isi edit

53
BAB I PENNDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bagian bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian tersebut mengalami kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu (1) kapasitas buli-buli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang sempurna, (3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik, (4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin. Inkontinensia yang timbul sekunder akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Buli-bulineurogenik merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus inilah yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel. Konsekuensi utama akibat buli-buli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan inkontinensia urin. Kerusakan 1

Transcript of isi edit

Page 1: isi edit

BAB I

PENNDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem

saluran kemih bagian bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra

eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun

pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian tersebut mengalami

kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap

proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu

(1) kapasitas buli-buli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang

sempurna, (3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik,

(4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk

terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau

beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan

miksi yang disebut inkontinensia urin. Inkontinensia yang timbul sekunder

akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Buli-bulineurogenik

merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus

inilah yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel.

Konsekuensi utama akibat buli-buli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan

inkontinensia urin. Kerusakan ginjal berkaitan dengan peninggian tekanan

intra-vesika atau adanya refluks vesiko ureteral sebagai penyerta dan

timbulnya infeksi saluran kemih. Infeksi, refluks dan obstruksi sering

ditemukan secara bersama-sama pada buli-buli neurogenik. (Sari Pediatri,

2000).

Berbagai kepustakaan melaporkan insidens maupun prevalensi

berdasarkan keluhan seperti mengedan, polakisuria, ngompol sehingga

diagnosis definitif yang ditegakkan berbeda satu sama lain. Dengan adanya

kesimpang-siuran mengenai diagnosis inkontinensia urin timbullah masalah

dalam menilai sensitivitas dan spesifisitas penemuan gejala/ tanda klinik

secara epidemiologik. Variasi dalam interpretasi diagnostik akan

mempengaruhi prevalensi inkontinensia pada berbagai penelitian, sehingga

prevalensi yang lebih akurat sulit ditentukan. Meskipun demikian

1

Page 2: isi edit

diperkirakan sekitar 20% kasus poliklinik nefrologi anak terdiri dari kasus-

kasus kompleks ISK berulang – inkontinensia fungsional atau disfungsi

sfingter non neuropati. (Sari Pediatri, 2000).

Di antara kelompok buli-buli neurogenik, mielodisplasia merupakan

etiologi tersering dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Data yang

dapat dikumpulkan dari kasus rawat jalan maupun rawat inap di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak RSCM selama 11 tahun diperoleh 18 kasus inkontinensia

urin, sebagian di antaranya diagnosis definitif belum dapat ditegakkan,

namun di antara kasus yang terdiagnosis lebih spesifik, buli-buli neurogenik

akibat spina bifida cukup dominan. Semua kasus disertai dengan ISK

berulang dan pada pengamatan ternyata 11 kasus di antaranya sudah

mengalami gagal ginjal kronik. (Sari Pediatri, 2000).

Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik

yang akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal, pemberantasan

infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita.

Kerjasama antar disiplin seperti urologi dan rehabilitasi medik sangat

diperlukan, namun di atas segalanya, perhatian, kesabaran, dan dedikasi untuk

menolong pasien sangat penting agar kualitas hidup pasien dapat

ditingkatkan.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan asuhan

keperawatan pada klien dengan gangguan disfungsi pola berkemih:

Neurogenic Bladder.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui anatomi dan fisiologi vesika urunaria

2. Mengetahui definisi dari Neurogenic Bladder

3. Mengetahui etiologi dan faktor penyebab terjadinya Neurogenic

Bladder

4. Mengetahui patofisiologi dari Neurogenic Bladder

5. Mengetahui manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan

Neurogenic Bladder

2

Page 3: isi edit

6. Menjelaskan Web of Caution terjadinya Neurogenic Bladder

7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk

mendiagnosa Neurogenic Bladder

8. Menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan Neurogenic

Bladder

9. Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada klien dengan

Neurogenic Bladder

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Akademik

Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi bladder, definisi,

etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, WOC, pemeriksaan

diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Neurogenic

Bladder.

1.3.2 Manfaat Klinik

Mahasiswa mampu mempraktikkan asuhan keperawatan dari Nerugenic

Bladder yang ada di klinik dengan benar.

3

Page 4: isi edit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Vesica Urinaria dan Sfingter

2.1.1 Struktur makroskopis dan mikroskopis vesika urinaria

Letak,bentuk dan ukuran vesica urinaria bervariasi bergantung pada

banyaknnya urine yang terkandung di dalamnya. Vesica urinaria yang kosong

terletak di dalam caitas pelvis dengan dasar (basis) berada pada separo bagian atas

vagina dan puncaknya (apex) menghadap ke arah symphysis pubis. Bila vesica

urinaria terisi urine,maka vesica urinaria akan meninggi dan lebih tinggi daripada

cavitas pelvis dan akan menjadi organ abdomen dan apabila penh dapat diraba

(dipalpasi) di atas symphysis pubis. Bia vesica urinaria ini meninggi,maka akan

menggeser letak corpus uteri.

Apabila kosong,vesica urinaria berbentuk piramid (kerucut) dan apabila

terisi urine bentuknya menjadi globuler. Vesica urinaria dapat menampung kira-

kira 300 ml urine sebelum terasa ingin miksi (berkemih). Vesica uinaria dapat

menampung urine yang lebih besar lagi jumlahnya.

2.1.1.1 Struktur Maskroskopik Vesica Urinaria

a. Trigonum

Trigonum adalah basis vesica urinaria. Trigonum ini menghadap ke

arah belakang dan ke bawah, dan dipisahkan dari separo bagian atas

dinding vagina oleh jaringan ikat. Tidak seperti corpus ( bagian utama)

vesica urinaria.maka trigonum ini tidak dapat mengalami distensi

(peregangan) dan bentuknya tetap datar.

b. Apex (puncak)

Apex menghadap ke atas dan ke depan ke arah symphisis pubis. Dari

apex ini urachus melanjutkan diri ke atas ke umbilicus. Urachus

adalah sisa-sisa jaringan fibrosis dari saccus vitellinus.

c. Cervix (leher)

Cervix adalah lanjutan dari uretra,dan merupakan daerah pada batas

vesica urinaria dengan uretra.

d. Permukaan superior (fundus)

4

Page 5: isi edit

Fundus berbentuk segitiga (trianguler) dan hampir seluruhnya tertutup

oleh peritoneum. Disebelah belakang (posterior) peritoneum melipat

ke atas dan berada di atas corpus uteri, peritoneum tersebut melekat

secara longgar dan melipat-lipat. Susunan peritoneum yang demikian

ini memungkinkan gerakan yang penting bagi vesica urinaria dan

uterus. Kantong peritoneum digambarkan sebagai excavatio vesica

uriterina. ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )

2.1.1.2 Struktus Mikroskopik Vesica Urinaria

a. Struktur Mikrosokopik Keseluruhan Vesica Urinaria Kecuali

Trigonum

Tabel 1 : Struktur Mikroskopik Apex, Cervix dan Fundus

dari Vesica Urinaria ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam

Kebidanan, 2003 )

1. Epitel Transisional Epitel transisional yang mempunyai

gambaran khas dapat berdistensi

(meregang), kontraksi (berkerut), dan

impermeabel terhadap air, adalah

membran mukosa yang melapisi

bagian dalam vesica urinaria. Membran

mukosa ini tersusun dalam bentuk

lipatan-lipatan atau rugae, yang

memungkinkan vesica urinaria dapat

mengalami distensi (peregangan).

2. Jaringan ikat Bersifat areoler

3. Otot Merupakan otot nonstriata (kadang-

kadang secara sinonim disebut otot

polos atau halus atau involunter).

Otot ini merupakan jenis otot yang

dijumpai pada berbagai organ dalam

5

Page 6: isi edit

tubuh yang memerlukan jawaban yang

lambat,terus-menerus, dan automatik.

Otot ini tersusun dalam tiga lapisan

yaitu lamina media,terdiri atas serabut

sirkuler yang terletak antara lamina

interna dan lamina externa serabut

longitudinal.

Walaupun demikian,terdapat saling

menyilang antara serabut pada setiap

lapisan, dan lapisan-lapisan tersebut

tidak dapat dibedakan secara tegas.

Otot pada corpus vesicae urinarie

disebut musculus detrussor.

4. Peritoneum Menutupi permukaan superior vesica

urinaria.

6

Page 7: isi edit

Gambar 1 : Struktur Mikroskopis Vesica Urinaria

b. Struktur Mikroskopik Trigonum

Trigonum memiliki bentuk segitiga (trianguler) dengan masing-masing

sisi segitiga tersebut berukuran panjang 2,3 cm pada saat vesica

urinaria berkontraksi. Pada vesica urinaria yang meregang (distensi)

ukuran tersebut dapat meningkat sampai 5 cm. Kedua ureter memasuki

vesica urinaria pada sudut lateral secara miring yang menyusuri

dinding vesica urinaria sejauh 2 cm. Kedua ureter saat memasuki

vesica urinaria menyebabkan lapisan epitel pada vesica urinaria

tersebut menonjol. Penonjolan lapisan epitel ini membantu mencegah

aliran balik (regurgitasi) urine ke ureter pada saat vesica urinaria

penuh,karena terdapat tekanan pada jaringan yang menonjol tersebut.

Uretra meninggalkan lubang ketiga yang berada pada cervix vesicae

urinariae. ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )

Tabel 2 : Struktur Mikroskopis Trigonum ( Anatomi dan

Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )

1. Epitel transisional Melapisi trigonum, tetapi epitel ini

7

Page 8: isi edit

terletak rata dan halus tanpa rugae,

karena daerah ini tidak dapat

diregangkan, tidak seperti vesica

urinaria.

2. Jaringan ikat Berjenis areoler.

3. Otot Lembaran Mercier atau lembaran

interureterica adalah otot yang terletak

antara kedua ostium ureter. Apabila

lembaran otot tersebut berkontraksi saat

berkemih, maka otot ini menekan

(kompresi) lebih lanjut jaringan yang

menonjol pada kedua ostium ureter, dan

menutup tonjolan tersebut sehingga

urine tidak mengalir balik ke ureter.

Otot mercier ini merupakan otot non-

striata (polos).

Otot bell, juga merupakan otot non-

striata, meluas antara masing-masing

ostium ureter dan ostium uretra. Otot ini

melanjutkan diri ke dinding otot uretra

separo panjangnya. Otot ini ikut

berperan dalam membuka ostium uretra

apabila sudut urethrovesical berubah

pada saat mulainya berkemih dan otot-

otot ini mengarahkan aliran urine ke

dalam lumen uretra.

8

Page 9: isi edit

2.1.2 Struktur Otot Detrusor dan Sfingter Vesica Urinaria

Susunan sebagian besar otot polos vesica urinaria apabila

berkontraksi akan menyebabkan pengosongan pada vesica urinaria.

Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher vesica urinaria berbeda antara

pria dan wanita dimana pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-

serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher vesica urinaria yang efektif

untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang

ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot lurik

berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari

prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra.

Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk

dasar pelvis. Pada pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu

discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter

pada awal proses miksi. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006; Waxman,

2010)

2.1.3 Persyarafan Vesica Urinaria dan Sfingter

1. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)

Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut

preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna

intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner

keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson

melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner

pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak

terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan

otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner mempunyai

jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana

asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmitter

nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun keberadaannya pada

manusia diragukan.

2. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)

9

Page 10: isi edit

Vesica urinaria menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis

thorakolumbal melalui n.hipogastrik. Leher vesica urinaria menerima

persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat

dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis

pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak

berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan

ejakulasi retrograd. Leher vesica urinaria pria banyak mengandung transmitter

noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan

penutupan dari leher vesica urinaria untuk mencegah ejakulasi retrograde

3. Persyarafan somantik (N.pudendus)

Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari

traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz

menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2,

S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf,

mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter

anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel

kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini

pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan

persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel

ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus dimana ketika

melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke

otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik

sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang

sedikit lebih rendah.

4. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah

Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada

pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena

banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-

related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut

pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada

sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal,

parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut

10

Page 11: isi edit

aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi

vesica urinaria tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi vesica

urinaria yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak

bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas

tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari distensi vesica urinaria

dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine,

nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam

medula spinalis sakral sebagai aferen vesica urinaria. Hal ini menggambarkan

kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk

intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien

yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras

ascending dari vesica urinaria dan uretra berjalan di dalam traktus

sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan

pada transmisi dari informasi aferen. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006;

Waxman, 2010)

Gambar 1 : Persyarafan Vesica Urinaria

11

Page 12: isi edit

2.1.4 Hubungan dengan persarafan Vesika Urinaria dengan Susunan Saraf Pusat

1. Pusat Miksi Pons

Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-

bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan

bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana

refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan

pengisian atau pengosongan vesica urinaria. Pusat miksi pons berperan

sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input

dari daerah lain di otak.

2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian

anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa

urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine.

Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya vesica urinaria yang

hiperrefleksi. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006)

2.1.5 Fisiologi Pengaturan Fungsi Sfingter dan Vesica Urinaria

1. Pengisian urine

Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai dengan

adanya aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada vesica

urinaria normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab

terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari vesica

urinaria. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh

antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme

active compliance vesica urinaria kurang diketahui namun proses ini juga

memerlukan inervasi yang utuh Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens

selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra,

sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan

urinetidak mengalir keluar

2. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari

distensi vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat

sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak

12

Page 13: isi edit

diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter

uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi vesica urinaria. Inhibisi

tonus simpatis pada leher vesica urinaria juga ditemukan sehingga tekanan

intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar.

Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang

menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama

miksi. (Guyton, 2007; Sherwood, 2001)

2.2 Definisi Neurogenic Bladder

Neurogenic Bladder adalah disfungsi yang merupakan akibat dari lesi

dari sistem saraf dan menyebabkan inkontinensia urin. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh cedera tulang belakang, tumor tulang belakang, herniasi

diskus tulang belakang, multiple sclerosis, gangguan kongenital (spina bifida

atau myelomenigocele), infeksi, atau komplikasi dari diabetes mellitus.

(Brunner & Suddart).

Semua jenis disfungsi kandung kemih yang disebabkan oleh

gangguan dari persarafan kandung kemih normal oleh sistem saraf yang

disebut sebagai kandung kemih neurogenik (nama lain dari gangguan ini

termasuk disfungsi neuromuskular dari saluran kemih bawah, disfungsi

kandung kemih neurologis, dan kandung kemih neuropatik). Kndung kemih

neurogenik bisa hyperreflexic (hipertonik, kejang, atau otomatis) atau lembek

(hipotonik, lemah, atau otonom).

Sebuah neuron motor atas lesi (pada atau di atas kedua vertebra sacral

keempat) menyebabkan kandung kemih neurogenik kejang, dengan kontraksi

spontan otot detrusor, peningkatan tekanan intravesical berkemih, hipertrofi

kandung kemih dinding dengan trabeculation, dan kejang sfingter urin. motor

lebih rendah neuron lesi (menjadi rendah yang kedua vertebra sacral

keempat) menyebabkan kandung kemih neurogenik lembek, dengan tekanan

intravesical menurun, kapasitas kandung kemih meningkat, retensi urin sisa,

dan kontraksi detrusor yang buruk (Jacqueline).

13

Page 14: isi edit

2.3 Etiologi Neurogenic Bladder

A. Kelainan pada sistem saraf pusat :

1. Alzheimer’s disease

Pada tahap lanjut, beberapa klien dengan alzheimer sering berkemih

tidak pada tempatnya, biasanya yang berhubungan dengan penurunan status

kognitif pada klien tersebut. Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat

progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan

mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan

urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postiral. (Suzanne. C Smeltzer.&

Brenda. G Bare)

2. Meningomielocele

Meningomielocele atau Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang

kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari

tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah. Jika pada tonjolan  terdapat

syaraf yang mempersyarafi otot atau extremitas, maka fungsinya dapat

terganggu dengan fungsi kolon dan ginjal yang juga terpengaruh.

3. Tumor otak atau medulla spinalis

Tumor medula spinalis akan memberikan tanda dan gelaja khas pada

bagian lumbo sakral dan merupakan kasus tumor dengan diagnostik rumit

karena letaknya berada didekat segmen lumbal bagian bawah, segmen sakral,

dan radiks saraf desendens dari tingkat medula spinalis yang lebih tinggi.

Kompresi medula spinalis lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks

perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan

kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah.

Selain itu juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks

pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral. Nyeri umumnya teralihkan ke

selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-

segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot

perineum, betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki.

Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan

kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai

daerah sakral bagian bawah. (Satyanegara,1999)

14

Page 15: isi edit

4. Multiple sclerosis

Pada multiple sklerosis terjadi kerusakan myelin (demyelinasi) yang

menyebabkan gangguan kemampuan serabut syaraf untuk menghantarkan

pesan ke dan dari otak. Kelemahan ekstremitas spastic dan kehilangan reflek

abdomen juga terjadi akibat keterlibatan jaras motorik utama (traktus

piramidal) dari medulla spinalis. Kerusakan akson-akson sensori dapat

menghasilkan disfungsi sensori. Maka pada pemeriksaan b4 akan ditemukan

disfungsi kandung kemih dimana lesi pads traktus kortikospinalis

menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan untuk

berkemih. frekuensi, dan urgensi berkemih yang menunjukkan berkurangnya

kapasitas kandung kemih yang spastik. (Arif Muttaqin, 2008)

5. Cedera medulla spinalis

Cedera pada medula spinalis dapat berupa kontusio,

kompresi,laserasi, transeksi parsial atau transeksi total. Cedera dapat terjadi

pada vertebra servikal, torakal, lumbal atau sakral. Dengan adanya luka pada

sunsum tulang belakang,pergerakkan dan sensasi pada tingkat di bawah

bagian yang terkena akan mengalalami gangguan.

Cedera medula spinalis diantara pons dan sakral menghasilkan

spastic bladder atau overactive bladder. Orang dengan paraplegic atau

quadriplegic memiliki lower extremity spasticity. Awalnya, setelah trauma

medula spinalis, individu masuk kedalam fase shock spinal dimana sistem

saraf berhenti. Setelah 6-12 minggu, sistem saraf aktif kembali. Ketika sistem

saraf aktif kembali, menyebabkan hiperstimulasi organ yang terlibat.

Perubahan fungsi kandung kemih neurogenik akan ditandai dengan

adanya berkemih secara spontan dalam jumlah yang sedikit dengan interval

sering. Pola berkemih seperti ini mencerminkan adanya lesi motor neuron

atas. Arkus refleks tetap baik, tetapi mekanisme menghambatnya hilang.

Stimulasi ringan seperti mengusap daerah perut atau paha ataupun genitalia

dapat merangsang berkemih.

Kandung kemih atonik dikarakteristikan adanya retensi urin tanpa

individu merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih. Kadang kemih

distensi berlebihan, urine menetes terus menerus. Jenis gangguan fungsi

15

Page 16: isi edit

kandung kemih seperti ini mencerminkan gangguan pada motor neuron bawah

(LMN). Arkus refleks hilang dan rangsangan tidak dapat mencapai otak.

(Barbara Engram, 2009)

B. Kelainan pada sistem saraf tepi :

1. Neuropati alkoholik

2. Diabetes neuropati

3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis

4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus

Herniasi diskus intervertebralis (Herniation of intervertebral

disk) atau disebut juga hernia nucleus pulposus (HNP) adalah suatu

keadaan yang diakibatkan oleh penonjolan nucleus pulposus dari diskus

kedalam analus (cincin fibrosus disekitas diskus), yang disertai dengan

kompresi dari akar akar saraf. Herniasi dapat terjadi di lumbal,

lumboskral, region scapula, region servikal, dan berbagai kolumna

vertebralis (Fransisca,2008).

Herniasi diskus intervertebralis (HNP) merupakan penyebab

utama nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

Herniasi dapat parsial atau komplet, dari massa nucleus pada daerah

vertebra L4-L5, L5-S1 atau C5-C6, C6-C7 adalah yang paling banyak

terjadi dan mungkin sebagai tampak trauma atau perubahan degeneratif

yang berhubungan dengan proses penuaan (Doenges, 1999). Kerusakan

saraf dari herniasi diskus ini akan menyebabkan komplikasi berupa

menurunnya atau hilangnya fungsi dari usus dan kandung kemih.

5. Defisiensi vitamin B12

Kekurangan vitamin B12 akan mengganggu berjalannya siklus

krebs sehingga terbentuk asam lemak yang tidak normal dan mengganggu

pembentuka mielin. Pada 16% pasien dengan defisiensi vitamin B12 ini

akan mengalami posterolateral sklerosis tipe sub acute combined

degeneration. Gejala klinis yang timbul salah satunya terjadinya disfungsi

pada kandung kemih. Gejala yang lain antaa lain parestesi dimulai dari

bagian distal ke proksimal dengan distribusi simetris pada keempat

16

Page 17: isi edit

anggota gerak, terdapat parese yang spastik akibat gangguan traktus

kortikospinalis dan reflek tendon bisa menurun atau meningkat dengan

reflek patologis positif (50%). (Alan, E.H. 1994)

2.4 Manifestasi Klinis Neurogenic Bladder

Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi,

frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan

keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens

sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena

hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari

suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat

berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk

menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat

atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan

medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat

retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering

timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor

seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk

memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun

hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada

pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat

timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.

Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih

utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan

kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens

dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi

kronik dengan overflow. ( Ropper and Brown, 2005; Rackley, 2009;

Greenfield, 1997)

2.5 Klasifikasi

1. International Continence Society

17

Page 18: isi edit

Tujuan dari sistem klasifikasi adalah untuk memfasilitasi

pemahaman tentang patofisiologi yang terlibat dan pilihan manajemen

topredict dan prognosis. Sistem seperti ini harus merupakan mekanisme

singkat menggambarkan temuan Fungsi Ginjal, memberikan indikasi situs

perkiraan dan etiologi dari lesi menyinggung, dan menunjukkan pilihan

pengobatan. Sebuah profesi sistem klasifikasi tersedia untuk disfungsi

saluran kemih bawah berdasarkan deskriptif etiologicterminology,

anatomi, dan. Baru-baru ini, sejalan dengan meningkatnya penggunaan

evaluasi Fungsi Ginjal, deskriptif "fungsional" sistem klasifikasi

berdasarkan disfungsi baik dari kandung kemih atau outlet yang telah

dijelaskan oleh Wein. Sistem ini telah memungkinkan pendekatan logis

untuk klasifikasi dan dapat diperluas untuk memperjelas etiologi dan

terapi.

Pada tahun 1971, Bors dan Comar memperkenalkan sistem

klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi lesi dari pengamatan sumsum

tulang belakang-luka pasien. Sistem ini menggambarkan lesi sebagai

neuron motorik atas (UMN: suprasacral) atau lebih rendah motor neuron

(LMN: sacral atau infrasacral) dan komentar tentang kelengkapan lesi dan

apakah sphincter bertindak secara terkoordinasi dengan kandung kemih.

Estimasi sisa urin digunakan untuk menentukan apakah sphincter kandung

kemih dan dikoordinasikan (seimbang). Lebih dari 20% sisa pada pasien

dengan lesi UMN atau 10% pada pasien dengan lesi LMN ditentukan oleh

melalui pemeriksaan neurologis.

Studi Fungsi Ginjal telah menunjukkan ada hubungan yang tepat

notr antara kandung kemih dan sfingter aktivitas dan lokasi anatomi lesi

neurogenik. Sistem ini seringkali sulit untuk diterapkan pada pasien

dengan penyakit neurologis multicentric dan karena itu tidak memuaskan

untuk penggunaan klinis rutin.

Lapides dipopulerkan klasifikasi, banyak digunakan deskriptif

yang mengidentifikasi lima cathegories disfungsi kandung kemih

neurogenik. Dua adalah karena lesi UMN (kandung kemih neurogenik

tanpa hambatan dan refleks) dan tiga sisanya adalah karena lesi LMN

18

Page 19: isi edit

(otonom, orang lumpuh sensorik, dan motor kandung kemih neurogenik

lumpuh). Kandung tanpa hambatan menjelaskan istilah kandung kemih

hyperreflexic dengan sfingter normal atau seimbang, sedangkan kandung

kemih refleks menggambarkan hyperreflexia detrusor dengan eksternal

sfingter dyssynergia. The kandung kemih neurogenik otonom akibat lesi

dari kedua tungkai sensorik dan motorik refleks berkemih adalah hasil

dalam kandung kemih areflexic mampu kontraksi atau sensasi, bersama

dengan mekanisme sfingter tidak aktif. Kandung bermotor lumpuh juga

menghasilkan suatu detrusor areflexic. Dalam derservation sensorik dari

kandung kemih, meskipun pada akhirnya overdistention kandung kemih

menyebabkan kerusakan myogenic dan kegagalan kontraktil.

Sistem klasifikasi ini sering klinis berlaku dan mudah diingat.

Sayangnya, karena lesi tidak lengkap, atau pola yang tidak biasa dari

disfungsi sfingter terkait, pasien banyak yang tidak cocok dengan kategori.

Urodinamik telah menjadi lebih canggih dan mampu menyediakan

data yang obyektif untuk klasifikasi disfungsi saluran kemih bagian

bawah. Krane antara lain, telah mengembangkan klasifikasi di mana

aktivitas otot detrusor yang diklasifikasikan menurut apakah itu fungsional

normal, hyperreflexic, atau areflexic. Hyperreflexia didefinisikan sebagai

adanya kontraksi detrusor disengaja, paling sering dikaitkan dengan lesi

neurogenik atas sumsum tulang belakang sacral. Lurik sfingter

dyssynergia ini paling sering terlihat setelah cedera tulang lengkap

suprasacral tulang belakang. Setelah periode kejutan tulang belakang.

Mulus sfingter dyssynergia terlihat pada lesi lengkap atas T-6 dengan

hyperreflexia detrusor dan dyssynergia sfingter lurik. Detrusor areflexia

adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan kontraksi berkemih dan

mungkin sekunder untuk dekompensasi kandung kemih otot atau berbagai

kondisi lain yang produse penghambatan pada tingkat pusat batang otak

berkemih, sumsum tulang belakang sacral, ganglia kandung kemih, atau

kandung kemih otot polos . Masyarakat kontinensia Internasional (ICS)

telah mengusulkan perpanjangan dan penyederhanaan ini klasifikasi

Fungsi Ginjal. Tahapan penyimpanan dan berkemih saat berkemih

19

Page 20: isi edit

dijelaskan secara terpisah di bawah judul fungsi uretra dan kandung

kemih.

Detrusor

Normal

Overactive

Underactive

Urethra

Normal

Overactive

Underactive

Sensation

Normal

Overactive

Underactive

Storage phase Voiding phase

Bladder function

Destrusor activity :

Normal/stable

Overactive : hiperrefleks/unstable

Bladder sensation :

Normal

Hypersensitive

Hyposensitive

absent

Bladder capacity and compliance :

Normal

high

low

Bladder function

Destrusor activity

Normal

Underactive

acontractile

Uretheral function

Normal

incompetent

Urethral function

Normal

Obstructive :

20

Page 21: isi edit

dissynergia/mechanical

2. Menurut Bors and Comar

Sensory neuron lesion, motor neuron lesion, upper motor neuron lesion,

lower motor neuron lesion dan mixed upper and lower motor neuron

lesion

3. Bradley classification :

Loop 1 :

Mencakup lesi antara korteks dan pons seperti pada tumor otak, cedera

cerebrovaskular dan cerebral atrofi. Lesi pada loop 1 menimbulkan

detrusor hiperrefleks.

Loop 2 :

Mencakup lesi antara jaras intraspinal danpons dapat menimbulkan

detrusor arefleks dan retensi urin.

Loop 3 :

Mencakup jaras afferent perifer detrusor hingga bersinaps pada motor

neuron nervus pudendus. Lesi pada loop 3 menyebabkan terjadinya

detrusor-sfingter dissinergi atau relaksasi sfingter involunter.

Loop 4 :

Loop 4a : mencakup jaras afferent suprasakral dan jaras efferent nervous

pudendal ke sfingter eksterna.

Loop 4b : jaras afferent sfingter eksterna hingga nucleus nervous pudendal

(Onuf’s nucleus).

4. Klasifikasi Nesbit, Lapides, dan Baum

a. Sensory neurogenic bladder

Timbul disebabkan oleh penyakit yang secara selektif mencederai jaras

sensoris antara bladder dan spinal cord atau jaras afferent ke otak.

b. Motor neurogenic bladder

Akibat yang timbul dari penyakit yang merusak inervasi motorik

parasimpatis pada kandung kemih.

c. Uninhibited neurogenic bladder

21

Page 22: isi edit

Merupakan akibat dari lesi pada traktus kortikospinal yang

menyebabkan gangguan fungsi inhibisi pada muskulus detrusor.

d. Refleks neurogenic bladder

Tipe ini umumnya terjadi pada cidera yang menyebabkan terputusnya

pusat serebral dan pontine micturition centre (PMC) dengan medulla

spinalis.

e. Autonomous neurogenic bladder

Terjadi pada cedera yang mengakibatkan terpisahnya motor neuron

dan sensory neuron bladder dari sacral spinal cord.

5. Klasifikasi Krane

a. Detrusor hiperrefleks : umumnya dikaitkan dengan lesi supraspinal.

b. Detrusor arefleks : dapat merupakan bentuk dekompensasi detrusor

atau akibat dari beberapa kondisi yang menimbulkan inhibisi pada

PMC.

6. Klasifikasi Wain, Benson, and Raezer (fungsional kandung kemih)

a. Failure to empty: kegagalan yang terjadi pada fase miksi akibat

kontraksi detrusor yang tidak adekuat. Kegagalan relaksasi sfingter

atau kombinasi keduanya.

b. Failure to store : kegagalan pada fase penyimpanan yang terjadi akibat

hiperaktif detrusor, daya renggang rendah dankegagalan sfingter

berkontraksi.

2.6 Patofisiologi Neurogenic Bladder

Lesi pada lower motor neuron dari sumsum tulang belakang sering

langsung mengganggu busur refleks dan menyebabkan interpretasi tidak

sesuai pada impuls eferen dan aferen. Ketika kandung kemih mengisi,

pesan ditransmisikan melalui serat aferen ke korteks otak. Sebenarnya

impuls ini dari yang diinterpretasikan dengan benar, namun cedera

menyebabkan tidak ada dorongan untuk berkemih. Kandung kemih yang

flaccid menyebabkan retensi urin (Black dan Jacob, 1993).

Pada lesi upper motor neuron, impuls tidak dikirim ke atau dari

area lebih rendah dari spinal cord ke korteks. Ketika kandung kemih klien

22

Page 23: isi edit

Pasien BAK sedikit- sedikit

Kehilangan kemampuan mengedalikan BAK

Bladder spasticHipertrofi dinding bladder

Retensi urin

Pengosongan blader yg tidak tuntas

MK:Gangguan integritas kulit

Frekuensi BAK sering

Kontraksi spontan m. detrusor

Spastik

Pe↑ tekanan intravasikal saat berkemihSpsme sfingter urinary

Lesi upper motor neuron

Neurogenic bladder

Lesi lower motor neuron

Flasid

distensi, tidak ada sensasi yang ditranmisikn, namun aktivitas lengkung

refleks dapat terjadi, dan klien akan memiliki inkontinensia refleks urin.

Ketika kerusakan adalah daerah korteks itu sendiri, seperti dengan stroke

atau trauma, klien tidak bisa benar menafsirkan impuls yang sedang

dikirim. klien dengan kandung kemih disfungsional lebih mungkin dari

biasanya untuk mengembangkan UTI serius, kerusakan kulit yang

berhubungan dengan inkontinensia, dan penyakit ginjal bahkan karena

overdistention kronis kandung kemih (Black dan Jacob, 1993).

Lesi uuper motor neuron menyebabkan neurogenic bladder yang

spatik disertai kontraksu spontan muskulus detrusor, peningkatan tekanan

intraversikal saat urinasi, hipertrofi dinding kandung kemih, dan spasme

sfingter urinary, sedangkan lesi lower motor neuronakan mengenai reflex

spinal yang mengontrol mikturisi sehingga menyebabkan neurogenik

bladder yang flasid (Kowalak (ed), 2003).

2.7 Web of Caution (WOC) Neurogenic Bladder

23

Page 24: isi edit

2.8 Pemeriksaan Diagnostic Neurogenic Bladder

1. Voiding cystourethrography: mengevaluasi fungsi leher kandung

kemih, refluks vesikoureter profidan kontinensia

2. Pemeriksaan urodinamika: terdiri dari sistometri, uroflometri, profil

tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja

kandung kemih untuk penyimpanan urine, pengosongan kandung kemih

dan kecepatan aliran urine keluar dari kandung kemih pada saat buang

air kecil.

3. Retrograde urethrography: mengungkapkan keberadaan striktur dan

divertikulum; berkurang atau terganggunya aliran urin.

2.9 Penatalaksanaan Neurogenic Bladder

Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah

untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.

1. Interupsi neuron sensorik diobati dengan melatih kandung kemih

(bladder training). Kandung kemih di kosongkan dengan kateter pada

interval-interval yang telah ditetapkan (setiap 2-4 jam).

Bladder training salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi

vesica urinaria yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke

fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN). Sedangkan

penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat

dilakukan dengan cara:

a.Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi

perianal

b. Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre

c.Clean intermittent self-catheterisation

d. Indwelling urethral catheter

2. Penatalaksanaa operatif

Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan

neurologis kongenital atau cedera medula spinalis. (Brunicardi, 2006;

Ropper and Brown, 2005; Rackley, 2009; Greenfield, 1997; Waxman,

2010)

24

Page 25: isi edit

3. Interupsi neuron motorik atas dan korteks diobati dengan drainase

kateter, atau perangsangan lengkung refleks secara manual dengan

menggosok daerah abdomen atau perineum.

4. Interupsi neuron motorik bawah diobati dengan drainase kateter atau

kompresi manual atas kandung kemih.

5. Maneuver valsalva, pemasangan sendiri kateter urine yang indwelling

atau intermiten, maneuver crede, bladder training.

2.10 Komplikasi Neurogenic Bladder

1. ISK

diakibatkan oleh urin yang ditahan terlalu lama sebelum dieliminasi

(Jefferson, 2009).

2. Retensi urine sisa

terjadi jika otot yang berfungsi untuk mengeluarkan urin tidak menerima

stimulus untuk melepaskan urin

3. Gagal ginjal

karena cadangan urin dari kandung kemih yang terlalu berat. Kondisi

tersebut mengakibatkan insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal dapat

menyebabkan toksik lebih banyak berada di dalam darah (uremia)

daripada yang dikeluarkan dalam urin (Guidelines, 2010).

4. Inkontinensia

terjadi ketika otot-otot yang berfungsi untuk menahan urin dalam tidak

menerima stimulus yang tepat.

2.11 Prognosis Neurogenic Bladder

Prognosis dari penyakit ini umumnya baik apabila segera ditangani

dengan baik pula. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal,

pemberantasan infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi neurologis

yang diderita. Karena tidak memungkinkannya penyakit ini untuk terjadi

recovery yang lengkap seperti semula, maka perlu penanganan segera agar

tidak terjadi kerusakan yang lebih parah (Medical Disability Advisor).

25

Page 26: isi edit

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus semu

An. Y 1 tahun dibawa ke ke RS. B dengan keadaan lemah, ibu

mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing, ibu

mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar seperti anak

biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun kencing sudah tidak

keluar sejak 2 minggu yang lalu. Sekitar 2 hari yang lalu ibu klien merasa

diperut bagian bawah terasa membesar dan klien menangis mungkin nyeri

tekan. Klien lahir dengan cacat bawaan pada medulla spinalis, spina bifida.

Orang tua klien tidak melakukan operasi karena belum mampu mambayar

biaya operasi. Sebelumnya tidak ada keluarga yang memiliki riwayat

penyakit seperti klien. Tanda-tanda vital diperoleh suhu 36,5oC axilla, nadi

lemah dan teratur, 84x/menit, pernafasan teratur, 30x/menit. GCS 456 ,

bunyi jantung S1 S2 tunggal, nyeri tekan abdomen bawah akral hangat,

kering dan merah turgor normal, CRT 2 detik, bising usus 5x/menit.

Jumlah urin kurang lebih 500 cc / 24 jam. Ibu klien mengatakan cemas

dengan keadaan penyakit anaknya dan tidak bersemangat. Saat

pemeriksaan fisik terjadi penurunan reflek motorik bagian kaki klien jg

blm bisa berjalan dengan lancar.

3.2 Pengkajian

1. Keluhan Utama

Ibu mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing, ibu

mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar seperti anak

biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun kencing sudah tidak

keluar sejak 2 minggu yang lalu.

2. Riwayat Keperawatan

a. Riwayat Penyakit Sebelumnya :

Klien lahir dengan cacat bawaan pada medulla spinalis, spina

bifida.

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

26

Page 27: isi edit

ibu mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing,

ibu mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar

seperti anak biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun

kencing sudah tidak keluar sejak 2 minggu yang lalu.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga: -

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: kondisi umum terlihat lemah, melakukan aktivitas

seperlunya.

Tanda-tanda Vital: suhu 36,5oC axilla, nadi lemah dan teratur, 84x/menit,

pernafasan teratur, 30x/menit.

1) B1 breathing

Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem

pernapasan tidak ditemukan kelainan.

2) B2 blood

Nyeri dada (-), Jantung S1 S2 tunggal normal, Odema ekstremitas atas dan

bawah (-)

3) B3 brain

GCS : 4 5 6

Kepala dan wajah : tidak ada kelainan.

4) B4 blader

- Ginjal

Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan

timbul nyeri di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul

pada awal penyakit pada saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut

yang dibentuk oleh tulang belakang dan tulang rusuk ke-12).

Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi dilakukan.

Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri

27

Page 28: isi edit

ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui

arteri yang sempit).

Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal

selama proses pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal

dapat mengungkapkan adanya masalah seperti tumor.

- Kandung Kemih

Saat diraba terasa seperti terisi penuh, dan saat dilakukan penekanan

ringan klien menunjukan ekspresi kesakitan dan menangis.

5) B5 bowel

Bising usus : 5x/menit

Mulut dan tenggorok : kering, agak merah (iritasi).

Abdomen : supel, distensi (-)

Rectum : tidak ada kelainan.

6) B6 bone

Terjadi penurunan reflek motorik bagian kaki klien jg blm bisa berjalan

dengan lancar.

Extremitas:

- Atas : tidak ada kelainan.

- Bawah : mengalami kelemahan.

- Tulang Belakang : terdapat spina bifida

Kulit:

- Warna kulit : merah normal

- Akral : hangat kering.

- Turgor : cukup.

3.4 Analisa Data

Data Analisa Masalah

DS : klien selalu

menangis dan rewel

saat akan kencing, ibu

Spina bifida

Shock spinal

Perubahan pola

eleminasi urin

28

Page 29: isi edit

mengatakan kencing

hanya bisa menetes

tidak bisa lancar seperti

anak biasanya, dan

klien masih tetap rewel

meskipun kencing

sudah tidak keluar

sejak 2 minggu yang

lalu

DO : Jumlah urin

kurang lebih 500 cc/ 24

jam, nyeri tekan pada

abdomen bawah dan

keinginan kencing saat

palpasi.

Mencegah terjadinya

pengosongan kandung

kemih

Neurogenik blader

Kelumpuhan saraf

perkemihan

Kandung kemih terasa

penuh

Otot detrusor tidak

bereaksi

Perubahan pola

eliminasi urin

DS : cemas dengan

keadaan penyakitnya.

DO : klien nampak

tidak bersemangat

Neurogenic bladder

Tidak bisa kencing

dengan lancar

Menangis

Krisis situasi

Ansietas (keluarga)

Ansietas (keluarga)

29

Page 30: isi edit

3.5 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Perubahan pola eleminasi urin berhubungan dengan kelumpuhan saraf

perkemihan.

Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai dengan

kondisi klien

Kriteria: produksi urine 50cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin

dengan atau tanpa pemasangan kateter

No. Intervensi Rasional

1. Kaji pola berkemih dan catat

produksi urine tiap 6 jam

Mengetahui fungsi ginjal

2. Anjurkn keluarga untuk

memakaikan pampers

Membantu menampung pengeluaran

urine

3. Sarankn keluarga untuk segera

mengganti pampers bila sudah terasa

penuh, bersihkan area bekas

pampers.

Agar tidak terjadi ruam popok

4. Lakukan bladder training sesuai

dengan usia klien

Bladder training membantu

peningkatan kemampuan dari pola

eliminasi urin pada klien yang

mengalami gangguan komunikasi

eliminasi urin

2. Ansietas b.d krisis situasi

Tujuan:

a. Keluarga dan klien dapat mengurangi rasa cemasnya.

b. Klien dan keluarga rileks & dapat melihat dirinya secara objektif.

c. Keluarga klien menunjukkan koping yang efektif.

Kriteria evaluasi : -  Mengakui dan mendiskusikan takut/masalah

       -  Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan

penampilan wajah tampak rileks/istirahat     

No

.

Intervensi Rasional

30

Page 31: isi edit

1. Identifikasi persepsi orang tua

pasien tentang ancaman yang ada

dari situasi penyakit

Mendefinisikan lingkup masalah

individu dan keluarga untuk

mempengaruhi pilihan intervensi.

2. Observasi respon fisik,seperti

gelisah, tanda vital, gerakan

berulang.

Berguna dalam evaluasi derajat

masalah khususnya bila

dibandingkan dengan pernyataan

verbal.

3. Dorong orang tua untuk mengakui

dan menyatakan rasa takut.

Memberikan kesempatan untuk

menerima masalah, memperjelas

kenyataan takut dan menurunkan

ansietas.

4. Identifikasi pencegahan keamanan

yang diambil, seperti marah.

Memberikan kayakinan untuk

membantu ansietas yang tak perlu.

31

Page 32: isi edit

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Neurogenic Bladder adalah disfungsi yang hasil dari lesi dari sistem saraf

dan menyebabkan inkontinensia urin. Hal ini bisa disebabkan oleh rusaknya

sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi. Kasus ini banyak terjadi sehingga

perlu mendapat perhatian khusus.

Umumnya penderita tidak dapat pulih dengan sempurna, karena itu untuk

menghindari akibat yang lebih parah, penanganan yang baik dan tepat harus

dimulai dari upaya diagnostik yang akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan

fungsi ginjal, pemberantasan infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi

neurologis yang diderita.

4.2 Saran

Mengetahui banyaknya komplikasi yang dapat diakibatkan oleh adanya

neurogenic bladder ini, maka penanganan dan perawatan yang tepat harus

diperhatikan. Selain dengan bantuan petugas medis, pasien maupun keluarga

juga harus memahami perawatan sehingga mampu melakukan perawatan

mandiri di rumah karena prognosis dari penyakit ini tidak memungkinkan

untuk terjadi recovery lengkap seperti semula. Sehingga penting bagi perawat

untuk selalu memberikan health education kepada pasien dan keluarganya

untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Kerjasama antar disiplin

seperti urologi dan rehabilitasi medik sangat diperlukan. Namun di atas

segalanya, perhatian, kesabaran, dan dedikasi untuk menolong pasien sangat

penting agar kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.

32

Page 33: isi edit

DAFTAR PUSTAKA

Alan, E.H. Emery. 1994. Diagnositic Criteria for Neuromuscular Disorders p. 48-

52, 62-69. Netherlands: ENMC

Black, Joyce M and Jacobs, Esther Matassarin. 1993. Luckman and Sorensen’s

Medical –surgical Nursing. Lippincott: USA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans: Guidelines for Planning

and Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company,

Philadelphia.

Engram, Barbara. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah volume 3

cetakan 1. Jakarta: EGC

Kowalak, Jennifer P dkk. 2003. Professional Guide To Pathophysiologi. USA:

Lippincott.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Satyanegara. 1999. Ilmu Bedah Saraf Edisi III Hal 331-340. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

Smeltzer, Suzanne C., Brenda. G Bare. 2007. Keperawatan Medikal Bedah 2

Edisi 8. Jakarta: ECG

Muttaqin, Arif.2007. Pengantar asuhan keperawatan dengan gangguan system

persarafan. Salemba Medika.Jakarta

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC.

Jakarta.

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning

and Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company,

Philadelphia.

Resnick, M.I. & Older R.A. (1997). Diagnosis of Genitourinary Disease. (2nd ed).

New York: Thieme Medical Publishers Inc.

33

Page 34: isi edit

Gillenwater, J.Y., Grayhack, J.T., Hawards, S.S. & Mitchell, M.E. (2002). Adult

and Pediatric Urology fourth edition (vol. 2). Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.

Woll, N.M. (1985). Nursing Spinal Cord Injuries. United States of America:

Rowman & Allanheld.

Mostafa, G., Cathey, L. & Greene F. (2006). Review of Surgery Basic Science and

Clinical Topics for Absite. New York: Springer.

34