isi edit
-
Upload
ragillia-irena-febri -
Category
Documents
-
view
41 -
download
0
Transcript of isi edit
BAB I
PENNDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem
saluran kemih bagian bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra
eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun
pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian tersebut mengalami
kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap
proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu
(1) kapasitas buli-buli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang
sempurna, (3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik,
(4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk
terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau
beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan
miksi yang disebut inkontinensia urin. Inkontinensia yang timbul sekunder
akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Buli-bulineurogenik
merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus
inilah yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel.
Konsekuensi utama akibat buli-buli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan
inkontinensia urin. Kerusakan ginjal berkaitan dengan peninggian tekanan
intra-vesika atau adanya refluks vesiko ureteral sebagai penyerta dan
timbulnya infeksi saluran kemih. Infeksi, refluks dan obstruksi sering
ditemukan secara bersama-sama pada buli-buli neurogenik. (Sari Pediatri,
2000).
Berbagai kepustakaan melaporkan insidens maupun prevalensi
berdasarkan keluhan seperti mengedan, polakisuria, ngompol sehingga
diagnosis definitif yang ditegakkan berbeda satu sama lain. Dengan adanya
kesimpang-siuran mengenai diagnosis inkontinensia urin timbullah masalah
dalam menilai sensitivitas dan spesifisitas penemuan gejala/ tanda klinik
secara epidemiologik. Variasi dalam interpretasi diagnostik akan
mempengaruhi prevalensi inkontinensia pada berbagai penelitian, sehingga
prevalensi yang lebih akurat sulit ditentukan. Meskipun demikian
1
diperkirakan sekitar 20% kasus poliklinik nefrologi anak terdiri dari kasus-
kasus kompleks ISK berulang – inkontinensia fungsional atau disfungsi
sfingter non neuropati. (Sari Pediatri, 2000).
Di antara kelompok buli-buli neurogenik, mielodisplasia merupakan
etiologi tersering dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Data yang
dapat dikumpulkan dari kasus rawat jalan maupun rawat inap di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSCM selama 11 tahun diperoleh 18 kasus inkontinensia
urin, sebagian di antaranya diagnosis definitif belum dapat ditegakkan,
namun di antara kasus yang terdiagnosis lebih spesifik, buli-buli neurogenik
akibat spina bifida cukup dominan. Semua kasus disertai dengan ISK
berulang dan pada pengamatan ternyata 11 kasus di antaranya sudah
mengalami gagal ginjal kronik. (Sari Pediatri, 2000).
Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik
yang akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal, pemberantasan
infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita.
Kerjasama antar disiplin seperti urologi dan rehabilitasi medik sangat
diperlukan, namun di atas segalanya, perhatian, kesabaran, dan dedikasi untuk
menolong pasien sangat penting agar kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan disfungsi pola berkemih:
Neurogenic Bladder.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi vesika urunaria
2. Mengetahui definisi dari Neurogenic Bladder
3. Mengetahui etiologi dan faktor penyebab terjadinya Neurogenic
Bladder
4. Mengetahui patofisiologi dari Neurogenic Bladder
5. Mengetahui manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan
Neurogenic Bladder
2
6. Menjelaskan Web of Caution terjadinya Neurogenic Bladder
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk
mendiagnosa Neurogenic Bladder
8. Menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan Neurogenic
Bladder
9. Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada klien dengan
Neurogenic Bladder
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Akademik
Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi bladder, definisi,
etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, WOC, pemeriksaan
diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Neurogenic
Bladder.
1.3.2 Manfaat Klinik
Mahasiswa mampu mempraktikkan asuhan keperawatan dari Nerugenic
Bladder yang ada di klinik dengan benar.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Vesica Urinaria dan Sfingter
2.1.1 Struktur makroskopis dan mikroskopis vesika urinaria
Letak,bentuk dan ukuran vesica urinaria bervariasi bergantung pada
banyaknnya urine yang terkandung di dalamnya. Vesica urinaria yang kosong
terletak di dalam caitas pelvis dengan dasar (basis) berada pada separo bagian atas
vagina dan puncaknya (apex) menghadap ke arah symphysis pubis. Bila vesica
urinaria terisi urine,maka vesica urinaria akan meninggi dan lebih tinggi daripada
cavitas pelvis dan akan menjadi organ abdomen dan apabila penh dapat diraba
(dipalpasi) di atas symphysis pubis. Bia vesica urinaria ini meninggi,maka akan
menggeser letak corpus uteri.
Apabila kosong,vesica urinaria berbentuk piramid (kerucut) dan apabila
terisi urine bentuknya menjadi globuler. Vesica urinaria dapat menampung kira-
kira 300 ml urine sebelum terasa ingin miksi (berkemih). Vesica uinaria dapat
menampung urine yang lebih besar lagi jumlahnya.
2.1.1.1 Struktur Maskroskopik Vesica Urinaria
a. Trigonum
Trigonum adalah basis vesica urinaria. Trigonum ini menghadap ke
arah belakang dan ke bawah, dan dipisahkan dari separo bagian atas
dinding vagina oleh jaringan ikat. Tidak seperti corpus ( bagian utama)
vesica urinaria.maka trigonum ini tidak dapat mengalami distensi
(peregangan) dan bentuknya tetap datar.
b. Apex (puncak)
Apex menghadap ke atas dan ke depan ke arah symphisis pubis. Dari
apex ini urachus melanjutkan diri ke atas ke umbilicus. Urachus
adalah sisa-sisa jaringan fibrosis dari saccus vitellinus.
c. Cervix (leher)
Cervix adalah lanjutan dari uretra,dan merupakan daerah pada batas
vesica urinaria dengan uretra.
d. Permukaan superior (fundus)
4
Fundus berbentuk segitiga (trianguler) dan hampir seluruhnya tertutup
oleh peritoneum. Disebelah belakang (posterior) peritoneum melipat
ke atas dan berada di atas corpus uteri, peritoneum tersebut melekat
secara longgar dan melipat-lipat. Susunan peritoneum yang demikian
ini memungkinkan gerakan yang penting bagi vesica urinaria dan
uterus. Kantong peritoneum digambarkan sebagai excavatio vesica
uriterina. ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )
2.1.1.2 Struktus Mikroskopik Vesica Urinaria
a. Struktur Mikrosokopik Keseluruhan Vesica Urinaria Kecuali
Trigonum
Tabel 1 : Struktur Mikroskopik Apex, Cervix dan Fundus
dari Vesica Urinaria ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam
Kebidanan, 2003 )
1. Epitel Transisional Epitel transisional yang mempunyai
gambaran khas dapat berdistensi
(meregang), kontraksi (berkerut), dan
impermeabel terhadap air, adalah
membran mukosa yang melapisi
bagian dalam vesica urinaria. Membran
mukosa ini tersusun dalam bentuk
lipatan-lipatan atau rugae, yang
memungkinkan vesica urinaria dapat
mengalami distensi (peregangan).
2. Jaringan ikat Bersifat areoler
3. Otot Merupakan otot nonstriata (kadang-
kadang secara sinonim disebut otot
polos atau halus atau involunter).
Otot ini merupakan jenis otot yang
dijumpai pada berbagai organ dalam
5
tubuh yang memerlukan jawaban yang
lambat,terus-menerus, dan automatik.
Otot ini tersusun dalam tiga lapisan
yaitu lamina media,terdiri atas serabut
sirkuler yang terletak antara lamina
interna dan lamina externa serabut
longitudinal.
Walaupun demikian,terdapat saling
menyilang antara serabut pada setiap
lapisan, dan lapisan-lapisan tersebut
tidak dapat dibedakan secara tegas.
Otot pada corpus vesicae urinarie
disebut musculus detrussor.
4. Peritoneum Menutupi permukaan superior vesica
urinaria.
6
Gambar 1 : Struktur Mikroskopis Vesica Urinaria
b. Struktur Mikroskopik Trigonum
Trigonum memiliki bentuk segitiga (trianguler) dengan masing-masing
sisi segitiga tersebut berukuran panjang 2,3 cm pada saat vesica
urinaria berkontraksi. Pada vesica urinaria yang meregang (distensi)
ukuran tersebut dapat meningkat sampai 5 cm. Kedua ureter memasuki
vesica urinaria pada sudut lateral secara miring yang menyusuri
dinding vesica urinaria sejauh 2 cm. Kedua ureter saat memasuki
vesica urinaria menyebabkan lapisan epitel pada vesica urinaria
tersebut menonjol. Penonjolan lapisan epitel ini membantu mencegah
aliran balik (regurgitasi) urine ke ureter pada saat vesica urinaria
penuh,karena terdapat tekanan pada jaringan yang menonjol tersebut.
Uretra meninggalkan lubang ketiga yang berada pada cervix vesicae
urinariae. ( Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )
Tabel 2 : Struktur Mikroskopis Trigonum ( Anatomi dan
Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 2003 )
1. Epitel transisional Melapisi trigonum, tetapi epitel ini
7
terletak rata dan halus tanpa rugae,
karena daerah ini tidak dapat
diregangkan, tidak seperti vesica
urinaria.
2. Jaringan ikat Berjenis areoler.
3. Otot Lembaran Mercier atau lembaran
interureterica adalah otot yang terletak
antara kedua ostium ureter. Apabila
lembaran otot tersebut berkontraksi saat
berkemih, maka otot ini menekan
(kompresi) lebih lanjut jaringan yang
menonjol pada kedua ostium ureter, dan
menutup tonjolan tersebut sehingga
urine tidak mengalir balik ke ureter.
Otot mercier ini merupakan otot non-
striata (polos).
Otot bell, juga merupakan otot non-
striata, meluas antara masing-masing
ostium ureter dan ostium uretra. Otot ini
melanjutkan diri ke dinding otot uretra
separo panjangnya. Otot ini ikut
berperan dalam membuka ostium uretra
apabila sudut urethrovesical berubah
pada saat mulainya berkemih dan otot-
otot ini mengarahkan aliran urine ke
dalam lumen uretra.
8
2.1.2 Struktur Otot Detrusor dan Sfingter Vesica Urinaria
Susunan sebagian besar otot polos vesica urinaria apabila
berkontraksi akan menyebabkan pengosongan pada vesica urinaria.
Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher vesica urinaria berbeda antara
pria dan wanita dimana pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-
serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher vesica urinaria yang efektif
untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang
ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot lurik
berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari
prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra.
Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk
dasar pelvis. Pada pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu
discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter
pada awal proses miksi. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006; Waxman,
2010)
2.1.3 Persyarafan Vesica Urinaria dan Sfingter
1. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner
keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson
melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner
pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak
terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan
otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner mempunyai
jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana
asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmitter
nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun keberadaannya pada
manusia diragukan.
2. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
9
Vesica urinaria menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis
thorakolumbal melalui n.hipogastrik. Leher vesica urinaria menerima
persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat
dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis
pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak
berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan
ejakulasi retrograd. Leher vesica urinaria pria banyak mengandung transmitter
noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan
penutupan dari leher vesica urinaria untuk mencegah ejakulasi retrograde
3. Persyarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2,
S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf,
mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter
anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel
kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini
pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan
persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel
ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus dimana ketika
melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke
otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik
sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang
sedikit lebih rendah.
4. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada
pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena
banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-
related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut
pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada
sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal,
parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut
10
aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi
vesica urinaria tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi vesica
urinaria yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak
bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas
tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari distensi vesica urinaria
dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine,
nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam
medula spinalis sakral sebagai aferen vesica urinaria. Hal ini menggambarkan
kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk
intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien
yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras
ascending dari vesica urinaria dan uretra berjalan di dalam traktus
sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan
pada transmisi dari informasi aferen. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006;
Waxman, 2010)
Gambar 1 : Persyarafan Vesica Urinaria
11
2.1.4 Hubungan dengan persarafan Vesika Urinaria dengan Susunan Saraf Pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-
bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan
bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana
refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan
pengisian atau pengosongan vesica urinaria. Pusat miksi pons berperan
sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input
dari daerah lain di otak.
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian
anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa
urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya vesica urinaria yang
hiperrefleksi. (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006)
2.1.5 Fisiologi Pengaturan Fungsi Sfingter dan Vesica Urinaria
1. Pengisian urine
Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai dengan
adanya aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada vesica
urinaria normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab
terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari vesica
urinaria. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh
antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme
active compliance vesica urinaria kurang diketahui namun proses ini juga
memerlukan inervasi yang utuh Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens
selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra,
sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan
urinetidak mengalir keluar
2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat
sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak
12
diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter
uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi vesica urinaria. Inhibisi
tonus simpatis pada leher vesica urinaria juga ditemukan sehingga tekanan
intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar.
Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang
menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama
miksi. (Guyton, 2007; Sherwood, 2001)
2.2 Definisi Neurogenic Bladder
Neurogenic Bladder adalah disfungsi yang merupakan akibat dari lesi
dari sistem saraf dan menyebabkan inkontinensia urin. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh cedera tulang belakang, tumor tulang belakang, herniasi
diskus tulang belakang, multiple sclerosis, gangguan kongenital (spina bifida
atau myelomenigocele), infeksi, atau komplikasi dari diabetes mellitus.
(Brunner & Suddart).
Semua jenis disfungsi kandung kemih yang disebabkan oleh
gangguan dari persarafan kandung kemih normal oleh sistem saraf yang
disebut sebagai kandung kemih neurogenik (nama lain dari gangguan ini
termasuk disfungsi neuromuskular dari saluran kemih bawah, disfungsi
kandung kemih neurologis, dan kandung kemih neuropatik). Kndung kemih
neurogenik bisa hyperreflexic (hipertonik, kejang, atau otomatis) atau lembek
(hipotonik, lemah, atau otonom).
Sebuah neuron motor atas lesi (pada atau di atas kedua vertebra sacral
keempat) menyebabkan kandung kemih neurogenik kejang, dengan kontraksi
spontan otot detrusor, peningkatan tekanan intravesical berkemih, hipertrofi
kandung kemih dinding dengan trabeculation, dan kejang sfingter urin. motor
lebih rendah neuron lesi (menjadi rendah yang kedua vertebra sacral
keempat) menyebabkan kandung kemih neurogenik lembek, dengan tekanan
intravesical menurun, kapasitas kandung kemih meningkat, retensi urin sisa,
dan kontraksi detrusor yang buruk (Jacqueline).
13
2.3 Etiologi Neurogenic Bladder
A. Kelainan pada sistem saraf pusat :
1. Alzheimer’s disease
Pada tahap lanjut, beberapa klien dengan alzheimer sering berkemih
tidak pada tempatnya, biasanya yang berhubungan dengan penurunan status
kognitif pada klien tersebut. Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat
progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan
urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postiral. (Suzanne. C Smeltzer.&
Brenda. G Bare)
2. Meningomielocele
Meningomielocele atau Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang
kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari
tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah. Jika pada tonjolan terdapat
syaraf yang mempersyarafi otot atau extremitas, maka fungsinya dapat
terganggu dengan fungsi kolon dan ginjal yang juga terpengaruh.
3. Tumor otak atau medulla spinalis
Tumor medula spinalis akan memberikan tanda dan gelaja khas pada
bagian lumbo sakral dan merupakan kasus tumor dengan diagnostik rumit
karena letaknya berada didekat segmen lumbal bagian bawah, segmen sakral,
dan radiks saraf desendens dari tingkat medula spinalis yang lebih tinggi.
Kompresi medula spinalis lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks
perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan
kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah.
Selain itu juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks
pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral. Nyeri umumnya teralihkan ke
selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-
segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot
perineum, betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki.
Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan
kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai
daerah sakral bagian bawah. (Satyanegara,1999)
14
4. Multiple sclerosis
Pada multiple sklerosis terjadi kerusakan myelin (demyelinasi) yang
menyebabkan gangguan kemampuan serabut syaraf untuk menghantarkan
pesan ke dan dari otak. Kelemahan ekstremitas spastic dan kehilangan reflek
abdomen juga terjadi akibat keterlibatan jaras motorik utama (traktus
piramidal) dari medulla spinalis. Kerusakan akson-akson sensori dapat
menghasilkan disfungsi sensori. Maka pada pemeriksaan b4 akan ditemukan
disfungsi kandung kemih dimana lesi pads traktus kortikospinalis
menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan untuk
berkemih. frekuensi, dan urgensi berkemih yang menunjukkan berkurangnya
kapasitas kandung kemih yang spastik. (Arif Muttaqin, 2008)
5. Cedera medulla spinalis
Cedera pada medula spinalis dapat berupa kontusio,
kompresi,laserasi, transeksi parsial atau transeksi total. Cedera dapat terjadi
pada vertebra servikal, torakal, lumbal atau sakral. Dengan adanya luka pada
sunsum tulang belakang,pergerakkan dan sensasi pada tingkat di bawah
bagian yang terkena akan mengalalami gangguan.
Cedera medula spinalis diantara pons dan sakral menghasilkan
spastic bladder atau overactive bladder. Orang dengan paraplegic atau
quadriplegic memiliki lower extremity spasticity. Awalnya, setelah trauma
medula spinalis, individu masuk kedalam fase shock spinal dimana sistem
saraf berhenti. Setelah 6-12 minggu, sistem saraf aktif kembali. Ketika sistem
saraf aktif kembali, menyebabkan hiperstimulasi organ yang terlibat.
Perubahan fungsi kandung kemih neurogenik akan ditandai dengan
adanya berkemih secara spontan dalam jumlah yang sedikit dengan interval
sering. Pola berkemih seperti ini mencerminkan adanya lesi motor neuron
atas. Arkus refleks tetap baik, tetapi mekanisme menghambatnya hilang.
Stimulasi ringan seperti mengusap daerah perut atau paha ataupun genitalia
dapat merangsang berkemih.
Kandung kemih atonik dikarakteristikan adanya retensi urin tanpa
individu merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih. Kadang kemih
distensi berlebihan, urine menetes terus menerus. Jenis gangguan fungsi
15
kandung kemih seperti ini mencerminkan gangguan pada motor neuron bawah
(LMN). Arkus refleks hilang dan rangsangan tidak dapat mencapai otak.
(Barbara Engram, 2009)
B. Kelainan pada sistem saraf tepi :
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
Herniasi diskus intervertebralis (Herniation of intervertebral
disk) atau disebut juga hernia nucleus pulposus (HNP) adalah suatu
keadaan yang diakibatkan oleh penonjolan nucleus pulposus dari diskus
kedalam analus (cincin fibrosus disekitas diskus), yang disertai dengan
kompresi dari akar akar saraf. Herniasi dapat terjadi di lumbal,
lumboskral, region scapula, region servikal, dan berbagai kolumna
vertebralis (Fransisca,2008).
Herniasi diskus intervertebralis (HNP) merupakan penyebab
utama nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
Herniasi dapat parsial atau komplet, dari massa nucleus pada daerah
vertebra L4-L5, L5-S1 atau C5-C6, C6-C7 adalah yang paling banyak
terjadi dan mungkin sebagai tampak trauma atau perubahan degeneratif
yang berhubungan dengan proses penuaan (Doenges, 1999). Kerusakan
saraf dari herniasi diskus ini akan menyebabkan komplikasi berupa
menurunnya atau hilangnya fungsi dari usus dan kandung kemih.
5. Defisiensi vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 akan mengganggu berjalannya siklus
krebs sehingga terbentuk asam lemak yang tidak normal dan mengganggu
pembentuka mielin. Pada 16% pasien dengan defisiensi vitamin B12 ini
akan mengalami posterolateral sklerosis tipe sub acute combined
degeneration. Gejala klinis yang timbul salah satunya terjadinya disfungsi
pada kandung kemih. Gejala yang lain antaa lain parestesi dimulai dari
bagian distal ke proksimal dengan distribusi simetris pada keempat
16
anggota gerak, terdapat parese yang spastik akibat gangguan traktus
kortikospinalis dan reflek tendon bisa menurun atau meningkat dengan
reflek patologis positif (50%). (Alan, E.H. 1994)
2.4 Manifestasi Klinis Neurogenic Bladder
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi,
frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan
keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens
sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena
hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari
suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat
berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat
atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan
medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat
retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering
timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor
seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk
memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun
hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada
pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat
timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih
utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan
kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens
dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi
kronik dengan overflow. ( Ropper and Brown, 2005; Rackley, 2009;
Greenfield, 1997)
2.5 Klasifikasi
1. International Continence Society
17
Tujuan dari sistem klasifikasi adalah untuk memfasilitasi
pemahaman tentang patofisiologi yang terlibat dan pilihan manajemen
topredict dan prognosis. Sistem seperti ini harus merupakan mekanisme
singkat menggambarkan temuan Fungsi Ginjal, memberikan indikasi situs
perkiraan dan etiologi dari lesi menyinggung, dan menunjukkan pilihan
pengobatan. Sebuah profesi sistem klasifikasi tersedia untuk disfungsi
saluran kemih bawah berdasarkan deskriptif etiologicterminology,
anatomi, dan. Baru-baru ini, sejalan dengan meningkatnya penggunaan
evaluasi Fungsi Ginjal, deskriptif "fungsional" sistem klasifikasi
berdasarkan disfungsi baik dari kandung kemih atau outlet yang telah
dijelaskan oleh Wein. Sistem ini telah memungkinkan pendekatan logis
untuk klasifikasi dan dapat diperluas untuk memperjelas etiologi dan
terapi.
Pada tahun 1971, Bors dan Comar memperkenalkan sistem
klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi lesi dari pengamatan sumsum
tulang belakang-luka pasien. Sistem ini menggambarkan lesi sebagai
neuron motorik atas (UMN: suprasacral) atau lebih rendah motor neuron
(LMN: sacral atau infrasacral) dan komentar tentang kelengkapan lesi dan
apakah sphincter bertindak secara terkoordinasi dengan kandung kemih.
Estimasi sisa urin digunakan untuk menentukan apakah sphincter kandung
kemih dan dikoordinasikan (seimbang). Lebih dari 20% sisa pada pasien
dengan lesi UMN atau 10% pada pasien dengan lesi LMN ditentukan oleh
melalui pemeriksaan neurologis.
Studi Fungsi Ginjal telah menunjukkan ada hubungan yang tepat
notr antara kandung kemih dan sfingter aktivitas dan lokasi anatomi lesi
neurogenik. Sistem ini seringkali sulit untuk diterapkan pada pasien
dengan penyakit neurologis multicentric dan karena itu tidak memuaskan
untuk penggunaan klinis rutin.
Lapides dipopulerkan klasifikasi, banyak digunakan deskriptif
yang mengidentifikasi lima cathegories disfungsi kandung kemih
neurogenik. Dua adalah karena lesi UMN (kandung kemih neurogenik
tanpa hambatan dan refleks) dan tiga sisanya adalah karena lesi LMN
18
(otonom, orang lumpuh sensorik, dan motor kandung kemih neurogenik
lumpuh). Kandung tanpa hambatan menjelaskan istilah kandung kemih
hyperreflexic dengan sfingter normal atau seimbang, sedangkan kandung
kemih refleks menggambarkan hyperreflexia detrusor dengan eksternal
sfingter dyssynergia. The kandung kemih neurogenik otonom akibat lesi
dari kedua tungkai sensorik dan motorik refleks berkemih adalah hasil
dalam kandung kemih areflexic mampu kontraksi atau sensasi, bersama
dengan mekanisme sfingter tidak aktif. Kandung bermotor lumpuh juga
menghasilkan suatu detrusor areflexic. Dalam derservation sensorik dari
kandung kemih, meskipun pada akhirnya overdistention kandung kemih
menyebabkan kerusakan myogenic dan kegagalan kontraktil.
Sistem klasifikasi ini sering klinis berlaku dan mudah diingat.
Sayangnya, karena lesi tidak lengkap, atau pola yang tidak biasa dari
disfungsi sfingter terkait, pasien banyak yang tidak cocok dengan kategori.
Urodinamik telah menjadi lebih canggih dan mampu menyediakan
data yang obyektif untuk klasifikasi disfungsi saluran kemih bagian
bawah. Krane antara lain, telah mengembangkan klasifikasi di mana
aktivitas otot detrusor yang diklasifikasikan menurut apakah itu fungsional
normal, hyperreflexic, atau areflexic. Hyperreflexia didefinisikan sebagai
adanya kontraksi detrusor disengaja, paling sering dikaitkan dengan lesi
neurogenik atas sumsum tulang belakang sacral. Lurik sfingter
dyssynergia ini paling sering terlihat setelah cedera tulang lengkap
suprasacral tulang belakang. Setelah periode kejutan tulang belakang.
Mulus sfingter dyssynergia terlihat pada lesi lengkap atas T-6 dengan
hyperreflexia detrusor dan dyssynergia sfingter lurik. Detrusor areflexia
adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan kontraksi berkemih dan
mungkin sekunder untuk dekompensasi kandung kemih otot atau berbagai
kondisi lain yang produse penghambatan pada tingkat pusat batang otak
berkemih, sumsum tulang belakang sacral, ganglia kandung kemih, atau
kandung kemih otot polos . Masyarakat kontinensia Internasional (ICS)
telah mengusulkan perpanjangan dan penyederhanaan ini klasifikasi
Fungsi Ginjal. Tahapan penyimpanan dan berkemih saat berkemih
19
dijelaskan secara terpisah di bawah judul fungsi uretra dan kandung
kemih.
Detrusor
Normal
Overactive
Underactive
Urethra
Normal
Overactive
Underactive
Sensation
Normal
Overactive
Underactive
Storage phase Voiding phase
Bladder function
Destrusor activity :
Normal/stable
Overactive : hiperrefleks/unstable
Bladder sensation :
Normal
Hypersensitive
Hyposensitive
absent
Bladder capacity and compliance :
Normal
high
low
Bladder function
Destrusor activity
Normal
Underactive
acontractile
Uretheral function
Normal
incompetent
Urethral function
Normal
Obstructive :
20
dissynergia/mechanical
2. Menurut Bors and Comar
Sensory neuron lesion, motor neuron lesion, upper motor neuron lesion,
lower motor neuron lesion dan mixed upper and lower motor neuron
lesion
3. Bradley classification :
Loop 1 :
Mencakup lesi antara korteks dan pons seperti pada tumor otak, cedera
cerebrovaskular dan cerebral atrofi. Lesi pada loop 1 menimbulkan
detrusor hiperrefleks.
Loop 2 :
Mencakup lesi antara jaras intraspinal danpons dapat menimbulkan
detrusor arefleks dan retensi urin.
Loop 3 :
Mencakup jaras afferent perifer detrusor hingga bersinaps pada motor
neuron nervus pudendus. Lesi pada loop 3 menyebabkan terjadinya
detrusor-sfingter dissinergi atau relaksasi sfingter involunter.
Loop 4 :
Loop 4a : mencakup jaras afferent suprasakral dan jaras efferent nervous
pudendal ke sfingter eksterna.
Loop 4b : jaras afferent sfingter eksterna hingga nucleus nervous pudendal
(Onuf’s nucleus).
4. Klasifikasi Nesbit, Lapides, dan Baum
a. Sensory neurogenic bladder
Timbul disebabkan oleh penyakit yang secara selektif mencederai jaras
sensoris antara bladder dan spinal cord atau jaras afferent ke otak.
b. Motor neurogenic bladder
Akibat yang timbul dari penyakit yang merusak inervasi motorik
parasimpatis pada kandung kemih.
c. Uninhibited neurogenic bladder
21
Merupakan akibat dari lesi pada traktus kortikospinal yang
menyebabkan gangguan fungsi inhibisi pada muskulus detrusor.
d. Refleks neurogenic bladder
Tipe ini umumnya terjadi pada cidera yang menyebabkan terputusnya
pusat serebral dan pontine micturition centre (PMC) dengan medulla
spinalis.
e. Autonomous neurogenic bladder
Terjadi pada cedera yang mengakibatkan terpisahnya motor neuron
dan sensory neuron bladder dari sacral spinal cord.
5. Klasifikasi Krane
a. Detrusor hiperrefleks : umumnya dikaitkan dengan lesi supraspinal.
b. Detrusor arefleks : dapat merupakan bentuk dekompensasi detrusor
atau akibat dari beberapa kondisi yang menimbulkan inhibisi pada
PMC.
6. Klasifikasi Wain, Benson, and Raezer (fungsional kandung kemih)
a. Failure to empty: kegagalan yang terjadi pada fase miksi akibat
kontraksi detrusor yang tidak adekuat. Kegagalan relaksasi sfingter
atau kombinasi keduanya.
b. Failure to store : kegagalan pada fase penyimpanan yang terjadi akibat
hiperaktif detrusor, daya renggang rendah dankegagalan sfingter
berkontraksi.
2.6 Patofisiologi Neurogenic Bladder
Lesi pada lower motor neuron dari sumsum tulang belakang sering
langsung mengganggu busur refleks dan menyebabkan interpretasi tidak
sesuai pada impuls eferen dan aferen. Ketika kandung kemih mengisi,
pesan ditransmisikan melalui serat aferen ke korteks otak. Sebenarnya
impuls ini dari yang diinterpretasikan dengan benar, namun cedera
menyebabkan tidak ada dorongan untuk berkemih. Kandung kemih yang
flaccid menyebabkan retensi urin (Black dan Jacob, 1993).
Pada lesi upper motor neuron, impuls tidak dikirim ke atau dari
area lebih rendah dari spinal cord ke korteks. Ketika kandung kemih klien
22
Pasien BAK sedikit- sedikit
Kehilangan kemampuan mengedalikan BAK
Bladder spasticHipertrofi dinding bladder
Retensi urin
Pengosongan blader yg tidak tuntas
MK:Gangguan integritas kulit
Frekuensi BAK sering
Kontraksi spontan m. detrusor
Spastik
Pe↑ tekanan intravasikal saat berkemihSpsme sfingter urinary
Lesi upper motor neuron
Neurogenic bladder
Lesi lower motor neuron
Flasid
distensi, tidak ada sensasi yang ditranmisikn, namun aktivitas lengkung
refleks dapat terjadi, dan klien akan memiliki inkontinensia refleks urin.
Ketika kerusakan adalah daerah korteks itu sendiri, seperti dengan stroke
atau trauma, klien tidak bisa benar menafsirkan impuls yang sedang
dikirim. klien dengan kandung kemih disfungsional lebih mungkin dari
biasanya untuk mengembangkan UTI serius, kerusakan kulit yang
berhubungan dengan inkontinensia, dan penyakit ginjal bahkan karena
overdistention kronis kandung kemih (Black dan Jacob, 1993).
Lesi uuper motor neuron menyebabkan neurogenic bladder yang
spatik disertai kontraksu spontan muskulus detrusor, peningkatan tekanan
intraversikal saat urinasi, hipertrofi dinding kandung kemih, dan spasme
sfingter urinary, sedangkan lesi lower motor neuronakan mengenai reflex
spinal yang mengontrol mikturisi sehingga menyebabkan neurogenik
bladder yang flasid (Kowalak (ed), 2003).
2.7 Web of Caution (WOC) Neurogenic Bladder
23
2.8 Pemeriksaan Diagnostic Neurogenic Bladder
1. Voiding cystourethrography: mengevaluasi fungsi leher kandung
kemih, refluks vesikoureter profidan kontinensia
2. Pemeriksaan urodinamika: terdiri dari sistometri, uroflometri, profil
tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja
kandung kemih untuk penyimpanan urine, pengosongan kandung kemih
dan kecepatan aliran urine keluar dari kandung kemih pada saat buang
air kecil.
3. Retrograde urethrography: mengungkapkan keberadaan striktur dan
divertikulum; berkurang atau terganggunya aliran urin.
2.9 Penatalaksanaan Neurogenic Bladder
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah
untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.
1. Interupsi neuron sensorik diobati dengan melatih kandung kemih
(bladder training). Kandung kemih di kosongkan dengan kateter pada
interval-interval yang telah ditetapkan (setiap 2-4 jam).
Bladder training salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
vesica urinaria yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke
fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN). Sedangkan
penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat
dilakukan dengan cara:
a.Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi
perianal
b. Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
c.Clean intermittent self-catheterisation
d. Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan
neurologis kongenital atau cedera medula spinalis. (Brunicardi, 2006;
Ropper and Brown, 2005; Rackley, 2009; Greenfield, 1997; Waxman,
2010)
24
3. Interupsi neuron motorik atas dan korteks diobati dengan drainase
kateter, atau perangsangan lengkung refleks secara manual dengan
menggosok daerah abdomen atau perineum.
4. Interupsi neuron motorik bawah diobati dengan drainase kateter atau
kompresi manual atas kandung kemih.
5. Maneuver valsalva, pemasangan sendiri kateter urine yang indwelling
atau intermiten, maneuver crede, bladder training.
2.10 Komplikasi Neurogenic Bladder
1. ISK
diakibatkan oleh urin yang ditahan terlalu lama sebelum dieliminasi
(Jefferson, 2009).
2. Retensi urine sisa
terjadi jika otot yang berfungsi untuk mengeluarkan urin tidak menerima
stimulus untuk melepaskan urin
3. Gagal ginjal
karena cadangan urin dari kandung kemih yang terlalu berat. Kondisi
tersebut mengakibatkan insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal dapat
menyebabkan toksik lebih banyak berada di dalam darah (uremia)
daripada yang dikeluarkan dalam urin (Guidelines, 2010).
4. Inkontinensia
terjadi ketika otot-otot yang berfungsi untuk menahan urin dalam tidak
menerima stimulus yang tepat.
2.11 Prognosis Neurogenic Bladder
Prognosis dari penyakit ini umumnya baik apabila segera ditangani
dengan baik pula. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal,
pemberantasan infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi neurologis
yang diderita. Karena tidak memungkinkannya penyakit ini untuk terjadi
recovery yang lengkap seperti semula, maka perlu penanganan segera agar
tidak terjadi kerusakan yang lebih parah (Medical Disability Advisor).
25
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus semu
An. Y 1 tahun dibawa ke ke RS. B dengan keadaan lemah, ibu
mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing, ibu
mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar seperti anak
biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun kencing sudah tidak
keluar sejak 2 minggu yang lalu. Sekitar 2 hari yang lalu ibu klien merasa
diperut bagian bawah terasa membesar dan klien menangis mungkin nyeri
tekan. Klien lahir dengan cacat bawaan pada medulla spinalis, spina bifida.
Orang tua klien tidak melakukan operasi karena belum mampu mambayar
biaya operasi. Sebelumnya tidak ada keluarga yang memiliki riwayat
penyakit seperti klien. Tanda-tanda vital diperoleh suhu 36,5oC axilla, nadi
lemah dan teratur, 84x/menit, pernafasan teratur, 30x/menit. GCS 456 ,
bunyi jantung S1 S2 tunggal, nyeri tekan abdomen bawah akral hangat,
kering dan merah turgor normal, CRT 2 detik, bising usus 5x/menit.
Jumlah urin kurang lebih 500 cc / 24 jam. Ibu klien mengatakan cemas
dengan keadaan penyakit anaknya dan tidak bersemangat. Saat
pemeriksaan fisik terjadi penurunan reflek motorik bagian kaki klien jg
blm bisa berjalan dengan lancar.
3.2 Pengkajian
1. Keluhan Utama
Ibu mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing, ibu
mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar seperti anak
biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun kencing sudah tidak
keluar sejak 2 minggu yang lalu.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya :
Klien lahir dengan cacat bawaan pada medulla spinalis, spina
bifida.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
26
ibu mengatakan klien selalu menangis dan rewel saat akan kencing,
ibu mengatakan kencing hanya bisa menetes tidak bisa lancar
seperti anak biasanya, dan klien masih tetap rewel meskipun
kencing sudah tidak keluar sejak 2 minggu yang lalu.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga: -
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: kondisi umum terlihat lemah, melakukan aktivitas
seperlunya.
Tanda-tanda Vital: suhu 36,5oC axilla, nadi lemah dan teratur, 84x/menit,
pernafasan teratur, 30x/menit.
1) B1 breathing
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem
pernapasan tidak ditemukan kelainan.
2) B2 blood
Nyeri dada (-), Jantung S1 S2 tunggal normal, Odema ekstremitas atas dan
bawah (-)
3) B3 brain
GCS : 4 5 6
Kepala dan wajah : tidak ada kelainan.
4) B4 blader
- Ginjal
Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan
timbul nyeri di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul
pada awal penyakit pada saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut
yang dibentuk oleh tulang belakang dan tulang rusuk ke-12).
Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi dilakukan.
Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri
27
ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui
arteri yang sempit).
Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal
selama proses pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal
dapat mengungkapkan adanya masalah seperti tumor.
- Kandung Kemih
Saat diraba terasa seperti terisi penuh, dan saat dilakukan penekanan
ringan klien menunjukan ekspresi kesakitan dan menangis.
5) B5 bowel
Bising usus : 5x/menit
Mulut dan tenggorok : kering, agak merah (iritasi).
Abdomen : supel, distensi (-)
Rectum : tidak ada kelainan.
6) B6 bone
Terjadi penurunan reflek motorik bagian kaki klien jg blm bisa berjalan
dengan lancar.
Extremitas:
- Atas : tidak ada kelainan.
- Bawah : mengalami kelemahan.
- Tulang Belakang : terdapat spina bifida
Kulit:
- Warna kulit : merah normal
- Akral : hangat kering.
- Turgor : cukup.
3.4 Analisa Data
Data Analisa Masalah
DS : klien selalu
menangis dan rewel
saat akan kencing, ibu
Spina bifida
Shock spinal
Perubahan pola
eleminasi urin
28
mengatakan kencing
hanya bisa menetes
tidak bisa lancar seperti
anak biasanya, dan
klien masih tetap rewel
meskipun kencing
sudah tidak keluar
sejak 2 minggu yang
lalu
DO : Jumlah urin
kurang lebih 500 cc/ 24
jam, nyeri tekan pada
abdomen bawah dan
keinginan kencing saat
palpasi.
Mencegah terjadinya
pengosongan kandung
kemih
Neurogenik blader
Kelumpuhan saraf
perkemihan
Kandung kemih terasa
penuh
Otot detrusor tidak
bereaksi
Perubahan pola
eliminasi urin
DS : cemas dengan
keadaan penyakitnya.
DO : klien nampak
tidak bersemangat
Neurogenic bladder
Tidak bisa kencing
dengan lancar
Menangis
Krisis situasi
Ansietas (keluarga)
Ansietas (keluarga)
29
3.5 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Perubahan pola eleminasi urin berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai dengan
kondisi klien
Kriteria: produksi urine 50cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin
dengan atau tanpa pemasangan kateter
No. Intervensi Rasional
1. Kaji pola berkemih dan catat
produksi urine tiap 6 jam
Mengetahui fungsi ginjal
2. Anjurkn keluarga untuk
memakaikan pampers
Membantu menampung pengeluaran
urine
3. Sarankn keluarga untuk segera
mengganti pampers bila sudah terasa
penuh, bersihkan area bekas
pampers.
Agar tidak terjadi ruam popok
4. Lakukan bladder training sesuai
dengan usia klien
Bladder training membantu
peningkatan kemampuan dari pola
eliminasi urin pada klien yang
mengalami gangguan komunikasi
eliminasi urin
2. Ansietas b.d krisis situasi
Tujuan:
a. Keluarga dan klien dapat mengurangi rasa cemasnya.
b. Klien dan keluarga rileks & dapat melihat dirinya secara objektif.
c. Keluarga klien menunjukkan koping yang efektif.
Kriteria evaluasi : - Mengakui dan mendiskusikan takut/masalah
- Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan
penampilan wajah tampak rileks/istirahat
No
.
Intervensi Rasional
30
1. Identifikasi persepsi orang tua
pasien tentang ancaman yang ada
dari situasi penyakit
Mendefinisikan lingkup masalah
individu dan keluarga untuk
mempengaruhi pilihan intervensi.
2. Observasi respon fisik,seperti
gelisah, tanda vital, gerakan
berulang.
Berguna dalam evaluasi derajat
masalah khususnya bila
dibandingkan dengan pernyataan
verbal.
3. Dorong orang tua untuk mengakui
dan menyatakan rasa takut.
Memberikan kesempatan untuk
menerima masalah, memperjelas
kenyataan takut dan menurunkan
ansietas.
4. Identifikasi pencegahan keamanan
yang diambil, seperti marah.
Memberikan kayakinan untuk
membantu ansietas yang tak perlu.
31
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Neurogenic Bladder adalah disfungsi yang hasil dari lesi dari sistem saraf
dan menyebabkan inkontinensia urin. Hal ini bisa disebabkan oleh rusaknya
sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi. Kasus ini banyak terjadi sehingga
perlu mendapat perhatian khusus.
Umumnya penderita tidak dapat pulih dengan sempurna, karena itu untuk
menghindari akibat yang lebih parah, penanganan yang baik dan tepat harus
dimulai dari upaya diagnostik yang akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan
fungsi ginjal, pemberantasan infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi
neurologis yang diderita.
4.2 Saran
Mengetahui banyaknya komplikasi yang dapat diakibatkan oleh adanya
neurogenic bladder ini, maka penanganan dan perawatan yang tepat harus
diperhatikan. Selain dengan bantuan petugas medis, pasien maupun keluarga
juga harus memahami perawatan sehingga mampu melakukan perawatan
mandiri di rumah karena prognosis dari penyakit ini tidak memungkinkan
untuk terjadi recovery lengkap seperti semula. Sehingga penting bagi perawat
untuk selalu memberikan health education kepada pasien dan keluarganya
untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Kerjasama antar disiplin
seperti urologi dan rehabilitasi medik sangat diperlukan. Namun di atas
segalanya, perhatian, kesabaran, dan dedikasi untuk menolong pasien sangat
penting agar kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
32
DAFTAR PUSTAKA
Alan, E.H. Emery. 1994. Diagnositic Criteria for Neuromuscular Disorders p. 48-
52, 62-69. Netherlands: ENMC
Black, Joyce M and Jacobs, Esther Matassarin. 1993. Luckman and Sorensen’s
Medical –surgical Nursing. Lippincott: USA
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans: Guidelines for Planning
and Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company,
Philadelphia.
Engram, Barbara. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah volume 3
cetakan 1. Jakarta: EGC
Kowalak, Jennifer P dkk. 2003. Professional Guide To Pathophysiologi. USA:
Lippincott.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Satyanegara. 1999. Ilmu Bedah Saraf Edisi III Hal 331-340. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Smeltzer, Suzanne C., Brenda. G Bare. 2007. Keperawatan Medikal Bedah 2
Edisi 8. Jakarta: ECG
Muttaqin, Arif.2007. Pengantar asuhan keperawatan dengan gangguan system
persarafan. Salemba Medika.Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC.
Jakarta.
Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning
and Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company,
Philadelphia.
Resnick, M.I. & Older R.A. (1997). Diagnosis of Genitourinary Disease. (2nd ed).
New York: Thieme Medical Publishers Inc.
33
Gillenwater, J.Y., Grayhack, J.T., Hawards, S.S. & Mitchell, M.E. (2002). Adult
and Pediatric Urology fourth edition (vol. 2). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Woll, N.M. (1985). Nursing Spinal Cord Injuries. United States of America:
Rowman & Allanheld.
Mostafa, G., Cathey, L. & Greene F. (2006). Review of Surgery Basic Science and
Clinical Topics for Absite. New York: Springer.
34