Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

74
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 1 Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata Uraian mengenai hukum perdata tentang istilah hukum perdata menurut para ahli dan perbandingan hukum perdata dengan hukum publik. Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi hidupnya, menimbulkan satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur tentang kehidupan itu dan dinamakan hukum perdata (privat recht). Perkataan hukum perdata dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata materiil yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata materiil ini sering juga disebut “hukum sipil”, tetapi karena kata “sipil” lazim digunakan sebagai lawan dari kata “militer”, sebaiknya terhadap pemakaian istilah kita gunakan “hukum perdata” saja. Istilah Hukum Perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata disebut juga hukum sipil (civilrecht) dan hukum privat (privatrecht). Definisi Hukum Perdata menurut para ahli: 1. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya. 2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya. 3. Prof. R. Soebekti, Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan Perseorangan. Adapun menurut Subekti, perkataan hukum perdata mengandung dua istilah, yaitu: pertama, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum materiil, yaitu: segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Termasuk dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari hukum dagang. 4. Vollmar, Hukum perdata ialah aturan-aturan atau normanorma, yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan- kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu. 5. Sudikno Mertokusumo, Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yang lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat. Sudikno Mertokusumo menyebutkan beberapa tolok ukur dari hukum perdata terutama dalam hal untuk membedakannya dengan hukum publik :

Transcript of Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Page 1: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 1

Hukum Perdata:

Pengertian Hukum Perdata

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang istilah hukum perdata menurut para ahli dan perbandingan

hukum perdata dengan hukum publik.

Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi hidupnya, menimbulkan satu

jenis hukum yang ketentuannya mengatur tentang kehidupan itu dan dinamakan hukum

perdata (privat recht). Perkataan hukum perdata dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan

dalam hukum perdata materiil yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Hukum perdata materiil ini sering juga disebut “hukum sipil”, tetapi karena kata “sipil” lazim

digunakan sebagai lawan dari kata “militer”, sebaiknya terhadap pemakaian istilah kita

gunakan “hukum perdata” saja.

Istilah Hukum Perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai

terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata disebut juga

hukum sipil (civilrecht) dan hukum privat (privatrecht). Definisi Hukum Perdata menurut

para ahli:

1. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,

❖ Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan

perseorangan yang lainnya.

2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo,

❖ Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan

yang lainnya.

3. Prof. R. Soebekti,

❖ Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala

hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan Perseorangan. Adapun

menurut Subekti, perkataan hukum perdata mengandung dua istilah, yaitu: pertama,

hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum materiil, yaitu: segala hukum

pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Termasuk dalam

pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum

perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari hukum dagang.

4. Vollmar,

❖ Hukum perdata ialah aturan-aturan atau normanorma, yang memberikan

pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-

kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang

satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu.

5. Sudikno Mertokusumo,

❖ Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang

satu terhadap yang lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan

masyarakat.

Sudikno Mertokusumo menyebutkan beberapa tolok ukur dari hukum perdata terutama

dalam hal untuk membedakannya dengan hukum publik :

Page 2: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 2

1) Dalam hukm publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan dalam hukum perdata

kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam

hukum perdata pun penguasa dapat menjadi pihak juga.

2) Peraturan hukum publik sifatnya memaksa, sedangkan peraturan hukum perdata pada

umumnya bersifat melengkapi mekipun ada juga yang bersifat memaksa.

3) Tujuan hukum publik ialah melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata

betujuan melindungi kepentingan individu/perorangan. Kriteria ini ternyata mengalami

perkembangan, baik hukum publik maupun hukum perdata bertujuan memberi

perlindungan pada kepentingan umum.

4) Hukum publik mengatur hubungan hukum antar negra dengan individu, sedangkan

hukum perdata.

Maka dimaksud dengan hukum perdata adalah rangkaian peraturan yang mengatur

hubungan antara warga negara perseorangan dengan warga negara perseorangan yang lain.

Sedangkan hukum perdata tertulis yang dimaksud dalam hal ini ini adalah hukum perdata

yang diatur di dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek).

Kita tahu bahwa walaupun KUH Perdata di atas pada awalnya (sebelum negara

Indonesia merdeka) dinyatakan berlaku bagi orang Belanda, namun kenyataannya sampai

sekarang masyarakat Indonesia tetap menggunakan KUH Perdata sebagai salah satu hukum

yang akan menentukan dalam pergaulan masyarakat. Apalagi sampai saat ini lembaga

legislatif kita belum mampu membuat hukum perdata yang sudah terkodifikasi dan berlaku

secara unifikasi. Tetapi untuk Indonesia mutlak diperlukan undang-undang baru yang khusus

mengatur hukum kontrak, baik yang khusus, maupun yang merupakan bagian dari undang-

undang hukum perdata.

Page 3: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 3

Hukum Perdata:

Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang sejarah berlakunya hukum perdata (burgerlijk wetboek) di

Indonesia, sistimatika burgelijk wetboek, latar belakang penggolongan penduduk Indonesia oleh

pemerintahan belanda, pengertian dari penundukan diri, dasar hukum perdata di Indonesia, dan

perubahan-perubahan terhadap berlakunya KUHPerdata di Indonesia.

1. Sejarah Berlakunya Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang juga dikenal dengan

sebutan Bugerlijk Wetboek (BW) yang digunakan di Indonesia saat ini merupakan kodifikasi

hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Kodifikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh

Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon) yang disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus

Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang

dipimpin oleh Mr. J.M. Kemper dimana sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan

bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, tetapi diberlakukan

di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838 dan pada tahun yang sama diberlakukan juga KUH

Dagang (WvK).

Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua

panitia kodifikasi bersama Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer sebagai anggota panita,

namun panitia tersebut ternyata juga belum berhasil mengerjakan BW. Pada akhirnya

dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, akan tetapi

beberapa anggotanya diganti antara lain: Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Dimana pada

akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan

asas konkordasi yang sempit. Ini berarti KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH

Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata

Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui

Statsblad No. 23, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1848. Kondisi hukum perdata di

Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk, yaitu masih beraneka ragam. Beberapa faktor

yang mempengaruhinya antara lain: pertama, Faktor etnis, kedua, Faktor yuridis, pada pasal

163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut: a.

Golongan eropa, b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli), c. Golongan

timur asing (bangsa tionghoa, India dan bangsa arab).

Golongan warga Negara bukan asli, yakni yang berasal dari tionghoa atau eropa

berlaku sebagian dari BW, yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum

kekayaan harta benda, tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan termasuk hukum

warisan. Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia

terdapat dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR

(Regeringsreglement) yang pokok-pokonya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Hukum perdata dan hukum dagang (begitu pula hukum pidana serta hukum acara

perdata dan hukum acara pidana harus ditetapkan dalam kitab undang-undang atau

dikodifikasi);

Page 4: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 4

2) Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa eropa harus dianut perundang-

undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi);

3) Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika

ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya;

4) Orang Indonesia asli dan timur asing, selama mereka belum ditundukkan dibawah suatu

peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa sebelum hukum untuk bangsa Indonesia

ditulis dalam undang-undang, bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Indonesia terdiri dari empat buku,

antara lain:

1) Buku Kesatu, berjudul perihal orang (van persoonen), mengatur hukum perorangan dan

hukum kekeluargaan.

2) Buku Kedua, berjudul perihal benda (van zaken), mengatur hukum benda dan hukum

waris.

3) Buku Ketiga, berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen) yang mengatur hukum

harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-

orang atau pihak-pihak tertentu.

4) Buku Keempat, berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa (van bewijs en verjaring),

mengatur perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap

hubungan-hubungan hukum.

Ditinjau dari segi perkembangannya, hukum perdata Indonesia sekarang menunjukan

tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum perdata Belanda yang diundangkan

pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi 5 buku,

yaitu :

1) Buku I tentang hukum orang dan keluarga (personen-familie-recht).

2) Buku II tentang hukum badan hukum (rechtspersoon).

3) Buku III tentang hukum hak kebendaan (van zaken).

4) Buku IV tentang hukum perikatan (van verbentennissen).

5) Buku V tentang daluarsa (van verjaring).

Sedangkan ditinjau dari segi pembidangan isinya, hukum perdata Indonesia dalam

perkembangannya terbagi menjadi bagian-bagian antara lain: Bidang Hukum Keluarga

(perkawinan, perceraian, harta bersama, kekuasaan orang tua, kedudukan, pengampuan dan

perwalian), Bidang Hukum Waris, Hukum Benda, Bidang Hukum Jaminan, Bidang Hukum

Badan Hukum, Bidang Hukum Perikatan Umum, bidang Hukum Perjanjian Khusus.

Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya

hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang

kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan

Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas

konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW

diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang

berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,

KUHPerdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-

undang baru. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Page 5: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 5

Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia. Bagi kalangan hukum di Indonesia sudah

tidak asing lagi, bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek-BW)

yang sekarang berlaku di Indonesia adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan

dikenal pula dengan hukum perdata barat. Sebagai sebuah UU yang berasal dari pemerintah

Kolonial Belanda, maka tentu isi dan jiwanya tidak sepenuhnya cocok dengan masyarakat

Indonesia. Namun karena menghindari terjadinya kekosongan hukum, maka setelah

Indonensia merdeka KUHPrdata (BW) tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia yang

keberlakuannya didasarkan pada aturan peralihan UUD 1945.

Beberapa ketentuan dalam KHUPerdata-BW sudah dicabut, namun sebagian besar

masih berlaku sebagai hukum positif bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dan Hukum perdata

yang berlaku di Indonesia itu pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun

1847 dan tentu sudah semestinya dilakukan pembaharuan karena harus disesuaikan dengan

perkembangan zaman dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Upaya perbaikan terhadap KUHPerdata-BW di Belanda itu berlansung beberapa lama

dan pada tahun 1986, naskah perbaikan atau pembaharuan KUHPedata Belanda menjadi

defenitif untuk bagian utama buku 3, 5 dan 6 . Meskipun sudah defenitif, KUHPerdata

Belanda itu tidak lansung diberlakukan karena parlemen memandang perlu ada kesiapan

untuk menghadapi perubahan baru tersebut. KUHPerdata Belanda yang baru itu baru

diberlakukan pada 1 Januari 1992. Sebelumnya beberapa ketentuan mengenai hukum orang

(Buku I) sudah diberlakukan pada tahun 1970 dan buku tentan orang dan keluarga

diberlakukan tahun 1976. Sementara itu Buku 2 yang baru mengenai Badan Hukum 2006.

Namun demikian pemerintah Belanda masih belum berbangga memiliki KUHPerdata yang

yang lengkap. Beberapa bagian terakhir, terutama terkait dengan kontrak-kontrak spesifik

masih menunggu rancangan akhir.

2. Sistimatika Burgelijk Wetboek

Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat dengan politik

hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3

golongan yaitu: (1) Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari

Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-azas yang sama

dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka; (2) Golongan Timur Asing Tionghoa

dan Timur Asing bukan Tionghoa misalnya orang Arab, India dan Pakistan; (3) Mereka yang

telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Bumi Putera.

Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang sampai

sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-

undang Dasar 1945.

Mengenai hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan diatur dalam pasal

131 IS yang menentukan, bahwa: Pertama, bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan

hukum Dagang yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas konkordansi. Kedua, bagi

golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang diatur dalam BW dan Hukum

Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK ) dengan beberapa pengecuaian dan penambahan

sebagaimana diatur dalam stablad tahun 1917 Nomor 129 jo Stb. Tahun 1925 Nomor 557.

Pengecualian dan penambahan meliputi : (a) Upacara Perkawinan; (b) Pencegahan

Perkawinan; (c) Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand); (d) Pengangkatan anak (adopsi);

Page 6: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 6

(e) Peraturan tentang kongsi. Bagi golongan timur asing bukan Tinghoa berlaku hukum

perdata Eropa sepanjang mengenai hukum harta kekayaan sedang mengenai hukum

kekeluargaan dan hukum waris tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Hal ini diatur dalam

Staatblad tahun 1924 Nomor 556 yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1925. Ketiga, dari

golongan bumi putra berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 6 IS berlaku hukum perdata adat

yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan – tindakan

rakyat sehari –hari. Dalam pada itu hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan

banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia.

Sistematika Burgelijk Wetboek terdiri atas: Pertama, Perihal Orang (Van Personen),

yang mengatur tentang hukum badan pribadi dan hukum keluarga. Kedua Perihal Benda (Van

Zaken), yang mengatur tentang benda termasuk di dalamnya hukum waris. Ketiga, Perihal

Perikatan (Van Verbintenissen), yang mengatur tentang hukum kekayaan yang mengenai

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak

tertentu. Keempat, Perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Van Bewijaeu Veryaring).

Sistimatika tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh sistem institutiones Justiniasnse.

Jika kita bandingkan kedua sistematika tersebut di atas, terdapat perbedaan atau

ketidaktepatan-ketidaktepatan sebagai berikut, yaitu: Pertama, BW mengatur hukum keluarga

sebagai bagian dari buku I (hukum badan pribadi) dengan alasan bahwa di dalam hukum

keluarga terdapat hubungan-hubungan yang mempengaruhi kecakapan bertindak dari subyek

hak atau person. Kedua, BW mengatur hukum waris sebagai bagian dari buku II (buku

benda) dengan alasan karena pembentuk Undang-undang memandang hak waris itu sebagai

suatu hak kebendaan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia. Pewarisan

dianggap sebagai salah satu cara untuk memperoleh eigendom, sedangkan eigendom adalah

merupakan suatu hak kebendaan. Ketiga, dalam sistimatik ilmu pengetahuan hukum benda

dan hukum perikatan tidak diatur tersendiri sebab hukum harta kekayaan sebagai aturan yang

mengatur hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang dapat ditimbulkan karena hak–

hak kebendaan yang diatur dalam buku II BW maupun yang ditimbulkan karena perikatan

seperti diatur dalam buku III BW. Keempat, pengaturan alat bukti dan lewat waktu dalam

buku IV BW di pandang kurang tepat karena merupakan soal hukum acara, sedang BW

mengatur tentang hukum perdata pokok.

Burgelijk Weetbook Baru Belanda (BWBB) telah berhasil diubah, dirombak,

singkatnya dimodernisasi, sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman, khususnya

menunjang berbagai kegiatan kegiatan ekonomi dalam arti luas. Upaya perubahan dan

modernisasi diawali dalam tahu 1947 dan baru berhasil akhir tahun 1992 dengan

pengundangan BWBB yang dinyatakan berlaku mulai 1 januari 1992. buku 1 (orang dan

keluarga) dan Buku 2 (Badan Hukum) sudah dinyatakan berlaku, yaitu berturut –turut tentang

jual beli dan tukar menukar (koop en huur), pemberian kuasa (lestgeving), Penitipan

(bewaargeving), dan penanggungan (borgtocht).

3. Latar belakang Penggolongan Penduduk Indonesia oleh Pemerintahan Belanda

Latar belakang pemerintahan Belanda memberlakukan penggolongan penduduk di

Indonesia adalah menjalankan politik devide et impera atau politik pemecah belah. Politik

devide et impera ini dilakukan dengan cara membagi penduduk nusantara dalam 3 (tiga)

Page 7: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 7

golongan penduduk yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, India,

Arab, Pakistan), dan Golongan Pribumi, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 IS.

Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan

pada etnis atau ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat pada bedanya sistem hukum yang

diberlakukan terhadap setiap golongan tersebut. Tiga golongan penduduk tersebut tunduk

pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS.

Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu percaya bahwa pemerintahan kolonial

Belanda akan terancam jika golongan pribumi dan golongan-golongan lain bersatu untuk

melawan mereka, sehinga ketiga golongan tersebut sengaja dipisahkan (segregated) secara

eksklusif dan mempunyai peranan serta kondisi ekonomi yang sangat berbeda.

Dengan adanya unsur-unsur pembeda tersebutlah pemerintah Hindia Belanda dapat

dengan leluasa menjalankan politik adu domba antargolongan, sehingga antara satu golongan

dengan golongan lain memiliki rasa saling curiga yang kemudian menimbulkan konflik.

Namun, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah menyebabkan

kecurigaan dan kebencian tersebut dapat diredam dan membangun rasa persatuan dan

kesatuan untuk memperoleh kemerdekaan.

Pasal 163 I.S suatu pasal yang mengadakan pembedaan golongan penduduk menjadi 3 (

tiga ) golongan yaitu:

a. Golongan Eropa, yang termasuk golongan eropa adalah:

1) Semua orang Belanda

2) Semua orang yang berasal dari Eropa tetapi tidak termasuk orang Belanda

3) Semua orang Jepang (berdasarkan perjanjian dagang antara Belanda dengan Jepang

tahun 1896 – S. 1898 – 49)

4) Semua orang yagn berasal dari tempat lainyang di negerinya hukum keluarganya

berasaskan yang sama degan hukum keluarga Belanda

5) Anak – anak sah atau yang diakui menurut ketentuan UU dari no. 2, 3, dan 4 yang

lahir di Hindia Belanda.

b. Golongan Bumiputera, yaitu semua orang asli dari Hinda Belanda (sekarang Indonesia).

c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan

golongan Bumiputera. Golongan Timur Asing dibedakan menjadi golongan T.A Tionghoa

dan T.A bukan Tionghoa (seperti orang–orang yang berasal dari India, Arab, Afrika dan

sebagainya).

4. Pengertian dari Penundukan Diri, Bagaimana Cara Berlakunya

Pengertian Penundukan Diri adalah penundukan diri terhadap hukum perdata barat.

Dasar hukum dari pemberlakuan penundukan diri yaitu Indische Staatsregeling Pasal 131

Junto Staatsblad 1917 Nomor 12. Indische Staatsregeling adalah peraturan dasar di zaman

pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pengganti Reglement Regering.

Empat Jenis Penundukan Diri Menurut Indische Staatsregeling: Berdasarkan pasal 131

Indische Staatsregeling ayat 4 junto Staatsblad 1917 Nomor 12, penundukan diri secara

sukarela kepada Burgerlijk Wetboek terdapat empat macam, yaitu:

1) Penundukan diri sepenuhnya pada hukum perdata barat (Pasal 1 – 17)

2) Penundukan diri sebagian pada hukum perdata barat (Pasal 18 – 25)

3) Penundukan diri untuk perbuatan tertentu pada hukum perdata barat (Pasal 29)

Page 8: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 8

4) Penundukan diri secara diam-diam pada hukum perdata barat. Orang dianggap

menundukan diri secara diam-diam atau sukarela apabila melakukan tindakan hukum

yang diatur dalam hukum perdata, dimana hal ini tidak ada diatur dalam hukum

mereka.

Contoh: Masyarakat atau Orang yang memegang hukum adat menandatangani cek,

dalam hukum adat tidak ada aturan mengenai cek.

Penundukan diri dalam perspektif UU No. 3 Tahun 2006. Seperti diketahui bahwa

lembaga penundukan diri pada dasarnya erat kaitannya dengan asas keberlakuan suatu

hukum/aturan.Bagi seseorang yang memang tidak tunduk kepada suatu hukum tertentu dapat

menundukkan diri pada hukum tersebut baik karena keinginan yang bersangkutan

menghendaki atau karena hukum itu sendiri menghendaki demikian.Oleh karena itu di dalam

terminologi hukum dikenal dua jenis penundukan diri yaitu ‘penundukan diri secara sukarela’

atas dasar keinginan yang bersangkutan sendiri (Vrijwillige Onderwerping) dan ‘penundukan

diri secara diam-diam’ karena perintah Undang-Undang atau disebut juga dengan istilah

‘penundukan diri anggapan’ (Verorderstelde Onderwerping).

Atas dasar itu, walaupun dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006 tersebut terdapat kata ‘sukarela’ tidak berarti yang dimaksudkan adalah penundukan diri

secara sukarela (Vrijwillge Onderwerping). Kata tersebut erat kaitannya dengan kata

sebelumnya, yaitu: “dengan sendirinya” sehingga yang dimaksudkan dalam penjelasan

tersebut adalah ‘penundukan diri anggapan’ hukum sendiri menghendaki demikian

(Verorderstelde Onderwerping). Seperti contoh misalnya, dalam perkara sengketa pembagian

warisan beda agama dimana sebagian ahli warisnya ada yang tidak beragama Islam maka

Pengadilan Agama berwenang mengadili karena yang bersangkutan harus tunduk kepada

hukum Islam karena menurut Undang-Undang tersebut ia dipandang dengan sendirinya

menundukkan diri kepada hukum Islam.

5. Dasar Hukum Perdata Di Indonesia

Proses pembentukan hukum perdata di Indonesia bukanlah seperti benda yang jatuh

dari langit akan tetapi secara bertahap dan terus menerus, akan tetapi harus mengandung

kebenaran keilmuan merupakan hasil berpikir hakiki berupa generalisasi yang maknanya

bersifat umum sementara implementasi dan operasionalnya dalam empiris selalu mungkin

berbeda Misalnya makna keadilan, keberaniaan, perdamaian. Hukum perdata Indonesia

adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang

berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada

kitab Undang Undang hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan

Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. sebagian materi B.W sudah dicabut

berlakunya dan sudah diganti dengan undang Undang RI, misalnya: mengenai UU

Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU kepailitan.

Pada 31 Oktober 1837 Mr. C.J.Scholten Van Oud Haaarlem diangkat menjadi Ketua

panitia kodifikasi dengan Mr. A.A.Van Vloten dan Mr.Meyer masing-masing sebgai anggota

yang kemudian anggotanya diganti dengan Mr. J. Scheneither dan Mr.A.J. Van Nes.

Indonesia diumumkan pada tangal 30 April 1847 melalui Staatsblaad no. 23 dan berlaku

Januari 1848 dengan berlakunya asas konkordansi/asas persamaan, setelah Indonesia

merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 pra amandemen: Segala

Page 9: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 9

badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini.

Berdasarkan aturan peralihan dalam undang undang dasar 1945 pra amandemen itu

pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Peraturan

Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan

Peralihan Undang Undang dasar 1945. KUHPerdata, Hindia Belanda tetap dinyatakan

berlaku sebelum digantikan dengan Undang Undang baru berdasarkan Undang Undang Dasar

ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia

sebagai Induk hukum perdata Indonesia.

Menurut Sudikno Mertokusumoh, keberlakuan hukum produk dan peninggalan Belanda

tersebut di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain:

1) Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam tentang mengapa “hukum

Belanda masih berlaku di Indonesia. Tatanan hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat

sebagai kelanjutan dari tata hukum Belanda, tetapi sebagai hukum nasional.

2) Sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,

peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan; dan

3) Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi.

Kaidah hukum perdata dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain bentuk, subyek

hukum, dan substansinya. Berdasarkan bentuk hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis, terdapat di dalam

peraturan peraturan-peraturan perundang-undangan, seperti KUH Perdata, Undang Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun kaidah hukum tidak tertulis adalah

kaidahkaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek

kehidupan bermasyarakat (kebiasaan/adat) seperti hukum adat dan hukum Islam.

6. Perubahan-perubahan terhadap Berlakunya KUH Perdata di Indonesia

Hukum Perdata di tinjau dari sudut Perundang-undangan, SEMA Nomor 3 Tahun 1963

mencabut beberapa pasal dalam KUHPerdata, antara lain pasal 284, 460,108, dan 110.

Sedangkan menurut Prof. Soebekti, SEMA No.3/1963 hanya merupakan pedoman bagi para

hakim untuk memutus, jika keputusan diikuti oleh keadilan / Jurisprudensi.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia pada dewasa ini masih berhubungan dengan

Pluralisme Hukum yang ada di Indonesia, seperti adanya Hukum Adat, Hukum Agama, dan

Hukum perdata itu sendiri. Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pun

sudah di ganti dengan Undang-Undang yang di buat untuk mengikuti perkembangan

masyarakat dan bersifat nasional, seperti contohnya: Undang-Undang Pokok Agraria,

Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.

Penyebab dari keanekaragaman ada 2 macam yaitu: Faktor Ethnis, disebabkan

keanekaragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena negara Indonesia terdiri dari

berbagai suku bangsa. Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S.

yang membagi penduduk indonesia dalam 3 golongan, yaitu: Golongan Eropa yang

dipersamakan, Golongan Bumi Putera (pribumi/ bangsa Indonesia asli) dan yang

dipersamakan., Golongan Timur asing (bangsa Cina, India , Arab).

Dalam mempelajari dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum perdata perlu

diperhatikan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang mempengaruhi

Page 10: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 10

dan mengubah isi serta berlakunya KUH Perdata di Indonesia. Dengan demikian dapat

diketahui pasal-pasal mana yang dianggap tidak berlaku atau dicabut sehubungan dengan

adanya peraturan-peraturan baru tersebut. Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5

tahun 1960 tanggal 24 September 1960, Stb. tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuanketentuan mengenai hak-hak kebendaan

yang bertalian dengan tanah dari buku II BW (KUHP) kecuali mengenai hipotek. Artinya

semua ketentuan-ketentuan yang mengenai hak kebendaan yang bertalian dengan tanah

mendapat pengaturannya di dalam hukum Agraria dan tidak menjadi obyek hukum perdata

lagi.

Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nomor 3

Tahun 1963, beberapa pasal atau ketentuan dipandang tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108

–110 BW tentang ketidakwenangan bertindak seorang istri; (b) Pasal 284 ayat 3 BW tentang

pengakuan anak luar kawin yang lahir dari seorang wanita Indonesia; (c) Pasal 1682 BW

tentang keharusan dilakukannya hibah dengan akte notaris; (d) Pasal 1579 BW tentang

penghentian sewa menyewa dengan alasan akan memakai sendiri barang itu; (e) Pasal 1238

BW tentang pengajuan gugat pelaksanaan suatu perjanjian. (f) Pasal 1460 BW tentang resiko

dalam perjanjian jual beli barang; dan (g) Pasal 1603 ayat 1 dan 2 BW diskriminasi orang

Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 Jo.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang

Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan-peraturan yang

mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undangundang tersebut yaitu: (1)

Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam KUH Perdata (BW); (2) Ordonansi Perkawinan

Indonesia Kristen (Buwelijksor donantio chesten Indonesiers) seperti tercantum dalam

Staatsblad tahun 1933 nomor 74; (3) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Opde

Gemengde Huwelijkken) seperti tercantum di dalam staatsblad tahun 1898 nomor 158; (4)

Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Undang-undang no. 42 tahun

1999 tentang jaminan fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah

digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang

lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-

meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak

menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para

pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha

yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Pada awalnya, Benda

yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam

bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi objek

fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak

bergerak. Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjammeminjam dengan

menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51

Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus

sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak

jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah gadai, hipotek selain tanah,

dan jaminan fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia adalah Pasal 15

Page 11: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 11

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang

menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain

dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Selain itu, Undangundang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah

negara.

Page 12: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 12

Hukum Perdata:

Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Hukum Perdata

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang sumber hukum perdata dan ruang lingkup hukum perdata.

1. Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang

mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar

mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat

dibedakan menjadi : pertama, sumber pengenalan hukum (kenbron vanhetrecht), sumber

hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat dketemukannya hukum;

kedua, sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum

(welbron van het recht) sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber

nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar hukum. Sedangkan menurut Titik Triwulan Tutik

sumber hukum dalam ilmu pengetahuan hukum digunakan dalam beberapa pengertian antara

lain:

a. Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘asalnya hukum’ ialah berupa keputusan

penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan

itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.

b. Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘tempat’ dite mukannya peraturan-peraturan

hukum yang berlaku. Bentuknya berupa Undang Undang, kebiasaaan, traktat,

yurisprudensi, atau doktrin dan terdapat dalam Undang undang 1945, ketetapan MPR,

perpu, peraturan pemerintah, keppres, dan lainnya.

c. Sumber hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogyanya

mempengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan

akan hukumnya, rasa keadilan ataupun perasaan akan hukum.

Pada dasarnya sumber hukum perdata, meliputi sumber hukum materiil dan formal.

Sumber hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi hukum, yaitu tempat dimana

materi hukum itu diambil. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum

dan menentukan isi hukum. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu

pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi ekonomi, tradisi

(pandangan keagamaan dan kesusilaan). Keadaan geografis, penelitian ilmiah, perundangan

internasional, sedangkan sumber hukum formal,yaitu tempat memperoleh kekuatan hukum.

Ini berkaitan dengan cara atau bentuk yang menyebabkan peraturan hukum formal itu

berlaku, misalnya UU, perjanjian antar negara, yurisprudensi, kebiasaan.

2. Ruang Lingkup Hukum Perdata

Berdasarkan klasifikasi ruang lingkup hukum perdata terdapat dua jenis diantaranya

adalah Hukum Perdata Dalam Arti Luas. Pada dasarnya meliputi semua hukum privat

meteril, yaitu segala hukum pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan

perseorangan, termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang

diatur dalam sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya.

Page 13: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 13

Klasifikasi ruang lingkup hukum perdata selamjutnnya ditinjau dari hukum perdata

dalam arti sempit. Dimana diartikan sebagai kebalikan dari hukum dagang yang tercantum

dalam KUHP perdata. Dengan demikian jenis hukum ini merupakan jenis hukum yang

tertulis.

Contoh Hukum Perdata:

Hukum perdata dalam diberlakukan pada suatu masalah yang terjadi antara individu

dengan individu lainnya. salah satu contohnya adalah ketika pembelian tanah. Terkadang

terdapat sengketa tanah. Salah satu misalnya yang berkaitan dengan pelunasan pembelian

tanah yang tidak kunjung dibayar, atau pihak yang membeli enggan memberi biaya ganti rugi

pembuatan sertifikat tanah.

Contoh lainnya dari hukum perdata adalah ketika seseorang yang telah berkeluarga,

tiba-tiba dihadangkan permasalahan adanya seorang anak yang merupakan anak diluar nikah

dengan wanita lain. Nah tentunya anak tersebut secara logika memang berhak atas warisan

dari orang tuanya. Namun ketika anak tersebut lahir diluar pernikahan yang sah. Maka

dirinya dipastikan akan sulit mendapatkan warisan dari orang tuanya. Nah permasalahan

tersebut dapat diselesaikan dengan hukum perdata.

Selain permasalahan yang dialami perorangan dengan perorangan, hukum perdata juga

mengurus masalah yang terjadi antara sebuah organisasi atau kelompok dengan perorangan.

Sebagai contoh pencemaran nama baik terhadap suatu kelompok yang dilakukan oleh

seorang individu. Tentunya hal tersebut akan berlaku hukum perdata.

Page 14: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 14

Hukum Perdata:

Asas-asas Hukum Perdata

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang asas-asas hukum perdata terdiri dari: asas kebebasan

berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum,

asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas perlindungan, asas kepatutan, asas

kepribadian (personality) dan asas itikad baik (good faith).

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam Hukum

Perdata adalah:

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun

juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam

undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPerdata).

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal

tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata

kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa

perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya

kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan

pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan

perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya

mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya

hanya mengikat.

5. Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan

perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka

tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda

warna kulit, agama, dan ras.

6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika

diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur

memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik

7. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas

yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas

bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh

para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan

intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Page 15: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 15

8. Asas Moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang

tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini

terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela

(moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan

menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang

bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral)

sebagai panggilan hati nuraninya

9. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus

dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak

debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi

dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian

dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan

asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat

kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan

terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak

10.Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan

mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya

11.Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan

melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini

dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

12.Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu

pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan

atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

Page 16: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 16

Hukum Perdata:

Subjek Hukum (Orang dan Badan Hukum)

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang orang dan badan hukum sebagai subjek hukum mengenai

pengertian subjek hukum, pembagian subjek hukum, Hubungan Antara Hukum, Hak Dan Kewajiban,

Cakap Dan Tidak Cakap Bertindak Dalam Hukum, dan teori-teori badan hukum.

1. Pengertian Subyek Hukum

Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubjek (belanda) atau law of subject

(Inggris), pada umumnya rechtsubjek diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Menurut Algra, Pengertian subyek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan

kewajiban jadi mempunyai wewenang hukum (Rechtbevorgheid) adalah kewenangan untuk

mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi subyek dari hak-hak yang menjadi subyek

hukum adalah manusia dan hukum. Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum

ialah hanya orang yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut

dengan pribadi hukum. namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum dimasukkan

menjadi subyek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga

subjek hukum itu meliputi :

1) Orang disebut pribadi kodrati

2) Badan hukum disebut pribadi hukum

Subjek hukum perdata dibedakan menjadi dua macam, manusia dan badan hukum.

Manusia dalam istilah biologis bahwa manusia yang berakal budi (mampumenguasai mahluk

lainnya) dan secara yurisi dipersamakan dengan orang atau individu hal ini karena manusia

mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan hukum. Kewenangan hukum adalah

kecakapan untuk menjadi subyek hukum yaitu sebagi pendukung hak dan kewajiban.

Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan tertentu, harta,

kekayaan serta hak dan kewajiban.

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat

menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dan dalam

bahasa hukum maka obyek hukum disebut ‘Hak’ yang dapat dikuasai dan/atau dmiliki

subyek hukum. Substansi yang diatur dalam hukum perdata,yaitu pertama dalam hubungan

keluarga dan kedua dalam pergaulan masyarakat. Dalam keluarga akan timbul orang (badan

pribadi) dan hukum keluarga, sedangkan dalam pergaulan masyarakat akan menimbulkan

harta kekayaan, hukum perikatan dan hukum waris.

2. Pembagian Subyek Hukum

Berdasarkan konsep dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai

pembawa hak, yaitu:

1) Manusia (individu, orang)

Manusia adalah subyek hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam, sebagai

makhluk budaya ciptaan tuhan yang dilengkapi dengan akal, perasaan dan kehendak.

Prof. Subekti: dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21)

mengatakan bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di

dalam hukum. Seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari

Page 17: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 17

ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya

dalam hal waris), dapat dihitung sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan

dalam keadaan hidup. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan

(Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan

kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

a. Cakap hukum (Pasal 1330 KUH Perdata), yaitu: Dewasa (berusia 21 tahun), Belum

berusia 21 tahun tetapi sudah menikah

b. Tidak cakap hukum (Pasal 1331 KUH Perdata), yaitu: Orang yang belum dewasa,

Kurang cerdas, Sakit ingatan, Orang yang berada dalam pengampuan, pengawasan

2) Badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi)

Badan hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai gejala hidup

bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasar pada hukum,memiliki hak dan

kewajiban seperti manusia.

Prof. Subekti: mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-

perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang

manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan

sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat

digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.

Sri Soedewi Masjchoen: Kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan mendirikan

suatu badan, yaitu berwujud himpunan dan harta kekayaan yang disendirikan untuk

tujuan tertentu.

Salim HS: Kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan,

hak dan kewajiban, serta organisasi.

E. Utrecht: badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak,

selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak

berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.

R. Soeroso: Suatu perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerja sama dan atas

dasar ini merupakan suatu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan oleh hukum.

Menurut Pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya

pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi,pemerintahan kabupaten/kota), bank-

bank yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.

b. Badan hukum yang “diakui" oleh pemerintahan/kekuasaan umum, misalnya

perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.

c. Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan,seperti perseroan terbatas, perkumpulan,

asuransi, perkapalan, dan lain sebagainya.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan perkumpulan/badan usaha,

agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-

syaratnya adalah sebagai berikut dibawah ini:

a. Adanya harta kekayaan yang terpisah

Harta kekayaan ini diperoleh dari peranggota maupun perbuatan pemisahan yang

dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertetntu. Adanya harta

Page 18: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 18

kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan

badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini,meskipun berasal dari

pemasukan pemasukan anggota-anggotanya,namun terpisah dengan harta kekayaan

pribadi anggota-anggotanya, perbuatan pribadi anggotanya-anggotanya tidak

mengikat harta kekayaan tersebut.sebaliknya,perbuatan badan hukum yang diwakili

pengurusnya,tidak mengikat harta-kekayaan anggota-anggotanya

b. Mempunyai tujuan tertentu

Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang adil maupun tujuan komersial yang

merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Jadi bukan untuk kepentingan

satu atau beberapa anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan

sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai

itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang

bersangkutan.

c. Mempunyai kepentingan sendiri,

Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang

dilindungi oleh hukum. Kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai

akibat dari peristiwa-peristiwa hukum.

d. Ada organisasi yang teratur

Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum

disamping manusia badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan

perantaraan organnya.

Dalam pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan mengenai adanya

3 jenis badan hukum, yaitu:

1) Yang diadakan oleh kekuasaan atau pemerintah atau negara;

2) Yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum;

3) Yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan; biasa juga disebut dengan

badan hukum dengan konstruksi keperdataan.

Menurut bentuknya (berdasarkan pendiriannya): Badan Hukum Publik: adalah badan

hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak atau menyangkut

kepentingan negara. Contoh: Negara Indonesia, Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor.

Badan Hukum Perdata: adalah badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata

atau hukum sipil yang menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang

termasuk dalam badan hukum tersebut. Contoh: Perkumpulan, Perseroan Terbatas,

Koperasi, Yayasan

Menurut Sifatnya: Korporasi (Corporatie): Suatu gabungan orang yang dalam

pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri.

Karena itu korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak-

hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para

anggotanya. Yayasan (Stichting): Yaitu tiap kekayaan (vermogen) yang tidak

merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang di beri tujuan tertentu.

Misalnya untuk kepentingan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Jadi pada yayasan

tidak ada anggota, yang ada hanya pengurus.

Page 19: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 19

Secara prinsipal, badan hukum berbeda dengan manusia. Perbedaan tersebut dapat

dinyatakan sebagai berikut:

1) Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan dan

kehendak. Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasar pada undang-undang ,

diwakili oleh pengurusnya

2) Manusia memiliki kelamin, dapat kawan, dapat beranak. Badan hukum tidak memiliki

kelamin, tidak dapat kawin dan tidak dapat beranak.

3) Manusia dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.

3. Hubungan Antara Hukum, Hak Dan Kewajiban

Hukum itu mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap masyarakat, tiap lembaga,

bahkan tiap negara. Hubungan hukum tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban yang

diberikan oleh hukum. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu

mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak dan sisi lainnya adalah kewajiban. Tidak ada

hak tanpa kewajiban sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Karena pada hakikatnya

sesuatu pasti ada pasangannya.

Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah dalam

kehidupan bersama, keseluruhan peraturan yang mengatur kehidupan bersama yang

pelaksanaanya dapat dipaksakan melalui sanksi.

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu

kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan

bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Contoh hak: hak untuk hidup, hak

untuk mempunyai keyakinan dan lain-lain.

Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata

lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh kewajiban: dalam jual beli,

bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tersebut.

Perwujudan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan

peristiwa hukum. Segala peristiwa atau kejadian dalam keadaan tertentu adalah peristiwa

hukum. Untuk terciptanya suatu hak dan kewajiban diperlukan terjadinya peristiwa yang oleh

hukum dihubungkan sebagai akibat. Karena pada umumnya hukum itu bersifat pasif. Contoh:

Terdapat ketentuan "barangsiapa mencuri, maka harus dihukum". Maka bila tidak terjadi

peristiwa pencurian maka tidaklah ada akibat hukum.

4. Cakap Dan Tidak Cakap Bertindak Dalam Hukum

Cakap yaitu sanggup melakukan sesuatu, mempunyai kemampuan dan pandai

melakukan sesuatu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecakapan:

a. Psikologis

b. Fisiologis

c. Lingkungan

Sehingga sulit untuk menentukan kecakapan secara nyata yang melekat pada seorang

individu, mengingat kondisi individu masing-masing berbeda. Salah satu standar yang sering

digunakan untuk menilai batasan kecakapan adalah buku III pasal 1330 BW, yang

menyebut bahwa “ tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, dibawah pengampuan,

serta orang perempuan yang terikat perkawinan”.

Page 20: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 20

Umur juga merupakan salah satu parameter yang digunakansebagai syarat bagi subyek

hukum dari segi kewenangan bertindak, namun kewenangan bertindak tidak bisa di samakan

dengan kecakapan. Dalam beberapa kondisi, seseorang yang mencapai umur tertentu

memiliki kewenangan bertindakdan juga memiliki kecakapan. Namun tidak berarti, bahwa

setiap orang yang mempunyai kewenangan berarti cakap dalam hukum, atau setiap yang

cakap hukum mempunyai kewenangan.

Umur dalam peraturan perundang-undangan yang digunakkonstruktif dan untuk

menentukan kewenangan sangatlah bervariasi. Diantaranya:

Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum perkawinan, sebagaimana termaktub dalam

pasal 7 UU No.1 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan “ perkawinan di izinkan pihak

pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.

5. Teori-Teori Badan Hukum

Dalam ilmu pengetahuan timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang

satu sama yang lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 (lima) macam teori yang

sering dikutip oleh penulis hukum.6

1) Teori Fictie

Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Badan hukum itu

fictie, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada,tetapi orang menghidupkannya

dalam bayangan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum yang

sesungguhny. Dengan kata lain bahwa,adanya badan hukum itu merupakan anggapan

saja ( fictie) yang diciptakan oleh Negara.

2) Teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermoghenstheorie)

Menurut teori ini HANYA manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun,

kata teori ni, ada kekayaan (vermogen)yang bukan merupakan kekayaan sesrang, tetapi

kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang

mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu.

3) Teori Organ

Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang

tidak bersubjek. Tetpai badan hukum adalah suatu orgasme yang riil, yang menjelma

sunguh-sungguh dalam pergaluan hukum,yang dapat membentuk kemauan sendiri

dengan perantara alat-alat yang ada padanya pengurus (pengurus anggota-anggotanya),

seperti manusia biasa yang mempunyai organ [pancaindra] dan sebagainya.

4) Teori pemilikan bersama (Propritie coolectief Theory)

Propritie coolectief Theory disebut juga dengan gezammen-like Eigendoms Theorie.

Teori ini diajarkan oleh planiol,Star-bus-man, dan Molengraaf. Menurut teori ini hak

dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota.

5) Teori kenyataan yuridis (juridische Realiteitsleer theorie)

Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret,riil, walapun

tidak bisa diraba,bukan khayal,tetapi kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh

mejers ini menekan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan

manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

Page 21: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 21

Hukum Perdata:

Hukum Keluarga dan Hukum Perwalian

❖ Uraian mengenai hukum perdata mengenai hukum keluarga (pengertian hukum keluarga, sumber-

sumber hukum keluarga, asas-asas hukum keluarga, ruang lingkup hukum keluarga, hak dan kewajiban

dalam hukum keluarga) dan perwalian (definisi perwalian, asas-asas dan syarat-syarat perwalian,

bentuk-bentuk atau jenis-jenis perwalian, rang yang tidak dapat menjadi wali dan wewenang badan

hukum menjadi wali).

A. Hukum Keluarga

1. Pengertian Hukum Keluarga

Hukum Keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan

keluarga. Jadi, peraturan-peraturan hukum yang ditimbulkan dari adanya hubungan keluarga,

seperti hukum tentang perkawinan, tentang perwalian dan lain-lain.

Sebagaimana yang dikemukakan Ali Afandi pada teks yang ada pada pendahuluan

makalah ini. Ada dua pokok kajian dalam pengertian/definisi hukum keluarga, yaitu

mengatur hubungan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan perkawinan.

Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa orang yang

mempunyai leluhur yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian

keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri

(suaminya).

Tahir Mahmoud mengartikan :”hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang

diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum

diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian,

hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin,

perwalian, dan lain-lain”.

Definisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang

lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama. Ruang lingkup kajian hukum

keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian

mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Definisi ini sangat luas karena mencakup warisan,

padahal di dalam hukum perdata barat, warisan merupakan bagian dari hukum benda.

Pendapat lain disebutkan bahwa hukum keluarga adalah : “Mengatur hubungan hukum yang

timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan

perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian”.

Definisi terakhir ini hanya difokuskan pada peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan

orang tua, dan perwalian yang bersumber dari hukum tertulis, sedangkan hal yang berkaitan

dengan peraturan perkawinan tidak tertulis tidak mendapat perhatian, padahal dalam

masyarakat Indonesia masih mengenal hukum adat, sehingga ketiga definisi diatas perlu

dilengkapi dan disempurnakan. hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum

(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan,

perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian.

Hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1) Hukum keluarga tertulis

2) Hukum keluarga tidak tertulis

Page 22: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 22

Hukum keluarga tertulis adalah kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU,

yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah kaedah-kaedah

hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat

(kebiasaan). Seperti misalnya, marari dalam kehidupan masyarakat sasak. Yang menjadi

kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan,

kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.

2. Sumber-Sumber Hukum Keluarga

Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu,

sumber hukum keluarga tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah

sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundangan, yurisprudensi, dan traktat,

sedangkan sumber hukum keluarga tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan

berikut:

1) Kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata).

2) Peraturan perkawinan campuran (regelijk op de gemengdehuwelijk), Stb. 1898 Nomor

158.

3) Ordonansi perkawinan indonesia, kristen, jawa, minahasa, dan ambon, Stb. 1933

Nomor 74.

4) UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (beragama islam)

5) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

6) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan.

7) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan

Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Di samping itu, yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah inpres Nomor 1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini

hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.

3. Asas-Asas Hukum Keluarga

Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974

ditemukan 5 (lima) asas yang paling prinsip dalam hukum keluarga yaitu:

1) Asas Monogami (pasal 27 BW; pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1974)

Asas Monogami mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2) Asas Konsensual, suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah apabila

teradapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan

melangsungkan perkawinan atau keluarga harus dimintai persetujuanya tentang

perwalian (pasal 28 KUH Perdata; pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974).

3) Asas Persatuan Bulat, suatu asas dimana antara suami isteri terjadi persatuan harta

benda yang dimilikinya (pasal 119 KUH Perdata).

4) Asas Proposional, suatu asas di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan

hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan

masyarakat (pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1874).

Page 23: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 23

5) Asas Tak Dapat Dibagi-Bagi, suatu asas bahwa tiap-tiap perwalian hanya terdapat satu

wali (pasal 331 KUH Perdata). Pengecualian dari asas ini adalah :

a. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama

maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta (pasal 351 KUH

Perdata).

b. Dan jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari

anak dibawah umur diluar Indonesia (pasal 361 KUH Perdata).

Asas-asas itu dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan penegakan hukum

keluarga, khususnya tentang perkawinan. Seperti diketahui bahwa di dalam masyarakat kita

masih banyak yang belum memahami asas-asas yang tercantum dalam hukum keluarga, hal

ini terlihat pada banyak kasus-kasus perkawinan dibawah umur dan banyaknya perkawinan

liar. Akibat dari menonjolnya perkawinan di bawah umur adalah tingginya angka perceraian.

Semakin tinggi angka perceraian, semakin banyak wanita yang menjanda. Akibatnya anak-

anak mereka tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, diharapkan supaya asas-asas dalam

hukum keluarga dapat disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga angka perceraian dapat

ditekan seminimal mungkin.

4. Ruang Lingkup Hukum Keluarga

Apabila kita kaji definisi yang dikemukakan pada pengertian hukum keluarga maka

dapat dikemukakan ruang lingkup kajian hukum keluarga. Ia memuat peraturan tentang:

1) Perkawinan, termasuk hubungan-hubungan yang bercorak hukum harta antara suami-

isteri (huwelijksgoederecht)

2) Hubungan antara orang tua dan anak (ouderlikemacht)

3) Hubungan antara wali dan anak yang diawasi (voogdij)

4) Hubungan antara orang yang diletakkan dibawah pengampuan karena gila atau pikiran

yang kurang sehat atau karena pemborosan, dan pengampunya (curatele)

Namun, menurut Salim HS didalam tulisanya, bahwasanya didalam bagian hukum

keluarga hanya difokuskan pada kajian perkawinan, perceraian dan harta benda dalam

perkawinan karena apabila mengkaji ketiga hal itu, telah mencakup secara singkat tentang

pembahasan kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.

5. Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Keluarga

Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibeda-bedakan menjadi tiga macam,

yaitu:

1) Hak dan kewajiban antara suami-istri;

2) Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya;

3) Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah

mengalami proses penuaan.

Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena

adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 32

sampai pasal 36 UU Nomor1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah

sebagai berikut:

1) Menegakkan rumah tangga.

2) Keseimbangan dalam rumah tangga dan pergaulan masyarakat.

Page 24: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 24

3) Suami istri berhak melakukan perbuatan hukum.

4) Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap.

5) Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan member bantuan

lahir batin yang satu kepada yang lain.

6) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah

tangga sesuai dengan kemampuanya.

7) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka istri dapat mengajukan

gugatan kepada pengadilan.

Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan

pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan

berikut:

1) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anak mereka sebaik-baiknya.

Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45

ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).

2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (pasal 46

ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban yang ketiga disebut dengan alimentasi.

Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap

orang tuanya manakala sudah tua.

3) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (pasal 46

ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).

4) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah

kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).

5) Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1

Tahun 1974).

B. PERWALIAN (Pasal 330 – 418a BW)

1. Definisi Perwalian

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak awliya.

Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak, atau pelindung.(Lihat

Glossary of Islam. Glossary of the Middle East, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul. 22.08

Wib.) Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al-Walayah” (Orang yang

mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai

kekuasaan. (Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT

Raja Grafindo,Jakarta, 2001, hal. 134)

Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak – anak yang di

bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau

kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang – Undang”. (Subekti, Pokok –

Pokok Dari Hukum Perdata,Cet.9, PT. Pembimbing Masa, Makassar, 1953, hal.35)

Menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap

pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum

Pembuktian, Bina Aksara,Jakarta,1997, hal.151)

Page 25: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 25

Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang

diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin

yang tidak berada di bawah kekuasaannya”. (R. Sarjono, Masalah Perceraian. Cet

1,Academika, Jakarta, 1979, hal. 36)

Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah

umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan

anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang – undang. (Arif Masdoeki dan M.H

TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta, 1963, hal. 156)

Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan

mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan

hukum atau “orang yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap

sianak”. (Lihat pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak)

Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk

melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya

telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan

hukum yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak

pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Wahyono Darmabrata dan

Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, cet,2, Penerbit Fakultas

Hukum Indonesia, Jakarta, 2004 hal 147)

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta kekayaan

anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. “Dalam

hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam

pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan

demikian perwalian itu sendiri dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur

tentang hak dan kewajiban wali.” (Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta

Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal

Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis,Sps-USU, Medan

2004, hal.30.)

Menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,

yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.(Lihat

Pasal 50 ayat 1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Perwalian itu

mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.(Lihat Pasal 50 ayat 2

Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Ketentuan ini adalah bertujuan

untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan

perwalian mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum Islam.

Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu perwalian terhadap

anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan

perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk

mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan

pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang

merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si

wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk mengelola

Page 26: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 26

harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian,

mencatat perubahan – perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali

kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu

mengurus diri

sendiri. (Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh

http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. terakhir diakses pada tanggal 12 Maret 2014,

Pukul. 22.27 Wib.) Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja.

Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin lagi, dalam hal mana

suaminya menjadi medevoogd.

Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu,

kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau jikalau ia mempunyai alasan-alasan

menurut undang- undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alasan itu

ialah diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar negeri, jikalau ia

seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah

menjadi wali untuk seorang anak lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang

anak sah atau lebih.

Ada golongan orang-orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu ialah

orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang dibawah curatele, orang

yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini

untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan

anggota – anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat diangkat menjadi wali,

kecuali dari anak – anaknya sendiri. (Subekti, Op.Cit., hal.35-36)

Secara garis besar, menurut KUHPerdata perwalian itu dibagi atas 3 macam yaitu:

1) Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.

Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya

di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak meninggal dan ibu saat itu mengandung,

maka Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang

berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut “Curator Ventris”.

Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan

(BHP) menjadi pengawas. Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum

menjadi wali peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng

terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.

Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat terjadinya

peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua.

Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu

yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu mengakuinyalah yang menjadi

wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata). Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan

bersama – sama maka bapaklah yang menjadi wali.

2) Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan akta

autentik.

Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing yang

melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak

mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia

perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena

Page 27: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 27

putusan hakim seperti termaksud dalam Pasal 353 (5) KUHPerdata. Bagi wali yang

diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai

dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima

pengangkatannya.

3) Perwalian yang diangkat oleh hakim.

Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak diatur dengan cara

yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau

memanggil dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang

diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir

dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian dimulai sejak

diberitahukan kepadanya. (Komariah, Hukum Perdata Edisi Revisi, UMM Press,

Malang,2001 hal, 68-70)

Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974 tentang perkawinan

perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan

kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan

dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU No.1/74).

Kepentingan suatu masyarakat yang teratur menghendaki bahwa setiap orang, yang

karena usianya terlalu muda, memerlukan perlindungan. Bila tidak ada pengawasan dari

orang tua, harus ditetapkan dibawah perwalian.

2. Asas-asas dan Syarat-syarat Perwalian

Dalam pengaturan perwalian dikenal 2 asas, yaitu :

1) Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid)

Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331 B.W). Asas tak dapat

dibagi-bagi (ondeelbaarheid) ini mempunyai perkecualian dalam dua hal, yaitu :

(1) Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup

terlama (langstlevende ouder) jika ia kawin lagi, maka suami barunya demi huum

menjadi wali peserta / wali serta (medevoogd, pasal 351 B.W) sepanjang suami

baru itu tidak dipecat menjadi wali. Medevoogd ini berakhir, jika :

a. Terjadi perpisahan meja dan tempat tidur; atau perceraian atau perkawinan

mereka dibubarkan;

b. Dipecat dari medevoogdig (dipecat jadi wali peserta);

c. Sang Ibu tersebut berhenti menjadi wali.

(2) Jika dirasa perlu, dilakukan penunjukkan seorang pelaksana

pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus harta kekayaan minderjarige (anak

yang belum dewasa) di luar Indonesia berdasarkan Pasa1361 B.W.

2) Asas kesepakatan dari keluarga.

Keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai perwalian. Jika keluarga tidak ada,

maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada pemanggilan pihak keluarga

tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 524 KUHP.

Syarat-syarat untuk berada dibawah perwalian (orang yang wajib ditempatkan dibawah

perwalian), yaitu:

1) Anak masih dibawah umur

Page 28: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 28

Menurut Pasal 330 B.W, yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai

umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan

sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali

berstatus belum dewasa.

2) Perkawinan orang tuanya telah bubar, baik karena cerai hidup atau cerai mati maupun

karena perpisahan meja dan ranjang. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah

kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian (Pasal 330 BW)

3) Anak tersebut telah lahir, maksudnya selama anak masih dlm kandungan ibunya, maka

janin tsb berada dibawah pengampuan balai harta peninggalan (pasal 348 BW). Akan

ttp setelah anak itu lahir maka barulah kmd sang ibu menjadi walinya.

Pasal 348: Jika setelah suami meninggal dunia, isteri menerapkan, atau setelah

dipanggil secara sah untuk itu, mengaku bahwa ia sedang mengandung, maka balai

harta peninggalan harus jadi pengampu atas buah kandungan itu dan wajib mengadakan

segala tindakan yang perlu dan yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus

harta kekayaannya, baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan

semua orang yang berkepentingan. Bila anak itu lahir hidup, ketentuan-ketentuan biasa

tentang perwalian harus diperhatikan.

3. Bentuk-Bentuk atau Jenis-Jenis Perwalian

Bentuk perwalian macam apa tergantung pada cara penunjukan orang2 yang menjadi

wali.

1. Tutela Legitima (Pasal 345 – 354 BW)

Adalah perwalian yang demi hukum oleh bapak atau ibu, maksudnya demi hukum

perwalian tsb dgn sendirinya oleh suami atau istri yang hidup terlama. Jadi orang tua

yang hidup terlama (langstlevende ouder) dengan sendirinya menjadi wali bagi anak

mereka yang masih belum dewasa. Misalnya :

a. perkawinan orang tuanya telah bubar dan salah satu orang tuanya yang menjadi

wali meninggal dunia maka otomatis orang tua yang satunya lagi yang menjadi

walinya.

b. Ayah yang meninggal dunia pada saat istrinya mengandung, maka Balai Harta

Peninggalan lah yang menjadi pengampu (curator) atas anak yang berada dalam

kandungan tersebut. Jika anak itu lahir dalam keadaan hidup maka ibu dengan

sendirinya atau menurut hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan

sebagai pihak pengampu akan menjadi wali pengawas.

c. suami baru dari ibu yang mempunyai anak dibawah umur dari perkawinan

terdahulu, sepanjang suami barunya tersebut tidak dikecualikan atau dipecat

sebagai wali.

d. Pengakuan terhadap anak luar kawin oleh Bapak/Ibu nya. Orang tua yang lebih

dahulu mengakui anaknya maka dianggap sebagai wali akan tetapi apabila

pengakuan tsb dilakukan pada saat yg bersamaan maka bapaklah yang dianggap

sebagai wali. Pengangkatan wali tersebut, baik oleh ibu atau bapak, harus

dilakukan dengan putusan Pengadilan negeri agar sah (Pasal 358 BW). Apabila

ibu maupun ayah tidak dapat menjadi wali maka Pengadilan Negeri harus

menentukan pihak yang diangkat menjadi wali.

Page 29: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 29

Menjadi wali dimulai pada saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian

itu, misalnya kematian salah satu orang tua yang menjadi wali.

2. Tutela Testamentaria (Pasal 355 – 356 BW)

Adalah perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dgn suatu testament atau akta

khusus. Perwalian berdasarkan penunjukan dari salah satu orang tua (tutela

testamentaria). Misalnya : dgn tertamen orang tua yg menjalankan kekuasaan orang

tua/perwalian menunjuk siapa yang akan menjadi wali dari anak-anaknya (badan

hukum tidak dapat menjadi wali). Tutela Testamentaria ini hanya dapat

dilaksanakan apabila :

a. kedudukan dari bapak/ibu yg meninggal dunia tsb (yang membuat testament)

adalah sebagai wali semasa hidupnya dan

b. pada saat ia meninggal dunia maka perwalian tersebut memang masih terbuka,

maksudnya tidak ada pihak orang tua yg lain yg dgn sendirinya dpt menjadi wali

atau tidak ada putusan hakim tentang pengangkatan wali.

Tutela Testamentaria ini tidak berlaku apabila:

a. orang tua yang membuat testament ini semasa hidupnya bukan wali atau bukan

pemangku kekuasaan orang tua (pasal 356 BW).

b. yang ditunjuk menjadi wali adalah badan hukum (Pasal 355 : 2 BW).

Pengangkatan Badan hukum sebagai wali hanya dapat dilakukan berdasarkan

putusan hakim atau diperintahkan oleh hakim (Pasal. 365:1 BW).

Cara pengangkatan Tutela Testamentaria ini harus dilaksanakan berdasarkan surat

wasiat atau akte notaris yang khusus dibuat untuk itu. Apabila dalam Tutela

Testamentaria ditunjuk lebih dari satu wali maka pengangkatan nya harus diurutkan

(Pasal. 353 : 4 BW), maksudnya jika pihak pertama tidak ada atau tidak bisa maka

barulah bisa diangkat yang berikutnya untuk menggantikannya. Demikian

seterusnya. Menjadi wali dimulai pada saat orang tua yang membuat testament

tersebut meninggal dunia dan sesudah wali yang ditunjuk dalam testament

menyatakan menerima pengangkatannya itu.

3. Tutela Davita (Pasal 359 BW)

Adalah perwalian yg berdsrkan penunjukkan hakim (ptsan hakim) a/ diangkat oleh

hakim. Jadi seorang anak yg belum dewasa barada dibawah perwalian apabila ia tdk

dibawah kekuasaan orang tua. Tutela Davita ini terjadi jika :

a. anak dibawah umur (minderjarige) tsb tidak berada dibawah kekuasaan orang

tua;

b. orang tua dari anak yang bersangkutan tidak diketahui keadaan atau tidak

diketahui keberadaannya dimana.

c. orang tua dari anak yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kekuasaan orang

tua atau perwalian.

Oleh karena itu hakim dapat mengangkat “wali sementara” atau tutela davita selama

orang tua atau wali yang sebenarnya belum ada dan berakhir sampai mereka meminta

haknya kembali. Dengan adanya pengangkatan tutela davita maka kekuasaan orang

tua menjadi tertunda. (Ps. 359:6 BW). Hakim akan mengangkat seorang wali setelah

mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah (bloedverwanten) atau

semenda/periparan (aangehuwden). Dalam hal ini Balai Harta Peninggalan dapat

Page 30: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 30

campur tangan dengan mengambil tindakan-tindakan atas diri (persoon) harta

kekayaan minderjarig itu baik sebelum maupun pada saat wali itu baru ditunjuk samai

melakukan perwaliannya (Pasal 359:7) Menjadi wali dimulai pada saat pengangktan,

jika ia hadir dlam pengangkatan tersebut. Apabila ia tidak hadir maka perwalian

dimulai sejak saat pengangkatannya itu diberitahukan kepadanya.

Setiap orang yang diangkat menjadi wali, wajib mengangkat sumpah dihadapan Balai

Harta Peninggalan, kecuali wali yg merupakan badan hukum. (Pasal 362 BW).

4. Orang Yang Tidak Dapat Menjadi Wali (Ps. 379 Bw)

Pada asasnya menurut UU, setiap orang dpt a/ berwenang menjadi wali, kecuali mereka

yang UU telah dikecualikan, sebgmn ditetapkan dalam Pasal 379 B.W mengatur ada 5

golongan orang yang dikecualikan atau yang tidak boleh menjadi wali, yaitu :

1) orang-orang sakit ingatan atau Orang Gila (krankzinnigen);

2) minderjarigen (Orang yang masih dibawah umur);

3) orang yang diletakkan di bawah pengampunan (curatele);

4) mereka yang dipecat atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan orang tua atau haknya utk

dapat menjadi wali / wali pengawas atas penetapan pengadilan;

5) para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecuali atas anak-anak

tiri pejabat2 itu sendiri.

5. Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali

Sehubungan dengan kewewenangan perhimpunan, yayasan, dan lembaga2 sebagai wali

atas penunjukan bapak atau ibu maka dalam pasal 355 (2) B.W dikatakan bahwa badan

hukum tidak boleh diangkat sebagai wali, kecuali jika perwalian itu diperintahkan oleh

Pengadilan. Pasal 365 (1) B.W menyatakan bahwa dalam segala hal apabila hakim harus

mengangkat seorang wali, maka perwalian itu dapat diperintahkan dan diserahkan kepada

perkumpulan yang berbadan hukum atau yayasan-yayasan, atau juga lembaga sosial yg

bertempat berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut bergantung pula pada anggaran dasar,

akte pendirian, atau peraturannya yang memuat aturan2 yg memang bertujuan untuk

memelihara atau mengasuh anak-anak yg masih minderjarig untuk waktu lama (duurzame

verzorging van minderjarigen).

Tugas wali: Pertama, Wali berkewajiban utk mengadakan pencatatan harta benda,

pupilnya, memberi jaminan (hipotik) yg seimbang dengan tanggungjawabnya yang timbul

dari perwaliannya (apabila yang menjadi wali bukan orang tua sendiri): mengurus harta

benda pupilnya secara bapak rumah tangga yg baik. Kedua, Wali tidak dapat tanpa izin hakim

mengasingkan atau dialihkan benda2 tetap; menjual surat2 berharga pupilnya; menerima

warisan atas nama pupilnya kecuali secara benefisiar. Ketiga, Sebelum mulai memegang

perwalian wali datip wajib mengadakan sumpah dimuka hakim. Keempat, Menurut Pasal 383

BW tapi wali berkewajiban mengurus pemeliharaan dan pendidikan anak yang diawasinya

sesuai dengan harta kekayaan anak itu. Kelima, Apabila kekayaan anak tidak mencukupi

untuk membiayai pendidikan anak tersebut, wali tidak diwajibkan untuk menambahnya dari

kekayaannya sendiri, tetapi dapat mengajukan permohonan untuk menjual kekayaan anak itu

untuk dapat membiayai pendidikannya.

Page 31: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 31

Hukum Perdata:

Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum perkawinan (pengertian dan dasar-dasar perkawinan

serta syarat-syarat perkawinan ) dan hukum kewarisan (pengertian ahli waris, syarat – syarat ahli waris,

hak dan kewajiban ahli waris, penggolongan ahli waris dan bagiannya, ahli waris yang tidak berhak

mewaris serta ahli waris pengganti).

A. Hukum Perkawinan

1. Pengertian dan Dasar-Dasar Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

Prof. Mr. Paul Scholten, Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan

seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.

Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam

peraturan hukum perkawinan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah

merujuk pada dasar hukum sebagai berikut:

Pasal 2, (1).Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. (2).Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3, (1).Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2).Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang

apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4, (1).Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan

kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2).Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal

ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang

apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat

cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan

keturunan.

Pasal 5, (1).Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami

mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya

jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang

Page 32: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 32

suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat

menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

Hakim Pengadilan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, Dasar-dasar perkawinan tertulis dalam Bab

II, yaitu: Pasal 2, Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan

pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5, (1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946

jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6, (1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2).

Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai

kekuatan Hukum.

Pasal 7, (1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh

Pegawai Pencatat Nikah., (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata

Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama., (3). Itsbat nikah yang dapat

diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a)

Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c)

Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan

perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e)

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4). Yang berhak mengajukan permohonan

itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang

berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8, Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat

cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak,

khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal 9, (1). Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang

dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2). Dalam hal surat

bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke

Pengadilan Agama.

Pasal 10, Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh

dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

Page 33: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 33

1) Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan

11 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah

satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah

meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada

ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun wanita.

4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin

lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.

5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya.

6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1

Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan

sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan

kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di

mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10

hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan

lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu

antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai

(Pasal 3-5).

(2) Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti,

apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar

khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

(3) Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat

pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang

memuat antara lain:

a. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari

b. tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)

(4) Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua

calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat

dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara

resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan

satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-

masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

2) Sedangkan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), syarat-

syaratnya adalah sebagai berikut:

Page 34: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 34

1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,

yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.

2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.

3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulusetelah

putusnya perkawinan pertama.

4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak.

5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atauwalinya.

6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata).

Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Buktiadanya

perkawinan ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat administrasiyang diperlukan

untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain. Dalam KUHPerdata, pencatatan

perkawinan ini diatur dalam bagian ke tujuh Pasal 100 danPasal 101. Dalam Pasal 100, bukti

adanya perkawinan adalah melalui akta perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil.

Pengecualian terhadap pasal ini yaitu Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan

sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh dengan

meminta pada pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh suatu keterangan apakah ada atau

tidaknya suatu perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.

Lalu menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) syarat perkawinan terdiri dari: Pasal 14,

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d.

Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul.

B. Hukum Kewarisan

1. Pengertian Ahli Waris

Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan

berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah

pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan

darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris bukan ahli

waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada

hak atas benda tertentu tanpa kewajiban. Menurut undang – undang, ada dua cara untuk

mendapatkan warisan, yaitu:

1) Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang

2) Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab

intestato”. Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.

Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga

segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam

suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala

hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.

Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan

sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang

meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta

kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut

undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan

yang sah. Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le

Page 35: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 35

vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang

masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli

waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang

ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si

meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito).

Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut

maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan

dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh

ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu

berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan

tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator

atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak

penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli

waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda

peninggalan.

Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta

warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin

dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian,

dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun. Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan,

dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk

mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna

perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838

KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan

adalah :

1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba

membunuh pewaris;

2) mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah mengadikan

pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;

3) mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat

wasiat;

4) mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.

Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa ada orang-orang yang

berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal,

tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si

meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu serta

saksi-saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang melayani atau dokter

yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian waris dalam

surat wasiat kepada orang-orang mungkin menjadi perantara dari orang -orang ini

(“tussenbiede komende personen”) dapat dibatalkan. Sebagai orang-orang perantara ini oleh

undang-undang diangap anak-anak dan isteri dari orang -orang yang tidak diperbolehkan

menerima warisan dan tastement itu.

Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838

tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai

Page 36: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 36

halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali

dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang

meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga

memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai

suatu “pengampunan” terhadap orang itu.

2. Syarat – Syarat Ahli Waris

Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak

menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami

atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang

hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang

meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya,

sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.

Kemudian menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang

yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang,

sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah.

Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2

KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan

jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan

seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak

mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah

ada.

Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut:

1) mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :

a. hubungan darah (Pasal 832 B.W.)

b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)

2) harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.),

dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 B.W.

3) ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang

menolak harta warisan, adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut

menjadi ahli waris yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab

sebelumnya.

Jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu

pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam

waktu yang sama? Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau

lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau

dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal

terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.

3. Hak dan Kewajiban Ahli Waris

Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk

diketahui hak dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta

peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan

kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa:

Page 37: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 37

1) Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk

mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk

dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).

2) Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang

khusus. Pemberian itu dapat berupa :

a. (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu;

b. (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;

c. hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHperdat).

Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan

undang-undang. Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu

dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.

Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan

hak untuk menentukan sikap:

1) Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu dapat dilakukan secara tegas atau

secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte

yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris

tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut

harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu

dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.

2) Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht van boedel beschriyving

atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan

Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare

ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris

dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan,

dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggunga pembayaran hutang

dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya. Adapun

kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :

a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan

setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa

ia menerima warisan secara beneficiair.

b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.

c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan.

d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk

harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak yang

tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek.

e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang –

orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung

harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang –

barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu

dapat dipenuhi.

f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi.

3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang

berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati

Page 38: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 38

harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada

Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain:

1) memelihara harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan

dibagi.

2) mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.

3) melunasi hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.

4) melaksanakan wasiat jika ada.

4. Penggolongan Ahli Waris Dan Bagiannya

Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris

berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat

wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua

disebut dengan Ahli Waris testamentair.

Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPerdata, dinyatakan bahwa yang

berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup

dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara.

Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak

mewaris itu?

Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4

(empat) golongan ahli waris, yaitu:

Golongan I

Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau

duda. Menurut ketentuan pasal 852 KUHPerdata, anak – anak walaupun dilahirkan dari

perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan

mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang mewaris

sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang dimaksud dengan

pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris, tetapi telah meninggal

terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak

adopsi kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang

mengadopsinya.

Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPerdata, bagian seorang istri (suami) jika ada anak

dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang

meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari perkawinan yang

dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil

dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh lebih dari

seperempat harta warisan.

Yang dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan

ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme portie.

Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPerdata, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris

bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari

perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga

dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu

ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga

perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika

Page 39: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 39

harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus

dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.

Golongan II

Golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan

keturunannya sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPerdata, apabila

seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan

bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara

sebagai berikut :

a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal

itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,

b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang

meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat

lebihnya.

Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPerdata ditentukan bahwa apabila orang yang

meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak

atau ibunya masih hidup, maka:

a. bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya

mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;

b. bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu

mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya ;

c. bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu

mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat tigaperempat lebihnya.

Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian

saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPerdata).

Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak

dan ibu yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama

tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua. Bagian yang

pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu.

Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian

dari garis bapak dan garis ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian

dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang mennggal dunia

itu tidak meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya

masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh warisan

anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)

Golongan III

Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.

Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPerdata apabila orang yang meninggal

dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun

orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.

Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan

nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yug

menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh kepada orang tua

kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian

jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian yang masih hidup. Ahli waris yang

Page 40: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 40

terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya

dengan menyampingkan semua ahli waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus

keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).

Golongan IV

Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh

sampai derajat ke 6 (enam). Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan

keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut

ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPerdata warisan jatuh pada Ahli Waris yang

terdekat pada tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi

berdasarkan bagian yang sama.

Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi.

Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan

untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh

warisan (Pasal 861 KUHPerdata).

Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat

dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada,

maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2

KUHPerdata).

Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak

luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974 hanya

mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan

anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan keluarga sedarah

dari pihak ibunya.

5. Ahli Waris Yang Tidak Berhak Mewaris

Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris

dan karenanya tidak berhak mewaris adalah:

1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh pewaris.

2) mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan

pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman

penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.

3) mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau mencabut surat

wasiatnya.

4) mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris.

Berbeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman

Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu

diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris.

Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:

1) pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah,

Abu Dawud, Am-Masaai.

2) orang yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Bardah.

Page 41: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 41

3) orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam

atau Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah,

At-Tirmidzi.

4) anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang

diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal

1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah

menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris.

Menurut Pasal 1059 KUHPerdata bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli

waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal

1057 KUHPerdata penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan

Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPerdata dinyatakan pula bahwa hak untuk

menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.

Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan

itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPerdata penolakan itu

dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan

dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061

KUHPerdata hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah

itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.

6. Ahli Waris Pengganti

KUHPerdata membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij

plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang memperoleh warisan

berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami

pewaris. Ahli waris “bij plaasvervulling” adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang

berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah

meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-anak ayah yang meninggal itu

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakek.

Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris

yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai

penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang

menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga terjadi pada

keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara

tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa

batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken). Menurut ketentuan pasal

841 KUHPerdata penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk

menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya

untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.

Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPerdata hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah

tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPerdata manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak

terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPerdata

pembagian dilakukan pancang demi pancang.

Page 42: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 42

Hukum Perdata:

Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum perikatan (pengertian hukum perikatan, dasar dan

syarat hukum perikatan, sifat dan unsur-unsur dalam perikatan, sistem pengaturan hukum perikatan,

azas-azas hukum perikatan dan hapusnya perikatan) dan hukum perjanjian (standar kontrak, macam –

macam perjanjian, syarat sahnya perjanjian, pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian serta

pengertian prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak).

A. Hukum Perikatan

1. Pengertian Hukum Perikatan

Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris) Verbintenis

(Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian,

di antaranya:

1) Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi(Dipakai

oleh Subekti dan Sudikno)

2) Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya hubungan

hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi);

3) Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono Prodjodikoro)

Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan

antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain

berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu

akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang

menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam

bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga

(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum

pribadi(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu

hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu

berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan

pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua

orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain

berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.

Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.

Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang

sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan

tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak

mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah

perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak

Perikatan ialah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni

pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga

sebaliknya. Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan terjadi karena:

Page 43: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 43

1) Perjanjian

2) UndangUndang

Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan karena

hukum perjanjian menganutsistimterbuka.

2. Dasar dan Syarat Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :

1) Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).

2) Perikatan yangy timbul dari undang–undang.

3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (

onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ).

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1) Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau

karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat

sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

2) Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

3) Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-

undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan

orang.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syaratyaitu Pasal 1320 KUHPerdata

mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan

tidak ada penipuan)

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; (dewasa, tidak dibawah pengampu)

3) Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)

4) Suatu sebab yang halal; (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan

kesusilaan)

Bagaimana jika Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dilanggar? Suatu perjanjian yang

mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat : 1). sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya dan 2) kecakapan untuk bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut

menjadi batal dengan sendirinya (nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan

untuk dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu :

mengenai 3) segi “suatu hal tertentu” atau 4) “suatu sebab yang halal” adalah batal demi

hukum. Artinya adalah jika dalam suatu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar baru dapat

dibatalkan perjanjian tersbeut setelah ada pihak yang merasa dirugikan mengajukan tuntutan

permohonan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian perjanjian menjadi tidak sah.

Lain hal jika syarat 3 dan 4 yang dilanggar maka otomatis perjanjian tersebut menjadi batal

demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan karena:

1) Dapat dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan dengan alas an

melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1320 KUHPerdata.

2) Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUHPerdata

Page 44: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 44

3. Sifat dan Unsur-Unsur Dalam Perikatan

Sifat Hukum Perikatan, diantaranya:

1) Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak membuat ketentuan

sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang.

2) Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka

perjanjian tersebut telah mengikat.

3) Obligatoir, dalam hal ini sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak

menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya

penyerahan atau levering.

Unsur-unsur perikatan, yaitu:

1) Hubungan hukum (legal relationship)

2) Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)

3) Harta kekayaan (patrimonial)

4) Prestasi (performance)

4. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan

Sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang

bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur

dalam UU. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1

yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan

siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik tertulis

maupun tidak tertulis. Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan

perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan perbuatan

melawan hukum sebagai berikut:

1) Melanggar hak orang lain

2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang dirumuskan dalam UU

3) Bertentangan dengan kesusilaan

4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat, aturan

kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam

bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak

menyelenggarakan kepentinagn sendiri.

5. Azas-Azas Hukum Perikatan

Asas-asas hukum perikatan, sebagai berikut:

1) Asas Konsensualisme

Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320

KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

(3) suatu hal tertentu

(4) suatu sebab yang halal.

Page 45: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 45

Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang

disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

2) Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1)

KUHPdt:

a) Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”

b) Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu

merupakan kehendak bebas para pihak asas-asas hukum perikatan.

3) Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan tersebut memberikan

kebebasan parapihak untuk :

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

d) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan

nasional, yaitu:

1) Asas kepercayaan;

2) Asas persamaan hukum;

3) Asas keseimbangan;

4) Asas kepastian hukum;

5) Asas moral;

6) Asas kepatutan;

7) Asas kebiasaan;

8) Asas perlindungan;

6. Hapusnya Perikatan

Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya

perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal

1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:

1) Pembayaran.

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).

3) Pembaharuan utang (novasi).

4) Perjumpaan utang atau kompensasi.

5) Percampuran utang (konfusio).

6) Pembebasan utang.

7) Musnahnya barang terutang.

8) Batal/ pembatalan.

9) Berlakunya suatu syarat batal.

10) Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan

yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang

berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi, kompensasi, percampuran utang,

Page 46: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 46

pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya

perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan

daluarsa.

Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan

beberapa item yang penting, perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya

sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:

1) Pembayaran.

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 BW

sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan

secara yuridis tekhnis.

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,

pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian

pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa

seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.

Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi.

Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang

membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru

menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi

pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur

yang lama.

2) Konsignasi

Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh

debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika

kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.

3) Novasi

Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan,

dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan,

yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu

novasi atau pembaharuan utang yakni:

Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang

mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi

ini disebut novasi objektif.

Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang

oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).

Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk

menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi

subjektif aktif)

4) Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW.

Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan

saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide:

Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun.

B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi

pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP

Page 47: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 47

untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi

perjumpaan utang.

5) Konfusio

Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437 BW.

Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan

sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam

suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan

krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.

B. Hukum Perjanjian

1. Standar Kontrak

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.

1) Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh

kreditur dan disodorkan kepada debitur.

2) Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik

adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi

dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan.

Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung

dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.

Suatu kontrak harus berisi:

1) Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.

2) Subjek dan jangka waktu kontrak

3) Lingkup kontrak

4) Dasar-dasar pelaksanaan kontrak

5) Kewajiban dan tanggung jawab

6) Pembatalan kontrak

2. Macam – Macam Perjanjian

Diantara macam-macam perjanjian, yaitu:

1) Perjanjian Jual-beli

2) Perjanjian Tukar Menukar

3) Perjanjian Sewa-Menyewa

4) Perjanjian Persekutuan

5) Perjanjian Perkumpulan

6) Perjanjian Hibah

7) Perjanjian Penitipan Barang

8) Perjanjian Pinjam-Pakai

9) Perjanjian Pinjam Meminjam

10) Perjanjian Untung-Untungan

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus

memenuhi empat syarat yaitu :

Page 48: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 48

1) Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai

segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,

artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu

perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan

hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat

pikirannya adalah cakap menurut hukum.

3) Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini

diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal

1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai

suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.

4) Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai

maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak

halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila

atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu

atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

4. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang

membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu

pihak biasanya terjadi karena;

1) Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka

waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

2) Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan

atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.

3) Terkait resolusi atau perintah pengadilan

4) Terlibat hukum

5) Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan

perjanjian

5. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak

Dalam kesempatan kali ini, saya akan menjelaskan pengertian prestasi dan wanprestasi

dalam hukum kontrak.

1) Pengertian Prestasi

Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu

pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah

mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan“term” dan“condition”

sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Model-model dari

prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa:

a) Memberikan sesuatu;

b) Berbuat sesuatu;

c) Tidak berbuat sesuatu.

Page 49: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 49

2) Pengertian Wanprestasi

Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi

atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap

pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang

dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan

ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang

dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi

karena:

a) Kesengajaan;

b) Kelalaian;

c) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure,

yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk

sementara atau selama-lamanya).

Page 50: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 50

Hukum Perdata:

Hukum Benda dan Hukum Pertanahan

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum benda (pengertian benda, pengertian hukum benda,

macam-macam benda dan hak kebendaan, asas-asas kebendaan dan timbul dan terhapusnya hak

kebendaan) dan hukum pertanahan (pengertian agraria, pengertian hukum agraria, pembidangan dan

pokok bahasan hukum agraria, pengertian hukum tanah, hukum dan politik agraria, hak penguasaan

atas tanah, ruang lingkup hak atas tanah serta hukum agraria Indonesia).

A. Hukum Benda

1. Pengertian Benda

Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), benda

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda

tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk benda

bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer.

Prof. Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 61-62),

suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama

karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian

ditentukan oleh undang-undang.

Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena

sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung,

karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan

tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam

tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ

(pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan

pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan

dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk

waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah

tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau

penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.

Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda

yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang

bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan

untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong

benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari

suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan,

surat-surat obligasi negara, dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Frieda Husni Hasbullah (Ibid, hal. 44-45) untuk kebendaan

bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:

1) Benda bergerak karena sifatnya, yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat

dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal

509 KUHPer). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-

Page 51: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 51

perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan

sebagainya (Pasal 510 KUHPer).

2) Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPer) misalnya:

a) Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;

b) Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;

c) Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;

d) Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain.

2. Pengertian Hukum Benda

Dalam kamus hukum disebutkan pengertian hukum benda, yaitu:

Hukum benda adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-

hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan.

Menurut Titik Triwulan Tutik, hukum benda adalah suatu ketentuan yang mengatur

tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak terwujud (immaterial). Hukum harta

kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan: yaitu hukum yang mengatur tentang

hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum ini, melahirkan hak

kebendaan (zakelijk recht) yakni yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang

yang berhak menguasai ssesuatu benda didalam tangan siapapun benda itu. Menurut titik tri

wulan tutik mengemukakan pengertian hukum kekayaan relatif yang merupakan bagian dari

hukum harta kekayaan, yaitu : ketentuan yang mengatur utang piutang atau yang timbul

karena adanya perjanjian. Hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum

perikatan. Yaitu : hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan

seseorang lain. Hubungan hukum ini menimbulkan hak terhadap seseorang atau perseorangan

(personalijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk menuntut

seseorang yang lain untuk berbuay sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Menurut P.N.H.Simanjuntak, hukum benda yaitu Hukum benda adalah peraturan-

peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.

Menurut Prof. Soediman Kartihadiprojo, bahwa hukum kebendaan ialah semua kaidah

hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda.

Menurut Prof. L.J Van Apel Doorn, yaitu hukum kebendaan adalah peraturan mengenai

hak-hak kebendaan.

Menurut Prof Sri Soedewi Masjchoen Sofwan juga mengemukakan ruang lingkup yang

diatur dalam hukum benda itu, sebagai berikut: Apa yang diatur dalam dalam hukum benda

itu? Pertama-tama hukum benda itu mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan

macam-macam benda dan selanjutnya bagran yang terbesar mengatur mengeras macam-

macam hak kebendaan.

3. Macam-macam Benda dan Hak Kebendaan

Pembedaan berbagai macam kebendaan dalam hukum perdata berdasarkan perspektif

kitab undang-undang hukum perdata. KUH perdata membeda-bedakan benda dalam berbagai

macam:

1) Kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak (anroe rende zaken) dan benda

bergerak (roerendes zaken) (pasal 504 KUH perdata).

Page 52: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 52

2) Kebendaan dapat dibendakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh

(luchamelijke zaken) dan benda yang tidak berwujud atau berubah (onlichme Lijke

Zaken) (pasal 503 KUH perdata).

3) Kebendaan dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken)

atau tak dapat dihabiskan (pasal 505 KUH perdata).

Pembedaan kebendaan demikian ini diatur dalam pasal-pasal 503,504 dan 505 KUH

perdata yang berbunyi sebagai berikut: (pasal 503, tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh/ tidak

bertubuh), (pasal 504, tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tidak bergerak, satu sama lain

menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut), (pasal 505, tiap-tiap kebendaan

bergerak adalah dapat dihabiskan/tak dapat dihabiskan kebendaan terlepas dn benda-benda

sejenis itu, adalah kebendaan bergerak). Selain itu, baik didalam buku I dan buku II KUH

Perdata, kebendaan dibedakan atas benda yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan benda

yang baru akan ada (taekomstige zaken) (pasal 1134 KUH Perdata) dibedakan lagi atas

kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan benda diluar perdagangan (zaken

buiten de handel) (pasal 1332 KUH Perdata), kemudian kebendaan dibedakan lagi benda

yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken)

(pasal 1163 KUH Perdata), serta akhirnya kebendaan dibedakan atas benda yang dapat

diganti (vervangbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (onvervange zaken) (pasal

1694 KUH Perdata). Pembedaan benda yang sangat penting yaitu pembedaan atas benda

bergerak dan tidak bergerak serta benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Pembedaan

macam kebendaan berdasarkan totalitas bendanya:

Didasarkan kepada ketentuan dalam pasal 500 dan pasal 501 KUHPerdata yang

menyatakan sebagai berikut:

Pasal 500 KUHPerdata: “Segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam

sesuatu kebendaan sepertipun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun

hasil karena pekerjaan orang lain, selama yang akhir-akhir ini melekat paada kebendaan itu

laksana dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari pada kebendaan

tadi”

Pasal 501: “Dengan tak mengurai ketentuan-ketentuan istimewa menurut undang-

undang atau karena perjanjian tiap-tiap hasil perdata adalah bagian dari pada sesuatu

kebendaan, jika dan selama hasil itu belum dapat ditagih”.

Dari pasal-pasal diatas benda dapat dibagi menjadi benda pokok (utama) dan benda

perlekatan. Benda pokok adalah benda yang semula telah dimiliki oleh seseorang tertentu,

sedangkan benda perlekatan adalah setiap yang:

1) karena perbuatan alam;

2) karena perbuatan manusia;

3) karena hasil perdata yang belum dapat ditagih.

Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan

undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Ada tiga golongan benda tak

bergerak, yaitu:

1) Benda menurut sifatnya tak bergerak dapat dibagi menjadi 3 macam :

a) Tanah

Page 53: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 53

b) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta

bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik, dan

sebagainya)

c) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah, yaitu

karena tertanam dan terpaku seperti tanaman.

2) Benda yang menurut tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tak bergerak,

yaitu:

a) Pada pabrik; segala macam mesin-mesin katel-katel dan alat-alat lain yang

dimaksudkan supaya terus-menerus berada disitu untuk digunakan dalam

menjalankan pabrik.

b) Pada suatu perkebunan; segala sesuatu yang dapat digunakan rabuk bagi tanah,

ikan dalam kolam dan lain-lain.

c) Pada rumah kediaman; segala kacak, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat

untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding, sarang

burung yang dapat dimakan (walet).

d) Barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna

untuk mendirikan lagi bangunan itu.

3) Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak, yaitu:

a) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti : hak

opstal, hak hipotek, hak tanggungan dan sebagainya).

b) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK).

Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan

dalam undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Ada 2 golongan benda bergerak,

yaitu:

1) Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat dipindah atau

dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain. Misalnya : kendaraan (seperti : sepeda,

sepeda motor, mobil); alat-alat perkakas (seperti : kursi, meja, alat-alat tulis).

2) Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak adalah segala

hak atas benda-benda bergerak. Misalnya : hak memetik hasil, hak memakai, hak atas

bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang, hak menuntut dimuka pengadilan

agar uang tunai atau benda-benda beregerak diserahkan kepada seseorang

(penggugat), dan lain-lain.

Perbedaan mengenai benda bergerak dan benda tak bergerak tersebut penting artinya,

karena adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda

tersebut, misalnya: pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:

1) Mengenai hak bezit; Untuk benda bergerak yang menentukan, barang siapa yang

menguasai bendaa bergerak dianggap ia sebagai pemiliknya.

2) Mengenai pembebanan (bezwaring); Terhadap benda bergerak harus digunakan

lembaga jaminan gadai (pand). Sedangkan benda tak bergerak harus digunakan

lembaga jaminan hyphoteek. (pasal 1150 dan pasal 1162 BW).

3) Mengenai penyerahan (levering); Pasal 612 BW menetapkan bahwa penyerahan

benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Sedangkan benda tak

bergerak, menurut pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar

umum.

Page 54: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 54

4) Mengenai kedaluarsa (verjarinng); Terhadap benda bergerak tidak dikenal daluarsa,

sebab bezti sama dengan eigendom. Sedangkan benda tak bergerak mengenai

kadaluarsa. Seseorang dapat mempunyai hak milik karena lampaunya 20 tahun

(dalam hal ada alas yang sah) atau 30 tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang

disebut dengan “acquisitive verjaring”.

5) Mengenai penyitaan (beslag); Revindicatior beslag adalah penyitaan untuk menuntut

kembali suatu benda bergerak miliknya pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan

orang lain.

Benda yang musnah: Sebagaimana diketahui, bahwa objek hukum adalah segala

sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu

hubungan hukum. Maka benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan

benda-benda itu terletak pada kemusnahannya. Misalnya : makanan dan minuman, kalau

dimakan dan diminum (artinya musnah) baru memberi manfaat bagi kesehatan.

Benda yang tetap ada: Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam

pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu musnah, tetapi memberi manfaat bagi

pemakaiannya. Seperti : cangkir, sendok, piring, mobil, motor, dan sebagainya.

Benda yang dapat diganti dan benda yang tak dapat diganti: Menurut pasal 1694, BW

pengambilan barang oleh penerima titipan harus in natura, artinya tidak boleah diganti oleh

benda lain. Oleh karena itu, maka perjanjian pada penitipan barang umumnya hanya

dilakukan mengenai benda yang tidak musnah. Bilamana benda yang dititipkan berupa uang,

maka menurut pasal 1714 BW, jumlah uang yang harus dlkembalikan harus dalam mata uang

yang sama pada waktu dititipkan, baik mata uang itu telah naik atau turun nilainya. Lain

halnya jika uang tersebut tidak dititipkan tetapi dipinjam menggantikan, maka yang

menerima pinjaman hanya diwjibkan mengembalikan sejumlah uang yang sama banyaknya

saja, sekalipun dengan mata uang yang berbeda dari waktu perjanjian (pinjam mengganti)

diadakan.

Benda yang diperdagangkan: Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang

dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian. Jadi semua benda yang dapat dijadikan pokok

perjanjian dilapangan harta kekayaan termasuk benda yang dipertahankan.

Benda yang tak diperdagangkan: Benda yang tak diperdagangkan adalah benda-benda

yang tidak dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjin dilapangan harta kekayaan.

4. Asas-asas Kebendaan

Asas-asas kebendaan, yaitu:

a. Asas individualitas. Yaitu objek kebendaan selalu benda tertentu, atau dapat

ditentukan secara individual, yang merupakan kesatuan. Hak kebendaan selalu

benda yang dapat ditentukan secara individu. Artinya berwujud dan merupakan satu

kesatuan yang ditentukan menurut jenis jumlahnya. Contoh: rumah, hewan.

b. Asas totalitas. Yaitu hak kebendaan terletak diatas seluruh objeknya sebagai satu

kesatuan. Contoh: seorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah

pemilik jendela, pintu, kunci, dan benda-benda lainnya yang menjadi pelengkap dari

benda pokoknya (tanah).

c. Asas tidak dapat dipisahkan.Yaitu orang yang berhak tidak boleh memindah

tangankan sebagian dari kekuasaan yang termasuk hak kebendaan yang ada

Page 55: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 55

padanya. Contoh: seseorang tidak dapat memindah tangankan sebagian dari

wewenang yang ada padanya atas suatu hak kebendaan, seperti memindahkan

sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah

harus utuh, karena itu pemindahannya harus juga utuh.

d. Asas publisitas. Yaitu hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan di

daftarkan dalam register umum. Contoh: pengumunam status kepemilikan suatu

benda tidak bergerak (tanah) kepada masyarakat melalui pendaftaran dalam buku

tanah/ register.sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan

nyata benda itu.

e. Asas spesialitas. Dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual

harus ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Contoh Asas ini terdapat

pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap.

f. Asas zaaksvelog atau droit de suit (hak yang mengikuti), artinya benda it uterus

menerus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang

itu berada.

g. Asas accessie/asas pelekatan. Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang

melekat menjadi satu dengan benda pokok. Contohnya: hubungan antara bangunan

dengan genteng, kosen, pintu dan jendela. Menurut asas ini pemilik benda pokok

dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain

status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok.

h. Asas zakelijke actie. Adalah hak untuk menggugat apabila terjadi gangguan atas hak

tersebut. Misalnya: penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-

gangguan atas haknya, gugatan untuk memulihkan secara semula, gugatan untuk

menuntut ganti rugi, dll.

i. Asas hukum pemaksa (dewingen recht). Bahwa orang tidak boleh mengadakan hak

kebendaan yang sudah diatur dalam UU. Aturan yang sudah berlaku menurut UU

wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak.

j. Asas dapat dipindah tangankan. Yaitu semua hak kebendaan dapat dipindah

tangankan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindah tangankan ( seperti

hak pakai dan hak mendiami) tetapi setelah berlakunya undang-undang hak atas

tanah UUHT, semua hak kebendaan dapat dipindah tangankan.

5. Timbul dan Terhapusnya Hak Kebendaan

Timbulnya hak kebendaan:

a. Pendakuan (toeeigening), Yaitu memperoleh hak milik atas benda-benda yang tidak

ada pemiliknya (res nullius). Res nullius hanya atas benda bergerak. Contohnya:

memburu rusa di hutan, memancing ikan dilaut, mengambil harta karun, dll.

b. Perlekatan (natrekking), yaitu suatu cara memperoleh hak milik, dimana benda itu

bertambah besar atau berlipat ganda karena alam. Contoh: tanah bertambah besar

sebagai akibat gempa bumi, seseorang membeli seekor sapi yang sedang bunting

maka anak sapi yang dilahirkan dari induknya itu menjadi milinya juga, pohon

berbuah, dll.

c. Daluarsa (verjaring), yaitu suatu cara untuk memperoleh hak milik atau

membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas

Page 56: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 56

syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang (pasal 1946 KUH Perdata).

Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu

sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh

setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang

bersangkutan.

d. Melalui penemuan. Benda yang semula milik orang lain, akan tetapi lepas dari

penguasanya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang

menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi

pemilik barang yang ditemukannya.

e. Melalui penyerahan. Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui

penyerahan. Contoh: jual beli, sewa menyewa. Dengan adanya penyerahan maka

title berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.

f. Pewarisan, yaitu suatu proses beralihnya hak milik atau harta warisan dari pewaris

kepada ahli warisnya. Pewarisan dapat dibedakan menjadi dua macam: karena UU

dan wasiat

g. Dengan penciptaan. Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang

sudah ada maupun baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya

tersebut. Contoh: orang yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi

pemilik patung itu. Demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten,

dan hak cipta.

Hapusnya hak kebendaan

a. Bendanya lenyap/ musnah. Karena musnahnya suatu benda, maka hak atas benda

tersebut ikut lenyap. Contohnya: hak sewa atas rumah yang habis/musnah tertimbun

longsor. Hak gadai atas sebuah sepeda motor ikut habis apabila barang tersebut

musnah karena kebakaran.

b. Karena dipindah tangankan. Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi

hapus bila benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.

c. Karena pelepasan hak (pemilik melepaskan benda tersebut). Pada umumnya

pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh yang memiliki hak

tersebut.

Contohnya: radio yang rusak dibuang ke tempat sampah. Dalam hal ini, maka hak

kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan

radio tersebut.

d. Karena pencabutan hak. Penguasa public dapat mencabut hak kepemilikan seseorang

atas benda tertentu, dengan syarat: harus didasarkan undang-undang, dilakukan

untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak).

B. Hukum Pertanahan

1. Pengertian Agraria

Istilah Agraria berasal dri kata Akker ( Bahasa Belanda ), Agros (Bahasa Yunani)

berarti tanah pertanian, Agger (Bahas Latin) berarti tanah atau sebidang tanah,Agrarius

(Bahasa Latin) berarti perladangan,persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti

tanah untuk pertanian.

Page 57: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 57

1) Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada di dalam dan

diatasnya

2) Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa

yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah misalnya batu, kerikil,

tambang, sedangkan yang ada diatas tanah berupa tanaman, bangunan.

Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi berikut :

1) Bumi; Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi,

termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.

2) Air; Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada diperairan

pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah Indonesia

3) Ruang Angkasa; Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah

ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia.

Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA ruang diatas bumi dan air yang

mengandung tenaga dan unsur – unsur yang dapat digunakan untuk usaha – usaha

memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya.

4) Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; Kekayaan alam yang terkandung

didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur – unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih

dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan –

endapan alam.

2. Pengertian Hukum Agraria

Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum Agraria adalah Keseluruhan kaidah-

kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan

Mustofa menjabarkan kaidah hokum yang tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk

hokum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat negara,

sedangkan kaidah hokum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hokum

Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adapt setempat dan yang pertumbuhan,

perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang

bersangkutan. Boedi Hasono menyatakan Hukum Agraria merupakan satu kelompok

berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-

sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agrarian. Kelompok berbagai bidang

hokum tersebut terdiri atas:

1) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan

bumi

2) Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air

3) Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan penguasaan atas bahan –

bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan

4) Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang

terkandung dadalam air

5) Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam ruang Angkasa mengatur

hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsure-unsur dalam ruang angkasa yang

dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA

Page 58: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 58

3. Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria

Secara garis besar Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua

bidang yaitu;

1) Hukum Agraria Perdata

Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan

dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan

perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah.

2) Hukum Agraria Administrasi

Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat

dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-

masalah agrarian yang timbul sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia

Belanda (Indonesia) terdiri atas lima perrangkat hukum, yaitu :

1. Hukum Agraria Adat

2. Hukum Agraria Barat

3. Hukum Agraria Administratif

4. Hukum Agraria Swapraja

5. Hukum Agraria Antar Golonga

Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut setelah negara Indonesia merdeka, atas

dasar pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih

berlaku selama belum diadakan yang baru.

4. Pengertian Hukum Tanah

Dalam ruang lingkup agrarian tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut

permukaan bumi, dalam pasal 4 ayat (1) UUPA atas dasar hak menguasai dari negara sebagai

yang dimaksud pasal 2 ditentukan adanya macam-macamhak atas permukaan bumi yang

disebut tanah. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan hak atas

tanah adalah hak atas sebgian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua

dengan ukuran panjang dan lebar. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah

maksudnya Hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi

pemegang haknyauntuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hokum tanah nasional adalah :

1) Hak bangsa Indonesia atas tanah

2) Hak menguasai dari negara atas tanah

3) Hak ulayat masyarakat hokum adapt

4) Hak perseorangan meliputi ;

a) Hak-hak atas tanah

b) Wakap tanah hak milik

c) Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)

d) Hak milik atas satuan rumah susun

Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik tertulis maupun

tidak tertulis yang semuanya mempunyai ibjek pengaturan yang sama yaitu hak-hak

penguasan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang

konkret, beraspek public dan privat yang dap[at disusun dan dipelajari secara sistematis

hingga keseluruhannya menjadi saqtu kesatuan yang merupakan satu sistem.

Page 59: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 59

Ada dua macam asas dalam Hukum tanah, yaitu :

1) Asas Accessie atau Asas Perlekatan

Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu

kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian daari tanah yang bersangkutan

2) Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal

Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupkan bagian

dari tanah. Hak atas tanah tidak deengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan

tanaman yang ada diatasnya.

5. Hukum Dan Politik Agraria

Dari segi berlakunya Hukum Agraria di Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu :

1) Hukum Agraria Kolonial, yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku

sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 september 1960.

2) Hukum Agraria Nasional, yang berlaku setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal

24 september 1960.

❖ Hukum Agraria Kolonial

Bahwa Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan

tujuan dan sendi-sendi pemerintahan Hindia Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut

diantaranya :

1) Pada masa pemerintahan dipegang oleh Gubernur Herman Willem Daendles (1800-

1811) telah menetapkan kebijaksanaan yaitu menjual tanah-tanah rakyat Indonesia

kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual itu

dikenal dengan sebutan tanah partikelir

2) Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stanford Raffles telah menetapkan

Landrent atau Pajak tanah. Pemilikan tanah di daerah swapraja di jawa disimpulkan

bahwa semua tanah milik raja, sementara rakyat hanya sekedar menggarap dan rakyat

wajib membayar pajak kepada raja inggris.

3) Pada masa pemerintahan gubernur Johanes Van den Bosch tahun 1830 telah

menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan system Tanam Paksa atau

Cultuur Stelsel, yaitu petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu

yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasr internasiaonal

pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintahan colonial

tanpa mendapatkan imbalan apa pun

4) Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55 yaitu berlakunya politik

monopoli (politik colonial konservatif) dihapuskan dan digantikan dengan politik

liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri di bidang usaha pengusaha diberikan

kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya dibidang pertanian

di Indonesia.

Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya

hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat,sifat dualisme tersebut meliputi bidang-

bidang:

1) Hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria barat,

hokum agrarian adat, hukum agraria swapraja, hukum, hokum agrarian administrative

dan hukum agrarian antar golongan

Page 60: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 60

2) Hak atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur dalam KUH

Perdata, hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat, hak atas tanah yang

merupkan ciptaan pemerintah swapraja, hak atas tanah yang merupakan ciptaan

pemerintah hindia belanda

3) Hak Jaminan atas tanah

4) Pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah tanah atas tanah-tanah

yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti

berupa sertifikat.

Politik agraria yang dimaksudkan disini adalah kebijaksanaan agraria, politik agraria

adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara,

mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat,mengurus dan membagi

tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kesejahteraan rakyat dam negara.

Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische wet yaitu :

1) Tujuan Primer yaitu memberikan kesempatan kepada pihak swasta mendapatkan

bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang

sewa yang murah

2) Tujuan Sekunder, melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya dalam

perjalanan berlakunya agrarische wet terjadi penyimpangan terhadaptujuan

sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik orang Bumi Putera langsung

kepada orang-orang belanda atau Eropa lainnya.

Menurut Imam Soetikno stuktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria

kolonial apabila :

1) Dipandang dari sudut hukumnya, tidak ada kesatuan hukum.

2) Dilihat dari sudut subjeknya, tidak ada kesamaan status subjek

3) Dilihat dari yang menguasai tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara

manusia dengan tanah

4) Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan

tanah

5) Dilahat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum

❖ Hukum Agraria Nasional

UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam pasal 33 ayat

(3) nya yaitu“Bumi, air, dan kekeyaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini

bersifat imperative yaitu mengandung perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu

dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria

colonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu

1) Menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru

2) Penghapusan hak-hak konversi

3) Penghapusn tanah partikelir

4) Perubahaan peraturan persewaan tanah rakyat

5) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah

6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan

Page 61: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 61

7) Kenaikan canon dan cijn

8) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa ijin

9) Peraturan perjanjian bagi hasil(tanah pertanian)

10) Pengalihan tugas dan wewenang agraria

❖ Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional

Menurut Notonagoro, Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan

Hukum Agraria nasional, adalah:

1) Faktor Formal, yaitu Keadaan hukum agraria di Indonesia sebelum diundangkannya

UUPA merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu, berdasarkan pada

peraturan-peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-peraturan

peralihan yang terdapat dalam pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)

1950, pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan pasal 2 Aturan

peralihan UUD 1945.

2) Faktor Material, yaitu Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme hukum yang

meliputi hukum subjek maupun objeknya menurut hukumnya disatu pihak berrlaku

Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, dipihak lain berlaku Hukum

Agraria adat yang diatur dalam hukum adat. Oleh karena itu setelah Indonesia

merdeka, maka sifat dualisme hokum agraria colonial ini harus diganti dengan sifat

unifikasi (kesatuan) hukum yang berlaku secara nasional.

3) Faktor Ideal. Dari factor ideal (tujuan negara) sudah tentu tujuan Hukum Agraria

kolonial tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam alinea IV

Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya. Hukum Agraria kolonial dibuat untuk kepentingan

pemerintah Hindia Belanda, Eropa, Timur asing, sedangkan Hukum Agraria nasional

dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

Indonesia. Untuk itu Hukum Agraria kolonial harus diganti dengan Hukum Agraria

Nasional yang diarahkan kepada terwujudnya fungsi bumi, air, dan kekayaan

alamyang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Indonesia.

4) Faktor Agraria Modern. Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan-

lapangan : Lapangan Sosial, ekonomi, etika,idiil fundamental factor-faktor inilah yang

mendorong agar dibuat Hukum Agraria Nasional

5) Faktor Ideologi Politik. Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai keterkaitan

hidup dengan negara-negara lain. Dalam menyusun Hukum Agraria nasional boleh

mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945.

❖ Sejarah Penyusunan Undang-undang Pokok Agaria

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria nasional yang akan

menggantikn Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 sudah

dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun

Undang-undang Agraria. Setelah melalui rangkaian yang cukup panjang maka baru pada

tanggal 24 september 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria nasional, yang

dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Page 62: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 62

Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dapat

dijelaskan sebgai berikut :

1) Panitia Agraria Yogya. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun

1948 tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di yogyakarta diketuai oleh Sarimin

Reksodihardjo, kepala bagian agraria kementrian dalam negeri.

2) Panitia Agraria Jakarta. Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan

Presiden No. 36 Tahun 1951 tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk Panitia

Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih Praptodiharjo

3) Panitia Soewahjo.Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1Tahun 1956 tanggal 14

januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta

yang diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris Jendral Kementrian Agraria

4) Rancangan Soenarjo. Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika

dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo oleh Menteri

Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958.

5) Rancangan Sadjarwo. Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali

kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR

beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat

Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan

dengan UUD 1945.

❖ Undang-undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Agraria Nasional

UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (33) UUD 1945 sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air, dan ruang

angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasai oleh Negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dengan berlakunya

UUPA maka mempunyai dua substansi yaitu pertama tidak memberlakukannya lagi atau

mencabut Hukum Agraria colonial, dan kedua membangun Hukum Agraria nasional.

UUPA merupakan Undang-undang yang didalamnya memuat program yang dikenal

Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :

1) Pembaruan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan

pemberian jaminan kepastian hokum

2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah

3) Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur

4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hokum

yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan

kemakmuran dan keadilan yang kemudian dikenal dengan Landreform

5) Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya serta penggunaan secara terencana.

❖ Peraturan dan Keputusan yang dicabut oleh Undang-undang Pokok Agraria

Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap peraturan dan

keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Adapun peraturan dan

keputusan yang dicabut UUPA, yaitu :

1) Agrarische wet Stb. 1870 No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS Stb. 1925

No. 447.

Page 63: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 63

2) Peraturan-peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat umum maupun

khusus

3) Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) tanggal 16 april 1872

4) Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi,air,serta kekayaan

alam yang terkandung didalamnya

❖ Tujuan Undang-undang Pokok Araria

Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria nasional dimuat dalam

penjelasan umum UUPA, yaitu :

1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasioanl, yang merupakan

alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan

rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakatyang adil dan makmur.

2) Melatakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan

3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas

tanah bagi rakyat seluruhnya

❖ Asas-asas dalam Undang-undang Pokok Agraria

Dalam UUPA dimuat 8 asas dari hokum Agraria nasional, asas –asas ini harus

menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, 8 asas tersebut

temasuk adalah :

1) Asas Kenasionalan, bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari

seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh bumi,air

dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai

karunia tuhan yang maha esa dan merupakan kekayan nasional

2) Asas pada tingkatan tertinggi, bumi ,air, ruang angkasa dan kekayaan alam

yang dapat terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

3) Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas

persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan

4) Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, hak atas tanah apapun yang ada

pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan semata-

mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat

5) Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah, bahwa hak

milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang

asing maka batal demi hukum

6) Asas persamaan bagi seluruh warga negara Indonesia

7) Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya

sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan

8) Asas tataguna tanah / penggunaan tanah secara berencana

❖ Undang-undang Pokok Agraria Didasarkan Atas Hukum Adat

Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hokum maka Hukum Adat tentang

tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum adapt dijadikan dasar

dikarenakan hokum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga Hukum

Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum

Agraria nasional. Asas-asas/konsepsi hukum adat yang diambil sebagai dasar:

Page 64: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 64

1) Menurut konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam seperti

tanah mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan alam itu merupakan kekayaan

yang dianugerahkan tuhan kepada masyarakat hokum adapt

2) Didalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat

merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi wewenang dan kewajiban

untuk menguasai, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam

lingkungan wilayah hak ulayat tersebut

3) Didalam konsepsi hokum adat disamping ada hak masyarakat Hukum Adat yaitu hak

ulayat juga ada hak perseorangan atas tanah yang diakui

4) Dalam masyarakat Hukum Adat terdapat asas gotong royong, setiap usaha yang

menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilakukan melalui gotong

royong

5) Asas lain yang terdapat dalam Hukum Adat adalah ada perbedaan antara warga

masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dalam penguasaan, penggunaan

kekayaan alam.

6. Hak Penguasaan Atas Tanah

Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi

dibawahnya serta yang diberada dibawah air. Pengertian “Penguasaan” dapat dipakai dalam

arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan beraspek public. Penguasaan

dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan

pada umumnya memberi kewenangan pada pemegang hak untuk menguasai secara fisik

tanah yang dihaki. Menurut Oloan Sitorus kewenangan negara dalam bidang pertanahan

sebagai mana yang dimaksud pasal 2 ayat (2) UUPA diatas merupakan pelimpahan tugas

bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang

merupakan kekayaan nasioanal. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat

adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang

berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Menurut Boedi Harsono Hak ulayat hukum adat dinyatakan masi apabila memenuhi 3

unsur :

1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat

tertentu yang merupakan suatu masyarakat hukum adat

2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hokum adapt tersebut yang

disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “lebensraum”nya

3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga

masyarakat hokum adapt yang bersangkutan melakukan kegiatanya sehari-hari

sebagai pelaksana hak ulayat

Wakaf Tanah hak milik diatur dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yaitu perwakafan tanah

milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Menurut pasal 1 ayat (1) PP No. 28

Tahun 1977 yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan

hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Page 65: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 65

Yang dimaksud dengan rumah susun menurut pasal 1angka 1 UU No. 16 Tahun 1985,

adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi

dalam bagian-bagian yang terstrukturkan secara fungsioanl dalam arah horizontal maupun

vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan

secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama benda

bersama, dan tanah besama. Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun

menurut pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU No.16 Tahun 1985,adalah Hak milik atas satuan

yang bersifat perseorangan dan terpisah , meliputi juga hak atas bagian bersama tanah

bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang

bersangkuutan

7. Ruang Lingkup Hak Atas Tanah

Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan

kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekolompok

orang bersama-sama, dan badan hokum baik badan hokum privat maupun badan hokum

publik. Macam-macam hak tanah dimuat dalam pasal 16 jo.pasal 53 UUPA, yang

dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu :

1) Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetapadaselama

UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam-

macam hak atass tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut

Hasil Hutan

2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh undang-undang, yaitu hak atas tanah yang

akan lahirkemudian yang akan ditetapkan undang-unddang

3) Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara,

dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat

pemerasan, mengandung sifat feudal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-

macam tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak

Sewa Tanah Pertanian

Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu :

1) Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah

negara seperti : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Atas Tanah

Negara, Hak Pakai Atas Negara

2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah

pihak lain, seperti : Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna

Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai

Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Bagi Hasil, Hak

Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian.

Hak Milik

Pengerian Hak Milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah Hak turun temurun,

terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan

dalam pasal 6. Turun temurun artinya Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama

pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat

dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat

Page 66: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 66

artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain

tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan

tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada

pemiliknya paling luas bila dibandingkan hak atas tanah yang lain.

Subjek Hak Milik. Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik menurut

UUPA dan peraturan pelaksanaanya adalah :

1) Perseorangan, yaitu Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik

( pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya

berkewarganegaraan Indonesia yang dapat mempunyai tanah hak milik

2) Badan-badan Hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hokum yang dapat

mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (pasal 21 ayat (2) UUPA) yaitu Bank-

bank yang didirikan oleh negara (bank negara), Koperasi pertanian, badan keagamaan

dan badan social

Hak Guna Usaha

Pengertian Hak Guna Usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA adalah Hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana

tersebut dalam pasal 29,guna perusahaan, pertanian atau peternakan.

Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas

maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hokum luas minimalnya 5 hektar dan luas

maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Jangka Waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu untuk petama kalinya paling

lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 35 tahun (pasal 29

UUPA) sedangkan pasal 8 PP No. 40 tahun 1996 mengatur jangka waktu 35 tahun

diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun.

Hak Guna Bangunan

Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA yaitu Hak untuk mendirikan

dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu

paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.

Jangka Hak Guna Bangunan

Menurut pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak

guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :

1) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak guna bangunan ini berjangka waktu

pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan

dapat perbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun

2) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan ini

berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun dapat diperpanjang selama 20

tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun

3) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini berjangka

waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu. Namun atas

kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak guna bangunan dapat di perbaharui

dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan

wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat

Hapusnya Hak Guna Bangunan. Berdasarkan pasal 40 UUPA Hak Guna Bangunan

hapus karena:

Page 67: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 67

1) jangka waktunya berakhir;

2) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipen uhi;

3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

4) dicabut untuk kepentingan umum;

5) diterlantarkan;

6) tanahnya musnah;

7) ketentuan dalam pasal 36 ayat (2)

Hak Pakai

Penertian Hak Pakai. Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan

HP adalah Hak untuk mengguanakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai

langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban

yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa

menyewa atau perrjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentengan dengan

ketentuan UUPA

Jangka Waktu Hak Pakai. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas

berapa lama jangka waktu hak pakai. Dalam PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak pakai

diatur pada pasal 45sampai dengan 49 yaitu :

1) Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali

paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jagka waktu paling lama 20 tahun,

dan dapat diperbaharui untuk paling lama 25 tahun

2) Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak pakai ini berjangka waktu untuk

pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk paling lama 20 tahun,

dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.

3) Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Hak Pakai ini diberikan untuk paling lama 25 tahun

dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan

pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan

akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten.

Hak Sewa Untuk Bangunan

Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan menurut pasal 44 ayat (1) UUPA adalah Hak

yang dimiliki seseorang atau badan hokum untuk mendirikan dan mempunyai bangungan

diatas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam

jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk

bangunan.

Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara

Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam pasal

16 ayat (1) huruf h UUPA yang meliputi Hak Gadai (gadai tanah), Hak Usaha Bagi Hasil

(perjanjian bagi hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Macam-macam Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara dapat dijelaskan sebagai berikut :

Hak Gadai

Bahwa Pengertian Hak Gadai menurut Boedi Harsono, adalah Hubungan hukum antara

seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya.

Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai dalam Hukum Perdata Barat adalah Hak gadai

merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan

Page 68: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 68

dengan tanah sebagai jaminan, objek hak gadai adalah tanah. Sedangkan objek perjanjian

pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Perbedaan antara

hak gadai dengan gadai menurut hokum perrdata barat adalah pada hak gadai terdapat satu

perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanahpertanian oleh orang yang

memberikan uang gadai, sedangkan Gadai menurut hokum perdata barat terdapat dua

perbuatan hokum yang berupa perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok

dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan. Ciri-ciri Hak Gadai menurut hukum adat

adalah sebagai berikut :

1) Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa

2) Pemegai gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya

3) Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera di tebus.

Sifat pemerasan dalam Hak Gadai Hak gadai disamping mempunyai unsur tolong

menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik tanah tidak dapat

menebus tanahnya, tanahnya tetap dikuasai oleh pemegang gadai.

Hak Usaha Bagi Hasil

Menurut Boedi Harsono yang dimaksud Bagi Hasil adalah Hak seseorang atau badan

hukum (yang di sebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah

kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi

antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya. Sifat-sifat dan

Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil menurut Boedi Harsono adalah :

1) Perjanjian bagi hasil waktunya terbatas

2) Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin pemilik

tanahnya

3) Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang

bersangkutan kepada pihak lain

4) Perjanjian bagi hasil juga tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak itu

hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia

5) Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus

6) Sebagai lembaga, perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus

Hak Menumpang

Pengertian Hak Menumpang menurut Boedi Harsono yaitu Hak yang memberi

wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah

pekarangan milik orang lain. Sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Menumpang adalah sebagai

berikut:

1) Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat dihentikan

2) Hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik

tanah jika ia memerluka tanah tersebut

3) Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu uang sewa kepada pemilik

tanah

4) Hanya terjadi pada tanah pekarangan

5) Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan

6) Bersifat turun-temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya

7) Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya

Page 69: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 69

8. Hukum Agraria Indonesia

Hukum Agraria di Indonesia di atur dalam Undang-undang Pokok Agraria ( UUPA)

No. 5 Tahun 1960. Menurut Pasal 16 ayat (1) dan (2) bahwa yang dimaksud dengan Hak-hak

atas tanah adalah sebagai berikut :

1) hak milik,

2) hak guna-usaha,

3) hak guna-bangunan,

4) hak pakai,

5) hak sewa,

6) hak membuka tanah,

7) hak memungut hasil hutan

8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan

dengan undang-undang sert hak-hak yang sifatnya sementara

Sementara di ayat (2) berkaitan dengn air bahwa Hak-hak atas air dan ruang angkasa

sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah

1) hak guna air

2) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan

3) hak guna ruang angkasa

Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa Hak ulayat dan hak-hak

yang serupa itu dari masyarakat hokum adapt masih tetap dapat dilaksanakan oleh

masyarakat hokum adapt yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataanya

masih ada. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,didefinisikan

sebagai kewenangan yang menurut hukum adapt dipunyai oleh masyarakat hukum adat

tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi

kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriyah dan

batiniyah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan

wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat mengandung 2 unsur:

1) Unsur Hukum Perdata yaitu Sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat

hokum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat yang dipercayaai berasal mulu-mula

sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan

gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup

(lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu.

2) Unsur Hukum Publik yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur

peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan

intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan

warga atau “orang luar’.

Subyek hak ulayat adalah Masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan

hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal, maupun yang didasarkan pada

keturunan yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan,

misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya.

Page 70: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 70

Hukum Perdata:

Komparasi Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Islam

(Perkawinan, Perceraian, Kewarisan, Perwalian)

Tabel Perbedaan Perkawinan dan Perceraian

Antara KUHPerdata Barat Dengan Hukum Perdata Islam

Ketentuan KUHPerdata Barat (BW) UU RI No. 1/1974

Azas

Pada BW azas yang digunakan dalam

perkawinan adalah:

a) Sepakat (Pasal 28)

b) Monogami Mutlak (Pasal 27)

Pada UU No. 1 Tahun 1974, azas yang

digunakan dalam perkawinan adalah:

a) Sepakat (Pasal 3 ayat 2)

b) Monagami tidak Mutlak (Pasal 3 ayat 1)

Harta Benda

dalam

Perkwinan

a) Berlaku persatuan bulat antara harta

kekayaan suami dan isteri saat

perkawinan dilangsungkan meliputi:

harta yang sudah ada pada waktu

perkawinan dan harta yang diperoleh

selama perkawinan. Namun

harta tersebut bukan harta persatuan

apabila terdapat perjanjian kawin

dan ada hibah atau

warisan yang ditetapkan pewaris

(Pasal 119 dan Pasal 120)

b ) Suami atau isteri tidak diperboleh

kan memindahkan hak atas harta

benda yang bukan miliknya terlebih

ketika harta itu bukan merupakan

harta asal (Pasal 124-125)

a) Harta yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama (Pasal

35 ayat 1) dan mengenai harta bersama

dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36

ayat 1)

b) Harta bawaan adalah harta masing-

masing suami atauisteri sebelum

perkawinan yang di peroleh dari hadiah

atau warisan dan pengusaannya ada

dimasing-masing pihak sepanjang pihak

tidak menentukan hal lain (Pasal 35 ayat

2) dan mengenai harta bawaan masing-

masing suami atau isteri

mempunyai hak sepenuhnya untuk

melakukan perbuatan hukum mengenai

hartanya (Pasal 36 ayat 2)

Pembubaran

atau

Putusnya

Perkawinan

Perkawinan bubar karena: kematian,

keadaan tak hadir suami atau isteri

selama 10 tahun dan diikuti dengan

perkawinan baru isteri/suaminya,

putusan Hakim setelah adanya

perpisahan meja dan ranjang selama 5

tahun dan perceraian (Pasal 199)

Putusnya Perkawinan dikarenakan: kematian,

perceraian dan atas Keputusan Pengadilan

(Pasal 38)

Perceraian

a) Tuntutan untuk perceraian

perkawinan, harus dimajukan ke

Pengadilan Negeri tempat daerah

hukumnya (Pasal 207) dan

pembukuan perceraian harus

dilakukan ditempat dilakukannya

perkwainan tersebut, jika

berlangsung diluar Indonesia maka

pembukuan harus dilakukan di

catatan sipil di Jakarta (Pasal 221)

b) Alasan yang dapat mengakibatka

perceraian adalah: zinah,

meninggalkan rumah dengan itikad

jahat, penghukuman dengan

hukuman penjara llamanya 5 tahun

atau lebih berta, keputusan bersalah

dari Pengadilan (Pasal 210)

c) Tatacara perceraian diatur dalam

KUHPerdata (Pasal 211-232)

a) Gugatan perceraian diajukan kepada

Pengadilan (Pasal 40 ayat 1). Pengadilan

disini maksudnya adalah Pengadilan

Agama bagi yang beragama Islam dan

Pengadilan Umum bagi lainnya.

b) Untuk melakukan perceraian harus ada

alasan bahwa tidak akan hidup rukun lagi

(Pasal 39 ayat 2)

c) Tata cara perceraian tidak diatur dalam

UU Perkawinan dan diatur dalam

perundangan sendiri (Pasal 40 ayat 2)

Page 71: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 71

Tabel Perbedaan Perwalian

Antara KUHPerdata Barat Dengan Hukum Perdata Islam

Ketentuan-ketentuan KUHPerdata UU RI No. 1/1974

tentang

Perkawinan

KHI

Ketentuan

Umur

Umur 18 Tidak Ya Tidak

Umur 21 Ya Tidak Ya

Pengangkatan

wali

Perwalian oleh ayah dan

ibu

Ya Ya Ya

Perwalian berdasarkan

penunjukan oleh ayah

dan ibu

Ya Ya Ya

Perwalian berdasarkan

penunjukan hakim

Ya Ya Ya

Kewajiban wali

terhadap diri

anak

Pendidikan Ya Ya Ya

Bimbingan Agama Tidak Ya Ya

Kewajiban wali terhadap harta anak

yang berkaitan dengan hal penggunaan

harta anak

Tidak Tidak Ya

Ketentuan

perwalian

terhadap anak

di luar nikah

Hubungan perdata

dengan ayah

Ya Tidak Tidak

Hubungan perdata

dengan ibu

Ya Ya Ya

Tabel Perbedaan

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia Hukum Waris Adat Hukum Waris Islam Hukum Waris Barat (BW)

Bagian seorang pria dan

wanita adalah sama

Bagian seorang pria dua kali

bagian seorang wanita

Bagian seorang pria dan

wanita adalah sama

seorang anak angkat

mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak sah

dan di dalam soal warisan

juga diperlakukan sama

Tidak dikenal pengangkatan

anak dengan segala

akibatnya itu

Seorang anak luar kawin yang

diakui oleh bapak atau ibunya

mempunyai hak waris tetapi

berbeda dengan anak sah

Seorang janda bukan waris,

tetapi berhak sebagai istri

untuk mendapat nafkah

seumur hidup

Seorang janda harus diberi

warisan harta peninggalan

suaminya

Seorang janda harus diberi

warisan harta peninggalan

suaminya

Page 72: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 72

Hukum Perdata:

Istilah-istilah Perdata

❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam hukum perdata

✓ BRUIKLEEN = Peminjaman barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,

Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm. 28)

✓ BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT = Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakart : Sinar Grafika, hlm. 59)

✓ BESCHEKKING = Penguasaan, dalam pencampuran harta bahwa suami atau istri masing

masing mempunyai hak atas harta, namun mereka dapat tidak melakukan, penguasaan atas

bagian mereka masing masing. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta:

Sinar Grafika, hlm 26)

✓ BURGELIJKE STAND = Register Catatan Sipil, karena putusan hakim setelah ada

perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam

putusan itu dalam register catatan sipil. (Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga,

Jakarta: Sinar Grafika, hlm 26)

✓ CONSENSUS = Perizinan atau permufakatan. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum

Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm. 28)

✓ EIGENDOM = Lampau waktu selama tiga puluh tahun untuk mendapatkan hak milik atas

suatu barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve,

hlm.63)

✓ GESLACHTSNAAM = Mengenai Nama Keluarga, orang yang mengangkat anak, nama

nama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang

dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 36)

✓ GEWOONTE RECHT = Hukum pada umumnya pada segenap penduduk yang tidak

berdasar pada undang undang melainkan atas adat kebiasaan. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959,

Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.18)

✓ HUWELIJKSVOORWAARDEN = Perjanjian Perkawinan, perjanjian sebelum

berlangsungnya akad perkawinan. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:

Sinar Grafika, hlm. 53)

✓ IN BEWAARGEVING = Penyimpanan Barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum

Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.28)

✓ OPENBARE COMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = Persekutuan Komanditer yang

terang terangan. (Prof Sukardono S.H., Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, hlm 111)

Page 73: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 73

✓ OVEREENKOMST = Persetujuan, kesepakatan antara kedua belah pihak. (Wirdjono

Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 33)

✓ ONROERENDE GOEDEREN = Barang-barang tidak bergerak. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959,

Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.37)

✓ OVERSPEL = Perzinahan, untuk melakukan perkawinan dilarang bagi mereka yang oleh

putusan hakim telah melakukan perzinahan, hal tersebut diatur dalam pasal 32 KUH

Perdata, (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 16)

✓ PERSOONLIJKRECHT = Hak Perseorangan, hak seseorang terhadap seseorang yang

lain. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 54)

✓ ROERENDE GOEDEREN = Barang-barang bergerak. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz

Hukum Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.37)

✓ RECHTPLICHT = Kewajiban Hukum. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,

Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.28)

✓ RECHT PERSOON = Badan Hukum. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,

Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 20)

✓ SCHULDEN EV VERBINTENISSEN VAN DE VENNOOTSCHAP = Hutang-putang

dan perikatan perikatan persekutuan. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta

: Sinar Grafika, hlm. 53)

✓ VERMOGENSRECHT = Hukum tentang Harta Benda. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz

Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.28)

✓ WEESKAMER = Balai Harta Peninggalan, Apabila bapak telah wafat dan ibu telh kawin

lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta peninggalan, selaku

pengawas wali. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika,

hlm 35)

✓ ZAKELIJKRECHT = Hak Kebendaan, hak atas benda. (R. Soeroso, S.H, 2005, Perbandingan

Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53)

✓ ZAKELIJKE ZEKERHEID = Tanggungan tanggungan mengenai barang. (Wirdjono

Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 61)

✓ ZAKEN VAN DE VENNOOTSCHAP = Urusan urusan Persekutuan. (R. Soeroso, S.H, 2005

Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53)

✓ ZAAKSGEVOLG = Mempunyai sifat melekat, Ciri ciri hak kebendaan. (R. Soeroso, S.H,

2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 53)

Page 74: Hukum Perdata: Pengertian Hukum Perdata

Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 74

Referensi Buku:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Prof. Dr. H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet-4,

Jakarta: Kencana, 2014.

3. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi, cet-2, Jakarta:

Rajawali Pres, 2015.

4. Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2010.

5. Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet-5, Bandung: Citra Aditya,

2014.

6. Prof. Dr. Achmad Ali, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Prenada Media,

2017.

7. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:

Liberty, 2000.

8. Dr. Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.

9. Dr. Titik Triwulan T, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Prenada

Media, 2017.

10. H. Mahmudin Bunyamin dkk, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2017.

11. P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2017.

12. I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

13. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Sei Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir dari

Perjanjian, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

14. Surini Ahlan Sjarif dan Dr. Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan

Menurut Undang-Undang, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

15. Dr. Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta:

Republika 2008.

16. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1989.

17. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2007.

18. Mifdhol Abdurrahman, Hukum Perdata cet. 8, Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2014.