JURNAL JADI
-
Upload
ali-wardana-sitepu -
Category
Documents
-
view
461 -
download
0
Transcript of JURNAL JADI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENGERTIAN
Menurut FI edisi IV, suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk,
yang diberikan melalui rektum, vagina, atau uretra; umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat dan sebagai
pembawa zat terapeutik yang bersifat local atau sistemik.
Menurut Remington’s Pharmaceutical Sciences 1975 : Suppositoria adalah sediaan padat
yang digunakan untuk pengobatan, biasanya dimasukkan kedalam lubang rectum, lubang vagina
atau saluran kencing, dia hancur di dalam lubang badan tersebut dengan cara meleleh atau larut.
Menurut FI edisi II 1972 : Suppositoria untuk vagina dipergunakan sebagai pengobatan local
sedangkan suppositoria untuk rectal dipergunakan baik sebagai local maupun distribusi secara
sistemik.
Bahan dasar Suppositoria adalah oleum cacao (lemak coklat), gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran PEG dengan berbagai bobot molekul,dan ester asam lemak
PEG. Bahan dasar lain seperti surfaktan nonionik dapat digunakan, misalnya ester asam lemak
polioksietilen sorbitan dan polioksietilen stearat.
Macam- macam suppositoria berdasarkan tempat penggunaannya, yaitu :
1. Suppositoria rectal, sering disebut sebagai suppositoria saja,berbentuk peluru, digunakan
lewat rectum atau anus.Menurut FI edisi III bobotnya antara 2-3 gram,yaituuntuk dewasa
3 g dan anak-anak 2 g,sedangkan menurut FI IV ± 2 gram. Suppositoria rectal berbentuk
torpedo mempunyai keunggulan,yaitu bagian yang besar masuk melalui jaringan otot
penutup dubur,suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya.
2. Suppositoria vaginal (ovula), berbentuk pola lonjong seperti kerucut, digunakan lewat
vagina,berat antara 3 - 5 g, menurut FI III 3-6 g, umumnya 5 g. Suppositoria kempa atau
suppositoria sisipan adalah suppositoria vaginal yang dibuat dengan cara mengempa
massa serbuk menjadi bentuk yang sesuai, atau dengan cara pengkapsulan dalam gelatin
lunak. Menurut FI IV, suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau
dapat bercampur alam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g.
Suppositoria dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi (70 bagian gliserin, 20 bagian
gelatin dan 10 bagian air )harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada
suhu dibawah 35ºC.
3. Suppositoria uretra (bacilla,bougies) digunakan lewat uretra, berbentuk batang dengan
panjang antara 7-14 cm.
Keuntungan penggunaan obat dalam bentuk suppositoria dibanding per-oral,yaitu :
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
3. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehinngga obat dapat berefek lebih
cepat daripada penggunaan obat per-oral.
4. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
Tujuan penggunaan obat :
1. Dipakai untuk pengobatan local, baik didalam rectum, vagina atau uretra, seperti pada
penyakit haemoroid / wasir / ambeien dan infeksi lainnya.
2. Cara rectal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh membran
mukosa dalam rectum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien yang
mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa rectum dan
langsung masuk kedalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari kerusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan
perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu:
1.2.1 Tujuan Instruksional Umum :
a. Mengenal bentuk sediaan Suppositoria
1.2.2 Tujuan Instruksional Khusus :
a. Mengetahui bentuk sediaan Suppositoria
b. Mengetahui bahan dasar Suppositoria
c. Mengetahui dan memahami cara pembuatan Suppositoria
d. Mengetahui persyaratan Suppositoria
e. Mengetahui mengevaluasi suppositoria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut FI edisi IV adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rektum, vagina, atau uretra; umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu
tubuh.Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat dan sebagai pembawa
zat terapeutik yang bersifat local atau sistemik.
Macam- macam suppositoria berdasarkan tempat penggunaannya, yaitu :
4. Suppositoria rectal, sering disebut sebagai suppositoria saja,berbentuk peluru, digunakan
lewat rectum atau anus.Menurut FI edisi III bobotnya antara 2-3 gram,yaituuntuk dewasa
3 g dan anak-anak 2 g,sedangkan menurut FI IV ± 2 gram. Suppositoria rectal berbentuk
torpedo mempunyai keunggulan,yaitu bagian yang besar masuk melalui jaringan otot
penutup dubur,suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya.
5. Suppositoria vaginal (ovula), berbentuk pola lonjong seperti kerucut, digunakan lewat
vagina,berat antara 3 - 5 g, menurut FI III 3-6 g, umumnya 5 g. Suppositoria kempa atau
suppositoria sisipan adalah suppositoria vaginal yang dibuat dengan cara mengempa
massa serbuk menjadi bentuk yang sesuai, atau dengan cara pengkapsulan dalam gelatin
lunak. Menurut FI IV, suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau
dapat bercampur alam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g.
Suppositoria dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi (70 bagian gliserin, 20 bagian
gelatin dan 10 bagian air )harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada
suhu dibawah 35ºC.
6. Suppositoria uretra (bacilla,bougies) digunakan lewat uretra, berbentuk batang dengan
panjang antara 7-14 cm.
Keuntungan penggunaan obat dalam bentuk suppositoria dibanding per-oral,yaitu :
5. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
6. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
7. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehinngga obat dapat berefek lebih
cepat daripada penggunaan obat per-oral.
8. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
Tujuan penggunaan obat :
6. Dipakai untuk pengobatan local,baik didalam rectum,vagina atau uretra ,seperti pada
penyakit haemoroid/ wasir/ ambeien dan infeksi lainnya.
7. Cara rectal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh membran
mukosa dalam rectum.
8. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien yang
mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
9. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa rectum dan
langsung masuk kedalam sirkulasi darah.
10. Agar terhindar dari kerusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan
perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal dibagi atas :
Faktor Fisiologis
Rectum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel rectum
sifatnya berlipoid ( berlemak ) maka diutamakan permeable terhadap obat yang tidak
terionisasi (obat yang mudah larut dalam lemak).
Faktor Fisika- Kimia Obat dan Basis
1. Kelarutan obat : obat yang mudah larut dalam lemak akan lebih cepat terabsorpsi
daripada obat yang larut dalam air
2. Kadar obat dalam basis : jika kadar obat makin besar, absorpsi obat semakin cepat.
3. Ukuran partikel : ukuran partikel obat akan mempengaruhi kecepatan larutnya obat ke
cairan rektum.
4. Basis suppositoria : obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan segera
dilepaskan ke cairan rektum jika basis dapat segera terlepas setelah masuk ke dalam
rektum; obat segera di absorpsi dan aksi kerja awal obat akan segera muncul. Jika obat
larut dalam air dan terdapat dalam basis larut air, aksi kerja awal obat akan segera muncul
jika basis tadi cep[at larut alam air.
Bahan dasar Suppositoria adalah oleum cacao (lemak coklat), gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran PEG dengan berbagai bobot molekul,dan ester asam lemak
PEG. Bahan dasar lain seperti surfaktan nonionik dapat digunakan, misalnya ester asam lemak
polioksietilen sorbitan dan polioksietilen stearat.
Bahan dasar suppositoria yang ideal harus mempunyai sifat sebagai berikut :
1. Padat pada suhu kamar sehingga dapat dibentuk dengan tangan atau dicetak, tetapi akan
melunak pada suhu rectum dan dapat bercampur dengan cairan tubuh.
2. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
3. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat
4. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta
pemisahan obat.
5. Kadar air mencukupi
6. Untuk basis lemak maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus
diketahui jelas.
Penggolongan bahan dasar suppositoria :
1. Bahan dasar berlemak : oleum cacao (lemak coklat)
2. Bahan dasar yang dapat bercampur atau larut dalam air : gliserin-gelatin, polietilen glikol
(PEG)
3. Bahan dasar lain: pembentuk emulsi A/M . Misalnya campuran Tween 61 85% dengan
gliserin laurat 15%.
Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat (oleum cacao) :
1. Merupakan trigliserida dari asam oleat,asam stearat, asam palmitat; berwarna putih
kekuningan; padat, berbau seperti coklat, dan meleleh pada suhu 31º-34ºC
2. Karena mudah berbau tengik, harus disimpan dalam wadah atau tempat sejuk, kering dan
terlindung cahaya.
3. Oleum cacao dapat menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya pada pemanasan
tinggi.di atas titik leburnya, oleum cacao akan meleleh sempurna seperti minyak dan akan
kehilangan inti Kristal stabil yang berguna untuk membentuk kristalnya kembali.
4. Untuk menghindari bentuk Kristal tidak stabil di atasa dapat dilakukan dengan cara :
a. Oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, cukup 2/3 saja yang dilelehkan.
b. Penambahan sejumlah kecil bentuk Kristal stabil kedalam lelehan oleum cacao untuk
mempercepat perubahan bentuk tidak stabil menjadi bentuk stabil.
c. Pembekuan lelehan selama beberapa jam atau beberapa hari.
5. Untuk menaikkan titik lebur lemak coklat digunakan tambahan cera atau cetasium
(spermaseti).
6. Untuk menurunkan titik lebur lemak coklat dapat digunakan tambahan sedikit
kloralhidrat, fenol, minyak atsiri
7. Lemak coklat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampur dengan cairan tubuh, karena
dapat menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati.
8. Lemak coklat jarang dipakai untuk sediaan obat vagina karena meninggalkan residu yang
tidak dapat diserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang dipakai untuk sediaan rectal
karena disolusinya lambat
9. Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat dapat dibuat dengan mencampurkan bahan
obat yang dihaluskan ke dalam minyak lemak padat suhu kamar dan massa yang
dihasilkan dibuat dalam bentuk yang sesuai atau dibuat dengan cara meleburkan minyak
lemak dengan obat kemudian dibiarkan sampai dingin di dalam cetakan. Suppositoria
disimpan dalam wadah tertutup baik, pada suhu dibawah 30ºC.
10. Pemakaian air sebagai pelarut dengan bahan dasar oleum cacao sebaiknya dihindari
karena :
a. Menyebabkan reaksi antara obat di dalam suppositoria
b. Mempercepat tengiknya oleum cacao
c. Jika airnya menguap, obat akan mengkristal kembali dan dapat keluar dari
suppositoria.
11. Keburukan oleum cacao sebagai bahan dasar suppositoria :
a. Meleleh pada udara yang panas.
b. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama
c. Titik lebur dapat turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu
d. Adanya sifat polimorfisme
e. Sering bocor ( sering dari rectum karena mencair) selama pemakaian.
f. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi
12. Akibat keburukan oleum cacao, maka dicari pengganti bahan dasar suppositoria,yaitu:
a. Campuran asam oleat dengan asam stearat dalam perbandingan yang dapat diatur
b. Campuran setilalkohol dengan oleum amygdalarum dalam perbandingan 17:83
c. Oleum caco sintesis : coa buta,suppositol.
Metode pembuatan suppositoria :
1. Dengan tangan : dapat dikerjakan untuk suppositoria yang menggunakan bahan dasar
oleum cacao berskala kecil,dan jika bahan obat tidak tahan terhadap pemanasan .Metode
ini kurang cocok untuk iklim panas.
2. Dengan mencetak hasil leburan : cetakan harus dibasahi dulu dengan parafin cair bagi
yang memakai bahan dasar gliserin-gelatin, tetapi untuk oleum cacao dan PEG tidak
dibasahi karena akan mengerut pada proses pendinginan dan mudah dilepas dari cetakan.
3. Dengan kompresi : pada proses penuangan, pendinginan,dan pelpeasan suppositoria
dilakukan dengan mesin secara otomatis. Kapasitas bias mencapai 3500-6000
suppositoria/jam.
Pembuatan suppositoria secara umum :
Bahan dasar suppositoria yang digunakan ialah yang meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut
dalam cairan rectum.Jika obat sukar larut dalam bahan dasar dibuat serbuk halus. Setelah
campuran obat dan bahan dasar meleleh dituangkan ke dalam cetakan kemudian
didinginkan,sebelum digunakan cetakan dibasahi dengan paraffin cair atau minyak lemak,atau
spiritus saponatus. Namun spiritus saponatus tidak boleh digunakan untuk suppositoria yang
mengandung garam logam karrena akan bereaksi dengan sabunnyadan sebagai penggantinya
digunakan oleum recini dan etanol. Khusu untuk suppositoria dengan bahan dasar PEG dan
Tween bahan pelicin tidak diperlukan, karena bahan dasar dapat mengerut sehingga mudah lepas
saat dicetak.
Pengemasan Suppositoria :
1. Dikemas dengan sedemikian rupa sehingga tiap suppositoria terpisah,tidak mudah
hancur, atau meleleh.
2. Biasanya dimasukkan dalam wadah dari aluminium foil atau strip plastic sebanyak 6-12
buah ,kemudain dikemas dalam dus.
3. Harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat sejuk.
Pemeriksaan Mutu Suppositoria :
1. Penetapan kadar zat aktifnya dan disesuaikan dengan yang tertera pada etiketnya.
2. Uji terhadap titik leburnya,terutama jika menggunakan bahan dasar oleum cacao
3. Uji kerapuhan, untuk menghindari kerapuhan selama pengangkutan
4. Uji waktu hancur,untuk PEG 1000 15 menit, sedangkan oleum cacao dingin 3 menit
5. Uji homogenitas
2.2 Resep Dan Cara Pembuatan
R/ Benzocain 0,500
Theophyllin 0,500
Dasar supp. q.s
m.f. supp. dtd No III
s. I dd supp I
#
Pro : Tn. Jalal
Penimbangan
1 suppositoria = 3 g
Jumlah suppositoria = 3
Berat 3 suppositoria = 3 x 3 = 9 g
Benzokain = 0,5g x 3= 1,5 g
Theophyllin = 0,5g x 3 = 1,5 g
Oleum cacao = 9 - 3 (0.5 + 0.5) = 6 g
a. Cara Pembuatan
1. Timbang semua bahan.
2. Ke dalam cawan masukkan oleum cacao lalu lebur di atas beaker glass yang berisi air
dengan suhu 39 C.
3. Ke dalam lumpang masukkan benzokain dan theophyllin lalu digerus sampai homogen.
4. Kemudian masukkan sedikit demi sedikit campuran ke dalam leburan oleum cacao
sambil diaduk hingga homogen.
5. Masukkan ke dalam cetakan suppositoria yang telah dilumasi paraffin liquid.
6. Masukkan cetakan ke dalam kulkas tunggu hingga suppositoria membeku.
7. Timbang satu per satu suppositoria dan juga kelimanya sekaligus lalu hitung
keseragaman bobot.
8. Evaluasi homogenitas suppositoria dengan membelah secara membujur.
2.3. Evaluasi suppositoria
Berat 10 Suppositoria = 29,05 g
Berat rata- ratnya = 29,05 / 10 = 2,905 g
Timbang satu per satu
Berat Suppositoria I = 2,8 g
Berat Suppositoria II = 2,85 g
Berat Suppositoria III = 2,8 g
Berat Suppositoria IV = 2,75 g
Berat Suppositoria V = 2,8 g
Berat Suppositoria VI = 2,8 g
Berat Suppositoria VII – X = 2,85 g
Total berat timbang satu per satu = 28,2 g
Berat rata-rata satu per satu = 2,82 g
Penyimpangan Berat
Penyimpangan Berat = 2,905 -2,82 x 100% = 2,92 %
2,905
2.4. PEMBAHASAN
Dari hasil evaluasi yang dilakukan didapat penyimpangan berat sebanyak 2,92%, dimana
hasil dari praktikum suppositoria yang dilakukan sudah baik. Karena tidak melewati syarat
penyimpangan berat, yaitu penyimpangan beratnya tidak boleh lebih besar dari 5 -
10%.Namun,hal ini terjadi karena kurang homogennya pada saat menggerus benzocain dan
theophillin dan ketika dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam oleum cacao. Dan berat yang
didapat saat penimbangan kesepuluh suppositoria sudah baik juga yakni dengan rata-rata
beratnya 2,905. Usp menetapkan berat suppositoria yaitu 2 gr, untuk orang dewasa bila oleum
cacao yang digunakan sebagai basisnya. Sedangkan suppositoria untuk bayi dan anak-anak ,
beratnya ½ dari berat orang dewasa. Namun sebenarnya berat suppositoria ini berbeda-beda
sesuai dengan bobot jenis bahan obat dan dasar suppositoria yang digunakan.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howard C.(1989).Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-IV. Jakarta: UI Press.
Hal: 576-597.
Anief, Moh, Prof,Drs,Apt. (1997).Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: UGM
Departemen kesehatan RI.(1979). Farmakope Indonesia. Edisi ke- III. Jakarta
Departemen kesehatan RI.(1995). Farmakope Indonesia. Edisi ke- IV. Jakarta
Jas, Admar. (2004). Perihal Obat dengan Berbagai Bentuk Sediaannya. Medan : USU Press.
Hal 47-48.