HUBUNGAN KADAR KALSIUM SERUM DENGAN...
Transcript of HUBUNGAN KADAR KALSIUM SERUM DENGAN...
i
HUBUNGAN KADAR KALSIUM SERUM DENGAN DENSITAS MASSA TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KLINIK PELAYANAN KESEHATAN
MASYARAKAT RENI JAYA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Amalina Fitrasari
NIM.11141030000064
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahvra :
l. Laporan penelitian ini melupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk men-renuhi salah satu persyaratar-i rnemperoleh gelar strata I di UIN
Syarif F{idayatuliah Jakar'te.
2. Semua sumber yalig saya gunakan dalarn penulisan ini telah saya
canturnkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarra.
3. Jika di keinudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerirna sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarla.
Ciputat,4 Agustus 2017
Arnalina Fiti'asari
HUBUNGAN KADAR KALSIUNI DENGAN DENSITAS NIASSA TULANGCALCAIVEAT PADA LANSIA DI KLINIK PELAYANAN KESEHATAN
MASYARAKAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Laporan penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh :
Amalina Fitrasari
NIM. I 1 141030000064
dr. Achmad Zaki, Sp. OT, M.EpidNIP. 19780507 200501 1 005
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H l20t7N4
iii
Pembimbing I Per4bimbing 2
LENIBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian berjudul HUBUNGAN KADAR KALSIUM SERUM
DENGAN DENSITAS N,IASSA TULAI\G CALCANEAZ PADA LANSIA DI
KLINIK PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT UIN SYARIF
HIDAYATULLAII JAKARTA TAIIUN 2017 yang diajukan oleh Amalina
Fitrasari (NIM : 11141030000064), telah diujikan dalam sidang di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu kesehatan pada 4 Agustus 2017. Laporan penelitian ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
pada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
Ciputat,4 Agustus 2017
dr. Achmad Zaki, Sp. OT, M.EpidNrP. 19780s07 200s01 r 00s
imbing 2
-1
dr. Achmad Zaki, SpIOT, M.EpidNIP. 19780507 200501 I 005
guji 1
3 199103 1 003
dr. Fika Ekayantfl Dipl.FM, M.Med.EdNrP. 197901ts0 200604 2 001
dr. Mustika
PIMPINAN FAKULTAS
Kaprodi PSKPD
dr. Nouv ffi/enD, FICS, FACS
DEWAN PENGUJI
Ketua $idang
Pembimbing 1
. H. Arif Sumantri, S.KM, M.KesNIP. 196s0808 198803 1 002 NIP 9721103 200604 1 001
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini, serta
shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabatnya semoga kita menjadi umatnya yang mendapatkan syafaat beliau
kelak di hari kiamat nanti, aamiin ya rabbal alamin.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana
kedokteran dari Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter (PSKPD), Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses pembuatan skripsi yang berjudul “Hubungan Kadar Kalsium
Serum dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di Klinik
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017” tentu melibatkan berbagai pihak yang memberikan
bantuan, bimbingan, serta dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini dengan semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, penulis ingin menyempaikan rasa terima kasih kepada pihak yang
telah terlibat, di antaranya :
1. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes sebagai dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS selaku ketua Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter (PSKPD) FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid sebagai pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, dukungan , serta semangat dan nasehat sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan lancar.
4. dr. Fika Ekayanti,Dipl.FM,M.Med.Ed selaku pembimbing II yang telah
memberikan masukan serta bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan penelitian ini.
vi
5. dr.Putri Herliana yang telah memberikan pengetahuan khususnya
mengenai analisis dan pengolahan data kepada penulis selama pembuatan
laporan penelitian ini.
6. Bapak Chris Adhiyanto, MBiomed, PhD selaku penanggung jawab riset
PSKPD angkatan 2014.
7. Staf dosen PSKPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuan serta berbagai pelajaran hidup sebagai
bekal bagi penulis untuk menjadi seorang dokter yang bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa.
8. Staf Klinik Pelayanan dan Kesehatan Masyarakat (KPKM) Reni Jaya UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak bantuan
kepada saya selama pengambilan data penelitian ini.
9. Kepada kedua orangtua penulis yang senantiasa memberikan dukungan,
doa, dan kasih sayang selama penulis menjadi mahasiswi preklinik juga
selama menyelesaikan laporan penelitian ini.
10. Teman sejawat dan seperjuangan, mahasiswa/i PSKPD FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2014.
11. Semua pihak yang telah terlibat dalam pembuatan dan penulisan laporan
penelitian ini.
Semoga segala kebaikan dan dukungan yang sudah diberikan oleh semua pihak
dapat dibalas dengan pahala dan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T
dan semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang banyak.
Ciputat, 4 Agustus 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
Amalina Fitrasari.Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Hubungan Kadar Kalsium Serum dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017. Latar Belakang:. Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia, jumlah lansia di Indonesia pun meningkat sehingga prevalensi penyakit degeneratif seperti osteoporosis akan terus meningkat. Salah satu faktor risiko osteoporosis adalah defisiensi kalsium. Kalsium berperan pada proses mineralisasi tulang yang membuat tulang memilki struktur yang keras dan kaku. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas massa tulang calcaneal pada lansia. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan selama bulan Februari-Mei 2017 di KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kadar kalsium serum didapat dari pengambilan serum darah sedangkan densitas massa tulang calcaneal diukur dengan Hologic Sahara Quantitative Ultrasound. Hasil: Responden berjumlah 63 orang yang berusia ≥60 tahun. Dilakukan analisis bivariat dengan uji korelasi Chi square dan didapatkan p value 1.00 dengan nilai r : -0,057. Kesimpulan: Hubungan kadar kalsium serum dengan densitas massa tulang calcaneal tidak signifikan. Kata Kunci: kalsium serum, densitas massa tulang calcaneal , quantitative ultrasound, lansia.
ABSTRACT Amalina Fitrasari. Medical Studies and Medical Education Program. The Relationship Between Calcium Serum Levels with Calcaneus Bone Mass Density in Elderly at Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2017. Background: Along with the increasing life expectancy of Indonesian society, number of elderly in Indonesia also increase so that prevalence of degenerative disease such as osteoporosis is also increase.One of risk factor of osteoporosis is calcium deficiency. Calcium has a role on the process of bone mineralization that makes bone have a hard and rigid structure. Objective: Find out the relationship between calcium serum levels with calcaneus bone mass density in elderly. Method: This study use cross sectional design which was held during February-Mei 2017 at KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Calcium serum levels obtained were obtained from blood serum while calcaneus bone mass density were measured by Hologic Sahara Quantitative Ultrasound. Result: Number of respondent are 63 person whose age is ≥ 60 years old. Bivariate analysis was performed with chi square correlation test and obtained p value 1.00 with corelative coefficient : -0,057. Conclusion: Relationship between serum calcium levels with calcaneus bone mass density not significant. Keyword : serum calcium, calcaneus bone mass density, quantitative ultrasound, elderly.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... iv
KATA PENGANTAR................................................................................ v
ABSTRAK.............................................................................................. vii
DAFTAR ISI................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL...................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK.................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1 1.2. Rumusan masalah................................................................................ 3 1.3. Hipotesis.............................................................................................. 3 1.4. Tujuan ................................................................................................. 3
1.4.1.1. Tujuan umum..................................................................... 3 1.4.1.2. Tujuan khusus.................................................................... 3
1.5 Manfaat penelitian..................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori................................................................................... 2.1.1. Anatomi dan Histologi Tulang.........................................................6 2.1.1.1. Komponen Tulang...................................................... 6 2.1.1.2. Klasifikasi Tulang....................................................... 7 2.1.1.3. PendarahanTulang............................................................ 13 2.1.1.4. Persarafan Tulang............................................................. 13 2.1.2. Fisiologi Tulang 2.1.2.1. FungsiTulang.................................................................... 14 2.1.2.2. Proses Pembentukan dan Perkembangan Tulang............ 15 2.1.2.3. Metabolisme Kalsium dan Fosfat di Tulang................... 22 2.1.3. Peranan Kalsium pada Tulang........................................................ 23 2.1.4. Dampak Defisiensi Kalsium terhadap Densitas Massa Tulang...... 25 2.1.5. Osteoporosis...........................................................................
ix
2.1.5.1. Definisi........................................................................ 26 2.1.5.2. Klasifikasi.................................................................. 26 2.1.5.3. Epidemiologi.............................................................. 27 2.1.5.4. Faktor Risiko.............................................................. 29 2.1.5.5. Patofisiologi............................................................... 31 2.1.5.6. Penegakkan Diagnosis................................................ 33 2.1.5.7. Pengobatan................................................................. 35 2.1.5.8. Pencegahan................................................................. 37 2.1.6. Pemeriksaan Densitometri.....................................................
2.1.6.1.Definisi........................................................................ 38 2.1.6.2. Teknik......................................................................... 37 2.1.6.3.Dual Xray Absorptiometry sebagai Baku Emas
Penegakkan Diagnosis Osteoporosis.............................. 40 2.1.6.4.Quantitative Ultrasound sebagai Skrinning
Osteoporosis................................................................. 41 2.2 Kerangka Teori................................................................................... 44 2.3 Kerangka Konsep................................................................................ 45 2.4 Definisi operasional............................................................................. 46
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian................................................................................. 49 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................... 49 3.3 Sumber Data........................................................................................ 49 3.4 Populasi dan Sampel........................................................................... 49 3.5 Besar Sampel Penelitian..................................................................... 50 3.6 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian................................................. 51 3.7 Kriteria Inklusi dan Ekslusi.............................................................
3.7.1. Kriteria Inklusi.......................................................................... 51 3.7.2.Kriteria Eksklusi........................................................................ 51
3.8 Alat dan Bahan................................................................................... 51 3.9 Alur Penelitian.................................................................................... 53 3.10 Identifikasi Variabel.............................................................
3.10.1. Variabel Bebas........................................................................ 53 3.10.2. Variabel Terikat...................................................................... 53
3.11 Rencana Pengolahan dan Analisis Data 3.11.1. Pengolahan Data..................................................................... 54 3.11.2. Analisis Data........................................................................... 54
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Responden................................................................ 4.1.1. Usia Responden...................................................................... 55 4.1.2. Jenis Kelamin Responden....................................................... 56 4.1.3. Indeks Massa Tubuh............................................................... 57 4.1.4. Kadar Kalsium Serum............................................................ 58 4.1.5. Gambaran Densitas Massa Tulang Calcaneal dalam Bentuk
Estimated Heel T-score.......................................................... 59
x
4.2.Korelasi antara Kadar Kalsium Serum dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal yang Digambarkan dalam Bentuk Estimated Heel T-score.......................................................... 60
4.3.Faktor-Faktor Lain yang Memnpengaruhi Densitas Massa Tulang Calcaneal ............................................................................................. 64
4.4.Keterbatasan Penelitian....................................................................... 66
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan............................................................................................. 67 5.2. Saran................................................................................................... 67
BAB VI KERJASAMA PENELITIAN....................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 70
LAMPIRAN.................................................................................................. 76
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Indikasi Pemeriksaan Bone Mass Density ...................................38
Tabel 4.1 Karakteristik Usia Responden..................................................... 55
Tabel 4.2. Frekuensi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin............. 56
Tabel 4.3. Karakteristik Indeks Massa Tubuh Responden............................. 57
Tabel 4.4. Frekuensi Kadar Kalsium Serum Responden............................... 58
Tabel 4.5. Gambaran Densitas Massa Tulang Calcaneal
Responden dalam Bentuk Estimated Heel T-score .......................60
Tabel 4.6. P value (Hasil Uji Fisher’s Exact Test)...................................... 61
Tabel 4.7. Korelasi Kadar Kalsium Serum dengan Estimated Heel T-score..... 61
Tabel 4.8. Tabulasi Silang antara Kadar Kalsium
Serum dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal.........................................61
Tabel 4.9 Hubungan Usia dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal.............64
Tabel 4.10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Densitas
Massa Tulang Calcaneal...........................................................65
Tabel 4.11. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Densitas
Massa Tulang Calcaneal..........................................................66
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Frekuensi Usia Responden dalam Bentuk Diagram Batang...............56 Grafik 4.2. Frekuensi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin................57 Grafik 4.3. Frekuensi IMT Responden dalam Bentuk Diagram Batang...............58 Grafik 4.4. Frekuensi Kadar Kalsium Serum Responden dalam
Bentuk Diagram Batang......................................................................59 Grafik 4.5 Gambaran Estimated Heel T-score dalam
Bentuk Diagram Batang.....................................................................60 Grafik 4.6. Gambraran Frekuensi Estimated Heel T-score
Berdasarkan Kadar Kalsium Serum..............................................62
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Sistem Havers pada Tulang Panjang...............................................8
Gambar 2.2. Struktur Jaringan Tulang Spongiosa..............................................9
Gambar 2.3. Struktur Tulang Panjang...................................................................10
Gambar 2.4. Struktur Tulang Pendek..............................................................12
Gambar 2.5. Pendarahan Tulang....................................................................14
Gambar 2.6. Proses Osifikasi Endokondral.....................................................18
Gambar 2.7. Proses Osifikasi Intramembranosa...............................................20
Gambar 2.8. Hubungan Kalsium, Fosfat, Hormon
Paratiroid, dan Vitamin D dalam Metabolisme Tulang..................23
Gambar 2.9. Homeostasis Kalsium dala Tubuh................................................25
Gambar 2.10. Alur Penatalaksanaan Osteoporosis............................................36
Gambar 2.11. Kriteria Diagnosis Osteoporosis
Berdasarkan Nilai T-score (Menurut WHO).................................41
Gambar 2.12. Alat Dual Xray Absorptiometry (DXA)......................................41
Gambar 2.13. Alat Quantitative Ultrasound (QUS)..........................................42
Gambar 3.1. Proses Pemeriksaan Densitas Massa Tulang Calcaneal dengan
Alat Hologic Sahara Quantitative Ultrasound.............................52
xiv
DAFTAR SINGKATAN
WHO : World Health Organization
BMD : Bone Mass Density
AKG : Angka Kecukupan Gizi
AHH : Angka Harapan Hidup
RANK : Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B
RANK-L : Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B-Ligand
IL-1β : Interleukin 1 β
IL-6 : Interleukin 6
TNF-α : Tumor Necrosis Factor α
TGF-β : Transforming Growth Factor β
IGF-1 : Insulin Like Growth Factor-1
BPS : Badan Pusat Statistik
IMT : Indeks Massa Tubuh
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Alat Densitometer Hologic Sahara Quantitative Ultrasound.........76
Lampiran 2.Alat Pemeriksaan Kalsium Serum..............................................77
Lampiran 3.Proses Pengambilan Darah dan Pemeriksaan
Densitas Massa Tulang Calcaneal............................................78
Lampiran 4. Lembar Etik………………………………………………………80
Lampiran 5.Lembar Informed Consent………………………………………81
Lampiran 6.Lembar Data Responden………………………………………..82
Lampiran 7.Lembar Surat Izin Penelitian……………………………………83
Lampiran 8.Riwayat Hidup Penulis………………………………………….84
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Sudoyo AW,
osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.1 Menurut WHO, penurunan
densitas massa tulang ≥ -2,5 dari nilai rata-rata Bone Mass Density (BMD)
pada orang dewasa muda yang sehat (nilai T score ≤ - 2,5) didiagnosis
mengalami osteoporosis.2
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
prevalensinya meningkat seiring dengan menurunnya densitas massa tulang
pada lansia.3 Sekitar 200 juta orang di seluruh dunia mengalami osteoporosis.
Di benua Amerika dan Eropa, 30% wanita postmenopause mengalami
osteoporosis.4 Prevalensi osteoporosis pada wanita lansia (≥ 50 tahun) sebesar
23% di Australia, 38% di Korea, dan 50% di India.5 Menurut International
Osteoporosis Foundation, diperkiraan pada tahun 2050, lebih dari 50% fraktur
akibat osteoporosis akan terjadi di Asia Timur dan Asia Tenggara.6
Osteoporosis merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang.7 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agung
Pranoto dari Universitas Airlangga mengenai prevalensi osteoporosis pada
beberapa provinsi di Indonesia, kejadian osteoporosis terbanyak terdapat di
Sumatera Selatan (27,7%), selanjutnya Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta
(23,5%), Sumatra Utara ( 22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan
Timur (10,5%). 8
Faktor risiko osteoporosis yang dapat dimodifikasi meliputi indeks massa
tubuh, defisiensi kalsium, aktivitas fisik , konsumsi obat-obatan
glukokortikoid, merokok, konsumsi alkohol, serta adanya penyakit kronik.
Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain usia, jenis
kelamin, serta genetik.1
2
Sekitar 99% kalsium pada orang dewasa disimpan di dalam tulang dan
gigi. Di dalam tulang, kalsium bersama dengan fosfat membentuk garam
hidroksiapatit yang menyebabkan tulang memiliki struktur yang keras dan
kaku.9 Berdasarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013, anjuran
asupan kalsium bagi pria dan wanita usia 45->80 tahun adalah 1000 mg/hari.10
Namun demikian asupan kalsium pada wanita pascamenopause di Indonesia
tergolong rendah yaitu 783 mg/hari.11 Kalsium dapat diperoleh dari sumber
makanan seperti susu, yogurt plain, keju, brokoli serta ikan sarden. Asupan
kalsium yang rendah menyebabkan rendahnya densitas massa tulang
(osteopenia) yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis di kemudian hari. 12
Ketika kadar kalsium dalam darah di bawah normal akan meningkatkan
produksi dan sekresi hormon paratiroid. Di dalam tulang, peningkatan hormon
paratiroid akan meningkatkan aktivitas resorpsi tulang oleh sel osteoklas. Jika
terjadi defisiensi kalsium dalam jangka panjang maka proses kompensasi ini
akan terus berlangsung sehingga dapat menyebabkan penurunan densitas
massa tulang.9 Tulang calcaneus menampilkan tingkat kekeroposan tulang
yang serupa dengan tulang belakang dan tulang panggul.13
Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, lansia adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.14
Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2017,Angka harapan hidup orang
Indonesia pada tahun 2010-2015 yaitu 70,1 tahun sedangkan angka harapan
hidup masyarakat di DKI Jakarta pada tahun 2010-2015 yaitu 71,6 tahun dan
meningkat menjadi 72,4 tahun pada tahun 2015-2020.15,16 Dengan
meningkatnya angka harapan hidup maka jumlah lansia di Indonesia pun
meningkat, diperkirakan 10% penduduk Indonesia pada tahun 2020 berusia >
60 tahun.14 Salah satu penyakit degeneratif yang dapat terjadi pada lansia
adalah osteoporosis dimana salah satu faktor risiko penyakit tersebut adalah
rendahnya kadar kalsium di dalam tulang.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian mengenai “ Hubungan Kadar Kalsium Serum dengan Densitas
Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Tahun 2017.”
3
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas
massa tulang calcaneal pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017?
1.3. Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan
densitas massa tulang calcaneal pada lansia di Klinik Pelayanan
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2017.
H1 : Terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas
massa tulang calcaneal pada lansia di KPKM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas
massa tulang calcaneal pada lansia.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1. Untuk mengetahui kadar kalsium serum lansia pada
umumnya.
1.4.2.2. Untuk mengetahui kondisi densitas massa tulang calcaneal
lansia yang didasarkan pada nilai estimated heel T-score.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Sebagai media untuk dapat menerapkan ilmu kedokteran yang
telah dipelajari selama menempuh studi di Program Studi
4
Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai media untuk mengembangkan kemampuan dan berlatih
membuat penelitian dengan desain cross sectional.
Sebagai langkah awal pengabdian kepada masyarakat melalui
edukasi kepada lanjut usia untuk rutin melakukan pemeriksaan
densitas massa tulang khususnya pada lansia yang berisiko
osteoporosis.
Dapat mengetahui cara pengukuran kadar kalsium serum.
Dapat mengetahui cara pengukuran densitas massa tulang
calcaneal dengan menggunakan alat densitometer Hologic Sahara
Quantitative Ultrasound serta dapat menginterpretasikan hasil
pengukurannya.
1.5.2. Bagi Subjek Penelitian
Melalui penelitian ini, dapat diketahui jumlah lanjut usia di KPKM
Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berisiko
mengalami osteoporosis berdasarkan nilai estimated heel t-score
sehingga dapat dilakukan berbagai pencegahan.
1.5.3. Bagi Masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai faktor
risiko osteoporosis (faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi) sehingga dapat
dilakukan pencegahan terutama kepada individu yang berisiko
tinggi (usia lanjut, wanita yang telah mengalami menopause).
Memberikan pengetahuan mengenai teknik pengukuran densitas
massa tulang calcaneal dengan menggunakan alat densitometer
Hologic Sahara Quantitative Ultrasound dan cara
menginterpretasikan hasil pengukurannya.
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi mengenai hubungan antara
kadar kalsium serum dengan densitas massa tulang calcaneal.
5
1.5.4. Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Anatomi dan Histologi Tulang
Tulang adalah jaringan ikat yang senantiasa mengalami proses
pertumbuhan, regenerasi, serta perbaikan. Tulang tersusun oleh beberapa jaringan
yang saling bekerja sama, di antaranya jaringan tulang keras, kartilago, jaringan
ikat padat, sel epitel, pembuluh darah, pembuluh saraf, serta jaringan lemak.9
2.1.1.1. Komponen Tulang Tulang terdiri dari komponen sel dan matriks interseluler.
Terdapat 4 jenis sel yang terdapat di jaringan tulang, antara lain :
1. sel osteogenik
Sel osteogenik merupakan sel punca (stem cell) yang berasal
dari sel mesenkim. Sel ini mengalami pembelahan dan
berkembang menjadi sel osteoblas. Sel tersebut dapat
ditemukan di bagian dalam periosteum, endosteum, dan di
bagian tulang yang mengandung pembuluh darah.9
2. sel osteoblas
Sel osteoblas berfungsi untuk mensintesis dan mensekresikan
serat kolagen dan komponen organik lainnya yang berfungsi
untuk membentuk matriks ekstraseluler tulang. Pada proses
remodelling tulang, osteoblas akan mengalami kalsifikasi dan
berubah menjadi osteoklas.9
3. sel osteosit
Sel osteosit adalah sel utama yang terdapat di jaringan tulang,
sel ini melaksanakan proses metabolisme yang terjadi di
jaringan tulang.9 Sel osteoblas yang telah selesai mensintesis
serat kolagen dan komponen organik lainnya akan terbenam di
osteoid yang disintesisnya dan berubah menjadi sel osteosit.17
7
4. sel osteoklas
Sel osteoklas berfungsi untuk melepaskan enzim lisosomal dan
asam yang digunakan untuk mencerna protein dan komponen
organik lain daam proses resorpsi tulang.9
Komponen utama matriks interseluler di jaringan tulang adalah serat
kolagen tipe I yang bersifat kaku, materi organik lain, yaitu asam
hialuronat yang merupakan proteoglikan. Komponen matriks interseluler
lain di jaringan tulang, yaitu mineral. Mineral utama, yaitu kalsium dan
fosfat yang membentuk garam hidroksiapatit yang tertimbun pada matriks
kolagen dan proteoglikan.18 Mineral lain, yaitu Mg, Na, K. Matriks
organik membentuk struktur yang kuat pada tulang, sedangkan komponen
nonorganik (mineral) memadatkan tulang.
2.1.1.2. Klasifikasi Tulang Berdasarkan ukuran dan distribusi ruang di antara sel dan matriks
ekstraseluler, bagian tulang terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Jaringan tulang kompak
Jaringan tulang ini memiliki ruang yang lebih sedikit dibandingkan sel
dan matriks ekstraselulernya.9 Pada umumnya, sebagian besar tulang,
seperti pada tulang panjang, tulang pendek, tulang ireguler, dan tulang
pipih, bagian luar dilapisi oleh jaringan tulang kompak dan di bagian
dalam dilapisi jaringan tulang spongiosa.
Pada jaringan tulang kompak, serat kolagen tersusun di dalam lamela
(lamella ossea). Pada tulang panjang, terdapat beberapa jenis lamela
tergantung pada letak dan bentuknya, yaitu : (1) lamela sirkumferensial
luar (lamella circumferentialis externa) terletak di bagian dalam
periosteum dan saling sejajar di bagian tepi tulang, (2) lamela
sirkumferemsial interna (lamella circumferentialis interna) terletak di
sekitar rongga sumsum tulang dan mengelilingi rongga sumsum
tulang, (3) lamela konsentrik (lamella osteoni) tersusun konsentris
mengelilingi kanal Havers yang berisi pembuluh darah, pembuluh
saraf, jaringan ikat longgar (osteon/sistem Havers). Osteosit terdapat
di dalam lakuna. Di antara lamela pada setiap osteon terdapat
8
kanalikuli, kanalikuli tersebut berfungsi untuk menyalurkan nutrisi dan
zat sisa dari satu osteosit ke osteosit lain.19 Pembuluh darah, pembuluh
limfe, dan saraf dari periosteum menembus jaringan tulang kompak
melalui kanal Volkmann menuju ke kanalis Havers dan cavitas
medularis. Jaringan tulang kompak berfungsi memberikan proteksi dan
pertahanan terhadap tekanan akibat berat tubuh dan pergerakan.9
Gambar 2.1 Sistem Havers pada Tulang Panjang
Sumber : Eroschenko, Victor P. Atlas Histologi diFiore : dengan korelasi
fungsional ; alih bahasa, Brahm U Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia,
Didiek Dharmawan. Ed 11. Jakarta : EGC,2010 : p74.
2. Jaringan tulang spongiosa
Jaringan tulang spongiosa tidak mengandung sistem Havers (osteon).9
Pada jaringan tulang spongiosa, lamela terdapat di trabekula (trabecula
ossea) yang mengelilingi rongga sumsum.19 Di rongga sumsum
tersebut, terdapat sumsum tulang merah yang mengandung banyak
pembuluh darah.9 Di lamela terdapat lakuna yang berisi osteosit dan
9
setiap osteosit memiliki kanalikuli. Sel osteoklas dan osteoblas
terdapat di tepi trabekula.20
Gambar 2.2 Struktur Jaringan Tulang Spongiosa
Sumber : Tortora,Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. Ed 12.
USA : WILEY, 2009 : p175-191.
Jaringan tulang spongiosa merupakan penyusun tulang pendek, tulang
pipih, dan tulang ireguler yang selalu dilapisi oleh selapis jaringan tulang
kompak di bagian luarnya. Selain itu, jaringan tulang spongiosa juga dapat
ditemukan di bagian epifisis dan di sekitar cavitas medularis di tulang
panjang. Jaringan tulang spongiosa berfungsi untuk melindungi sumsum
tulang merah yang berperan pada produksi sel darah (hemopoiesis).9
Berdasarkan bentuknya, tulang diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1. Tulang panjang
Tulang panjang memiliki panjang yang lebih besar dibanding lebarnya
dan dapat ditemukan di tulang-tulang ekstremitas, contoh :
os.humerus, os.radius, os.ulna, os.tibia, os.fibula, os.clavikula,
os.femur, os metacarpal, os.metatarsal, phalanges.21
Tulang panjang terdiri atas bagian-bagian berikut :9
1) Diafisis
10
Bagian utama tulang yang berbentuk panjang dan berbentuk
silindris.
2) Epifisis
Bagian tulang yang terletak di ujung proksimal dan distal
tulang.
3) Metafisis
Bagian tulang yang terletak di antara epifisis dan diafisis. Di
bagian ini, terdapat lempeng epifisis yang mengandung
kartilago hialin. Pada usia 18-22 tahun, kartilago di lempeng ini
akan digantikan oleh tulang sehingga pertumbuhan tulang
panjang akan terhenti di usia tersebut.
4) Kartilago artikularis
Lapisan yang tersusun atas kartilago hialin yang menutupi
bagian epifisis dan terletak di pertemuan antara satu tulang
dengan tulang yang lain.
5) Periosteum
Struktur yang menutupi permukaan luar tulang. Periosteum
terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan luar yang tersusun oleh
jaringan ikat padat dan berserat, lapisan osteogenik dalam yang
mengandung sel.
6) Cavitas medularis
Rongga yang terletak di dalam diafisis dan berisi sumsum
tulang.
7) Endosteum
Membran tipis yang melapisi bagian dalam tulang.
11
Gambar 2.3 Struktur Tulang Panjang
Sumber : Tortora,Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. Ed 12.
USA : WILEY, 2009 : p175-191.
2. Tulang pendek
Tulang pendek dapat ditemukan pada tulang yang terdapat di tangan
dan kaki, contonhya os.calcaneus, os.lunatum, os.talus. Tulang ini
berbentuk segiempat dan terdiri atas selapis tulang kompak yang
mengelilingi tulang spongiosa.21
12
Gambar 2.4. Struktur Tulang Pendek
Sumber : Anonim. 2016 . Short Bones (online) tersedia di link :
https://medlineplus.gov/ency/imagepages/9889.htm pada Agustus
2016.
3. Tulang pipih
Tulang pipih dapat ditemukan di tempurung kepala, contohnya
os.frontal, os.parietal, os.scapula. Tulang ini terdiri atas lapisan tipis
tulang kompka (tabula) yang dipisahkan oleh selapis tulang spongiosa
(diploe).21
4. Tulang iregular
Di bagian luar, tulang ini tersusun atas selapis tipis tulang kompak dan
di bagian dalamnya tersusun atas tulang spongiosa. Contoh tulang
iregular adalah tulang tengkorak, tulang belakang (vertebrae),tulang
rusuk.21
5. Tulang sesamoid
Tulang sesamoid merupakan tulang kecil yang ditemukan pada tendo
tertentu. Tulang ini berbentuk bulat/kebulatan yang ditemukan di
sekitar persendian.21 Contoh tulang sesamoid, yaitu os.patella.
13
2.1.1.3.Pendarahan Tulang - A.periosteal
Arteri periosteal memasuki diafisis melalui kanal Volkmann, arteri ini
memperdarahi periosteum dan bagian luar jaringan tulang kompak. Vena
periosteal berjalan bersama arteri periosteal dan membawa darah keluar
dari periosteum.9
- A.nutrient
Di bagian tengah diafisis, a.nutrient bersama v.nutrient menembus
jaringan tulang kompak melalui foramen nutrient. Pembuluh darah
tersebut, baik arteri maupun vena, terbagi menjadi cabang proksimal dan
distal yang selanjutnya memperdarahi bagian dalam jaringan tulang
kompak dan jaringan tulang spongiosa dan sumsum tulang merah.9
- A.metafiseal
Arteri metafiseal memasuki bagian metafisis pada tulang panjang dan
memperdarahi sumsum tulang serta jaringan tulang yang terdapat di
bagian metafisis. Vena metafiseal berjalan bersama arteri metafiseal yang
membawa darah keluar dari metafisis.9
- A.epifiseal
A.epifiseal memasukin bagian epifisis tulang panjang dan memperdarahi
sumsum tulang dan jaringan tulang di epifisis, sedangkan v.epifiseal
membawa darah keluar dari epifisis.9
2.1.1.4. Persarafan Tulang Saraf pada tulang berjalan bersama pembuluh darah arteri dan vena. Di
bagian periosteum, banyak terdapat saraf yang sebagian merupakan saraf
nyeri. Saraf- saraf tersebut sensitif terhadap tekanan dan retakan
(patahan).9
14
Gambar 2.5 Pendarahan Tulang
Sumber : Tortora,Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. Ed 12.
USA : WILEY, 2009 : p175-191.
2.1.2. Fisiologi Tulang
2.1.2.1. Fungsi Tulang 9,17
Tulang memiliki beberapa fungsi, diantaranya :
1. Sebagai alat gerak pasif 2. Proteksi organ dalam dan organ vital, contohnya otak, jantung, paru,
korda spinalis dll.
3. Sebagai pembentuk tubuh
4. Sebagai media perlekatan tendon pada sebagian besar otot skletal
5. Produksi sel darah
Sumsum tulang merah berperan untuk memproduksi eritrosit,leukosit,
serta trombosit melalui proses hemopoiesis
15
6. Sebagai organ yang berperan dalam metabolisme berbagai mineral,
terutama kalsium dan fosfor.Sekitar 99% kalsium tubuh disimpan di
dalam jaringan tulang dan dilepaskan ke sirkulasi untuk
mempertahahkan homeostasis mineral.
7. Sebagai organ penyimpan trigliserida
Saat bayi, sumsum tulang hanya mengandung pembuluh darah, namun
seiring pertambahan usia sumsum tulang tersebut terisi oleh sel
adiposa yang menyimpan trigliserida.
2.1.2.2.Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Proses pembentukan tulang disebut osifikasi (osteogenesis).9 Proses
pembentukan tulang terjadi pada beberapa kondisi di kehidupan, yaitu 9
1. Pembentukan awal tulang pada masa embrio dan janin di dalam
kandungan.
2. Pertumbuhan tulang pada masa bayi, anak-anak, dan remaja.
3. Remodeling tulang pada masa dewasa hingga usia lanjut.
4. Perbaikan tulang (setelah mengalami fraktur) di sepanjang kehidupan.
Proses Pembentukan Awal Tulang (masa embrio dan janin)
Perkembangan sistem skeletal berasal dari lapisan mesoderm
(mesoderm paraaxial dan lempeng lateral) dan neural crest. Mesoderm
paraxial tersebut akan membentuk sklerotom. Pada minggu keempat,
sel-sel sklerotom tersebut akan berubah bentuk dan berkembang
menjadi jaringan mesenkim (jaringan ikat embrionik). Jaringan
mesenkim akan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis jaringan ikat, di
antaranya osteoblas, kondroblas. Selain itu, sel-sel neural crest di
kepala juga akan berdiferensiasi menjadi jaringan mesenkim yang
selanjutnya akan berkembang menjadi penyusun tulang kepala dan
tulang wajah.20 Proses pembentukan awal tulang pada masa embrio
berlangsung melalui dua proses, yaitu : (1) Osifikasi endokondral
(Ossificatio endochondralis) yang terjadi pada sebagian besar tulang,
contohnya proses pembentukan tulang panjang.19,20 (2) Osifikasi
16
intramembranosa (Ossifictaio demalis) yang terjadi pada tulang
tengkorak.20
1.) Osifikasi endokondral
Proses osifikasi endokondral merupakan proses pembentukan tulang
yang didahului oleh pembentukan tulang rawan hialin.19 Proses osifikasi
endokondral pada tulang panjang melibatkan beberapa tahapan, yaitu :
a. Perkembangan kondroblas dan perikondrium
Sel mesenkim berkumpul dan berkembang menjadi sel kondroblas,
sel kondroblas tersebut mensekresikan matriks ekstraseluler
sehingga terbentuk kartilago hialin Di bagian luar kartilago hialin,
sel-sel mesenkim berkembang menjadi perikondrium.9 Pada
gambaran histologi, proses ini tampak di zona rehat (resting zone)
atau disebut juga sebagai zona cadangan tulang rawan.19
b. Pertumbuhan tulang rawan (kartilago)
Sel kondroblas akan tertimbun di matriks ekstraseluler yang
dihasilkannya dan berubah menjadi sel kondrosit. Di zona
proliferasi kondrosit, kondrosit terus mengalami pembelahan
disertai sel kondroblas yang mensekresi matriks ekstraseluler,
proses pertumbuhan ini disebut pertumbuhan interstitial
(pertumbuhan dari dalam), pertumbuhan ini menyebabkan
kartilago hialin bertambah panjang. Selain itu, sel osteoblas baru
yang dibentuk oleh perikondrium menghasilkan matriks
ekstraseluler secara terus-menerus ke bagian luar kartilago
sehingga terjadi pertumbuhan aposisional (pertumbuhan bagian
luar permukaan), pertumbuhan ini menyebabkan kartilago semakin
bertambah tebal. Seiring dengan pertumbuhan kartilago, sel
kondrosit di zona maturasi/zona hipertrofi akan mengalami
hipertrofi dan mulai mengalami kalsifikasi sehingga sel kondrosit
mati dan pecah. Selain itu, sel kondrosit di bagian lain akan mati
karena tidak mendapat nutrisi yang cukup.9 Akibat sel kondrosit
yang mati tersebut kemudian menjadi kerangka struktural untuk
17
pengendapan material tulang dan terbentuk lakuna.9,19 Selanjutnya,
lakuna tersebut akan ditempati oleh sel osteogenik yang ikut masuk
bersama jaringan ikat dan pembuluh darah, sel osteogenik tersebut
akan berkembang menjadi sel osteoblas. Sel osteoblas yang
tertimbun dalam matriks ekstraseluler akan berubah menjadi
osteosit.
c. Perkembangan pusat osifikasi primer
A.nutrient akan menembus perikondrium yang terdapat di bagian
tengah kartilago dan menstimulasi sel di perikondrium untuk
berkembang menjadi osteoblas. Selain itu, perikondrium juga akan
berubah dan berkembang menjadi periosteum. Kapiler-kapiler
periosteal akan menyalurkan nutrisinya ke kartilago yang sedang
mengalami kalsifikasi dan terjadi pertumbuhan di pusat osifikasi
primer. Proses osifikasi primer tersebut juga berlangsung ke arah
kedua ujung kertilago. Sel osteoblas mulai mensekresi matriks
ekstraseluler dan terjadi proses kalsifikasi di bagian lain sehingga
terbentuk trabekula jaringan tulang spongiosa.9
d. Perkembangan cavitas medularis
Cavitas medularis terbentuk akibat proses penghancuran sebagian
jaringan spongiosa yang baru terbentuk oleh aktivas sel osteoklas.9
e. Perkembangan pusat osifikasi sekunder
Perkembangan daerah osifikasi sekunder diawali dengan masuknya
cabang-cabang a.epifiseal menuju ke epifisis. Osteoblas mulai
terbentuk dan perikondrium berubah menjadi periosteum, osteoblas
tersebut mensekresi matriks ekstraseluler sehingga terjadi proses
kalsifikasi di daerah epifisis.9
f. Perkembangan kartilago artikularis dan lempeng epifiseal
Kartilago hialin yang melapisi epifisis berubah menjadi kartilago
artikularis. Sisa kartilago hialin yang terletak di antara epifisis dan
diafisis dinamakan lempeng epifisis yang memungkinkan untuk
terus tumbuh hingga pada usia tertentu lempeng tersebut akan
18
menutup dan sudah tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang
memanjang.9
Gambar 2.6 Proses Osifikasi Endokondral
Sumber : Tortora,Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. Ed 12. USA :
WILEY, 2009 : p175-191.
2.) Osifikasi intramembranosa
Pada proses osifikasi intramembranosa, pertumbuhan tulang tidak
diawali oleh pembentukan tulang rawan hialin.19
Berikut tahapan proses osifikasi intramembranosa :
a. Perkembangan pusat osifikasi
19
Perkembangan pusat osifikasi diawali oleh perubahan sel
mesenkim menjadi sel osteogenik dan selanjutnya berkembang
menjadi sel osteoblas. Sel osteoblas tersebut akan mensekresi
matriks ekstraseluler.9
b. Kalsifikasi
Sel osteoblas akan tertimbun oleh matriks ekstraseluler yang
disekresikannya dan berkembang menjadi sel osteosit. Sel osteosit
tersebut berada di dalam lakuna. Beberapa hari kemudian, berbagai
mineral, di antaranya kalsium dan beberapa mineral lain akan
terdeposit di dalam lakuna dan matriks ekstraselulernya akan
mengalami kalsifikasi.9
c. Pembentukan trabekula
Trabekula berkembang dari matriks ekstraseluler yang disekresikan
oleh osteoblas. Selanjutnya trabekula-trabekula tersebut saling
bergabung dan membentuk jaringan tulang spongiosa. Ruang di
antara trabekula terisi oleh pembuluh darah dan sumsum tulang
merah.9
d. Perkembangan periosteum
Periosteum terbentuk dari sel-sel mesenkim yang mengalami
pemadatan di bagian tepi tulang.
Pada akhirnya, selapis jaringan tulang kompak menggantikan
bagian permukaan jaringan tulang spongiosa.9
20
Gambar 2.7 Proses Osifikasi Intramembranosa
Sumber : Tortora,Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. Ed 12. USA :
WILEY, 2009 : p175-191.
Proses pertumbuhan tulang selama masa bayi,anak-anak, dan remaja
Selama masa bayi, anak-anak, dan remaja, tulang panjang akan tumbuh
memajang sedangkan tulang di sepanjang tubuh akan menebal.9
Pemanjangan Tulang
Proses pemanjangan tulang yang terjadi pada tulang panjang melibatkan
dua aktivitas, yaitu (1) pertumbuhan interstitial kartilago di bagian epifisis
yang dekat dengan lempeng epifisis (2) penggantian kartilago dengan
tulang melalui proses osifikasi endokondral di bagian diafisis yang dekat
dengan lempeng epifisis.19 Seiring dengan aktivitas pertumbuhan di
lempeng epifisis, kondrosit baru mulai terbentuk di bagian epifisis yang
21
dekat dengan lempeng epifisis sedangkan kondrosit yang lama mulai
tergantikan oleh tulang sejati melalui proses osifikasi endokondral, melalui
aktivas tersebut diafisis yang dekat dengan lempeng epifisis akan semakin
bertambah panjang dan terjadi pertumbuhan tulang memanjang. Pada usia
18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki, seluruh kartilago di
lempeng epifisis sudah tergantikan oleh tulang sejati sehingga
menandakan tulang tersebut sudah tidak bisa tumbuh memanjang.9
Penebalan Tulang
Proses penebalan tulang terjadi melalui pertumbuhan aposisional di
permukaan tulang.9 Proses tersebut diawali oleh periosteum yang
berdiferensiasi menjadi osteoblas, osteoblas tersebut mensekresi matriks
ekstraseluler, kemudian osteoblas berkembang menjadi osteosit sehingga
terbentuk sistem Havers (osteon) di permukaan tulang.
Proses remodeling
Proses remodeling tulang merupakan proses penggantian jaringan tulang
lama dengan jaringan tulang yang baru, proses ini melibatkan dua aktivitas
yang berlawanan, yaitu proses resorpsi tulang dan deposisi tulang.
Resorpsi tulang merupakan proses pembersihan/penghilangan mineral dan
serat kolagen dari tulang yang melibatkan sel osteoklas, proses ini
menyebabkan perusakan matriks ekstraseluler sedangkan deposisi tulang
merupakan proses penambahan mineral dan serat kolagen yang melibatkan
osteoblas dan menyebabkan pembentukan matriks ekstraseluler. Osteoklas
menghasilkan enzim lisosomal dan asam yang dapat mencerna serat
kolagen dan komponen organik lainnya sedangkan komponen mineral
dilarutkan oleh asam, bahan-bahan tersebut masuk ke sel osetoklas melalui
endositosis,selanjutnya bahan-bahan tersebut akan dilepaskan ke sirkulasi
oleh osteoklas melalui proses eksositosis. Osteoblas adalah sel yang dapat
menghasilkan matriks ekstraseluler dan menyebabkan deposisi
mineral. Proses remodeling dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya
olahraga, asupan makanan, sedentary lifestyle.9
22
2.1.2.3.Metabolisme Kalsium dan Fosfat di Tulang Kalsium berperan penting terhadap fungsi organ-organ tubuh, di
antaranya kalsium berperan pada kontraksi otot, penghantaran potensial
aksi di sel saraf, sebagai kofaktor untuk berbagai enzim sehingga kadar
kalsium dalam tubuh harus dipertahankan dalam kisaran yang normal,
yaitu sekitar 9-11mg/100mL. Sekitar 99% kalsium di dalam tubuh
tersimpan di tulang, tulang berperan dalam menjaga homeostasis kalsium
di dalam tubuh melalui dua proses, yaitu deposisi dan resorpsi tulang.
Resorpsi tulang merupakan proses pelepasan kalsium serta komponen
organik lain dari tulang ke sirkulasi yang melibatkan sel osteoklas, proses
tersebut dibutuhkan pada saat kadar kalsium dalam sirkulasi rendah.
Sedangkan deposisi tulang merupakan proses pengendapan kalsium serta
komponen organik dan nonorganik lain dari sirkulasi ke tulang yang
melibatkan sel osteoblas, proses ini terjadi saat kadar kalsium dalam
sirkulasi melebihi nilai normal.9 `
Regulasi kalsium tersebut melibatkan dua hormon penting, yaitu
hormon paratiroid dan hormon kalsitonin. Hormon paratiroid disekresikan
oleh kelenjar paratiroid yang distimulasi oleh penurunan kadar kalsium di
sirkulasi, hormon tersebut akan meningkatkan jumlah dan aktivitas sel
osteoklas yang berperan pada proses resorpsi tulang. Selain itu, hormon
paratiroid juga bekerja di ginjal dengan cara meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus distal. Hormon paratiroid juga menstimulasi
pembentukan kalsitriol (1,25-dihidroksikalsiferol) yang dapat
meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Semua aktivitas yang diperantarai
hormon paratiroid berfungsi untuk meningkatkan kalsium di sirkulasi
sehingga kadarnya dapat kembali ke kisaran normal. Hormon lain yang
berperan dalam metabolisme kalsium adalah hormon kalsitonin. Hormon
tersebut memiliki efek kerja yang berlawanan dengan efek yang
ditimbulkan oleh hormon paratiroid, yaitu deposisi kalsium ke tulang.
Hormon kalsitonin disekresikan oleh kelenjar tiroid dan distimulasi oleh
kadar kalsium plasma yang meningkat. Hormon ini bekerja dengan
menghambat aktivitas osteoklas, meningkatkan deposisi serta ambilan
kalsium dari sirkulasi ke tulang dan menurunkan reabsorpsi kalsium di
23
ginjal.9 Selain kalsium, tulang juga berperan dalam meregulasi
homeostasis fosfat. Sekitar 85-90% fosfat dalam tubuh disimpan di tulang.
Konsentrasi normal fosfat, yaitu 2,5-4,5 mg/dL.22 Ketika kadar fosfat
plasma menurun akan terjadi peningkatan resorpsi tulang yang
menyebabkan peningkatan pelepasan fosfat ke sirkulasi, proses resorpsi
tersebut melibatkan hormon paratiroid dan senyawa 1,25-
dihidroksikalsiferol. Pada keadaan yang sebaliknya, ketika fosfat plasma
meningkat melebihi kisaran nilai normal maka hormon kalsitonin akan
menurunkan reabsorpsi fosfat di ginjal dan di usus serta menghambat
proses resorpsi tulang sehingga kadar fosfat di plasma akan menurun.23
Gambar 2.8 Hubungan kalsium, fosfat,hormon paratiroid, dan vitamin D
dalam metabolisme tulang
Sumber : Kini, Usha. Nandeen, B.N. 2012. Physiology of Bone Formation,
Remodelling, and Metabolism (offline) tersedia di link : http ://
link.springer.com/chapter/10 pada Desember 2016.
2.1.3. Peranan Kalsium pada Tulang
Sekitar 99% kalsium tubuh berada di tulang serta gigi dan sekitar 0,1%
berada dalam plasma darah dan 0,9% berada di dalam sel. Kalsium yang terdapat
24
dalam plasma darah, 39% di antaranya bersifat diffusible dan 41% yang lain
merupakan bentuk yang non-diffusible dimana 0,92 mmol/L berikatan dengan
protein albumin dan 0,24% berikatan dengan protein globulin.23
Kalsium penting untuk pertumbuhan tulang karena berperan dalam proses
mineralisasi. Rata-rata tulang dewasa mengandung 1200 gr kalsium dalam bentuk
garam hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2].24 Adanya garam hidroksiapatit
tersebut membuat tulang memiliki struktur yang keras dan kaku. Tulang yang
terkalsifikasi mengandung 25% matriks organik, 5 % air, dan 70% matriks
inorganik.25 Berdasarkan AKG bagi orang Indonesia yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI, anjuran konsumsi kalsium bagi pria dan wanita usia
10-18 tahun adalah 1200 mg/hari, usia 19-29 tahun 1100 mg/hari, dan usia 45
hingga >80 tahun, yaitu 1000 mg/hari.19 Asupan kalsium yang tidak cukup dapat
menyebabkan rendahnya densitas massa tulang yang dapat meningkatkan risiko
osteoporosis di kemudian hari.24 Ketika asupan kalsium rendah (<80% AKG)
maka konsentrasi ion dalam plasma tidak dapat dipertahankan, supaya tubuh tetap
dalam kondisi homeostatis maka simpanan kalsium di tulang akan dilepaskan ke
sirkulasi melalui proses resorpsi tulang. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Arofani Hermastuti tahun 2012 yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan positif yang bermakna antara asupan kalsium dengan
kepadatan tulang pada wanita dewasa muda dimana 50% subjek dengan asupan
kalsium <80% AKG mengalami osteopenia sedangkan subjek dengan asupan
kalsium lebih dari AKG memiliki kepadatan tulang yang normal.24,26 Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Margo Utomo dkk disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna dengan nilai P 0,45 antara kebiasaan mengonsumsi
makanan berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang.27
25
Gambar 2.9 Homeostasis Kalsium dalam Tubuh
Sumber : Allin,Jane. 2012. The Calcium Connection (online) tersedia di link :
http:// http://horsefund.org/horse-racing-salix-and-calcium-connection-part1.php
pada Februari 2017.
2.1.4. Dampak Defisiensi Kalsium terhadap Densitas Massa Tulang
Kalsium memiliki beberapa peran penting dalam keberlangsungan
berbagai proses dan aktivitas di dalam tubuh sehingga tubuh sedemikian
rupa mengatur secara ketat kadar normal kalsium di dalam darah, yaitu 9-
11/100 mL. Terdapat tiga hormon yang berperan dalam mengontrol
homeostasis kalsium di dalam darah, yaitu parathyroid hormone, calcitriol
hormone, serta 1,25 dihydrocholecalciferol.
Ketika kadar kalsium dalam darah di bawah normal maka akan terdeteksi
oleh reseptor di kelenjar paratiroid yang menyebabkan peningkatan
produksi dan sekresi hormon paratiroid. Di dalam tulang, peningkatan
hormon paratiroid akan menghambat pembentukan osteoprotegrin oleh sel
osteoblas, hal tersebut mengakibatkan semakin banyak RANK ligand yang
26
berikatan dengan RANK receptor sehingga aktivitas resorpsi tulang oleh
sel osteoklas meningkat. Hal ini merupakan peran tulang dalam menjaga
keseimbangan kadar kalsium dalam darah. Namun demikian jika terjadi
defisiensi kalsium dalam jangka panjang maka proses kompensasi ini akan
terus berlangsung sehingga dapat menyebabkan penurunan densitas massa
tulang.9
2.1.5. Osteoporosis
2.1.5.1.Definisi
Menurut Dorland tahun 2011, osteoporosis adalah penipisan abnormal
tulang yang dapat terjadi secara sekunder akibat penyakit lain atau terjadi secara
idiopatik.28 Menurut WHO dalam buku ilmu penyakit dalam terbitan FKUI tahun
2009 disebutkan, osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai
oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.1 Densitas massa tulang yang
rendah berisiko mengalami osteoporosis karena densitas massa tulang yang
rendah menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Menurut WHO, penurunan densitas massa tulang lebih dari atau sama
dengan -2,5 dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (nilai T score
≤ - 2,5) didiagnosis mengalami osteoporosis.3
2.1.5.2.Klasifikasi
Osteoporosis terbagi menjadi 2, yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder.1 Di sumber lain, osteoporosis diklasifikasikan menjadi 4
jenis, yaitu osteoporosis primer, osteoporosis sekunder, osteogenesis imperfekta,
dan osteoporosis idiopatik juvenile.29
1.) Osteoporosis primer
Osteoporosis primer merupakan osteoporosis yang tidak diketahui
penyebabnya.1 Jenis ini yang paling sering ditemukan di antara jenis osteoporosis
yang lain.29 Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer
27
menjadi 2, yaitu osteoporosis pascamenopause (osteoporosis tipe 1) yang
disebabkan defisiensi estrogen pascamenopause dan osteoporosis senile
(osteoporosis tipe 2) yang disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus.1
2.) Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder merupakan osteoporosis yang diketahui penyebabnya.1
Osteoporosis ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, di antaranya
hiperparatiroid, hipertiroid, leukemia, konsumsi obat-obatan yang dapat
menyebabkan kerusakan pada tulang dalam waktu lama contohnya
kortikosteroid, penggunaan pengganti hormon tiroid dengan dosis tinggi,
konsumsi inhibitor aromatase. Osteoporosis sekunder dapat terjadi di semua
usia.29
Salah satu penyebab osteoporosis sekunder adalah sindrom Cushing. Sindrom
Cushing merupakan keadaan dimana terjadi hiperkortisolisme (peningkatan kadar
hormon kortisol dalam plasma), aldosteronsime (kadar aldosteron yang berlebihan
dalam plasma), serta peningkatan hormon androgen adrenal. Glukokortikoid yang
tinggi dalam plasma dapat menyebabkan osteoporosis karena glukokortikoid
dapat menghambat pembentukan tulang dan merangsang resorpsi tulang melalui
penghambatan pembentukan osteoprotegerin sehingga RANK-L dapat berikatan
dengan reseptor RANK di sel osteoklas sehingga meningkatkan kerja sel
osteoklas dalam meresorpsi tulang.30
2.1.5.3.Epidemiologi
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
prevalensinya meningkat seiring dengan menurunnya densitas massa tulang pada
individu lanjut usia.3 Berdasarkan data WHO, di seluruh dunia terdapat 200 juta
individu yang menderita osteoporosis. Di Amerika Serikat, osteoporosis
menyerang 20-25 juta penduduk. Di sumber lain, osteoporosis mengenai 75 juta
penduduk di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Densitas massa tulang pada
masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah dibanding dengan masyarakat Afrika
sehingga lebih rentan mengalami osteoporosis. Berdasarkan usia, di Amerika
Serikat, 1 dari 2-3 wanita pascamenopause dan lebih dari 50% penduduk di atas
28
usia 75-80 tahun mengalami osteoporosis.7 Berdasarkan kriteria WHO, 30%
wanita kaukasia pascamenopause mengalami osteoporosis di tulang panggul,
vertebra lumbar spinalis, serta di lengan bawah bagian distal. Prevalensi tersebut
meningkat pada usia 80 tahun, 70% wanita pascamenopause mengalami
osteoporosis di tulang panggul, vertebra lumbar, serta tulang lengan bawah bagian
distal.3
Osteoporosis merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Berdasarkan data dari Perhimpunan Osteoporosis Indonesia
tahun 2007, jumlah penderita osteoporosis pada penduduk usia lebih dari 50 tahun
adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria. Risiko osteoporosis pada wanita
di Indonesia 4x lebih tinggi dibanding dengan pria. Hal tersebut disebabkan oleh
penurunan hormon estrogen pada wanita yang telah mengalami menopause.
Namun demikian, osteoporosis sulit untuk dideteksi dini karena penyakit ini tidak
menunjukkan tanda-tanda fisik yang nyata hingga terjadi keropos atau keretakan
tulang pada usia lanjut.7 Pencegahan terhadap terjadinya osteoporosis penting
untuk dilakukan terutama pada wanita karena setiap wanita pasti akan mengalami
menopause.
Berdasarkan prevalensi osteoporosis di provinsi di Indonesia menurut
kementerian kesehatan RI, kejadian osteoporosis terbanyak terdapat di Sumatera
Selatan (27,7%), selanjutnya Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%),
Sumut ( 22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%).8
Osteoporosis merupakan faktor risiko terjadinya fraktur dan secara umum dapat
meningkatkan risiko mortalitas. Berdasarkan laporan WHO, 50% kejadian patah
tulang akibat osteoporosis merupakan patah tulang paha atas yang dapat
menyebabkan kecacatan seumur hidup bahkan kematian.7 Sumber lain
menunjukkan bahwa fraktur tulang panggul dapat menyebabkan kematian dalam
waktu 12 bulan pada 20-30% pasien. Selain itu fraktur tulang vertebra dapat
berdampak pada menurunnya kualitas hidup seseorang karena nyeri kronik pada
punggung serta keterbatasan aktivitas.9 Oleh karena itu, upaya pencegahan
osteoporosis harus dilakukan sedini mungkin untuk menghindari penurunan
kualitas hidup akibat osteoporosis di masa lanjut usia nanti, selain itu untuk
menghindari terjadinya osteoporosis pada usia muda.
29
2.1.5.4.Faktor Risiko Banyak faktor yang terlibat dalam perjalanan penyakit osteoporosis, diantaranya :
1. Usia
Faktor risiko yang paling utama adalah usia, dikutip dari Sudoyo AW
dalam buku Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi V, bahwa setiap
peningkatan usia satu dekade setara dengan peningkatan risiko
osteoporosis sebesar 1,4-1,8 kali.1
2. Jenis Kelamin
Wanita memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami osteoporosis
dibandingkan pria. Hal tersebut dikarenakan pada masa pertumbuhan,
pertumbuhan tulang panjang dan pertumbuhan tulang secara radial pada
remaja laki-laki berlangsung dalam waktu yang lebih lama dibanding
remaja perempuan sehingga sehingga pria cenderung lebih tinggi
dibanding wanita dan cenderung memiliki tulang yang lebih tebal.
Densitas massa tulang ditentukan oleh berat tulang dan volume tulang
sehingga pria memiliki densitas massa tulang yang lebih besar dibanding
wanita. Satu tahun pascamenopause, wanita akan mengalami kehilangan
tulang yang cepat yang sebagian besar terjadi pada trabekula tulang
spongiosa. Selain itu, laju hilangnya tulang kortikal (tulang kompak) juga
akan meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada wanita.
Pada pria, menurunnya volume tulang secara perlahan dimulai saat
seorang pria mencapai puncak densitas massa tulang dan lajunya
meningkat saat seorang pria mencapai usia 70 ke atas. Pada wanita
pascamenopause, tulang trabekular akan mulai mengalami perforasi
(terbentuk lubang kecil pada tulang trabekular) diikuti oleh hilangnya
seluruh jaringan tulang trabekula, sedangkan pada pria terjadi penipisan
pada tulang trabekula namun jaringan tulang trabekular tidak hilang
seluruhnya.3 Baik pada pria maupun wanita,seiring dengan pertambahan
usia, keduanya mengalami proses penipisan pada tulang kortikal.
Oleh karena, densitas massa tulang yang lebih kecil dan terjadinya proses
menopause, wanita lebih berisiko mengalami osteoporosis dan fraktur
akibat osteoporosis dibandingkan pria.
30
3. Faktor Lain
Faktor lain yang berperan dalam perjalanan penyakit osteoporosis, antara
lain :
-Aktivitas fisik kurang
Menurut Natalia de Melo O, aktivitas fisik yang dilakukan selama masa
pertumbuhan dan perkembangan dapat meningkatkan 7-8% massa tulang
saat dewasa, hal tersebut menurunkan risiko patah tulang di kemudian
hari. Selain itu, aktivitas fisik dapat meminimalisir penurunan hormon
steroid, salah satunya estrogen, yang diketahui berperan dalam proses
pembentukan tulang.31
-Defisiensi hormon
Seiring dengan peningkatan usia, wanita lanjut usia akan mengalami
penurunan berbagai organ tubuh, termasuk ovarium, penurunan fungsi
ovarium tersebut menyebabkan penurunan sekresi hormon 17β-estradiol
yang menstimulasi beberapa sitokin yang dapat mengaktivasi osteoklas,
RANKL, IL-1β, IL-6 dan TNFα, hal tersebut mengakibatkan peningkatan
resorpsi tulang dan peningkatan hilangnya tulang, serta perburukan
mikroarsitektur tulang.3 Pria yang memiliki kadar hormon 17β-estradiol
yang rendah juga cenderung memiliki densitas massa tulang yang rendah
-Konsumsi obat glukokortikoid dosis besar dalam jangka waktu lama
Pengaruh glukorkortikoid terhadap tulang, yaitu menghambat proliferasi
sel di kartilago epifisis, menghambat aktivitas osteoblas tulang,
menghambat maturasi serta pertumbuhan tulang memanjang.32
-Defisiensi kalsium, vitamin D, vitamin K, protein
Setelah puncak massa tulang tercapai sekitar usia 30 tahun, mineral di
dalam tulang mulai berkurang termasuk kalsium. setelah memasuki usia
lanjut, terutama pada wanita ketika mencapai menopause, penurunan
mineral tulang tersebut akan terjadi lebih cepat sehingga para lansia
berisiko mengalami defisiensi kalsium terutama di tulangnya.24 Selain itu,
dengan semakin bertambahnya usia, absorpsi kalsium di usus halus akan
berkurang yang dapat menyebabkan kadar kalsium plasma rendah. Kadar
kalsium plasma yang rendah akan merangsang hormon paratiroid untuk
31
merangsang proses resorpsi tulang sehingga tulang akan semakin
kehilangan mineralnya.
Pada lansia, terjadi penurunan sintesis vitamin D endogen disebabkan oleh
penuaan pada kulit.3 Pada individu kurang terpapar sinar matahari juga
berisiko mengalami osteoporosis di kemudian hari.
-Merokok
Menurut International Osteoporosis Foundation, kandungan nikotin serta
senyawa toksik lain dalam rokok menimbulkan beberapa efek buruk bagi
tulang, di antaranya menurunkan aliran darah ke tulang, produksi sel
osteoblas, serta menurunkan absorpsi kalsium dan mempercepat pelepasan
estrogen dari tulang.33
-Mengonsumsi alkohol
Mengonsumsi alkohol dapat menurunkan kadar kalsium darah karena
alkohol menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel dan meningkatkan
ekskresi kalsium di ginjal. Dengan menurunnya kadar kalsium di dalam
darah, produksi hormon PTH akan meningkat sehingga menyebabkan
proses resorpsi tulang juga meningkat. Selain itu menurut Wayne S,
mengonsumsi alkohol pada masa remaja dapat menurunkan peak bone
mass sedangkan mengonsumsi alkohol pada masa dewasa dapat
menganggu proses remodeling tulang karena alkohol menghambat
produksi sel osteoblas.34
-Hiperkortisol
Tingginya kadar kortisol dalam darah dapat mempengaruhi tulang baik
secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsungnya, yaitu kortisol
dapat menurunkan pertumbuhan tulang secara aposisional dan
meningkatkan resorpsi tulang sedangkan efek tidak langsungnya, yaitu
menurunkan absorpsi kalsium dan meningkatkan ekskresinya di ginjal.35
2.1.5.5.Patofisiologi a. Patofisiologi osteoporosis tipe I
32
Hormon estrogen memiliki beberapa efek pada tulang yang dapat
meningkatkan formasi tulang dan mencegah resorpsi tulang, efek-efek tersebut di
antaranya:1:
1.) Menghambat resorpsi tulang
Hormon estrogen meningkatkan produksi osteoprotegrin oleh sel
osteoblas, hal ini menyebabkan penurunan ikatan antara RANKL dengan
reseptor RANK (receptor activator of nuclear factor kappa B) di sel
osteoklas sehingga menyebabkan hambatan pada maturasi sel osteoklas
dan terjadi penurunan resorpsi tulang.
2.) Meningkatkan sintesis TGF- β
Sintesis TGF- β ditingkatkan oleh hormon estrogen, TGF- β tersebut
berperan dalam replikasi proosteoblas, sintesis kolagen, serta induksi
apoptosis sel osteoklas.1
3.) Meningkatkan sintesis IGF-1
Hormon estrogen juga berperan dalam sintesis IGF-1 yang berfungsi untuk
sintesis matriks dan kolagen tulang serta menghambat degradasi kolagen
tulang.1 Ekspresi gen IGF-1 dihambat oleh hormon golongan
glukokortikoid, 1,25(OH)2D3
4.) Meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis sel osteoblas.
5.) Menurunkan aktivitas hormon paratiroid.
6.) Menurunkan produksi berbagai sitokin, yaitu IL-1,IL-6,TNF-α yang
berperan meningkatkan kerja sel osteoklas.
Setelah menopause, resorpsi tulang akan meningkat.1 Hal tersebut disebabkan
oleh penurunan serum estrogen, peningkatan RANK dan RANKL, dan
peningkatan aktivitas osteoklas.23 Penurunan hormon estrogen menyebabkan
penurunan sintesis TGF- β dan IGF-1 yang keduanya berfungsi untuk sintesis
kolagen sehingga komponen matriks ekstraseluler akan menurun. Selain itu,
peningkatan RANK dan RANKL akan meningkatkan diferensiasi dan maturasi sel
osteoklas. Penurunan hormon estrogen juga menyebabkan peningkatan apoptosis
dan penurunan proliferasi sel osteoblas dan peningkatan sitokin IL-1,IL-6,TNF-α.
Semua keadaan tersebut menyebabkan proses resorpsi tulang lebih dominan
dibanding formasi tulang.
33
Seiring dengan pertambahan usia maka fungsi organ tubuh akan menurun,
pada wanita pascamenopause, terjadi penurunan absorpsi kalsium di usus dan
peningkatan eksresi kalsium di ginjal. Kedua kondisi tersebut menyebabkan kadar
kalsium dalam sirkulasi menurun, sebagai kompensasinya hormon paratiroid
meningkat pada wanita pascamenopause.1
b. Patogenesis osteoporosis tipe II
Pada individu lanjut usia, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang
dimana resorpsi tulang lebih dominan dibanding formasi tulang, hal tersebut
diduga karena penurunan kadar estrogen, IGF-1 serta penurunan aktivitas
replikasi sel osteoprogenitor, dan penurunan sintesis sel osteoblas . Selain itu,
individu lanjut usia dapat mengalami defisiensi kalsium dan vitamin D yang dapat
disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang rendah, paparan sinar
matahari yang kurang, anoreksia, atau malabsorpsi sehingga kadar kalsium di
sirkulasi menurun dan merangsang hormon paratiroid yang akan meningkatkan
proses resorpsi tulang. Defisiensi protein juga dapat meningkatkan risiko
osteoporosis pada wanita pascamenopause karena penurunan sintesis IGF-1.
Penurunan hormon pertumbuhan juga berperan terhadap peningkatan resorpsi
tulang. Faktor lain yang berperan dalam patogenesis osteoporosis, yaitu faktor
genetik dan lingkungan (aktivitas fisik yang menurun,kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol,konsumsi obat-obatan tertentu,riwayat/risiko terjatuh).1
2.1.5.6.Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Osteoporosis disebut juga sebagai silent disease karena tidak
menunjukkan gejala yang khas dan baru memunculkan gejala saat sudah terjadi
fraktur. Pada anamnesis, keluhan yang dirasakan akibat fraktur yang berkaitan
dengan osteoporosis, antara lain nyeri punggung (back pain), kelainan tulang
belakang berupa kifosis, serta penurunan tinggi badan.36 Menurut Yulianingsih
Syam tahun 2014, gejala osteoporosis umumnya muncul pada individu usia 51-75
tahun terutama pada wanita, hal ini berkaitan dengan densitas massa tulang yang
terus menurun seiring peningkatan usia. Tulang yang densitas mineralnya terus
34
berkurang akan menyebabkan tulang menjadi kolaps dan hancur sehingga pasien
merasakan nyeri. Selain itu, pasien juga dapat mengalami kelainan bentuk pada
tulang yang mengalami osteoporosis.37
Selain keluhan utama, dapat juga digali faktor risiko yang berkaitan dengan
osteoporosis, seperti konsumsi jangka panjang obat kortikosteroid, antikonvulsan,
heparin, antasida yang mengandung aluminium, sodium fluorida,bisfosfonat
etidronat, hormon tiroid ; kurangnya asupan kalsium,fosfor,vitamin D, kurangnya
paparan sinar matahari ; riwayat merokok dan mengonsumsi alkohol ; riwayat
serupa di keluarga ; riwayat jatuh atau trauma ; serta penyakit-penyakit tertentu
yang berkaitan dengan osteoporosis seperti penyakit ginjal, penyakit pada saluran
cerna.38 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1142 tahun 2008,terdapat
beberapa gejala dan tanda yang mengarah ke osteoporosis, diantaranya :39
• Adanya faktor risiko
• Patah tulang yang terjadi secara tiba-tiba dan disebabkan oleh trauma
ringan atau tanpa trauma
• Adanya rasa nyeri yang hebat sehingga pergerakan terbatas
• Terjadi penurunan tinggi badan dan kifosis dorsal
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan tinggi badan,
abnormalitas gaya berjalan, deformitas tulang berupa kifosis dorsal, dan leg-
length inequality serta nyeri pada tulang belakang. Menurut Aru W Sudoyo dkk
dalam buku Ilmu Penyakit Dalam UI Edisi V, pada pasien osteoporosisjuga dapat
ditemukan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis
(tanda McConkey).1
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan X-ray tulang belakang terlihat kompresi pada salah satu
atau beberapa corpus vertebra. Sementara itu, menurut Aru W Sudoyo dalam Ilmu
Penyakit Dalam UI Edisi V tahun 2009 disebutkan bahwa gambaran radiologi
yang khas pada osteoporosis, yaitu terjadi penipisan pada korteks dan daerah
35
trabekular, gambaran tersebut tampak pada tulang-tulang vertebra (picture-frame
vertebra).1 Sedangkan pada pemeriksaan densitometri, pasien dengan osteoporosis
memperlihatkan gambaran penurunan densitas massa tulang. Terdapat beberapa
teknik densitometri yang dapat digunakan untuk mengukur densitas massa
tulang.38 Selain pemeriksaan X-ray dan densitometri, dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang lain, seperti pemeriksaan kadar serum kalsium, fosfat, dan
fosfatase alkali. Dapat juga dilakukan pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam
untuk menentukan apakah pasien mengalami malabsorpsi kalsium atau tidak.38
2.1.5.7.Pengobatan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1142 tahun 2008,
tujuan pengobatan osteoporosis yang sudah menimbulkan gejala (simptomatik)
adalah mengurangi rasa nyeri, menghambat proses resorpsi tulang, serta
meningkatkan proses pembentukan tulang. Berikut merupakan alur
penatalaksanaan osteoporosis.39
36
Gambar 2.10 Alur Penatalaksanaan Osteoporosis
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008 Tentang Pedoman
Pengendalian Osteoporosis. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.2008.
Terdapat dua jenis cara kerja obat yang digunakan dalam menatalaksana
osteoporosis, yaitu (1) obat yang berkerja menghambat atau mencegah resorpsi
tulang dan (2) obat yang merangsang terjadinya pembentukan tulang.39
Bisfosfonat merupakan salah satu obat yang bekerja menghambat kerja sel
37
osteoklas sehingga mengurangi resoprsi tulang, contoh preparatnya adalah
etidronat,klodronat,pamidronat,alendronat,risedronat,asam zoledronat. Obat
antiosteoporosis lain seperti raloksifen yang merupakan golongan Selective
Estrogen Receptor Modulators yang memiliki efek seperti estrogen di tulang dan
lipid tanpa menimbulkan efek di endometrium dan payudara. Selain farmako,
osteoporosis juga dapat diterapi dengan hormon, seperti estrogen,
medroksiprogesteron asetat, testosteron, steroid anabiolik, kalsitonin atau terapi
lain, seperti pemberian vitamin D, kalsium.38
2.1.5.8.Pencegahan
Pencegahan osteoporosis sebaiknya dilakukan saat puncak massa tulang
belum tercapai,menurut Keputusan Menteri Kesehatan mengenai pedoman
pengendalian osteoporosis puncak massa tulang dicapai antara usia 20-30 tahun.
Pencegahan yang dapat dilakukan seperti mengonsumsi kalsium dan vitamin D
yang adekuat, melakukan aktivitas fisik secara rutin, mengusahakan supaya tubuh
terpapar sinar matahari yang adekuat sehingga dapat mendukung pembentukan
vitamin D yang berfungsi meningkatkan pembentukan tulang.39
Salah satu penyebab osteoporosis sekunder adalah hiperkortisolisme, kondisi
dimana kadar hormon kortisol dalam plasma berlebihan, keadaan ini dapat
menyebabkan sindrom Cushing.40 Meskipun sebagian besar penyebab
hiperkortisolisme adalah adanya tumor atau pemberian steroid eksogen namun
stres juga dapat memicu peningkatan sekresi hormon kortisol.40,41 Shalat
merupakan suatu media komunikasi antara Allah dengan hamba-Nya, shalat dapat
memberikan ketenangan pada hati dan pikiran sesuai dalam firman Allah S.W.T
dalam Q.S Ar-Ra’du ayat 28 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sabiq MA tahun 2014 mengenai efektivitas shalat tahajud dalam
mengurangi tingkat stres santri didapatkan adanya perbedaan yang signifikan
antara santri yang rutin melaksanakan shalat tahajud dengan santri yang tidak
rutin melaksanakan shalat tahajud dimana tingkat stres pada santri yang rutin
38
melaksanakan shalat tahajud lebih rendah dibanding mereka yang tidak rutin
melaksanakannya.42
2.1.6. Pemeriksaan Densitometri
2.1.6.1.Definisi
Pemeriksaan densitometri merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengukur kepadatan tulang, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis osteoporosis, menilai prediksi fraktur, dan faktor prognosis, serta
memonitor terapi.1 Terdapat beberapa keadaan yang diindikasikan untuk
dilakukannya pemeriksaan densitas massa tulang seperti pada tabel 1.
Tabel 2.1 Indikasi Pemeriksaan Bone Mineral Density
1. Wanita berusia > 65 tahun 2. Wanita pascamenopause yang berusia < 65 tahun dengan faktor risiko 3. Laki-laki berusia ≥ 70 tahun 4. Orang dewasa dengan fraktur fragilitas 5. Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, riwayat merokok, riwayat maternal dengan
fraktur panggul 6. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan densitas massa
tulang yang rendah atau kehilangan massa tulang, seperti hiperparatiroidisme,sindrom malabsorpsi,hipertiroidisme
7. Orang dewasa yang mengonsumsi obat-obatan yang menyebabkan densitas massa tulang rendah, seperti glukokortikoid, antikonvulsan
8. Setiap individu yang dipertimbangkan membutuhkan terapi farmakologik osteoporosis 9. Seorang individu yang sedang menjalani terapi osteoporosis 10. Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa tulang sehingga membutuhkan
terapi
Sumber : Aru W Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam,Ed V Jilid III. Jakarta ; Interna Publishing : 2009.
2.1.6.2.Teknik Densitometri
Terdapat beberapa jenis teknik densitometri, yaitu :
1. Teknik Radiografik
Penurunan kepadatan tulang dengan menggunakan teknik radiografik
dapat diketahui dengan cara membandingkan tulang yang mengalami
demineralisasi dengan tulang yang normal. Pada gambaran film
39
radiografik, tulang yang telah mengalami demineralisasi akan terlihat lebih
gelap (mendekati gambaran jaringan lunak) dibandingkan tulang yang
belum/tidak mengalami demineralisasi.43 Namun demikian, pemeriksaan
densitas massa tulang dengan teknik ini baru dapat menujukkan gambaran
yang jelas ketika terjadi kehilangan kepadatan tulang minimal 30%.1
2. Single Energy Densitometry, Single X-ray Absorptiometry
Teknik ini menggunakan gelombang radiasi yang melewati lengan bawah
distal, prinsip kerjanya yaitu dengan membandingkan radiasi yang
dipancarkan oleh alat (radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah
melalui objek (radiasi transmisi) sehingga terjadi penipisan radiasi
(atenuasi) akibat diserap olel objek tersebut. Densitas massa tulang (Bone
Mass Density) diukur dengan cara membagi bone content yang sesuai
dengan atenuasi dengan area tulang yang diukur, semakin rendah
kepadatan tulang maka gelombang radiasi yang diserap tulang semakin
sedikit sehingga atenuasinya semakin kecil.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknik radiologik, penggunaan
isotop sebagai sumber radiasi diganti dengan sinar X (Single X-ray
Absorptiometry).43
3. Dual Energy Absorptiometry, Dual X-ray Absorptiometry
Teknik ini menggunakan dua energi radiasi. Pada awalnya, teknik ini
menggunakan sumber energi isotop, namun kemudian sumbernya diganti
menjadi sinar X-ray (Dual X-ray Absorptiometry). Dengan menggunakan
teknik ini, dapat dilakukan pengukuran densitas tulang di daerah lumbal,
femur proksimal, lengan bawah bahkan seluruh tubuh.
Hasil yang didapatkan dari pengukuran DXA adalah (1) Densitas massa
tulang pada area yang dinilai (dalam satuan gr/cm2 ), (2) Kandungan
mineral tulang (dalam satuan gram), (3) T-score, perbandingan hasil
densitas massa tulang pasien dengan nilai normal rata-rata densitas massa
tulang pada dewasa muda dan dinyatakan dalam skor deviasi standar.
4. Quantitative Computed Tomography (QCT)
Merupakan teknik densitometri yang dapat mengukur densitas tulang
secara tiga dimensi sehingga hasil pengukurannya berupa densitas
40
volumetrik dengan satuan gram/cm2. Teknik ini digunakan untuk
mengukur densitas tulang belakang.38
5. Quantitative Ultrasound
Merupakan teknik densitometri yang menggunakan teknik ultrasonografik
untuk mengukur densitas tulang perifer, seperti tumit, jari, lengan bawah.
Kelebihan teknik ini, antara lain scanning relatif cepat, tidak
menggunakan radiasi namun akurasinya tidak sebaik dengan teknik
densitometri yang menggunakan sinar X.38
2.1.6.3. DXA (Dual X-ray Absorptiometry) sebagai Baku Emas Penegakkan
Diagnosis Osteoporosis
Dual X-ray Absorptiometry merupakan teknik yang banyak digunakan,
teknik ini digunakan sebagai baku emas dalam penegakkan diagnosis
osteoporosis. Tulang yang dapat diukur densitasnya dengan DXA adalah tulang
belakang, panggul, lengan bawah, calcaneus, dan seluruh tubuh. Hasil yang
diperoleh dari pengukuran densitas massa tulang dengan teknik DXA adalah nilai
BMD areal (satuan gram/cm2), T-score, Z-score.38
T-score merupakan perbandingan nilai densitas massa tulang pasien
dengan nilai densitas massa tulang rata-rata orang muda normal (dinyatakan
dalam bentuk skor deviasi standar), sedangkan Z-score adalah perbandingan nilai
densitas massa tulang pasien dengan nilai densitas massa tulang rata-rata individu
seusia pasien (dinyatakan dalam skor deviasi standar).
41
Gambar 2.11 Kriteria Diagnosis Osteoporosis Berdasarkan Nilai T-score
(Menurut WHO)
Sumber : Anonim. 2017.One Stop Spine : Osteoporosis (online) tersedia di link :
http://www.punespinesurgeon.com/osteoporosis/ pada Februari 2017.
Kriteria klasifikasi tersebut tidak bisa digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis
pada wanita premenopause sehat (usia 20 hingga usia menopause), pria, dan anak-
anak.38
Gambar 2.12 Alat Dual X-ray Absorptiometry
Sumber : Anonim. DEXA- Central Bone Densitometry (online) tersedia di link : //
http://www.coloradoarthritis.com/dual-energy-x-ray-absorptiometry.html pada
Februari 2017.
42
2.1.6.4.Quantitative Ultrasound (QUS) sebagai Skrining Osteoporosis
Teknik densitometri ini menggunakan gelombang suara untuk mengukur
densitas massa tulang pada os.calcaneus, os.phalanges, os.patella, dan os.tibia.3,11
Teknik ini memiliki beberapa keuntungan, di antaranya noninvasif, tidak
menggunakan radiasi, murah, mudah dibawa namun penggunaan teknik ini dalam
memutuskan terapi awal antiosteoporosis dan dalam memantau terapi
antiosteoporosis masih diragukan.3 Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Kok Yong Chin (2013) yang menyatakan bahwa alat QUS
dapat memperlihatkan densitas massa tulang, kondisi mikroarsitektur tulang, dan
kekuatan tulang serta dapat digunakan untuk memprediksi risiko fraktur di
kemudia hari. Berdasarkan alasan tersebut, alat QUS disarankan sebagai alat
skrining osteoporosis terutama di negara berkembang yang mana pemeriksaan
DXA tidak memungkinkan untuk dijadikan alat skrining.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faiz R Hashmi pada tahun 2016,
disebutkan bahwa pemeriksaan ultrasound di tumit untuk memprediksi densitas
massa tulang yang berkaitan dengan osteoporosis memiliki sensitivitas sebesar
53% dan spesifisitas sebesar 86%.44
Gambar 2.13 Alat Quantitative Ultrasound
Sumber : Anonim. 2017. Achilles (online) tersedia di link : //
http://www.coloradoarthritis.com/dual-energy-x-ray-absorptiometry.html pada
Februari 2017
43
Penelitian Handayani (2013) mengenai gambaran risiko osteoporosis
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada lansia juga menggunakan alat
densitometri Hologic Sahara Quantitative Ultrasound untuk mengukur densitas
tulang pada tulang calcaneus. Alat pengukuran diletakkan di tumit subjek
penelitian kemudian melalui transmisi suara dapat diketahui densitas massa tulang
subjek penelitian tersebut. Hasilnya merupakan nilai T-score dimana subjek
dengan nilai T-score ≥ -1 SD memiliki densitas massa tulang yang normal, T-
score bernilai antara -1 hingga -2,5 SD memiliki denistas mineral tulang yang
mulai berkurang (osteopenia), serta nilai T-score ≤ -2,5 SD memiliki arti bahwa
subjek penelitian mengalami osteoporosis.45 Namun demikian, berdasarkan
beberapa penelitian disebutkan bahwa kriteria T-score dari WHO tidak bisa
langsung diaplikasikan pada alat Quantitative Ultrasound karena beberapa hal,
yaitu perbedaan teknik serta lokasi pengukuran antara DXA dengan QUS, selain
itu terdapat beberapa jenis alat QUS yang mana setiap masing-masing alat
tersebut memiliki nilai T-score yang berbeda-beda.
44
2.2 Kerangka Teori
keterangan :
= yang diteliti (hubungan kadar kalsium serum dengan osteoporosis)
= faktor perancu yang dianalisis
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi1
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi1
Genetik (riwayat fraktur dalam keluarga)
Aktivitas fisik kurang
Konsumsi obat-obatan glukokortikoid
Merokok
Konsumsi alkohol
Penyakit kronik Resorpsi tulang > formasi tulang
Densitas massa tulang
Usia
Jenis kelamin
Indeks massa tubuh
Osteoporosis
Defisiensi Kalsium
45
2.3 Kerangka Konsep
Kadar kalsium serum
Densitas Massa Tulang Calcaneal
Faktor Perancu :
-Usia -Jenis Kelamin -Indeks Massa Tubuh
46
2.5 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Interpretasi
(normal)
Pengukur Alat ukur Cara ukur Skala ukur
1. Kadar
kalsium
serum
Jumlah zat
kalsium yang
terdapat pada
serum (dalam
satuan mg/dL)
Kalsium
total46-47
1.Rendah : <
8,5 mg/dL
2.Normal : 8,5-
10,5 mg/dL
3.Tinggi :
>10,5mg/dL
Laboran Pengambilan
serum darah
Kategorik
ordinal
2. Densitas
Massa Tulang
(Calcaneus)
Rasio berat
tulang terhadap
volume tulang
T-score alat
QUS14,48
1.Osteporosis :
≤-1,9 SD
2.Tidak
osteoporosis :
>-1,9 SD
Peneliti Densitometer
(Hologic
Sahara
Quantitative
Ultrasound)
Pengukuran
secara
langsung
pada tulang
calcaneus
Kategorik
ordinal
3. Lanjut usia Usia responden
pada saat
dilakukan
penelitian
Menurut Badan
Pusat Statistik
tahun 2013
1.Lansia Muda
: usia 60-69
tahun
2.Lansia
Madya : usia
Peneliti Lembar
kuisioner
Wawancara Kategorik
ordinal
47
70-79 tahun
4. Jenis Kelamin Jenis kelamin
responden yang
dibedakan
menjadi pria
dan wanita
1.Pria
2.Wanita
Peneliti Lembar
kuisioner
Wawancara Kategorik
nominal
5. Indeks Massa
Tubuh
Berat badan
dalam satuan
kilogram (kg)
dibagi dengan
tinggi badan
dalam satuan
meter kuadrat
(m2)
Menurut
Depkes 2002
Kekurangan
berat badan
tingkat berat :
<17 kg/m2
(1.00)
Kekurangan
berat badan
tingkat ringan :
17,0-18,4
kg/m2 (2.00)
Normal : 18,5-
25,0 kg/m2
(3.00)
Kelebihan
berat badan
tingkat ringan :
25,1-27,0
kg/m2 (4.00)
Kelebihan
berat badan
tingkat berat :
Peneliti Alat ukur
tinggi badan
dan
timbangan
berat badan
Mengukur
tinggi badan
dan berat
badan lalu
dihitung
dengan
rumus berat
badan dibagi
tinggi badan
yang telah
dikuadratkan
Kategorik
ordinal
48
> 27 kg/m2
49
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik cross sectional
untuk mengetahui hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas
massa tulang calcaneal pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
1.2 Waktu dan Tempat
1.2.1 Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Mei 2017
1.2.2 Tempat
Penelitian ini dilakukan di Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(KPKM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berlokasi Reni Jaya, Pamulang.
1.3 Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data primer,
yaitu data yang diperoleh dari sumber asli secara langsung. Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah responden yang berusia ≥ 60 tahun.
1.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target : Semua individu lanjut usia yang berusia ≥ 60
tahun.
Populasi terjangkau : Semua individu lanjut usia yang berusia ≥ 60
tahun yang datang ke KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2017.
50
Sampel : Semua individu lanjut usia yang berusia ≥ 60
tahun yang datang ke KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bulan Februari-Mei tahun 2017 dan diperiksa kadar kalsium
serumnya serta densitas massa tulang calcaneal nya.
3.5 Besar Sampel Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik korelatif sehingga rumus yang digunakan sebagai berikut :49,50,51
n = � 𝑍𝛼+𝑍𝛽0,5𝑙𝑛1+𝑟1−𝑟
�2
+ 3
n = �1,960+0,8420,5𝑙𝑛1+0,351
1−0,351�2
+ 3
n = � 2,800,5 ln(2.08)
�2 + 3
n = � 2,80(0,5 𝑥 0,73)
�2 + 3
n = � 2,80,36
�2 + 3
n = (7,77)2 + 3
n = 60,37 + 3
n = 63 orang besar sampel minimal sebanyak 63 orang
keterangan :46,47
Zα = deviat baku normal untuk α. Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah sehingga Zα = 1,960
Zβ = deviat baku normal untuk β. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% sehingga Zβ = 0,842
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,35126
51
3.6 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah consecutive sampling , yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria
penelitian dijadikan sebagai subjek penelitian. Pengambilan sample ini
dilakukan hingga kurun waktu tertentu hingga jumlah subjek penelitian
yang dibutuhkan terpenuhi.
3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.7.1. Kriteria Inklusi
1. Usia ≥ 60 tahun
2. Datang ke KPKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2017
3.7.2. Kriteria Eksklusi
1. IMT >27 kg/m2
3.8 Alat dan Bahan
Alat dan bahan untuk memeriksa kadar kalsium serum
Densitometri Quantitative Ultrasound (HOLOGIC SAHARA Clinical
Bone Sonometer), kertas, bolpoin, laptop, program SPSS.
Pengukuran densitas massa tulang menggunakan alat HOLOGIC SAHARA
Clinical Bone Sonometer. Alat tersebut dapat mengukur kepadatan mineral
tulang calcaneal (tumit) secara kuantitatif. Hasil pengukuran tersebut jika
disertai faktor risiko lain dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
osteoporosis. Cara kerja alat ini sebagai berikut : pasien didudukkan di
kursi dan kakinya, yang sebelumnya telah diolesi Sahara Ultrasound
Coupling Gel, diposisikan di alat kemudian sepasang bantalan elastis yang
telah dihubungkan dengan transduser suara akan menekan bagian
calcaneal pasien. Selanjutnya gelombang suara berfrekuensi tinggi yang
diproduksi oleh salah satu transduser suara akan ditransmisikan melalui
tumit dan diterima oleh transduser suara di hadapannya. Kemudian alat
tersebut akan mengukur kecepatan dan redaman gelombang suara pada
52
tumit yang diperiksa. Hasil pengukurannya berupa Quantitative
Ultrasound Index serta nilai estimated heel T-score yang digunakan
sebagai perkiraan densitas massa tulang pada tulang calcaneal .
Gambar 3.1 Proses Pemeriksaan Densitas Massa Tulang Calcaneal dengan
Alat Hologic Sahara Quantitative Ultrasound.
53
3.9 Alur Penelitian
3.10 Identifikasi Variabel
3.10.1 Variabel Bebas
Kadar kalsium serum dalam skala kategorik ordinal.
3.10.2 Variabel Terikat
Densitas massa tulang calcaneal yang diukur dengan alat densitometri
Hologic Sahara Quantitative Ultrasound dalam skala kategorik
ordinal.
Penentuan jumlah sampel dan teknik
pengambilan sampel
Perizinan ke KPKM Reni Jaya UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Informed consent kepada subjek
penelitian
Melakukan pemeriksaan kadar
kalsium serum
Melakukan pemeriksaan densitas massa tulang calcaneal
menggunakan Hologic Sahara Quantittaive ULtrasound
Melakukan analisis data dengan
menggunakan program SPSS
54
3.11 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
3.11.1. Pengolahan data49
1.) Editing
Merupakan tahap pertama dalam proses pengolahan data
penelitian. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan untuk
mengecek kelengkapan,keterbacaan, serta kesesuaian
jawaban dan untuk mengoreksi data yang belum jelas.
2.) Coding
Pada tahapan ini, data yang sudah terkumpul akan
dikelompokkan dan diberi kode untuk memudahkan dalam
pemasukkan data.
3.) Tabulating atau Data Entry
Data yang sudah dikelompokkan dan diberi kode
selanjutnya dilakukan penyusunan. Proses tabulasi
(penyusnan data) dapat dilakukan secara manual maupun
dengan menggunakan komputer. Proses penyusunan data
dalam komputer disebut data entry
3.11.2. Analisis data
Setelah dilakukan pengolahan data, data dianalisis dengan
menggunakan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
kadar kalsium serum sebagai variabel independen dengan
densitas massa tulang calcaneal sebagai variabel dependen
dengan menggunakan program software SPSS. Pada saat
melakukan analisis bivariat, digunakan uji chi square karena
kedua variabel merupakan kategorik selanjutnya dilakukan uji
korelasi Spearman untuk mengetahui derajat kekuatan
hubungan keduanya. Selain itu, dihitung pula nilai Odds Ratio
(OR)
Setelah dilakukan analisis bivariat, analisis multivariat juga
digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen lain
mempengaruhi hubungan antara kadar kalsium serum dengan
densitas massa tulang calcaneal.
55
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(KPKM) Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama bulan Februari-Mei
2017. Subjek penelitian berjumlah 63 orang yang merupakan lansia berusia ≥60
tahun yang datang ke KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
bersedia menjadi responden penelitian serta mengikuti pemeriksaan. Sumber data
diperoleh dari data primer, yaitu dilakukan pengukuran secara langsung terhadap
densitas massa tulang calcaneal responden dengan alat Hologic Sahara
Quantitative Ultrasound dan kadar kalsium serum bekerja sama dengan
laboratorium Prodia.
4.1. Karakteristik Responden
4.1.1.Usia Responden
Subjek penelitian ini merupakan individu lanjut usia yang berusia ≥60 tahun.
Terdapat 49 orang (77,8%) lansia muda , yaitu berusia 60-69 tahun dan 14 orang
(22,2%) lansia madya yang berusia 70-79 tahun. Usia termuda 60 tahun dan tertua
70 tahun dengan rata-rata usia 65,43 (SD = 4,55). Data usia diperoleh berdasarkan
hasil wawancara dengan responden. Hasil ini sesuai dengan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan tahun 2015 yang menujukkan bahwa
terdapat 47.901 penduduk lansia yang berusia 60-69 tahun, sedangkan penduduk
lansia yang berusia 70-79 tahun berjumlah 22.143 orang.52
Table 4.1 Karakteristik Usia Responden
No. Usia Frekuensi (n) Persentase (%) 1. 60-69 49 77,8% 2. 70-79 14 22,2% Jumlah 63 100%
Di bawah ini merupakan grafik yang menggambarkan frekuensi usia responden.
56
Gambar 4.1 Frekuensi usia responden dengan menggunakan diagram batang
4.1.2 Jenis Kelamin Responden
Sebagian besar subjek pada penelitian ini berjenis kelamin wanita sebanyak 46
orang (73%) dan sisanya adalah pria sebanyak 17 orang (27%). Data diperoleh
dari hasil wawancara dengan responden. Namun demikian berdasarkan data BPS
Kota Tangerang Selatan tahun 2015 jumlah lanjut usia yang berjenis kelamin pria
sebanyak 25.906 orang dan sebanyak 21.995 penduduk lansia berjenis kelamin
wanita. Terdapat ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan data BPS, hal
tersebut dapat disebabkan karena lebih banyak responden wanita yang menjadi
subjek penelitian.
Tabel 4.2 Frekuensi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase
1. Pria 17 27
2. Wanita 46 73
Total 63 100
Berikut merupakan diagram batang jumlah subjek penelitian berdasarkan jenis
kelamin
57
Gambar 4.2 Diagram Batang yang Menggambarkan Jumlah Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
4.1.3 Indeks Massa Tubuh Responden
Sebagian besar subjek penelitian memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang normal
(18,5-25 kg/m2 ), yaitu sebanyak 32 orang (50.8%). Terdapat 28 orang (44,4%)
memiliki IMT overweight (25,1-27) dan 3 orang sisanya masuk dalam kategori
underweight, dimana 2 orang (3,2%) memiliki IMT <17 kg/m2 dan 1 orang
(1,6%) memiliki IMT 17-18,4.
Tabel 4.3 Karakteristik Indeks Massa Tubuh Responden
No. Kategori IMT Frekuensi (n) Persentase (%)
1. <17 kg/m2 2 3,2
2. 17-18,4 kg/m2 1 1,6
3. 18,5-25 32 50,8
4. 25,1-27 28 44,4
Total 63 100
Grafik di bawah ini menunjukkan frekuensi indeks massa tubuh subjek penelitian
berdasarkan kategori Departemen Kesehatan 2002.
58
Grafik 4.3 Frekuensi IMT Responden dalam Bentuk Diagram Batang.
4.1.4 Kadar Kalsium Serum Responden
Pengukuran kadar kalsium serum responden bekerja sama dengan laboratorium
Prodia. Kadar kalsium serum diukur dalam satuan mg/dL. Terdapat 2 orang
(3,2%) yang memiliki kadar kalsium rendah, yaitu < 8,5mg/dL sedangkan 61
orang (96,8%) lainnya memiliki kadar kalsium serum yang normal, yaitu 8,5-10,5
mg/dL serta tidak ada responden yang memiliki kadar kalsium serum di atas
normal. Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Desmon
L dkk mengenai gambaran kalsium serum pada usia 60-74 tahun, didapatkan hasil
bahwa 21 responden memiliki kadar kalsium serum normal, 1 orang memiliki
kadar kalsium serum rendah dan 15 orang memiliki kadar kalsium serum tinggi.53
Tabel 4.4 Frekuensi Kadar Kalsium Serum Responden
No. Kadar Kalsium Serum Frekuensi (n) Persentase (%)
1. <8,5 mg/dL 2 3,2
2. 8,5-10,5 mg/dL 61 96,8
Total 63 100
Diagram batang berikut menunjukkan frekuensi kadar kalsium serum responden
59
Grafik 4.4 Frekuensi Kadar Kalsium Serum Responden dalam Bentuk Diagram
Batang
4.1.5 Gambaran Densitas Massa Tulang Calcaneal Responden dalam Bentuk
Estimated Heel T-score
Pengukuran T-score dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan
menggunakan alat Hologic Sahara Quantitative Ultrasound. Pengukuran tersebut
memberikan hasil berupa estimated heel T-score yang mana memiliki cut off
value dengan T-score berdasarkan klasifikasi WHO, yaitu sebesar ≤ -1,9 SD
Berdasarkan hasil pengukuran, terdapat 22 responden (34,9%) dikategorikan
osteopeni, 41 responden (65,1%) dikategorikan osteoporosis, serta tidak ada
responden yang memiliki densitas massa tulang calcaneal yang normal. Hasil
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ria Andriani (2016) yang
juga melakukan pengukuran kepadatan tulang dengan alat Quantitative
Ultrasound. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil sebanyak 57 orang
mengalami osteopeni, 44 orang mengalami osteoporosis, dan 9 orang memiliki
kepadatan tulang yang normal.54
60
Tabel 4.5 Gambaran Densitas Massa Tulang Calcaneal Responden dalam Bentuk
Estimated Heel T-score
No. Estimated Heel T-score Frekuensi (n) Persentase (%)
1. ≤-1,9 SD 41 65,1
2. (-1,89)-(+3.0) SD 22 34,9
Total 63 100
Grafik 4.5 Gambaran Estimated Heel T-score Responden dalam Bentuk Diagram
Batang
4.2 Korelasi antara Kadar Kalsium Serum dengan Densitas Massa Tulang
yang Digambarkan dalam Bentuk Estimated Heel T-Score
Untuk mengetahui hubungan antara kadar kalsium serum sebagai variabel
independen dengan Estimated Heel T-Score sebagai variabel dependen digunakan
analisis bivariat. Uji analisis yang digunakan adalah uji chi square karena kedua
variabel termasuk kategorik ordinal. Setelah data diuji dengan uji hipotesis chi
square ditemukan 2 sel yang memiliki nilai ekspektasi < 5 sehingga p value
diperoleh dari Fisher’s Exact Test. Berdasarkan uji tersebut didapatkan p value >
61
0,05 yaitu sebesar 1,00 yang berarti Ho diterima sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang tidak bermakna antara kadar kalsium serum
dengan estimated heel T-score. Untuk mengetahui nilai korelasi antara kadar
kalsium serum dengan estimated heel T-score menggunakan uji korelasi
Spearman dan didapatkan nilai korelasi (r) sebesar -0.057 yang berarti tidak ada
hubungan linear yang jelas.
Tabel 4.6 P-value (Hasil Uji Fisher’s Exact Test)
Fisher’s Exact Test P-value : 1.000
Tabel 4.7 Korelasi Kadar Kalsium Serum dengan Estimated Heel T-Score
Korelasi P value Arah korelasi Koefisien korelasi (r)
Kadar kalsium serum
dengan estimated heel
T-score
1.00 Negatif -0.057
Pada uji hipotesis chi square hanya dapat mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara dua variabel, untuk mengetahui perkiraan risiko digunakan odds ratio.
Berdasarkan hasil perhitungan odds ratio, didapatkan hasil 0.052 (95% CI : 0,031-
8,823) yang berarti bahwa responden dengan kadar kalsium serum rendah berisiko
0.052 kali memiliki T-score ≤ -1,9 dibandingkan dengan responden dengan kadar
kalsium normal.
Tabel 4.8 Tabulasi Silang antara Kadar Kalsium Serum dengan Densitas Massa
Tulang Calcaneal (dalam bentuk Estimated Heel T-score)
T-score ≤ (-1,9 SD) T-score [(--1,89)-(3.0)] SD Total
Kadar kalsium
serum rendah
1 1 2
Kadar kalsium
serum normal
40 21 61
62
(lanjutan)
Total 41 22 63
Grafik 4.6 Sebaran Frekuensi Estimated Heel T-score Berdasarkan Kadar
Kalsium Serum
Berdasarkan grafik di atas, dapat terlihat bahwa sebagian besar subjek penelitian
yang memiliki kadar kalsium normal, yaitu 8,5-10,5 mg/dL, memiliki densitas
massa tulang yang rendah sedangkan hanya satu orang dengan kadar kalsium
rendah yang memiliki densitas massa tulang yang rendah. Menurut Frost et all,
nilai T-score -1,9 SD merupakan titik potong diagnosis osteoporosis antara alat
Quantitative Ultrasound (QUS) dengan Dual Energy Xray Absorptiometry
(DXA). Dengan kata lain, seorang individu yang terdiagnosis osteoporosis oleh
alat DXA berdasarkan kriteria WHO (≤ -2,5 SD) dapat terdiagnosis osteoporosis
oleh alat QUS pada saat nilai T-Score mencapai 1,9 SD.13 Berdasarkan buku Bone
Densitometry in Clinical Practice karangan Sydney Lou B, disebutkan bahwa
wanita dikatakan osteopenia dengan alat QUS Hologic Sahara pada T-score antara
-1,9 SD hingga 0.3 SD sedangkan dikatakan osteoporosis ketika T-score bernilai
63
≤ -1,9 SD.48 Walaupun demikian, alat QUS tersebut tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis osteoporosis karena diagnosis baku osteoporosis menggunakan alat
DXA dan didasarkan pada kriteria WHO. Beberapa studi mendukung bahwa alat
QUS tersebut dapat digunakan sebagai skrining osteoporosis. Kriteria diagnosis
osteoporosis dari WHO tidak dapat diaplikasikan pada alat QUS untuk
mendeteksi risiko fraktur akibat osteoporosis karena beberapa alasan, di antaranya
(1) kedua alat tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menilai kondisi
tulang, selain akan lokasi pengukurannya pun berbeda, (2) lebih banyak individu
yang tidak terdiagnosis osteoporosis ketika kriteria WHO diaplikasikan pada alat
QUS karena kecepatan bone loss pada tulang calcaneus lebih lambat dibanding
tulang hip atau femur, (3) nilai T-score akan bervariasi sesuai dengan jenis alat
QUS. Oleh karena itu, peneliti menjadikan nilai estimated heel T-score sebesar ≤ -
1,9 SD sebagai titik potong dengan nilai t-score ≤-2,5 SD berdasarkan kriteria
WHO.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan p value >0,05 sehingga disimpulkan tidak
terdapat perbedaan T-score yang signifikan antara lansia dengan kadar kalsium
serum rendah maupun normal dengan kata lain bahwa hubungan antara kadar
kalsium serum dengan densitas massa tulang calcaneal tidak signifikan. Hasil
yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Adarshjit Singh dkk
dengan menggunakan alat quantitative ultrasound di mana terdapat 59 wanita
postmenopause dengan kadar kalsium < 8,5 mg/dL memiliki T-score (-1)-(-2,5)
dan 91 wanita postmenopause dengan kadar kalsium < 8,5 mg/dL memiliki nilai
T-score ≤-2,5 dan menghasilkan p value 0,0004 sehingga dapat disimpulkan
terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan densitas massa tulang.55
Hasil yang tidak signifikan tersebut dapat disebabkan oleh karena bukan faktor
risiko defisiensi kalsium yang menyebabkan densitas massa tulang lansia rendah
melainkan faktor risiko yang lain. Seiring bertambahnya usia akan terjadi high
bone turnover, yaitu peningkatan resorpsi tulang dan penurunan formasi tulang
yang menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium ke dalam darah sehingga
lansia berisiko untuk mengalami keadaan hiperkalsemia. Namun demikian, hal
tersebut dapat dicegah melalui beberapa kompensasi, antara lain dengan
peningkatan ekskresi kalsium lewat urin serta penurunan kemampuan absorpsi
64
kalsium di usus.56 Untuk lebih memastikan terjadinya peningkatan resorpsi tulang
pada lansia diperlukan pemeriksaan hormon paratiroid.
Hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Arofani
Hermastuti pada wanita dewasa muda didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara asupan kalsium dengan densitas massa tulang dengan p
value 0,03 dan nilai korelasi 0,351 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
asupan kalsium maka semakin besar kepadatan tulangnya. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan hasil yang sama ketika diaplikasikan pada subjek remaja,
dewasa muda, pascamenopause, serta postmenopause.26 Selain itu, dalam
penelitian lain yang dilakukan oleh Ai Sri K (2007) juga disebutkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara asupan kalsium dengan kepadatan
tulang yang dibuktikan dengan p value sebesar 0,051 dengan nilai korelasi 0,873.
Subjek penelitian tersebut merupakan wanita pascamenopause.11
4.3 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Densitas Massa Tulang
Calcaneal
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari faktor perancu terhadap variabel
dependen dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi biner.
Faktor perancu yang mungkin juga berpengaruh terhadap densitas massa tulang
calcaneal , antara lain usia, jenis kelamin, serta indeks massa tubuh.
Setelah dilakukan uji regresi biner, didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hubungan usia dengan densitas massa tulang calcaneal
Responden dengan usia 60-69 tahun memiliki kecenderungan 1.19x
dibanding responden usia 70-79 untuk memiliki nilai estimated heel T-
score (-1,89)-(3,0)SD dengan p value sebesar 0,814 sehingga usia tidak
mempengaruhi densitas massa tulang calcaneal secara signifikan.
Tabel 4.9 Hasil Multivariat Hubungan Usia dengan Densitas Massa
Tulang Calcaneal
Usia Exp(B) Sig
60-69 tahun 1,190 0,814
65
2. Hubungan jenis kelamin dengan densitas massa tulang calcaneal
Responden yang berjenis kelamin pria memiliki kecenderungan 3,56x
dibanding responden yang berjenis kelamin wanita untuk memiliki nilai
estimated heel t-score (-1,89)-(3,0)SD dengan p value sebesar 0,72
sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi densitas massa tulang
calcaneal secara signifikan.
Tabel 4.10 Hasil Multivariat Hubungan Jenis Kelamin dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal
Jenis Kelamin Exp(B) Sig
Pria 3,566 0,072
3. Hubungan indeks massa tubuh (IMT) dengan densitas massa tulang
calcaneal
Responden dengan indeks massa tubuh 18,5-25,0 kg/m2 memiliki
kecenderungan 0,295x dibanding responden dengan indeks massa tubuh
25,1-27 kg/m2 untuk memiliki nilai estimated heel t-score (-1,89)-(3,0)SD
dengan p value 0,043 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan densitas
massa tulang calcaneal yang berarti bahwa lansia dengan indeks massa
tubuh 18,5-25,0 kg/m2 dapat bersifat protektif untuk tidak mengalami
osteopenia dibanding kelompok indeks massa tubuh 25,1-27,0 kg/m2 .
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ai Sri
K (2007) yang meneliti tentang hubungan indeks massa tubuh dengan
densitas massa tulang pada wanita pascamenopause. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut didapatkan p value 0,046 dengan nilai korelasi (r)
sebesar 0,203 yang berarti bahwa semakin besar indeks massa tubuh,
semakin baik kepadatan tulang dalam arti lain semakin kecil indeks massa
tubuh seseorang maka semakin besar risiko mengalami osteoporosis.11
Selain itu, hasil yang berbeda juga ditemukan pada penelitian yang
dilakukan oleh Wisnu W (2012) yang menyatakan bahwa terdapat
66
hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kejadian
osteoporosis, dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa responden yang
memiliki indeks massa tubuh ≤18 kg/m2 lebih banyak yang mengalami
osteoporosis dibandingkan dengan responden yang memiliki indeks massa
tubuh >18 kg/m2 dengan p value sebesar 0,047.57 Pada penelitian lain
mengenai Rasio Risiko Osteoporosis Menurut Indeks Massa Tubuh yang
dilakukan oleh Elsa Adlina (2015) didapatkan hasil bahwa wanita yang
memiliki IMT <18,5 kg/m2 berisiko mengalami osteoporosis 2,99x lebih
besar dibandingkan wanita yang memiliki IMT ≥18 kg/m2 .58
Tabel 4.11 Hasil Multivariat IMT dengan Densitas Massa Tulang
Calcaneal
Indeks Massa Tubuh Exp(B) Sig
18,5-25,0 kg/m2 0,295 0,043
4.4 Keterbatasan Penelitian
1. Responden pada penelitian ini merupakan pasien KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang umumnya hanya berasal dari sebagian kecil daerah di
Tangerang Selatan dan tidak mengambil sampel dari populasi yang lebih luas lagi
karena keterbatasan energi dan waktu.
2. Hasil pemeriksaan tidak bisa dicetak karena keterbatasan alat sehingga peneliti
tidak bisa melihat parameter pengukuran densitas massa tulang calcaneal yang
lain serta grafik yang menunjukkan nilai T-score dan Z-score.
3. Peneliti belum menemukan standarisasi parameter lain yang dapat dijadikan
acuan untuk menilai densitas massa tulang calcaneal dengan alat quantitative
ultrasound.
67
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
1.1 Simpulan
Tidak terdapat korelasi antara kadar kalsium serum dengan densitas massa
tulang calcaneal pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2017 dengan p value 1,00 dan nilai korelasi (r) -0,057
yang berarti bahwa tidak ada hubungan linear yang jelas.
1.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran,
diantaranya :
a. Bagi masyarakat
1.) Bagi lansia, khususnya yang memiliki beberapa faktor risiko
osteoporosis, disarankan untuk rutin melakukan pemeriksaan
densitometer minimal dengan alat quantitative ultrasound
walaupun alat tersebut tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis osteoporosis namun alat tersebut dapat
digunakan untuk melihat status kesehatan tulang dan menilai
risiko fraktur sehingga dapat digunakan sebagai alat skrining
osteoporosis
2.) Disarankan kepada remaja dan dewasa muda, khususnya yang
belum mencapai puncak massa tulangnya, untuk menghindari
faktor risiko osteoporosis, seperti mencukupi asupan kalsium
dan vitamin D, melakukan aktivitas fisik yang cukup dan sesuai
untuk kesehatan tulang, tidak merokok, tidak mengonsumsi
alkohol, serta hindari mengonsumsi obat glukokortikoid dalam
jumlah besar dan jangka waktu lama.
3.) Untuk para lansia yang sudah mengalami osteoporosis,
sebaiknya dilakukan pencegahan supaya tidak terjadi fraktur
akibat osteoporosis, seperti berhati-hati dalam berjalan atau
beraktivitas khususnya di tempat-tempat yang berisiko tinggi
untuk menyebabkan seorang lansia terjatuh.
68
b. Bagi pemerintah
1.) Sebaiknya disediakan alat densitometer seperti quantitative
ultrasound sebagai alat skrining osteoporosis di Pelayanan
Primer sehingga para lansia, khususnya yang memiliki
beberapa faktor risiko osteoporosis dapat terdeteksi dini
sebelum terjadinya fraktur akibat osteoporosis.
c. Bagi peneliti lain
1.) Disarankan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
sejenis dengan penelitian ini, jumlah sampelnya bisa lebih
banyak dan bervariasi tidak hanya terbatas dari suatu daerah.
2.) Untuk penelitian berikutnya, disarankan untuk tidak hanya
memeriksa kadar kalsium serum namun juga dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap kadar Paratiroid Hormone (PTH) untuk
lebih mengetahui proses resorpsi tulang yang terjadi.
3.) Untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan parameter
alat quantitative ultrasound yang lain, seperti BUA, SOS
sebagai variabel independen.
69
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Riset ini merupakan bagian kerjasama riset mahasiswa dan kelompok riset
Osteoartritis dan Osteoporosis pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dibiayai oleh dr.Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid serta di
bawah bimbingannya.
70
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 6. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI ; 2009. Bab 291, Osteoporosis; h1269.
2. World Health Organization. WHO Criteria for Diagnosis of Osteoporosis
[Internet]. WHO [dikutip Agustus 2016]. Tersedia pada
http://www.4bonehealth.org/education/world-health-organization-criteria-
diagnosis-osteoporosis/.
3. Szulc P. Overview of Osteoporosis : Epidemiology and Clinical
Management [Internet]. IOF [dikutip pada Agustus 2016]. Tersedia pada
https://www.iofbonehealth.org/sites/default/files/PDFs/Vertebral%20Fract
ure%20Initiative/IOF_VFI-Part_I-Manuscript.pdf.
4. Vijayakumar R, Busselberg D. Osteoporosis : An under-recognized public
health problem, Local and global risk factors and its regional and
worldwide prevalence. Journal of Local and Global Health Science. 2016 :
2.
5. Modi A, Ebeling PR, Lee MS. Medication Use Pattern, Treatment
Satisfication, and Inadequate Control of Osteoporosis Study in the Asia-
Pasific Region (MUSIC OS-AP) : Design of a multinational, prospective,
observational study examining the impact of gastrointestinal events on
osteoporosis management in postmenopausal women. Elsevier Inc. 2015.
6. Sugimoto T, Sato M, Dehle FC. Lifestyle-Related Metabolic Disorders,
Osteoporosis, and Fracture Risk in Asia : A Systematic Review. Elsevier
Inc. 2016
7. Kementerian Kesehatan RI. Data dan Kondisi Penyakit Osteoporosis di
Indonesia [Internet]. Indonesia [dikutip pada Agustus 2016]. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
osteoporosis.pdf
8. Pranoto A. Osteoporosis Secara Umum. Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2003.
9. Tortora GJ. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 12. USA :
WILEY; 2009. h175-191.
71
10. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan
Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. 2013.
11. Ai SK. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks Massa
Tubuh dan Kepadatan Tulang Pada Wanita Pascamenopause. Tesis.
Semarang. Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2007. h51-57.
12. Rolfes W. Understanding Nutrition. Edisi 3. USA : Wadsworth; 2013.
13. Frost ML, Blake GM, Fogelman I. Can the WHO Criteria for Diagnosing
Osteoporosis be Applied to Calcaneal Quantitative Ultrasound.
Osteoporosis Int. 2000; 11: 321-330.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Lanjut Usia (Lansia)
di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016.
15. Badan Pusat Statistik. Angka Harapan Hidup Penduduk Beberapa Negara
(tahun) 1995-2015 . Badan Pusat Statistik. 2014.
16. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Proyeksi Penduduk Indonesia
2010-2035. Badan Pusat Statistik. 2013.
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Buku
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Bab 264, Stuktur dan Metabolisme Tulang;
h1106.
18. Price SA, Lorraine MW. 2002. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit. Edisi 6. Huriawati H. Jakarta : EGC; 2005. h1357.
19. Eroschenko, Victor P. 2008. Atlas Histologi diFiore : dengan korelasi
fungsional. Edisi 11. Didiek Dharmawan. Jakarta: EGC; 2010. h74-103.
20. Sadler TW. 1997. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 7. Evi H
Ronardy. Jakarta: EGC. 2000.
21. Snell RS. 2007. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem (Clinical Anatomy by
Systems). Liliana Sugiharto. Jakarta: EGC; 2011. h281.
22. Sofronescu AG. Phosphate (Phosphorus) [Internet]. [dikutip pada Juli
2017]. Tersedia di http://emedicine.medscape.com.
23. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Edisi 3. New York: The
McGraw-Hill Companies Inc; 2010.
72
24. Theobald HE. Dietary calcium and health [Internet]. [dikutip pada
Desember 2006]. Tersedia pada https://www.nutrition.org.uk/
attachments/105_Dietary%20calcium%20and%20health.pdf.
25. Kini U. Nandeesh BN. Physiology of Bone Formation, Remodelling, and
Metabolism [Internet]. [dikutip pada Februari 2017]. Tersedia
http://link.springer.com/chapter/10.
26. Hermastuti A. Hubungan Indeks Massa Tubuh, Massa Lemak Tubuh,
Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, dan Kepadatan Tulang Pada Wanita
Dewasa. Tesis. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2012.
h14-15.
27. Utomo M, Meikawati W,Putri ZK. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kepadatan Tulang Pada Wanita Postmenopause. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang. 2010; 6(2)
: h5.
28. Dorland, W.A. Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Yanuar Budi
Hartanto. Jakarta : EGC; 2011 : h794.
29. Anonim. Classification of Osteoporosis[Internet]. [dikutip pada Agustus
2016]. Tersedia pada http://www.orthonc.com/osteoporosis-
clinic/classifications-osteoporosis.
30. Kaltsas G, Makras P. Skeletal Disease in Cushing’s syndrome :
osteoporosis vs arthropathy. Pubmed. 2010: 10.
31. Ocarino NM. 2006. Effect of Physical Activity On Normal Bone and On
The Osteoporosis Prevention and Treatment. Rev Bras Med Esporte 12(4
bulan) h150.
32. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010. h506.
33. Anonim. Smoking is a real danger to your bone health [Internet]. [dikutip
[pada gustusus]https://www.iofbonehealth.org/news/smoking-real-danger-
your-bone-health pada 3 September 2017.
34. Wayne S. Alcohol’s Harmful Effect on Bone. Alcohol Health & Research
22(3), h191-192.
73
35. Chiodini I. Role of Cortisol Hypersecretion In The Pathogenesis of
Osteoporosis. Recenti Prog Med, 99(6), 309-13.
36. Louis S, David W, Selvadurai N. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. Edisi 9. London: Holder Arnold; 2010.
37. Yulianingsih S, Djarot N, Haryanto S. Fraktur Akibat Osteoporosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2014 ; 2(2): h1-
6.
38. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
h2650-65.
39. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008 Tentang
Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta : Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
40. Piliang S, Bahri C dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata
MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing. 2009. Bab 320, Hiperkortisolisme. P2062-68.
41. Sher L. Type D Personality : the heart,stress, and cortisol. Q J med. 2005 ;
(98) : 323-329.
42. Azam SM, Abidin Z. EFEKTIVITAS SHALAT TAHAJUD DALAM
MENGURANGI TINGKAT STRES SANTRI.Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro. 2014 : p1-10.
43. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Bab 274, Pemeriksaan Densitometri Pada Tulang;
h1172-1175.
44. Faiz RH, Khaled OE. Heel Ultrasound Scan in Detecting Osteoporosis in
Low Trauma Fracture Patients. Orthop Rev (Pavia). 2016; 8(2) : 6357.
45. Handayani Y, Oktavianus, Trianto HF. Gambaran Risiko Osteoporosis
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Pada Lanjut Usia di Panti Sosial
Tresnawerdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013.
74
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura. 2013 : h4.
46. Skugor M. Hypocalcemia [Internet]. [dikutip pada Juni 2017]. Tersedia di
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/e
ndocrinology/hypocalcemia/.
47. Ginayah M, Sanusi H. Hiperkalsemia. CDK 184. 2011; 38(3): h191-96.
48. Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice : Application and
Interpretation. Edisi 3. USA : Humana Press; 2009.
49. Dahlan MS. LANGKAH-LANGKAH MEMBUAT PROPOSAL
PENELITIAN BIDANG KEDOKTERAN DAN KESEHATAN. Edisi 2.
Jakarta: Sagung Seto; 2014.
50. Sastroasmoro S, Ismael S. DASAR-DASAR METODOLOGI
PENELITIAN KLINIS. Jakarta: Binarupa Aksara; 1995.
51. Swarjana IK. Statistik Kesehatan. Edisi I. Yogyakarta: ANDI; 2016.
52. BPS Kota Tangerang Selatan. Statistik Penduduk Lanjut Usia Berdasarkan
Usia dan Jenis Kelamin, Tangerang Selatan.
53. Desmon L, Yanti MM, Stefana HMK. Gambaran Kadar Kalsium Serum
Pada Usia 60-74 Tahun. 2015; 3(1) : 243-47.
54. Ria A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Tulang Pada
Lansia Awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2015/2016.
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ; 2016.
55. Singh A, Singh H, Patel S. Screening of bone mineral density by
densitometer and correlation with serum calcium and vitamin D levels to
detect early osteoporotic changes in postmenopausal women in slum areas
of Raipur and Kalupur of Ahmedabad. International Journal of Basic and
Clinical Pharmacology. 2015; vol 4 : h960-65.
56. Khosla S, Riggs LB. Pathophysiology of Age-Related Bone Loss and
Osteoporosis. Endocrinol Metab Clin N Am, h1015-1030.
57. Wisnu W. Faktor-Faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan Usia di
Atas 50 Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ; 2012.
75
58. Elsa AL, Fariani S. 2015. Rasio Risiko Osteoporosis Menurut Indeks
Massa Tubuh, Paritas, dan Konsumsi Kafein. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 3(2), h194-204.
76
LAMPIRAN
Lampiran 1 Alat Densitometer Hologic Sahara Quantitative Ultrasound
77
Lampiran 2 Alat Pemeriksaan Kalsium Serum
78
Lampiran 3 Proses Pengambilan Darah dan Pemeriksaan Densitas Massa Tulang
Calcaneal
79
(lanjutan)
80
Lampiran 4 Lembar Etik
Riset ini merupakan bagian kerjasama riset mahasiswa dan kelompok riset
Osteoartritis dan Osteoporosis pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dibiayai oleh dr.Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid serta di
bawah bimbingannya.
81
Lembar 5 Surat Izin Pengambilan Data Penelitian
82
Lembar 6 Informed Consent Responden Penelitian
Lembar Persetujuan (Informed Consent) Responden
Penelitian yang Berjudul Hubungan Kadar Kalsium Serum dengan Densitas
Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017
Assalamu’alaikum wr wb
Saya Amalina Fitrasari, mahasiswi S1 Program Studi Kedokteran dan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bersama dengan kelompok riset dari KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta di bawah bimbingan dr.Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid sedang
melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar
kalsium serum dengan densitas massa tulang calcaneal pada lansia. Penelitian ini
sebagai salah satu prasyarat bagi saya untuk menyelesaikan studi S1 di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Melalui penelitian ini dapat diketahui pencegahan terhadap salah satu faktor risiko
yang menyebabkan osteporosis, yaitu defisiensi kalsium. Semua informasi dari
responden akan kami jaga kerahasiannya. Oleh karena itu, kami mohon kesediaan
Bapak/Ibu untuk bersedia menjadi responden penelitian kami.
Jika Bapak/Ibu bersedia menjadi responden penelitian kami, silakan mengisi
identitas dan tanda tangan di bawah ini.
Terima kasih atas perhatian dan ketersediaan Bapak/Ibu sekalian
Wassalam’alaikum wr wb
Yang menyetujui
Peneliti Responden
( ) ( )
83
Lampiran 7 Lembar Data Penelitian Responden
HUBUNGAN KADAR KALSIUM SERUM DENGAN DENSITAS MASSA
TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KPKM RENI JAYA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Identitas Subjek Penelitian
Nama :
Usia :
Jenis kelamin :
Alamat :
Nomor telp. :
Pemeriksaan Fisik
Indeks Massa Tubuh : BB : kg
TB : cm
IMT : kg/m2
Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium : mg/dL
Pemeriksaan Densitas Massa Tulang Calcaneal (Densitometri)
Estimated Heel T-score :
84
Lampiran 8 Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Amalina Fitrasari
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Maret 1995
Alamat : Villa Pamulang Mas Blok C1 No 75, RT 001/RW
006, Tangerang Selatan
Email : [email protected]
No.Telepon : 082210784427
Riwayat Pendidikan :
• TK Perwanida (1999-2001)
• SDN Bukit Pamulang Indah, Tangerang
Selatan (2001-2007)
• SMP Negeri 17 Kota Tangerang Selatan (2007-
2010)
• SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan (2010-
2013)
• Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014-
sekarang)
Riwayat Organisasi :
• Ketua Organisasi Palang Merah Remaja
(PMR) SMPN 17 Kota Tangerang Selatan
2009-2010
• Anggota Inti Divisi Pendidikan dan
Pelatihan UIN Syahid Medical Rescue
(USMR) tahun 2015-2016
• Kepala Divisi Pendidikan dan Pelatihan UIN
Syahid Medical Rescue (USMR) tahun
2016-2017