integumen
description
Transcript of integumen
Sampai saat ini, penyakit kusta merupakan masalah yang serius dan memerlukan masalah yang
serius dan memerlukan perhatian dari semua pihak, baik individu, masyarkat,, pelayanan
kesehatan, maupun dari pemerintah. Adapun tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
menyembuhkan penderita kusta, terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insedensi penyakit. Jenis pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah
sebagai berikut.
1. Tipe pausibasiler (PB). Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifempisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah .
Pengobatan 6 dosis deselesaikan dalam 6-9 bulan. Setelah selesai, pasien dinyatakan RTF
(release from treatment [berhenti munum obat kustal ]) meskipun secara klinis lesinya masih
aktif. Menurut WHO (1995), pasien tidak lagi dinyatakn RTF, melainkan dengan istilah
completion of treatment cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe multibasiler (MB). Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas, dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg/hari diminum di rumah.
c. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai
minum 24 dosis, pasien dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998), pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis
yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien dinyatakan RTF.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Biodata. Kaji secara lengkap tentang umur; penyakit kusta dapat menyerang semua usia.
Jenis kelamin,; rasio pria dan wanita 2,3:1,0.paling sering terjadi pada daerah dengan social-
ekonomi, resiko trauma pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat social- ekonomi, risiko
trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
2. Keluhan utama. Pasien sering dating ke tempat pelayanan kesehatan dengan kelihan adanya
bercak putih yang tidak terasa, atau dating dengan keluhan kontraktur pada jari-jari.
3. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontaktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan bagaimana proses perubahan
nya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada perubahan nya, baik warna kulit
maupun keluhan lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas, atau
rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini penting
untuk mengetahui apakah klien pernah menderita penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah
klien memakai obat kulit yang diolesi atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga
dapat menimbulkan perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan
apakah penyakit kusta, keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah, obat apa yang
diminum? Teratur atau tidak?
4. Riwayat penyakit dahulu. Salah satu factor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya , M.leprae dapat masuk kedalam tubuh. Oleh karena itu, perlu
dikaji apakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain yang pernah diderita.
5. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika anggota
keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko tinggi tertular sangat mungkin terjadi.
Perlu dikaji apakah anggota keluarga lain yang menderita atau memiliki keluhan yang sama,
baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.
6. Riwayat pesikosial. Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikkan. Ini
disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji
bagaimana konsep diri klien dan respons masyarakat disekitar klien.
7. Kebiasaan sehari hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari hari,
perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan/nutrisi klien. Hal ini sangat penting karena
faktor gizi berkaitan erat dengan system imun. Apabila menjalankan kegiatan segari hari
dapat terganggu. Di samping itu, perlu dikaji aktivitas yang dilakukan klien sehari hari. Hal
ini berkaitan dengan kemungkinan terjadi cedera akibat anestesia.
8. Pemeriksaan fisik. Seperti pada kasus yang lain , pemeriksaan fisik harus dilakukan secara
menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja . kelenjar regional juga harus diperiksa karena
pada penderita kusta dapat pula ditemukan adanya pembesaran beberapa kelenjar limfe .
pemeriksaan sederhana menggunakan jarum ,kapas,tabung reaksi (masing masing dengan air
panas dan es), pensil tinta ,dansebagainya .inspeksi dilakukan untuk menetapkanruam yang
ada pada kulit .biasanya,dapat ditemukan adanya makula hipipogmentasi /hiperpigmentasi
dan eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurang jelas atau
jelas ,bergantung pada tipe tuberkuloid ,dapat ditemukan gangguan kulit yang disertai dengan
penebalan serabut saraf ,nyeri tekan akibat peradaangan atau reaksi fibrosis, anhidrasi, dan
kerontokan rambut (sering dijumpai pada rambut alis dan bulu mata). Pada kusta tipe
lepromatus, dijumpai hidung pelana dan wajah singa (leoning face). Selain itu, ada pula
kelainan otot tanpa berupa atrofi disuse otot yang ditandai dengan kelumpuhan oto-otot,
diikuti kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop foot, dan drop hand.
Kelainan pada tulang dapat berupa osteomyelitis dan resorbsi tulang yang mengakibatkan
pemendekan dan kerusakan tulang (ujung bengkok), terutamajari-jari tangan dan kaki. Pada
penderita kusta, dapat juga ditemukan kelianan pada mata akibat kemampuan m.orbicularis
oculi sehingga terjadi lagopthalmus atau mata tidak dapat dipejamkan. Akibatnya, mata
menjadi kering dan berlanjut pada keratitis, ilkus kornea, iritis, iridoksilitik, dan berakhir
pada kebutaan. Pada testis dapat terjadi atrofi yang mengakibatkan ginekomastia. Kecacatan
yang sering diderita oleh penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepid an
neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta, juga cedera akibat anesthesia.
Pada palpasi, ditemukan penebalan serabut saraf, makula anestetika pada tipe T, dan
makula non-anestetika pada tipe L, serta permukaan lesi yang kering dan kasar. Selanjutnya,
kita bisa melakukan pemeriksaan sederhana untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit
kusta dan juga untuk mengetahui ada atau tidaknya anesthesia pada lesi yang kita curigai
melalui beberapa pengujian.
a. Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan caranya mudah sehingga semua petugas
kesehatan dapat melakukannya. Telebih dahulu penderita diberi tahu dan dijelaskan
tentang prosedur pengujian yang akan dilakukan secara jelas. Penggunaan jarum untuk
mengetahui rasa nyeri dilakukan dengan meminta klien menyebutkan tempat mana yang
lebih sakit atau lebih terasa. Kita dapat pula menggunakan kapas atau bulu ayam untuk
mengetahui sensasi raba. Jika masih belum jelas, kita lakukan pengujian terhadap sensasi
suhu, yaitu panas dan dingin, dengan menggunakan 2 tabung rekasi yang disentuhkan
secara bergantian dengan catatan penderita tidak melihat pada waktu pengujian dilakukan
dan menyebutkan rasa apa yang dirasakan.
b. Uji keringat. Pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar
keringat. Uji ini dilakukan dengan cara menggores lesi dengan pensil tinta mulai dari
beberapa cm diluar lesi melewati permukaan lesi dan keluar batas lesi. Hasilnya, pada
bagian luar lesi goresan pensil akan mengembang berwarna ungu, sedangkan didaerah
lesi tidak.
c. Uji Lepromin. Ini dilakukan untuk menentukan diagnosisdan klasifikasi penyakit kusta.
Tipe I, T, dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negative.
9. Pemeriksaan penunjang. M. leprae merupakan bakteri berbentuk batang, dapat dibuktikan
melalui pemeriksaan kerokan jaringan atau sediaan apus (smear). Setelah dicat dengan Zichl
Nielsen, sediaan selanjutnya dilihat dibawah mikroskop biasa dengan lensa objektif 100x.
cara pengambilan sediaan adalah sebagai beikut:
a. Beri penjelasan pada penderita tentang tindakan yang akan dilakukan.
b. Korek sptum nasi dengan oese untuk mendapatkan secret hidung (tindakan ini sudah
jarang dilakukan karena tidak nyaman buat penderita).
c. Kerokan dihasilkan dengan membuat irisan dangkal dengan scalpel pada cuping telinga
yang sebelumnya didesinfeksi dengan kapas alcohol kemudian dijepit dengan jari
sehingga pucat.
d. Kerokan yang dihasilkan setelah mengadakan irisan dangkal dengan scalpel pada lesi
(makula) yang sebelumnya dijepit dengan pinset sampai pucat.
e. Luka sayatan cukup ditekan dengan kapas steril yang kering untuk menghentikan
pendarahan.
Hasil yang dilihat pada mikroskop adalah bentuk kanan solid (utuh), fragmented
(segmented), atau granulated. Struktur kuman dan kepadatan (densitas) kuman dinyatakan
dengan indeks bakteri yang dalam hal ini dinyatakan dengan +1 sampai +6. Daya tular
dinyatakan dengan indeks morfologi dengan menggunakan presentase.
Diagnosis dan Intervensi
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien ini adalah:
1. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan adanya lesi pada kulit, perubahan
bentuk wajah, kerontokan rambut.
2. Resiko cedera yang berhubungan dengan anesthesia atau hilang rasa akibat neuritis
3. Penatalaksanaan program terapeutik: ketidakefektifan, yang berhubungan dengan
rumitnya program pengobatan
4. Gangguan presepsi pengelihatan yang berhubungan dengan kelumpuhan m.orbicularis
5. Gangguan peran yang berhubungan dengan terbatasnya aktivitas sebagai dampak dari
mutilasi absorpsi tulang/otot
DK: kemungkinan cedera yang berhubungan dengan anesthesia atau hilang rasa akibat
neuritits
Hasil yang diharapkan:
1. Klien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko cedera pada
dirinya.
2. Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
Rencana keperawatan:
1. Beri penjelasan pada kiln dan keluarga tentang penyebab ansietas atau hilang rasa serta
akibat yang ditimbulkannya.
2. Kaji faktor-faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.
3. Kurangi atau hilangkan faktor-faktor penyebab jika mungkin.
4. Ajari cara-cara pencegahan:
a. Gunakan selalu alas kaki
b. Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran
c. Kaji suhu air mandi, jika mandi menggunakan air panas, dengan thermometer air
mandi
d. Gunakan pelindung tangan saat mengangkat barang dari kompor
e. Jangan menggunakan baju panjang ketika sedang memasak.
f. Hati-hati dan waspada selalu jika beraktivitas di dapur
5. Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan dirumah
DK: Penatalaksanaan aturan teapeutik: ketidakefektifan, yang berhubungan dengan ruminya
program pengobatan
Hasil yang diharapkan:
1. Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang perilaku hidup sehat yang
diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhannya, serta mencegah kekambuhan
atau komplikasi yang ditimbulkan
2. Klien/keluarga dapat menjelaskan prses terjadinya penyakit, penyebab dan faktor yang
mendukung gejala, dan peraturan untuk mengontrol penyakit.
Rencana keperawatan:
1. Identifikasi faktor penyebab ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik.
a. Kurang percaya
b. Kurang pengetahuan
c. Kurangnya sumber-sumber pendukung
2. Bina hubungan saling percaya dengan klien/keluarga
3. Jelaskan tentang penyebab penyakit, proses penyakit, dan resiko yang terjadi jika diobtati
4. Beri penyuluhan tentang perawatan penderita kusta sebelum pengobatan, selama
pengobatan, dan setelah pengobatan.
a. Perlunya pengobatan yang teratur
b. Cara makan obat
c. Lama pengobatan
d. Hal-hal yang dapat timbul selama pengobatan, antara lain efek samping obat dan
reaksi yang ditimbulkan.
e. Program tindak lanjut setelah RFT
f. Perawatan luka dirumah
g. Pentingnya gizi/nutrisi
h. Perubahan gaya hidup/ aktivitas