Kesmas Fix 2
-
Upload
sur-yanicute -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
description
Transcript of Kesmas Fix 2
FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKOHARJO
Oleh:
Rizky Tri Agustin, S.Ked J500080113
Rizky Wirawan, S.Ked J500070079
Rohmilia Kusuma, S.Ked J500080009
Ruri Citra, S.Ked J500070083
Sulchan Chris Wardana, S. Ked J500080029
Suryani, S.Ked J500070008
Supandi Hasan, S.Ked J500080071
Pembimbing:
dr. Yulia Astuti
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DINAS KESEHATAN SUKOHARJO PUSKESMAS SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
0
DAFTAR ISI
Daftar Isi ...................................................................................................... 1
Daftar Tabel ................................................................................................. 3
Daftar Gambar ............................................................................................. 4
Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 5
A. Latar Belakang ................................................................................. 5
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 7
C. Tujuan ............................................................................................. 8
D. Manfaat ........................................................................................... 8
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
A. Gizi Buruk ...................................................................................... 9
1. Definisi Gizi Buruk .................................................................. 9
2. Pengukuran Gizi Buruk ............................................................ 9
3. Klasifikasi gizi Buruk ............................................................... 10
4. Faktor Resiko Gizi Buruk ......................................................... 14
B. Profil Puskesmas Sukoharjo ........................................................... 17
1. Luas Wilayah ........................................................................... 17
2. Jumlah Desa ............................................................................ 18
3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin .............................. 18
4. Jumlah Rumah Tangga atau Kepala Keluarga ......................... 18
5. Jumlah Penduduk ................................................................... 18
6. Ratio Beban Tanggungan ........................................................ 19
7. Presentase Penduduk yang Melek Huruf ................................ 19
8. Derajat Kesehatan .................................................................. 20
9. Upaya Kesehatan ................................................................... 21
Bab III Metode Penerapan Gegiatan ........................................................ 25
A. Tahap-tahap Penjaringan Gizi Buruk di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukoharjo ............................................................ 25
B. Analisa SWOT ....................................................................... 27
C. Analisa Fishbone ................................................................... 31
1
Bab IV Hasil dan Pembahasan ................................................................ 32
A. Analisis Situasi ............................................................................ 32
B. Analisis Masalah ......................................................................... 35
Bab V Simpulan dan Saran .................................................................... 48
A. Simpulan ..................................................................................... 48
B. Saran ........................................................................................... 48
Daftar Pustaka ........................................................................................ 50
2
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Data Pencapaian Gizi Buruk Puskesmas Kecamatan Sukoharjo
tahun 2012
Tabel 2 : Data Pencapaian Gizi Buruk Puskesmas Kecamatan Sukoharjo
tahun 2013
Tabel 3 : Jumlah Pemberian Tablet Fe pada Ibu Hamil
Tabel 4 : Temberian Tablet Vitamin A
Tabel 5 : Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI
Tabel 6 : Program, Target dan Pencapaian Program Gizi Puskesmas-
Sukoharjo tahun 2013
Tabel 7 : Matrikulasi Masalah Gizi
Tabel 8 : Alternatif Pemecahan Masalah
Tabel 9 : Matrikulasi Alternatif Pemecahan Masalah
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran
Gambar 2 : Kaitan Antara Perbaikan Gizi, Peningkatan SDM dan Kemiskinan
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Pada
kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang
membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur yang lain
sehingga balita paling mudah menderita kelainan gizi.1 Kejadian gizi buruk
seperti fenomena gunung es dimana kejadian gizi buruk dapat menyebabkan
kematian.2
Pengertian gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah
severely underweight.3 Terdapat 3 jenis gizi buruk yang sering dijumpai yaitu
kwashiorkor, marasmus dan gabungan dari keduanya marasmiks-
kwashiorkor.4
Pengertian kwashiorkor sendiri adalah suatu bentuk malnutrisi protein
yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan
asupan protein yang inadekuat.5 Kwashiorkor dapat dibedakan dengan
marasmus yang disebabkan oleh asupan dengan kurang dalam kuantitas tetapi
kualitas yang normal , sedangkan marasmiks-kwashiorkor adalah gabungan
dari kwashiorkor dengan marasmus yang disertai dengan oedema. 2,5
Menurut data yang diperoleh dari Depkes (2010) memperlihatkan
prevalensi gizi buruk di Indonesia terus menurun dari 9,7% di tahun 2005
menjadi 4,9% di tahun 2010.6 Namun prevalensi gizi buruk di Jawa Tengah
dari tahun 2007-2009 mengalami kestabilan yaitu 4%.7
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota cakupan
D/S di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 mencapai 79,2% (Target 70%).
Jumlah kabupaten/kota yang sudah mencapai target ada 32 (90,7%). Cakupan
tertinggi pada Kabupaten Sragen (90,7%), kabupaten Sukoharjo (90,1%) dan
terendah pada Kabupaten Pemalang (60,6%). Jumlah kasus gizi buruk yang
ditemukan dan ditangani di Provinsi Jawa Tengah 1.597 kasus. Jumlah
5
tersebut merupakan laporan dari 34 kabupaten/kota dengan jumlah tertinggi
adalah Kabupaten Pekalongan (129 kasus), sedangkan yang terendah adalah
Kota (3 kasus).7
Kejadian gizi buruk apabila tidak diatasi akan menyebabkan dampak
yang buruk bagi balita.2 Dampak yang terjadi antara lain kematian dan infeksi
kronis.8 Deteksi dini anak yang kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk) dapat
dilakukan dengan pemeriksaan BB/U untuk memantau berat badan anak.
Selain itu pamantauan tumbuh kembang anak dapat juga menggunakan KMS
(KartuMenuju Sehat). 9
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk,diantaranya
adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang
baik untuk anak, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).10,11 Sosial adalah
segala sesuatu yang mengenai masyarakat sedangkan ekonomi adalah segala
usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan untuk mencapai kemakmuran
hidup.12
Sosial ekonomi merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status
sosial ekonomi keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan.1 Selain status
sosial ekonomi, BBLR juga dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk, hal
ini dikarenakan bayi yang mengalami BBLR akan mengalami komplikasi
penyakit karena kurang matangnya organ, menyebabkan gangguan
pertumbuhan fisik dan gangguan gizi saat balita.13
Sumber lain menyebutkan asupan makanan keluarga, faktor infeksi, dan
pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk.14 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan
kejadian gizi buruk.Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok
Timur tahun 2005 menunjukkan bahwa terdapat hubungan status
ekonomi,pendidikan ibu, pengetahuan ibu dalam monitoring pertumbuhan,
perhatian dari ibu,pemberian ASI, kelengkapan imunisasi, dan asupan
makanan balita dengan kejadian gizi buruk.11
Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam
keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi
6
pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak
balita.15 Selain pendidikan, pemberian ASI dan kelengkapan imunisasi juga
memiliki hubungan yang bermakna dengan gizi buruk karena ASI dan
imunisasi memberikan zat kekebalan kepada balita sehingga balita tersebut
menjadi tidak rentan terhadap penyakit. Balita yang sehat tidak akan
kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap terjaga baik.16,17
Balita gizi buruk yang ditemui di pusksmas biasanya selain menderita
gizi buruk juga menderita penyakit lainnya seperti TBC, ISPA, dan diare. Hal
ini dikarenakan penyakit penyerta yang diderita oleh balita menyebabkan
menurunnya nafsu makan sehingga pemasukan zat gizi ke dalam tubuh balita
menjadi berkurang.2,6
Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana tercantum di dalam
Undangundang Kesehatan No 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan
mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola
konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan
mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi.7
Gizi buruk merupakan masalah yang kompleks dan penyebab gizi
buruk pada balita mempunyai peranan yang bervariasi, sehingga peneliti
tertarik untuk menganalisis “FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI
BURUK PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SUKOHARJO”.
B. Rumusan Masalah
Apakah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit penyerta, ASI,
Berat Badan Lahir Rendah, dan kelengkapan imunisasi merupakan faktor
risiko terjadinya kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Sukoharjo.
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor risiko yang mempengaruhi balita gizi buruk yang
ditemui pada daerah kerja puskesmas sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis status sosial ekonomi sebagai faktor risiko balita gizi
buruk
b. Menganalisis pendidikan ibu sebagai faktor risiko balita gizi buruk
c. Menganalisis penyakit penyerta pasien sebagai faktor risiko balita
gizi buruk
d. Menganalisis ASI sebagai faktor risiko balita gizi buruk
e. Menganalisis Berat Badan Lahir Rendah sebagai faktor risiko balita
gizi buruk
f. Menganalisis kelengkapan imunisasi sebagai faktor risiko balita gizi
buruk
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Keilmuan
Untuk memperluas wacana gizi buruk dibidang Ilmu Kesehatan Anak dan
Ilmu Gizi.
2. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk, sehingga dapat dilakukan upaya
pencegahan terjadinya gizi buruk.
3. Bagi Tenaga Kesehatan Puskesmas Sukoharjo
Memberikan informasi dalam pengambilan keputusan untuk mengentaskan
kejadian kasus gizi buruk.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gizi Buruk
1. Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran.2 Gizi buruk adalah kondisi
seseorang yang nutrisinya di bawah rata-rata.21 Hal ini merupakansuatu
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.2
Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur
(BB/U) < -3 SD.3 Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan
dengan adanya busung lapar.2 Dikatakan underweight apabila BB/U di bawah
standar deviasi, stunted jika TB/U di bawah standar deviasi, dan dikatakan
wasted apabila BB/TB di bawah standar deviasi.4 Ratio BB/TB bila
dikombinasikan dengan berat badan menurut umur dan tinggi badan menurut
umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilai status nutrisi karen
mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antara wasting dan
stunting atau perawakan pendek. BB/TB dinyatakan dalam presentase dari
BB standar yang sesuai dengan TB terukur bayi tersebut.6
2. Pengukuran Gizi Buruk
Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain:23
1. Pengukuran klinis: metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita
tersebut gizi buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh
perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan
zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, rambut,
atau mata.22 Misalnya pada balita marasmus kulit akan menjadi keriput
sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk bercak-bercak putih
atau merah muda (crazy pavement dermatosis).23
2. Pengukuran antropometrik: pada metode ini dilakukan beberapa macam
pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar
lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan,
9
lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam
survei gizi. Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan
mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi
juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari
ketiganya.24
Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori:3
a. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Tergolong gizi baikjika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
d. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau Panjang
badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh kategori:3
a. Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Pendek jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
d. Tinggi jika hasil ukur > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran Berat Badan menurut Tinggi badan atau Panjang
Badan:3
a. Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
b. Kurus jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD.
c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
d. Gemuk jika hasil ukur > 2 SD.
Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB sangat kurus, sedangkan
balita dengan gizi baik akan diperoleh hasil normal.3
3. Klasifikasi Gizi Buruk
Untuk kepentingan praktis di klinik maupun di lapangan klasifikasi MEP
(malnutrisi energi dan protein) ditetapkan dengan patokan perbandingan berat
badan terhadap umur anak sebagai berikut:24
1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan)
2. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat)
3. Berat badan <60% : marasmus (MEP berat)
10
4. Berat badan <60% : marasmik kwashiorkor (MEP berat)
Keterangan Gizi Baik(%) Gizi Kurang(%) Gizi Buruk(%)
BB/U 80-100 60-80 <60
TB/U 95-100 85-95 <85
BB/TB 90-100 70-90 <70
LLA/U 85-100 70-85 <70
LLA/TB 85-100 75-85 <75
1. Marasmus25, 26, 27
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama
akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama
tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot.
Mempunyai Individu dengan marasmus mempunyai penampilan yang
sangat kurus dengan tubuh yang kecil dan tidak terlihatnya lemak.
Marasmus biasa menyerang siapa saja atau bisa menyerang semua usia.
Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat
terjadi karena: diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat
atau karena kelainan metabolik dan malformasi kongenital.
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai
dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,dengan
kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar
karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap
tampak relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut
dan berkeriput, serta wajah seperti orang tua. Abdomen dapat kembung
dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya
normal, nadi mungkin melambat, tekanan darah dan frekuensi napas
menurun, kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Biasanya terjadi
konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan,
dengan buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit.
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan
kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan
11
hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan
tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat
(glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar,
sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat
sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan
menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar
dan ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak,
gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan
keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini
berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai
memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh.
2. Kwashiorkor24, 25, 27
Kwashiokor merupakan bentuk malnutrisi energi protein yang
disebabkan oleh defisisensi protein yang berat, biasanya asupan kalori
juga mengalami defisiensi (Dorland, 1998). Kwashiokor memang kondisi
dimana terjadi defisiensi protein dalam asupan makanannya, tetapi dapat
terjadi karena kehilangan antioksidan yang menyertai defisiensi energi
dari makanan tersebut. Penyakit ini sering terlihat pada anak-anak balita
dan biasanya disertai dengan iritabilitas.
Penyebab utama dari kwashiokor yaitu kekurangan asupan protein.
Selain itu ada banyak penyebab kwashiorkor lainnya, misalnya ketika
susu digantikan oleh diet yang tidak memadai dan sering tidak seimbang.
Bayi yang paling sering terkena pada saat kelaparan, ketika ibu mereka
mengalami defisiensi protein. Penyakit ini bisa juga karena faktor sosial
dimana kebiasaan suku atau masyarakat pedalaman yang masih belum
paham untuk bisa memberikan asupan gizi yang baik, terutama protein
(Kaneshiro, 2012). Kwashiokor dapat terjadi karena penyerapan protein
terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein
abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar,
12
dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik
(Behrman, 2000). Faktor ekonomi juga berperan sebagai penyebab
penyakit ini, dimana paling sering terjadi pada anak dari golongan
penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan protein yang
bermutu baik terutama terdapat pada bahan makanan yang berasal dari
hewan seperti protein susu, keju, telur, daging dan ikan. Bahan makanan
tersebut mahal harganya, sehingga tidak terbayar oleh mereka yang
berpenghasilan rendah.
Ada beberapa tanda dan gejala kwashiokor, Gejala terpenting
adalah pertumbuhan yang terganggu. Perubahan mental, biasanya
penderita cengeng dan pada stadium lanjut menjadi apatis. Sebagian
besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun yang berat.
Gejala gastrointestinal termasuk gejala yang penting. Anoreksia
dapat mejadi parah, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan
makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Selain itu, diare
juga pada sebagian besar penderita. Hal ini mungkin karena gangguan
fungsi hati, pankreas, dan usus.
Perubahan rambut baik dari segi texture maupun warna. Pada
penderita kwashiokor rambut kepalanya mudah dicabut. Tarikan ringan
kadang tanpa reaksi penderita. Pada penderita kwashiokor lanjut, rambut
penderita akan tampak kusam, kering, halus, jarang dan berubah
warnanya menjadi putih.
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis
kulit lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan
persisikan kulit. Selain itu, ditemukan perubahan kulit yang khas untuk
penyakit kwarshiokor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan
bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan
pada bagian tubuh sering mendapat tekanan disertai kelembapan oleh
keringat, contohnya pantat, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat
paha, dan sebagainya.Hepatomegali atau pembesaran hati merupakan
gejala yang juga sering ditemukan. Hati yang dapat diraba umumnya
13
kenyal, permukaannya licin dan pinggir tajam dimana terjadi perlemakan
hebat.
Kelainan kimia darah, yaitu kadar albumin serum rendah,
disamping kadar globulin normal atau sedikit meninggi. Sehingga
perbandingan antara albumin per globulin menjadi terbalik.
3. Maramsmiks-Kwashiorkor28
Marasmus-kwashiorkor mempunyai gejala (sindroma) gabungan
kedua hal di atas. Seorang bayi yang menderita marasmus lalu berlanjut
menjadi kwashiorkor atau sebaliknya tergantung dari makanan/gizinya
dan sejauh mana cadangan energi dari lemak dan protein akan
berkurang/habis terpakai. Apabila masukan energi kurang dan cadangan
lemak terpakai, bayi/anak akan jatuh menjadi marasmus. Sebaliknya bila
cadangan protein dipakai untuk energi, gejala kwashiorkor akan
menyertai.
Gejala yang umum adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu
terdapat satu atau lebih gejala kwashiorkor seperti edema, dermatosis,
perubahan rambut, hepatomegali,perubahan mental, hipotrofi otot,
jaringan lemak subkutan berkurang, kerdil, anemia, defisiensi vitamin.
Berat badan dengan edema kurang dari 60% nilai berat badan terhadap
umur pada standar yang baku.
Penyakit penyerta yang sering ditemukan antara lain
ISPA ,Bronkopneumoni, Koch Pulmonum, ISK, penyakit parasit dan
diare. Tidak jarang penyakit ini menjadi faktor penyebab utama
marasmus-kwashiorkor, misal diare menahun atau Tuberkulosis. Oleh
karena itu penyakit penyerta tersebut harus diobati secara tuntas.
4. Faktor Resiko
Faktor risiko gizi buruk antara lain:
1. Asupan Makanan; Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat,
anak tidak cukup atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan
pola makan yang salah.2 Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah
14
air, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.Setiap gram
protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4 kalori.
Distribusi kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan diet adalah
15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari karbohidrat.Kelebihan
kalori yang menetap setiap hari sekitar 500 kalori menyebabkan kenaikan
berat badan 500 gram dalam seminggu.26
2. Status Sosial Ekonomi; Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai
masyarakat sedangkan ekonomi adalah segala usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan untuk mencapai kemakmuran hidup.31 Sosial
ekonomi merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status sosial
ekonomi keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan.1 Rendahnya
ekonomi keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada
keluarga tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi
pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak
balita. Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah
kesehatan yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan
untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.12 Balita dengan gizi buruk
pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi.29
3. Pendidikan Ibu; Kurangnya pendidikan dan pengertian yang salah tentang
kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara
di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi
merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah satu faktor
yang menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang
rendah. Adanya pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan seseorang
kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam
kehidupan.35 Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan
pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari
kekurangan gizi pada anak balita.36
4. Penyakit Penyerta; Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya
sangat rentan terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-
15
penyakit tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak.26 Terdapat
hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi kurang maupun
gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan
mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di
sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk.26
Menurut penelitian yang dilakukan di Jogjakarta terdapat perbedaan
penyakit yang bermakna antara balita KEP dengan balita yang tidak
KEP(p=0,034) CI 95%.14
5. Pengetahuan Ibu; Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam
penentuan konsumsi makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita.
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Keluarga akan
lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan
lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya
kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan
sehari-hari.35
6. Berat Badan Lahir Rendah; Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi
sedangkan berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu)
jam setelah lahir.15 Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran
prematur. Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu
ini pada umumnya disebabkan oleh tidak mempunyai uterus yang dapat
menahan janin, gangguan selama kehamilan,dan lepasnya plasenta yang
lebih cepat dari waktunya. Bayi prematur mempunyai organ dan alat
tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim
sehingga semakin muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin
kurang berfungsi dan prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok
BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ
karena prematur.37
16
7. Kelengkapan Imunisasi; Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan
balita menjadi tidak terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan
imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan
terkena penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan
kejadian gizi. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit untuk
mempertahankan agar kekebalan dapat tetap melindungi terhadap paparan
bibit penyakit.16
8. Air Susu Ibu (ASI); Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh
dunia, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan
disempurnakan sampai umur dua tahun.29 Memberi ASI kepada bayi
merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena praktis,
mudah, murah, sedikit kemungkinan untuk terjadi kontaminasi, dan
menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang penting
dalam perkembangan psikologi anak tersebut. Beberapa sifat pada ASI
yaitu merupakan makanan alam atau natural, ideal, fisiologis, nutrien
yang diberikan selalu dalam keadaan segar dengan suhu yang optimal dan
mengandung nutrien yang lengkap dengan komposisi yang sesuai
kebutuhan pertumbuhan bayi.27
B. Profil Puskesmas Sukoharjo
A. Luas Wilayah
Wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo sama dengan luas wilayah Kecamatan
Sukoharjo yaitu sekitar 44 kilometer persegi. Luas tersebut berbatasan dengan
kecamatan lain di wilayah Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten dan Kota lain
Sukoharjo. Batas-batas tersebut ialah:
Sebelah Utara : Kecamatan Grogol
Sebelah Selatan : Kecamatan Nguter dan Kecamatan Tawang Sari
Sebelah Barat : Kabupaten Klaten
Sebelah Timur : Kecamatan Bendosari
17
B. Jumlah Desa
Wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo terdiri dari 14 desa, yaitu:
No Desa No Desa
1 Sukoharjo 8 Kenep
2 Gayam 9 Banmati
3 Bulakrejo 10 Mandan
4 Kriwen 11 Begajah
5 Dukun 12 Joho
6 Bulakan 13 Jetis
7 Sonorejo 14 Combongan
C. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Pada tahun 2011 penduduk wilayah Kecamatan Sukoharjo sekitar 86.835 jiwa
yang terdiri dari 43.232 jiwa penduduk laki-laki dan 43.603 jiwa penduduk
perempuan. Desa yang memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu Desa Gayam
dengan jumlah penduduk 10.021jiwa. Sedangkan desa yang memiliki
penduduk terkecil yaitu Desa Combongan dengan jumlah penduduk sekitar
4.710 jiwa.
D. Jumlah Rumah Tangga atau Kepala Keluarga
Pada tahun 2011 jumlah rumah tangga atau kepala keluarga yang ada di
wilayah Kecamatan Baki kurang lebih 20.043 kepala rumah tangga. Dari
jumlah tersebut Desa Gayam adalah desa yang memiliki jumlah kepala rumah
tangga terbesar yaitu sekitar 2.042 KK, sedangkan Desa Banmati adalah desa
yang memiliki jumlah KK terkecil yaitu sekitar 1.035 KK.
E. Jumlah Penduduk
Kepadatan penduduk Kecamatan Sukoharjo pada tahun 2011 dengan luas
wilayah kurang lebih 44 kilometer persegi dan jumlah penduduk 86.833 jiwa
yaitu sekitar 1.952,6 jiwa per kilometer persegi.
Dari 14 desa yang ada, Desa Gayam adalah desa yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk tertinggi yaitu sekitar 4.939,41 jiwa per kilometer
18
persegi dan desa yang memiliki kepadatan terendah adalah desa Sonorejo
yaitu sekitar 1.132,51 jiwa per kilometer persegi.
Rata-rata jumlah jiwa per KK di Kecamatan Sukoharjo pada tahun 2011 yaitu
sekitar 4 jiwa/KK. Rata-rata tertinggi di Desa Bulakan yaitu sekitar 7
jiwa/KK dan terendah berada di Desa Jetis yaitu sekitar 3 jiwa/KK.
F. Ratio Beban Tanggungan
Rasio beban tanggungan adalah perbandingan antara banyaknya orang yang
tidak produktif (umur dibawah 15 th dan 65 th keatas) dengan banyaknya
orang yang termasuk usia produktif. Kecamatan Sukoharjo pada tahun 2011
memiliki rasio beban tanggungan sekitar 455 jiwa per 1000 jumlah penduduk.
Rasio beban tanggungan terbesar ada di Desa Mandan yaitu sekitar 78,25
jiwa per 1000 penduduk dan rasio beban tanggungan terkecil ada di Desa
Jetis yaitu sekitar 38,53 jiwa per 1000 penduduk. Berdasarkan Tabel 2, dari
14 desa di Kecamatan Sukoharjo dapat diketahui bahwa Desa Combongan
adalah desa yang memiliki jumlah penduduk yang tidak produktif paling
tinggi, sedangkan usia produktif paling tinggi ada di Desa Gayam sehingga
rasio beban tanggungannya paling kecil.
G. Presentase Pendududk Berumur 10 Tahun Keatas yang Melek Huruf
Di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo pada tahun 2011, persentase
penduduk perempuan berusia 10 tahun keatas yang melek huruf sekitar 92%
lebih besar dibandingkan persentase penduduk laki-laki yaitu sekitar 90,5%.
Dari 14 desa di Kecamatan Sukoharjo, desa Dukuh adalah desa yang
memiliki penduduk 94.94% melek huruf baik laki-laki dan perempuan
98,28%, sedangkan persentase melek huruf terendah di Desa Combongan
yaitu 86,95% untuk laki-laki dan 83,2% untuk perempuan. Secara
keseluruhan persentase penduduk berumur 10 th keatas yang melek huruf di
Kecamatan Baki sekitar 84,51 %.
H. Derajat Kesehatan
1. Angka Kematian
19
b. Angka Kematian Bayi per-1000 Kelahiran Hidup
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi pada bayi sebelum
mencapai usia satu tahun. Pada tahun 2011 di wilayah kerja
Puskesmas Sukoharjo angka kematian bayi ada 1 bayi mati per 1000
kelahiran hidup. Ini terjadi di Desa Sonorejo.
c. Angka Kematian Balita per-1000 Kelahiran Hidup
Kematian balita adalah kematian yang terjadi pada balita sebelum usia
lima tahun. Angka kematian balita di wilayah kerja Puskesmas
Sukoharjo pada tahun 2011 ada 2 balita mati per 1000 kelahiran
hidup. Kematian balita terjadi di Desa Sukoharjo.
d. Jumlah Kematian Ibu
Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada ibu karena peristiwa
kehamilan,persalinan dan masa nifas. Pada tahun 2011, jumlah
kematian ibu di Puskesmas Sukoharjo ada 3 kasus kematian ibu
bersalin, terjadi di Desa Gayam, Sonorejo dan Jetis.
2. Status Gizi
a. Persentase Kunjungan Neonatus
Persentase kunjungan neonatus di Puskesmas Sukoharjo pada tahun
2011 adalah 100%. Jumlah kunjungan neonatus yang ada di
Puskesmas Sukoharjo adalah 1.022 kunjungan.
b. Persentase Kunjungan Bayi
Persentase kunjungan bayi di Puskesmas Sukoharjo pada tahun 2011
adalah 100%. Jumlah kunjungan bayi seluruhnya ada 1.022
kunjungan.
c. Persentase BBLR Ditangani
Persentase BBLR yang ditangani di Puskesmas Sukoharjo pada tahun
2011 adalah 100%. Jumlah kasus BBLR yang ada adalah 39 kasus dan
semuanya tertangani.
d. Balita dengan Gizi Buruk
20
Pada tahun 2011 di Puskesmas Sukoharjo ada 34 balita yang berstatus
gizi buruk (0,65%).
e. Desa Bebas Rawan Gizi
Persentase balita dengan status gizi buruk di Puskesmas Sukoharjo
pada tahun 2011 adalah 0,65 %. Berdasarkan data yang ada diketahui
bahwa seluruh desa di wilayah Puskesmas Sukoharjo adalah bebas
rawan gizi.
I. Upaya Kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan
a. Persentase Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K-1
Persentase cakupan kunjungan ibu hamil K-1 di Puskesmas
Sukoharjo pada tahun 2011 sebesar 86,7%. Dari 14 desa yang ada 5
desa diantaranya mencapai 100% dalam memberikan pelayanan
kesehatan ibu hamil K-1, desa tersebut antara lain Bulakan, Kenep,
Banmati, Joho dan combongan. Sedangkan persentase terkecil ada di
Desa Gayam yaitu hanya mencapai 41%.
b. Persentase Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K-4
Persentase cakupan kunjungan ibu hamil K-4 di Puskesmas
Sukoharjo pada tahun 2011 sebesar 85,8%. Cakupan kunjungan ibu
hamil K-4 tertinggi di Desa Bulakan, sedangkan cakupan kunjungan
terendah ada di Desa Gayam yaitu sebesar.
c. Persentase Persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan yang
Memiliki Kompetensi Kebidanan
Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Sukoharjo
pada tahun 2011 sebesar 92,1%. Ada beberapa desa yang mencapai
100% antara lain Dukuh dan Mandan. Persentase terkecil ada di
Desa Begajah.
d. Persentase Ibu Nifas Mendapat Pelayanan
Persentase ibu nifas yang mendapat pelayanan di Puskesmas
Sukoharjo tahun 2011 adalah sebesar 90,7%. Ada 2 desa mencapai
21
100% dalam memberikan pelayanan kepada ibu nifas antara lain
Desa Dukuh dan Mandan. Persentase terkecil 58% di Desa Joho.
e. Persentase Balita Mendapat Vitamin A 2 Kali
Balita mendapat vitamin A 2 kali di Puskesmas Sukoharjo tahun
2011 sebesar 100%.
f. Persentase Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan
Balita gizi buruk yang ada di Puskesmas Sukoharjo tahun 2011 ada
34 anak dan semuanya mendapat perawatan. Jadi di Puskesmas
Sukoharjo balita gizi buruk 100% mendapat perawatan.
g. Persentase Ibu Hamil yang Mendapatkan Tablet Fe
Persentase ibu hamil yang mendapatkan tablet Fe1 di Puskesmas
Sukoharjo tahun 2011 sebesar 84,31% dan yang mendapatkan tablet
Fe3 83,13%. Desa Combongan adalah desa dengan persentase
terendah untuk ibu hamil yang mendapatkan tablet Fe1yaitu sebesar
16,03% sedangkan 8 desa lainnya ada yang mencapai 100% antara
lain Sukoharjo, Gayam, Bulakrejo,Kriwen, Dukuh, Mandan,
begajah, dan Jetis . Persentase terendah untuk ibu hamil
mendapatkan Fe3 adalah Desa Combongan 28,21% dan yang
tertinggi ada di Desa Sonorejo sebesar 98,68%.
h. Persentase WUS yang Mendapatkan Imunisasi TT
Persentase ibu hamil yang mendapatkan TT di Puskesmas Sukoharjo
tahun 2011 untuk TT1: 89,4%. Dari hasil tersebut dapat diketahui
bahwa di Puskesmas Sukoharjo masih diperlukan peningkatan
cakupan pelayanan imunisasi TT untuk wanita usia subur karena
hasil tersebut masih tergolong kecil.
i. Persentase Akses Ketersediaan Darah untuk Ibu Hamil dan Neonatus
Dirujuk
Persentase akses ketersediaan darah untuk ibu hamil dan neonatus
dirujuk di Puskesmas Sukoharjo tahun 2011 masih nihil.
22
j. Ibu Hamil Risti/Komplikasi yang Ditangani
Persentase ibu hamil risti/komplikasi yang ditangani pada tahun
2011 di Puskesmas Sukoharjo adalah 100%. Jumlah ibu hamil
risti/komplikasi yang ditangani adalah 260 orang dari 260 bumil risti
yang ada.
k. Neonatal Risti/Komplikasi yang Ditangani
Jumlah neonatal risti/komplikasi yang ditangani di Puskesmas
Sukoharjo tahun 2011 adalah 241 bayi dari 241 neonatal
risti/komplikasi yang ada. Secara keseluruhan neonatal
risti/komplikasi yang ditangani sebesar 100%.
l. Persentase Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif
Pada tahun 2011 di wilayah Puskesmas Sukoharjo ada 249 bayi yang
diberi ASI eksklusif dari 607 bayi yang ada, atau sekitar 41,1%.
m. Persentase Desa dengan Garam Beryodium yang Baik
Pada tahun 2010 di wilayah Puskesmas Sukoharjo untuk persentase
desa dengan garam beryodium yang baik mencapai 95,92%.
n. Upaya Penyuluhan Kesehatan
Upaya penyuluhan kesehatan di Puskesmas Sukoharjo tahun 2011
sebanyak 28 kali penyuluhan kelompok dan 28 kali penyuluhan
masa
o. Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan
Masyarakat Rentan
Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dan
masyarakat rentan di Puskesmas Sukoharjo tahun 2011 belum
dilakukan pencatatan.
p. Persentase Keluarga Miskin yang Mendapat Pelayanan Kesehatan
Persentase Keluarga Miskin yang Mendapat Pelayanan Kesehatan
sebanyak 21%.
q. Cakupan Pelayanan Kesehatan Kerja pada Pekerja Formal
Pada tahun 2011 di Puskesmas Sukoharjo belum dilaksanakan
pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal.
23
2. Perilaku Hidup Masyarakat
a. Persentase Rumah Tangga Ber-PHBS
Persentase rumah tangga ber-PHBS di Puskesmas Sukoharjo tahun
2011 adalah 86%.
b. Persentase Posyandu Aktif
Pada tahun 2011 persentase posyandu aktif di Puskesmas Sukoharjo
mencapai 100%. yaitu sejumlah 105 posyandu
3. Keadaan Lingkungan
a. Persentase Rumah Sehat
Puskesmas Sukoharjo pada tahun 2011 memeriksa 3360 rumah atau
16,8% dari rumah yang ada. Dari 3360 rumah yang diperiksa,
persentase rumah sehat di Puskesmas sukoharjo mencapai 88%.
b. Persentase Keluarga yang Memiliki Akses terhadap Air Bersih
Puskesmas Sukoharjo pada tahun 2011 memeriksa 3360 keluarga
yang memiliki akses air bersih atau 13,9% dari jumlah keluarga yang
ada. Dari 100 keluarga yang diperiksa, persentase akses air bersih
adalah 98%.
c. Persentase Keluarga yang Memiliki Sarana Sanitasi Dasar
Persentase keluarga yang memiliki sarana sanitasi dasar di
Puskesmas Sukoharjo tahun 2011 untuk Jamban adalah 97,78%,
tempat sampah 100%, pengelolaan limbah 100%.
d. Persentase Tempat-tempat Umum Sehat
Pada tahun 2011 persentase tempat-tempat umum sehat di
Puskesmas Sukoharjo adalah 63,93%.
e. Persentase Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya
Persentase institusi dibina kesehatan lingkungannya di Puskesmas
Sukoharjo tahun 2011 adalah 63,93%.
24
BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN
A. Tahap-tahap Penjaringan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo
Tahap-tahap dalam penjaringan dan pelacakan balita gizi buruk di
Puskesmas Kecamatan Sukoharjo mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Penjaringan secara aktif
Penjaringan secara aktif dilakukan dua bulansekali atau tiga bulan sekali
di semua posyandu yang ada di wilayah Sukoharjo. Kegiatan inidilakukan
oleh petugas Puskesmas yang dibantuoleh kader kesehatan yang ada di
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Semua balita didata terlebih dahulu kemudian dilakukan pengukuran BB,
TB dan Lingkar kepala.
b. PengukuranBB menggunakan standar yang lebih sederhana yakni dengan
indeks BB/U.
c. Bila didapatkan balitadengan BB yang tidak sesuai dengan umurnya
atauterdapat tanda-tanda gizi buruk maka balita tersebutdirujuk ke
Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaanlebih lanjut sehingga status gizi
balita tersebut dapatdipastikan.
2. Penjaringan secara pasif
Penjaringan secara pasif dilakukan diPuskesmas apabila penderita datang
kePuskesmas untuk memeriksakan penyakitnya dansaat itu diketahui balita
tersebut menderita gizi buruk,juga didapatkan laporan dari kader bahwa ada
giziburuk diwilayah kerja Puskesmas.Kegiatan yang dilakukan dalam
penjaringantersebut antara lain
a. Menanyakan nama dan umur balita.
b. Menimbang berat badan denganmenggunakan indeks BB/Umur,
mengukur tinggibadan, mengukur lingkar kepala, kemampuanmotorik
kasar, dan kemampuan motorik halus.
25
c. Biladidapatkan kriteria gizi buruk pada balita maka balitatersebut akan
dilaporkan ke pelayanan giziPuskesmas untuk dilakukan validasi serta
mengukurkembali BB dengan menggunakan indeks BB/U.
d. Setelah didapatkan hasil tentang status gizi balitatersebut dan dipastikan
bahwa balita tersebutmengalami gizi buruk maka akan dimasukkan
dalamdaftar penderita gizi buruk yang akan mendapatkanpenanganan
lebih lanjut.
e. Namun sebelumnya balitatersebut diperiksa kembali oleh dokter
untukmengetahui adanya penyakit penyerta, bila penyakityang menyertai
tidak dapat diatasi di Puskesmasmaka akan dirujuk ke rumah sakit.
3. Pelacakan balita dengan gizi buruk
Pelacakan pada balita gizi buruk dilakukanuntuk mengetahui faktor –
faktor yang berkaitandengan kejadian gizi buruk dengan melaluiwawancara
dan pengamatan. Pelacakandilaksanakan setelah terjadi penjaringan
ataudidapatkan kasus balita gizi buruk denganmendatangi rumah balita gizi
buruk tersebut.
Kegiatan yang dilakukan dalam pelacakanbalita gizi buruk di wilayah
Puskesmas Sukoharjo diantaranya:
a. Memberikan kuesioner atau tanya jawab langsung kepada orang tua
balita gizi buruk
b. Melakukan pengukuran ulang antropometri bila diperlukan
c. Melakukan rujukan ke Puskesmas dan atau ke rumah sakit bila ada
penyakit yang menyertai serta melakukan dokumentasi.
26
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
B. Analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat)
Untuk mengetahui berbagai faktor yang mendukung serta menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan pengendalian gizi buruk di Puskesmas Kecamatan
Sukoharjo, perlu diadakan kajian secara seksama dengan analisis SWOT
(Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kekuatan (Strength)
Yang dimaksud dengan kekuatan (strength) adalah berbagai kelebihan
yang bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang apabila
dimanfaatkan akan berperan besar tidak hanya dalam memperlancar berbagai
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai
tujuan yang dimiliki oleh organisasi.
2. Kelemahan (Weakness)
Yang dimaksud kelemahan (weakness) adalah berbagai kekurangan yang
bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang apabila diatasi akan
berperan besar tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan yang akan
27
Faktor-faktor yang berpengaruh
Kasus gizi buruk
Unit Pengedalian Gizi Masyarakat
PROMIZI
Puskesmas Kecamatan Sukoharjo
dilaksanakan oleh organisasi, tetapi dalam mencapai tujuan yang dimiliki
oleh organisasi.
3. Kesempatan (Opportunity)
Yang dimaksud dengan kesempatan (opportunity) adalah peluang yang
bersifat positif yang dihadapi suatu organisasi, yang apabila dimanfaatkan
akan besar peranannya dalam mencapai tujuan organisasi
4. Hambatan (Threat)
Yang dimaksud dengan hambatan (threat) adalah kendala yang bersifat
negatif yang dihadapi suatu organisasi, yang apabila berhasil diatasi akan
besar peranannya dalam mencapai tujuan organisasi.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAH
29
Weakness( kelemahan)
Pendataan kurang
menyeluruh sehingga belum
tercapainya angka yang
maksimal
Alokasi dana puskesmas yg
masih kurang (alokasi ke
bag. Gizi)
Kualitas dan kuantitas Nakes
yang masih kurang
Kurangnya upaya kesehatan
dalam hal promotif (KIE-
ASI)
Treats (Hambatan)
Kurangnya pengetahuan masyarakat dan dukungan
keluarga terhadap manfaat dan pentingnya ASI
eksklusif pada bayi
Tingkat pendidikan dan status ekonomi masyarakat
yang masih rendah
Masaah ketidakseimbangan kebutuhan dan daya beli.
Kurangnya perilaku masyarakat terhadap sanitasi dan
kebersihan lingkungan.
Opportunity (Kesempatan)
Lokasi wilayah puskesmas
sukoharjo yang cukup luas
namun secara keseluruhan
mudah di jangkau oleh
petugas
Kinerja DINKES sukoharjo
cukup baik
Adanya kader kesehatan di
wilayah puskesmas
Adanya poliklinik swasta
Adanya praktisi swasta
Adanya posyandu
Strength (kekuatan )
Adanya tenaga medis yang profesional ( 4 dokter umum dan 2 dokter gigi
dan jumlah paramedis sebanyak 68)
Kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas
Adanya fasilitas penunjang puskesmas (lab dll)
Adanya program gizi cakupan ASI eksklusif, KIA dan psyandu yang telah
terjadwal termasuk di dalamnya konseling gizi.
Adanya posyandu
Analisa Strategi SWOT
Dari analisis tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa strategi pelaksanaan
kegiatan pengendalian gizi buruk di Puskesmas Kecamatan Sukoharjo sebagai
berikut:
a. Strategi S – O (mengoptimalkan kekuatan untuk menangkap kesempatan) :
1) Meningkatkan kerjasama dengan dokter spesialis dan ahli gizi sebagai
konsultan melalui program kunjungan ahli
2) Terus memberikan pembekalan dan pelatihan bagi para kader tentang
masalah gizi buruk
3) Optimalisasi FKKP sebagai sarana pemotivasi bagi kader sekaligus
sarana tukar pikiran (sharing) antar kader mengenai masalah-masalah
yang dihadapi
4) Meningkatkan mutu pelayanan medis Gizi
5) Kerjasama dengan poliklinik dan praktisi swasta
6) Optimalsasi program Gizi, Posyandu, dan KIA , khususnya konseling/
KIE tentang gizi dan pemberian makanan yang bergizi bagi bayi dan
balita
b. Strategi W-O (memanfaatkan kesempatan untuk meminimalkan
kelemahan)
1) Memperbaiki sistem pendataan yang sudah ada
2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan di Puskesmas
sehingga kegiatan penyuluhan, konseling, maupun KIE dapat lebih
maksimal
3) Meningkatkan peran serta kader dalam mendukung program gizi, jika
perlu dengan memberikan reward bagi keluarga yang menerapkan pola
hidup sadar gizi di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo.
4) Meningkatkan kerja sama lintas sektoral, termasuk rumah sakit untuk
tidak memberikan susu formula kepada bayi yang dilahirkan disana.
30
c. Strategi S-T (memanfaatkan kekuatan untuk menghadapi Hambatan)
1) Melakukan survei dan memberikan kuesioner pada masyarakat
wilayah Puskesmas Sukoharjo untuk mengetahui sejauh mana
pengetahuan mereka tentang gizi buruk
2) Meningkatkan kegiatan-kegiatan promosi kesehatan (penyuluhan,
konseling/ KIE, pembagian leaflet, pemasangan poster)
3) Optimalisasi KP-ibu sebagai sarana pemotivator bagi ibu dan keluarga,
dan sarana tukar pikiran (sharing) mengenai masalah-masalah yang
dihadapi
d. Strategi W-T (meminimalkan kelemahan untuk menghindari hambatan)
1) Lebih melibatkan peran serta tokoh masyarakat ataupun organisasi
masyarakat setempat dalam mendukung program Gizi Puskesmas
2) Mengadakan penyuluhan rutin serta memperbaiki perencanaan dan
strategi program penyuluhan
3) Membangun koordinasi yang baik antara puskesmas, kader, maupun
tokoh masyarakat setempat untuk melaksanakan program gizi
puskesmas
4) Perluasan cakupan pelaksanaan program gizi
Berdasarkan analisis SWOT yang dilakukan pada penulisan makalah ini
dapat disimpulkan bahwa tingginya angka kejadian gizi buruk di Puskesmas
Kecamatan Sukoharjo sangat dipengaruhi oleh kerja sama lintas program
yang masih kurang serta minimnya dana yang tersedia untuk pengadaan
kegiatan penyuluhan, meskipun pelaksanaan program pengendalian gizi
buruk di Puskesmas Kecamatan Sukoharjo sudah berjalan baik. Selain itu,
pencapaian target kejadian gizi buruk terhambat oleh pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap kejadian gizi buruk masih rendah serta kerja
sama lintas sektoral yang belum berjalan optimal, meskipun Puskesmas
Kecamatan Sukoharjo sudah menjalin kerja sama dengan jejaring swasta di
wilayah tersebut.
C. Analisis fishbone
(Terlampir)
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Situasi
Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Kecamatan Sukoharjo, pada
tahun 2012 ditemukan Balita dengan gizi buruk BB/U sebanyak 42 kasus. Jumlah
kasus gizi buruk BB/U yang ditemukan masih berada di bawah target.
Tabel 1. Data Pencapaian Gizi Buruk Puskesmas Kecamatan Sukoharjo 2012
DesaJumlah
balita
Jumlah
balita
yang
ditimbang
Status gizi Z score
< -3SD-3 SD s/d -2
SD
-2 SD s/d 2
SD>2 SD
Gizi Buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
N % N % N % N %
Desa Sukoharjo 580 489 1 0,20 20 4,09 468 95.71 0 0.00
Desa Gayam 667 624 8 1,28 12 1,92 604 96.79 0 0.00
Desa Bulakrejo 411 367 1 0,27 12 3.27 353 96.19 1 0.27
Desa kriwen 415 336 6 1.79 63 18.75 264 78.57 3 0.89
Desa dukuh 444 367 2 0.54 12 3.27 348 94.82 5 1.36
Desa Bulakan 633 544 5 0.92 34 6.25 503 92.46 2 0.37
Desa Sonorejo 388 351 2 0.57 16 4.56 333 94.87 0 0.00
Desa Begajah 349 232 2 0.86 3 1.29 226 97.41 1 0.43
Desa Joho 427 320 2 0.63 29 9.06 285 89.06 4 1.25
Desa Jetis 400 347 3 0.86 19 5.48 318 91.64 7 2.02
Desa Mandan 349 290 2 0.69 19 6.55 268 92.41 1 0.34
Desa Banmati 306 277 5 1.81 8 2.89 264 95.31 0 0.00
Desa
Combongan312 286 1 0.35 3 1.05 278 97.20 4 1.40
Desa Kenep 347 279 2 0.72 21 7.53 251 89.96 5 1.79
Jumlah 6,028 5,109 42 0.82 271 5.30 4,763 93.23 33 0.65
Sumber data: Laporan petugas Gizi Puskesmas Kecamatan Sukoharjo 2012
32
Dari data-data tersebut didapatkan angka prevalensi gizi buruk di Puskesmas
Kecamatan Sukoharjo sebesar 0.82%. Prevalensi gizi buruk yang dicapai
Puskesmas Kecamatan Sukoharjo pada tahun 2012, masih berada dibawah target
yang ditetapkan, yaitu sebesar 0,5%.
Pada tahun 2013, kejadian gizi buruk di Puskesmas Kecamatan Sukoharjo
mengalami penurunan Selama tahun 2013, ditemukan 43 kasus gizi buruk BB/U.
Tabel 2. Data Pencapaian Gizi Buruk Puskesmas Kecamatan Sukoharjo 2013
DesaJumlah
balita
Jumlah
balita
yang
ditimbang
Status gizi Z score
< -3SD-3 SD s/d -2
SD
-2 SD s/d 2
SD>2 SD
Gizi Buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
N % N % N % N %
Desa Sukoharjo 616 540 4 0.74 22 4,07 514 95.19 0 0.00
Desa Gayam 724 676 6 0.89 15 2.22 655 96.89 0 0.00
Desa Bulakrejo 420 399 2 0.50 24 6.02 371 92.98 2 0.50
Desa kriwen 374 374 2 0.53 80 21.39 290 77.54 2 0.53
Desa dukuh 455 451 2 0.44 12 2.66 432 95.79 5 1.11
Desa Bulakan 641 545 7 1.28 36 6.61 500 91.74 2 0.37
Desa Sonorejo 382 248 0 0.00 6 2.42 235 94.76 7 2.82
Desa Begajah 332 259 2 0.77 13 5.02 242 93.44 2 0.77
Desa Joho 388 290 3 1.03 21 7.24 261 90.00 5 1.72
Desa Jetis 532 522 3 0.57 22 4.21 489 93.68 8 1.53
Desa Mandan 317 268 3 1.12 20 7.46 245 91.42 0 0.00
Desa Banmati 305 278 6 2.16 11 3.96 259 93.17 2 0.72
Desa
Combongan273 251 1 0.40 4 1.59 243 96.81 3 1.20
Desa Kenep 374 335 2 0.60 12 3.58 285 85.07 36 10.75
Jumlah 6.133 5.436 43 0.60 12 5.48 5.021 92.37 74 1.36
Sumber data: Laporan petugas Gizi Puskesmas Kecamatan Sukoharjo 2013
Pada tabel di atas ditemukan sebanyak 43 kasus (0.60%) Balita dengan gizi
buruk. Pencapaian tersebut masih dibawah target yang ditetapkan yaitu sebesar
33
0,5%. Pencapaian pada tahun 2013 mengalami penurunan apabila dibandingkan
pencapaian pada tahun 2012.
Cakupan pemberian tablet Fe pada ibu hamil pada tahun 2013 mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2012. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Jumlah pemberian tablet Fe pada ibu hamil
TahunJumlah ibu
hamil
Fe 1 Fe2
N % N %
2012 1566 1581 100.96 1447 92.40
2013 1617 1039 64.25 903 55.84
Sumber: unit PROMIZI Puskesmas Sukoharjo
Cakupan pemberian tablet vitamin A untuk bayi dan balita pada tahun 2013 di
wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo terjadi peningkatan pada bayi dan terjadi
penurunan pada balita dibandingkan tahun 2012. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4. Temberian Tablet Vitamin A
Tahu
n
Bayi (6-11 bulan) Balita (1-4 tahun) Ibu nifas
JumlahDpt Vit
A% Jumlah
Dpt Vit
A% jumlah
Dpt Vit
A%
2012 724 709 98 4835 4801 99.30 1492 1426 95.58
2013 733 727 99 4820 4723 97.99 1548 959 61.95
Sumber: unit PROMIZI Puskesmas Sukoharjo
Cakupan pemberian ASI eksklusif untuk bayi dan MP ASI untuk balita pada
tahun 2013 di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2012. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI
Tahun Bayi (0-6 bulan) Balita (6-24 bulan)
34
Jumlah Dpt ASI % Jumlah Dpt MP ASI %
2012 730 344 47.12 356 0 0
2013 777 457 58.82 275 48 17.45
Sumber: unit PROMIZI Puskesmas Sukoharjo
Berdasarkan hasil laporan kegiatan program gizi tahun 2013, didapatkan
beberapa program yang belum mencapai target realisasi, diantaranya:
Tabel 6. program, target dan pencapaian program gizi Puskesmas Sukoharjo 2013
No. Program Target (%) Pencapaian
1. Gizi buruk BB/U 0,5% 0.60%
2. Pemberian MP-ASI 17.45 %
3. ASI eksklusif 90% 58.82%
4. Pemberian tablet vitamin
A dosis tinggi
Bayi
Balita
Bufas
100%
100%
100%
99 %
97.99%
61.95%
Sumber: data sekunder plan of action
Keterangan:
1. Presentasi gizi buruk BB/U di atas target, yaitu: 0.60%
2. Presentase pemberian ASI eksklusif masih rendah, yaitu 58,82 %
3. Presentase pemberian tablet vitamin A dibawah target, yaitu: bayi (99%),
balita (97.99%), bufas (61.95%)
B. Analisis masalah
1. Prioritas Masalah
Dari data plan of action Puskesmas Sukoharjo tahun 2013 dapat
diketahui beberapa program Gizi yang belum mencapai target yang telah
ditetapkan. Ada tiga program Gizi puskesmas yang hasilnya belum
memenuhi target dan merupakan masalah bagi puskesmas, yaitu:
a. Presentasi gizi buruk BB/U masih di atas target
b. Presentase pemberian ASI eksklusif masih rendah
c. Presentase pemberian tablet vitamin A masih dibawah target
35
Prioritas masalah-masalah diatas ditentukan melalui matrikulasi
masalah. Indikator yang digunakan dalam membuat matrikulasi masalah
antara lain adalah:
a. Importance yaitu pentingnya masalah, dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Prevalence (besarnya masalah)
2) Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
3) Social benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
4) Rate of increase (kenaikan besarnya masalah)
5) Degree of unmet need (derajat keinginan masyarakat yang tidak
terpenuhi)
6) Public concern (rasa prihatin masyarakat terhadap masalah)
7) Political climate (suasana politik)
b. Technology yaitu kelayakan teknologi yang tersedia
c. Resources yaitu sumber daya yang tersedia
Dari indikator tersebut diatas, terdapat beberapa kriteria yaitu 1 = tidak
penting; 2 = agak penting; 3 = cukup penting; 4 = penting; 5 = sangat
penting.
Tabel 7. Matrikulasi Masalah Gizi
No. Daftar masalahI
T Rjumlah
P ES S RI DU SB PB PC IxTxR
1.Presentase gizi buruk
BB/U masih diatas target5 4 5 4 4 5 5 4 4 4 2560000
2.Presentase pemberian ASI
eksklusif masih rendah4 5 4 3 3 4 4 3 3 3 311040
3.
Presentase pemberian
vitamin A masih dibawah
target
3 4 3 2 3 4 3 3 3 4 93312
Keterangan:
I : importance SB : social benefits
P : prevalence PB : public concern
36
ES : easy solving PC : political climate
S : severity T : technology
RI : rate of increase R : resources
DU : degree of unmet need
Urutan prioritas masalah adalah sebagai berikut:
a. Presentase gizi buruk BB/U masih di atas target
b. Presentase pemberian ASI eksklusif masih rendah
c. Presentase pemberian vitamin A di bawah target
Dari hasil matrikulasi masalah, prioritas masalah pertama dalam
program Gizi adalah Presentase gizi buruk BB/U masih di atas target di
wilayah Puskesmas Sukoharjo.
2. Prioritas pemecahan masalah
Prioritas masalah yang telah diperoleh melalui matrikulasi masalah
perlu disusun alternatif pemecahannya dengan terlebih dahulu menggali
penyebab dari masalah tersebut. Penyebab masih tingginya presentase gizi
buruk BB/U di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo dikarenakan oleh
beberapa sebab, yaitu:
a. Kondisi ibu dan bayi: proses ibu melahirkan (normal/caesar),
kesehatan dan status gizi ibu, usia ibu saat hamil dan melahirkan,
paritas ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, kondisi bayi.
b. Kesadaran Ibu: rasa percaya diri, pengetahuan/ pendidikan ibu
mengenai gizi buruk, serta adanya pengaruh dari luar seperti dukungan
keluarga dan lingkungan.
c. Tenaga kesehatan: kinerja tenaga kesehatan dalam manajemen gizi
buruk, kuantitas tenaga kesehatan dalam program gizi, cakupan
pelaksanaan program gizi, dan pemanfaatan kader.
d. Kader: kinerja kader dan motivasi kader.
Berdasarkan penyebab-penyebab yang ada, bisa didapatkan beberapa
alternatif pemecahan masalah sebagai berikut:
Tabel 8. Alternatif Pemecahan Masalah
Masalah Penyebab Alternative pemecahan masalah
37
Presentase gizi
buruk BB/U di
atas target
1. kondisi ibu dan bayi
a. Kesehatan dan status gizi
ibu yang rendah
b. Asupan gizi yang rendah
bagi bayi dan balita
c. Pekerjaan ibu
d. Pendapatan keluarga
e. Kondisi bayi (bayi sakit,
kembar, prematur)
1. Peningkatan kesehatan serta
status gizi ibu hamil dan
menyusui (PMT, tablet Fe,
vaksin TT 2x selama hamil)
2. Peningkatan asupan gizi bagi
bayi dan balita melalui
1) Menyediakan pemberian
makanan tambahan
pemulihan (PMT-P)
kepada balita kurang gizi
dari keluarga miskin
2) Memberikan suplementasi
gizi (kapsul Vit. A dan
tablet Fe) kepada seuma
balita
3) Penyelenggaraan PMT
penyuluhan setiap bulan di
posyandu
4) konseling ASI eksklusif,
meliputi cara pemberian
ASI yang baik dan benar
serta cara pemerasan dan
penyimpanan ASI,
terutama bagi ibu yang
bekerja
2. Kesadaran Ibu:
a. Pola asuh yang salah
b. Pengetahuan/ pendidikan
ibu mengenai gizi buruk
yang masih rendah
1. Peningkatan pengetahuan
ibu, keluarga (suami, ortu,
mertua), dan lingkungan
tentang pentingnya gizi bagi
bayi dan balita melalui:
38
c. Kurangnya dukungan dari
keluarga dan lingkungan.
a.Penyuluhan tentang gizi
yang baik bagi bayi dan
balita
b.Penyebaran leaflet
c.Pemasangan poster di
puskesmas, posyandu,
maupun pelayanan kesehatan
lainnya
2. Meningkatkan ketrampilan
dan pengetahuan ibu dalam
memberikan asuhan gizi
kepada anak (ASI/MP-ASI)
3. Pengikutsertaan peran suami
dan keluarga dalam
mendukung pemberian gizi
yang baik bagi bayi dan
balita
4. Melibatkan peran aktif tokoh
masyarakat, tokoh agama,
pemuka adat dan kelompok
potensial lainnya
3. Tenaga kesehatan:
a. Kinerja tenaga kesehatan
belum optimal dalam
manajemen gizi buruk
b. Kuantitas tenaga
kesehatan program gizi di
Puskesmas Sukoharjo
masih kurang
c. Cakupan pelaksanaan
program gizi masih
1. Pelatihan manajemen
program gizi di puskesmas
bagi pimpinan dan petugas
puskesmas dan jaringannya
2. Pelatihan tatalaksana gizi
buruk bagi petugas
Puskesmas perawatan
maupun Kader Posyandu.
3. Alokasi tambahan tenaga
kesehatan dalam program
39
terbatas gizi di Puskesmas Sukoharjo
4. Penyediaan biaya
operasional bagi Puskesmas
untuk pembinaan Posyandu,
pelacakan kasus, kerjasama
Pekerja Sosial
Masyarakat/Lembaga
Swadaya Masyarakat tingkat
kecamatan, dll
4. Kader
Kinerja kader yang belum
optimal dan motivasi yang
masih kurang
1. Pelatihan/orientasi petugas
Puskesmas,petugas sektor
lain dan kader yang berasal
dari masyarakat
2. Pelatihan ulang petugas dan
kader
3. Pembinaan dan
pendampingan kader
4. Penyediaan modal usaha
Kader baik melalui
Kelompok Usaha Bersama
(KUBE)maupun Usaha Kecil
Menengah (UKM) dan
mendorong partisipasi
swasta.
Alternatif pemecahan masalah diatas apabila dilaksanakan diharapkan
dapat menyelesaikan permasalahan rendahnya cakupan gizi buruk dengan
baik. Namun, untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut secara
bersamaan akan sangat sulit. Untuk itu perlu dipilih prioritas pemecahan
masalah dengan mengacu pada:
a. Efektivitas pemecahan masalah
40
Untuk menentukan efektivitas pemecahan masalah digunakan kriteria:
1) Magnitude (M) yaitu besarnya masalah
2) Importance (I) yaitu pentingnya pemecahan masalah
3) Vulnerability (V) yaitu sensitifitas dalam mengatasi masalah yang
dihadapi
Nilai efektivitas untuk setiap alternatif pemecahan masalah adalah
mulai dari angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka 5
(paling efektif)
b. Efisiensi pemecahan masalah
Efisiensi ini dikaitkan dengan biaya (cost (C)) yang diperlukan untuk
melaksanakan pemecahan masalah. Nilai efisiensi yakni angka 1
(paling efisien) sampai angka 5 (paling tidak efisien).
Hitung nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif pemecahan masalah,
dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan nilai C.
Pemecahan masalah dengan nilai P tertinggi adalah prioritas
pemecahan masalah terpilih.
Prioritas pemecahan masalah terhadap tingginya gizi buruk diberikan
sebagai berikut:
Tabel 9. Matrikulasi Alternatif Pemecahan Masalah
No
.Daftar pemecahan masalah
EfektifitasEfisiensi
(C)
Jumlah
MxIxV
CM I V
1. Optimalisasi kondisi ibu dan
bayi melalui:
a.Peningkatan status gizi ibu
hamil dan menyusui
b. Peningkatan asupan gizi
bagi bayi dan balita melalui
1) Menyediakan pemberian
makanan tambahan
pemulihan (PMT-P)
41
kepada balita kurang gizi
dari keluarga miskin
2) Memberikan suplementasi
gizi (kapsul Vit. A dan
tablet Fe) kepada seuma
balita
3) Penyelenggaraan PMT
penyuluhan setiap bulan di
posyandu
4) konseling ASI eksklusif,
meliputi cara pemberian
ASI yang baik dan benar
serta cara pemerasan dan
penyimpanan ASI,
terutama bagi ibu yang
bekerja
2. Peningkatan kesadaran ibu,
keluarga, dan lingkungan,
melalui:
1. Peningkatan pengetahuan ibu,
keluarga, dan lingkungan
tentang pentingnya gizi bagi
bayi dan balita melalui:
a. Penyuluhan tentang gizi
bagi bayi dan balita
b. Penyebaran leaflet
c. Pemasangan poster di
puskesmas, posyandu,
maupun pelayanan
kesehatan lainnya
2. Meningkatkan ketrampilan
5 5 4 3 33,3
42
dan pengetahuan ibu dalam
memberikan asuhan gizi
kepada anak (ASI/MP-ASI)
3. Pengikutsertaan peran
suami dan keluarga dalam
mendukung pemberian gizi
yang baik bagi bayi dan balita
4. Melibatkan peran aktif
tokoh masyarakat, tokoh
agama, pemuka adat dan
kelompok potensial lainnya
3. Optimalisasi kinerja tenaga
kesehatan melalui
a. Pelatihan manajemen
program gizi di puskesmas
bagi pimpinan dan petugas
puskesmas dan jaringannya
b. Pelatihan tatalaksana gizi
buruk bagi petugas
Puskesmas perawatan
maupun Kader Posyandu.
c. Alokasi tambahan tenaga
kesehatan dalam program
gizi di Puskesmas Sukoharjo
d. Penyediaan biaya
operasional bagi Puskesmas
untuk pembinaan Posyandu,
pelacakan kasus, kerjasama
Pekerja Sosial
Masyarakat/Lembaga
Swadaya Masyarakat tingkat
3 4 4 3 16
43
kecamatan, dll
4. Optimalisasi kinerja kader
dengan
a. Pelatihan/orientasi petugas
Puskesmas,petugas sektor
lain dan kader yang berasal
dari masyarakat
b. Pelatihan ulang petugas dan
kader
c. Pembinaan dan
pendampingan kader
d. Penyediaan modal usaha
Kader baik melalui
Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) maupun Usaha
Kecil Menengah (UKM) dan
mendorong partisipasi
swasta.
4 3 3 3 12
Dari tabel di atas , didapatkan prioritas utama yaitu:
1. Peningkatan kesadaran ibu, keluarga, dan lingkungan, melalui peningkatan
pengetahuan ibu, keluarga, dan lingkungan tentang pentingnya gizi bagi
pertumbuhan bayi dan balita melalui:
a. Penyuluhan gizi yang baik bagi bayi dan balita
b. Penyebaran leaflet
c. Pemasangan poster di puskesmas, posyandu, maupun pelayanan
kesehatan lainnya
2. Meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan ibu dalam memberikan
asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-ASI).
3. Pengikutsertaan peran suami dan keluarga dalam mendukung pemberian
gizi yang baik bagi bayi dan balita.
44
4. Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan
kelompok potensial lainnya.
5. Promosi Keluarga Sadar Gizi38
Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan materi promosi
ke masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi pendidikan,
tempat kerja, tempat-tempat umum.
Melakukan kampanye secara bertahap, tematik menggunakan media
efektif terpilih.
Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui dasawisma
dengan dukungan petugas.
6. Peningkatan kualitas tenaga kesehatan dengan cara melakukan pelatihan
tenaga kesehatan. Pelatihan tenaga kesehatan menggunakan modul yang
ada dengan materi meliputi:38
Pemantauan pertumbuhan anak seperti menimbang, mengisi dan
interpretasi KMS, mengukur LiLA, konseling dan mengisi SIP),
Pendampingan dalam melaksanakan PHBS, konseling pemberian
makanan, kepatuhan melaksanakan atau mengonsumsi paket
pemulihan gizi,
Peranan kader posyandu dalam penanganan anak gizi buruk secara
rawat jalan.
Pelatihan dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota oleh tim fasilitator.
Tenaga kesehatan yang dilatih berasal dari Puskesmas, Puskesmas
Pembantu dan Poskesdes, dengan melibatkan tenaga kesehatan dari
Puskesmas dari tenaga Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Poskesdes.38
45
Gambar 2. Kaitan Antara Perbaikan Gizi, Peningkatan SDM dan
Kemiskinan
7. Menyediakan tenaga konseling38
Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian
pertumbuhan anak
Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi
Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi
Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak
dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan
dan memilih atau mengganti makanan
8. Pemberian paket obat dan Makanan untuk Pemulihan Gizi
Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa makanan lokal atau
pabrikan:38
a. Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan therapeutic atau gizi siap saji,
F100 atau makanan lokal dengan densitas energi yg sama terutama
dari lemak (minyak/santan/margarin)
b. Pemberian jenis Makanan untuk pemulihan gizi disesuaikan masa
pemulihan (rehabilitasi)
1 minggu pertama pemberian F 100.
Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100 dikurangi seiring
dengan penambahan makanan keluarga.
c. Tenaga kesehatan memberikan makanan untuk pemulihan gizi kepada
orangtua anak gizi buruk pada setiap kunjungan sesuai kebutuhan
hingga kunjungan berikutnya.
Makanan untuk Pemulihan Gizi bukan makanan biasa tetapi merupakan
makanan khusus untuk pemulihan gizi anak yang diberikan secara
bertahap:38
46
a. Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara bertahap:
Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-
7 kali pemberian/hari. Diberikan selama satu minggu dalam
bentuk makanan cair (Formula 100).
Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang
diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).
b. Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase
rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7
kali pemberian/hari (Formula 100).
Rehabilitasi lanjutan diberikan selama 5 minggu dengan pemberian
makanan secara bertahap dengan mengurangi frekuensi makanan cair dan
menambah frekuensi makanan padat.38
Dengan adanya media promosi di posyandu, masyarakat dapat lebih
mudah memahami pentingnya gizi bagi pertumbuhan bayi dan balita.
Penyuluhan, konseling dan penggunaan media promosi, seperti poster/ leaflet
diberikan dengan bahasa yang menarik dan mudah dipahami. Diharapkan
dengan media tersebut, posyandu dapat menjadi sarana promotif dan preventif
yang mudah dijangkau dan terpercaya. Sehingga seluruh level masyarakat
(tidak hanya masyarakat menengah ke bawah, tetapi juga masyarakat
menengah ke atas) mulai memahami pentingnya gizi bagi pertumbuhan bayi
dan balita dan dengan kesadaran diri memberikan gizi yang baik bagi bayi dan
balita.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Prioritas masalah program Gizi Puskesmas Sukoharjo tahun 2013 adalah
masih tingginya angka kejadian gizi buruk sedangkan prioritas pemecahan
47
masalah ialah dengan peningkatan kesadaran ibu melalui peningkatan
pengetahuan ibu tentang pentingnya pemberian gizi yang baik bagi bayi dan
balita dengan cara:
1. Penyuluhan gizi yang baik bagi bayi dan balita
2. Penyebaran leaflet
3. Pemasangan poster di puskesmas, posyandu, maupun pelayanan kesehatan
lainnya
B. Saran
1. Promosi kesehatan yang dilakukan hendaknya lebih ditekankan pada
peningkatan peran para ibu, misalnya dengan penyuluhan bersama antara
petugas dari puskesmas dan kader kepada masyarakat tentang pentingnya
pemberian gizi yang baik bagi bayi dan balita serta memberikan
pengarahan tentang apa yang harus dilakukan bagi para ibu yang bekerja
agar tetap bisa memberikan gizi yang seimbang, khususnya ASI eksklusif
pada buah hatinya.
2. Puskesmas mendorong kader untuk aktif mendatangi ibu-ibu yang tidak
datang ke Posyandu, untuk selanjutnya dianalisis penyebabnya dan
diberikan alternatif pemecahan masalahnya.
3. Untuk meningkatkan kinerja kader, puskesmas dapat memberikan
penghargaan/ reward pada kader terbaik tiap tahunnya.
4. Petugas dari puskesmas diharapkan bekerja secara lebih optimal dalam
membina kader, mengawasi jalannya program gizi dan menepati jadwal
yang telah ditentukan bersama.
5. Meningkatkan koordinasi antara puskesmas dan kader dengan
mengadakan rapat koordinasi program untuk membahas sasaran dan target
program yang harus dicapai. Target program dalam satu tahun bisa dibagi
per bulan atau tergantung komitmen bersama antara puskesmas dan kader.
6. Puskesmas dapat melakukan survei sejauh mana pengetahuan masyarakat
tentang gizi buruk. Survei dapat dilakukan dengan kuesioner atau
wawancara. Hasil survei dapat dijadikan bahan evaluasi untuk pelaksanaan
program selanjutnya.
48
7. Optimalisasi program KIE, Posyandu, dan gizi, khususnya konseling gizi.
8. Meningkatkan kerja sama lintas sektoral, termasuk rumah sakit untuk tidak
memberikan susu formula kepada bayi yang dilahirkan disana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Notoatmodjo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Rineka Cipta.
2. Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru.
49
3. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi.
4. Kumar S. 2007. Global Database on Child Growth and Malnutrition. Diakses
pada September 2013. Available from: http://Who.int//nutgrowthdb>.
5. Tropical Medicine Central Resource. Kwashiorkor (Protein–Calorie
Malnutrition). Diakses pada September 2013. Available from:
http://tmcr.Usuhs.mil/tmcr/chapter16/Kwashiorkor.htm
6. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Anak dengan Gizi Baik
Menjadi Aset dan Investasi Bangsa di Masa Depan. Diakses pada September
2013. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/1346-anak-dengan-gizi-baik-menjadi-aset-dan-investasi-bangsa-di-
masa-depan.html
7. Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Diakses pada September 2013. Available from:
http://www.docstoc.com/docs/66364904/Laporan-Akhir-EKPD-2010-
Provinsi-Jawa-Tengah-oleh-Universitas-Diponegoro
8. Sudaryat S, Soetjiningsih. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unud Denpasar.
9. World Health Organisation. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: WHO Indonesia.
10. Kusriadi. 2010. Analisis Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Kurang
Gizi Pada Anak Balita Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
11. Anwar K, Juffrie M, Julia M. 2011. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di
Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. Diakses pada September 2013:2(3):81-85.Available
from:http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/
12. Effendi. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
50
13. Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
14. Razak AA, Gunawan IMA, Budiningsari RD. 2011. Pola Asuh Ibu Sebagai
Faktor Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) Pada Anak Balita.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Diakses pada September 2013:6(2):95-
103.Available from: http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?
dataId=10761
15. Kosim, Sholeh M. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I.Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
16. Supartini Y. 2002. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:
EGC.
17. Mexitalia M. 2011. Air Susu Ibu dan Menyusui. Dalam: Sjarif DR, Lestari
ED, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik. Edisi ke-1.Jakarta: IDAI.
18. Hartono A. 1997. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit.Jakarta: EGC.
19. Wahyuni S, Julia M, Budiningsari D. 2005. Pengukuran Status Gizi Pasien
Anak Menggunakan Metode SGNA Sebagai Prediktor Lama Rawat Inap,
Status Pulang dan Kejadian Malnutrisi di Rumah Sakit. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. Diakses pada September 2013. Available from:
http://dc183.4shared.com/doc/gV1MYaob/preview
20. Lada C, Aspatria U, Jutomo L. 2012. Kajian Jenis-Jenis Penyakit Infeksi dan
Lamanya Perawatan Bagi Balita Penderita Gizi Buruk di Panti Rawat Gizi
Panite Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
Diakses pada September 2013. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1109819_2085-9341.pdf
21. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
22. Paryanto E.1997. Gizi Dalam Masa Tumbuh Kembang. Jakarta: EGC.
23. Soendjojo RD, Sritje H, Mien S. 2000. Menstimulasi Anak 0-1 Tahun.
Jakarta:PT Elexmedia Komputindo.
51
24. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta:
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI.
25. Kliegman R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. USA: Saunders Elsevier.
26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. 2007. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.
27. Walker, Allan. 2004. Pediatric Gastrointertinal Disease. USA: DC Decker.
28. Dini L. 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama
Krisis Ekonomi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
29. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan
Masyarakat. Jakarta: EGC.
30. Rumiasih. 2003. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Magelang.Semarang: Universitas
Diponegoro.
31. Pius, Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
32. Departemen Kesehatan RI. 2002. Program Gizi Makro. Jakarta: Depkes RI.
33. Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
34. Taruna J. 2002. Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya
Kasus Gizi Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau
Tahun 2002. Jakarta: Universitas Indonesia.
35. Abu A. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
36. Departemen Kesehatan RI. 2004. Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Depkes RI.
37. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED. 2008. Buku Acuan Pelayanan Obstetri
dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta: EGC.
38. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Anak
Gizi Buruk. Jakarta: Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak.
52