Isi

14
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan lembaga pembiayaan syariah di Indonesia selama lima tahun terakhir sangat pesat. Pertumbuhan perbankan syariah ini memberikan harapan akan semakin besarnya peran perbankan syariah untuk pembiayaan sektor riil, termasuk pertanian Akhir-akhir ini, pemerintah gencar melakukan berbagai penyuluhan dan sosialisasi melalui Bank Indonesia kepada bank-bank umum supaya mendirikan atau membuka cabang bank syariah di berbagai tempat. Diharapkan dengan pembukaan cabang tersebut, pendanaan bisa mengena kepada sektor riil terutama pada sektor pertanian. Pada dasarnya karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian Indonesia. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya bank-bank konvensional yang mau mengucurkan dananya untuk membiayai bisnis di bidang pertanian. Alasannya adalah pihak bank tidak mau merugi akibat pengembalian dana oleh petani nantinya tidak jelas. Hal itu diperkuat dengan keadaan pertanian kita saat ini yang tidak menentu akibat banyaknya bencana alam yang menimpa, masuknya sejumlah hama yang menghinggapi dunia pertanian saat kini, dan anggapan bahwa pinjaman untuk petani dianggap mereka sebagai dana hibah yang nantinya tidak ada pengembaliannya. Sehingga, pihak bank enggan untuk mengeluarkan sejumlah dananya bagi pembiayaan petani. Semakin tidak jelasnya pendanaan bagi petani menyebabkan petani meminjam dana dari para rentenir. Akibatnya, biaya pengembalian dana tersebut membengkak seiring dengan jumlah bunga yang dibebankan kepada petani terus membengkak. Jika usaha para petani tidak ditunjang dengan dana pembiayaan dari badan keuangan bukan tidak mungkin usaha pertanian di Indonesia akan mati dan para petani akan berbondong bondong pindah ke sektor lain yang lebih menguntungkan. Situasi ini akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia dan akan menyebabkan semakin banyaknya jumlah impor hasil pertanian dari negara lain. Konsep pembiayaan syariah, terutama bagi hasil, mungkin sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian karena dapat lebih memberikan rasa keadilan bagi para pelaku bisnis. Petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis maupun faktual pernah atau masih mempraktekkannya. Adanya skim pembiayaan yang sesuai dengan ajaran agama ini diharapkan secara emosional akan mempermudah petani dalam menerima sistem pembiayaan syariah. Komitmen bank syariah untuk usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan peluang besar untuk sektor pertanian yang mayoritas berskala kecil sampai menengah. Usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan melarang pembiayaan pada sektor yang spekulatif. Sistem pembiayaan syariah juga mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga akan mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, dan golongan.

Transcript of Isi

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan lembaga pembiayaan syariah di Indonesia selama lima tahun terakhir sangat pesat. Pertumbuhan perbankan syariah ini memberikan harapan akan semakin besarnya peran perbankan syariah untuk pembiayaan sektor riil, termasuk pertanian Akhir-akhir ini, pemerintah gencar melakukan berbagai penyuluhan dan sosialisasi melalui Bank Indonesia kepada bank-bank umum supaya mendirikan atau membuka cabang bank syariah di berbagai tempat. Diharapkan dengan pembukaan cabang tersebut, pendanaan bisa mengena kepada sektor riil terutama pada sektor pertanian. Pada dasarnya karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian Indonesia. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya bank-bank konvensional yang mau mengucurkan dananya untuk membiayai bisnis di bidang pertanian. Alasannya adalah pihak bank tidak mau merugi akibat pengembalian dana oleh petani nantinya tidak jelas. Hal itu diperkuat dengan keadaan pertanian kita saat ini yang tidak menentu akibat banyaknya bencana alam yang menimpa, masuknya sejumlah hama yang menghinggapi dunia pertanian saat kini, dan anggapan bahwa pinjaman untuk petani dianggap mereka sebagai dana hibah yang nantinya tidak ada pengembaliannya. Sehingga, pihak bank enggan untuk mengeluarkan sejumlah dananya bagi pembiayaan petani. Semakin tidak jelasnya pendanaan bagi petani menyebabkan petani meminjam dana dari para rentenir. Akibatnya, biaya pengembalian dana tersebut membengkak seiring dengan jumlah bunga yang dibebankan kepada petani terus membengkak. Jika usaha para petani tidak ditunjang dengan dana pembiayaan dari badan keuangan bukan tidak mungkin usaha pertanian di Indonesia akan mati dan para petani akan berbondong bondong pindah ke sektor lain yang lebih menguntungkan. Situasi ini akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia dan akan menyebabkan semakin banyaknya jumlah impor hasil pertanian dari negara lain. Konsep pembiayaan syariah, terutama bagi hasil, mungkin sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian karena dapat lebih memberikan rasa keadilan bagi para pelaku bisnis. Petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis maupun faktual pernah atau masih mempraktekkannya. Adanya skim pembiayaan yang sesuai dengan ajaran agama ini diharapkan secara emosional akan mempermudah petani dalam menerima sistem pembiayaan syariah. Komitmen bank syariah untuk usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan peluang besar untuk sektor pertanian yang mayoritas berskala kecil sampai menengah. Usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan melarang pembiayaan pada sektor yang spekulatif. Sistem pembiayaan syariah juga mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga akan mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, dan golongan.

2

Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini adalah: 1. Untuk mengetaui perlukah Bank Petanian Syariah didirikan. 2. Untuk mengetahui apa saja manfaat dari Bank Pertanian Syariah bagi petani di Indonesia. Manfaat dari penulisan ini adalah memberikan pemahaman kepada pemerintah dan masyarakat terhadap pentingnya pendirian bank pertanian syariah yang mampu mengatasi masalah pembiayaan petani yang pada akhirnya dapat menciptakan sistem ekonomi yang kuat melalui pertanian yang kuat pula.

GAGASAN Kondisi Pertanian di Indonesia Saat Ini Indonesia adalah negara yang berada di antara dua samudra dan dua benua yatu benua Asia dan Australia dan diapit oleh dua samudra yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia tidak lupa juga Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya, baik itu dari sumber daya laut, darat maupun sumber daya alam yang terdapat di dalam perut bumi. Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah laut dan banyak sekali dari kekayaan laut itu yang bisa kita manfaatkan. Tidak hanya kekayaan laut, kekayaan darat yang terdapat di Indonesia juga layak untuk dipertimbangkan dan dijadikan sebuah komoditi yang dibanggakan kekuatan eksportnya. Indonesia juga disebut sebagai negara agraris, sektor pertanian dan pedesaan memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan nasional. Peran tersebut, di antaranya adalah sebagai andalan mata pencaharian sebagian besar penduduk, kontribusinya PDB, sumber devisa, bahan baku industri, dan perannya dalam penyediaan bahan pangan dan gizi, serta sebagai pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil. Kecilnya pembiayaan perbankan pada sektor pertanian karena sektor pertanian dianggap memiliki tingkat resiko yang tinggi, sangat bergantung pada musim, ketersediaan air, jaminan harga yang fluktuatif, dan sebagainya. Selain itu juga disebabkan oleh adanya tiga sifat yang melekat pada skim pembiayaan pertanian yang menimbulkan ketidakefektifan (Saptana dan Ashari, 2005). Pertama, kredit selalu berbasis bunga tetap (fix interest). Setiap skim kredit apapun bentuknya menjadikan bunga sebagai harta tetap dari dana yang dipinjam dan harus dikembalikan ketika jatuh tempo. Padahal sektor pertanian memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Jika petani gagal dalam usaha taninya, baik karena gagal panen maupun rendahnya harga pasar, mereka tidak akan mampu membayar pinjaman sehingga dapat terjerat hutang yang semakin besar karena prinsip bunga berbunga. Kedua, terdapat gap dalam ruang usaha antara peminjam (debitur) dan pemberi pinjaman (kreditur). Pihak debitur murni berusaha di sektor riil, sementara kreditur hanya bergerak di sektor moneter. Konsekuensinya, resiko kegagalan usaha umumnya hanya akan dibebankan kepada debitur, sementara kreditur tetap mendapatkan keuntungan sebesar tingkat suku bunga yang

3

ditetapkan. Ketiga, sistem pembiayaan pertanian selama ini diintegrasikan dengan pembiayaan sektor nonpertanian. Sistem penghitungan usaha pada sektor nonpertanian (terutama industri dan jasa) jika diterapkan untuk usaha pertanian cenderung over estimate. Apabila dipaksakan hal ini akan membuat usaha pertanian tidak akan mendapat dukungan kredit dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan. Dari ketiga skim pembayaran tersebutlah yang menyebabkan petanian di Indonesia belum dapat dikatakan maju dari segi finansial. Padahal Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Dari sinilah para petani merasa bahwa dirinya tidak berkembang untuk mengatasi problem financial. Seiring tidak berkembangnya sektor pertanian menyebabkan penghasilan yang didapatkan oleh petani semakin kecil dan akan mengancam stabilitas perekonomian negara. Solusi yang Pernah Diterapkan Pada tahun 1990 pemerintah melaksanakan reorientasi kebijaksanaan perkreditan sejak dikeluarkan Paket Januari 1990 (Bank Indonesia, dalam Syukur, dkk, 1999) yang memiliki arah sebagai berikut : 1. Kredit Program : alokasi kredit diserahkan pada mekanisme paket bank-bank bebas dalam memobilisasi dana dan menyalurkan kepada masyarakat baik jumlah, harga, penggunaan, maupun persyaratannya. 2. Penyederhanaan struktur bunga sehingga terbentuk suku bunga yang wajar melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap asing. 3. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan hanya diberikan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi. Program yang mendapat KLBI tersebut unsur subsidinya sejauh mungkin dikurangi sehingga suku bunga kredit berorientasi kepada suku bunga pasar. Kredit program tersebut antara lain, Kredit Usha Tani (KUT), Kredit Kepada KUD (KKUD) Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) .Kredit Kepada Bulog untuk pengadaan pangan nasional, dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana /Sangat Sederhana (KPRS/KPRSS). Skim-skim tersebut dibiayai dengan dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan. 4. Sebagian kredit perbankan diarahkan untuk usaha kecil melaui pemberian kewajiban kepada semua bank untuk menyediakan KUK sebesar minimum 20 persen dari jumlah pemberian kredit. Disamping itu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kepada bank asing /campuran dan bank devisa diwajibkan mengalokasikan sebagian dananya untuk kredit ekspor. Deregulasi perkreditan tersebut tidak berdampak terhadap alokasi kredit sektor pertanian primer terutama KUT, karena tidak dilakukan pembatasn terhadap plavon KUT. Dari pada sisi penyaluran KUT selama periode 1990- 1996, terjadi penurunan dari sekitar Rp.108 milyar pada tahun 1990-1991 menjadi Rp.34 milyar pada tahun 1996/1997. Namun dai segi tunggakan kredit terdapat

4

kecenderungan peningkatan (Syukur, dkk, 1999). Hal ini menunjukkan kinerja program KUT semakin menurun, baik dari aspek penyaluran maupun pengembaliannya, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dalam memproduksi pangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh prosedur penyaluran KUT kurang sederana, kemampuan kelompok tani dalam menyususn RDKK umumnya lemah, dan kemampuan KUD dalam mengelola penyaluran dan pengembalian KUT sebagian besar masih lemah (Sumaryanto dan Pasandaran,1991). Oleh karena itu pada tahun 1999 dilakukan upaya terobosan untuk meningkatkan penyerapan kredit KUT dengan mengubah pola penyaluran ,dimana bank hanya berperan sebagai chanelling. Sementara excecuting berada pada Departemen Koperasi atau LSM. Pola yang demikian berhasil mendongkrak pencairan kredit hingga 1000 persen. Selain itu plavon KUT yang bersumber dari dana KLBI ditingkatkan. Penyaluran KUT untuk tanaman pangan dan hortikultura mencapai 8 trilyun rupiah. Peningkatan pencairan KUT yang demikian besar sepatutnya dapat meningkatkan produksi padi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan terjadi pula tunggakan kredit yang mencapai 6 trilyun rupiah. Maka dari itu pemberian kredit dalam keadaan normal perlu memperhatikan syarat-syarat(Ronodiwiryo,1982) sebagai berikut : 1. Petani-petani yang diberi kredit mampu dan mau menaikkan produksi 2. Mereka mau dan mampu mengembalikan kredit dari hasil kenaikan produksi tersebut segera sesudah panen 3. Untuk berhasilnya semua itu, maka kredit diberikan kepada petanipetani secara selektif disertai pengawasan dan bimbingan tentang caracara memakainya, dan bimbingan kultur tekhnis yang ke dua-duanya perlu dilakukan secara intensif. Padahal dengan diberlakukannya otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan usaha pertanian, secara ekonomi belum dirasakan manfaatnya. Naluri ekonomi atau pelaku agribisnis di pedesaan belum sepenuhnya mendapat dorongan gairah dari pemberian otonomi tersebut. Bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah, kredit pertanian semacam KUT tidak lagi bisa diperoleh dengan mudah (Pranaji, 2003). KUD tidak lagi bisa diandalkan untuk menjadi lembaga jasa penyalur kredit atau agen penjamin untuk memperoleh sarana atau input pertanian. Akibatnya di tingkat usaha tani terjadi peningkatan krisis permodalan. Untuk mengatasi masalah permodalan, di dalam masyarakat pedesaan banyak terdapat kelembagaan kemitraan antar pelaku agribisnis, dan ternyata dapat berfungsi dengan baik. Di dalam kelembagaan ini masing-masing memperoleh manfaat baik secara finansial maupun sosial (Irawan, dkk.2001) Di daerah pedesaan terdapat berbagai bentuk lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat, baik yang bersifat formal maupu non formal. Lembaga yang bersifat formal antara lain Bank BRI, Bukopin BPR, Koperasi, Pegadaian. BKD/LDKP, dan sebagainya. Namun terjadi kecenderungan bahwa arus dana dari pedesaan lebih besar dari pada kredit yang mengalir ke pedesaan (Rachman, 1993). Sedang lembaga pembiayaan non formal antara lain kios saprotan, pedagang hasil pertanian, pelepas uang/rentenir, bank keliling, dan sebagainya. Masalah perkreditan di pedesaan melibatkan dua kelompok kepentingan yaitu petani atau masyarakat di satu pihak sebagai debitor, dan lembaga

5

pembiayaan di lain pihak sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut tentu berbeda kepentingan dan tujuan terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan konflik pandangan. Konflik pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani di pedesaan (Kasryno, dkk,1980). Oleh karena itu di daerah pedesaan muncul berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan non formal, yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Planck (1993) menegaskan bahwa meskipun sebagian masyarakat hanya mempunyai ukuran usaha dan luas sawah relatif sempit , dan kebanyakan petani menggunakan suatu bagian utama produksi beras untuk kebutuhan sendiri, tetapi masih ada sisa tertentu yang dapat dijual. Artinya di satu pihak mempunyai orientasi pasar, di lain pihak mereka memiliki pendapatan tunai yang bisa digunakan untuk membayar hutang. Jadi mereka dapat dipercaya untuk menjadi nasabah dalam sistem perkreditan. Sumber kredit informal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat, petani bebas menggunakan kreditnya, juga kreditor mengetahui betul kelayaan kredit si petani serta bersedia memberi pinjaman kapan, dimana, dan berapa saja petani minta. Sedangkan kredit formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, ke dua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi. Alternatif Pembiayaan Syariah Dilihat dari berbagai macam kondisi pembiayaan bagi pertanian saat ini yang masih banyak terdapat kekurangan, maka kami memberikan salah satu alternatif pembiayaan lain selain pembiayaan konvensional yang telah hadir terlebih dahulu. Yakni, pembiayaan berbasis syariah. Dimana pembiayaan tersebut merupakan satu-satunya pembiayaan yang tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan, baik di pihak petani maupun di pihak lembaga pembiayaan (bank). Sebenarnya, konsep pembiyaan syariah sudah ada sejak tahun 1991 dengan pendirian bank syariah, yaitu Bank Muamalat. Akan tetapi, pembiayaan Bank Muamalat masih belum mengena pada sector riil, terutama pada bidang pertanian. Sehingga, sampai saat ini masih masih belum ada pembiayaan syariah yang mengena pada sektor riil. Sebenarnya dahulu telah ada pembiayaan pertanian yang dilakukan oleh bank berbasis konvensional akan tetapi semakin lama pembiayaan itu semakin berkurang dikarenakan tidak pastinya pengembalian modal yang dilakukan oleh para petani. Selain itu bunga yang dikenakan pada petani tidak terjangkau karena tidak pastinya jumlah hasil panen yang dihasilkan. Oleh karena itu sampai sekarang sektor riil seperti pertanian dianggap tidak menghasilkan dan merugikan pihak bank (kreditor). Maka dari itu, pendirian bank pertanian syariah sangat diperlukan untuk mempercepat proses pembiayaan petani saat ini.

6

Pihak-Pihak yang Membantu Mengimplementasikan Gagasan Ini Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersamasama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progress perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan (Bank Indonesia, 2008)

7

Sumber: Bank Indonesia (2008) Model gambar diatas menunjukkan struktur perbankan di Indonesia yang terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau berdasarkan prinsip syariah (Bank Indonesia, 2008). Dari penjelasan tersebut, sudah jelas bahwa Bank Indonesia berkomitmen untuk mendirikan bank syariah. Akan tetapi, untuk segera didirikannya bank pertanian syariah, perlu adanya pihak lain yang mendukung untuk segera mendirikan bank pertanian syariah, yaitu Departemen Pertanian. Dengan adanya integrasi antara Bank Indonesia dengan Departemen Pertanian, diharapkan pendirian bank pertanian syariah segera didirikan supaya pembiayaan syariah kepada petani segera dilakukan. Langkah-Langkah Strategis yang Harus Dilakukan Telah diketahui bersama, Indonesia adalah negara agraris, dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai seorang petani. jumlah petani yang banyak seharusnya menjadi potensi dari didirikannya perbankkan syariah, banyak hal mengapa pertanian bank pertanian syariah harus didirikan di Indonesia karena sebagaimana kita ketahui bersama, para petani terkadang rela meminjam pinjaman kepada rentenir dengan bunga yang berlipat-lipat karena mereka beranggapan jika para petani meminjam uang ke bank maka prosesnya

8

akan sangat sulit bisa dibilang karena sulitnya birokrasi di perbankan konvensional sehingga mengakibatkan petani rela untuk meminjam uang di rentenir. Jika petani bisa membayar rentenir yang biayanya berlipat-lipat berarti peluang untuk mendirikan bank pertanian syariah yang notabenenya memberikan banyak keleluasaan dan kemudahan dalam proses peminjamannya dapat dijadikan suatu alternatif bagi para petani. Gagasan pendirian bank pertanian syariah sebagai sumber alternatif pembiayaan pertanian perlu ditindaklanjuti secara lebih serius. Ada bebarapa alasan pendirian bank pertanian dengan prinsip syariah, yakni: Pertama, karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Prinsip pembiayaan syariah didasarkan atas prinsip Syirkah (kemitraan usaha) dengan menerapkan sistem profit dan loss sharing dalam operasionalnya. Pada pembiayaan syariah, petani dan pemilik modal akan bersama-sama bertanggung jawab terhadap jalannya usaha. Sedangkan pada pembiayaan konvensional, petani bertanggung jawab penuh dalam menanggung risiko usaha. Pada pembiayaan syariah, petani dan pemilik modal akan bersama-sama bertanggung jawab terhadap jalannya usaha; sedangkan pada pembiayaan konvensional, petani bertanggung jawab penuh dalam menanggung risiko usaha. Kedua, skim pembiayaan syariah sudah dipraktekkan secara luas oleh petani Indonesia. Secara budaya, banyak petani sudah mengenal model pembiayaan yang sejalan dengan prinsip syariah, seperti sistem maro (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:1); mertelu (1:2); dan mrapat (1:3) (van der Kroef, 1984). Konsep ini sama dengan jenis pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada perbankan syariah. Dengan sosialisasi intensif, petani akan lebih mudah menerima konsep pembiayaan syariah, karena secara historis pernah mempraktekkan.

Sumber: Penulis.

9

Model pada gambar II menunjukkan bagaimana salah satu skim pembiayaan bank syariah (skim salam pararel) digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan pertanian. Dalam skema tersebut tidak ada unsur riba, masyir, gharar, dan batil karena pada skim tersebut terdapat negoisasi dan akad yang akan memberikan kejelasan bagaimana tata cara penjualan dan pembelian barang yang menghasilkan keuntungan di kedua belah pihak ( nasabah, bank pertanian syariah, dan produsen/penjual). Ketiga, luasnya cakupan usaha dan komoditas di sektor pertanian. Usaha di sektor pertanian mencakup beberapa subsistem yang sangat luas, mulai dari pengadaan saprodi, budidaya, panen, pasca panen, pengolahan, hingga pemasaran hasil. Pada semua subsistem ini memungkinkan untuk menggunakan pembiayaan syariah. Demikian juga dilihat dari cakupan komoditas pertanian, seperti tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultura (buah-buahan dan sayuran), perkebunan, dan perternakan memungkinan untuk memperoleh produk pembiayaan syariah yang cukup beragam. Keempat, tingkat kepatuhan petani. Usaha pertanian saat ini masih dilakukan oleh mayoritas petani kecil di pedesaan, dan umumnya masih menghormati aturan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya skim pembiayaan yang sesuai dengan ajaran agama diharapkan secara emosional akan mempermudah petani dalam menerima sistem pembiayaan syariah Kelima, usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Untuk itu, struktur bank pertanian syariah yang nantinya didirikan ini sebaiknya mengikuti struktur bank investasi dari pada bank komersial (Irfan Syauqi Beik, 2007). Diharapkan, bank pertanian syariah ini dapat menjadi model bank investasi syariah, sehingga mampu menjawab problematika akses pembiayaan bagi petani. Keenam, bank pertanian syariah dapat menjadi substitusi kebijakan subsidi pemerintah untuk sektor pertanian. Selama ini subsidi yang diberikan pemerintah lebih menitikberatkan pada subsidi sarana produksi pertanian. Pada praktiknya seringkali subsidi tersebut salah sasaran akibat moral hazard. Sebagai contoh adalah subsidi pupuk yang tujuannya adalah memberikan pupuk dengan harga murah dan dapat dijangkau oleh petani. Namun demikian, akibat permainan di tingkat distribusi, seringkali harga yang diterima di tingkat petani menjadi lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah. Melalui pendirian bank pertanian syariah, dana triliunan dapat disuntikkan oleh pemerintah kepada bank, dan dapat disalurkan langsung untuk membiayai petani sehingga memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia yang mayoritas petani (42%).

10

Tabel I: Perkembangan Lembaga Perbankan Syariah, Menurut Kelompok Bank 2000-2004 Tahun Kelompok bank 2000 2001 2002 2003 2004 Bank Umum Syariah 2 2 2 2 3 Unit Umum Syariah 3 3 6 8 15 Jenis kantor Bank 62 96 127 253 355 BPRS 78 81 83 84 88 Total 140 177 210 237 443 Sumber: Bank Indonesia (2005) * Pada bulan Februari 2005, jumlah UUS bertambah satu lagi yaitu BTN Syariah, sehingga jumlahnya menjadi 16. Jadi total bank syariah di Indonesia berjumlah 19 buah. Perkembangan yang pesat juga dapat dilihat dari total penyerapan dana maupun pembiayaan. Dari sisi simpanan masyarakat, dana pihak ketiga (DPK) yang pada akhir tahun 2000 hanya berjumlah Rp 1,03 triliun, telah meningkat menjadi Rp 9,3 triliun pada September 2004. Demikian pula pembiayaan yang diberikan pada akhir tahun 2000 berjumlah Rp 1,7 triliun menjadi Rp 9,54 triliun pada september 2004 (Agustianto, 2004). Pada tahun 2005 dioprkirakan DPK akan mencapai sekitar Rp 20 triliun dengan jumlah pembiayaan mencapai Rp 21 triliun. Untuk penyaluran DPK, prestasi bank syariah juga sangat baik. Nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) atau dalam istilah bank konvensional disebut Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 104,72 persen pada kurun Desember 2003-2004. Dibandingkan dengan LDR bank konvensional (45-55%), maka FDR bank syariah jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan syariah berfungsi sangat baik dalam penyaluran seluruh dana yang dihimpun guna membiayai sektor riil. Selain itu, Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah (2,88%) juga lebih randah dibandingkan Non Performing Loan (NPL) perbankan konvensional yang mencapai 7,1 persen. Agustiano dalam Syukur (2005) mengemukakan bahwa pada tahun-tahun mendatang prospek perkembangan perbankan syariah masih sangat cerah. Keoptimisan itu dilandasi oleh lima faktor utama, yaitu 1. Prospek ekonomi Indonesia ke depan secara keseluruhan diperkirakan akan mengalami perbaikan dibanding tahun 2004. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dan investasi sebesar 9,5 persen pada tahun 2005, maka dibutuhkan sumber pembiayaan investasi dengan total sekitar Rp 480 triliun. Dari jumlah ini, besarnya kredit dan pembiayaan dari sektor perbankan akan mencapai lebih dari Rp 90 triliun atau tumbuh 16 persen dibanding tahun 2004. Besarnya ekspansi kredit dan pembiayaan ini jelas akan membuka peluang untuk semakin meningkatnya operasi dan pangsa pasar perbankan syariah.

11

2. Potensi pengembangan bank syariah di masa depan bukan hanya disebabkan potensi pasar yang masih besar, tapi juga karena situasi ekonomi makro dan pricing bunga yang juga lebih rendah dibanding bagi hasil bank syariah. 3. semakin besarnya minat masyarakat untuk mendalami dan melakukan berbagai transaksi ekonomi berdasarkan prinsoip syariah. Hal ini juga didukung oleh semakin kuat dan meluasnya keyakinan umat bahwa sistem ekonomi syariah menawarkan keunggulan dan kelebihan atas sistem perbankan konvensional. 4. Struktur kelembagaan dan operasi perbankan syariah dari tahun ke tahun diperkirakan akan mengalami penguatan dan pembesaran yang signifikan. 5. Inovasi produk perbankan syariah juga akan semakin meluas dan bervariasi, sehingga mendukung perkembangan operasi perbankan syariah di masa depan. Jika melihat nilai FDR yang cukup tinggi, kelima faktor tersebut diharapkan secara simultan mampu memberikan dampak besar, khususnya pada sektor pertanian. Hal ini di dukung dengan semakin besarnya DPK yang bisa membuat sektor pertanian semakin kondusif. Namun, karena rendahnya alokasi kredit untuk sektor pertanian menyebabkan tidak adanya prioritas pembiayaan di sektor ini. Hal ini membuat keberadaan lembaga pembiayaan syariah memiliki peluang besar untuk memperkuat sisi permodalan sektor pertanian. Untuk mendukung pembiayaan syariah di sektor pertanian, hal penting yang perlu diperhatikan adalah harus ada keberpihakan (Syukur 2005). Keberpihakan ini dapat diwujudkan dengan memberikan alokasi pembiayaan yang cukup besar untuk sektor pertanian. Peran pemerintah sebagai policy maker cukup signifikan dalam mendukung upaya ini baik melalui peraturan atau fasilitasi informasi tentang usaha pertanian yang prospektif dimitrakan dengan model pembiayaan syariah. Departemen pertanian, sebagaimana disebutkan Anonim (2004) telah merespon dengan menyusun peta potensi usaha sektor pertanian. Peta ini berfungsi untuk mengetahui secara rinci potensi usaha sektor pertanian yang akan dibiayai oleh lembaga keuangan syariah, baik bank maupun non bank. Disamping itu dengan telah tersedianya data dan informasi tentang profil investasi di sebagian besar wilayah provinsi akan dapat mendukung implementasi pembiayaan syariah hingga ke pelosok wilayah pedesaan. Langkah-langkah strategis yang akan ditempuh pertama adalah dengan memberikan berbagai gambaran serta opini-opini kepada kepada Bank Indonesia agar tercinpa suatu paradigma baru tentang pentingnya bank pertanian syariah untuk perkembangan para petani yang kedua adalah memberikan penyuluhan kepada para petani tentang pentingnya pentingnya pendirian bank Pertanian syariah. Ketiga adalah memberikan pengetahuan yang baru dan resolutif kepada para petani tentang cara bertani yang baik sehingga bisa meminimalisasi kerugian akibat gagal panen agar apabila sistem ini berjalan dengan baik, kita dapat

12

menyakinkan lembaga pemberi modal untul memperlancar permodalan yang dibutuhkan oleh para petani.

KESIMPULAN Gagasan yang Diajukan Berdasarkan data dan pembahasan yang telah dilakukan, gagasan yang dapat kita ajukan adalah diperlukannya pendirian Bank Pertanian Syariah yang dikhususkan sebagai sumber pembiayaan bagi petani di Indonesia sehingga menunjang perekonomian Indonesia. Bank Pertanian Syariah sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yang saat ini sedang dilanda krisis pembiayaan. Dengan adanya skim pembiayaan salam, petani mudah untuk mendapatkan dana bagi pertaniannya dengan tata cara yang ada didalam skim tersebut (akad dan negosiasi). Teknik Implementasi Implementasi yang diharapkan akan dilakukan adalah Segera didirikannya Bank Pertanian Syariah oleh Bank Indonesia melalui Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang dapat menjadi model bank investasi syariah, sehingga mampu menjawab problematika akses pembiayaan bagi petani. Penyinergi antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam upaya pendirian Bank Pertanian Syariah demi kesejahteraan petani di Indonesia. Bank Indonesia sebagai Mother of Bank seharusnya segera mengintruksikan kepada bank konvensional untuk segera membuka cabang bank syariah yang berfokus pada sektor riil, terutama pada sektor pertanian. Departemen Pertanian dalam komitmennya untuk memakmurkan petani, dapat mengajak pihak-pihak terkait, seperti Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan lainnya supaya terjadi inter relation antar departemen terkait agar pembiayaan petani segera dapat dilaksanakan. Manfaat dan Dampak Gagasan Manfaat yang didapatkan dari pendirian bank pertanian syariah bisa dirasakan oleh petani dan nasabah. Bagi petani, mereka akan sangat mudah untuk mendapatkan pembiayaan bila mereka sedang kekurangan modal. Sehingga taraf hidup petani akan naik. Bagi nasabah, mereka tidak mendapatkan kesulitan jika mereka membutuhkan hasil pertanian yang kemungkinan sulit untuk didapatkan. Bagi bank pertanian syariah, mereka mendapatkan margin keuntungan yang didapatkan dari selisih dana yang didapatkan dari nasabah dengan dana yang dikeluarkan untuk petani atau produsen.

13

Prediksi hasil yang akan diperoleh dari karya tulis ini adalah terdapat sekurang-kurangnya satu bank pertanian syariah di setiap provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun agar dapat memberikan kemudahan bagi para petani pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya untuk pembangunan Indonesia yang lebih berkembang.

DAFTAR PUSTAKA Anonim.2004.Pembiayaan Syariah.Sarana, November 2004. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian.Departemen Pertanian. Jakarta Ariefsulfie. 2008. Menggagas Bank Pertanian Syariah. www.ariefsulfie.wordpress.com Diakses pada tanggal 9 Januari 2010 Bank Indonesia. 2008. Institusi Perbankan Indonesia. www.bi.go.id Diakses pada tanggal 4 Maret 2010 ____________. 2008. Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia. www.bi.go.id Diakses pada tanggal 4 Maret 2010 Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, dkk. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Schaik, D., 2001, Islamic Banking The Arab Bank Review, 3 (1): hal. 45-52 Sudarsono, H., 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia: Yogyakarta Sudaryanto, T. dan M Syukur. 2001. Pengembangan Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Daftar Riwayat Hidup BIODATA PENULIS PENULIS I Nama :M. Primadion Sofyan Tempat/tanggal lahir :Surabaya, 11 Juni 1990 Karya tulis yang pernah dihasilkan : Pendirian Bank Pertanian Syariah untuk Menarik Dikeluarkannya Sukuk Bagi Pertanian Dalam Rangka Usaha Peningkatan Kesejahteraan Petani Di Indonesia Penggunaan Metode PHM (Prophet Halaqoh Method) Sebagai Salah Satu Pemecahan Masalah Facebook yang Telah Menimbulkan Dampak Negatif di Kalangan Remaja

14

PENULIS II Nama :Rialita Febrina Tempat/tanggal lahir :Surabaya, 4 Februari 1990 karya tulisyang pernah dihasilkan : Efektivitas Sistem Multipartai pada Pemilu Tahun 2008 Pengaruh Sistem Pembelajaran KBK terhadap keaktifan siswa Pengaruh bahasa ibu terhadap penggunaan bahasa Indonesia Pengaruh Pembelajaran Hukum Islam Semenjak Dini Terhadap Pilihan Bank Penyelesaian Konflik Kepentingan dalam Pengelolahan Jembatan Suramadu Penyelesaian Kasus KKN di Kawasan Universittas Airlangga Pandangan Masyarakat Umum Tentang adanya Mafia Peradilan Serta Penyelesaiannya Penghargaan ilmiah yang pernah diraih : 10 Besar finalis Karyatulis bidang Hukum Tingkat Nasional

PENULIS III Nama Tempat/Tanggal lahir karya tulis yang pernah dihasilkan

: Ivan Adiptya : Malang, 14 Januari 1991 :

Pendirian Bank Pertanian Syariah untuk Menarik Dikeluarkannya Sukuk Bagi Pertanian Dalam Rangka Usaha Peningkatan Kesejahteraan Petani Di Indonesia