Insect Bite Reaction

13
INSECT BITE REACTION DEFINISI Insect bite reaction atau reaksi gigitan serangga adalah reaksi inflamasi dan atau reaksi alergi, berupa erupsi pruritik pada tempat dimana serangga menggigit yang timbul beberapa jam atau hari setelah gigitan. 1 Manifestasi klinis dapat berupa papula urtikaria soliter atau grup, papulovesikel dan atau bula yang dapat bertahan beberapa hari sampai minggu. 1 ETIOLOGI Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi dua grup yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal. (2,3) Insect berasal dari bahasa latin ‘insecta’ bermaksud serangga adalah hewan dengan ciri khusus mempunyai enam kaki (tiga pasang). Serangga mempunyai tiga bagian tubuh yaitu caput, toraks dan abdomen. Kelas Insecta terbagi kepada beberapa ordo yaitu: a) ordo anoplura (kutu); b) ordo coleoptera (kumbang);

description

kulit dan kelaminusaha tangga kejayaan

Transcript of Insect Bite Reaction

Page 1: Insect Bite Reaction

INSECT BITE REACTION

DEFINISI

Insect bite reaction atau reaksi gigitan serangga adalah reaksi inflamasi dan atau

reaksi alergi, berupa erupsi pruritik pada tempat dimana serangga menggigit yang

timbul beberapa jam atau hari setelah gigitan.1

Manifestasi klinis dapat berupa papula urtikaria soliter atau grup, papulovesikel

dan atau bula yang dapat bertahan beberapa hari sampai minggu.1

ETIOLOGI

Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi dua grup yaitu

Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun

biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan

suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun atau bisa

melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan

menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal. (2,3)

Insect berasal dari bahasa latin ‘insecta’ bermaksud serangga adalah hewan

dengan ciri khusus mempunyai enam kaki (tiga pasang). Serangga mempunyai tiga

bagian tubuh yaitu caput, toraks dan abdomen. Kelas Insecta terbagi kepada beberapa

ordo yaitu: a) ordo anoplura (kutu);

b) ordo coleoptera (kumbang);

c) ordo diptera (nyamuk, lalat hitam);

d) ordo hemiptera (kutu busuk);

e) ordo hymenoptera (semut, lebah, tawon);

f) ordo Lepidoptera (belalang, kupu-kupu. moths); dan

g) ordo siphonaptera (pinjal manusia, pinjal tikus).(1,2)

PATOGENESIS

Reaksi cepat dari kutaneus akibat gigitan serangga disebabkan karena adanya

induksi antisaliva IgE Immediate akibat injeksi dari saliva serangga. Saliva pada

Page 2: Insect Bite Reaction

serangga dapat membantu dalam pencernaannya, menghambat koagulasi,

meningkatkan aliran darah pada tempat gigitan, atau menganestesi daerah gigitan.

Banyak lesi yang terjadi biasanya merupakan akibat dari respon imun terhadap

sekret insekta ini. Kebanyakan gigitan serangga bentuknya kecil dan hanya

menghasilkan luka tusuk superficial(3,5)

Gigitan serangga dan saliva sangat kompleks. Reaksi yang cepat biasanya

berhubungan dengan histamin, serotonin, asam format atau kinin. Reaksi yang lambat

biasanya menyerupai manifestasi dari host respon imun ke protein alergen. Infeksi

sekunder biasanya terjadi.6

Kira-kira seperempat dari kasus yang dilaporkan dari anafilaksis yang terkait

dengan sengatan serangga, khususnya sengatan hymenopterid. Urutan Hymenoptera

berisi lebah, tawon, dan semut. Serangga ini memiliki sayap membran dan sengatan

kompleks yang dapat berisi asam format, kinin dan alergen protein. Serangga dengan

sengatan hipersensitivitas lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki diatesis atopik

dan juga dapat menjadi indikasi mastositosis. 6

DIAGNOSIS

Anamnesis

Kebanyakan pasien sadar dengan adanya gigitan serangga ketika terjadi

reaksi atau tepat setelah gigitan, namun paparannya sering tidak diketahui kecuali

terjadi reaksi yang berat atau berakibat sistemik. Reaksi akibat gigitan muncul

beberapa menit hingga beberapa hari setelah gigitan. Durasi lesi beragam mulai dari

beberapa hari, minggu, hingga beberapa bulan. Gejala yang timbul berupa pruritus,

nyeri pada daerah yang digigit, serta gejala sistemik, misalnya demam dan malaise. 4

Gejala Klinis

Pada reaksi lokal, pasien mungkin akan mengeluh tidak nyaman, gatal, nyeri

sedang maupun berat, eritema, panas, dan edema pada jaringan sekitar gigitan.(2,4)

Pada reaksi lokal berat, keluhan terdiri dari eritema yang luas, urtikaria, dan edema

pruritis . Reaksi lokal yang berat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi

Page 3: Insect Bite Reaction

sistemik serius pada paparan berikutnya. 2

Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya

gejala lokal sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan. Gejala

dapat bervariasi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya termasuk ruam yang

luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini dapat berkembang dan pasien

dapat

mengalami ansietas, disorientasi, kelemahan, gangguan gastrointestinal, kram

perut pada wanita, inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi, stridor,

sesak, atau batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami

kegagalan napas dan kolaps kardiovaskuler.7

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium yang

sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat dan

membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami kegagalan

organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder, seperti sellulitis.2

Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada diagnosis

skabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan serangga.2

Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi yang

diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan membutuhkan waktu yang

lama untuk mendapatkan hasilnya.2

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat

gigitan (papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis

kutaneus yang menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda.

a. Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak alergi merupakan tipe delayed dari perangsangan alergi

yang berasal dari kontak antara kulit dengan alergen spesifik dimana pasien

Page 4: Insect Bite Reaction

memiliki sensitivitas tertentu. Reaksi alergi ini menyebabkan radang kulit yang

bermanifestasi dalam berbagai bentuk eritema, edema, dan vesikulasi. Diagnosis

didasarkan pada riwayat dan ditambah dengan pengetahuan tentang penyebab

alergi umum dan iritan di lingkungan.8

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak

eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau

bula. 8

Gambar 2. Dermatitis kontak alergi akut pada pasien yang alergi terhadap

akrilat yang digunakan dalam industri percetakan. (10)

b. Skabies

Skabies adalah infeksi parasit yang umum terjadi di dunia. Arthropoda

Sarcoptes scabiei var hominis menyebabkan pruritus berat dan merupakan

penyakit kulit yang sangat menular, dapat menyerang pria dan wanita dari semua

tingkat status sosioekonomi dan etnik. (13, 14)

Gejala dan tanda hipersensitif pada tungau biasanya berkembang perlahan

sekitar 4-6 minggu sejak terpapar. Skabies muncul dalam bentuk kluster, pada

individu terlihat sebagai ruam yang gatal dan papul.(13) Diagnosis skabies dapat

dipertimbangkan apabila ada riwayat banyak anggota keluarga yang mengalaminya.

Pruritus nokturnal yaitu gatal pada malam hari merupakan keluhan utama yang

khas pada skabies. Lesi primer skabies berbentuk liang, pustul, nodul, biasanya papul

dan plak urtikaria yang bertempat di sela-sela jari, area fleksor pergelangan tangan,

axilla, area antecubiti, umbilicus, area genital dan gluteal, serta kaki. Lesi sekunder

Page 5: Insect Bite Reaction

skabies berbentuk urtikaria, impetigo, dan plak eksematous. ( 14, 15, 16)

Gambar 3. Memperlihatkan lesi tipikal khas skabies liang linier

dengan vesikel kecil diujungnya. (14)

c. Reaksi Obat yang merugikan Kulit (Adverse Cutaneous Drug Reactions)16

Adverse Cutaneous Drug Reactions merupakan kasus rawat inap yang

tersering begitu pula pada pasien rawat jalan. Reaksi yang sering timbul adalah

reaksi ringan disertai dengan pruritus dan akan membaik ketika penggunaan obat

dihentikan. Erupsi obat dapat timbul seperti hampir semua ekspresi morfologi di

dermatologi dan harus menjadi pertimbangan pertama dalam diagnosis

banding dari suatu lesi yang muncul secara tiba-tiba. Erupsi obat disebabkan oleh

kekebalan atau mekanisme nonimmunologi dan diprovokasi oleh pemberian sistemik

atau obat topikal.

Gambar 4. Urtikaria yang disebabkan acetylsalicylic acid (10)

PENATALAKSANAAN

Champora dan mentol lotion dan gel formulasi mungkin berguna dalam

pengendalian pruritus. Topikal anestesi akan sangat membantu, dan obat tersebut

mengandung pramoxine sudah tersedia dan saat ini risiko rendah untuk terjadinya

Page 6: Insect Bite Reaction

dermatitis kontak. Untuk reaksi gigitan persisten, persiapan kortikosteroid topikal sering

diperlukan. Pada anak-anak, ringan sampai pertengahan kekuatan persiapan

kortikosteroid seringkali cukup, sedangkan pada orang dewasa, biasanya

direkomendasikan kortikosteroid golongan 1 (mis. Betamethasone, Diflorasone) atau

golongan 2 (mis. Desoximetasone, Halcinonide, dan Amcinonide).16

Ketika agen topikal gagal, injeksi intralesi dari eksisi (misalnya triamsinolon 10

mg / ml) kortikosteroid atau bintil pruritus mungkin diperlukan. Kadang-kadang, nodul

pseudolymphomatous mungkin memerlukan konsentrasi triamcinolone setinggi 40 mg /

ml. Atrofi cutaneous adalah risiko yang signifikan, terutama jika kortikosteroid

disuntikkan dangkal. Atrophy dapat dicatat dalam distribusi sesuai dengan drainase

limfatik.16

Diagnosis reaksi lokal biasanya terlihat dari riwayat gejala klinis dan temuan

pada pemeriksaan fisik. Reaksi yang normal tidak memerlukan pengobatan, tetapi

analgesik atau kompres dingin dapat digunakan jika dibutuhkan. Jika penyengat masih

di kulit, maka harus dikeluarkan, sebaiknya dengan cara dikorek, karena dengan

meremas bisa menyebabkan kantung racun dalam beberapa detik pertama setelah

sengatan bisa menyuntikkan racun tambahan. Infeksi dari sengatan serangga adalah

komplikasi langka pada host yang memiliki imunokompeten, dan antibiotik tidak

diindikasikan bila tidak ada infeksi. Jika sengatan dari semut api, pustul harus dibiarkan

utuh. Reaksi lokal besar biasanya merupakan konsekuensi kecil dan biasanya dikelola

seperti reaksi normal, namun, pada beberapa kondisi bisa menjadi parah, gatal-gatal dan

pembengkakan lokal yang luas.4

Meskipun tidak ada studi yang telah menegaskan efektivitasnya, banyak dokter

memiliki pengalaman bahwa kortikosteroid topikal atau oral ampuh untuk mengurangi

keparahan dari reaksi ini. Karena pasien dengan reaksi lokal besar memiliki peningkatan

risiko anafilaksis dari sengatan berikutnya di masa depan. Merupakan pilihan tetapi

biasanya tidak diperlukan untuk meresepkan injeksi epinefrin untuk pasien. Imunoterapi

ditemukan tidak efektif dalam mencegah reaksi lokal besar di masa depan dalam suatu

studi, tetapi laporan kasus baru-baru ini menjelaskan efektifits penggunaan imunoterapi

untuk mencegah keparahan akibat sengatan dalam satu pasien.4

Pencegahan gigitan paling baik dilakukan melalui penggunaan pakaian

Page 7: Insect Bite Reaction

pelindung dan penolak. DEET (N, N-dietil-3-methylbenzamide, sebelumnya disebut N,

N-dietil-m-toluamide) tetap penolak paling banyak digunakan untuk pencegahan gigitan

nyamuk serta kebanyakan gigitan serangga lainnya. DEET diterapkan pada kulit yang

terkena dan juga dapat diterapkan untuk pakaian. Sementara nyamuk yang membawa

virus dengue cenderung menggigit pada siang hari, vektor nyamuk yang membawa

malaria cenderung menggigit pada malam hari, dan piretroid-diresapi kelambu dan

kemoprofilaksis adalah langkah-langkah pencegahan tambahan.16

Durasi kemanjuran DEET tidak hanya tergantung pada dosis yang diterapkan,

tetapi juga pada jenis kelamin individu (betina menunjukkan perlindungan kurang, dan

pengamatan ini tampaknya menjadi independen dari kadar estradiol serum). Khasiat

juga dapat dikurangi dengan adanya lecet kulit. Reaksi toksik jarang termasuk

anafilaksis dan ensefalopati toksik, dan konsentrasi tinggi DEET sesekali dapat

menghasilkan letusan bulosa dramatis.16

Manajemen anafilaksis sengatan serangga akut tidak berbeda dari anafilaksis

dari penyebab lain. Strategi manajemen pencegahan yang dirancang untuk mengurangi

risiko pasien mengalami reaksi di masa depan dan morbiditas dan mortalitas yang

terkait, dan mencakup langkah-langkah untuk mengurangi penghindaran kemungkinan

pasien tersengat, penyediaan perawatan darurat, dan evaluasi pasien sebagai calon

potensial untuk imunoterapi. Banyak pasien alergi-serangga tidak menerima

pencegahan manajemen yang optimal dan imunoterapi kurang dimanfaatkan.

Pengembangan strategi pencegahan didasarkan pada riwayat alami dari alergi sengatan

serangga, konfirmasi diagnosis, dan penggunaan imunoterapi racun untuk

mempengaruhi perjalanan penyakit.4

PROGNOSIS

Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta yang

terlibat dan seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal berbagai jenis

analgetik, antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup membantu,

begitu pun dengan kortikosteroid oral (mis. Metilprednisolone) maupun topikal (mis.

Betamethasone). Pemberian insektisida, mencegah pajanan ulang, dan menjaga

higienitas lingkungan juga perlu diperhatikan. Sedangkan untuk reaksi sistemik

Page 8: Insect Bite Reaction

berat, penanganan medis darurat yang tepat memberikan prognosis baik.(9, 10)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K., Johnson A. R., et al. Insect Bites And Infestations. Fitzpatrick’s Color

Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. 2007. USA: McGrawHill.p.

1-9

2. Steen J . Christoper. Anthropoda Bites and Stings. In : In Freedberg IM, Eisen

AZ, Wolff K et all editors. Fitzpattrick’s Dermatology in General Medicine, 7th

edition. New York; Mc Graw-Hill, 2008.p. 2059-2063.

3. Dofitas L.B. Insect Bites and Stings. In: Williams H., Bigby M., et al editors.

Evidence Based Dermatology. 2008. UK: Blackwell Publishing.p.478-486

4. Moffitt, John E. MD. Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on

Southern Medical Journal, November 2003, Volume 96, Issue 11.p.1073-79.

5. Weller R., Hunter J., Savin J., et al editors. Clinical Dermatology 3rd edition.

UK: Blackwell Science Ltd. p 224-225

6. Elston D. Bites and Stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP Editors.

Dermatology 2nd Volume 1. Philadelphia: Elsevier Inc, 2008; 12(81)

7. Bouxton, K. Paul. Infestation. In: Bouxton, K. Paul, eds. ABC of Dermatology

4th edition. UK: BMJ Publishing Group Ltd. 2003 .p.42, 105-6

8. Elston D. Parasitic Infestations, Stings, and Bites in : Andrews' Diseases Of

The Skin Clinical Dermatology 11th Edition : Jame W, Berger T, Elston D.

Philadelphia : Elsevier; 2006. p.444-51

9. Beck, M.H., Wilkinson, S.M.. Contact Dermatitis: Allergic. In: Burns T,

Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. Vol.2.

Eight Edition. USA: Blackwell publishing; 2010. p. 26.13-14.

10. Elston D. Parasitic Infestations, Stings, and Bites in : Andrews' Diseases Of

The Skin Clinical Dermatology 11th Edition : Jame W, Berger T, Elston D.

Philadelphia : Elsevier; 2006. p.444-51

11. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah

S, dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5. Jakarta: FKUI; 2005.p.

135

Page 9: Insect Bite Reaction

12. Amiruddin MD. Skabies. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1.

Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 2003.p. 5-10.

13. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006.1718-27

14. Handoko, R P. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediarja SA, editor.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan 2 edisi VI. Jakarta: FKUI, 2011. p.

122-125

15. Anonim. Infestations. In: Gawkrodger D J, eds. Dermatology, An Illustrated

Color Text. 3rd Edition. Hancourt Publisher Limited. 2001 p.58-59

16. Anonim. Drug Reactions. In: James WD, Berger TG, Elston DM Editors.

Andrews Disease of the Skin – Clinical Dermatology 10th. Philadelphia: Elsevier

Inc, 2006:p.115-117