Hukum Perdata Internasional

23
1 | Page H U K U M P E R D A T A I N T E R N A S I O N A L FAKULTAS HUKUM Disusun oleh : Dena Agustina [010001300081]

Transcript of Hukum Perdata Internasional

Page 1: Hukum Perdata Internasional

1 | P a g e

H U K U M

P E R D A T A

I N T E R N A S I O N A L

FAKULTAS HUKUM

Disusun oleh :

Dena Agustina

[010001300081]

Page 2: Hukum Perdata Internasional

2 | P a g e

KUALIFIKASI

A. Pengertian Kualifikasi

Kualifikasi sebenarnya adalah melakukan "translation" atau "penyalinan" dari pada fakta-fakta sehari-

hari dalam istilah-istilah hukum.

Kualifikasi dibedakan menjadi dua jenis :

Kualifikasi fakta (classification of facts)

1. Didalam buku Sudargo kualifikasi fakta yaitu, melakukan penyalinan atau menggolongkan

dari pada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum. Fakta-fakta ini dimasukkan

dalam kotak-kotak hukum, kelas-kelas, ruang-ruang atau kamar-kamar atau bagian-bagian

hukum yang sudah tersedia.

2. Didalam buku Bayu Seto kualifikasi fakta yaitu, proses kualifikasi yang dilakukan terhadap

sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah peristiwa hukum (atau perkara) untuk

ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issues), sesuai dengan

sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum tertentu.

Kualifikasi hukum (legal classification)

1. Didalam buku Sudargo yakni, fakta-fakta dikarakteristik, tetapi bukan fakta-fakta saja yang

harus dikualifikasikan. Kaidah-kaidah hukum juga memerlukan kualifikasi ini.

2. Didalam buku Bayu Seto yakni, penetapan tentang penggolongan atau pembagian seluruh

kaidah hukum di dalam sebuah sistem hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan, atau

kategori hukum tertentu.

Proses kualifikasi fakta mencakup langkah-langkah berikut :

1. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara dan mendefinisikan peristiwa hukum yang

dihadapi itu berdasarkan dan ke dalam kategori atau klasifikasi hukum yang sudah ada dalam

sistem hukum tertentu.

2. Kualifikasi sekumpulan fakta yang telah dikualifikasikan tadi kedalam kaidah-kaidah hukum

yang dianggap harus berlaku (The Applicable Law)

Page 3: Hukum Perdata Internasional

3 | P a g e

B. Macam-macam kualifikasi

1) Ada tiga macam kualifikasi secara garis besar menurut Sudargo :

1. Kualifikasi menurut Lex Fori (menurut hukum hakim)

Menurut kualifikasi ini harus dilakukan menurut hukum materil sang hakim. Pengertian-pengertian

hukum yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut sistim hukum negara

sang hakim sendiri.

2. Kualifikasi menurut Lex Causae

Kualifikasi dilakukan menurut sistim hukum dari mana pengertian ini berasal. Materinya berdasarkan

hukum yang dipilih.

3. Kualifikasi secara otonom

Termasuk kedalam aliran internasionalistis. Kualifikasi ini berdasarkan Methodos Comparative

(perbandingan hukum). Kualifikasi secara otonom terlepas dari salah satu sistim hukum tertentu.

Pengertian-pengertian hukum yang dipergunakan dalam kaidah-kaidah HPI dianggap sebagai

pengertian-pengertian untuk masalah-masalah HPI yang berlaku secara umum.

2) Menurut Bayu Seto mengemukaan dalam perkembangan HPI tumbuh lima teori kualifikasi

HPI yang utama, yaitu :

a) Teori kualifikasi lex fori

Tokoh-tokohnya adalah Franz Khan warga negara jerman dan Bartin warga negara prancis.

Franz Khan menyatakan bahwa kualifikasi harus berdasarkan Lex Fori karena :

Kesederhanaan (simplicity), sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan

Lex fori, pengertian,batasan, dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian

perkara adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.

Kepastian (certainty), sebab pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu

sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkara mereka akan dikualifikasikan oleh hakim

berserta segala konsekuensi yuridiknya.

Bartin menambahkan pandangannya dengan pernyataan bahwa kualifikasi harus dilakukan dengan

menggunakan Lex Fori karena seorang haki, sebenarnya telah disumpah untuk menegakkan hukumnya

sendiri dan bukan sistem hukum asing manapun.

Page 4: Hukum Perdata Internasional

4 | P a g e

Ada keunggulan dan kelemahan teori kualifikasi lex fori :

Keunggulan teori kualifikasi lex fori yaitu dapat menyebabkan perkara lebih mudah

diselesaikan,mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh

hakim.

Kelemahan teori kualifikasi lex fori yaitu teori ini ada kemungkinan terjadinya ketidak adilan (

injustice) karena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang

tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asingyang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan

menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.

b) Teori kualifikasi lex causae (lex fori yang di perluas)

Pendukung dari teori ini adalah Martin Wolff. Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam

perkara HPI dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang

berkaitan dengan perkara. Tindakan kualifikasi ini dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana

dari lex fori yang paling erat kaitanya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan.

c) Teori Kualifikasi Bertahap

Tokohnya : Adolph Schnitzer; didukung oleh Dr Sunaryati Hartono, Ehrenzweig.

Teori ini bertitik tolak dari keberatan-keberatan terhadap teori kualifikasi Lex Causae. Kualifikasi

tidak mungkin dilakukan berdasarkan Lex Causae saja, sebab sistem hukum apa/ mana yang hendak

ditetapkan sebagai Lex Causae masih harus ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini hanya dapat dilakukan

melalui proses kualifikasi pula (dengan dibantu titik-titik taut). Karena itu untuk menentukan Lex

Causae, mau tidak mau kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori terlebih dahulu. Jadi proses

Kualifikasi harus melalui dua tahap yaitu :

Kualifikasi Tahap Pertama

Kualifikasi pada tahap ini dilakukan dalam rangka menemukan lex causae.

Kualifikasi pada tahap ini dilakukan berdasarkan Lex Fori.

Kaidah-kaidah HPI Lex Fori harus ditentukan melalui kualifikasi yang juga didasarkan

pada kaidah-kaidah internal dari lex fori.

Pada tahap ini orang berusaha mencari kepastian tentang pengertian-pengertian hukum,

untuk kemudian menetapkan kaidah HPI apa dari Lex Fori yang akan digunakan untuk

menetapkan Lex Causae.

Kualifikasi Tahap Kedua

Kualifikasi ini dilakukan setelah hakim menetapkan system hukum yang merupakan Lex

Causae.

Kualifikasi pada tahap ini harus dilakukan berdasarkan lex causae yang telah ditetapkan.

Page 5: Hukum Perdata Internasional

5 | P a g e

Pada tahap ini, semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan system

kualifikasi yang ada pada lex causae itu.

d) Teori Kualifikasi Analitis/Otonom

Tokoh-tokohnya : Ernst Rabel dan Beckett. Teori ini pada dasarnya menggunakan metode

perbandingan hukum untuk membangun suatu system kualifikasi HPI yang berlaku secara universal.

Tia Aristutia, SH., MH Disusun oleh Tia Aristutia, SH., MH 19

Menurut para penganut teori ini, tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan

secara terlepas dari kaitannya terhadap suatu system hukum lokal/ nasional tertentu (Otonom).

Artinya, dalam HPI seharusnya ada pengertian-pengertian hukum yang khas dan berlaku umum serta

mempunyai makna yang sama di manapun di dunia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Rabel haruslah digunakan metode Perbandingan Hukum

dalam rangka mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat diberlakukan di mana-mana.

Tujuannya : menciptakan suatu Sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang berisi konsep-konsep

dasar yang bersifat mutlak.

Idea yang menarik (dan ideal) ini dalam praktek sulit diwujudkan sebab :

a) Menemukan dan menetapkan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai

pengertian yang berlaku umum, adalah pekerjaan yang sangat sulit dilaksanakan.

b) Hakim yang hendak menggunakan cara kualifikasi /system kualifikasi ini harus mengenal

semua system hukum di dunia agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui

di seluruh dunia.

Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa : walaupun teori kualifikasi ini sulit dijalankan, tetapi hal

yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah : cara pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI,

walaupun seseorang akan mengkualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan lex fori sekalipun.

Artinya konsep-konsep HPI jangan diartikan hanya berdasarkan pengertian lex fori belaka, tetapi harus

juga disandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal secara universal, dengan memperhatikan konsepsi-

konsepsi di dalam system hukum asing yang dianggap hamper sama (analogous)

e) Teori Kualifikasi Hukum Perdata Internasional.

Tokohnya adalah G. Kegel. Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa : Setiap kaidah HPI harus

dianggap memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai

oleh suatu kaidah HPI haruslah diletakan di dalam konteks kepentingan-kepentingan HPI yaitu :

Page 6: Hukum Perdata Internasional

6 | P a g e

keadilan dalam pergaulan internasional

kepastian hukum dalam pergaulan internasional

ketertiban dalam pergaulan internasional

kelancaran lalu lintas pergaulan internasional

Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan tidaklah dapat

ditetapkan terlebih dahulu, melainkan merupakan hal yang baru akan ditetapkan setelah penentuan

kepentingan HPI apa yang hendak dilindungi oleh suatu kaidah HPI tertentu. Tia Aristutia, SH., MH

Disusun oleh Tia Aristutia, SH., MH 20

Kepentingan-kepentingan itu dapat meliputi, misalnya : Kepentingan para pihak dalam suatu

hubungan HPI, kepastian hukum dalam lalu lintas pergaulan internasional, ketertiban umum, atau

keadilan dalam pergaulan internasional.

Hal yang menyebabkan rumitnya persoalan kualifikasi HPI adalah :

Pelbagai sistem hukum menggunakan terminologi hukum yang sama atau serupa, tetapi untuk

menyatakan hal yang berbeda.

Pelbagai sistem hukum mengenai konsep atau lembaga hukum tertentu yang ternyata tidak

dikenal di dalam sistem hukum lain.

Pelbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual sama ,

tetapi dengan menetapkan kategori yuridik yang berlainan.

Pelbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-beda untuk menetapkan

adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama.

Pelbagai sistem hukum menempuh proses atau prosedur yang berbeda-beda untuk

mewujudkan atau menertibkan hasil atau status hukum yang pada dasarnya sama.

Persoalan kualifikasi dalam HPI dapat dipusatkan pada masalah : berdasarkan sistem hukum

apa kualifikasi dalam suatu perkara HPI seharusnya dilakukan.

Pengecualian pemakaian kualifikasi Lex Fori ada 6

1) Kualifikasi kewarga negaraan. Tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim.

Menentulan siapa yang merupakan warga negara dari suatu negara harus ditentukan secara

khusus dan mutlak oleh negara bersangkutan sendiri.,bukan Lex Fori. Dengan kata lain Lex

Causae yang dipergunakan.

2) Kualifikasi "bergerak atau tidak bergerak" suatu benda ditentukan oleh "Lex Rei sitae"

3) Kualifikasi suatu kontrak menurut "maksud para pihak" bidang perjanjian, maka pihak-pihak

adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.

4) Kualifikasi dari "perbuatan melanggar hukum"

Page 7: Hukum Perdata Internasional

7 | P a g e

5) Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara "berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-

kaidah HPI"

6) Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh mahkamah-mahkamah internasional.

C. Kualifikasi Primer dan Sekunder

a) Kualofikasi Primer atau Qualifikation ersten Grades (menentukan dan menunjuk), yaitu

kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan untuk

dapat menentukam hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan kualifikasi

menurut kaidah-kaidah HPI dari Lex Fori.

b) Kualifikasi sekunder atau qualifikation zweiten gradies. Apabila sudah diketahui hukum asing

manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut

hukum asing yang sudah ditemukan.

D. Kualifikasi Masalah Substansial dan Prosedural

Pembedaan masalah ke dalam persoalan substansial dan persoalan prosedural adalah hal yang perlu

disadari dalam perkara-perkara HPI.

Masalah substansial berkenaan dengan persoalan mengenai hak-hak dan kewajiban subjek

hukum yang dijamin oleh kaidah hukum objektif

Masalah prosedural berkenaan dengan upaya-upaya hukum (remedies) yang hendak dilakukan

oleh subjek hukum untuk menegakkan hak-hak dan kewajiban yang terbit dan dijamin

berdasarkan kaidah-kaidah hukum objektif dengan bantuan pengadilan.

Asas yang secara umum diterima dalam HPI mengenai hal ini adalah bahwa semua persoalan

hukum yang dikualifikasikan sebagai masalah prosedural harus ditentukan berdasarkan atau

tunduk pada lex fori.

Masalah yang seringkali timbul dalam HPI adalah :

Bagaimana orang harus mengkualifikasikan suatu kaidah hukum sebagai kaidah hukum acara

atau kaidah hukum materiil.

Pada umumnya diterima pandangan bahwa apabila suatu kaidah hukum dikualifikasikan

sebagai kaidah prosedural, kaidah hukum itu harus diberlakukan walaupun hukum yang

seharusnya berlaku sebagai lex causae adalah hukum asing.

Page 8: Hukum Perdata Internasional

8 | P a g e

KETERTIBAN UMUM

A. Konsep Ketertiban Umum Dalam HPI

Persoalan "Ketertiban Umum" (public order). Ajaran mengenai ketertiban umum ini merupakan salah

satu bagian terpenting dari pada HPI dan telah dianggap sebagai salah satu fundamen atau rukun dari

pada seluruh bangunan HPI.

Mengapa masalah "ketertiban umum" dianggap penting?karena lembaga ketertiban umum mempunyai

sangkut paut yang erat dengan paham-paham azasi dan dasar-dasar HPI. HPI diperkenalkan sebagai

hukum untuk memberlakukan unsur-unsur asing (Rechtstoepassingsrecth).

Jika oleh HPI kiita telah ditentukam bahwa hukum asing harus diperlakukan,hal ini tidak berarti

bahwa selalu dan dalam semua hal harus dipergunakan. Jika pemakaian hukum asing berarti suatu

pelanggaran yang sangat dari pada sendi-sendi azasi hukum nasional Hakim, maka dalam hal-hal

pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing ini.

Fungsi ketertiban umum ini adalah seolah-olah sebagai suatu "rem darurat". Pemakaiannya juga harus

secara hati-hati dan seirit mungkin. Karena apabila terlampau lekas menarik rem, maka "kereta HPI"

tidak dapat berjalan dengan baik. Penyalahgunaan daripada rem darurat ini diancam dengan hukuman.

Jika terlalu banyak menggunakan lembaga ketertiban umum,berarti kita selalu memakai hukum

nasioanal kitansendiri,maka tidak dapat berkembang HPI ini.

Lembaga ketertiban umum seyogyanya hanya dipakai sebagai suatu "tameng" dan tidak sebagi suatu

"pedang" untuk menusuk hukum asing. Dengan kata lain fungsinya hanya defensif, hanya sebagai

perlindungan, tidak supaya secara aktif kita mentiadakan hukum asing.

Adanya lembaga ketertiban umum sesungguhnya tidak sesuai dengan pendirian internasionalistis

tentang HPI yang menganggap HPI bersifat Supra nasional. Konsepsi ketertiban umum adalah

berlainan dimasing-masing negara. Ketertiban umum terikat pada faktor tempat dan waktu. Jika situasi

kondisi berlainan,paham-paham ketertiban umum juga berubah-ubah.

Dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan berdasarkan

prinsip bahwa :

"Semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk melindungi kesejahteraan umum (public

welfare) harus didahulukan dari ketentuan-ketentuan hukum asing yang isinya dianggap

bertentangan dengan kaidah hukum tersebut."

Prof. Sunaryanti Hartono berpendapat bahwa:

Page 9: Hukum Perdata Internasional

9 | P a g e

"Apa yang merupakan 'ketertiban umum' itu sulit untuk dirumuskan dengan jelas karena pengertian ini

sangat dipengaruhi oleh waktu, tempat, serta falsafah bangsa/negara dan sebagainya yang

bersangkutan dengan masyarakat hukum yang bersangkutan."

Kegel berpendapat bahwa konsep ketertiban umum pada dasarnya berkenaan dengan "bagian yang

tidak dapat disentuh dari sistem hukum setempat". Karena itu hukum asing (yang seharusnya berlaku)

dapat dikesampingkan jika dianggap bertentangan dengan "the untouchable part" dari lex fori itu.

Martin Wolf beranggapan bahwa masalah "orde public" merupakan exeption to the application of

foreign law (pengecualian terhadap berlakunya kaidah hukum asing).

Ahli HPI lain (di Amerika serikat) beranggapan bahwa "public policy" merupakan teknik yang dapat

digunakan untuk membernarkan hakim dalam menolak suatu klaim yang didasarkan pada suatu kaidah

hukum asing. Ketertiban umum menunjuk pada situasi dimana pengadilan tidak mengakui suatu

tuntutan yang seharusnya tunduk pada suatu hukum negara (bagian) lain karena hakikat dari tuntutan

itu yang ditinjau dari yurisdiksi forum,jika diakui akan menyebabkan:

Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya; atau

Bertentangan dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusilaan yang baik; atau

Bertentangan dengan suatu tradisi yang sudah mengakar.

Doktrin-doktrin HPI membedakan dua fungsi lembaga ketertiban umum, yaitu:

o Fungsi Positif

Yaitu menjamin agar aturan-aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak dikesampingkan)

sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI atau melalui proses

pendekatan HPI, terlepas dari hukum mana yang seharusnya berlaku,atau apa pun isi kaidah/ aturan

lex fori yang bersangkutan.

o Fungsi Negatif

Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kiadah hukum asing jika pemberlakuan itu akan

menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori.

Didalam sistem HPI Inggris, lembaga "public order" digunakan oleh hakim dalam perkara-perkara

hukum yang menyangkut persoalan :

Hubungan-hubungan internasional

Hubungan perdagangan dengan musuh

Kontrak-kontrak yang mempengaruhi kebebasan kompetisi dalam perdagangan

Penyelundupan hukum

Page 10: Hukum Perdata Internasional

10 | P a g e

B. Ketertiban umum internasional dan ketertiban umum intern

Ketertiban umum internasioanal (internationale openbare orde, orde public internasional) dan

ketertiban umum intern (interne openbare orde, orde public interne). Ketertiban hukum internasional

adalah kaidah-kaidah yang bermaksud umtuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhannya.

Perlindungan dari masyarakat pada umumnya. Kaidah-kaidah ini membatasi kekuatan extra teitorial

dari kaidah-kaidah asing. Kaidah yang termasuk ketertiban umum intern sebaliknya adalah kaidah-

kaidah yang hanya membatasi kebebasan perseorangan.

C. Konsepsi Kaidah Hukum Memaksa (Mandatory Rules)

Dalam artian umum, "kaidah-kaidah hukum memaksa" dapat diartikan sebagai "aturan-aturab hukum

tertulis yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak melalui kesepakatan dalam perjanjian".

Persoalam pemberlakuan mandatory rules ini menjadi kursal dalam HPI, khususnya dalam bidang

kontrak dimana pihak-pihak pada dasarnya memiliki kebebasan untuk menentukan hukum yang

berlaku atas kontrak mereka. Dengan kata lain, mandatory rules akan membatasi kebebasan para pihak

dalam transaksi-trsansaksi internasional.

Dalam konteks HPI, pengertian "mandatory rules" ini umumnya dikaitkan dengan persoalam

pemberlakuan anturan-aturan hukum dari:

o Satu-satunya negara yang memiliki kaitan nyata dengan hubungan atau peristiwa hukum yang

dihadapi forum (sole-connection country) walaupun hukum negara ini mungkin tidak dipilih

oleh para pihak dalam hubungan hukum mereka, atau

o Negara yang memiliki kaitan nyata dengan peristiwa hukum yang dihadapi walaupun sistem

negara ini belum tentu merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling erat

dengan peristiwa hukum yang bersangkutan (close-connection country).

Konsep kaidah hukum memaksa umumnya digunakan untuk menjadi dasar pemberlakuan:

o Aturan-aturan hukum yang khusus dimasukan untuk mengatur masalah-masalah

ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen.

o Aturan-aturan hukum dari sebuah negara yang dipertautkan (connected) oleh semua elemen

yang relevan dalam suatu persoalan hukum, kecuali pilihan hukum para pihak.

o Aturan-aturan badan pngadilan yang mengadili perkara.

o Aturan-aturan hukum dari suatu negara yang memiliki kaitan nyata dengan situasi tertentun

walaupun hukum negara itu bukan merupakan lex causae.

Pengertian "hukum memaksa" dapat diartikan sebagai dua konsep,yaitu :

Page 11: Hukum Perdata Internasional

11 | P a g e

1) Domestik

Yang menunjuk kearah aturan-aturan hukum dari forum yang tidak dapat dikesampingkan melalui

perjanjian.

2) Internasional

Maksudnya adalah aturan-aturan hukum yang tidak dapat dihindarkan berlakunya melalui pilihan

hukum kearah sistem hukum lain selain sistem hukum yang menyatakannya sebagai aturan yang

memaksa.

Page 12: Hukum Perdata Internasional

12 | P a g e

PENYELUNDUPAN HUKUM

A. Penyelundupan Hukum

Bertitik tolak dari doktrin evasion of law yang pada dasarnya berarti bahwa suatu perbuatan yang

dilakukan suatu negara asing yang diakui sah di negara asing itu, akan dapat dibatalkan oleh forum

atau tidak diakui oleh forum jika perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan

dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari atura-aturan lex fori yang akan melarang perbuatan

semacam itu diwilayah forum. Fungsi dari doktrin ini adalah untuk melindungi sistem hukum yang

seharusnya berlaku.

B. Hubungan dengan Ketertiban Umum

Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat. Keduanya ini bertujuan

agar hukum nasional dipakai dengan mengeyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak

berlaku jika dipandang sebagai peyelundupan hukum. Keduanya hendak mempertahankan hukum

nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing.

Perbedaan antara Ketertiban Umum dan Penyelundupan Hukum adalah bahwa pada yang pertama kita

saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam

penyelundupan hukum kita saksikan hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu

peristiwa tertentu saja.

C. Penyelundupan Hukum dan Hak-hak Yang Telah Diperoleh

Penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah "hak-hak yang

diperoleh". Penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh. Karena

penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional dipergunakan.

Tetapi pada "hak-hak yang telah diperoleh" justru hak-hak itu yang menurut hukum asing diakui dan

dihormati oleh hukum nasional sang hakim.

Contoh-contoh

Contoh perkawinan

Dalam hal perkawinan misalnya terjadi para pihak mempergunakan berbagai cara penyelundupan

hukum untuk dapat melangsungkan perkawinan, kalu tidak memakai cara-cara khusus mereka tidak

akan mungkin melakukan perkawinan menurut hukum nasional mereka. Misalnya perkawinan-

perkawinan gretna green tanpa izin orang tuan dapat melangsungkan pernikahan. Perkawinan orang

Page 13: Hukum Perdata Internasional

13 | P a g e

indonesia di Penang, dalam prakeknya di indonesia dikenal dengan adanya masa tunggu bagi wanita

untuk melagsungkan pernikahan kembali yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi ada

obatnya, ialah pariwisata, sambil berlibur menikah di singapura dimana menurut hukum inggris tidak

dikenal jangka waktu menunggu seperti di indonesia.

Contoh dari HATAH internasional.

Contoh yang terkenal diberikan oleh Lemaire berkenaan dengan peraturan perkawinan untuk orang

indonesia Nasrani. Sebelum berlakunya UU perkawinan yang baru tahun 1974 maka ada perbedaan

hukum perkawinan antara masing-masing golongan hukum di indonesia. Perkawinan orang nasrani

dengan peraturan sendiri dalam ordonasi peraturan perkawinan indonesia nasrani, sedangkan untuk

orang islam dan hukum adat indonesia,

Penyelundupan juga dapat terjadi guna untuk memperoleh kewarganegaraan suatu negara atau untuk

mengelakkan bahaya pengusiran atau lain keuntungan-keuntungan tertentu dan sebagainya melalui

perkawinan.

Contoh mengenai perceraian

Dalam yuriprudensi dikenal suatu perkara yang telah minta perhatian karena ada hubungan dengan

kejadian di Indonesia. Seorang pria warganegara belanda, telah menikah di cirebon dengan seorang

perempuan belanda. Karena hendak bercerai maka pihak suami mencari jalan keluar. Kalau menurut

B.W indonesia maka belum cukup alasan, karena hanya dapat menghasilkan suatu putusan hidup

terpisah meja dan tempat tidur.

Page 14: Hukum Perdata Internasional

14 | P a g e

HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH

A. Pengertian tentang Hak-hak Yang Telah Diperoleh

Hak-hak yang telah diperoleh verkregen rechten (belanda), droit acquis (Perancis), vested rights

acuired rights (inggris)wohlerworbene rechte erworbene rechts (jerman), ius quesitum iura quesita

(latin), istilah Indonesia lainnya adalah pelanjutan keadaan hukum. Istilah hak atau recht, right, droit

biasanya berarti hak hukum, baik subyektif dan orang terutama teringat pada hak-hak yang bersifat

kebendaan vermogensrechten. Tetapi dalam HPI dengan istilah verkregen rechten diartikan bukan saja

hak-hak bersifat kebendaan tetapi juga hak-hak kekeluargaan dan status personil.

Istilah hak yang telah diperoleh sudah lama diterima dan ingeburgerd oleh karena itu demi kelancaran

secara praktis, tetap kami mempergunakannya, seperti juga kami tetap memakai istilah HPI,

sedangkan menurut pandangan kami istilah HATAH extern adalah lebih cocok.

Untuk HPI istilah hak-hak yang diperoleh ini dipakai untuk mengedepankan bahwa perubahan dari

fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah yang semula dipakai.

B. Hubungan Erat dengan Ketertiban Umum

Masalah hak-hak yang diperoleh berhubungan erat dengan masalah ketertiban umum. Dikatakan hak-

hak yang diperoleh ini justru adalah sebaliknya dari ketertiban umum. Dalam ketertiban umum hukum

perdata nasional sang hakim yang dipakai sedangkan menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim sendiri

kaidah-kaidah hukum perdata asing yang harus dipergunakan.

C. Konsep Hak-hak Yang Diperoleh (Vested Rights) Dalam HPI

Yang menjadi persoalan dalam HPI dalam kaitan ini adalah apakah hak dan kewajiban hukum yang

dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari suatu sistem hukum asing tertentu harus

diakui atau tidak oleh lex fori (Sunaryanti Hartono).

Jadi, persoalan "hak-hak yang diperoleh" seseorang berdasarkan hukum asing tertentu, hampir pasti

berkaitan dengan status hukum yang diterbitkan oleh sistem hukum asing itu. Dari pandangan Prof.

Sudargo Gautama dapat disimpulkan bahwa dalam masalah HPI masalah "Vested Rights"

dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-

fakta akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah hukum yang semula digunakan.

D. Perkembangan di negara-negara Anglo-saxon

Page 15: Hukum Perdata Internasional

15 | P a g e

Di negara-negara anglo saxon, diperkembangkan ajaran tentang vested rights ini. Hak-hak yang telah

diperoleh di luar negeri diakui. Bukan saja berdasarkan alaan comity atau courtoisie, tetapi juga

berdasarkan alasan-alasan menghindarkan inconveniesces dan adanya keharusan.

E. Perkembangan di Netherland

Perkembangan di Netherland, hak-hak yang telah diperoleh lebih banyak harus dilihat sebagai suatu

azas hukum yang telah memberikan inspirasi kepada pembuat undang-undang daripada suatu kaidah

hukum yang tersendiri. Pengakuan daripada status personil orang asing, pemakaian daripada lex rei

sitae, untuk barang-barang, pengkuan daripada sahnya suatu perbuatan yang sesuai dengan syarat-

syarat formil dinegeri, semua ini boleh dianggap disandarkan kepada asas hak-hak yang telah

diperoleh. Asas ini dapat dianggap tetap tersirat dalam kaidah-kaidah hukum bersangkutan tadi.

F. Perkembangan di Indonesia

Perkembangan di Indonesia mengenai hak-hak yang diperoleh, dalam bukunya tentang hukum perdata

internasional, bekas ketua mahkamah agung RI, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hak-hak

yang diperoleh perlu diterima pula. Istilah yang dikemukakan beliau adalah pelanjutan keadaan

hukum. Dalam ketentuan pasal 16 A.B. jo pasal 3 A.B. yang menganut prinsip nasionalitas, menurut

beliau dapat dilihat adanya unsur-unsur pelanjutan keadaan. Seolah prinsip-prinsip pelanjutan keadaan

hukum atau penghormatan terhadap hak-hak yang telah diperoleh termasuk pula dalam peraturan

tertulis yang berlaku di Indonesia. Satu dan lain karena dalam pasal 16 A.B. ini dipergunakan kata

blijven verbindend dari peraturan-peraturan mengenai status dan wewenang warganegara Indonesia

yang berada di luar negeri.

Page 16: Hukum Perdata Internasional

16 | P a g e

ASAS-ASAS UMUM HPI DALAM BIDANG-BIDANG HUKUM

KEPERDATAAN

A. Asas-asas HPI tentang Subjek Hukum

Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)

Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum kewarganegaraan (lex

patriae) orang itu. Berdasarkan suatu asas dalam bidang hukum keperdataan, yaitu asas mobilia

sequntuur personam, asas pemberlakuan lex patriae berlaku juga dalam penentuan status benda-benda

bergerak (movables), artinya bahwa suatu benda bergerak ditetapkan berdasarkan hukum yang berlaku

untuk menetapkan status personal orang yang memiliki atau menguasai benda itu.

Asas Domicile

Asas ini diartikan sesuai dengan konsep yang tumbuh didalam sistem hukum common law dan yang

umumnya diartikan sebagai permanent home (tempat hidup seseorang secara permanen). Berdasarkan

asas ini status dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile (hukum

tempat kediaman permanen) orang itu.

Konsep domicile dalam common law dapat dibedakan kedalam tiga pengertian, yaitu:

a) Domicile of origin

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kelahiran orang tersebut ditempat tertentu.

b) Domicile of dependence

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kebergantungan pada orang lain, misalnya anak-

anak dibawah umur akan mengikuti domicile orang tuanya atau istri mengikuti domicile suaminya.

c) Domicile of choice

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dibuktikan dari fakta kehadiran seseorang secara

tetap disuatu tempat tertentu dan tempat itu memang dipilih atas dasar kemauan bebasnya (factum et

animus).

Asas-Asas untuk Penentuan Status Badan Hukum

Peningkatan intensitas perdagangan internasional menyebabkan semakin banyaknya usaha pendirian

badan-badan hukum oleh pihak asing, dan atau oleh pihak lokal dan pihak asing dalam suatu joint

venture atau joint enterprise. Yang dapat menjadi masalah adalah sistem hukum mana yang dapat

Page 17: Hukum Perdata Internasional

17 | P a g e

digunakan untuk menetapkan serta mengatur status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum yang

mengandung elemen asing?

Dalam teori dan praktik HPI berkembang beberapa doktrin atau asas yang dapat digunakan,yaitu

sebagai berikut:

a) Asas kewarganegaraan/domicile pemegang saham

Asas ini beranggapan status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat dimana

mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex patriae) atau ber-domicile (lex domicili).

b) Asas centre of administration/business

Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus tunduk pada

kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi badan hukum tersebut.

Asas ini umumnya diterima oleh negara-negara Eropa Kontinental.

c) Asas place of incorporation

Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum seyogianya ditetapkan berdasarkan

hukum dari tempat badan hukum itu secara resmi didirikan/dibentuk. Asas ini dianut di Indonesia

(pada umumnya oleh negara-negara berkembang) sebagai reaksi terhadap penggunaan asas centre of

administration/ siegesocial.

d) Asas centre of exploitation

Asas centre of exploitation atau centre of operations, yang beranggapan bahwa status dan kedudukan

badan hukum harus diatur berdasarkan hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan

operasional,eksploitasi, atau kegiatan produksi barang/jasanya.

B. Asas-Asas HPI dalam Hukum Keluarga

Berbicara tentang hukum keluarga,maka pada dasarnya orang berbicara tentang perkawinan. Dalam

HPI, persoalan perkawinan transnasional adalah salah satu bidang yang paling vulnerable terhadap

persoalan-persoalan HPI.

Di Indonesia, pasal 1 UU 1/1974 tentang perkawinan, yakni:

"Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Page 18: Hukum Perdata Internasional

18 | P a g e

Ikatan semacam itu yang berlangsung antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing

tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda tentunya akan memunculkan persoalan HPI dalam

bidang hukum keluarga yang meliputi masalah validitas perkawinan sendiri.

Asas HPI di bidang Hukum Keluarga/ Perkawinan

1) Validitas Esensial Perkawinan

Asas-asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang harus digumakan untuk mengatur

validitas materil suatu perkawinan,yakni:

Asas lex loci celebrationis ,perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari

tempat dilangsungkan nya perkawinan/perkawinan diresmikan.

Asas yang menyatakan bahwa validitas materil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan

sistem hukum dari masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan

dilangsungkan

Asas yang menyatakan validitas material perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem

hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domisili sebelum perkawinan dilangsungkan.

Asas yang menyatakan validitas materil perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem

hukum dari tempat dilangsungkan perkawinan (locus celebrationis), tanpa mengabaikan

persyaratan perkawinan yang berlaku didalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan

dilangsungkan.

2) Validitas Formal Perkawinan

Berdasarkan asas locus regitactum, diterima asas bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan

ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis.

3) Akibat-akibat Perkawinan

Dalam HPI tentang akibat perkawinan (seperti masalah hak dan kewajiban suami istri, hubungan

orang tua dan anak, harta kekayaan perkawinan, dan sebagainya). Tunduk pada:

Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis).

Sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara salah setelah

perkawinan (gemeenschapelijke nationaliteit/ joint nationality).

Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan

(gemeenschapelijke woonplaats/ joint residence). Atau tempat suami istri ber-domisili tetap

setelah perkawinan.

Page 19: Hukum Perdata Internasional

19 | P a g e

4) Perceraian dan Akibat Perceraian

Perceraian harus diselesaikan berdasarkan siatem hukum dari tempat:

Lex loci celebrationis.

Gemeenschapelijke nationaliteit/ joint nationality.

Gemeenschapelijke woonplaats/ joint residence atau domicile of choice setelah

perkawinan.

Diajukannya gugatan perceraian (lex fori).

C. Asas-asas HPI dalam Hukum Benda

Klasifikasi jenis benda

Pertanyaan yang menjadi penting dalam HPI adalah berdasarkan hukum mana klasifikasi jenis benda

itu harus dilakukan. Dalam kaitan ini, teori HPI mengenal dua asas utama yang menetapkan bahwa

kualifikasi semacam ini harus dilakukan berdasarkan:

o Hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori)

o Huku, dari tempat benda berada/terletak (lex situs)

Status benda-benda bergerak

Asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda bergerak,menetapkan bahwa status benda

bergerak ditetapkan berdasarkan:

a) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut (bezitter atau eigenaar)

berkewarganegaraan (asas nasionalitas)

b) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut ber-domicile (asa domicile).

c) Hukum dari tempat benda terletak (lex situs).

Status benda tetap

Asas umum yang diterima di dalam HPI menetapkan bahwa status benda-benda tetap ditetapkan

berdasarkan lex rei sitae atau lex situs atau hukum dari tempat benda berada/terletak. Asas ini juga di

anut oleh Indonesia dalam pasal 17 Algermeene Bepalingen van Wetgeving

Status benda tak berwujud

Page 20: Hukum Perdata Internasional

20 | P a g e

Benda-benda tak berwujud biasanya meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak-hak

milik intelektual. Penentuan status benda-benda tak berwujud harus diberlakukan adalah sistem hukum

dari tempat:

a) Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau ber-domicile (lex

patriae atau lex domicilii).

b) Gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori).

c) Pembuatan perjanjian utang piutang (khusus untuk perjanjian utang piutang) (lex loci

contractus).

d) Yang sistem hukumanya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-

benda itu (choice of law).

e) Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut

benda tersebut (the most substantial connection).

f) Pihak yang presentasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak paling

khas dan karakteristik (the most characteristic connection).

D. Asas-Asas HPI dalam Hukum Perjanjian

Kontrak adalah persetujuan di antara dua atau lebih orang yang berisi sebuah janji atau janji-janji

yang bertimbal balik yang diakui berdasarkan hukum atau yang pelaksanaannya diakui sebagai suatu

kewajiban hukum. Hal-hal yang esensial dari suatu kontrak adalah adanya persetujuan (agreement) dan

hak dan kewajiban untuk melaksanakan sesuatu (contractual rights and obligations).

Kekhasan dari kontrak jika dikaitkan dengan masuknya unsur-unsur asing di dalamnya (kontrak

transnasional) adalah munculnya elemen pokok lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur

kebebasan para pihak untuk melakukan pilihan hukum (freedom to choose the applicable law). Pada

masa modern keabsahan para pihak dibatasi oleh beberapa hal yang umumnya menyangkut

pemberlakuan kaidah-kaidah hukum memaksa dan atau pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap

ketertiban umum. Asas utama HPI yang dianggap paling mengemuka didalam hukum perjanjian

(internasional) adalah bahwa "hukum yang berlaku atas sebuah kontrak adalah hukum yang dipilih

dan disepakati oleh para pihak di dalam kontrak."

Tetapi dalam praktik persoalam HPI menjadi lebih kompleks justru dalam situasi dimana para pihak

tidak melakukan pilihan hukum atau tidak menyatakan pilihan hukumnya secara tegas. Situasi ini yang

mendorong teoritisi HPI untuk menemukan cara penentuan hukum mana yang seharusnya berlaku atas

sebuah kontrak (the proper law of contract) yang tidak mengandung pilihan hukum para pihak yang

efektif.

1) Pengertian The Proper Law of Contract

Page 21: Hukum Perdata Internasional

21 | P a g e

"The proper law of contract" menurut Cheshire adalah:

"... a convenient and succinct expression to describe the law that governs many of the matters

affecting a contract. It has been defined as that law which the English or other court is to apply in

determining the oblogations under the contract."

Konsep yang terkandung pengertian diatas banyak menimbulkan persoalan dan perdebatan didalam

HPI, khususnya yang menyangkut masalah bagaimana orang dapat menentukan "the proper law" dari

suatu kontrak.

Cheshire beranggapan bahwa masalahnya bukan "hukum apa yang mengatur suatu kontrak",

melainkan "hukum apa yang mengatur masalah tertentu yang menjadi pokok perkara dalam suatu

kontrak?" Kenyataan bahwa salah satu aspek dari kontrak diatur berdasarkan suatu sistem hukum

tertentu, tidak dapat diartikan bahwa sistem hukum itu menjadi "the proper law" dari kontrak yang

bersangkutan. Artinya, aspek dapat saja diatur oleh pelbagai sistem hukum (dépeçage), walaupun

dalam praktik pengadilan tidak begitu saja memecah suatu kontrak dengan cara itu, dengan anggapan

bahwa selalu dapat ditentukan sistem hukum utama (primary system of law) yang mengatur umumnya

masalah-masalah pembentukan dan substansi suatu kontrak.

2) Asas-asas dan Teori-teori tentang Penentuan "The Proper Law of Contract"

Dalam bidang hukum kontrak sangat banyak titik taut (sekunder) yang dapat menjadi indikator tentang

hukum yang relevan untuk diberlakukan. Misalnya kewarganegaraan atau domicile para pihak yang

berbeda,tempat pembuatan atau pelaksanaan kontrak dan sebagainya. Dibawah ini mengenai beberapa

asas dan teori yang berkembang dalam HPI.

a) Asas lex loci contractus

Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit actum. Berdasarkan asas ini "The

proper law of contract" adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Maksudnya dalam konteks HPI

adalah tempat dilaksanakannya "tindakan terakhir" (last act) yang dibutuhkan untuk terbentuknya

kesepakatan (agreement). Prinsip ini dianggap masih dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang

berlaku terhadap transaksi/perjanjian yang dibuat di pekan-pekan raya perdagangan (trade fairs)

internasional, dalam arti bahwa sistem hukum dari tempat penyelenggaraan pekan raya itulah yang

dapat dianggap sebagai "the proper law of contract".

b) Asas lex loci solutionis

Semakin kecilnya peranan asas lex loci contractus, maka perhatian banyak dialihkan ke arah sistem

hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian (locus solutionis). Asas yang menganggap bahwa "the

proper law of contract" adalah lex loci solutionis sebenarnya merupakan variasi dari penerapan asas

Page 22: Hukum Perdata Internasional

22 | P a g e

locus regit actum yang beranggapan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian adalah tempat yang lebih

relevan dengan kontrak di bandingkan tempat pembuatan perjanjian. Asas ini tidak selalu memberikan

jalan keluar yang memuaskan, terutama jika diterapkan pada kontrak-kontrak yang harus dilaksanakan

di pelbagai tempat yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa kontrak itu dianggap sah disalah satu

tempat pelaksanaannya, akan tetapi dianggap tidak sah atau ilegal ditempat pelaksanaan lainnya.

Karena itu, dalam praktik tidak ditutup kemungkinan untuk menundukkan bagian-bagian kontrak pada

pelbagai sistem hukum yang berbeda (dépeçage), tetapi semacam itu akan menyulitkan pengadilan

untuk menyelesaikan perkara.

c) Asas kebebasan para pihak (party autonomy)

Asas ketiga merupakan perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu

"setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada perjanjian" (asas

kebebasan berkontrak, freedom to contract, atau party autonomy). Asas ini memiliki keabsahan untuk

memilih hukum, tetapi ada batasan.

Beberapa pembatasan (restrictions) yang dikembangkan dalam HPI untuk menetapkan validitas suatu

pilihan hukum, antara lain:

1) Jika pilihan hukum dimaksudkan hanya untuk membentuk atau menafsirkan persyaratan-

persyaratan dalam kontrak, kebebasan para pihak pada dasarnya tidak dibatasi.

2) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari

komtrak dan tidak untuk mengatur masalah validitas pembentukan perikatan/perjanjian.

3) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan kearah suatu sistem hukum yang berkaitan secara

substansial (having substantial relationship) dengan kontrak. Kaitan yang substansial

dianggap ada karena adanya faktor-faktor yang mempertautkan sistem hukum itu dengan

kontrak, misalnya tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan kontrak, domicile atau

kewarganegaraan para pihak, pusat administrasi badan hukum.

4) Larangan melakukan pilihan hukum kearah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki

kaitan nyata dengan kontrak atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak

memberlakukan larangan ini).

5) Pilihan hukum tidak boleh melanggar public policy atau public order (ketertiban umum) dari

sistem-sistem hukum yang mempunyai kaitan yang nyata dan substansial terhadap kontrak.

6) Pilihan hukum tidak boleh dimaksudkan sebagai usaha menundukkan seluruh kontrak atau

bagian tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekedar untuk

menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum yang

seharusnya berlaku seandainya tidak ada pilihan hukum. Pilihan hukum seperti ini dapat

dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fode atau dianggap sebagai penyelundupan

hukum (fraus legis).

7) Pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu

"sachnormverweisung", dalam arti pemilihan kearah kaidah-kaidah hukum intern dari sistem

hukum yang bersangkutan dan tidak ke arah kaidah-kaidah HPI-nya. Pembatasan ini

dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya renvoi dalam hukum kontrak internasional.

Page 23: Hukum Perdata Internasional

23 | P a g e

8) Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara

tertentu atau ke arah konvensi-konvensi internasional dan tidak kearah kaidah-kaidah hukum

transnasional atau prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional.

9) Pilihan hukum harus jelas diarahkan pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan

hukum yang tidak bermakna (meaningless choice of law) tidak dapat diakui sebagai pilihan

hukum yang sah.

10) Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum pada saat kontrak ditutup (ada beberpa negara dan

konvensi internasional yang tidak memberlakukan larangan ini).

E. Macam-Macam Pilihan Hukum

Ada 4 macam pilihan hukum yang dikenal dalam pembacaan HPI yakni:

1. Pilihan hukum secara tegas

Didalam klausula-klasula ada pilihan tegas dalam hokum mana yang digunakan. “This

contract will be governed by the laws of the republic of Indonesia”

2. Pilihan hukum secara diam-diam

Menyimpulkan maksud para pihak ini mengenai hukum yang mereka kehendaki,dari sikap mereka

dari sisi dan bentuk perjanjian. Misalnya jika para pihak memilih domisili di kantor Pengadilan Negeri

tempat negara X, maka dapat ditarik kesimpulam dari hal ini bahwa yang dikehendaki oleh para pihak

secara diam-diam adalah supaya hukum dari negara X itulah yamg berlaku.

Keberatan terhadap pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika sang hakim hendak melihat

adanya suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada (fictief).

3. Pilihan hukum yang dianggap

Istilah hukum dianggap suatu "preasumptio iuris" suatu "rechtsvermoeden" . Sang hakim menerima

telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.

4. Pilihan hukum secara hypothetisch

Sebenarnya disimi tidak ada satu kemauan dari para pihak untuk memilihbsedikitpun. Sang hakimlah

yang melakukan pilihan ini. Ia bekerja dengan suatu fictie. Seandainya para pihak telah memikir akan

hukum yang harus diperlakukan, hukum manakah yang telah dipilih oleh mereka secara sebaik-

baiknya. Jadi suatu pilihan bukan dari pada para pihak melainkan dari pada sang Hakim sendiri.

Dari 4 macam yang umum terjadi atau diakui adalah no.1 sedangkan no 2,3,4 sangat lemah untuk

dijadikan pilihan hukum.