ISLAM LIBERAL

27
KATA PENGANTAR م ي ح ر ل ا ن م ح ر ل له ا م الس بLuasnya samudera keilmuan Islam yang membentang di hadapan kita, serta berbagai macam tuntutan dan tawaran untuk membedah misteri maupun ilmu-ilmu yang telah jelas berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Islam, merupakan salah satu motif bagi kita untuk mengkaji beberapa elemen dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satu unsur yang dikaji tersebut adalah mengenai pemikiran para pemikir kontemporer terkait beberapa bidang seperti tafsir dan hadis. Dalam kesempatan kali ini penulis diberi tugas untuk mengkaji pemikiran Jaringan Islam Liberal. Apa dan bagaimana sebenarnya pemikiran yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal dengan pembahasan yang kami kerucutkan pada salah satu tokohnya yaitu Ulil Abshar Abdalla. Namun, dengan penuh kesadaran penulis menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan datangnya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Dengan harapan, segala kendala yang dihadapi penulis sebelumnya dalam menyusun makalah ini dapat diatasi dan dapat melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut. Terakhir, penulis haturkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan terimakasih kepada dosen pengampu, Bapak Hilmi Muhammad yang telah bersedia dengan penuh 1

Transcript of ISLAM LIBERAL

Page 1: ISLAM LIBERAL

KATA PENGANTARالرحيم الرحمن الله بسم

Luasnya samudera keilmuan Islam yang membentang di hadapan kita,

serta berbagai macam tuntutan dan tawaran untuk membedah misteri maupun

ilmu-ilmu yang telah jelas berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan

Islam, merupakan salah satu motif bagi kita untuk mengkaji beberapa elemen

dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satu unsur yang dikaji tersebut adalah

mengenai pemikiran para pemikir kontemporer terkait beberapa bidang seperti

tafsir dan hadis. Dalam kesempatan kali ini penulis diberi tugas untuk mengkaji

pemikiran Jaringan Islam Liberal. Apa dan bagaimana sebenarnya pemikiran yang

diusung oleh Jaringan Islam Liberal dengan pembahasan yang kami kerucutkan

pada salah satu tokohnya yaitu Ulil Abshar Abdalla.

Namun, dengan penuh kesadaran penulis menyadari adanya kekurangan

dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan datangnya

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Dengan harapan, segala

kendala yang dihadapi penulis sebelumnya dalam menyusun makalah ini dapat

diatasi dan dapat melengkapi kekurangan-kekurangan tersebut.

Terakhir, penulis haturkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan

terimakasih kepada dosen pengampu, Bapak Hilmi Muhammad yang telah

bersedia dengan penuh keikhlasan memberikan gambaran cakrawala baru

keilmuan Islam yang mungkin tidak dikenal oleh penulis sebelumnya.

Terimakasih juga kepada sahabat-sahabat dan pihak-pihak lain yang telah

mendeskripsikan berbagai macam model keilmuan kepada penulis, sehingga

sangat membantu penulis dalam menyusun makalah ini. Wassalamu`alaikum

wr.wb.

Bengkulu 6 November 2015

Penulis

1

Page 2: ISLAM LIBERAL

BAB IPENDAHULUAN

A. Definisi dan Munculnya Islam Liberal

Islam liberal merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Leornard Binder

dan Charlez Kurzman dalam bukunya Liberal Islam : The Source Book yang

merupakan kumpulan sejumlah artikel dari pemikir-pemikir Islam berbagai

negara. Kurzman berkomentar bahwa tema-tema ini terdengar seperti kontradiksi

dalam peristilahan, karena selama ini Islam liberal seolah-olah hanya menjadi

simbol Barat.

Islam liberal, ditinjau dari sisi etimologi merupakan penggabungan dua hal

yang bersifat kontras. Islam merupakan sebuah agama yang berarti menyerah atau

tunduk, patuh pada Allah swt. Liberal sendiri mempunyai makna yang ganda.

John L. Esposito memberikan istilah “liberal” untuk menyebutkan pembebasan

kaum muslimin dari imperialisme bangsa Barat yang mendominasi hampir

seluruh negeri muslim. Sedangkan Zakiyuddin Baidhawi menyatakan bahwa

liberal yang dimaksudkan adalah pembebasan kaum muslimin dari cara berfikir

yang menghambat kemajuan.

Adapun Adian Husaini berpendapat, Islam Liberal itu adalah kelompok

Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh

negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita,

menyamakan agama Islam dengan agama lain (pluralisme theologis),

memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya. Islam Liberal juga

mendewakan modernitas. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan

pencapaian kemodernan maka menafsirkan kembali ajaran tersebut dan tidak

menolak modernitas, di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam liberal.

Pada tahun 2001, yakni setelah Nurcholis Majid meluncurkan gagasan

sekularisasi dan ide-ide inklusif-pluralis, lalu muncul kader-kader Nurcholis

2

Page 3: ISLAM LIBERAL

mengembangkan gagasan yang lebih intensif yang disebut dengan Jaringan Islam

liberal (JIL) yang di komandani oleh Luthfi as-Syaukani (Univ. Paramadina

Mulya), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam).

Menurut JIL sendiri, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas

Islam dengan landasan:

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam

2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas

5. Meyakini kebebasan beragama

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan

politik.

Misi JIL, sebagaimana yang dapat dilihat dalam websitenya, ada tiga:

pertama, mengembangkan penafsiran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip yang

JIL anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua,

mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme,

sehingga akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang kuat. Ketiga,

mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

B. Tokoh-Tokoh Islam Liberal

Tokoh-tokoh Islam Liberal mereka adalah orang-orang yang berkontribusi

dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yaitu,

1. Nurcholis Majid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta

2. Charles Kurzman, University Of Nirth California

3. Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah , Jakarta

4. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta

5. Mohammed Arkoun, University Of Sorbonne, Prancis

6. Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang

3

Page 4: ISLAM LIBERAL

7. Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta

8. Ulil Abshar Abdalla, Laspekdam-NU, Jakarta.

4

Page 5: ISLAM LIBERAL

BAB IIPEMBAHASAN

A. Biografi Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang

bergelut dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Perseteruannya dengan organisasi

Front Pembela Islam (FPI) dan pengakuannya atas dirinya adalah seorang muslim

liberal banyak mengundang kontroversi. Ulil Abshar lahir di Pati, Jawa Tengah

pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya, Abdullah Rifa'i adalah pengelola

pesantren Mansajul ‘Ulum di Pati. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga

Nahdhatul Ulama.

Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul

Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz.

Dia mendapat gelar sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di

Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan memperoleh gelar Doktoral di Boston

University, Massachussetts, AS

Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal.

Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik.

Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut

sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur. Selain itu Ulil

pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di

Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian

Conference on Religion and Peace (ICRP).

5

Page 6: ISLAM LIBERAL

B. Pemikiran-Pemikiran Ulil Abshar Abdalla

Dalam artikel yang ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla di harian

Kompas dengan judul “ Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” sebagai

berikut,

1. Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang

hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi

perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat

pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak

boleh disentuh tangan sejarah.

2. Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat

menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk

menandingi kecenderungan ini.

3. Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha

sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang

cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan:

paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana,

take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat

berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

4. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan

cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita

memerlukan beberapa hal.

5. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan

sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

6. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di

dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang

merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran

dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

7. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal

harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab,

Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang

6

Page 7: ISLAM LIBERAL

kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan

mengikutinya.

8. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab,

misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash,

rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal

partikular Islam di Arab.

9. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-

praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi

standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu

sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan

manusia. Begitu seterusnya.

10. Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai

"masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat

manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan

itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan,

dengan Islam.

11. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam

dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak

pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan

universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat

perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan

antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen

berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan

ini.

12. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas

memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama

adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah

sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.

Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai

publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya

partikular adalah urusan masing-masing agama.

7

Page 8: ISLAM LIBERAL

13. Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian

seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan

tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.

Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi

pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau

tujuan umum syariat Islam.

14. Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal,

kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana

nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu

adalah urusan manusia Muslim sendiri.

15. Bagaimana meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam

konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW

adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak

hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek

beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus

panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

16. Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan

pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks

sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.

Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam

di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam

historis, partikular, dan kontekstual.

17. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang

dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-

nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala

yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang

universal" dengan "yang partikular".

18. Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan

nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul

di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang

universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan

8

Page 9: ISLAM LIBERAL

Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah

adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

19. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat

contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju

perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada

zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu

verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam

bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

20. Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha

menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena

temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan

anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli

agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam

membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang

satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban

adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk

milik orang Islam.

21. Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu

penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak,

karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber

kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan

hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam

berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah

setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

22. Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun

tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah

dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis"

yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme,

agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran

"Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.

9

Page 10: ISLAM LIBERAL

23. Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik

keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai

umat Islam hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting. Yang

pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.

24. Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang

dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga

martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju,

sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada

Yang Maha Benar.

25. Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak

dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu.

Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan

kini.

26. Musuh semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam

adalah keadilan.

27. Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana

menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan

ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab,

mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung

celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat

furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus

diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan

sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.

28. Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud

ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit

mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam

menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala

syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di

muka Bumi.

29. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata

merujuk kepada "hukum Tuhan" (sekali lagi: saya tidak percaya adanya

10

Page 11: ISLAM LIBERAL

"hukum Tuhan"; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang

universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang

telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik

mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya

sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

30. Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi, wa man aradal

akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah

keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai

kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada

aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan

sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang

juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan

manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.

31. Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang

kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu,

syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang

sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan

dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode

tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.

32. Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi,

suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman,

adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah

Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua

masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi,

merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan

memakai alasan hukum Tuhan.

33. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-

mana. Saya tidak bisa menerima "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau

ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.

Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan

serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.

11

Page 12: ISLAM LIBERAL

34. Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis

keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat

mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia

terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga

sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga

semua bangsa.

35. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan

"mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan

(golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara

"Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan

menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan

umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

36. Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme,

mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana,

dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan

"mereka". Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari

yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.

37. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam

setiap lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran

pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum

sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran

Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama

yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran

Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang

dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

38. Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah

"proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama"

yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat

Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai,

"Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-

pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."

12

Page 13: ISLAM LIBERAL

39. Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama

adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang

Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,

tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan

religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama:

yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada

ujungnya.

40. Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah

dalam menghayati jalan religiusitas itu.

41. Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat,

apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama

yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.

42. Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia

adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan

kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai

kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan

hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam

semua perbincangan soal agama ini.

43. Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan

dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan

itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi

berguna buat umat manusia.

44. Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi

maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi

sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.

C. Contoh Penafsiran Ulil Abshar Abdalla

13

Page 14: ISLAM LIBERAL

Q.S. al-‘Imran (19)

ه الل عند الدين إناإلسالم

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.

Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak

pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,

jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat ini lebih tepat diterjemahkan sebagai,

"Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-

selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)." Menurut Ulil Abshar

semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju

Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,

tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan

religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu

keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Dalam al-Quran memang disebutkan bahwa Islam adalah agama yang

sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi al-Quran bukan

merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat al-Quran yang menuntut manusia

mengunakan akalnya unutk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa

kesempurnaan al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan

kesempurnaan ide, masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk

menuju kesempurnaan itu.

Q.S. Al-Baqarah : 148

فاستبقوا يها مول هو وجهة ولكل

الخيرات

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap

kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan

14

Page 15: ISLAM LIBERAL

Fastabiqul khairat, kata dalam ayat diatas bermakna berlombalah-lombalah

dalam menghayati jalan religiusitas itu. Masing-masing orang akan berlomba

paling kafah dari yang lain. Orang masih satu senti kurang kafah dianggap kurang

islami oleh orang lain yag kebetulan sudah satu senti lebih kafah, dan seterusnya.

Ulil Abshar meyatakan bahwa, beliau tidak sanggup hidup dalam lingkungan

dimana orang-orang didalamnya berlomba-lomba menunjukkan kesalehan secara

obsesif. Menurut Ulil, beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kafah,

ada saat-saat beragama degan khusyuk, ada saat bisa menghibur diri sendiri

dengan asyik. Panduan yang layak dipetik dari agama adalah ajaran tentang

larangan israf atau kelebihan

15

Page 16: ISLAM LIBERAL

BAB IIIKESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas dapat diambil beberapa poin penting

diantaranya,

1. Islam Liberal itu adalah kelompok Islam yang tidak setuju dengan

pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompok yang

getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, menyamakan

agama Islam dengan agama lain (pluralisme theologis), memperjuangkan

demokrasi Barat.

2. Pada tahun 2001 muncul kader-kader Nurcholis mengembangkan gagasan

sekularisasi dan ide-ide inklusif-pluralis yang lebih intensif yang disebut

dengan Jaringan Islam liberal (JIL) yang di komandani oleh Luthfi as-

Syaukani (Univ. Paramadina Mulya), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam

NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam)

3. Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang

bergelut dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Perseteruannya dengan

organisasi Front Pembela Islam (FPI) dan pengakuannya atas dirinya

adalah seorang muslim liberal banyak mengundang kontroversi.

4. Dalam artikel yang ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla di harian Kompas

dengan judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, beliau

menyatakan bahwa Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah

"proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama"

yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat

Innaddina 'indal Lahil Islam (QS. Al-‘Imran:19), lebih tepat diterjemahkan

sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-

tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."

kemudian fastabiqul khairat, (QS Al-Baqarah:148); berlombalah-lombalah

dalam menghayati jalan religiusitas itu.

16

Page 17: ISLAM LIBERAL

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Kompas, 18

November 2002

Adian Husaini dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,

Penyimpangan, dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani. 2004

Baidhawi, Zakiyyudin. Ambivalensi Agama: Konflik dan Nirkekerasan.

Yogyakarta: Lesfi. 2002

Jaringan Islam Liberal, Wajah Liberal islam di Indonesia. Jakarta: JIL. 2002

Kurzman,Charlez. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulumdan Hari Junaidi dalam skripsi Siti

Zuhroh. Kritik Adian Husaini terhadap Pemikiran Islam Liberal.

Yogyakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. 2008

L Esposito, John. Ancaman Islam: Realitas atau Mito?. Bandung: Mizan. 1994.

Skripsi Agus Sunawan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia.

Yogyakarta:Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. 2006.

17