Inkontinensia Urine

27
TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH ANALISA TRIGGER CASE PERKEMIHAN Disusun Oleh: Kelas B2 AP / Kelompok 5 Triezka Dian Oktavia (04121303035) Vini Noveriana Pahlawati (04121303037) Rahmat Kurniawan (04121303055) Ferinda Malasari (04121303057) Ika Oktavianti (04121303059) Lusia Devi Purwaningrum (04121303062) Dosen Pembimbing : Ns. Hikayati, S.Kep., M.Kep.

Transcript of Inkontinensia Urine

Page 1: Inkontinensia Urine

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ANALISA TRIGGER CASE PERKEMIHAN

Disusun Oleh:

Kelas B2 AP / Kelompok 5

Triezka Dian Oktavia (04121303035)

Vini Noveriana Pahlawati (04121303037)

Rahmat Kurniawan (04121303055)

Ferinda Malasari (04121303057)

Ika Oktavianti (04121303059)

Lusia Devi Purwaningrum (04121303062)

Dosen Pembimbing : Ns. Hikayati, S.Kep., M.Kep.

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013

ANALISA KASUS TRIGGER CASE

Page 2: Inkontinensia Urine

Case 5

Ny.Z, 33 tahun post partum spontan, mengeluh tidak dapat menahan BAK, BAK

keluar spontan. Pasien merasa malu dan bingung dengan kondisinya. Karena sebelumnya

pasien tidak pernah mengalami hal ini. Bagaimana hal ini dapat terjadi pada Ny.Z?

Bagaimanakah perawatan pada Ny.Z

1. Apa yang terjadi pada pasien? Jelaskan secara teoritis berdasarkan data yang ada!

2. Pengkajian apa saja yang diperlukan?

3. Bagaimana penatalaksanaan keperawatan pada pasien tersebut?

4. Bagaimana rencana asuhan keperawatan dan discharge planning pada pasien tersebut?

5. Buatlah mapping masalah keperawatan yang ada!

PEMBAHASAN

ANALISA KASUS TRIGGER CASE

Page 3: Inkontinensia Urine

Berdasarkan dari data kasus di atas Ny.Z kemungkinan terkena Inkontinensia Urine,

karena berdasarkan kasus Ny.Z post partum spontan, mengeluh tidak dapat menahan BAK

nya dan BAK keluar spontan.

A. Definisi

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak

terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan

inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul

karena kelainan neurologis yang serius (paraplegia), kemungkinan besar bersifat

permanen (Bruner and Suddarth, 2000).

B. Klasifikasi

Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa

jenis yang paling sering ditemukan yaitu :

1. Inkontinensia Stres

Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.

Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau

melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Gerakan

semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di

dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan

keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi

sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan

bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah

pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan

inkontinensia ini.

Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan

kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat

dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan

percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai

habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.

Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung

kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian

ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian

Page 4: Inkontinensia Urine

dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta

penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka

percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain. Pada

inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini. Kemudian

dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan

dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita

diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan

penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya.

Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri, sistoskopi serta kalibrasi

pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis. Pada foto rontgen lateral atas

sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang vesikouretra membesar sampai 180

atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 120 Diagnosis dengan pengobatan

inkontinensia pada wanita merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan

ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting

seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus

diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik

antara urolog dan ginekolog. Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang

menghabiskan 3-4 pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan

fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan

inkontinensia stres bersifat operatif.

Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan perbaikan

80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu

menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel dan

mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 120 seperti semula. Ini dapat terlaksana

dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis (teknik Marshall-

Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti

(teknik Burch); atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar

fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.

Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti ini,

sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan pengukuran

aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan

sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola keluhan

semula dapat lebih mengikat. Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama

terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah

Page 5: Inkontinensia Urine

ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan

karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih

suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa

kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi

kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan

dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi

yang jarang terjadi.

2. Inkontinensia Desakan

Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan

dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi

akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa

sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih

dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya

kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi,

frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.

Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan

pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan

inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada

keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya

karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi

sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering

dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan

infeksi pada vagina dan serviks. Burnett , menyebutkan penyebabnya adalah tumor

pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada

sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial.

Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering

dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik.

Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

3. Inkontinensia Luapan

Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan

intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung

kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang

lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih

dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes

Page 6: Inkontinensia Urine

lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. Penyebab kelainan ini

berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel,

penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan

medula spinalis.

Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda,

tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih

dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen

sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik

pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi. Otot lurik periuretral di dasar panggul

yang menjadi bagian penting mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan

pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke

pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat

mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.

Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari

ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada

fungsi kandung kemih yaitu :

Lesi Nuklear (tipe LMN)

Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi

kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi

sebenarnya lenyap.

Lesi Supranuklear (Tipe UMN)

Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks

yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat

miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih.

Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis

tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering

kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung kemih

sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak

lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.

Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktifitas refleks pada segmen sakral

medula spinalis. Bila ada aktifitas sakral, mungkin lesi jenis supranuklear.

Page 7: Inkontinensia Urine

Refleks anus : kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi

pada sfingter anus bagian luar membuktikan bahwa refleks ini ada. Jari yang

dimasukan di dalam rektum merasakan bahwa sfinger anus menegang.

Refleks bulbokavernosus : sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi

kontraksi otot bulbo dan iskiokavernosus.

Refleks ketok abdomen : ketokan pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan

tegangnya sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari didalam rektrum.

Tes air es : kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-90 ml air es.

Jika dalam waktu satu menit kateter beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti

adanya gangguan fungi kandung kemih jenis supranuklear.

4. Fistula urine

Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada

waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau

ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang

disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang

pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan

lahir.

Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi

plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat

menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah

dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen

biru keluar dari fistula ke dalam vagina. Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis

umumnya dilakukan operasi melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan

komplikasi kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa

hari pascah bedah, maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan

sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.

C. Patofisiologi

Terjadinya pengisian kandung kencing sehingga meningkatkan tekanan tekanan

didalam kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kencing)

memberikan respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila

titik daya tamping telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus

yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk

Page 8: Inkontinensia Urine

mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut efferent dari lengkungan reflek

ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.

Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama

membuka dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot

perineal mengikuti dan isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan reflek bisa

mengalami interupsi sehingga berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls

inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter

interna. Bila salah satu dari system yang komlek ini mengalami rusak, akan bisa

terjadinya inkontinrensia urine (Bruner and Suddarth, 2000).

D. Pengkajian dan Pemeriksaan fisik

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik,

tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang

diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu:

Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.

Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.

Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis,

rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi

kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan

kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine

dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam

menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’) , merupakan test

sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh

mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil

dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung

kemih. Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine

dikirim ke laboratorium. Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik

imaging. Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi,

dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test

urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang paling

penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal

Page 9: Inkontinensia Urine

maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan

untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi

(ureter ektopik).

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad Test’.

Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah ½

jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10

kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan

mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau

lebih besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak

didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin

Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk

mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,

mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.  Mengukur sisa

urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter,

urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik

pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.

2. Urinalisis

Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang

berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,

glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi

awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

a. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,

kalsium glukosa sitologi.

b. Tes urodinamik : untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian

bawah

c. Tes tekanan urethra : mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat

dianmis.

d. Imaging : tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

3. Pemeriksaan penunjang

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-

sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang

Page 10: Inkontinensia Urine

spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin

pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus

dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.

Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.

Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain

saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih

tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

4. Laboratorium  : 

Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan

fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

F. Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi

pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot

dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-

obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.

1. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi

meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra

pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga

dapat mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi

tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan

intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten

sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal.

Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan

periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder training)

telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih

kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih

tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal. Langkah-langkah

LKK(Latihan kandung kecing) :

Tentukan tipe kandung kemih neurogenik

Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi :

Tipe UMN: Menepuk paha dalam, menarik rambut daerah pubis, masukkan jari

pada rektum.

Page 11: Inkontinensia Urine

Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava.

Kateterisasi : kateter menetap atau berkala.

2. Terapi farmakologi

a. Alfa Adrenergik Agonis

Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang

menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra

obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek

samping relatif ringan.

b. Efedrin

Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan

noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia

stres.Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh

karena stimulasi SSP

c. Phenylpropanololamine

PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin,

akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat

influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50

mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita

inkontinensia stres mengalami perbaikan.

d. Estrogen

Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek

meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen

dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan

bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan

penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.

3. Stimulasi Elektrik

Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan

selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik

uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal)

elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan

rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 %

perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering

Page 12: Inkontinensia Urine

terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant

terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam

pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode

vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.

4. Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’)

Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran

hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat

menyebabkan vagina kering/luka.

Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dg

inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.

Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat

mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal

A. Komplikasi

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet

pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh

dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

Berbagai komplikasi dapat menyertai Inkontinensia Urine seperti infeksi

saluran kencing, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, masalah psiko sosial

seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi, secara tidak langsung masalah

tersebut dapat menyebabkan dehidrasi, karena umumnya pasien mengurangi minum,

karena khawatir terjadi Inkontinensia Urine, pada pasien yang kurang aktifitas hanya

berbaring di tempat tidur dapat menyebabkan ulkus dikubitus dan dapat meningkatkan

resiko infeksi lokal termasuk osteomyelitis dan sepsis.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah Inkontinensia Urine,

berupa medikamentosa, fisioterapi, maupun pembedahan, jika dapat diketahui dengan

tepat jenis dan penyebab Inkontinensia Urine.

G. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :

1. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis

Page 13: Inkontinensia Urine

2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.

3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

4. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat

mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

H. Intervensi Keperawatan

1. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis

Tujuan : Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan

inkonteninsia, Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional

penatalaksanaan.

Intervensi :

a. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari,

b. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang

direncanakan.

c. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan

latihan

d. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan

kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan

frekuensi inkonteninsia.

2. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.

Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas

normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :

a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien

inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.

R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan

bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air

besar.

R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan

naik ke saluran perkemihan.

Page 14: Inkontinensia Urine

c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,

pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang

terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine,

penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan

kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.

R: Untuk mencegah kontaminasi silang.

d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan

masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai

dengan kebutuhan.

R: Untuk mencegah stasis urine.

3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000/ml, Kulit periostomal tetap utuh, Suhu 37° C,

Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :

a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang

diharapkan.

b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit

bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-

kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan

ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung

urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.

R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan

kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine

dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat

mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

Intervensi :

a. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan

pada saat pertama.

Page 15: Inkontinensia Urine

R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat

tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak

sembuh, infeksi)

b. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan

perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan

“peningkatan dan penurunan” tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang.

R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien /

orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa.

c. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau

tidak terlibat pada asuhan.

R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi

lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian /

fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan

ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena

kanker.

d. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi

dalam perawatan diri.

R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.

I. Discharge Planning atau Rencana pemulangan

Dikenal dengan METHOD (Medication, Environtment, Treatment, Health Teaching,

Outpatient referral dan Diet)

1. Medication (obat)

a. Anjurkan Pasien agar mampu memenuhi obat yang diresepkan oleh dokter.

b. Nasihat untuk secara ketat mematuhi rejimen pengobatan terutama pada suplemen.

c. Selalu periksa berakhirnya obat-obatan sebelum mengambil (kadaluarsa).

2. Environment (Lingkungan)

a. Menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pemulihan pasien (bebas dari alergen,

polusi)

b. Menjaga lingkungan yang bersih dan berventilasi baik untuk mencegah penyebaran

infeksi. Mendorong keluarga pasien untuk membersihkan lingkungan khusus halaman

belakang mereka sendiri atau tempat untuk memungkinkan lingkungan bebas istirahat

yang baik dan stres bagi pasien untuk mendapatkan kembali kekuatan dan kenyamanan.

3. Treatment (pengobatan)

Page 16: Inkontinensia Urine

a. Berikan obat-obatan sesuai anjuran dokter seperti pada pada inkontinensia stress

diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan

retensi urethra.

4. Health Teaching (Pengajaran Kesehatan)

a. Pentingnya istirahat cukup dan tidur.

b. Pentingnya kebersihan yang layak untuk mencegah tertular infeksi.

c. Patuhi pengobatan.

d. Patuhi terhadap intervensi yang tepat.

e. Makan diet kesehatan jantung yang mencakup banyak ikan, buah-buahan dan

sayuran.

f. Menghindari aktivitas berat.

5. Outpatient Referral

Setelah Discharge, saran pasien untuk datang kembali pada tanggal tertentu dikatakan oleh

dokter.

6. Diet

a. Makan makanan yang tinggi zat besi seperti sayuran berdaun hijau.

b. Makan makanan tinggi vitamin C untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

c. Diet makanan serat tinggi.

J. Mapping Masalah

Page 17: Inkontinensia Urine

DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer,dkk. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jakarta: Penerbit Media

Esculapius FKUI.

Page 18: Inkontinensia Urine

Brunner dan Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doengoes,Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan

dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta: EGC.

http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf (diakses 20 April

2013)

Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses

Penyakit . Edisi 4. Buku 2. Jakarta: EGC.