Jawaban Pemicu 3.docx
-
Upload
frans-michael-oscar-marpaung -
Category
Documents
-
view
62 -
download
0
Transcript of Jawaban Pemicu 3.docx
Jawaban Pemicu 3
2. a) Anatomi Telinga
Sumber :
Bahan Kuliah Departemen Anatomi. Modul Indera. Palangka Raya : FK UNLAM. 2015 Waschke J, Paulsen F. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. 23rd Ed. Jakarta : ECG. P
138-155.
4. c) Biokimia Hidung
Zat yang berbau dapat tercium oleh hidung jika telah sampai ke rongga hidung. Kemudian ujung-ujung saraf penciuman terangsang dan disampaikan ke otak sehingga kita dapat mencium baunya.
Daerah sensitif pada indera pembau terletak di bagian atas rongga hidung.
Struktur indera pembau terdiri dari :
1. Sel-sel penyokong yang berupa sel-sel epitel.
2. Sel-sel pembau(sel olfaktori) yang berupa sel saraf sebagai reseptor
Sel-sel olfaktori sangat peka terhadap rangsangan gas kimia (kemoreseptor).
Sel-sel olfaktori memiliki tonjolan ujung dendrit berupa rambut yang terletak pada selaput lendir
hidung, sedangkan ujung yang lain berupa tonjolan akson membentuk berkas yang disebut saraf
otak I (nervus olfaktori). Saraf ini akan menembus tulang tapis dan masuk ke dalam otak
manusia.
Para ilmuwan mengetahui bahwa molekul aroma, atau odoran, terikat ke reseptor olfaktori (RO) yang berada dibawah lapisan mukus dibagian atas dari hidung. Terdapat lebih dari 350 RO yang berbeda pada manusia, dan kinerja dari kombinasi RO yang berbeda ini yang membuat kita mampu untuk mencium berbagai jenis aroma. Odoran yang terikat kepada RO membuat suatu reaksi berantai terjadi yang merubah energi pengikatan kimia menjadi sebuah sinyal elekrik saraf, dan diterjemahkan oleh otak sebagai bau.
Yang membingungkan disini adalah bagaimana mekanisme pengikatan pertama dapat terjadi. Kebanyakan dari odoran memiliki sifat hidrofobik, sementara mukus yang menyelubungi RO dalam hidung adalah cairan. Para ilmuwan telah berasumsi bahwa ada spesi lain yang terlibat untuk membantu odoran menembus lapisan mukus ini; sebuah protein pengikat odor (PPO). Namun interaksi yang melibatkan ketiga spesi ini belum pernah didemonstrasikan hingga penelitian ini diterbitkan.
Sumber : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197710132005012-EUIS_HERYATI/DIKTAT_KULIAHx.pdf
6. c) Komplikasi, Pemeriksaan, Faktor Risiko Polipnasi
A. Kimplikasi
Polip hidung bisa menyebabkan komplikasi karena mereka biasanya menghalangi aliran udara dan drainase cairan, dan juga karena peradangan kronis yang mendasari perkembangan mereka. komplikasi dari polip hidung meliputi:
Apnea tidur obstruktif. Dalam kondisi yang cukup serius ini, anda sering berhenti dan mulai bernapas pada saat tidur. ·
Infeksi sinus. Polip hidung dapat membuat anda lebih rentan terhadap infeksi sinus yang seringkali menyebabkan kondisi lebih kronis. ·
Penyebaran infeksi ke rongga mata anda. jika infeksi menyebar ke rongga mata, hal ini dapat menyebabkan pembengkakan atau benjolan pada mata, ketidakmampuan untuk menggerakkan mata, pengurangan visi, atau bahkan kebutaan yang dapat menjadi permanen.
Meningitis. Infeksi dapat juga menyebar ke selaput dan cairan di sekitar otak dan sumsum tulang belakang ·
Aneurisma atau gumpalan darah. Infeksi dapat menyebabkan masalah pada pembuluh darah di sekitar sinus, bercampur dengan suplai darah ke otak, dan menempatkan anda pada risiko stroke.
Source: http://www.dokterdigital.com/id/penyakit/220_polip-hidung.htmlCopyright DokterDigital.com
Sinusitis
Sinusitis adalah inflamasi atau infeksi pada jaringan sinus. Sinus adalah lubang kecil berisi udara
yang ada di sekitar tulang wajah. Jika poliptumbuh di dalam atau sekitar sinus, cairan dan lendir
akan terkumpul di dalam lubangini karena tertutup oleh polip.
Infeksi sinus terjadi karena cairan pada sinus tidak bisa mengalir keluar akibat terhadang polip.
Berikut ini adalah beberapa gejala dari sinusitis:
Rasa sakit pada wajah, terutama di sekitar sinus yang terinfeksi
Demam
Hidung tersumbat dan berair
Kehilangan indera penciuman
Bau mulut
Gejala sinusitis bisa terjadi beberapa kali pada orang yang menderita polip hidung. Jika dibiarkan
dan berkepanjangan, infeksi bisa menyebar ke mata. Kondisi ini bisa mengakibatkan
pembengkakan pada mata dan memengaruhi pandangan mata Anda.
Gangguan Apnea Tidur
Apnea tidur adalah gangguan karena kesulitan bernapas yang terjadi ketika sedang tertidur.
Orang yang menderita apnea tidur akan berhenti bernapas berulang kali ketika sedang tertidur.
Salah satu penyebab apnea tidur adalah keberadaan polip hidung berukuran besar yang menutupi
saluran udara seseorang ketika sedang tidur.
Banyak orang tidak menyadari mereka memiliki apnea tidur karena kondisi ini tidak
membangunkan mereka sepenuhnya. Tapi keesokan harinya penderita apnea tidur akan merasa
lelah dan mengantuk karena kualitas tidur mereka tetap terganggu.
B. Pemeriksaan
Pemeriksaan FisikPolip nasi yang masif dapat meyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung.Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Pemeriksaan Penunjang Naso-endoskopi
Polip stadium 1 dan 2 kadang tidak terlihat pada peeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi;
Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan didalam sinus.Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal dengan terapi medikamentosa.
Sumber : Soepardi S. E, Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti D. R., editors. Polip Hidung. Buku Ajar Kesehatan Teling Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta : FKUI, 2014; 101
C. Faktor Risiko
Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung atau sinus, seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip hidung. Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip hidung antara lain:
Asma
Asma merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan
Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana sekitar 20-40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.
Rhinitis alergi
Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi alergi dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitasi dengan alergen yang sama.
Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai dari hidung, mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan. Gejala dan tanda pada hidung seperti hidung mengeluarkan air/ingus (rinore), hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada hidung, berkurangnya indera penciuman, Gejala dan tanda pada mata seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut dengan istilah allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga dan tenggorokan seperti nyeri tenggorokan, suara serak, gatal pada tenggorokan atau telinga dan bengkak pada telinga
Cystic fibrosis
Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan produksi dan sekresi dari mukus dan lendir yang abnormal, lengket, cair dan tebal dari membran mukosa hidung dan sinus.
Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat menimbulkan peradangan atau inflamasi.
Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua orang tua merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari empat anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic fibrosis.
Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan menderita polip hidung.
Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses peradangan yang melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus.
Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah terutama apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk, sakit tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga dirasakan nyeri dan penuh pada telinga.
Adanya respon alergi, misalnya alergi terhadap obat aspirin atau penghilang nyeri seperti ibuprofen (Advil, Motrin, lainnya) dan naproxen (Aleve).
Churg-Strauss syndrome yaitu suatu kondisi langka yang menyebabkan peradangan pada pembuluh darah
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi atau polip hidung.
Rhinitis Nonallergic dengan sindrom eosinofilia (NARES) – polip nasal ditemukan 20% pada pasien dengan NARES
Riwayat polip pada keluarga juga mungkin memainkan peran. Ada beberapa bukti bahwa variasi genetik tertentu yang berkaitan dengan fungsi sistem kekebalan tubuh sehingga memungkinkan terjadinya polip yang diwariskan dala keluarga.
Sindrom Young
Sindrom Young yang juga dikenal sebagai infeksi sinopulmonary Azoospermia, Sindrom Sinusitis-infertilitas dan Sindrom Barry-Perkins-Young adalah suatu kondisi langka yang mencakup kombinasi dari sindrom seperti bronkiektasis , rinosinusitis dan mengurangi kesuburan atau infertilitas.
Intoleranansi alkohol –ditemukan 50% pasien dengan polip hidung
Diskinesia cilia primer
Diskinesia cilia primer merupakan kelainan genetik langka yang diturunkan secara autosomal resesif, dimana pada kelainan ini dijumpai ketidaknormalan fungsi silia sehingga timbul penumpukan lendir yang berlebih yang dapat mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga terjadi reaksi peradangan atau inflamasi.
Sumber :
http://anekaperistiwa.blogspot.com/2012/10/semua-tentang-polip-hidung.html
14. Skrining Ca Nasofaring
Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for
International Cancer Control) tahun 2002.3
Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya3
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2A Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
T2B disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau terletak di
dalam fossa supraklavikula
N3A ukuran lebih dari 6 cm
N3B di dalam fossa supraklavikula
Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3
M Metastasis jauh
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 Tidak terdapat metastasis jauh M1 Terdapat metastasis jauh
Tabel 4. Stadium penyakit3
Stadium 0 T1 N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIa T2a N0 M0
Stadium IIb T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : 3
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak
dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial
(atau keduanya)
KARSINOMA NASOFARING
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitelial
yang menutupi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali
dikemukakan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921.1
Gambar 1. Skema karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke kelenjar getah
bening leher
I. ANATOMI NASOFARING
Gambar 2. Anatomi nasofaring
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral, berbatasan dengan muara tuba eustachii. Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol seperti menara yang disebut torus tubarius. Bagian atas dan samping torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Di daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.2
II. EPIDEMIOLOGI
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
paling banyak ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas
hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah). Prevalensi KNF di Indonesia cukup
tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar datang berobat dalam
stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi buruk.3
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF
menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit.
Distribusi KNF di Indonesia hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung 60 kasus,
Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus dan 11 kasus di
Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang, Surabaya dan
kota-kota lainnya.3
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia).3
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30
tahun dan mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan
apa sebabnya belum dapat dijelaskan secara pasti mungkin terdapat kaitan
dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.4
III. ETIOLOGI (faktor risiko)
Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein Barr,
faktor genetik, dan faktor lingkungan.
1. Virus Epstein Barr (EBV)
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral
dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV berhubungan dengan
beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan
karsinoma nasofaring (EBV-1 dan EBV-2). EBV dapat menginfeksi manusia
dalam bentuk yang bervariasi. Namun, dapat pula menginfeksi orang normal
tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor
pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.3,5
2. Genetik
Karsinoma nasofaring bukan termasuk tumor genetik. Namun, karsinoma
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisa genetik menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte
Antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan
merupakan gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450
2E1 merupakan enzim yang bertanggungjawab atas aktivasi metabolik yang
terkait nitrosamin dan karsinogen.6
Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan bahwa orang dengan
gen HLA-A2, HLA-B17 dan HLA-Bw26 memiliki resiko dua kali lebih besar
menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga
menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio
HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201
memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.6
3. Lingkungan
Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung sejumlah
besarnitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR)
dannitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring.
Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang
mengandung formaldehide dan juga debu kayu/asap kayu bakar kemungkinan
dapat mengaktikan kembali infeksi dari EBV. Resiko untuk menderita
KNF pada perokok meningkat 2-6 kali dibandingkan dengan bukan
perokok serta ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di
Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi
merokok.
Terdapat juga hubungan antara terjadinya KNF, infeksi EBV, dan
penggunaan CHB (Chinese Herbal Medicine). Beberapa tanaman dan bahan
CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten seperti TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan
jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri
anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV
di tikus, meningkatnya transformasi cell mediated immunity dari EBV, dan
mempromosikan pembentukan KNF.6
IV. PATOFISIOLOGI
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi
laten dalam limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV
berikatan dengan protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B.
Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi
imortal. Namun, mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, terdapat dua reseptor
yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).6
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan
yaitu
sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali
terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan
sifat sel menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten
yaituEBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.6
Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.
Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine
kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam transformasi
sel) menjadi perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi Factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal.
V. KLASIFIKASI
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring
menjadikeratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell
carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated, serta Basaloid
Carcinoma.1,2,4
Sedangkan, ketentuan dari WHO tahun 1978, membagi karsinoma
nasofaring menjadi 3 yaitu:
1. Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya
keratin/intercellular bridge/keduanya.
2. Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel
yang jelas (pavement cell pattern)
3. Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel
poligonal berukuran besar/sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol
dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.
VI. HISTOPATOLOGI
1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Gambar 3. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6
Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari selsquamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.4,5,6
2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Gambar 4. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinomamemperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan
dengan undifferentiated carcinomaukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.4,5,6
3. Undifferentiated Carcinoma
Gambar 5. Undifferentiated carcinoma6
Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti, membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid danmultinucleated giant cell (walaupun jarang).4,5,6
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri
dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh
jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit) dan tipe Schmincke (sel-sel epitelial
neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering
dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma). Inti sel tumor berbeda
antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma. Pada
karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang
rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil.
Padamalignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar
dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.4,5,6
Gambar 6. Undifferentiated carcinoma tipe Regaud (sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat)6
.
Gambar 7.Undifferentiated carcinoma tipe Schmincke (sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran
syncytial yang difus)6
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Gambar 8. Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring. Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton
Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas.6
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis dilakukan dengan mencari keluhan yang dirasakan pasien (tanda
dan gejala KNF). Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma
nasofaring.7
Tabel 5. Formula Digby15
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,
namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi
diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat
kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.7
Gejala karsinoma nasofaring antara lain:3
1. Gejala pada hidung
Epistaksis (keluarnya darah biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu)
Pilek yang tidak sembuh
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau
2. Gejala pada telinga
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii (karena muara tuba eustachii
dekat dengan fosa rosenmulleri) sehingga terjadi tuba oklusi, Tekanan dalam
kavum timpani menjadi menurun sehinga terjadi tinitus. Gejala ini umumnya
unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.
3. Gejala pada mata
Diplopia.
Tumor merayap masuk melalui foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak
VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke
arah sisi yang sakit. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Gejala pada saraf kranial
Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejalanya berupa:
Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal)
pada pipi dan wajah
Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N.
X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring
atau laring, m. Sternocleidomastoideus, m. Trapezeus.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
5. Metastasis ke khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Pembesaran dari
kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling
sering dijumpai. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening
mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping
(limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat
pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala
utama yang dikeluhkan oleh pasien.6
.
2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta
fibernasofaringoskopi.7
3. Pemeriksaan Patologi
Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histopatologik. Diagnosis histopatologik dapat ditegakan bila dikirim
suatu material hasil biopsi cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),
Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan
sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis.7
Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi
melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar
dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang di hidung. Demikian
juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain
10%.6
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk melihat massa tumor nasofaring dan
massa tumor yang menginvasi jaringan sekitarnya yaitu dengan menggunakan
Foto polos
Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat
lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif
mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI), lebih baik dibandingkan CT dalam
membedakan tumor dari peradangan. MRI lebih sensitif dalam mengevaluasi
metastasis pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat
mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat
mendeteksinya.6
5. Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral
Capsid Antigen) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya
digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Virus juga dapat
dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia dantekhnik PCR.6
VIII. STADIUM
Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for
International Cancer Control) tahun 2002.3
Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya3
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2A Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
T2B disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau terletak di
dalam fossa supraklavikula
N3A ukuran lebih dari 6 cm
N3B di dalam fossa supraklavikula
Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3
M Metastasis jauh
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
Tabel 4. Stadium penyakit3
Stadium 0 T1 N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIa T2a N0 M0
Stadium IIb T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : 3
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak
dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial
(atau keduanya)
IX. KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas menuju dasar tengkorak melalui foramen laserum
sampai sinus kavernosus menekan N. III, N. IV. N.VI juga menekan N. II yang
memberikan kelainan
Neuralgia trigeminus ( N. V )
Neuralgia rigeminal merupakan suatu nyeri padawajah sesisi yang ditandai
dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi
dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah
daerah parapharing dan retripharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor
ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI, N. XII dengan manifestasi gejala antara
lain:
N. IX kesulitan menalan karena hemiparesis otot konstriktor superior
sertagangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
N.X hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva.
N. XI kelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot sternokleidomastoideus serta
hemiparese palatum mole.
N. XII hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan
fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
3. Sel-sel kanker dapat mengalir bersama aliran getah bening atau darah menuju
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Dalam penelitian lain,
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat bermetastasis jauh menuju
paru-paru (20%), tulang (20%), hati (10%), otak (4%), ginjal (0.4%), dan tiroid
(0.4%).
X. TATALAKSANA
Pengobatan utama bagi pasien KNF adalah radioterapi, namun sebaiknya
juga dikombinasikan dengan kemoterapi. Pemberian tambahan kemoterapi Cis-
platinum, bleomycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen
THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.3 Undifferentiated
carcinoma lebih radiosensitif sedangkan non keratinizing squamous cell
carcinoma merupakan yang paling tidak radiosensitif.6 Tatalaksana
berdasarkan stadium dibagi menjadi:
Stadium 1 : radioterapi
Stadium II dan III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi3
Salah satu efek samping dari radioterapi adalah mulut akan teras kering
yang disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor ketika
penyinaran. Cara mengatasinya adalah menganjurkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
makan/mengunyah sesuatu yang rasanya asam sehingga meragsang keluarnya
air liur. Gangguan lain yaitu mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku
di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.3
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan apabila terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai. Namun, sebelumnya tumor induk harus sudah hilang
(diperiksa radiologi dan serologi) dan tidak ditemukan adanya metastasis jauh.3
Apabila pasca pengobatan lengkap dan tumor masih tetap ada
(residu)/kambuh kembali (residitif) serta timbul metastasis jauh (seperti ke
tulang, paru, hati, otak), pengobatan yang dapat dilakukukan hanya
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan
paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol
gejala dan memperpanjang usia.3
Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan
dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya
fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor. 3
XI. PENCEGAHAN
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikprotein EBV yang
dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi.
2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan
yang berbahaya.
4. enyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat.
5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA (screening) secara
massal yang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih
dini.
XII. PROGNOSIS
Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan
angka bertahan hidup 5 tahun untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%,
stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih
buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang
lainnya.6
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor seperti:
Stadium yang lebih lanjut
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki daripada perempuan
Ras Cina
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh
XIII. BENJOLAN DI LEHER
Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm.
Benjolan (masa) di leher dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan
observasi rutin kecuali ditemukannya peningkatan level keganasan. Ketiga
penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di leher adalah neoplasma
(kanker), masa jinak, dan infeksi.8
1. Benjolan karena kanker
Karakteristiknya adalah nyeri, berbentuk keras, imobile, melekat dengan
jaringan disekitarnya, membesar perlahan.
A: Kanker dari nasofaring, kelenjar parotis
B: Kanker dari kelenjar submandibular, 2/3 anterior lidah, dasar mulut, gum,
ataupun rongga mulut
C: Kanker lidah
D: Kanker nasofaring, scalp poaterior, telinga, tulang temporal, dasar
tengkorak
E: Kanker rongga mulut, faring, tonsil, dasar lidah, laring
F: Kanker tiroid, sinus piriformis, esofagus bagian atas, paru
G: Kanker tiroid.8
2. Benjolan karena masa jinak
Berupa masa jinak (non-karsinoma) yang dapat muncul di setiap tempat di
leher, meliputi kista, inflamasi nodus limfa, lipoma, dan
sebagainya.Karakteristik masa jinak ini adalah berbatas tegas, dan dapat
digerakkan.
A: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)
B: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s), glomus
jugulare (paraganglioma)
C: Tumor kelenjar submandibularis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)
D: Lymphadenitis
E: Anomali branchial cleft, tumor badan karotis (paraganglioma), schwannoma
F: Kista duktus tiroglossal, laringocele
G: Kista tiroid, goiter.8
3. Benjolan karena infeksi
Infeksi yang sering terjadi di leher diakibatkan limfadenitis (inflamasi kelenjar
limfe akibat infeksi di tempat lain pada daerah kepala dan leher). Jika
limfadenitis sangat memburuk, maka dapat terbentuk akses di leher. Proses
infeksi dapat menyebabkan masa ini bersifat nyeri, merah, hangat.
A: Mastoiditis
B: Parotitis
C: Sialadenitis submandibular
D: Infeksi anomali branchial cleft
E: Infeksi duktus tiroglossus
F: Tiroiditis8
XIV. LIMFADENOPATI (gangguan pada kelenjar limfe)
Penyebab utama limfadenopati yaitu keganasan dan infeksi. Penyebab lain
antara lain:
1. Reaktivasi infeksi kronis: misalnya TB
2. Tumor primer berupa tumor hodgkin, non-Hodgkin
3. Tumor sekunder akibat metastasis
4. Autoimun: lupus eritematosa sistemik, artritis rematoid, AIDS
Tiga bentuk limfadenopati adalah:
a. Follicular hyperplasia infeksi, autoimun, reaksi non-spesifik
b. Paracortical hyperplasia infeksi virus, penyakit kulit, reaksi non-spesifik
c. Sinus histiocytosis pada pembersigan dari ekstremitas, lesi inflamasi
dankeganasan.9
XV. KESIMPULAN
Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien pada pemicu III (Pak
Maman), kemungkinan pasien menderita karsinoma nasofaring (berdasarkan
tanda dan gejala KNF). Untuk menegakkan diagnosis secara pasti, dibutuhkan
pemeriksaan histopatologik (patologi anatomi) dengan spesimen hasil biopsi
dari tumor tersebut. Dan perlu pmeriksaan penunjang lain
seperti radioimaging.
XVI. DAFTAR PUSTAKA
1. Bernand B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare
Disease. Biomed Central. 2006.
2. S Leu-Yi, Jhen-Chuan Lee. Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx,
Oropharynx and Hypopharynx. Original Article. J. Chinese Oncol. Soc. Vol 25.
2009: p.102-13.
3. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2009. hlm. 182-187.
4. Mills SE. Squamous Cell Carcinoma. In: Stenbergs Diagnostic Surgical
Pathology. 4th Ed. Lippicoltt William&Wilkins; 2004: p. 974-7.
5. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA. Nasopharyngeal
Cancer in Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Ed. Volume 2.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.1657- 67.
6. Piasiska H. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring di Laboratorium Patologi
Anatomi Kota Medan Tahun 2009 [tesis]. Medan: FK USU; 2010.
7. Tambunan, WG. Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC;
1991. p.67-87.
8. Chang C. Neck Masses (online). Cited 5 Mar 2012 [Updated 30 September
2011]. Available from: URL http://www.fauquierent.net/neckmass.htm
9. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of Clinical
Medicine. 7th Ed. United States, New York: Oxford University. p. 179.