan pemerintah dengan menjual
sahamnya, meningkatkan efisiensi pengelolaan
perusahaan, meningkatkan profesionalisme,
mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah
terhadap pengelolaan perusahaan, mendukung
pengembangan pasar modal dalam negeri, sebagai
pembawa bendera (flag-carrier) dalam mengarungi
pasar global.
Atas dasar itu, Eid, F, menyayangkan
kenyataan bahwa keuntungan atau manfaat yang
bisa didapat dari privatisasi rumah sakit pemerintah
sering terhalang oleh kendala politis, selain juga
kemampuan kewirausahaan dari pengelola.
Mengingat area penting yang menjadi tanggung
jawab pemerintah di bidang kesehatan adalah
regulasi, keuangan dan penetapan standar
pelayanan, maka sudah seharusnya pemerintah
menaruh perhatian tinggi pada transformasi bentuk
dan status rumah sakit serta penyelesaian masalah-
masalah yang timbul pada prosesnya.10
Pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi
di Indonesia beranggapan bahwa kebijakan
privatisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit
merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal
28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan dan Pasal
34 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa negara
bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan
fasilitas umum yang layak. Mengambil pelajaran dari
pengalaman berbagai negara lain, Thabrany
berpendapat bahwa bentuk perseroan terbatas
bukanlah bentuk yang tepat untuk sebuah fasilitas
pelayanan publik seperti rumah sakit. Ada banyak
karakteristik dalam pelayanan di bidang kesehatan
yang tidak bisa disamakan dengan pelayanan publik
yang lainnya.11
Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang,
serta alasan ideologis dan politis yang
melatarbelakangi, faktanya privatisasi pelayanan
kesehatan telah berlangsung. Pada tahun 1993,
World Development Report memberikan data
mengenai estimasi jumlah sektor swasta (private)
dan publik di 79 negara pada tahun 1990. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sektor swasta
(private) pada 24 negara di antaranya telah
berkembang lebih besar daripada sektor publik. Pada
banyak negara, pelayanan kesehatan sudah
beroperasi mendekati situasi pasar bebas sehingga
privatisasi telah menjadi bagian penting dalam
agenda politik di banyak negara.Sebagaimana data
tentang kontribusi sektor swasta (private) dalam
pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang
Asia berikut: India, 57% dari rumah sakit dan 32%
dari tempat tidur adalah swasta; Korea, proporsi
rumah sakit swasta telah meningkat dari 35% ke
95% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; Filipina,
67% dari rumah sakit adalah swasta meliputi 50%
dari tempat tidur, Thailand 30% dari rumah sakit
adalah swasta. Di India dan Thailand, pembelanjaan
kesehatan bersumber swasta adalah sekitar 88%;
di Indonesia 65%; di Korea 60%; di Filipina sekitar
50%.10 Bagaimana memaknai data kontribusi pihak
swasta pada pelayanan kesehatan di sebuah Negara
apakah sebagai suatu hal positif yang menunjukkan
kemajuan di bidang kesehatan atau justru sebaliknya
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 119
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
tentu terpulang pada paradigma sang penilai serta
konsideran pelaksanaan privatisasi pelayanan
kesehatan itu sendiri.
PENUTUP
Pada banyak negara, pelayanan kesehatan
sudah beroperasi dalam jarak yang dekat dengan
mekanisme dan situasi pasar bebas. Catatan yang
penting dalam melengkapi bahasan tentang politik
pembangunan pemerintah dan kebijakan privatisasi
pelayanan kesehatan adalah perspektif James A.
Carporaso dan David P. Levine yang memandang
keterkaitan hubungan antara aktivitas politik dan
aktivitas ekonomi sebagai: ”Economics is a way
acting, politics a place to act”, lengkap dengan
empat pilar pendekatannya yaitu: masyarakat
madani (civil society), the self regulating market,
Private interest and public good, state and society.12
Ditambah dengan tuntutan perundangan Pasal 74
dan 75, UU No.19/2003 mengingatkan bahwa setiap
kebijakan privatisasi bertujuan meningkatkan kinerja
dan harus memperhatikan prinsip transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
dan kewajaran, selazimnya dilakukan telaah cermat
dan mendalam untuk memastikan bahwa
pelaksanaan privatisasi di Indonesia tidak malah
bertentangan dengan kewajiban dan tujuan
pemerintah untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang merata, terjangkau, dan berkualitas.
KEPUSTAKAAN
1. Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi
Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.
2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi
Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,
1994;XXIII(1):6.
3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,
2004:8,9,10.
4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy
in search of rationale in Economic Journal,
1986;96:18-32.
5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:
Pengantar Untuk Memahami Privatisasi
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,
19. 20
6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi
Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003
7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And
How? East Asia Forum. http://www.eastasia
forum.org/2008/08/07/why-privatise-in-
indonesia-and-how/. Diakses pada tanggal 18
April 2008.
8. Florence Eid, “Governance & Incentives in
Corporatized Hospital” (Working Paper, the
American University of Beirut), Maret 2005.
9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik
Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.
htm, Diakses pada 18 April 2007.
10. Willam Newbrander, Private Health Sector
Growth in Asia, Issues and Implication. John
Willey & sons Press, London, UK, 1997.
11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,
Sage Publications Ltd, London, 1996:163
12. James A. Caporaso and David P. Levine,
Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, USA, 1992: 31.
120 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...
EVALUASI KINERJA PELAYANAN ANTENATAL ANTARA PUSKESMAS
CAKUPAN TINGGI DENGAN PUSKESMAS CAKUPAN RENDAH
MENGGUNAKAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD
EVALUATION ON ANTENATAL CARE PERFORMANCE BETWEEN HIGH AND LOW COVERAGE
COMMUNITY HEALTH CENTERS USING BALANCED SCORECARD
Ernawati¹, Djaswadi Dasuki², Abdul Wahab³1 Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi
2Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta3CHN-RL, FK UGM, Yogyakarta
ABSTRACTBackground: Community Health Center (CHC) is hoped to
give quality antenatal care. However, maternal and child health
coverage in Bekasi District has not achieved the targeted
standard yet. First visit of pregnant mothers in 2006 was 87.5%
and fourth visit coverage was 77.8%. There were 21 cases
of maternal mortality in 2005 and only four out of 34 CHCs
achieved the target of maternal and child coverage. These
show that maternal and child health care performance is not
optimal; therefore, improvement should be made. One of
performance measurements is balanced scorecard which
includes four perspectives, namely finance, costumers’
satisfaction, internal business, and learning and growth.
Objective: To evaluate antenatal care performance between
high coverage CHC and low coverage CHC using balanced
scorecard approach in Bekasi District.
Method: This was an observational study with cross sectional
study design. Qualitative data were used in this study. The
subjects were the head of CHCs, the midwives responsible
for the implementation of antenatal care in maternal and child
health room, and all pregnant mothers receiving forth visit care.
The study was performed in Mekarmukti and Cibarusah CHCs.
Study instruments were questionnaire, checklist, and interview
guide. Univariate analysis and bivariate analysis with chi-square
test and stratification were used.
Results: There was an association between providers’
education/training and antenatal coverage (χ² = 10.015; p =
0.002; PR = 4.026; CI 95% = 1.667-9.724), and patients’
satisfaction (χ2 = 4.607; p = 0.032; PR = 2.516; CI 95% = 1.080-
6.348), while standardized care was not related to antenatal
care coverage. Stratification analysis showed that antenatal
care coverage in Mekarmukti CHC was better than that in
Cibarusah CHC (χ2 = 5.662; p = 0.017; PR = 4.407; CI 95% =
1.082-18.789), patients’ satisfaction in Mekarmukti CHC was
better than that in Cibarusah CHC (χ2 = 6.935; p = 0.008; PR =
8; CI 95% = 1.256-84.624). Based on the qualitative data, there
was no difference in finance performance in both CHCs.
Conclusions: There is a difference between providers’
education/training and the level of patients’ satisfaction in
Mekarmukti and Cibarusah CHCs. There is no difference in
Mekarmukti and Cibarusah CHCs operational fund and standard
antenatal care.
Keywords: balanced scorecard, performance, antenatal
coverage
ABSTRAKLatar Belakang: Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar
diharapkan mampu memberikan pelayanan antenatal
berkualitas. Di Kabupaten Bekasi cakupan Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) pada tahun 2006 adalah K1 (87,5%) dan cakupan
K4 (77,8%). Jumlah kematian ibu tahun 2006 sebanyak 21
orang. Dari 34 Puskesmas yang mencapai target cakupan KIA
hanya 4 Puskesmas (11,76%). Hal ini menggambarkan bahwa
kinerja pelayanan KIA masih belum optimal dan perlu dilakukan
evaluasi guna perbaikan kinerja pelayanan KIA di masa datang.
Pengukuran kinerja yang dilakukan menggunakan balanced
scorecard yang meliputi empat perspektif yaitu keuangan,
kepuasan pelanggan, proses pelayanan dan pengembangan
sumber daya manusia.
Tujuan: Mengevaluasi kinerja pelayanan antenatal antara
Puskesmas cakupan tinggi dengan Puskesmas cakupan rendah
di Kabupaten Bekasi dengan menggunakan pendekatan
balanced scorecard.
Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan
cross sectional dilengkapi dengan data kualitatif. Subjek
penelitian adalah kepala Puskesmas, bidan penanggung jawab
dan pelaksana pelayanan antenatal di ruang KIA, serta seluruh
ibu hamil yang mendapatkan pelayanan K4. Lokasi penelitian di
Puskesmas Mekarmukti dan Cibarusah. Instrumen
menggunakan kuesioner, check list dan pedoman wawancara.
Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dengan
uji chi-square (χ²) dan stratifikasi.
Hasil: Analisis menunjukkan hubungan pendidikan/pelatihan
dengan cakupan antenatal (χ² = 10,015; p = 0,002; OR = 4,026;
95%CI = 1,667-9,724) dan kepuasan pasien (χ² = 4,607; p =
0,032; OR = 2,516; 95%CI = 1,080-6,348) sedangkan
pelayanan sesuai standar tidak berhubungan dengan cakupan
antenatal. Analisis stratifikasi diketahui ada perbedaan
pendidikan/pelatihan terhadap cakupan antenatal yaitu
Puskesmas Mekarmukti lebih baik dibandingkan Cibarusah (χ²
= 5,662; p = 0,017; OR = 4,407; 95%CI = 1,082-18,789),
kepuasan pasien di Puskesmas Mekarmukti lebih baik
dibandingkan Puskesmas Cibarusah (χ² = 6,935; p = 0,008; OR
= 8; 95%CI = 1,256-84,624). Data kualitatif tentang kinerja
keuangan menunjukkan di Puskesmas Mekarmukti lebih baik
daripada Puskesmas Cibarusah.
Kesimpulan: Ada perbedaan pendidikan/pelatihan petugas
dan tingkat kepuasan pasien antara Puskesmas Mekarmukti
dan Cibarusah. Tidak ada perbedaan standar pelayanan
antenatal dan dana operasional antara Puskesmas Mekarmukti
dan Cibarusah.
Kata kunci: balanced scorecard, kinerja, cakupan antenatal
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 120 - 129
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 121
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
PENGANTARAngka kematian ibu (AKI) merupakan barometer
pelayanan kesehatan, semakin rendah angkakematian ibu berarti pelayanan kesehatan pada ibuhamil dan ibu bersalin semakin baik.1 Upaya yangdilakukan pemerintah dengan menempatkanprogram KIA sebagai program prioritas melalui fokusstrategi making pregnancy safer (MPS). Salah satukebijakannya adalah pelayanan antenatal harusdiberikan sesuai standar pada semua fasilitaskesehatan.2 Ibu hamil yang mendapatkan perawatanantenatal yang baik dengan menggunakan model baruatau model standar, maka risiko terjadinya penyakitselama kehamilan dapat terdeteksi secara dini.3
Puskesmas sebagai salah satu fasilitas kesehatandi tingkat dasar, diharapkan memberikan pelayanankesehatan yang bermutu, memuaskan, sesuai standardan etika profesi.4 Cakupan perawatan kehamilan diPurworejo tinggi (86,3%), tetapi manfaat perawatankehamilan terhadap hasil kehamilan tidak bermakna.5
Ibu hamil sebagai pelanggan atau klien yangmemanfaatkan Puskesmas untuk mendapatkanpelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan.Kepuasan pelanggan atau pasien sangat ditentukanoleh ketanggapan (responsiveness) petugas dalammemberikan pelayanan kepada pasien.6
Puskesmas yang mencapai target cakupan K4berdasarkan data 2006 hanya diperoleh duaPuskesmas yaitu Puskesmas Mekarmukti danPuskesmas Setu I, sedangkan Puskesmas yangtidak mencapai target salah satunya adalahPuskesmas Cibarusah. Puskesmas Cibarusah danPuskesmas Mekarmukti adalah dua dari 34Puskesmas yang memiliki tipe yang sama dari segisarana prasarana yang dimiliki, kondisi wilayah danstatus Puskesmas. Menarik untuk dilakukanpenelitian adalah apakah terdapat perbedaan kinerjaantara petugas KIA di Puskesmas Mekarmukti danPuskesmas Cibarusah dari segi keterampilan,kepatuhan menerapkan standar pelayanan, dankepuasan pasien. Kinerja pelayanan KIA dinilai daricakupan K1, K4, pertolongan persalinan oleh tenagakesehatan. Bila kinerja rendah, sedangkan jumlahtenaga dan dana yang digunakan besar, makaefektivitas dan efesiensi pelayanan rendah.7
Faktor-faktor yang mempengaruhi baik-buruknyakinerja adalah harapan dalam pekerjaan, umpan-balik segera, lingkungan dan alat, motivasi daninsentif, pengetahuan dan keterampilan, sertakemampuan untuk melakukan pekerjaan.8
Balanced scorecard secara komprehensif dapatmenelusuri kepuasan pelanggan, memotivasipegawai, mengukur pencapaian kinerja keuangan
dan membuat tujuan strategis untuk melakukan suatuperubahan yang diukur dari perspektif pertumbuhandan pembelajaran, bisnis internal, pelanggan, dankeuangan.9
Di samping itu, balanced scorecard jugamenjadikan seluruh komponen pelayanan kesehatanyang diberikan lebih koheren, sehingga terjadipeningkatan kecepatan respons petugas terhadapperubahan lingkungan pelayanan. Selain itu,meningkatkan pemberdayaan tenaga kesehatandalam implementasi rencana pelayanan danmenghasilkan kinerja keuangan Puskesmas dalamjangka panjang.10
BAHAN DAN CARA PENELITIANJenis peneli t ian observasional dengan
rancangan cross sectional. Metode penelitianmenggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.Variabel adalah pendidikan dan pelatihan petugas,standar pelayanan, kepuasan pasien dan danaoperasional, dengan variabel terikat cakupanantenatal.
Waktu penelitian bulan Mei sampai dengan Juli2007. Sebagai unit analisis adalah Petugas KIA(bidan), Kepala Puskesmas dan Ibu Hamil yangberkunjung ke Puskesmas terpi l ih untukmendapatkan pelayanan antenatal pada saatpenelitian berlangsung.
Instrumen penelitian yang digunakan adalahkuesioner, check-list, dan daftar pertanyaan untukmelakukan indepth interview. Analisis data dilakukandengan analisis univariat, bivariat menggunakan chisquare dan analisis stratifikasi, dilengkapi datakualitatif dari wawancara terhadap sumber.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANSubjek penelitian dibagi dalam tiga kelompok
yaitu Kepala Puskesmas, Bidan Penanggung JawabKIA, dan Ibu Hamil.
1. Kinerja Pelayanan Antenatal Care (ANC)Penilaian kinerja pelayanan antenatal care
(ANC) menggunakan empat perspektif balancedscorecard yaitu perspektif finansial, perspektifcustomer, perspektif bisnis internal dan perspektifpendidikan dan pelatihan.
a. Pendidikan dan PelatihanPendidikan baru terealisasi sebesar (75%),
sedangkan pelatihan terdapat dua pelatihan yangmasih kurang yaitu standar pelayanan kebidanan(66,67%) dan komunikasi interpersonal konseling(53,33%).
122 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...
Target Realisasi Perspektif Pendidikan dan Pelatihan Skor % Skor %
Pendidikan (SKS) Diploma I 40 25 40 25 Diploma III 80 50 80 50 Diploma IV 40 25 0 0
Total 160 100 120 75 Pelatihan (Jam)
SPK 36 100 24 66,67 KIP-K 30 100 16 53,33 Quality Assurance (QA) 24 100 24 100 Penggunaan buku KIA 42 100 42 100
Total 132 100 106 80,30
Tabel 1. Target dan Realisasi Perspektif Pendidikan dan PelatihanBerdasarkan Balanced Scorecard
b. Pelayanan Sesuai StandarDistribusi data skor penilaian terhadap
pelayanan antenatal care sesuai standar menurutPuskesmas tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Skor Penilaian PelayananSesuai Standar Terhadap Pelayanan Antenatal
Menurut Puskesmas
Skor penilaian pelayanan sesuai standar Puskesmas
Ibu hamil (orang)
Mean ± SD Min Max Mekarmukti 46 71,85 ± 16,03 33 98 Cibarusah 46 62,65 ± 18,50 38 98
Penilaian standar pelayanan antenatal lebih baikpada Puskesmas Mekarmukti dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah.
c. Kepuasan PasienDistribusi data skor penilaian terhadap kepuasan
pasien terhadap pelayanan antenatal menurut strataPuskesmas tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Skor Penilaian Kepuasan PasienTerhadap Pelayanan Antenatal
Menurut Puskesmas
Skor penilaian kepuasan pasien Puskesmas
Ibu hamil (orang)
Mean ± SD Min Max Mekarmukti 46 70,13 ± 1,92 65 75 Cibarusah 46 72,54 ± 2,95 67 85
Tingkat kepuasan pasien (ibu hamil) menurutPuskesmas diketahui bahwa ibu hamil lebih puasmendapat pelayanan antenatal di Puskesmas Cibarusahdibandingkan dengan Puskesmas Mekarmukti.
d. Biaya Operasional
Penetapan skor sebesar Rp334.740.000,00dengan realisasi anggaran sebesar Rp49.804(14,88%), seluruh perspektif finansial memiliki skorterealisasi di bawah 80%. (Tabel 4)
Target RealisasiPerspektif Finansial Skor % Skor %
Pemeriksaan ibu hamil 33.090 100 15.434 46,64Pemberian imunisasi TT 3.840 100 1.280 33,33Pemberian tablet Fe 297.810 100 33.090 11,11
Total 334.740 100 49.804 14,88
Tabel 4. Target dan Realisasi Perspektif FinansialBerdasarkan Balanced Scorecard
Skor : dalam satuan Rupiah (,000)
2. Analisis Kinerja Pelayanan TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan BalancedScorecardDengan demikian, berdasarkan ni lai
kesenjangan balanced scorecard dapat disusunperencanaan kegiatan peningkatan kinerjapelayanan antenatal berdasarkan empat perspektif(Gambar 1) yaitu :
Gambar 1. Spiderweb Kinerja Pelayanan Antenatal
1) Jangka Pendeka) Dukungan finansial tablet Fe
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 123
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tabel 5. Analisis Kinerja Pelayanan Antenatal Berdasarkan Balanced Scorecard
Pendidikan (SKS)
1. Diploma I
2. Diploma III
3. Diploma IV
Total
Pelatihan (Jam)
1. SPK2. KIP-K
3. Quality Assurance
4. Penggunaan buku KIA
Total
1. Anamnesa 2. Pemeriksaan umum 3. Pemeriksaan kebidanan luar 4. Pemb. Imunisasi TT 5. Pemb. Fe 6. Konseling
Total
1. Reliability
2. Responsiveness
3. Assurance
4. Empathy
5. Tangiables
Total
Kinerja Pelayanan Balanced Scorecard
Target Realisasi SelisihSkor (%) Skor (%) Skor (%)
40 (25)
40 (25)
-
80 (50)
80 (50)
-
40 (25)
-
40 (25)
160 (100)
120 (75)
40 (25)
36 (100)
24 (66,67)
12 (33,33)
30 (100)
16 (53,33)
14 (46,67)
24 (100)
24 (100)
-
42 (100)
42 (100)
-
132 (100)
106 (80,30)
26 (19,70)
1564 (100) 1095 (70,01) 469 (29,99)276 (100) 240 (86,96) 36 (13,04)1012 (100) 532 (52,57) 480 (47,43)92 (100) 61 (66,30) 31 (33,70)92 (100) 86 (93,48) 6 (6,52)
644 (100) 312 (48,45) 332 (51,55)
3680 (100) 2326(63,21) 1354 (36,79)
736 (100)
495 (67,26)
241 (32,74)
368 (100)
270 (73,37)
98 (26,63)
2576 (100)
1919 (74,50)
657 (25,50)2208 (100)
1603 (72,60)
605 (27,40)1472 (100)
1102 (74,86)
370 (25,14)
7360 (100) 5389(73,22) 1971 (26,78)
33,09 (100) 15,4 (46,64) 17,65 (53,56)3,84 (100) 1,28 (33,33) 2,56 (66,67)
297,81 (100) 33,09(11,11) 264,72 (88,89)
334,74 (100) 49,80(14,80) 284,9 (85,12)
Perspektif Pelayanan Sesuai Standar
Perspektif Kepuasan Pasien
Perspektif Finansial
1. Pemeriksaan ibu hamil2. Imunisasi TT3. Tablet Fe
Total
Prioritas
2
3
4
1
b) Peningkatan pelayanan sesuai standar:pemeriksaan kebidanan luar
c) Pelatihan KIP-Kd) Peningkatan kepuasan: reliability
2) Jangka Menengaha) Dukungan finansial: imunisasib) Peningkatan pelayanan sesuai standar:
pelaksanaan imunisasi TT
c) Pelatihan Standar Pelayanan Kebidanan(SPK)
d) Peningkatan kepuasan: empathy danreponsiveness
3) Jangka Panjanga) Dukungan finansial: pemeriksaan ibu hamil:
pengukuran tinggi badan dan berat badan,tekanan darah dan tinggi fundus uteri.
124 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...
Indikator 5 T Puskesmas Biaya program antenatal per tahun TB/BB TD TFU Imunisasi TT Tablet Fe
Mekarmukti Rp. 7.807.536,- 100 100 89,13 78,26 91,30 Cibarusah Rp. 7.625.640,- 100 100 82,61 54,35 95,65
Tabel 6. Anggaran Pembiayaan Kegiatan Antenatal berdasarkan Indikator 5T[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]
b) Peningkatan pelayanan sesuai standar:anamnesa, pemeriksaan umum danpemberian Fe.
c) Pelatihan penggunaan Buku KIA (kohort ibudan bayi) dan tugas belajar jenjang DiplomaIV pada petugas KIA (bidan) Puskesmas.
d) Peningkatan kepuasan: assurance dantangibles
3. Analisis Hubungan Kinerja PelayananTerhadap Cakupan Antenatal
Khusus biaya operasional, analisis dilakukanberdasarkan atas persentase cakupan antenatal,distribusi data operasional dan cakupan antenatal:indikator 5 T, tersaji pada Tabel 6.
KIA tidak mengetahui persis uang tersebut,karena semuanya diserahkan ke bendaharaPuskesmas. Kalau memang ada danatersebut kami dikasih tahu saja ya bu !”
(Koordinator KIA Puskesmas Mekarmukti)
“Anggaran pembiayaan yang kami perolehdari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi tahun2006 sebenarnya dirasakan sangat kurang,sehingga kadang-kadang kami mengalamikendala untuk mengaktifkan kegiatanmengingat lokasi antar kelurahan sangatjauh, apalagi berkaitan dengan kegiatanantenatal yang harus turun ke lapangan.Untuk mengantisipasi hal tersebutdirencanakan kunjungan pada hari tertentu.”
“... satuan biaya untuk kegiatan antenatalPuskesmas kami sangat kurang memadai
Besaran pembiayaan operasional pada masing-masing Puskesmas hampir mendekati sama karenaalokasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasiberdasarkan pada jumlah sasaran dikalikan [email protected] per ibu hamil. Permasalahan yang ditemuidi lapangan dapat dikemukakan seperti hasilwawancara peneli t i terhadap dua KepalaPuskesmas, hasil wawancara terangkum sebagaiberikut:
“... alokasi biaya untuk kegiatan antenatalPuskesmas kami sangat kecil sekali untuksasaran sebanyak 1.674 ibu hamil, jadi kamimemprioritaskan pada ibu hamil yang risti(risiko tinggi) sebanyak 48 ibu hamil untuktahun 2006 sehingga dana yang didapatkanper ibu hamil/tahun sebesar Rp162.657dengan kegiatan kunjungan rumah danmerujuk pasien ke rumah sakit...” (KepalaPuskesmas Mekarmukti)
“... kegiatan antenatal yang ada sumberbiayanya kami rasakan tidak cukup, sehinggakami banyak menyatukan kegiatan program-program lain seperti imunisasi dan gizi baikdi Posyandu atau Puskesmas, biar sekalijalan dananya cukup memadai daripadakegiatan berjalan sendiri-sendiri...”
“... dana untuk kegiatan khusus sepertipengukuran tinggi badan dan berat badan,tekanan darah, tinggi fundus uteri, imunisasiTT dan tablet Fe di sini ‘Puskesmas’ tidakbegitu nampak nyata uangnya, hanya rutinkami ketahui yaitu uang transport dankunjungan Posyandu. Soalnya kami petugas
apalagi hanya sebesar ± Rp5.000,00 per ibuhamil/tahun padahal kunjungan untuk ibuhamil sampai K4, ...”
“... pada Puskesmas kami biaya yangdianggarkan Dinas kami upayakan padapemanfaatan pada kunjungan ibu hamil yangristi (risiko tinggi) sebesar Rp7.000.000,00sedangkan sisanya diupayakan padapertemuan Posyandu dalam rangkapemberdayaan kader Posyandu dalamrangka deteksi dini ibu hamil dengan risiko.”(Kepala Puskesmas Cibarusah)
“... kalau di dibagi per sasaran ibu hamil diPuskesmas kami, saya rasa sangat kecilsekali, namun kami berusaha untuk tetapmelaksanakan kegiatan KIA dengan baikmeskipun hanya mendapat lelah karena sudahrisiko kami selaku Bidan Puskesmas ...”
“... cakupan antenatal khusus K4 Puskesmaskami masih di bawah rerata yaitu 54,1%,faktor-faktor penghambat yang kami rasakanadalah kesulitan penjangkauan sasaran, baikibu hamil ke Puskesmas atau kunjunganrumah ibu hamil oleh Petugas Puskesmas.Ketersediaan dana adalah tidak sampai kedana transportasi, kalaupun bisa kamigabungkan dengan kegiatan lain yangkebetulan lokasinya berdekatan dengansasaran (Ibu hamil), sehingga keterlambatankunjungan yang seharusnya terjadwalkan.”
“... dana untuk kegiatan antenatal yang sayaketahui adalah kunjungan ibu hamil risti dankunjungan Posyandu, itupun sebagian besaruntuk transport saja, sedangkan untuk yanglain seperti makan kadang-kadang terpakai
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 125
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
uang sendiri. Kalau memang ada dana lainkami tidak tahu detailnya, sebab semuanyadiketahui oleh Kepala Puskesmas danBendahara Puskesmas ... !” (Koordinator KIAPuskesmas Cibarusah)
Hasil wawancara alokasi anggaran biayaoperasional dilakukan juga pada pemegangProgram KIA Dinas Kesehatan KabupatenBekasi, adapun kutipan hasil wawancarasebagai berikut:
“... anggaran biaya operasional untuk kegiatanantenatal dimasukkan dalam mata anggaranPelayanan Kesehatan Maternal bersumberdari APBD II, yang direncanakan sesuai denganRASK dan DASK dari usulan Puskesmas.Sedangkan kegiatan KIA lain sebagian besardimasukkan ke dalam pembiayaantransportasi dan pemeliharaan ...““... kalau dana pelaksanaan imunisasi TT danFe merupakan kerja sama lintas programyaitu P2M dan Gizi, sehingga saya hanyaselaku pemantau kegiatan dan laporan hasilcakupan, soalnya biaya diketahui oleh 2pemegang program tersebut ...”
“... perencanaan kami lakukan berdasarkanatas penetapan sasaran oleh Puskesmas,oleh karena kami menyerahkan sepenuhnyapemanfaatannya oleh Puskesmas, hanya sajapertanggungjawabannya harus mengikutiketentuan pelaporan keuangan daerahKabupaten Bekasi . ..” (Kasi KIA DinasKesehatan Kabupaten Bekasi)
Analisis dilakukan pada variabel-variabelpenelitian terhadap cakupan antenatal menuruttingkat pendidikan dan pelatihan, pelayanan sesuaistandar dan kepuasan pasien, hasil analisis dapatdisampaikan pada Tabel 7.
Cakupan antenatal dipengaruhi oleh pendidikan/pelatihan petugas KIA (² = 10,015; p = 0,002; PR= 4,026; 95%CI = 1,667-9,724) dan kepuasan pasien(² = 4,607; p = 0,032; PR = 2,516; 95%CI = 1,080-6,348). Adapun pelayanan sesuai standar tidakberhubungan terhadap cakupan antenatal padakategori cukup (p = 0,777; PR = 1,114; 95%CI =0,451-2,903), baik (p = 0,775; PR = 1,118; 95%CI =0,386-3,589).
4. Analisis StratifikasiAnalisis variabel pendidikan/pelatihan dan
kepuasan pasien terhadap cakupan antenatal dapatdisampaikan sebagai berikut :a. Hubungan antara Pendidikan/Pelatihan
dan Cakupan Antenatal Berdasarkan StrataPuskesmasBerdasarkan stratifikasi diketahui bahwa ada
perbedaan pendidikan dan pelatihan terhadapcakupan antenatal di Puskesmas Mekarmukti(² = 5,662; p = 0,017; PR = 4,407; 95%CI = 1,082-18,789) lebih baik dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah.dalam arti dengan adanya tingkatpendidikan dan pelatihan pada petugas KIA diPuskesmas Mekarmukti akan mengakibatkanpeningkatan cakupan antenatal yang sesuai standarsebesar 4,407 kali. (Tabel 8).
b. Hubungan antara Kepuasan Pasien danCakupan Antenatal Berdasarkan StrataPuskesmasAda perbedaan kepuasan pasien di Puskesmas
Mekarmukti (² = 6,935; p = 0,008; PR = 8; 95%CI= 1,256-84,624) dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah, dalam arti kepuasan pasien yang datang
Tabel 7. Hubungan Variabel-Variabel Penelitian dengan Cakupan Antenatal[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]
* Signifikansi p < 0,05
126 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...
ke pelayanan KIA di Puskesmas Mekarmukti lebihbaik dibandingkan dengan Puskesmas Cibarusah.
Kepuasan pasien terhadap cakupan antenatalyang sesuai standar di Puskesmas Mekarmuktiakan memberikan perbedaan risiko sebesar 8 kalidibandingkan dengan kepuasan pasien diPuskesmas Cibarusah. (Tabel 9).
PEMBAHASAN1. Karakteristik Responden dan Petugas
Ibu hamil yang berkunjung ke Puskesmas padaumumnya berusia rata-rata 20-35 tahun, karena padakelompok ini adalah usia masa subur sehingga amanuntuk hamil. Pendidikan ibu hamil di keduaPuskesmas rata-rata SLTA, hal ini menunjukkanpada umumnya yang berkunjung ke Puskesmasadalah ibu hamil dengan taraf pendidikan SekolahMenengah Atas (SMA). Tingginya tingkat pendidikanmaka makin tinggi tuntutan akan mutu pelayanan.Tingkat pendapatan bagi ibu hamil di keduaPuskesmas terdapat perbedaan yaitu PuskesmasMekarmukti ibu hamil yang berkunjung rata-ratamemiliki pendapatan Rp1 juta- Rp2 juta per bulanyaitu 50%, hal ini menggambarkan bahwa rata-rataibu hamil yang berkunjung ke PuskesmasMekarmukti adalah kriteria ekonomi menengah.
Petugas di Puskesmas Mekarmukti rata-rataberumur 31-40 tahun, sedangkan di PuskesmasCibarusah rata-rata berumur lebih dari 40 tahun.Pendidikan formal bagi petugas di kedua Puskesmashampir sama yaitu rata-rata berpendidikan D1. Lamatugas untuk kedua Puskesmas berbeda,Puskesmas Mekarmukti rata-rata bertugas 0-20tahun, sedangkan di Puskesmas Cibarusah 50%lama tugasnya lebih dari 20 tahun.
2. Perspektif Pendidikan dan PelatihanHasil penelitian ditemukan bahwa pendidikan/
pelatihan petugas (bidan) yang memberikanpelayanan antenatal di Ruang KIA PuskesmasMekarmukti lebih baik daripada PuskesmasCibarusah.
Kepatuhan petugas terhadap standar pelayananditentukan dengan efektivitas pendidikan yangditerimanya.12 Tingginya pengetahuan yang dimilikipetugas ditentukan oleh efektivitas pendidikan danpelatihan yang diselenggarakan oleh organisasi.10
Balanced scorecard tidak hanya menekankan padaoutput organisasi saja tetapi juga infrastrukturorganisasi itu sendiri yang terdiri dari orang, sistemdan prosedur.13
Tabel 9. Analisis Stratifikasi Hubungan Kepuasan Pasien TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan Strata Puskesmas
[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]
Cakupan Antenatal Puskesmas Kepuasan pasien
Tidak standar (%) Standar (%) Total (%)
² p PR (95%CI)
Kurang puas 24
(66,67) 12
(33,33) 36
(100,0) Mekarmukti Puas
2 (20,00)
8 (80,00)
10 (100,0)
6,935 0,008 8
(1,256-84,624
Kurang puas 11
(68,75) 5
(31,25) 16
(100,0) Cibarusah
Puas 16
(53,33) 14
(46,67) 30
(100,0)
1,023 0,312 1,925
(0,462-8,781
Total (%) 53
(57,61) 39
(42,39) 92
(100,0)
Tabel 8. Analisis Stratifikasi Hubungan Pendidikan/Pelatihan TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan Strata Puskesmas
[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]
Cakupan Antenatal Puskesmas Pendidikan dan
pelatihan Tidak standar(%) Standar (%) Total (%)
² p PR (95%CI)
D I 17 (73,91)
6 (26,09)
23 (100,0) Mekarmukti
D III 9
(39,13) 14
(60,87) 23
(100,0)
5,662 0,017 4,407
(1,082-18,789
D I 17
(73,91) 6
(26,09) 23
(100,0) Cibarusah
D III 10
(43,48) 13
(56,52) 23
(100,0)
4,394 0,036 3,683
(0,913-15,589
Total (%) 53 (57,61)
39 (42,39)
92 (100,0)
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 127
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tujuan finansial, pelanggan dan proses internaldi balanced scorecard biasanya memperlihatkanadanya kesenjangan antara kapabilitas sumber dayamanusia, sistem dan prosedur untuk menghasilkankinerja yang baik.14 Untuk menutupi kesenjangan iniharus dilakukan pelatihan petugas, peningkatanteknologi dan informasi, serta peningkatan prosedurkegiatan rutin.
Pelatihan merupakan suatu keharusan bilaorganisasi menghendaki kinerja yang baik dari parapegawainya, kendati mengandung untung-rugipelatihan lebih banyak memberikan keuntungan.Pelatihan akan meningkatkan kepuasan customerdan meningkatkan pelatihan petugas.15
3. Perspektif Bisnis Intern Yaitu PelayananSesuai StandarHasil penilaian kepatuhan petugas terhadap
standar pelayanan antenatal di Ruang KIA padaumumnya lebih baik di Puskesmas Mekarmuktidaripada di Puskesmas Cibarusah16 mengungkapkanbahwa kepatuhan petugas terhadap standarpelayanan sangat dipengaruhi oleh kemampuanpetugas dalam melakukan kinerja didukung olehfasilitas dan peralatan, serta prosedur pelaksanaanpelayanan.
Sikap petugas di Ruang KIA lebih baikdibandingkan dengan Puskesmas Cibarusah, sikapyang baik dalam memberikan pelayanan kepadacustomer tidak ada pengaruhnya terhadap jumlahkunjungan pasien. Kepatuhan petugas dalammelakukan anamnesa pada pelayanan antenatalsecara statistik lebih baik di PuskesmasMekarmukti dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah, kepatuhan petugas dalam melakukananamnesa akan dapat mengetahui atau tergalipermasalahan yang sedang dihadapi oleh ibu hamil,sehingga risiko atau komplikasi secara dini akandapat diketahui, hal ini didukung dengan hasilpenelitian17, bahwa wanita hamil yang tidakmelakukan perawatan kehamilan mempunyai risikoterjadinya abnormal 1,6 kali jauh lebih tinggi dibandingwanita yang melakukan pemeriksaan kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwapelayanan antenatal standar 5T lebih baik diPuskesmas Mekarmukti dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah. Standar pelayanan 5Tmerupakan indikator kualitas pelayanan antenatal,kualitas perawatan kehamilan tidak saja mencakupbanyaknya pemeriksaan kehamilan, namun jugakonseling dan pemeriksaan dengan cara pendekatanrisiko adalah penting untuk masyarakat, khususnyapada kehamilan risiko tinggi.17
4. Perspektif Customer (Kepuasan Pasien)Peningkatan kepuasan pasien dipengaruhi oleh
adanya salah satu mutu pelayanan antenatal yangsesuai standar, berdasarkan asumsi tersebut makaapakah Puskesmas yang memiliki cakupan tinggidisebabkan oleh kepuasan terhadap pelayanan yangdiberikan.
Dari hasil analisis terdapat perbedaan kepuasanpasien yang mendapatkan pelayanan di Ruang KIAPuskesmas Mekarmukti lebih baik dibandingkandengan Puskesmas Cibarusah. Perbandingankepuasan pasien terhadap pelayanan antenatalsesuai standar di Puskesmas Mekarmukti 8 kalilebih puas dibandingkan dengan kepuasan pelayananantenatal di Ruang KIA Puskesmas Cibarusah. Halini didukung oleh penelitian Ghufron dkk,18 bahwasebanyak 1,7 ibu hamil tidak mau memeriksakankehamilannya pada bidan yang terdekat karenaalasan bidan kurang memiliki kemampuan dalamadaptasi dengan budaya setempat dan kurangmampu dalam memberikan pelayanan danmendeteksi, merujuk secara medik, sehingga halini menimbulkan ketidakpuasan ibu untukmemanfaatkan bidan dalam perawatan kehamilan.
Kepuasan pasien tidak hanya berdasarkan padapenilaian terhadap keterampilan petugas, tetapiharus mencakup hubungan petugas dengan pasien,kenyamanan pelayanan dan kebebasan melakukanpilihan, kemampuan dan kompetensi teknis danefektivitas pelayanan dan keamanan tindakan.24
Berdasarkan observasi dan wawancara penelititerhadap pasien ditemukan waktu tunggu pasienuntuk mendapatkan pelayanan di Ruang KIA berkisarantara 2 - 15 menit. Hal ini mempengaruhiketidakpuasan pasien terhadap pelayanan.Pelanggan akan merasa puas jika mendapatkanpelayanan yang mereka butuhkan sesuai denganketepatan waktu, biaya, dan berkualitas pelayanan.14
Ibu hamil umumnya menghargai tenggang waktuyang singkat dan tepat waktu, serta jasa yangkonstan.
Salah satu aspek untuk mengukur prosespelayanan adalah responsiveness yaitu kesediaaanuntuk membantu ibu hamil dalam memberikanpelayanan yang cepat terhadap setiap pasien yangdilayani.20
5. Perspektif FinansialBerdasarkan hasil penelitian ini bahwa faktor
finansial atau keuangan tidak berpengaruh terhadapcakupan antenatal dan ditemukan tidak adaperbedaan besar dana yang digunakan dalampelayanan antenatal antara Puskesmas Mekarmuktidan Puskesmas Cibarusah, namun dalam hal
128 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...
pencapaian cakupan pelayanan antenatal terdapatkesenjangan antara kedua Puskesmas tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi seperti yangdikemukakan oleh Lou, C, dan Solichin, M21 yangmenggunakan balanced scorecard untuk menilaikepuasan kerja, diketahui bahwa faktor financial tidakdapat berdiri sendiri, ia harus didukung dengan faktornon-financial.
Suatu tempat pelayanan kesehatan yang inginmenghasilkan tingkat kepuasan tinggi perlu memilikikekuatan financial dalam mengembangkan,memperbaharui, serta meningkatkan pelayanan.22
Pada peneli t ian ini kedua Puskesmasmemperoleh dana operasional yang sama akantetapi terdapat perbedaan kinerja. Hal ini disebabkankarena jumlah realisasi dana tidak sesuai denganusulan. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar23 yangmenyatakan bahwa pembiayaan kesehatan harusmemenuhi persyaratan antara lain tersedia dalamjumlah yang cukup, penyebaran dana sesuaikebutuhan dan pemanfaatan tepat pada sasaran.
Dalam menilai kinerja organisasi, ukuran-ukurankeuangan saja dinilai kurang mewakili. Hal inidisebabkan karena ukuran-ukuran keuanganmemiliki beberapa kelemahan yaitu pendekatanfinansial bersifat historis, sehingga hanya mampumemberikan indikator dari kinerja manajemen dantidak mampu sepenuhnya menuntun organisasikearah yang lebih baik. Pengukuran lebih berorientasikepada manajemen operasional dan kurangmengarah kepada manajemen strategis.12
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat perbedaan pendidikan dan pelatihanantara Puskesmas cakupan tinggi (Mekarmukti)dengan Puskesmas cakupan rendah (Cibarusah),yaitu pendidikan dan pelatihan lebih baik padaPuskesmas Mekarmukti dari pada PuskesmasCibarusah. terdapat perbedaan kepuasan pasienantara Puskesmas cakupan tinggi (Mekarmukti)dengan Puskesmas cakupan rendah (Cibarusah)yaitu tingkat kepuasan pasien di PuskesmasMekarmukti lebih baik dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah, serta tidak ada perbedaankepatuhan petugas terhadap standar pelayananantenatal antara Puskesmas Mekarmukti denganPuskesmas Cibarusah.
Anggaran atau dana operasional yangdigunakan untuk pelayanan KIA tidak terdapatperbedaan di kedua Puskesmas. Cakupan antenatalsecara umum dipengaruhi oleh tingkat kepuasanpasien, pendidikan dan pelatihan petugas dananggaran/dana operasional yang digunakan untuk
pelayanan antenatal, sehingga disarankan bagi DinasKesehatan Kabupaten Bekasi dapat melakukanevaluasi secara berkala terhadap kinerja Puskesmasmenggunakan balanced scorecard dan menyusunstandar pedoman penilaian kinerja. Puskesmasdapat melakukan evaluasi kinerjanya secara berkalamenggunakan standar pedoman penilaian kinerjadan balanced scorecard, sehingga dapatmeningkatkan cakupan pelayanan khususnyaantenatal yang berkualitas sesuai standar.
KEPUSTAKAAN1. World Health Organization, NHA Producers
Guide, WHO, Geneva, 2002, Avalaible on: http/www.who.int
2. Departemen Kesehatan R.I, LaporanPerkembangan Pencapaian Tujuan PembangunanMilenium Indonesia, 2003: 58-62. http://depkes.go.id/. Diakses pada 15 Maret 2006.
3. Villar J, Ba’aqeel H, Piaggio G, Lumbiganon,P, Belizan MJ, Farnot U, Almazrou, Carroli G,Pinol A, Donner A, Langer A, Nigenda G, MugfordM, FoxRushby J, Hutton G, Bergsjo P,Bakketeig L, Berendes H, “WHO Antenatal CareRandomised Trial for the Evaluation of A NewModel of Routine Antenatal Care”, The Lancet,2001:1551-64.
4. Departemen Kesehatan R.I, Modul Ajar SafeMotherhood, Jakarta. 1999.
5. Dasuki D, Hakimi M, Wilopo SA, Kurniawati L.Evaluasi Efektivitas Perawatan Kehamilan DiKabupaten Purworejo Jawa Tengah. BeritaKedokteran Masyarakat, 1997;XIII:16-20.
6. Abdurrauf. Evaluasi Kinerja Instalasi GawatDarurat RSU Banjar berdasarkan BalancedScorecard, Tesis, UGM, Yogyakarta.2000.
7. Departemen Kesehatan R.I, Modul Ajar SafeMotherhood, Jakarta. 1998.
8. Fort AL, & Voltero L. Factors Affecting thePerformance Health Care Provider in Armenia,Journal of Bio Med Central. 2004;2(8)June:1-11
9. Wijono Djoko, Manajemen Kepemimpinan danOrganisasi Kesehatan, Airlangga UniversityPress, Surabaya. 1997.
10. Mulyadi.Sistem Terpadu Pengelolaan KinerjaPersonel Berbasis Balanced Scorecard,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2000.
11. Departemen Kesehatan R.I, PedomanPelayanan Antenatal di Tingkat PelayananDasar, Jakarta. 1996.
12. Mulyadi. Balanced Scorecard: Alat ManajemenKontemporer untuk Pelipatgandaan KinerjaKeuangan Perusahaan. Salemba Empat,Jakarta.2001.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 129
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
13. Sasongko N. Balanced Scorecard Perspektifpembelajaran dan Pertumbuhan (Learning andGrowth Perspective). Workshop AkuntansiManajemen. Fakultas Ekonomi UniversitasJenderal Achmad Yani.2000.
14. Kaplan RS, dan Norton David P. TranslatingStrategy Into Action The Balanced Scorecard,Harvard Business School Press, Boston.1996b.
15. Mayer T, A. Cates RJ, Mastorovich, M. J., andRoyalty, D.L. Emergency Departement PasientSatisfaction Cutomer Service Training ImprovesPatient Statisfaction and Ratings of Physicianand Nurce Skill, Journal of Health CareManagement,1998;43(5): 427 – 40.
16. Katz JM, Green E. Managing Quality a Qualitya to System WIDE Performance Managementin Health Care. Mosby Year Book, SecondEdition, St Louis Missouri.1997.
17. Dasuki D, Hakimi M, Wilopo SA, Kurniawati L.Evaluasi Efektifitas Perawatan Kehamilan DiKabupaten Purworejo Jawa Tengah. BeritaKedokteran Masyarakat, 1997;XIII:16-20.
18. Ghufron A, Wahab A, Hakimi M. PemanfaatanPelayanan Bidan Desa Dalam PemeriksaanKehamilan di Kabupaten Purworejo. CHNRLFaculty of Medicine, Gadjah Mada University,Yogyakarta. 1997.
19. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan,Edisi Ketiga. Bina Putra, Jakarta.1996.
20. Parasuraman A . Customer Service In Businessto Business Market; An Agenda For Research,University of Miami, Florida USA, Journal ofBusness dan Industrial Marketing,1998;13 (4/5):309-21.
21. Lau C, Solichin M. Measurement Financial, NonFinansial Perspektif.2005.
22. Nelson EC, Rust Roland T, Zahorik Antoni, RosiRobin L, Batalden Paul, and Siemanski BethAnn. Do Patient Perceptions Of Quality Relateto Hospitel Financial Performance, Journal ofHealth Care Marketing,1992; 12 (4): 6-13.
23. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan,Edisi Ketiga. Bina Putra, Jakarta.1996.
130 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...
KINERJA PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA PERUSAHAAN PESERTA PROGRAM JAMINAN
KECELAKAAN KERJA PADA PT JAMSOSTEK CABANG MEDAN
THE IMPLEMENTATION PERFORMANCE OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY
MANAGEMENT SYSTEM IN REGISTERED ENTERPRISES ON THE EMPLOYMENT ACCIDENT
BENEFIT PROGRAMIN PT JAMSOSTEK BRANCH MEDAN
Gerry Silaban1, Soebijanto2, Adi Heru Soetomo2,
Lientje Setyawati Maurits2, Suma’mur, P.K.3
1Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
FKM Universitas Sumatera Utara, Sumatera2Fakultas Kedokteran, UGM, Yogyakarta
3Masyarakat Peduli Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja Indonesia
ABSTRACTBackground: The high number of industrial accident is caused
by management dysfunction in term of occupational health
and safety. The implementation of occupational health and
management system (OHSMS) established by the Regulation
of The Minister of Manpower No. 05/1996, is a government
policy that has to be implemented by the enterprises in the
attempt to decrease industrial accident rate. The performance
of OHSMS implementation is assessed by OHSMS audit to
gather objective evidence from strength and weakness in the
implementation of occupational health and safety in work places.
Method: The type of this research is survey research.
Research sample was established based on the manpower
number criteria of at least 100 people in each enterprise. The
performance of OHSMS implementation based on 12 OHSMS
audit elements was known to be correlated with 5 OHSMS
implementation principles. One factor repeated observation
variance analysis was used to test the performance difference
of 12 OHSMS audit items and 5 OHSMS implementation principles.
Result: A number of 53 (96.36%) enterprises fulfilled 0-60%
criteria and 2 enterprises (3.64%) fulfilled 60-84% criteria from
166 OHSMS audit criteria. The mean criteria fulfillment number
(percentage) was highest achieved (scored 4) in 5th element
(purchasing) that is 4 out from 7 criteria (57.14%) in 5th element.
Mean score of 5th element was reached with the highest
percentage (74.87% from 5th element maximum score). F-test
result showed a significant difference (p < 0.01) in 12 OHSMS
audit elements performance and t-test showed variety between
each performance in 12 OHSMS audit elements. Mean criteria
fulfillment number (percentage) was highest achieved (scored
4) in 3rd principle that is 20 out of 67 criteria (29.85%) of 3rd
principle. Principle 3 means score was reached with the highest
percentage (55.40% from 3rd principle maximum score). F-test
result showed a significant difference (p < 0.01) in 5 principles
of OHSMS implementation performance and t-test resulted in
variety between each principle performance in 5 principles of
OHSMS implementation.
Conclusion: Management should have a commitment and
involve all workers in enhancing OHSMS implementation
performance to reduce industrial accident rate which lead to
productivity and work quality improvement.
Keywords: industrial accident, registered enterprises in the
employment accident benefit program, the implementation
performance of occupational health and management system
ABSTRAKLatar belakang: Tingginya angka kecelakaan kerja
disebabkan disfungsi manajemen terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang ditetapkan melalui
Permenaker (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) No. 05/1996
merupakan kebijakan pemerintah wajib dilaksanakan oleh
perusahaan dalam upaya menurunkan angka kecelakaan kerja.
Kinerja penerapan SMK3 dinilai melalui audit SMK3 untuk
memperoleh bukti objektif dari kekuatan atau kelemahan dalam
pelaksanaan K3 di tempat kerja.
Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian survei. Sampel
penelitian ditetapkan berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja
= 100 orang tiap perusahaan. Kinerja penerapan SMK3
diketahui berdasarkan 12 unsur audit SMK3 yang berhubungan
dengan lima prinsip penerapan SMK3. Analisis variansi amatan
ulangan 1-faktor digunakan untuk menguji perbedaan kinerja
12 unsur audit SMK3 dan lima prinsip penerapan SMK3.
Hasil: Sebanyak 53 (96,36%) perusahaan yang memenuhi
kriteria 0% - 60% dan 2 (3,64%) perusahaan yang memenuhi
kriteria 60% - 84% dari 166 kriteria audit SMK3. Ada perbedaan
kinerja 12 unsur audit SMK3, kinerja unsur 5 (pembelian) dicapai
dengan persentase tertinggi. Ada perbedaan kinerja 5 prinsip
penerapan SMK3, kinerja prinsip 3 (menerapkan kebijakan K3)
dicapai dengan persentase tertinggi.
Kesimpulan: Manajemen harus mempunyai komitmen dan
melibatkan seluruh tenaga kerja dalam memperbaiki kinerja
penerapan SMK3 untuk menurunkan angka kecelakaan kerja
yang bermuara pada peningkatan produktivitas kerja.
Kata kunci: kecelakaan kerja, perusahaan peserta program
jaminan kecelakaan kerja,kinerja penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja
PENGANTAR
Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
sebagai satu dari empat Program dari PT. Jamsostek
yang kepesertaannya terbagi atas kelompok jenis
usaha I, II, III, IV, dan V sesuai dengan tingkat risiko
pekerjaan.
Kepesertaan perusahaan dalam Program JKK
hanya sebatas pengalihan risiko (risk transfer),
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 130 - 139
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 131
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
bukan pengurangan risiko (risk reduction)
kecelakaan kerja. Perlindungan tenaga kerja harus
dibarengi dengan pengurangan risiko kecelakaan
kerja di tempat kerja melalui penerapan SMK3. Pada
Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permenaker) No. 05/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) dinyatakan bahwa “Setiap perusahaan yang
mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang
atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran,
dan pencemaran wajib menerapkan SMK3”.
Kebijakan ini dipertegas kembali pada Pasal 87 Ayat
1 Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa “Setiap perusahaan wajib
menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan”.
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari proses produksi yang bertujuan
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta
berperan dalam upaya perlindungan investasi.1
Penerapan SMK3 pada tingkat perusahaan
berdampak positif yaitu mengurangi risiko bahaya di
tempat kerja dan meningkatkan produktivitas kerja.
Quinn2 salah seorang pakar dari ILO menyatakan
bahwa meningkatnya penggunaan fasilitas kerja dan
angka kecelakaan kerja merupakan salah satu
alasan pentingnya penerapan SMK3. Penerapan
SMK3 bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab
dan potensi kecelakaan kerja sebagai acuan dalam
melakukan tindakan mengurangi risiko.3 Selain itu,
penerapan SMK3 membantu pimpinan perusahaan
agar mampu melaksanakan standar K3 yang
merupakan tuntutan masyarakat nasional dan
internasional.1
Angka kecelakaan kerja perusahaan peserta
Program JKK pada PT Jamsostek Cabang Medan
masih tinggi walaupun terlihat cenderung menurun
selama kurun waktu 3 tahun, yaitu tahun 2003
sebanyak 3.250 kasus; tahun 2004 sebanyak 2.958
kasus; dan tahun 2005 sebanyak 1.759 kasus. Angka
kecelakaan kerja pada kelompok jenis usaha I, II, III,
IV, dan V pada tahun 2005 masing masing sebanyak
536 kasus, 331 kasus, 564 kasus, 118 kasus, dan
207 kasus.4 Ruang lingkup penelitian difokuskan pada
perusahaan kelompok jenis usaha III dengan jumlah
kecelakaan kerja terbanyak yaitu 564 kasus
(32,06%) dari 1.759 kasus.
Angka kecelakaan kerja yang masih tinggi tidak
terlepas dari masalah pengelolaan K3 melalui
penerapan SMK3 antara lain tidak ada atau
rendahnya komitmen manajemen dan tenaga kerja
terhadap pelaksanaan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3), latar belakang pendidikan tenaga kerja
relatif masih rendah yang berkorelasi dengan
kesadaran dan pemahaman terhadap K3, tenaga
kerja belum ditempatkan sebagai mitra usaha,
masalah kecelakaan kerja masih dilihat dari aspek
ekonomi dan belum dilihat dari aspek moral dan hak
azasi manusia, alokasi anggaran K3 perusahaan
relatif kecil, supervisi K3 dan pelaksanaan K3 masih
parsial (tidak komprehensif), jenis standar K3
berbeda, kemampuan pemerintah dalam pembinaan
dan penegakan hukum yang lemah.5,6 Angka
kecelakaan kerja akan terus meningkat bila program
K3 dalam SMK3 tidak berjalan sesuai dengan
rencana.7 Pencegahan kecelakaan kerja merupakan
tanggung jawab utama manajemen.8
Kecelakaan kerja sering terjadi disebabkan
kegagalan dalam penerapan SMK3. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) akan berfungsi lebih baik apabila
perusahaan telah mengembangkan budaya K3 yang
disertai dengan perilaku yang aman dari tenaga kerja
agar tercapai pemenuhan terhadap peraturan dan
prosedur K3.9 Apabila pengusaha dan pekerja terus
membudayakan K3 melalui penerapan SMK3 akan
memberi pengaruh besar terhadap stabilitas usaha.10
Dilaksanakan tidaknya penerapan SMK3
diindikasikan dari kinerja penerapan SMK3
berdasarkan hasil audit terhadap 12 unsur audit
SMK3 yang terkait dengan pelaksanaan 5 prinsip
penerapan SMK3. Selain itu, audit SMK3 menilai
efektivitas penerapan SMK3, membuktikan kekuatan
dan memperbaiki kelemahan sistem yang berjalan,
sehingga tercapai tujuan.10
Berdasarkan masalah tersebut di atas, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengkaji perbedaan
kinerja 12 unsur audit SMK3 dan perbedaan kinerja
lima prinsip penerapan SMK3.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Data kecelakaan kerja dikumpulkan melalui
Formulir Jamsostek 3 Bentuk K.K. 3 (Laporan
Kecelakaan Tahap I) dari seluruh perusahaan
kelompok jenis usaha III peserta Program JKK pada
PT Jamsostek Cabang Medan yang tenaga kerjanya
mengalami kecelakaan kerja selama kurun waktu 1
tahun (1 Januari - 31 Desember 2005). Kemudian
dari seluruh perusahaan tersebut ditetapkan sampel
penelitian berdasarkan kriteria jumlah tenaga tenaga
kerja = 100 orang (purposive sample) ada sebanyak
55 perusahaan.
132 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...
Dalam penerapan SMK3, perusahaan wajib
melaksanakan 5 prinsip penerapan SMK3 yang
berlandaskan pada prinsip manajemen yaitu Plan,
Do, Check, Improvement (PDCI). Alat ukur kinerja
penerapan SMK3 digunakan daftar periksa (check
list) audit SMK3 yang ditetapkan pada Lampiran II
Permenaker RI No. 05/1996 tentang Pedoman Teknis
Audit SMK3. Daftar periksa audit SMK3 terdiri dari
166 kriteria. Tiap kriteria ditetapkan empat pilihan
yaitu SS (Sangat Sesuai), SE (Sesuai), TS (Tidak
Sesuai), dan ST (Sangat Tidak Sesuai) dengan skor
masing-masing 4, 3, 2, dan 1.
Audit SMK3 meliputi 12 unsur yang ditujukan
untuk menemukan fakta (fact finding) daripada
pelaksanaan 5 prinsip penerapan SMK3. Unsur 1
(28 kriteria) berhubungan dengan prinsip 1. Unsur 2
(10 kriteria) dan unsur 3 (8 kriteria) berhubungan dengan
prinsip 2. Unsur 4 (7 kriteria), unsur 5 (7 kriteria), unsur
6(40 kriteria), dan unsur 9 (13 kriteria) berhubungan
dengan prinsip 3. Unsur 7 (15 kriteria), unsur 10
(7 kriteria) dan unsur 11 (4 kriteria) berhubungan
dengan prinsip 4. Unsur 8 (11 kriteria) dan unsur 12
(16 kriteria) berhubungan dengan prinsip 5.
Pelaksanaan audit SMK3 dilakukan di tiap
perusahaan sampel penelitian yang diawali
mengadakan pertemuan dengan manajemen untuk
memberikan penjelasan tentang tujuan, ruang
lingkup, dan proses audit SMK3. Kemudian
melakukan pemeriksaan dokumen yang diaudit
untuk verifikasi semua informasi yang diperoleh dari
manajemen dan memastikan apakah program K3
diterapkan atau tidak yang meliputi manual SMK3
(mencakup kebijakan K3 perusahaan, struktur
organisasi perusahaan, profil perusahaan, struktur
P2K3, tujuan dan sasaran K3, diskripsi pekerjaan);
prosedur identifikasi bahaya, penilaian dan
pengendalian risiko (mencakup catatan hasil
identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko
yang telah dilakukan); program kerja (termasuk
program kerja yang berkaitan pengendalian risiko
hasil aktivitas penilaian risiko); pengendalian
dokumen; pengendalian catatan; prosedur audit
internal; prosedur identifikasi dan pemenuhan
peraturan perundangan (termasuk daftar pemenuhan
peraturan perundangan bidang K3); prosedur
komunikasi dan konsultasi; prosedur insiden,
kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, investigasi,
dan tindakan pencegahan (mencakup pelaporan
sumber bahaya, hampir celaka, kecelakaan kerja,
dan penyakit akibat kerja); prosedur operasional
(mencakup izin kerja, pembelian, desain, seleksi dan
evaluasi vendor, pelatihan, perawatan, rekrutmen,
penanganan bahan berbahaya dan beracun);
prosedur tanggap darurat; prosedur pemantauan dan
pengukuran (mencakup inspeksi, pemantauan
kesehatan, dan pemantauan lingkungan kerja);
prosedur rapat tinjauan manajemen. Setelah itu,
melakukan verifikasi kondisi di lapangan melalui
observasi dan pada saat yang bersamaan melakukan
wawancara dengan tenaga kerja untuk mendapatkan
masukan apakah program K3 benar-benar ada
secara formal dan konsisten dilaksanakan.
Setelah melakukan verifikasi melalui
pemeriksaan dokumen, inspeksi, observasi, dan
wawancara dengan tenaga kerja, tiap kriteria audit
SMK3 dinilai dengan membuat tanda “√” pada kolom
pilihan tiap kriteria dalam daftar periksa audit SMK3.
Skor kriteria tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3
dan skor kriteria tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan
SMK3 dijumlahkan. Data dianalisis untuk
membuktikan hipotesis menggunakan uji anova
amatan ulangan 1-Faktor dengan bantuan Program
SPS-2005.11
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Sampel Penelitian Perusahaan
Kelompok Jenis Usaha III
Perusahaan kelompok jenis usaha III umumnya
bergerak dalam industri pengolahan untuk bahan
baku, produk setengah jadi, dan produk jadi dengan
jenis dan sifat pekerjaan serta kondisi lingkungan
kerja yang mempunyai risiko kecelakaan kerja yang
tinggi seperti peleburan logam, perusahaan
penggergajian kayu, pabrik keperluan kaki,
penggilingan (remiling) karet, pabrik kimia lainnya
(lilin, obat nyamuk bakar dan cair), pabrik barang-
barang dari logam, dan pabrik plastik.
Jumlah kecelakaan kerja terbanyak (87 kasus)
pada pabrik kimia lainnya (peleburan logam) dan
tersedikit (1 kasus) pada berbagai jenis usaha seperti
percetakan, pabrik minuman, industri-industri lain,
rumah makan dan minuman, industri minyak kelapa
sawit, pabrik barang-barang dari logam, penggilingan
(remilling) karet, perusahaan air, pabrik minuman dari
alkohol, pabrik keperluan kaki, pabrik kimia lainnya,
penggergajian kayu, dan hotel.
Tingkat Pemenuhan Kriteria Audit SMK3
Berdasarkan hasil audit SMK3 diperoleh jumlah
skor 12 unsur audit SMK3 tertinggi pada pabrik
minuman sebesar 602, terendah pada industri
peleburan logam sebesar 193, dengan rerata sebesar
304 atau 45,78% dari 664 (jumlah skor audit SMK3).
Pencapaian rerata ini belum menunjukkan kategori
jumlah skor yang memenuhi persyaratan dalam
pemenuhan penerapan SMK3. Agar kewajiban
penerapan SMK3 minimal dapat dipenuhi, setiap
perusahaan sekurang-kurangnya harus memperoleh
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 133
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
jumlah skor sebesar 400 - 560 atau memenuhi 100
- 140 kriteria dari 166 kriteria dengan asumsi tiap
kriteria memperoleh skor 4. Jumlah skor ini dapat
ditingkatkan lagi apabila manajemen melakukan
perbaikan (peningkatan) dalam penerapan SMK3
hingga mencapai jumlah skor sebesar 564 - 664 dan
pada akhirnya dapat dipertahankan serta
berkelanjutan. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) telah terbukti sebagai
faktor yang dapat mengurangi jumlah dan keparahan
kecelakaan kerja yang pada akhirnya mengurangi
jumlah jaminan kecelakaan kerja (biaya kompensasi
kecelakaan kerja).12
Jumlah (persentase) pemenuhan kriteria
(memperoleh skor 4) audit SMK3 tertinggi yaitu
sebanyak 127 kriteria (76,51% dari 166 kriteria) pada
pabrik minuman, terendah sebanyak 6 kriteria (3,61%
dari 166 kriteria) pada pabrik peleburan logam, dan
rerata jumlah (persentase) pemenuhan kriteria
sebanyak 32 kriteria (19,04% dari 166 kriteria).
Terdapat hanya 2 (3,64%) perusahaan yang
mencapai pemenuhan kriteria 60% - 84% dari 166
kriteria audit SMK3, sedangkan 53 (96,36%)
perusahaan mencapai pemenuhan kriteria 0% - 60%
dari 166 kriteria audit SMK3.
Tingkat pencapaian tersebut di atas
menunjukkan bahwa penerapan SMK3 belum
menyeluruh. Hasil penelitian lain juga menunjukkan
hal yang sama yaitu tingkat pencapaian penerapan
SMK3 sebesar 70,24% pada 20 perusahaan
subsektor industri pengolahan13, penerapan SMK3
pada industri garment tidak sepenuhnya berjalan
dengan baik disebabkan oleh faktor ekonomi,
pendidikan, dan perilaku pekerja14, komitmen direktur
rumah sakit terhadap K3 masih rendah, organisasi
dan pelaksanaan K3 belum menyeluruh tiap unit kerja
sehingga perlu penerapan SMK315, tingkat
pelaksanaan penerapan SMK3 dicapai sebesar
70,74% pada industri tekstil.16
Tingkat pencapaian lebih tinggi pada
perusahaan yang telah menerapkan SMK3
sebagaimana hasil audit SMK3 terhadap 100
perusahaan pada tahun 2004 yang dilaporkan oleh
PT Sucofindo (badan audit SMK3 yang ditunjuk oleh
pemerintah) menunjukkan bahwa sebanyak 92
perusahaan (92,00%) dengan tingkat pencapaian
penerapan SMK3 85% - 100% dari 166 kriteria audit
SMK3, dan 8 perusahaan (8,00%) dengan tingkat
pencapaian penerapan SMK3 60% - 84% dari 166
kriteria audit SMK3.17 Perusahaan dengan tingkat
pencapaian penerapan SMK3 yang rendah tidak
menguntungkan dalam waktu jangka panjang, kinerja
penerapan SMK3 rendah, tidak mampu
berkompetisi, dan penerapan SMK3 tidak dapat
berkelanjutan.18 Kualitas pelaksanaan K3 yang
rendah disebabkan kurangnya pemenuhan terhadap
peraturan perundangan K3 dari pimpinan perusahaan
dan kurang menyebarnya personel yang
berkompeten di bidang K3 untuk memberikan
pengetahuan tentang peraturan perundangan K3.19
Perbedaan Kinerja 12 Unsur Audit SMK3
Rerata jumlah (persentase) perusahaan yang
memenuhi kriteria (memperoleh skor 4) untuk tiap
unsur dari 12 unsur audit SMK3 yaitu sebanyak 4
perusahaan (7,27%) untuk unsur 1, 3 perusahaan
(5,46%) untuk unsur 2, 7 perusahaan (12,73%) untuk
unsur 3, 9 perusahaan (16,36%) untuk unsur 4, 31
perusahaan (56,36%) untuk unsur 5, 17 perusahaan
(30,91%) untuk unsur 6, 11 perusahaan (20,00%)
untuk unsur 7, 12 perusahaan (21,82%) untuk unsur
8, 11 perusahaan (20,00%) untuk unsur 9,
1 perusahaan (1,82%) untuk unsur 10, 1 perusahaan
(1,82%) untuk unsur 11, dan 7 perusahaan (12,74%)
untuk unsur 12. Terlihat bahwa tidak ada satu unsur
yang dipenuhi oleh seluruh perusahaan. Kriteria unsur
5 (pembelian) terbanyak dipenuhi perusahaan, sama
halnya dengan hasil audit PT Sucofindo tahun 2001
- 2003 juga diperoleh rerata jumlah (persentase)
perusahaan terbanyak memenuhi unsur 5
(pembelian) yaitu 56 (%) dari 74 perusahaan.5
Manajemen perusahaan lebih memprioritaskan unsur
5 (pembelian) mengingat kaitannya dengan kegiatan
usaha produksi yang meliputi ketelitian terhadap
pembelian sarana produksi (mesin, alat,
perlengkapan, instalasi, dan bahan-bahan baku)
sesuai dengan spesifikasinya, melakukan
pemeriksaan terhadap barang atau jasa yang telah
dibeli, dan kontrol barang atau jasa yang dipasok
pelanggan melalui kegiatan identifikasi potensi
bahaya dan menilai risikonya dalam rangka menjaga
(mempertahankan) kualitas produk/jasa yang
dihasilkan.
Pemenuhan kriteria unsur 5 (pembelian)
termasuk kegiatan pengendalian risiko.
Pengendalian risiko merupakan pendekatan utama
yang digunakan dalam manajemen risiko seperti
substitusi bahan yang berbahaya dengan tidak
berbahaya, pembelian peralatan dan rancangan
teknik dari proses produksi yang tidak menimbulkan
bahaya.20 Manajemen risiko yang efektif merupakan
strategi inti dari SMK3 yang mencakup identifikasi
bahaya, mengukur dan mengendalikan risiko,
mengevaluasi dan melakukan tinjauan ulang
tindakan pengendalian risiko untuk meyakinkan
bahwa SMK3 dilaksanakan dan dipertahankan.
134 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...
Manajemen risiko yang efektif membutuhkan
tanggung jawab yang telah ditetapkan, kompetensi,
dan sumber daya untuk menentukan dan
melaksanakan tindakan pencegahan yang
disyaratkan, melibatkan tenaga kerja secara aktif,
prosedur pengendalian risiko didokumetasikan dan
dapat digunakan.21
Pencapaian jumlah skor tiap unsur audit SMK3
menunjukkan kinerja tiap unsur audit SMK3. Kinerja
penerapan SMK3 dikatakan baik apabila jumlah skor
tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3 dicapai dengan
skor maksimum. Pada Tabel 1 tertera rerata jumlah
(persentase) skor unsur 5 dicapai tertinggi yaitu
sebesar 20,96 (74,86% dari skor maksimum unsur
5), kemudian diikuti berurut hingga terendah yaitu
rerata jumlah (persentase) skor unsur 6,unsur 7,
unsur 8, unsur 4, unsur 9, unsur 10, unsur 12, unsur
3, unsur 2, unsur 1, dan unsur 11.
Hasil uji F diperoleh bahwa ada perbedaan
sangat signifikan (p< 0,01) kinerja 12 unsur audit
SMK3 dan uji-t diperoleh perbedaan antar kinerja
tiap unsur dari12 unsur audit SMK3. Perbedaan
antarkinerja tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3
menunjukkan keragaman dalam pemenuhan kriteria
tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3, sehingga secara
keseluruhan ada perbedaan kinerja 12 unsur audit
SMK3.
Perbedaan kinerja 12 unsur audit SMK3
memberikan gambaran yang jelas dan lengkap
tentang status mutu pelaksanaan penerapan SMK3
yang menjadi masukan bagi manajemen agar dapat
dilakukan perbaikan (pemenuhan) terhadap kriteria
tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3 sehingga insiden
atau kecelakaan kerja yang menimbulkan kerugian
dapat dikurangi dan tidak terjadi gangguan
produksi.Pemenuhan kriteria tiap unsur audit SMK3
dapat meningkatkan kinerja K3 melalui manajemen
K3 yang sistematis.21 Komitmen manajemen
terhadap K3 harus disertai dengan kepemimpinan
yang mampu menciptakan iklim yang aman di tempat
kerja.22
Hal yang dapat dilakukan di tempat kerja untuk
meningkatkan kinerja K3 dan bebas dari gangguan
produksi yaitu: pekerja dan supervisor harus
mengetahui dan menyadari akan bahaya dan potensi
bahaya; pekerja berperilaku aman; pekerja mampu
melakukan pekerjaan dengan aman; lingkungan kerja
harus dibuat aman dan sehat melalui pengendalian
teknis atau administratif, substitusi atau mengurangi
bahan atau kondisi yang berbahaya, atau memakai
alat pelindung diri; peralatan, mesin dan bahan-bahan
harus berfungsi dengan aman bila digunakan;
ketentuan tentang tanggap darurat harus dibuat
untuk mencegah timbulnya kecelakaan kerja.23 Di
samping itu, keterlibatan manajer puncak terhadap
K3 sangat penting dalam menyusun finansial, tenaga
profesional, membuat kebijakan dan program K3,
dan keterlibatan tenaga kerja sangat diperlukan
dalam pelaksanaan K3.24 Tenaga kerja yang
berorientasi pada K3 melalui perilaku aman bekerja
merupakan suatu faktor positif terhadap kinerja K3
dalam rangka mengurangi angka kecelakaan kerja
perusahaan.25 Pendidikan K3 dan kemampuan
personal tenaga kerja tidak cukup untuk membuat
aman bekerja, untuk itu manajemen hendaknya terus-
menerus memotivasi perilaku tenaga kerja agar
kecelakaan kerja dapat dihindari.26
Perbedaan Kinerja 5 Prinsip Penerapan SMK3
Rerata jumlah (persentase) pemenuhan kriteria
(memenuhi skor 4) dicapai tertinggi pada prinsip 3
yaitu 20 kriteria (29,85%) dari 67 kriteria prinsip 3,
kemudian diikuti berurut hingga terendah masing-
masing rerata jumlah (persentase) pemenuhan
kriteria prinsip 4 sebanyak 4 (15,38%) dari 26 kriteria
prinsip 4, prinsip 5 sebanyak 4 kriteria (14,81%) dari
27 kriteria prinsip 5, prinsip 1 sebanyak 2 kriteria
(7,14%) dari 28 kriteria prinsip 1, dan prinsip 2
sebanyak 1 kriteria (5,56%) dari 18 kriteria prinsip 2.
Kinerja penerapan SMK3 dikatakan baik
apabila kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan
SMK3 dicapai jumlah skor (persentase) tertinggi dari
12 Unsur Audit SMK3 Rerata Skor Skor Maksimum %
Unsur 1 38,38 112 34,27% Unsur 2 (s an)trategi pendokumentasi 13,86 40 34,65%
Unsur 3 (peninjauan ulang disain dan kontrak) 11,47 32 35,84% Unsur 4 (pengendalian dokumen) 12,51 28 44,68% Unsur 5 (pembelian) 20,96 28 74,86% Unsur 6 (keamanan bekerja berdasarkan SMK3) 92,18 160 57,61% Unsur 7 (standar pemantauan) 28,56 60 47,60% Unsur 8 (pelaporan dan perbaikan kekurangan) 20,27 44 46,07%
Unsur 9 (pengelolaan material dan pemindahannya) 22,82 52 43,88% Unsur 10 (pengumpulan dan penggunaan data) 11,84 28 42,29% Unsur 11 (audit SMK3) 4,22 16 26,38% Unsur 12 (pengembangan keterampilan dan kemampuan) 27,06 64 42,28%
(pembangunan dan pemeliharaan komitmen)
Tabel 1. Rerata Jumlah (Persentase) Skor Tiap Unsur dari 12 Unsur Audit SMK3
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 135
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
skor maksimum. Pada Tabel 2 tertera rerata jumlah
(persentase) skor prinsip 3 dicapai tertinggi yaitu
148,47 (55,40% dari skor maksimum), kemudian
diikuti berurut hingga terendah yaitu rerata jumlah
skor (persentase) prinsip 5, prinsip 4, prinsip 2, dan
prinsip 1. Pencapaian jumlah skor tertinggi pada
prinsip 3 juga diperoleh pada penelitian Widiastuti
tentang fungsi manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja pada salah satu pabrik gula di Jawa
Timur diperoleh bahwa skor penerapan fungsi
perencanaan (prinsip 1) sebesar 46,62%, skor
penerapan fungsi pengorganisasian (prinsip 2)
sebesar 10%, skor penerapan fungsi penggerakan
(prinsip 3) sebesar 55,17% (tertinggi), skor penerapan
fungsi pengendalian (prinsip 4) sebesar 51,8%, dan
skor penerapan fungsi evaluasi (prinsip 5) sebesar
0%.27
Hasil uji F diperoleh ada perbedaan sangat
signifikan (p < 0,01) kinerja 5 prinsip penerapan
SMK3 dan uji-t diperoleh perbedaan antar kinerja
tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan SMK3.
Perbedaan antar kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip
penerapan SMK3 menunjukkan keragaman dalam
pelaksanaan tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan
SMK3, sehingga secara keseluruhan ada perbedaan
kinerja 5 prinsip penerapan SMK3. Penerapan SMK3
masih bersifat slogan dan belum membudaya di
tengah masyarakat dan masih dipandang dalam
lingkup sempit (terbatas dalam lingkup kerja) belum
menjadi bagian integral dari bisnis.28
Bila pelaksanaan penerapan SMK3 secara
bersiklus, kontinu, dan berkelanjutan, maka diperoleh
jumlah (persentase) skor maksimum untuk tiap
prinsip dari 5 prinsip penerapan SMK3, sehingga
tidak terdapat keragaman dalam pelaksanaan 5
prinsip penerapan SMK3. Kinerja 5 prinsip penerapan
SMK3 ditentukan oleh kemauan dan keterlibatan
seluruh jajaran dalam manajemen dan tenaga kerja
serta keikutsertaan Komite K3 (P2K3) dalam
pelaksanaan K3 yang berdampak terhadap angka
kecelakaan kerja dan klaim kecelakaan kerja.24 Kunci
agar bekerja aman dan lingkungan kerja sehat
adalah dengan penerapan SMK3 secara
komprehensif.29
Penerapan SMK3 diawali dengan adanya
pernyataan kebijakan manajemen untuk
menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman,
serta membuat mekanisme dan struktur organisasi
dengan prinsip penerapan SMK3 yang efektif.
Manajemen harus mempunyai komitmen untuk
menyediakan sumber daya yang diperlukan yaitu
tenaga kerja dan finansial dalam rangka mendukung
mekanisme dan struktur organisasi dari penerapan
SMK3. Selain itu, harus ada perencanaan K3 yang
terperinci dan berisi penjelasan dari tujuan K3 dan
terukur. Kinerja penerapan SMK3 merupakan
indikator yang dapat diukur melalui audit SMK3
untuk meyakinkan keberhasilan penerapan SMK3
dan dapat dibandingkan dengan sebelumnya.30
Risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja K3 harus dikendalikan. Pengendalian risiko
yang efektif hanya dapat dilakukan melalui
penerapan SMK3. Kekuatan dan keberhasilan setiap
perusahaan terletak pada tata kelola yang efektif
terhadap produktivitas, kualitas produk, keselamatan,
kesehatan dan lingkungan kerja, di samping
pemasaran dan finansial. Komitmen perusahaan
terhadap K3 harus ditunjukkan dengan kinerja K3
yang baik.31
Enam alasan utama pencegahan kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja melalui pelaksanaan
K3 dalam suatu sistem yaitu:32
1. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dapat menghancurkan masa depan tenaga kerja
yang secara moral tidak dibenarkan.
2. Pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja merupakan tanggung jawab
pengusaha bersama tenaga kerja.
3. Kecelakaan kerja menurunkan efisiensi usaha
dan produktivitas kerja.
4. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
menimbulkan kerawanan sosial.
5. Teknik keselamatan kerja ditujukan untuk
menurunkan angka kecelakaan kerja (accident
rate) dan angka keparahan kecelakaan kerja
(severity rate).
6. Adanya tuntutan dari pemerintah untuk
menyediakan tempat kerja yang sehat dan
aman.
Pengusaha atau manajemen puncak (top
management) harus bertanggung jawab terhadap
rendahnya kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip
5 Prinsip Penerapan SMK3 Rerata Skor Skor Maksimum %
Prinsip 1 (menetapkan kebijakan K3 dan komitmen menerapkan SMK3) 38,38 112 34,27% Prinsip 2 (merencanakan penerapan K3) 25,33 72 35,18% Prinsip 3 (menerapkan kebijakan K3) 148,47 268 55,40% Prinsip 4 (mengukur, memantau, dan mengevaluasi kinerja K3) 44,62 104 42,90% Prinsip 5 (meninjau ulang dan meningkatkan pelaksanaan SMK3) 47,33 108 43,82%
Tabel 2. Rerata (Persentase) Skor Tiap Prinsip dari 5 Prinsip Penerapan SMK3
136 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...
penerapan SMK3 dan menyikapinya dengan
paradigma revitalisasi pelaksanaan penerapan
SMK3. Titik awal (starting point) pelaksanaan
penerapan SMK3 sebaiknya dilakukan sosialisasi
SMK3 di tingkat perusahaan bagi seluruh komponen
(pengusaha, manajemen, dan tenaga kerja) yang
terlibat dalam aktivitas di tempat kerja. Bila
komponen tersebut telah memiliki pengetahuan dan
pemahaman (persepsi) yang sama terhadap tahapan
pelaksanaan tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan
SMK3, maka masing-masing akan mengetahui
tugas dan fungsi, serta tanggung jawabnya dalam
pelaksanaan penerapan SMK3. Di samping
manajemen menyiapkan (menyediakan) sumber
daya yang terkait dengan pelaksanaan penerapan
SMK3 yaitu:
1. Dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan
SMK3.
2. Pembentukan organisasi K3 di tempat kerja
seperti Bagian Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (Occupational Safety and Health
Department) yang membawahi beberapa sub
bagian (regu penanggulangan kebakaran, tim
tanggap darurat (emergency response
preparedness team), pelayanan kesehatan
kerja), Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3) atau Safety
Committee. Organisasi K3 ini bertugas:
a. Memberikan saran dan rekomendasi
terhadap perbaikan pelaksanaan penerapan
SMK3 kepada manajemen
b. Melakukan indentifikasi sumber-sumber
bahaya, pengawasan terhadap penerapan
syarat-syarat dan standar K3, dan
pencegahan kecelakaan kerja di tempat
kerja
c. Sebagai wadah komunikasi dan kerjasama
dalam meningkatkan kinerja pelaksanaan
penerapan SMK3 di tempat kerja
d. Menyebarluaskan informasi K3 ke seluruh
unit kerja yang meliputi peraturan
perundangan K3, kebijakan K3 perusahaan,
kegiatan K3, dan laporan hasil audit internal
SMK3.
3. Sarana K3: pelayanan kesehatan kerja, pintu
dan tangga darurat, tempat pelatihan K3.
4. Fasilitas K3: alat pelindung diri, P3K, alat
pemadam api, alat dan sistem tanda bahaya,
alat pemantauan kondisi lingkungan kerja,
rambu dan tanda keselamatan kerja, manual
K3 (berisi peraturan perundangan K3; prosedur
pengoperasian dan penanganan mesin, alat,
instalasi dan bahan berbahaya, instruksi kerja;
instruksi tanggap darurat).
5. Personel K3 yang mempunyai tugas, fungsi, dan
kewenangan sesuai dengan kompetensinya
dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. Personel K3 meliputi ahli
K3 umum, ahli K3 spesialis (listrik dan
kebakaran, mekanik, uap dan bejana tekan,
konstruksi, kimia), dokter perusahaan,
paramedis (perawat) perusahaan, ahli higiene
industri, petugas P3K, petugas K3 (kimia,
radiasi, kebakaran, konstruksi, confined space),
operator (pesawat uap, crane), teknisi (lift,
listrik), dan juru las.
Setelah manajemen memenuhi sumber daya
yang terkait dengan pelaksanaan penerapan SMK3,
langkah selanjutnya mengidentifikasi kegiatan apa
yang belum berjalan agar dilakukan kajian kendala
pelaksanaannya dan kegiatan apa yang telah
berjalan agar dapat dilakukan perbaikan tiap prinsip
dari 5 prinsip penerapan SMK3 dengan berpedoman
pada Lampiran I Permenaker No. 05/1996.Tahap
akhir dari penerapan K3 adalah meyakinkan
perbaikan (peningkatan) dilakukan secara
menyeluruh, konsisten dan berkesinambungan, serta
dievaluasi melalui audit internal K3 paling tidak
setahun sekali. Kegiatan audit eksternal SMK3
dapat dilakukan apabila pelaksanaan 5 prinsip
penerapan SMK3 telah berjalan dan
berkesinambungan untuk memperoleh pengakuan
dari pemerintah terhadap penerapan SMK3 di
perusahaan. Menakertrans RI pada acara
penyerahan penghargaan SMK3 tahun 2008
menyatakan bahwa pemerintah akan mempercepat
pelaksanaan audit SMK3 di perusahaan-perusahaan
yang selama ini berjalan setahun sekali menjadi tiga
bulan atau enam bulan sekali. Hasil audit SMK3 akan
segera diumumkan perusahaan yang memiliki
kinerja SMK3 buruk agar dapat memperbaiki diri,
termasuk perusahaan yang belum menerapkan
SMK3. Langkah ini diambil untuk menekan tingkat
kecelakaan kerja dan meningkatkan kesiagaan
perusahaan menghadapi potensi kecelakaan kerja
mengingat pentingnya amanah dari Permenaker
No. 05/1996.Dibutuhkan waktu yang panjang untuk
menekan angka kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja meskipun semua organisasi yang
relevan terlibat dalam upaya penerapan SMK3.33
Kebijakan Permenaker No. 05/1996 sejatinya
untuk mewajibkan perusahaan agar dapat memenuhi
standar K3 yang kemudian dinilai melalui audit
SMK3 untuk memperoleh sertifikat SMK3. Namun
sertifikasi SMK3 diperlakukan oleh sebagian
pengusaha sebagai tujuan akhir, sehingga hasil audit
SMK3 tidak dapat menggambarkan kondisi objektif
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 137
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
dari penerapan SMK3 di perusahaan dan sertifikasi
SMK3 tidak menjadi jaminan kualitas dari kinerja
penerapan SMK3 yang dimungkinkan bias karena
faktor subjektif. Oleh karena itu, perlu ada
pengawasan terhadap pihak-pihak yang terlibat
dalam pengajuan audit SMK3 perusahaan dan
auditor yang melakukan audit SMK3. Di samping
itu, kebijakan Permenaker No. 05/1996 perlu
ditopang dengan suatu peraturan pemerintah yang
menetapkan dan mengatur tentang penerapan SMK3
agar lebih jelas dan rinci termasuk sanksi hukumnya.
Dengan demikian, diharapkan dapat memacu
peningkatan jumlah perusahaan dalam penerapan
SMK3 seiring dengan meningkatnya kesadaran
pengusaha akan pentingnya penerapan SMK3.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kinerja penerapan SMK3 masih rendah dilihat
dari jumlah perusahaan dan tingkat pencapaian
dalam pemenuhan kriteria tiap unsur dari 12 unsur
audit SMK3. Ada perbedaan yang sangat signifikan
(p < 0,01) kinerja tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3
yang mengakibatkan ada perbedaan yang signifikan
(p < 0,05) kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan
SMK3. Kondisi ini memberi peringatan (warning) bagi
pengusaha atau manajemen perusahaan agar
melakukan upaya perbaikan terhadap pelaksanaan
5 prinsip penerapan SMK3. Pelaksanaan tiap prinsip
dari 5 prinsip penerapan SMK3 harus berurutan dan
mengacu pada prinsip Plan, Do, Check, and
Improvement (PDCI), sehingga konsisten dan
berkelanjutan yang pada akhirnya kriteria tiap unsur
audit SMK3 dapat dipenuhi. Manajemen perusahaan
harus bekerja sama dengan ahli K3 dan
memberdayakan panitia pembina K3 perusahaan
agar pelaksanaan penerapan SMK3 komprehensif
dan melekat dalam aktivitas kerja sehingga tercipta
budaya kerja (corporate culture) berbasis K3.
Perbaikan (peningkatan) kinerja pelaksanaan 5
prinsip penerapan SMK3 harus disertai pembinaan
dan pengawasan penerapan SMK3 yang intens dan
penegakan hukum oleh instansi dinas tenaga kerja
disamping peran serta dari PT Jamsostek,
PT Sucofindo, organisasi profesi K3, Perusahaan
Jasa K3, Balai K3, dan akademisi yang peduli
terhadap masalah K3.
Saran
Temuan hasil audit SMK3 dapat dijadikan
sebagai acuan bagi manajemen perusahaan, dinas
tenaga kerja dan pihak-pihak lain yang terkait dalam
penerapan SMK3 agar dapat melakukan perbaikan
terhadap kelemahan (kekurangan) dari pelaksanaan
5 prinsip penerapan SMK3. Kinerja penerapan SMK3
(tingkat pemenuhan kriteria audit SMK3) perlu
dipertimbangkan oleh Pemerintah (Depnakertrans
RI), PT Jamsostek, dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia dalam menetapkan besarnya iuran jaminan
kecelakaan dalam Program JKK yang sampai saat
ini masih berdasarkan pada pengelompokan risiko
dari jenis usaha.Perusahaan dengan kinerja
penerapan SMK3 yang baik berhak mendapat
insentif dalam bentuk pembayaran iuran jaminan
kecelakaan kerja lebih kecil dibanding perusahaan
dengan kinerja penerapan SMK3 yang buruk.
KEPUSTAKAAN
1. Ichsan S. Klasifikasi Ahli Keselamatan Kerja,
Ahli Hygiene Perusahaan dan Dokter
Perusahaan Di Masa Mendatang. Makalah
Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi
Dokter Perusahaan. Diselenggarakan oleh Balai
Keselamatan Kerja dan Hiperkes Medan.2003.
2. Siswati M.Summary of the Workshop on Asean
Occupational Safety and Health Management
System (OSH-MS). Majalah Hiperkes dan
Keselamatan Kerja. Pusat Pengembangan
Keselamatan Kerja dan Hiperkes Balitbanginfo
Depnakertrans RI, Jakarta.2003; XXXVI(2) April-
Juni.
3. Suokas, J. The Role of Safety Analysis in
Accident Prevention. Accident Anal Prev, 1988;
20(1): 67-85.
4. Kanwil I PT Jamsostek. Data Kepesertaan
Program Jamsostek dan Kecelakaan Kerja
Tahun 2003 - 2005.Medan.2006.
5. Rudiyanto. Penerapan SMK3 dan Pelaksanaan
Audit SMK3. Makalah Pelatihan Pengenalan
SMK3. Diselenggarakan oleh PT (Persero)
Sucofindo, Jakarta. 2004.
6. Ichsan S. Urgensi Hiperkes dan Keselamatan
Kerja Di Perusahaan. Makalah Pelatihan
Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter
dan Paramedis Perusahaan. Diselenggarakan
oleh Balai Keselamatan Kerja dan Hiperkes
Medan Bekerja Sama dengan Asosiasi Hiperkes
dan Keselamatan Kerja Indonesia (AHKKI)
Wilayah Provinsi Sumatera Utara, Medan.2002.
7. Suma’mur PK. Program Prioritas dan
Pemberdayaan Potensi K3 Tahun 2003 dan 2004
Guna Mewujudkan Kemajuan Substansial K3.
Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja.
Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan
Hiperkes, Balitbanginfo Depnakertrans RI,
Jakarta.2003; XXXVI(2) April-Juni.
138 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...
8. Alli BO. Fundamental Principles of Occupational
Health and Safety. First Published, International
Labor Office, Geneva.2001.
9. Hopkins A. Safety Culture, Mindfulness and
Safe Behaviour: Converging Ideas? Working
Paper 7. The Conference Australian OHS
Regulation for the 21st Century, National
Research Centre for Occupational Health and
Safety Regulation and National Occupational
Health and Safety Commission, Canberra.2002.
10. Ramli S. New Paradigm Untuk Meningkatkan
Kinerja K3. Makalah Konvensi Nasional K3 Ke-
VI. Diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta.2006.
11. Hadi S. Pamardiningsih Y. SPS-2000 (Seri
Program Statistik Versi 2000), Manual SPS
Paket Midi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 2000.
12. Groeneweg J. The Accident Causation Model.In:
Ch. 57 Audits, Inspections and Investigations.
Encyclopaedia of Occupational Health and
Safety. Vol. II, Fourth Edition, International
Labour Office, Geneva.1998.
13. Sugiyono. Kecelakaan Kerja Sektor Industri
Pengolahan dan Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di
Kotamadya Yogyakarta Kajian Tahun 2001.
Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Kerja,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.2002.
14. Yuliani R. Kajian Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT
Primisima (Industri Garment) Di Sleman
Yogyakarta. Tesis. Program Studi Magister
Rekayasa Keselamatan Industri, Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.2004.
15. Novianto R. Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Rumah
Sakit Unisma Malang Jawa Timur. Tesis. Minat
Utama Manajemen Rumah Sakit, Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.2005.
16. Subekti A. Audit Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja PT Lotus
Indah Textile Industry Dengan Menggunakan
Sistem Informasi Audit. Tesis. Program Magister
Teknologi Manajemen, ITS, Surabaya.2008.
17. Depnakertrans RI. Evaluasi Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3). Direktorat Pengawasan Kesehatan
Kerja Ditjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, Jakarta. 2005.
18. Hamalainen PJ. Takala, and K.L. Saarela.
Global Estimates of Occupational Accidents.
Safety Science, 2006; 44: 137-56.
19. Frick K. Organisational Development and OHS
Management in Large Organisations. Working
Paper 14. The Conference Australian OHS
Regulation for the 21st Century, National
Research Centre for Occupational Health and
Safety Regulation and National Occupational
Health and Safety Commission, Canberra.2003.
20. Taylor G, K. Easter, and R. Hegney.Enhancing
OccupationalSafetyand Health. 2004 (http://
books.google.com/books?id=qs_FgDdalv8C
&pg=PA579&q=occupational+health+and+
safety+journal&hl=id#PPP1,M1)
21. Bluff L. Systematic Management of
Occupational Health and Safety. Working Paper
20. The Conference Australian OHS Regulation
for the 21st Century, National Research Centre
for Occupational Health and Safety Regulation
and National Occupational Health and Safety
Commission, Canberra.2003.
22. Hansen L.Beyond Commitment. Occup
Hazards, 1993; 55(9): 250.
23. Skiba R. Theoritical Principles of Job Safety.
In: Ch. 56 Accident Prevention. Encyclopaedia
of Occupational Health and Safety. Vol. II, Fourth
Edition, International Labour Office, Geneva.
1998.
24. Simard M. Safety Culture and Management. In:
Ch. 59 Safety Policy and Leadership.
Encyclopaedia of Occupational Health and
Safety. Vol. II, Fourth Edition, International
Labour Office, Geneva. 1998.
25. Saari J. On Strategies and Methods in Company
Safety Work: From Informational to Motivational
Strategies. J Occup Acc 12: 107-117.
26. Peters RH. Strategies for Encouraging Self-
Protective Employee Behaviour. J Saf Res,
1991; 22: 53-70.
27. Widiastuti E. Fungsi Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja dan Terjadinya Kecelakaan
Kerja Di PT. Perkebunan Nusantara XI (Persero)
Pabrik Gula Djatiroto Lumajang. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
2005.
28. Hadi S. Internal Audit Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Majalah Hiperkes dan
Keselamatan Kerja. Pusat Pengembangan
Keselamatan Kerja dan Hiperkes Balitbanginfo
Depnakertrans RI, Jakarta. 2004;XXXVI(3) Juli-
September.
29. OSHA. OSHA: Employee Workplace Rights.
US Department of Labor. 2003.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 139
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
30. Linehan A.Workplace Inspection and Regulatory
Enforcement. In: Ch. 57 Audits, Inspections and
Investigations. Encyclopaedia of Occupational
Health and Safety. Vol. II, Fourth Edition,
International Labour Office, Geneva. 1998.
31. Venkataraman N. Safety Performance Factor.
Journal Occupational Safety Health, National
Institute of Occupational Safety and Health
(NIOSH), Malaysia. 2008; 5: 27-30.
32. Reese CD. Occupational Health and Safety
Management: A Practical Approach.Lewis
Publishers, Boca Raton.2003.
33. Siriruttanapruk S. and P. Anatagulnathi.
Occupational Health and Safety Situation and
Research Priority in Thailand. Industrial Health,
2004; 42,135-40.
140 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...
HAMBATAN DAN HARAPAN SISTEM KREDENSIAL DOKTER:
STUDI KUALITATIF DI EMPAT RUMAH SAKIT INDONESIA
OBSTACLES AND EXPECTATION OF PHISICIAN CREDENTIALING SYSTEM:
A QUALITATIVE STUDY IN FOUR INDONESIAN HOSPITALS
Herkutanto1, Astrid Pratidina Susilo2
1Departemen Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ SMF Forensik
Klinik/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta2Departemen Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda
ABSTRACTBackground : The accountability of the physicians serving in
health care is a crucial factor to establish the patient safety.
The credentialing system, a process to grant clinical privilege,
aims to ensure the accountability. Credentialing processes vary
in different Indonesian Institutions, and frequently are
inadequately performed. Information about obstacles and
expectations on current credentialing process is needed to
design a strategy to develop credentialing system.
Methods: A qualitative study using Focus Group Discussions
(FGD) were conducted in four hospitals in Indonesia with
different characteristics. Every FGD was attended by 10-20
participants, consisted of physicians and hospital management.
The results of the FGDs were analyzed with qualitative
approach.
Results: The obstacles of the establishment of ideal credential
system rooted in the inappropriate perception that credential is
the same as physicians recruitment as hospital employees.
The expectations of the participants are the needs of monitoring
process, sound relationship between credential team and
hospital management, standardization of policy and credential
instruments, existence of objective credential team, and good
relationships among colleagues.
Conclusions: Indonesia needs a credentialing system that is
able to establish the patient safety. The expectations of
participants are in line with the recommended credential
system, which is based on the concept of professionalism.
Keywords: physicians credentialing system, professionalism,
patient safety
ABSTRAKLatar Belakang: Salah satu tonggak keselamatan pasien
adalah akuntabilitas dokter yang terlibat dalam layanan
kesehatan. Akuntabilitas ini dijamin melalui proses kredensial,
yaitu suatu proses untuk memberikan kewenangan klinis atas
suatu tindakan medis. Proses kredensial di berbagai institusi di
Indonesia masih bervariasi dan belum adekuat. Untuk menyusun
strategi pengembangan sistem kredensial, dibutuhkan informasi
tentang hambatan dan harapan atas sistem kredensial.
Metode: Studi kualitatif dengan diskusi kelompok terfokus
(Focus Group Discussion – FGD) dilaksanakan di empat rumah
sakit Indonesia dengan karakteristik berbeda-beda. Tiap FGD
dihadiri oleh 10-20 partisipan yang terdiri dari dokter dan
manajemen rumah sakit. Hasil FGD dianalisis berdasarkan
prinsip-prinsip analisis data kualitatif.
Hasil: Hambatan terwujudnya sistem kredensial ideal adalah
mispersepsi bahwa kredensial identik dengan proses
penerimaan dokter sebagai karyawan rumah sakit. Harapan
partisipan tercermin dari kebutuhan proses monitoring,
hubungan baik tim kredensial dengan pihak manajemen,
standardisasi aturan dan instrumen kredensial, adanya tim
kredensial yang obyektif, dan hubungan baik antar sejawat.
Kesimpulan: Indonesia membutuhkan sistem kredensial yang
dapat menjamin keselamatan pasien. Harapan partisipan sejalan
dengan elemen-elemen sistem kredensial yang
direkomendasikan, yaitu yang berdasar pada konsep
profesionalisme.
Kata kunci : sistem kredensial dokter, profesionalisme,
keselamatan pasien
PENGANTAR
“You medical people will have more lives to answer
for in the other world than even we generals.”
(Napoleon Bonaparte)
Salah satu tonggak keselamatan pasien adalah
akuntabilitas sumber daya manusia yang terlibat
dalam layanan kesehatan. Dokter, perawat, atau
tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki
kompetensi yang adekuat.1,2 Berpijak pada prinsip
dasar gerakan keselamatan pasien untuk ‘non
blaming culture’ atau budaya tidak menyalahkan,2,3,4
jaminan kompetensi yang adekuat inipun berbasis
pada pendekatan sistem. Oleh karena itu, dalam
tataran makro (sistem layanan kesehatan nasional),
dibutuhkan suatu sistem yang dapat
mengakomodasi kebutuhan jaminan kompetensi
tersebut. Jaminan kompetensi ini telah diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RS No. 631/
MENKES/SK/IV/2005 tentang Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff Bylaws), dimana ditetapkan
bahwa subkomite kredensial komite medis di rumah
sakit bertugas mengatur masalah kewenangan klinis
(clinical privilege) setiap dokter yang bekerja di
rumah sakit tersebut. 5
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 140 - 147
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 141
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Terdapat hubungan yang bermakna antara
jumlah klaim terhadap dokter dan rumah sakit yang
terkait dengan kelalaian tindakan medik dokter. Dari
98.609 kejadian yang tak diharapkan yang terjadi di
rumah sakit di New York tahun 1984 ternyata 27.179
di antaranya merupakan kelalaian medis.6 Leape
dkk7 melakukan penelitian lebih rinci terhadap tipe
kesalahan medis. Dari 1.133 pasien yang cedera
akibat tindakan medis, komplikasi medikamentosa
adalah bentuk yang tersering dijumpai (19%)
dibandingkan dengan komplikasi teknis (13%).
Kelalaian akibat pembedahan tercatat lebih sedikit
(17%) dibandingkan tindakan non-bedah (37%).
Proporsi kelalaian di bidang diagnostik cukup tinggi
(75%), sedangkan di bidang terapeutik, proporsi
kelalaian prosedur non-invasif adalah 77%. Untuk
mencegah terjadinya potensi klaim akibat tindakan
medis, setiap rumah sakit harus mengembangkan
strategi sistem kredensial yang adekuat.7
Proses kredensial adalah proses untuk
memberikan kewenangan klinis (clinical privilege)
bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan
klinis tertentu. Kewenangan ini diberikan oleh
institusi kesehatan setelah mendapat rekomendasi
dari mitra bestari. Dalam proses ini, jika seorang
dokter atau tenaga kesehatan dianggap memiliki
kompetensi tertentu, ia akan mendapat penugasan
klinis (clinical appointment) dari Badan Pengampu
(Governing Board) rumah sakit yang dapat saja
didelegasikan kepada Direktur Rumah Sakit.1,8
Setiap kewenangan klinis tertentu yang dimiliki
seorang dokter harus ditinjau secara berkala, sesuai
dengan perkembangan kompetensi si dokter atau
tenaga kesehatan tersebut.1
Beberapa literatur memaparkan bahwa proses
kredensial merupakan sistem yang terintegrasi
dalam layanan kesehatan di berbagai negara. Di
USA, proses kredensial telah menjadi standar di
setiap rumah sakit.1 Sebuah publikasi
mendeskripsikan proses kredensial untuk dokter
spesialis anak.9 Sebuah Fakultas Kedokteran Gigi
di USA bahkan mengimplementasikan sistem
kredensial untuk menjamin kompetensi staf
pengajar.10
Sama seperti negara lain, Indonesia
membutuhkan proses kredensial untuk menjamin
akuntabilitas tenaga kesehatan. Proses ini adalah
bentuk tanggung jawab institusi kesehatan terhadap
masyarakat atas kepercayaan yang diberikan untuk
menjaga keselamatan pasien.11 Walaupun istilah
kredensial sendiri bukan hal yang baru dalam sistem
layanan kesehatan Indonesia, namun gambaran
implementasi proses dan pencapaian tujuan
kredensial bervariasi di berbagai institusi.8 Kondisi
ini yang menyebabkan proses kredensial yang
dilakukan oleh komite medik di Indonesia saat ini
masih belum adekuat.
Di masa mendatang di Indonesia, kredensial
yang mengarah kepada pemberian kewenangan
klinis yang lebih rinci (“delineation of clinical
privilege”). Pada proses kredensial dengan sistem
“delineation of clinical privilege” tersebut, kompetensi
dokter untuk setiap jenis tindakan medis disebuah
rumah sakit lebih terkendali. Dengan demikian,
keselamatan pasien akan lebih terjamin atas setiap
jenis tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
Dengan terjaminnya keselamatan pasien atas
tindakan medis yang dilakukan dokter tentu akan
menurunkan jumlah klaim pasien terhadap dokter
dan rumah sakit.
Untuk menyusun strategi pengembangan sistem
kredensial yang dapat memberikan jaminan
akuntabilitas, dibutuhkan informasi tentang kondisi
yang ada saat ini. Oleh karena itu, suatu proses
penggalian kebutuhan dilaksanakan di empat rumah
sakit Indonesia menjawab rumusan masalah berikut:
1) Bagaimana proses kredensial dokter yang ada di
lapangan saat ini?, 2) Bagaimana harapan atas
sistem kredensial dokter di rumah sakit di masa
mendatang?
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Untuk menjawab rumusan masalah di atas,
suatu studi kualitatif dengan diskusi kelompok
terfokus (Focus Group Discussion – FGD)
dilaksanakan di empat rumah sakit di Indonesia.
Metode ini dipilih karena diharapkan dapat
memberikan informasi naratif yang diperkaya dengan
interaksi antar partisipan.12,13
Sesuai dengan prinsip studi kualitatif yang
mementingkan maximum diversity,12 rumah sakit
yang dipilih memiliki karakteristik yang berbeda-
beda. Rumah Sakit 1 (RS1) adalah rumah sakit
pemerintah tipe A. Rumah Sakit 2 (RS2) adalah
rumah sakit swasta tipe B berbasis agama. Rumah
Sakit 3 (RS3) adalah rumah sakit khusus yang
melayani satu jenis spesialisasi, sedangkan Rumah
Sakit 4 (RS4) adalah rumah sakit khusus yang
membutuhkan layanan terpadu multispesialisasi.
Keempat rumah sakit berlokasi di ibukota provinsi
di Pulau Jawa dan berperan sebagai rumah sakit
pendidikan. Rumah Sakit 2 (RS2) hanya menjadi
pusat pendidikan keperawatan saja, bukan
kedokteran.
Setiap FGD dilaksanakan dalam forum
pertemuan Komite Medis di tiap-tiap rumah sakit
142 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...
dan tiap FGD dihadiri oleh 10-20 partisipan yang
terdiri dari dokter dan pihak manajemen rumah sakit.
Focus Group Discussion (FGD) ini dilaksanakan
selama satu jam, dipimpin oleh seorang moderator
dan didampingi oleh seorang sekretaris. Partisipan
melakukan diskusi atas beberapa pertanyaan yang
dilemparkan oleh moderator. Pertanyaan disusun
oleh para penulis, dimodifikasi sesuai kondisi rumah
sakit, serta direvisi berdasarkan hasil FGD rumah
sakit sebelumnya, tanpa mengubah topik-topik
utama (Tabel 1).
Tabel 1. Daftar Pertanyaan Focus Group Discussion
dokter dengan kualifikasi tertentu serta untuk
menjamin keselamatan pasien.
Persepsi bahwa proses kredensial adalah
proses penerimaan karyawan melandasi bagaimana
prosedur kredensial saat ini. Dokter kandidat yang
dikredensial diminta menyerahkan lamaran dan
dokumen penyerta seperti ijazah, transkrip
akademis, dan surat rekomendasi. Selanjutnya
kandidat akan menjalani wawancara serta beberapa
tes tambahan seperti tes kesehatan dan tes
psikologi. Pelaksana kredensial bisa Tim Kredensial
Komite Medis, panitia kredensial atau kelompok
sejenis yang ditunjuk Direksi. Proses ini bervariasi
di keempat rumah sakit dan terdapat perbedaan
pelaksana dan tes yang diterapkan. Namun ide
dasarnya sama yaitu seleksi karyawan. Prinsipnya,
proses kredensial yang ada saat ini mencoba
memotret pengetahuan, sikap, karakter,
keterampilan, dan profesionalisme kandidat.
Hasil proses kredensial adalah rekomendasi
kepada Direksi tentang kelayakan dokter.
Berdasarkan rekomendasi ini, Direksi akan
mengeluarkan Surat Keputusan pengangkatan
kandidat sebagai dokter karyawan. Pada kasus saat
kandidat melamar sebagai dokter tamu, maka yang
bersangkutan mendapat surat ijin merawat di rumah
sakit.
Partisipan FGD berpendapat bahwa proses ini
belum ideal, karena sering kali ditemukan false
positive. Dokter yang di awal nampak “baik-baik
saja”, seiring dengan berjalannya waktu mulai
menunjukkan sikap-sikap yang bermasalah. Rumah
sakit kesulitan untuk memutuskan hubungan kerja
dokter yang telah berstatus karyawan tetap karena
dibatasi oleh UU Tenaga Kerja atau karena rasa
segan (ewuh pakewuh – bahasa Jawa) antar kolega.
Partisipan FGD melihat masalah ini timbul karena
proses kredensial saat ini hanya memotret kandidat
pada satu titik waktu.
Harapan Sistem Kredensial di Masa Datang
Partisipan keempat FGD sepakat bahwa suatu
sistem kredensial yang baik akan menjamin kualitas
layanan rumah sakit terhadap pasien. Partisipan juga
sepakat bahwa proses kredensial belum ideal.
Harapan partisipan tercermin dari kebutuhan yang
tercetus dalam FGD, yaitu kebutuhan proses
monitoring, hubungan baik tim kredensial dengan
pihak manajemen, standardisasi aturan dan
instrumen kredensial, serta kebutuhan tim
kredensial yang ideal. Selain itu, partisipan juga
menggarisbawahi bahwa hubungan baik antar kolega
sangat penting untuk dijaga.
1 Hal-hal apa yang menurut pengalaman sejawat telah Anda ketahui tentang proses kredensial selama menjalankan profesi?
2 Bagaimanakah proses kredensial yang seharusnya menurut pendapat sejawat?
3 Bagaimana pendapat sejawat tentang proses
kredensial di Rumah Sakit Anda a. Apakah telah cukup ideal? b. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai? c. Hal-hal yang bisa dikembangkan?
Tidak semua FGD direkam secara elektronik karena
tidak semua partisipan berkenan. Seluruh FGD
dituangkan dalam notulensi terperinci. Notulensi FGD
dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip analisis data
kualitatif.14 Analisis dilakukan oleh tiap-tiap penulis,
kemudian didiskusikan sampai kesepakatan
tercapai. Pada akhir FGD atau pada pertemuan
berikutnya, hasil analisis FGD dipresentasikan
kepada partisipan. Partisipan diberi kesempatan
bertanya dan melakukan klarifikasi. Prosedur yang
disebut member checking ini bertujuan meyakinkan
bahwa interpretasi penulis sesuai dengan informasi
yang disampaikan oleh partisipan. Pada studi
kualitatif, prosedur ini bermanfaat untuk
meningkatkan kualitas studi.12
Sebelum FGD dilaksanakan, para partisipan
diberi informasi bahwa hasil FGD akan
dipublikasikan untuk kepentingan advokasi
pengembangan sistem kredensial di Indonesia, dan
diminta persetujuan. Nama partisipan dirahasiakan.
Partisipan memahami bahwa FGD ini dilakukan
bukan sebagai studi ilmiah, namun sebagai
penggalian kebutuhan untuk pengembangan proses
kredensial di rumah sakit masing-masing.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses Kredensial Saat Ini
Pada keempat FGD, persepsi dominan adalah
bahwa kredensial identik dengan proses penerimaan
dokter sebagai karyawan rumah sakit. Beberapa
partisipan memiliki pendapat lain, bahwa tujuan
proses kredensial dokter adalah untuk mencari
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 143
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Kebutuhan monitoring lahir dari keterbatasan
proses kredensial yang hanya memotret kandidat
pada satu titik waktu. Salah satu usul adalah
diterapkannya periode uji coba bagi kandidat. Dalam
periode ini kompetensi kandidat diobservasi dan
disupervisi saat bekerja di lapangan. Usul lain adalah
pemanfaatan data rekam medis sebagai bahan
evaluasi track record dokter di rumah sakit. Salah
seorang partisipan FGD RS3 mengusulkan proses
rekredensial. Kewenangan klinis tidak diberikan
seumur hidup, namun disesuaikan dengan
kompetensi dan kondisi fisik dokter.
Kebutuhan hubungan baik tim kredensial dengan
pihak manajemen muncul sebagai salah satu
harapan perbaikan sistem kredensial. Pada FGD di
RS1 dan RS2, hubungan baik ini tercermin salah
satunya dalam bentuk umpan-balik atas
rekomendasi Tim Kredensial kepada Direksi. Tim
Kredensial ingin tahu apakah dokter yang
direkomendasikan pada akhirnya diterima di rumah
sakit atau tidak.“Kita hanya melakukan pertemuan pertamadengan calon karyawan, tetapi kita tidakmendapat evaluasinya.” [dr X, RS2]
Partisipan melihat umpan-balik sebagai salah
satu motivasi bagi anggota tim kredensial, supaya
proses ini tidak dipersepsi sebagai formalitas belaka.
Partisipan juga mengharapkan kewenangan lebih
untuk memutuskan diterima atau tidaknya seorang
dokter, sebagai bentuk kepercayaan Direksi. Focus
Group Discussion (FGD) RS3 melihat hubungan baik
dapat dibangun melalui kesepakatan wewenang dan
kedudukan tim kredensial dalam rumah sakit.
Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen
kredensial merupakan usaha untuk mengurangi
subjektivitas kolega pada proses kredensial. Aturan
dan instrumen dikembangkan sesuai kebutuhan lokal
rumah sakit, dan divalidasi oleh komite medis. Pada
FGD di RS1, seorang partisipan yang menyebutkan
bahwa proses kredensial menghasilkan kewenangan
klinis. Panitia kredensial membuat suatu kebijakan
atau petunjuk berdasarkan rekomendasi mitra
bestari. Tiap tahap proses kredensial diberi batas
waktu. Sanksi dapat diterapkan jika batas waktu
terlewati.
Selanjutnya, kebutuhan tim ideal untuk proses
kredensial digambarkan sebagai tim yang solid,
sungguh-sungguh bekerja, dan netral. Anggota tim
berasal dari komite medis maupun dokter tamu.
Mereka adalah orang-orang bijak dan berpengaruh
dari setiap spesialisasi. Partisipan juga berharap
supaya budaya segan (ewuh pakewuh – bahasa
Jawa) tidak menghambat proses kredensial.
“Kalau ada hubungan senioritas, hubungankerja, atau sering menggantikan praktik,kayaknya kurang pas....” [dr Y, RS2]
Terakhir, FGD juga menunjukkan bahwa sistem
kredensial seharusnya tidak menjadi sumber konflik
antar dokter, misalnya karena perebutan lahan antar
spesialisasi. Proses kredensial diharapkan dapat
menjaga hubungan baik antar sejawat. Kompetisi
yang muncul diharapkan bersifat positif, yaitu untuk
meningkatkan mutu dokter. Proses kredensial dapat
menjadi sarana untuk legitimasi kompetensi seorang
dokter yang telah memiliki kewenangan klinis. Selain
itu, peserta FGD RS1 juga berharap agar kredensial
tidak kontradiktif dengan proses yang dilakukan oleh
kolegium.
Tabel 2. Rangkuman Topik Hasil Analisis FGD
Empat Rumah Sakit
1 Proses kredensial saat ini
1.1. Tujuan a. Penerimaan karyawan b. Keselamatan pasien
1.2 Prosedur
Melalui dokumen aplikasi, wawancara, tes untuk memotret pengetahuan, sikap, karakter, keterampilan, dan profesionalisme
1.3 Pelaksana Tim/panitia kredensial 1.4 Keluaran kredensial Rekomendasi kepada Direksi , diikuti SK
penerimaan karyawan Proses kredensial saat ini dianggap tidak ideal
karena banyak false positive
2 Harapan sistem kredensial masa datang
2.1. Kebutuhan monitoring a. Periode uji coba b. Analisis track record dokter melalui data rekam
medis c. Proses rekredensial 2.2 Kebutuhan hubungan baik dengan pihak
manajemen
a. Umpan balik manajemen atas rekomendasi dari tim kredensial
b. Kesepakatan atas kewenangan dan
kedudukan tim kredensial di rumah sakit 2.3 Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen a. Mengurangi subyektivitas b. Kebijakan atau petunjuk dibuat oleh mitra
bestari 2.4 Kebutuhan tim ideal a. Anggota Komite Medis atau dokter tamu b. Bijak, berpengaruh, netral
c. Menghindari budaya ewuh pakewuh 2.5 Kebutuhan hubungan baik antar sejawat
PEMBAHASAN
Tujuan utama pembentukan komite medis
adalah menjaga profesionalisme para tenaga medis
di sebuah rumah sakit. Dengan dijaminnya
profesionalisme tenaga medis maka keselamatan
dan harkat martabat pasien di rumah sakit akan
144 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...
senantiasa terjaga dengan baik. Dua komponen
utama profesionalisme kedokteran yang harus
senantiasa dijaga rumah sakit adalah masalah
perilaku (conduct) dan kompetensi tenaga medis.15,16
Rumah sakit berkewajiban menjaga kedua
komponen utama profesionalisme kedokteran
tersebut melalui komite medis, bahkan memiliki
tanggung jawab hukum atas akibat tidak
diterapkannya profesionalisme (non-delegable duty).
Sayangnya, komite medis pada kebanyakan
rumah sakit di Indonesia belum melaksanakan tugas
untuk menjaga kedua komponen utama
profesionalisme tenaga medis dengan baik. Komite
medis masih dipersepsikan sebagai kelompok yang
berfungsi untuk menjaga kepentingan (ekonomis)
para dokter di rumah sakit.11 Fungsi kredensial,
peningkatan mutu profesi, dan penjagaan disiplin
profesi belum terlaksana dengan baik karena konsep
profesionalisme belum diimplementasikan oleh
komite medis.
Upaya utama untuk melindungi keselamatan
pasien adalah rumah sakit menjamin kompetensi
setiap dokter yang melakukan tindakan medis melalui
mekanisme kredensial. Dengan kurang berfungsinya
komite medis, tentu ingin diketahui hal apa sajakah
yang dapat menghambat proses kredensial yang
baik di rumah sakit. Penelitian ini telah menunjukkan
bahwa proses kredensial belum seperti yang
diharapkan karena adanya mispersepsi dari para
dokter. Namun demikian, perbaikan terhadap proses
kredensial di rumah sakit sangat memungkinkan
dilakukan karena para dokter masih memiliki
kebutuhan untuk perbaikan dan telah memiliki
pemikiran yang sejalan dengan elemen-elemen
proses kredensial yang ideal.
Mispersepsi Dokter tentang Konsep Kredensial
dan Kebutuhan Masa Mendatang di Indonesia
Dalam penelitian ini nampak bahwa akar
mispersepsi proses kredensial adalah tumpang-
tindih proses kredensial dengan proses penerimaan
karyawan. Persepsi dominan ini melandasi seluruh
proses kredensial yang ada saat ini. Selama ini,
kredensial bukan menjadi prosedur untuk menjamin
profesionalisme dokter, tetapi berperan sebagai
bagian proses seleksi karyawan rumah sakit.
Studi ini juga menunjukkan bahwa dokter
berpendapat bahwa proses kredensial yang ada
sekarang belum ideal. Untuk menjawab kebutuhan
Indonesia, kami merekomendasikan suatu model
yang: (1) menjawab tujuan keselamatan pasien, (2)
sesuai dengan konsep profesionalisme, (3) telah
dicoba di berbagai negara dengan hasil yang baik.1
Model kredensial ini bertumpu pada tiga proses
inti. Pertama, praktisi medis melakukan aplikasi
clinical pivilege dengan metode self assessment.
Kedua, mitra bestari mengkaji dan memberikan
persetujuan aplikasi berdasarkan buku putih (white
paper) yang memuat syarat seorang dokter
melakukan tindakan medis tertentu. Ketiga, rumah
sakit menerbitkan clinical appointment berdasarkan
rekomendasi dari mitra bestari. Secara periodik,
dokter akan melalui proses rekredensial, di mana
tiga proses inti tersebut akan berulang. Selain itu,
jika seorang dokter dianggap akan membahayakan
keselamatan pasien, clinical privilegenya dapat
ditangguhkan (suspension of clinical privilege)
sebagian atau seluruhnya, sehingga dokter yang
bersangkutan tidak diperkenankan melakukan
tindakan medis di rumah sakit tersebut.8
Mungkin saja ada pendapat yang
mempertanyakan kewenangan rumah sakit dalam
mengatur dokter dalam melakukan tindakan medis
di rumah sakit tersebut. Dokter yang memiliki surat
tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) memang berwenang untuk
melakukan tindakan medis di wilayah Indonesia
sesuai dengan ijazah spesialisnya yang diterbitkan
oleh kolegium. Namun demikian, KKI dan Kolegium
tidak dapat digugat atau dituntut oleh pihak pasien
bila ternyata seorang dokter tidak kompeten
melakukan tindakan medis tertentu, sehingga
menimbulkan kecederaan. Selain dokter tersebut,
rumah sakit juga bertanggung jawab terhadap dokter
yang tidak kompeten (non-delegable duty). Rumah
sakit berkewajiban melindungi pasien dari dokter
yang tidak kompeten dengan menerapkan
mekanisme kredensial. Konsep kredensial rumah
sakit model ini (delineation of clinical privileges)
diikuti di dunia internasional dalam akreditasi rumah
sakit oleh Joint Commission International (JCI). 17
Model kredensial ini dapat dilihat pada Gambar
1, sementara Tabel 3 membandingkan mispersepsi
dan rekomendasi model.
Model kredensial di atas banyak diterapkan di
berbagai negara karena merupakan bentuk klasik
konsep professionalisme yang didasarkan pada
kontrak sosial.18 Konsep kontrak sosial ini berawal
dari daratan Eropa sekitar lebih dari 150 tahun yang
lalu, dan tetap bertahan hingga saat ini yang di
banyak negara dituangkan dalam bentuk Undang-
Undang Praktik Kedokteran (medical practice act).
Dalam kontrak sosial tersebut, kelompok profesi
dokter terikat untuk memproteksi masyarakat
dengan melakukan penapisan (kredensial) terhadap
dokter yang akan menjalankan praktik dalam
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 145
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
masyarakat. Sebaliknya, kelompok profesi dokter
memperoleh hak istimewa (privilege) untuk
melakukan praktik kedokteran dengan mekanisme
perizinan. Perizinan ini dilaksanakan oleh suatu
lembaga yang dibentuk oleh UU (statutory body)
yang biasanya disebut sebagai medical council atau
medical board.19 Mereka yang tidak mempunyai izin
praktik dilarang melakukan praktik kedokteran
dengan ancaman pidana. Dokter yang telah memiliki
izin praktik (clinical privilege) akan menikmati
manfaat ekonomis dalam bentuk honorarium dari
pasien. Namun demikian, bila dokter itu melakukan
pelanggaran standar profesi (professional
misconduct) maka izin praktik tersebut dapat
ditangguhkan (suspension of clinical privilege) agar
masyarakat terhindar dari praktisi medis yang tidak
profesional. 19
Model kredensial di atas sangat dimungkinkan
untuk diterapkan pada berbagai rumah sakit di
Indonesia. Pada awalnya profesi medis Indonesia
memang belum mengenal konsep profesionalisme
dengan model kontrak sosial karena pemerintahan
Kolonial Belanda tidak memperkenalkan hal tersebut
di Hindia Belanda pada masa lampau. 20 Namun saat
ini, dasar utama untuk menerapkan model kredensial
tersebut telah terdapat di Indonesia karena konsep
profesionalisme dengan model kontrak sosial di atas
telah mulai diterapkan di dunia kedokteran Indonesia
sejak tahun 2004.21,22 Penerapan konsep
profesionalisme dengan model kontrak sosial saat
di Indonesia ini telah dilakukan oleh KKI dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.20, 21, 22, 23
Adanya Pemikiran Dokter yang Sejalan dengan
Elemen-Elemen Sistem Kredensial yang Ideal
Walaupun ada mispersepsi atas proses
kredensial, studi ini juga menunjukkan bahwa
harapan para dokter sebenarnya sejalan dengan
elemen-elemen sistem kredensial yang
direkomendasikan oleh penulis seperti terangkum
dalam Tabel 4.
Gambar 1. Tiga proses inti kredensial
Tabel 3. Mispersepsi Sistem Kredensial dan
Rekomendasi Masa Depan
Mispersepsi Rekomendasi
Tujuan Seleksi karyawan Keselamatan Pasien
Prosedur Telaah dokumen aplikasi, wawancara,
dan tes atas dokter pelamar
Self assessment atas clinical privilege dan
approval dari Mitra Bestari
Standar White Paper
Pelaksana Tim kredensial Mitra Bestari Keluaran SK penerimaan
karyawan Clinical Appointment
146 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...
Tabel 4. Sistem Kredensial: Harapan dan Bentuk Ideal
Mekanisme Kredensial2. Wachter RM. Understanding Patient Safety.
McGraw Hills, USA, 2008.
3. WHO. World Alliance For Patient Safety.
Forward Programme 2008-2009. World Health
Organization, Geneva, 2008.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety). Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Rumah Sakit No.
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang Peraturan
Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws).
Jakarta. 2005.
6. Localio AR, Lawthers AG, Brennan TA, Laird
NM, Hebert LE, Peterson LM, et al. Relation
Between Malpractice Claims and Adverse
Events Due to Negligence. Results of the Harvard
Medical Practice Study III. N Engl J Med.
1991;25(Juli):245-51.
7. Leape LL, Brennan TA, Laird N, Lawthers AG,
Localio AR, Barnes BA, et al. The Nature of
Adverse Events in Hospitalized Patients.
Results of the Harvard Medical Practice Study
II. N Engl J Med. 1991;7:324(6)Feb:377-84.
8. Herkutanto. Credential and Clinical Privileges,
The Way to Patient Safety. Presentasi pada
Kongres Nasional PERSI, Jakarta, 2008.
9. O’Connor, ME, Commitee on Hospital Care.
Medical Staff Appointment and Delineation of
Pediatric Privileges in Hospitals. Pediatrics,
2002; 110:414-8.
10. Valenza JA, George LA, O’Neil PN. A Model for
Clinical Credentialing of Dental School Faculty,
Journal of Dental Education, 2005; 69:8.
11. Herkutanto. Profil Komite Medis di Indonesia
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kinerjanya dalam Menjamin Keselamatan
Pasien. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 2009; 2(1) Maret: 41-7.
12. Berg BL. Qualitative Research Methods for the
Social Sciences. Pearson Education, Boston,
2004.
13. Wong LP. Focus Group Discussion: A Tool for
Health and Medical Research. Singapore Med J,
2008;49(3):256.
14. Lacey A, Luff D. Qualitative Research Analysis.
Trent RDSU, Sheffield, 2007.
15. Browne K, Freeling P. The Doctor-Patient
Relationship. E&S Livingstone Ltd., Edinburgh,
1967.
16. Tahka V. The Patient Doctor Relationship. ADIS
Health Science Press, Sydney, 1984.
Harapan dokter Bentuk Ideal
Kebutuhan monitoring Proses rekredensial dan
audit medis Kebutuhan hubungan baik
dengan pihak manajemen
Clinical Appointment dan
Clinical Privilege
Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen
Clinical Privilege Forms, White Papers
Kebutuhan tim ideal Mitra Bestari
Dengan demikian, perbaikan terhadap proses
kredensial di rumah sakit sangat memungkinkan
dilakukan karena para dokter masih memiliki
kebutuhan untuk perbaikan dan telah memiliki
pemikiran yang sejalan dengan elemen-elemen
proses kredensial yang ideal.
Keterbatasan Studi
Keterbatasan dalam studi ini adalah: 1) Keempat
rumah sakit ini berlokasi di ibu kota provinsi yang
berada di Pulau Jawa. Gambaran proses kredensial
di lokasi-lokasi lain, misalnya di rumah sakit
kabupaten atau di rumah sakit di luar Pulau Jawa
perlu digali.
Sebagai suatu studi kualitatif, temuan ini
menyumbang informasi untuk menyusun strategi
pengembangan sistem kredensial di Indonesia.
Untuk menguji penerapan model dengan konteks
layanan kesehatan di Indonesia, dibutuhkan suatu
studi eksperimental atau evaluasi lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Studi ini menunjukkan tiga hal utama yaitu : 1)
Proses kredensial dokter di rumah sakit Indonesia
sering dicampuradukkan dengan proses penerimaan
karyawan. 2) Pada dasarnya dokter memiliki
kebutuhan perbaikan sistem kredensial. 3) Harapan
Dokter selaras dengan model kredensial yang
mengarah kepada “delineation of clinical privilege”.
Model ini bertonggak pada proses segitiga kredensial
yang terdiri dari clinical privilege, white paper, dan peer
group, dengan keluaran berupa clinical appointment.
4) Sistem kredensial dokter di rumah sakit dengan
menggunakan model “delineation of clinical privilege”
sangat memungkinkan untuk diterapkan karena
berbagai elemen yang diperlukan telah terdapat dalam
profesi medis di Indonesia saat ini.
KEPUSTAKAAN
1. The Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organization. Credentialing,
Privileging, Competency, and Peer Review. Joint
Commission Resources, Illinois, 2003.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 147
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
17. Joint Commission International, Joint
Commission International Accreditation
Standards for Hospitals, 3rd Edition, USA, 2007.
18. Cruess RL, Cruess SR, Johnston SE.
Professionalism and Medicine’s Social
Contract. Journal of Bone and Joint Surgery,
2000;82A:1189.
19. The Royal College of Physicians. Doctors in
Society: Medical Professionalism in a Changing
World. The Royal College of Physicians,
2005;18.
20. Herkutanto, Protecting Patient’s Rights and
Safety: A Comparative Study of Recent
Regulatory Reforms in Indonesia and Victoria,
Master of Laws Thesis, La Trobe University,
Melbourne, 2006.
21. Herkutanto, Freckelton. I, Indonesian Health
Practitiones Regulation. Law in Context, Special
Edition: Regulating Health Practitioners, The
Federation Press, New South Wales, 2006; 23
(2): 229-42.
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Jakarta, 2004.
23. Konsil Kedokteran Indonesia, Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia.
Jakarta, 2007.
148 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...
UPAYA MENINGKATAN PENANGGULANGAN GAKI PADA ANAK SEKOLAH DI
DAERAH GONDOK ENDEMIK BERAT DI KOTA SURABAYA
EFFORT TO ASSET IODINE DEFICIENCY DISORDER AT PRIMARY SCHOOL CHILDREN
AT SURABAYA CITY
Oktarina1, Dwi Astuti Soekisno Putri2
1Pusat Penelitian Pengembangan Sistem Dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya2 Dinas Kesehatan Kota Surabaya
ABSTRACTBackground: Iodine deficiency disorder is one of four
malnutrition problems in Indonesia. Initial surveys at Primary
School children in East Java reveal the goiter prevalence is
high, the Total Goiter Rate (TGR) 22,9%. The recent study at
Surabaya City, has 16,93% of severely iodine-deficiency
villages, higher than normative value (less than 5%). Since
Surabaya is regarded as the second largest city after Jakarta,
the iodine-deficiency disorder have been considered major
problem. This need to be examined and analysed the
implementing programmed after all.
Method: The purpose of this study was a descriptive type,
done cross sectionally a carried out from Mei to July 2005. The
study was conducted to examine the effect of iodine-deficiency
disorder in 7 district area at 10 villages in Surabaya; Tambak
Oso Wliangun, Romokalisari (Benowo), Sidotopo Wetan,
Tambak Wedi (Kenjeran), Manyar Sabrangan (Mulyorejo),
Kedung Cowek (Bulak), Perak Utara, Nyamplungan (P.Cantikan),
Bubutan, and Bangkingan (Lakarsantri).
Result: The result show many faktor, such as social economic
factors from the society, the lack of iodine-deficiencies discrder
knowledge, low health staff motivation to run the program etc.
The middle term and short programme of iodine-deficiency,
planning, organizing, actuating and coordination at the Primary
Health Center (Puskesmas) should be taken soon.
Conclusion: The recommendation as follow promotive,
preventive, curative and rehabilitative strategy, by socialization,
advocation salty iodine and knowledge of goiter disease to
related cross sectoral department, as well as health staffs,
Primary Health Center staff, the society in severely iodine-
deficiency, nutrition and food awareness area. Provide overall
health services for iodine-deficiency disorder problems; diet
counseling, medical treatment, integrated management planning,
organizing and actualization. Coordinating and evaluating the
programme, improve the quality and professionalism in managing
the iodine-deficiency disorder problem especially in Primary
Health Center in Surabaya City.
Keywords: iodine-deficiency disorder problem, society and
health staff factors, management and control
ABSTRAKLatar Belakang: Kekurangan iodium disorder adalah salah
satu dari empat masalah gizi buruk di Indonesia. Survei awal di
Sekolah Dasar di Jawa Timur mengungkapkan prevalensi
gondok yang tinggi, angka gondok total (TGR) sebesar 22,9%.
Studi baru-baru ini di Kota Surabaya, memiliki berat 16,93%
dari kekurangan iodium-desa, lebih tinggi dari nilai normatif
(kurang dari 5%) karena Surabaya dianggap sebagai kota
terbesar kedua setelah Jakarta, gangguan kekurangan iodium
telah dianggap sebagai masalah besar. Ini perlu diteliti dan
dianalisis oleh pelaksana setelah semua diprogram.
Metode: Tujuan penelitian ini adalah jenis deskriptif, yang
dilakukan sebuah sectionally silang dilakukan dari Mei sampai
dengan Juli tahun 2005. Kajian ini dilakukan untuk memeriksa
efek dari gangguan kekurangan yodium di 7 daerah kabupaten
di 10 desa di Surabaya; Tambak Oso Wliangun, Romokalisari
(Benowo), Sidotopo Wetan, Tambak Wedi (Kenjeran), Manyar
Sabrangan (Mulyorejo), Kedung Cowek ( Bulak), Perak Utara,
Nyamplungan (P. Cantikan), Bubutan dan Bangkingan
(Lakarsantri).
Hasil: Hasil menunjukkan banyak faktor, seperti faktor-faktor
ekonomi sosial dari masyarakat, kekurangan-kekurangan
iodium disorder pengetahuan, rendah motivasi staf kesehatan
untuk menjalankan program menengah dan jangka pendek dari
program-kekurangan iodium, perencanaan, pengorganisasian,
actuating dan koordinasi di Pusat Kesehatan Primer
(Puskesmas) harus diambil segera.
Kesimpulan: Rekomendasi sebagai berikut promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif strategi, dengan sosialisasi, advokasi
asin yodium dan pengetahuan tentang penyakit gondok untuk
departemen lintas sektoral terkait, serta staf kesehatan, staf
Pusat Kesehatan Primer, masyarakat dalam kekurangan iodium
parah, kesadaran gizi dan makanan daerah. Memberikan
pelayanan kesehatan secara keseluruhan kelainan kekurangan
iodium-masalah, diet konseling, perawatan medis, perencanaan
pengelolaan terpadu, pengorganisasian dan aktualisasi.
Koordinasi dan mengevaluasi program, meningkatkan kualitas
dan profesionalisme dalam mengelola kekurangan iodium-
masalah gangguan terutama di Pusat Kesehatan Primer di Kota
Surabaya.
Kata kunci: defisiensi iodium-masalah gangguan, staf
kesehatan masyarakat dan faktor-faktor, pengelolaan dan
pengendalian
PENGANTAR
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
merupakan masalah utama kesehatan dan gizi di
Indonesia.1 Masalah gizi masyarakat ini masih
merupakan prioritas untuk ditanggulangi. Ada empat
masalah gizi kurang di Indonesia yaitu Kurang
Energi Protein (KEP), Anemia, Kekurangan Vitamin
A (KVA), dan GAKI. Di Indonesia, daerah endemik
berat (prevalensi gondok >30%) mencapai 7% di
seluruh kecamatan, daerah endemik sedang
(prevalensi gondok 20%-29%) mencapai 5% dan
daerah endemik ringan (prevalensi gondok 5%-
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 148 - 155
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 149
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
19,9%) mencapai 21%. Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI) terjadi pada daerah atau
lingkungan yang kekurangan iodium yaitu bila kondisi
tanah dan sumber air minum di wilayah tersebut
kekurangan iodium. Iodium adalah zat gizi
(micronutrient yang dibutuhkan tubuh manusia, yang
terdapat dalam makanan atau minuman dengan
kadar minimal 100-150 mikrogram/hari, diserap
kelenjar gondok dan diubah menjadi hormon T4.2
Gondok (simple goiter) dapat disebabkan karena
kekurangan iodium atau karena sebab lain yaitu
bertambahnya kebutuhan iodium pada masa
pertumbuhan, kehamilan, laktasi atau karena
pengaruh zat goitrogenik. Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium (GAKI) mengakibatkan
gangguan sintesa hormone thyroid yang
mempengaruhi metabolisme/sekresi hormone
thyroid yaitu L-thyroxine (T4) dan 3,5,3-triodo-
thyronine (T3). L-thyroxine (T4) dan 3,5,3-triodo-
thyronine (T3) berfungsi memacu proses
pertumbuhan sampai dewasa (20 tahun), memacu
proses metabolisme otak, otot, jantung, hati, ginjal
dan organ reproduksi.3
Data status iodium global yang dikumpulkan
oleh WHO dari 126 negara menunjukkan bahwa 54
(43%) negara masuk kategori kekurangan iodium.
Sebanyak 5 (4%) negara masuk kategori berlebihan
iodium yang berisiko iodium induced hyperthyroidism
(IIH) dan bahaya gangguan kesehatan lainnya.4
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iodium
sebagai kalium iodat yang ditambahkan dalam
garam kandungan tidak stabil. Iodium dalam garam
Indonesia menurun sebesar 20% dalam wadah
tertutup Low Density Poly Ethylene (LDPE) pada
kelembaban relatif 60% dan suhu 400C setelah satu
tahun. Untuk mendapatkan jaminan bahwa mutu
produk garam beriodium selalu memenuhi
persyaratan perlu dilakukan pemantauan secara
berkala baik terhadap kandungan iodium dalam
garam maupun pelaksanaan pengolahan garam
beriodium, serta meningkatkan sistem
pengawasannya.5
Hasil survei gondok pada anak sekolah di Kota
Surabaya yang dilaksanakan mulai tahun 1997
sampai dengan tahun 2002 semakin menunjukkan
peningkatan prevalensi Total Goiter Rate (TGR)
sampai 16,65%. Dari 163 kelurahan di seluruh Kota
Surabaya yang di survei didapat kelurahan dengan
endemik berat sebanyak 10 kelurahan (16,39%),
kelurahan dengan endemik sedang terdapat pada
18 kelurahan (29,51%), dan kelurahan dengan
endemik ringan terdapat pada 25 kelurahan
(40,96%).6
Upaya menurunkan prevalensi gondok adalah
dengan intensifikasi penanggulangan GAKI berupa
jangka pendek dengan pemberian kapsul iodium,
upaya jangka menengah berupa pemakaian garam
beriodium (fortifikasi) dan upaya jangka panjang
dengan meningkatkan konsumsi makanan beriodium
dan menghindari bahan goitrogenik, dengan jalan
memberikan lebih banyak pengetahuan berupa
penyuluhan yang lebih intensif dan terarah kepada
sasaran, sehingga diharapkan prevalensi gondok
menurun menjadi di bawah 5% di tahun 2010.6
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di
Sekolah Dasar Negeri Bubutan X dan Sekolah Dasar
Negeri Bubutan XII terdapat perbedaan yang cukup
bermakna pada prestasi belajar anak yang menderita
gondok dan tidak gondok7.
Pada Tabel 1 prestasi belajar responden yang
menderita gondok dengan prestasi belajar yang tidak
baik sebanyak 28 orang (63,6%), sedangkan yang
tidak gondok dengan prestasi belajar tidak baik
sebanyak 18 orang (62,1%).
Tabel 1. Distribusi Prestasi Belajar Responden yang
Menderita Gondok dan Tidak Gondok
di Sekolah Dasar Negeri Bubutan X dan
Sekolah Dasar Negeri XII, Tahun 2003
Untuk menurunkan angka prevalensi gondok
endemik anak sekolah di Kota Surabaya menjadi
kurang dari 5% perlu analisis program
penanggulangan GAKI yang telah dilaksanakan
pemerintah terutama yang berkaitan dengan
manajemen tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas
yang berhubungan langsung dengan masyarakat
dalam peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku
mereka terhadap garam beriodium yang merupakan
faktor potensial penyebab timbulnya penyakit gondok
pada anak sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
program penanggulangan GAKI anak sekolah dalam
peningkatkan upaya penanggulangan GAKI anak
sekolah di daerah gondok endemik berat di Kota
Surabaya. Tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk
menganalisis faktor provider (pelaksana gizi, bidan/
palpator, paramedis) yang meliputi pendidikan,
pengetahuan, keterampilan, motivasi, pelatihan,
imbalan, biaya, dan kepala Puskesmas atau dokter
Perstasi
Belajar
Tidak
Gondok n (%)
Gondok n
(%)
Total n
(%)
Tidak baik (rata-rata nilai < 7 ) Baik (rata-rata nilai >7 )
18 (62,1)
11 (37,9)
28 (63,6)
16 (36,4)
46 (63,0)
27 (37,0)
Total 29 (100) 44 (100) 73 (100)
150 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...
Puskesmas sebagai perencana, pelaksana, penilai,
Pengawas dan Pengendalian Program GAKI. Faktor
masyarakat yaitu anak Sekolah Dasar atau
Madrasyah Ibtidaiyah kelas V dan kelas VI dengan
status gizi anak, dan orang tua (ibu) dengan
penghasilannya, pemberian uang jajan, perilaku
(kebiasaan sarapan pagi), serta implementasi
Program GAKI di sekolah atau keterlibatan petugas
kesehatan di sekolah (riwayat mendapat kapsul
beriodium dari petugas kesehatan) yang menjadi
penyebab tingginya prevalensi GAKI anak sekolah
di Kota Surabaya.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik
dengan pendekatan cross sectional. Waktu
pelaksanaan penelitian bulan Mei sampai dengan
Juli 2005. Populasi sampel pada tujuh Puskesmas
di Kota Surabaya dengan kriteria daerah gondok
endemik berat, yaitu Puskesmas Lidah Kulon
(Lakarsantri), Gundih (Bubutan), Semeni (Benowo),
Mulyorejo, Sidotopo Wetan dan Kenjeran.
Pengambilan sampel secara multistage random
sampling. Sampel penelitian terdiri dari petugas
kesehatan 21 orang, yang masing-masing
Puskesmas diambil tiga orang yaitu Kepala
Puskesmas atau Dokter Puskesmas, Pelaksana
Gizi, dan Paramedis. Sampel kedua adalah anak
Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah dari kelas
V dan kelas VI sebanyak 100 orang yang menderita
gondok derajat 1a atau 1b dan 100 orang anak
sekolah yang tidak gondok yang berada di 10
kelurahan yang merupakan daerah gondok endemik
berat di Kota Surabaya. Sampel ketiga orang tua
(ibu) yang berasal dari anaknya yang menderita
gondok derajat 1a atau 1b 100 orang dan 100 orang
ibu dari anaknya yang tidak gondok yang berada di
10 kelurahan yang merupakan daerah gondok
endemik berat. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara terstruktur dan pengamatan dokumen.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Gondok di Daerah Gondok Endemik
Berat
Di Kota Surabaya sudah dilaksanakan Program
Penanggulangan GAKI sejak mulai Program
Pembangunan Jangka Panjang I sampai Program
Pembangunan Jangka Panjang II dan sampai sekarang.
Tetapi pada survei gondok yang dilaksanakan tahun
2002, ternyata prevalensi GAKI masih cukup tinggi
yaitu mencapai 16,93%. Pemeriksaan kelenjar gondok
yang dilakukan di sekolah dengan cara inspeksi dan
palpasi/perabaan dan didasarkan atas klasifikasi
sebagai berikut (Tabel 2).
Tahun 2002 dilakukan survei palpasi gondok di
Sekolah Dasar dengan hasil pada Tabel 3 daerah non-
endemik sebesar 13,11%, berasal dari 8 kelurahan
dari 5 kecamatan di Kota Surabaya, dengan rata-rata
TGR sebesar 10,37% (jumlah anak yang diperiksa
3803 anak). Pada daerah endemik ringan sebesar
39,34% berasal dari 24 kelurahan dari 18 kecamatan
di Kota Surabaya, rata-rata TGR sebesar 12,94%
(jumlah anak yang diperiksa 10.267 anak).
Tabel 2. Klasifikasi Gondok
Derajat Inspeksi Palpasi Keterangan
Grade 0
Grade 1a Grade 1b
Grade II
Grade III Grade IV
Tidak ada pembesaran
Tidak terlihat Tidak terlihat jelas (umumnya),baru. Dapat
dilihat bila posisi kepala tengadah Mudah dilihat, kepala posisi biasa.
Terlihat dari jarak jauh Tertentu. (> 6m). Struma yang amat besar (monstrous)
Tidak teraba, bila teraba
besarnya normal Teraba struma/ tidak lebih besar dari kelenjar thyroid nomal. Pembesaran: 2-4 kali lebih besar normal. Teraba struma
Ukuran normal sebesar ruas pertama ibu jari
Total Goiter Rate = 1a, 1b,II, III/ Jumlah yang diperiksa x 100%
Visible Goiter Rate = 1b, II, III/ Jumlah diperiksa x 100% Prevalensi (TGR) = 0 – 4 % : Tidak endemik 5 – 19 % : Endemik ringan 20 – 29% : Endemik sedang
> 30% : Endemik berat
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 151
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tabel 4 daerah endemik sedang di Kota
Surabaya sebanyak 29,50% berasal dari 18
kelurahan dari 15 kecamatan. rata-rata TGR sebesar
24,47% (jumlah anak yang diperiksa 7364 anak) dan
daerah endemik berat sebesar 16,93% berasal dari
10 kelurahan dari 7 kecamatan, dengan rata-rata
TGR sebesar 38,44% (lebih besar rata-rata daerah
gondok endemik berat di Jawa Timur).
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa daerah endemik
sedang dan berat di wilayah Kota Surabaya kumulatif
telah mencapai 46,43%, yang berarti bahwa hampir
separuh dari populasi anak sekolah di Kota
Surabaya telah mengalami kekurangan iodium, bila
terjadi terus-menerus dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan dampak negatif yang dapat
menurunkan kualitas sumber daya manusia,
terutama generasi muda dan akhirnya dapat
mengganggu proses pembangunan kesehatan di
Kota Surabaya.3
Dari hasil penelitian, sarana prasarana yang ada
di Puskesmas, ada 2 Puskesmas yang baik, 3
Puskesmas cukup, dan 2 Puskesmas kurang baik,
sehingga untuk meningkatkan kualitas penyuluhan,
dianjurkan memaksimalkan pelayanan pojok gizi di
Puskesmas, meningkatkan sarana prasarana (food
model dan iodine test), melengkapi prosedur tetap
(protap) diet yang lengkap, leaflet dan konseling
garam beriodium. Sarana prasarana Program GAKI
di Puskesmas kurang (28,66%), terutama ketiadaan
food model (42,68%), pojok gizi (28,64%) dan protap
diet dan leaflet tentang GAKI (14,52%).
1. Faktor Provider
Faktor yang menentukan petugas/provider untuk
melaksanakan suatu tindakan dipengaruhi oleh
pengetahuan dan keterampilan. Petugas/provider
akan lebih mudah berkomunikasi bila memiliki
pengetahuan yang cukup dan baik.8 Pengetahuan
Tabel 3. Hasil Survei Palpasi Gondok Anak Sekolah Dasar di Kota Surabaya
Daerah Non-endemik dan Endemik Ringan Tahun 2002
Daerah Non-endemik 13,1
Kecamatan Kelurahan TGR (%) Jumlah Anak Diperiksa
Manunggal Tandes Jambangan Krembangan Tambak Sari
Kwijenan Manunggal Buntaran Balong Sari Tubanan Margorejo Kemayoran
Pacar Kembang
0 0 0 0 0
2,78 3
4,59
164 288 223 629 381 937 701
480
Total X: 10,37 3803
Daerah Endemik
Ringan 39,34%
Jumlah Anak
Sekolah
Tenggilis Mejoyo Wonocolo Tegal Sari
Semampir
Gunung Anyar Karang Pilang Sambikerep
Krembangan Jambangan Simokerto
Pakal Wonokromo Wiyung
Gubeng Sawahan
Asem Rowo Tambak Sari Kenjeran
Kutosari Siwalan Kerto Keputran
Wonorejo Ampel Wonokromo Ujung
Runggut Menanggal W.Gunung Bringin
Sambikerep Mr.Krembangan Jambangan Sidodadi
Pakal Wonokromo Ngagel Rejo Jajar Tunggal
Airlangga Kupang Krajan Pakis
Greges Tambak Sari Tanah Kali Kedinding
5,08
5,2 6,64
8,77 6,9 9,88 11,81
7,33 9,7
10,24
17,96 12,21 12,5 13,44
13,95 14,93 16,57 14,95
15,16 17,89 19,88
19,67 19,91 19,96
748
711 301
251 203 334 237
623 536 498
373 393 341 387
301 221 492 361
231 548 664
244 417 852
Total X: 12,94 1027
152 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...
petugas kesehatan tentang Program GAKI yang
sedang dilaksanakan masih kurang baik sebanyak
(57,14%), sedangkan pengetahuan tentang
prevalensi GAKI di wilayahnya masih kurang
(64,27%). Kurangnya koordinasi lintas program
(42,62%). Untuk meningkatkan motivasi petugas
kesehatan sangat diperlukan komitmen pimpinan
dalam memecahkan masalah yang ada di
Puskesmas, melalui minilokakarya dan
pembentukan tim yang baik.9
Pada kegiatan minilokakarya membicarakan
GAKI jarang dilaksanakan (28,58%), kegiatan mini
lokakarya membicarakan GAKI dengan lintas sektor
tidak dilaksanakan (50%), pengetahuan yang benar
tentang perlakuan terhadap garam atau makanan
beriodium kurang (85,72%), pengetahuan distribusi
kapsul iodium pada ibu hamil kurang (14,29%).
Pada penelitian ini ditemukan masih ada kerja
sama yang kurang baik yaitu (21,42%), padahal
dalam pencapaian tujuan organisasi sangat
dibutuhkan kerja tim yang baik.10 Kerja sama, beban
kerja dan pemenuhan kebutuhan yang optimal ini
dapat mempengaruhi tingkat motivasi petugas/
provider dalam melaksanakan pekerjaannya.
Selain itu, masih ada sebagian petugas/provider
yang merasa pekerjaannya kurang sesuai (21,42%),
serta sebagian besar (57,14%) merasa pimpinan
mereka belum pernah memberikan penghargaan bila
mereka berprestasi, dan 50% petugas belum
mengikuti pelatihan.
Dalam survei pembesaran kelenjar tiroid
(gondok), World Health Organization (WHO)
merekomendasi agar dilakukan palpasi pada anak
sekolah. Pembesaran kelenjar tiroid pada anak usia
sekolah menandakan masih adanya kasus baru
kekurangan iodium di suatu masyarakat. Kendala
yang ditemukan dengan melakukan palpasi pada
anak sekolah adalah hampir semua pembesaran
kelenjar tiroid yang terdeteksi pada anak sekolah
hanya berukuran teraba (palpable), jadi belum
sampai terlihat (visible). Pengalaman tidak mudah
untuk menghindari inter-observer variation pada
palpasi khususnya pada pembesaran kelenjar tiroid
yang hanya teraba.11
Berdasarkan wawancara dengan petugas,
ternyata sebagian besar (78,57%) petugas
membutuhkan pelatihan palpasi gondok anak
sekolah yang lebih intensif dan (42,86%) petugas/
Tabel 4. Hasil Survei Palpasi Gondok Anak Sekolah di Kota Surabaya
Daerah Endemik Sedang dan Endemik Berat, Tahun 2002
Daerah Endemik Sedang: 29,50%
Kecamatan Kelurahan TGR (%) Jumlah Anak Sekolah
Gayungan Rungkut
Genteng Sukolilo
Mulyorejo Tambak Sari
Tegal Sari Gubeng Wonokromo
Bubutan Bulak
Dukuh Paris Simokerto Pakal
Asem Rowo
Menaggal Rungkut Kidul
Penjar Sari Embong Kaliasin Kapasari Medokan S Gebang Putih
Sutorejo Gading
Tegal Sari Barata Jaya Sawung Galing
Jepara Komplek. Kenjeran
Gunung Sari Simokerto Sumber Rejo
Asem Rowo
20,95 21,95
26,93 21,62 25,35 21,76 24,02
22,95 23,12
23,73 24,29 25
25,3 25,59
25,68 26,94 27,33
28,44
164 288
251 223 301 629 480
381 937
701 3803 748
711 203
623 536 334
498
Total X: 24,47 7364
Daerah Endemik Berat 16,93%
Jumlah Anak Sekolah
Benowo
Kenjeran
Mulyorejo Bulak P. Cantikan
Bubutan Lakarsantri
T.Oso Wilangon
Romo Kalisari Sido Topo Wetan
Tambak Wedi Manyar Sabrangan Kedung cowek Perak Utara Nyamplungan
Bubutan Bangkingan
30,34
40,01 31,89
31,89 32,02 33,84 35,1 42,37
48,34 57,3
234
160 698
698 253 263 245 177
151 225
Total X: 38,44 3176
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 153
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
provider yang tidak menerima imbalan. Salah satu
cara manajemen untuk meningkatkan perstasi kerja,
motivasi dan kepuasan kerja karyawan adalah
melalui kompensasi atau imbalan.12
Biaya merupakan faktor penting dalam
menunjang keberhasilan program. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa dana yang diterima
tidak sesuai dengan dana yang dibutuhkan. Biaya
atau dana yang dialokasikan untuk Program GAKI
tidak cukup atau kurang (55,0%) untuk pendataan,
distribusi kapsul iodium, palpasi gondok anak
sekolah dan monitoring garam beriodium.
Perencanaan Program GAKI sebagian besar 5
Puskesmas (71,42%) tidak mempunyai rencana
kerja tahunan Program GAKI antara lain dalam
penyediaan data khusus sasaran distribusi kapsul
iodium, sasaran palpasi gondok anak sekolah, jadwal
penyuluhan dan peta endemis gondok (28,66%),
penyediaan data prevalensi GAKI (42,68%), rencana
kerja tahunan (57,12%) dan microplanning (42,68%)
serta hanya 1 Puskesmas (14,52%) cukup dan ada
1 Puskesmas (14,52%) baik perencanaan
programnya. Perencanaan dalam organisasi sangat
penting karena dapat menunjang keberhasilan
program. Perencanaan yang baik dapat dicapai
dengan mempertimbangkan kondisi yang akan
datang dan kondisi saat perencanaan dibuat.8
Pada pelaksanaan Program GAKI ada 1
Puskesmas (14,28%) dengan nilai baik (>75%) dan
ada 2 Puskesmas (28.57%) pelaksanaan Program
GAKI dengan nilai cukup, serta ada 4 Puskesmas
(57,14%) dengan nilai kurang. Pelaksanaan Program
GAKI yang baik di butuhkan pembagian tugas yang
jelas siapa pemberi palayanan, pemberi penyuluhan
dan siapa yang melakukan pendataan/palpasi
gondok anak sekolah.
Pada penilaian, pengawasan dan pengendalian
Program GAKI ada 3 Puskesmas (42,86%) dengan
nilai baik dan yang mendapat nilai cukup ada 3
Puskesmas (42,62%) dan yang nilai kurang (14,52%)
1 Puskesmas. Penilaian, pengawasan dan
pengendalian Program GAKI di Puskesmas masih
kurang (57,14%) terutama pada umpan balik, baik
dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya maupun dari
Kepala Puskesmas (57,14%), kegiatan penilaian,
pengawasan dan pengendalian yang baik
memerlukan pelaporan yang lengkap dan rutin, ada
kejelasan target, ada pembinaan, pelatihan dan
supervisi program dan penilaian kinerja.
Pada pemberdayaan karyawan ada 1
Puskesmas (14,50%) yang mempunyai nilai baik
(>15), nilai cukup ada 2 Puskesmas (28,36%) dan
nilai kurang ada 4 Puskesmas (57,14%). Untuk
meningkatkan pelayanan Program GAKI, Puskesmas
sebaiknya melaksanakan kegiatan pemberdayaan
karyawan yang meliputi pendelegasian wewenang
Program Penanggulangan GAKI, pembinaan terhadap
pelaksana gizi, bidan dan paramedis untuk
memaksimalkan cakupan kegiatan Program GAKI
yang dampaknya dapat menurunkan prevalensi GAKI
di wilayah kerja Puskesmas. Pemberdayaan sumber
daya manusia di tingkat Puskesmas sangat penting
artinya untuk kualitas keberhasilan (efektivitas) suatu
program Puskesmas.12
2. Faktor Masyarakat
a. Anak Sekolah
Untuk status gizi anak sekolah dengan gondok
derajat 1a dan 1b yang bertubuh kurus (42,0%), dan
anak sekolah non gondok dengan bentuk tubuh
normal (46,0%). Pengetahuan anak sekolah dengan
gondok derajat 1 tentang garam beriodium juga
kurang (24,0%) dibandingkan dengan pengetahuan
anak sekolah non gondok (44,5%). Cakupan
distribusi kapsul iodium kepada anak sekolah juga
lebih banyak (14,5%) kepada anak sekolah non-
gondok dan anak sekolah dengan gondok derajat 1
tidak mendapat kapsul iodium (9%). Sehingga perlu
dicermati beberapa alasan anak sekolah tidak mau
kapsul iodium (muntah). Anak sekolah dengan
gondok derajat 1a dan 1b juga mendapat uang jajan
yang diterima kurang dari seribu rupiah (67,0%) dan
tidak pernah sarapan pagi (25,5%). Upaya untuk
meningkatkan pengetahuan tentang GAKI adalah
melalui guru sekolah masing-masing, sehingga perlu
kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan
pertemuan dengan guru sekolah secara rutin.
b. Orangtua (Ibu)
Pendidikan orang tua (ibu) dari anak sekolah
dengan gondok derajat 1 berpendidikan SD dan tidak
tamat SD/MI (36,0%). Tetapi kebanyakan ibu dari
daerah gondok endemik berat masih berpendidikan
rendah/ tamat SD/MI (45,0%). Orang tua (ibu) dari
anak sekolah non gondok lebih banyak bekerja
(25,0%), sehingga dapat menambah penghasilan
keluarga dan meningkatkan sosial ekonomi/
pendapatan keluarga. Penghasilan orang tua (ibu)
dari anak sekolah dengan gondok derajat 1
>Rp900.000,00 (32,5%). Pengetahuan tentang GAKI
yang diperoleh dari petugas kesehatan kurang
(45,5%), sebanyak (39,0%) ibu dari anak dengan
gondok derajat 1a dan1b tidak mengetahui akibat
kekurangan iodium pada kecerdasan anak, dan
orang tua (ibu) dari anak dengan gondok derajat 1a
dan 1b sebagian besar (48,5%) tidak mengetahui
perlakuan terhadap garam/ makanan yang dapat
mengurangi kadar iodium.
154 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Secara umum penyebab tingginya prevalensi
GAKI anak sekolah didaerah gondok endemik berat
adalah kurangnya sarana prasarana (food model dan
iodina test, konseling garam beriodium, pojok gizi,
protap diet, leaflet) di Puskesmas, pengetahuan
petugas tentang Program GAKI yang sedang
dilaksanakan, petugas tidak mengikuti pelatihan
tentang GAKI, kurangnya dana yang dibutuhkan
untuk distibusi kapsul iodium, palpasi gondok anak
sekolah dan monitoring garam beriodium, motivasi,
imbalan, pelaksana gizi, bidan dan paramedis
mengenai program penanggulangan GAKI,
manajemen program penaggulangan GAKI yang
masih kurang baik (perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, pengawasan dan pengendalian),
pemberdayaan karyawan yang masih kurang.
Pendidikan yang rendah dari masyarakat, sosial
ekonomi yang rendah, pengetahuan yang kurang
tentang akibat kekurangan iodium pada kecerdasan
anak sekolah, perlakuan terhadap makanan/ garam
beriodium yang salah, kurang terlibatnya petugas
kesehatan dalam memberikan penyuluhan kepada
masyarakat.
Upaya promotif dan preventif yaitu sosialisasi
dan advokasi (penyuluhan) Program Penanggulangan
GAKI yang lebih luas kepada masyarakat dengan
diseminasi informasi kepada seluruh jajaran
kesehatan dan tokoh masyarakat, Gerakan Sadar
Pangan dan Gizi, perilaku masyarakat dalam
pengertian bagaimana perlakuan yang benar
terhadap garam beriodium 85,72%, mengenal
kelainan akibat gondok sejak dini, berupaya untuk
meningkatkan gizi keluarga secara mandiri dan terus
berupaya untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan anak, keluarga dan lingkungan.
Strategi kuratif dan rehabilitatif yaitu
meningkatkan status gizi individu, keluarga dan
masyarakat dengan menurunkan prevalensi GAKI,
memberika, pelayanan kesehatan kepada individu,
keluarga dan masyarakat agar sadar bahwa
berkepanjangan dan menimbulkan efek misalnya
menurunnya kecerdasan pada anak, gangguan
pertumbuhan dan gangguan kesuburan,
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan di luar Puskesmas secara aktif
dengan meningkatkan keterpaduan lintas sektor dan
lintas program serta memberikan pelayanan yang
professional (dokter, pelaksana gizi, paramedis yang
sudah terlatih).
Memberikan pelayanan kesehatan untuk
masalah KEP dan GAKI secara menyeluruh yang
meliputi konseling diet, pengobatan medis,
penanganan masalah GAKI secara terpadu dengan
pembentukan tim leaning di Puskesmas dan
meningkatkan cara kerja tim (Team Work).
Saran
Bagi Dinas Kesehatan perlu disusun upaya
peningkatan penanggulangan GAKI di daerah gondok
endemik berat di Kota Surabaya berupa upaya
jangka pendek dengan meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan komitmen seluruh petugas
kesehatan dalam penyusunan rencana kerja (POA),
minilokarya, pelaksanaan kegiatan, pendistribusian
kapsul iodium, palpasi gondok anak sekolah,
penyediaan peta prevalensi gondok, perbaikan
metoda dan media penyuluhan pada sasaran.
Perlunya peningkatan kualitas petugas/provider
dengan memberi kesempatan melanjutkan
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi atau
mengikutsertakan dalam pelatihan pelatihan secara
berkala dan berkesinambungan, mengupayakan
adanya imbalan bagi petugas/ provider baik finansial
maupun nonfinansial untuk meningkatkan hasil kerja
(produktivitas), serta menyesuaikan beban kerja
petugas/provider sesuai kemampuannya agar dapat
meningkatkan motivasi petugas/provider.
Selain itu, kegiatan pendukung lain yang perlu
dilakukan adalah meningkatkan koordinasi lintas
program dalam manajemen penanggulangan GAKI
yang mencakup perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, pengawasan dan pengendalian Program
Penanggulangan GAKI yang lebih efektif dan efisien
dengan membentuk team learning (team base) di
Puskesmas, meningkatkan koordinasi lintas sektor
untuk memberikan informasi lebih luas tentang GAKI
kepada masyarakat dan sekolah serta upaya
penanggulangannya, serta perlu diadakan kerja sama
dengan Akademi Gizi Surabaya dalam rangka
pelatihan, palpasi gondok anak sekolah.
KEPUSTAKAAN
1. Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI. Masalah GAKI dan
Upaya Penanggulangannya. Makalah Rapat
Kerja Bupati/Walikota dalam Rangka
Desentralisasi Pelaksanaan Wajar Diknas 9
Tahun, Jakarta. 1999.
2. Tinker A, E Ransom. Healthymothers and
Healthy New Borns: The Vital Links, Save The
Children, Population Reverence Bureau. 2002.
3. Soegianto B. Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium, Akademi Gizi, Surabaya. 2002
4. Anderson MB. Takkouche I. Egli HE. Allen and
B. De Benoist. Current global Iodine Status and
Progress over the Last Decade towards the
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 155
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Elimination of Iodine Deficiency. IDD Newsletter,
2006;1:10-12.
5. Wisnu C. Penentuan Kadar Spesi Iodium dalam
Garam Beriodium yang Beredar di Pasar dan
Bahan Makanan Selama Pemasakan dengan
Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-
Pasangan Ion. Media Medika Indonesiana.
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang,2008; 43(01): 22-.8.
6. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Standard
Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Timur. 2002.
7. Munfarida S. Perbedaan Prestasi Belajar Anak
yang Menderita Gondok dan Tidak Gondok di
Daerah Endemik Berat. Akademi Gizi,
Surabaya. 2003.
8. Handoko TH. Manajemen, Yogyakarta. BPPE.
2000.
9. Supriyanto. Team Learning, Journal Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
2003.
10. Dolinsky A. Elderly Patients Satisfaction with
the Our Come of Their Health Care Complaints.
Health Care Manage Rev, 22 (2), 33-40. Aspen
Publiser Inc. 1997.
11. Kartono D, Muhilal, Sunarno RW, Atmarita.
Indikator Total Goiter Rate (TGR) Anak Sekolah
Sebagai Dasar Kebijakan Program GAKI di
Indonesia. Jurnal GAKI Indonesia. 2006;5:1-2:
28-34
12. Simamora H. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Bagian Penerbitan STIE YKPN,
Yogyakarta.2001.
156 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...
ANALISIS PENETAPAN PASAR SASARAN
RUMAH SAKIT STELLA MARIS MAKASSAR TAHUN 2008
ANALYSIS OF DETERMINING TARGET MARKET
OF STELLA MARIS HOSPITAL IN MAKASSAR 2008
Asiah Hamzah1, Darmawansyah1, Sukri Palutturi1, Petrus Romeo²1 Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar2 Alumni Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRACTBackgrounds: The increasing of quality competition in service
of hospital health, driving management of Stella Maris Hospital
in Makassar to design business strategy which can be cost
effective and improve the earnings. Strategy of target marketing
is one of the accurate alternatives because hospital will get
some benefit namely: 1) more efficient resource allocation 2)
can chosen the more interesting target, 3) more comprehending
of requirement and market desire 4) progressively narrow the
scope market served, and 5) progressively understand the
hospital to its market behavior.
Objectives: The aim of this research is to find out the hospital
market segment based on: the consumer characteristics, the
interest of market segment, and the profile of Stella Maris
Hospital in Makassar.
Methods: The research was carried out in the inpatient unit
of Stella Maris Hospital in Makassar. The data were obtained
by survey and questionnaire to 115 patients or patients’ family
in the inpatient unit of Stella Maris Hospital in Makassar from
April 15 to May 15, 2008.
Results: The result shows that based on customers’
characteristics, there were three market segments namely
segment I consisting of 30 people (26.09%); segment II
consisting of 25 people (21.74%); and segment III consisting
of 60 people (52.17%). Based on the interest of market segment,
segment III is determined as the target market by Stella Maris
Hospital in Makassar and labeled as health care maximize.
Based on the profile of Stella Maris Hospital in Makassar which
is viewed from potential market size, market compartment, the
number of closest competitors, substitution attendance,
geographical accessibility, and relationship between segment
with partner companies or insurance, segment III is determined
as the target market by Stella Maris Hospital in Makassar, and
labeled as health care maximize.
Conclusions: Viewed from the segment interest and the
profile of Stella Maris Hospital in Makassar, segment III which
labeled as health care maximize is determined as the target
market of Stella Maris Hospital in Makassar in 2008.
Keywords: target market, segmentation, hospital marketing
ABSTRAKLatar Belakang: Meningkatnya kompetisi kualitas dalam
pelayanan kesehatan rumah sakit, mendorong manajemen
Rumah Sakit Stella Maris Makassar untuk merancang strategi
bisnis yang dapat menghemat biaya dan meningkatkan
pendapatan. Strategi pemasaran bersasaran merupakan salah
satu alternatif yang tepat karena rumah sakit akan mendapatkan
beberapa manfaat yaitu: 1) alokasi sumber daya yang lebih
efisien 2) dapat memilih sasaran yang lebih menarik (atraktif),
3) lebih memahami kebutuhan dan keinginan pasar, 4) semakin
sempit scope pasar yang dilayani, dan 5) semakin paham
rumah sakit terhadap perilaku pasarnya.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pasar
sasaran rumah sakit berdasarkan karakteristik masyarakat
pengguna, segmen pasar yang terbentuk, dan profil Rumah
Sakit Stella Maris Makassar.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei dengan
menyebarkan kuesioner kepada 115 pasien/keluarga pasien
yang menggunakan jasa layanan kesehatan rawat inap di
Rumah Sakit Stella Maris Makassar sejak tanggal 15 April hingga
15 Mei tahun 2008.
Hasil: Berdasarkan karakteristik pengguna layanan jasa Rumah
Sakit Stella Maris Makassar, teridentifikasi tiga segmen pasar
dengan jumlah anggota masing-masing adalah: segmen I
sebanyak 30 orang (26,09%); segmen II sebanyak 25 orang
(21,74%); dan segmen III sebanyak 60 orang (52,17%).
Kemampuan dan ketersediaan sumber daya Rumah Sakit Stella
Maris Makassar (bangunan, SDM, keuangan, jenis pelayanan,
manajemen organisasi, sistem informasi, alat dan teknologi
kesehatan, serta sarana dan fasilitas) cukup menunjang
pelaksanaan strategi pemasaran bersasaran.
Kesimpulan: Berdasarkan daya tarik segmen dan profil Rumah
Sakit Stella Maris Makassar, maka segmen pengguna III yang
diberi label health care maximizer, ditetapkan sebagai pasar
sasaran Rumah Sakit Stella Maris Makassar tahun 2008.
Kata Kunci: pasar sasaran, segmentasi, pemasaran rumah sakit
PENGANTAR
Dewasa ini paradigma jasa pelayanan rumah
sakit telah mengalami perubahan mendasar dari
suatu sistem yang berpijak pada dasar kemanusiaan
menjadi sebuah lembaga usaha yang mempunyai
misi sosial.1 Perubahan ini menempatkan rumah
sakit pada posisi kontradiktif, pada satu sisi rumah
sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang terbaik dalam memenuhi fungsi
sosialnya, dan pada sisi lain rumah sakit harus
dikelola dengan menerapkan prinsip bisnis modern
guna mendapatkan keuntungan bagi keberlanjutan
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 156 - 161
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 157
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
pelayanannya. Oleh karena itu, rumah sakit perlu
melakukan strategi pemasaran bersasaran yaitu
rumah sakit mengidentifikasi segmen-segmen pasar
utama, membidik satu atau dua segmen itu, dan
mengembangkan produk serta program pemasaran
yang dirancang khusus bagi masing-masing
segmen. Dengan demikian, maka rumah sakit akan
mendapatkan beberapa manfaat yaitu: 1) alokasi
sumber daya lebih efisien, 2) rumah sakit dapat
memilih sasaran yang lebih menarik (atraktif), 3)
rumah sakit lebih memahami kebutuhan dan
keinginan pasar, dan 4) rumah sakit lebih memahami
situasi persaingan terutama dalam menghadapi
pesaing yang menawarkan produk yang sama
ataupun yang bersubstitusi secara dekat.2
Dewasa ini banyak rumah sakit yang telah
melaksanakan pemasaran sasaran. Rumah Sakit
Graha Medika Jakarta telah merancang organisasi
pemasaran untuk melayani kebutuhan sesuai
keinginan pasar yang terpilih yaitu golongan
menengah ke atas yang memiliki ciri sebagai berikut:
1) rata-rata berpendidikan cukup sehingga lebih kritis
dan selektif dalam menilai dan memilih pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan, 2) sedikit banyak
memiliki pengetahuan tentang kesehatan secara
umum, 3) lebih menghendaki mutu pelayanan jasa
medis, 4) memiliki kemampuan untuk membayar
pelayanan yang dibutuhkan dan diinginkannya.3
Demikian pula Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
telah menetapkan 115 instansi/perusahaan sebagai
salah satu pasar sasarannya, dan telah
menghasilkan peningkatan angka kunjungan pasien
yang signifikan dari sejumlah 1.881 kunjungan pada
tahun 2002 menjadi 2.173 kunjungan pada tahun
2004.4
Rumah Sakit Stella Maris Makassar merupakan
salah satu rumah sakit milik yayasan keagamaan
yang ada di Kota Makassar. Sebagaimana yang
terjadi pada rumah sakit swasta milik lembaga
keagamaan dan kemanusiaan lainnya di Indonesia,
Rumah Sakit Stella Maris pada saat ini tengah
mengalami perkembangan menarik, seiring dengan
berkurangnya sumbangan dana-dana kemanusiaan
(charity funds) yang sebelumnya menjadi sumber
tradisional pendanaan rumah sakit. Hingga saat ini
belum ada informasi tentang strategi pemasaran
yang dilakukan manajemen rumah sakit dalam
menghadapi tantangan perubahan lingkungan
bisnisnya, sehingga perlu dilakukan penelitian ini.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian
kuantitatif eksplanatif5 untuk mengidentifikasi
segmen pasar rumah sakit yang terbentuk, serta
menguji efektivitas dan daya tarik segmen pasar
guna menentukan pasar sasaran yang dapat digarap
sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan
sumber daya yang dimilikinya.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan,
terhitung sejak tanggal 15 April hingga 15 Mei 2008.
Populasi penelitian adalah semua konsumen
pengguna layanan jasa pelayanan kesehatan Rumah
Sakit Stella Maris Makassar. Sampel penelitian
adalah pasien rawat inap yang menggunakan jasa
pelayanan selama kurun waktu 15 April hingga 15
Mei 2008. Penentuan unit sampel menggunakan
metode nonprobability sampling dengan
pertimbangan bahwa pasien rawat inap mudah
dijumpai dan memiliki cukup waktu untuk mengisi
daftar pertanyaan. Penentuan sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik sampling jenuh dengan
kriteria responden sebagai berikut: 1) bersedia
menjadi responden, dan 2) dapat mengisi lembar
daftar pertanyaan penelitian. Jumlah sampel yang
berhasil dijaring sesuai kriteria tersebut adalah
sebanyak 115 responden.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui teknik penyebaran kuesioner
untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik
demografis, geografis, psikografis, perilaku, dan
kebutuhan, serta keinginan responden terhadap
pelayanan kesehatan rumah sakit. Data sekunder
dikumpulkan dari laporan dan dokumen rumah sakit,
serta instansi yang terkait dengan penelitian ini. Data
dimaksud di antaranya adalah profil rumah sakit,
jumlah kunjungan, jumlah penduduk, dan data lain
yang terkait dengan penelitian ini. Data yang
terkumpul, ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis klaster non-
hirarkhis berupa K-mean klaster dengan bantuan
perangkat lunak SPSS.5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Usia responden sebagian besar berada pada
rentang usia 24 sampai 39 tahun yaitu sejumlah 33
orang (28,7%) diikuti kelompok usia di bawah 12
tahun sebanyak 27 orang (23,5%), 12 sampai 23
tahun sebanyak 26 orang (22,6%), dan persentase
terkecil terdapat pada kelompok usia 40 - 55 tahun
dan di atas 55 tahun masing-masing sebanyak 15,7%
dan 9,6%. Sebagian besar responden (59,1%)
berjenis kelamin perempuan dan yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 40,9%. Tingkat
pendidikan responden, sebagian besar (39,1%)
berpendidikan SLTA, diikuti tingkat pendidikan SD
(25,2%), SLTP (13,9%), sarjana (13,9%), dan tidak
tamat SD sebanyak 7,8%. Pekerjaan responden
158 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...
umumnya adalah karyawan swasta yakni sebanyak
56,5%, diikuti PNS/TNI dan Polri sebanyak 17,4%,
petani/petambak/nelayan sebanyak 13,9%, buruh
sebanyak 7,8%, pensiunan sebanyak 2,6%, dan
pemilik perusahaan sebanyak 1,5%. Tingkat
pendapatan keluarga sebagian besar berada pada
kelompok pendapatan menengah ke bawah, yaitu
sebanyak 37,4% memiliki pendapatan antara
Rp500.000,00 - Rp1.000.000,00 diikuti tingkat
pendapatan di atas Rp1.000.000,00 - Rp2.000.000,00
sebanyak 26,1% dan di bawah Rp 500.000,00
sebanyak 20,9%. Responden yang berpendapatan
tinggi (> Rp2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 dan di
atas Rp3.000.000,00) hanya berjumlah 15,7%. Dilihat
dari lokasi tempat tinggal dan status tempat tinggal
responden umumnya merupakan masyarakat Kota
Makassar yaitu sebanyak 91,3% dan yang berasal
dari luar kota Makassar hanya sebanyak 8,7%.
Responden yang berasal dari luar kota Makassar
umumnya merupakan penduduk Kabupaten Gowa,
Takalar, dan Maminasata. Dari status tempat tinggal,
sebagian besar (58,3%) responden telah memiliki
rumah sendiri, tinggal di rumah keluarga sebanyak
26,1%, rumah kontrakan 13,9%, dan sebanyak
1,7% tinggal di rumah dinas.
Semua responden sangat termotivasi untuk
menggunakan jasa pelayanan Rumah Sakit Stella
Maris karena beberapa alasan sebagai berikut6:
pelayanannya baik dan cepat, letak rumah sakit
dekat dan strategis, kebersihan dan kenyamanan
ruangan dan lingkungan rumah sakit, memiliki
sarana dan fasilitas yang lengkap, memiliki tenaga
dokter ahli dan profesional, pelayanan paramedis
yang ramah dan profesional, menggunakan fasilitas
Askes, dan faktor lainnya seperti tarif yang sesuai
dan adanya keringanan dalam pola pembayaran jasa
pelayanan rumah sakit. Kedelapan faktor tersebut
mendapatkan penilaian baik oleh pasien dengan
kisaran antara 60,9% - 100%. Keyakinan responden
terhadap kemampuan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan prima, terlihat dari jawaban
responden yang menilai bahwa Rumah Sakit Stella
Maris Makassar merupakan salah satu rumah sakit
dengan kriteria baik. Rumah sakit yang baik memiliki
kriteria utama: fasilitasnya lengkap, memiliki tenaga
dokter dan perawat yang lengkap dan profesional,
tarifnya tidak mahal dan terjangkau, kebersihan dan
kenyamanan ruangan dan lingkungan rumah sakit,
dan prosedur penerimaan dan pelayanan yang cepat.
Jawaban responden atas jenis pertanyaan mengenai
kriteria rumah sakit yang baik tersebut, berkisar
antara 60,0% - 97,4%.
Citra utama Rumah Sakit Stella Maris Makassar
menurut responden adalah pelayanannya yang
profesional, serta kebersihan dan kerapihan ruangan
dan lingkungan rumah sakit. Sumber informasi
tentang Rumah Sakit Stella Maris dan pelayanannya
umumnya bersumber dari keluarga dan teman, serta
pengalaman pribadi responden karena sebelumnya
pernah mengunjungi anggota keluarga dan kerabat
yang dirawat di Rumah Sakit Stella Maris Makassar. 7
Penggunaan jasa pelayanan Rumah Sakit Stella
Maris dilakukan responden ketika menderita sakit
ringan, sedang dan sakit berat, masing-masing
dengan persentase: 44%; 88%; dan 100%. Selain
menggunakan pelayanan kesehatan di rumah sakit,
responden juga menggunakan jasa pelayanan dokter
praktik, Puskesmas, pengobatan alternatif maupun
pengobatan sendiri dengan membeli obat di apotek
atau toko obat yang terdekat. Umumnya responden
menggunakan jasa pelayanan Puskesmas dan
melakukan pengobatan sendiri pada saat menderita
sakit ringan dan sedang. Pada kondisi sakit berat,
umumnya responden (individu dan keluarga)
menggunakan jasa pelayanan rumah sakit.
Alasan berobat ke Rumah Sakit Stella Maris
Makassar, sebanyak 84,3% responden mengambil
keputusan atas ajakan keluarga dan 41,7% atas
ajakan teman. Pilihan atas kemauan sendiri dan
ajakan tetangga hanya sebanyak 3,5 dan 7,8 %.
Frekuensi pemanfaatan Rumah Sakit Stella Maris
oleh individu adalah: 1 sampai 2 kali sebanyak 40%;
3 sampai 4 kali sebanyak 31,3%; 5 sampai 6 kali
sebanyak 18,3%; dan lebih dar 6 kali sebanyak
10,4%. Keluarga responden adalah: 1 sampai 2 kali
sebanyak 26,1%; 3 sampai 4 kali sebanyak 31,3%;
5 sampai 6 kali sebanyak 20,0%; dan lebih dar 6
kali sebanyak 22,6%.
Untuk mengetahui jumlah dan keanggotaan
segmen pasar yang terbentuk, dilakukan analisis
klaster. Analisis klaster adalah berkenaan dengan
obyek-obyek yang memiliki kemiripan karakteristik.8
Obyek yang karakteristiknya berbeda secara
ekstrim dengan obyek yang lainnya tidak dapat
memberikan sumbangan terhadap kesamaan
(similarlity) sebagai dasar dalam melakukan
pengelompokan obyek. Obyek yang berbeda secara
ekstrim dengan obyek lainnya dinamakan dengan
outliers.3 Kehadiran outliers akan sangat
mengganggu hasil analisis data, sehingga harus
dikeluarkan dari analisis. Hasil uji statistik dan output
analisis klaster hirarkhis dalam bentuk diagram
dendogram menunjukkan bahwa dari 115 responden
penelitian, tidak ada satupun obyek/responden yang
karakteristiknya berbeda secara ekstrim dengan
responden lainnya. Artinya, dari 115 responden
penelitian ini tidak ada satu pun yang dikeluarkan
dari analisis.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 159
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan skedul aglomerasi, memperlihatkan
bahwa solusi tiga segmen merupakan yang terbaik
dan menghasilkan keanggotaan segmen sebagai
berikut:
a) Segmen I beranggotakan responden no: 1,
7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 18, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 32, 34, 36, 39, 53,
54, 58, 71, 87, 97, dan 104
b) Segmen II beranggotakan responden no:
17, 19, 33, 38, 47, 51, 52, 55, 56, 57, 76,
79, 80, 81, 82, 86, 94, 95, 96, 100, 103,
105, 106, 109, dan 112
c) Segmen III beranggotakan responden no:
2, 3, 4, 5, 6, 15, 16, 29, 30, 31, 35, 37, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 59, 70,
73, 74, 75, 78, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 98, 99, 101, 102, 107, 108, 110,
111, 113, 114, dan 115
Hasil analisis k-mean klaster juga mendapatkan
ukuran klaster sebagai berikut:5 segmen I sebanyak
30 orang, segmen II sebanyak 25 orang, dan segmen
III sebanyak 60 orang. Dilihat dari jumlah anggota
masing-masing segmen tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa ukuran relatif dari masing-masing
segmen yang terbentuk cukup besar, sehingga solusi
penetapan jumlah tiga segmen untuk segmentasi pasar
Rumah Sakit Stella Maris Makassar, sangat baik.
Hasil uji Anova memperlihatkan 31 karakteristik
yang nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05. Hal
ini berarti terdapat 31 karakter yang berbeda antara
segmen. Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Syam8 di Rumah Sakit Lasinrang Pinrang
yang hanya mengidentifikasi 21 karakter yang
signifikan berbeda antar masing-masing segmen.
Dalam analisis klaster, pengelompokan segmen
pasar rumah sakit didasarkan atas adanya
keserupaan karakteristik masyarakat pengguna.
Semakin serupa karakteristik anggota suatu
segmen, dan semakin berbeda karakteristik anggota
antar segmen maka dikatakan semakin baik proses
segmentasi tersebut. Hasil uji anova tersebut di atas
berarti pula bahwa segmentasi pasar pengguna jasa
pelayanan Rumah Sakit Stella Maris Makassar ke
dalam tiga segmen merupakan solusi yang terbaik.
Karakteristik dari masing-masing segmen,
memperlihatkan bahwa segmen I umumnya
merupakan masyarakat Kota Makassar yang berada
pada rentang usia 24 sampai 39 tahun. Berdasarkan
jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, status tempat
tinggal, pendapatan dan jumlah pengeluaran belanja
rumah tangga, maka status sosial anggota segmen
ini diduga merupakan kelompok masyarakat
menengah ke atas. Hal ini didukung pula dengan
besar pengeluaran untuk belanja kesehatan pribadi
dan keluarga yang lebih tinggi dibanding dengan
anggota segmen lainnya. Dengan tingkat pendapatan
rumah tangga yang besar, anggota kelompok ini
umumnya melakukan pembayaran jasa pelayanan
kesehatan secara tunai (out of pocket).4 Segmen I
umumnya mencari pelayanan kesehatan ke lembaga
penyaji layanan kesehatan baik pada saat sakit
ringan, sedang maupun sakit berat. Namun
pencarian layanan kesehatan ke rumah sakit tidak
terlalu giat. Jadi anggota segmen I merupakan
pengguna yang inertia. Faktor yang membuat
anggota kelompok I tertarik untuk menggunakan jasa
pelayanan Rumah Sakit Stella Maris adalah karena
pelayanannya yang cepat, dan faktor inilah yang
justru dinilai sebagai nilai unggul dari suatu rumah
sakit yang baik.9 Untuk memudahkan pengguna
dalam memanfaatkan jasa layanan, anggota
kelompok ini cenderung menginginkan adanya
kunjungan dokter ke rumah untuk melakukan
pemeriksaan secara berkala.
Segmen II umumnya adalah masyarakat Kota
Makassar yang berada pada rentang usia 40 - 55
tahun. Berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat
pendidikan, status tempat tinggal, pendapatan dan
jumlah pengeluaran belanja rumah tangga, maka
status sosial anggota segmen ini diduga merupakan
kelompok masyarakat menengah ke bawah.7 Hal ini
didukung pula dengan besar pengeluaran untuk belanja
kesehatan pribadi dan keluarga yang lebih kecil
dibanding dengan anggota segmen lainnya. Dengan
tingkat pendapatan rumah tangga yang relatif kecil,
anggota kelompok ini umumnya melakukan
pembayaran jasa pelayanan kesehatan dengan
Askeskin. Segmen II umumnya kurang mencari
pelayanan kesehatan ke lembaga penyaji layanan
kesehatan terutama pada saat sakit ringan dan
sedang. Mereka biasanya mencari pengobatan
alternatif tetapi ketika menderita sakit berat, mencari
pelayanan rumah sakit. Intensitas pemanfaatan rumah
sakit sangat rendah yaitu 1 - 2 kali dalam setahun.
Jadi anggota segmen II bukan merupakan pengguna
yang loyal.9 Faktor yang membuat anggota kelompok
II tertarik untuk menggunakan jasa pelayanan Rumah
Sakit Stella Maris karena pelayanannya yang cepat,
dan faktor inilah yang justru dinilai sebagai nilai unggul
dari suatu rumah sakit yang baik. Untuk memudahkan
pengguna dalam memanfaatkan jasa layanan,
anggota kelompok ini cenderung menginginkan rumah
sakit menyediakan sarana transportasi untuk antar
jemput pasien.9
Segmen III umumnya adalah masyarakat Kota
Makassar yang berada pada rentang usia 12 sampai
23 tahun. Anggota segmen ini sebagian merupakan
160 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...
orang yang sudah memiliki pekerjaan dan sebagian
lagi sedang berada dalam bangku pendidikan atau
masih dalam tanggungan orang tua. Berdasarkan
jenis pekerjaan/pekerjaan orang tua, tingkat
pendidikan, status tempat tinggal, pendapatan
(keluarga) dan jumlah pengeluaran belanja rumah
tangga, maka status sosial anggota segmen ini
diduga merupakan kelompok masyarakat
menengah.3 Walaupun pengeluaran untuk belanja
rumah tangga anggota segmen III sama dengan
segmen II, namun pengeluaran untuk belanja
kesehatan pribadi dan keluarga lebih besar
dibandingkan dengan segmen II. Dengan tingkat
pendapatan rumah tangga yang tidak terlalu besar,
anggota kelompok ini umumnya melakukan
pembayaran jasa pelayanan kesehatan dengan
jaminan dari perusahaan tempat pasien/orang tua
pasien bekerja.8 Segmen III umumnya mencari
pelayanan kesehatan ke lembaga penyaji layanan
kesehatan baik pada saat sakit ringan, sedang
maupun sakit berat. Ketika menderita sakit ringan
dan sedang mereka biasanya menggunakan jasa
layanan Puskesmas terdekat, sedangkan pada
kondisi sakit berat mereka mencari pelayanan rumah
sakit. Intensitas pemanfaatan rumah sakit baik oleh
anggota keluarga maupun oleh pribadi pasien, sangat
tinggi.6 Jadi anggota segmen III digolongkan sebagai
pengguna yang loyal. Faktor yang membuat anggota
kelompok III tertarik untuk menggunakan jasa
pelayanan Rumah Sakit Stella Maris adalah karena
pelayannya yang cepat, walaupun mereka
menempatkan kebersihan ruangan dan lingkungan
rumah sakit sebagai kriteria utama dari suatu rumah
sakit yang baik.6 Untuk memudahkan pengguna
dalam memanfaatkan jasa layanan, anggota
kelompok ini cenderung menginginkan rumah sakit
melakukan kunjungan ke rumah untuk mengadakan
pemeriksaan secara berkala.
Sebelum menentukan segmen pasar mana
yang akan dipilih sebagai pasar sasaran Rumah
Sakit Stella Maris, perlu dilakukan evaluasi terhadap
setiap segmen yang terbentuk.10 Evaluasi dilakukan
atas dasar kriteria sebagai berikut: 1) substansial,
2) dapat diukur, 3) dapat dijangkau, 4) dapat
dibedakan, dan 5) dapat dilayani. Berdasarkan hasil
analisis sebelumnya maka ukuran segmen pasar
Rumah Sakit Stella Maris diuraikan pada Tabel 1.
Dalam penelitian ini, pasar sasaran ditentukan
berdasarkan daya tarik segmen yang terbentuk dan
ketersediaan sumber daya Rumah Sakit Stella Maris.
Daya tarik segmen diukur dengan pendekatan:10
1) ukuran pasar, 2) intensitas persaingan, dan 3) akses
pasar, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.
Terlihat bahwa dari tujuh ukuran daya tarik
segmen, semuanya terindikasi baik dibanding
dengan segmen yang lainnya sehingga dapat
dikatakan bahwa segmen III efektif dan cukup baik
untuk dijadikan pasar sasaran Rumah Sakit Stella
Maris Makassar. Keputusan pemilihan segmen III
sebagai pasar sasaran utama, telah sesuai pula
dengan misi R u m a h S a k i t S t e l l a M a r i s
Makassar yaitu:11 1) Keberpihakan pada golongan
Daya Tarik Segmen Nilai Keterangan
Ukuran segmen 52,17% dari total pengguna layanan RSSM Baik
Ukuran pasar potensial (2007) 122.354 X 3,5 kunjungan/jiwa = 428.239 kunjungan per tahun
Baik
Pangsa pasar 56.428 : 428.239 X 100% = 13,18% Baik Jumlah competitor terdekat 8 (delapan) rumah sakit Baik Kehadiran substitusi Tidak ada Baik
Aksesibilitas geografis Letaknya strategis Baik Keterkaitan dengan perusahaan /asuransi mitra
Umumnya anggota segmen adalah pegawai swasta Baik
Tabel 2. Rangkuman Daya Tarik Segmen III (Health Care Maximizers)
Sumber: Data Primer Diolah
Kriteria Segmen I Segmen II Segmen III
Substansial 30 25 60
Dapat diukur Ya Ya Ya Dapat dijangkau Agak sulit (karakteristik
ambivalen)
Agak sulit (cenderung tidak
menggunakan jasa RSSM)
Ya
Dapat dibedakan Ya Ya Ya Dapat dilayani Agak sulit (cenderung
menghindari menggunakan jasa RS)
Agak sulit (program yang dibuat untuk
menarik segmen belum tentu efektif karena perilaku yg berbeda)
Ya
Keterangan Kurang efektif Kurang efektif Efektif
Tabel 1. Ukuran Segmen Pasar Rumah Sakit Stella Maris Makassar Tahun 2008
Sumber: Data Primer Diolah
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 161
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
masyarakat lemah (option for the poor), 2) Pelayanan
dengan mutu keperawatan prima (excelent service),
dan 3) Pelayanan kesehatan dengan standar
kedokteran yang mutakhir dan komprehensif (one
stop medical services). Profil segmen III yang telah
diuraikan terdahulu menunjukkan anggota segmen
ini umumnya adalah masyarakat Kota Makassar
yang berada pada rentang usia 12 - 23 tahun dengan
status sosial menengah ke bawah. Tingkat
pendapatan keluarga berkisar antara Rp 1.000.000,00
- Rp2.000.000,00 dengan pengeluaran untuk belanja
kesehatan keluarga berkisar antara Rp500.000,00 -
Rp750.000,00 per tahun. Pekerjaan pasien/keluarga
umumnya adalah karyawan swasta.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan karakteristik pengguna layanan
jasa Rumah Sakit Stella Maris Makassar,
teridentifikasi tiga segmen pasar dengan jumlah
anggota masing-masing segmen adalah: segmen
segmen I sebanyak 30 orang (26,09%); segmen II
sebanyak 25 orang (21,74%); dan segmen III
sebanyak 60 orang (52,17%). Pasar sasaran Rumah
Sakit Stella Maris Makassar ditinjau dari daya tarik
segmen dan profil Rumah Sakit Stella Maris adalah
segmen pengguna III yang diberi label health care
maximizer.
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan, Rumah Sakit Stella Maris Makassar,
perlu merancang strategi bauran pemasaran
bersasaran. Dalam konteks ini segmen pasar III yang
diberi label health care maximizer patut
pertimbangkan sebagai salah satu pasar sasaran
utama. Bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan
kesehatan Rumah Sakit Stella Maris Makassar, perlu
mengetahui profil lembaga penyaji layanan
kesehatan guna mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang
diharapkan dan bagi peneliti, diharapkan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi
bauran pemasaran Rumah Sakit Stella Maris
Makassar dengan menambahkan variabel positioning
dan Bauran pemasaran.
KEPUSTAKAAN
1. Kotler P. Kartajaya H, Huan HD, dan Liu S,
Rethinking Marketing, Sustainable Marketing
Enterprise di Asia. PT Indeks. Jakarta. 2004.
2. Setiadi JN, Perilaku Konsumen, Konsep dan
Implikasi untuk Strategi dan Penelitian
Pemasaran. Prenada Media. Jakarta. 2005.
3. Soebroto T, Soenarto S, dan Joh S, Evaluasi
Efektivitas di Rumah Sakit Panti Waluyo, Solo.
Sains Kesehatan, 2001;14 (1).
4. Mangopo SD, Kuntjoro T, dan Nusyirwan MS,
Strategi Pemasaran dan Perbaikan Mutu
Berdasarkan Analisis Kepuasan Karyawan
Instansi yang Bekerja Sama Dengan RS
Bethesda Yogyakarta. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, Diterbitkan Oleh Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas
Kedokteran UGM. Yogyakarta. 2005; 08(01)
Maret:11-8.
5. Simamora B, Analisis Multivariat Pemasaran.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
2003.
6. Foley RL, Kepuasan Pelanggan. Pengukuran
dan Penganalisisan dengan SPSS. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005.
7. Tigor HS, Achmad, Toto Suprapto, dan Emmy
KM, Bisnis Plan Rumah Sakit Stella Maris.
Makalah Seminar Tidak Dipublikasikan. 2008.
8. Zeithelm VA, and Bitner MJ, Services Marketing.
Integrating Costumer Focus across the Firm.
Second Edition. Irwin McGraw-Hill. 2000.
9. Kasali R. Membidik Pasar Indonesia,
Segmentasi, Targeting, Positioning. Cetakan
Keempat. Gramedia.Jakarta.2000.
10. Soejitno S, Ali Alkatiri dan Emil Ibrahim. Reformasi
Perumahsakitan di Indonesia. Bagian Penyusunan
Program dan Laporan Ditjen Pelayanan Medik
Depkes RI-WHO. Jakarta. 2000.
11. Anonimous, Laporan Kegiatan Tahun 2006
Rumah Sakit Stella Maris. Makassar, 2006.
12. Syam, Hasnah, Penetapan Pasar Sasaran
Rumah Sakit Umum Lasinrang Kabupaten
Pinrang. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar. 2006.
162 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB MELONJAKNYA ANGGARAN OBAT
PEMERINTAH KOTA BATAM SETELAH PEMBEBASAN
BIAYA RETRIBUSI PASIEN PUSKESMAS
ANALYSIS OF FACTORS CAUSING SHARP INCREASE OF
DRUG BUDGET AT BATAM MUNICIPALITY AFTER
THE EXEMPTION OF RETRIBUTION COST
OF HEALTH CENTER PATIENTS
Nurliyasman1, Rustamaji2, Sri Suryawati2
1Kantor Dinas Kesehatan Batam, Kepulauan Riau2Bagian Farmakologi Klinik, FK UGM, Yogyakarta
ABSTRACTBackground: Batam municipal government has implemented
the program of patient retribution cost exemption in all health
centers of Batam Municipality with no exception (includes the
haves and the have not) as long as they can show their
population identity card when they visit health canters.
Consequently health budget increases four times higher than
the previous fiscal year. This is interesting to study further in
order to find out the effectiveness or ineffectiveness of the
program implementation.
Objective: The study aimed to analyze the policy of retribution
exemption and increased drug expenditure budget.
Method: The study was retrospective observational using
both quantitative and qualitative data, analytical survey method
and cross sectional design. Quantitative data were obtained
with cluster sampling from documents of health centers such
as monthly report, number of visits of the patients, prescription
within three years (2005 – 2007) of samples of each year
were taken three months during peak visits to health centers
(June, July and August). Data obtained were tabulated and
analyzed using paired t-test at significance level 95%.
Qualitative data were obtained from in-depth interview with
related stakeholders.
Result: Retribution exemption program led to sharp increase
of visits to health centers to twice. There was no difference in
disease pattern before and after retribution exemption. The
result of paired t-test to prescription pattern showed difference
before and after retribution exemption. The Health Institution of
Batam succeeded to maintain good prescription pattern.
Conclusion : Caused sharp increase of drug budget after
retribution exemption in health centers was over anticipate of
drug procurement to forecast of visits health centre. The over
procurement can be anticipated by planning of drug
procurement the next years.
Keywords: health centers, retribution exemption, drug budget
ABSTRAKLatar belakang: Pemerintah Kota Batam telah menerapkan
program pembebasan biaya retribusi pasien di semua pusat
kesehatan masyarakat (Puskesmas) Kota Batam tanpa
pengecualian (termasuk yang kaya dan miskin) selama mereka
dapat menunjukkan kartu identitas penduduk mereka ketika
mereka kunjungi Puskesmas. Akibatnya anggaran kesehatan
dan juga kenaikan anggaran obat empat kali lebih tinggi
dibandingkan tahun fiskal sebelumnya. Hal ini menarik untuk
belajar lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi anggaran obat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan
pembebasan retribusi dan peningkatan anggaran obat.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasi
menggunakan teknik kuantitatif dan kualitatif, dengan rancangan
cross sectional study. Data kuantitatif diperoleh dari laporan
penyakit (LB1), laporan kunjungan (LB4), dan resep-resep di
Puskesmas pada tahun 2005, 2006, dan 2007. Sampling
secara cluster, masing-masing tahun diambil sampel resep
tiga bulan perkiraan terjadinya puncak jumlah kunjungan pasien
Puskesmas (Juni, Juli, Agustus). Data yang diperoleh ditabulasi,
selanjutnya dilakukan analisis kebermaknaan menggunakan uji-
t berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95%. Secara
kualitatif, dilakukan wawancara mendalam terhadap para
stakeholder yang terlibat untuk mencari penjelasan mengenai
data kuantitatif.
Hasil: Setelah program pembebasan retribusi ini dicanangkan
telah terjadi lonjakan jumlah kunjungan pasien sampai dua kali
dibandingkan dengan sebelumnya. Penelitian terhadap pola
penyakit menunjukkan tidak ada perbedaan antara sebelum
dan setelah pembebasan retribusi. Hasil analisis terhadap pola
peresepan relatif sama antara sebelum dan setelah
pembebasan retribusi (uji t berpasangan p < 0,05). Artinya,
Dinas Kesehatan Kota Batam berhasil mempertahankan pola
peresepan yang baik.
Kesimpulan: Faktor yang menyebabkan lonjakan anggaran
obat setelah pembebasan retribusi puskesmas adalah kelebihan
antisipasi belanja obat terhadap prediksi lonjakan jumlah
kunjungan. Kelebihan ini dapat diantisipasi dalam merencanakan
belanja obat di tahun-tahun yang akan datang.
Kata Kunci : Puskesmas, pembebasan retribusi pasien,
anggaran obat
PENGANTAR
Penerapan otonomi daerah mengamanatkan
pengalihan beberapa peran pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sebagai urusan wajib dan tugas
pembantuan, salah satunya adalah bidang
pelayanan kesehatan.1 Pemerintah Kota Batam
melaksanakan amanat tersebut dengan salah satu
programnya, yaitu pembebasan biaya retribusi
pasien Puskesmas bagi seluruh penduduk Kota
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 162 - 170
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 163
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Batam, tanpa kecuali, baik miskin maupun kaya
terhitung sejak 2 Januari 2007. Walikota Batam
sebagai Kepala Daerah mengeluarkan kebijakan
tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan
kepada semua masyarakatnya, terutama dalam hal
kesehatan. Dengan sendirinya, Dinas Kesehatan
sebagai pelaksana teknis harus melaksanakan
program ini dengan sebaik-baiknya, yang harus
didukung oleh semua Puskesmas yang merupakan
ujung tombak pelayanan kesehatan tingkat dasar
tempat dilaksanakannya program tersebut.
Kota Batam sampai tahun 2007 telah memiliki
Puskesmas sebanyak 11 buah (8 buah di daerah
mainland dan 3 buah di daerah hinterland) dari 12
kecamatan. Jumlah penduduk 724.315 jiwa tahun
2007, dan tahun 2006 sebanyak 713.960, serta tahun
2005 sebanyak 681.586 jiwa. Penduduk Kota Batam
kebanyakan kaum muda yang sebagian besar bekerja
di industri, di samping itu ada juga yang menjadi
pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, kerja di
sektor informal, dan lain-lainnya, serta pengangguran.2
Pembebasan biaya retribusi pasien di Puskesmas ini
diharapkan bisa membantu mereka yang tidak mampu.
Akibat pembebasan biaya retribusi ini terjadi
kenaikan jumlah anggaran obat sampai 4 kali dari
tahun sebelumnya. Jumlah anggaran obat tahun 2007
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Batam sebesar Rp6.550.443.044,
tahun 2006 sebesar Rp1.514.500.000,00 dan tahun
2005 sebesar Rp 1.394.223.220.2
Berdasarkan uraian di atas, perlu dianalisis
faktor apa yang mempengaruhi terjadinya lonjakan
anggaran obat tersebut. Apakah program
pembebasan retribusi ini akan mengubah pola
penyakit dan pola peresepan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kebijakan pembebasan retribusi terhadap kebutuhan
anggaran obat dan dampaknya terhadap sistem
pembiayaan kesehatan Kota Batam. Hasil penelitian
ini diharapkan bermanfaat bagi pembuat kebijakan
di Pemerintah Kota Batam untuk bahan
pertimbangan mencari bentuk sistem pembiayaan
kesehatan yang efektif dan efisien, sehingga
kebijakan tersebut bisa membantu masyarakat
miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
tidak terlalu membebani anggaran.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian observasional
retrospektif menggunakan metode survei dengan
rancangan penelitian cross sectional. Penelitian
dilakukan di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau
Subjek pada penelitian ini adalah Puskesmas,
sebagai tempat pelaksanaan pelayanan yang
dibebaskan retribusinya. Unit analisis penelitian ini
adalah data jumlah kunjungan, jumlah obat yang
diresepkan, dan jumlah anggaran yang dialokasikan
untuk obat.
Data yang dikumpulkan adalah jenis kuantitatif
dan kualitatif. Kemudian dibandingkan jumlah
kunjungan pasien, pola penyakit dan pola peresepan
sebelum dan setelah pembebasan retribusi. Sampel
diambil secara cluster pada 3 tahun terakhir (2005,
2006 dan 2007), masing-masing tahun diambil data
pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Untuk
mendukung hasil data kuantitatif juga dilakukan
pengumpulan data kualitatif dengan wawancara
mendalam terhadap stakeholder yang terlibat, yaitu
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Kepala
Gudang Farmasi Kota Batam, Kepala Seksi Farmasi
Makanan dan Minuman, Kepala Puskesmas,
Pengelola Obat Puskesmas, dan Gudang Farmasi.
Data yang diperoleh ditabulasi, kemudian dilihat
perbandingan sebelum dan setelah pembebasan.
Data kuantitatif dikumpulkan pada formulir kerja yang
sudah disiapkan, berpedoman kepada how to
investigate drug use in health facilities dari World
Health Organization (WHO).3 Kemudian direkap dan
selanjutnya diambil rata-rata 1 tahun dari masing-
masing indikator untuk semua sampel Puskesmas.
Selanjutnya diolah secara statistik menggunakan uji-
t berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95%
untuk melihat kebermaknaan data yang diperoleh.
Data kualitatif dari wawancara mendalam kemudian
dibuatkan matriksnya untuk mendapatkan
kesimpulan. Data kuantitatif dan kualitatif kemudian
ditriangulasi untuk memperkuat kesimpulan hasil
penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Alokasi Anggaran Obat pada APBD Kota
Batam
Persentase antara anggaran obat dengan
anggaran kesehatan pada tahun 2007 sebesar
18,6%, jauh lebih tinggi dari tahun 2005 dan
2006, yaitu perbandingan dengan dana
kesehatan hanya sebesar 6,9% dan 4,7%.
Sementara perbandingan antara dana
kesehatan dengan APBD pada tahun 2007
sebesar 4,7%, tahun 2006 sebesar 6,1% dan
tahun 2005 sebesar 5,7%. Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat pada Tabel 1.
164 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...
Dana kesehatan dengan APBD dari tahun
2005, 2006 dan 2007 tidak terlalu tinggi
perbedaannya. Alokasi anggaran kesehatan
dalam APBD Kota Batam mengalami penurunan
pada tahun 2007 dibanding dengan tahun 2006.
Begitu juga dengan alokasi anggaran obat pada
tahun 2006, terjadi penurunan dibandingkan
dengan tahun 2005. Grafik pada Gambar 1
memberikan gambaran tentang fluktuasi alokasi
anggaran obat, kesehatan dan APBD Kota
Batam tersebut.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa obat
mendapat prioritas pendanaan dari sektor
kesehatan. Perbandingan persentase anggaran
kesehatan terhadap APBD, pada tahun 2007
malah paling rendah. Artinya, dana kesehatan
tersedot untuk belanja obat.
2. Jumlah Kunjungan Pasien Puskesmas
Data yang diperoleh dari form laporan LB4
Puskesmas, menunjukkan adanya lonjakan
kunjungan pasien Puskesmas. Hal ini terjadi
pada semua Puskesmas, rata-rata 2 sampai 3
kali jumlah kunjungan pasien sebelum
diberlakukannya pembebasan retribusi. Hasil
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tahun Jenis
Anggaran 2005 2006 Kenaikan Anggaran
2007 Kenaikan Anggaran
Dana obat *) Rp 1.394.223. Rp 1.514.500 Rp 120.276 Rp 6.550.443 Rp 5.035.943 Dana kesehatan *) Rp 20.115.925 Rp 32.395.410 Rp 12.279.485 Rp 35.253.307 Rp 2.857.897 ABPD kota *) Rp 353.762.787 Rp 529.566.084 Rp 175.803.297 Rp 746.039.000 Rp 216.472.916 % Dana obat dengan kesehatan 6,9 4,7 18,6 % Dana kesehatan dengan APBD 5,7 6,1 4,7
Tabel 1. Perbandingan Anggaran Obat, Anggaran Kesehatan dan APBD Kota Batam
*) Angka dalam ribuan rupiah.
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Batam tahun 2005,2006 dan 2007
Gambar 1. Grafik Persentase Perbandingan Dana Obat dengan
Dana Kesehatan dan APBD Kota Batam
Tahun 2005, 2006 dan 2007
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 165
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil
penelitian terhadap 8 sampel Puskesmas dari
data jumlah rata-rata kunjungan pasien setiap
bulannya, ternyata setelah pembebasan
retribusi terjadi lonjakan jumlah kunjungan
pasien Puskesmas sebesar 124%. Sementara
sebelumnya kenaikan kunjungan pasien dari
tahun 2005 ke tahun 2006 hanya 10%.
Jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan
pasien total semua Puskesmas se-Kota Batam
(11 buah Puskesmas) berdasarkan laporan Dinas
Kesehatan Kota Batam, data yang diperoleh dari
hasil penelitian tidak begitu jauh berbeda yaitu
kenaikan jumlah kunjungan setelah pembebasan
retribusi sebesar 110%. Jadi dari data tersebut
terlihat bahwa setelah pembebasan retribusi
terjadi kenaikan jumlah kunjungan 2 kali dari
jumlah kunjungan sebelumnya. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat pada Tabel 3.
3. Pola Penyakit
Hasil penelitian terhadap pola penyakit
yang ditangani oleh Puskesmas dari form
laporan LB1, ternyata tidak ada mengalami
perubahan pola penyakit antara waktu sebelum
dan setelah pembebasan retribusi terhadap
pasien Puskesmas. Sebelum pembebasan
retribusi pola penyakitnya dengan urutan ISPA
yang paling banyak diikuti oleh penyakit gigi
dan mulut, penyakit kulit, diare, hipertensi,
penyakit lain saluran napas atas, dan
seterusnya. Urutan setelah pembebasan
retribusi juga seperti itu tetap ISPA pada urutan
tertinggi diikuti oleh penyakit lain seperti
penyakit gigi dan mulut, penyakit kulit, diare,
penyakit lain saluran pernapasan atas, hipertensi
dan seterusnya, Jadi pada prinsipnya tetap
sama pola penyakit sebelum dan setelah
pembebasan retribusi. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 terlihat bahwa urutan dari
yang besar ke yang kecil sama antara sebelum
dan setelah pembebasan retribusi. Jumlahnya
saja sedikit berbeda, seperti ISPA sedikit lebih
besar sebelum dari setelah pembebasan
retribusi, namun urutannya tetap sebagai
penyakit terbanyak kasusnya. Hal yang sama
juga terjadi pada penyakit gigi dan mulut, sedikit
Nomor Rata-rata jumlah pasien/bulan Persentase kenaikan
Puskesmas 2005 2006 2007 Sebelum Setelah
Puskesmas I 2610 2919 5313 12 % 82 % Puskesmas II 2521 2930 6695 16 % 129 % Puskesmas III * 1031 4359 * 323 % Puskesmas IV ** 1496 3185 ** 113 % Puskesmas V 1886 2047 2373 9 % 16 % Puskesmas VI 1687 1907 4738 13 % 149 % Puskesmas VII 1005 1119 2000 11 % 79 % Puskesmas VIII 2277 2182 4407 -4 % 102 %
Rata-Rata 1498 1954 4134 10 % 124 %
Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Kunjungan per Bulan Puskesmas Kota Batam
Sebelum dan Setelah Pembebasan Retribusi Tahun 2005, 2006 dan 2007
Catatan : * Data Puskesmas Sei Lekop tahun 2005 tidak ada, karena mulai beroperasi 2006
** Data Puskesmas Sei Pancur tahun 2005 tidak bisa diperoleh, berkas tidak ada lagi.
Jumlah kunjungan Persentase kenaikan Nomor Puskesmas
2005 2006 2007 Sebelum Setelah
Puskesmas I 15.916 33.870 69.344 113% 105% Puskesmas II 21.845 29.317 40.412 34% 38% Puskesmas III 5.525 19.267 34.913 249% 81% Puskesmas IV 14.809 43.097 191%
Puskesmas V 12.080 22.572 55.100 87% 144% Puskesmas VI 13.362 22.800 22.541 71% -1% Puskesmas VII 7.371 24.705 31.161 235% 26% Puskesmas VIII 29.103 14.390 26.213 -51% 82%
Puskesmas IX 11.705 13.702 22.066 17% 61% Puskesmas X 6.521 17.566 31.088 169% 77% Puskesmas XI 3.100 15.693 406%
Jumlah Total 123.428 216.098 391.628 Rata-rata 103% 110%
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Batam Tahun 2005,2006 dan 2007
Tabel 3. Jumlah Kunjungan 11 Puskesmas di Kota Batam
Tahun 2005, 2006 dan 2007
166 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...
lebih besar sebelum dibandingkan dengan
setelah pembebasan retribusi, tetapi urutannya
sama pada peringkat kedua terbanyak kasus
penyakit yang ditangani oleh Puskesmas.
Perbedaan baru terlihat pada penyakit yang
persentasenya kecil, ada sedikit perubahan
urutan, namun hal tersebut tidak begitu
berpengaruh, karena angka dan selisihnya pun
cukup kecil.
4. Pola Peresepan
Pola peresepaan tidak berubah karena
pembebasan retribusi Puskesmas. Jumlah obat
yang diberikan pada setiap pasien antara 3-4
jenis. Penggunaan obat esensial rata-rata
disetiap Puskesmas berkisar antara 85% - 87%,
tidak ada perbedaan antara sebelum dan setelah
pembebasan biaya retribusi pasien. Sedikit
perbedaan terdapat pada penggunaan obat
generik, obat dengan merk dagang dan obat
antibiotika yang selengkapnya dapat dilihat pada
uraian berikut.
a. Persentase Penggunaan Obat Generik
Per Pasien
Penggunaan obat generik semua
Puskesmas terlihat persentasenya tidak jauh
berbeda satu sama lain. Persentase
penggunaan obat generik sebelum sedikit lebih
tinggi dari setelah pembebasan retribusi. Berarti
ada kecenderungan pengurangan penggunaan
obat generik setelah pembebasan retribusi. Hal
ini disebabkan oleh terjadinya kecenderungan
peningkatan penggunaan obat dengan nama
dagang. Sebagai akibat dari anggaran obat
yang cukup besar, dalam pengadaan obat
apapun jenis obat yang diusulkan Puskesmas
dikabulkan, yang tujuannya supaya pelayanan
tidak terganggu. Data selengkapnya terdapat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Persentase Obat Generik
Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan
Retribusi Puskesmas
b. Persentase Penggunaan Obat dengan
Merek Dagang
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan terjadi peningkatan pemakaian
obat dengan nama dagang. Hal ini seiring
dengan menurunnya penggunaan obat generik
setelah pembebasan retribusi. Pemakaian obat
dengan nama dagang lebih banyak pada saat
pembebasan retribusi dibandingkan dengan
sebelumnya. Data selengkapnya terlihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Rata-Rata Persentase Obat Nama Dagang
Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan
Retribusi Puskesmas
Gambar 2. Grafik Persentase 20 Terbanyak Penyakit
yang Ditangani Puskesmas Kota Batam Sebelum dan
Setelah Pembebasan Retribusi
Nomor Puskesmas Sebelum Setelah
Puskesmas I 95,9% 95,3% Puskesmas II 96,6% 95,9% Puskesmas III 94,3% 94,4% Puskesmas IV 96,0% 94,8% Puskesmas V 95,5% 94,6% Puskesmas VI 97,0% 93,7% Puskesmas VII 95,7% 94,8%
Puskesmas VIII 97,0% 94,3%
Rata-rata 96,0% 94,7*%
* uji t berpasangan p < 0,05
c. Persentase Penggunaan Antibiotika
Pada Pasien Puskesmas
Pengolahan data persentase pemakaian
antibiotika pada penelitian ini yang diamati
bukan jumlah item antibiotika per lembar resep,
Nomor Puskesmas Sebelum Setelah
Puskesmas I 4,2% 4,7% Puskesmas II 3,4% 4,1%
Puskesmas III 5,7% 5,6% Puskesmas IV 4,0% 5,2% Puskesmas V 4,5% 5,4% Puskesmas VI 3,0% 5,3% Puskesmas VII 4,3% 5,0% Puskesmas VIII 3,1% 5,8%
Rata-rata 4,0% 5,1*%
* uji t berpasangan p < 0,05
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 167
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
tetapi ada atau tidaknya penggunaan antibiotika
dalam setiap resep. Ada diberi skor 1 dan tidak
diberi skor 0. Terjadi penurunan penggunaan
antibiotika pada waktu pelaksanaan
pembebasan retribusi. Data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata Persentase Obat Antibiotika
Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan
Retribusi Puskesmas
Angka-angka di atas membuktikan bahwa
dukungan pemerintah daerah terhadap kesehatan
belum maksimal. Seperti yang disampaikan oleh
Murti5 bahwa program-program kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat mendapat prioritas lebih
rendah dan karena itu sering dicoret. Rata-rata lebih
mengutamakan proyek pembangunan fisik yang
lebih terukur, mudah dilihat (konkrit) dan dapat
dirasakan dengan cepat, sedangkan program
kesehatan lebih abstrak. Jika dibandingkan dengan
situasi sebelum desentralisasi, dana kesehatan
berkisar antara 2,5% - 4% dan maksimum 7%.6
Berarti tidak jauh berbeda dalam pelaksanaan
dukungan pemerintah daerah terhadap program
kesehatan sebelum dan setelah otonomi daerah.
Lonjakan jumlah kunjungan pasien rata-rata
perbulan sebesar 124%. Jika dibandingkan dengan
laporan dari Dinas Kesehatan Kota Batam, jumlah
total kunjungan semua Puskesmas untuk satu tahun
terjadi kenaikan sebesar 110%, pada waktu
pembebasan retribusi. Jadi, dari angka tersebut di
atas kenaikan jumlah kunjungan pasien setelah
pembebasan retribusi adalah 2 kali dari jumlah
kunjungan sebelum pembebasan retribusi. Tidak
diketahui hal ini terjadi karena memang kualitas
pelayanannya yang bagus atau disebabkan karena
gratis, sehingga masyarakat banyak yang
mengunjungi Puskesmas. Masalah mutu pelayanan
Puskesmas yang tidak ditarik retribusinya,
sebagaimana sudah pernah diteliti sebelumnya oleh
Hartati7 menunjukkan bahwa memang mutu
Puskesmas jadi menurun.
Jenis dan bentuk pelayanan di Puskesmas
sama saja, baik sebelum maupun setelah
pelaksanaan program ini, begitu juga dengan jenis
obat-obatan yang digunakan sama saja. Hanya dari
jumlah kunjungan pasien saja yang meningkat,
karena sepertinya masyarakat dalam tahap mencoba
sesuatu yang baru, ingin merasakan pelayanan
Puskesmas yang tidak dipungut bayaran tersebut.
Setelah berjalan satu tahun, ternyata pada akhir
tahun sudah mulai terlihat penurunan dan pada tahun
kedua pelaksanaan, jumlah kunjungan kembali
normal seperti kondisi biasa, walaupun ada
peningkatan tetapi tidak banyak. Diperkirakan hal
ini wajar mungkin juga disebabkan oleh pertambahan
jumlah penduduk Kota Batam.
Perkiraan anggaran obat Dinas Kesehatan Kota
Batam tahun 2008 didasarkan pada data kunjungan
tahun 2005, 2006 dan 2007, yang dikorelasikan
dengan data besarnya anggaran obat pada tahun
yang sama, analisis dengan regresi didapatkan
persamaan sebagai berikut : Y = 20192X – 2E+09
Nomor Puskesmas Sebelum Setelah
Puskesmas I 54,3% 53,7%
Puskesmas II 60,7% 52,3% Puskesmas III 51,8% 45,8% Puskesmas IV 48,3% 49,3%
Puskesmas V 39,7% 26,4% Puskesmas VI 44,0% 31,0%
Puskesmas VII 49,7% 49,3% Puskesmas VIII 46,5% 46,3%
Rata-rata 49,4% 44,3*%
* uji t berpasangan p < 0,01
Persentase penggunaan antibiotika
sebelum lebih tinggi dari setelah pembebasan
retribusi, yang berarti terjadi penurunan
penggunaan antibiotika setelah pembebasan
retribusi. Hal ini membuktikan bahwa terjadi
penurunan kasus penyakit akibat infeksi setelah
pembebasan retribusi, dimana apabila dilihat
pola penyakit salah satunya kasus ISPA
memang terjadi penurunan persentase setelah
pembebasan retribusi.
Pembahasan
Anggaran obat setelah pembebasan retribusi
pasien melonjak sampai 4 kali anggaran
sebelumnya, dari anggaran total kesehatan
mencapai sebesar 18,6%. Alokasi yang jauh lebih
besar apabila dibandingkan dengan tahun 2005 yang
hanya sebesar 6,9% dan tahun 2006 sebesar 4,7%.
Apabila dilihat perbandingan antara anggaran total
kesehatan dengan ABPD tahun 2007 sebesar 4,7%,
tahun 2006 sebesar 6,1% dan tahun 2005 sebesar
5,7%, berarti terjadi penurunan persentase anggaran
kesehatan dalam APBD Kota Batam tahun 2007.
Hasil kesepakatan Bupati/Walikota se-Indonesia
tahun 2000, besarnya alokasi anggaran kesehatan
adalah sebesar 15% dari total dana APBD, tetapi
kenyataannya baru mencapai 9% pada tahun 2001
dan 3% - 4% tahun 2002.4 Berarti anggaran total
kesehatan Kota Batam masih jauh di bawah angka
kesepakatan tersebut. Namun, angka rata-rata yang
terjadi secara nyata di beberapa kabupaten/kota
lainnya di Indonesia sebesar 3% - 4%, di Kota Batam
tidak jauh beda yaitu 4,7%.
168 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...
(Gambar 2a). Dari persamaan tersebut, jika
diasumsikan jumlah kunjungan tahun 2008 naik 50%
dari tahun 2007 yaitu menjadi 588.000 pasien. Maka
besarnya anggaran obat tahun 2008 adalah
Rp9.872.896.000,00. Berarti sangat besar sekali
dana yang dibutuhkan untuk pengadaan obat. Hal
ini diakibatkan karena pada tahun 2007 terjadi
pengadaan yang terlalu banyak, mengakibatkan
melonjaknya anggaran obat sampai 4 kali dari
sebelumnya. Sehingga persamaan ini kurang tepat
dipakai untuk perkiraan dana tahun 2008, 2009 dan
seterusnya.
Sebagai koreksi, maka dilakukan simulasi
dengan asumsi dana pengadaan obat tahun 2007
sebesar Rp3.584.000.000,00. Angka tersebut
diperoleh dari perhitungan rata-rata biaya yang
dikeluarkan Pemerintah Kota Batam per pasien
tahun 2005 dan 2006, rata-rata biaya obat per
kunjungan Rp9.152. Maka tahun 2007, dana obat
yang diperlukan dengan jumlah kunjungan 391.628
pasien adalah 3,6 miliar rupiah. Analisis regresi dari
simulasi terhadap data jumlah kunjungan dengan
dana pengadaan obat diperoleh persamaan sebagai
berikut: Y = 8612,7 X + 7E+07 (Gambar 2b). Hasil
perkiraan kebutuhan anggaran obat tahun 2008 Kota
Batam butuh dana untuk pengadaan obat sebesar
Rp5.134.267.600,00 dengan asumsi jumlah
kunjungan meningkat 50% dari tahun sebelumnya,
yakni 588.000 pasien. Dengan demikian pada tahun
2007 terjadi kelebihan dana obat sebesar
Rp2.966.000.000,00 . Untuk itu dana riil yang
dibutuhkan untuk pengadaan obat tahun 2008 adalah
sebesar Rp2.168.267.600,00. Pengecekan terhadap
angka pengadaan obat Dinas Kesehatan Kota Batam
untuk tahun 2008 adalah sebesar 1,8 miliar rupiah.
Hasil perkiraan yang diperoleh, terjadi kekurangan
dana obat Dinas Kesehatan Kota Batam tahun 2008
sebesar Rp368.267.600,00 jika kunjungan naik 50%.
Pengalaman beberapa negara, seperti Central
African Republic, pusat kesehatan publik yang
mengelola sendiri dana obat dan pelayanan,
memiliki dana kembali lebih besar daripada yang
melakukan pembebasan. Pusat kesehatan publik
yang menerapkan sistem membayar, kualitas
pelayanannya juga meningkat. Di Thailand dengan
Village Drug Fund (VDF), suatu koperasi yang
menyediakan pelayanan kesehatan yang tidak
mahal dan menyediakan obat esensial dengan
kualitas bagus. Masyarakat 70% - 100% secara aktif
berpartisipasi dalam mendukung 50% pembiayaan
kesehatan. Negara Costa Rica dengan skema
asuransi The Costa Rica Social Security Fund
(CCSS), sebanyak 80% total belanja kesehatan
untuk pelayanan kuratif, preventif perorangan seperti
imunisasi, pelayanan rehabilitasi dan pendidikan
kesehatan. Eropa Timur dengan melaksanakan
pembebasan, timbul masalah, yaitu insentif yang
keliru, kekurangan bahan-bahan dan peralatan medis
dan duplikasi pelayanan antara klinik pelayanan
dasar dan rumah sakit. Inggris dengan National
Health Service (NHS), sebagian besar (85%) dibiayai
melalui anggaran pendapatan negara, dengan
pelayanan gratis.8 Jadi dari pengalaman beberapa
negara seperti yang diuraikan di atas, ada segi positif
dan negatif dari pembebasan terhadap biaya
pelayanan kesehatan. Kualitas dari pelayanan
kesehatan dengan pembebasan biaya tidak bisa
diharapkan sebagus pelayanan dengan ditarik biaya.
Sikap dan apresiasi para petugas Puskesmas
terhadap program pembebasan retribusi pun
beragam, tapi kebanyakan kurang puas. Penelitian
terdahulu oleh Elfian9, dengan melihat penerimaan
dokter dan perawat terhadap sistem pelayanan gratis
di Puskesmas Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Sikap dokter dan perawat pada pelayanan gratis
memberikan layanan kepada pasien tidak sepenuh
Gambar 2a. Grafik Forecasting Terhadap Jumlah
Kunjungan Pasien dengan Anggaran Obat
Gambar 2b. Simulasi Forecasting dengan
Anggaran Obat Sesuai Jumlah Kunjungan Pasien
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 169
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
hati, asal-asalan, sehingga akhirnya masyarakat
menilai pelayanan Puskesmas tidak bermutu. Hasil
penilitian yang telah dilakukan di Kota Batam
menunjukkan rata-rata Puskesmas tidak keberatan
dengan program pembebasan retribusi asal tidak
semua digratiskan, jika bisa dibatasi, terutama yang
memerlukan tindakan, sebaiknya harus bayar.
Akibatnya, Puskesmas lebih banyak merujuk pasien
ke rumah sakit, jika ada tindakan medis yang perlu
diberikan pada pasien. Petugas yang memberikan
pelayanan berharap supaya mendapatkan insentif
tambahan, karena sudah bekerja ekstra.
Pembebasan retribusi pada prinsipnya bisa
diteruskan, akan tetapi sebaiknya hanya diberikan
kepada masyarakat miskin saja, bagi yang kaya,
seharusnya diberikan tanggung jawab membayar,
dengan tarif tidak terlalu tinggi. Karena bagi
masyarakat miskin sangat membantu sekali, dengan
ketidakmampuannya untuk mengakses pelayanan
kesehatan, merasa terbantu dengan program
pembebasan retribusi ini. Keseimbangan dan
keadilan dalam pemberian subsidi kepada
masyarakat akan bisa tercapai, yaitu yang kaya
disubsidi dengan bayaran yang rendah dan
masyarakat miskin disubsidi dengan tidak
membayar.
Sebaran pola penyakit yang diteliti terhadap
laporan LB1 pada 8 buah Puskesmas menunjukkan
tidak ada perbedaan, baik dari jenis penyakit yang
muncul maupun dari segi jumlah dan urutan
persentase yang besar dan kecil, secara umum tidak
berubah. Sebaran pola penyakitnya tetap saja
didominasi oleh penyakit ISPA, rongga mulut, diare,
dan penyakit kulit. Hal ini barangkali disebabkan
karena Puskesmas hanya untuk pelayanan
kesehatan dasar, sehingga jenis penyakit yang
muncul pun tidak ada yang terlalu serius dan
mengkhawatirkan. Mungkin, apabila Puskesmas juga
melayani semua penyakit bisa saja akan terjadi
perubahan pola penyakit yang ditangani, apalagi
dengan tidak ditariknya retribusi kepada pasien. Tentu
saja akan terjadi perubahan dari fungsi Puskesmas
jika hal itu terjadi.
Tidak terjadinya perbedaan pola penyakit
sebelum dan setelah pembebasan retribusi. Berarti
Puskesmas dengan batasan layanannya sebagai
pelayanan kesehatan tingkat dasar, keragaman
penyakit yang ditangani tidak kompleks, sehingga
tidak membutuhkan dana yang besar untuk
menanganinya. Maka dengan diberlakukannya
pembebasan retribusi kepada pasien sebagai
subsidi pemerintah terhadap masyarakatnya,
apabila dikelola dan dimanajemen dengan baik, tidak
akan terlalu membebani anggaran.
Pola peresepan yang diteliti secara garis
besarnya tidak ada perubahan yang berarti antara
sebelum dengan setelah pembebasan retribusi.
Terjadi penurunan penggunaan obat generik, yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan pemakaian
obat dengan merk dagang pada saat
dilaksanakannya pembebasan retribusi.
Penggunaan obat antibiotika juga mengalami
penurunan, berarti para penulis resep meminimalkan
penulisan resep antibiotika jika tidak perlu yang
merupakan anjuran penggunaan obat yang rasional.
Pola peresepan yang relatif tetap ini, merupakan
suatu keberhasilan Dinas Kesehatan Kota Batam
dalam menerapkan pedoman pengobatan
dilingkungan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas. Kondisi seperti ini tentu saja hasil kerja
keras dari unit pembina dan pengayom Puskesmas
yaitu bidang pelayanan medik Dinas Kesehatan.
Program-program pelatihan yang diberikan kepada
penulis resep, maupun paramedis untuk
meresepkan dan menggunakan obat secara rasional.
Para kepala Puskesmas juga selalu memonitor
setiap aktifitas di lingkungannya, sehingga bisa
berjalan sesuai dengan ketentuan dari departemen
kesehatan, maupun Dinas Kesehatan. Dinas
Kesehatan setiap tahun selalu mengeluarkan surat
edaran untuk menggunakan obat secara rasional,
serta menganjurkan pemakaian obat generik di
fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan publik,
terutama Puskesmas.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam
menyampaikan bahwa sudah dilakukan evaluasi
terhadap program ini dan akan terus dilakukan
supaya program ini berjalan dengan baik serta lebih
efisien dan efektif dalam melayani masyarakat. Hasil
dari evaluasi menunjukkan ternyata pihak Dinas
Kesehatan mengusulkan untuk dicarikan bentuk
alternatif lain, seperti tidak semua gratis, perlu
dilakukan batasan-batasan bentuk pelayanan. Bagi
yang sudah memiliki jaminan dari pihak asuransi,
Jamsostek atau lainnya, tidak perlu digratiskan
mungkin bisa diklaim ke perusahaan yang
menanggung.
Langkah yang perlu diambil oleh Pemerintah
Kota Batam dalam pembiayaan kesehatan adalah
dengan membentuk suatu sistem kesehatan daerah.
Sistem itu akan mengatur mekanisme penyaluran
subsidi terhadap kelompok masyarakat miskin,
dengan tidak mengabaikan kelompok masyarakat
kaya. Sistem cost sharing mungkin salah satu
bentuk pembiayaan kesehatan yang bisa dicontoh
dan diterapkan.
170 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...
KESIMPULAN DAN SARAN
Terjadi peningkatan anggaran pembiayaan obat-
obatan sampai empat kali dari anggaran sebelumnya.
Pembebasan biaya retribusi pasien Puskesmas
mengakibatkan lonjakan jumlah kunjungan jadi dua
kali dari sebelum pembebasan.
Tidak terjadi perubahan pola penyakit pada
waktu pelaksanaan pembebasan biaya retribusi
Puskesmas, hanya jumlahnya saja yang meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah kunjungan
pasien, serta pola peresepen secara umum tidak
berubah.
Jadi penyebab melonjaknya anggaran obat
Pemerintah Kota Batam adalah antisipasi belanja
obat yang ternyata terlalu banyak dibandingkan
dengan melonjaknya jumlah kunjungan Puskesmas.
Hal ini bisa dimengerti karena lonjakan kunjungan
pasien akibat pembebasan retribusi memang agak
sulit diprediksi karena belum ada presedennya. Pada
tahun-tahun yang akan datang kelebihan belanja obat
ini bisa dikompensasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Pemerintah
Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota Batam,
Puskesmas se-Kota Batam, Gudang Farmasi Kota
Batam, Magister Manajemen dan Kebijakan Obat
atas semua fasilitas dan bantuannya sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-satu per satu dalam tulisan ini, yang
telah membantu atas terlaksananya penelitian dan
dalam penyelesaian tulisan naskah ini.
KEPUSTAKAAN
1. Dinas Kesehatan Kota Batam, Profil Kesehatan
Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau, Batam.
2006.
2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 1992.
3. World Health Organization, How to Investigate
Drug Use in Health Facilities, Department of
Essential Drugs and Medicines Policy,
Geneva.1999.
4. Rachmat HH. Pembangunan Kesehatan di
Indonesia Prinsip Dasar, Kebijakan, Perencanaan
dan Kajian Masa Depannya, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 2004.
5. Murti B. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.2000.
6. Trisnantoro L. Desentralisasi Kesehatan di
Indonesia dan Perubahan Fungsi Pemerintah
2001-2003, Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 2005.
7. Hartati, Mutu Pelayanan Puskesmas dengan
Pembebasan Tarif Retribusi di Kabupaten
Simalungun Propinsi Sumatera Utara, Tesis
Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 2007.
8. Suryawati S. Review of Cost-Sharing
Experiences in Financing Drugs in South-East
Asia, Health Economics and Drugs DAP Series
No.8. World Health Organisation, Geneva.1998.
9. Elfian, Penerimaan Dokter dan Perawat
terhadap Sistem Pelayanan Gratis di
Puskesmas Kabupaten Kampar, Tesis Program
Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.2007.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 171
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 171
Resensi
Judul : Strategic Management of Health Care Organizations
Penulis : Linda E. Swayne, W. Jack Duncan, Peter M. Ginter
Penerbit : Blackwell Publishing
Edisi : Kelima
Tidak ada yang kekal di dunia ini, segala
sesuatu terus berubah, termasuk sektor
pelayanan kesehatan. Beberapa perubahan
mendasar yang mengubah tampilan sektor pelayanan
kesehatan kita adalah kemajuan pesat di bidang
penelitian dan terapi gen, kemajuan bioengenering,
ekonomi, dan pemasaran kesehatan yang berujung
pada persaingan ketat dalam industri pelayanan
kesehatan. Tentunya berbagai kemajuan yang ada
tidak terlepas dari berbagai masalah yang masih
menghantui sistem pelayanan kesehatan, antara lain
masalah kuantitas dan kualitas tenaga profesional
kesehatan, masalah mutu layanan, masalah
keterbatasan akses, dan berbagai masalah
pembiayaan lainnya.
Berbagai perubahan lingkungan di atas harus
disikapi oleh pengelola pelayanan kesehatan dengan
sebuah strategi yang jelas. Untuk memenuhi
kebutuhan itulah kemudian buku ini disusun. Buku
ini dari awal membawa kita kepada sebuah upaya
berpikir strategis yang secara jelas memisahkan
antara strategic thinking, strategic planning, dan
bagaimana mengelola strategi (managing strategic
momentum). Ketiga konsep tersebut ditawarkan
sebagai elemen utama konseptual model yang baru
dari manajemen strategis, dan dipercaya lebih
mencerminkan realitas dalam pengembangan dan
pengelolaan strategi.
Secara umum model baru ini menggambarkan
manajemen strategis sebagai proses dari berpikir
strategis, mengembangkan pemikiran strategis ke
dalam rencana strategis, dan mengelola strategi
momentum. Melalui manajemen perencanaan
strategis, pemahaman dan perspektif baru muncul
dan proses berpikir strategis, perencanaan, dan
pengelolaan dimulai kembali. Untuk itu, seorang
manajer pelayanan kesehatan harus menjadi
seorang pemikir strategis dengan kemampuan untuk
menganalisis perubahan lingkungan, menganalisis
data, mengembangkan pertanyaan, dan
mengembangkan ide-ide baru. Kemampuan lain
yang harus dimiliki adalah mengembangkan dan
menyusun sebuah rencana aksi melalui sebuah
perencanaan strategis. Ketika sebuah strategi
berhasil dirumuskan langkah selanjutnya adalah
memelihara momentum strategis dari organisasi kita.
Terakhir manajer yang baik akan selalu bertanya
apakah strategi yang mereka kembangkan berjalan
efektif atau tidak, dan kemudian dilanjutkan dengan
mengembangkan pemikiran strategis lainnya.
Dari sudut pandang penulis, strategic control
adalah bagian integral dari mengelola momentum
strategis, sehingga dalam edisi ini konsep kontrol
atau monitoring dan evaluasi diintegrasikan ke dalam
Bab Strategy Development di bawah judul Managing
Strategic Momentum. Penulis berharap dengan
menggunakan pendekatan ini, akan lebih
mencerminkan bagaimana strategic control bekerja
dalam sebuah organisasi sebagai bagian dari
mengelola strategi, bukan sebagai sesuatu yang
dipikirkan terakhir atau pelengkap sebuah
perencanaan.
Pada bagian akhir edisi kelima ini ditampilkan
beberapa contoh kasus yang diperbaharui dan yang
benar-benar baru mengikuti model dan perspektif
baru yang disajikan sebelumnya. Beberapa kasus
baru yang dimunculkan adalah: The Health Care
Industry Note, Midwest Medical Group, dan Riverview
the HMA Facility. Dengan hanya membaca beberapa
kasus yang tersedia, kita bisa meningkatkan wawasan
kita tentang manajemen strategis. Kita akan
diperkenalkan kepada berbagai variasi organisasi
pelayanan kesehatan dan bagaimana pendekatan
mereka terhadap manajemen strategis, tentunya
semua ini memberikan tambahan pemahaman
tentang perencanaan strategis kepada kita.
Satu hal yang dipertahankan dalam edisi ini
adalah bagaimana melatih pembaca untuk
mengembangkan pemikiran logis yang objektif dan
analitik dengan tidak meninggalkan kemampuan
intuisi dalam mengidentifikasi isu-isu strategis. Pada
akhirnya, buku ini adalah sebuah peta atau kompas
yang memberikan kita arah ke mana kita akan
memulai perjalanan pribadi kita dalam mengarungi
lautan pemikiran strategis. Memang buku ini
bukanlah satu-satunya peta atau kompas yang
tersedia, tetapi tetap sangat layak untuk
dipertimbangkan sebagai referensi bagi para calon
pemikir strategis, dimanapun mereka bertugas.
Selamat membaca.
Pande Putu Januraga
Bagian AKK PSIKM FK Universitas Udayana Bali
[email protected] atau
172 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009
Korespondensi
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 172 - 173
Korespondensi
Email ditujukan ke [email protected]
M elalui korespondensi ini mohon kiranya
diperkenankan saya memberikan
tanggapan dan masukan perihal artikel I Made Ady
Wirawan yang berjudul Developing Framework for
Civil Aviation Occupational Health and Safety
System in Indonesia (Mengembangkan Kerangka
Konsep Sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Penerbangan Sipil Di Indonesia) yang dimuat pada
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 12/
No. 2/Juni/2009.
Masih tingginya jumlah kasus kecelakaan
pesawat udara (penerbangan sipil) di Indonesia
selama tiga tahun terakhir ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh penulis merupakan masalah
utama di sektor perhubungan khususnya
perhubungan udara yang memerlukan perhatian
serius bagi pihak otoritas yang berkompeten
termasuk manajemen maskapai penerbangan.
Meningkatnya kasus kecelakaan dan kerugiannya
serta meningkatnya potensi bahaya dalam aktivitas
kerja dibutuhkan pengelolaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) secara efektif, menyeluruh,
dan terintegrasi dalam manajemen perusahaan
melalui pendekatan SMK3.1 Pencegahan
kecelakaan merupakan tanggung jawab utama
manajemen dan upaya pencegahannya berbasis
pada manajemen melalui penerapan SMK3 yang
terintegrasi di dalam proses dan budaya bisnis.2
Pemerintah telah berupaya dalam pencegahan
kecelakaan pesawat udara melalui kebijakan yang
ditetapkan terkait dengan penerbangan (termasuk
keselamatan dan keamanannya) dengan berbagai
bentuk seperti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Permenhub, SK Dirjen Perhubungan
Udara, bahkan mengadopsi peraturan (standar
keselamatan) yang ditetapkan oleh badan
internasional (International Civil Aviation
Organization, Civil Aviation Safety Regulation),
namun jumlah kasus kecelakaan penerbangan
belum dapat ditekan seminim mungkin.
Akar penyebab (basic cause) masih tingginya
jumlah kasus kecelakaan pesawat udara
dimungkinkan manajemen maskapai penerbangan
belum melaksanakan (memenuhi) atau
DEVELOPING FRAMEWORK FOR CIVIL AVIATION OCCUPATIONAL
HEALTH AND SAFETY SYSTEM IN INDONESIA
melaksanakan sebagian saja dari kebijakan
(peraturan perundangan) dan standar keamanan dan
keselamatan penerbangan. Di samping belum
adanya Sistem K3 Penerbangan sebagaimana yang
dimaksud oleh penulis. Menurut saya lebih tepat
istilah Sistem K3 Penerbangan menjadi Sistem
Manajemen K3 Penerbangan, mungkin sama dengan
yang penulis maksud. Bila kita mau menurunkan
angka kecelakaan pesawat terbang atau ingin
mencapai nihil kecelakaan (zero accident), maka
perlu suatu program keselamatan penerbangan yang
konsisten.3 Program K3 yang disusun merupakan
komponen dari SMK3.
Pada alinea pertama dari pengantar artikel
tersebut dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia
telah melaksanakan Program Keselamatan dan
Keamanan Penerbangan Sipil Nasional yang
berbasis pada peraturan perundangan yaitu Undang-
Undang (UU) No. 15/1992 tentang Penerbangan, dan
seterusnya. Sepengetahuan saya bahwa UU No.
15/1992 tentang Penerbangan telah diganti (direvisi)
dengan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan tanggal
12 Januari 2009. Dalam UU ini telah diatur tentang
pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan yang
dinyatakan pada Bab XIII Keselamatan Penerbangan
Bagian Keempat Sistem Manajemen Keselamatan
Penyedia Jasa Penerbangan (mulai pasal 314 - pasal
322). Pasal 314 ayat 1 dinyatakan bahwa “Setiap
penyedia jasa penerbangan wajib membuat,
melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan
secara berkelanjutan sistem manajemen
keselamatan (safety management system) dengan
berpedoman pada program keselamatan
penerbangan nasional”. Pelaksanaan Sistem
Manajemen Keselamatan ini dijabarkan lebih rinci
pada Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 20/
2009 tentang Sistem Manajemen Keselamatan.
Sistem Manajemen Keselamatan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 20/
2009 sepertinya tidak mencakup ruang lingkup
kesehatan kerja. Pada hakikatnya upaya
keselamatan kerja harus sejalan dengan kesehatan
kerja. Oleh karena itu, Sistem Manajemen
Keselamatan hendaknya menyatu dengan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 173
Kesehatan Kerja. Saya sangat menghargai adanya
konsep desain Sistem K3 Penerbangan Sipil di
Indonesia dari penulis berupa program keselamatan
dan kesehatan kerja sebagaimana yang disajikan
dalam artikel, namun saya belum melihat detail dari
desain tersebut.
Sebenarnya kita telah memiliki suatu standar
pengelolaan K3 melalui pendekatan suatu sistem
yang dikenal dengan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
pelaksanaannya terintegrasi dalam manajemen
perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 05/1996.
SMK3 ini dapat diterapkan diberbagai sektor usaha/
jasa (termasuk penyedia jasa penerbangan sipil).
Pada pasal 3 Permenaker ini dinyatakan bahwa
setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga
kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh
karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja, penyakit akibat
kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran wajib
menerapkan SMK3.4
Hingga saat ini belum banyak perusahaan
maskapai penerbangan sipil yang menerapkan
SMK3 tersebut, oleh karena itu perlu ada kerja sama
dan koordinasi antara instansi Departemen Tenaga
Kerja dengan Departemen Perhubungan agar SMK3
dapat diterapkan oleh manajemen perusahaan
maskapai penerbangan sipil. Departemen
Perhubungan dapat mengembangkan SMK3 yang
ditetapkan Permenaker No. 05/1996 sesuai dengan
situasi dan kondisi penerbangan di Indonesia,
sehingga disain Sistem K3 Penerbangan Sipil yang
diusulkan penulis dapat menjadi masukan bagi
Departemen Perhubungan.
Penerapan SMK3 di bidang penerbangan sipil
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah seperti
membalikkan telapak tangan, namun diperlukan
komitmen yang kuat dari manajemen maskapai
penerbangan sipil dengan melibatkan seluruh
jajarannya untuk memerapkan SMK3, pembinaan
dan pengawasan dari pemerintah Departemen
Perhubungan, peran serta Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Badan
Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta
pihak lainnya yang peduli terhadap masalah K3
penerbangan sipil. Output dari penerapan SMK3
dapat mendongkrak citra maspakai penerbangan
sipil yang sekaligus mewujudkan zero accident, di
samping rasa nyaman dan aman dari pengguna jasa.
KEPUSTAKAAN
1. Rudiyanto. Penerapan SMK3 dan Pelaksanaan
Audit SMK3. Makalah Pelatihan Pengenalan
SMK3. Diselenggarakan oleh PT Sucofindo
(Persero), Jakarta.2004.
2. Alli BO. Fundamental Principles of Occupational
Health and Safety. First Published, International
Labor Office, Geneva.2001.
3. Mulijadi H. Keselamatan Penerbangan. Tersedia
dalam http://news.vokezone. com/index.php/
ReadStory/2007/02/14/58/4512/keselamatan-
penerbangan, Diakses pada 14 Februari 2007.
4. Permenaker RI No. 05 Tahun 1996 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Dalam: Himpunan Peraturan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Cetakan Ke
2. Dicetak oleh Sekretariat ASEAN OSHNET,
Jakarta. 2002.
Gerry Silaban
Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara