IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN … · Ketika x,y dan f bernilai diskrit citra...

16
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012 1 IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN Firda Nur Safira 1 , Handayani Tjandrasa 2 , Arya Yudhi Wijaya 3 Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember email : [email protected] 1 , [email protected] 2 , [email protected] 3 ABSTRAKSI Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis pada citra retina merupakan langkah penting dalam diagnosis penyakit dengan bantuan komputer. Citra retina memberikan informasi terhadap perubahan patologis yang disebabkan oleh penyakit dan sebagai penanda awal dari gejala penyakit sistem indera penglihatan tertentu. Pendeteksian dini terhadap gejala-gejala penderita merupakan hal penting karena dapat diketahui perawatan yang bersesuaian. Karakteristik dari pembuluh darah pada retina membantu untuk menggolongkan tingkat keparahan penyakit ini, disamping juga dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam pengobatan. Dalam tugas akhir ini metode matched Filter dan first-order derivative of Gaussian digunakan untuk melakukan ekstraksi pembuluh retina pada citra fundus mata berwarna. Pada awalnya citra green channel difilter menggunakan Matched Filter. Kemudian citra green channel ini difilter menggunakan First-Order Derivative of Gaussian Filter. Selanjutnya dilakukan threshold pada citra response terhadap Matched Filter, dimana level dari threshold ini telah disesuaikan dengan citra response terhadap First- Order Derivative of Gaussian Filter sehingga didapatkan citra keluaran yang merupakan citra yang hanya berisi pembuluh darah. Hasil eksperimen berdasarkan citra fundus mata berwarna yang tersedia, yaitu STARE dan DRIVE yang masing-masing terdiri dari 20 citra retina. Dengan menggunakan dua dataset ini, didapatkan akurasi sebesar 95,2% untuk STARE dan 93,7% untuk DRIVE masing-masing pada 10 kali percobaan. Metode ini terbukti mampu mengekstraksi pembuluh darah pada citra fundus mata berwarna dengan baik dan meminimalisir kesalahan deteksi yang ada pada metode Matched Filter. Kata Kunci: Ekstraksi pembuluh darah retina, Matched filter, Deteksi pembuluh, Deteksi garis. 1 Pendahuluan Mata adalah salah satu indera tubuh manusia yang sangat kompleks dan berfungsi untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun seringkali kurang terperhatikan. Hal ini menyebabkan banyak penyakit dan gangguan yang menyerang mata. Pada saat ini, jumlah penyakit mata lebih dari 200. Sebagian menimpa kaum berusia 40 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Eye Disease Prevalence Research Group diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita penyakit mata akan mencapai 55.000.000 jiwa. Retina merupakan lapisan saraf yang melapisi bagian belakang mata, menangkap cahaya, dan menciptakan impuls yang berjalan melalui saraf optik ke otak. Identifikasi dari beberapa bagian anatomi retina merupakan persyaratan dari diagnosa awal beberapa penyakit retina [1]. Identifikasi ini dapat menggunakan citra retina. Citra retina memperlihatkan tampak dalam dari mata sehingga dapat membantu pengamatan terhadap penyakit yang terdapat pada mata. Pada beberapa penyakit, ketidaknormalan yang terjadi dapat dilihat pada pembuluh darah yang terdapat pada citra retina. Pendeteksian awal dapat dilakukan dengan melihat pembuluh darah yang membesar, percabangan yang tidak normal pada pembuluh darah, dan sebagainya. Untuk mencari

Transcript of IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN … · Ketika x,y dan f bernilai diskrit citra...

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

1

IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED

FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN

Firda Nur Safira1, Handayani Tjandrasa

2, Arya Yudhi Wijaya

3

Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

email : [email protected], [email protected]

2, [email protected]

3

ABSTRAKSI

Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis pada citra retina merupakan langkah penting dalam

diagnosis penyakit dengan bantuan komputer. Citra retina memberikan informasi terhadap perubahan

patologis yang disebabkan oleh penyakit dan sebagai penanda awal dari gejala penyakit sistem indera

penglihatan tertentu. Pendeteksian dini terhadap gejala-gejala penderita merupakan hal penting karena

dapat diketahui perawatan yang bersesuaian. Karakteristik dari pembuluh darah pada retina membantu

untuk menggolongkan tingkat keparahan penyakit ini, disamping juga dapat dijadikan sebagai petunjuk

dalam pengobatan.

Dalam tugas akhir ini metode matched Filter dan first-order derivative of Gaussian digunakan

untuk melakukan ekstraksi pembuluh retina pada citra fundus mata berwarna. Pada awalnya citra green

channel difilter menggunakan Matched Filter. Kemudian citra green channel ini difilter menggunakan

First-Order Derivative of Gaussian Filter. Selanjutnya dilakukan threshold pada citra response terhadap

Matched Filter, dimana level dari threshold ini telah disesuaikan dengan citra response terhadap First-

Order Derivative of Gaussian Filter sehingga didapatkan citra keluaran yang merupakan citra yang

hanya berisi pembuluh darah.

Hasil eksperimen berdasarkan citra fundus mata berwarna yang tersedia, yaitu STARE dan

DRIVE yang masing-masing terdiri dari 20 citra retina. Dengan menggunakan dua dataset ini,

didapatkan akurasi sebesar 95,2% untuk STARE dan 93,7% untuk DRIVE masing-masing pada 10 kali

percobaan. Metode ini terbukti mampu mengekstraksi pembuluh darah pada citra fundus mata berwarna

dengan baik dan meminimalisir kesalahan deteksi yang ada pada metode Matched Filter.

Kata Kunci: Ekstraksi pembuluh darah retina, Matched filter, Deteksi pembuluh, Deteksi garis.

1 Pendahuluan

Mata adalah salah satu indera tubuh

manusia yang sangat kompleks dan berfungsi

untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi

kehidupan manusia sangat penting, namun

seringkali kurang terperhatikan. Hal ini

menyebabkan banyak penyakit dan gangguan yang

menyerang mata. Pada saat ini, jumlah penyakit

mata lebih dari 200. Sebagian menimpa kaum

berusia 40 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi

yang dilakukan oleh Eye Disease Prevalence

Research Group diperkirakan pada tahun 2020

jumlah penderita penyakit mata akan mencapai

55.000.000 jiwa.

Retina merupakan lapisan saraf yang

melapisi bagian belakang mata, menangkap

cahaya, dan menciptakan impuls yang berjalan

melalui saraf optik ke otak. Identifikasi dari

beberapa bagian anatomi retina merupakan

persyaratan dari diagnosa awal beberapa penyakit

retina [1]. Identifikasi ini dapat menggunakan citra

retina. Citra retina memperlihatkan tampak dalam

dari mata sehingga dapat membantu pengamatan

terhadap penyakit yang terdapat pada mata. Pada

beberapa penyakit, ketidaknormalan yang terjadi

dapat dilihat pada pembuluh darah yang terdapat

pada citra retina. Pendeteksian awal dapat

dilakukan dengan melihat pembuluh darah yang

membesar, percabangan yang tidak normal pada

pembuluh darah, dan sebagainya. Untuk mencari

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

2

pembuluh darah retina dari citra retina dapat

dilakukan dengan ekstraksi pembuluh darah retina.

Ekstraksi terhadap pembuluh darah retina dengan

menggunakan citra retina dapat menyediakan

sebuah pemetaan dari pembuluh darah di retina

yang dapat memudahkan penilaian karakteristik

pembuluh darah tersebut.

Pendeteksian manual terhadap pembuluh

darah ini sulit dilakukan karena penampakan dari

pembuluh darah pada citra retina cukup kompleks

dan muncul dalam kontras yang rendah. Oleh

sebab itu, sebuah pengukuran manual akan sangat

melelahkan dan dibutuhkan metode pendeteksian

otomatis yang handal.

Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis

pada citra retina merupakan langkah penting dalam

diagnosis dan pengobatan penyakit dengan bantuan

komputer untuk penyakit diabetic retinopathy [2-

9], hypertension [10], glaucoma[11],

arteriosclerosis dan retinal artery occlusion,

obesity [12], dan lain-lain.

Ekstraksi pembuluh pada dasarnya

merupakan permasalahan untuk mendeteksi tepi

dan telah banyak metode yang diajukan, misalnya

metode filtering, mathematical morphology, trace,

machine-learning dan lain-lain. Di antara berbagai

macam metode ekstraksi, matched filter

merupakan metode yang representatif, sederhana,

dan efektif. Kekurangan dari metode matched filter

adalah metode ini tidak hanya mengekstraksi

pembuluh, tetapi juga mengekstraksi non

pembuluh.

Dalam Tugas Akhir ini penulis

mengimplementasikan ekstraksi pembuluh darah

retina pada citra fundus mata berwarna

menggunakan metode matched filter dan first-

order derivative of Gaussian. Kontribusi utama

dari Tugas Akhir ini adalah menemukan pembuluh

darah retina pada citra fundus mata berwarna

dengan menggunakan proses ekstraksi. Proses ini

menggunakan metode matched filter dan first-

order derivative of Gaussian untuk

menyempurnakan hasil deteksi pembuluh yang

dilakukan metode matched filter. Metode ini

mendapatkan hasil deteksi pembuluh yang hasilnya

sebanding dengan metode lain yang

kompleksitasnya lebih tinggi daripada matched

filter. Selain itu metode ini sangat baik digunakan

untuk citra pathological retina.

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Citra

Citra dapat didefinisikan sebagai fungsi

dua dimensi, f(x,y), x dan y merupakan koordinat

spasial dan f pada koordinat (x,y) merupakan

intensity atau gray level citra pada titik tersebut.

Ketika x,y dan f bernilai diskrit citra disebut

disebut citra digital. Citra digital merupakan citra

yang dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap

citra kontinu. Sehingga pengolahan citra digital

merujuk pada pemrosesan citra digital dengan

digital computer. Pengolahan citra digital

mencakup proses yang input dan output-nya adalah

citra dan juga proses yang mengekstrak atribut dari

citra sampai dengan pengenalan objek.

2.2 Hubungan Antar Piksel

Terdapat beberapa jenis hubungan antar

piksel, diantaranya ketetanggaan dan konektivitas.

Sebuah piksel p pada koordinat (x,y) memiliki

empat tetangga, yaitu tetangga yang berada pada

arah horizontal dan vertikal. Keempat tetangga

tersebut memiliki koordinat (x+1, y), (x-1, y), (x,

y+1), dan (x, y-1). Piksel-piksel tersebut disebut

sebut sebagai 4-neighbors dari p, yang dinotasikan

dengan N4(p). Selain tetangga pada arah horizontal

dan vertikal, terdapat empat tetangga piksel p pada

arah diagonal. Koordinat piksel tetangga tersebut

adalah (x+1), y+1), (x+1, y-1), (x-1, y+1), dan (x-1,

y-1). Piksel-piksel tersebut dinotasikan dengan

ND(p). ND(p) bersama dengan 4-neighbors

disebut sebagai 8-neighbors dari p, dan dinotasikan

dengan N8(p).

Konektivitas antar piksel merupakan konsep

dasar yang menyederhanakan definisi berbagai

konsep dasar citra digital, seperti region dan

boundary. Dua piksel dikatakan memiliki

konektivitas bila kedua piksel tersebut bertetangga

dan derajat keabuannya memenuhi kriteria

kesamaan tertentu. Pada citra biner, dua piksel

dikatakan memiliki konektivitas bila bertetangga

dan memiliki nilai yang sama [13].

2.3 Histogram

Histogram pada citra bertindak sebagai

representasi grafis dari distribusi intensitas pada

citra digital. Histogram merepresentasikan jumlah

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

3

piksel untuk setiap nilai intensitas. Dengan melihat

histogram citra seorang pengamat secara sekilas

bisa menilai keseluruhan distribusi intensitas pada

citra tersebut.

Sumbu horizontal pada histogram

merepresentasikan nilai intensitas sedangkan

sumbu vertikal pada histogram merepresentasikan

jumlah piksel pada nilai intensitas tersebut. Daerah

gelap direpresentasikan di sumbu horizontal

sebelah kiri dan daerah yang terang

direpresentasikan pada sumbu horizontal sebelah

kanan. Jadi, semakin ke kanan intensitas semakin

terang. Jika terdapat histogram yang datanya

mengumpul di kiri berarti gambar tersebut sangat

gelap sedangkan bila datanya cenderung

mengumpul di kanan berarti gambar tersebut

sangat terang. Sumbu vertikal mereprsentasikan

ukuran daerah setiap intensitas karena informasi

yang terdapat dalam histogram merupakan

representasi distribusi intensitas piksel, maka

dengan menganalisis histogram bisa didapatkan

puncak atau lembah dari histogram citra tersebut.

Informasi tersebut kemudian dapat digunakan

untuk menentukan nilai threshold, sehingga

histogram citra dapat digunakan untuk

thresholding. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk

proses deteksi tepi dan segmentasi citra

2.4 Segmentasi Citra

Segmentasi membagi citra menjadi objek

atau daerah yang dipilih. Sampai seberapa jauh

pembagian dalam citra tersebut tergantung pada

permasalahan yang ingin diselesaikan. Ketika

objek yang ingin disegmentasi telah terisolasi,

segmentasi harus dihentikan. Hal ini dilakukan

karena tidak ada gunanya untuk melakukan

segmentasi melebihi tingkat kedetailan yang

seharusnya dibutuhkan untuk mengidentifikasi

elemen tersebut.

Sementasi citra merupakan salah satu

pekerjaan yang paling sulit dalam pengolahan citra.

Akurasi dari segmentasi menentukan kesuksesan

atau kegagalan prosedur analisa yang

terkomputerisasi. Oleh karena itu, sangat penting

untuk meningkatkan akurasi segmentasi. Secara

umum algoritma dalam segmentasi citra berdasar

pada dua properti dasar dari nilai intensitas, yaitu

diskontinuitas dan similaritas. Pendekatan pada

kategori yang pertama adalah dengan membagi

citra berdasarkan pada perubahan intensitas yang

tajam, seperti tepi pada citra. Sedangkan

pendekatan pada kategori yang kedua berdasarkan

pada pembagian citra menjadi daerah yang mirip

berdasarkan pada sekumpulan kriteria yang telah

didefinisikan sebelumnya. Beberapa contoh

metode pada kategori ini adalah thresholding,

region growing dan region splitting, serta merging.

2.5 Konvolusi Citra

Konvolusi merupakan perkalian antara dua

fungsi, yaitu f dan g. Terdapat dua operasi

konvolusi, yakni untuk fungsi malar dan fungsi

diskrit. Untuk fungsi malar h(x,y) didefinisikan

pada persaman

𝑕 𝑥,𝑦 = 𝑓 𝑥,𝑦 ∗ 𝑔 𝑥,𝑦 (1)

= 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 𝑑𝑎𝑑𝑏 ∙∞

−∞

Konvolusi dengan fungsi inilah yang

banyak digunakan pada pengolahan citra digital.

Namun fungsi ini sulit diimpelementasikan

menggunakan komputer karena komputer hanya

dapat melakukan perhitungan pada data diskrit.

Untuk itulah dibentuk operasi konvolusi h(x,y)

untuk fungsi diskrit seperti pada persamaan

𝑕 𝑥,𝑦 = 𝑓(𝑥,𝑦) ∗ 𝑔 𝑥,𝑦 (2)

= 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 ,∞𝑏=−∞

∞𝑎=−∞

pada citra biasanya dinotasikan dengan persamaan

𝑂 𝑥,𝑦 = 𝐼 𝑥,𝑦 ∗ 𝐹, (3)

dimana I(x,y) merupakan citra yang

direpresentasikan dengan matriks m x n (𝑜 ≤ 𝑥 <𝑚 dan 𝑜 ≤ 𝑦 < 𝑛), F merupakan

kernel/filter/mask/window/template.

Operasi ini dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Memilih ukuran kernel yang berupa

bilangan ganjil.

2. Menempatkan kernel pada piksel yang

dimulai dari kiri atas dan selalu

beroperasi pada ukuran area ketetanggaan

yang sama.

3. Mengalikan elemen-elemen pada kernel

yang merupakan koefisien konvolusi

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

4

dengan elemen yang bersesuaian pada

piksel-piksel tetangga pada citra.

4. Menjumlahkan seluruh hasil perkalian

dan kemudian nilai keluaran yang berupa

nilai tunggal ini disimpan di dalam lokasi

piksel baru, yaitu pusat dari ketetanggaan

aslinya.

5. Memindahkan kernel satu piksel ke

kanan, melakukan kembali perkalian dan

penjumlahan elemen seperti langkah 3

dan 4, dan bergerak satu piksel ke kanan

sampai baris diselesaikan kemudian

pindah ke baris dibawahnya. Pemindahan

kernel ini dilakukan terus-menerus hingga

selesai.

2.6 Thresholding Citra

Thresholding adalah proses mengubah

citra berderajat keabuan menjadi citra biner atau

hitam putih sehingga dapat diketahui daerah mana

yang termasuk objek dan background dari citra

secara jelas. Citra hasil thresholding biasanya

digunakan lebih lanjut untuk proses pengenalan

objek serta ekstraksi fitur. Cara untuk mengekstrak

objek dari background adalah dengan memilih

nilai threshold T yang memisahkan dua mode

tersebut. Kemudian untuk sembarang titik (x,y)

yang memenuhi f(x,y) > T disebut titik objek,

selain itu disebut titik background. Kesuksesan

metode ini bergantung pada seberapa bagus teknik

partisi histogram.

Metode thresholding secara umum

dibagi menjadi dua, yaitu Thresholding global

dan Thresholding adaptif. Thresholding global

dilakukan dengan mempartisi histogram dengan

menggunakan sebuah threshold (batas ambang)

global T, yang berlaku untuk seluruh bagian pada

citra.Thresholding dikatakan global jika nilai

threshold T hanya bergantung pada f(x,y), yang

melambangkan tingkat keabuan pada titik (x,y)

dalam suatu citra. Thresholding adaptif dilakukan

dengan membagi citra menggunakan beberapa sub

citra. Lalu pada setiap sub citra, segmentasi

dilakukan dengan menggunakan threshold yang

berbeda.

2.7 Operator Sobel

Operator Sobel adalah algoritma untuk

mendeteksi tepi pada citra. Deteksi tepi pada

dasarnya adalah untuk membedakan objek yang

terdapat pada citra dengan background. Deteksi

tepi mendeteksi perubahan yang tajam dalam

brightness citra. Sebagiam besar metode deteksi

tepi bekerja dengan asumsi bahwa tepi ditemukan

ketika terdapat diskontinuitas pada intensitas.

Terdapat banyak metode untuk melakukan deteksi

tepi, namun secara garis besar ada dua metode

untuk melakukan deteksi ini, yaitu Gradient dan

Laplacian. Operator Sobel menggunakan

pengetahuan bahwa sebuah tepi pada citra akan

ditemukan ketika nilai gradiennya melebihi

threshold. Gradien citra adalah perubahan

intensitas atau warna pada sebuah citra. Operator

Sobel menghitung perkiraan gradien citra dari

setiap piksel dengan melakukan konvolusi citra

terhadap pasangan filter 3x3. Filter ini

mengestimasi gradien di arah horizontal (x) dan

vertikal (y), kemudian besarnya gradien dihitung

dengan menjumlahkan 2 gradien ini. Gambar 1(a)

memperlihatkan filter x dan Gambar 1(b)

memperlihatkan filter y. Sobel Detector sangat

sensitif terhadap noise pada citra. Besarnya gradien

dihitung menggunakan persamaan

𝐺 = 𝐺𝑥2 + 𝐺𝑦2 ∙ (4)

-1 0 +1

-2 0 +2

-1 0 +1

+1 +2 +1

0 0 0

-1 -2 -1

(a) (b)

Gambar 1 Mask Sobel ; (a) Filter x; (b) Filter y;

2.8 Matched Filter

Matched filter adalah salah satu algoritma

template matching yang digunakan untuk

mendeteksi pembuluh darah pada citra retina dan

aplikasi lain yang serupa. matched filter

menggunakan properti spasial dari objek untuk

dikenali. Ide dari matched filter ini sendiri muncul

diawali dengan pengambilan sejumlah contoh dari

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

5

percabangan permbuluh darah mata. Kemudian

profil tingkat keabuan dari contoh ini didekati

dengan bentuk kurva Gaussian. Matched filter

dirancang berdasarkan sejumlah properti dari

pembuluh darah [15], yaitu:

Pembuluh dapat didekati sebagai segmen

anti-paralel

Pembuluh memiliki reflektansi yang lebih

rendah dibandingkan permukaan retina

lain, sehingga pembuluh muncul relatif

lebih gelap dibandingkan dengan

background.

Semakin menjauhi optic disk, ukuran

pembuluh semakin mengecil. Ukuran

pembuluh terdapat pada rentang 2-10

piksel.

Profil intensitas bervariasi dengan jumlah

yang kecil dari pembuluh ke pembuluh.

Profil intensitas memiliki bentuk Gaussian

Oleh karena itu, filter berbentuk Gaussian dapat

digunakan untuk mendeteksi pembuluh. matched

filter adalah zero-mean Gaussian filter

didefinisikan pada persamaan

𝑓 𝑥,𝑦 = 1

2𝜋𝑠𝑒𝑥𝑝 −

𝑥2

2𝑠2 − 𝑚 (5)

𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠 , 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,

dimana s merepresentasikan skala dari filter ini.

Nilai 𝑚 = 1

2𝜋𝑠

𝑡𝑠

−𝑡𝑠𝑒𝑥𝑝

−𝑥2

2𝑠2 𝑑𝑥 / 2𝑡𝑠

digunakan untuk menormalisasi nilai rata-rata dari

filter menjadi 0 sehingga smooth background dapat

dihapus setelah proses filter dilakukan. L adalah

panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y

untuk menghilangkan noise. t bernilai konstan dan

biasanya diset 3 karena lebih dari 99% area dari

kurva Gaussian berada pada rentang [-3s,3s].

Parameter L dipilih berdasarkan s. Ketika s kecil,

maka L relatif bernilai kecil dan sebaliknya.

𝑓 𝑥,𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk

mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda.

Rotasi 𝑓 𝑥,𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada

persamaan

𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ = 𝑓(𝑥,𝑦)

𝑥 ′ = 𝑥 cos𝜃 + 𝑦 sin𝜃 ∙ (6)

𝑦 ′ = 𝑦 cos𝜃 − 𝑥 sin𝜃

2D Matched Filter mendeteksi segmen pembuluh

darah melalui konvolusi citra dengan kernel

Matched Filter yang telah dirotasi dan kemudian

dilakukan penyimpanan bagi yang memiliki respon

maksimal. Kemudian dilakukan threshold dari

hasil konvolusi ini untuk memperoleh sebuah

segmentasi biner dari segmen pembuluh darah.

2.9 First-Order Derivative of Gaussian

First-Order Derivative of Gaussian Filter

merupakan turunan pertama dari Matched Filter.

Ide penggunaan dari First-Order Derivative of

Gaussian adalah percabangan pembuluh akan

memiliki respon kuat positif terhadap Matched

Filter tetapi respon terhadap First-Order

Derivative of Gaussian Filter adalah anti-simetrik.

Pada non pembuluh juga akan memiliki respon

kuat positif terhadap Matched Filter tetapi respon

terhadap First-Order Derivative of Gaussian Filter

adalah positif dan simetrik. Oleh karena itu dapat

digunakan untuk membedakan pembuluh dan non

pembuluh yang kemudian meminimalisir

munculnya non pembuluh pada citra. First-Order

Derivative of Gaussian Filter didefinisikan pada

persamaan

𝑔 𝑥,𝑦 = −𝑥

2𝜋𝑠3 𝑒𝑥𝑝 −𝑥2

2𝑠2 (7)

𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠, 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,

dimana s merepresentasikan skala dari filter ini. L

adalah panjang dari neighborhood sepanjang

sumbu y untuk menghilangkan noise. Nilai t

bernilai konstan dan biasanya diset 3 karena lebih

dari 99% area dari kurva Gaussian berada pada

rentang [-3s,3s]. Parameter L dipilih berdasarkan s.

Ketika s kecil, maka L relatif bernilai kecil dan

sebaliknya.

𝑔 𝑥,𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk

mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda.

Rotasi 𝑓 𝑥,𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada

persamaan

𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ = 𝑔(𝑥,𝑦)

𝑥 ′ = 𝑥 cos𝜃 + 𝑦 sin𝜃 ∙ (8)

𝑦 ′ = 𝑦 cos𝜃 − 𝑥 sin𝜃

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

6

2.10 Operasi Morfologi

Salah satu penerapan morfologi adalah

dalam pengekstrakan komponen citra yang berguna

dalam representasi dan deskripsi bentuk. Dalam

morphology sekumpulan refleksi dan translasi

dilakukan berdasarkan structuring element (SE).

Structuring element merupakan suatu set kecil atau

subimage yang digunakan untuk memeriksa citra

yang sedang dipelajari propertinya. Structuring

element biasanya direpresentasikan dengan matriks

0 dan 1, namun terkadang hanya ditampilkan yang

bernilai 1 saja. Pada bagian berikut ini dijelaskan

mengenai beberapa operasi dasar dalam

morphology. Operasi – operasi tersebut antara lain

dilasi, erosi, opening, closing.

2.10.1 Dilasi dan Erosi

Dilasi adalah operasi yang membuat objek

dalam citra biner menjadi lebih “tebal”. Penebalan

ini dikontrol oleh structuring element. Sedangkan

erosi merupakan operasi yang membuat objek

menjadi lebih “tipis” atau “menyusut”. Penipisan

pada erosi juga dikontrol oleh structuring element

seperti pada proses dilasi. Secara matematis, proses

dilasi A oleh B, dengan A adalah citra yang akan

didilasi dan B adalah structuring element, dapat

dinotasikan sebagai berikut :

𝐴⊕ 𝐵 = 𝑧 (𝐵)𝑧 ∩𝐴 ≠⊘ , (9)

sedangkan proses erosi A oleh B dapat dinotasikan

sebagai berikut :

𝐴⊖ 𝐵 = 𝑧 (𝐵)𝑧 ∩ 𝐴𝑐 ≠⊘} ∙ (10)

Secara grafis proses dilasi seperti proses

mentranslasikan structuring element ke seluruh

piksel pada citra dan kemudian diperiksa dimana

saja piksel yang overlap dengan piksel yang

bernilai 1. Lalu piksel citra hasil dilasi bernilai 1

pada setiap lokasi structuring element overlap

minimal satu piksel bernilai 1 pada citra asli. Erosi

secara grafis dapat digambarkan sebagai proses

translasi structuring element ke seluruh citra dan

kemudian dilakukan pengecekan utnuk melihat

lokasi structuring element cocok sepenuhnya

dengan foreground dari citra. Citra keluaran

bernilai 1 pada setiap lokasi structuring element

overlap piksel bernilai 1 saja pada citra asli atau

dengan kata lain tidak overlap dengan background

citra.

2.10.2 Opening dan Closing

Morphological opening merupakan erosi

yang diikuti dengan dilasi. Morphological opening

A oleh B, dengan A adalah citra yang akan di-

opening dan B adalah structuring element, dapat

dinotasikan sebagai A ◦ B

𝐴 ∘ 𝐵 = 𝐴 ⊖𝐵 ⊕ 𝐵 ∙ (11)

Persamaan di atas secara sederhana dapat

diinterpretasikan A ◦ B adalah gabungan dari

seluruh translasi dari B yang pas sepenuhnya

dengan A. Morphological opening menghapus

daerah yang tidak mengandung structuring

element, memperhalus kontur objek, memutus

koneksi tipis, dan menghapus tonjolan tipis.

Morphological closing merupakan kebalikan dari

morphological opening. Jika pada opening, operasi

yang dilakukan adalah erosi yang diikuti dengan

dilasi, maka pada closing, operasi yang dilakukan

adalah dilasi yang

diikuti dengan erosi. Morphological closing A oleh

B dapat dinotasikan dengan A • B

𝐴 ∙ 𝐵 = 𝐴 ⊕𝐵 ⊝ 𝐵 ∙ (12)

Seperti halnya pada opening, closing juga

cenderung menghaluskan kontur pada objek.

Perbedaannya adalah closing biasanya

menyambung objek yang terputus dan mengisi

lubang yang lebih kecil dari structuring element.

2.11 Perhitungan Akurasi, TPR, dan FPR

Deteksi akurasi dari metode Matched

Filter dan First-Order Derivative of Gaussian

didefinisikan sebagai perbandingan dari jumlah

total piksel yang terklasifikasi dengan benar

dengan jumlah piksel di dalam field of view (FOV)

[16]. Deteksi Akurasi dapat dilihat pada persamaan

Akurasi = 𝑇𝑃+𝑇𝑁

𝑆 , (13)

dimana TP = True Positive, TN = True Negative, S

= Jumlah piksel di dalam FOV.

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

7

True Positive Ratio (TPR) didefinisikan

sebagai perbandingan dari jumlah piksel yang

terklasifikasi sebagai pembuluh dengan benar

dengan total piksel pembuluh di dalam FOV

ground truth [16]. TPR dapat dilihat pada

persamaan

TPR = 𝑇𝑃

𝑆𝑃𝑔 , (14)

dimana TP = True Positive, SPg = Jumlah piksel

pembuluh di dalam FOV ground truth.

False Positive Ratio (FPR) didefinisikan

sebagai perbandingan dari jumlah piksel non

pembuluh yang terklasifikasi sebagai pembuluh di

dalam FOV dengan jumlah piksel non pembuluh di

dalam FOV ground truth [16]. FPR dapat dilihat

pada persamaan

FPR = 𝐹𝑃

𝑆𝑁𝑔 , (15)

dimana FP = False Positive, SNg = Jumlah piksel

non pembuluh di dalam FOV ground truth. Dari

hasil perhitungan ini akan dikalikan dengan 100

yang kemudian didapatkan hasil akurasi dengan

rentang antara 0% sampai 100%.

3 Metodologi dan Implementasi

Keseluruhan tahapan dalam ekstraksi citra

dengan metode matched filter dan first-order

derivative of Gaussian akan digambarkan pada

diagram alir pada Gambar 2. Secara umum

ekstraksi pembuluh darah retina pada citra fundus

mata berwarna menggunakan metode matched

filter dan first-order derivative of Gaussian ini

terdiri dari berbagai langkah dalam proses

ekstraksi. Pada awalnya citra inputan diubah

menjadi citra biner dengan mengambil bagian

green channel karena informasi pembuluh

terbanyak terdapat pada bagian ini. Kemudian citra

ini difilter menggunakan matched filter dan first-

order derivative of Gaussian filter. Citra hasil dari

filtering menggunakan First-Order Derivative of

Gaussian Filter ini selanjutnya difilter lagi dengan

mean filter untuk mendapatkan local mean yang

berupa daerah lokal dari non pembuluh.

Selanjutnya citra hasil filtering dengan mean filter

dinormalisasi, kemudian dilakukan proses

perhitungan nilai mean dari citra response terhadap

matched filter, perhitungan nilai threshold

reference, perhitungan threshold, dan proses

thresholding terhadap citra response matched filter

sehingga didapatkan citra keluaran yang

diinginkan. Citra keluaran yang diinginkan dalam

hal ini adalah pembuluh darah retina. Selanjutnya

dilakukan proses penghapusan pinggiran. Hasil

akhir dari sistem ini berupa citra yang telah

diekstraksi.

MULAI

Pemilihan Komponen

Citra Green Channel

Proses filtering

dengan

Matched Filter

Proses filtering

dengan

First-Order Derivative of

Gaussian Filter

Input :

Citra

Fundus

Retina

Proses filtering

dengan

Mean Filter

Perhitungan

Nilai Mean

Perhitungan Nilai

Threshold Reference

Perhitungan

Nilai Threshold

Proses Thresholding

Normalisasi Citra

Citra

response

Matched

Filter

Menghilangkan

Pinggiran

Output :

Citra

dengan

peta

Pembuluh

Selesai

Gambar 2 Diagram Alir Model Sistem Secara

Umum

3.1 Pemilihan Komponen Citra Green

Channel

Dalam proses pemilihan komponen citra

green channel, citra masukan awalnya berupa citra

fundus mata RGB. Selanjutnya komponen warna

dari citra masukan hanya akan diambil komponen

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

8

green saja, sedangkan komponen lain yang

terdapat pada citra akan dihilangkan.

3.1 Proses Filtering dengan Matched

Filter

Dalam tahap ini, akan dilakukan proses

filtering pada citra green channel dengan matched

filter. Tujuan dari proses ini adalah untuk

mendapatkan citra response terhadap matched

filter. Pada awalnya dibuat matched filter kernel

seperti pada persamaan (5) yang kemudian kernel

ini dirotasi dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan

(6). Selanjutnya citra green channel akan

dikonvolusi dengan matched filter kernel ini untuk

mendapatkan citra response. Proses filtering

ditunjukkan pada persamaan

𝑓1 = 𝑖𝑚 ∗ 𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ , (16)

dimana f1 merupakan citra hasil proses filtering

dengan matched filter. Citra ini merupakan citra

response terhadap matched filter yang menyimpan

respon maksimal dari hasil filtering. Im merupakan

citra green channel dan 𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ merupakan

matched filter kernel yang dirotasi dengan berbagai

orientasi.

3.2 Proses Filtering dengan First-Order

Derivative of Gaussian

Dalam tahap ini, akan dilakukan proses

filtering pada citra green channel dengan first-

order derivative of Gaussian filter. Tujuan dari

proses ini adalah untuk mendapatkan citra

response terhadap first-order derivative of

Gaussian filter. Pada awalnya dibuat first-order

derivative of Gaussian kernel seperti pada

persamaan (7) yang kemudian kernel ini dirotasi

dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan (8).

Selanjutnya citra green channel akan dikonvolusi

dengan first-order derivative of Gaussian kernel

ini untuk mendapatkan citra response. Proses

filtering ditunjukkan pada persamaan

𝑓2 = 𝑖𝑚 ∗ 𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ , (17)

dimana f2 merupakan citra hasil proses filtering

dengan first-order derivative of Gaussian filter.

Citra ini merupakan citra response terhadap first-

order derivative of Gaussian filter yang nantinya

akan dilakukan perhitungan local mean untuk

menyesuaikan nilai threshold dalam mendeteksi

munculnya pembuluh maupun non pembuluh. Im

merupakan citra green channel dan 𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′

merupakan first-order derivative of Gaussian

kernel yang dirotasi dengan berbagai orientasi.

3.3 Proses Filtering Citra Response First-

Order Derivative of Gaussian dengan Mean

Filter

Tahap selanjutnya adalah proses filtering

citra response first-order derivative of Gaussian

dengan mean filter. Tujuan dari proses ini adalah

untuk mendapatkan local mean yang merupakan

daerah lokal dari non pembuluh. Daerah ini yang

nantinya akan diminimalisir keberadaannya. Proses

ini ditunjukkan pada persamaan

𝑓3 = 𝑓2 ∗𝑊 , (18)

dimana f3 merupakan citra hasil proses filtering

citra response first-order derivative of Gaussian

dengan mean filter. Citra ini merupakan citra local

mean. F2 merupakan merupakan citra response

terhadap first-order derivative of Gaussian filter.

W adalah sebuah filter w x w yang semua

elemennya adalah 𝟏

𝒘𝟐 .

3.4 Proses Normalisasi Citra Local Mean

Dalam tahap ini, citra hasil filtering

dengan mean filter dinormalisasi. Normalisasi

yang dimaksud disini adalah setiap elemen dari

citra berada pada rentang [0-1]. Proses ini

ditunjukkan pada persamaan

𝑓4 = 𝑓3 , (19)

dimana f4 merupakan citra hasil proses normalisasi

dari citra response first-order derivative of

Gaussian dengan mean filter. Citra ini disebut citra

local mean yang sudah dinormalisasi.

3.5 Proses Perhitungan Nilai Mean dari

Citra Response Matched Filter

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

9

Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan

nilai mean dari Citra response matched filter.

Proses ini ditunjukkan pada persamaan

𝑓5 = 𝑓1 ∗ 𝑊 , (20)

dimana f5 merupakan nilai mean dari citra response

matched filter. F1 merupakan merupakan citra

response matched filter. W adalah sebuah filter w x

w yang semua elemennya adalah 1

𝑤2 .

3.6 Perhitungan Nilai Threshold

Reference

Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan

nilai threshold reference. Proses perhitungan nilai

dari threshold reference dapat dilihat pada

persamaan

𝑓6 = 𝑐 ∗ 𝑓5 , (21)

dimana f6 merupakan nilai dari threshold reference.

C merupakan nilai constant dan f5 merupakan nilai

mean dari citra response terhadap matched filter.

3.7 Perhitungan Threshold

Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan

threshold yang akan digunakan dalam proses

thresholding terhadap citra response matched

filter. Threshold ini merupakan threshold yang

levelnya telah disesuaikan dengan citra response

terhadap first-order derivative of Gaussian. Proses

perhitungan threshold dapat dilihat pada

persamaan

𝑓7 = 1 + 𝑓4 ∙ 𝑓6 , (22)

dimana f7 merupakan nilai dari threshold. F4

merupakan citra hasil proses normalisasi dari citra

response first-order derivative of Gaussian dengan

mean filter. F6 merupakan nilai dari threshold

reference.

3.8 Proses Thresholding terhadap Citra

Response Matched Filter

Dalam tahap ini, citra response terhadap

matched filter akan dithreshold dengan nilai

threshold yang levelnya telah disesuaikan dengan

citra response terhadap first-order derivative of

Gaussian. Tujuan dari proses ini adalah untuk

memisahkan struktur pembuluh dengan non

pembuluh. Proses thresholding dapat dilihat pada

persamaan

𝑓8 = 1 𝑓1 𝑥,𝑦 ≥ 𝑓7 𝑥,𝑦

𝑓8 = 0 𝑓1 𝑥,𝑦 < 𝑓7 𝑥, 𝑦 , (23)

dimana f8 merupakan peta pembuluh akhir. F1

merupakan citra response terhadap matched filter.

F7 merupakan nilai dari threshold.

3.9 Menghilangkan Pinggiran

Dalam tahap ini, dilakukan proses untuk

menghilangkan pinggiran citra. Pada awalnya, citra

masukan diubah menjadi citra red channel. Dalam

proses pengubahan menjadi citra red channel, citra

masukan awalnya berupa citra fundus mata RGB.

Selanjutnya komponen warna dari citra masukan

hanya akan diambil komponen red saja, sedangkan

komponen lain yang terdapat pada citra akan

dihilangkan. Kemudian dilakukan deteksi tepi pada

citra dengan menggunakan operator Sobel seperti

pada persamaan (4). Setelah tepi didapatkan,

kemudian dilakukan penebalan tepi dengan proses

dilasi. Proses dilasi ini menggunakan structuring

element berbentuk disk dengan radius yang

disesuaikan dengan citra. Tepi yang telah menebal

kemudian diubah warnanya menjadi 0 agar warna

tepi ini sama seperti warna background. Dengan

demikian pinggiran pada citra telah hilang dan

hanya terdapat pembuluh yang telah diekstraksi

pada citra.

4 Uji Coba dan Evaluasi

4.1 Data Masukan

Data yang digunakan pada uji coba ini

adalah citra STARE [17] dan citra DRIVE [18]

yang merupakan citra fundus mata berwarna

berupa citra RGB. Citra yang akan digunakan ada

dua puluh buah. Citra STARE [17] berukuran 605

x 700 piksel dan citra DRIVE [18] berukuran 584 x

565 piksel.

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

10

4.2 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi,

TPR, dan FPR dengan Nilai Skala Kernel yang

Berbeda-beda

Pada skenario uji coba yang pertama ini

akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR

ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing

citra dengan nilai skala kernel yang berbeda-beda.

Uji coba pertama skenario ini akan diujikan pada

citra im0077.ppm yang merupakan Gambar dari

citra STARE [17]. Citra ini dapat dilihat pada

Gambar 3. Pada skenario ini, nilai skala kernel

akan diubah-ubah. Nilai skala kernel 10,5 untuk

pembuluh tebal dan 4 untuk pembuluh tipis, nilai

skala kernel 5 untuk pembuluh tebal dan 1,5 untuk

pembuluh tipis, serta nilai skala kernel 1,5 untuk

pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis. Nilai-

nilai ini ditentukan sebagai parameter nilai skala

kernel. Dari nilai-nilai skala kernel tersebut, akan

diimplementasikan pada citra masukan

im0077.ppm yang merupakan Gambar dari citra

STARE [17]. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar

4, Gambar 5, Gambar 6, dan Tabel 1.

Gambar 3 Citra im0077.ppm Uji Coba I

(a)

(b)

Gambar 4 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan

4 untuk pembuluh tipis; (a) citra

green channel; (b) hasil ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 5 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 5 untuk pembuluh tebal dan

1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra

green channel; (b) hasil ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 6 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 1.5 untuk pembuluh tebal dan

1 untuk pembuluh tipis; (a) citra

green channel; (b) hasil ekstraksi

Tabel 1 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra pada uji coba I citra

im0077.ppm

Uji coba lainnya dilakukan pada citra

19_test.tif yang merupakan Gambar dari citra

DRIVE [18]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 7.

Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 8, Gambar 9,

Gambar 10, dan Tabel 2.

No Nilai skala kernel

Nilai Akurasi

(%)

TPR (%)

FPR (%)

1 (10,5 & 4,0) 90 78 9 2 (5,0 & 1,5) 92 83 6 3 (1,5 & 1,0) 95 79 3

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

11

Gambar 7 Citra masukan 19_test.tif uji coba I

(a)

(b)

Gambar 8 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan

4 untuk pembuluh tipis; (a) citra green

channel; (b) hasil ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 9 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 5 untuk pembuluh tebal dan

1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra

green channel; (b) hasil ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 10 Hasil uji coba I dengan nilai skala

kernel 1,5 untuk pembuluh tebal dan

1 untuk pembuluh tipis; (a) citra

green channel; (b) hasil ekstraksi

Tabel 2 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra pada uji coba I citra

19_test.tif

Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari

masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 3

dan Tabel 4.

Tabel 3 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra STARE pada uji coba I

No Nilai skala

kernel

Rata-rata Nilai

Akurasi (%)

Rata-rata Nilai TPR

(%)

Rata-rata Nilai FPR

(%)

1 (10,5 & 4,0) 89,6 73,8 8,8 2 (5,0 & 1,5) 91,6 75,0 6,2 3 (1,5 & 1,0) 95,0 77,0 3,0

Tabel 4 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra DRIVE pada uji coba I

No Nilai skala kernel

Rata-rata Nilai

Akurasi (%)

Rata-rata Nilai TPR

(%)

Rata-rata Nilai FPR

(%)

1 (10,5 & 4,0) 88,4 55,0 6,8 2 (5,0 & 1,5) 92,8 67,4 3,6 3 (1,5 & 1,0) 93,8 64,2 1,6

Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil

ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai

skala kernel mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan

FPR hasil ekstraksi citra. Apabila selisih nilai skala

kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis

besar, maka akan semakin sedikit pembuluh yang

masuk dalam ekstraksi dan daerah non pembuluh

yang juga memiliki respon maksimal terhadap

filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi

mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.

Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel antara

No Nilai skala kernel

Nilai Akurasi

(%)

TPR (%)

FPR (%)

1 (10,5 & 4,0) 89 60 7 2 (5,0 & 1,5) 94 73 3 3 (1,5 & 1,0) 95 71 1

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

12

pembuluh tebal dan pembuluh tipis kecil, maka

akan semakin banyak pembuluh yang terdeteksi

dan daerah non pembuluh yang menghilang

sehingga nilai akurasi membesar, TPR membesar,

dan FPR semakin mengecil. Dari hasil percobaan

menunjukkan bahwa nilai skala kernel 1,5 untuk

pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis akan

menghasilkan akurasi, TPR, dan FPR terbaik.

4.3 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi,

TPR, dan FPR dengan Nilai L yang Berbeda-

beda

Pada skenario uji coba yang pertama ini

akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR

ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing

citra dengan nilai L yang berbeda-beda. L adalah

panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y. Uji

coba pertama skenario ini akan diujikan pada citra

im0163.ppm yang merupakan Gambar dari citra

STARE [6]. Citra ini dapat dilihat pada Gambar

11. Pada skenario ini, nilai L akan diubah-ubah

Nilai L 1 untuk pembuluh tebal dan 9 untuk

pembuluh tipis, nilai L 3 untuk pembuluh tebal

dan 2 untuk pembuluh tipis, serta nilai L 9 untuk

pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis. Nilai-

nilai ini ditentukan sebagai parameter nilai L. Dari

nilai-nilai L tersebut, akan diimplementasikan pada

citra masukan im0163.ppm. yang merupakan

Gambar dari citra STARE [6]. Hasilnya dapat

dilihat pada Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14,

dan Tabel 5.

Gambar 11 Citra masukan im0163.ppm uji coba II

Tabel 5 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra pada uji coba II citra

im0163.ppm

No Nilai L Nilai Akurasi

(%)

TPR (%)

FPR (%)

1 (1 & 9) 87 67 10,0 2 (3 & 2) 96 80 3,0 3 (9 & 5) 96 80 2,0

(a)

(b)

Gambar 12 Hasil uji coba II dengan nilai L 1

untuk pembuluh tebal dan 9 untuk

pembuluh tipis; (a) citra green

channel; (b) hasil ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 13 Hasil uji coba II dengan nilai L 3

untuk pembuluh tebal dan 2 untuk

pembuluh tipis; (a) citra green

channel; (b) hasil ekstraksi

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

13

(a)

(b)

Gambar 14 Hasil uji coba II dengan nilai L 9

untuk pembuluh tebal dan 5 untuk

pembuluh tipis; (a) citra green

channel; (b) hasil ekstraksi

Uji coba lainnya dilakukan pada citra

15_test.tif yang merupakan Gambar dari citra

DRIVE [2]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 15.

Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 16, Gambar

17, Gambar 18, dan Tabel 6.

Gambar 15 Citra masukan 15_test.tif uji coba II

(a)

(b)

Gambar 16 Hasil uji coba II dengan nilai L 1 untuk

pembuluh tebal dan 9 untuk pembuluh

tipis; (a) citra green channel; (b) hasil

ekstraksi

Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari

masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 7

dan Tabel 8.

(a)

(b)

Gambar 17 Hasil uji coba II dengan nilai L 3 untuk

pembuluh tebal dan 2 untuk pembuluh

tipis; (a) citra green channel; (b) hasil

ekstraksi

(a)

(b)

Gambar 18 Hasil uji coba II dengan nilai L 9 untuk

pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh

tipis; (a) citra green channel; (b) hasil

ekstraksi

Tabel 6 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra pada uji coba II citra

15_test.tif

No Nilai L Nilai Akurasi

(%)

TPR (%)

FPR (%)

1 (1 & 9) 75 61 23,0 2 (3 & 2) 93 65 4,0 3 (9 & 5) 95 64 2,0

Tabel 7 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra STARE pada uji coba II

No Nilai L Rata-rata Nilai

Akurasi (%)

Rata-rata Nilai TPR

(%)

Rata-rata Nilai FPR

(%)

1 (1 & 9) 87,4 65,0 9,6 2 (3 & 2) 94,8 76,0 3,0 3 (9 & 5) 95,4 76,2 2,2

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

14

Tabel 8 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil

ekstraksi citra DRIVE pada uji coba II

No Nilai L Rata-rata Nilai

Akurasi (%)

Rata-rata Nilai TPR

(%)

Rata-rata Nilai FPR

(%)

1 (1 & 9) 77,2 64,2 20,8000 2 (3 & 2) 92,2 63,0 3,6000 3 (9 & 5) 93,6 62,8 2,0000

Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil

ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai L

mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil

ekstraksi citra. Apabila nilai L yang digunakan

untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan

nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal

sangat kecil, maka akan semakin banyak pembuluh

darah kecil dan garis non pembuluh yang masuk

dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi mengecil,

TPR baik, dan FPR membesar. Apabila nilai L

yang digunakan antara pembuluh tebal dan

pembuluh tipis tidak berbeda jauh masih terdapat

cabang-cabang pembuluh darah kecil yang

terekstraksi sehingga walaupun nilai akurasi dan

TPR sudah cukup bagus, nilai FPR dapat

membesar. Dari hasil percobaan menunjukkan

bahwa nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk

pembuluh tipis akan menghasilkan akurasi, TPR,

dan FPR terbaik.

5 Evaluasi

Dari hasil uji coba yang telah dilakukan,

beberapa parameter yang digunakan selama uji

coba memberikan pengaruh terhadap hasil proses

ekstraksi pembuluh retina dengan metode matched

filter dan first-order derivative of Gaussian pada

citra fundus mata berwarna. Keterangan dari setiap

pengaruh yang dihasilkan oleh parameter yang

berbeda antara lain:

1. Nilai skala kernel

Nilai skala kernel yang digunakan dalam

proses filtering citra memberikan pengaruh

terhadap hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi

citra. Jika selisih nilai skala kernel antara

pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar,

maka akan semakin sedikit pembuluh yang

masuk dalam ekstraksi. Selain itu selisih nilai

yang besar ini juga berpengaruh terhadap

daerah non pembuluh. Daerah non pembuluh

yang juga memiliki respon maksimal terhadap

filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi

mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.

Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel

kecil, maka akan semakin banyak pembuluh

yang terdeteksi dan daerah non pembuluh yang

menghilang, sehingga nilai akurasi membesar,

TPR membesar, dan FPR mengecil. Hal ini

juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi pembuluh

darah. Apabila selisih nilai skala kernel antara

pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar maka

akan banyak cabang-cabang pembuluh darah

yang hilang dalam citra hasil ekstraksi. Selain

itu daerah non pembuluh seperti optic disk atau

macula dapat muncul pada citra. Apabila

selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal

dan pembuluh tipis kecil, maka banyak

pembuluh darah yang sesuai dengan ground

truth muncul pada citra.

2. Nilai L

Nilai L yang digunakan dalam proses filtering

memberikan pengaruh terhadap hasil akurasi,

TPR, dan FPR ekstraksi citra. L adalah

panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y.

Apabila nilai L yang digunakan untuk

pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L

yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat

kecil, maka akan semakin banyak pembuluh

darah tipis dan garis non pembuluh yang

masuk dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi

mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.

Apabila nilai L yang digunakan antara

pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak

berbeda jauh masih banyak cabang-cabang

pembuluh darah kecil yang terekstraksi

sehingga walaupun nilai akurasi dan TPR

sudah cukup bagus, nilai FPR dapat membesar.

Hal ini juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi

pembuluh darah. Apabila nilai L yang

digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar

sedangkan nilai L yang digunakan untuk

pembuluh tebal sangat kecil, sangat banyak

cabang-cabang kecil dari pembuluh darah yang

muncul pada citra. Selain itu banyak garis non

pembuluh darah terlihat pada citra. Apabila

nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal

dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada

citra masih terdapat noise berupa cabang-

cabang pembuluh yang sangat kecil.

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

15

Dibutuhkan nilai L yang tepat (yang dalam

hasil percobaan sistem ini untuk pembuluh

tebal 9 dan pembuluh tipis 5) agar nilai akurasi

dan TPR tinggi, tetapi nilai FPR rendah.

6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji coba yang telah

dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan yang

dapat diambil, yaitu:

1. Dengan melihat hasil uji coba terbukti

bahwa algoritma ekstraksi pembuluh retina

dengan metode matched filter dan first-

order derivative of Gaussian ini dapat

melakukan ekstraksi dengan baik citra

fundus mata berwarna sehingga didapatkan

hasil ekstraksi berupa pembuluh darah

retina.

2. Nilai skala kernel yang digunakan dalam

proses filtering mempengaruhi hasil

akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra dari

proses algoritma ini. Semakin besar selisih

nilai skala kernel antara pembuluh tebal

dan tipis, maka semakin sedikit pembuluh

yang terekstraksi dan semakin banyak

daerah non pembuluh yang terdeteksi,

sehingga nilai akurasi mengecil, TPR

mengecil, dan FPR membesar. Apabila

selisih nilai skala kernel antara pembuluh

tebal dan pembuluh tipis kecil, maka

banyak pembuluh darah yang sesuai

dengan ground truth muncul pada citra.

3. Nilai L yang digunakan dalam proses

filtering mempengaruhi hasil akurasi, TPR,

dan FPR ekstraksi citra dari proses

algoritma ini. Apabila nilai L yang

digunakan untuk pembuluh tipis bernilai

besar sedangkan nilai L yang digunakan

untuk pembuluh tebal sangat kecil, sangat

banyak cabang-cabang kecil dari pembuluh

darah dan garis non pembuluh darah yang

terlihat pada citra. Apabila nilai L yang

digunakan antara pembuluh tebal dan

pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada

citra masih terdapat noise berupa cabang-

cabang pembuluh yang sangat kecil.

Dibutuhkan beberapa kali percobaan untuk

menghasilkan nilai L yang tepat sehingga

akan menghasilkan tingkat akurasi dan

TPR yang tinggi juga tingkat FPR yang

rendah.

Referensi

[1] Patton, N., Aslam, T.M., MacGillivray, T.,

Deary, I.J., Dhillon, B., Eikelboom, R.H.,

Yogesan, K., dan Constable, I.J. 2006.

Retinal image analysis: concepts,

applications and potential. Progress in

Retinal and Eye Research 25, 1:99-127.

[2] J.J. Staal, M.D. Abramoff, M. Niemeijer,

M.A.Viergever, B. van Ginneken, Ridge

based vessel segmentation in color images of

the retina, IEEE Trans. Med. Imaging

(2004) 501–509.

[3] J.V.B. Soares, J.J.G. Leandro, R.M. Cesar

Jr., H.F. Jelinek, M.J. Cree, Retinal vessel

segmentation using the 2-d gabor wavelet

and supervised classification, IEEE Trans.

Med. Imaging 25 (2006) 1214–1222.

[4] M. Niemeijer, J.J. Staal, B. van Ginneken,

M. Loog, M.D. Abramoff, Comparative

study of retinal vessel segmentation methods

on a new publicly available database, SPIE

Med. Imaging 5370 (2004) 648–656.

[5] M. Martı ́nez-Pe ́rez, A. Hughes, A. Stanton,

S. Thom, A. Bharath, K. Parker, Scale-space

analysis for the characterisation of retinal

blood vessels, Med. Image Comput.

Computer-Assisted Intervention (1999)

90–97.

[6] A. Hoover, V. Kouznetsova, M. Goldbaum,

Locating blood vessels in retinal images by

piecewise threshold probing of a matched

filter response, IEEE Trans. Med. Imaging

19 (3) (2000) 203–210.

[7] X. Jiang, D. Mojon, Adaptive local

thresholding by verification based

multithreshold probing with application to

vessel detection in retinal images, IEEE

Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. 25 (1)

(2003) 131–137.

[8] A.M. Mendonca, A. Campilho,

Segmentation of retinal blood vessels by

combining the detection of centerlines and

MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012

16

morphological reconstruction, IEEE Trans.

Med. Imaging 25 (9) (2006) 1200–1213.

[9] M.E. Martinez-Perez, A.D. Hughes, S.A.

Thom, A.A. Bharath, K.H. Parker,

Segmentation of blood vessels from red-free

and fluorescein retinal images, Med. Image

Anal. 11 (1) (2007) 47–61.

[10] H. Leung, J.J. Wang, E. Rochtchina, T.Y.

Wong, R. Klein, P. Mitchell, Impact of

current and past blood pressure on retinal

arteriolar diameter in older population, J.

Hypertens. (2003) 1543–1549.

[11] P. Mitchell, H. Leung, J.J. Wang, E.

Rochtchina, A.J. Lee, T.Y. Wong, R. Klein,

Retinal vessel diameter and open-angle

glaucoma: the Blue Mountains eye study,

Ophthalmology (2005) 245–250.

[12] J.J. Wang, B. Taylor, T.Y. Wong, B. Chua,

E. Rochtchina, R. Klein, P. Mitchell, Retinal

vessel diameters and obesity: a population-

based study in older persons, Obes. Res.

(2006) 206–214.

[13] Gonzales, R.C., et al. 2004. Digital Image

Processing Using MATLAB 3rd

edition.

United States of America : Prentice Hall.

[14] Wikipedia. 2011. Image Histogram, <URL:

http://en.wikipedia.org/wiki/Image_histogra

m diakses 2 Januari 2012>.

[15] S. Chaudhuri, S. Chatterjee, N. Katz, M.

Nelson, M. Goldbaum, “Detection of blood

vessels in retinal images using two-

dimensional matched filters”, IEEE Trans.

Med. Imaging 8 (3) (1989) 263–269.

[16] B. Zhang, Lin Zhang, Lei Zhang, F. Karray,

Retinal vessel extraction by matched filter

with first-order derivative of gaussian,

Computers in Biology and Medicine 40

(2010) 438-445

[17] STARE Structured Analysis of The

Retina.2000.STAREDatabase,<URL:http://

www.parl.clemson.edu/stare/probing/stare-

images.tar diakses pada 15 Oktober 2011>

[18] DRIVE Digital Retinal Image for Vessel

Extraction.2004.DriveDatabase,<URL:http:

//www.isi.uu.nl/Research/Databases/DRIVE/

diakses pada 15 Oktober 2011>