ISI REFERAT DKA

9
2 PENDAHULUAN Dermatitis kontak alergi (DKA) disebut juga dermatitis venenata. DKA timbul ketika allergen kontak dengan kulit yang sebelumnya telah tersensititasi. 1 Jumlah penderita DKA lebih sedikit daripada penderita dermatitis kontak iritan (DKI), karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). DKI timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak, sedangkan DKA kira-kira hanya 20%. Insiden DKA terjadi pada 3-4% dari populasi penduduk. 2 Di Indonesia terlihat bahwa frekuensi dermatitis kontak menunjukan peningkatan di tahun-tahun terakhir ini. Di bagian Alergi-Imunologi RSCM Jakarta tahun 1988 dilaporkan 35 kasus, berumur antara 6-67 tahun. 21 diantaranya dengan dugaan DKA yang tidak diketahui penyebabnya dan 14 orang dengan dermatitis kronis non spesifik yang penyebabnya tidak diketahui. 2 DKA merupakan jenis reaksi alergi tipe lambat (tipe IV). Seseorang bisa terpapar allergen bertahun-tahun sebelum pada akhirnya timbul hipersensitifitas. Ada 2 fase dalam penyakit DKA, yaitu: 3, 4 1.Fase sensitisasi Proses ini mengarah kepada proses dimana seseorang mendapatkan alergi terhadap suatu zat. Pada fase ini allergen yang masuk akan menyebabkan limfosit T tersensitisasi. Limfosit T yang tersensitisasi akan menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan sensitifitas yang sama di seluruh tubuh.

Transcript of ISI REFERAT DKA

Page 1: ISI REFERAT DKA

2

PENDAHULUAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) disebut juga dermatitis venenata. DKA timbul ketika

allergen kontak dengan kulit yang sebelumnya telah tersensititasi.1 Jumlah penderita DKA

lebih sedikit daripada penderita dermatitis kontak iritan (DKI), karena hanya mengenai orang

yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). DKI timbul pada 80% dari seluruh penderita

dermatitis kontak, sedangkan DKA kira-kira hanya 20%. Insiden DKA terjadi pada 3-4% dari

populasi penduduk.2

Di Indonesia terlihat bahwa frekuensi dermatitis kontak menunjukan peningkatan di

tahun-tahun terakhir ini. Di bagian Alergi-Imunologi RSCM Jakarta tahun 1988 dilaporkan

35 kasus, berumur antara 6-67 tahun. 21 diantaranya dengan dugaan DKA yang tidak

diketahui penyebabnya dan 14 orang dengan dermatitis kronis non spesifik yang

penyebabnya tidak diketahui.2

DKA merupakan jenis reaksi alergi tipe lambat (tipe IV). Seseorang bisa terpapar

allergen bertahun-tahun sebelum pada akhirnya timbul hipersensitifitas. Ada 2 fase dalam

penyakit DKA, yaitu: 3, 4

1. Fase sensitisasi

Proses ini mengarah kepada proses dimana seseorang mendapatkan alergi terhadap

suatu zat. Pada fase ini allergen yang masuk akan menyebabkan limfosit T

tersensitisasi. Limfosit T yang tersensitisasi akan menyebar ke seluruh tubuh dan

menimbulkan sensitifitas yang sama di seluruh tubuh.

2. Fase elisitasi

Pada fase ini terjadi kontak ulang dengan allergen yang sama pada orang yang telah

tersensitisasi sebelumnya dan kemudian akan timbul gejala klinis.

Bahan-bahan yang diduga sering menyebabkan DKA adalah logam, karet, tanaman,

bahan perekat, kosmetik, obat - obatan, cat dan pestisida.5, 6, 7

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan

dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang

berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula

dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak

mata, penis, skrotum, eritem dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis

Page 2: ISI REFERAT DKA

3

terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak

jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis.6

Kriteria diagnosis DKA antara lain2:

1. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau

satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.

2. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak.

3. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dengan gejala klinis lebih

ringan serta timbulnya lebih lambat.

4. Rasa gatal.

5. Uji tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.

Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitifitas kulit ketika kontak dengan

suatu zat. Dasar teori dari uji tempel ini ada memicu respon imun dengan memberikan

sejumlah allergen kepada orang yang sudah tersensitisasi dan menilai derajat respon yang

timbul. Terdapat banyak allergen yang dapat menyebabkan DKA sehingga tidak mungkin

untuk menguji seseorang dengan semua allergen tersebut. Riwayat yang jelas dan observasi

pola dermatitis, lokalisasi pada tubuh, dan tahap perkembangan penyakitnya sangat

membantu dalam menentukan penyebab. Uji tempel dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis, namun harus disertai dengan riwayat penyakit dan gejala klinis penyakitnya.1, 8

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya

pencegahan terulangnya kontak kembali dengan allergen penyebab, dan menekan kelainan

kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritem, edema, vesikel atau bula, serta

eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda

setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya secara topikal cukup dikompres dengan larutan

garam faal atau larutan air salisil. Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda

(setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau

makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimmus) secara topikal.6

KASUS

Page 3: ISI REFERAT DKA

4

Seorang laki-laki 59 tahun, bangsa Indonesia, suku Batak, beragama Kristen, status

sudah menikah, bekerja sebagai buruh bangunan dan datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada tanggal 29 Juni 2010 dengan keluhan gatal pada

kedua punggung kaki. Dari anamnesis didapatkan sejak 1 bulan yang lalu pasien

mengeluhkan kaki terasa gatal, membengkak, dan memerah pada ujung kedua punggung kaki

seperti membentuk garis tali sandal, berbatas tegas, basah dan terdapat sisik halus di tempat

lesi. Rasa gatal pasien rasakan setiap hari, terus menerus. Pasien memiliki kebiasaan selalu

memakai sandal karet saat beraktivitas. Beberapa hari kemudian kedua ujung punggung kaki

timbul gelembung-gelembung kecil berukuran jarum pentul di daerah lesi. Beberapa

gelembung kecil itu pecah karena digaruk sehingga meninggalkan bekas luka dan cairan yang

mengering di atas luka. Pasien tidak punya riwayat kontak dengan zat iritan, dan pasien

belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sehat, keadaan gizi baik,

status generalis dalam batas normal. Dari status dermatologis didapatkan efloresensi berupa

edema, makula eritem berbatas tegas, vesikel, krusta, fisura dan madidans pada regio dorsum

pedis dextra et sinistra.

Pada pemeriksaan mikrobiologis didapatkan bakteri kokus gram positif dengan

pewarnaan Gram. Tidak ditemukan hifa, spora ataupun pseudohifa pada pemeriksaan KOH

10%.

Diagnosis pada pasien ini adalah DKA dengan infeksi sekunder. Diagnosa

bandingnya adalah DKI dan tinea pedis.

Pasien mendapat pengobatan berupa Kortikosteroid oral (Prednison 4 x 5 mg selama

5 hari) diberikan untuk mengurangi dan mencegah berkembangnya dermatitis alergi semakin

luas. Antihistamin (CTM 3 x 4 mg selama 5 hari) diberikan untuk keadaan pruritus penderita.

Antibiotik sistemik (sefadroksil 2 x 500 mg selama 5 hari) untuk pengobatan infeksi

sekunder. Kompres rivanol diberikan untuk membersihkan dan mengeringkan luka, serta

diberikan edukasi pada pasien untuk tidak memakai lagi sandal berbahan karet dan menjaga

kebersihan kaki agar tidak terjadi infeksi sekunder. Pasien disarankan untuk melakukan

kontrol ulang 5 hari kemudian.

Page 4: ISI REFERAT DKA

5

Pasien datang kembali untuk dilakukan kontrol, setelah 8 hari pengobatan. Pasien

mengaku ia tidak lagi mengalami gatal-gatal selama 5 hari medapatkan pengobatan. Terdapat

bekas luka seperti tali sandal dengan warna pucat batas tidak tegas. Namun pasien mengeluh

gatal-gatal datang kembali saat pasien memakai kembali sandal karet di hari ke 7. Kedua

punggung kaki pasien kini sudah tidak terlihat edema, vesikel, eritem dan tampak kering.

Pada pemeriksaan mikrobiologis didapatkan bakteri kokus gram positif dengan pewarnaan

Gram. Tidak ditemukan hifa, spora ataupun pseudohifa pada pemeriksaan KOH 10%.

Gambar 1 Sebelum pengobatan

Gambar 2 Setelah pengobatan hari ke- 8

Page 5: ISI REFERAT DKA

6

PEMBAHASAN

DKA pada pasien ini adalah DKA akut dengan didapatkan perkembangan penyakit

terjadi selama 1 bulan dengan keluhan gatal yang menonjol, eritem timbul dahulu kemudian

diikuti oleh timbulnya vesikel-vesikel, punggung kaki didapatkan efloresensi berupa edema,

macula eritem, vesikel, krusta, fisura dan madidans. Tandanya berupa, eritem, edema, dan

terbentuknya papulovesikula. Gambaran ini menunjukkan aktivitas tingkat seluler, vesikel-

vesikel ini timbul timbul karena terjadinya spongiosis, yang jika pecah mengeluarkan cairan

sehingga lesi membasah.9

Pada kasus DKA, kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk

mengurangi dan mencegah berkembangnya dermatitis alergi semakin luas pada DKA akut.

Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1

dan HLA-DR pada sel langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan

menghambat sekresi IL-1, TNFα dan MCAF.5 Pasien ini diberikan prednisone empat kali

sehari. Sedangkan untuk membersihkan dan mengeringkan luka cukup dikompres dengan

larutan rivanol 1%. Selain itu diberikan juga sefadroksil sebagai antibiotik sistemik untuk

mengatasi infeksi.

Antihistamin diberikan untuk mendapatkan efeknya sebagai antialergi dengan

menghambat reseptor H1 (AH1) yang menyebabkan timbulnya reaksi alergi akibat

dilepaskannya histamin karena reaksi antigen-antibodi. Jenis antihistamin yang diberikan

adalah penghambat reseptor H1, CTM.2

Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi sekunder. Sefalosporin bekerja dengan

menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap

ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif terhadap kuman

gram positif maupun garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi.

Golongan sefalosporin tingkat pertama aktif terhadap kuman gram positif dengan keunggulan

dari aktivitas penisilin terhadap bakteri penghasil penisilinase. Dalam kasus ini dari

pemeriksaan mikrobiologis didapatkan bakteri kokus gram (+), maka obat yang digunakan

adalah sefadroksil.6, 10

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya

pencegahan terulangnya kontak kembali dengan allergen penyebab. Pada pasien ini

disarankan tidak menggunakan kembali sandal karet.

Page 6: ISI REFERAT DKA

7

Hasil anamnesis dan pemeriksaan ulang menunjukkan adanya perbaikan dalam gejala

klinis terhadap penyakit. Pasien mengaku ia tidak lagi mengalami gatal-gatal selama 5 hari

setelah medapatkan pengobatan. Terdapat bekas luka seperti tali sandal dengan warna pucat

batas tidak tegas. Kedua punggung kaki pasien kini sudah tidak terlihat edema, vesikel,

eritem dan tampak kering. Namun pasien lalai dalam menjalankan terapi umum dengan

menggunakan kembali sandal karet di hari ke 7 sehingga ia mengeluh gatal-gatal datang

kembali di kaki.

Diagnosis banding pada pasien ini berupa DKI dan tinea pedis. Pada DKI karena

terdapat gejala yang sama berupa eritem, edema, dan vesikel sampai bula. Namun, gejala

tetap bertahan walaupun bahan kontaktan telah dihindarkan. Sedangkan pada tinea pedis

memiliki gejala yang sama berupa gatal, batas yang jelas, Namun, tidak terdapat skuama,

gambaran central healing, dan pada pemeriksaan mikrobiologi dengan KOH 10% tidak

didapatkan hifa dan spora.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus DKA dengan penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan pada anamnesis pasien mengeluhkan gatal

pada kedua punggung kaki, memerah dan membengkak seperti membentuk garis tali sandal,

berbatas tegas dan terdapat sisik halus di tempat lesi. Dari pemeriksaan dermatologis

didapatkan Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan efloresensi berupa edema, makula

eritem, vesikel dan krusta pada regio dorsum pedis dextra et sinistra. Terapi diberikan dengan

pencegahan kontak bahan allergen berulang dan pemberian kortikosteroid prednison

20 mg/hari. Setelah dikontrol ulang terapi menunjukkan keberhasilan.