HIV-TB terbaru 3

21

Click here to load reader

Transcript of HIV-TB terbaru 3

Page 1: HIV-TB terbaru 3

TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA HIV/AIDS

Pencegahan dan Penatalaksanaan

C Martin Rumende

Pendahuluan

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa hingga tahun 1997

didapatkan + 31 juta orang penderita HIV dan hampir 12 juta orang diantaranya juga

terinfeksi tuberkulosis (TB). Penderita HIV paling banyak dijumpai di Sub Sahara Afrika

dengan jumlah 20,8 juta penderita dan 6-7 juta penderita diantaranya disertai dengan

infeksi TB. Walaupun jumlah populasi penduduknya hanya 10% dari penduduk dunia,

SubSahara Afrika bertanggung jawab terhadap 65% infeksi HIV di dunia. Setelah Afrika

maka Asia merupakan daerah terbesar kedua untuk penderita HIV dimana diperkirakan

ada 6 juta penderita dan 2 juta penderita diantaranya disertai dengan infeksi TB.1

Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun

angka morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia

Tenggara. Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini

karena beberapa alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi

dibandingkan Afrika (40-45% >< 30%), persentase jumlah populasi penduduk yang

tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di Asia sehingga mempermudah penularan serta

prevalensi TB dengan resistensi obat yang lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat

program pengobatan TB yang tidak efektif. WHO memperkirakan akan adanya

peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada dekade berikut.1

Dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia (DepKes RI

2002) disebutkan bahwa prosedur pengobatan penderita TB dengan HIV/AIDS adalah

sama dengan TB tanpa HIV/AIDS.2,3 Namun beberapa penelitian telah melaporkan

beberapa permasalahan yang timbul pada pengobatan TB dengan HIV/AIDS. Makalah

ini mencoba menguraikan permasalahan tersebut serta cara mengatasinya.

Pengggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam pengobatan

dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa permasalahan yaitu adanya

1

Page 2: HIV-TB terbaru 3

tumpang tindih toksisitas dari obat antiretrovirus dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan

obat antiretrovirus yang kompleks, serta adanya reaksi paradoksal.4

Efek toksik OAT dan obat antiretrovirus yang tumpang tindih

Pemakaian OAT dan obat antiretrovirus secara bersamaan dapat menyebabkan efek

samping yang sering kali sulit ditentukan penyebabnya. Efek samping OAT sering didapatkan

pada penderita TB dengan HIV/AIDS.5 Obat antiretrovirus dapat juga menimbulkan efek

samping, sehingga penggunaan kedua golongan obat-obat tersebut dapat menyebabkan

timbulnya efek samping yang saling tumpang tindih ( tabel 1). Untuk menghindari efek tersebut

maka dilakukan penyederhanaan pengobatan dengan cara menunda pemberian antiretrovirus

hingga 1-2 bulan untuk mempermudah deteksi dini efek samping OAT.

Tabel 1. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih akibat OAT lini

pertama dan obat antiretrovirus

Efek sampingKemungkinan penyebab

Obat anti TB Obat-obat antiretrovirusSkin rash

Mual, muntah

Hepatitis

Leukopenia, anemia

Pyrazinamide, Rifampin, Rifabutin, INH

Pyrazinamide, Rifampin, Rifabutin, INH

Pyrazinamide, Rifampin, Rifabutin, INH

Rifabutin, Rifampin

Nevirapine, Delavirdine, Efavirenz, Abacavir

Zidovudine, Ritonavir, Amprenavir, Indinavir

Nevirapine, PI, perbaikan respon setelah pemberian antiretrovirus pada penderita dengan hepatitis virus kronik.

Zidovudine

Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS

Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahan mengenai

farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsi OAT, dan adanya interaksi

2

Page 3: HIV-TB terbaru 3

yang kompleks antara obat antiretrovirus dengan Rifamycins yang merupakan obat utama

untuk pengobatan TB jangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan

malabsorbsi OAT pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi. Tailer S dkk (1997)

dalam penelitiannya mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serum penderita

HIV/AIDS lebih rendah.6 Untuk mengatasi hal ini beberapa peneliti menganjurkan untuk

melakukan monitoring konsentrasi OAT dalam darah.

Walaupun demikian dari beberapa penelitian mengenai efektifitas pengobatan TB

pada HIV/AIDS dengan obat-obat lini pertama (Rifampisin, INH, Ethambutol,

Pirazinamid) ternyata didapatkan angka cure rate 95% yang hampir menyamai respon

pengobatan pada penderita TB tanpa HIV/AIDS.7 Data ini menunjukkan bahwa standard

yang ada mengenai konsentrasi OAT dalam serum pada orang yang normal tidak dapat

dipakai sebagai therapeutic ranges. Monitoring obat dianjurkan untuk dilakukan hanya

pada keadaan dimana respon terapi terhadap OAT lini pertama tidak adekuat.

Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau

tiga kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase

inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTIs dan

PIs dapat berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan

Rifamycin terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada

dinding usus dan hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat

menurunkan kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Kekuatan

induksi CYP3A obat-obat golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan

inducer yang paling kuat kemudian Rifapentine dengan kekuatan menengah serta

Rifabutin yang paling lemah. Protease inhibitor dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A

sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh

Rifamycin.4

Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan

kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan

substrat dari CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar

Rifabutin hingga mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin

3

Page 4: HIV-TB terbaru 3

walaupun keduanya adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim

tersebut, sehingga hambatan pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat

tersebut.

Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan

efek yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat

menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga

menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat

timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun

hingga > 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat

antiretrovirus tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan

Rifamycin.8 Sebaliknya Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari)

bersama-sama dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat

sehingga menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan

modifikasi dosis Rifabutin.

Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat

antiretrovirus

Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus

maka untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat

diberikan bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin

mempunyai efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis

dengan atau tanpa HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus

dikurangi menjadi 150 mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir).

Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin

secara intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan

adalah harus dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi

yang saat ini dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz,

dan bila diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan

dosis 300 mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi

4

Page 5: HIV-TB terbaru 3

menjadi 150 mg 2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin

300 mg perhari ).

Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan

bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga

menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis

Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rekomendasi dosis Rifabutin dan antiretrovirus selama terapi kombinasi

Regimen antiretrovirus Dosis Rifabutin Penyesuaian dosis antiretrovirus

Protease inhibitor (PI)Nelfinavir, Indinavir, atau Amprenavir (+ 2 nucleoside)

Saquinavir (+ 2 nucleoside)

Ritonavir (+ 2 nucleoside, PI lain,dgn/atau nonnucleoside)

Lopinavir/Ritonavir(+2 nucleoside dgn/atau suatu nonnucleoside reverse-transcriptase inhibitor)

NNRTI Efavirenz (+ 2 nucleoside)

Nevirapine ( + 2 nucleoside)

Nucleoside Dua atau triple nucleoside (mis. Zidovudine, Lamivudine dan Abacavir)

PI + NNRTI Efavirenz /Nevirapine + PI (kec.Ritonavir)

Turun hingga 150 mg jika Rifabutin diberi tiap hari; 300 mg untuk terapi intermiten

300 mg /hari atau intermiten

Turunkan sampai 150 mg dua kali seminggu

Turunkan sampai 150 mg dua kali seminggu

Tingkatkan Rifabutin sampai 450-600 mg, tiap hari atau dua kali seminggu

300 mg tiap hari atau intermiten

300 mg tiap hari atau intermiten

300 mg tiap hari atau intermiten

Nelfinavir 1250 mg tiap 12 jamIndinavir : tingkatkan sampai 1000 mg tiap 8 jam (bila perlu)Amprenavir : tetap

Tingkatkan sampai 1600 mg tiap 8 jam (bila perlu)

_

_

_

_

_

Tingkatkan dosis Indinavir seperti diatas (bila perlu)

Reaksi paradoksal (Immune Restoration Syndromes)

Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda

manifestasi radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan

disebabkan oleh kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini

5

Page 6: HIV-TB terbaru 3

sudah mulai didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten

reaksi ini diduga merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang

dilepaskan oleh kuman TB yang mati akibat OAT.4

Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal ini sering di

dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus.

Berkaitan dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi

akibat perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium.10

Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat

sampai menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan

dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening,

timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis

(pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat.11

Reaksi paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat

antiretrovirus. Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi

paradoksal masing- masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus

dan 19 penderita) pada penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi

paradoksal tidak berkaitan dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat

tertentu dan umumnya terjadi pada penggunaan kombinasi antiretrovirus.

Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan

jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml.10

Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan dengan patogenesis

perbaikan respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4 basal yang lebih rendah

mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini

terjadi karena adanya penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi

HIV RNA yang lebih berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat

perbaikan respon imun yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat

antiretrovirus yang dimulai dalam 2 bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan

risiko reaksi tersebut.4

Diagnosis reaksi paradoksal seringkali dibuat setelah menyingkirkan

kemungkinan adanya kegagalan pengobatan TB, hipersensitifitas terhadap obat, serta

kemungkinan adanya infeksi lain.

6

Page 7: HIV-TB terbaru 3

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinis yang

ada. Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsi kelenjar getah bening dapat

dilakukan sesuai indikasi.10

Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus. Reaksi ringan sampai

sedang dapat diatasi dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Bila reaksi

paradoksal yang timbul cukup berat misalnya pembesaran kelenjar getah bening yang

nyata sehingga menimbulkan gangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan,

lesi desak ruang pada SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau dengan

menghentikan sementara obat antiretrovirus.

Tatalaksana pemberian obat anti tuberkulosis pada penderita HIV / AIDS

Dianjurkan untuk menggunakan regimen yang mengandung Rifamycin karena

waktu pemberiannya lebih singkat dan lebih dapat ditoleransi oleh penderita sehingga

diharapkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan akan lebih kecil. Strategi DOTS

dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Lama pemberian

OAT pada penderita TB dengan HIV/AIDS masih kontroversi. Centers of Disease

Control and Prevention menganjurkan pengobatan selama 6 bulan tetapi bila gejala klinis

masih ada atau bila kultur setelah 2 bulan terapi masih positif dianjurkan ditambah

hingga total 9 bulan.1,4

Untuk menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus

maka pemberian obat-obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan

kondisi penderita. (gambar 1) Bila penderita dengan TB aktif baru diketahui menderita

HIV maka harus ditentukan apakah pemberian antiretrovirus harus diberikan segera atau

tidak. Penderita HIV stadium dini (jumlah Sel CD4 > 300/mm3 ) mempunyai risiko yang

rendah untuk terjadinya perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikan

regimen OAT yang mengandung Rifampin sementara obat antiretrovirusnya ditunda

sampai pengobatan infeksi TB selesai ( bila memungkinkan ).12 Sementara diberikan

obat-obat OAT dilakukan pemeriksaan CD4 serial. Bahkan pada penderita dengan jumlah

CD4 yang rendah sekalipun pemberian antiretrovirus sedapat mungkin/sebaiknya ditunda

sampai fase inisial pengobatan TB selesai. Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah

7

Page 8: HIV-TB terbaru 3

penatalaksanaan efek samping OAT yang mungkin timbul serta untuk mengurangi

kemungkinan timbulnya immune restorationsyndromes.

Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam terapi

antiretrovirus sedikit lebih kompleks. Bila obat antiretrovirus yang diberikan ternyata

efektif dalam meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi viral load maka regimen

anti TB yang digunakan adalah yang mengandung Rifabutin dengan dosis yang

disesuaikan ( tabel 1), dan obat antiretrovirus diteruskan. Penderita yang tidak dapat

menggunakan golongan Rifamycin karena timbul efek samping maka sebagai

penggantinya dapat digunakan Streptomisin.1,4 Bila antiretrovirus yang digunakan

ternyata tidak efektif maka obat-obat tsb sebaiknya dihentikan dan diberikan OAT. Obat

antiretrovirus diberikan lagi setelah 2 bulan pengobatan OAT. Regimen yang dipilih

adalah yang mengandung Rifabutin. Bila pada fase inisial digunakan regimen yang

mengandung Rifampin maka 2 minggu sebelum pemberian antiretrovirus Rifampin harus

diganti dengan Rifabutin. Substitusi tersebut bertujuan agar dapat menghilangkan efek

Rifampin terhadap CYP3A. Dari berbagai macam kombinasi obat antiretrovirus yang ada

saat ini, pilihan yang dianjurkan adalah mengandung Nelfinavir ditambah dengan 2

golongan nukleosida karena pemberiannya adalah 2x /minggu sehingga bila terjadi

interaksi obat mudah untuk diatasi.4

Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadang-kadang

manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harus senantiasa waspada akan

kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut. Pasien harus segera dievaluasi setelah

pemberian antiretrovirus untuk mengidentifikasi dan mengatasi gejala tersebut.

Koordinasi yang baik antara tenaga kesehatan yang bergerak dalam program

pemberantasan TB dan program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB

dengan HIV/AIDS.(Tabel 3)

8

Penderita TB aktif yang baru terdiagnosis HIV

Obat anti retrovirus

dapat ditunda

Gunakan rejimen yang mengandung rifampisin, evaluasi pemberian antiretrovirus setelah 3 bulan

Obat anti retrovirus harus mulai diberikan

Gunakan regimen yang mengandung rifabutin dan obat-obat antiretrovirus dapat langsung diberikan

Penderita TB aktif & Dx HIV sudah tegak

sebelumnya

Obat antiretrovirus harus diberikan/

dilanjutkan

Alternatif, gunakan regimen yang mengandung streptomisin, obat antiretrovirus dapat diberikan/diteruskan

Page 9: HIV-TB terbaru 3

Gambar 1. Rekomendasi strategi penanganan penderit dengan infeksi tuberculosis dan HIV/AIDS1

Tabel 3. Rekomendasi tatalaksana pemberian obat-obat antiretrovirus pada penderita

HIV/AIDS dengan TB

Permasalahan Anjuran Penanganan

Efek samping yang tumpang tindih antara Tunda pemberian obat antiretrovirus

9

Page 10: HIV-TB terbaru 3

OAT dan obat antiretrovirus

Interaksi antara obat-obat golongan

Rifamycins dengan antiretrovirus (PIs dan

NNRTIs).

Reaksi paradoksal setelah pemberian obat

antiretrovirus.

hingga 1-2 bulan untuk mempermudah

mengidentifikasi dan mengatasi efek

samping OAT.

Gunakan Rifabutin dengan dosis yang

disesuaikan.

Gunakan Rifampin dengan Efavirenz atau

Ritonavir (dengan dosis > 400 mg, 2 kali

sehari).

Komunikasi yang baik antara tenaga

kesehatan .

Tunda pemberian obat antiretrovirus bila

jumlah CD4 relatif tinggi ( > 300/mm3).

Penderita dengan jumlah sel CD4 yang

rendah pemberian antiretrovirus ditunda

sampai infeksi TB membaik (tunda hingga

2 bulan pengobatan OAT).

Kewaspadaan penderita dan tenaga

kesehatan akan gejala reaksi paradoksal.

Membuat rencana evaluasi segera setelah

pemberian antiretrovirus untuk mendeteksi

reaksi paradoksal secara dini.

Pencegahan TB pada HIV/AIDS

American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention CDC)

tahun 1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini

digunakan yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI).

Infeksi laten TB adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis,

10

Page 11: HIV-TB terbaru 3

bakteriologis dan radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif.13 Tes

tuberkulin dianggap positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi 5 mm.14

Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2

pilihan yang memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300

mg) yang diberikan selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600

mg) perhari + Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan.14,15

Pemilihan jenis obat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita,

risiko efek samping obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya

pengobatan dengan PIs atau NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita

yang akan mendapatkan/dalam pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk

pemberian INH, sedangkan pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi.

Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin)

bersama dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI pada penderita yang mendapatkan

pengobatan PI atau NNRTI. Rifabutin setengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan

besama dengan Indinavir, Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis

Rifabutin yang diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehari atau 3

kali seminggu). Bila PI yang digunakan adalah Nevirapine maka Rifabutin dapat

diberikan dengan dosis normal, sedangkan bila bersama dengan Efavirenz dosis Rifabutin

yang diberikan harus lebih tinggi (450-600 mg/hari). Penderita yang mendapatkan terapi

kombinasi dengan beberapa macam PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka

pemberian Rifabutin tidak dianjurkan karena adanya kemungkinan interaksi obat-obat

yang lebih kompleks.14

Untuk kemoprofilaksis yang diberikan setelah pengobatan TB dengan OAT

selesai masih perlu penelitian lebih lanjut. Salah satu penelitian yang dilakukan pada

tahun 1998 terhadap 142 penderita TB dengan HIV pasca pengobatan OAT 6 bulan

menunjukan bahwa rata-rata kekambuhan pada penderita yang mendapatkan tambahan

INH 300 mg/hari selama 1 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan dengan plasebo.

Penelitian ini juga menunjukan bahwa kemoprofilaksis dengan INH pasca pengobatan

TB terutama bermanfaat untuk mencegah rekurensi pada penderita dengan riwayat HIV

yang simtomatik (katagori B dan C menurut CDC).16 Beberapa ahli bahkan

mempertimbangkan mengenai pemberian kemoprofilaksis INH seumur hidup (bila

11

Page 12: HIV-TB terbaru 3

memungkinkan ) pasca terapi OAT untuk mencegah kemungkinan reaktifasi endogen

maupun reinfeksi eksogen.1

Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif

(anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak

dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu

dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH.14

Kesimpulan

1. Strategi DOTS dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan TB pada

penderita HIV/AIDS.

2. Kerja sama yang baik antara tenaga kesehatan dan penderita sangat diperlukan untuk

dapat mendeteksi secara dini adanya efek samping OAT dan PIs/NNRTIs yang saling

tumpang tindih, dan mencegah terjadinya interaksi antara Rifamysins dengan obat-

obat PIs/NNRTIs, serta dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi

paradoksal.

3. Regimen yang mengandung Rifampin dapat diberikan pada penderita TB dengan HIV

yang belum mendapat pengobatan dengan PIs/NNRTIs

4. Regimen yang mengandung Rifabutin dapat diberikan pada penderita TB dengan HIV

yang mendapat pengobatan PIs/NNRTIs.

5. Pencegahan TB (pengobatan LTBI) pada HIV/AIDS dapat dilakukan baik dengan

pemberian INH setiap hari selama 9 bulan maupun dengan kombinasi

Rifampin/Rifabutin dengan Pyrazinamide setiap hari selama 2 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 199-

243.

2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2002; hal 37-57.

12

Page 13: HIV-TB terbaru 3

3. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2nd ed, World Health Organization

1997; hal 45-8.

4. Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral

Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 7-12.

5. Perriens JH, St Louis ME, et al. Pulmonary Tuberculosis in HIV-infected patients in Zaire: a controlled

trial of treatment for either 6 or 12 months. N Engl J Med. 1995; 332: 779-84.

6. Sahai J, Bachlin A, Cameron DW. Reduced plasma consentrations of antituberculous drugs in patientd

with HIV infection. Ann Intern Med 1997; 127: 289-93.

7. Chaisson RE, Clermont HC, Holt EA, et al. Six-month supervised intermittent tuberculosis therapy in

Haitian patients with and without HIV infection. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1034-38.

8. Burman WJ, Gallicano K, Peloquin C. Therapeutic implication of drugs interactions in the treatment of

HIV-related tuberculosis. Clin Infect Dis 1999; 28: 419-30.

9. Mc Gregor MM, Olliaro A, Wolmarans L, et al. Efficacy and safety of rifabutin in the treatment of

patients with Newly Diagnosed Pulmonary Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1462-

67.

10. Narita M, Ashkin D, Elena S, Arthur E, Pitchenik. Paradoxical worsening of tuberculosis following

antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Care Med 1998; 158: 157-61.

11. Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient chest

radiographic worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000; 174: 43-9.

12. Murray J, Sonnenberg P, Shearer SC. Human Immunodeficieney virus and the outcome of treatment

for new and recurrent pulmonary tuberculosis in African patients. Am J Respir Crit Care Med 1999;

159: 733-40.

13. Diagnostic standars and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir Crit Care Med

2000; 161: 1376-95.

14. Targeted Tuberculin Testing and Treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir Crit Care Med

2000; 161: S 221-S 47.

15. Rose DN. Short-Course Prophylaxis against tuberculosis in HIV infected persons. Ann Intern Med

1998; 129: 779-86.

16. Fitzgerald DW, Desvarieux M, Severe P. et al. Effect of post-treatment isoniazid on prevention of

recurrent tuberculosis in HIV-1 infected individuals: a randomised trial. Lancet 2000; 356: 1470-74.

13