Jawaban Pemicu 3.docx

33
Jawaban Pemicu 3 2. a) Anatomi Telinga

Transcript of Jawaban Pemicu 3.docx

Page 1: Jawaban Pemicu 3.docx

Jawaban Pemicu 3

2. a) Anatomi Telinga

Page 2: Jawaban Pemicu 3.docx

Sumber :

Bahan Kuliah Departemen Anatomi. Modul Indera. Palangka Raya : FK UNLAM. 2015 Waschke J, Paulsen F. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. 23rd Ed. Jakarta : ECG. P

138-155.

4. c) Biokimia Hidung

Zat yang berbau dapat tercium oleh hidung jika telah sampai ke rongga hidung. Kemudian ujung-ujung saraf penciuman terangsang dan disampaikan ke otak sehingga kita dapat mencium baunya.

Daerah sensitif pada indera pembau terletak di bagian atas rongga hidung.

Struktur indera pembau terdiri dari :

1. Sel-sel penyokong yang berupa sel-sel epitel.

2. Sel-sel pembau(sel olfaktori) yang berupa sel saraf sebagai reseptor 

Sel-sel olfaktori sangat peka terhadap rangsangan gas kimia (kemoreseptor). 

Sel-sel olfaktori memiliki tonjolan ujung dendrit berupa rambut yang terletak pada selaput lendir

hidung, sedangkan ujung yang lain berupa tonjolan akson membentuk berkas yang disebut saraf

otak I (nervus olfaktori). Saraf ini akan menembus tulang tapis dan masuk ke dalam otak

manusia.

Page 3: Jawaban Pemicu 3.docx

Para ilmuwan mengetahui bahwa molekul aroma, atau odoran, terikat ke reseptor olfaktori (RO) yang berada dibawah lapisan mukus dibagian atas dari hidung. Terdapat lebih dari 350 RO yang berbeda pada manusia, dan kinerja dari kombinasi RO yang berbeda ini yang membuat kita mampu untuk mencium berbagai jenis aroma. Odoran yang terikat kepada RO membuat suatu reaksi berantai terjadi yang merubah energi pengikatan kimia menjadi sebuah sinyal elekrik saraf, dan diterjemahkan oleh otak sebagai bau.

Yang membingungkan disini adalah bagaimana mekanisme pengikatan pertama dapat terjadi. Kebanyakan dari odoran memiliki sifat hidrofobik, sementara mukus yang menyelubungi RO dalam hidung adalah cairan. Para ilmuwan telah berasumsi bahwa ada spesi lain yang terlibat untuk membantu odoran menembus lapisan mukus ini; sebuah protein pengikat odor (PPO). Namun interaksi yang melibatkan ketiga spesi ini belum pernah didemonstrasikan hingga penelitian ini diterbitkan.

Sumber : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197710132005012-EUIS_HERYATI/DIKTAT_KULIAHx.pdf

6. c) Komplikasi, Pemeriksaan, Faktor Risiko Polipnasi

A. Kimplikasi

Polip hidung bisa menyebabkan komplikasi karena mereka biasanya menghalangi aliran udara dan drainase cairan, dan juga karena peradangan kronis yang mendasari perkembangan mereka. komplikasi dari polip hidung meliputi:

Apnea tidur obstruktif. Dalam kondisi yang cukup serius ini, anda sering berhenti dan mulai bernapas pada saat tidur. ·

Infeksi sinus. Polip hidung dapat membuat anda lebih rentan terhadap infeksi sinus yang seringkali menyebabkan kondisi lebih kronis. · 

Penyebaran infeksi ke rongga mata anda. jika infeksi menyebar ke rongga mata, hal ini dapat menyebabkan pembengkakan atau benjolan pada mata, ketidakmampuan untuk menggerakkan mata, pengurangan visi, atau bahkan kebutaan yang dapat menjadi permanen.

Meningitis. Infeksi dapat juga menyebar ke selaput dan cairan di sekitar otak dan sumsum tulang belakang · 

Aneurisma atau gumpalan darah. Infeksi dapat menyebabkan masalah pada pembuluh darah di sekitar sinus, bercampur dengan suplai darah ke otak, dan menempatkan anda pada risiko stroke.

Source: http://www.dokterdigital.com/id/penyakit/220_polip-hidung.htmlCopyright DokterDigital.com

Page 4: Jawaban Pemicu 3.docx

Sinusitis

Sinusitis adalah inflamasi atau infeksi pada jaringan sinus. Sinus adalah lubang kecil berisi udara

yang ada di sekitar tulang wajah. Jika poliptumbuh di dalam atau sekitar sinus, cairan dan lendir

akan terkumpul di dalam lubangini karena tertutup oleh polip.

Infeksi sinus terjadi karena cairan pada sinus tidak bisa mengalir keluar akibat terhadang polip.

Berikut ini adalah beberapa gejala dari sinusitis:

Rasa sakit pada wajah, terutama di sekitar sinus yang terinfeksi

Demam

Hidung tersumbat dan berair

Kehilangan indera penciuman

Bau mulut

Gejala sinusitis bisa terjadi beberapa kali pada orang yang menderita polip hidung. Jika dibiarkan

dan berkepanjangan, infeksi bisa menyebar ke mata. Kondisi ini bisa mengakibatkan

pembengkakan pada mata dan memengaruhi pandangan mata Anda.

Gangguan Apnea Tidur

Apnea tidur adalah gangguan karena kesulitan bernapas yang terjadi ketika sedang tertidur.

Orang yang menderita apnea tidur akan berhenti bernapas berulang kali ketika sedang tertidur.

Salah satu penyebab apnea tidur adalah keberadaan polip hidung berukuran besar yang menutupi

saluran udara seseorang ketika sedang tidur.

Banyak orang tidak menyadari mereka memiliki apnea tidur karena kondisi ini tidak

membangunkan mereka sepenuhnya. Tapi keesokan harinya penderita apnea tidur akan merasa

lelah dan mengantuk karena kualitas tidur mereka tetap terganggu.

B. Pemeriksaan

Pemeriksaan FisikPolip nasi yang masif dapat meyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung.Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.

Page 5: Jawaban Pemicu 3.docx

Pemeriksaan Penunjang Naso-endoskopi

Polip stadium 1 dan 2 kadang tidak terlihat pada peeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi;

Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan didalam sinus.Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal dengan terapi medikamentosa.

Sumber : Soepardi S. E, Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti D. R., editors. Polip Hidung. Buku Ajar Kesehatan Teling Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta : FKUI, 2014; 101

C. Faktor Risiko

Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung atau sinus, seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip hidung. Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip hidung antara lain:

Asma 

Asma merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan

Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana sekitar 20-40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.

Rhinitis alergi

Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi alergi dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitasi dengan alergen yang sama.

Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai dari hidung, mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan. Gejala dan tanda pada hidung seperti hidung mengeluarkan air/ingus (rinore), hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada hidung, berkurangnya indera penciuman, Gejala dan tanda pada mata seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut dengan istilah allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga dan tenggorokan seperti nyeri tenggorokan, suara serak, gatal pada tenggorokan atau telinga dan bengkak pada telinga

Cystic fibrosis 

Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan produksi dan sekresi dari mukus dan lendir yang abnormal, lengket, cair dan tebal dari membran mukosa hidung dan sinus.

Page 6: Jawaban Pemicu 3.docx

Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat menimbulkan peradangan atau inflamasi.

Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua orang tua merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari empat anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic fibrosis.

Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan menderita polip hidung.

Rhinosinusitis Kronis 

Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses peradangan yang melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus.

Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah terutama apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk, sakit tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga dirasakan nyeri dan penuh pada telinga.

Adanya respon alergi, misalnya alergi terhadap obat aspirin atau penghilang nyeri seperti ibuprofen (Advil, Motrin, lainnya) dan naproxen (Aleve).

Churg-Strauss syndrome yaitu suatu kondisi langka yang menyebabkan peradangan pada pembuluh darah

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi atau polip hidung.

Rhinitis Nonallergic dengan sindrom eosinofilia (NARES) – polip nasal ditemukan 20% pada pasien dengan NARES 

Riwayat polip pada keluarga juga mungkin memainkan peran. Ada beberapa bukti bahwa variasi genetik tertentu yang berkaitan dengan fungsi sistem kekebalan tubuh sehingga memungkinkan terjadinya polip yang diwariskan dala keluarga.

Sindrom Young

Sindrom Young yang juga dikenal sebagai infeksi sinopulmonary Azoospermia, Sindrom Sinusitis-infertilitas dan Sindrom Barry-Perkins-Young adalah suatu kondisi langka yang mencakup kombinasi dari sindrom seperti bronkiektasis , rinosinusitis dan mengurangi kesuburan atau infertilitas.

Intoleranansi alkohol –ditemukan 50% pasien dengan polip hidung

Diskinesia cilia primer

Diskinesia cilia primer merupakan kelainan genetik langka yang diturunkan secara autosomal resesif, dimana pada kelainan ini dijumpai ketidaknormalan fungsi silia sehingga timbul penumpukan lendir yang berlebih yang dapat mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga terjadi reaksi peradangan atau inflamasi.

Sumber :

http://anekaperistiwa.blogspot.com/2012/10/semua-tentang-polip-hidung.html

Page 7: Jawaban Pemicu 3.docx

14. Skrining Ca Nasofaring

Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for

International Cancer Control) tahun 2002.3

Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan

perluasannya3

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas di nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak

T2A Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring

T2B disertai perluasan ke parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3

N Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6

cm, di atas fossa supraklavikula

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6

cm, di atas fossa supraklavikula

N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau terletak di

dalam fossa supraklavikula

Page 8: Jawaban Pemicu 3.docx

N3A ukuran lebih dari 6 cm

N3B di dalam fossa supraklavikula

Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3

M Metastasis jauh

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 Tidak terdapat metastasis jauh M1 Terdapat metastasis jauh

Tabel 4. Stadium penyakit3

Stadium 0 T1 N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIa T2a N0 M0

Stadium IIb T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0

Stadium IVb Semua T N3 M0

Stadium IVc Semua T Semua N M1

Page 9: Jawaban Pemicu 3.docx

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : 3

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak

dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

dinding lateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial

(atau keduanya)

Page 10: Jawaban Pemicu 3.docx

KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang  berasal dari sel-sel epitelial

yang menutupi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali

dikemukakan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921.1

Gambar 1. Skema karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke kelenjar getah

bening leher

I. ANATOMI NASOFARING

Gambar 2. Anatomi nasofaring

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian  depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral, berbatasan dengan muara tuba eustachii. Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol seperti menara yang disebut torus tubarius. Bagian atas dan samping torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Di daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.2 

II. EPIDEMIOLOGI

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang

paling banyak ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas

hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga

mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah). Prevalensi KNF di Indonesia cukup

Page 11: Jawaban Pemicu 3.docx

tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar datang berobat dalam

stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi buruk.3

Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF

menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit.

Distribusi KNF di Indonesia hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta

ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung 60 kasus,

Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus  dan 11 kasus di

Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang, Surabaya dan

kota-kota lainnya.3

KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada

penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia).3

KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30

tahun dan mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF

banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan

apa sebabnya belum dapat dijelaskan secara pasti mungkin terdapat kaitan

dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.4

III. ETIOLOGI (faktor risiko)

Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein Barr,

faktor genetik, dan faktor  lingkungan.

1.  Virus Epstein Barr (EBV)

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral

dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV berhubungan dengan

beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan

karsinoma nasofaring (EBV-1 dan EBV-2). EBV dapat menginfeksi manusia

dalam bentuk yang bervariasi. Namun, dapat pula menginfeksi orang normal

tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor

pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.3,5

2. Genetik

Page 12: Jawaban Pemicu 3.docx

Karsinoma nasofaring bukan termasuk tumor genetik. Namun, karsinoma

nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki

agregasi familial. Analisa genetik menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte

Antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan

merupakan gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450

2E1 merupakan enzim yang bertanggungjawab atas aktivasi metabolik yang

terkait nitrosamin dan karsinogen.6

Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan bahwa orang dengan

gen HLA-A2, HLA-B17 dan HLA-Bw26 memiliki resiko dua kali lebih besar

menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga

menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio

HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201

memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.6

3. Lingkungan

Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung sejumlah

besarnitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR)

dannitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik

karsinoma nasofaring.

Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang

mengandung formaldehide dan juga debu kayu/asap kayu bakar kemungkinan

dapat mengaktikan kembali infeksi dari EBV. Resiko untuk menderita

KNF pada perokok meningkat 2-6 kali dibandingkan dengan bukan

perokok serta ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di

Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi

merokok.

Terdapat juga hubungan antara terjadinya KNF, infeksi EBV, dan

penggunaan CHB (Chinese Herbal Medicine). Beberapa tanaman dan bahan

CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten seperti TPA

(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan

jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri

anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV

di tikus, meningkatnya transformasi cell mediated immunity dari EBV, dan

mempromosikan pembentukan KNF.6

Page 13: Jawaban Pemicu 3.docx

IV. PATOFISIOLOGI

Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva

dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi

laten dalam limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV

berikatan dengan protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B.

Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi

imortal. Namun, mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, terdapat dua reseptor

yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).6

 Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan

yaitu

sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi

EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali

terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan

sifat sel menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten

yaituEBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.6

Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.

Protein transmembran LMP2A dan LMP2B  menghambat sinyal tyrosine

kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.

Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam transformasi

sel) menjadi perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi Factor) dan meningkatkan

regulasi sitokin IL-10 yang meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat

respon imun lokal.

V. KLASIFIKASI

Page 14: Jawaban Pemicu 3.docx

Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring

menjadikeratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell 

carcinoma terdiri atas  differentiated dan undifferentiated, serta Basaloid

Carcinoma.1,2,4

Sedangkan, ketentuan dari WHO tahun 1978, membagi  karsinoma

nasofaring menjadi 3 yaitu:

1. Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya

keratin/intercellular bridge/keduanya.

2. Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel

yang jelas (pavement cell pattern)

3. Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel

poligonal berukuran besar/sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol

dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.

VI. HISTOPATOLOGI

1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Gambar 3. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6

Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari selsquamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik  yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.4,5,6 

2.  Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Gambar 4. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6

      Pada pemeriksaan histopatologi  non keratinizing squamous cell carcinomamemperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai  intercellular bridge yang samar-samar.  Dibandingkan

Page 15: Jawaban Pemicu 3.docx

dengan  undifferentiated carcinomaukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.4,5,6 

3. Undifferentiated Carcinoma

Gambar 5. Undifferentiated carcinoma6

      Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti, membesar dan khromatin pucat, terdapat  anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid danmultinucleated giant cell (walaupun jarang).4,5,6 

Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri

dari kumpulan sel-sel  epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh

jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit) dan tipe Schmincke  (sel-sel epitelial

neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering

dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma).  Inti sel tumor berbeda

antara karsinoma nasofaring dan  large cell malignant lymphoma. Pada

karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang

rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil.

Padamalignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar

dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.4,5,6

Gambar 6. Undifferentiated carcinoma tipe Regaud (sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat)6

Gambar 7.Undifferentiated carcinoma tipe Schmincke (sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran

Page 16: Jawaban Pemicu 3.docx

syncytial yang difus)6

4. Basaloid Squamous Cell  Carcinoma

Gambar 8. Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring. Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton

     Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara 

komponen basaloid dan squamous jelas.6

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis dilakukan dengan mencari keluhan yang dirasakan pasien (tanda

dan gejala KNF). Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai

diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma

nasofaring.7

Tabel 5. Formula Digby15

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,

namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi

diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat

kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.7

Gejala karsinoma nasofaring antara lain:3

1. Gejala pada hidung

Page 17: Jawaban Pemicu 3.docx

Epistaksis (keluarnya darah biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit  dan

seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu)

Pilek yang tidak sembuh

Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau

2. Gejala pada telinga

Gangguan pendengaran hantaran

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)

Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii (karena muara tuba eustachii

dekat dengan fosa rosenmulleri) sehingga terjadi tuba oklusi, Tekanan dalam

kavum timpani menjadi menurun sehinga terjadi tinitus. Gejala ini umumnya

unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.

3. Gejala pada mata

Diplopia.

Tumor merayap masuk melalui foramen laseratum dan menimbulkan

gangguan N. IV dan N. VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak

VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke

arah sisi yang sakit. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

4. Gejala pada saraf kranial

Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada

penderita. Gejalanya berupa:

Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal)

pada pipi dan wajah

Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial

Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N.

X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring

atau laring, m. Sternocleidomastoideus, m. Trapezeus.

Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

Kesukaran pada waktu menelan

Page 18: Jawaban Pemicu 3.docx

Afoni

5. Metastasis ke khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Pembesaran dari

kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling

sering dijumpai. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening

mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping

(limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi

menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat

pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala

utama yang dikeluhkan oleh pasien.6

.

2. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara

rinoskopi posterior (tidak langsung)  dan nasofaringoskop (langsung) serta

fibernasofaringoskopi.7

3. Pemeriksaan Patologi

Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

diagnosis histopatologik. Diagnosis histopatologik dapat ditegakan bila dikirim

suatu material hasil biopsi cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),

Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening  servikalis

Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan

sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis.7

Biopsi

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara  yaitu dari hidung dan dari mulut.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi

melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada di  dalam mulut ditarik keluar

Page 19: Jawaban Pemicu 3.docx

dan diklem  bersama-sama dengan ujung kateter yang di hidung. Demikian

juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas.

Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi

tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain

10%.6

4. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk melihat massa tumor nasofaring dan

massa tumor yang menginvasi jaringan sekitarnya yaitu dengan menggunakan

Foto polos

Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat

lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif

mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.

Magnetic Resonance Imaging (MRI), lebih baik dibandingkan CT dalam

membedakan tumor dari peradangan. MRI  lebih sensitif dalam mengevaluasi

metastasis pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat

mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat

mendeteksinya.6

5. Serologi

Pemeriksaan serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral

Capsid Antigen) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam

mendeteksi karsinoma nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya

digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Virus juga dapat

dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia dantekhnik PCR.6

VIII. STADIUM

Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for

International Cancer Control) tahun 2002.3

Page 20: Jawaban Pemicu 3.docx

Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan

perluasannya3

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas di nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak

T2A Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring

T2B disertai perluasan ke parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3

N Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6

cm, di atas fossa supraklavikula

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6

cm, di atas fossa supraklavikula

N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau terletak di

dalam fossa supraklavikula

N3A ukuran lebih dari 6 cm

N3B di dalam fossa supraklavikula

Page 21: Jawaban Pemicu 3.docx

Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3

M Metastasis jauh

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

Tabel 4. Stadium penyakit3

Stadium 0 T1 N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIa T2a N0 M0

Stadium IIb T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0

Stadium IVb Semua T N3 M0

Stadium IVc Semua T Semua N M1

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : 3

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak

dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

Page 22: Jawaban Pemicu 3.docx

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

dinding lateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial

(atau keduanya)

IX. KOMPLIKASI

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas menuju dasar tengkorak melalui foramen laserum

sampai sinus kavernosus menekan N. III, N. IV. N.VI juga menekan N. II yang

memberikan kelainan

 Neuralgia trigeminus ( N. V )

Neuralgia rigeminal merupakan suatu nyeri padawajah sesisi yang ditandai

dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi

dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

 Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat

menginfiltrasi sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah

daerah parapharing dan retripharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor

ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI, N. XII dengan manifestasi gejala antara

lain:

N. IX  kesulitan menalan karena hemiparesis otot konstriktor superior

sertagangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

N.X hiper/hipoanestesi  mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva.

Page 23: Jawaban Pemicu 3.docx

N. XI  kelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot sternokleidomastoideus serta

hemiparese palatum mole.

N. XII  hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner   kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat mengalir bersama aliran getah bening atau darah menuju

organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Dalam penelitian lain,

ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat bermetastasis jauh menuju

paru-paru (20%), tulang (20%), hati (10%), otak (4%), ginjal (0.4%), dan tiroid

(0.4%).

X. TATALAKSANA

Pengobatan utama bagi pasien KNF adalah radioterapi, namun sebaiknya

juga dikombinasikan dengan kemoterapi. Pemberian tambahan kemoterapi Cis-

platinum, bleomycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen

THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.3 Undifferentiated

carcinoma lebih radiosensitif sedangkan non keratinizing squamous cell

carcinoma merupakan yang paling tidak radiosensitif.6 Tatalaksana

berdasarkan stadium dibagi menjadi:

Stadium 1 : radioterapi

Stadium II dan III : kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi

Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan

kemoradiasi3

Salah satu efek samping dari radioterapi adalah mulut akan teras kering

yang disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor ketika

penyinaran. Cara  mengatasinya adalah menganjurkan pasien untuk makan

dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan

makan/mengunyah sesuatu yang rasanya asam sehingga meragsang keluarnya

Page 24: Jawaban Pemicu 3.docx

air liur. Gangguan lain yaitu mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku

di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,

kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.3

Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan apabila terhadap benjolan di

leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah

penyinaran selesai. Namun, sebelumnya tumor induk harus sudah hilang 

(diperiksa radiologi dan serologi) dan tidak ditemukan adanya metastasis jauh.3

Apabila pasca pengobatan lengkap dan tumor masih tetap ada

(residu)/kambuh kembali (residitif) serta timbul metastasis jauh (seperti ke

tulang, paru, hati, otak), pengobatan yang dapat dilakukukan hanya

pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan

paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol

gejala dan memperpanjang usia.3

Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan

dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya

fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor. 3

XI. PENCEGAHAN

1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikprotein EBV yang

dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko

tinggi.

2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara

memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan

yang berbahaya.

4. enyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat.

5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA (screening) secara

massal yang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih

dini.

Page 25: Jawaban Pemicu 3.docx

XII. PROGNOSIS

Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan

angka bertahan hidup 5 tahun untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%,

stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih

buruk pada keratinizing squamous cell  carcinoma dibandingkan dengan yang

lainnya.6

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Prognosis

diperburuk oleh beberapa faktor seperti:

Stadium yang lebih lanjut

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki daripada perempuan

Ras Cina

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

XIII. BENJOLAN DI LEHER

Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm.

Benjolan (masa) di leher dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan

observasi rutin kecuali ditemukannya peningkatan level keganasan. Ketiga

penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di leher adalah neoplasma

(kanker), masa jinak, dan infeksi.8

1. Benjolan karena kanker

Karakteristiknya adalah nyeri, berbentuk keras, imobile, melekat dengan

jaringan disekitarnya, membesar perlahan.

Page 26: Jawaban Pemicu 3.docx

A:     Kanker dari nasofaring, kelenjar parotis

B:     Kanker dari kelenjar submandibular, 2/3 anterior lidah, dasar mulut, gum,

ataupun rongga mulut

C:     Kanker lidah

D:     Kanker nasofaring, scalp poaterior, telinga, tulang temporal, dasar

tengkorak

E:      Kanker rongga mulut, faring, tonsil, dasar lidah, laring

F:      Kanker tiroid, sinus piriformis, esofagus bagian atas, paru

G:     Kanker tiroid.8

2. Benjolan karena masa jinak

Berupa masa jinak (non-karsinoma) yang dapat muncul di setiap tempat di

leher, meliputi kista, inflamasi nodus limfa, lipoma, dan

sebagainya.Karakteristik masa jinak ini adalah berbatas tegas, dan dapat

digerakkan.

A:    Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)

B:    Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s), glomus

jugulare (paraganglioma)

C:    Tumor kelenjar submandibularis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)

D:    Lymphadenitis

E:    Anomali branchial cleft, tumor badan karotis (paraganglioma), schwannoma

F:    Kista duktus tiroglossal, laringocele

G:   Kista tiroid, goiter.8

3. Benjolan karena infeksi

Infeksi yang sering terjadi di leher diakibatkan limfadenitis (inflamasi kelenjar

limfe akibat infeksi di tempat lain pada daerah kepala dan leher). Jika

limfadenitis sangat memburuk, maka dapat terbentuk akses di leher. Proses

infeksi dapat menyebabkan masa ini bersifat nyeri, merah, hangat.

Page 27: Jawaban Pemicu 3.docx

A:    Mastoiditis

B:    Parotitis

C:    Sialadenitis submandibular

D:    Infeksi anomali branchial cleft

E:    Infeksi duktus tiroglossus

F:    Tiroiditis8

XIV. LIMFADENOPATI (gangguan pada kelenjar limfe)

Penyebab utama limfadenopati yaitu keganasan dan infeksi. Penyebab lain

antara lain:

1. Reaktivasi infeksi kronis: misalnya TB

2. Tumor primer berupa tumor hodgkin, non-Hodgkin

3. Tumor sekunder akibat metastasis

4. Autoimun: lupus eritematosa sistemik, artritis rematoid, AIDS

Tiga bentuk limfadenopati adalah:

a. Follicular hyperplasia  infeksi, autoimun, reaksi non-spesifik

b. Paracortical hyperplasia  infeksi virus, penyakit kulit, reaksi non-spesifik

c. Sinus histiocytosis  pada pembersigan dari ekstremitas, lesi inflamasi

dankeganasan.9

XV. KESIMPULAN

Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien pada pemicu III (Pak

Maman), kemungkinan pasien menderita karsinoma nasofaring (berdasarkan

tanda dan gejala KNF). Untuk menegakkan diagnosis secara pasti, dibutuhkan

pemeriksaan histopatologik (patologi anatomi) dengan spesimen hasil biopsi

dari tumor tersebut. Dan perlu pmeriksaan penunjang lain

seperti radioimaging.

Page 28: Jawaban Pemicu 3.docx

XVI. DAFTAR PUSTAKA

1. Bernand B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare

Disease. Biomed Central. 2006.

2. S Leu-Yi, Jhen-Chuan Lee. Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx,

Oropharynx and Hypopharynx. Original Article. J. Chinese Oncol. Soc. Vol  25.

2009: p.102-13.

3. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2009. hlm. 182-187.

4. Mills SE. Squamous Cell Carcinoma. In: Stenbergs Diagnostic Surgical

Pathology. 4th Ed. Lippicoltt William&Wilkins; 2004: p. 974-7.

5. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA. Nasopharyngeal

Cancer in Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Ed. Volume 2.

Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.1657- 67.

6. Piasiska H. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring di Laboratorium Patologi

Anatomi Kota Medan Tahun 2009 [tesis]. Medan: FK USU; 2010.

7. Tambunan, WG. Sepuluh Jenis Kanker  Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC;

1991. p.67-87.

8. Chang C. Neck Masses (online). Cited 5 Mar 2012 [Updated 30 September

2011]. Available from: URL http://www.fauquierent.net/neckmass.htm

9. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of Clinical

Medicine. 7th Ed. United States, New York: Oxford University. p. 179.