JURNAL HUBUNGAN INTERNASIO- -...

170

Transcript of JURNAL HUBUNGAN INTERNASIO- -...

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIO-NAL adalah jurnal ilmiah berkala yangditerbitkan oleh Jurusan Ilmu HubunganInternasional, Fakultas Ilmu Sosial danPolitik Universitas Muhammadiyah Yogya-karta dua kali setahun pada bulan Aprildan November. Redaksi menerima nas-kah artikel laporan penelitian, artikel le-pas, dan resensi buku yang sesuai denganvisi Jurnal. Naskah yang dikirim terdiridari 15 sampai 25 halaman kwarto (A4)dengan spasi ganda. Naskah dilengkapidengan biodata penulis.

Ketua PenyuntingAde Marup Wirasenjaya, M.A

Sekretaris PenyuntingFaris Alfadh M.A

Dewan PenyuntingTulus WarsitoBambang CiptoAli MuhammadTakdir Ali MukhtiRatih HerningtyasSugitoSugeng Riyanto

Mitra BestariLinda Quayle (Universitas Melbourne Australia)Budi Winarno (Universitas Gadjah Mada)

Alamat RedaksiGedung E, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah YogyakartaRingroad Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta,Tel. 0274-387656Email: [email protected]

Jurnal Hubungan Internasional | Vol. 5 | No. 2| Oktober 2012 |ISSN 1829-5088

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

IIJURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Daftar isi

Halaman 154 Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalamPemberlakuan Kuota Perempuan di IndonesiaNur Azizah; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas MuhammadiyahYogyakarta

Halaman 172 Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi IndonesiaBudi Winarno; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL Universitas GadjahMada

Halaman 189 The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of SolutionsZain Maulana; School of International Studies Flinders University, Australia. Email:[email protected]

Halaman 198 Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur TengahAhmad Sahide; Program Doktor Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana Universi-tas Gadjah Mada

Halaman 208 From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New OrderEra1

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff; School of History, Politics and StrategicStudies, Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Kebangsaan Malaysia(UKM), Malaysia

Halaman 226 Keadilan Global dan Norma InternasionalMuhammad Faris Alfadh; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UniversitasMuhammadiyah Yogyakarta. Email: [email protected]

Halaman 237 ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The ConflictResolution in Southeast Asia RegionTonny Dian Effendi; Department of International Relations, University ofMuhammadiyah Malang

Halaman 247 Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif IndonesiaApriwan; Andalas Institute of International and Strategic Studies (ASISST), ProgramStudi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Andalas, Padang, Email:[email protected]

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

IIIVOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Halaman 258 China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century AsiaTulus Warsito; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas MuhammadiyahYogyakarta, School of International Studies, Universiti Utara Malaysia

Halaman 273 Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat CompliancePartisipan PerjanjianSonny Sudiar; Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Mulawarman

Halaman 289 Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan ParadiplomacyTakdir Ali Mukti; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas MuhammadiyahYogyakarta [email protected]

Halaman 302 The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur TengahSidik Jatmika; Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UniversitasMuhammadiyah Yogyakarta

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

IVJURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pengantar redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah, edisi terbaru JHI akhirnya bisa terbit di hadapanpara pembaca.

Edisi kali ini menampilkan topik yang amat beragam, dari isu-isu kawasan yangsedang hangat di Asia Pasifik, ketegangan politik yang belum berujung di TimurTengah, hingga geliat raksasa ekonomi baru dunia, China. Menarik juga untukmembaca gagasan kontributor lainnya tentang demokrasi di Indonesia sertaimplikasinya atas berbagai fenomena politik di tingkat lokal. Yang pasti, semua tinjauandalam volume ini tetap memberi gambaran tentang makin beragam dan penuhwarnanya kajian hubungan internasional kontemporer.

Pembaca,Kami juga perlu menginformasikan bahwa mulai edisi ini, di jajaran mitra bestari

telah bergabung Linda Quayle PhD dari Universitas Melbourne, Australia. Untukbeberapa bulan ke depan, beliau adalah pengajar di Program Internasional JurusanHI UMYsebagai pengajar tamu. Kami berterima kasih atas kesediaan dan antusiasmebeliau untuk terlibat dalam jurnal ini. Nama mitra bestari kami yang kedua adalahProf Dr Budi Winarno dari UGM, Yogyakarta. Beliau bukan nama yang asing dancukup produktif menulis, termasuk di beberapa edisi JHI. Kepada beliau kami jugamenyampaikan terima kasih.

Pembaca,Tidak mudah mencari tulisan kajian HI, ternyata. Ada banyak tulisan yang

dikirimkan berulang-ulang oleh para penulis. Kami sungguh menghimbau agar parapenulis mengirimkan satu naskah dan berkomunikasi dengan pengelola jurnal agartidak menjajakan naskah yang sama. Keluhan pengelola jurnal HI di universitas lainrasanya senada. Semoga di masa-masa yang akan datang akan terbentuk semacaminformasi tentang penerbitan karya ilmiah di kalangan penstudi HI tanah air.

Selamat menikmati edisi ini.Salam hangat.

Ade M WirasenjayaKetua penyunting

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

VVOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Pedoman Penulisan

1. Artikel yang ditulis untuk JHI meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian dalamlingkup ilmu hubungan internasional. Naskah diketik dengan huruf Times NewRoman, ukuran 12 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang 12 sampai 20 halaman,dan diserahkan dalam bentuk prin-out sebanyak 2 eksemplar. Berkas (file) dibuatdengan Microsoft Word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachmentemail ke alamat [email protected]

2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah jusul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkandi bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnyadicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Bagi naskah yang ditulisoleh sebuah tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama ataupenulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkanmencantumkan alamat email untuk memudahkan komunikasi.

3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertaijudul pada masing-masing bagian artikel. Bagian pendahuluan disajikan tanpa judulbagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan poin14. Peringkat judul bagian ditulis dengan jenis huruf yang berbeda (semua judulbagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring) dan tidak menggunakanangka/nomor pada judul bagian;

PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)

4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelarakademik); abstrak (maksimum 100 kata); kata kunci; pendahuluan (tanpa judul)yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama(dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian); penutup atau kesimpulan; daftarrujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tan agelarakademik); abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode dan hasilpenelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikittinjauan pustaka dan tujuan penelitian; metode; hasil;pembahasan; kesimpulan;daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk)

6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahunterakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

VIJURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

penelitian (termsuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalamjurnal dan/atau majalah ilmiah.

7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun).Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangantentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Friedman, 2008: 85).

8. Dafrar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut dan diurutkansecara alfabetis dan kronologis.

BukuKristol, Irving. 1983. Reflection of a Neoconcervative: Looking Back, Looking Ahead.New York: Free Press.

Buku kumpulan artikelSkinner, Kiron (ed).2003. Reagan: A Life in Letters.New York. Free Press.

Artikel dalam buku kumpulan artikel: Sutton, Frank. 2006. Nation-Building in US Foreign Relations. Dalam FrancisFukuyama (ed), Nation-Building: Beyond Afghanistan and Iraq. Baltimore: JhonHopkins University Press.

Artikel dalam jurnal atau majalah:Skocpol, Theda.1977. Wallerstein’s Capitalist World System and Historical Critique.The American Journal of Sociology, March, Vol.82, No.5.

Artikel dalam koran:Hiarej, Erik. 2 Nopember, 2008. Terorisme dan Individualisasi Perang. Kompas,hlm.6.

Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):Kompas. 14 November, 2008. Korea Utara Semakin Mengisolasi Diri, hlm.9

Dokumen resmi:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1978. Pedoman Penulisan LaporanPenelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2tentang Sistem Pendidikan Nasional.1990.Jakarta: PT Armas Duta Jaya.

Buku terjemahan:Soros, George.2000. Open Society: Reforming Global Capitalism. Terjemahan SriKoesdiyantiyah.2007. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

VIIVOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:Sugito.2007. Analisis Terhadap Misi Peacebuilding United Nations Transition Adminis-tration In East Timor (UNTAET). Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Sekolah PascaSarjana UGM.

Makalah seminar, lokakarya, penataran:Garnaut, Ross. 2008. Indonesia and the World of Climate Change. Makalah disajikandalam Panglaykim Memorial Lecture. CSIS, Jakarta, 17 Oktober.

Internet (karya individual)Ahmadi, Sidiq.2008. Tantangan ASEAN Pasca Agreement on Transboundary HazePollution. ( Online), (http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.pdf, diakses 12 No-vember 2008).

Internet (artikel dalam jurnal online)Herningtyas, Ratih. 2007. Pengaruh Internet terhadap Demokrasi. Jurnal IlmuHubungan Internasional. (Online), Jilid 2, No.4, (http://www.umy.ac.id, diakses1 Januari 2008)

Internet (bahan diskusi):

Sabrina, Katy, 20 Desember 2008. CIFOS Discussion List, (Online), ([email protected]., diakses 25 November 2008).Internet (email pribadi)Riyanto, Sugeng ([email protected]). 5 Oktober 2008. Artikel untuk JHI. Email kepadaSiti Muslihati ([email protected])

9. Tata cara penyajian kutipan, tabel dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedo-man Penulisan Karya Ilmiah (Universitas Negeri Malang, 2000) atau mencontohtata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indone-sia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan(Depdikbud, 1987). Artikel berbahasa Inggris menggunakan ragam baku.

10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewer) yang ditunjukoleh penyunting menurut bidang kompetensinya. Penulis artikel diberi kesempatanuntuk melakukan perbaikan naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitrabestari atau penyunting. Kepastian pemuatan dan penolakan naskah akan diberita-hukan secara tertulis atau melalui surat elektronik (email).

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

154JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Dilema Demokrasi Liberal:Hambatan Normatif, Institusional

dan Praktikal dalam PemberlakuanKuota Perempuan di Indonesia

AbstractPolitical reform in 1998 Indonesia brought an inclusive participation to all people. One of its significant outcomeswas the establishment of women quota that tried to accommodate women’s aspirations in Indonesian democraticsystem, particularly in the parliament. This policy had been legalized in the constitution article 65 UU 12 2003about General Election of the House of Representative which then finalized in 2008. However, this quotamechanism has many barriers in its implementation such as from Mahkamah Konstitusi that decided to changethe instrument for elected candidate which based not on the consecutive number, so the quota system wascomplicated to put into practice. This article tries to explain why the performance of women quota was ineffective.To address the problems, analysis of this article based on feminist perspective with critical discourse of analysis(CDA). The study will be conducted on three levels namely normative level, institutional level, and practical level.Keywords: liberal democracy, women quota, participation, Indonesia

Nur AzizahJurusan Ilmu Hubungan Internasional,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PendahuluanKuota telah diterima sebagai jalur cepat (fast

track) untuk mewujudkan perimbangan genderdalam lembaga-lembaga pembuatan keputusan.Penggunaan strategi kuota telah mampu mening-katkan keterwakilan perempuan hingga 56,3% diRwanda (2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% diAfrica Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008)(Women in National Parliament, http://www.ipu.org).Meski kontroversial, kini sudah lebih dari 100negara mengadopsi strategi ini. Pada tahun 2003para aktivis perempuan Indonesia berhasil mem-perjuangkan adanya aturan tentang kuota perem-puan dalam Undang-undang no 12/2003 tentangPemilu dan diperbaiki dalam UU 10/2008. Na-mun pemberlakuan ketentuan kuota tersebutmenemui banyak hambatan, diantaranya ialah ke-putusan Mahkamah Konstitusi untuk mengubahketentuan calon terpilih bukan berdasar nomer

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

155VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

urut sehingga praktis ketentuan kuota sulit dilaksanakan. Penelitian ini inginmenjelaskan mengapa pemberlakuan kebijakan kuota perempuan di Indonesia ter-hambat.

Tulisan ini menggunakan pendekatan kritis, metode analisa wacana kritis danberperspektif feminis. Kajian politik feminist selalu didorong oleh keinginan untukmenyelesaikan persoalan-persoalan politik yang dihadapi perempuan (Krooka andSquires, 2006). Penggunaan analisa wacana kritis (Critical Discourse of Analysis-CDA)disebabkan karena pendekatan ini dapat membantu menyingkap tabir-tabir terselu-bung yang ada dibalik realita sosial. Melalui CDA, peneliti berusaha mengungkapideologi dan kepentingan politik yang berada di balik argumen-argumen yang menen-tang kuota perempuan. Ciri khas pendekatan kritis adalah curiga dan memperta-nyakan secara kritis kondisi masyarakat saat ini.

Wacana dapat diartikan sebagai percakapan, teks, serangkaian kalimat yang salingberkaitan, bahasa lisan–komentar, hasil wawancara, ucapan dan pernyataan-pernya-taan (Eriyanto, 2009: 2). Pidato, dialog, polemik, perdebatan, percakapan atau perbin-cangan juga dapat dikategorisasikan sebagai sebuah wacana. Karena itu penelitian iniakan menganalisa pernyatan-pernyataan dan komentar para aktor politik dan hasilwawancara penulis terhadap responden, terkait dengan kuota perempuan.

Dari berbagai varian analisa wacana, penulis memilih untuk menggunakan analisaCDA. Dengan menggunakan CDA penelitian ini ingin menunjukkan bagaimanagagasan perempuan, isu tentang ketimpangan gender disingkirkan dari konsep politik,demokrasi, perwakilan, sistem dan perundang-undangan partai politik, pemilu danpenjaringan caleg didalam partai-partai politik, meski telah terdapat ketentuan kuotaperempuan dalam Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Partai Politik. Dengandisingkirkannya gagasan dan isu tentang perempuan maka kepentingan perempuanuntuk memperoleh kuota 30% keterwakilan di parlemen, kepentingan untuk mem-peroleh akses dalam pembuatan keputusan, dan kepentingan untuk mencapai kese-taraan dengan laki-laki juga ikut terpinggirkan.

Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse of Analysis) menggunakan analisa kualitatifdan menggunakan penafsiran sebagai basis utama untuk memaknai temuan (Eriyanto,2009: 49). Meski penafsiran dalam analisis wacana bersifat subyektif, tetapi denganmenghubungkannya dengan konteks, maka penafsiran tersebut mempunyai dasarargumentasi yang kuat (Eriyanto, 2009: 64). Analisa dilakukan dengan menafsirkansecara subyektif wacana (teks) yang diteliti. Penafsiran dilakukan dengan menghu-bungkan teks dengan konteksnya (siapa partisipan yang memproduksi wacana, setingsosial, historis, kepentingan, kekuasaan dan ideologi). Intinya, untuk memahami teks,perlu dipahami konteksnya. Teks adalah semua bentuk bahasa baik yang tercetak(tulisan), maupun semua jenis ekspresi komunikasi—ucapan, gambar, musik, citra,suara dan lain-lain (Cook, Guy, 1994: 1). Konteks adalah semua situasi yangmempengaruhi teks, dapat dibagi dua yaitu partisipan wacana dan setting sosial.

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

156JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Partisipan wacana adalah siapa yang memproduksi wacana—apa jenis kelaminnya,berapa umurnya, apa pendidikannya, seperti apa kelas sosialnya dan apa agamanya.Seting sosial yaitu posisi dan aturan yang melingkupinya yang dapat diklasifikasikandalam seting historis, seting kekuasaan dan seting ideology. Seting Historis yaitudengan menghubungkan antara teks dengan setting sejarah, seperti bagaimana situasisosial politik pada saat itu, mengapa wacana yang dikembangkan seperti itu, mengapabahasa yang digunakan seperti itu. Setting Kekuasaan yaitu dengan menghubungkanantara teks dengan kekuatan politik (kontrol kelompok laki-laki terhadap perempuan).Ini dapat berupa kontrol fisik dan kontrol pikiran (hegemoni sebuah gagasan)–kontrolstruktur wacana (kelompok laki-laki mempunyai kekuasaan besar untuk menentukanisu apa yang diangkat dalam RUU Parpol/RUU Pemilu DPR). Sedangkan setingIdeologi ialah bahwa teks dan percakapan akan mencerminkan ideologi subyeknya.Dari teks dapat dianalisa ideologi subyeknya (misal: liberal kapitalis, feminis dll).Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan (kelompok liberal-kapitalis) untukmereproduksi dan melegitimasi dominasinya.

Telaah dilakukan pada tiga level analisa. Pertama, pada level normatif level nor-matif, dimana diperdebatkan dua gagasan keadilan: compensatory justice vs distributivejustice. Kedua, pada level institusional, dimana kepentingan-kepentingan tersebut ter-jalin dalam suatu pola penataan, sebagaimana diungkap dalam rumusan ketentuanperundang-undangan. Ketiga, pada level praktikal yang mengungkap kepentinganaktor dalam rekrutmen caleg.

Analisis secara simultan pada tiga level tersebut menunjukkaan bahwa pember-lakuan kuota perempuan di Indonesia terhambat karena kebijakan tersebut meng-hadapi konflik pada level normatif, level institusional dan level praktikal. Pada levelnormatif, pemberlakuan kuota berkonflik dengan hegemoni pemaknaan demokrasidan perwakilan versi liberal. Pada level institusional pemberlakuan kuota berkonflikdengan sistem dan teknis pemilu (liberal–majoritarian) seperti yang tercantum dalamperundang-undangan pemilu. Pada level praktikal pemberlakuan kuota menimbulkankonflik kepentingan antara kelompok yang diuntungkan dengan kelompok yangdirugikan oleh kebijakan kuota. Konflik ini mengakibatkan peminggiran perempuanyang dilakukan melalui mekanisme penjaringan caleg, pengaturan peserta Konggres/Munas dan konservasi gender politics dalam praktek partai politik.

Hegemoni norma liberal ditandai oleh ketidaksadaran para pelaku bahwa terdapatmale biased dalam norma, pelembagaan dan praktek demokrasi liberal. Hegemonitersebut telah merata baik dikalangan eksekutif, legeslatif, yudikatif maupun aktivis.Karena kendalanya bersifat hegemonik, maka upaya untuk menyusun peraturanperundang-undangan tentang pemilu dan partai politik serta sistem rekruitmen calegyang tidak menggunakan prinsip-prinsip demokrasi liberali sangat sulit tercapai.Akibatnya, perundang-undangan pemilu di Indonesia yang dibangun diatas prinsip-prinsip liberal majoritarian justru menfasilitasi dominasi laki-laki dalam politik. Meski

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

157VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

dalam pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPR naik hingga mencapai 18%namun dalam 10 kali pemilu yang diselenggarakan sejak kemerdekaan Indonesia,laki-laki tetap mendominasi lebih dari 80% kursi DPR.

Konflik pada ketiga level tersebut menghadirkan dilema bagi perempuan. Di satusisi model liberal telah menjadi regime demokrasi di Indonesia sehingga jika perem-puan ingin berpolitik mereka harus mengikuti aturan main liberal, namun di sisilain aturan main liberal ini menghambat pemberlakuan kuota perempuan danmelanggengkan dominasi laki-laki dalam arena politik Indonesia. Konflik pada ketigalevel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Konflik Pada Level NormatifPada level normatif, pemberlakuan kuota berkonflik dengan hegemoni pemaknaan

demokrasi dan perwakilan versi liberal. Reformasi demokrasi di Indonesia tidak dapatdipisahkan dari perkembangan rejim demokrasi dunia. Pasca kejatuhan Uni Soviet,Amerika Serikat semakin gencar dalam mempromosikan ideologi demokrasi liberalkapitalis. Demokrasi liberal menjadi seperangkat nilai universal yang siap dieksporke seluruh penjuru dunia, terutama ke negara-negara yang sedang membangun sistemdemokrasinya, termasuk Indonesia. Akibatnya, model-model demokrasi lainnya sepertidemokrasi sosial (social welfare democracy) yang lebih menekankan pada kesejahteraanrakyat menjadi tidak terdengar.1 Demokrasi liberal menjadi model hegemonik yangdianggap sebagai model terbaik.

Untuk mendukung promosi demokrasi tersebut Amerika Serikat membentukThe National Endowment for Democracy (NED) yang mendanai lebih dari 1,000 proyekbagi NGOs diluar negeri yang bergerak dibidang demokrasi di lebih dari 90 negara .Sebagian besar dana NED mengalir ke empat lembaga prpmotor demokrasi besaryaitu The Center for International Private Enterprise (CIPE), The American Center for Inter-national Labor Solidarity (ACILS), The International Republican Institute (IRI), dan TheNational Democratic Institute for International Affair (NDI) yang berperan besar dalampendanaan proyek-proyek demokrasi di Indonesia.

Meski demikian adanya konflik normatif antara kebijakan kuota dengan norma-norma demokrasi liberal ini tidak kasat mata sehingga para aktivispun banyak yangtidak menyadarinya. Banyak diantara aktivis yang berperan ganda, sebagai pendukungkuota dan juga sebagai pengusung norma demokrasi liberal. Beberapa jaringanadvokasi antar negara (TAN’s) seperti International IDEA, lembaga penghubungdonor seperti Partnership for Governance, organisasi non pemerintah seperti CETROdan pemerintah Republik Indonesia sendiri juga berperan ganda sebagai pendukungkuota sekaligus pengusung demokrasi liberal, tanpa menyadari adanya kontradiksinormatif didalamnya. Ambivalensi ini sulit terelakkan mengingat sebagian besar danaadvokasi kuota maupun demokrasi berasal dari sumber yang sama yaitu donor asing.

Pasca reformasi prinsip-prinsip demokrasi liberal yang menekankan equal opportu-

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

158JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

nity dan individual right berhasil menjadi norma demokrasi yang diyakini kebenarannyadan mempunyai posisi hegemon dikalangan legeslatif (pembuat undang-undang/DPR-pimpinan partai), yudikatif (Mahkamah Konstitusi), dan aktivis demokrasi Indone-sia. Hegemoni norma liberal ini membuat gagasan kuota perempuan yang mene-kankan prinsip equality of result dan collective right sulit diterima maupun dilaksanakankarena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.2 Menurut liberal,kesetaraan gender diupayakan dicapai melalui perbaikan kondisi sosial ekonomi(pemberdayaan) perempuan, bukan melalui intervensi pemerintah. Konsep-konseputama demokrasi liberal seperti individual, equal opportunity dan one person one vote onevalue (OPOVOV) yang digunakan sebagai bahan baku bagi pembangunan teori-teoridemokrasi dan pemilihan umum yang mereka klaim dapat menjelaskan “realita”dunia, terbukti bias gender sehingga tidak dapat dikatakan obyektif. Konsep-konsepini bias gender karena pemahamannya tentang manusia, tentang sifat manusia, hanyadidasarkan pada asumsi sifat manusia yang maskulin (Pirages and Sylvester, 1989). Dasarberfikir ini menjadi tidak representatif, karena ternyata isi bumi adalah manusialaki-laki dan perempuan. Bukan hanya laki-laki saja.

Penggunaan konsep individual dalam demokrasi liberal didasarkan pada penga-laman laki-laki dalam bermasyarakat. Yang dimaksud dengan individu dalam konsepdemokrasi liberal adalah orang yang mempunyai karakter autonomy (kemandirian),rationality (penalaran), mempunyai kemampuan untuk memilih (ability to make choices) dan membuat kontrak/perjanjian dengan pihak lain. Karakter-karakter tersebutadalah karakter yang selalu melekat pada maskulinitas. Sebaliknya, sebagian besarperempuan tidak memenuhi criteria sebagai individu. Karena itu pengabstrakan laki-laki dan perempuan dalam konsep individu menjadi menyesatkan karena tidak sesuaidengan realita masyarakat.

Penggunaan prinsip OPOVOV yang meminta pemilih untuk memilih satu namacalon/partai saja dalam sebuah pemilu cenderung akan menguntungkan laki-laki.Dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh tradisi patriarkhi, satu suara tersebutcenderung diberikan pada calon yang berjenis kelamin laki-laki. Seandainya sistempemilu bersifat netral, tidak bias gender, mestinya penggunaan sistem tersebut tidakakan mengakibatkan tingginya kesenjangan gender di parlemen secara terus menerusseperti yang terjadi selama ini. Baru pada tahun 1990an muncul kesadaran bahwasitem pemilu tidak bersifat ‘netral’ sehingga kalangan feminis mulai mengupayakanreformasi sistem pemilu yang lebih bersahabat bagi perempuan.

Penggunaan norma equal opportunityy dan impartiality hanya akan menguntungkankelompok dominan (laki-laki). Jika semua individu diberi hak yang sama (equal right),maka kepentingan dari kelompok dominanlah yang akan berlaku karena merekaakan menyatakan bahwa pengalaman dan cara pandang mereka tentang realitas so-cial sebagai suatu hal yang obyektif dan tidak memihak (Young, 1989: 259). Artinya,norma kelompok dominan (laki-laki) lah yang menjadi standar. Atas nama obyektifitas

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

159VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

dan ketidakberpihakan (impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas, termasukperempuan, menjadi terpinggirkan dalam kehidupan politik. Atas nama universal-ism maka norma-norma asli yang semula dipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas,termasuk perempuan, menjadi terdegradasi. Sebaliknya, norma laki-laki menjadistandar.

Obsesi akan stabilitas menjadikan sistem pemilu cenderung konservatif (mendu-kung status quo) dan meminggirkan perempuan. Baik dari sisi teori maupun praktek,sistem pemilu yang dipraktekkan dinegara-negara demokrasi liberal seperti AmerikaSerikat dan Eropa Barat cenderung dianggap sebagai sebuah standar (norm). Aktor-aktor politik yang diuntungkan dengan pemikiran dan praktek sistem pemilu tersebutcenderung mengkonservasi sistem sehingga pemikiran tentang reformasi sistem pemilusulit untuk diterima.

Penggunaan prinsip OPOVOV misalnya, cenderung mengunci munculnya alter-natif/inovasi sistem pemilu dengan basis kelompok (group right) yang memungkinkanpenggunaan reserved seats, pemisahan penghitungan suara bagi caleg perempuan danlaki-laki, penggunaan dual ballot ( satu surat suara untuk memilih caleg perempuan,dan satu surat suara untuk memilih caleg laki-laki) atau pemilihan caleg secara kolektifyang mengharuskan pemilih memilih satu calon perempuan dan satu calon laki-laki.Terkuncinya inovasi sistem pemilu memaksa perempuan untuk bertarung dalamkerangka sistem pemilu District, Proporsional Representative (PR) atau campurandiantara keduanya, yang cenderung male bias tersebut.

Konflik pada Level PelembagaanPada level institusional pemberlakuan kuota berkonflik dengan sistem dan teknis

pemilu (liberal-majoritarian) seperti yang tercantum dalam perundang-undanganpemilu. Hegemoni norma liberal dalam demokrasi dan perwakilan di Indonesiatersebut mendorong terbentuknya institusi (UU Parpol dan UU Pemilu) dan praktekpenentuan calon terpilih yang tidak sesuai dengan kebutuhan kuota, sehinggapenghambat pemberlakuan kebijakan kuota, terlihat dalam flowchart ilustrasi 1:

Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda, Inggris, Canada, New Zealand,India dan lain-lain menunjukkan bahwa keberhasilan peningkatan keterwakilanperempuan selalu didahului dengan electoral engineering (perekayasaan sistem pemilu)atau lebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknis pemilu yang memberikanpeluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih. Di Indonesia, electoral engineer-ing semacam ini belum pernah dilakukan. Rendahnya keterwakilan perempuan tidakdianggap sebagai problem yang perlu diatasi melalui reformasi sistem pemilu, selainpenggunaan kuota. Aktor-aktor politik yang diuntungkan oleh sistem ini cenderungmengkonservasi sistem pemilu sehingga tidak terjadi reformasi sistem pemilu yangmenguntungkan perempuan. Resistensi pemerintah dan politisi terhadap usulan kuotaperempuan pada awal reformasi dan ketiadaan sanksi bagi partai yang tidak memenuhi

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

160JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

ketentuan kuota menunjukkan sikap pembuat undang-undang yang cenderungmengkonservasi sistem pemilu yang telah ada karena sistem tersebut menguntungkanmereka (laki-laki).

Ilustrasi 1Sistem Pemilu Liberal (Indonesia Pasca Reformasi)

Pemikiran tentang reformasi sistem pemilu yang pro perempuan sulit untukditerima. Pembahasan tentang perlunya inovasi sistem dan teknis pemilu (electoralengineering) yang bersifat emansipatoris dan lebih sesuai dengan logika kuota ini jarangdibahas karena para ahli politikpun cenderung berpendapat bahwa pemilu modelliberal (distrik/majoritarian, perwakilan berimbang/Proportional Representative)adalah standar yang sulit diubah. Para ahli politik juga cenderung memaknai demokrasisebagai sarana untuk mengetahui dan mengumpulkan preferensi warga Negaramelalui “voting /pemilihan umum” (Model Demokrasi Agregarif).3 Sebagai dampakdari kegencaran Amerika Serikat dalam mempromosikan demokrasi liberal, makapaska Perang Dingin pewacanaan demokrasi dihegemoni oleh model demokrasi lib-eral. Terdapat kesan bahwa demokrasi liberal adalah ‘bentuk ideal dari organisasipolitik’ sehingga bentuk-bentuk demokrasi lainnya cenderung tidak memperolehtempat. Meski demikian sesungguhnya terdapat berbagai varian demokrasi.

Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapat dibedakan dalam tiga model, yaituModel Aggregative, Model Deliberative dan Model Anti Dominasi. Dilihat darisikapnya terhadap kelompok-kelompok minoritas, demokrasi dapat dibedakan dalamdemokrasi liberal individual, demokrasi liberal republican, demokrasi multi kultural,demokrasi konsociational dan demokrasi etnik. Dilihat dari basis pemberian hakpolitik, demokrasi dapat memberikan hak politik pada individu (individual liberaldemocracy, republican liberal democracy), dan demokrasi yang memberikan hak politiksecara kolektif (consociational democracy dan ethnic democracy). Sedangkanmulticultural democracy berada diantara demokrasi liberal dan demokrasi konso-ciational. Jika dilihat dari aspek pengelolaan ekonomi demokrasi demokrasi dapatdibedakan dalam demokrasi liberalism kapitalis dan demokrasi social (social democ-racy). Demokrasi liberal kapitalis memberikan peran minimal pada Negara, sebaliknyademokrasi social memberikan peran yang cukup besar pada Negara dalam pengelolaanekonomi dan sosial.

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

161VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Uraian singkat dari masing-masing varian demokrasi tersebut dapat dilihat dalamtabel-tabel berikut ini.

Tabel 1Varian Demokrasi berdasar Prosedur Kerja

Tabel 2Varian Demokrasi Berdasar Sikap terhadap Minoritas

Sumber: Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMI Working Paper, 13 October

Tabel 3

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

162JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Varian Demokrasi berdasar Pengelolaan Negara terhadap Ekonomi

Pasca reformasi politik 1998, karakter liberal individual dalam demokrasi Indone-sia tampak semakin kuat. Hal ini tercermin, misalnya dalam ketentuan tentangPemilihan Umum yang meminta pemilih untuk memberikan suaranya langsung padacalon (individu), penggunaan prinsip universal citizenship, penggunaan prinsipOPOVOV dalam pemilu dan digunakannya sistem majoritarian (suara terbanyak) untukmenentukan calon terpilih. Intinya, pemilu menjadi arena kompetisi antar individu(caleg).

Pasca reformasi meski secara formal sistem pemilu Indonesia bernama proporsionalnamun secara esensial mekanisme penentuan calon terpilih didasarkan pada systemmajoritarian (suara terbanyak). Sistem pemilu ini menyulitkan perempuan. Pertama,dalam sistem majoritarian (suara terbanyak), dimana pemilih diminta memilih calegdalam surat suara, gerakan perempuan akan kesulitan untuk menuntut pemenuhanisu gender pada setiap caleg yang jumlahnya amat sangat banyak (dapat mencapaipuluhan ribu orang). Kedua, dengan sistem majoritarian, pemilu cenderung menjadiurusan individual. Dengan sistem pemilu yang berorientasi pada individu calon, tautanantara pemilih dengan calon lebih banyak bersifat klientelistik dan kharismatik.Artinya pemilih memilih caleh lebih karena pertimbangan keuntungan material yangdiperoleh dari caleg atau karena kharisma caleg (Kitschelt, 2000).

Tabel 4Variabel Sistem Pemilu yang Akomodatif terhadap Perempuan

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

163VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Menurut Kitschelt terdapat tiga pola hubungan caleg dengan pemilih dalam sistempolitik demokratik, yaitu pola karismatik, pola klientelistik dan pola programatik.Pola kharismatik terjadi jika pemilih memberikan suaranya berdasar kharisma caleg.Pola klientelistik, terjadi jika pemilih memberikan suaranya berdasarkan pertim-bangan keuntungan (material) yang diperoleh secara langsung kepadanya. Sedangkanpola programmatik terjadi jika pemilih memperikan suaranya karena program partaiyang ditawarkan memang menarik (Kitschelt, 2000).

Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pemilu Indonesia selama ini yangmengarah pada sistem majoritarian (suara terbanyak) membuat kebijakan kuotaperempuan sulit dilaksanakan. Keputusan MK NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 yangmenentuan calon terpilih harus didasarkan pada suara terbanyak secara berurutanmenjadikan klausul tentang kuota perempuan kehilangan “roh” nya karena perjua-ngan perempuan untuk “memaksa” partai-partai politik menempatkan perempuandi nomer urut kecil menjadi kehilangan dasar pijakannyai seperti terlihat dalam ilustrasiberikut.

Ilustrasi 2Ketidaksinkronan antara Sistem Pemilu Indonesia dengan Ketentuan Kuota

Perempuan

Sumber: Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan. Jakarta: Women ResearchInstitute

Konflik pada Level PraktikalPada level praktikal pemberlakuan kuota menimbulkan konflik kepentingan antara

kelompok yang diuntungkan dengan kelompok yang dirugikan oleh kebijakan kuota.Konflik ini mengakibatkan peminggiran perempuan yang dilakukan melaluimekanisme penjaringan caleg, pengaturan peserta Konggres/Munas dan konservasigender politics dalam praktek partai politik.

Meski telah ada ketentuan kuota namun praktik di dalam partai politik masih

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

164JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

meminggirkan perempuan. Peminggiran dilakukan dengan mempraktekkan genderpolitics, pembuatan aturan tentang peserta Konggres/Munas partai yang mengkaitkanlegalitas peserta dengan jabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC)sehingga sulit ditembus oleh perempuan, dan pembuatan aturan penjaringan calegdengan menggunakan prinsip meritokrasi-scoring. Pemberlakuan kuota secara sungguh-sungguh jelas akan menguntungkan sekelompok orang (caleg perempuan) danmerugikan sekelompok yang lain (caleg laki-laki) sehingga menimbulkan konflikkepentingan. Konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan ini membuat pihakyang dirugikan akan berupaya menghambat pemberlakuan kuota dan meminggirkanposisi perempuan dengan berbagai cara.

Gender politics dilakukan dengan mengelompokkan perempuan dalam organisasisayap perempuan yang aktifitasnya cenderung mengikuti ideology gender yang telahtertanam kuat di masyarakat yaitu urusan keluarga, anak, kesehatan dan kesejahteraansosial. Proses domestikasi ini menyebabkan perempuan Indonesia sulit untukdiorganisir agar mampu mendekonstruksi institusi partai yang mendiskriminasikanmereka. Tidak mengherankan jika sedikit sekali perempuan yang dapat menempatikepengurusan strategis partai (Cario, Argentina).

Peminggiran perempuan juga dilakukan dengan pembuatan aturan tentang pesertaKonggres/Munas partai yang sulit ditembus oleh perempuan sehingga arena tersebutselalu didominasi laki-laki. Pengaturan Konggres yang mengkaitkan legalitas pesertadengan jabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) praktis telahmeminggirkan perempuan dalam proses-proses pembuatan keputusan partai karenasulit sekali bagi perempuan untuk dapat menduduki posisi puncak di DPD/DPWdan DPC.

Peminggiran perempuan berikutnya dilakukan dalam proses penjaringan calegpartai. Pada proses penjaringan caleg peminggiran perempuan terjadi ketika partai-partai menggunakan prinsip meritokrasi-scoring yang memperlakukan bakal caleg laki-laki maupun perempuan secara sama. Jika menggunakan affirmative action semestinyacaleg perempuan diperlakukan secara berbeda dengan caleg laki-laki. Meski partaimengaku telah melakukan affirmative action, namun norma yang digunakan dalamproses penjaringan caleg adalah equality of opportunity, netralitas Negara (panitia seleksi)dan individual right yang bertentangan dengan logika kuota. Baik partai maupunmasyarakat berpandangan bahwa pemilu yang demokratis adalah pemilu yangmenempatkan pemilih dan peserta pemilu secara setara.

Mekanisme penjaringan bakal caleg di berbagai partai tersebut maka dapatdiklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu dengan menggunakan sistem skoring(Golkar, PDIP, PAN, PKB), dengan perolehan suara dalam Pemilu Raya (PKS) dandengan Musyawarah (PPP). Sistem Pemilu Raya dan sistem skoring menghasilkanangka-angka yang bersifat kuantitatif yang akan digunakan sebagai dasar pengurutancalon, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, denga angka yang kongkrit seperti

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

165VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

ini, tindakan affirmative action terhadap calon perempuan akan sulit dilakukan, karenadapat dianggap sebagai manipulasi skor atau penghianatan terhadap mekanismedemokrasi. Pada beberapa partai memberikan sistem quota pada penjaringan bakalcalon pada level pertama. Level-level seteruanya harus diikuti dengan sistem skoring.Ada pula partai yang menambahkan skor khusus untuk perempuan, tetapipenambahan tersebut tidak significant. PAN menambahkan skor 5 (lima) bagi

Tabel 5Proses Penjaringan Caleg PAN-Golkar-PDIP Pemilu 2004

Sumber: Diolah dari CETRO

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

166JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

perempuan, dengan total skor maksimal sekitar 100.Scoring system kerap dianggap sebagai sistem yang terbaik. Padahal ketika sistem

scoring mencampurkan dalam satu list antara bakal caleg laki-laki dan perempuanmaka akan menggugurkan sistem kuota perempuan. Perempuan bakal caleg sendiripada umumnya tidak menyadari bahwa dengan system scoring berarti laki-laki maupunperempuan diperlakukan secara sama. Jika menggunakan prinsip quota, semestinyascoring harus dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kuota adalahhak perempuan secara kolektif. Skoring didasarkan pada prinsip equal opportunity,

Tabel 6Proses Penjaringan Caleg PBB-PPP-PKB-PKS Pemilu 20044

Sumber: Diolah dari CETRO

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

167VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

sedangkan kuota didasarkan pada equality of result. Penggunaan scoring dapat dimaknaisebagai strategi untuk melumpuhkan system kuota.

Jika penentuan nomer urut dilakukan secara musyawarah maka akan menghasilkanpenilaian yang kualitatif. Dengan sistem ini sebenarnya lebih memungkinkan adanyaaffirmative action untuk bakal caleg perempuan. Tetapi jika peserta musyawarahsebagian besar adalah laki-laki, maka suara bagi bakal caleg perempuan juga akansangat kecil. Masalah utamanya ialah akses perempuan untuk terlibat sebagai pesertamusyawarah (tim seleksi) sangat kecil sehingga peluang untuk mempengaruhikeputusan juga sangat kecil. Untuk itu kehadiran fisik perempuan dalam timmusyawarah sangat penting. Dalam partai-partai yang bernuansa Islam, otoritas kyaiatau tokoh agama dalam proses musyawarah juga sangat tinggi. Jika para tokoh agamatersebut memberikan dukungannya pada bakal caleg laki-laki, maka bakal calegperempuan juga akan terpinggir.

PenutupRiset ini telah menawarkan pengggunaan tiga level analisa yaitu level praktikal

(kepentingan aktor dalam rekrutmen caleg) yang bersifat kasat mata, level institusional(perundang-undangan Pemilu dan Partai Politik) yang agak abstrak dan level normatif(compensatory justice vs distributive justice) yang bersifat abstrak secara simultan untukmengungkap hambatan pemberlakuan kuota di Indonesia.

Penggunaan tiga level analisa secara simultan untuk mengungkap hambatanpemberlakuan kuota di Indonesia tersebut menjadikan disertasi ini berbeda dengandesertasi Wahidah br Siregar yang mengungkap tidak tercapainya kuota 30%keterwakilan perempuan dari level institusional (sistem pemilu tertutup vs sistempemilu suara terbanyak /majoritarian). Penelitian ini juga berbeda dengan penelitianKrook yang mengungkap hambatan pemberlakuan kuota dari level institusional (word-ing, sistem pemilu) dan praktikal (kekuatan aktor yang mendukung dan menentangkuota), dan juga berbeda dengan penelitian Dahlerup yang mengungkap hambatanpemberlakuan kuota dari level institusional (sanksi kuota)

Argumen penulis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusiteoritis dengan menunjukkan bahwa hegemoni pemaknaan (norma) liberalmajoritarian dalam demokrasi dan perwakilan telah menjadi penghambat utamapemberlakuan kebijakan kuota perempuan karena norma tersebut melahirkaninstitusi (UU Parpol dan UU Pemilu) dan praktek politik yang tidak sesuai dengankebutuhan kuota dan melanggengkan kekuasaan laki-laki dalam perpolitikan Indo-nesia (status quo). Dengan melihat pada aspek norma maka temuan ini dapatmenyempurnakan teori serupa yang dikemukakan oleh Dahlerup dan Krook.

Menurut Mona Lena Krook, implementasi quota gender di sebuah negaradipengaruhi oleh tiga variabel utama yaitu variabel rincian mandat aturan atau undang-undang tentang quota itu sendiri, variabel kerangka institusional yang melingkupi

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

168JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

quota tersebut dan variabel aktor atau kelompok yang mendukung dan menentangquota.

“The impact of quotas is linked to detail of the measures themselves, the impact of quotais depend on institutional framework in which they are introduces and the impact ofquotas steams of the balance of actors for and against implementation” (Krooka, 2005:42).

Sedangkan menurut Dahlerup, design kuota yang spesifik sangat menentukankeberhasilan pemberlakuan kuota “..the specific design of the quota system is crucial forthe successful implementation of quotas”. Artinya, design kuota harus memuat sanksibagi partai yang tidak mematuhinya.

“in order to be effective, a quota system must be compatible with the electoral system inplace and that quota rules – for example, of 30 or 40 per cent women on electoral lists– must be supplemented with rules concerning rank order as well as – in the case oflegislated quotas – effective legal sanctions”( Dahlerup and Freidenvall. 2008).

Baik Krook maupun Dahlerup tidak mengungkap aspek normative (ideology) yangmempengaruhi pembentukan institusi politik maupun perilaku actor dalammenanggapi kebijakan kuota perempuan. Sementara penelitian ini menunjukkanbahwa mindset liberal dikalangan legeslatif (pembuat undang-undang, pimpinanpartai), yudikatif (hakim konstitusi). maupun aktivis pro demokrasi Indonesia yangmenekankan perpolitikan pada level individual, memaknai kesetaraan sebagai equalopportunity dan memaknai keadilan sebagai distributive justice telah menjadipenghambat kebijakan kuota, baik pada tahap perumusan maupun pemberlakuan.

Efektifitas pemberlakuan kuota perempuan bukan hanya ditentukan oleh vari-able wording, institusional (system pemilu), sanksi maupun kekuatan actor yangmendukung kuota seperti dikatakan oleh Krook, Dahlerup maupun Wahidah brSiregar, namun juga dipengaruhi oleh ideology yang berkembang di Negara tersebut.Bahkan aspek ideology akan menentukan perumusan wording ketentuan kuota,kerangka institusional (system pemilu), kebijakan partai maupun perilaku aktor dalammerespon kebijakan kuota. Aspek ideology inilah yang membedakan efektifitaspemberlakuan kuota perempuan di beberapa Negara Scandinavia-Amerika Latin-Australia, Rwanda (demokrasi sosial—demokrasi konsosiasional) dan Indonesia-Amerika Serikat (demokrsi liberal majoritarian).

Di Negara yang mengalami demokratisasi seperti di Indonesia kebijakan kuotadiambil selain karena desakan gerakan perempuan yang sangat kuat juga sebagaiupaya untuk menunjukkan bahwa Negara tersebut demokratis. Keberadaan ketentuankuota bukan berarti merupakan jaminan peningkatan keterwakilan perempuankarena mindset liberal memaksa perempuan untuk bersaing dengan mengandalkankekuatan individualnya dan aturan main didesign dengan prinsip equal opportunity,

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

169VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

OPOVOV dan surat suara tunggal (single ballot) serta meritokrasi.Penelitian ini mengkonfirmasi pendapat Anne Phillip dan beberapa ilmuwan femi-

nist lainnya bahwa teori-teori demokrasi liberal tidak netral gender (Phillip, 1991).Pembahasan pada bab-bab terdahulu menunjukkan bahwa norma, institusi (systemdan teknis pemilu) dan praktek yang terkait dengan demokrasi dan perwakilan politikdi Indonesia tersebut tidak netral, melainkan sarat dengan kepentingan politik.Ketimpangan gender dalam lembaga perwakilan yang terjadi secara terus menerusmerupakan salah satu bukti dari ketidaknetralan tersebut. Fakta ini membenarkanpernyataan Critical Theory bahwa teori juga tidak bersifat netral tetapi cenderungmenguntungkan pihak yang kuat dan melanggengkan status quo. Gagasan kuotaperempuan merupakan terobosan pemikiran alternative yang bersifat emansipatoris.

Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda, Inggris, Canada, New Zealand,India dan lain-lain menunjukkan bahwa keberhasilan peningkatan keterwakilanperempuan selalu didahului dengan electoral engineering (perekayasaan system pemilu)atau lebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknis pemilu yang memberikanpeluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih. Electoral engineering dilakukandengan membuat inovasi teknis pemilu yang pro perempuan.Inovasi tersebutdilakukan oleh Rwanda dengan memperkenalkan Triple balloting system, Inggrismemperkenalkan All women’s short lists’, Afganistan memperkenalkan reserved seatsmelalui pemilihan secara langsung, India memperkenalkan Dual-member Constituen-cies di Lok Sabha (masih dalam tahap usulan) dan Twinning System di Scottist yangterbukti mampu memberikan akselerasi terhadap kebijakan kuota perempuan.

Partisipasi perempuan dalam lembaga demokrasi Indonesia berada dibawahtekanan dan dominasi norma-norma liberal. Perempuan adalah salah satu darikelompok minoritas seperti orang tua (lansia), minoritas etnik dan kelompokmasyarakat miskin yang dihambat untuk mengekspresikan pengalamannya dalamrealitas politik karena liberal selalu memaksakan norma homogeneity, impartialitydan rationality. Norma liberal yang menekankan impartiality, generality dan formalequality cenderung merugikan perempuan karena keyakinan akan norma-normatersebut menjadikan liberal tidak mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan danparticularitas yang ada di masyarakat, termasuk fakta akan adanya perbedaan aktifitasantara perempuan dan laki-laki. Akibatnya, norma-norma liberal tentang demokrasidapat menjadi sarana dominasi politik laki-laki atas perempuan.

Karena masing-masing kelompok mempunyai pengalaman, sejarah dan carapandang yang berbeda terhadap kehidupan sosial maka tidak ada satupun kelompokyang dapat mewakili pengalaman, sejarah dan cara pandang dari kelompok lain.Dalam menghadapi keberagaman kelompok-kelompok tersebut, maka penggunaannorma formal equality dan impartiality hanya akan menguntungkan kelompokdominan (laki-laki). Jika semua individu diberi hak yang sama (equal right), makakepentingan dari kelompok dominanlah yang akan berlaku karena mereka akan

Nur Azizah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

170JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

menyatakan bahwa pengalaman dan cara pandang mereka tentang realitas socialsebagai suatu hal yang obyektif dan tidak memihak. Artinya, norma kelompokdominan (laki-laki) lah yang menjadi standar. Atas nama obyektifitas danketidakberpihakan (impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas, termasukperempuan, menjadi terpinggirkan dalam kehidupan politik. Atas nama universal-ism maka norma-norma asli yang dipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas,termasuk perempuan, menjadi terdegradasi. Sebaliknya, norma laki-laki menjadistandar.

BibliografiCook, Guy. 1994. The Discourse of Advertising. London and New York: Routledge.

Dahlerup, Drude and Lenita Freidenvall. 2008. Electoral Gender Quota Systems andTheir Implementation in Europe. WIP, Women in Politics Research Centre, Depart-ment of Political Science, Stockholm University in cooperation with InternationalIDEA

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan VII.Yogyakarta: LKiS.

Kitschelt, Herbert and Steven Wilkinson. 2007. Patrons, Clients, and Policies: Patternsof Democratic Accountability and Political Competition. Cambridge: Cambridge Uni-versity Press.

Kitschelt. 2000. Linkages between citizens and politicans in democratic politics. Compara-tive Political Studies 33 (6/7).

Krook, Mona Lena, 2005. Politizing Representation: Campaign for Candidate GenderQuotas Worlwide. Columbia University

Krooka, Mona Lena and Judith Squires. 2006. Gender Quotas in British Politics: Mul-tiple Approaches and Methods in Feminist Research. Palgrave Macmillan Ltd. (Online),(www.palgrave-journals.com/bp)

Phillip, Anne. 1991. Engendering Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.Pirages, Dennis dan Christine Sylvester (ed). 1989. Transformations in the Global Politi-

cal Economy. Basingstoke: Macmillan.Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMI Working Paper, 13

October. European Centre for Minority Issues (ECMI) Schiffbruecke 12(Kompagnietor Building) Flensburg Germany. (Online), (http://www.ecmi.de)

Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadapKeterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan. Jakarta: Women Research Insti-tute.

Women in National Parliament. (Online), (http://www.ipu.org)

(Footnotes)1 Ketiadaan ideologi yang berperan sebagai counter hegemoni ini membedakan

Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

171VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

pengaruh norma liberal di Indonesia dengan negara-negara Amerika Latin (Ar-gentina) dan negara-negara dengan tradisi demokrasi yang kuat seperti Scandinavia,Inggris, Australia, Selandia Baru, Inggris, Selandia Baru, Skandinavia, Belanda,Swiss dan Belgia.

2 Penolakan gagasan kuota perempuan atas dasar norma demokrasi bukan hanyaterjadi di Indonesia. Atas nama prinsip-prinsip demokrasi ini pulalah AmerikaSerikat yang menjadi pemimpin Coalition Provisional Authority (CPA) setelahkejatuhan Sadham Hussein di Irak, menentang usulan organisasi-organisasiperempuan Irak yang menginginkan kuota 30% di parlemen lokal, nasional,kabinet dan Komisi Pembuat Konstitusi. Penolakan Amerika ini dijawab denganmobilisasi perempuan Irak sehingga akhirnya CPA memenuhi tuntutan perem-puan. Atas nama norma demokrasi pula Amerika Serikat hingga saat ini tidakmengadopsi kuota perempuan meski tingkat keterwakilan politik perempuan diComgres hanya 16,9% dan di Senate hanya 17%

2. Alasan yang sama digunakan oleh Mahkamah Konstitusi Perancis yang pada tahun1982 menganulir peraturan kuota gender (25%-75%) karena kuota sex dianggapbertentangan dengan dengan prinsip republikan tentang equality dan mengancambagi demokrasi Perancis. Jelas bahwa konflik normative, meski tidak kasat mata,menjadi hambatan bagi pemberlakuan kuota perempuan diberbagai Negara.

3 Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapat dibedakan dalam tiga model, yaituModel Aggregative, Model Deliberative dan Model Anti Dominasi

4 Diolah dari CETRO

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

172JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Globalisasi dan Rezim DemokrasiPoliarki: Kebijakan Integrasi

Ekonomi IndonesiaAbstractGlobalization on the one hand has reduced significantly the traditional roles of the state in the internationallevel, while on the other hand it strengthened the positions of new transnational actors such as internationalorganization, MNC, and society. At the domestic level, in many democratic nations, it changed the quality ofdemocracy in which policies are no longer based on the interests of the people but to protect the penetration ofglobal corporations. This article tries to explain, particularly in the case of Indonesia, how those decisions do notaccommodate people as majority but only serve the interests of both local ruling elite and the transnationalbourgeois. Democracy which ideally should be able to ensure the participation of the people in the decisionmaking process apparently has been manipulated by a group of minority elites.Keywords: globalization, polyarchy democracy, economic integration

Budi WinarnoJurusan Ilmu Hubungan Internasional,

FISIPOL Universitas Gadjah Mada

PendahuluanPolitik luar negeri suatu bangsa dilakukan

dalam rangka meraih tujuan nasionalnya (Mor-genthou, 1993). Ini biasanya dicapai melaluiberbagai instrumen kebijakan luar negeri, dan diera globalisasi seperti sekarang, efektivitas politikluar negeri suatu bangsa beserta instrumen kebi-jakan yang menopangnya tidak lagi ditentukanoleh kekuatan-kekuatan konvensional, tetapi jugaaktor-aktor baru yang melampaui lintas batas glo-bal. Di sini, ada batas-batas dalam sistem politikyang berasal dari lingkungan internasional danglobal (Winarno, 2008) yang pada akhirnya ber-pengaruh terhadap “kinerja” sistem politik.

Salah satu perubahan lingkungan yang cukupsignifikan sekarang ini adalah menajamnya globa-lisasi ekonomi, yang bagi negara nasional impli-kasinya berada dalam tiga hipotesis (Winarno,2007). Pertama, negara sebagai aktor ekonomi akanmenjadi anakronistik. Ini karena lingkup dan artipenting aktor-aktor transnasional swasta mening-

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

173VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

kat, kontrol aparatus negara dalam batas hukum jurisdiksinya akan terbatas, dandengan demikian semakin lemah. Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas-batasnegara (“a world without borders”)”, negara-negara dan penguasa militer tidak lagi me-mainkan peran penting. Bahkan, peran mereka semakin memudar, dan secarameyakinkan akan segera digantikan oleh peran yang semakin meningkat aktor-aktornonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional, gerakan-gerakantransnasional, dan organisasi-organisasi internasional (Keohane dan Nye, 1977: 3-4).Kedua, peran suatu negara bangsa akan ditentukan oleh posisinya dalam sistem dunia.Kekuasaan aktor-aktor transnasional yang berbasis di negara-negara inti akanmendorong peningkatan kekuasaan negara tersebut. Di sisi lain, meningkatnya alirantransnasional akan melemahkan negara-negara periferal dan pada waktu bersamaanmenguatkan kekuasaan negara-negara inti. Terakhir, semakin meningkatnya alirantransnasional bagaimanapun akan meningkatkan peran penting negara di pusatataupun di periferi. Dalam kaitan ini, arti penting aliran ekonomi transnasional secarasimultan juga diiringi oleh peran negara (Green dan Luehrmann, 2003: 218; dalamWinarno, 2005).

Globalisasi, dalam beberapa hal, tampaknya memang “melemahkan” perannegara. Setidaknya, globalisasi neoliberal telah berusaha keras dalam usahanyamenempatkan pasar pada posisi hegemonik, sedangkan pada waktu bersamaanberusaha memarginalkan peran negara (Priyono, 2003; lihat juga Harvey, 2009).Dalam konteks ini, negara telah berusaha atau dipaksa sedikit demi sedikit untukkeluar dari wilayah bonum commune. Ini karena, dalam neoliberalisme, paham yangmenjadi ideologi di balik globalisasi ekonomi, normatif etis yang biasa disebut“kebaikan bersama” (bonum commune) tidak lagi dianggap sebagai tujuan yang secaraintensional dikejar oleh agenda ekonomi-politik (intended motive), tetapi hanya sebagaihasil sampingan (unintended consequences) kinerja ekonomi politik. Sebaliknya, yangdikejar oleh agenda ekonomi-politik neoliberal adalah “the accumulation of individualwealth” (Priyono, 2004: 18). Di sini, globalisasi, pada satu sisi, menguatkan peran negarakarena keberlangsungan prosesnya sangat ditentukan oleh proses dan keputusanpolitik, sedangkan pada sisi lain peran yang semakin menguat tersebut justru melemahketika dihadapkan pada kekuatan-kekuatan transnasional. Negara tidak mampuberbuat banyak ketika berhadapan, misalnya, dengan rejim perdagangan internasionalseperti World Trade Center (WTO), Bank Dunia, juga International Monetary Fund (IMF),dan perusahaan-perusahaan transnasional. Dalam situasi ini, menjadi menarik untukmengkaji bagaimana kebijakan-kebijakan publik suatu negara pada kenyataannyatidak diorientasikan untuk kepentingan-kepentingan warga negara, tetapi lebih untukmelindungi kepentingan dan tujuan korporasi-korporasi global (Hertz, 2005; Korten,1997). Kemudian, dalam kaitannya dengan sistem demokrasi, penting untuk dikajibagaimana keputusan-keputusan politik dan kebijakan publik tidak melibatkan rakyat,tetapi hanya dirumuskan oleh segelintir elit berkuasa, baik elit politik dan borjuasi

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

174JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

lokal maupun elit-elit transnasional? Demokrasi yang seharusnya mampu menjaminketerlibatan dan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan (Dahl, 1998) ternyatatelah diselewengkan oleh sekelempok elit. Di sini, demokrasi telah menjadi bersifatpoliarkis.

Tulisan ini dikembangkan berdasarkan hipotesis bahwa pengambilan kebijakanluar negeri (dalam hal ini perdagangan luar negeri) tidak didasarkan pada proses-proses demokratis, tetapi hanya sekelompok elit yang berkuasa. Globalisasi ekonomiyang melahirkan elit-elit transnasional telah mempertajam muatan demokrasipoliarkis dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Padahal, kebijakan tersebutmempunyai imbas terhadap sebagian besar rakyat.

Politik Globalisasi dan “Kooptasi” Politik NasionalKaum hiperglobalis mengklaim bahwa globalisasi merupakan fenomena yang

bersifat alamiah. Sayangnya, klaim ini tidak menemukan sandaran yang cukupmeyakinkan. Klaim globalisasi alamiah menegasikan proses-proses politik yangmengiringinya. Padahal, jika kita merujuk konteks historis globalisasi, maka kita akanmenemukan fakta bahwa menyebar dan meluasnya globalisasi ditopang oleh banyakkeputusan politik. Oleh karena itu, globalisasi juga harus kita lihat sebagai prosespolitik sehingga globalisasi tidaklah bersifat sealamiah seperti yang disangkakan selamaini. Sebagaimana dikemukakan Prawiro (1998: 314-317), pergerakan globalisasidipengaruhi oleh adanya dukungan tambahan yang sangat penting, yakni pemerintahdan perusahaan. Pertama, dalam globalisasi yang dipimpin oleh pemerintah (a goverment-led globalization), semua pemerintah, termasuk Indonesia cenderung memandangglobalisasi secara ambivalensi. Tugas pemerintahan adalah kepada bangsa, dan melaluibangsa pemerintah mendapatkan kekuasaan dan legitimasi. Dalam kaitan ini,globalisasi membutuhkan negara bangsa untuk menyesuaikan diri dengan perjanjian-perjanjian global yang mungkin bertentangan dengan kepentingan-kepentingandalam negeri. APEC merupakan contoh globalisasi yang diarahkan oleh pemerintah.

Di sisi lain, berbagai perundingan atau negosiasi di tingkat internasional dan gobalterus berlangsung diantara negara bangsa. Perundingan-perundingan tersebutdiorientasikan untuk semakin membuka pasar-pasar dalam negeri. Ini merupakanproses politik sehingga, sebenarnya, tidak ada yang alamiah dalam proses globalisasi.Melalui berbagai perundingan ekonomi nasional semakin terintegrasi ke dalamperekonomian global, dan teknologi komunikasi bertindak sebagai katalis. Selebihnya,merupakan lobi dan keputusan politik pemerintahan nasional.

Dengan melihat globalisasi sebagai proses dan hasil keputusan-keputusan politik,maka bagaimana kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri dirumuskan akan lebihmudah diidentifikasi. Uraian berikut akan menjelaskan bagaimana implikasi globalisasipada kekuasaan dan peran negara bangsa untuk selanjutnya dipaparkan bagaimanakekuatan-kekuatan global “mengkooptasi” proses pengambilan kebijakan suatu negara?

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

175VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Globalisasi telah merongrong kekuasaan negara melalui integrasi pasar-pasardomestik sehingga negara tidak lagi mempunyai kemampuan yang cukup untukmengontrol ekonomi nasional. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara tidaksama sekali berperan. Kelompok skeptis telah mengingatkan mengenai peran negaraini dengan mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan global itu sendiri sangat bergantungpada kekuatan mengatur pemerintahan nasional (Held, et.al., 1999). Dalam kasusIndonesia, kita akan melihat bagaimana pemerintahan yang lemah telah membuatnyamudah “dikendalikan” oleh kekuatan-kekuatan global. Meskipun demikian, globalisasitelah mentransformasi kekuasaan politik nasional, dalam pengertian memberikanbatasan atas implementasi beberapa kekuasaan politik dan ekonomi yang dalamhubungan tradisional tidak tergoyahkan.

Salah satu yang dapat dilihat dari kecenderungan semacam ini adalah bagaimanaintegrasi perekonomian global telah menciptakan kesalingtergantungan dankesalinghubungan ekonomi nasional sehingga tidak ada satu negara pun yang mampumembuat kebijakan ekonomi tanpa mempertimbangkan negara lain atau aktor-aktorlain dalam lingkungan internasional dan global. Dalam kaitan ini, David Held (1995)mengemukakan adanya lima keterputusan (disjuncture) pola-pola kekuasaan dantekanan yang berubah yang sedang mendefinisikan kembali arsitektur kekuasaanpolitik di era globalisasi sekarang ini. Pertama, hukum internasional. Perkembanganhukum internasional telah menempatkan individu, pemerintahan, dan organisasinon-pemerintah di bawah sistem pengaturan resmi yang baru. Hukum internasionalmengakui kekuasaan dan tekanan, hak dan kewajiban, yang mengatasi klaim-klaimnegara bangsa dan yang, meskipun dalam pelaksanaannya, mereka tidak bisa didukungoleh institusi-institusi dengan keputusan memaksa. Kedua, internasionalisasipembuatan keputusan politik. Menurut Held, wilayah utama keterputusan keduaantara teori negara berdaulat dan sistem global kontemporer terletak pada rejim-rejim dan organisasi-organisasi internasional yang sangat banyak yang dibentuk untuk,pada prinsipnya, mengatur keseluruhan bidang kegiatan transnasional (perdagangan,kelautan, ruang angkasa, dan sebagainya) dan masalah-masalah kebijakan kolektif.Perkembangan rejim-rejim dan organisasi-organisasi internasional telah membawaperubahan-perubahan penting dalam struktur pengambilan keputusan politik dunia.Bentuk-bentuk baru politik multilateral dan multinasional telah terbentuk danbersamaan dengan itu terbentuk pula pola khusus pembuatan keputusan kolektifyang melibatkan pemerintahan nasional, IGO (International Government Organization),dan berbagai kelompok penekan transnasional serta INGO (International Non-Govermental Organization). Ketiga, kekuasaan hegemonik dan struktur keamananinternasional. Tumbuhnya kekuatan hegemonik dan dan munculnya aktor militerdan perkembangan negara-negara global, yang dicirikan oleh kekuasaan-kekuasaanyang besar dan blok-blok kekuasaan, kadang-kadang mengurangi otoritas dan integritasnegara. Penempatan negara individu dalam hirarki kekuasaan global menentukan

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

176JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

tekanan dan jenis-jenis pertahanan dan kebijakan luar negeri yang bisa dicari olehpemerintah, khususnya pemerintah yang dipilih secara demokratis. Keempat, identitasnasional dan globalisasi budaya. Konsolidasi kedaulatan negara pada abad ke-18 danke-19 membantu perkembangan identitas rakyat sebagai subjek politik-sebagai warganegara. Ini berarti bahwa orang-orang yang tunduk kepada otoritas sebuah negarasecara perlahan menjadi sadar akan hak keanggotaan mereka dalam suatu masyarakatdan sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bisa diberikan keanggotaansemacam itu. Kelima, ekonomi dunia. Dalam konteks ini, terdapat keterputusan yangjelas antara otoritas formal negara dan jangkauan sistem produksi, distribusi, danpertukaran kontemporer yang sering berfungsi membatasi wewenang dan keefektifanotoritas politik nasional. Kemajuan teknologi dalam teknologi informasi, komunikasi,dan transportasi tengah menghilangkan batas-batas diantara pasar yang terpisah-batas-batas yang merupakan prasyarat utama bagi kebijakan ekonomi nasional yangindependen (Keohane dan Nye, 1991 seperti dikutip Held, 1995).

Pada kenyataannya, era globalisasi memunculkan aktor-aktor transnasional yangsangat berpengaruh, yang pengaruhnya, dalam tataran tertentu, mendeterminasikeputusan-keputusan politik dan kebijakan-kebijakan suatu negara, yakni perusahaan-perusahaan transnasional dan lembaga-lembaga governance global.

Perusahaan-perusahaan transnasional merupakan aktor kunci di balik globalisasiekonomi. Bahkan, dalam banyak hal, korporasi-korporasi global ini tidak dapatdikontrol (Yeates, 2002: 70; Sklair, 2001) oleh kekuasaaan politik negara. Perusahaan-perusahaan transnasional dan sekutu mereka merupakan aktor-aktor politik, danmereka menuai kesuksesan besar dalam menyampaikan pesan ke seluruh dunia bahwatidak ada alternatif lain kecuali melalui jalan kapitalisme global. Jalan ke arahkemakmuran bersama ini, sebagaimana sering diargumentasikan oleh para korporat,adalah melalui kompetisi internasional yang diputuskan melalui ‘free’ market dan ‘free’trade, (Yeates, 2002: 155) lembaga dan proses melalui mana mereka mengontrol baikmelalui diri mereka sendiri maupun melalui sekutu mereka di tingkat lokal, nasional,regional, dan global.

Ada beberapa faktor pendukung semakin bagi semakin menguatnya pengaruhperusahaan-perusahaan transnasional dalam perekonomian global. Pertama, peranperusahaan-perusahaan transnasional semakin diperkuat oleh proses integrasi pasarkeuangan global. Menguatnya integrasi pasar keuangan dunia ini telah membuatkontrol ekonomi korporasi menjadi sedemikian besar karena tidak ada satupun negaradi dunia yang mampu mengontrol aliran modal global ini karena kurangnya kapasitasdan ketiadaan regulasi yang memadai. Kedua, merger dan akuisisi. Melalui prosesini, perusahaan-perusahaan transnasional mempunyai kemampuan ekonomi yangsangat besar. Bahkan, mengalahkan ekonomi beberapa negara. Desakan kompetisidan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya membuat beberapakorporasi melakukan merger dengan korporasi lain sebagai usaha untuk meningkatkan

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

177VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

daya saing. Di Amerika Serikat, konsolidasi industri paling cepat terjadi pada kurunwaktu 1897 sampai dengan 1904-pada tahun-tahun itu, 4277 perusahaan mengerutmenjadi 257. Ratusan perusahaan terbesar tersebut meningkat empat kali lipatukurannya dan menguasai 40 persen kapasitas industri negara (Tabb, 2003: 52-53).

Konsolidasi dalam bentuk M & A tidak hanya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam batas-batas teritorial negara, tetapi melibatkanperusahaan-perusahaan besar multinasional seperti Nestle, Philip Morris, RJRNabisco, dan Unilever. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan-perusahaanfarmasi. Pada pertengahan tahun 1990-an, misalnya, M & A perusahaan di bidangini mencapai $ 80 juta, termasuk di dalamnya 16 transaksi senilai $ 1 juta (Scholte,2000: 128). M & A ini dalam perkembangannya telah mentransformasi pasar menjadidikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi besar, perusahaan-perusahaan transnasional.McLarenn dan Willmore (2003) mencatat bahwa lima ratus perusahan multinasionalkini mengontrol hampir dua pertiga perdagangan dunia, dan jika dibuat daftar dalamsuatu tabel perkumpulan ekonomi berdampingan dengan negara-negara bangsa, makalebih separuh dari 100 ekonomi dunia adalah perusahaan-perusahaan multinasional.Lima perusahaan terbesar dunia secara bersama-sama menghasilkan angka penjualantahunan lebih besar dibandingkan dengan kombinasi pendapatan 46 negara termiskindi dunia. Lebih jauh, David Held et.al (1999: 237-238) mencatat bahwa selama tahun1998 terdapat 53,000 MNCs dengan 450,000 cabangnya di luar negeri. Seratus MNCsterbesar mengontrol kira-kira 20% dari aset luar negeri dan mempekerjakan 6 jutatenaga kerja. MNCs menguasai 2/3 perdagangan dunia, dan 1/3 perdagangan duniatersebut berlangsung intra-perusahaan antarcabang dalam suatu organisasi perusahaanyang sama. Kira-kira 50% perdagangan antara Jepang dan AS secara aktual terjadidalam perusahaan (intrafirm trade). Selain itu, MNCs juga memainkan peran kuncidalam mengembangkan dan menyebarkan teknologi, kurang lebih 80% dariperdagangan dunia adalah dalam teknologi dan sejumlah besar share of private R &D.

Selain perusahaan-perusahaan transnasional, aktor berikutnya yang mempunyaipengaruh besar di era globalisasi ekonomi ini adalah lembaga governance global. Salahsatunya yang mempunyai pengaruh penting adalah World Trade Organization (WTO).Para pengritiknya mengatakan bahwa WTO merupakan puncak impian kaumneoliberal untuk mendapatkan organisasi yang akan mengatur arah globalisasiekonomi di tingkatan dunia (Setiawan, 2000). Meskipun secara konseptual lembagaini merepresentasikan suatu bentuk organisasi yang demokratis, tetapi padakenyataannya merepresentasikan hipotesis hubungan sentral-periferi. Negara-negaramaju mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam mempengaruhi keputusan-keputusan dan negosiasi di tingkatan global. Melalui berbagai perundingan, negara-negara maju terus-menerus mendesakkan berbagai perjanjian dan kesepakatan yangmemaksa negara-negara Dunia Ketiga untuk membuka pasar-pasar domestiknya,sementara pada saat bersamaan mereka melancarkan berbagai kebijakan

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

178JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

proteksionisme.Aktor berikutnya adalah lembaga-lembaga keuangan global. IMF dan Bank Dunia

menjadi lembaga keuangan yang berpengaruh saat ini dalam memaksakan banyakprasyarat bagi usaha mendesakkan agenda globalisasi neoliberal. Seperti dicatat KevinDanaher (2005: xliii-xliv), dua institusi yang paling berkuasa yang telah berhasilmenegakkan agenda “pasar bebas” dari korporasi-korporasi raksasa atau perusahaan-perusahaan transnasional adalah Bank Dunia dan IMF. Dengan memberikanpinjaman ratusan milyar dolar kepada elit negara Dunia Ketiga, lebih lanjut Danahermengemukakan, Bank Dunia dan IMF telah melakukan pengendalian signifikanterhadap strategi ekonomi kebanyakan negara. Mereka pun telah memaksakanseperangkat kebijakan (structural adjustment programs) suatu model ekonomi yangmenguntungkan kaum minoritas, tetapi sangat mencelakakan kaum mayoritas.

Kritik atas Bank Dunia dan IMF tidak hanya sebatas prasyarat-prasyarat memaksayang berasal dari kemampuannya dalam memberikan utang, tetapi juga strukturlembaga tersebut yang sangat bersifat elitis dan anti demokrasi. Kevin Danaher (hal.21) dengan tajam mengkritik lembaga ini sebagai bersifat otokrasi: mereka sangathirarkis dan elitis. Para elit di kedua lembaga tersebut mempunyai kekuasaan yangsangat besar atas kehidupan para buruh, nasabah, sejumlah bisnis kecil, dan bahkanseluruh masyarakat.

Merujuk Robert Dahl, Devest Kapur (2004: 103) mengkritik IMF dan Bank Duniadengan menyatakan bahwa suatu kenyataan yang tidak menggembirakan mengenaiinstitusi internasional ini ialah apapun governance dan pengambilan keputusan yangada, kedua-duanya tidak akan demokratis dalam pengertian demokrasi sebagai suatupengawasan oleh publik terhadap pengambilan keputusan. Secara struktural, menurutKapur, organisasi internasional akan selalu menghadapi “defisit demokrasi”. Bahkan,di negara-negara yang sudah lama memiliki struktur demokrasi yang berurat berakarsangatlah sulit bagi warga negaranya untuk melakukan pengawasan secara efektifterhadap keputusan penting mengenai urusan luar negeri; pengaruh mereka terhadapinstitusi internasional jauh lebih kecil lagi. Satu negara satu suara (seperti pada PBB)mungkin tampak lebih demokratis daripada satu dolar satu suara (seperti pada intitusiBretton Woods System, IMF dan Bank Dunia), tetapi kedua-duanya menyalahi konsepkesetaraan dalam paham demokrasi yang inheren dalam satu orang satu suara.

Akhirnya, Bank Dunia dan IMF dituduh sebagai biang munculnya kemiskinan,yang pada akhirnya berimbas pada ketidaksetaraan politik dalam kontestasi demokrasi.Danaher (2006: 42) mengemukakan kritik tersebut sebagai berikut ini.

Program Penyesuaian struktural (SAPs) yang disertakan dalam pinjaman IMF danBank Dunia boleh jadi membantu negara-negara dalam membayar utang merekaterdahulu, dan boleh jadi juga menciptakan sejumlah jutawan. Namun, mayoritaspenduduklah yang menjadi tumbalnya: upah yang rendah, berkurangnya pelayanansosial, dan minimnya akses demokratis pada proses pembuatan kebijakan.

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

179VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Bagi negara yang pernah mengalami kebangkrutan ekonomi, kekuasaan IMF danBank Dunia ini pasti pernah mereka rasakan. Ekonomi yang bangkrut, defisitanggaran yang membengkak, membuat negara-negara yang berada dalam situasi krisistidak mempunyai pilihan lain kecuali meminta belas kasihan dari IMF.

Keseluruhan paparan di atas memberikan pelajaran bahwa globalisasi telahmemunculkan aktor-aktor baru transnasional. Elit-elit transnasional yang lahir dariperusahaan-perusahaan global, WTO, IMF maupun Bank Dunia kini mempunyaikemampuan yang sangat besar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan suatunegara. Perusahaan-perusahaan transnasional mendesakkan hasrat investasi yang bisamengancam sewaktu-waktu untuk keluar dari dalam negeri jika kebijakan ekonomi-politik domestik tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Ini belum termasuk lobi-lobi di tingkat pemerintah guna mendesakkan kebijakan-kebijakan yang lebihfavourable bagi investasi dan usaha meraih keuntungan mereka. Sementara pada waktubersamaan, memotong kebijakan-kebijakan pro-kaum buruh yang dalam pemahamanmereka merugikan. Bagaimanapun perusahaan-perusahaan transnasional mempunyaisumber daya memadai untuk memanipulasi kebijakan-kebijakan publik dibandingkandengan warga negara biasa. Mereka juga mempunyai akses informasi yang lebih baiksehingga bisa memberikan respon atas rencana kebijakan yang akan diambil olehpemerintah dalam kerangka yang lebih menguntungkan untuk mereka. Kemampuanmemanipulasi kebijakan perusahaan-perusahaan transnasional ini menjadi semakinbesar jika kita lihat kenyataan semakin mahalnya demokrasi liberal. Telah menjadirahasia umum, baik di Amerika Serikat, Uni Eropa, maupun Indonesia bahwakampanye partai politik dan juga kandidat presiden dibiayai oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik nasional maupun transnasional. Terdapat aturan yangmembatasi jumlah sumbangan, tetapi hal tersebut tetap tidak menghilangkankekuatiran bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berkuasa akan lebih ramahkepada perusahaan-perusahaan dibandingkan dengan masyarakat pemilih.

Sementara itu, melalui WTO, elit-elit negara maju terus-menerus mengenduskanglobalisasi ekonomi neoliberal untuk kepentingan-kepentingan kolonialis merekalepas dari aspirasi negara Dunia Ketiga. Sebaliknya, elit-elit nasional di negara-negaraDunia Ketiga secara membabi buta “membebek” pada keputusan-keputusan dalamtubuh WTO tanpa memperhatikan aspirasi rakyat di negaranya meskipun beberapadiantaranya melakukan perlawanan. Namun, pada akhirnya, mereka harusmelaksanakan hasil-hasil perundingan yang merugikan kepentingan rakyatnya.Demikian pula, para penguasa di IMF dan Bank Dunia yang sebenarnya jugamerepresentasikan kepentingan negara industri maju, tidak lupa memaksakanberbagai prasyarat dalam bentuk SAPs guna menopang jalannya globalisasi noeoliberalyang merusak tersebut. Keseluruhan ini, pada akhirnya, mengkooptasi politik dalamnegeri dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional dan warga negara.Sebaliknya, lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia jauh

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

180JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

lebih peduli dengan proyek-proyek ataupun kebijakan-kebijakan yang compatible danmendukung globalisasi ekonomi yang timpang. Lembaga-lembaga ini lebih peduliterhadap upaya-upaya meliberalisasi ekonomi perdagangan dan juga privatisasiperusahaan-perusahaan publik yang dalam banyak hal bertentangan dengankepentingan warga negara di negara Dunia Ketiga. Stiglitz (2002; 2006), saya kira,telah memberikan komentar-komentar kritisnya terhadap hal ini. Dalam halprivatisasi, Stiglitz mengemukakan bahwa kebijakan privatisasi di negara-negara DuniaKetiga yang dilanda krisis acapkali merupakan kebijakan yang tidak perlu, dilakukandengan serampangan di tengah kerangka institusional yang belum mapan. Sementaradalam hal liberalisasi perdagangan, Stiglitz mmberikan komentar bahwa liberalisasiperdagangan menimbulkan efek-efek yang tidak terduga di negara Dunia Ketiga yangmengancam industri bayi (infant industry). Dalam kaitan ini, pembelaan Stiglitz adalahbahwa industri negara Dunia Ketiga memerlukan persiapan untuk mampu bersaingdengan negara-negara industri maju sehingga proteksi diperlukan terhadap industrimereka agar kuat.

Lebih lanjut, Stiglitz mengemukakan bahwa perdagangan bebas didasarkan padaefisiensi, dan ini akan sangat tergantung pada satu diantaranya sumber daya manusiadan kemampuan teknologi. Padahal, negara Dunia Ketiga tidak cukup memiliki sumberdaya dan teknologi yang cukup. Akibatnya, perdagangan bebas tidak hanyamenurunkan pendapatan karena penurunan tarif sebagai sumber penerimaanpemerintah di negara Dunia Ketiga, tetapi juga pada penurunan pajak. Ini padaakhirnya akan mendorong penurunan belanja publik. Di sisi lain, negara-negara DuniaKetiga juga menderita karena tidak selalu menjadi pihak yang mendapatkan manfaatdengan adanya peningkatan ekspor karena minimnya infrastruktur untukmemindahkan barang-barang produksi mereka, dan yang kedua mereka memangtidak mempunyai barang yang dapat diekspor ke luar negeri.

Apa yang dikemukakan Stiglitz di atas merupakan suatu contoh dimana kebijakanyang diprakarsai IMF dan Bank Dunia tidak dirumuskan demi mengejar kemakmuranekonomi warga negara, tetapi lebih untuk memenuhi hasrat korporasi untukmengeruk keuntungan. Ini sejalan dengan prinsip yang mendasari keseluruhan kerjaIMF dan Bank Dunia (Danaher, 2006: 53), yakni merangkul korporasi-korporasi besaragar berinvestasi di negara Dunia Ketiga. Jika investasi masuk, maka, asumsinya, akanmenciptakan lapangan kerja dan kemudian meningkatkan pendapatan masyarakatdi negara Dunia Ketiga. Namun, asumsi semacam ini seringkali luput karena adanyapertentangan antara kepentingan-kepentingan korporasi dan buruh. Dalam banyakkasus, buruh seringkali tidak mendapatkan hasil yang cukup untuk membiayaihidupnya karena minimnya upah, sedangkan di sisi lain negara tidak mampu berbuatbanyak dalam menghadapi situasi semacam itu karena ancaman penarikan investasi.

Pemerintahan nasional terus-menerus mendapatkan tekanan dari semakinmembengkaknya jumlah pengangguran. Padahal, pembangunan ekonomi yang

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

181VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

mendorong penciptaan lapangan kerja menjadi salah satu sumber penilaiankeberhasilan pemerintah. Jika pemerintah berhasil menurunkan angkapengangguran, maka meningkatkan legitimasinya dan membuka peluang bagi kembaliterpilihnya rejim tersebut pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, rejim pemerintahanyang gagal dalam menciptakan lapangan kerja bukan hanya akan menutup peluanguntuk dipilih kembali dalam pemilihan umum berikutnya, tetapi juga akan membukapeluang bagi terjadinya instabilitas politik akibat gejolak di masyarakat. Oleh karenaitulah, pemerintah sangat berhati-hati dalam menyikapi konflik buruh denganperusahaan. Bahkan, sebagaimana disinyalir oleh Pierre Bourdieu (2003), pemimpinnasional seringkali merendahkan martabat status mereka dengan selalu menundukdi depan CEO perusahaan-perusahaan multinasional seperti Toyota, Daewoo, danlain sebagainya, yang menurut Robinson disebut sebagai elit transnasional baru.Sebagaimana dikemukakan oleh Robinson (2003: 6-7), agen-agen ekonomi globalini adalah elit transnasional baru. Elit-elit ini mengendalikan sistem keputusan dansecara cepat memonopoli kekuasaan masyarakat global melalui dominasi politik.Akibatnya, demokrasi yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok ini lebihmerupakan demokrasi poliarkis. Suatu sistem yang merujuk pada adanya sekelompokkecil yang benar-benar memiliki kekuasaan dan terikat langsung dalam pembuatankebijakan, sembari hanya memberi kesempatan kelompok mayoritas pemilih merekabersaing dalam pemilihan umum yang diawasi secara ketat. Robinson menyebutnyasebagai tipe “demokrasi pura-pura” yang sama sekali tidak melibatkan kekuasaan (cratos)dari massa rakyat (demos). Kekuasaannya berakhir setelah kelompok elite kecil berkuasadan menyebabkan semakin menganganya kesenjangan akibat ekonomi global.

Demokrasi PoliarkiUngkapan demokrasi poliarki diperkenalkan oleh Robert Dahl (1998: 90) untuk

membedakannya dengan suatu bentuk pemerintahan yang diatur oleh monarki atauoligarki. Konsep yang dikemukakan oleh Robert Dahl ini menarik karena setidaknyadua alasan. Pertama, demokrasi memang mempunyai sifat-sifat ideal setidaknya dalamkonsepsi teoritiknya. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl (1998: 38),demokrasi akan menjamin hak-hak politik warga negara, pembangunan manusia,kemakmuran, menghindarkan tirani, jaminan akan hak-hak dasar, dan lainsebagainya. Dalam prosesnya, suatu sistem dikatakan demokratis jika setidaknyamengandung lima kriteria, yakni partisipasi yang efektif, persamaan dalammemberikan suara, pemahaman yang jernih dari warga negara atau anggota suatukelompok asosiasi, pengawasan agenda, dan pencakupan orang dewasa. Namun,acapkali terjadi, demokrasi tidak memberikan kesempatan semacam itu. Sebaliknya,proses pemilu yang mahal telah membuatnya terjebak ke dalam demokrasi proseduralyang lebih menjamin kelompok kaya untuk memegang tampuk pemerintahan karenakemampuan manipulasi melalui berbagai proyek pencitraan. Demokrasi, dengan

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

182JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

demikian, mengalami proses penyerobotan oleh elit-elit politik lokal dan nasionalyang tujuan dasarnya sebatas meraih kekuasaan. Dengan kata lain, demokrasiprosedural yang mengandalkan suara terbanyak berdasarkan prinsip one man one votejuga acapkali mudah diselewengkan untuk kepentingan pragmatis elit, baik ekonomimaupun politik. Kedua, demokrasi partisipatif yang setara memerlukan akses daninformasi yang tersedia untuk seluruh warga negara. Sayangnya, prasyarat ini hampirtidak pernah bisa dipenuhi. Informasi selalu timpang. Kelompok kaya selalumendapatkan lebih banyak informasi, sedangkan masyarakat miskin tidak demikian.Akibatnya, kualitas partisipasi masing-masing warga negara mempunyai derajat yangsangat berbeda. Ini pada akhirnya berimplikasi pada kemampuan masing-masingkelompok dalam memanipulasi kebijakan. Perusahaan-perusahaan transnasionalkarena sumber daya yang dimiliki mempunyai kemampuan memanipulasi kebijakanpublik yang lebih besar dibandingkan dengan warga negara kebanyakan sebagaimanatelah dibahas sebelumnya.

Di era globalisasi sekarang ini, muatan demokrasi poliarkis menjadi semakin kuat.Keberadaan elit-elit transnasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia, danperusahaan-perusahaan transnasional, misalnya, membuat pemerintahan nasionalyang berdaulat semakin tidak mempunyai kesempatan untuk mengkonsultasikankebijakan-kebijakan publik melalui debat publik yang panjang. Dalam situasi ekonomibangkrut seperti krisis ekonomi 1998, bangsa Indonesia sepertinya tidak mempunyaibanyak pilihan kecuali utang kepada IMF. Tentu saja, utang diberikan dengan syaratIndonesia melakukan kebijakan yang bersandar pada tiga hal pokok, yakni liberalisasi,deregulasi, dan privatisasi. Suatu kebijakan ekonomi khas neoliberal. Pilihan kebijakansemacam ini tidak saja tanpa melalui “konsultasi publik” layaknya yang berlaku dalamsistem demokrasi, tetapi dirumuskan oleh segelintir elit politik di Jakarta. Padahal,akibat-akibat kebijakan tersebut mempunyai dampak luas bagi hampir seluruh rakyatIndonesia. Utang yang besar jelas membebani APBN yang membuat anggaranpendidikan dan kesejahteraan sosial jauh berkurang. Sementara pada waktubersamaan, liberalisasi tanpa kendali di sektor pertanian dan perkebunan justrumenghancurkan produktivitas sektor tersebut (Primahendra, 2006), sekaligusmenciptakan ketergantungan (Khudori, 2008). Keseluruhan proses tersebut padaakhirnya membuat petani semakin termarginalkan.

Secara tradisional, sebenarnya, tujuan penyelenggaraan pemerintahan demokrasiadalah untuk mencegah akumulasi kekuasaan ke dalam satu atau beberapa orang.Demokrasi sebagaimana dikemukakan Winston Churchil sebagai ‘least bad’ form ofgovernment. Dengan menciptakan sistem dimana publik dapat menggantipemerintahan dengan tanpa mengubah aturan dasarnya dalam penyelenggaraanpemerintahan tersebut, penyelenggaraan sistem pemerintahan demokrasi bertujuanuntuk mengurangi ketidakpastian dan instabilitas, dan menjamin warga negara yangtidak sepakat dengan kebijakan saat ini dengan memberikan kesempatan berkala

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

183VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

untuk mengganti siapa saja yang memegang kekuasaan, dan dengan demikianmempunyai otoritas membuat kebijakan. Mereka dapat mengubah kebijakan yangtidak mereka setujui dengan melakukan tekanan-tekanan politik kepada rejim yangsedang berkuasa.

Dalam kaitannya dengan kebebasan individu, Robert Dahl (1998: 2) menegaskanbahwa demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tidak tertandingi oleh sistempolitik manapun. Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tigacara (Diamond, 2003: 3-4), yakni: pertama, pemilu yang bebas dan adil yang secarainheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat,berorganisasi, oposisi, serta “hak-hak politik mendasar semacam ini tidak mungkinhadir” tanpa pengakuan kebebasan sipil yang lebih luas. Kedua, demokrasimemaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri (self determination), “setiapindividu hidup di bawah aturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri”. Ketiga,demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap negara untukmelakukan pilihan-pilihan normatif, dan karenanya pada tingkat yang palingmendalam, demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah sendiri (self gov-erning).

Namun, bagaimanapun idealnya, prasyarat demokrasi sebagaimana dikemukakandi awal, seringkali tidak dipenuhi. Di sisi lain, kecenderungan demokrasi ternyatajustru melawan pandangan umum yang diyakini banyak orang dimana demokrasiakan terjebak ke dalam tirani mayoritas. Seperti dikemukakan oleh Tocqueville, prinsipmayoritas yang merupakan substansi dalam sistem pemerintahan demokratis dianggapakan memunculkan suatu produk hukum yang hanya akan melayani kehendak dankepentingan mayoritas. Mayoritas sebagaimana dipahami oleh Tocqueville (1966)adalah kemampuan kolektif dengan pendapat dan biasanya dengan kepentingan yangbertentangan dengan kehendak dan kepentingan individu-individu yang lain, yangdisebut sebagai minoritas. Demokrasi, sebaliknya, terjebak ke dalam sifat poliarkisdimana kebijakan dirumuskan oleh segelintir orang yang, dalam banyak hal, tidakbertanggung jawab terhadap kedaulatan rakyat. Padahal, legitimasi pemilihan umumdalam sistem demokrasi diselenggarakan sebagai usaha mewujudkan kedaulatantersebut. Namun, dalam praktiknya, jauh dari kenyataan demikian. Oleh karena itu,penulis seperti Giddens (1994) menerima konsep demokrasi liberal sebagai demokrasiperwakilan dan tidak mengakui bentuk partisipasi langsung oleh mereka yangdiperintah dalam proses pemilihan pemerintahan. Menurut Giddens, demokrasi inihanya dibatasi pada wilayah politik; dalam wilayah produksi, pekerja tidak memilikihak atas nasibnya sendiri segera setelah mereka memasuki ruang kerja setiap hari.Seperti dikemukakan Giddens, “demokrasi liberal, yang akan saya terima, padadasarnya adalah demokrasi sebagai suatu sistem representasi”.

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

184JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Integrasi Ekonomi Indonesia: Dari Elit untuk Elit?Kebijakan ekonomi Indonesia dalam usahanya untuk terus-menerus terlibat dalam

integrasi ekonomi dunia mencerminkan suatu tipe pengambilan kebijakan yangbersifat poliarkis. Akhir tahun 1980an, Indonesia telah melancarkan serangkaiankebijakan yang ditujukan untuk semakin memperluas basis ekonomi swasta, baiknasional maupun internasional. Kebijakan ini terus berlanjut pada era tahun 1990-an saat Indonesia masuk ke dalam organisasi perdagangan dunia, WTO. Konsekuensiatas masuknya Indonesia ke dalam WTO ini amatlah jelas, yakni secara konsistenharus meliberalisasi perekonomian dalam negeri sesuai dengan mandat yang diberikanoleh WTO.

Pada penghujung tahun 1990-an ketika Indonesia mengalami serangkaian krisismoneter, usaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global semakingencar dilakukan. Ini dilakukan sebagai konsekuensi logis utang Indonesia kepadaIMF untuk mengatasi krisis moneter waktu itu. Prasyarat mencarikan utang makaIndonesia harus melakukan serangkaian kebijakan yang termaktub dalam LoI. Isinya,tidak lain merupakan serangkaian kebijakan yang berbasis pada Konsensus Washing-ton. Beberapa kebijakan pokok berdasarkan LoI ini diantaranya adalah liberalisasi disektor pertanian.

Beberapa kebijakan hasil dari kesepakatan dengan IMF di sektor ini adalahpenurunan tarif impor dan ekspor hingga 0 persen. BULOG juga direformasi sehinggatidak lagi diijinkan melakukan monopoli kecuali untuk komoditas beras. Sistem tanamyang diwajibkan kepada petani dihapuskan, dan berbagai fasilitas yang banyakdinikmati petani mulai dihilangkan satu per satu. Pertanyaannya kemudian adalahbagaimana implikasi kebijakan ini bagi nasib petani?

Kebijakan neoliberal di sektor ini ternyata tidak hanya membuat petani semakinkesulitan, tetapi juga menciptakan bentuk baru ketergantungan sektor pertanian.Periode 1989-1991, Indonesia merupakan negara pengeskpor pangan (net exporter)dengan nilai sekitar US$ 418 juta/per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesiaberalih menjadi pengimpor pangan. Pada tahun 2003, sebagai akibat liberalisasi yangmakin intensif, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,4 miliaruntuk tanaman pangan dan US$ 134,4 juta untuk peternakan (Primahendra, 2006:229). Dalam hal impor, pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan rata-rata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, Indonesia mengimpor beras2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton serta beberapabahan pangan lainnya (Witoro, 2006: 136).

Ditinjau dari dampak-dampak kebijakan publik liberalisasi, dan dengan demikianmerupakan rangkaian kebijakan Indonesia untuk mengintegrasikan pasardomestiknya ke dalam perekonomian global, liberalisasi sektor pertanian mempunyaidampak buruk. Namun, kebijakan tersebut tetap dilaksanakan. Ironisnya, petani yangmenjadi kelompok terbesar dalam pemilu tidak pernah dilibatkan dalam proses

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

185VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

pengambilan kebijakan, yang nota bene mempunyai pengaruh besar dalamkehidupan mereka. Sebaliknya, melalui perundingan dengan IMF liberalisasi sektorpertanian diputuskan dengan tanpa mempertimbangkan suara dan nasib petani.

Di luar WTO dan desakan IMF, Indonesia juga terlibat secara aktif dalammembangun aliansi-aliansi ekonomi strategis yang bermuara pada integrasiperekonomian Indonesia dalam lingkup global. Dalam hal integrasi pasar ASEAN,Indonesia menjadi salah satu penggerak yang terus-menerus mempromosikanpentingnya pasar bebas ASEAN. Para pengambil kebijakan di tingkat pusatmempunyai keyakinan ideologis bahwa hanya melalui perdagangan bebaslah ekonomiIndonesia akan menjadi lebih baik, dan dengan demikian kemakmuran dankesejahteraan akan lebih mudah dicapai.

Sayangnya, keyakinan-keyakinan para pengambil kebijakan ini bertentangan, dalambanyak kasus, dengan keluhan-keluhan masyarakat di tingkat bawah. Pembukaanpasar-pasar dalam negeri telah menggerus kemampuan industri dalam negeri yangtidak kompetitif. Sektor pertanian menjadi contoh dalam hal ini. Industri tektilmenjadi contoh lainnya.

Suatu pertanyaan pokoknya adalah jika kebijakan-kebijakan yang diorientasikanuntuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global merugikan pengusaha-pengusaha kecil dalam negeri dan petani, maka bagaimana mungkin kebijakantersebut tetap dipertahankan? Jawaban atas hal ini terletak pada perubahan strukturkekuasaan dalam lingkungan global yang telah berubah sebagaimana telah dipaparkansebelumnya. Bagaimanapun negara-negara akan mempunyai keterbatasan dalammendesakkan agenda nasional lepas dari pertimbangan kekuatan-kekuatan globalyang juga bersifat poliarkis. Situasi ini akan menjadi semakin buruk jika dilihatkenyataan karakteristik kekuasaan dan kelembagaan Indonesia baik sebelum maupunsesudah reformasi. Dalam kaitan ini, Vedy R. Hadiz (2005: 263) mengemukakanadanya delapan karakterisk kelembagaan baru Indonesia pasca-reformasi. Pertama,deseNtralisasi kekuasaan kepresidenan kepada lembaga-lembaga seperti partai-partaipolitik dan parlemen. Kedua, kebangkitan partai-partai politik, yang tidak disatukanoleh agenda-agenda sosial, ekonomi dan politik yang bersifat spesifik dan konkret,melainkan sekadar merupakan ekspresi dari pergeseran koalisi-koalisi kekuasaan.Kepentingan-kepentingan predatoris lama umumnya masih bercokol di dalam partai-partai ini, ditambah dengan segelintir unsur-unsur reformis yang biasanyatermarjinalisasi. Ketiga, desentralisasi kekuasaan dari Jakarta ke daerah-daerah. Olehkarena itu, pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan walikota, cabang-cabang partaidan parlemen di tingkat lokal memperoleh arti penting baru. Keempat, munculnyajaringan-jaringan patronase yang desentralistik, tumpang-tindih, dan tersebar yangdidasarkan atas persaingan memperebutkan akses dan kontrol terhadap lembaga-lembaga dan sumber-sumber daya negara di tingkat nasional maupun lokal. Kelima,munculnya bandar-bandar, pialang dan kriminal politik yang sebelumnya berada pada

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

186JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

lapisan-lapisan terbawah dalam sistem patronase Orde Baru. Keenam, terkait denganitu, kebangkitan para hooligan dan kriminal yang terorganisasi dalam milisi partai,kekuatan-kekuatan paramiliter, serta berbagai laskar Islam, dimana banyak darimereka yang mengambil alih fungsi-fungsi tertentu militer (misalnya, dalammengintimidasi buruh dan para aktivis). Ketujuh, kontrol-kontrol yang terlalu otoritandigantikan oleh penggunaan politik uang dan politik kekerasan serta intimidasi, baikdi tingkat nasional maupun lokal. Kedelapan, kedudukan penting pemilihan umum,termasuk ditingkat lokal, terutama karena kecenderungan-kecenderungan yangmengarah pada otonomi daerah (yang hingga sekarang masih belum terdefinisikansecara memadai). Kesembilan, peran militer senagai sebuah lembaga. Setelah militerditurunkan dari polisi ‘bodyguard’ rezim pada tahun-tahun akhir Soeharto, partai-partai dan para politisi di era pasca-Soeharto belum mampu untuk mengabaikankepentingan-kepentingan mereka. Isu yang ramai diperdebatkan adalah sistemteritorial yang telah menjadi dasar bagi komandan-komandan lokaluntuk masuk kedalam alinasi-alinasi bisnis maupun politik dan menanamkan pengaruhnya di setiaptingkat, serta keterlibatan militer dalam berbagai aktivitas bisnis (misalnya di bidangkehutanan).

Keseluruhan karakteristik kelembagaan ini pada akhirnya membuat “sabotase”demokrasi jauh lebih berjalan mulus. Demokrasi poliarkis semakin kuat dengankeuntungan berada di lingkaran elit melalui patronase dan perburuan rente ekonomidalam lingkaran kekuasaan (Hadiz, 2005). Kebijakan ekonomi luar negeri dengandemikian lebih berorientasi pada kemauan ideologis para pelaku pasar utamadibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pengertiansesungguhnya.

KesimpulanKeseluruhan paparan di atas memberikan gambaran bagaimana demokrasi telah

cenderung bersifat poliarkis. Globalisasi yang memunculkan elit-elit transnasionalbaru pada akhirnya mempertajam muatan demokrasi poliarkis dengan menyerobotproses-proses demokrasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, barangkali, muatan demokrasi deliberatif ini dapatdipertimbangkan. Ini karena setidaknya tiga alasan, yang sekaligus menjadi ciridemokrasi model ini. Pertama, partisipan mendapatkan jaminan guna menawarkanargumentasi persuasif yang ditujukan untuk partisipan yang lain dalam suatu prosesdeliberatif. Standar yang diterima oleh para pendukung demokrasi deliberatif bahwapartisipan dalam proses-proses deliberatif tidak hanya dibutuhkan untuk menawarkanargumen, tetapi menawarkan argumen persuasif yang ditujukan untuk semua. Kedua,partisipan dalam demokrasi deliberatif mempunyai komitmen untuk merespon alasandan argumentasi partisipan yang lain juga melalui alasan dan argumen. Apa yangdimaksud dengan deliberation bukanlah menyangkut tawar-menawar kekuasaan, tetapi

Globalisasi dan Rezim Demokrasi Poliarki: Kebijakan Integrasi Ekonomi Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

187VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

hanya menguatkan argumentasi yang lebih baik: partisipan memberikan alasan-alasanmereka ‘dengan harapan bahwa alasan-alasan itu akan meyakinkan usulan mereka’.Ketiga, partisipan dalam demokrasi deliberatif bersedia merevisi usulan yang merekaajukan dalam rangka mendapatkan kesepakatan yang dapat diterima secara bersama-sama.

BibliografiBourdieu, Pierre. 2003. Kritik Terhadap Neoliberalisme: Utopia Eksploitasi Tanpa Batas

Menjadi Kenyataan. Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember.Dahl, Robert. 1998. On Democracy. Yale University PressDanaher, Kevin. 2006. 10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia. Yogyakarta:

CindelarasDiamond, Larry. 2003. Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE

Press.Festenstein, Matthe. 2004. Deliberative Democracy and Two Pragmatism. European Jour-

nal of Social Theory, 7(3): 291-306.Giddens, Anthony. 1994. Beyond the Left and Right: The Future of Radical Politics. Cam-

bridge: Polity PressHadiz, Vedy R. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto.

Jakarta: LP3ESHeld, David at.al. 1999. Global Transformations: Politics, Economic, and Culture. Stanford,

California: Stanford University PressHeld, David. 1995. Democracy and the Global Order, Stanford: Stanford University

Press.Held, David. 2001. Globalization, Cosmopolitanism, and Democracy: an Interview. First

published in the journal IDEES of the Centre d’Estudis de Temes Contemporanis,Generalitat de Catalunya. (Online), (http://www.polity.co.uk/global/held.htms)

Kapur, Devest. 2004. Anatomi Governance Bank Dunia. Dalam Jonathan R. Pincusdan Jeffery Winters. Membongkar Bank Dunia. Jakarta: Jambatan

Korten, David. 1997. When Corporations Rule The World, (Bila Korporasi MenguasaiDunia). Jakarta: Profesional Books

McLarenn, Duncan and Ian Willmore. 2003. The Growing of Big Bussiness. OpenDemocracy, 20 February.

Primahendra, Riza. 2006. Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya: Pekerjaan Rumahuntuk Indonesia. Dalam Sugeng Bahagijo (ed.). Globalisasi Menghempas Indonesia.Jakarta: LP3ES

Priyono, Herry B. 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme. Dalam I. Wibowo dan F.Wahono (ed.) Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Robinson, William I. 2003. Neoliberalisme, Elit Global, dan Transisi Guatemala:Sebuah Analisis Kritis Makrostruktural. Dalam William I. Robinson (ed.). Hantu

Budi Winarno

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

188JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Neoliberalisme. Jakarta: C-Books.Scholte, Jan Art. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: St. Martin

PressSklair, Leslie. 2001. Globalization: Capitalism and It’s Alternative. Oxford University

Press.Sklair, Leslie. 2002. Demokrasi and Transnational Capitalis Class. ANNAL, AAPSS,

581, Mei.Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents. Allen Lane: Pinguin BooksTocqueville, Alexis De. 1966. Democracy in America. Dalam Ricardo Blaug and John

Schwarzmantel (ed.). Democracy: A Reader, Edinburg University Press.Winarno, Budi. 2005. Globalisasi dan Krisis Pembangunan: Bagaimana dengan Indone-

sia?. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Gadjah Mada.

Winarno, Budi. 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Media PeressindoWinarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.Witoro. 2006. Memperdagangkan Kehidupan: Menelisik Nasib Beras di Bawah Pasal-

pasal WTO. Dalam Sugeng Bahagijo (ed.). Globalisasi Menghempas Indonesia.Jakarta: LP3ES

Yeates, Nicola. 2002. Globalization and Social Policy: From Global Neoliberal Hegemony toGlobal Political Pluralism. Global Social Policy, Vol 2 (X), 69-91.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

189VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

The Threat of a Nuclear-ArmedNorth Korea And The Possibility of

Solutions

AbstractArtikel ini memberi gambaran tentang ancaman nuklir Korea Utara terhadap keamanan regional maupuninternasional. Proliferasi nuklir Korea Utara membuka kemungkinan bagi hadirnya perlombaan senjata, bahkanperang nuklir, di kawasan. Lebih auh, kemampuan teknologi Korea Utara dalam memproduksi senjata nuklir akanmeningkatkan penyebaran senjata ini, baik terhadap negara lain maupun terhadap aktor di luar negara. Dibutuhkansejumlah terobosan kebijakan regional untuk mencegah proliferasi nuklir di kawasan.Keywords: North Korean Nuclear, Security Threats, International Policy

Zain MaulanaSchool of International Studies Flinders

University, Australia. Email:[email protected]

IntroductionThe Democratic People’s Republic of Korea

(DPRK) is an authoritarian state controlled by theKim regime for decades. In 2012, the governmenthas delivered a political message to the world thatNorth Korea has already attained the status of apolitically, ideologically, and militarily powerfulstate, while it seeks to be recognized by the worldas a nuclear state (Nanto and Manyin, 2010: 9).For North Korea, nuclear armament plays a sig-nificant role as a source of political status as well asstrengthening the regime leadership. In this re-gard, however, ‘nuclear technology, is inherentlydual-use: ‘Atoms for Peace’ immediately suggests thepossibility of ‘Atoms for War’ (F. Lehman II, 1993:6).

Observations of the state tend to show that thepossibility to use nuclear weapons is high. Nuclear-armed North Korea has increased vulnerability forboth regional and international security. The pos-sibility of an arms race or even nuclear war is alsoconsidered. Furthermore, the capability of the

Zain Maulana

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

190JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

DPRK in nuclear technology is likely to increase the spread of nuclear weapons toother state and non-state actors. To deal with these problems, some measures arepossible to realize denuclearization in the Korean peninsula whether through eco-nomic sanctions, international regime or even military intervention.

Regarding these matters, this article attempts to discuss why nuclear-armed NorthKorea poses a threat to regional and international security. It begins with a briefexplanation of the DPRK nuclear armament policy. The next section will discuss thethreats of the DPRK nuclear-armed for both regional and international security. Inaddition, discussion of the preferred option for the international community to dealwith a nuclear-armed North Korea will be addressed in the final section.

North Korean Nuclear PolicyThe DPRK is a communist-authoritarian country led by Kim’s regime. For de-

cades, North Korea was subject to embargo and isolated by a majority of countries inthe world especially by the United States and European countries. Generally, theDPRK has a less significant role in both international economics and internationalpolitics. Nevertheless, the nuclear proliferation policy issued by the government abso-lutely increased the significance of the state at the international level, mainly withregard to security and peace issues.

In this regard, there are several reasons underlying the nuclear policy. First, thepolicy to begin a nuclear program aims to fulfill national energy needs. This policy isimportant for the state budget in order to support a national program of economicdevelopment. In spite of this, the energy goal is still debatable, because of the lack ofinformation regarding the nuclear program. Second, the nuclear proliferation is aimedat increasing the political bargaining position either at regional or international level.Obviously, the DPRK nuclear proliferation issue has increased the political leverageof the communist state, at least, in the region. Some major countries such as UnitedStates, China, Russia and some of European States have been discussing the issue atinternational level. Many solution packages offered to the DPRK government con-sist of economic and political assistance in order to discontinue the nuclear program.

Why a nuclear-armed North Korea is dangerousNuclear-armed North Korea is clearly a threat to both regional and international

security. The threats are related to three critical issues. First, nuclear-armed NorthKorea is a threat for regional and international security because nuclear proliferationis considered to have occurred in a ‘rogue state’ or ‘untrustworthy regime’ (Ayson andTaylor, 2004: 269). The Kim regime is considered to be dangerous because their au-thoritarian power makes them likely to use nuclear weapons. In addition, NorthKorea frequently shows provocative action in the region regarding nuclear and mis-sile forces with tested of nuclear weapons in October 2006 and May 2009 (Nanto and

The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

191VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Manyin, 2010: 4).Second, North Korea has been labeled as one of the ‘axis of evil’ states, with Iran

and Iraq that pose ‘a grave and growing danger’ to international security (Howard,2004: 806). In their article, Proliferation ring; New Challenges to the Nuclear Nonprolif-eration Regime, Chaim Braun and Christopher F. Chyba, argue that North Korea is alatent proliferation country, which means this country has capabilities to proliferatenuclear arms and is likely to export its technology to other states such as Pakistan andLibya (Braun and Chyba, 2004: 5-6). In 2002, North Korea appears to have turned toPakistan, with its fully developed uranium enrichment program. ‘This apparently ledto a missile for enrichment technology barter deal between Pakistan and North Ko-rea, a benchmark event in the global proliferation enterprise’ (Braun and Chyba,2004: 12). Thus, a list of reasons why North Korea with nuclear capacity is dangerousincludes, most importantly, proliferation through sales and support to other unreli-able states.

In this regard, nuclear proliferation in North Korea will stimulate a missile andnuclear weapons supply chain across nations and it means that international securityis threatened with nuclear war. Furthermore, considering the terrible economic con-ditions of the country, North Korea is likely to sell dangerous weapons to any custom-ers who will pay hard currency, because they need a sustainable cash flow to financetheir national project (Armacost, Okimoto, and Shin, 2003: 2). Besides that, thespread of nuclear weapons around the world is increasing the likelihood of terroristgroups to getting their hands on nuclear weapons.

In today’s war waged on world order by terrorists, nuclear weapons are the ultimatemeans of mass devastation. Furthermore, terrorist groups with nuclear weapons areconceptually outside the bounds of a deterrent strategy and present difficult new secu-rity challenges (Shultz, Perry, Kissinger and Nunn, 2007: 1).

Hence, the efforts to denuclearize North Korea are critically important to deterthe deployment of nuclear weapons in many other ‘rogue states’ and to the non-stateactors such as militants in Pakistan, Iraq and many others.

Third, a nuclear-armed North Korea may possibly turn to facilitating the armsrace in the region. Barry Buzan argues that most attempts to define the arms race arerooted in the action-reaction model. The basic proposition of the model is that statesstrengthen their armaments because of the threats they perceive from other states(Buzan, 1978: 76). In this regard, North Korea’s neighbour states such as Japan, SouthKorea, and possibly Taiwan and other Asian countries are likely to develop their ownnuclear deterrence and ballistic missile capabilities to ensure security from NorthKorean threats (Demetriou, 2009: 8). If it happens, the arms race will obviously existin the region.

Zain Maulana

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

192JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Why War Is Not PreferredThe most striking policy in dealing with the issue is the possibility to attack North

Korea, particularly led by the United States and the allies. Regarding this option,there are four assessments that show the option to attack North Korea is a verydifficult and risky solution. The first assessment of the policy relates to the cost of thepolicy. Some scholars, Robert Ayson and Brendan Taylor, for instance, argue that thecost to attack North Korea may be lower than estimated for the United States (Aysonand Taylor, 2004: 271-272). The U.S. military superiority over North Korea will in-crease the possibility to win the battle and reach the main target, being to change theKim regime. In addition, the absence of a North Korean major power patron in themilitary aspect is the key factor that increases opportunities to change the regime bymilitary operation. Operations in Iraq and Afghanistan are obvious examples thatshow the lack of a major power patron makes success more likely, more quickly andeasily than if they enjoy such support (Ayson and Taylor, 2004: 271-272). Neverthe-less, conditions differ between North Korea and Afghanistan as well as Iraq. NorthKorea has close relations with one powerful state, China, politically and economi-cally, although China is not a power patron of North Korea. This relationship iscritical for North Korea to deal with international pressures regarding nuclear prolif-eration.

Secondly, the question to be answered is regarding the effectiveness of militaryintervention to shut down nuclear proliferation and to change the authoritarianregime. The Kim regime is considered to be the main problem of the North Koreaissue that triggers the emerging of nuclear forces. It implies that the solution to dealwith North Korean nuclear proliferation is to address regime change toward democ-racy in North Korea. Yet, there is no guarantee that attacking North Korea will auto-matically transform the political system. North Korea is different from other coun-tries that have been occupied by the U.S such as Iraq and Afghanistan. While Iraqand Afghanistan are countries less controlled by central government as well as thespread of separatism or terrorism movements in many parts of the nation, NorthKorea is an authoritarian state with strong control from central government andhigh leverage from the regime. This means that it is inappropriate to generalize theeffectiveness of U.S. intervention from previous missions and to expect that it willoccur automatically in North Korea.

Thirdly, the U.S. and its allies will face huge challenges regarding any attack onNorth Korea. The challenges will come from China that will likely reject an optionfor military intervention to North Korea. Several reasons to reject the interventionare involved. China is North Korea’s closest ally, and the largest trading partner inprovision of food, fuel and industrial machinery (Nanto and Manyin, 2010: 1). Inaddition, war will cause destabilization in the Korean peninsula and it is incompatiblewith China’s interest. Although, China’s interest in stability on the Korean penin-

The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

193VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

sula is linked to U.S. interest in denuclearization, China’s government is unlikely tochoose military intervention, even as ‘the least-worst option, delivering a statementthat diplomacy is the preferred solution to every provocation by North Korea’ (Nantoand Manyin, 2010: 4). Recently, as the most powerful Country in Asia, China isconcerned to maintain strong leverage in that region and will not allow any othermajor power to change the domination. ‘China has wide influence over North Ko-rea but elects not to use it in order to ensure that the North Korean issue continuesto complicate U.S. regional strategy and undermine the U.S. position in Asia’ (Nantoand Manyin, 2010: 4).

On the other hand, the challenges to attacking North Korea are Japan and SouthKorea. Although, both states are U.S. allies, they are unlikely to prefer war because itmay increase the vulnerability of their national security with the use of chemicalweapons as a retaliatory strike from North Korea (Ayson and Taylor, 2004: 265).Both countries acknowledge that if the war occurs, the U.S. government will deploymilitary bases in both states. Thus, it is automatically to involve Japan and SouthKorea in that war. Hence, without support from Japan and South Korea, as the clos-est U.S. allies and North Korea’s neighbours it will be very difficult to destroy thenuclear facilities effectively.

The last assessment looks at the consequences of a military attack on North Ko-rea. Military attack will have particular impact on the nation and also the widerparties. Military attack on North Korea has potential to become a widespread war inthe region. In the war, North Korea is very likely to use Weapons of mass Destruction(WMD) or even nuclear weapons in retaliation to the attack. The weapons may bethe most effective force for North Korea because they have no adequate conven-tional military forces to deal with the U.S. military forces. If North Korea used WMDor nuclear weapons the consequences of the war will be catastrophic for the region.In addition, even if the attack is to destroy the North Korean nuclear proliferationfacilities, the impact will be worse because of the spread of radioactivity particularly toSouth Korea, Japan and parts of China (Carter and Perry, 2002: 275). Hence, theoption to attack North Korea is less urgent and counterproductive for many parties.This option will be very difficult, if not impossible, because it is not supported by thethree major important states in the region; China, Japan and South Korea.

International Regime DilemmasDelivering pressure to North Korea through international regimes such as the

U.N. Security Council or International Atomic Energy Agency (IAEA) to denuclear-ize North Korea is very difficult. Basically, the main functions these regimes to con-trol uranium for energy use only and to ensure the absence of nuclear weapons inparticular states, the IAEA, for instance, ‘was created to administer safeguards overpeaceful nuclear facilities around the world’ (Nye Jr, 1992: 1294). Yet, the dilemma is

Zain Maulana

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

194JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

that those institutions cannot intervene in a sovereign state. Regarding nuclear-armedNorth Korea, in the 1970s, this country signed various agreements with the IAEA,and in 1985 North Korea signed the Non-Proliferation Treaty (NPT). However, NorthKorea began construction work on a gas-graphite reactor and this reactor was thecentre of North Korea’s nuclear problem because the reactor extracted plutoniumwhich is the key material for nuclear weapons. ‘While North Korea insisted that thereactor was for energy, there was no sign of any steps to channel electricity from thereactor facilities to the rest of the country. In addition, by 1991 both the Soviet KGBand the American CIA had concluded that a nuclear weapons program was indeed atan advanced stage’ (McCormack, 2004: 151-152).

The dilemma for the international regimes is the difficulty in compelling a stateto obey the agreement. North Korea’s disobedience shows that the national interestsof a state determine its action more than pressure from outside. Although NorthKorea had signed the international agreement and was pressured by the interna-tional community particularly the United States, the Kim government ignored it andcontinued the nuclear proliferation program. Furthermore, to obtain nuclear weap-ons, rather than to obey the agreement, North Korea instead announced that theywould not accept the additional inspections proposed by the IEAE to resolve con-cerns about possible violations. Instead, ‘one year after the United nations SecurityCouncil declared at the head of state level that proliferation was a threat to interna-tional peace and security, Pyongyang announced that it was withdrawing from theNPT’ (F. Lehman II, 1993: 1-4). This indicates the difficulty for international regimesin attempting to compel a state when the international treaty has to come head tohead with the power of state interest.

Therefore, using the IAEA and U.N. as instruments to pressure North Korea is‘time wasting’ policy. Rather than obey the international regime’s proposal, the NorthKorea government instead claims that the international regimes are political tool ofthe United States (Hassig and Kongdan Oh, 2005: 6).

Stronger Economic Sanctions: preferred solution?The United States and international community attempt to look for solutions to

deal with the North Korea nuclear issue. Several policies are possible to stop theproliferation, but each policy has to consider the challenges and the consequenceswhether at domestic, regional or international level. In this regard, the internationalcommunity can deliver economic sanctions as an instrument to pressure North Ko-rea to discontinue nuclear proliferation. The sanctions can be economic embargo,export control or freezing of state assets. The sanctions are expected to weaken thestate economy in order to change its nuclear proliferation policy. Economic instabil-ity automatically pushes the state to be more compliant and easier to bring into thenegotiation process, to discuss the issue and to look for a better solution, because the

The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

195VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

economic embargo and freezing of assets will exacerbate economic conditions andmake it more likely that the state will follow the international proposal.

Obviously, the international community has delivered the sanctions to North Koreathrough the United Nations, but so far, the sanctions are not working effectively todenuclearize North Korea. In spite of the fact that, the US and UN sanctions havebanned shipments of luxury goods to North Korea, and trade with South Korea,Japan, and the United States has virtually stopped (Nanto and Manyin, 2010: 2),China’s leverage in North Korea is remains strong and important regarding supplyof food, fuel, industrial machinery and even political support to the regime, in orderto keep stability on the Korean peninsula. Furthermore, in 2009, China planned tocreate a major new development zone called the Tonghua - Dandong Economic Zonealong the North Korean border, aimed at boosting trade (Nanto and Manyin, 2010:12). This shows that China plays a fundamental role in this issue, and the interna-tional community recognizes that the consistent engagement of China in the imple-menting of the sanctions is very important.

Regarding this option, the international community can tightly control exportactivity related to the stuff of nuclear technology. Export activity is not only con-ducted by the state but also by a proliferating network in the private sector. ‘NorthKorea and Libya reportedly used private firms to purchase centrifuge componentsthrough Dubai, with assistance from the Turkish electrical components firm ElektronikKontrol Aletleri (EKA), Sri Lankan businessman Buhary Syed Abu Tahir, and theA.Q. Khan network’ (Braun and F. Chyba, 2004: 15).

Basically, controlling export of nuclear related components is important becausethe ability to create nuclear weapons is highly dependent on technological raw mate-rials to transform the uranium to weapons grade. Mostly, the either as latent prolif-eration, first-tier nuclear proliferation or second-tier proliferation (Braun and F. Chyba,2004: 5), states cannot produce all the raw materials for nuclear weapons and insome parts, are highly dependent on supply from other parties, either other nuclearstates or private companies. Hence, this measure is critical and has high potential todiscontinue nuclear proliferation in North Korea or at least, decelerate the spread ofnuclear weapons around the world.

However, economic sanctions will cause economic collapse in North Korea. Thiscondition will lead to starvation and a flood of refugees from North Korea to otherneighbouring countries such as China and South Korea. These matters are an ob-stacle to implementing economic sanctions effectively. For instance, China is con-tinuing economic assistance to North Korea by providing food and energy assistance.This policy can be seen as an insurance that ‘Beijing remits regularly to avoid payingthe higher economic, political, and national security costs of a North Korean Col-lapse, a war on the peninsula, or the subsuming of the North into the South’ (Braunand F. Chyba, 2004: 7). While implementing sanctions to prevent the development

Zain Maulana

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

196JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

of nuclear weapons, humanitarian aid should also be provided by the internationalcommunity to North Korean people. This aid is to avoid increasing starvation andthe massive migration of refugees to other neighbouring countries. Thus, it is veryimportant for the international community to create an intensive dialog with Chinain order to look for the best form of economic sanctions for North Korea by consid-ering the social impacts, starvation and flood of refugees, of this sanctions.

ConclusionAll in all, nuclear proliferation in North Korea is an obvious threat for regional

and international security. It poses threats because North Korea has the potential toexport nuclear weapons technology to other states, and of course the spread of nuclearweapons around the world will increase the possibility of non-state actors such asterrorist groups gaining possession of missiles and nuclear weapons. Moreover, theexistence of nuclear weapons can cause an arms race in that region, and also theauthoritarian Kim regime is highly likely to use nuclear weapons in a war.

This problem needs an effective solutions with consideration of the challengesand the consequences, such as the possibility of starvation in North Korea, the floodof refugees, the instability of the Korean peninsula and also the spread of nuclearradioactivity to other countries in that region. To deal with the problem, war is notpreferred for many parties in the region, nor for China or the U.S. closest allies,Japan and South Korea. This option is cannot work effectively without major supportfrom those countries.

In addition, regarding the impact, attacking North Korea is very risky and makesmany parties highly vulnerable whether North Korean citizens, states in the regionor even the U.S and its allies. While attacking North Korea will have great impact,military intervention to change the regime and to freeze nuclear proliferation islikely to be extremely difficult. Besides that, pressure on North Korea through inter-national institutions is also ineffective, because the North Korean government canreject the institution’s proposal or inspections of the nuclear site.

Presently, the international community can strengthen economic sanctions byengaging China more deeply in implementing the policy. This measure is more do-able and appropriate, at the moment, for international community, in order to de-nuclearize the Korean peninsula or at least, to slow down the nuclear proliferationwith minimum impact.

BibliographyAndemicael, Berhanykun and John Mathiason. 2005. Eliminating Weapons of Mass

Destruction; Prospects for effective International Verivication. England: PalgraveMacmillan.

Ayson, R and B. Taylor. 2004. Attacking North Korea: Why War Might be Preferred.

The Threat of a Nuclear-Armed North Korea And The Possibility of Solutions

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

197VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Comparative Strategy, 23 (3).Braun, Chaim and Christopher F. Chyba. 2004. Proliferation Rings; New Challenges to

the Nuclear Non-proliferation Regime. International Security, Vol. 29, No. 2.Buzan, Barry. 1987. An Introduction to Strategic Studies; Military Technology and Interna-

tional Relations. New York: International Institute for Strategic Studies.Carter, Asthon B. and William J. Perry. 2002 Back to the Brink. Washington Post.Demetriou, Danielle. 2009. Japan Should Develop Nuclear Weapon To Counter

North Korea Threat. The Telegraph.F. Lehman, Ronald II. 1993. Implications of a North Korean Nuclear Weapons Pro-

gram. Lawrence Livermore national laboratory.Hassig, Ralph C., Kongdan Oh. 2005. The Twin Peaks of Pyongyang. Foreign Policy

Research Institute, Elsevier.Howard, Peter. 2004. Why Not Invade North Korea? Threats, Language Games, and U.S.

Foreign Policy. International Studies Quarterly 48.John H, Nuckolls. 1995. Post-Cold War nuclear dangers: Proliferation and terrorism. Sci-

ence Vol. 267, The American Association for the Advancement of Science.Klare, Michael. 1995. Rogue States and Nuclear Outlaws; America’s Search for a New

Foreign Policy. United States: Harper Collins.McCormack, Gavan. 2004. Target North Korea; pushing North Korea to the brink of nuclear

catastrophe. Random House of Australia.Nanto, Dick K. and Mark E. Manyin. 2010. China-North Korea relations. Congres-

sional Research Service.S. Nye, Jr, Joseph. 1992. New Approches to Nuclear proliferation Policy. Science, Vol. 256

(5061).Shultz, George P., William J. Perry, Henry A. Kissinger and Sam Nunn. 2007. A

World Free of Nuclear Weapons. The Wall Street Journal.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

198JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Suku Kurdi dan Potensi Konflik diTimur Tengah

AbstractKurdistan tribe is the name of the ethnic unity occupying some countries in Middle East region, mainly Iraq, Iran,and Turkey. The existence of the Kurdistan tribe, with different ethnic from the majority, is always viewed as theregion problem and treated discriminatively. Thus, the Kurdistan community always makes movement, evenalways does rebellion, for the sake of fighting their political right. This writing explains the existence and the formof the political movements of the Kurdistan, in the three main countries above, in fighting their political right,either autonomy or independence demand, even though the dreams of the Kurdistan movement is difficult to bebrought into reality.Keywords: Kurdistan tribe, political movement, political right, Middle East.

Ahmad SahideProgram Doktor Kajian Timur Tengah,

Sekolah Pascasarjana Universitas GadjahMada

PendahuluanSecara geografis, wilayah Timur Tengah

termasuk wilayah yang cukup strategis dan pentingkehadirannya di dunia, baik secara politik maupunekonomi. Timur Tengah juga merupakan wilayahyang menjadi pusat dari agama dunia yang berbasisagama samawi (agama langit/wahyu), agamatersebut adalah Islam, Yahudi, dan Nasrani(Surwandono, 2009: 174). Namun dengan semua itu,sampai saat ini wilayah ini dikenal sebagai wilayahyang selalu dirundung konflik, baik itu konflikantar agama, geografis, dan etnis.

Semua ini membuat dinamika politik dikawasan Timur Tengah memiliki corak ragamyang unik dibandingkan dengan kawasan-kawasanlainnya di belahan dunia ini. Di antara ciri khaspolitik di kawasan tersebut adalah adanya sejumlahsuku yang memerankan adegan politik yangmemiliki episode-episode menarik dari tiapbabaknya. Salah satu dari suku-suku tersebut adalahSuku Kurdi. Suku Kurdi sempat mengecap masakeemasan dalam sejarah mereka. Merekamemiliki seorang tokoh pejuang dan pemimpin

Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

199VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

yang luar biasa seperti Shalahuddin al-Ayyubi, ada juga seorang ilmuwan dan pahlawansemisal Ibnu Taimiyah yang buku-bukunya menjadi rujukan para penuntut ilmu agamahingga hari ini.

Suku Kurdi termasuk suku minoritas yang mendiami beberapa negara di TimurTengah, seperti Irak, Iran, Turki, dan sebagian wilayah Suriah. Keberadaan sukuKurdi ini menjadi bagian dari konflik etnis di Timur Tengah yang tergolongberlangsung cukup lama. Suku Kurdi selalu menjadi korban dari rezim penguasa dinegara-negara yang mereka diami. Irak, misalnya, pada masa kekuasaan SaddamHussein, yang melancarkan serangan besar-besaran dengan senjata kimia terhadappenduduk suku Kurdi pasca Perang Teluk (Sihbudi, 1991: 135). Di Turki, banyak or-ang Kurdi yang dibantai dan dideportasi oleh rezim Ankara karena pemberontakanyang mereka lakukan pada tahun 1925, 1930, dan 1937 (Sihbudi, 1991: 137). Padatahun 1988, Iran juga berhasil merebut wilayah Kurdistan Selatan (Sihbudi, 1991:139).

Fakta sejarah ini membuat suku Kurdi merupakan sebuah potret yang miripdengan etnis Yahudi yang mengalami diaspora (penyebaran) dari tanah airnya. Dalambatas tertentu, etnis Kurdi dipahami oleh banyak negara sebagai etnis yang senantiasamenimbulkan masalah. Upaya pengintegrasian terhadap etnis ini di berbagai negaraTimur Tengah senantiasa gagal meskipun dengan penggunaan instrumen militer.Hal ini lebih disebabkan oleh keinginan etnis Kurdi untuk melakukan separatismelalu menghimpun dalam sebuah negara baru Kurdi Merdeka (Surwandono, 2009: 173-174).

Pertanyaan yang muncul dari eksistensi suku Kurdi ini adalah mengapa ia selaludilihat sebagai etnis yang selalu menimbulkan masalah? Mengapa ia melakukangerakan-gerakan politik untuk membuat negara Kurdi yang merdeka? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba penulis jawab dalam tulisan ini.

Latar Belakang SejarahSuku Kurdi merupakan nama kesatuan etnik. Meskipun berada di wilayah Timur

Tengah, suku itu tidak termasuk dalam jajaran etnik Arab dengan bahasa yang berbedapula dari bahasa Arab, yaitu bahasa Kurdi. Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompoketnis Indo-Eropa (European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dantinggal di wilayah yang disebut Kurdistan (“tanah orang-orang Kurdi”). WilayahKurdistan terdapat di beberapa negara, seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara,Irak Utara, Suriah Utara, dan juga terdapat di Soviet Selatan (wilayah yang secarageografis tidak termasuk Timur Tengah). Komunitas Kurdi juga dapat diketemukandi Lebanon, Armenia, Azerbaijan (Kalbajar dan Lachin, sebelah barat NagornoKarabakh) dan, pada beberapa dasawarsa terakhir, beberapa negara-negara Eropaserta Amerika Serikat. Secara etnis, kaum ini memiliki hubungan dengan suku bangsaIran. Mereka menggunakan bahasa Kurdi, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang bahasa

Ahmad Sahide

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

200JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Iran.Karakter geografis Kurdistan yang terdiri dari gugusan perbukitan, struktur sosial

yang sangat sarat sentimen tribalisme, serta sistem mata pencarian yang mengandalkanpertanian dan menggembala, memang membuat bangsa dan wilayah Kurdistanmenjadi semi-eksklusif sepanjang sejarahnya selama sekitar 3.000 tahun. Sepanjangsejarahnya, tidak ada satu bangsa atau kekuatan pun yang mampu menguasai secarapenuh bangsa dan wilayah Kurdi, juga sering disebut sebagai Kurdistan. Yunani,Romawi, Persia, dan bahkan Dinasti berbasis Islam selalu gagal menundukkan secarapenuh bangsa Kurdi. Pada era modern pun, sistem yang melahirkan negara sepertiTurki, Iran, Irak, dan Suriah gagal pula menguasai secara penuh wilayah Kurdi.Namun, secara geopolitik, karakter geografis Kurdi justru membawa petaka karenaharus menerima wilayah itu terbagi di antara lima negara pasca Perang Dunia I.

Berdasarkan catatan sejarah, nenek moyang suku Kurdi memasuki wilayah yangmereka tempati sekarang sekitar 3.000 tahun lalu, tapi cara hidup suku tersebut,sebagai petani dan penggembala, masih tradisional. Sementara banyak ilmuwanberpendapat bahwa suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi(Iran) dari kawasan Asia Tengah. Mereka menguasai daerah Pegunungan Parsi dandari tahun 614 sampai 550 SM. Empat belas Abad kemudian mereka memeluk agamaIslam, setelah kedatangan pasukan Arab Islam dari daratan ke daerah PegununganParsi.

Orang-orang Turki sebagai suatu kelompok, memainkan peranan penting dalam sejarahAsia Barat sampai tahun 1258, saat Kekhalifahan Arab di Baghdad ditaklukkan olehpasukan Mongol. Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) adalah salah satu pemimpin Kurdiyang sangat terkenal dalam dunia Islam. Tokoh yang lahir pada 1137 di Tikrit(Kurdistan Irak) ini, sangat terkenal karena keberhasilannya mengusir Tentara Salibdari Jerusalem pada 1187 (Sihbudi, 1991: 136) dalam Perang Salib fase kedua (Hitti,2008: 824-825).

Nasionalisme Kurdi, Konflik, dan Hubungannya dengan Negara ArabMayoritas dari suku Kurdi terdapat di negara-negara Timur Tengah, terutama di

Iran, Irak, dan Turki, namun suku ini tidak termasuk dalam jajaran etnik Arab denganbahasa yang berbeda pula dari bahasa Arab, yaitu bahasa Kurdi. Perbedaan keturunanantara suku Arab dan Kurdi inilah di negara-negara yang mereka diami yang seringkalimenjadi pangkal meletusnya kerusuhan. Sehingga tidak heran kalau etnis ini selaludipahami oleh banyak negara sebagai etnis yang senantiasa menimbulkan masalah.

Meskipun tidak termasuk dalam etnik Arab, akan tetapi suku Kurdi ini memainkanperan penting dalam sejarah perpolitikan di Timur Tengah. Perjalanan sejarah politikyang cukup tua, bangsa Kurdi termasuk bangsa yang kurang beruntung. Bahkan,Kurdi disebut sebagai bangsa tragis akibat karakter geografis, sentimen tribalisme,tirani, dan kolonialisme. Tragedi bangsa Kurdi itu pun kemudian dikenal dengan

Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

201VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

nama “problem Timur”. Ironisnya, problem Kurdi sering kali dilupakan, diabaikan.Tidak ada pembelaan terhadap bangsa Kurdi, bahkan dijadikan komoditas politikkekuatan regional maupun internasional untuk tujuan politik tertentu. Suku Kurdijuga menempati kasta kelas bawah dalam heterogenitas masyarakat Arab, hak-hakmereka sering kali dikebiri, melayangnya nyawa mereka seakan disyukuri dan lainsebagainya. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasanya permusuhan-permusuhanyang dilontarkan oleh Arab disambut dengan perlawanan juga oleh Kurdi. Salahsatu bentuk perlawanan mereka adalah dengan cara gerakan nasionalisme Kurdi.

Orang-orang Kurdi sendiri baru memperjuangkan nasib suku bangsa mereka padaAbad XIX. Tepatnya pada 1880, ketika pecah pemberontakan yang dipimpin olehtokoh Kurdi, Syaikh Ubaidullah, di Propinsi Hakari yang berada di bawah kekuasaanDinasti Utsmaniah (Ottoman Empire) Turki. Pada tahun 1897, orang-orang Kurdimenerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Kurdistan untuk yang pertamakalinya. Surat kabar ini mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan informasi tentangbudaya dan perjuangan bangsa Kurdi (Sihbudi, 1991: 136).

Cita-cita dan perjuangan bangsa Kurdi adalah untuk mendapatkan tanah airmereka sejak awal Abd XIX. Perjanjian Sevres 1920 (Sevres adalah sebuah kota diPrancis) yang memberikan jaminan berdirinya sebuah negara Kurdistan Merdekadalam kenyataannya tidak pernah terealisasikan. Orang-orang Kurdi mempunyaisebuah cita-cita untuk mendirikan wilayah Kurdistan yang otonom, tempat merekadapat mengatur diri mereka sendiri serta mempertahankan identitas dan sistem sosialbudaya mereka. Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara, menjadikendala utama bagi terwujudnya sebuah negara Kurdistan Merdeka. Sementarawilayah Kurdistan sudah terintegrasi ke dalam negara-negara Turki, Iran, Irak (jugaSoviet dan Suriah) sejak negara-negara tersebut berdiri (Sihbudi, 1991: 138). Inilahyang menjadi sumber utama dari konflik yang dikarenakan oleh kehadiran SukuKurdi di negara-negara seperti Irak, Iran, dan Turki. Maka, setiap aktivitas dari sukuKurdi untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penumpasan dan penindasan.Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negarayang menguasainya.

Gerakan dan Perjuangan Politik KurdiDari penjelasan sebelumnya dikatakan bahwa suku Kurdi tersebar di tiga negara

utama, yaitu Irak, Iran, dan Turki. Oleh karena itu pada bagian ini akan dijelaskanperjuangan politik suku Kurdi di tiga negara tersebut.

Irak Data pada bulan Juli 2006 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Irak ialah

26.783.383. Antara 75 hingga 80 persen penduduk Irak adalah bangsa Arab;kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15-20%), Asiria, Turkmen Irak dll (5%),

Ahmad Sahide

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

202JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

yang kebanyakan tinggal di utara dan timur laut negeri. Kelompok lainnya adalahorang Persia dan Armenia (kemungkinan keturunan budaya Mesopotamia kuno).Sekitar 25.000–60.000 orang Arab Masih tinggal di selatan Irak. Wilayah yang didiamioleh suku Kurdi di utara ini dikenal sebagai wilayah yang subur dan kaya minyak.

Perbedaan keturunan antara suku Arab, yang mayoritas, dan Kurdi di Irak seringkalimenjadi pangkal meletusnya kerusuhan. Orang Arab telah memerintah Irak sejak1958, ketika pecah revolusi yang mengakhiri kekuasaan Inggris, yang bersekutudengan suku Kurdi dalam upaya mempertahankan kekuasaan di negara Abu Nuwastersebut. Setelah revolusi, pemerintah Irak berusaha menyatukan suku Kurdi ke dalampemerintahan, tapi kelompok ekstrem suku itu menolak bergabung sehinggameletuslah perang sejak saat itu.

Pada saat referendum diadakan, sebagian besar dari suku Kurdi tidak memberikansuara. Ini menjadi pertanda bahwa suku Kurdi di Irak ini tidak bersedia dipimpinoleh bangsa Arab yang mayoritas. Pada masa antarperang mereka tetap bergolak,dan pecah menjadi pemberontakan ketika kesabaran mereka habis melihatkesewenang-wenangan pemerintah dan juga praktek korupsi oleh para elite.Pemberontakan besar pecah pada tahun 1922-1924, 1930-1931, dan 1932 di bawahpimpinan Shaikh Mahmud dari Sulaimaniyah. Pemberontakan itu, selain menjadimasalah dalam negeri Irak, juga menjadi bagian dari masalah internasional. Hal inidisebabkan oleh tinggalnya suku Kurdi di lima wilayah negara lain. Mereka sangatkompak, dan sering terjadi bahwa mereka yang terdesak menyeberangi wilayah Irakuntuk kemudian tinggal dan mendapatkan perlindungan di daerah suku Kurdi yangada di negara lain (Lenczowski, 1993: 172).

Perjuangan suku Kurdi memang dimulai sejak tahun 1923, yang dipimpin olehAhmad Barzani dan Adiknya, Mulla Mustafa Barzani, yang melancarkan kampanyepanjang yang bertujuan mendapatkan otonomi bagi wilayah Kurdistan Irak.Perjuangan ini terorganisir di bawah payung partai politik yang bernama PartaiDemokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party). Selain KDP, orang Kurdi juga punyapartai lain bentukan Jalal Talabani, yaitU Uni Patriotik Kurdistan (Patriotic Union ofKurdistan) (Sihbudi, 1991: 137).

Suku Kurdi sebagai masalah yang tidak terselesaikan dalam politik Irak juga seringmelibatkan atau berkaitan dengan pihak asing, terutama Inggris dan Uni Soviet (Rusiasaat ini), untuk memperkeruh suasana. Setelah Perang Dunia I, Inggris bercita-citamembuat negara Kurdi yang berada di bawah perlindungan Inggris untuk meluaskanpengaruhnya ke utara yang berbatasan dengan Kaukasus, juga untuk menekan KemalisTurki, Iran, dan terutama Irak. Walaupun pada akhirnya niat ini ditinggalkan karenaakan berbahaya bagi kepentingan Inggiris di Timur Tengah, termasuk Irak. Tapibukan berarti Inggris membuang sama sekali persahabatannya dengan suku Kurdi,terutama di tingkat lokal. Hal ini dilakukan dengan dua alasan: pertama, sebagai taktikbila suatu waktu menghadapi kesulitan dengan Baghdad dan Teheran (Iran); dan

Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

203VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

kedua, untuk mencegah penetrasi asing, baik Soviet maupun Jerman. Tetapi Inggrismembantu Irak memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi padatahun 1932 karena kebijakannya yang pro-Arab (Lenczowski, 1993:172-173). Di Iran,organisasi politik kurdi, Komala, juga menyebarkan kegiatannya ke pusat-pusat Kurdidi Irak (1943). Dengan dukungan Soviet terhadap kemerdekaan Kurdi-Iran, sukuBarzani di Irak melakukan pemberontakan pada tahun 1943 yang dipimpin olehMulla Mustafa. Walaupun pada akhirnya dipaksa melarikan diri ke Iran untukbergabung dengan suku Kurdi di sana (Lenczowski, 1993: 181).

Pada masa kekuasaan Saddam Husain, suku Kurdi berkali-kali berhadapan denganpembantain oleh rezim Saddam. Keberadaan suku Kurdi yang non-Arab itu ternyatamenjadi hambatan tersendiri bagi Saddam Husein dalam menjalankan obsesinyamenggelorakan semangat nasionalisme Arab. Bahkan pada tahun 1988, tercatat bahwadua kali Saddam melakukan pembantain dengan menggunakan senjata kimia terhadapsuku Kurdi ini. Hal itu dilakukan oleh Saddam karena selama perang Iran-Irak, wargaKurdi Irak justru berpihak kepada pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangipasukan Saddam Hussein (Sihbudi, 1991: 135).

Di Irak, sampai sekarang suku Kurdi dianggap sebagai gerakan separatis yangmerongrong kedaulatan Irak. Mereka ditengarai akan memisahkan diri darikedaulatan Irak atau bahkan merebut kekuasaan di Irak dengan melakukanpemberontakan. Kekhawatiran ini sempat dilontarkan oleh Presiden Irak JalaluddinThalibani dengan kalimatnya, “Terus terang saya sampaikan, jika pasukan ASmeninggalkan Irak sekarang, akan terjadi tindakan militer semena-mena darikekuatan pasukan Kurdi dan Syiah. Mereka kini dalam kondisi siap. Mereka memilikiratusan ribu pasukan bersenjata. Mereka mampu menguasai Irak dengan cepat, danmelebar ke seluruh Irak” (http://eramuslim.com). Dalam kongres KDP di IrbilDesember 2010, ketua KDP, Masoud Barzani, meminta hak Kurdi untuk bisamenentukan nasib sendiri. Pernyataan Barzani ini menunjukkan bahwa impian rakyatKurdi memiliki negara sendiri tidak pernah pupus sejak zaman kuno hingga sekarang(Kompas, 13/12/2010).

Sejak ambruknya Dinasti Media (653-625 SM) yang berkuasa di wilayahMesopotamia utara dan Anatolia Timur (wilayah Kurdistan sekarang), rakyat Kurditidak pernah lagi berada di bawah satu kekuasaan regional. Rakyat Kurdi setelah ituberada di bawah kekuasaan berbagai imperium, mulai dari Romawi, Persia, Umayah(era Islam), Abbasia (era Islam), Ottoman (era Islam), kemudian di bawah otoritasempat negara, yaitu Turki, Irak, Iran, dan Suriah (era negara bangsa sejak abad ke-20) (Kompas, 13/12/2010).

Dampak dari keresahan pemerintah Irak terhadap ancaman Kurdi ini adalahpembekuan akses-akses Kurdi yang diyakini berpotensi untuk merebut kekuasaan.Partai buruh kurdi yaitu PKK dibekukan oleh Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki iamengatakan, “PKK adalah organisasi teroris dan kami sudah mengambil keputusan

Ahmad Sahide

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

204JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

untuk menutup kantor-kantor perwakilan mereka dan tidak mengizinkan merekaberoperasi lagi di wilayah Irak” (http://eramuslim.com).

IranIran dikenal sebagai negara para Mullah dan termasuk salah satu negara utama

yang didiami oleh kelompok suku Kurdi. Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan(1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki(500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman diselatan.

Iran juga termasuk negara yang terdiri dari banyak suku dan agama. Etnik mayoritasialah etnik Persia (51% dari rakyatnya,) dan 70% rakyatnya adalah bangsa Iran,keturunan orang Arya. Kebanyakan penduduk Iran berkomunikasi dalam bahasayang tergolong dalam keluarga Bahasa Iran, termasuk bahasa Persia. Kumpulanminoritas Iran ialah Azeri (24%), Gilaki dan Mazandarani (8%), Kurdi (7%), Arab(3%), Baluchi (2%) Lur (2%) Turkmen (2%), dan juga suku-suku lain (1%).

Data ini menunjukkan bahwa persentase warga Kurdi di negara Mullah tersebut,yang kurang lebih 90 persen penganut Syi’ah, tergolong lebih sedikit dari padapersentase warga Kurdi yang ada di Irak. Di Iran, suku Kurdi mendiami ProvinsiKurdistan (Khuzastan) yang kaya akan minyak. Dalam perjuangannya, orang-orangKurdi di Iran juga membentuk Partai Politik. Tahun 1942, di Mahabad berdiri PartaiKomunis Kurdi Iran (Komola), yang merupakan partai politik pertama yang dibentukoleh orang-orang Kurdi Iran. Kemudian pada 2945, berdiri Partai Demokratik KurdiIran (KDPI) yang menggabungkan semua gerakan suku Kurdi, termasuk Komola padatahun yang sama, mereka memproklamasikan berdirinya apa yang disebut sebagai“Republik Mahabad” dengan “presiden”-nya Qazi Mohammad.

Inilah “negara Kurdi merdeka” pertama dan satu-satunya dalam sejarah, meskipunhanya berumur satu tahun, karena pada 1946 pasukan Kerajaan Iran menyerbuMahabad dan membubarkan “republik” tersebut. sejumlah pimpinan Kurdi, termasuk“presiden” Qazi Mohammad, ditangkap dan dieksekusi (Sihbudi, 2991: 137).

Ketika konstalasi politik Iran mengalami perubahan, ketika gelombang anti-Syah,1978-1979, menyebar luas di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini, para peshmarga(pejuang) mengambil sikap politik untuk bergabung dengan kaum pendukungKhomeini. Setelah Syah jatuh, suku Kurdi mengajukan tiga tuntutan kepada rezimkaum Mullah, yaitu otonomi provinsi Kurdistan, penghapusan diskriminasi dalammendapatkan pekerjaan, dan pembagian yang adil dari hasil tambang minyak.

Teheran tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut, akibatnya para peshmargakembali mengangkat senjata dan melawan pemerintah pusat. Awal Juni 1979, untukpertama kalinya para peshmarga terlibat dalam bentrokan dengan pasdaran (pasukanpengawal revolusi Iran) yang menelan korban sekitar 100 jiwa. Konflik antara peshmarga

Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

205VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

dan pasdaran terus berlanjut sampai 1984, terutama setelah KDP (Iran) yang dipimpinAbdulrahman Ghassemlou. Namun pada 1985, pemimpin KDP tersebut memilihuntuk kembali ke meja perudingan dengan penguasa Teheran. Walapun pada akhirnyatidak ada hasil yang dicapai oleh KDP. Pemerintah Khomeini menolak untukmemberikan otonomi bagi Provinsi Kurdistan karena wilayah tersebut kaya denganminyak, yang banyak memberikan andil terhadap pendapatan negara (Sihbudi, 2991:139).

TurkiTurki adalah sebuah republik konstitusional yang demokratis, sekular, dan bersatu.

Sistem politiknya didirikan pada tahun 1923 di bawah pimpinan Mustafa KemalAtatürk setelah kejatuhan Khilafah Ottoman, akibat Perang Dunia I. Sejak saat itu,Turki telah berangsur-angsur bergabung dengan Barat sementara di saat yang samamenjalin hubungan dengan dunia Timur. Dibandingkan dengan Irak dan Iran,populasi suku Kurdi di Turki adalah yang terbesar, jumlahnya mencapai 30 juta jiwa(Internationale, 1/3, 2008).

Di Turki, orang-orang Kurdi tiga kali melancarkan pemberontakan secara besar-besaran, yaitu pada 1925, 1930, dan 1937. Semua pemberontakan ini berakhir dengankegagalan total, sehingga banyak orang Kurdi yang dibantai maupun yang dideportasioleh rezim Ankara. Pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi sebagai bentukpenentangannya yang paling keras terhadap sekularisasi yang dilakukan oleh MustafaKemal Attaturk. Oleh karena itu, mereka menuntut pengembalian Islam kepadastatusnya yang lama. Permintaan lainnya adalah otonomi lokal (Lenczowski, 1993:84). Pemerintahan sekuler, akhirnya, di bawah Mustafa Kemal Attaturk, yangmengggantikan Dinasti Usmaniah, berhasil menyatukan orang-orang Turki dan Kurdi.Rezim Ankara mengkombinasikan kebijakan represif dan integrasi terhadap sukuKurdi. Sehingga, secara resmi tidak orang-orang Kurdi di Turki (Sihbudi, 1991: 137-138).

Pascakemerdekaan Irak tahun 1932, bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korbanpertikaian antara Irak, Iran, dan Turki. Karena frustrasi atas semakin tertutupnyapeluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi yangkerap melancarkan aksiaksi terorisme (Internationale, 1/3, 2008).

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwasanya permusuhan yang dilontarkan olehArab disambut dengan perlawanan juga oleh Kurdi. Salah satu bentuk perlawananmereka adalah dengan cara gerakan nasionalisme Kurdi. Berbeda dengan di Irak, diTurki nasionalisme Kurdi menginginkan otonomi, bukan pemisahan, karenakebanyakan suku Kurdi di sana memiliki saham dalam sistem ekonomi dan politikdan menginginkan peningkatan dalam hak-hak kewarganegaraan dan politik merekaketimbang perpisahan. Meski demikian, mereka masih mengagumi prestasi simbolis

Ahmad Sahide

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

206JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

suku Kurdi Irak: Bendera tiga warna Kurdi dengan matahari keemasan di tengahnya,ritual masyarakat umum untuk menghormati para pahlawan Kurdi, dan pengadopsianbahasa Kurdi sebagai bahasa resmi. Ungkapan-ungkapan identitas budaya dan politiksemacam itu menghadapi hambatan hukum dan rintangan administrasi di Turki,meskipun sudah ada reformasi undang-undang dan hukum sejak akhir 1990an.

Serangan terhadap suku Kurdi yang terakhir kalinya adalah Serangan besar-besaranmiliter Turki pada bulan Februari 2008 ke basis milisi Kurdi di Pegunungan Qandilyang menewaskan ratusan jiwa dari kelompok Kurdi (Internationale, 1/3, 2008).Dikabarkan Amerika Serikat (AS) sendiri ikut terlibat dalam operasi yang digelarhingga wilayah Irak Utara. Serangan militer yang dibungkus dengan slogan memerangiterorisme memang didukung oleh AS dan Uni Eropa. Mengingat salah satu faksiKurdi yang ada di Turki bagian tenggara yaitu Partiye Karkaren Kurdistan (Partai PekerjaKurdistan, PKK) telah dimasukkan dalam daftar kelompok teroris internasional.Kelompok Kurdi pro AS di Irak Utara juga membiarkan serangan ke wilayahnyakarena adanya konf lik yang terjadi di antara mereka. Bangsa Kurdi yangmendambakan kemerdekaan sejak hampir seabad lamanya, kini nasibnya semakintidak menentu. Hidup berserak sebagai minoritas di antara wilayah Turki, Iran, Irakdan sebagian kecil di Siria. Nampaknya, operasi militer Turki ke wilayah Kurdi padatahun 2008 tersebut diyakini akan semakin menciptakan eskalasi kekerasan di kawasanTimur Tengah.

KesimpulanKebangkitan nasionalisme bangsa Kurdi, yang dimulai sejak Abad XIX tersebut

serta kemerdekaan yang dijanjikan oleh Presiden AS Woodrow Wilson (1856–1924)melalui Perjanjian Sevres (The Treaty of Sevres) tahun 1920, memang menghadirkantantangan unik pada orde politik yang kuat di wilayah Timur Tengah. Namunsepertinya cita-cita kemerdekaan tersebut semakin sulit terealisasi karena lokasinyayang strategis secara geopolitik dan tersedianya minyak dalam jumlah besar lengkapdengan jalur-jalur pipanya menuju Eropa dan Israel di daerah-daerah yang didiamioleh suku Kurdi. Setiap aktivitas untuk memerdekakan diri selalu berakhir denganpenumpasan dan penindasan. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakanmenunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya (Internationale, 1/3, 2008).Apalagi ketiga negara tersebut, Irak, Iran, dan Turki, seringkali membangun kerjasama untuk memadamkan gejolak pemberontakan yang dilakukan oleh suku Kurdi.Selain dari itu, kehadiran pihak asing juga seringkali menjadikan suku Kurdi sebagaitumbal politik.

BibliografiHitti, Philip K. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi.http://eramuslim.com/berita/dunia/irak-galang-kekuatan-dengan-turki-berangus-

Suku Kurdi dan Potensi Konflik di Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

207VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

kelompok-bersenjata-kurdi.htm. Diakses 17 Mei 2010.http://eramuslim.com/berita/dunia/presiden-irak-resah-ancaman-milisi-syiah-dan

kurdi.htm. Diakses 17 Mei 2010.Kompas, 13 Desember, 2010. Barzani: Kurdi Ingin Tentukan Nasib Sendiri, hlm. 9.Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah Di Tengah Kancah Dunia. Terj. Asgar

Bixby. Bandung: Sinar Baru Algensindo.Sihbudi, Riza, M., dkk (ed). 1995. Profil Negara-Negara Timur Tengah. Jakarta: PT

Dunia Pustaka Jaya.Sihbudi, Riza, M.. 1991. Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan.Surwandono. 2009. Resolusi Konflik Di Dunia Islam. Yogyakarta: UMY.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

208JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

From New Order to Reformasi:Indonesian Subnational Politics in

the Post-New Order Era1

AbstrakPemilihan kepala daerah langsung di Indonesia telah dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2005.Hal ini membawasejumlah perubahan, terutama dalam hal reformasi politik. Mekanisme pemilihan kepala daerah diubah kepadapemilihan secara langsung oleh masyarakat di daerah. Tulisan ini melihat bahwa perubahan ini membawa beberapadampak positif kepada masyarakat seperti tumbuhnya partisipasi politik yang semakin luas, legitimasi kepaladaerah menjadi semakin tinggi dan peranan partai politik menjadi sangat penting. Perubahan inilah yang penulissebut sebagai wujud dari proses pendalaman demokrasi bagi ‘demokrasi baru’ di Indonesia. Selain itu, muncul jugabeberapa kelemahan, seperti tumbuh suburnya politik uang, semakin melemahnya institusi daerah dan munculnyakekuatan elit lokal. Hal ini akan mendorong tumbuhnya pemerintah minoritas dalam lingkup kekuatan lembagalegislatif yang berposisi mayoritas.Keywords: local politics, polycentrism, local strongmen, autonomy, redistricting

Leo Agustino & MohammadAgus Yusoff

School of History, Politics and StrategicStudies, Faculty of Social Sciences and

Humanities, Universiti Kebangsaan Malaysia(UKM), Malaysia

IntroductionDiscussions and studies on subnational politics

in the Indonesia’s post New Order are of an inter-esting subjects. This is because subnational politi-cal issues could give diametrical impacts. The situ-ation arises due to the overlapping interests be-tween central and district government, inter-aliathe establishment and redistribution of districtautonomy. Hence, the overlapping has resulted into two major implications. It has produced nega-tive and positive benefits to the society.

In terms of positive consequences, subnationalpolitics contributes to the common benefits toparties that are involved. It has created a people’soriented government servants and at the sametime increased public services’ productivity and abetter public relations services to the commonpeople. Furthermore, infrastructure projects tendto involve public opinion on its sustainability and

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

209VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

suitability; health services has become more efficient, if not much better in some ofthe local districts. Indonesia’s local political conditions at the district level enjoy morefreedom to nominate their own local representation, hence, has done away with theold practices of having leaders whose appointment and selection were decided bypolitical elites in Jakarta. This new practice also witnesses an increasing participation,involvement and selection of women in the local political arena.

Nonetheless, subnational politics in the post-new order (Order Baru) period hasalso its own negative impacts. Hence the major purpose of this article is to analyze thechallenges and problems of subnational politics in the post-Soeharto period. Thispaper argues that Indonesia’s political transformation process has been marred bypolitical opportunists at local level, who seized the changing situation to their advan-tage. Sometimes they are labeled as free political riders who portray themselves asreformers and use all avenues of political logic to survive in a new political environ-ment. Although these free riders were part of manipulative actors during the NewOrder regime, they were quick to adapt to the new role as if they are also true reform-ers in the post-Soeharto period. Their manipulative political strategies then led tosome interesting questions—why do these manipulative political strategies exist dur-ing the transformation period of Indonesia’s politics? Has it to do with the politicallegacy of the New Order period?

The paper is organized into several sections. The first section would review exist-ing literature on the Indonesia’s post-Soeharto period by discussing issues onsubnational politics in various parts of the archipelago. The second section analysesIndonesia’s subnational politics during the New Order/Soeharto period, and finallythe paper analyzes the dynamics of Indonesia’s subnational politics, in terms of issuesand challenges in the post-New Order period.

Undrstanding Concept and the Unit of AnalysisIndonesia’s politics in the post-New Order is basically a reflection of societal re-

sentment against the old style politics of authoritarian rule, which was repressive andcentralized. This so-called “new politics” also witnesses the birth of polycentricismphenomenon—a regional collective struggle that reject old ideas of governing deemedto be undermining local identity and power.

According to Laclau & Mouffe (1985), Escobar & Alvares (1992), Mohan & Stokke(2000), this phenomenon is a kind of movements or struggle that went against theidea of centralization (which for such a long time has accumulated its strength andpower to weaken regional politics either in its formal and informal form). As a result,subnational economy becomes static. The situation also resulted in a strong culturalresistance (i.e. the creation of movement campaigning for local wisdom values) call-ing for alternative solution to the development of districts. Laclau & Mouffe (1985),Escobar & Alvares (1992), Mohan & Stokke (2000) also argue that the new political

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

210JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

culture backed by civil societies is an avenue for struggle to recreate local identity thathas been denied by the earlier autocratic regime.2

Social resistance movement through civil society did succeed at the end of 1980s inEastern Europe, especially when some of those countries collapsed due to the end ofthe Cold War (Diamond, 1994; Wellhoer, 2005). This shows that the role of civilsociety is very important in creating a new political phenomenon that expounded theidea of polycentricism. They acted as the agent for the empowerment of civil societyand at the same time as a guardian of check and balance mechanism to thegovernment’s political activities.

The impact of this new politics and polycentricism has changed Indonesia’s localpolitical landscape at provincial and district levels. District autonomy, redistricting,and direct election for district head (Pikilda) are some of the examples. Nonetheless,not all changes brought about by this new politics create common benefit to thepublic. In India, for instance—the biggest democratic country in the world, democra-tization has triggered new challenges to local politics. It has in fact strengthened thecaste and class politics in the society (Hansen, 1999). As a result, the dynamism ofsubnational politics in India has also exposed its local politics into a lucid politicalmanipulation.

The phenomenon also happens in Camaçari, Brazil. Camaçari’s “New Political”wave encourages a new set of political values—”clientism” between economic and po-litical interests of elites. It leads to a governing malaise of inefficiency, ineffectivenessand non-functionality. This can be seen when local district’s financial independencewas robbed by political and economic elites (Schönleitner, 2004). The elites, either inthe executive or legislative branches, equally benefit from the local district financialwealth to protect their clientele and cronies. By manipulating the legislative processat subnational level, the elites in Camaçari influence government decision and policythat benefit them and their cronies. One of the major impacts of this process is theemergence a political master and local strongmen who become dominant formally ina local political scene.

The emergence of informal political elite in local politics is a common phenom-enon in a new democratic country. In the Philippines, its people’s power politics hasbeen marred by the advent of informal elite who become interested in the politicalprocess (Sidel, 1999). These economic elite not only start to involve in the nationalpolitical arena but have slowly infiltrated into subnational level.3 The aim is to capi-talize their position in politics for economic interests. They have managed to capital-ize local district’s economic wealth by expanding their economic financial portfolios.This was done through land concession, law enforcement, appointment and promo-tion of public officers and government contract distribution. Sidel (1999: 156) pointsout that several provinces in Cavite, Cebu, and its surrounding area have been filledwith industrial parks, golf courses, housing estates, tourist complexes—thanks to local

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

211VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

economic bosses cum politicians who use their power to set the pace of developmentin their locality. They not only have the unlimited power to decide on the issue ofarea expansion, land acquisition to build roads, contract allocation, but also to deploylocal police for specific tasks such as to counter demonstration by labor movement orto forcibly evacuate people from squatter areas.

The same situation also happens in Thailand. McVey’s study in shes book entitledMoney and power in provincial Thailand (2000), points out that economic bosses andlocal strongmen are a political reality for the country. They are known as chao pho(read: jao poh) or ‘the protective father’.4 The presence of ‘protective father’ is not anew phenomenon for Thailand yet its position and role has strengthened ever sincethe 1973 democracy incident. They can be easily identified for their monopolistictraits and active involvements in every aspect of Thai’s economic activities from min-ing, transportation, agriculture, printing, banking and others. The chao pho are alsoactively involved in contraband and illegal activities such as drug trafficking, smug-gling and gambling (Arghiros, 2001).

Prior to 1973, the “protective fathers” were known for their involvement in pro-viding protection for the local political elites. They were known for their ability to useforce if necessary, and to garner some financial strength locally. But when the coun-try moved to political transformations, “the protective fathers” acted as political andeconomic brokers” to the local politics. This was made possible since they had all theinfluential networking and followers. They could also contribute “votes” in local elec-tion to candidates who desperately needed to win. Through this link of support,cronies of “the protective father” managed to garner power and financial sources.Several chao pho even managed to stand as candidates for a parliamentary electionand won. Narong Wongwan (a well-known drug trafficker who has been barred toenter the United States) and Kamnan Po (a well known godfather from Chonburiprovince) are some of the examples (Arghiros, 2001).

It can be concluded that, based on the discussion above, democracy and democra-tization do not necessary produce positive impacts to the society. It can produce theopposite impact such as in Nigeria in 1983, Peru in 1992, and Sierra-Leone in 1997—just to name a few cases.5 Even if democracy runs smoothly in a particular country, ithas to undergone various adaptation processes (political alignment or politicaladjusment) and in some instances produces political anomalies. Among these politi-cal anomalies is the emergence of economic bosses who become part of the politicalelites or strongmen in local politics. Their presence is correlated with and could affectpolitical centralization as a result of polycentricism processes. This situation has beenlabeled as modus vivendi between the weak state and strong society. It contributes tolocal strongmen’s political consolidation through increased role and influence insubnational politics.

Based on the above discussion, it can be argued that Indonesia’s subnational politi-

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

212JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

cal issues has to be studied not only from the structural aspect (i.e. autonomy andgood governance, public relations and management and, other structural charac-ters), but also has to be understood and perceived from the aspects of the agenciesinvolved. The political transformational phenomenon that was briefly discussed aboveshow the increasing role of local strongmen in the Indonesian post democratizationprocess. Hence the analytical framework that will be used in this paper is based onlocal strongmen’s impact (the negative side) (Migdal, 1988) on the dynamism of de-mocratization process. According to Migdal (1988: 256), local strongmen and eco-nomic bosses are social control due to the fact that:

They have succeeded in having themselves or their family members placed in criticalstate posts to ensure allocation of resources according to their own rules, rather than therules propounded in the official rhetoric, policy statements, and legislation generated inthe capital city or those put forth by a strong implementor.

Furthermore, Migdal states that the argument is based on three inter-related points.First, local strongmen’s strong growth is associated with close-netted society. Theymanaged to get greater influences compared to that of other local leader or bureau-crats. Secondly, local strongmen also manage social control in the society through thestrategy of survival. The logic is that these local strongmen create societal depen-dency on them, thus creating a legitimacy that only local strongmen are capable ofsolving societal problems. Local strongmen would become patron to the society—especially for the underprivileged. Third, local strongmen directly weaken state andlocal government’s capacity to administer the province of the district. This paperthen discusses Migdal’s theoretical framework in the context of Indonesia pre andpost-New Order.

Local Politics Prior to Reformation: the Roots and Behavior of LocalStrongmen

The dynamics of Indonesia’s subnational politics have always changed throughtimes. Prior to independence, the Nusantara’s local politics was faced with gloomyperiod. It was because local politics was controlled and influenced by a strong tradi-tional adat or custom. The majority of the population was not part or subject ofdevelopment yet subject to series of taxes collected by repressive local officers. Hence,they were the object of political convenience of the local government. This situationmade their economic conditions in a very dire need.

Continued uses of repressive method by the local officers finally led to the people’sopposition and uprisings. It was led by local strongmen such as Ken Arok, Samin,Pitung and others who rose up against the central repressive power. These localstrongmen represented some form of local people’s civil opposition against the gov-ernment. Local strongmen’s role then led to positive image in the eyes of local popu-

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

213VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

lation. They were seen as the protectors of local interests although some of theselocal strongmen did involve in illegal activities and part of underworld groups. Localstrongmen’s involvement and contribution to the society strengthened their posi-tion and polycentricism.

Indonesia’s local politics became more dynamic after the proclamation of inde-pendence. This is due to the fact that more and more Indonesians are involved in thedecision process of their own country by becoming part of local council and bureau-crats. The Dutch legacy of local political structure gave wider opportunities for thelocals to be active or to be part of the country’s political system. In the post- indepen-dent political system, members of the aristocrats were forced to compete with thelocal public to fill in posts in local government. In addition to that, there were alsocompetitions based on ethnic line. Ethnicity is part and parcel of Indonesia’s nationbuilding problem even until today. There were political ethnic tension during theperiods of Parliamentary Democracy (1950-1958) and Guided Democracy (1959-1965),especially outside the Java Island where military was directly involved in local poli-tics.6 The local society was deprived from being active in politics. This also explainswhy Parliamentary Democracy era was replaced by the Soeharto’s 1966 Guided De-mocracy. The Guided Democracy created mixed euphoria at the district level. It wasseen as a new form of polycentricism or a new liberating politics that marked a newera of the Indonesian post-colonial period politics.

For more than 30 years, Indonesia was under the autocratic regime of Soeharto’sNew Order (1966-1998). During that period, local politics was controlled and central-ized by Jakarta. As a result, executive bodies at district, sub district and provinces levelwere tied up under Jakarta’s hegemony. Allocations for senior and higher posts atlocal level were decided by the Ministry of Internal Affairs (Kemdagri) in Jakarta.The ministry controlled the elite’s interest at local level. In the election for the Riaugovernor in 1985, for instance, the Golkar Party directed all local parliamentarymembers to select Mejar Jeneral Imam Munandar (incumbent) as the governor. Toensure Munadar’s winning the election, all senior party officers of Golkar were sentto Pekanbaru. As the election become nearer, representatives from the TentaraNasional Indonesia (TNI)’s headquarters and Kemdagri were also sent to Pekanbaru.The military and the Golkar leaderships from the House of Local Representative(DPRD) met to discuss the scenario of the governor election. They decided that can-didates would each receive three votes and the remaining votes would be given to theincumbent (Malley 1999:82). Although prior arrangements were made, the resultsshowed the opposite. The September election gave Ismail Suko—a local politician—aclear winner by defeating the incumbent (who is a Javanese) only by two votes. Presi-dent Soeharto nonetheless intervened and appointed Imam Munandar as the gover-nor

This controlling mechanism was not only done by Jakarta to the local politics, but

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

214JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

also to the military councils. To ensure easy control of the military council, ex-mili-tary men who have show their loyalty to the regime was awarded with special ap-pointment either in the local legislative council (DPRD) or executive (governorship,district head or mayorship). This strategy excluded the appointment of senior mili-tary officers in the cabinet post or in the Parliament as special rewards for the military’sloyalty.

Nonetheless, the rewards also led to undesirable consequences, especially at the districtlevel. The military-cum-local legislative officer tended to accumulate personal wealth.Power accumulation was easily done due to the military’s long association with localdevelopment. As a result, they became the local mafias controlling all aspect of localactivities and development. An editor to the Journal Indonesia from the Cornell Univer-sity commented (1992: 98):

They have the opportunity to build powerful long-term local bases in the regions,first as representatives of the center, later as real-estate speculators, fixers, commis-sion-agents, local monopolists, and racketeers. These long-term prospects, meaningretirement in the regions, are helped by local alliances, including marriage connec-tions (themselves or their children), business partnerships with local elites, and per-sonnel manipulations through former subordinates within the active military. As‘old hands,’ such military men are in a strong position to inveigle or obstruct ‘newbroom’ officers sent in from the center. Essentially, we are speaking of the formationof local mafias, which often have their eye on such ‘civilian’ political positions asbupati, provincial secretary, and even governor.

The phenomenon did not start in 1980s but has been part of Indonesia’s politicaldilemma since independence. For example, between 1967 and 1978, Wahab Sjahranie(a senior Colonel Officer from the ethnic of Banjar) capitalized Jakarta’s weak con-trol on local politics and District Military Command (KODAM)’s unassailability byusing his political position to accumulate personal wealth and to consolidate his powerbase (Malley, 1999: 83). Through his governorship in East Kalimantan, the positionfor the KODAM’s Commandant was replaced five times! The replacements showhow KODAM was weakened by Wahab’s manipulative strategies through his controlover local bureaucrats and subsequently becoming a big local strongman. Not onlywas he managed to control local politics and bureaucrats, he used local police toprotect and to strengthen his position by offering several loyal policemen a mayor-ship post.

Local strongmen did not only emerge from ex-military men. At the end of 1970sand in the early 1980s, for instance, a large inflow of development money createdlocal aristocrats control over the appointments of regent, district secretary (Sekwilda),or members of DPRD by local aristocrats. These local aristocrats became local powerhouse through their ownerships of hotel chains, plantation, manufacturing and ce-

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

215VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

ment industries. They used development monies as if it was theirs. Ichlasul Amal(1992: l79) wrote:

It was hard to find any bupati or high-ranking official in the governor’s office who didnot own profitable clove plantations or salt-water fishponds or both … Officials owninglarge areas of productive land represented the continuation of a long established patternin which aristocratic families owned land and invested some of the money they receivedfrom landowning in trade. But it also reflected the new economic climate of the NewOrder which enabled nobles who were also government officials to commercialize theirlandholdings.

In other words, local strongmen emerged as a result of New Order’s developmentprocess. The central government’s economic policy had given rise to economic op-portunities and growth, industrialization, and social mobilization in Indonesia.7 Inthe 1980s and 1990s, for instance, the growth of local strongmen was phenomenal.They used social organization such as Pemuda Pancasila (that has close associationwith the regime in power) to garner support and power base. This type of localstrongmen was also a political broker that used whatever means to provide support tothe local bureaucrats either to end labor strike, student or pro-opposition demonstra-tion. Ryter (2002) labels this type of local strongmen as preman or gangster.

The presence and involvement of this kind of semi-official gangster in PemudaPancasila during the New Order period were actually needed. Local political eliteoften used them to stabilize local politics and more importantly to ensure Golkar’spolitical winnings. They were in fact representing Golkar’s voice in its political terri-tories where local elite politicians received central government’s economic distribu-tion such as subsidy and contract for their own personal wealth—including retainingtheir power base. For instance, several Presidential Instructed Programs to financethe development of elementary schools, social health system, and public services ei-ther formally and informally benefited the local political elites (read: the localstrongmen who cooperated closely with local elites) though various opportunities theythemselves created. It can be considered as a broad daylight public misuse of funds orliterally stealing money from the public

Based from the above discussion, it can be argued that Indonesia’s local politics isvery uniquely dynamic. Scholars may argue that Indonesia’s New Order period wasdictatorial. But it can only be true when we analyze it at the national level. The fact isthat political reality at the local political level as this paper has shown so far is verymuch authoritarian. A question beg to be answered is why it has happened? It can beargued that national political virus has infected local politics. Yet what has happenedto the local politics after the fall of the new order regime? The following section willdiscuss the issue raised in depth.

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

216JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Reforming Local Political Order: An Illusional Change?The 1997 Financial Crisis and student movements led to the down fall of Soeharto

regime and the end of Jakarta’s centralization of power. The fall of New Order re-gime also marks the beginning of new polycentricism—that rejects concentration ofpower of the central government. Political reformation provides local district an au-tonomy to formulate, pass and implement laws without central government’s inter-vention. The implementation of law also put an end to local elites’ control on unso-licited money collection and the rejection of the role of local strongmen at districtlevel. Political reformation has also weaken the central government’s control at thelocal district politics since nobody could claim that he or she is representing Jakarta’sinterest. Hence, they have lost their political legitimacy. They no longer become acentral government’s power broker at district level. They are also no longer a singledistrict authority. Polycentricism has replaced the logic of centralized politics.

The transformational changes from an “old politics” of centralization to a “newpolitics” or decentralization bring a new refreshing environment to Indonesia’s localpolitics. At least the change flourished in the early years of reformation period. None-theless, scholars argue that Indonesia has been going back to the “old politics” wherebypolitical brokers and local strongmen reappear at the subnational political level (Ryter,2002; Hadiz, 2003; Agustino & Yusoff, 2010b). This is due partly to the decentraliza-tion itself where central government no more involves in the local political process.These political brokers and local strongmen are actually the old faces who were un-able to compete with the new order regime’s local strongmen (Agustino & Yusoff,2010a). Yet, these “veteran” local strongmen continue to consolidate their position.They have managed to further expand their political base during the transitionalperiod and at the same time able to manipulate the public’s state of minds to furtherinfluence the society.

Democratization and decentralization process indeed provide more opportunitiesfor local economic brokers and local strongmen to fill important political and bu-reaucratic posts at district councils and provincial legislative houses. For those who donot hold political or administrative posts, they make sure that important office bear-ers continue to depend on their assistance and support. Local policy formulationsmust benefit their businesses as well as their political domination in the local society.8

This, however, does not create a continuous dependency between local elite poli-tics i.e. the office bearers and the economic boss/ local strongmen. In some cases, theopposite has happened. In this kind of situation assistance provided by the local bear-ers to the economic bosses would benefit the earlier party the most. Research doneby McCarthy (2002) in Southeast Aceh is very interesting. According to him (2002:93-94):

At the apex of the network are four key business figures, predominantly from a

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

217VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

particular Alas clan (marga). These figures dominated Southeast Aceh politics, andeven the bupati was enmeshed in this network. Those who upset this group would beexcluded from the webs of patron-client relations running Southeast Aceh.

Key figures there, allegedly including the bupati, are enmeshed in a social orderthat extends to forestry staff working for the National Park, police (Polres) and armypersonnel (Kodim), local government officials, the judiciary and local religious leaders(imam). Irrespective of the precise formal position within the state of those playingvarious roles, the links among businessmen, intermediaries, brokers and villagers lieoutside the formal structure of the state.

Those kinds of interactions have emerged in many parts of Indonesia’s post NewOrder politics. It can be seen further in Medan, one of the major towns in Sumateraisland. Medan local parliament according to Vedi R. Hadiz (2003) has been domi-nated by a group of preman who compete among themselves.9 Some of them haveeven had special relations with ex senior army or police officers. In the early period ofthe Indonesian political reformation, the mayor of the city, Abdillah who was a char-ismatic economic boss, was elected to the post through vote buying and political in-timidation. Having lived in a very competitive and cut throat political environment,one can explain why Abdillah administered the local bureaucratic system in a “puni-tive” way. Apart from local strongmen, there are also new actors in the local politics—the middle level businessmen who depend on government projects and social activ-ists who are closely associated with non-governmental organizations (NGOs) such asthe Indonesian University Students Group or Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI),the National Youth Committee of Indonesia or Komite Nasional Pemuda Indonesia(KNPI), the Indonesian University Student Movement or Gerakan Mahasiswa NasionalIndonesia (GMNI), and the Indonesia Christian University Students Movement orGerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) (Hadiz, 2003: 125).

In addition to Aceh and Medan, there tend to be an increasing trend where eco-nomic bosses change their profession by becoming politicians in some districts. Thenetworking of local strongmen has even expanded in many parts of Indonesia amongothers, Banten, East Java, and South Sulawesi. These places are not only under thecontrol of powerful local economic bosses, but also under the influences of localaristocrat, respected religious figures and indigenous adat leaders. The last three lead-ers have the charismatic charms and would manipulate ethnic, religious and adatsentiments to stir up local societal emotion. This can be seen in the Ambon’s Chris-tian-Muslim conflicts in Maluku (van Klinken 2001). Power rivalry between the Ter-nate and Tidore Sultanates also led to local political conflicts in North Maluku. Theroyal feuds also triggered religious conflict in the area. (Ibid.). In Central Kalimantan,ethnic conflict has had slowly evolved into strings of political enmity in the electionprocess and Pilkada (Taufiq Tanasaldy 2007). The increasing influences of localstrongmen also include political enmity among local elites in the drafting of new

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

218JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

autonomy law for the district through redistricting policy (Aragon, 2007).In other context, local politics have to be understood as a competition ground for

the three powerful political giants: (i) bureaucrats with aristocratic background, (ii)bureaucrats who initially came from an average social background, and (iii) the localstrongmen. The competition among them may force them to cooperate, but more soto kill each other’s political base. We can see their rivalry in the redistricting process(redrawing the constituencies at provincial, regent or city level). When one group ofbureaucrats (for instance those who are coming from an average social background)failed to implement the redistricting process, the other group of bureaucrats (witharistocratic background) would take the opportunity to go against the regime in power.Hence, the bureaucrats with aristocratic background used the opportunity to redrawthe constituency that would benefit them. The rivalry was further heightened whenlocal strongmen intervened. Their involvement was mostly to get major slices of thecake as a result of redistricting process. They hope to gain more business opportuni-ties when the constituencies are redrawn.10

Outside Java area, bureaucrats with aristocratic background have the upper hand.This is because they are able to a number of new autonomic provinces, regents andcities according to their own wimps and fancies. The number of new regents are infact multiple. Local aristocrats with higher educational background are easily inductedinto local offices or military services through lobbying with local Golkar party or withthose powerful figures in Jakarta. In some cases a delegation would be sent to Jakartaby the local DPRD to convince the Parliamentary Commissioner II of DPR to createmore autonomy districts. In this case, local strongmen cum economic bosses are neededto provide financial support for the visit of DPR members to their areas. The bar-gaining between two parties may infer that local strongmen would gain benefits fromthe redistricting processes, especially when a new district is created.

The discussion so far has shown that local politics in Indonesia is a combination ofa clash of interest between that of local strongmen’ (including the economic bosses)and bureaucrats. The two groups strive to maintain their power in their district. Eachof them would ensure that they continue to control the sources of the district’s eco-nomic wealth. It is not surprising when Amrih Widodo (2003: 190), argues that thedark side of decentralisation during the Reformation order period is:

... a new modus vivendi based on negotiation and deal-making appears to be evolvingbetween the bureaucracy and the legislature. The system serves as an avenue for politi-cal players to maximise their access to resources and enhance their political standing.Each tries to outdo the others, because they all realize that victory in the fight for strate-gic positions depends on being able to mobilise financial resources and build a popularsupport base.

Yet the local political transformation in Indonesia is not as severe when we com-

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

219VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

pare to what has happened in Thailand. In Thailand local strongmen’s roles aremore centralized on one chao pho and rigidly divided into several groups. The role oflocal strongmen in Indonesia, however, is fluid, non-monolithic and indecisive. Themajor focus of local strongmen in Indonesia is to build local political dynasty by cen-tralizing their power base. One case is now happening in Banten. Leo Agustino &Mohammad Agus Yusoff (2010b) argue that the evolution of local strongmen in Bantenhas entered into the formation of a local political dynasty.11 Currently, the Bantenpolitical dynasty created by Tubagus Chasan Sochib manages to place his family mem-bers and cronies in important local government posts and businesses (formally andinformally).

One conclusion can then be made—Indonesian local politics is still in an evolvingstage. The direction of the development is very much influenced by the localstrongmen’s political consolidation (this has been shown by several examples discussedin this paper). If it is argued that the creation of district autonomy has created moregood practices, the findings and assumptions of this paper may not be relevant. Onemay argue that some districts such as Yogyakarta do not experience local strongmen’spolitical control. But one has to remember that although local strongmen are notpowerful in Banten, for instance, their tendency to become political investors inPilkada and subsequently influence the decentralization process at the subnationallevel is much greater. Political investors, compared to that of financial investors, wouldcontinue to create “benefits and opportunities” to ensure that those in power wouldcontinue to support them. If this trend continues, Indonesia’s subnational politicswould have its gloomy faces if attempts are not made to change it. This led to theperceived changes to remain an illusion.

ConclusionIndonesia’s subnational politics has undergone dramatic tribulation period in re-

cent years. At one time, central political elites intervened directly in the local ordistrict affairs especially during the early years of the Indonesia’s post-independenceperiod and also during the New Order period. Yet in the political reformation pe-riod, local politics have been able to enjoy more freedom and able to chart its ownpolitical directions.

Two major lessons can be learned from Indonesia’s local politics dynamics. Thefirst is that there have been attempts by the central government to continuouslycontrol the local political landscape. Second is, based on the discussion of this paper,the emergence of “strongmen” as the major force in influencing local politics. Thelocal strongman emerges due to strategies used by the New Order regime to monitorand operate its enforcement mechanism at subnational political levels, and moreimportantly as mechanism of resistance to the decentralization processes. Yet,Indonesia’s subnational politics in the pre and post 1998 periods remained to be

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

220JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

controlled by local strongmen that led to autocratic nature of local politics.The role of strongmen in the district autonomy either through Pilkada or Redis-

tricting has had shaped local political scene. This is because prior to the downfall ofthe New Order government, local strongmen were controlled or even suppressed bythe Soeharto regime that jealously guarded its power base through coercive appara-tus at the district level. This strict control is partly due to the regime’s restrictingobjective of Jakarta’s centralization approaches. But in the reformed era, strongmen’srole in the local political and economic manipulation is difficult to contain. Hence,the transformation from “old politics” (centralization of power) to “new politics” (de-centralization) fails to benefit the people at the subnational level. It is only those whohave the power (local strongmen) and money (powerful businessmen) who continueto have the advantage even under the current democratic era of Indonesia. Thepaper concludes that “old” political actors who benefit the most during the NewOrder period have been able to reassert themselves under the new political environ-ment and continue to become powerful than ever. Political reform that is expected tobring about total changes to the Indonesian politics hence remains static.

BibliographyAgustino, Leo & Mohammad Agus Yusoff. 2009. Pilkada dan pemekaran daerah dalam

demokrasi lokal di Indonesia: local strongmens dan roving bandits. Paper Presented atthe Seminar Serumpun IV Organized by Pusat Pengajian Bahasa, Kesusteraandan Kebudayaan Melayu, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, UniversitiKebangsaan Malaysia (UKM) in association with Fakultas Ilmu Budaya, Universi-tas Hasanuddin (Unhas). Bangi, Selangor, Malaysia, 4-5 July.

Agustino, Leo & Mohammad Agus Yusoff. 2010. Dinasti politik di Banten pasca OrdeBaru: sebuah amatan singkat. Jurnal Administrasi Negara 1(1): 79-97.

Amal, Ichlasul. 1992. Regional and central government in Indonesia politics: West Sumatraand South Sulawesi 1949-1979. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Aragon, L.V. 2007. Persaingan elit di Sulawesi tengah. In Henk S. Nordholt danGerry van Klinken (ed), Politik lokal di Indonesia. Translation. Jakarta: Yayasan OborIndonesia dan KITLV Jakarta.

Arghiros, D. 2001. Democracy, development and decentralization in provincial Thailand.Surrey: Curzon.

Chandhoke, N. 1995. State and Civil Society: Exploration in Political Theory. London:Sage Publication.

Cohen, J-L., & Arato, A. 1992. Civil society and political theory. Cambridge:Massachussetts Institute of Technology Press.

Diamond, L. 1994. Rethinking civil society: toward democratic consolidation. Journal ofDemocracy 5(3): 151-159.

Emelifeonwu, D.C. 1999. Anatomy of a failed democratic transition: the case of Nigeria.

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

221VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

PhD Dissertation. McGill University.Escobar, A. & Alvarez, S.E. (ed). 1992. The making of social movements in Latin America:

identity, strategy, and democracy. Boulder: Westview.Gellner, E. 1994. Conditions of liberty: civil society and its rivals. London: Hamish

Hamilton.Hadiz, Vedi R. 2003. Power and politics in North Sumatra: the uncompleted reformasi.

In Edward Aspinall & Greg Fealy (ed), Local power and politics in Indonesia:decentralisation & democratisation. Singapore: ISEAS.

Hansen, T.B. 1999. The saffron wave: democracy and Hindu nationalism in modern India.Princeton: Princeton University Press.

Harriss-White, B. 1999. How India works: the character of the local economy. Cambridge:Cambridge University Press.

Kay, B.H. 1996. Violent democratization and the feeble state: political violence, breakdownand recomposition in Peru, 1980-1995. PhD Dissertation. University of North Caro-lina.

Keen, D. 2005. Conflict and collusion in Sierra Leone. Oxford: James Currey Publish-ing.

Laclau, E. & Mouffe, C. 1985. Hegemony and socialist strategy: towards a radical demo-cratic politics. London: Verson.

Magenda, Burhan. 1989. The Surviving Aristocracy in Indonesia: Politics in Three Prov-ince of the Outer Islands. PhD Dissertation. Cornell University.

Malley, M. 1999. Regions: centralization and resistance. In Donald K. Emmerson(ed), Indonesia beyond Suharto: polity, economy, society, transition. New York: M.E.Sharpe.

McCarthy, J.F. 2002. Power and interest on Sumatera’s rainforest frontier: clientiest coali-tions, illegal logging and conservation in the Alas Valley. Journal of Southeast AsianStudies 31(1): 83-102.

McVey, R. (ed). 2000. Money and power in provincial Thailand. Copenhagen: NordicInstitute of Asian Studies (NIAS).

Migdal, J.S. 1988. Strong societies and weak state: state-society relations and state capabili-ties in the third world. Princeton: Prnceton University Press.

Mohan, G. & Stokke, K. 2000. Participatory development and empowerment: the dangersof localism. Third World Quarterly 21(2): 247-268.

Robison, R., & Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising power in Indonesia: the politics ofoligarchy in an age of markets. London: RoutledgeCurzon.

Ryter, L. 2002. Youth, gangs, and the state in Indonesia. PhD Dissertation. University ofWashington.

Scönleitner, G. 2004. Can public deliberation democratise state action?: municipalhealth council and local democracy in Brazil. In John Harriss, Kristian Stokke, &Olle Tornquist (ed), Politicing democracy: the local politics of democratisation. New

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

222JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

York: Palgrave Macmillan.Sidel, J. 1999. Capital, coercion, and crime: bossism in the Philippines. Stanford: Stanford

University Press.Tasanaldy, Taufiq. 2007. Politik identiti di Kalimantan Barat. In Henk S. Nordholt

& Gerry van Klinken (ed), Politik lokal di Indonesia. Translation. Jakarta: YayasanObor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

The Editors. 1992. Current Data on the Indonesian Military Elite. Indonesia 53(April):93-136.

van Klinken, G. 2001. The Maluku wars of 1999: bringing society back in. Indonesia71(April): 1-26.

van Klinken, G. 2007. Communal violence and democratisation in Indonesia: small townwars. London: Routledge.

Varshney, A. 2002. Ethnic conflict and civic life. New Haven: Yale University Press.Wellhoer, E.S., 2005. Democracy, facism and civil society. In S. Roßteutscher (ed),

Democracy and the role of associations: political, organizational and social contexs. Lon-don: Routledge.

Widodo, Amrih. 2003. Changing the cultural landscape of politics in post-authoritar-ian Indonesia: the view from Blora, Central Java. In Edward Aspinall and GregFealy (ed), Local power and politics in Indonesia: decentralisation & democratisation.Singapore: Institute of Southeast Asian Studie.

(Footnotes)1 This paper was presented in the Fifth International Conference on Global Stud-

ies, Moscow, Russia, 20-22 June 20-22. Paper was modified for this journal.2 Civil society is considered an agent for political transformational change. This is

because civil society is not only defined as an informal social cohesion group thathas the ability to garner social support and solidarity and promote universal normsand values accepted by all strata of life (c.f. Cohen & Arato 1992), but more im-portantly, it could create inner social strength that could balance government’sindifferent attitudes on humanity and injustice (Gellner 1994:5). In spite of that,civil society is believed to have the ability to defend the interests of the public andto prevent government’s manipulative social strategies. At the same timeChandhoke (1995:8-13) adds that civil society is an avenue where “... at whichsociety enter into relationship with the state.” From this perspective, the societymanages to interact and to raise critical issues rationally with the government.The interactions would dampen the regime’s intention to accumulate more powerand to becoming autocratic.

3 Boss or the Economic Elites in the Philippines derives from the historical linkagesbetween family dynasty of ‘old landlord’ (oligarchs) with its networks and patron-client relationship between them. Some of these old family oligarchies (economic

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

223VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

boss) are also the major players in the Philippines politics. Among them are thefamily of Lacson and Montelibanos from the Negros Province, Osmeoas andDuranos from Cebu, and Joson and Diazezs of Nueva Ecija. Cory Aquino andGloria Macapagal Arroyo are also part of this political oligarchic system. The boss,coming from the family ‘old oligarchs’ and involve in politics, was initially has astrong local strongmen lineage. They were the economic and political broker andhold monopolistic position in their local society. When these bosses have enough‘capital investment’, they would then run in the parliamentary elections and be-come political leaders in their area. It is seldom that they would not be selected.But the way they run their local district is just like a mafia style. They would con-solidate more power and wipe out all political opponents through manipulativevoting systems or in some extreme form using force to eliminate their opponents.For further discussion on this, see Sidel (1999).

4 According to McVey (2000), their presence can be categorized into three levels:First, pre-1960. There are two conditions of which led to the emergence of chaopho, (i) strong patriarchal cultural in the society; and (ii) an ineffective control andweak government in the internal district areas. In this kind of situation, the roleof godfather is permissible as the main player for local politics (middle distancebetween capital and countryside). Second, between 1960s and 1973, the anticom-munist military regime under Jeneral Sarit Thanarat (1958-1963) and JeneralThanom Kittikachorn (1963-1973), had included countryside areas as part of ex-tensive infrastructure development plan. Subsequently, the godfather used theirinfluences to be part of the project development, and some of them became thehead of villagers, whom the task was among others to increase local tax revenues.Third, a more democratic regime was introduced through local electoral processafter the fall of military regime. The process allows them to get involve in na-tional politics directly and independently.

5 In Nigeria for instance, democratization process took longer period (from 1974until early period of 1980s). The protracted democratic process ignited a coup byGeneral Abacha who was very impatient with the slow process. He subsequentlyruled the country with iron-fist. In Peru, President Alberto Fujimori organized aself-coup on 5 April 1992. He justified his action by arguing that the country wasin emergency due to acute economic problems and ineffective leadership. He dis-solved the parliament and ruled the country single handedly. The same situationalso occurred during the failed transitional process of Sierra Leone’s democracy in1997. Democracy failed to stabilize the country due to vested interests among po-litical elites. The country was drawn into a series of civil war. Please refer to Kay(1996), Emelifeonwu (1999), and Keen (2005) for further information on the is-sues.

6 In spite of that, there are many small groups that have colored the ethnic works in

Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

224JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Indonesia. For instance Burhan Magenda’s works (1989) show that there was con-tinuity of power among the aristocrats outside Java Island (East Kalimantan, NusaTenggara Barat, and South Sulawesi) after the proclamation of independence.The study also argues that in the 1950s the Indonesian Civil Service was still man-aged by members of Javanese aristocrat of whom maintaining their ally with thatof from outside the Java Island. Their alliance was based on common in interestsi.e. to limit the expansion of leftist idea and Islamism that wanted to launch a newpolitical force. This common interest also benefited the bureaucrats who neededthe aristocrat’s influences in managing ethnic conflicts. At the same the aristocratalso needed bureaucrat’s support to deal with local’s opposition against them.

7 In this context, Orde Baru or New Order regime attempted to present a multiplepositive impacts of capitalisme. However, ent-seeking activities, crony capitalism,and patrimonial hierarchy practices continued to reinforce itself and created aweb of networks. This then contributed to a situation where one could not getaway from the web of networks once he/she was in. It has then been resulted withat least 30% of foreign investment went directly to political elite’s coffin. Thepractices also allowed cronies to get their own shares at the district level.

8 Harriss-White (1992) names this activity as “informal economy”, where strong lo-cal people benefits the most through their personal ties with the government.These strong local men continue to influence local, district and parliamentaryleadership through: “... the use of trusted family labour; bilateral and multilateralcontracts, especially repeated and interlocked contracts; individual and collectivereputation; collective institutions; an inconsistent normative pluralism; and pri-vate protection forces” (Harriss-White 1999:5). Furthermore, she explains: Someelements of the shadow state are played simultaneously by real state players, e.g.corrupt lines of tribute, patronage/clientelage. Other shadow state livelihoods area form of self employment, though they depend on state employees, politiciansand other interested social forces for their incomes e.g. private armies enforcingblack or corrupt contracts, intermediaries, technical fixers, gatekeepers, adjudica-tors of disputes, confidants, consultants, and chore performers.Hence the realstate with its shadow is bigger than the formal state and has a vested interest in theperpetuation of a stricken and porous state. The shadow state spills spatially intothe lanes surrounding offices and into the private (some argue the ‘female’) do-mestic space of an official’s residence. This must be the most vivid image of theblurred boundaries between state and society (Harriss-White 1999:15).

9 Three names were identified as notable non-military trained youth leaders inMedan: Bangkit Sitepu, head of division for Pemuda Pancasila (PP) Medan, a so-cial civilian organization during the new order era. The organization received sup-ports from the government and had an affiliation with Golkar Party; MosesTambunan, leader of Ikatan Pemuda Karya (IPK)— Golkar Party’s youth wing; and

From New Order to Reformasi: Indonesian Subnational Politics in the Post-New Order Era

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

225VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Martius Latuperisa member of Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) under theleadership of Jeneral (Retired) Edi Sudrajat, who was also the major prime moverfor the Forum Komunikasi Purnawiaran Putera-Putri ABRI (FKPPI) Medan. Forfurther discussion please see Ryter (2002) and Vedi R. Hadiz (2003).

10 The formation of new district autonomy created many advantageous. Among oth-ers, it has opened up various important bureaucratic positions or posts such as fordevelopments and public relations to be filled. Local businessmen also benefitedwith the redistricting policy. Financial distribution became less bureaucratic. Busi-ness entity could receive their money more quickly than before once the project iscompleted thus contributed to increased income. Local political elites also ben-efited from the decentralization process. Chances to sit in the district importantposts such as head of district or becoming head and members of the province’slocal parliament or DPRD became wider. For bureaucratic elites, their opportu-nity to climb up the ladder has become easier.

11 According to Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff (2010), the evolution startswhen the autonomy law was implemented through the formation of ProvinsiBanten through the redistricting mechanism. Since thenu, Tubagus (Tb.) ChasanSochib—a ‘tameng’ and local strongmen during New Order—plays a dominantrole in the administration of Banten. In the early period of the formation ofBanten as a separate province, he appointed his own son (Ratu Atut Chosiyah) asdeputy governor instead of his political ally, Djoko Munandar (from the PartaiPersatuan pembangunan). Ratut Atut was then appointed as governor of Bantenuntil 2011.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

226JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Keadilan Global dan NormaInternasional

AbstractThe discourse of global justice is an attempt not only to explain the inequalities in global lives but as an effort tosolve the problem of injustice as well. The extreme disparities in life quality between people in the rich countriesand the poor nations have shown that there has been a colossal injustice in human lives. As the part of the ideain the political philosophy of cosmopolitanism, this theory also leads to the global acknowledgment on the basicrights of human being so everybody can live in just world. This article tries to explain the transformation of a globaljustice theory as an international norm. This perspective was enlarged from the thought of justice in the socialcontract tradition, but attempts to put down its utilitarian nature and puts human values as the basis of thinking.The essential contribution of this theory is to encourage the establishment of justice evenly so that everyindividual has as an equal opportunity to live deliberately in a peaceful atmosphere, not only through discoursesso the values of universal justice can be believed, but also promoting the institutionalization of norms intointernational covenants which have binding force for every actor from states, organizations as well as communi-ties.Keywords: global justice, international norm, just world, John Rawls

Muhammad Faris AlfadhJurusan Ilmu Hubungan Internasional,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.Email: [email protected]

PendahuluanBarangkali benar apa yang dikatakan Thomas

Nagel, pemikir filsafat politik Amerika, bahwa kitatidak hidup di dunia yang adil (Nagel, 2005: 113).Di sebagian besar masyarakat di belahan bumimanapun, kemiskinan dan kesenjangan sudahmenjadi fenomena obyektif. Pada level yang lebihtinggi, hal yang sama juga tampakmengkhawatirkan, terutama perbandingan antaranegara maju dengan negara-negara berkembang,terlebih lagi negara miskin.

Pada tahun 2011 lalu, UNDP mengeluarkanlaporan tahunan mengenai Human DevelopmentIndex negara di seluruh dunia. Laporan tersebutmenunjukkan kenyataan yang amat ganjil.Seorang anak yang lahir di Swedia, misalnya,memiliki usia harapan hidup hingga 81,4 tahun.Sementara harapan hidup seorang anak di SierraLeone, negara di bagian barat Afrika (berbatasandengan Liberia), hanya 47,8 tahun (UNDP, 2011).1

Keadilan Global dan Norma Internasional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

227VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Jumlah GDP (gross domestic product) perkapita Amerika Serikat mencapai 45.989 dol-lar, sementara Sierra Leone hanya sebesar $ 808 dollar.

Perbandingan tingkat melek huruf di beberapa negara juga sangat timpang. Lebihdari 80 persen orang dewasa (25 tahun ke atas) di dua puluh negara maju tergolongmelek huruf. Sementara di beberapa negara berkembang masih memperihatinkan.Di Bangladesh, misalnya, hanya 30,8 persen dari perempuan dan 39,3 persen laki-laki yang bisa digolongkan terdidik. Nigeria menunjukkan data paling rawan, hanyaterdapat 2,5 persen perempuan dan 7,6 persen laki-laki yang mengenyam pendidikan.

Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa hampir semua kebutuhan dasarmanusia ternyata tidak terdistribusi secara merata di seluruh dunia. Hal ini semakinkontras jika perbandingan tersebut kita lanjutkan pada aspek-aspek lainnya sepertiakses terhadap air bersih, layanan kesehatan dan sanitasi, serta kebebasan berbicara,beragama, dan partisipasi politik.

Proses ketidakadilan dan kesenjangan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.Fenomena tersebut tidak saja mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan strategis untukmengurangi tingkat kesenjangan tetapi juga banyak melahirkan pertanyaan filosofissekaligus kritis mengenai bentuk kehidupan yang lebih adil. Dari sini pula lahir studimengenai keadilan, yang mencoba menjelaskan sekaligus menawarkan perilaku yanglebih fair—terutama dari perspektif moral.

Salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam mengembangkan teori keadilanadalah John Rawls, terutama melalui karyanya A Theory of Justice (1971). Melanjutkantradisi berpikir kontraktarian, Rawls mencoba menggagas teori keadilan yang lebihadil (fair). Namun fakta bahwa ketidakadilan berlangsung secar global dan kolosalmembuat teori keadilan ini terus berkembang pada level yang lebih tinggi.Berkembangnya wacana tentang keadilan global (global justice) juga seiring denganmenguatnya keyakinan akan nilai-nilai kosmopolitanisme dalam masyarakatinternasional.

Konsepsi global justice memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiranRawls. Meski demikian, teori keadilan dalam perspekstif Rawls dipandang belummampu menjawab seluruh persoalan umat manusia, terutama ketika ditarik padalevel global. Karena itu, beberapa pemikir kosmopolitan kontemporer seperti MarthaNussbaum, Thomas Nagel, Thomas Pogge, dan Simon Caney, banyak berbicaramengenai konsepsi keadilan global ini.

Konsepsi global justice cukup berbeda dengan teori keadilan sebelumya, terutamadalam melihat persoalan dari level yang lebih tinggi serta bagaimana mendorongkeadilan sebagai sebuah norma internasional, agar keadilan tidak hanya bisa ditegakkantetapi sekaligus terdistribusi secara adil. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana konsepkeadilan ini berkembang dari kontraktarian (versi Rawls) yang menempatkan negarasebagai unit dominan, ke arah norma-norma yang mampu diyakini secarainternasional, sehingga setiap orang, organisasi, dan negara memiliki kewajiban yang

Muhammad Faris Alfadh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

228JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

sama untuk menjamin keadilan bagi setiap manusia. Tulisan ini ingin mengelaborasilebih jauh bagaimana teori keadilan global berkembang dan mampu menjadi normainternasional, di mana keadilan kemudian tidak saja diyakini sebagai nilai tetapi jugahadir dalam bentuk rezim dan institusi.

Keadilan dalam Perspektif John RawlsSelama ini teori keadilan dalam tradisi filsafat politik banyak didominasi oleh

teori kontrak sosial (social contract). Keadilan dalam pandangan ini dilihat sebagaihasil dari kesepakatan yang dibuat bersama demi mencapai keuntungan semua pihak,serta meninggalkan apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai “the state of nature” danmenyerahkan sepenuhnya pada hukum.

Tradisi berpikir kontraktarian ini cukup panjang, mulai dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Lock (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1774), hingga ImmanuelKant (1724-1804). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa John Rawls (1921-2002) adalahpemikir yang paling berpengaruh di abad modern. Teorinya mengenai keadilansebagai fairness yang dijelaskan dalam magnum opusnya, A Theory of Justice (1971),berangkat dari kritik atas teori sebelumnya yang ia rasa tidak sempurna dan kurangmemadai dalam memberikan konsep keadilan yang tepat. Kegagagalan teoriterdahulu, menurtnya, disebabkan oleh substansi dari teori tersebut yang sangatdipengaruhi nilai-nilai utilitarianisme (Ujan, 2001: 21).

Dalam pandangan kaum utilitarianis, benar dan salahnya tindakan manusia sangatbergantung pada konsekuensi langsung dari tindakan tersebut. Dengan demikian,baik buruknya perilaku sesorang secara moral dapat dinilai dari baik buruknyakonsekuensi yang dihasilkan bagi manusia lainnya. Tegasnya, apabila akibat yangditimbulkan baik, maka sebuah peraturan atau tindakaan dengan sendirinya menjadibaik, betapapun cara yang ditempuh untuk itu, demikian pula sebaliknya. (Magnis-Suseno, 1986). Karena itu, menurut Rawls, utilitarianisme gagal untuk menjaminkeadilan sosial karena mendahulukan asas manfaat (good) daripada asas hak (right).Karena bisa jadi dalam mendahulukan asas manfaat, sebuah tindakan akan menafikanhak-hak yang dianggap marjinal. Disebabkan kegagalan inilah maka utilitarisme tidakcukup kuat bila dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan yang ideal (Ujan,2001: 21).

Karen itu, menurut Rawls, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentukdengan pendekatan kontrak di mana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagaipegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semuapihak yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak inilahsebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak sekaligus mendistribusikankewajiban secara adil bagi semua orang.

Pendekatan kontrak terhadap konsep keadilan yang dikembangkan Rawlssebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Keadilan yang bersifat kontrak ini juga sudah

Keadilan Global dan Norma Internasional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

229VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

dikembangkan sebelumnya oleh Lock, Rousseau, dan juga Kant. Rawls sendirimengakui sumbangan para pendahulunya tersebut. Akan tetapi ia berpendapat bahwateori-teori tradisional ini tidak memuaskan justru karena semuanya cenderung bersifatutilitarianis.

Kelemahan pokok teori kontraktarian dengan basis utilitarisme adalah, keadilansosial dan ekonomi dalam masyarakat sulit dijamin karena pengambilan keputusanlebih ditentukan oleh prinsip manfaat daripada hak. Keadilan seakan-akan dapatdikompensasi melalui keuntungan-keuntungan ekonomis ataupun keuntungan sosiallainnya. Menurut Rawls, harga diri manusia tidak bisa diukur dengan materi. Martabatmanusia, sebaliknya, ditandai dengan kebebasan (Ujan, 2001: 23).

Selain itu, utilitarianisme cenderung mengabaikan keunikan setiap individu danmemperlakukannya melulu sebagai bagian yang berfungsi melayani kepuasanmasyarakat sebagai keseluruhan. Bagi Rawls, adalah tidak adil (unfair) mengorbankanhak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebihbesar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap dasar utilitarisme justru bertolakbelakang dengan prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness menuntutbahwa orang pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang sama sebagaibasis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial.

Bagi Rawls, keadilan harus dimengerti sebagai fairness, dalam arti bahwa tidakhanya mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik yang berhak menikmatimanfaat sosial lebih banyak, tetapi juga berlaku bagi kelompok dengan kemampuanterbatas. Keuntungan yang dicapai oleh mereka yang mampu juga seharusnyamembuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospekhidupnya (Ujan, 2001: 25).

Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut: Pertama, setiap orangharus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasanyang sama bagi semua orang; Kedua, Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatursedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memeberi keuntungan bagi setiap orang(everyone’s advantages), dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka secara sama bagi semuaorang (equally open to all) (Rawls, 2006: 72). Menurut Rawls kekuatan dari keadilandalam arti fairess justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkansejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberiprioritas pada kebebasan.

Bisa disimpulkan secara sederhana, bahwa keadilan sebagai fairness mengandungtiga tututan moral: Pertama, kebebasan untuk menentukan diri sendiri sekaligusindependensi terhadap pihak lain; Kedua pentingnya distribusi yang adil atas semuakesempatan, peranan, kedudukan, serta berbagai manfaat atau nilai-nilai sosial dasaryang tersedia; dan Ketiga, tuntutan distribusi beban kewajiban secara adil.

Keadilan Global: Melampaui Tradisi Kontrak Sosial

Muhammad Faris Alfadh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

230JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Berkembangnya konsepsi global justice sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari teorikeadilan sebelumnya dalam perspektif John Rawls—keadilan sebagai fairness-. Namunbeberapa pemikir, terutama penganut kosmopolitan, melihat teori ini tidaksepenuhnya mampu menjawab seluruh persoalan. Menurut Martha Nussbaum,seorang pemikir filsafat politik Amerika yang banyak menulis mengenai gloal justice-,walaupun teori Rawls paling kuat dari semua teori keadilan yang ada, beberapa aspekmasih tampak problematik, terutama ketika dihadapkan pada tiga persoalan yangsangat penting: (a) keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu—disabilities (khususnyasecara mental); (b) keadilan lintas batas negara; dan (c) keadilan terhadap makhlukselain manusia (binatang, tumbuhan, alam) (Nussbaum, 2003).

Hal ini juga sebenarnya disadari oleh Rawls sendiri. Dalam Political Liberalism (1996),misalnya, ia menunjukkan empat persoalan yang sulit dijawab oleh konsepsi keadilanyang ia paparkan selama ini, yakni: kewajiban (kita) terhadap masyarakat yang tidakmampu—disabilities (baik sementara maupun permanen, bagitu juga mental ataupunfisik), keadilan lintas batas nasional, kewajiban terhadap hewan dan alam, danpersoalan menjaga kelangsungan bagi generasi yang akan dating (Rawls, 1996: 20-21).

Karena itu Nussbaum, sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme, melihat teoriRawls perlu dikembangkan lebih jauh. Menurutnya, kita tidak bisa menyelesaikanpersoalan keadilan global hanya dengan mempertimbangkan kerjasama internasionalsebagaiaman kerjasama dalam skema kontrak sosial, demi mencapai kepentinganbersama di antara anggota dengan cara yang sama untuk menggantikan “state of na-ture”.

Teori kontrak memandang negara sebagai unit dasar. Dalam pandangan Hobbes,prinsip-prinsip keadilan memang bisa diidentifikasi melalui ergumen moral, namunmustahil untuk mewujudkannya tanpa adanya kedaulatan negara. Senada denganargumen Hobbes, Rawls melihat peran struktur negara menjadi syarat untukmenjamin kesetaraan antar sesama penduduk masyarakat. Terkait hal itu, maka dalamhubungan internasionalnya, sebuah negara akan sulit melepaskan diri variable-variabeldomestik, yang oleh Morgenthau (1948) serta kelompok realis disebut sebagaikepentingan nasional: dasar dari kebijakan luar negeri sebuah bangsa. Layakyamanusia yang beranjak dari kondisi “state of nature”-nya, ketika melakukan kontraksosial maka negara juga hanya akan bersepakat jika menemukan kesamaan kerjasamadan saling menguntungkan (Nussbaum, 2005: 198). Karena itu, menurut Nussbaum,kita baru bisa memecahkan persoalan ketidakadilan yang terjadi secara global denganmemikirkan apa yang dibutuhkan oleh semua orang untuk hidup layak sebagai umatmanusia (Nussbaum, 2003). Untuk itu, nilai-nilai keadilan sebagai fairness tadi perluditarik pada level internasional sebagai sebuah norma yang berlaku global.

Selama ini, sebelum konspsi mengenai global justice diterima secara luas, keadilanlebih banyak dimaknai terbatas pada level negara. Tidak ada kewajiban membantuapa yang terjadi di luar batas teritorial nasional. Namun, keadilan membutuhkan

Keadilan Global dan Norma Internasional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

231VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

sesuatu yang lebih, kata Nussbaum. Menurutnya, selama ini kita sepertinya abai danmembiarakan martabat (hak) manusia dirampas oleh kemiskinan, buta huruf, sertakondisi kesenjangan antar negara. Karena itu, menjadikan keadilan sebagai nilaiuniversal (global), membuat manusia memiliki kewajiban yang sama untuk menanganisegala sesuatu yang merampas hak manusia tadi (Nussbaum, 2003).

Persoalan kemiskinan, buta huruf, pembantaian atas nama ras, dan persoalan-persoalan hilangnya hak dasar tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan orang-perorang, atau tangungjawab negara semata. Hal tersebut juga merupakantangungjawab manusia seluruhnya. Gagasan global justice memang sangat dipengaruhioleh berkembangnya nilai-nilai kosmopolitanisme dalam filsafat politik, di manahubungan yang terbangun sesama manusia karena kesamaan nilai budaya, agama,ras, dan negara, tidak lagi dianggap relevan. Ikatan antar manusia harus disandarkanpada nilai kemanusiaan itu sendiri. Manusia tidak dibenarkan secara moral berpihakhanya atas dasar kesamaan budaya, ras, agama, maupun negara. Karena itu, persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada di negara-negara dunia ketiga juga menjaditangungjawab semua orang, termasuk negara maju.

Tidak ada satu orangpun yang bisa menentukan di mana ia ingin dilahirkan,termasuk mereka yang ditakdirkan lahir di negara terbelakang. Oleh sebab itu, gagasanmengenai global justice ingin membangun kesadaran bersama bahwa semua orangharus ikut memikul tanggungjawab yang sama. Salah satu caranya adalah denganmembangun gagasan keadilan global sebagai norma internasional, di mana keadilandiyakini sebagai konsep dan nilai universal sekaligus hadir dalam bentuk istitusi-institusiinternasional yang memiliki legitimasi. Hanya dengan langkah tersebut setiap orangbisa “dipaksa” terlibat dan memikul tanggungjawab yang sama.

Dalam beberapa kasus, kita bias melihat upaya nyata yang dilakukan. Denganadanya nilai keadilan sebagai keyakinan internasional, maka isu-isu yang melemahkankemanusiaan seseorang seprti kelaparan, penyiksaan, genocide dan pembantaian atasnama ras, bisa menjadi alasan atas intervensi terhadap kebijakan nasional sebuahnegara. Begitu juga dengan adanya nilai-nilai universal yang difahami pada aspek-aspek kesetaraan jenis kelamin dan isu-isu dasar lainnya dari kebebasan manusia,seperti hak sosial, ekonomi, budaya, sipil, dan politik.

Keadilan Global sebagai Norma InternasionalPasca Perang Dunia II, meningkatnya intensitas kerjasama ekonomi secara global

membuat pola interaksi antar negara mengalami perubahan signifikan, begitu jugamenguatnya kekuatan politik dan ekonomi dari aktor-aktor non-negara sepertiorganisasi internasional semacam PBB, Bank Dunia, MNCs, dan juga organisasilainnya. Selama periode yang sama, dan khususnya sejak tahun 1970-an, wacanamengenai keadilan global juga menjadi isu penting dalam kajian filsafat politik,terutama terkait dua hal: (a) isu mengenai tidak berpihak secara moral termasuk di

Muhammad Faris Alfadh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

232JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

luar batas negara, dan (b) memaknai diri sebagai baian dari warga manusia secarauniversal (O’Neill, 2000: 115).

Meski pada periode yang sama, ketertarikan para pemikir politik masih banyakdifokuskan pada isu-isu keadilan domestik. Keadilan di luar batas negara, dan bagimanakewajiban sebuah negara terhadap negara lain, relatif masih dikesampingkan. Banyakorang yang masih melihat kewajiban terhadap keluarga dan sesama bangsa jauh lebihpenting daripada terhadap orang asing yang sama sekali tidak dikenal. Posisi inilahyang dipertanyakan secara kritis oleh perpektif kosmopolitanisme.

Bagi kelompok penganut nilai-nilai kemanusiaan universal, setiap individu harusmenyadari bahwa mereka juga adalah bagian dari warga dunia. Karena itu setiaporang berkewajiban untuk tidak memihak dalam memandang persoalan yang dihadapimanusia lainnya (Godwin, 1976). Hal ini berangkat dari argumen bahwa setiap orangmemiliki posisi moral yang sama sebagai manusia, dan berlaku bagi seluruh umatmanusia, sehingga batas-batas budaya, kelompok, dan negara tidak relevan secaramoral (Caney, 2005).

Salah satu pemikir kosmopolitanisme, Thomas Pogge, berargumen bahwa semuamanusia memiliki hak yang sama—sebagaimana dijamin dalam deklarasi HAM PBB.Ini menjadi alasan bahwa hak tersebut menciptakan kewajiban positif dari merekayang kaya untuk turut bertanggungjawab atas terancamnya kehidupan sebagian or-ang di belahan bumi lainnya karena kemiskinan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwamereka yang kaya juga menjadi bagian dari sistem global yang melahirkan disparitas(Pogge, 2002).

Berdasarkan pada refleksi universal di atas, maka munculnya gagasan untukmembangun sebuah norma yang bisa disepakati bersama secara global menjadi sesuatuyang tidak terelakkan. Hal ini dimaksudkan agar tersedianya konsensus yang jelasterhadap penghormatan kebebasan individu serta pemenuhan kak-hak dasar manusia.Salah satu perhatian dari teori global justice adalah adanya pengakuan bersama atasnilai tersebut serta institusi yang mengatur dan mengawasi. Untuk itu norma maupuninstitusi yang mampu menjamin standar keadilan merupakan instrument yanginheren. Meski demikian, instrument tersebut baru dipandang efektif jika iamendapatkan kepatuhan dan berlaku melampaui batas-batas kedaulatan (Singer, 2002;Pogge, 1989: 240-80; Pogge, 2002; Beitz, 1979).

Namun demikian, upaya untuk menciptakan keadilan bersama dalam perspektifkelompok kosmopolitan juga tidaklah mudah. Banyak pihak masih meyakini bahwacita-cita besar tersebut memerlukan kekuatan global yang melampaui kedaulatannegara. Di sinilah letak persoalannya, mengingat saat ini negara masih memegangkedaulatan paling tinggi. Bisa dibilang bahwa ketidakadilan yang berlangsung secaraglobal turut disebabkan oleh kondisi internasional yang anarki, sehingga nilai-nilaimoral untuk menciptakan standar keadilan menjadi sulit untuk diwujudkan.

Bagi penganut kosmopolitanisme, lingkungan internasional yang anarki ini

Keadilan Global dan Norma Internasional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

233VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

dianggap gagal memberikan jaminan bagi pemenuhan hak-hak kemanusiaan yanguniversal. Dunia saat ini diyakini telah gagal meningkatkan standar keadilannya,karena itu memerlukan perubahan yang sungguh-sunguh. Mereka menempatkanoptimisme yang cukup tinggi bahwa keadilan bisa dinikmati bersama setidaknyadengan menanamkan kesepakatan bersama serta institusi internasional yang akanmampu membatasi, atau bahkan mengganti, prilaku mementingkan diri sendiri darinegara-negara kuat dan juga korporasi internasional.

Salah satu upaya yang cukup berhasil dalam menjadikan keaadilan sebagai normainternasional adalah deklarasi HAM yang disepakati pada sidang umum PBB padatahun 1948. Dengan adanya deklarasi ini menjadi dasar pengakuan atas hak-hakdasar setiap manusia dan tidak satu orang atau lembaga apapun yang berhakmelanggarnya.

Dalam isu HAM, salah satu persoalan yang cukup penting adalah bagaimana prosespenegakan nilai-nilai kemanusiaan itu. Misalnya, dengan terus mengupayakan nilai-nilai keadilan dijadikan sebagai norma internasional, bahkan pada aspek yang sangatspesifik. Salah satu contoh upaya tersebut adalah disepakatinya pengakuaninternasional atas hak-hak dasar manusia mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), serta kesepakataninternasional mengenai pengakuan hak-hak dasar mengenai hak sipil dan politik(International Covenant on Civil and Political Rights).

Terbetuknya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR),dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak terlepas dari amanatdari deklarasi HAM PBB pada tahun 1948. Namun karena deklarasi HAM bukanlahinstrumen yuridis yang memiliki kekuatan mengikat, maka poin-poin pokok dariHAM dan kebebasan fundamental manusia harus dituangkan ke dalam instrumen-instrumen yang mengikat secara hukum sebagai norma yang disepakati dandilaksanakan bersama.

Dalam sidang tahun 1951, Majelis Umum PBB kemudian meminta Komisi HAMuntuk merancang dua kovenan (perjanjian) tentang HAM, satu mengenai hak sipildan politik, dan satu lagi tentang hak ekonomi, sosial dan budaya. Setelah sekiantahun mengalami pembahasan, baru pada tahun 1966 rancangan naskah keduakovenan tersebut bisa diselesaikan. Tepatnya pada tangal 16 Desember 1966 akhirnyamajelis umum PBB mengesahkan kedua rancangan naskah tadi sebagai kovenaninternasional bidang azasi manusia melalui Resolusi 2200 A (XXI). Kedunya kemudiandisebut juga sebagai “International Bill of Human Rights”.

Kedua kovenan tersebut kini sudah mencapai status sebagai hukum kebiasaaninternasional (customary international law). Artinya, kedua perjanjian tersebut telahdiakui sebagai standar acuan bersama untuk setiap negara di dunia. KovenanInternasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku pada tanggal3 Januari 1976, sesuai dengan pasal 27 kovenan tersebut. Sementara kovenan

Muhammad Faris Alfadh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

234JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

internasional tentang Hak Sipil dan Politik resmi berlaku sejak tanggal 23 Maret ditahun yang sama.

ICESCR, misalnya, mengatur pengakuan, pemenuhan, dan penegakan atas hak-hak dasar manusia pada bisang ekonomi, soaial, dan budaya, yang meliputi: (a) hakatas buruh (meliputi upah yang layak, kebebasan membentuk serikat, serta melakukanpemogokan); (b) hak atas kehidupan yang layak (termasuk kecukupan pangan, jaminansosial, hak terbebas dari kelaparan); (c) hak perlindungan atas keluarga; (d) hak ataskesehatan fisik dan mental; (e) hak atas pendidikan (meliputi wajib belajar tingkatdasar); (f) hak atas keterlibatan dalam budaya.

Sementara ICCPR mengatur pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak sipil danpolitik yang terdiri dari lima ketentuan: (a) hak untuk mendapatkan perlindungansecara fisik (misalnya dari penyiksaan serta penagkapan sewenang-wenang); (b) hakdiperlakukan adil di mata hukum (seperti diperlakukan sama, mendapatkan kuasahukum); (c) hak untuk mendapatkan perlindungan dari bias gender, rasial, atau hal-hal lainnya yang bersifat diskriminatif; (d) hak atas kebebasan individu, sepertikebebasan berbicara, beragama, kebebasan atas media, dan kebeasan untukmembentuk organisasi; (e) hak kebebasan dalam berpolitik. Misalnya mendirikanpartai politik, begitu juga hak untuk memilih dan dipilih.

Sejak kedua kovenan itu disahkan PBB tahun 1966, hingga bulan Desember 2008,ICESCR sudah diratifikasi oleh 160. Sementara ICCPR telah diratifikasi oleh 166negara. Dengan diratifikasinya dua kovenan ini maka diharapkan nilai-nilai keadilanbisa dipaksakan kepada negara-negara yang sudah meratifikasinya, serta perlindunganatas ketidakadilan bisa diberikan kepada orang-orang yang selama ini merasa hak-hak dasarnya tidak terpenuhi (dirampas), baik yang diakibatkan oleh sistem sosial,kebijakan negara, maupun pihak-pihak lain. Kemiskinan, buta huruf, diskriminasigender, rasial dan juga buruh, kini merupakan fenomena yang terjadi secara global.Karena itu, upaya menjadikan globak justice sebagai norma internasional menjadisalah satu upaya untuk mengembalikan hak-hak dasar manusia yang telah dirampas.

Salah satu sumbangan paling penting dari teori keadilan global sebagai normainternasional adalah terus mendorong negara-negara untuk mengakui danmenghormati hak-hak dasar seorang manusia, yang sejatinya tidak bias disubstitusioleh nilai-nilai ekonomis dan politis. Dalam kasus dua kovenan internasioanl di atas,diskursus mengenai keadilan global sangat penting dalam mendorong setiap negarauntuk mengadopsi kovenan tersebut. Karena sulit rasanya untuk ikut andil dalammendistribusi keadilan di negara-negara yang masih belum mengakui akan hak-hakdasar manusia. Kasus di Myanmar merupakan contoh yang tragis. Selama rezim juntamiliter masih belum mengakui hak-hak dasar masyarakatnya dalam hal hak sipil danberpolitik, maka sulit untuk berharap keadilan bagi para tahanan politik untukmendapatkan hak dasar mereka, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Keadilan Global dan Norma Internasional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

235VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

KesimpulanGagasan mengenai keadilan global hadir untuk menjawab fenomena ketidakadilan

serta kerapuhan manusia yang terjadi secara global, terutama hak-hak dasar yangtelah dirampas. Upaya menjadikannya sebagai norma yang diyakini secara internasionalmerupakan langkah prkatis untuk menjamin adanya keadilan bagi setiap manusia,serta terdistribusinya hak serta tanggungjawab secara adil bagi setiap orang.

Maka dari itu, cita-cita filosofis dari keadilan global sangat dipelukan untuk memberipetunjuk kepada refleksi tiap personal dan kebijakan publik. Teori ini membutuhkanperhatian besar dari pekerjaan filsafat yang belum pernah dilakukan sebelumnya:mengartikulasikan sejumlah hubungan antara individu dan tanggungjawab institusi,untuk memikirkan mengenai apa saja kewajiban-kewajiban negara yang telahdiabaikan di masa lalu, dan untuk memikirkan sejauh mana dan dengan cara apasebuah negara sebaiknya membantu negara-negara lain yang mengalamiketerbelakangan dan ketidakadilan.

Adanya transformasi teori keadilan global menuju norma internasional yangdisepakati bersama memberikan legitimasi bagi penghormatan kebebasan dan disribusikeadilan bagi setiap individu, termasuk dalam memikul tanggungjawab yang sama.Ketidak adilan adalah fenomena kemanusiaan yang terjadi secara global. Karena itu,langkah yang harus diambil tidak lagi bisa dilakukan orang-perorang, tetapi harusmelibatkan semua pihak. Upaya menjadikan teori global justice sebagai normainternasional bisa dilihat sebagai salah satu upaya mendorong keadilan yang ideal(kebebasan) bagi setiap orang.

BibliografiBeitz, Charles. 1979. Political Theory and International Relations. Princeton, N.J.:

Princeton University Press.Caney, Simon. 2005. Justice Beyond Borders. Oxford: OUP.Godwin, William. 1976. Enquiry Concerning Political Justice. London: Penguin.Magnis-Suseno, Franz. 1986. Etika Umum. Jakarta: Gramedia.Morgenthau, Hans. 1948. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New

York NY: Alfred A. Knopf.Nagel, Thomas. 2005. The Problem of Global Justice. Philosophy and Public Affairs.

Edisi 33. (Online), (http://philosophy.fas.nyu.edu/docs/IO/1172/globaljustice.pdf,diakses 27 Januari 2012).

Nussbaum, Martha. 2000. Toward Global Justice. (Online), (http://fathom.lib.uchicago.edu/1/77777760815/, diakses 27 Januari 2012).

Nussbaum, Martha. 2003. Beyond the Social Contract: Toward Global Justice. Paper kuliahyang disampaikan di University of Cambridge, 5-6 Maret. (Online), (http://w w w. t a n n e r l e c t u re s . u t a h . e d u / l e c t u re s / d o c u m e n t s / vo l u m e 24 /nussbaum_2003.pdf, diakses 27 Januari 2012).

Muhammad Faris Alfadh

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

236JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Nussbaum, Martha. 2005. Beyond the Social Contract: Capabilities and Global Jus-tice. Dalam Gillian Brock & Harry Brighouse (ed), The Political Philosophy of Cosmo-politanism. Cambridge: Cambridge University Press.

O’Neill, Onora. 2000. Transnational Economic Justice. Dalam Bounds of Justice. Cam-bridge: CUP.

Pogge, Thomas. 1989. Realizing Rawls. Ithaca, New York: Cornell University Press.Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights. Cambridge: Polity.Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights; Cosmopolitan Responsibilities

and Reforms. Cambrdige: Polity.Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University

Press.Rawls, John. 1996. Political Liberalism. New York: Columbia University Press.Rawls, John. 2006. Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Singer, Peter. 2002. One World. New Haven, Conn: Yale University Press.Ujan, Andre Ata. 2001. Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls.

Yogyakarta: Kanisius.UN Treaty Collection: International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights. (Online), (http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY-&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&lang=en, diakses 27 Januari 2012).

UNDP. 2011. Human Development Report 2011, Sustainability and Equity: A Better Fu-ture for All. New York: Palgrave Macmilan. (Online), (http://hdr.undp.org/en/media/HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012).

(Footnotes)1 Data ini (dan juga beberapa lainnya) dikutip dari laporan UNDP dalam Human

Development Report 2011, Sustainability and Equity: A Better Future for All. NewYork: Palgrave Macmilan, hlm. 127–165. (Online), (http://hdr.undp.org/en/me-dia/HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012). Norwegia beradapada peringkat teratas dalam Human Development Index, menyusul di belakang-nya Australia, Belanda, Amerika Serikat, New Zealan, dan Kanada. Sierra Leoneberada pada posisi 180 di antara 187 negara. Indonesia berada pada urutan 124.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

237VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

ASEAN Moslem Community asTrack-9 on Multitrack Diplomacy

for The Conflict Resolution inSoutheast Asia Region

AbstractASEAN Community 2015 still needs many preparation for its implementation. Southeast Asian peoples shouldprepared their change of mind to view their regional organisation. The epistemic community have significant rolesto creating network and work together inside their fields and make spillover effect to public. ASEAN MoslemCommunity is one of the ideas which can supporting the community on 2015. This organisation is not onlyestablishing a network for cooperations, but also it will contribute for conflict resolution in this region relate withmoslem issues. This community will play roles as one of multitrack diplomacy for conflict resolution. As NonGovernmental organization, this community will have flexible on its activities and relatively can be accepted bythe people. But, it should to consider as a neutral community in some conflict or it will lose its credibility.Keywords: multitract diplomacy, conflict resolution, Moslem community, ASEAN

Tonny Dian EffendiDepartment of International Relations,University of Muhammadiyah Malang

IntroductionIn 2009, ASEAN leaders was meet in Thailand

to discussing the growth and future plan ofASEAN. From this meeting, the ASEAN leadersaggreed to create specific ways to establishingASEAN vision in 2020. Many programs waslaunched. As we know that almost five dekade,ASEAN has been strugle on the internationalenvirontment change. ASEAN has successfull tomaintain cooperation and stability in the region.So, ASEAN tries to make a good point by develop-ing futuristic and ideal mision in 2020. ASEANvision in 2020 is establishing Southeast Asia re-gion as open, peaceful, stable, wealthy and har-mony, united by the cooperation in the democraticenvironment, integrated development on eco-nomic growth, respectfull each other, united withthe history and cultural heritage and all of them

Tonny Dian Effendi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

238JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

are united in the one regional identity (ASEAN Secretariat, 2010 : 1).On Bali Concord II, the ASEAN leaders aggreed that in the implementation of

ASEAN vision 2020, it is need to real actions by establishing three pillars of ASEANCommunity. They are ASEAN Political-Security Community, ASEAN EconomicCommunity and ASEAN Socio-Cultural Community. These three pillars mayenhanching the preparation for ASEAN vision 2020.

Three years after the declaration for the Roadmap for the ASEAN Community,the activities related with the community is stull fluctuative and variative. The ASEANEconomic Community showed good progress. On the way to open the region for theoutsider and to enhanching regional econbomic cooperation, some aggreement wassigned with its rule. Some of the aggreement has been implemented but another isstil on discussion. In the ASEAN Political-Security Community, there are many meet-ing and cooperation to enhanche cooperation on politics and security to establishingpeacefull Southeast Asia region, including some specific problems like terrorism,transnational crime and human security. Anothe specific problem is about bordermanagement among the members. The last pillar, the ASEAN Socio-Cultural Com-munity also showing some progress but just few publication to educated the peopleand developing awareness of the community.

The problems that faced related with the activities to ASEAN Community 2015 ison socialization by the members to their people. For the developed country likeSingapora, while the access of the information is very easy, so the socialization doesnot find difficulties, but for developing countries with large population, access ofinformation still be a problem. This problem giving the impact for the progress likefew support from the people, low conciusness and all of this based on the problem ofthe information while the people do not understand well the advantage of the com-munity.

The roles of the academician, businessman and religion group is needed. Theirroles can fullfil the empty space that can be provided by the government. Govern-ment has many limitation both on spreading information and eduating the people.So the role of non government group is very needed here. This groups can create anetwork and cooperation with their partners in another state members. By this way,the people of the members can get enough information because this group can actmore flexible than the government. Beside preading the information, these epictemiccommunity can also helping to find some solution for the conflict resolution in South-east Asia region, of course it is based on their activity focused.

One of the problem in ASEAN is about moslem community and related prob-lems. The problems of moslem community in the region can be generalized on twoproblems. First, politic related problem. We have known that in some ASEAN coun-tries members like Philipina, Thailand and Myanmar there are some problem re-lated with moslem community that live there. The problem generaly related with

ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

239VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

their relation with the government.in Philipina and Thailand, the problem of moslemcommunity related with the reparation movement, while in Myanmar it is relatedwith the ommunity relations with the military regime. In other countries member,there are also many problems related with the politics. Second, economic relatedproblem. Population of the moslem community in the region is the largest. But inother hand, they still face the economic problem like poverty. This problem can alsobe caused of the politic and security problem. Both two main problem should to findthe solution.

Related with both problems, so the question is, is ASEAN Community 2015 havemechanism to create the solutions? Of course, I do believe that there are no specificfor moslem community resolution in ASEAN but, ASEAN have some regulationand mechanism for the general problem. So, to supporting ASEAN effort to solvemany problem inside, it will very good if the moslem epistemic community in ASEAN,have initiative to establish an ASEAN moslem community. It is not to build exclusiv-ity but, it rather than buildthe coordination of the cooperation and network to worktogether to find the solution of moslem community problem in Southeast Asia re-gion.

This article will describe how the ASEAN moslem community can be played asdiplomatic tools for conflict resolution. I will use multitrack diplomacy concept whichone of the track is the role of religion or peacemaking through faith in action. Thisarticle devide on four part. They are backgroud, multitrack diplomacy approach, theproblems of moslem in Southeast Asia and the role which can be played by the ASEANmoslem community.

Multitrack DiplomacyIndeed, diplomacy was known as two general field. They are first-track diplomacy

and second-track diplomacy. First-track diplomacy is focus on the diplomatic activitiesplayed by the government. This field is also called official diplomacy. The second-track diplomacy is more focused on non government actors. It also called unofficialdiplomacy. These diplomacy activity has done by non government actors like busi-nessman, NGOs and even individu (Djelantik, 2008).

On the growth of the diplomacy concept and activity, some American scholarstried to make another approach to diplomacy. Their approach then called multitrackdiplomacy. This concept, actually, begin on the analogy when some blind people tryto describe an elephant. On their description, the are describe an elephant in varydescription. It is because they describe an elephant on the different side of it. Theseanalogy then also using to enrich the concept of multitrack diplomacy, that in theimplementation, some diplomatic activities seen uneffective so it is needed to beenhance. In the conflictual situation, the problem usually is so complext and compli-cated, so it is need for another actors with variative background to work together.

Tonny Dian Effendi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

240JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Begin of that problem, then, American scholars try tto make a new approach inthe diplomacy activities related with the conflict resolution. Multitrack diplomacy is aconcept that describe how the process of world peace on multi dimension view.Multidimension means that on the process, involving many actors with differentbackgroud, they are interconnected each other, helping each other and united in thesimilar purpose, a world peace. So, multitrack diplomacy can be explained as concep-tual framework which designed to describe many activities that contributed to thedevelopment of world peace (Diamond and McDonald, 1996 :1).

Multitrack diplomacy concept is an enhance of the second-track diplomacy. Sec-ond track diplomacy, for the first time, launched by Joseph Montville in 1982. Thisconcept used to explain the unformal and unofficial method on diplomacy done bygovenrment and non government actors, even individu. Their diplomacy activitieshave three main purposes. They are to release or refuse the conflict among groups ornation state by focuse on communication, common understanding and relations;decreasing the tension, angry, fear or misunderstanding by humanizing the enemyand giving personal experience each other directly in the society; and influencing theway of thinking and action of the first track diplomacy by showing the root of theproblem, feeling and need of options exploration without prejudgement, especiallyto establishing official diplomatic activity like negotiation or redevelop the policy.The main idea of second track diplomacy is that in the conflcit resolution, govern-ment or state can not walking alone, but it is need other actors which have knowl-edge, capabilities in many field related with the conflict.

The result of the enhancing fof second track diplomacy, then called multitrackdiplomacy. Multitrack diplomacy have nine track activities done by government ornon government actors. They are government (peacemaking trough diplomacy); nongovernment or proffesional (peacemaking trough professional conflict resolution);business (peacemaking through commerce); private citizen (peacemaking trough per-sonal involvement); research, training and education (peacemaking through learn-ing); activism (peacemaking trough advocacy); religion (peacemaking trough faith inaction); funding (peacemaking throgh providing resources); and communications andthe media (peacemaking trough information) (Diamond and McDonalds, 1996 : 4-5).

In this articles, I will use the seventh track of diplomacy is religion. The discussionabouth these seventh track will be used to explain the role that can be plaed byASEAN moslem community on conflict resolution in Southeast Asia region. Manyreligion groups in local, national, regional and international, are active on manyeffort and activity trough peacemaking process. They have similiar vission is creatingthe world peace. This vision developed by the norms and value which integrated onthe belief system and the commitment for something like the spiritual truth of theinterconnectedness of all life; social action; a prophetic imperative to seek justice,feed hungry, heal the sick and minister to the poor; equality and justice; forgiveness,

ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

241VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

concrition and reconciliation; practicing one’s spriritual values in one’s one life; com-munity; hospitality; full and loving presence with the porr; the fostering of hope;living with an open, loving and compassionate heart; non violence and, insome case,pacifism; caretaking of ourselves, one another, and all precious beings; and service(Diamond and McDonalds, 1996).

The activities that played by the religion community is related with another trackon multitrack diplomacy like public education, conference, research, discussion, me-diation, dialogue project, comment in the media, protest, campaign, publication andother activities. These activities also done together with another religion communitylike interfaith dialoge where it is very important to exchange the opinion each otherand build a networking and cooperation for conflict resolution. Interfaith dialoguecan be played as informal conflict resolution or conciliation that before very difficultto do for the public. The concept which develope on the religion community, then,called transformational politics, a concousness or a view to the world shoud be changerelated with the change of the issues by time, and change of counciousness have toinvolving to the policy (Diamond dan McDonalds, 1996 : 97-100).

The position of the seventh track of multitrack diplomacyt is the center of multi-track diplomacy it self. Why? Because there are spiritual spirit, idealism and basic ofethic, that all of them as the basic of the people. Without heart and mind, it willdifficult to accepting the goald of peace. The positive aspect of this track is it can beused to bring to the higher dimension on the understanding and feeling toward warand peace issues. The unity is a basic in the religion, showed in the love each other indiversity. But, we should also aware of negative side of this track while the religionconflict is begin on the different historical view that full of conflict and the view oftruth and false in another side.

The Map of Conflict Related with Moslem Community in Southeast AsiaAs describe before, there are two generalized problem of that can cause conflict

involving moslem community in Southeast Asia region. The two generalized prob-lems are politics and economics problems. Although both of them have specific case,but on reality, they are interconnected each other.

a. Political ProblemsIn the political problems related with moslem community in Southeast Asia, there

are two problem characteristics. First, is the problems as legacy of the history relatedwith identity and separatiem. As we know that almost all of Southeast Asia countrieswere colonialized by Western countries (except Thailand). One the impact of thecolonialization is territory conflict. The people, who before have family or ethnichrelations, have to separated each other because of the legacy of that colonialism.Their land have to devide into two state post independence. This problem can be

Tonny Dian Effendi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

242JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

found in Philipina, Thailand and Indonesia. As cultural, they have different cultureand religion with the majority the people in their state. So, the change become mi-nority, something that they never though before colonialism. This feeling, then,developing the spirit to separated with the state. So, actually, the main problem ispolitic, but, then, it change to religion conflict. The southern Thailand and southernPhilipina, is unsolved well untill today (Gross, 2007).

Sumber http://www.harpercollege.edu/mhealy/geg101i/review/exam2.htm

The second political characteristic problem is the problems related with the USpolicy on War on Terrorism. (Esposito, Boll and Bakar, 2008). As we know that, post9/11 tragedy, there are some negative view toward moslem community in many coun-tries. In other hand, Southeast Asia is the region which on its population, moslem isthe majority and in some countries like Indonesia, Philipina and Thailand therewere some terrorism activity. So, post 2001, moslem community in Southeast Asia,have got additional problem called terrorism. In the report of Centre for Strategic andInternational Studies (CSIS), United States in 2009, showed that almost all of the con-tributor mention that there are some problem in Southeast Asia and Australia re-lated with radicalism, fundamentalism group etc. But the report also mention thatthe definition of terorrism it self, in the region, is still debatable, especially when ittried to be related with local violence in some countries in Southeast Asia (Borchgrave,Sanderson and Gordon, 2009). On another research by Suzaina Kadir from NationalUniversity of Singapore, it found that post 9/11, moslim politics in Southeast Asia isgoing to be more complext and dynamic. It is influenced by globalization, Islamiza-tion and development. Moslem politics in Southeast Asia also very influenced by theinteraction between state and the people or the relations of moslem community withthe political regime of the state where they have lived. (Kadir, 2002).

ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

243VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

b. Economics ProblemsAnother important problem beside the political problem is economics problem.

World data viewed that in 2005, there are 1,2 billion moslem people in the world.60% of the population lived in Asia, while 30% of them live in Middle East andanother live in other part of Asia especially in South and Southeast Asia. Indonesiahave the first position of the largest moslem population or about 194 million, fol-lowed by India with 150 million peoples, Pakistan about 145 millions peoples andBangladesh about 130 millions peoples. Another relative number is also in China,about 39 millions moslem people live there (Vaughn, 2005).

This number is not fix with the wealthy. There are many economic problem,especially poverty, face the moslem community in Southeat Asia region. The tableshowing the data about poor people who live in Southeast Asia countries. While wesee in Indonesia, the number is large. So, it is need an improvement on moslemcommunity economy. It is very important because the economic problem can createanother problem like security and politics.

Table 1The Number of Poor People in Southeast Asia (in Million) Poverty measurement

under US$ 1.25 PPP

Source : Asian Development Bank, 2011

The Roles of ASEAN Moslem CommunityRelaed with the growth of ASEAN toward ASEAN Community2015, some prob-

lems still face, related with the readyness of the people it self. It can be a threat factorto the community it self. One of the basic factor is unstable in some filed, especiallydomestic conflict in member countries.

The problems related with moslem community in Southeast Asia still need tosolved. So, it is need the special program or project to build peacemaking process.The ASEAN Moslem Community that will launch in the international conferenceon ASEAN moslem community is very important and strategic. It is important andstrategic because this community can playing role as a place for discussion, meeting,research, action of the member to find suitable action for the conflict resolutionespecially in Thailand, Philipina and Myanmar.

There are some important roles that can be played by this community related with

Tonny Dian Effendi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

244JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

the track nine of multitrak diplomacy. They are:(1). Increasing solidarity and cooperation among moslem communities in ASEAN.

We are realized that there are many moslem communities in every single membersof ASEAN. So, with the community, it need more activities related with increasingsolidarity and strengthening cooperationg each other. The community is the answerwhere moslem community can meet, work and act together, discussing the issues andfind the solution.

(2). Doing conflict resolution activities. Another program that can be played bythe community is doing many activities related with conflict resolution. The first stepis mapping the conflict it self. This mapping process is very important to classifymany problems into the level of interest. It can be done by collaborative research byscholar from member countries. This research focus to find the root of the problemand potential of solution to be implemented. The last step is by the action anddisemmination of the research result. It is also important because moslem people inASEAN should to understand the real problem and what should they do.

On simple way, conflict resolution activities that can be done by the ASEANmoslem community is by action on three levels of conflict resolution, peace building,peace making ad peace keeping. Conflict resolution is an activity where both of theconflict person try to find the solution for the problem faced. This conflict esolutionis a combination of real solution (tangible, or material solution) with the transforma-tion of psichology and socialof the people in the conflict environment. The realsolution is related with real change in the people daily life, while psychological changeis the change of view to the conflict it self from the people to build trust and reconcili-ation. The golden goal is peace it self.

The implementation of conflict resolution are done in three level. They are peacebuilding, peace making and peace keeping.Peace buildingis various activities relatedwith the developing of peace. The activity done by seed or developing peace from thebottom. It is done by looking for the roots of the problem and the conflict resolutiofrom the peoplw point of view. So, the main porpuse of this level is how to build thefeeling of the need to peace it self, from the people in the conflict. Related with thefirst level, ASEAN moslem community can playing roles by making an approach tothe people. The purpose of this approach is to support the “peace want” feeling, thatwill be implemented on peace process.the community can playing role as a construc-tor to build the trust and “peace want” from the people.

The second level ispeace making. Afterthe people have the feeling to build peace,the next level is creating the peace building it self to be more concrete or real. Someactivities that can be done is like held a meeting, conference and warkshop. Themain purpose of this level is to find an agreement and commitment for the peaceprocess. In this context, the community can be play by held some activities relatedwith peace making like conference, interfaith dialogue, research related with con-

ASEAN Moslem Community as Track-9 on Multitrack Diplomacy for The Conflict Resolution in Southeast Asia Region

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

245VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

flict, making a progress repost of conflict resolution etc. The role that can be playedby the community on this level is as mediator.

The last level is peace keeping. This proces done with the purpose to saving andkeeping the peace process that have done by two levels before. The main task of thislevel is keep the process still on the rule, and making sure that peace can be imple-mented. Peace keeping activities, usually done post the agreement to make a strongcommitment to keep peace together. The community can playng the roles like involeto the investigator team for the conflict, doing many activities to keeping peace postconflict like education, health service etc.

(3). Keep the good relations with another ASEAN religion community. ASEANreligion community in welcoming ASEAN Community 2015 is not only done bymoslem community but also by another religion. So, the ASEAN moslem commu-nity should to keep good relation and cooperation with them. This relation can bebuil by common understanding, mutual trust, respect and based on humanity valueand unity of ASEAN it self. I think that the community have to always make coordi-nation with the ASEAN Secretariat and ASEAN Socio-Cultural Community’s coor-dinator.

(4). As the Center of Moslem Development in Southeast Asia. The establishmentof ASEAN Moslem Community will not only as a place but also can contribute to thedevelopment of moslem community in Southeast Asia, especially in research. Thecommunity can playing role as center of research and development, and promotionof the moslem community in the region. Almost all of the participant of the firstinternational conference on establishing ASEAN moslem community come fromacademic or sholars. It is showed that the role of scholar or intelectual group as epistemiccommunity is very important. So, in the future, this community is also as researchcenter for all of research related with moslem community in Southeast Asia. So,what is the relations with the conflict resolution process? The research that publishedto the people, will help to diseminating the information about the conflict it self andalso the progress report. From this information, we hope that it will help to supportthe building of trust and understanding each other and also attracting people toinvolve actively on the peace process.

ConclucionASEAN Community 2015 promising ideal region where it will be very convinience

place, full of peace, safe, wealth, respect each other and develop together. On theroad map for this goal, a roadmap have been established by ASEAN leaders. But theimplementation of the road map could not be done by government alone. It is needsupport and involvement of many peoples, groups, communitys and individuals. Thereare many problem that still could not be solved.

The ASEAN Moslem Community is one of the answer of the fearness of the

Tonny Dian Effendi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

246JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

implementation of ASEAN Community 2015. This community is not only as a placewhere many moslem meet from member sountries, but also playing as one of thesolution machine of the problem faced by moslem community in Southeast Asia. thecommunity can playing as the main actors as well as the seventh track diplomacy onconflict resolution.

The role for the conflict resolution is not only on surface, like discussion, annualmeeting or conference, but also the real action for the conflict resolution process.But, this effort can be contraproductive while it is not managed well. So, theprequerement of the community roles are: (a) strong commitment of the memberfrom ASEAN members countries to strugle for peace, using the principles of ASEANCharter, like dialogue, avoiding violence and harmonious relations; (b) place it self asresolutor in the conflict resolution and always keeping independency on politics; (c)keep the good relations and make strong cooperation with another part of ASEAN,including secretariat office of ASEAN, three pillars of ASEAN Community, and an-other ASEAN religion community; (d) consistency on conflict resolution process inpeace building, peace making andpeace keeping; (e) a commitment to publishing,diseminationg information and the research result, give the people peace educationand all of activities supporting peace keeping process.

BibiliographyASEAN Secretariat. 2010. Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015: One Vision,

One Identity, One Community. Jakarta: The ASEAN Secretariat.Borchgrave, Arnauld de (ed). 2009. Conflict, Community and Criminality in Southeast

Asia and Australia: Assessment from the field. Washington: CSIS.Diamond, Louise dan John McDonald. 1996. Multitrack Diplomacy: A System Approach

to Peace. Connecticut: Kumarian Press.Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha

Ilmu.Esposito, John L, John O Voll and Osman Bakar (eds). 2008. Asian Islam in 21st

Century. Oxford: Oxford University Press.Galtung, Johan,2003, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan

Peradaban. Surabaya: Pustaka Eurika.Gross, Max L. 2007. A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia. Wash-

ington: NDIC Press.ISEAS. 2008. The Asean Community: Unblocking the Roadblocks.Singapura: ISEAS.Kadir, Suzaina. 2002. Mapping Moslem Politics in Southeast Asia After September 11. CERI.Vaughn, Brush. 2005. Islam in South and Southeast Asia. CRS.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

247VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Tinjauan Intermestik dalamMekanisme Kebijakan PerubahanIklim Global (REDD-UNFCCC):

Persfektif Indonesia

AbstractThe international regime of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) hasresulted some agreements and policies which binding its countries member. The lattest one was the mechanism ofREDD (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation). The implemetantion of these mecha-nism does not only bind and involve the countries member at the national level but also at local level (such as atprovince and regency level). Local aspect has a significant role as the basis for implementing these policy. Thispaper examines how instermestic perspective used for explaining the relation between international and domestic(local) aspect within the REDD-UNFCCC mechanism.Keywords: international regime, climate change, intermestic, Indonesia

ApriwanAndalas Institute of International and

Strategic Studies (ASISST), Program StudiIlmu Hubungan Internasional, FISIP

Universitas Andalas, Padang, Email:[email protected]

PendahuluanRangkaian panjang dari kerjasama

internasional The United Nations Framework Con-vention on Climate Change (UNFCCC) telahmenghasilkan agenda baru yang disebut denganReducing Emission from Deforestation and Degradation(REDD) yang dihasilkan melalui Conference of TheParties (COP) 13 di Bali pada 2007 lalu. Skemakebijakan ini merupakan langkah tindak lanjut darikesepakatan yang tertuang pada Protokol Kyoto1997, yang mana poin kesepakatan usahapengurangan emisi gas karbon dengan target 5.2%akan berakhir di 2012 ini (Soejachmoen dan Sari,2003: 13). Dengan demikian diperlukanmekanisme lanjutan untuk penanggulanganprubahan iklim global yang dari hari ke harimenjadi perhatian semua pihak di berbagai level.REDD ini merupakan skema yang ditujukan baginegara non-annex 1 countries, yaitu kelompok

Apriwan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

248JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

negara-negara berkembang yang memiliki hutan basah dengan tingkat produktifitasoksigen yang cukup signifikan bagi konsumsi oksigen dunia.

Sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas, Indonesia juga memiliki peluanguntuk berkontribusi dalam penurunan produksi karbon dari sektor kehutanan.Melalui mekanisme REDD, Indonesia diharapkan bisa mewujudkan perekonomianrendah karbon dan sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalampenanggulangan dampak perubahan iklim global, seperti yang digadang-gadangkanoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada berbagai pertemuan internasionalterkait perubahan iklim. Namun d isisi lain, ada pandangan yang pesimis, bahwaimplementasi dari skema tersebut, justru akan merugikan masyarakat lokal dalamhak penggunaan pengelolaan hutan. Karena skema REDD ini akan bekerja dalampengurangan aktifitas penggunanaan lahan, alih guna lahan, dan kehutanan (land-use, land-use change, and forestry/LULUCF) yang pada dasarnya terjadi di level daerahatau lokal (Yamni and Depledge, 2004: 184-190).

Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini menggunakan cara pandang intermestikdalam menganalisa permasalahan kebijakan perubahan iklim global yang dihasilkanoleh rezim internasional perubahan iklim UNFCCC. Bagaimana kepentingannegara(nasional) memiliki sinergisitas dengan kepentingan domestik (daerah/lokal)dalam konteks isu dan kebijakan perubahan iklim global (internasional). Sehinggakebijakan global yang muncul juga merepresentasikan kebutuhan dan kepentingandari aspek domestik (nasional dan lokal).

UNFCCC sebagai Rezim Internasional Perubahan IklimBerdasarkan laporan International Panel on Climate Change (IPCC), dampak

perubahan iklim tidak hanya dalam konteks lingkungan semata, tetapi jugaberkembang dalam aspek lainnya. Sosial, ekonomi dan lingkungan. Pemanasan glo-bal sebagai implikasi lain dari perubahan iklim merupakan dampak dari aktivitasmodern yang kompleks, melibatkan dunia secara keseluruahan, kondisi ini jugaberhubungan dengan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ledakan penduduk.Dengan demikian, penanganannya tentu tidaklah mudah, dan mengabaikan isu inijuga berimplikasi sangat buruk atas keberlansungan kehidupan di muka bumi ini(http://unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2917.php).

Gareth Porter dan Janet Welsh Brown (1991), memetakan kemunculan lingkungansebagai “isu global” sejak 1980-an. Kajian mereka menunjukkan bagaimana isu iniberkaitan dengan perkembangan interaksi baru diantara negara-negara untukmembentuk “rezim lingkungan global.” Mereka juga menganalisa proses penetapanagenda lingkungan menciptakan hubungan baru antara isu lingkungan dengankeamanan internasional, relasi antara utara-selatan, maju-berkembang danperdagangan dunia. Mereka menambahkan bahwa isu lingkungan telah menjadiagenda kebijakan global yang tidak terlelakkan (Porter and Brown, 2011: 240).

Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

249VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sebuah aturan baru untuk menampung danmengatur berbagai isu dan aktivitas banyak aktor yang terus berkembang. Kebutuhanuntuk menciptakan sebuah tatanan atau mekanisme global yang menjalankan fungsiyang ekuivalen dengan pemerintah negara bangsa menjadi sangat besar. Konsep In-ternational Regime menjadi gagasan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Para ahlihubungan internasional melihat gagasan ini sebagai jawaban yang lebih efektif dalammenyelesaikan masalah-masalah global kekinian.

Menurut Krasner (1983), rezim internasional merupakan:“…implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures aroundwhich actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principlesare beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined interms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for ac-tion. Decision-making procedures are prevailing practices for making and implement-ing collective choice”.

Dalam hal ini, Rezim internasional lebih menekankan pada norma internasionaldalam mengontrol prilaku para aktor negara, norma dalam hal ini dimaknai sebagaibentuk hak dan kewajiban yang harus ditaati oleh aktor internasional terkait akansebuah isu. Hak dan Kewajiban ini muncul melalui proses pengambilan keputusanoleh para aktor yang terlibat. Lebih lanjut, rezim internasional memberikan peluangbagi semua aktor untuk menyuarakan suara dan nilai yang mereka miliki.

Hansenclever dkk. (2007), menggunakan pendekatan kognitivisme untukmenjelaskan keberadaan rezim internasional. Menurut pendekatan ini, perilaku aktortidak dibentuk sepenuhnya oleh kepentingan material, tetapi lebih pada perananmereka dalam masyarakat. Dalam hal ini, kognitivis lebih menekankan padahubungan intersubjektifitas dalam masyarakat internasional, dengan kata lain duniakita ini adalah sebuah realita rekonstruksi sosial dimana orang-orang percaya akanapa yang mereka lakukan. Pendekatan ini lebih memandang negara sebagai aktorsosial yang tidak selalu sebagai aktor yang rasional. Sebagai aktor sosial, negara-negarabekerja dalam konteks struktur sosial mereka yang didasarkan pada aturan-aturan,norma-norma, identitas dan institusi (Caballero-Anthony, 2005: 32). Dengandemikian suatu negara tidak bertindak secara independen diluar struktur tersebut,tapi mengacu pada institusi itu sendiri, dengan kata lain struktur tersebut membantumenjelaskan perilaku negara-negara dan interaksinya dengan negara-negara lain.

Terkait dengan isu perubahan iklim global, melalui Earth Summit tahun 1992 diRio de Jeneiro, Brazil dibuat suatu kerangka konvensi untuk perubahan iklim (UnitedNations Framework Convention on Climate Change—UNFCCC) yang ditandatangani oleh162 negara. Kerangka konvensi ini ditujukan sebagai ikatan moral untuk mengurangiemisi gas karbondioksida di setiap negara-negara yang ikut menandatanganinya denganmengatasi penyebabnya (mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi) (Farhana

Apriwan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

250JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

and Depledge, 2004: 184-190).UNFCCC sebagai bentuk rezim perubahan iklim memiliki andil yang cukup

signifikan dalam merumuskan dan mengangkat isu-isu perubahan iklim danpemanasan global menjadi isu dan norma internasional. Dalam konteks ini, UNFCCCmuncul dari proses intersubjektif antar aktor negara, yang menyadari bahawapermasalahan perubahan iklim adalah permasalahan global, dimana tidak bisadiselesaikan begitu saja oleh satu atau dua negara saja. Akan tetapi menjaditanggungjawab secara menyeluruh, baik oleh aktor-aktor negara maupun non negara.Dan yang lebih penting, isu perubahan iklim dan pemanasan global merupakan isuyang diangkat atas dasar kepentingan keberlangsungan umat manusia di masa sekarangdan masa yang akan datang, sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang diakibatkanoleh manusia juga.

Sebagai bentuk proses intersubjektifitas, UNFCCC dalam kerangka kerjanya tentuharus mempertimbangkan berbagai aspek pada berbagai level. Artinya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan harus mampu mengakomodir semua pihak dengan tetapmengutamakan kepentingan lingkungan itu sendiri. Misalkan, kesepakatan yangtertuang dalam Skema Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang mewajibkan seluruhNegara Annex I (negara-negara maju) untuk secara bersama-sama menurunkan emisigas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periodetahun 2008-2012(Soejachmoen, Moekti H dan Sari, 2003: 13). Protokol ini memilikitiga mekanisme yang fleksible, yaitu Join Implementation (JI), Carbon Trading (CT), danClean Development Mechanism (CDM). Disisi lain, REDD sebagai bentuk pelibatanlebih lanjut atas partisipasi negara-negara berkembang atau negara non annex 1,harusnya juga memberikan peluang dan fleksibelitas yang bisa mengkover berbagaikepentingan baik pada tataran global maupun domestik dalam konteks kepentinganlokal/daerah.

Pendekatan Intermestik pada Kebijakan Rezim Perubahan Iklim GlobalREDD-UNFCCC

Konsep intermestik muncul seiring dengan meningkatnya fenomena globalisasi.Batas-batas tradisional negara bangsa(nasional) semakin kabur dengan duniainternasional. Keterkaitan antara struktur domestik dan struktur internasionalsemakin kental, seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,meningkatnya arus barang dan manusia dari dan ke berbagai negara dan belahandunia. Fenomena ini muncul dalam berbagai diskusi publik dan kajian akademis.Kajian tentang hubungan antar domestik dengan hubungan internasional cukupbanyak dan bervariasi. Rosenau misalnya memulai dengan konsep “linkage politics”yang melihat hubungan antar level (domestik dan internasional) ini sebagai polaprilaku konflik (conflict behavior). Lebih lanjut Katzeinsten dan Krasner melihatdeterminasi domestik dalam kebijakan luar negeri suatu negara melalui faktor

Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

251VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

struktural, terutama dalam kontek kebijakan ekonomi luar negeri. Menurut mereka,tujuan utama dari segala strategi kebijakan ekonomi suatu negara adalah untukmenjadikan kebijakan domestik kompatibel dengan ekonomi politik internasional(Putnam, 1988: 427-460). Apa yang akan diperjuangkan dalam level internasional,suatu negara harus memperimbangkan dan memperhatikan apa yang menjadikebutuhan dan kepentingan pada level domestik.

Lebih lanjut, Putnam (1988), menawarkan sebuah kerangka atau model yang reli-able untuk menjembatani faktor domestik dan internasional atau faktor internaldan eksternal dengan pendekatan “two level games,” konsep ini menjelaskan bagaimanafaktor domestik suatu negara sangat menentukan keberhasilan politik luar negerimereka di tengah konstelasi politik internasional. Untuk itu diperlukan sinergisitasantara kedua level tersebut, sehingga bisa memudahkan dan menguatkan prosesperumusan kebijakan maupun implementasi dari kebijakan luar negeri (Starr, 2006:4).a. Level pertama, berada pada konteks terjadinya proses diplomasi atau negosiasi

yang dilakukan dalam level internasional, seorang diplomat akan berhadapandengan diplomat lainnya dalam memperjuangkan politik luar negeri merekamasing-masing.

b. Level Kedua, diasumsikan sebagai proses negosiasi dan diplomasi yang dilakukandalam konteks domestik, apakah itu dengan parlemen, LSM, Daerah, dan berbagaisektor domestik lainnya, yang memiliki pengaruh dan terkait dengan isu kebijakanluar negeri suatu negara bangsa.

Berangkat dari paparan di atas, Putnam secara eksplisit mengkaitkan antara “win-set” politik domestik akan menentukan suksesnya aktifitas diplomasi danpenandatanganan dari sebuah kesepakatan internasional. Win-set dalam hal inimengacu kepada proses kesepakatan pada level kedua (domestik) yang akanmemberikan justifikasi dan legtimasi bagi level pertama untuk memperjuangkanpolitik luar negerinya. Semakin kuat kesepakatana pada level kedua maka semakinbesar kemenangan (win) yang diperoleh pada level pertama. Dan begitupun sebalikny,apa yang dicapai pada level pertama akan menjadi mudah untuk diterima dandiimplementasikan pada level kedua. Sederhananya, diplomasi politik luar negerisuatu negara tidak semata merepresentasikan dan memproyeksikan kepentingannasional mereka, akan tetapi bagaimana proses diplomasi juga menempatkan faktordomestik sebagai tolak ukur bagi keberhasilan politik luar negerinya, dengan demikiandibutuhkan kemampuan untuk mengkomunikasikan dan mensinergiskanperkembangan-perkembangan yang terjadi dalam dunia internasional/global ke dalamnegeri (domestik).

Dalam konteks rezim perubahan iklim global (UNFCCC), ketetapan yangdihasilkan semestinya memang mencerminkan kesepakatan-kesepakatan di tingkat

Apriwan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

252JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

domestik, perlu adanya proses pemahaman pada struktur, kepentingan dan kebutuhandomestik terkait isu perubahan iklim tersebut. Artinya diplomasi pada level pertama,benar-benar mencerminkan kebutuhan dan kepentingan domestik (mulai dari levelnasional/pusat sampai pada level daerah/lokal), sehingga output kebijakan yangdiperoleh pada level pertama tersebut memiliki sinergisitas disaat di implementasikandi level kedua (domestik) tersebut.

Permasalahan yang muncul saat ini, output Kebijakan Perubahan Iklim sepertiSkema Protokol Kyoto ataupun REDD menjadi tidak populis di level domestik, dalamhal ini adalah konteks daeral/lokal. Hal ini dikarenakan proses “win sets” ini memangbelum sepenuhnya dilakukan pada level lokal. Sementara implementasi danpelaksanaan kebijakan perubahan iklim tersebut akan lebih banyak bekerja padalevel daerah/lokal. Sehingga efektifitas kebijakan menjadi tidak tepat sasaran, danpada akhirnya juga akan memberikan dampak pada reputasi suatu negara di duniainternasional.

REDD-UNFCCC di Indonesia; Representasi Kepentingan Nasional danDaerah?

Komitmen Indonesia dalam menanggulangi isu perubahan iklim global ditandaidengan meratifikasi keanggotaannya dalam UNFCCC melalui Undang Undang No.6 Tahun 1994 dan juga telah meratifikasi skema kebijakan dalam Protokol Kyotomelalui UU no. 17/2004 (Apriwan, 2010). Keberlanjutan dari Skema Protokol Kyotodi atas akan diperbaharui pada 2012, dan Skema pengurangan emisi dan deforestasidan degradasi hutan (REDD) dipromosikan sebagai salah satu skema yang akandijadikan penerus skema pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara-negaraberkembang. Skema ini bertujuan untuk “memberi harga” pada karbon yang bisadiserap hutan dan yang bisa ditahan jika terjadi penebangan hutan. Sederhananyaskema REDD memberikan insentif kepada negara-negara pemilik hutan tropis untukmenjaga dan tidak mengekploitasi hutannya untuk kepentingan ekonomi (Ica, 2010:55).

Kondisi ini memungkinkan bagi pihak negara maju untuk membeli karbon kenegara-negara berkembang melalui produksi hutan mereka, pembelian karbon inidiasumsikan sebagai bentuk kompensasi negara-negara maju untuk menurunkanprodukis emisi CO2 mereka yang melebihi standar yang telah ditetapkan olehUNFCCC. Sederhananya, dengan membayar Oksigen yang dihasilkan oleh hutannegara-negara berkembang, negara-negara maju tidak harus menurunkan produksiemisi karbon, tetapi bisa diganti dengan mekanisme perdagangan karbon melaluiskema REDD tersebut.

Indonesia sebagai negara berkembang cukup proaktif untuk berpartisipasi dalamskema terakhir ini. Dengan luas hutan sekitar 144 juta hektar dan merupakan negarayang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, Indonesia merupakan pasar yang

Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

253VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

potensial dalam penerapan skema REDD tersebut. Partisipasi Indonesia ini terlihatdari aktifnya Indonesia mempromosikan skema REDD ini disetiap pertemuanUNFCCC mulai dari COP 13 Bali 2007 sampai pada COP 15 Copenhagen 2009.Komitmen Indonesia ini juga tercermin dari pernyataan Presiden Susilo BambangYudhoyono pada COP 15, bahwa Indonesia optimis untuk menurunkan GHG Emis-sion nya dari 26 % (berdasarkan skenario Business As Usual-BAU) menjadi 41 % denganbantuan negara-negara industry maju pada tahun 2040 (Purwanto, Sartika dan Rahman,2010: 2).

Meskipun di level pemerintahan nasional Indonesia terkesan optimis dalammenerapkan skema REDD ini, akan tetapi masih banyak pro dan kontra terkaitkesiapan di tingkat lokal maupun nasional. Dimana, adanya keprihatinan bahwaskema REDD hanya memprioritaskan kepentingan konservasi dan menguatkankontrol negara/global terhadap pemanfaatan pengelolaan hutan. Sementara isupengentasan kemiskinan, bagi masyarakat yang hidupnya bergantung padahutan,termasuk masyarakat adat, justeru tidak mendapatkan porsi yang seimbang.Belum lagi adanya, ketimpangan atau tarik menarik antara kepentingan pemerintahpusat dan daerah dalam membagi hasil program dari skema REDD. Sehingga munculkeprihatinan lebih dalam mengingat bahwa skema REDD yang didanai oleh institusiyang dikontrol oleh negara maju (seperti Bank Dunia), atau sektor swasta (melaluipasar karbon) hanya akan melayani kepentingan negara-negara dan perusahaan itu,daripada penduduk yang tinggal dan bergantung pada hutan demi keberlansungankehidupan mereka (Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan, 2008).

Kondisi ini disebabkan program-program yang akan diturunkan melalui skemaREDD tersebut, secara nyata akan lebih banyak bekerja pada level lokal, artinyapihak daerah atau masyarakat seputar hutan merupakan bagian penting yang tidakbisa terpisahkan dalam implementasi skema kebijakan perubahan iklim globaltersebut. Namun respon daerah maupun nasional terkait skema tersebut masih cukuprendah. Respon dalam hal ini terkait akan inisiasi, adaptasi dan antisipasi dari daerahmelalui kesiapan masyarakat dan pemerintah, serta kesiapan kelembagaan dankebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah.

Dalam konteks ini, hasil riset Purwanto, dkk, (2010) dari CIFOR menjadi ulasanyang menarik. Mereka menemukan bahwa adanya aspek sosial budaya terkait padapemanfaatan sumber daya alam seperti hutan. Kondisi ini berangkat dari keberadaankomunitas lokal disekitar wilayah sumber daya. Komunitas lokal yang pada umumnyahidup dalam alam sub-sistem atau pra-kapitalis selama ini menjadi tersisihkan karenakehadiran pemerintah dan swasta melalui investasi modal pertambangan danperusahan konsesi hutan di sekitar kawasan sumber daya. Pola-pola ini selalu munculpada program-program pembangunan yang menempatkan komunitas lokaltermarginalkan ketika berhadapan dengan ekonomi kapitalis.

Kondisi ini akan semakin kompleks dengan kehadiran kebijakan perubahan iklim

Apriwan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

254JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

global seperti REDD yang hadir sebagai kebijakan dan isu baru yang dilandaskanpada pemahaman saintifik atas fenomena ekologi dunia saat ini (World Values).Rangkaian riset yang mereka lakukan di pedalaman Kalimantan, menunjukkanbagaimana komunitas lokal yang awalnya hidup dengan teknologi sederhana dansistem ekonomi pra kapital di pedalaman Kalimantan mencoba bertahan di tengahmaraknya penenaman modal dan isu global seperti kebijakan perubahan iklim glo-bal UNFCCC melalui skema kebijakan REDD yang diterapkan disana. Ada beberapapoin yang dirumuskan dari penelitian ini, antara lain pertama, bahwa kebijakanpemerintah terkait dengan mitigasi perubahan iklim tidak berpengaruh secarasignifikan terhadap kehidupan ekonomi sosial dan budaya masyarakat lokal. Hal initerlihat dari eksploitasi SDA yang terus menerus terjadi. Kedua, adanya traumatikmasyarakat lokal atas kebijakan konservasi yang melarang mereka untuk mengakseshutan yang dianggap secara kultural sebagai bagian dari diri mereka. Ketiga, perlunyapelibatan kelembagaan lokal/adat dalam proses perumusan kebijakan pengelolaanhutan di kawasan. Dan yang terakhir, kurang memadainya pemahaman masyarakatterhadap dampak perubahan iklim, menjadikan kerja sosialisasi harus lebih kom-prehensif dan menjangkau kelompok komunitas secara nyata (Purwanto, 2010: 3).

Lebih lanjut, Wulansari (2010) memberikan pandangan bahwa adanya potensikonflik dalam penerapan skema REDD di Indonesia. REDD dinilai berpotensimengabaikan, bahkan melanggar hak-hak masyarakat adat atas hutan yang telahmenjadi sumber penghidupan mereka sejak lama. Masyarakat lokal Sumatera danPapua memiliki kepercayaan bahwa hutan termasuk dalam kehidupannya, sementarapemerintah lokal, provinsi maupun nasional berhak menyewakan lahannya kepadaperusahaan. Sehingga mekanisme REDD hanyalah melibatkan pemerintah ataukepentingan yang terkait semata, tanpa mengakomodir kepentingan masyarakatnyangbermukin di sekitar hutan (Ica, 2010: 55).

Kemudian, untuk konteks Sumatera Barat misalnya, dengan luas hutan4.228.730,00 Hektar (http://www.dephut.go.id/files/Sumbar_07_Luas_Kws_Hu-tan.pdf) yang tersebar di 19 kabupaten/kota merupakan daerah yang cukup signifikanterkait skema kebijakan REDD tersebut. Seperti yang dilaporkan harian PadangEkspres, beberapa negara seperti Australia dan Singapura ingin menjalin perdagangankarbon dengan Sumatera Barat, akan tetapi karena belum ada regulasi yang jelastentang mekanisme penjualan karbon tersebut, Pemerintah Sumatera Barat selalumenunda kerjasama tersebut (Perdagangan Karbon Ditunda, Padang Ekspress, 20/04/2011). Kondisi ini sangat jelas menunjukkan bahwa kesiapan pemerintahan daerahmasih rendah. Belum lagi pada level masayarakat. Di samping itu, masalah kepemilikanlahan di Sumatera Barat termasuk cukup kompleks, hal ini terkait dengan hukumadat yang mengakui hak-hak masyarakat adat/nagari terhadap tanah ulayat yang adadi suatu nagari.

Seperti yang diungkapkan Afrizal (2007), bahwa komunitas nagari cukup aktif

Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

255VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

melawan negara dan bisnis terkait kepemilikan lahan sawit yang dimiliki HPH yangdiakui oleh negara. Konflik ini tersebar di nagari-nagari di berbagai kabupaten diSumatera Barat. Perlawanan yang muncul semenjak reformasi bergulir di tahun 1998ini, sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Dengan demikian, skemaREDD yang akan berkaitan dengan pemanfaatan lahan hutan di Sumatera Barat,secara tidak lansung akan berhadapan dengan kepemilikan tanah ulayat yang jugamerupakan hutan yang akan menjadi komoditas perdagangan karbon dalam skemakebijakan perubahan iklim global REDD. Artinya, konflik atas penggunaan lahanakan semakin kompleks, seiring munculnya keberadaan REDD yang mau tidak mauakan dialami oleh setiap daerah di Indonesia.

Jika strategi nasional REDD Indonesia tidak mengakomodir kepentingan dankonteks lokalitas seperti yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Papua ini, bisadiperkirakan masalah baru akan muncul kembali dalam sektor penggunaan lahanhutan di wilayah ini. Draf strategi REDD Indonesia yang sedang disusun, benar-benarharus mempertimbangkan keadaan/kondisi di wilayah-wilayah tertentu. Sehinggakebijakan perubahan iklim global tidak bersifat parsial (nasional) semata, akan tetapimerupakan produk kebijakan yang utuh mewakili kepentingan domestik padaberbagai sektor dan level.

Sederhananya, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian pemerintahpusat dalam merumuskan dan mengimplementasikan REDD-UNFCCC denganmenggunakan pendekatan intermestik ini, pertama, Pemerintah harus bisa menga-komodir dan mensinergiskan kebutuhan domestik baik pada level nasional maupunpada level lokal. Sehingga tidak terkesan satu pihak merasa terabaikan, sementarapihak lain mendapatkan porsi yang ideal, seperti yang terjadi pada kasus REDD diKalimantan. Hal ini bisa dilakukan dengan serangkaian assessement dan sosialisasiyang melibatkan berbagai pihak seperti akademisi dan NGOs. Kedua, adanya pelibatandari berbagai stakeholders secara pastisipatif dalam merumuskan berbagai kebutuhandan kebijakan terkait implementasi skema REDD tersebut. Ketiga, mempersiapkaninstrumen berupa regulasi dan institusi pada level pusat dan daerah. Keempat, kesemuatahapan tersebut harus menjadi acuan dan pedoman yang dibawa oleh wakil Indone-sia dalam setiap proses negosiasi implementasi REDD di tingkat Internasional. Dengandemikian, kekeliruan koordinasi dalam

KesimpulanBerangkat dari paparan di atas, dipahami bahwa produk kebijakan perubahan

iklim global UNFCCC, khususnya terkait dengan skema REDD perlu memangmempertimbangkan kembali konteks domestik (daerah), dalam artian bagaimanakondisi nyata, kebutuhan dan kepentingan domestik tersebut terakomodir dalamskema kebijakan yang dihasilkan. Model two level games yang ditawarkan oleh Putnamcukup reliable memberikan gambaran bagaimana hubungan domestik dan

Apriwan

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

256JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

internasional (intermestik) harusnya dibangun dalam proses diplomasi dan negosiasidalam level rezim perubahan iklim global.

Pendekatan ini memberikan pemahaman bahwa, proses diplomasi tidak sematahanya berbicara dalam konteks kepentingan nasional, akan tetapi lebih luas melihatbagaimana proses diplomasi juga merefleksikan kemampuan mengkomunikasikankondisi global ke dalam konteks domestik, dan begitu juga sebalikanyamemperjuangkan kepentingan dan kebutuhan domestik dalam ranah reziminternasional perubahan iklim. Dengan demikian, sinergisitas antara faktor domestik(lokal) dengan kondisi global/internasional bisa tercermin dalam kebijakan-kebijakanyang dihasilkan (win-set). Lebih lanjut, implementasi kebijakan perubahan iklim glo-bal pada level domestik akan lebih acceptable dan populis karena kebijakan yangdirumuskan tidak lagi bersifat parsial melainkan bersifat menyeluruh (komprehensif)yang merefleksikan kebutuahan dari berbagai sektor dan level.

BibliografiAfrizal. 2007. The Nagari Community, Business and the State: the Origin and the Process of

Contemporary Agrarian Protest in West Sumatera, Indonesia. Bogor: Sawit Watch andForest People Prorame.

Apriwan. 2010. Clean and Development Mechanism in Indonesia. Makalah dipresentasi-kan pada Environmental Policy Program. International University of Japan, Ja-pan Maret.

Hasenclever, Andreas, Peter Mayer and Volker Rittberger. 1997. Theories of Interna-tional Regimes. Cambridge: Cambridge University Press.

Ica, Wulansari. 2010. Deforestasi di Indonesia dan Mekanisme REDD. Jurnal Ilmiah Hubu-ngan Internasional, Volume 6 No.2 PACIS Universitas Katolik Parahyangan,Bandung.

Jack M, Hollander. 2003. The real environmental crisis: why poverty, not affluence, is theenvironment’s number one enemy. Berkeley: University of California Press.

Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan, Kompilasi News Letter Down ToEarth (DTE), 2008, KIPPY Print Solution.

Lester, James P. and Joseph Stewart. 2000. Public Policy and Evolutionary Approach.Second edition. Australia: Warsworth.

Luas Kawasan Hutan Sumatera Barat. (Online), (http://www.dephut.go.id/files/Sumbar_07_Luas_Kws_Hutan.pdf, diakses 12 Juli 2011).

Noordwijk, Meine van, Herry Purnomo, Leo Peskett and Bambang Setiono. 2008.Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in Indonesia: op-tions and challenges for fair and efficient payment distribution mechanisms. Workingpaper 81, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Padang Ekspres. 20 April 2011. Perdagangan Karbon Ditunda. (Online), (http://unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2917.php, diakses 10

Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Persfektif Indonesia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

257VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Juni 2009).Purwanto, Semiarto Aji, Iwi Sartika, Rano Rahman. 2010. Kesiapan dan kerentanan

sosial dalamskema kebijakan perubahan iklim/REDD di Indonesia. Kertas KerjaEpistema No.08/2010, Jakarta: Epistema Institute.Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia No. 06 Tahun 1994,

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta.Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia no 17 Tahun 2004.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta.Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.Soejachmoen, Moekti H dan Omar Sari (ed). 2003. Mencari Pohon Uang: CDM

Kehutanan di Indonesia. Jakarta: Pelangi.Wiharani, Annisa Paramita. 2011. Copenhagen Accord: Sebuah Kemajuan Kompromi

Politik Hukum Internasional Perubahan Iklim. Multiversa Journal of International Stud-ies, Volueme 02 (1).

Winnefeld, James A. and Marry, E Morris. 1994. Where Environmental Concernsand Security Strategies Meet; Green Conflict in Asia and Middle East. Rand, St. Monica.

Yamin, Farhana and Joanna Depledge. 2004. The International Climate ChangeRegime A Guide to Rules, Institutions and Procedures. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

258JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

China versus China: ContendingNationalisms in The Twenty First

Century Asia

AbstractThis paper is set to find out whether the competition of Sino-Nationalism will have been influenced by the mutualbenefit of their economics relations rather than by the historical hard-line military power. Post-Cold War era hasshifted the ideological issue from capitalism/liberalism versus socialism/communism model to nation-wide eco-nomic welfare competition which made People’s Republic of China (PRC) to redefine their national entitytowards its contending part, the nationalist Republic of China (RoC). While Sino-American relations may havewarmed under the Taiwan’s new administration and the increasing role which Taiwan plays in Mainland Chinaeconomics may have been well noted, may still lead to an undesired conflict.Keywords: China Nationalism, Taiwan, economy, military

Tulus WarsitoJurusan Ilmu Hubungan Internasional,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,School of International Studies, Universiti

Utara Malaysia

IntroductionRepublic of China (RoC or Taiwan) has played

a prominent role in Chinese politics since thefounding of the People’s Republic of China (PRC)in 1949. For decades, the Chinese CommunistParty (CCP) called for the “liberation” of the is-land, first as a means to increase its legitimacy in-ternationally, and more recently with declininglegitimacy of their socialist foundation, to deflectcriticism of continued one-party rule. When theU.S. granted formal recognition to the PRC in1979, the PRC finally dropped the constant threatof invasion, assuming that without American sup-port, formal independence would not occur andTaiwan would inevitably “come back home.”

So far, the Taiwan Relations Act (TRA) whichfollowed prevented any short term unificationplans. After the Republic of China (ROC) on Tai-wan fully democratized, the PRC gravitated towardsa hardline approach, believing that the U.S. en-couraged Taiwanese independence and intended

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

259VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

to keep Taiwan separate. While cross-strait relations may have warmed under thenew Prime Minister Ma Ying-jeou administration and Sino-American relations be-yond the Taiwan issue have greatly improved in the past decade, the role which Tai-wan plays in Chinese nationalism may still lead to an undesired conflict.

The paper will overview of Chinese nationalism and the role of Taiwan withinthis narrative. Then to address how Taiwan’s democratization has created tensionswithin this nationalist narrative. In the final part, while the continued focus on Tai-wan prevents a peaceful solution, military conflict should not be seen as unavoidable.

The Concept of NationalismScholars and non-academics have struggled to capture the multiple facets of Chi-

nese nationalism, as evident in the massive literature on the subject.1 Studies of na-tionalism attempt to subdivide the phenomenon by various means, often resulting incategories which fit only one country.

While this may provide some definitional clarity, needs to be noted that a focus onstate nationalism which treats the government as the main architect of Chinese na-tionalism (in contrast to popular nationalism) is sufficient in this situation, especiallywhen concerning the Taiwan issue. State nationalism highlights the need for a strongcentral power, consistent with the CCP’s desire to justify its continued rule. Further-more, there was little sign of an independent popular nationalism in China beforethe 1990s and what does exist today remains largely defined by the CCP (Chan andBridges, 2006: 127-156).

Chinese nationalism should be viewed not as a fixed concept or a historical given,but rather as an ambiguous tool used for political purposes. Pye states that “Chinesenationalism is what the leaders of the day say it is, and this means that it becomes adefense of their formulations of what the consensus should be” (Pye, 1992: 232). Bydoing so, official nationalism attempts to blur the separation between the nation andrulers (Anderson, 1983: 110). A similar blurring of the lines is evident in the PRC’sofficial account of Taiwan’s post-war status, which states that the “Chinese people”recovered the lost territory of Taiwan in 1945. No distinction is acknowledged be-tween land and people nor those under Communist rule and that under the Nation-alists.

Similarly, while defining itself as a multi-ethnic state, Chinese nationalism remainsat its core Han-centered, leading many to equate present nationalism with Han chau-vinism (Dikotter, 2005: 177-204; Chow, 2001: 47-84). This conception of Chinesenationalism, however, remains an admitted simplification. While this article startsfrom a position of elite-driven nationalism, one must acknowledge that nationalismin almost any context defies such narrow instrumental definitions. Societal influ-ences increasingly shape Chinese nationalism, but more in terms of responding tostate-driven directives rather than presenting an organic alternative. The focal points

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

260JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

of contemporary Chinese nationalism may be dictated by the leadership, but howthese factors resonate with the general populace largely defines the depth of suchsentiments, creating restraints beyond what elites may have originally intended.

New regimes often push nationalism to overcome perceived historical wrongs sub-jected to by other powers. Mondal described Indian nationalism similarly as ideologi-cally a pole away from colonialism (Mondal, 2003: 144). Although only small parts ofChina were de facto colonized by Western powers (i.e., Hong Kong and Macao), China’shistory with Western imperialism (and later Japanese imperialism) has a similar influ-ence on Chinese nationalism, leading some to state that anti-imperialism definesChinese nationalism.2 The success of the CCP transformed Chinese nationalism fromprimarily anti-Japanese in nature to include its Nationalist opposition and the U.S.under the broad category of imperialism. Furthermore, CCP propaganda framedthe party as the vanguard against Japanese occupation, while the Nationalists wereportrayed as preferring to fight fellow Chinese, contributing to the enduring anti-Japanese element within Chinese nationalism.3

Rhetoric of “liberating Taiwan” cannot be understood outside of the context ofthe Chinese civil war. The CCP master narrative of creating a socialist society focusedon ridding the mainland of imperialist encroachment and the establishment of thePRC in 1949 was constructed as the defining historical turning point. Since the ROCwas supported by the U.S. and Chiang Kai-shek was already labeled an imperialist,the only means to complete the narrative was to maintain support for military forceto reclaim the island. Thus, the CCP continued to portray the Taiwan issue as ahistorical injustice, claiming both that Taiwan for centuries had been Chinese untilJapanese annexation in 1895 and that biological and geological evidence supportedtheir position of the Chineseness of Taiwan.4

An argument can be made that Taiwan was unimportant to the CCP until theNationalists were forced to the island, in part because of Mao’s comments in the1930s that Taiwan was beyond the boundaries of China, in the same category asVietnam and Korea (Snow, 1938: 33-89). Other CCP documents suggest that Taiwanwas seen as a peripheral entity. The “Message to Compatriots on Resistance to Japanto Save the Nation” and the “Resolution of the CC on the Current Political Situationand the Party’s Tasks” in August and December of 1935 both refer to Taiwan insimilar tones as Korea and should be united in an anti-Japanese alliance. In the “CCPDeclaration on the War in the Pacific” in December of 1941, the CCP states theirgoal of encouraging anti-Japanese propaganda and agitation, again mentioning Tai-wan in a similar fashion as Korea. The Constitution of the CCP in June of 1945 alsomakes no reference to the island.

China has also assumed that any cross-strait military conflict will include Ameri-can involvement. From the onset of the Cold War through the 1970s, the CCPimplicitly desired formal recognition from the West. Despite constant references to

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

261VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

the moral and political corruptness of American “imperialism,” Beijing realized thatits security would be strengthened by formal relations. This desire went so far thatthe PRC hinted in the 1950s that it would renounce claims to Taiwan in exchange forformal relations with the U.S. (Madsen, 2001: 159; Purifoy, 1976: xi). However, onecan presume this option was discarded due to its potentially negative domestic ramifi-cations for the CCP as much as U.S. disinterest. The importance of relations with theU.S. can also be seen in the shift in the CCP party line. Shortly after recognition, thePRC abandoned the slogan “liberation of Taiwan” in favor of peaceful unification,suggesting Beijing’s confidence that without American support, such a policy couldbe successful.

America dropping its opposition to seating the PRC, followed by the 1972Communiqué (“The Shanghai Communiqué”) and the 1979 Communiqué estab-lishing formal recognition gave Beijing officials the impression that although unifica-tion may not be immediate, the likelihood of permanent separation was diminish-ing. American intent, however, was more a policy of engagement and vague dialoguerather than capitulation on Taiwan,5 with the U.S. simply acknowledging the Chi-nese position of “One China.” As Hickey stated, the term “acknowledge” was deliber-ately chosen to indicate “cognizance of, but not necessarily agreement with, the Chi-nese position.”6 The Taiwan Relations Act (TRA) further shattered Chinese hopesand made American agreements on both military supports of Taiwan (the U.S. agreedin 1972 to remove all U.S. forces from Taiwan) and recognition of a “One China”policy seem disingenuous. The TRA essentially left these relations intact, which thePRC took as a clear violation of their sovereignty, with later agreements and actions(e.g., the 1982 Communiqué, President Bush’s approval of military assistance in 1992)lending further support to American disingenuousness. With these seemingly contra-dictory positions, Beijing officials surmised that Washington opposed a Beijing-ledreunification and thus the U.S. returned as a prime obstacle in the unification narra-tive. The only way to overcome this obstacle was to raise the costs for Americanintervention and Taiwanese actions inconsistent with unification.

Although Chinese rhetoric about the U.S. did not return to pre-normalizationlevels, their unfulfilled expectations continue to taint Sino-American relations with alevel of distrust which has only been exacerbated by America’s support of Taiwan’sdemocratic reforms.

DemocratizationThe maintenance of China’s Taiwan policy and the necessity of unification has

aided the PRC in deflecting domestic criticism, in particular the lack of democraticreforms. Beijing traditionally argued that Chinese and Confucianist culture were notsuited for a Western-style democracy.

However, East Asian democratization, including Taiwan’s own transformation,

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

262JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

undermines this stance.7 Taiwan’s first democratically elected president Lee Teng-huiused this to his political advantage, making potential reunification contingent onmainland democratization (Shih, 2003:31). Since then, the CCP leadership has al-tered its argument, stating that democracy brings chaos, with many drawing a paral-lel to the Cultural Revolution and the potential chaos of democratic reform, withthe decline of Russia as further evidence.

Implicit in China’s democracy-brings-chaos theory is that foreign interests are be-hind such reforms to keep the country weak by ousting the CCP. Similarly, duringthe Tiananmen protests, Beijing officials drew a direct correlation between Taiwan’syoung democracy and a looming threat to their hold on government.8 Protestorswere viewed as akin to outside agitators, making the use of force to disperse thecrowds more acceptable. While cross-strait talks emerged in 1991, China has refusedto view democratization as anything but a potential threat.

Furthermore, the PRC leadership has attempted to dismiss any suggestion thatdemocratization could alter claims over Taiwan. In practical terms, however, it haslead to the ROC that, while still paying lip service to “One China,” has denouncedclaims to the mainland and maintained an ambiguous stance on Taiwan’s future-consistent with a public which both sees itself increasingly as Taiwanese or both Chi-nese and Taiwanese and that prefers the continuation of the status quo. Any positionon Taiwan’s future status inconsistent with Taiwanese public opinion would be politi-cal suicide. As Lee Teng-hui stated “Taiwan has now reached the point of no return.The people of Taiwan would never countenance any less representative form of gov-ernment” (Teng-hui, 1999: 9-14).

Instead, the PRC maintains symbolic representation of Taiwan within the nationallegislature, enlisting delegates with no connection whatsoever to the island.9 Further-more, accepting that Taiwan’s democracy had changed its status would require Beijingto admit that their demands for party-to-party talks (instead of government-to-gov-ernment) were inappropriate. On a practical level, Beijing must treat democratiza-tion as a non-issue in terms of Taiwan’s political status or accept radical changes to thecross-strait dialogue which does nothing to help their own goals.

Maintaining this stance seems to invite conflict with Taiwan. It should not havebeen surprising then when Lee Teng-hui set equally unacceptable conditions for uni-fication talks (democratic reforms on the mainland and renouncing the use of force)(Chu, 2000: 313). Beijing’s response, to label Lee a “lackey of America” (Shambaugh,1998: 242), allowed for the maintenance of the narrative by eliminating Lee as aperson to take seriously. It also started a pattern of discrediting Taiwan’s leaders whorefer positively to Taiwan’s separate status as nothing more than independence-seek-ers. For example, Chen Shui-bian’s proposal of “cross-strait integration” seemed toplease PRC leaders, but once Chen clarified that this meant rapprochement notunification, the PRC returned to a hardline rhetoric. Although talk of “liberating”

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

263VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Taiwan ceased with formal relations with the U.S., Beijing’s efforts to maintain pub-lic support for the use of force in order to prevent Taiwan’s permanent separationcontinues. Furthermore, many Taiwanese officials have been demonized to the pointthat mainland Chinese view anyone willing to negotiate with Taiwan regarding theisland’s future status implies sovereign equality and thus is labeled a traitor (Fried-man,2001: 135). Even cross-strait negotiations which skirt sovereignty issues risk thisbacklash as any actions not clearly consistent with unification is assumed to encour-age independence. Conciliatory efforts in the past were often undermined by the“victor’s mentality” of old cadres that were still in prominent positions through themid 1980s which were adamantly opposed to any conciliatory effort which impliedequality for ROC officials (Shih, 2003: 52). Despite a marked drop in revolutionaryrhetoric out of Beijing, Taiwan’s position in the calculus of Chinese nationalism hasremained constant. This does not mean that the PRC has been inflexible in its Tai-wan policy. Beijing seems willing to make overtures to Taiwan as long as it conformsto their master narrative of a CCP victorious in the protracted Chinese civil war.Similarly, mainland propaganda attempts to solidify the view that the CCP is China.Any suggestion that the party was not the true voice of China would be incongruentwith the master narrative.10 For example, in talks during the early 1980s, the PRCseemed willing to grant Taiwan some form of autonomy after reunification, allowing“One China” to be defined beyond a political scope, highlighting historical and cul-tural ties. Once it became clear Taiwan did not wholeheartedly support imminentreunification, China ended such talk and insisted that “One China” had a clear po-litical definition. More importantly, the CCP continues the decade’s old notion thatonce Taiwan reunites with the mainland, China will once again rise to the status of aworld power and their era of weakness will be over. As Zong Hairen declared, “TheTaiwan issue is a threshold China must step over if it is to go out into the world. IfChina fails to cross this threshold it cannot go into the world or genuinely become aworld power; even less can it compete with the United States” (Hairen, 2002: 16).While unification does provide some strategic advantages, even a peaceful unifica-tion cannot live up to the “cure all” that Beijing officials have made it out to be.Perpetuating this nationalistic dream places further pressures on CCP leaders to bringTaiwan back into the fold. Both Deng Xiaoping and Jiang Zemin wanted unificationon their watch to secure their place in history, yet neither was willing to take a moreconciliatory approach which would conflict with the implicit “liberation” narrative.With the return of Hong Kong and Macao under the “one country, two systems”formula, Jiang put added pressure on himself because the formula made Taiwan’sunification look inevitable (Gungwu, 2004). While Hu Jintao has avoided an implicittimeline, he too must show evidence that Taiwan is not forever lost. The growingeconomic integration between both sides has also done little to curb this nationalisttrend, as it, along with the PRC’s own domestic economic growth may actually

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

264JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

strengthen Chinese nationalist sentiment as it reinforces that China is on its way toeconomic and political superpower status. As Lam suggests, the next generation ofChinese leaders, equipped with greater economic power, have little reason to de-crease their nationalist tone (Lam, 2003: 264-265). A PRC on the rise then may bemore inclined to push the Taiwanissue.11

By encouraging such nationalist sentiment and being unable to deliver, Beijingofficials have produced an unintended side effect. Since the government relies soheavily on nationalism, reining in public variants is particularly problematic (Zhang,2007: 27-30). Nationalism by its very nature plays upon history, but if the nationalis-tic message is unattainable, these unfulfilled national desires impose higher pressuresfor the future. Shih argues that if enough unfulfilled nationalism accumulates withina society, these grievances will lead to complete devotion to further nationalist causes(Shih, 2003: 81). In other words, Beijing’s nationalist rhetoric has created a spiralingeffect, encouraging greater support of the party line in regards to Taiwan policy, butalso placing greater demands on the government to conform to this hardline ap-proach when a more conciliatory policy may be more effective in achieving themainland’s goals. Viewing Chinese nationalism as a response to legitimate concernsover territorial integrity is also misleading. The PRC has continuously used the prin-ciple of preserving territorial integrity in its argument over Taiwan (Hsiao, 1998:715). With the return of Hong Kong and Macao, Taiwan remains the last majorterritory claimed by the PRC not under its control, the last remnant of China’s hu-miliating defeats in the 19th and 20th centuries. However, the CCP not only ac-cepted the loss of land before “losing” Taiwan to the Nationalists (i.e., Outer Mongolia),they have also willingly relinquished other territorial claims in recent years.12 SinceTaiwan was never under control of the CCP or PRC, it also differs from the tradi-tional view of a separatist movement. The PRC did not lose control of Taiwan; theynever had it. Furthermore, Taiwan cannot be seen as a threat to Chinese securityunless backed heavily by the U.S.13

Attempting to explain China’s Taiwan policy as primarily a function of national-ism admittedly oversimplifies the situation. A common argument is that the mainland’sfear of looking weak on Taiwan prohibits any negotiations on the matter and thatthe CCP leadership would lose all credibility if it is weak on the Taiwan issue. Thecore of this argument is that if Taiwan were to reject conciliatory offers from themainland, the PRC would lose face. A mishandling of the issue could also strain thepower coalition within the CCP, a major concern during the Jiang-Zhu era (Wangand Yongnian, 2000: 7), but a concern which persists today. However, several inci-dents have made the PRC’s stance look weak and yet the legitimacy of the leadershipwas not inquestion. The mainland’s backing down during the Quemoy and Matsucrisis 1954–1955, the enactment of the Taiwan Relations Act, and America’s increasedmilitary sales after the 1982 Communiqué all contradicted the notion that Chinese

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

265VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

nationalism would require a hardline response. In each case, the mainland responsewas limited primarily to harsh criticism, suggesting that the PRC is maintaining thepolicy of being “firm on principles, flexible on tactics.” A key difference, however, isthat in all of the cases mentioned, Taiwan was not the party that made China lookweak. Rather it was America’s influence. In the aftermath of democratization,Taiwan’s success as a separate entity presents a continued challenge to the PRC narra-tive, one arguably more detrimental to the PRC’s master narrative than previousincidents. This is exacerbated by the need for Taiwanese officials to maintain domes-tic support on matters which can upset the delicate balance of cross-strait dialogue.Taiwan’s military purchases from the U.S. under the Ma Ying-jeou administrationfor example directly conflicted with the government’s more pro-China stance, lead-ing the PRC to respond with traditional harsh rhetoric common during the previousChen Shui-bian administration. Beijing’s ultimate objectives for Taiwan also remainsomewhat unclear. The PRC certainly wants unification, but, outside of the proposed“One China, Two Systems” formula, has been vague on the structure of this unifiedChina. The mixed success of Hong Kong under this system has done little to enticeTaiwan to move towards unification, suggesting that another formula may be moreappropriate. However, the PRC calls other formulas unacceptable (e.g., federalism),thus denying the possibility of a formula that allows for the basic continuation ofTaiwan’s de facto independence while committing both sides to unification. Pushingfor a hasty unification, however, brings greater problems for Beijing. Any large scalemilitary action to retake Taiwan would conflict with mainland propaganda, reveal-ing that the Taiwanese public was not on the side of the PRC.14 Even if the PLA canquickly overcome forces on the island and cross-strait conflict does not encourageprotests in Tibet and Xinjiang dividing People’s Liberation Army (PLA) attention,reincorporating a defeated Taiwan into a greater China will be politically and eco-nomically exhaustive. The only clear objective behind military threats or even morerecent enticements, thus is to maintain hope for unification by preventing formalindependence (Swaine, 2004: 40).

The contending episodeHistorically, the CCP has used force (or the threat of it) to test an opponent’s

resolve and the Taiwan issue is no different. The first major test occurred over Matsuand Quemoy in 1954–1955 which arguably backfired, resulting in greater Americansupport for the ROC and a weak threat to use nuclear weapons to stop Chineseaggression. In 1954 America lifted its blockade of Taiwan, making a more ambitiousattempt to reclaim the mainland possible. Chiang Kai-shek amassed large numbersof troops on the offshore islands leading up to the crisis, which perhaps convincedthe CCP a heightened conflict was imminent.15 Others suggest that following theKorean War, the PRC’s primary motive was to test the strength of America’s

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

266JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

renewedcommitments to the ROC (Kovachi, 2002: 7; Copper, 2003: 48).Regardless of the cause, this show of force accomplished two things for the CCP.

First, it reinforced the view of American intent on containment and made possiblethe symbolic use of Taiwan to drum up anti-American sentiment for China’s contin-ued humiliation. Second, it encouraged the ROC to maintain the offshore islands.Chiang Kai-shek saw the islands as a symbolic link to the mainland and his claims tolegitimately rule it. To relinquish them after this military conflict would not onlysignal to the CCP military weakness, but would likely encourage those within Taiwanto consider Taiwan as a separate country, a consideration dismissed post 1954.

With Sino-American rapprochement in 1979, the PRC ended talk of the need to“liberate” Taiwan in favor of allowing for peaceful reunification. However, as Taiwan’sdemocratized, China’s willingness to remind Taiwan that forceful reunification wasstill an option became more common. While China’s threats have changed little, itscapabilities to fulfill such threats have grown. The combination of Chinese national-ism and a belief that war may be inevitable leads Beijing to continue its hardlineapproach. To increase its deterrence capabilities, China has spent an exorbitantamount on weaponry, reducing, if not eliminating any technological advantages pos-sessed by Taiwan. Recent acquisitions have led some PLA officials to believe thatwithin the next decade, the PRC will not only have military superiority over Taiwan,but will be able to repel “foreign intervention” as well. Taiwan has responded withattempts to improve its deterrent capabilities. While the PLA’s projection is unlikely,the rapid military advances are a cause for concern.

Military improvements have created a chauvinistic mentality that China can actmore unilaterally concerning Taiwan than before. Beijing believes that this will makethe U.S. less likely to support Taiwan, turning the ROC from “bold and aggressive” to“demoralized and cautious” (Garver, 1997: 13). Although the PLA’s capabilities haveincreased considerably in recent years, the focus of military development remainsrather limited. Much of the effort has been on missile development and cyber-warcapabilities, not equipment needed for an invasion, which suggests that Beijing’s motiveremains deterrence. This also shows the limitations of Chinese military threats toothers in the region. The PRC may be looking for a rationale for war, but theirmilitary build-up heavily favors deterrence or short-term conflict, not a full invasion.

Even assuming that China’s military build-up is intended solely for deterrencepurposes, this does little to decrease tension in the region. China has never clearlydefined what it would take for a military response and now with greater abilities toinflict damage on Taiwan, China may lower this threshold. For example, the Anti-Secession Law of 2005 appears to label any move that may appear as directed towardsindependence or Taiwan’s unwillingness to unify as a potential cause for militaryaction.16

Secondly, Taiwan feels inherently less secure because of this build-up and thus

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

267VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

seeks more military procurements and greater protection from the U.S. More gener-ally, China’s military build-up and the militant Chinese nationalism supporting itencourages Taiwanese to see themselves as different than Chinese on the mainland.17

This arguably creates a spiraling effect as Taiwan’s efforts to assert themselves in-crease the mainland’s belief that Taiwan is creeping towards independence. Themainland thus takes a harder stance and increases its missiles directed at Taiwan,further encouraging Taiwanese to see themselves as different from those on themainland.

Wrapping upIn the absence of Communist ideology, nationalism has become the primary means

to unify a population into accepting, if not approving, the continued leadership ofthe CCP. This tool, however, has no clear long-range objective other than unificationand thus one cannot easily predict what role Chinese nationalism will play in thefuture. As Scalapino stated, as China becomes a greater political power, this national-ism could manifest itself in either benign (e.g., a focus on a rich cultural heritages) ormilitant form (Scalapino, 1998: 204). Presently, the PRC’s nationalist narrative re-quiring unification precludes the possibility of a negotiated political settlement re-garding Taiwan’s sovereignty, even one that ultimately leads to unification. The nega-tive rhetoric towards previous Taiwanese presidents simply increased support for thesemen in a way that a cordial approach never could, by creating a clear “us and them”image Taiwanese politicians could play upon. The mainland’s decision to continue ahardline approach in 2000 likely lead to their least desired candidate being elected(pro-independence candidate Chen Shui-bian), leaving Beijing officials confused attheir lack of success (Wang, 2001: 726). This may in part explain not only China’smore flexible policy since the election of Ma Ying-jiu in Taiwan, but President Ma’sown pro-China policy initiatives.

Beijing has been given ample opportunities to make overtures to the ROC shortof acknowledging them as a legitimate national government. Recent party-to-partytalks and increased commercial ties show that constructive dialogue, however flawed,may be possible. The culmination of the Economic Cooperation Framework Agree-ment (ECFA) and the possibility of an emerging “Chaiwan” economic union suggesta major thaw in cross-strait dialogue and may encourage both sides to conduct con-structive dialogues on sovereignty issues. China’s rise as a world power in part re-quires peaceful regional economic if not political integration, Taiwan included. Whilesome expect economic integration to encourage political solutions (Cheung, 2010:11-36), such hopeful thinking, however, ignores the continued attempts by the PRCto at least rhetorically separate economic and political spheres. Even the means inwhich ECFA was negotiated intentionally resembled party-to-party talks rather thanintergovernmental negotiations, further dismissing the dynamics of a democratic

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

268JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Taiwan (Cohen, Jerome A. and Chen, 2010). Furthermore, greater economic inte-gration may leave Taiwan sensing fewer political options.

While China attempts to keep economic and political discussions separate, consis-tent with official nationalism, in practice this has been problematic, not only in termsof concerns within Taiwan but the expectations within China that economic integra-tions is simply an intermediary stage before political integration. Although increasedeconomic integration may create greater pressures for both sides to find acceptablepolitical solutions to the Taiwan issue, little evidence suggests that China’s stance vis-à-vis Taiwan’s sovereignty will change.

In contrast to ever more sophisticated approaches to international relations else-where, China’s Taiwan policy remains poorly developed for current conditions (Hickey,2009: 31-70). Despite recent thaws in cross-strait relations and the PRC’s own beliefthat time is on their side, the dismissal of Taiwan’s democracy confounds the mainland’sgoals as it has allowed a counter nationalism to foster. Such backlash is apparent inTaiwan as the perceived economic benefits from recent cross-strait exchanges havenot overcome sovereignty concerns. China may believe that their increased economicand political power will propel them to superpower status and in the process Taiwanwill be forced back into the fold, but the interplay of Taiwan’s democratization andthe counter nationalism encouraged indirectly by Beijing’s own actions make thishighly doubtful.

BibliographyAnderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread

of Nationalism. London: Verso.Chan, Che-po and Brian Bridges, 2006. China, Japan and the Clash of Nationalisms.

Asian Perspectives, Vol. 30, No. 1.Chan, Che-po and Brian Bridges. 2006. China, Japan, and the Clash of Nationalisms.

Asian Perspectives, Vol. 30, No. 1.Chang, Jung and John Halliday, 2005. Mao: The Unknown Story. London: Jonathan

Cape.Cheung, Gordon C. K. 2010. New Approaches to Cross-Strait Integration and Its Impacts

on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging ‘Chaiwan’?. Journal of Current Chi-nese Affairs 39, no. 1.

China Post. June 10, 2004. No Plan to Attack Three Gorges Dam: MND.China Post. June 17, 2004. China General Threatens War if Taiwan Targets Three Gorges.Chow, Kai-Wing. 2001. Narrating Nation, Race and National Culture: Imaging the

Hanzu Identity in Modern China. In Kai-Wing Chow, Kevin M. Doak and PoshekFu (ed), Constructing Nationhood in Modern East Asia. Ann Arbor: University ofMichigan Press.

Chu, Jou-juo. 2000. Nationalism and Self-determination: The Identity Politics in Taiwan.

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

269VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Journal of Asian and African Affairs, August.Cohen, Jerome A. and Yu-Jie Chen, 2010. ECFA and Taiwan’s Political System. U.S.

Asia Law Institute, July 6. (Online), (http://www.usasialaw.org/?p=3814).Copper, John F. 2003. Taiwan: Nation-State or Province? 4th edition. Boulder, CO:

Westview Press.Dikotter, Frank. 2005. Race in China. In Pal Nyiri and Joana Breidenbach (ed), China

Inside Out: Contemporary Chinese National and Transnationalism. Budapest: CentralEuropean University Press.

Friedman, Edward. 2001. The Possibility of Peaceful Compromise in Cross-Strait Re-lations. In Kenneth Klinker (ed), The United States and Cross-Strait Relations: China,Taiwan and the U.S. Entering a New Century. Urbana-Champaign: University ofIllinois, 2001.

Garver, John W. 1997. Face Off: China, the United States, and Taiwan’s Democratization.Seattle: University of Washington Press.

Gleick, Peter H. 2008. Three Gorges Dam Project, Yangtze River, China. Water Brief 3,The World’s Water 2008–2009

Guillermaz, Jacques. 1976. The Chinese Communist Party in Power, 1949–1976. Boulder,CO: Westview Press.

Gungwu, Wang. 2004. Systems and Cultures: A Perspective on Recent Chinese History.Sspeech, Ohio University, 7 May.

Hairen, Zong. 2002. Responding to the ‘Two States Theory’. Chinese Law and Govern-ment, Vol 35, no. 2 (March-April).

Hickey, Dennis V. 2009. Beijing’s Evolving Policy Toward Taipei: Engagement or Entrap-ment. Issues & Studies, vol. 45, no. 1.

Hickey, Dennis Van Vranken and Yitan Li, 2002. Cross-Strait Relations in the Aftermathof the Election of Chen Shui-bian. Asian Affairs: An American Review, Vol. 28, no.4(Winter).

Hickey, Dennis Van Vranken. 1999. U.S.-Taiwan Security Ties: Toward the Next Millen-nium. Paper presented at the conference Taiwan on the Threshold of the 21stCentury: A Paradigm Reexamined, National Chengchi University, Taipei, Tai-wan. 4–5 January. (Online), (http://www.taiwansecurity.org/IS/IS-Hickey.htm).

Hsiao, Anne Hsiu-An. 1998. Is China’s Policy to Use Force Against Taiwan a Violation ofthe Principle of Non-Use of Force Under International Law?. New England Law Re-view, 32 (Spring).

Kovachi, Noam. 2002. A Conflict Perpetuated: China Policy During the Kennedy Years.Westport: Praeger.

Lam, Willy Wo-Lap. 1999. Jiang pulls out all the stops in foreign policy. South ChinaMorning Post, 25 January. (Online), (http://special.scmp.com/chinaat50/Article/FullText_asp_ArticleID-19990928210012708.html).

Lam, Willy Wo-Lap. 2003. The Generation after Next in Chinese Politics. In David

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

270JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

M. Finkelstein and Maryanna Kivlehan (ed), Chinese Leadership in the 21st Century.New York: M. E. Sharpe.

Madsen, Robert A. 2001. The Struggle for Sovereignty Between China and Taiwan.In Stephen D. Krasner (ed), Problematic Sovereignty: Contested Rules and PoliticalPossibilities. New York: Columbia University.

Medeiros, Evan S. and M. Taylor Fravel, 2003. China’s New Diplomacy. Foreign AffairsVol 82, no. 6 (November–December).

Minnick, Wendell. 2009. Taiwan Continues Cruise Missile Effort. DefenseNews, 23March.

Mondal, Anshuman. 2003. Nationalism and Post-Colonial Identity: Culture and Ideologyin India and Egypt. London: RoutledgeCurzon.

Niou, Emerson. 2005. A New Measure of the Preferences on the Independence-UnificationIssue in Taiwan. Journal of Asian and African Studies, Vol 40, no. 1–2.

Purifoy, Lewis McCarroll. 1976. Harry Truman’s China Policy: McCarthyism and theDiplomacy of Hysteria, 1947–1951. New York: New Viewpoints Publishing.

Pye, Lucian. 1992. The Spirit of Chinese Politics. Cambridge: Harvard University Press.Scalapino, Robert A. 1998. Will China Democratize? Current Trends and Future

Prospects. In Christian Soe (ed), Comparative Politics 98/99. Guilford: Dushkin/McGraw-Hill.

Shambaugh, David. 1998. Taiwan’s Security: Maintaining Deterrence Amid PoliticalAccountability. In David Shambaugh (ed), Contemporary Taiwan. Oxford: OxfordUniversity Press.

Shambaugh, David. 2004. Civil-Military Relations in China: Party-Army or NationalArmy?. In Kjeld Erik Brosgaard and Zheng Yongnian (ed), Bringing the Party Backin: How China is Governed. Singapore: National University of Singapore.

Shih, Chih-yu. 2003. Navigating Sovereignty: World Politics Lost in China. New York:Palgrave MacMillan.

Snow, Edgar. 1938. Red Star Over China. New York: Random House.Swaine, Michael. 2004. Tough Love for Taiwan. Foreign Affairs 40 (March–April)Teng-hui, Lee. 1999. Understanding Taiwan: Bridging the Perception Gap. Foreign Af-

fairs 78, no. 6 (November–December).Wang, John and Zeng Yongnian. 2000. The Waning of the Jiang-Zhu Coalition? Singapore:

Singapore University Press.Wang, T. Y. 2001. Cross-Strait Relations After the 2000 Election in Taiwan: Changing

Tactics in a New Reality. Asian Survey vol. 41, no. 5 (September–October).Xinhua News Agency. 18 June, 2004. Terrorism Part on Taiwan Separatist Agenda.Zhang, Jian. 2007. The Influence of Chinese Nationalism on Sino-Japanese Rela-

tions. In Michael Heazle and Nick Knight (ed), China-Japan Relations in The twentyfirst Century: Creating a future Past? Cheltenham: Edward Elgar Publishing.

Zhao, Suisheng. 2000. Chinese Nationalism and Authoritarianism in the 1990s. In

China versus China: Contending Nationalisms in The Twenty First Century Asia

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

271VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Suisheng Zhao (ed), China and Democracy: the Prospect for a Democratic China. NewYork: Routledge.

(Footnotes)1 Zhou Enlai had mentioned the possibility of peaceful “liberation” in 1956, but the

term was generally seen to imply eventual unification by force (Guillermaz, 1976:181).

2 Zhao argues that Chinese nationalism was sparked by foreign invasions (Zhao,2000: 253; Shih, 2003: 84).

3 This narrative endured even though the KMT played a far more instrumentalrole in this than their communist counterparts. KMT contributions to liberationwere largely ignored until 2005 (Chang and Halliday, 2005: 211-213; Chan andBridges, 2006: 135).

4 This evidence intentionally omits contrary evidence. First, that Taiwan’s indig-enous peoples do not have a Chinese mainland origin. Secondly, even if geologi-cal evidence shows a historical linkage between Taiwan and China, this predatesthe Chinese state.

5 This could also be inferred by the broadness of the 1972 Communiqué, in thatboth sides mention the general need to reduce tensions and increase peace inAsia, discussing Korea, India-Pakistan conflict and Indochina almost as much andin similar vague terms as the Taiwan issue. Guillermaz referred to this as bothsides making a “tentative sketch of what East Asia could become.” Guillermaz1976: 549; “Nixon’s China Game,” documentary, WGBH Educational Founda-tion and Ambrica Productions, 2000.

6 Similarly the PRC made similar “acknowledgements” of continued American armssales to Taiwan to quicken the normalisation process. Dennis Van Vranken Hickey,“U.S.-Taiwan Security Ties: Toward the Next Millennium” (paper presented at theconference Taiwan on the Threshold of the 21st Century: A Paradigm Reexam-ined, National Chengchi University, Taipei, Taiwan. 4-5 January, 1999), availableonline at http://www.taiwansecurity.org/IS/IS-Hickey.htm.

7 Democratic reforms in pre-1997 Hong Kong further damage such claims.8 Although Taiwanese may have emotionally supported the Tiananmen demon-

strators, there is no evidence that the ROC supported protestors with money ormaterial (Copper, 2003: 54-55.

9 The ROC would also likely prevent would-be delegates from Taiwan from fillingthese seats as well as this would be explicitly acknowledging the PRC’s conceptionof “one country, two systems.” “China’s Mystery Delegates a Puzzle to Most Tai-wanese,” Taipei Times, 1 March, 2003.

10 David Shambaugh, “Civil-Military Relations in China: Party-Army or NationalArmy?” in Bringing the Party Back in: How China is Governed, ed. Kjeld Erik

Tulus Warsito

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

272JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Brosgaard and Zheng Yongnian (National University of Singapore, 2004), 24.11 An aide to Jiang Zemin stated, “The Taiwan problem will automatically be solved

once China is recognised around the world as on par with the U.S. Can you imag-ine any country daring to sell arms to Hawaii if there was a pro-independencemovement on the island?”; Willy Wo-Lap Lam, “Jiang pulls out all the stops inforeign policy,” South China Morning Post, 25 January, 1999, http://special.scmp.com/chinaat50/Article/FullText_asp_ArticleID-199909282100-12708.html.

12 Since 1991, China has settled border conflicts with six nations and in most re-ceived half or less of the contested territory. In its agreement with Tajikistan,China conceded to only 1,000 of the 28,000 square miles of territory in dispute(Medeiros and Fravel, 2003).

13 While bombing the Three Gorges Dam has been suggested as a means to deterChina, there is no evidence that Taiwan has considered a pre-emptive strike. “NoPlan to Attack Three Gorges Dam: MND,” China Post, June 10, 2004; “ChinaGeneral Threatens War if Taiwan Targets Three Gorges,” China Post, June 17,2004; “Terrorism Part on Taiwan Separatist Agenda,” Xinhua News Agency, 18June, 2004; Peter H. Gleick, “Three Gorges Dam Project, Yangtze River, China,”Water Brief 3, The World’s Water 2008–2009 (2008): 139–150; Wendell Minnick,“Taiwan Continues Cruise Missile Effort,” DefenseNews, 23 March, 2009

14 The call to “liberate” Taiwan and references to Taiwanese compatriots always sug-gested that the majority of the island’s inhabitants were supportive of the PRC.The implication is that the ROC government and other “imperialist” or indepen-dence minded Taiwanese were the source of the conflict.

15 This does not necessarily mean either side expected the ROC to attempt to recap-ture the mainland, only that backed by the U.S. the Nationalists could take moreprovocative actions against the mainland.

16 Article 8 states that “In the event that the ‘Taiwan independence’ secessionistforces should act under any name or by any means to cause the fact of Taiwan’ssecession from China, or that major incidents entailing Taiwan’s secession fromChina should occur, or that possibilities for a peaceful reunification should becompletely exhausted, the state shall employ non-peaceful means and other neces-sary measures to protect China’s sovereignty and territorial integrity.” Embassy ofthe People’s Republic of China in the United States of America website, http://www.china-embassy.org/eng/zt/twwt/t187406.htm.

17 For more on the rise of Taiwanese identity and its relation with the island’s futurestatus vis-à-vis China, see Election Study Center (National Chengchi University)“Taiwanese/Chinese Identification Trend Distribution in Taiwan (1992/06–2009/12),” available online at http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/content/TaiwanChineseID.htm; (Niou, 2005: 91-104).

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

273VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Rezim Kerjasama Sosek MalindoKaltim-Sabah: Mengukur DerajatCompliance Partisipan Perjanjian

AbsractSosek Malindo cooperation is mutual agreement between Indonesia and Malaysia that concentrated in the fieldof socio-economic development in border areas. The main objective of Sosek Malindo cooperation is to improvethe welfare of the people who live in border areas of each country. Sosek Malindo Cooperation produce someagreements, but not all of them can be implemented, because of compliance problems. The failure was caused byseveral factors, among others: the limited authority of the actor, the factor of interest, in managing the agreementSosek Malindo regime does not use persuasive methods. Moreover it has serious implications to the implementa-tion of agreement and actor behavior.Keywords: Compliance, Regime, Sosek Malindo

Sonny SudiarProgram Studi Hubungan Internasional,

FISIP Universitas Mulawarman

PendahuluanKerjasama internasional merupakan salah satu

elemen yang sangat penting dalam pelaksanaankebijakan dan politik luar negeri Republik Indo-nesia. Melalui kerjasama-kerjasama internasionalbaik secara bilateral maupun multilateral, Indone-sia diharapkan dapat memanfaatkan peluang-peluang untuk menunjang dan melaksanakanpembangunan nasionalnya (Direktorat JenderalKerjasama Asean. 2007: i).

Pembangunan memang sebuah keniscayaanyang harus dilakukan untuk alasan kemajuan danperubahan untuk menjadi lebih baik. Dengandemikian pembangunan menjadi sebuah prosesyang senantiasa harus dilakukan oleh setiappemerintahan sebuah negara untuk memperbaikidan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.Gagasan pembangunan pada hakikatnya adalahgagasan mengenai peningkatan taraf hidupmanusia ke tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera,lebih nyaman dan lebih tentram, serta lebih

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

274JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

menjamin kelangsungan hidup masyarakat di hari depan (Husein, 1986: 1).Begitu pun adanya dengan Indonesia, pembangunan mutlak harus terus digalakkan

agar negeri ini dapat terbebas dari masalah ketertinggalan yang terus menghantuinya.Adapun agenda pembangunan yang paling mendesak adalah pembangunan di wilayahperbatasan Indonesia.

Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografisdan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas.Kawasan perbatasan terdiri dari kawasan perbatasan darat dan laut, yang tesebarsecara luas dengan tipologi yang sangat beragam (Kementerian PerencanaanPembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010: 63).

Secara geografis, Indonesia memiliki beberapa wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga, baik berupa daratan maupun lautan (pulau-pulau terluar). Indone-sia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu: India, Malaysia, Singapura,Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Secarakeseluruhan kawasan perbatasan dengan negara tetangga tersebar di 12 (dua belas)provinsi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010: 63).Namun hanya ada 4 (empat) daerah yang memiliki perbatasan darat dengan negara-negara lain, yakni: Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, ProvinsiNusa Tenggara Timur, dan Provinsi Papua (Koespramoedyo dkk, 2003: 1).

Wilayah-wilayah tersebut pada hakekatnya memiliki arti yang sangat vital danstrategis, baik dalam sudut pandang pertahanan-keamanan, maupun dalam sudutpandang ekonomi, sosial, dan budaya. Masing-masing wilayah perbatasan tersebutmemiliki karakter sosial budaya dan ekonomi yang relatif berbeda antara satu denganyang lainnya. Namun secara keseluruhan memperlihatkan adanya fenomena yanghampir sama, yakni adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara In-donesia dengan warga negara tetangga, berupa hubungan-hubungan sosial kulturalsecara tradisional maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi modern(Koespramoedyo dkk, 2003: 1).

Salah satu wilayah perbatasan Indonesia yang mempunyai tingkat aktivitas daninteraksi perdagangan-ekonomi cukup tinggi adalah perbatasan antara ProvinsiKalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Hal tersebut dapat dilihat dari perdagangantradisional yang sudah lama terjadi antar masyarakat di perbatasan Indonesia danMalaysia.

Hubungan kerjasama bilateral dengan Malaysia ini merupakan salah satu kerjasamainternasional yang perlu dimaksimalkan oleh Indonesia sebagai upaya untuk meng-catch up peluang-peluang yang dihasilkan dari proses kerjasama tersebut. Salah satukerjasama bilateral yang terjalin antara Indonesia-Malaysia adalah forum kerjasamaSosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo). Kerjasama ini berkonsentrasipada bidang pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan. Tujuan utama dariperjanjian kerjasama Sosek Malindo adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

275VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

masyarakat yang hidup di daerah perbatasan masing-masing negara.Kerjasama Sosek Malindo pertama kali dimulai pada tahun 1985 di perbatasan

Kalbar-Serawak. Kemudian tahun 1995 di perbatasan Kaltim-Sabah. Setelah memasukitahun yang ke-15 jalinan kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Kaltim-Sabah telahmengalami proses hubungan kerjasama yang sangat dinamis. Banyak programkerjasama yang telah disepakati oleh kedua pihak dalam perjanjian kerjasama SosekMalindo ini.

Dalam dinamika perkembangannya, hingga saat ini terdapat 7 kertas kerja yangtelah disepakati antara Pemprov Kaltim dengan Pemerintah Negeri Sabah, yangmeliputi beberapa bidang kerjasama, yaitu: bidang pembangunan PLBL,pembangunan PLBD, pencegahan dan penanggulangan kegiatan penyelundupan,hubungan sosial-budaya, bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan bidang ekonomi-perdagangan.

Kesepakatan-kesepakatan yang sudah diambil dalam kerjasama tersebut ada yangsudah dapat dilaksanakan, namun ada pula yang masih belum/tidak dapatdilaksanakan, diantaranya adalah kesepakatan pembangunan Pos Lintas Batas Lautdi Sungai Imam Pasir Putih, Tawau, Malaysia dan pembangunan Pos Lintas BatasDarat di Serudong, Malaysia.1

Fakta empirik tersebut tentu saja dapat berpengaruh pada kondisi danperkembangan kehidupan sosial-masyarakat di daerah perbatasan kedua negara.Terdapatnya kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pihak yang bekerjasama inimenunjukkan adanya perilaku yang tidak patuh (compliance problem). Situasi sepertiapa yang sesungguhnya melatarbelakangi terjadinya tindakan non-compliance tersebut.

Gambaran ini mengindikasikan bahwa rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah tidakmemiliki instrumen yang mempunyai kapabilitas untuk mengkondisikan agar setiappartisipan perjanjian internasional mempunyai tanggung jawab dan kewajiban mauuntuk melaksanakan semua kesepakatan yang telah dibuat. Oleh karena itu, prob-lem kepatuhan (compliance problem) dari masing-masing pihak dalam melaksanakansemua hasil kesepakatan menjadi concern utama yang ingin dikaji lebih dalampenelitian ini.

Rezim InternasionalRezim internasional merupakan sebuah konsekuensi logis dari kerjasama

internasional. Rezim biasanya dibuat untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebihefektif mengingat tingkat interdependensi antar aktor yang sangat rumit dan komplek.Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untukmenciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi prosespembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama.

Menurut Stephen Krasner rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisikumpulan prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

276JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

berupa eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentinganaktor dalam hubungan internasional. Seperti yang dinyatakan dalam tulisannya:

International regimes are defined as a set of implicit or explicit principles, norms, rules,and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a givenarea of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude.Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules arespecific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are pre-vailing practices for making and implementing collective choice (Olson & Groom, 1991:198).

Dalam formula lain Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins (1982) menyatakanbahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu: Pertama, rezim mempunyaikemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, normadan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman,ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atauperilaku yang bermoral; Kedua, rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa reziminternasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu,rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yangmelibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yangmendominasi atau yang menjadi prioritas, dan aturan apa yang dapat melindungidari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan; Ketiga, sebuah rezim selalumempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuahnorma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang;Keempat, dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan(aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara.Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan,dan mematuhi aturan yang telah dibuat; Kelima, eksistensi rezim internasional adalahuntuk mencocok nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yangdapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan (Puchala &Hopkins, 1992: 62-63).

Konsep rezim internasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskandan mengukur keberadaan dinamika perjanjian kerjasama Sosek Malindo tingkatdaerah Kaltim-Sabah sebagai rezim internasional yang telah disepakati oleh keduaanggotanya.

Teori ComplianceKonseksuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian internasional adalah

tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

277VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut.Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upayakooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan.

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes telah menegaskan ada 3 (tiga) alasanutama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhiperjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma (Chayes, & Chayes,1995: 4). Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan, antaralain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan dalam perjanjian;kedua, keterbatasan kapasitas partisipan tentu saja sangat berpengaruh pada tingkatkepatuhan terhadap perjanjian; ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat tem-poral dikarenakan perubahan signifikan yang terjadi dalam struktur sosial, sistemekonomi dan kondisi politik.

Dalam studi tentang compliance terdapat dua aliran yang saling bertetangan satusama lain, yaitu: enforcement school dan management school. Menurut aliran enforcementbahwa tindakan non-compliance terhadap perjanjian internasional dapat terjadi dalamberbagai motif. Compliance baru bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai denganadanya sanksi (punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana,karena setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian makadia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran managementjustru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) dapat terjadi tanpa harusmenyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formulasi perjanjian, karena dianggaptidak efektif (Jonsson & Tallberg, 1998: 374).

Permasalahan compliance sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagaipermasalahan pengelolaan (management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforce-ment). Munculnya tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akantetapi lebih disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan dan prioritas kesepakatandalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticatedcontohnya dengan menggunakan metode persuasi. Adapun elemen yang dibutuhkandalam metode ini antara lain: transparency, dispute settlement, capacity building.Keberadaan tiga elemen ini dalam sebuah perjanjian internasional diyakini bisamenstimulan munculnya perilaku compliance (Chayes, & Chayes, 1995: 22-25).

Teori compliance dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur derajatkepatuhan dari masing-masing pihak yang membuat kesepakatan. Lebih lanjut teoriini berupaya untuk menjelaskan dinamika implementasi rezim kerjasama SosekMalindo, serta difungsikan untuk menganalisis prosedur/mekanisme dan strategipengelolaan kesepakatan.

Kondisi Umum di Wilayah Perbatasan KaltimPerbatasan Kalimantan merupakan perbatasan yang saat ini lebih banyak

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

278JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

permasalahannya jika dibandingkan dengan wilayah perbatasan Indonesia lainnya.Secara keseluruhan panjang wilayah Kalimantan yang berbatasan langsung denganNegara Bagian Serawak dan Sabah (Malaysia) lebih kurang 1.200 km. Dari panjanggaris perbatasan tersebut 70,58 persen berada di wilayah Provinsi Kalimantan Baratatau sepanjang lebih kurang 847,3 km dan melintasi 5 (lima) daerah Kabupaten,yaitu: Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, yang meliputi 14daerah kecamatan. Sedangkan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan NegaraBagian Sabah dan Negara Bagian Serawak sepanjang lebih kurang sekitar 850 kmyang meliputi 3 (tiga) daerah Kabupaten yaitu: Kutai Barat, Malinau dan Nunukanyang meliputi 9 kecamatan (Koespramoedyo dkk, 2003: 4).

Kawasan perbatasan Kalimantan Timur meliputi kawasan pantai dan laut dandaratan yang terdiri dari pegunungan. Dengan wilayah Negara Bagian Serawakterdapat pegunungan Iban membujur dari utara ke selatan dan membelok ke barat,di pegunungan Kapuas Hulu. Ada pula pegunungan Batu Ayu, membujur dari timurke barat. Pada bagian utara di Kecamatan Pulau Sebatik berbatasan dengan MalaysiaTimur, sedangkan Kabupaten Nunukan berbatasan laut dengan Kota Tawau. Jarakantara pelabuhan Nunukan dan Pelabuhan Tawau, Negara Bagian Sabah sekitar 30kilometer. Pembangunan ekonomi di kawasan ini belum optimal, aktivitasnyakebanyakan masih bersifat lokal dan tradisional, dan belum berorientasi eksport.Hal ini disebabkan adanya kendala infrastruktur, kelembagaan, terbatasnyapermodalan dan teknologi yang dimiliki, serta masih rendahnya kualitas dan kuantitasSDM setempat (Ishak. 2003: 15).

Dinamika dan Struktur Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-SabahPerdagangan lintas batas yang terjadi di perbatasan Kaltim-Sabah memiliki frekuensi

yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk mengatur lalu-lintas barang (perdagangantradisional) antar masyarakat perbatasan, maka kedua pemerintahan baik RepublikIndonesia dan Kerajaan Malaysia pun membuat sebuah kesepakatan berupa BorderTrade Agreement (BTA) atau “Perjanjian Tentang Perdagangan Lintas Batas antaraPemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Malaysia.” Perjanjian tersebutditandatangani pada tanggal 24 Agustus 1970 di Jakarta. Salah satu isi kesepakatannyaberupa kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia atau disingkat menjadi SosekMalindo.

Adapun visi dari kerjasama Sosek Malindo ini adalah: “Meningkatkan kesejahteraanmasyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju 2020.” Agar visikerjasama ini dapat direalisasikan, maka misi yang dilaksanakan adalah: pertama,menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi kesejahteraanmasyarakat masing-masing daerah; kedua, meningkatkan kerjasama ekonomi yangberkeadilan dan saling menguntungkan serta berorientasi kelestarian lingkungan;ketiga, meningkatkan kerjasama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

279VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

pemberdayaan SDM di kedua daerah perbatasan (Irewati, 2005: 87-88).Lebih lanjut data yang menunjukkan tentang kerjasama perbatasan antara Indo-

nesia dengan Malaysia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1Dinamika Kerjasama Sosek Malindo

Sumber: diolah dari berbagai data sekunder

Tabel di atas menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan antara dua negaraRepublik Indonesia-Malaysia pada awalnya dimulai dengan bidang keamanan padatahun 1967, perjanjian ini kemudian direvisi untuk pertama kali pada tahun 1972,dan direvisi kembali pada tahun 1984. Revisi kedua kerjasama perbatasan antaraRepublik Indonesia-Malaysia mengalami perluasan area cakupan kerjasama hinggamencakup berbagai bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, maka tahun 1985 dibentuk forumkerjasama sosial ekonomi daerah (Sosekda) Provinsi Kalimantan Barat-Negeri Serawak,dan Sosekda Provinsi Kalimantan Timur-Negeri Sabah dimulai sejak tahun 1995(Asaddin, http:www. tastawima.com). Hubungan kerjasama Sosek Malindo tingkatdaerah Kaltim-Sabah yang dimulai sejak tahun 1995 sampai sekarang masih terusberlangsung. Memasuki tahun ke-15 hubungan kerjasama ini mengalami dinamikayang sangat berwarna, dan tentunya banyak sudah program-program kerja yang telahdisepakati dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masingperbatasan di kedua negara.

Forum kerjasama Sosek Malindo ini mengadakan program pertemuan setahunsekali dengan tempat saling bergantian antara Indonesia dan Malaysia. Dalamstrukturnya, Sosek Malindo diketuai oleh General Border Committee (GBC) di masing-masing negara dan untuk Indonesia Ketua GBC dipimpin oleh Panglima TNI. Dibawah struktur GBC tersebut telah dibentuk pula sebuah kelompok kerja (KK) SosekMalindo di tingkat daerah provinsi/peringkat negeri2 yang dimaksudkan untuk:menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama,merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

280JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

ekonomi di wilayah perbatasan, melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, meyampaikanlaporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerjasamapembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan (Koespramoedyo dkk, 2003: 27).

Selain dikoordinasikan oleh Panglima TNI selaku ketua GBC Indonesia, KK SosekMalindo juga melibakan Menteri Luar Negeri masing-masing negara selaku ketuaJoint Committee Meeting (JCM) dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untukmembicarakan kerjasama bilateral dan pengembangan wilayah perbatasanKalimantan antara pemerintah Malaysia dan pemerintah RI. Struktur organisasi SosekMalindo dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1Struktur Organisasi Sosek Malindo

Tujuh Kertas Kerja Sosek Malindo Kaltim-SabahSampai dengan persidangan terakhir KK/JKK Sosek Malindo tingkat daerah

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan peringkat Negeri Bagian Sabah telahbersepakat untuk melaksanakan beberapa program kerja yang bertujuan untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan masing-masing negara.

Adapun program kerja yang disepakati seperti yang tertuang dalam tujuh kertaskerja, yaitu; Kertas Kerja Pos Lintas Batas Laut (PLBL), Kertas Kerja Pos Lintas BatasDarat (PLBD), Kertas Kerja Pencegahan dan Penanggulangan KegiatanPenyelundupan, Kertas Kerja Hubungan Sosial, Kertas Kerja Bidang Pendidikan, KertasKerja Bidang Kesehatan, Kertas Kerja Bidang Ekonomi dan Perdagangan (Asaddin.Sinergitas Pengembangan Potensi. http:www.tastawima.com).

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

281VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Meskipun kedua belah pihak telah berhasil menyepakati tujuh kertas kerja dalamperjanjian kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah Provinsi Kalimantan Timur-NegeriSabah, namun masih ada hasil kesepakatan yang belum/tidak dapat dilaksanakan.Terhambatnya realisasi kesepakatan kerjasama tersebut lebih disebabkan oleh tigakendala utama, yaitu; struktur kerjasama, mekanisme pengambilan keputusankerjasama, fokus dan lingkup lokasi usulan kesepakatan.

Derajat Compliance Partisipan PerjanjianHasil penelitian menunjukkan bahwa 7 (tujuh) kertas kerja yang telah disepakati

dalam perjanjian kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah, setidaknya telah ditemukanada 2 (dua) hasil kesepakatan yang tidak dapat terlaksana secara komprehensif, yaitu:kertas kerja 1: PLBL di Sungai Imam (Malaysia) dan Sungai Lamijung (Indonesia);dan kertas kerja 2: PLBD di Simanggaris (Indonesia) dan Serudong (Malaysia).Sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2Derajat Compliance Dalam Kesepakatan Sosek Malindo Kaltim-Sabah

Sumber: diolah dari berbagai data sekunder

Tidak terlaksananya 2 (dua) kesepakatan seperti yang tertulis pada tabel di ataslebih dikarenakan oleh perilaku pihak Malaysia yang tidak melakukan pembangunandi lokasi yang telah disepakati bersama. Kondisi tersebut tentu saja menunjukkanadanya perilaku non-compliance yang dilakukan pihak Malaysia terhadap hasilkesepakatan. Sementara di lain pihak, Indonesia telah berupaya maksimal untukmematuhi hasil kesepakatan, dengan mewujudkan pembangunan Pos Lintas BatasLaut (PLBL) dan Pos Lintas Batas Darat (PLBD) di lokasi-lokasi yang telah ditentukan.

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

282JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Rampungnya pembangunan PLBL di Sungai Lamijung dan pembangunaninfrastruktur pendukung seperti: jalan, drainase dan jembatan menuju PLBD diSimanggaris yang hingga saat ini masih terus dilakukan adalah bukti keseriusan pihakIndonesia dalam melaksanakan hasil kesepakatan.

Rendahnya derajat kepatuhan (compliance) Malaysia dalam merealisasi hasilkesepakatan bisa jadi karena proyek pembangunan infrastuktur perbatasan bukandari bagian kepentingan prioritas mereka. Sehingga terkesan ada indikasi perilakuyang cenderung menyepelekan proyek-proyek rencana pembangunan infrastrukturtersebut. Argumentasi ini diperkuat oleh bukti-bukti empirik yang terjadi di lapangan,bahwa tidak terdapat kemajuan yang signifikan pada proyek pembangunaninfrastruktur PLBL di Sungai Imam maupun PLBD di Serudong.

Lebih lanjut agar tidak muncul impresi negatif yang berkaitan denganketidakapatuhannya, pihak Malaysia kemudian berupaya untuk mengalihkan isukesepakatan, dengan mencari alternatif solusi atas ditundanya/tidak jadinyapembangunan infrastruktur tersebut. Untuk permasalahan PLBL, pihak Malaysiamembuat penawaran baru dengan membatalkan proyek pembangunan pelabuhanSungai Imam, dan sebagai kompensasinya pihak Malaysia bersedia menaikkan nilaitransaksi perdagangan di Pelabuhan Tawau. Motif yang melatarbelakangi perilakuini tentunya adalah kepentingan ekonomi, karena dengan menaikkan nilai transaksiperdagangan merupakan peluang besar Malaysia untuk memasarkan produknya keIndonesia. Khusus untuk kasus pembangunan fasilitas Pos Lintas Batas Darat (PLBD)di Serudong, setelah melakukan studi kelayakan pihak Malaysia menyimpulkan bahwapembangunan PLBD di lokasi yang sudah disepakati tidak layak untuk dilaksanakanpada masa sekarang, dengan dalih bahwa dana yang dibutuhkan untukpembangunannya sangat besar. Padahal masalah yang sebenarnya terletak padapersoalan restu dari pemerintah pusat, yang menilai proyek pembangunaninfrastruktur di Serudong belum terlalu urgen untuk dilaksanakan sekarang.

Sedangkan pihak Indonesia dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi KalimantanTimur telah berupaya untuk mematuhi semua hasil kesepakatan, dengan memenuhisemua kewajibannya yang telah diamanatkan dalam perjanjian. Ini mengindikasikanbahwa Indonesia adalah partisipan rezim perjanjian dengan derajat kepatuhan (com-pliance) yang tinggi. Namun bukan berarti Indonesia bertindak sempurna dalammentaati perjanjian. Perilaku compliance Indonesia tersebut dapat dinilai sebagai sebuahkepatutan yang harus dilakukan, karena semua tawaran kerjasama yang terangkumdalam 7 (tujuh) kertas kerja tersebut merupakan usulan dari Indonesia. Sehinggabagi Indonesia alasan mentaati hasil kesepakatan selain sebagai upaya untuk mencapaikepentingan nasional, juga untuk alasan tanggung jawab moral selaku pihak yangmengusulkan, serta bentuk kesadaran Indonesia yang memahami bahwa rezim adalahnorma yang harus dipatuhi (pacta sunt servanda).

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

283VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Kegagalan Rezim Sosek Malindo menciptakan Mekanisme ComplianceAdanya hasil kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh salah satu partisipan

perjanjian (dalam hal ini adalah pihak Malaysia) tentu saja tidak lepas dari eksistensirezim kerjasama Sosek Malindo yang tidak mampu menciptakan mekanisme compli-ance dalam strategi pengelolaannya.

Munculnya non-compliance dalam pelaksanakan hasil kesepakatan rezim SosekMalindo Kaltim-Sabah, bukan hanya sekedar kurangnya tingkat kesadaran daripartisipan perjanjian. Akan tetapi juga lebih dikarenakan rezim Sosek Malindo tidakmengadung elemen-elemen mendasar yang dapat mempersuasi partisipan untukmematuhi perjanjian, walaupun tanpa harus menggunakan instrumen sanksi.

Merujuk pada argumentasi management school yang menegaskan bahwa strategiyang paing efektif untuk menciptakan perilaku compliance adalah denganmenggunakan metode/pendekatan persuasi. Metode ini membutuhkan tiga elemenpenting, yaitu: transparency, dispute settlement, capacity building.

Lantas bagaimana dengan keberadaan rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah dalamrangka menciptakan mekanisme compliance tersebut. Strategi apa yang dilakukanagar semua program kerjasama dapat terlaksana. Apakah rezim ini dipatuhi olehpara partisipannya.

Dalam pelaksanaaan hasil kesepakatan transparansi adalah kata kunci bagiterciptanya compliance. Elemen transparansi yang dimaksud dalam rezim adalahdiseminasi informasi tentang performa para partisipan perjanjian. Transparansi dapatmempengaruhi pola interaksi strategis antar partisipan dalam mematuhi (compliance)perjanjian. Elemen ini mampu memfasilitasi ruang kerjasama bagi para aktor untukmembuat kebijakan yang independen dalam norma perjanjian. Transparansi jugamemberikan jaminan kepastian kepada para aktor yang mematuhi perjanjian bahwaaktor lain juga akan melakukan hal yang sama. Dia juga dapat berfungsi sebagaiinstrumen penangkal (deterrence) bagi aktor yang bertindak non-compliance.

Jika diperhatikan dengan teliti dalam rezim kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabahtidak ditemukan elemen transparansi tersebut. Hampir semua butir kesepakatandibuat hanya berdasarkan pada muatan kepentingan masing-masing pihak. Sehinggaketika pada saat dieksekusi, pelaksanaan kesepakatan sering kali mengalami kendalaseperti penundaan dan pembatalan, apalagi jika ternyata hasil kesepakatan tidak terlalumemberikan kontribusi yang signifikan bagi pencapaian kepentingan nasional masing-masing aktor.

Seperti yang terjadi pada hasil kesepakatan tentang proyek pembangunan PLBLdan PLBD yang tidak dipatuhi oleh Malaysia. Padahal di lain pihak, Indonesia secaraoptimal telah menjalankan hasil kesepakatan. Kondisi tersebut mengindikasikanbahwa dalam perjanjian Sosek Malindo Kaltim-Sabah tidak mengandung butirkesepakatan yang dapat menjamin kepastian berjalannya hasil kesepakatan.

Penjelasan selanjutnya menunjukkan bahwa kerjasama Sosek Malindo mempunyai

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

284JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

struktur organisasi yang mapan. Dalam birokrasi organisasi terdapat agenda sidangyang dilaksanakan setiap tahun untuk membicara program-program kerjasamapembangunan di perbatasan, termasuk juga mendiskusikan perbedaan-perbedaanantara Indonesia dan Malaysia.

Namun titik persoalannya terletak pada struktur organisasi Sosek Malindo iniyang memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang sangat rumit dan panjang.Membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang untuk bisa menghasilkansebuah kebijakan atas permasalahan tertentu.

Terhambat dan tertundanya realisasi dari program-program kerjasama yangdisepakati dalam perjanjian Sosek Malindo disebabkan oleh mekanisme pengambilankeputusan yang panjang tersebut. Hal ini tentu saja memperlambat proses realisasihasil kesepakatan Sosek Malindo di tingkat daerah seperti yang juga dialami olehKaltim dan Negeri Sabah. Akibat dari mekanisme pengambilan keputusan yangpanjang tersebut berdampak pada manajemen compliance rezim, yang semestinya dapatterlaksana pada waktu yang telah direncanakan tapi harus tertunda karena harusmenunggu restu dan persetujuan dari struktur sidang organisasi yang lebih tinggi.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa keterbatasan kapasitas partisipan dalamperjanjian internasional dapat menjadi kendala yang serius pada tataran implementasikesepakatan. Limited capacity yang dimaksud adalah dalam hal kemampuan teknis,kapabilitas birokrasi, dukungan finansial, termasuk juga kewenangan. Kendalaketerbatasan kapasitas ini dapat mempengaruhi mekanisme compliance pada sebuahrezim.

Berkaitan dengan rezim Sosek Malindo Kaltim-Sabah, yang menjadi kendala utamaadalah terbatasnya wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi KalimantanTimur dan Pemerintah Negeri Sabah. Kedua belah pihak menyadari bahwa bidang-bidang kerjasama yang disepakati dalam forum KK/JKK Sosek Malindo TingkatProvinsi Kaltim dan Negeri Sabah cenderung terlalu melebar dan melampauikewenangan yang dimiliki oleh kedua belah pihak.

Untuk isu pembangunan PLBL dan PLBD masing-masing pihak memang harusmenunggu persetujuan dari pemerintah pusat karena memang merupakan domainkewenangan pemerintah pusat. Tidak terlaksananya kesepakatan pembangunan PLBLdan PLBD yang ada di wilayah perbatasan Malaysia dikarenakan pemerintah pusatKuala Lumpur tidak memberikan restu/persetujuan. Sangat tidak mungkin memangbagi pemerintah Negeri Sabah untuk melanjutkan proyek pembangunan PLBL danPLBD tanpa dukungan dari pemerintah pusat. Kondisi inilah yang mempengaruhimekanisme compliance dalam implementasi rezim kerjasama Sosek Malindo.

Implikasi Kegagalan Terhadap Hasil Kesepakatan dan Perilaku AktorKegagalan rezim perjanjian kerjasama Sosek Malindo dalam menciptakan

mekanisme compliance tentu saja berimplikasi serius terhadap pelaksanaan hasil

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

285VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

kesepakatan. Implementasi program-program kerjasama pembangunan di daerahperbatasan dalam kerangka Sosek Malindo Kaltim-Sabah sering mengalami beberapahambatan serius. Program kerjasama yang sudah dirancang dan sudah disepakatisecara bersama-sama oleh kedua belah pihak tidak dapat berjalan secara efektif karenaadanya compliance problem.

Implikasi yang paling serius adalah tidak terpenuhinya beberapa hasil kesepakatan,seperti: tidak terrealisasinya rencana pembangunan PLBL di Sungai Imam, Malaysiadan pembangunan PLBD di Serudong, Malaysia. Dengan tidak terrealisasinya 2 (dua)hasil kesepakatan tersebut, maka dapat berpengaruh pada proses pelaksanaan pro-gram kerjasama yang lain.

Ketidakmampuan rezim kerjasama Sosek Malindo untuk menciptakan mekanismecompliance dalam strategi pengelolaannya tidak hanya mempengaruhi efektifitaspelaksanaan program hasil kesepakatan kerjasama, akan tetapi juga berimplikasi padaperilaku masing-masing pihak yang memformulasi kesepakatan kerjasama. PerilakuIndonesia jauh lebih patuh dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia menjalankansemua hasil kesepakatan sementara Malaysia tidak menjalankan beberapa hasilkesepakatan.

KesimpulanIsu pembangunan di daerah perbatasan memang telah menjadi perhatian yang

sangat serius pada level nasional. Bagi pemerintah Republik Indonesia pembangunandi daerah perbatasan berkaitan erat dengan misi pembangunan nasional, terutamauntuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan dan keamanannasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mewujudkankepentingan tersebut, maka strategi yang dibutuhkan oleh pemerintah RepublikIndonesia adalah dengan menjalin kerjasama internasional.

Salah satu kerjasama internasional yang dilakukan adalah Sosek Malindo.Kerjasama Sosek Malindo merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yangmemiliki makna strategis bagi kedua negara dalam upaya untuk mempercepat prosespembangunan di daerah perbatasan masing-masing negara.

Dalam perkembangannya kerjasama Sosek Malindo tingkat daerah KalimantanTimur dan peringkat Negeri Sabah menyepakati 7 (tujuh) kertas kerja yang meliputi:pembangunan PLBL, pembangunan PLBD, pencegahan dan penanggulangankegiatan penyelundupan, hubungan sosial, bidang pendidikan, bidang kesehatan,bidang ekonomi dan perdagangan. Namun ada dua kertas kerja yang tidak terlaksanadengan sempurna, yaitu: kesepakatan tentang pembangunan PLBL di Sungai Imamdan PLBD di Serudong.

Tidak terlaksananya 2 (dua) kesepakatan tersebut merupakan bentuk tindakannon-compliance yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Perilaku Malaysia ini ditengaraiadanya motif kepentingan. Bagi Malaysia membangun infrastruktur perbatasan berupa

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

286JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

fasilitas PLBL dan PLBD bukan merupakan bagian dari kepentingan prioritas.Sementara di lain pihak, Indonesia telah memenuhi semua hasil kesepakatankerjasama termasuk membangun fasilitas PLBL di Sungai Lamijung dan PLBD diSimanggaris. Perilaku compliance ini telah dibuktikan dengan merampungkan proyekpembangunan pelabuhan Sungai Lamijung yang ditetapkan sebagai PLBL di wilayahperbatasan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga terus meningkatkan kualitaspembangunan infrastruktur pendukung (seperti: jalan, jembatan, drainase) yangmenuju ke arah PLBD di Simanggaris.

BibliografiAsaddin, Fuad. 2010. Hasil Pelaksanaan Rapat Teknis. (Online), (http:www.

tastawima.com, diakses 26 Juli 2010).Asaddin, Fuad. 2010. Sinergitas Pengembangan Potensi. (Online), (http:www.

tastawima.com, diakses 26 Juli 2010)Asaddin, Fuad. 2010. TOR Kerjasama Sosek Malindo perlu disempurnakan. (Online),

(http:www. tastawima.com, diakses 25 November 2010)Banyu Perwita, Anak Agung & Yayan Gani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional. Bandung: Rosda.Bappeda Kab. Nunukan. 2008. Profil Kabupaten Nunukan 2008. Pemerintah

Kabupaten NunukanBappeda Provinsi Kaltim. 2009. Laporan Perkembangan Kerjasama Sosial Ekonomi Ma-

laysia-Indonesia (Tingkat Daerah Kalimantan Timur-Peringkat Negeri Sabah. PemerintahProvinsi Kalimantan Timur.

BPS Kab. Nunukan. 2009. Kabupaten Nunukan Dalam Angka 2009. PemerintahKabupaten Nunukan.

Carlsnaes, Walter .Thomas Risse & Beth A. Simmons. 2002. Handbook of Interna-tional Relations. London: SAGE Publication.

Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes. 1993. On Compliance. Dalam Interna-tional Organization. Vol. 47 No.2 (Spring). University of Wisconsin Press, The MITPress. (Online). (http:www.jstor.org)

Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes. 1995. The New Sovereignty: Compliancewith International Regulatory Agreement. London: Harvard University Press.

Cheboud, Elias & Hanafi Rais. 2010. Materi Perkuliahan Research Method. Tidakdipublikasikan.

Direktorat Jenderal Kerjasama Asean. 2007. Asean Selayang Pandang. DepartemenLuar Negeri RI, Jakarta.

Farouk Ishak, Awang. 2003. Membangun Wilayah Perbatasan Kalimantan Dalam RangkaMemelihara dan Mempertahankan Integritas Nasional. Jakarta: Sinar Grfika.

Haas, B. Ernst.1982. Word can hurt you; or, who said what to whom about regimes.Dalam International Regimes. London: Cornell University Press.

Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance Partisipan Perjanjian

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

287VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Husein, Machnun. 1986. Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta:CV. Rajawali.

Irewati, Awani. 2005. Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara:Ilegal Logging di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dalam Jurnal Politik,Vol.2 No. 1. Jakarta: LIPI.

Jonsson, Christer & Jonas Tallberg. 1998. Compliance and Post Agreement Bargain-ing. Dalam European Journal of International Relations. London: SAGE Publications.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. RPJNM 2010-2014, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta.

Koespramoedyo, Deddy dkk. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah PerbatasanKalimantan. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus & Tertinggal DeputiBidang Otonomi Daerah & Pengembangan Regional BAPPENAS, Jakarta.

Krasner, D. Stephen. 1984. International Regimes. London: Cornell University Press.Mingst, Karen. 1999. Essentials of International Relations. New York & London: Norton

& Company.Murray, Neil & Geraldine Hughes. 2008. Writing Up Your University Assignment and

Research Projects: A Practical Handbook. New York: MacGraw Hill, Open UniversityPress.

Olson, C. Olson & A.J.R. Groom. 1991. International Relations Then and Now: Ori-gins and trends in interpretation. London: HarperCollins Academic.

Puchala, J. Donald & Raymond F. Hopkins. 1992. International regimes: lessonsfrom inductive analysis. Dalam International Regimes. London: Cornell UniversityPress.

Risalah Sidang ke-15 JKK/KK Sosek Malindo Peringkat Negeri Sabah-Tingkat DaerahKalimantan Timur.

Siburian, Robert. 2004. Kondisi Perkonomian Masyarakat Perbatasan: Entikong danNunukan. Dalam Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XXX,No. 2. Jakarta: LIPI.

Singarimbun, Irawati. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES.Wolfer, Loreen. 2007. Real Research: Conducting and Evaluating Research in the Social

Sciences. Boston: Pearson Education Inc.Young, R. Oran. 1982. Regime dynamics: the rise and fall of international regimes.

Dalam International Regimes. London: Cornell University Press.

WawancaraAdri Patton, Prof.DR. (Kepala BPKPPDT Provinsi Kalimantan Timur)Fuad Asaddin, M.Si (Kabiro Perbatasan Penataan Wilayah Prov. Kaltim)Hanafiah, SE (Kepala BAPPEDA Kabupaten Nunukan)Loiseana Benito, dr (Dokter Umum Puskesmas Sungai Nyamuk, Sebatik Induk)Putu Eko Prasetyo (Kasi Penindakan, Penyidikan Bea & Cukai, Kab. Nunukan)

Sonny Sudiar

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

288JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

Rahmad, drg (Kepala Puskesmas Sungai Nyamuk, Sebatik Induk)Rinsan Siagian (Kasi Perbendaharaan Bea & Cukai, Kab. Nunukan)Samsul, SH (Kasubbag Kerjasama Perbatasan Kabupaten Nunukan)

(Footnotes)1 Keterangan ini disampaikan oleh Samsul, SH (Kasubbag Kerjasama Perbatasan

Pemerintah Kabupaten Nunukan), hasil wawancara pada tanggal 10 November2010

2 Untuk KK. Sosek Malindo Tingkat Daerah Provinsi Kalimantan Timur diketuaioleh Prof.DR.Adri Patton, M.Si (Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan,Pedalaman dan Daerah Tertinggal) yang baru saja menjabat menggantikan Drs.Abdussamad (Mantan Asisten I Sekprov. Kaltim) yang memasuki masa jabatanpensiun. Sedangkan untuk JKK Sosek Malindo Peringkat Negeri Sabah diketuaioleh Yang Berbahagia. Datuk Maznah BTE Abdul Ghani (Timbalan SetiausahaKerajaan (1) Negeri Sabah.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

289VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Sistem Pasca Westphalia, InteraksiTransnasional dan Paradiplomacy

AbstractUnderstanding world history will lead to understand world life today. World politics or international relationsexperiences many periodical momentums along the centuries, from barbarian to institutionalized system inWestphalia Treaty, with a lot of historical facts such as colonialism, world wars and cold war. The further periodis from Westphalian system to post Westphalian system, where international societies have changed dramatically.This article will explores the new world system nowadays, and the responds of local actors in transnationalrelations.Key words:

Takdir Ali MuktiJurusan Ilmu Hubungan Internasional,

Universitas Muhammadiyah [email protected]

PendahuluanKetika Peer Schouten mengajukan pertanyakan

kepada Joseph Nye Jr.: ’Dalam dunia internasionalseperti apa, kita hidup saat ini?’, Nye menyatakanbahwa dewasa ini kita hidup di jaman hibrid.Sebagian dari dunia kita yang positif-normatif, sertaberbasis pada ’kedaulatan negara’ adalah ’doktrin’Westphalian, sedangkan di bagian lain adalah modelpost-Westphalia, yang di dalamnya aktor-aktortransnasional dan norma-norma hukum huma-niter internasional menerabas melintasi batas-bataskedaulatan negara. Kedua bagian ini tampaknyamasih akan terjadi untuk beberapa dekade kedepan, sehingga analisis positif dan normatif yangbaik akan mencakup keduanya (Schoulten, 2008).

Perjanjian Westphalia atau The Peace of West-phalia atau The Westphalia Treaty, tahun 1648, diJerman, mengakhiri Perang Eropa selama 30tahun, berhasil memancangkan tonggak sejarahbernegara secara modern dalam konsep nation-statedan menjadi permulaan bagi terjadinya sistemhubungan internasional secara modern, yangdisebut sebagai Westphalian System (Osiander, 2001).Doktrin Westphalian hasil dari perjanjian ini

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

290JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak untukmenentukan nasib sendiri suatu bangsa, kemudian prinsip kesamaan di depan hukumbagi setiap negara, dan prinsip non-intervensi atas urusan internal negara lain.Sebagaimana dikatakan oleh Watson bahwa Perjanjian Westphalia melegitimasipersemakmuran negara-negara berdaulat, yang menandai kemenangan negara dalammengendalikan masalah-masalah internalnya, dan menjaga kemerdekaannya secaraekternal. Perjanjian ini banyak melahirkan aturan dan prinsip politik bagi negara-negara baru (Watson, 2009). Fakta historis tentang prinsip bernegara secara moderndalam The Westphalia Treaty ini bagi para penstudi ilmu hubungan internasional,terutama kalangan teoritisi realis-tradisionalis, dianggap merupakan titik awalterjadinya studi ilmu hubungan internasional modern.

Gugatan terhadap pendekatan para realis-tradisionalis tak terbendung lagi seiringdengan semakin menyatunya sistem ekonomi dunia yang ditunjang dengan penyatuansistem teknologi informasi dalam jaringan yang bersifat world wide. Demikian puladengan perilaku masyarakat internasional yang semakin fleksibel, baik secarainstitusional maupun individual, untuk melakukan interaksi yang bersifattransnasional, dimana aktor-aktor pemerintahan lokal pun secara langsung ikutberinteraksi dengan pihak asing dalam kapasitasnya selaku sub-state actors, atau apayang lebih dikenal sebagai paradiplomacy. Pertanyaannya adalah, bagaimana gambaranriil konstruksi hubungan antarbangsa saat ini, dan bagaimana aktor-aktor lokal dalammerespon interaksi transnasional itu?

Hubungan dan Kerjasama Internasional Dewasa IniPara teoritisi konstruktivis dan praktisi hubungan internasional dewasa ini, lebih

melihat bahwa era Westphalian Doctrines telah tidak relevan lagi dalam pergaulanmasyarakat dunia yang sangat interns dan terbuka seiring dengan kemajuan teknologiinformasi. Andreas Osiander menyatakan bahwa Westphalian System dengan konsepkedaulatannya sebagai pilar utama, telah menjadi perdebatan secara internasional.Pertanyaan mengenai apakah pilar-pilar sistem Westphalia telah rapuh saat ini, dansistem internasional dewasa ini sedang bergerak ke arah beyond Westphalian (Osiander,2001 253)

Gugatan atas relevansi juga sangat terasa di tempat asal dari doktrin Westphaliatersebut, yakni di Eropa, yang telah mengarah pada terbentuknya masyarakat UniEropa yang menyatu secara ekonomi, politik dan kultural. Hal ini tergambar jelasdalam pidato Sekretaris General NATO, Dr Javier Solana dalam Symposium on thePolitical Relevance of the 1648 Peace of Westphalia, di Mnster, German, 12 November1998, yang mengatakan bahwa:

“It is my general contention that humanity and democracy - two principles essentiallyirrelevant to the original Westphalian order - can serve as guideposts in crafting a newinternational order, better adapted to the security realities, and challenges, of today’s

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

291VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Europe. The Westphalian Peace, signed here in Mnster, was the first all-Europeanpeace after the first all-European war. It has shaped our thinking about the structure ofthe international system, and thus about war and peace, perhaps more than any othersingle event in the last 350 years. Yet the Westphalian system had its limits. For one, theprinciple of sovereignty it relied on also produced the basis for rivalry, not community ofstates; exclusion, not integration. In the end, it was a system that could not guaranteepeace. Nor did it prevent war, as the history of the last three centuries has so tragicallydemonstrated.” (Nato, 1998)

Solana berpandangan bahwa prinsip humanitas dan demokrasi merupakan duaprinsip yang secara esensial tidak relevan terhadap order Westphalia, lebih bisadiadopsi untuk menjadi acuan dalam membangun sistem internasional yang baru,sebab sistem Westphalia mengandung sejumlah kelamahan. Sistem Westphaliadibangun di atas fondasi kedaulatan mutlak sebuah negara yang memunculkan rivalitassatu sama lain, dan tidak menciptakan sebuah komunitas negara-negara ataukomunitas internasional yang damai. Kedaulatan adalah sebuah esklusi sehingga tidakberfungsi intergrasi. Pada akhirnya, sistem Westphalia tidak mampu menjaminkeamanan sebagaimana yang terjadi selama tiga abad lamanya.

Mengapa Eropa menjadi sangat merasakan pergeseran sistem Westphalia ini,bahkan untuk yang pertama kalinya dibandingkan dengan belahan dunia yang lain?Hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dramatis kerjasama ekonomi Eropayang kemudian tumbuh menjadi Uni Eropa seperti sekarang ini, dimana batas-batasnegara menjadi sangat kabur, dan bahkan oleh sebagian besar penduduknya dianggapsebagai ’pengganggu yang merepotkan’ mobilitas mereka saja. Intergrasi Eropamemunculkan gejala yang secara prinsip berlawanan dengan semangat Westphalian,yakni sebuah proses de-bordering the world of states, sebagaimana dikatakan olehHüsamettin Inanc dan Hayrettin Ozler:

‘Declining transaction costs and cost of organizational connections across national bound-aries have increased the flow of information, capital, service, goods and people aroundthe globe. This so-called globalization phenomenon is expected to close the gap betweencultural, economic and political differences. Yet globalization does not always meanassociation between national political and economic societies or the emergence of aglobal society. The fact seems to be rather a process of ‘de-bordering the world of states’in which the governments or the nation states diffuse to or ‘share’ their exclusive policy-making power with some international and sub-national actors. This conception signalsthe emergence of a novice political order beyond so-called the Westphalian system.’(Inanc dan Ozler, 2007)

Dalam pandangan Inanc dan Ozler, fenomena globalisasi yang terjadi karenapeningkatan arus informasi, modal, layanan dan lalu lintas orang dan barang,

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

292JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

diharapkan dapat menutup kesenjangan diantara perbedaan-perbedaan budaya, politikdan ekonomi antar bangsa, meskipun globalisasi tidak selalu berarti terjadinyakesatuan secara ekonomi dan politik masyarakat suatu negara. Fakta menunjukkanbahwa globalisasi lebih merupakan proses de-bordering atau proses peniadaan batas-batas negara diantara bangsa-bangsa di dunia, dimana negara-negara melakukan shareatas otoritas esklusive pembuatan kebijakannya dengan aktor internasional dan jugadengan aktor-aktor sub-nasionalnya. Konsepsi tersebut memunculkan sebuah tatananpolitik baru di luar apa yang biasa disebut sebagai Sistem Westphalia.

Tatanan pasca sistem Westphalia yang cenderung mengabaikan batas negaraatau de-bordering ini mendobrak pengertian ’hubungan internasional’ kovensionalmenjadi ’hubungan transnasional’ yang lebih kompleks, dan dalam batas-batastertentu lebih partisipatif, sekaligus mengandung potensi konflik. Pemaknaan istilah’international relations’ yang berarti hubungan ’antar bangsa’ (inter-nation), menjadikurang mewadahi aktor-aktor ’non-negara’ (non-nation/state). Dalam kajian ini,Robert C. Keohane memberikan kontribusi terbesar dalam pengembangan teoritistransnasionalisme sejak tahun 1970-an. Dia secara kreatif tidak terjebak dengan issudunia yang mainstream saat itu yakni Perang Dingin, namun pemikirannya merambahdunia lain yang lebih luas dan dan lebih realistis untuk membangun sebuah fondasikompleks perdamaian dunia. Keohane memfokuskan karyanya pada issu-issu barutentang ekonomi politik dunia yang menggeser masalah keamanan internasional,issu tentang aktor-aktor baru dalam hubungan antar bangsa yang tidak lagi ’statecentric’, tapi berbagai aktor transnasional, issu tentang bentuk-bentuk interaksiinternasional baru yang tidak lagi ’interstate relations’, melainkan transnasional dan’transgovernmental relations’, issue tentang hasil-hasil baru dari kerjasama internasionalyang tidak hanya berbicara tentang konflik antar bangsa, issu tentang struktur institusiinternasional baru yang tidak sepenuhnya anarkhis, yang dia hepothesiskan secaraprovokatif bahwa struktur internasional baru itu akan kokoh setelah menurunnyahegemoni Amerika Serikat (Moravcsik, 2009).

Pemikiran Keohane tersebut merupakan kritikan terhadap pendekatan realismepolitik internasional yang sangat dominan pada waktu itu, dimana hubunganinternasional digambarkan penuh dengan anarkhisme dan kecenderungan untukber-konflik. Keohane menemukan celah untuk membangun fondasi teoritik tentangstruktur intitusi dan hubungan internasional yang lebih memberi peluang untukberkembangnya hubungan damai antar bangsa. Dia berkeyakinan bahwa dengansemakinbermunculannya aktor-aktor baru dalam hubungan trasnasional, terutamaterkait dengan issu-issu ekonomi-politik internasional, hubungan antarbangsa akanlebih cenderung untuk tidak bersifat konfliktual, tetapi hubungan yang salingmemberi keuntungan atau positive sum.

“The more fundamental implication of the existance of transnational relations is thefollowing: State preferences about the management of world politics are a potentially

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

293VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

positive-sum variable, rather than a zero sum constant, as realists had claimed.”(Moravcsik, 2009)

Keohane sangat mengapresiasi konsep tentang managemen konflik internasionalyang diungkapkan oleh Thomas Schelling sebagai Strategy of Conflict, di mana cara-cara pemaksimalan potensi kerjasama internasional, secara rasional, akan dapatdicapai oleh para aktor hubungan internasional, dengan mengesampingkan pilihanuntuk berkonflik. Keohane berpendapat bahwa regim atau tatanan internasionaladalah sangat berharga bagi pemerintahan/negara-negara bukan karena mereka bisamemaksakan ikatan atas negara lainnya, melainkan karena mereka secara sadarmelihat kemungkinan bagi pemerintahanya untuk membuat kesepakatan-kesepakatanyang saling menguntungkan satu sama lain. Mereka akan memberdayakan pemerintahmereka daripada membelenggunya.

Kontribusi pemikiran Keohane yang kedua setelah optimisme positive-sum dalamhubungan transnasional ini adalah, bahwa hubungan kekuatan antar negara terbentukbukan karena kepemilikan sumber-sumber kekuatan yang koersif, tetapi terbentukdari keadaan yang asimetris terkait isu spesifik dalam hubungan yang saling bergantungantar bangsa. Dalam hubungan saling bergantung yang asimetris, semakin banyaksumber daya dimiliki oleh suatu negara, maka ia akan semakin kuat, namunsebaliknya, makin sedikit yang dimiliki, maka semakin lemahlah negara itu. Bargain-ing relations mungkin bisa relatif simetris seperti dalam kasus Jerman dan Perancis,dan mungkin juga menjadi asimetris misalnya antara Amerika Serikat dan Guate-mala di masa yang lalu.

Kontribusi pemikiran dari Keohane yang ketiga dalam teori transnasional adalah,mengenai peranan informasi sebagai elemen dasar dalam sistem internasional. Diaberpendapat bahwa, variasi dari sifat dasar dan distribusi informasi adalah suatu variabelsistemik dalam hubungan internasional (world politics) yang membantu menjelaskankemampuan bangsa-bangsa dalam mengatasi masalah aksi-aksi bersama. Denganmemahami secara akurat peran yang dimainkan oleh kuantitas, kualitas dan distribusidari informasi, maka kita dapat memahami dengan baik perilaku negara dalamhubungan internasional, daripada model pemahaman yang hanya mempreferensikangagasan-gagasan tentang kekuatan (militer) dan strategi (Moravcsik, 2009).

Lebih jauh, Keohane mengidentifikasi ada lima dampak dari terjadinya interaksitransnasional, yakni, pertama, terjadinya attitude change atau perubahan sikap, di manainteraksi antar masyarakat, individu secara langsung antar bangsa akan memberikanalternative sikap dan opini yang berbeda pada setiap orang. Demikian pula denganjaringan komunikasi transnasional yang ditransmisikan secara elektronik baik dalambentuk kata-kata, maupun gambar, akan mendorong terjadinya perubahan sikaptersebut. Kedua, terjadinya international pluralism. Yang dimaksud dengan tumbuhnyapluralisme internasional ini adalah semakin eratnya link-link jaringan antar kelompok

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

294JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

kepentingan yang berbasis nasional yang mengembangkan jaringan ke tingkattransnasional, dan biasanya dengan melibatkan organisasi transnasional untuk peng-koordinasiannya. Ketiga, terbentuknya dependence and interdependence terutama yangterkait dengan transportasi dan keuangan internasional. Intergrasi sistem keuangansuatu negara ke dalam sistem keuangan global merupakan praktek dependency yangtidak dapat dipungkiri saat ini, sebab keterasingan dalam sistem keuangan ini dapatberakibat sangat serius bagi suatu negara. Sedangkan, kesalingtergantungan dapatdilihat dari kebijakan internasional terkait dengan lingkungan hidup dan global warm-ing. Keempat, peningkatan sikap dari beberapa pemerintah dari negara tertentu untukmempengaruhi negara lainnya. Di sini, interaksi transnasional dimanfaatkan olehnegara-negara tertentu untuk tujuan-tujuan politik, misalnya pariwisata internasionaldigunakan untuk aktifitas spionase, atau menanamkan rasa simpatik kepada etnistertentu di negara lain, atau bahkan penumbuhan rasa simpatik terhadap agamatertentu, adalah contoh-contoh bagaimana melakukan penetrasi negara secara infor-mal. Kelima, munculnya aktor-aktor otonom ‘non-state’ dalam hubungan internasionaldengan membawa corak kebijakan luar negeri ‘swasta’ atau ‘private foreign policies’yang kemungkinan akan bertabrakan dengan kepentingan/kebijakan negara ataupaling tidak terdapat ketidak sinkronan dengan kebijakan negara. Aktor-aktor iniantara lain kongsi dagang internasional (trade unions), dan MNCs (Keohane dan Nye,1971).

Sifat hubungan internasional yang bercorak transnasional ini memang menjadikecenderungan dunia setelah munculnya era globalisasi, maka tidak mengherankanjika pemikir seperti Quincy Wright memaknai hubungan internasional denganpengertian yang sangat luas dan tidak terkungkung dengan pemikiran yang state-centris. Q. Wright menyatakan bahwa hubungan internasional melibatkan berbagaiaktor, antara lain:

“…varied types of groups- nation states, governments, peoples, regions, alliances, con-federations, international organizations, even industrial organizations, cultural organi-zations, religious organization…” (Wright, 1998).

Dengan beragamnya aktor hubungan internasional, baik state actors atau non-stateactors, institusi maupun individu, serta kompleksnya interaksi transnasional yang terjadidi dalamnya, maka Keohane selaku peletak dasar-dasar pemikiran teoritis tentangtransnasionalisme lebih memilih istilah ‘world politics’ daripada ‘international relations’,dengan makna yang lebih dinamis dan luas (Keohane, 2003).

Pemikiran Thomas C. Schellings tentang Theory of Interdependent DecisionsPemikiran Thomas C. Schelling tentang teori keputusan yang saling bergantung

atau “The Theory of Interdependent Decisions”, yang untuk selanjutnya disingkat TID,secara khusus mendapat apresiasi dari Robert Keohane seperti telah disinggung

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

295VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

sebelumnya. Keohane sependapat dengan Schelling bahwa secara rasional dalaminteraksi transnasional para aktor akan mengambil tindakan atau aksi yang bersifatpositive sum. Teori ini terdapat variasi nama-nama sebutan lain, seperti Schelling’s Bar-gaining Theory, Strategic Theory, dan The Strategy of Conflict. Penulis secara sadar lebihmemilih menggunakan sebutan “Theory of Interdependent Decisions” sebab istilah inilahyang diberikan oleh pencetusnya, yaitu Thomas C. Schellings sendiri (Dougherty, 1982).

Sebelum mengkaji teori ini secara lebih jauh, terlebih dahulu akan dedefinisikanapa yang dimaksud dengan ‘Interdependent’. Menurut Richard Rosecrance dan ArthurStein, pengertian istilah ini adalah :

“Interdependence, in the most general sense, as consisting of a relationship of interestssuch that if one nation’s position changes, other states will be affected by that change”(Dougherty, 1982, hal 137).

Adapun yang dimaksud dengan decisions dalam tesis ini adalah kebijakan yangdiambil oleh para aktor hubungan internasional baik itu daerah otonom maupunpihak asing (IGO, INGO ataupun aktor-aktor lain). Kebijakan yang dipilih inimerupakan keputusan yang diambil di antara alternatif-alternatif kebijakan lain yangcukup mendapat dukungan dari komunitas yang melingkunginya. Kebijakan ini harusbersifat responsif terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungan internasionalyang melingkupinya. “Decisions” dalam hal ini disejajarkan dengan pengertian “OutPut” sebagaimana dimaksud oleh David Easton dalam teori sistemnya (Easton dalamMas’oed, 1991).

Setelah mendefinisikan istilah-istilah pokok di atas, sampailah kini padapembicaraan mengenai inti dari Teori Keputusan Yang Saling Bergantung ini. MenurutSchellings, “Theory of Interdependent Decisions” (TID) ini mendasarkan diri padapemikiran bahwa :

“takes conflict for granted, but also assumes common interest between the adversaries;it assumes a ‘rational’ value-maximazing mode of behaviour; and it focuses on the factthat each participant’s ‘best’ choice of action depends on what the expects the other todo, and that ‘strategic behaviour’ is concerned with influencing another’s choice byworking on his expectation of how one’s own behaviour is related to his” (Dougherty,1982, hal 527).

Terpapar jelas di sini, bahwa TID dilandaskan pada asumsi bahwa inheren dalamsuatu konflik sebagaimna adanya, terdapat pula kepentingan bersama (common inter-ests) di antara pihak-pihak yang terlibat, yang dianggap sebagai suatu bentukpemaksimalan nilai rasional dari perilaku mereka yang bisa dicapai. Atau dengankata lain, “common interests’ itu merupakan hasil upaya maksimal yang rasional gunamengakomodasikan konflik yang sedang terjadi di antara para aktor hubunganinternasional. Pandangan ini berdasar pada kenyataan bahwa pilihan kebijakan terbaik

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

296JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

dari setiap perilaku partisipan (aktor-aktor) adalah sangat tergantung dari apa yangmereka harapkan dari pihak lain. Pilihan kebijakan itu dimaksudkan pula untukmempengaruhi agar perilaku pihak lain sesuai dengan yang diharapkan.

Ada dua pokok pikiran penting dalam teori ini. Pertama, TID memandang konflikbukan semata-mata sebagai saling bersaing atau saling mengancam diantara pihak-pihak yang terlibat saja, tetapi lebih merupakan suatu fenomena yang kompleks,yang di dalamnya antagonisme dan kerjasama sering berinteraksi secara samar dalamhubungan yang berlawanan. Pikiran Schelling ini merefleksikan suatu keyakinanbahwa dalam sebagian besar konflik internasional, misalnya masalah persaingansumberdaya ekonomi luar negeri, penyelesaian yang bersifat zero sum game adalahtidak relevan.

Pokok pikiran kedua dari TID adalah teori ini memandang bahwa penyelesaianyang bersifat rasional (kalkulatif) merupakan suatu tindakan yang pantas dan harusdiupayakan semaksimal mungkin, meskipun, dalam berbagai kasus tidak semuapenyelesaian dapat bersifat rasional. Dalam hal ini Schelling mengatakan :

‘It is not a universal advantage in situations of conflict to be inalienablyand manifestlyrational in decision and motivation…It is not true, as illustrated in the example ofextortion, that in the face of threat, it is invariably an advantage to be rational, particu-larly if the fact of being rational or irrational cannot be concealed’ (Dougherty, 1982,hal. 529).

Nyatalah kiranya bahwa rational decision tidak selalu terdapat dalam setiappenyelesaian konflik ataupun pembuatan keputusan ketika menghadapi ancaman.Penyelesaian rasional harus tetap diupayakan terlebih dahulu sebagaimana diyakinisendirti oleh Schelling terutama untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu sepertikonflik/masalah ekonomi yang menuntut rasionalitas yang tinggi.

Sumbangan terbesar dari TID dalam menyelesaikan masalah-masalah internasionalantara para aktor hubungan antarbangsa adalah perlunya menghindarkanpenyelesaian konflik internasional secara extrem atau frontal. Formulasi penyelesaianyang bersifat zero sum game oleh TID diganti menjadi jenis penyelesaian yang bersifatkolaborasi murni (pure collaboration) yang di dalamnya para pihak yang berkonflikberusaha semaksimal mungkin untuk mencari celah kerjasama secara rasional sehinggamelahirkan spiral harapan-harapan yang saling berbalasan (spiral of reciprocal expecta-tion) guna memformulasikan penyelesaian yang acceptable atas konflik internasionalyang terjadi.

Relevansi TID dalam menganalisa penyelesaian masalah antar para aktor hubunganinternasional adalah sesuai dengan dua pokok pikiran yang ditawarkan TID di atas,pertama, jenis penyelesaian masalah secara non zero sum game dengan mendorongpara aktor untuk melakukan pure collaboration sangat sesuai untuk menganalisa kuncipersoalan antar para aktor hubungan internasional yaitu masalah ekonomi atau

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

297VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

perebutan sumber-sumber ekonomi luar negeri. Kedua, TID menawarkan bahwadalam penyelesaian masalah antara para aktor hubungan internasional mendorongupaya pemaksimalan penyelesaian konflik secara rasional, betapun menurut TID inipula, hal ini tidak dapat berlaku secara mutlak.

Jadi, penggunaan TID dalam menganalisa masalah konflik antar para aktorhubungan internasional ini, diharapkan dapat memberikan arah sekaligus sifatpenyelesaiannya yaitu pure collaboration dan rational decision. Sebuah optimisme barudi tengah pergaulan dunia yang lebih beradab dan kompleks.

Di samping itu, Keohane juga mengajukan tiga kriteria untuk mengelola resolusikonflik antar negara dan konflik transnasional, yakni ‘independence’, ‘access’ dan‘legal embeddedness’ di mana lembaga-lembaga internasional memiliki sifat pengambilankeputusan yang mandiri tanpa ada dominasi politik, tekanan luar atau pun ancamanmiliter dari negara mana pun (individual national governments), serta keterbukaan aksesbagi setiap negara untuk menjadi pengambil keputusan, dan adanya keterikatanhukum diantara para aktors transnasional untuk saling mengotrol dan melakukanpenegakkan aturan (Keohane, 2000).

Paradiplomacy, Geliat Lokal dalam Interaksi GlobalParadiplomasi secara relatif masih merupakan fenomena baru dalam kajian

hubungan internasional. Paradiplomasi mengacu pada perilaku dan kapasitasmelakukan hubungan luar negeri dengan pihak asing yang dilakukan oleh entitassub-state, dalam rangka kepentingan mereka secara spesifik (Wolff, 2009).

Dalam konteks ini, aktor sub-negara diperankan oleh pemerintahan regional ataulokal yang secara tradisional bertindak sebagai aktor dalam negeri. Namun, pada eratransnasional, pemerintah regional juga melakukan interaksi yang melintasi batas-batas negara mereka, dan dalam taraf tertentu, mereka juga menyusun kebijakankerjasama luar negerinya, yang dalam banyak kasus, tidak selalu berkonsultasi secarabaik dengan pemerintah pusat. Fenomena pemerintah regional membangunhubungan internasional ini sangat tampak di Negara-negara industri maju di Barat,seperti di Flander-Belgia, Catalonia-Spanyol, the Basque Country, Quebec-Canada(Lecours, 2008).

Terkait bangkitnya geliat partisipasi pemerintah local atau daerah otonom untukberkiprah secara initernasional ini, Stefan Wolff, lebih lanjut mengatakan;

‘The participation of autonomous entities in the international arena indicates that thevery notion of sovereignty has fundamentally changed. It can no longer be conceptualisedin the exclusive state-only terms of the Westphalian system. For states to enjoy sover-eignty to its fullest possible extent and for their populations to benefit from it, states haveto share their powers with other players in the international arena. The example ofparadiplomacy, however, also clearly indicates that states remain the ultimate bearers ofsovereignty: paradiplomacy is, at best, a competence devolved to autonomous entities

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

298JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

and hence it is the sovereign state that decides how much of its power it shares’ (Wolff,2009, hal. 13).

Dengan terlibatnya pemerintah lokal dalam melaksanakan hubungan dengan pihakluar negeri, maka itu mengindikasikan bahwa pemikiran paling mendasar tentangkedaulatan Negara telah berubah secara fundamental. Sistem Westphalia yangmeletakkan kedaulatan secara penuh pada pemerintah pusat, harus rela shar’ denganpemerintah daerah dalam aktifitas internasionalnya. Seberapa besar share kedaulatanitu, tentu akan berbeda-beda tiap negara.

Studi yang dilakukan oleh David Criekemans menunjukkan bahwa di negara-negara maju, hubungan pusat dan daerah dalam share kedaulatan di bidang hubunganinternasional ini ada dua kecenderungan, yakni ada yang bersifat kooperatif dan adapula yang konfliktual. Paradiplomasi yang dipraktikkan oleh Flanders, Wallonia, danBavaria cenderung kooperatif dengan pemerintah pusat, meski masih ada kesankompetitif, sedangkan interaksi luar negeri yang dilaksanakan oleh Scotland danCatalonia cenderung konfliktual (Criekemans, 2008).

Dalam konteks Indonesia, paradiplomasi telah diberi ruang yang cukup leluasaoleh pemerintah pusat, terutama setelah adanya era otonomi daerah. Hal ini bisadibuktikan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di depan parapengusaha Australia, di Canberra, Australia, 11 Maret 2010, mengatakan bahwa,”silakan para pengusaha Australia menghubungi dan menjalin komunikasi denganpemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) di Indonesia, terutama paraGubernur untuk mengadakan investasi di Indonesia. Kalau ada kesulitan silakanmenghubungi para menteri terkait,” (Kompas, 12 Maret 2010). Jalinan kerjasama Pemdadengan pihak asing ini ditegaskan oleh Presiden SBY karena disadari sepenuhnyabahwa tanpa kerjasama dengan investor asing atau pihak asing lainnya sepertipemerintah asing dan organisasi/foundation asing, pertumbuhan ekonomi daerahakan sulit didorong untuk berkembang lebih cepat.

Pernyataan Presiden tersebut memang dilandasi oleh undang-undang yangmemberikan peluang bagi daerah untuk melakukan kerjasama dengan pihak asing.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan daerah otonom untuk melakukankerjasama luar negeri ini terdapat dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyaitugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasamainternasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalampenjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga dapat membuatperjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusanpinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai denganperaturan perundang-undangan.

Kerjasama luar negeri oleh daerah otonom jika dilihat dari sudut pandang studihubungan internasional, secara teoritis, merupakan hubungan yang tidak lagi bersifat

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

299VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

state-centris di mana aktor-aktor non-pemerintah dapat secara leluasa mem-by passhubungan dengan tanpa melibatkan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan adanyaperbedaan sistem hukum yang berlaku di NKRI dengan hukum yang berlaku di negaraasing yang akan bekerjasama, dimana beberapa gubernur/walikota dari negara asingdapat langsung membuat/menandatangani kerjasama internasional tanpa ‘full power’dari pemerintah pusatnya (contoh Propinsi Geongsangbuk-Do dan Chungnam-Dodi Korea Selatan, Provinsi/Kota-kota di Cekoslovakia, serta Negara Bagian Califor-nia, USA). Dalam hubungan yang ‘non-state centris’ ini, aktor-aktor dapat berwujudINGO, foundation, kelompok kepentingan ekonomi, perusahaan multinasional danbahkan bagian-bagian dari birokrasi pemerintah suatu negara (pemda).

Dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh daerah otonom atau paradiplomasidi Indonesia terdapat beberapa masalah utama, antara lain; pertama, terdapatkerancuan hukum nasional yang mengatur kewenangan ini terutama terkait dengankewenangan interdepartemental yang harus menangani, yakni overlap antarakewenangan Kementerian Luar Negeri dengan Kementerian Dalam Negeri. Masing-masing memproduk aturan hukum yang berbeda untuk pemerintah daerah sehinggamempersulit koordinasi vertikal. Kedua, terdapat desentralisasi asimetris di Indone-sia, yakni perbedaan antara Provinsi Aceh dan Papua yang perlakuan prossedurnyatidak sama dengan pemerintah daerah/provinsi lainnya. Ketiga, kesiapan daerah yangbelum prima, terutama terkait dengan sumberdaya insani birokrasi dan pembeayaanaktifitas kerjasama luar negeri yang relatif besar.

PenutupHubungan transnasional yang mewarnai sistem interaksi masyarakat dunia pasca

regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktorinternasional, baik pada tingkat negara, maupun lokal, institusional atau pun indi-vidual. Spirit positive sum dan pure colaboration, yang diajukan sebagai transnationalvalues, akan lebih memberikan pengharapan bagi terciptanya dunia yang lebih beradab.

Interaksi transnasional yang memunculkan aktor-aktor sub state dalam menjalinaktifitas paradiplomasi, tidak serta merta menghapuskan sendi utama kedaulatannegara, namun melahirkan sebuah tuntutan untuk pengaturan lebih lanjut tentangkomitmen negara untuk melakukan share kedaulatan dalam batas-batas konstitusinya.Di sinilah, pada praktik paradiplomasi di negara-negara maju, fakta tentang tarikulur pembagian kedaulatan itu terjadi.

Dalam konteks Indonesia, paradiplomasi masih merupakan praktekberpemerintahan yang baru sehingga memerlukan perangkat yuridis yang jelas ditengah pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah saat ini.

ReferensiCriekemans, David, ‘Are The Boundaries between Paradiplomacy and Diplomacy Water-

Takdir Ali Mukti

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

300JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

ing Down?’, hal. 12-13, University of Anwerp and Flemish Centre for Interna-tional Policy, Belgium, July 2008

Dougherty, James E. dan Pfaltzgraff, Robert L., Jr., ‘Contending Theories of Interna-tional Relations’,, hal. 527, Harper and Row, Publishers, New York, 1982

Easton, David, ‘An Approach to the Analysis of Political System’, dalam Mohtar Mas’oed,Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada Univ. Press, YK, Tahun 1991, hal. 5

Inanc, Hüsamettin dan Ozler, Hayrettin, dalam, ‘Democratic Deficit in EU: Is there aninstitutional solution to over-institutionalization?’ Alternatives: Turkish Journal of In-ternational Relations, Vol. 6, No.1&2, hal. 127, Turkey, Spring & Summer 2007

Jackson Robert, dan Sorenson, Georg dalam, ‘Introduction to International Relations’,Oxford University Press Inc., New York, 1999. Dalam edisi Bahasa Indonesiaditerjemahkan oleh Dadan Suryadipura, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2009

Keohane, Robert, ‘Power and Governance in a Partially Globalized World’, hal 2-40,Rouledge, London, 2002

Keohane, Robert, and Nye, Joseph S. Jr., ‘Transnational Relations and World Politics’,hal. 337-341, Summer 1971. Published by International Organization Vol. 3, No.3, JSTOR, USA, 2003

Keohane, Robert, ‘Theory of World Politics: Structural Realism and Beyond’, hal. 165, danhal. 195-196, International Organization, JSTOR, 2003

Keohane, Robert, Anne-Marie Slaughter, ‘Legalized Dispute Resolution: Interstate andTransnational’, International Organization 54, 3, hal. 457-460, The IO Founda-tion and Massachusetts Institute of Technology, USA, Summers 2000

Lecours, André, ‘Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World’,Hal. 1, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’, December

2008,Moravcsik, Robert, ‘Robert Keohane: Political Theorist’,dalam ‘Power, Interdependence,

and Nonstate Actors in World Politics’,Helen V. Milner dan Andrew Moravcsik (Edi-tor), Chapter 3, hal 244, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2009

Osiander, Andreas, ‘Sovereignty, International Relations and Westphalian Myth’, Interna-tional Organization 55, hal. 251, The IO Foundation and Massachusetts Instituteof Technology, USA, Spring 2001

Stefan Wolff, ‘Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges’, hal. 1-2, dan 13,University of Nottingham, 2009

Wright, Quincy, The Study of International relations, seperti dikutip dalam bukunyaSuwardi Wiriaatmaja, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Penerbit PustakaTinta Mas, Bandung, 1988

Kompas, 12 Maret 2010Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, SETNEG,

Tahun 2004http://www.nato.int/docu/speech/1998/s981112a.htm

Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional dan Paradiplomacy

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

301VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

http://www.theory-talks.org/2008/05/theory-talk-7.html. Theory Talks is an initia-tive by Peer Schouten and is registered as ISSN 2001-4732 | 2008-2012. Beberapawawancara Theory Talks telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul“Theory Talks, Perbincangan Pakar Sedunia Tentang Teori HubunganInternasional Abad Ke-21”, Editor: Bambang Wahyu Nugroho dan Hanafi Rais,PPSK dan LP3M UMY, Yogyakarta, 2012

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

302JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

The Arab Spring 2010: PuncakGunung Es Krisis Politik di

Kawasan Timur Tengah

AbstractSince 2010, number of political uprisings took place in the Arab countries which so called The Arab Spring (at-Thawrât al-‘Arabiyyah). The fall of regimes such as in Tunis, Egypt, and Libya, following the massive resistance ofpeople was actually reflect the crisis of legitimacy and the weakness of authority of many political leaders in theregion. Moreover, the loyalty of many people in the Arab countries to their leaders was also problematic decisionwhen it has to deal with their primordial affiliations such as ashabiyah, wathanniyah, qaummiyah and ummah.The Arab Spring is a very important political movement which taught us lessons that both leadership and nationalcharacter building are unfinished and will never be end as a process. This phenomenon also emphasized theimportance of political system to be adaptive to the dynamic of domestic political situation and internationalatmosphere as well. The failure to adapt towards such conditions will causes to the fall of the ruling power.Keywords: crisis of legitimacy, national building, adaptive political system

Sidik JatmikaJurusan Ilmu Hubungan Internasional,FISIPOL Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

PendahuluanMuammar Khaddafi, Pemimpin Besar Revolusi

Rakyat yang telah memimpin Libya selama 42tahun (1969-2011) akhirnya tewas dengan caratragis setelah ditembak kepala dan kedua kakinya.Saat ditemukan hidup-hidup oleh pasukanpemberontak yang tergabung dalam DewanTransisi Nasional (NTC) ia tengah bersembunyidi sebuah lubang di bawah tanah dan sempatmemohon, “Jangan tembak! Jangan tembak!”Penembakan terhadap Khaddafi terjadi tidak lamasetelah kejatuhan Sirte ke tangan tentararevolusioner (Ramadhanny, 2011). Nasib Khaddafikian tragis, karena jenazahnyapun tidakdiperlakukan dengan cara layak. Dalam kondisiyang hampir membusuk setelah hampir sepekandipamerkan di sebuah pasar di Sirte, akhirnyajenazah mantan pemimpin Libya MuammarKhaddafy dimakamkan dalam sebuah upacarasederhana di padang gurun yang dirahasiakan.

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

303VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Tragedi Khaddafi telah memperpanjang deretan kisah tragis yang menimpabeberapa pemimpin Arab pada dekade kedua abad ke-21 ini. Sebelumnya, nasib serupamenimpa Presiden Tunisia Zine Al-Abidine Ben Ali. Pemimpin yang telah berkuasa23 tahun itu, akibat Revolusi Yasmin, akhirnya melarikan diri ke luar negeri padatanggal 14 Januari 2010. Hal serupa juga terjadi pada Presiden Mesir Husni Mubarak.Setelah kewalahan menghadapi demonstrasi rakyat selama 18 hari, Presiden Mubarakakhirnya mundur pada tanggal 11 Februari 2011 dan kemudian diadili.1

Mengapa berbagai tragedi maupun krisis kepemimpinan yang terjadi pada beberapapemimpin Arab tersebut penting untuk dikaji para pengamat politik di Indonesia?“Jauh di mata dekat di hati” adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan hubunganyang memiliki karakter khas dari waktu ke waktu antara Indonesia dengan bangsaArab. Artinya, apapun yang terjadi pada bangsa Arab seolah begitu mudah menyentuhsyaraf kesadaran bangsa Indonesia. Baik sekedar dukungan, kecaman bahkan jugapengiriman relawan. Bahkan banyak di antara anak bangsa Indonesia yangmengidolakan gaya para pemimpin Arab. Karena itulah, maka bahasan ini memilikidaya tarik tersendiri.

Apakah guncangan terhadap kepemimpinan Khaddafi, Zine Al-Abidine Ben Alidan Husni Mubarak pada tahun 2010 terjadi secara tiba-tiba ataukah sesungguhnyamerupakan hasil akumulasi dari berbagai proses politik sebelumnya? Untukmenjawabnya, tulisan ini akan menelusuri sejarah dinamika proses gelombangdemokratisasi dunia dan dampaknya terhadap kawasan Timur Tengah dari waktu kewaktu. Setelah itu akan dikupas fenomena Arab Springs yang terjadi sejak tahun2010.

Dinamika Gelombang Demokratisasi Dunia di Kawasan ArabSamuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik Amerika, menulis tesis mengenai

tahapan atau gelombang demokratisasi. Gelombang demokratisasi adalah sekelompoktransisi dari rezim-rezin non-demokratis ke rezim-rezim demokratis yang terjadi dalamkurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisimenuju arah sebaliknya. Sebagian gelombang juga biasanya mencakup liberalisasiatau demokratisasi, sebagian pada sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya menjadidemokratis (Huntington, 1993; Markoff, 2002).

Gelombang Demokratisasi Pertama terjadi di Barat pada paruh pertama abad ke-17. Dimulai dengan revolusi di Inggris pada 14 Januari 1638 yang melahirkan TheFundamental Orders of Connecticut, yang disetujui warga kota Hartford dan kota-kotalainnya yang berdekatan. Gelombang Demokrasi Pertama (1828-1926), oleh Hun-tington, dirujuk dan dikaitkan dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika.Kemunculan lembaga demokrasi nasional sesungguhnya merupakan fenomena abadke-19 dimana terjadi perkembangan lembaga demokrasi di berbagai negara.

Gelombang Demokrasi Pertama yang panjang ini pada awal abad ke-20 sempat

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

304JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

berbalik arah. Hal itu terutama ditandai dengan bangkitnya rezim yang berideologikomunis, fasis dan militeristis ditambah dengan terjadinya perang yang berkedokmenyelamatkan demokrasi dunia ternyata malah sebaliknya justru membangkitkangerakan-gerakan ekstrem kanan maupun kiri yang ingin menghancurkannya. OlehHuntington, gelombang balik ini terjadi tahun 1922-1942. Di kawasan Timur Tengah,pasca Perang Dunia I (1914-1918), ditandai dengan runtuhnya Khilafah Islamiyah yangberpusat di Istambul dan lahirnya beberapa pemerintahan maupun negara-nasional(nation-state) yang baru. Misalnya Republik Turki, Kerajaan Hejaz, Kerajaan Nejd, dll(Ochsenwald & Fisher, 1979).

Gelombang demokrasi kedua, dicatat Huntington, berlangsung pasca Perang DuniaII, di mana Indonesia juga muncul sebagai negara baru yang lepas dari kolonialisasi.Pendudukan sekutu atas beberapa negara melahirkan lembaga-lembaga demokrasidi Jerman Barat, Italia, Austria, Jepang dan Korea. Turki dan Yunani pada 1940 dan1950 telah bergerak kearah demokrasi. Begitu pula di Amerika Latin, Uruguay, Brasildan Kostarika (1940) bergeser ke sistem demokrasi. Pemilu di negara-negara Argen-tina, Kolombia, Peru, dan Venezuela (1945-1946) melahirkan pemerintahan pilihanrakyat, meskipun Argentina dan Peru bergerak kembali ke arah demokrasi terbatasyang tidak stabil, karena adanya konflik antara pihak militer dengan gerakan Apristadan Peronista yang sangat populer pada akhir dasa warsa 1950. Di kawasan TimurTengah lahir beberapa pemerintahan baru maupun negara-nasional baru. Misalnya,terbentuknya Republik Syria dan Libanon(1941) serta pemerintahan Republik ArabMesir (1947) dan lain-lain.

Gelombang demokrasi kedua yang pendek segera diikuti oleh gelombang baliksekitar tahun 1958-1975. Gelombang balik kedua dimulai dengan apa yang terjadi diPeru pada tahun 1962 ketika pihak militer ikut campur tangan untuk merubah hasilpemilu yang menghasilkan pemimpin dari luar militer yang juga digulingkan olehmiliter pada tahun 1968. Ayunan gelombang balik kedua di seluruh dunia pada tahun1962 mencatat sebanyak 13 pemerintahan di dunia merupakan hasil kudeta,sedangkan pada tahun 1975 tercatat 38 pemerintahan juga hasil kudeta yang sama.Menurut hasil perhitungan yang lain, sepertiga dari 32 negara yang merdeka padatahun 1958 telah berubah menjadi negara yang otoriter menjelang pertengahan dasawarsa 1970-an. Timur Tengah, di era ini antara lain diwarnai dengan Revolusi RakyatLibya pimpinan Moamar Khaddafi (1969) dan Revolusi Irak pimpinan SaddamHussein (1971).

Gelombang demokratisasi ketiga adalah proses demokratisasi yang berlangsungsejak tahun 1974. Bermula dari Revolusi Mawar di Portugal, gelombang demokrasiini dalam kurun waktu 5 tahun bergerak ke Spanyol melintasi Eropa Selatan. Setelahitu melanda Amerika Latin dan menuju Asia serta kembali lagi ke Eropamenghancurkan sebagian besar rezim Blok Timur menyusul usainya Perang Dinginakhir tahun 1990-an.

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

305VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Demokratisasi gelombang ketiga dimulai dengan faktor penyebab yang lebihkompleks dibandingkan dua gelombang terdahulu. Empat di antaranya adalahmelemahnya legitimasi rejim otoriter, perkembangan di sektor ekonomi, dampakdari proses serupa di kawasan (snowball effect), dan tekanan dari luar. Huntingtonmemberi sebutan gelombang ketiga (third wave) untuk proses demokratisasi yang terjadimulai pertengahan 1970-an sampai awal 1990-an.

Di kawasan Timur Tengah, gelombang ini antara lain ditandai dengan munculnyaRevolusi Republik Revolusioner Islam Iran (1979) pimpinan Ayatollah RuhollahKhomeini menggulingkan kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi. Revolusi adalahhal yang didambakan oleh segenap rakyat Iran pada tahun 1979. Hal ini dilatarbelakangi faktor akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat Iran pada umumnyaterhadap kinerja pemerintah / rezim pimpinan Shah Reza Pahlevi yang berkuasapada kala itu.

Tingkat inflasi yang tinggi, peningkatan infrastuktur yang tidak seimbang antarapusat dan daerah, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang terlalu lebar,tuntutan kaum terpelajar akan liberalisasi dan kebebasan akan hak-hak sipil dipandangsebagai titik pemicu revolusi tersebut. Meskipun resiko yang akan dihadapi rakyatakibat revolusi cukup tinggi, rakyat Iran tampaknya cukup siap untuk membayar mahalkonsekuensinya. Perubahan tatanan secara radikalpun tak dapat dielakkan lagi.

Demonstrasi pertama menentang Shah dimulai dengan aksi sekumpulanmahasiswa Islam pada Januari 1978. Kerajaan Shah mengerahkan tentara untukmembubarkan demonstrasi dan keputusan ini menyebabkan beberapa mahasiswaterbunuh. Kekerasanpun kembali pecah Pada 18 Februari, tepat 40 hari tewasnyapara demonstran yang terbunuh (http://ms.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Iran#Latar_Belakang_Revolusi). Terjadi beberapa demonstrasi di seluruhIran untuk memberi penghormatan kepada korban mahasiswa-mahasiswa itu danjuga untuk memprotes kekejaman Shah. Akhirnya, bentrokan terjadi di Tabriz danratusan pengunjuk rasa terbunuh. Hal yang sama turut terjadi pada 29 Maret dankali ini di seluruh Iran. Kebanyakan bangunan-bangunan pemerintah rezim Shahdirobohkan dan dimusnahkan, dan sekali lagi, ratusan nyawa menjadi korban. Aksiyang tadinya hanya dilakukan oleh beberapa gelintir mahasiswa berubah menjadigelombang perlawanan masyarakat Iran yang selama ini memendam kekesalanterhadap rezim Pahlevi.

Saat itu Pahlevi sadar bahwa ia sedang menghadapi situasi revolusi, banyak pihakyang ingin dirinya terguling dari kursi kepemimpinan. Menyadari hal ini, iapunmeminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk menyokongnya. Amerika ketikaitu memiliki kepentingan sangat besar di Iran, karena Iran adalah salah satu Negarayang kaya akan sumber minyak, selain itu posisi Iran dipandang sangat strategismengingat Amerika sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet. AwalnyaAmerika optimis Pahlevi mampu mengatasi masalah ini dan menyatakan hal ini hanya

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

306JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

maneuver politik para oposisi. Tetapi dengan semakin besarnya arus ketidakpuasanserta semakin banyaknya masyarakat yang turun ke jalan, Amerika berpendapat bahwaimage Pahlevi sudah hancur dan tidak dapat diselamatkan lagi. Pahlevi harus segeraturun tahta dan menyiapkan calon pengganti dirinya/suksesornya untuk meredakanrevolusi ini. Tetapi rencana tersebut tak pernah terwujud karena Ayatollah Khomeinimengambil alih kekuasaan untuk memerintah Iran dengan bantuan rakyat (EncartaPremium 2007). Ayatollah Ruhollah Khomeini, sebagai pemimpin revolusi dengangelar Vilayat al Faqih menyerukan 4 Program Revolusi, yaitu:1. Menyiapkan Revolusi2. Gulingkan rezim lalim, Shah Reza Pahlevi3. Bentuk pemerintahan Republik Revolusioner Islam Iran4. Mengekspor Revolusi

Revolusi Iran sebenarnya dimulai pada awal tahun 1977, ketika unjuk rasa hak-hak sipil yang dilakukan oleh para penulis dan pengacara mulai menuntut kebebasanyang lebih. Takut mereka akan menggulingkannya, maka elit pemerintahmemperkenalkan reformasi dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah. Shahyang mengumumkan adanya reformasi, termasuk persidangan majelis (parlemen).Betapapun juga, reformasi ini jauh dari menyelesaikan masalah, justru membukajalan untuk menggulingkan pemerintahan Shah (Jatmika, 2000: 111-124).

Pada tanggal 8 September 1978 (Jum’at Kelabu) para serdadu melakukanpembantaian atas ribuan demonstran di Teheran. Sebagai jawabannya, para buruhmelakukan pemogokan. Pemogokan itu adalah percikan yang menyulut dinamit yangtelah terpasang di seluruh pelosok negeri. Pada tanggal 9 Spetember 1978, para pekerjakilang minyak di Teheran mengeluarkan seruan pemogokan untuk mengungkapkansolidaritas terhadap pembantaian yang dilakukan sehari sebelumnya dan menentangdiberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya.

Tepat pada keesokan harinya, pemogokan telah menjalar luas seperti api yangtidak bisa dijinakkan ke Shiraz, Tabriz, Abdan dan Isfahan. Para buruh penyulinganminyak melakukan mogok dimana-mana. Tuntutan ekonomi dari kaum buruhdengan cepat dirubah menjadi tuntutan politik: “Turunkan Shah!”, “BubarkanSavak!”, “imperialis Amerika!” Kemudian pekerja minyak Ahwaz mengadakan mogok,diikuti oleh buruh non-minyak di Khuzistan yang bergabung dengan pemogokanpada akhir September.

Shah yang sedang sibuk mengadakan persiapan untuk sebuah pengasingan yangnyaman, telah mengirimkan keluarganya ke luar negeri, dan mentransfer $1 milyarke Amerika (ini adalah tambahan dari $1 milyar atau lebih yang disimpan di Bonn,Swiss dan di bagian dunia lainnya).

Setelah terjadinya perpecahan yang terjadi dalam tubuh tentara, Shah kehilangansemua kendali terhadapnya. Dalam kepanikan, setelah ragu pada awalnya, beliau

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

307VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

melakukan langkah terakhir untuk tetap memegang kendali kekuasaan, menunjukShahpur Bakhtiar dari Front Nasional sebagai perdana menteri. Akan tetapi manuvertersebut gagal dan krisis tersebut menjadi lebih parah. Pada tanggal 16 Januari 1979,negara ini dalam sebuah keadaan pergolakan revolusioner. Tidak ada harapan yangtersisa bagi Shah, yang pada akhirnya harus terbang meloloskan diri dengan pesawatterbang ke Mesir.

Pemberontakan Arab (Dekade 2010-an)Memasuki dekade kedua abad ke-21, kawasan Timur Tengah ditandai dengan geliat

gerakan rakyat menggugat berbagai kepemimpinan nasional mereka. Peristiwa itudikenal sebagai Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: TheArab Spring; bahasa Arab:, Kebangkitan dunia Arab ath-Thawrât al-‘Arabiyyah secaraharafiah Pemberontakan Arab) meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protesmerupakan bangsa Arab (Moisi, 2011; Korotayev A., 2011: 139–169).

Yang terjadi adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di duniaArab. Para pengunjuk rasa di dunia Arab mendengungkan slogan Ash-sha‘b yurid isqatan-nizam (Rakyat ingin menumbangkan rezim ini).Sejak 18 Desember 2010, telahterjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil diBahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, danOman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, danSahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi olehkebangkitan dunia Arab ini.

Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yangmelibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, sepertiFacebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, danmeningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internetoleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisidan pengunjuk rasa pro pemerintah.

Rangkaian ini berawal dari protes pertama yang terjadi di Tunisia tanggal 18Desember 2010 setelah pembakaran diri Mohamed Bouazizi dalam protes atas korupsipolisi dan jaminan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombangkerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain, dengan unjuk rasa terbesar dan paling terorganisir terjadi pada “harikemarahan”, biasanya hari Jumat setelah salat Jumat. Protes ini juga mendorongkerusuhan sejenis di luar kawasan Arab

Pada Juli 2011[update], unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepalanegara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Sauditanggal 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia, dan di Mesir, Presiden HosniMubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massaldan mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. Selama periode kerusuhan

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

308JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

regional ini, beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidakmencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pulaPerdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014,meski unjuk rasa semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya sesegeramungkin.

Protes di Yordania juga mengakibatkan pengunduran diri pemerintah sehinggamantan Perdana Menteri dan Duta Besar Yordania untuk Israel Marouf al-Bakhitditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Raja Abdullah dan ditugaskan membentukpemerintahan baru. Pemimpin lain, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman,mengumumkan pada 23 April bahwa ia akan mengundurkan diri dalam waktu 30hari dengan imbalan kekebalan hukum, sebuah persetujuan yang diterima oposisiYaman secara tidak formal pada 26 April; Saleh kemudian mengingkari persetujuanini dan semakin memperpanjang pemberontakan di Yaman.

Pemimpin Libya Muammar Khaddafi menolak mengundurkan diri danmengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasisdi Benghazi. Klimaks gejolak politik di Libya ditandai dengan tertangkap danterbunuhnya Muammar Khaddafi pada Dampak protes ini secara geopolitik telahmenarik perhatian global, termasuk usulan agar sejumlah pengunjuk rasa dicalonkanuntuk menerima Hadiah Perdamaian Nobel 2011.

Krisis Politik Para Pemimpin ArabMengapa gejolak politik bisa menjadi begitu laten dan masif di kawasan Arab

serta Timur Tengah pada umumnya? Fakta menunjukkan bahwa para penguasa diTimur Tengah pada umumnya memiliki berbagai krisis politik, antara lain krisisotoritas, ekualitas dan kontinuitas. Selain itu, ketaatan rakyat Arab terhadap pemimpinnasionalnya juga sering dihadapkan pada aneka pilihan ganda yaitu ashabiyah,wathanniyah, qaummiyah dan ummah.

Krisis OtoritasKrisis otoritas adalah keabsahan untuk berkuasa dan memerintah yang diakui

oleh rakyat sendiri maupun bangsa lain. Dalam kenyataan, banyak penguasa TimurTengah yang mengalami pembangkangan dari berbagai kekuatan politik dalam negeri.Hal itu antara lain tercermin pada munculnya gerakan demonstrasi, pembangkanganumum, kudeta, revolusi, separatisme, irredentisme. Misalnya penguasa Sudanmenghadapi pemberontakan di Darfur (Sudan Selatan); Turki menghadapipemberontakan suku Kurdi; pemerintah Siprus menghadapai gerakan separatismeSiprus Utara yang didukung Turki; dan sebagainya. Merebaknya gerakan rakyat padaperistiwa “Arab Springs” dekade 2010-an merupakan penegasan bahwa krisis otoritasmerupakan krisis yang banyak dialami oleh para penguasa di Timur Tengah. Krisis

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

309VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

politik yang bersumber dari luar negeri, bisa berujud penolakan pengakuan terhadappenguasa yang ada, embargo, campur tangan hingga intervensi (agresi).

Krisis EkualitasKrisis ekualitas adalah krisis kekuasaan yang disebabkan oleh adanya kesenjangan

dalam hal tingkat perekonomian dan kesempatan berpolitik antar warga negara padasuatu negara. Keadaan itu pada akhirnya bisa memancing munculnya ketidakstabilanpolitik. Struktur ekonomi berbentuk piramida runcing, dimana pucuk (raja/ presidendan keluarga sangat runcing). Sedang masa akar rumput miskin sangat lebar.Urutannya,antara lain sbb:1. Golongan Sangat Kaya: Raja/ Presiden dan keluarganya2. Golongan Kaya: Elit politik, milter dan bisnis3. Miskin : Pegawai negeri atau swasta, petani4. Sangat Miskin: buruh; warga negara kelas dua. (Misal warga Syiah di Saudi bagian

Timur; suku Kurdi di Iraq-Iran-Suriah-Turki; warga Palestina di Tanah Pendudukan)

Orang kaya dari Timur Tengah kebanyakan berasal dari keluarga kerajaan. Halini tidak terlepas dari sistem politik monarki absolut yang dianut oleh negara-negaraTeluk yang memungkinkan keluarga kerajaan mendapatkan kekuasaan ekonomimaupun politik. Dalam daftar 50 orang kaya Arab tahun 2007 yang dikeluarkanoleh Arabia Business, 7 dari 10 orang terkaya di Timur Tengah tersebut berasal dariSaudi. Yang terkaya adalah Pangeran Al Walid Bin Talal Al-Saud, keponakan RajaAbdullah. Keluarga Hariri dari Libanon yang menduduki peringkat ketiga jugaterhitung memiliki darah Saudi. Kelompok kian kaya, dalam kenyataannya cenderungkian pro-status quo. Misalnya keluarga Saud di Saudi; Al Sabah di Kuwait; GolonganYunani di Siprus,dll. Sebaliknya kelompok kian miskin kian revolusioner. Misalnya,kaum Hamas di Palestina; Syiah di Saudi- Libanon-; golongan Turki di Siprus Utara;kaum Kurdi di Iraq-Iran-Suriah-Turki; dll).

Kesenjangan ekonomi dan politik merupakan faktor utama yang menyulut revolusirakyat Tunisia 2011 yang menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Ia berkuasasejak tahun 1987 dengan menggulingkan Habib Bourguiba, Presiden Tunisia pertama,yang terpilih lewat pemilu sejak merdeka dari Perancis. Awalnya kepemimpinan BenAli, berdasarkan penilaian Dana Moneter Internasional (IMF), Tunisia memilikicatatan bagus dalam pengelolaan keuangan, dan dipuji karena memiliki fondasiekonomi yang solid dan tetap berupaya melakukan modernisasi.

Rata-rata penguasa yang diktator yang korup dan despotis hanyalah mengandalkankekuatan militer, polisi dan aparat intelijen untuk menjaga dan melindunginya.Umumnya, para diktator yang berkuasa, selalu menciptakan sistem oligarki, yangterdiri sejumlah elite sipil dan militer yang berkuasa, dan menjadi pilar kekuaasaannya.Maka pemerintahan Ben Ali ini, hanya dikendalikan sejumlah elite politik yang berada

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

310JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

di sekeliling kekuasaannya. Selanjutnya, Ben Ali membentuk kroni-kroni yangmenguasai ekonomi dan industri Tunisia, yang terdiri dari sanak familinya, yangmenguasai aset dan sumber alam Tunisia. Mereka terus “membangun” Tunisia, danmenjadi orang-orang yang sangat kaya, di tengah-tengah kemelaratan rakyatnya yangmasif.

Mirip seperti Imelda Marcos, Istri Mantan Presiden dari Filipina yang kaya berkatmemanfaatkan kekuasaan suaminya; istri Ben Ali Leila Trebelsi, diberitakan telahmengumpulkan 1,5 ton emas dari bank sentral sebelum melarikan diri dari negaraitu. Laporan media banyak menyebutkan bahwa sebenarnya yang berkuasa di Tuni-sia adalah Leila Trebelsi, bukan Ben Ali yang menjabat sebagai presiden. Leila memilikipengaruh yang kuat dalam pengelolaan urusan pemerintahan di Tunisia, dan anggotakeluarganya, telah membuat sebuah dinasti korup serta memainkan peran yang kuatselama 23 tahun Ben Ali berkuasa. Imad Trabelsi, adik dari Leila Trabelsi, digambarkansebagai simbol terbesar dari korupsi di Tunisia.

Gambaran mengenai betapa akutnya krisis ekualitas di Mesir, antara lain tercerminpada meledaknya demonstrasi selama 18 hari yang akhirnya Presiden Mubarakmundur pada tanggal 11 Februari 2011.”Revolusi ini adalah gerakan massa akarrumput yang digerakkan oleh kemelaratan, upah rendah, dan pengangguran,” kataFiras Al-Atraqchi, profesor jurnalisme pada Universitas Amerika di Kairo seperti dikutipAl-Jazeera. Tak heran, gerakan ini diikuti oleh hampir semua kalangan yang bahkantak mengenal demonstrasi sebelumnya. Mereka ini menemukan cara untuk bersuaraguna menunjukkan kemarahan mereka (Peterson, 2011).

Krisis KontinuitasKrisis kontinuitas adalah keadaan dimana para penguasa di Timur Tengah rawan

kelestariannya dari ancaman digulingkan dengan cara-cara yang tidak demokratis.Baik dari ancaman revolusi atau pemberontakan dalam negeri maupun intervensiasing. Intervensi asing ini, dari segi pelakunya, bisa berlangsung antar sesama negaraTimur Tengah (intra-regional) dan oleh negara di luar regional (ekstra-regional). Dilihat dari penyebab atau motif pelaku, intervensi asing, bisa berlangung karenadiundang oleh penguasa; diundang oleh oposisi; dan sebagai tamu tak diudang karenamereka memiliki agenda tersendiri.

a) Intervensi Intra-Regional, misalnya tercermin pada keterlibatan Saudi Arabiapada berbagai proses politik di Yaman, merupakan gambaran keterlibatan aktor in-tra-regional dalam proses politik sesama antar negara Arab. Hal serupa juga terjadipada keterlibatan Suriah dan Israel dalam berbagai proses politik di Libanon; maupunketerlibatan Turki di Siprus. Contoh lain adalah pecahnya Perang Teluk II yang terjadipada tahun 1990. Perang dimulai dengan penyerangan dan pendudukan oleh Irakterhadap Kuwait, yang kemudian berujung terhadap ikut campurnya Amerika Serikatdalam perang tadi. Perang ini memuncak pada Februari 1991. Sebenarnya, Irak dan

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

311VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Kuwait semula merupakan partner. Bahkan, Kuwait membantu Irak melawan Iranpada Perang Teluk I tahun 1980-1988 melalui pinjaman-pinjaman dan dukungandiplomatik. Namun, karena adanya tuduhan dari Irak yang menganggap bahwa Ku-wait melakukan eksplorasi di wilayah Irak, dan tidak membagi keuntungan dari hasilminyak tadi. Juga adanya tuduhan bahwa Kuwait menghasilkan lebih banyak minyakdibandingkan yang diizinkan oleh Organization Petroleum Exporting Countries(OPEC), yang berakibat pada menurunnya harga minyak ekspor Irak. Sehingga, Irakmelakukan penyerangan dan pendudukan atas Kuwait pada tahun 1990.

b) Intervensi Ekstra Regional (Amerika Serikat Ke Berbagai Negara Timur Tengah).Kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat di kota Dahran di bagian timur SaudiArabia merupakan keterlibatan aktor extra-regional yang hadir karena diundang olehpenguasa Saudi Arabia. Keterlibatan berbagai kekuatan asing asal Barat dalam proseskejatuhan Moammar Khaddafi (2010-2011) merupakan cermin keterlibatan extra-regional karena diundang oleh oposisi (NTC). Agresi Amerika Serikat ke Afghani-stan pasca Peristiwa WTC 2006, merupakan contoh keterlibatan aktor ekstra-regionaltanpa diundang siapapun namun lebih didasari motif kepentingan nasional AmerikaSerikat.

Krisis Kesetiaan RakyatKrisis kepemimpinan beberapa negara Arab dan Timur Tengah pada umumnya,

juga dipengaruhi oleh dilema kesetiaan rakyat Arab terhadap pemimpin nasionalnya.Rakyat sering dihadapkan pada aneka pilihan ganda yaitu ashabiyah, wathanniyah,qaummiyah dan ummah (Hudson, 1977).

Pertama, Ashabiyah adalah faham untuk lebih mengutamakan kesetiaan terhadapkeluarga tertentu atau faham tertentu, ideologinya, partainya, kelompoknya dan lainsebagainya sehingga merasa paling baik, paling kuat, paling terhormat, dan anekakeutamaan lainnya yang tidak dimiliki kelompok lain. Hal itu antara lain tercerminpada fanatisme sebagian rakyat terhadap beberapa keluarga yang memiliki peranpolitik kuat di Timur Tengah. Mereka itu antara lain Bani Saud (Saudi Arbia), BaniHasyim (Hasyimiyah Yordania), al Sabah (Kuwait), dan sebagainya.

Sumber krisis kesetiaan berbasis ashabiyah juga terjadi pada beberapa kelompokmasyarakat berdasarkan kesetiaan aliran keagamaan. Misalnya, para anggotakelompok Syi’ah yang tergabung pada gerakan Hizbullah di Lebanon, dalam banyakkasus lebih berorientasi politik ke Iran dari pada kepada pemerintahan pusat di Leba-non. Hal serupa juga terjadi pada kelompok al-Hauthi di wilayah Jebel al-Dukhan,Yaman Utara, dalam banyak kasus lebih berorientasi politik ke Iran dari pada kepadapemerintahan pusat di Yaman.

Kedua, Qaummiyah adalah semangat untuk lebih mengutamakan kesetiaanterhadap suku tertentu. Misalnya, kesetiaan dan kebanggaan sebagai bangsa Arabyang oleh Hasan al Banna disebut sebagai ‘Urubah (Arabisme). Salah satu contoh

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

312JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

kongkrit dari semangat qaummiyah adalah upaya pembentukan Uni Republik ArabMesir dengan Suriah (1958 – 1961) dan berdirinya organisasi Liga Arab pada tanggal22 Maret 1945. Liga Arab atau Liga Negara-Negara Arab adalah sebuah organisasiyang terdiri dari negara-negara Arab (bandingkan dengan dunia Arab).

Pada tahun 1943, Mesir memprakarsai gerakan Liga Arab. Tujuan Liga Arab iniuntuk mempererat persahabatan Bangsa Arab, memerdekakan negara di kawasanArab yang masih terjajah, mencegah berdirinya negara Yahudi di daerah Palestina.Organisasi ini didirikan pada oleh tujuh negara. Piagamnya menyatakan bahwa LigaArab bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga;komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial;dan kegiatan kesehatan. Piagam Liga Arab juga melarang para anggota untukmenggunakan kekerasan terhadap satu sama lain.

Ketiga, Wathaniyah adalah semangat untuk lebih mengedepankan kesetiaanterhadap Negara bangsa (nation-state) dibanding kesetiaan yang lainnya. Misalnya, Irakyang berlatar belakang kesukuan Arab melakukan intervensi terhadap Kuwait yangjuga bangsa Arab pada tahun 1990, yang kemudian memicu pecahnya Perang TelukII. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1958 saat Presiden Arab Mesir Gamal AbdelNasser mengirim pasukan Mesir ke wilayah yang disengketakan dengan negara ArabSudan.

Contoh lain yang menggambarkan kesetiaan terhadap negara bangsa (wathaniyah)mengalahkan kesetiaan terhadap sesama bangsa Arab (qaummiyah) adalah kegagalankeberlangsungan Republik Uni Arab, atau United Arab Republic (UAR). Uni iniadalah suatu negara yang terdiri atas perserikatan Republik Mesir dan Suriah, pada.UAR didirikan pada 1 Februari 1958. Pendirian tersebut dilandasi kekhawatirankelompok pimpinan politik dan militer di Suriah akan bahaya komunis yangmengintai. Mereka lalu meminta bantuan dari Gamal Abdal Nasser, pemimpin Mesir.

Perserikatan yang dilakukan mengikat kedua bangsa tersebut ke dalam satu negara,dengan Kairo sebagai ibu kotanya dan Nasser sebagai pemegang tampuk pimpinan.Militer Mesir kemudian dikerahkan masuk ke Suriah, dan berhasil mematahkanancaman komunis.

Lama kelamaan, rakyat Suriah mulai merasa terganggu dengan kondisi penyatuantersebut. Pemimpin Suriah yang dipaksa untuk menetap di Kairo pun merasa terputusdari pusat kekuatan di Suriah. Selain itu, timbul arogansi dari orang-orang Mesiryang tinggal di Suriah, berlaku seolah-olah Suriah merupakan koloni Mesir. UARakhirnya bubar pada 1961, setelah terjadi kudeta di Suriah. Namun, Mesir tetapmelanjutkan pemakaian nama UAR hingga kematian Nasser pada 1971.

Keempat, Ummah atau ‘Alamiyah (Internasionalisme), adalah semangat yangmengedepankan kesetiaan terhadap agama tertentu tanpa membedakan asal muasalkeluarga, kesukuan dan negara bangsa. Misalnya, adalah solidaritas berbagai bangsaIslam yang berbeda latar aliran, suku dan negara- bangsa terhadap perjuangan

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

313VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

kemerdekaan bangsa Palestina. Bangsa Iran yang bersuku Persia dan berfaham Syiahmendukung perjuangan bangsa Palestina yang bersuku Arab dan berfaham Suni;melalui pertemuan di Teheran pada bulan Februari 2010. Saat itu Pemimpin BesarRevolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menerima sejumlah pemimpinperjuangan Palestina yang kini berada di Tehran untuk menghadiri konferensi‘Solidaritas Nasional dan Islam untuk Masa Depan Palestina’. Mereka menekankanbahwa Palestina dan al-Quds akan kembali ke pangkuan umat Islam lewat perjuangan,jihad dan resistensi, dan nasib rezim penjajah Israel akan berakhir dengan kekalahandan kehancuran (Browers, 2009).

Carilah Ilmu Walau Sampai Negeri ArabMengapa kita perlu belajar sejarah? Paling tidak ada 3 (tiga) fungsi sejarah. Pertama,

mengetahui kapan dan di mana peristiwa penting berlangsung, siapa pelakunya,mengapa bisa terjadi dan apa akibatnya. Kedua, kita bisa mengambil pelajaran yangbaik, sekaligus membuang yang buruk. Ketiga, sejarah adalah teori. Maksudnya, jikadi kemudian hari kita mengemui peristiwa yang sama ataupun serupa; kita dapatmenggunakan sejarah yang serupa, untuk memecahkan persoalan tersebut. Lantas,apa saja pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai krisis kepemimpinan Arab ini?

1. Never Ending Leadership and National Character Building.Keberadaan berbagai krisis kepemimpinan( krisis otoritas, ekualitas, kontinuitas)

dan berbagai krisis kesetiaan (ashabiyah, wathaniyah, qaummiyah, ummah) yang menimpaberbagai bangsa Arab bisa jadi adalah hikmah utama yang bisa dipetik oleh bangsamanapun tatkala mengkaji betapa rumitnya problem yang dialami oleh beberapabangsa Arab dalam membentuk dan menjaga persatuan bangsa dan negaranya.Berbagai paparan di atas menggambarkan bahwa proses pembentukan, pemeliharaandan pelestarian pembangunan nilai-nilai bangsa (national character building) adalahproses yang tidak pernah selesai (Phares, 2010).

2. Pentingnya Sistem Yang Holistik- Elastis-Adaptif.Revolusi Yasmin berupa gerakan perlawanan rakyat di Tunisia berhasil secara

dramatis menjatuhkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan bahkan membuat diamelarikan diri ke Arab Saudi mempunyai resonansi politik yang besar terhadap DuniaArab. Revolusi rakyat Tunisia itu telah membawa efek karambol terhadap negara-negara Arab. Apa yang terjadi di Tunisia, telah menginspirasi beberapa negara diTimar Tengah untuk melakukan protes dan penggulingan terhadap rezim yang telahlama berkuasa. Di Sudan, juga telah melakukan referéndum untuk pemisahan SudanSelatan. Di Mesir, rakyat mengikuti langkah Tunisia, terjadi demo besar yang akhirnyamenggulingkan Presiden Hosni Mubarak. Di Libya gerakan rakyat dibawah NTCberhasil menggulingkan Moammar Khadaffi. Sementara Yaman dan Suriah juga

Sidik Jatmika

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

314JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

terjadi demonstrasi sebagai bentuk “deman Tunisia.”Fakta tersebut menegaskan pentingnya kesadaran bahwa sistem politik adalah

bersifat holistik, dimana sebuah gejala yang berlangsung pada suatu tempat bisamemengaruhi anggota sistem yang lainnya. Sebuah sistem politik juga harus bersifatadaptif (cepat tanggap dan mampu segera menyesuaikan dengan dinamika perubahandi lingkungan internal maupun ekternalnya). Keterlambatan beradaptasi, bisamenyebabkan kegagalan dan kemacetan sebuah sistem politik. Kerusakan bisa berupademonstrasi, pemogokan, amuk masa, kudeta hingga revolusi rakyat (Goldstone; JohnT., Hazel, Jr., 2011).

3. Pemimpin, Rakyat Dan Martabat BangsaMuammar Khaddafi, seorang pemimpin yang masyhur selama 42 tahun, akhirnya

mati dengan cara tragis. Tertangkap di gorong-gorong; setelah memohon keselamatanakhirnya ditembak jarak dekat; jenazah dipajang selama tujuh hari dipajang di kulkassebuah super market; setelah mulai membusuk akhirnya jenazah dimakamkan disebuah padang pasir yang dirahasiakan (Posusney and Angrist, 2005). Seperti itukahcara yang bermartabat dalam memperlakukan (bekas) seorang pemimpin bangsa?Bukankan martabat sebuah bangsa antara lain dapat diukur dari bagaimana anakbangsa tersebut memperlakukan (bekas) pemimpinnya? Lantas apa pelajaran yangbisa kita petik?

“Raja adil raja disembah. Raja lalim, raja disanggah”. Barangkali merupakanungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana korelasi sebuahkepemimpinan dengan cara anak bangsa memperlakukan (bekas) pemimpinbangsanya. Kalau kita meyakini adagium bahwa “Tolok ukur martabat suatu bangsaantara lain dilihat dari cara rakyat memperlakukan (bekas) pemimpinnya”, makapemimpin, hendaklah hadir dengan cara terhormat. Berakhir dengan caramenghormat. Rakyat juga harus belajar menghormati pemimpin dengan caraterhormat. Namun, prinsip resiprositas adalah hukum alam; ibarat “siapa menanam,siapa mengetam”. Supaya pemimpin nantinya diperlakukan secara bermartabat olehrakyatnya, terlebih dahulu, ia semasa berkuasa hendaknya memperlakukan rakyatnyadengan cara yang bermartabat pula.

BibliografiBrowers, Michaelle. 2009. Political Ideology in the Arab World: Accommodation and Trans-

formation. New York: Cambridge University Press. Encarta Premium. 2007. Iran/History/H. Growing Opposition To The ShahGeorge, Lenczowski. 1993. The Middle East In World Affairs. USA: University of

Californa at Berkeley.Goldstone, Jack A., Hazel, John T., Jr. 2011. Understanding the Revolutions of 2011:

Weakness and Resilience in Middle Eastern Autocracies. Foreign Affairs, 14 April.

The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur Tengah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

315VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012

Hudson, Michael C. 1977. Arab Politics The Search To Legitimacy. Yale UniversityHuntington, Samuel P. 1993. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT. Grafity

Press.Jatmika, Sidik. 2000. Amerika Penghambat Demokrasi. Yogyakarta: Penerbit BIGRAF.Jatmika, Sidik. 2011. Timur Tengah: Never Ending Conflict? Diktat Mata Kuliah Politik

Pemerintahan Timur Tengah, proses terbit.Korotayev A., Zinkina J. 2011. Egyptian Revolution: A Demographic Structural Analysis.

Entelequia. Revista Interdisciplinar, 13: 139–169Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan Dan Perubahan Politik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Moisi, Dominique. 2011. An Arab Spring? Project Syndicate, 26 Januari.Ochsenwald, William & Sidney Nettleton Fisher. 1979. Impact of World War I Upon

The Middle East. Dalam The Middle East, A History. New York: McGraw-Hill Comp.Peterson, Scott. 2011. Egypt’s revolution redefines what’s possible in the Arab world.

11 Februari 2011. Diakses pada 12 Juni 2011.Phares, Walid. 2010. Coming Revolution: Struggle for Freedom in the Middle East. New

York: Simon & Schuster.Posusney, Marsha Pripstein; Angrist, Michele Penner (ed). 2005. Authoritarianism in

the Middle East: Regimes and Resistance. Boulder: Lynne Rienner.Ramadhanny, Fitraya. 20 Oktober, 2011. Dor! Khadafi Tewas Tertembak di Kepala.

detikNews.Saat tulisan disusun, krisis politik dan kepemimpinan nasional tengah terjadi pada

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dan Presiden Suriah Bashar al Assad. Di YamanTanggal 4 Juni, Presiden Ali Abdullah Saleh terluka dalam serangan terhadapmasjid di tempat perlindungannya di ibu kota Yaman, Sana’a, menyebabkan iadan 35 anggota keluarganya, termasuk istrinya, serta Perdana Menteri dan JuruBicara Parlemen Yaman, meninggalkan Yaman ke Arab Saudi. Di Suriah,bentrokan dan kekerasan terus berlangsung antara pasukan pemerintah dan aktivisoposisi. Setidaknya lebih dari 2.200 orang tewas akibat kekerasan.