ISLAM LIBERAL
-
Upload
vacena-vacena-corleone -
Category
Business
-
view
218 -
download
0
Transcript of ISLAM LIBERAL
KATA PENGANTARالرحيم الرحمن الله بسم
Luasnya samudera keilmuan Islam yang membentang di hadapan kita,
serta berbagai macam tuntutan dan tawaran untuk membedah misteri maupun
ilmu-ilmu yang telah jelas berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan
Islam, merupakan salah satu motif bagi kita untuk mengkaji beberapa elemen
dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satu unsur yang dikaji tersebut adalah
mengenai pemikiran para pemikir kontemporer terkait beberapa bidang seperti
tafsir dan hadis. Dalam kesempatan kali ini penulis diberi tugas untuk mengkaji
pemikiran Jaringan Islam Liberal. Apa dan bagaimana sebenarnya pemikiran yang
diusung oleh Jaringan Islam Liberal dengan pembahasan yang kami kerucutkan
pada salah satu tokohnya yaitu Ulil Abshar Abdalla.
Namun, dengan penuh kesadaran penulis menyadari adanya kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan datangnya
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Dengan harapan, segala
kendala yang dihadapi penulis sebelumnya dalam menyusun makalah ini dapat
diatasi dan dapat melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut.
Terakhir, penulis haturkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan
terimakasih kepada dosen pengampu, Bapak Hilmi Muhammad yang telah
bersedia dengan penuh keikhlasan memberikan gambaran cakrawala baru
keilmuan Islam yang mungkin tidak dikenal oleh penulis sebelumnya.
Terimakasih juga kepada sahabat-sahabat dan pihak-pihak lain yang telah
mendeskripsikan berbagai macam model keilmuan kepada penulis, sehingga
sangat membantu penulis dalam menyusun makalah ini. Wassalamu`alaikum
wr.wb.
Bengkulu 6 November 2015
Penulis
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Definisi dan Munculnya Islam Liberal
Islam liberal merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Leornard Binder
dan Charlez Kurzman dalam bukunya Liberal Islam : The Source Book yang
merupakan kumpulan sejumlah artikel dari pemikir-pemikir Islam berbagai
negara. Kurzman berkomentar bahwa tema-tema ini terdengar seperti kontradiksi
dalam peristilahan, karena selama ini Islam liberal seolah-olah hanya menjadi
simbol Barat.
Islam liberal, ditinjau dari sisi etimologi merupakan penggabungan dua hal
yang bersifat kontras. Islam merupakan sebuah agama yang berarti menyerah atau
tunduk, patuh pada Allah swt. Liberal sendiri mempunyai makna yang ganda.
John L. Esposito memberikan istilah “liberal” untuk menyebutkan pembebasan
kaum muslimin dari imperialisme bangsa Barat yang mendominasi hampir
seluruh negeri muslim. Sedangkan Zakiyuddin Baidhawi menyatakan bahwa
liberal yang dimaksudkan adalah pembebasan kaum muslimin dari cara berfikir
yang menghambat kemajuan.
Adapun Adian Husaini berpendapat, Islam Liberal itu adalah kelompok
Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh
negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita,
menyamakan agama Islam dengan agama lain (pluralisme theologis),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya. Islam Liberal juga
mendewakan modernitas. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan
pencapaian kemodernan maka menafsirkan kembali ajaran tersebut dan tidak
menolak modernitas, di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam liberal.
Pada tahun 2001, yakni setelah Nurcholis Majid meluncurkan gagasan
sekularisasi dan ide-ide inklusif-pluralis, lalu muncul kader-kader Nurcholis
2
mengembangkan gagasan yang lebih intensif yang disebut dengan Jaringan Islam
liberal (JIL) yang di komandani oleh Luthfi as-Syaukani (Univ. Paramadina
Mulya), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam).
Menurut JIL sendiri, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas
Islam dengan landasan:
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas
5. Meyakini kebebasan beragama
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan
politik.
Misi JIL, sebagaimana yang dapat dilihat dalam websitenya, ada tiga:
pertama, mengembangkan penafsiran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip yang
JIL anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua,
mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme,
sehingga akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang kuat. Ketiga,
mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
B. Tokoh-Tokoh Islam Liberal
Tokoh-tokoh Islam Liberal mereka adalah orang-orang yang berkontribusi
dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yaitu,
1. Nurcholis Majid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta
2. Charles Kurzman, University Of Nirth California
3. Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah , Jakarta
4. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta
5. Mohammed Arkoun, University Of Sorbonne, Prancis
6. Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang
3
7. Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta
8. Ulil Abshar Abdalla, Laspekdam-NU, Jakarta.
4
BAB IIPEMBAHASAN
A. Biografi Ulil Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang
bergelut dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Perseteruannya dengan organisasi
Front Pembela Islam (FPI) dan pengakuannya atas dirinya adalah seorang muslim
liberal banyak mengundang kontroversi. Ulil Abshar lahir di Pati, Jawa Tengah
pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya, Abdullah Rifa'i adalah pengelola
pesantren Mansajul ‘Ulum di Pati. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga
Nahdhatul Ulama.
Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul
Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz.
Dia mendapat gelar sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan memperoleh gelar Doktoral di Boston
University, Massachussetts, AS
Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal.
Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik.
Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut
sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur. Selain itu Ulil
pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di
Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP).
5
B. Pemikiran-Pemikiran Ulil Abshar Abdalla
Dalam artikel yang ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla di harian
Kompas dengan judul “ Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” sebagai
berikut,
1. Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang
hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat
pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak
boleh disentuh tangan sejarah.
2. Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat
menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk
menandingi kecenderungan ini.
3. Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha
sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang
cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan:
paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana,
take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat
berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
4. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan
cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita
memerlukan beberapa hal.
5. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan
sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
6. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di
dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang
merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran
dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
7. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal
harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab,
Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang
6
kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan
mengikutinya.
8. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab,
misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash,
rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal
partikular Islam di Arab.
9. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-
praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi
standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu
sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan
manusia. Begitu seterusnya.
10. Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai
"masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat
manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan
itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan,
dengan Islam.
11. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam
dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak
pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan
universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat
perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan
ini.
12. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas
memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama
adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah
sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.
Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai
publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya
partikular adalah urusan masing-masing agama.
7
13. Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian
seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan
tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.
Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi
pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau
tujuan umum syariat Islam.
14. Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal,
kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana
nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu
adalah urusan manusia Muslim sendiri.
15. Bagaimana meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam
konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW
adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak
hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek
beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
16. Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan
pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks
sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.
Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam
di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam
historis, partikular, dan kontekstual.
17. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang
dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-
nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala
yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang
universal" dengan "yang partikular".
18. Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan
nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul
di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang
universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan
8
Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah
adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
19. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat
contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju
perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada
zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam
bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
20. Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha
menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena
temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan
anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli
agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam
membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang
satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban
adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk
milik orang Islam.
21. Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu
penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak,
karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber
kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan
hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam
berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah
setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
22. Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun
tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah
dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis"
yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme,
agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran
"Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.
9
23. Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik
keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai
umat Islam hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting. Yang
pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
24. Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang
dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga
martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju,
sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada
Yang Maha Benar.
25. Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak
dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu.
Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan
kini.
26. Musuh semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam
adalah keadilan.
27. Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana
menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan
ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab,
mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung
celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat
furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus
diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan
sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
28. Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud
ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit
mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam
menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala
syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di
muka Bumi.
29. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata
merujuk kepada "hukum Tuhan" (sekali lagi: saya tidak percaya adanya
10
"hukum Tuhan"; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang
universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang
telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik
mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya
sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
30. Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi, wa man aradal
akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah
keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai
kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada
aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan
sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang
juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan
manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
31. Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang
kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu,
syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang
sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan
dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode
tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
32. Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi,
suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman,
adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah
Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua
masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi,
merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan
memakai alasan hukum Tuhan.
33. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-
mana. Saya tidak bisa menerima "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau
ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.
Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan
serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
11
34. Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis
keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat
mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia
terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga
sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga
semua bangsa.
35. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan
"mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan
(golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara
"Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan
menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan
umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
36. Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme,
mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana,
dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan
"mereka". Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari
yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.
37. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam
setiap lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran
pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum
sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran
Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama
yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran
Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang
dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
38. Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah
"proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama"
yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat
Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai,
"Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-
pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."
12
39. Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama
adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,
tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama:
yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada
ujungnya.
40. Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah
dalam menghayati jalan religiusitas itu.
41. Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat,
apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama
yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
42. Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia
adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan
kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai
kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan
hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam
semua perbincangan soal agama ini.
43. Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan
dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan
itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi
berguna buat umat manusia.
44. Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi
maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi
sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.
C. Contoh Penafsiran Ulil Abshar Abdalla
13
Q.S. al-‘Imran (19)
ه الل عند الدين إناإلسالم
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.
Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,
jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat ini lebih tepat diterjemahkan sebagai,
"Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-
selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)." Menurut Ulil Abshar
semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju
Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,
tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu
keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Dalam al-Quran memang disebutkan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi al-Quran bukan
merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat al-Quran yang menuntut manusia
mengunakan akalnya unutk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa
kesempurnaan al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan
kesempurnaan ide, masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk
menuju kesempurnaan itu.
Q.S. Al-Baqarah : 148
فاستبقوا يها مول هو وجهة ولكل
الخيرات
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan
14
Fastabiqul khairat, kata dalam ayat diatas bermakna berlombalah-lombalah
dalam menghayati jalan religiusitas itu. Masing-masing orang akan berlomba
paling kafah dari yang lain. Orang masih satu senti kurang kafah dianggap kurang
islami oleh orang lain yag kebetulan sudah satu senti lebih kafah, dan seterusnya.
Ulil Abshar meyatakan bahwa, beliau tidak sanggup hidup dalam lingkungan
dimana orang-orang didalamnya berlomba-lomba menunjukkan kesalehan secara
obsesif. Menurut Ulil, beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kafah,
ada saat-saat beragama degan khusyuk, ada saat bisa menghibur diri sendiri
dengan asyik. Panduan yang layak dipetik dari agama adalah ajaran tentang
larangan israf atau kelebihan
15
BAB IIIKESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas dapat diambil beberapa poin penting
diantaranya,
1. Islam Liberal itu adalah kelompok Islam yang tidak setuju dengan
pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompok yang
getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, menyamakan
agama Islam dengan agama lain (pluralisme theologis), memperjuangkan
demokrasi Barat.
2. Pada tahun 2001 muncul kader-kader Nurcholis mengembangkan gagasan
sekularisasi dan ide-ide inklusif-pluralis yang lebih intensif yang disebut
dengan Jaringan Islam liberal (JIL) yang di komandani oleh Luthfi as-
Syaukani (Univ. Paramadina Mulya), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam
NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam)
3. Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang
bergelut dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Perseteruannya dengan
organisasi Front Pembela Islam (FPI) dan pengakuannya atas dirinya
adalah seorang muslim liberal banyak mengundang kontroversi.
4. Dalam artikel yang ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla di harian Kompas
dengan judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, beliau
menyatakan bahwa Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah
"proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama"
yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat
Innaddina 'indal Lahil Islam (QS. Al-‘Imran:19), lebih tepat diterjemahkan
sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-
tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."
kemudian fastabiqul khairat, (QS Al-Baqarah:148); berlombalah-lombalah
dalam menghayati jalan religiusitas itu.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Kompas, 18
November 2002
Adian Husaini dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan, dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani. 2004
Baidhawi, Zakiyyudin. Ambivalensi Agama: Konflik dan Nirkekerasan.
Yogyakarta: Lesfi. 2002
Jaringan Islam Liberal, Wajah Liberal islam di Indonesia. Jakarta: JIL. 2002
Kurzman,Charlez. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulumdan Hari Junaidi dalam skripsi Siti
Zuhroh. Kritik Adian Husaini terhadap Pemikiran Islam Liberal.
Yogyakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. 2008
L Esposito, John. Ancaman Islam: Realitas atau Mito?. Bandung: Mizan. 1994.
Skripsi Agus Sunawan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia.
Yogyakarta:Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. 2006.
17