Refrat Kolaborasi TB-HIV

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). TB bertanggung jawab atas sepertiga kematian dari ODHA dimana 99% kematian terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia. Kedua penyakit mendunia ini secara sinergis menyebabkan kombinasi keduanya menjadi salah satu penyebab terbanyak dari kematian akibat penyakit infeksi. Data klinis Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) di Jakarta sejak 2004-2007 menunjukkan prevalensi HIV pada pasien dugaan TB paru dengan faktor risiko antara 3-5% sedangkan prevalensi pada pasien TB paru antara 5-10% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. 1 Mendiagnosis dan mengobati koinfeksi TB-HIV merupakan tantangan tersendiri dimana pasien dengan koinfeksi TB-HIV memerlukan sarana diagnostik khusus seperti polymerase chain reaction ataupun kultur dahak khususnya pada koinfeksi lnjut. Pengobatan koinfeksi inipun berbeda dengan pengobatan infeksi HIV maupun TB sendiri-sendiri dimana koinfeksi ini akan lebih sulit ditangani karena kemungkinan relaps yang tinggi dengan kemungkinan timbul efek samping yang cukup berat seperti sindroma pulih imun/immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) akibat penggunaan terapi anti retroviral pada koinfeksi TB-HIV berat ataupun infeksi TB yang tidak disadari pada ODHA. 2 1

description

Kolaborasi TB dan HIV

Transcript of Refrat Kolaborasi TB-HIV

Page 1: Refrat Kolaborasi TB-HIV

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). TB bertanggung

jawab atas sepertiga kematian dari ODHA dimana 99% kematian

terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia. Kedua penyakit

mendunia ini secara sinergis menyebabkan kombinasi keduanya

menjadi salah satu penyebab terbanyak dari kematian akibat penyakit

infeksi. Data klinis Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

(PPTI) di Jakarta sejak 2004-2007 menunjukkan prevalensi HIV pada

pasien dugaan TB paru dengan faktor risiko antara 3-5% sedangkan

prevalensi pada pasien TB paru antara 5-10% dengan kecenderungan

meningkat setiap tahunnya.1

Mendiagnosis dan mengobati koinfeksi TB-HIV merupakan

tantangan tersendiri dimana pasien dengan koinfeksi TB-HIV

memerlukan sarana diagnostik khusus seperti polymerase chain

reaction ataupun kultur dahak khususnya pada koinfeksi lnjut.

Pengobatan koinfeksi inipun berbeda dengan pengobatan infeksi HIV

maupun TB sendiri-sendiri dimana koinfeksi ini akan lebih sulit

ditangani karena kemungkinan relaps yang tinggi dengan

kemungkinan timbul efek samping yang cukup berat seperti sindroma

pulih imun/immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) akibat

penggunaan terapi anti retroviral pada koinfeksi TB-HIV berat ataupun

infeksi TB yang tidak disadari pada ODHA.2

1

Page 2: Refrat Kolaborasi TB-HIV

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB

paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak

napas, nyeri dada, hemoptisis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan

berat badan, keringat malam, dan mudah lelah).3

Kasus TB adalah :

- Kasus TB pasti yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis yang

diidentifikasi dari specimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan

kultur. Pada neegara dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam

mengidentifikasi M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila

ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif.

Atau

- Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan peunjang untuk TB sehingga

didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan paduan dan

lama pengobatan yang lengkap.

Infeksi TB pada ODHA akan mempersulit diagnosis dimana

pemeriksaan dahak, tes tuberkulin dapat menunjukkan hasil yang

negatif pada infeksi HIV lanjut sehingga diperlukan pemeriksaan yang

lebih canggih seperti PCR atau kultur dahak.3

2.2. Epidemiologi

2

Page 3: Refrat Kolaborasi TB-HIV

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia ini. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB

sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah4 :

- Insidens kasus : 9,4 juta (8,9-9,9 juta)

- Pevalens kasus : 14 juta (12-16 juta)

- Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2-1,5 juta)

- Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32-0,45 juta)

Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan

regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV positif, dan 80%

kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB

multidrug resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus), tetapi

hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari data WHO tahun 2009, lima

negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India, China, Afrika Selatan, Nigeria, dan

Indonesia. Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 0,35-0,52 juta kasus.4

HIV dan TB adalah kombinasi penyakit mematikan. HIV akan melemahkan

sistem imun. Apabila seseorang dengan HIV positif kemudian terinfeksi kuman TB maka

akan berisiko untuk sakit TB lebih besar disbanding dengan HIV negatif. Tuberkulosis

merupakan penyebab kematian utama pada penderita HIV.4

Sedangkan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat

menyebabkan turunnya imunitas tubuh. Virus ini termasuk ke dalam family retroviridae.

Virus ini nantinya akan menimbulkan sejumlah gejala atau penyakit yang disebut AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kasus AIDS pertama kali dilaporkan secara

resmi di Indonesia pada tahun 1987 oleh Departemen Kesehatan. Sejak 1985 sampai

tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Jumlah kasus

HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

peningkatan tajam. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah

penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.

Banyak di Afrika Sub Sahara,Asia Selatan dan Asia Tenggara (terutama di Kamboja

karena banyak homoseksual dan MTCT), Amerika Latin dan Eropa Timur.4

Di Indonesia kasus HIV AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2008,

kasus paling banyak ditemukan di di Jakarta Barat (2888), DKI Jakarta (2781), Jawa

Timur (2591), Papua (2382). Berdasarkan golongan umur paling banyak mengenai

remaja (20-29 tahun) dan dewasa (30-39 tahun). Cara penularan dengan heteroseksual

(7730), IDU (6811), homoseksual (609), perinatal (351).4

3

Page 4: Refrat Kolaborasi TB-HIV

Infeksi terbesar melalui jarum suntik. Infeksi dari ibu ke anak berada di urutan ke

empat. Ada 2 tipe HIV, yaitu HIV1 dan HIV2. Di dunia penyebaran HIV1 pada Asia,

Afrika Tengah, Afrika Timur, dan Oceania. Penyebaran HIV2 di Afrika Barat, Eropa

Barat dan Amerika Utara.4

2.3. Etiologi

Penyakit Tuberculosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di

jaringan, kuman tuberculosis berbentuk batang berukuran kira-kira 0,4x3 µm. Berikut

karakteristik fisik dari bakteri MTB:

berbentuk basil aerob ramping, dapat lurus atau bengkok, dapat bergabung

membentuk rantai yang tidak membentuk spora atau kapsul

merupakan basil tahan asam (BTA) / acid fast bacilli (AFB) yang tahan terhadap

asam pada pewarnaan

lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm

MTB dalam dropplet dahak dapat bertahan selama 20-30 jam

tahan terhadap zat kimia dan disinfektan seperti fenol 5%, asam sulfat 15%, asam

sitrat 3%, dan NaOH 4% dan mampu bertahan hidup di udara kering dan pada suhu

yang rendah. Kuman TB dapat dapat hancur oleh alkohol 80% dalam 2-10 menit dan

tidak tahan panas. Kuman MTB mati jika terkena sinar matahari langsung.

Virus HIV termasuk dalam famili retrovirus yaitu virus yang dapat mengubah

RNA menjadi DNA menggunakan Reverse Transcriptase. HIV termasuk famili

Retroviridae nononcogenic, subfamili Lentivirinae, diameter 10-100 nm, dengan inti

berbentuk silinder, berisi 2 buah RNA untai tunggal yang tersusun dari 9500 nukleotida.

4

Page 5: Refrat Kolaborasi TB-HIV

1. Envelope :

Gp 120: glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ pada sel

T dan makrofag

Gp 41: membantu fusi membrane sel HIV dengan membrane sel pejamu sel

inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu

Setelah envelope ada protein yang menyelubungi kapsid yaitu p17.

2. Kapsid (p24) yang melingkupi core.

3. Core yang berisi 2 materi genetik RNA dan 3 enzim didalam core virus,yaitu:

P51 (Reverse Transkriptase) untuk mengubah RNA virus menjadi DNA

P11 (Protease) untuk pematangan virus

P32 (Integrase) untuk memindahkan virus ke dalam inti sel inang.

Bagian terluar virus disebut envelope. Di permukaan envelope terdapat tonjolan-

tonjolan glikoprotein gp120 dan tangkainya gp 41. Di sebelah dalam envelope terdapat

protein HIV disebut p17. Di dalamnya terdapat selubung inti atau kapsid yang tersusun

dari p24. Struktur-struktur utama yang terdapat di dalam inti virus adalah 2 buah RNA

untai tunggal, sebuah protein p7(nucleocapsid) dan 3 buah enzim p51(reverse

transcriptase), p11 (protease) dan p32 (integrase). 1

Protein yang memiliki peran penting untuk replikasi virus HIV dikode oleh 3 gen

penting yaitu:

Gen Gag (group specific antigen) yang mengkode pembentukan struktur luar

virus.

Gen Pol (polymerase) yang menghasilkan enzim untuk mengubah RNA menjadi

DNA

5

Page 6: Refrat Kolaborasi TB-HIV

Gen Env sebagai penghasil gp 120 sebagai reseptor virus untuk melekat pada

limfosit CD4. Gp 120 berperan dalam proses variasi sequence genetic sehingga

membuat sel sulit dikenali. Selain itu juga menghasilkan gp 41 yang berfungsi

melekatkan glikoprotein pada envelope virus sehingga mempermudah penetrasi

virus ke sel target.

2.4. Patofisiologi

Mekanisme imunitas seluler terhadap infeksi TB

Antigen MTB didapat di dalam sirkulasi perifer manusia dikenali oleh sel yang

mengekspresikal CD4 atau epitop T4, suatu proses yang hanya dimiliki oleh major

histocompability complex (MHC) kelas II. Pengenalan ini menyebabkan aktivasi imun

disertai proliferasi dan produksi dari sitokin. Substansi-substansi ini berfungsi sebagai

mediator dan menginduksi makrofag untuk menginhibisi replikasi dari strain

mikobakterial tertentu. Kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis berkaitan dengan

sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T. Interferon-gamma (IFN-γ) telah dikenali sebagai

sitokin yang berperan sentral dalam memodulasi induksi makrofag dan penyakit

mikobakterium yang fatal dapat timbul pada anak yang kekurangan reseptor IFN-γ.

Aktivasi dari makrofag setelah paparan dari IFN-γ dimediasi oleh 1,25-dihidrovitamin

D3 secara parsial yang menginduksi keadaan tuberkulostasis dalam makrofag.

Mekanisme ini merupakan penjelasan ilmiah dari observasi yang dilakukan ratusan tahun

lalu dari keuntungan paparan sinar matahari terhadap pasien TB.5,6

Respon imun menyerang mikobakterium secara langsung melalui sel limfosit T

yang mengekspresikan CD8 atau epitop T8 dari MHC kelas I. Limfosit T8 secara

langsung dapat melisiskan sel yang dituju yang mengekspresikan antigen mikobakterium

dan dapat juga, meningkatkan respon penyerangan sel yang mengekspresikan antigen TB

melalui produksi sitokin-sitokin.5

Peran makrofag juga penting untuk infeksi TB. Makrofag merupakan sel efektor

utama yang secara langsung membunuh mikobakterium melalui fagositosis. Mereka

mempunyai reservoir intrasel untuk mikobakterium di dalam vesikel fagositik

intrasitoplasma. Makrofag akan memproduksi oksigen radikal yang sangat toksik pada

mikroorganisme yang difagosit walaupun mekanisme ini tidak bekerja sepenuhnya pada

6

Page 7: Refrat Kolaborasi TB-HIV

MTB. Kemungkinan mekanisme lain pemberantasan MTB di dalam sitoplasma melalui

pembentukan radikal NO oleh mekanisme yang dependen arginin.5,6

Tuberkulosis mempercepat perjalanan klinis infeksi HIV melalui berbagai

mekanisme. Tuberkulosis dan komponen dinding selnya yaitu lopoarabinomannan

(LAM) meningkatkan pengeluaran tumor necrosis factor – alfa (TNF-α), IL-1, dan IL-6

melalui peningkatan transkripsi protein dalam sel makrofag. TNF-α dapat meningkatkan

produksi sel HIV pada sel fagosit melalui aktivasi transkripsional. Beberapa mekanisme

kompleks dari efek sinergis infeksi TB dan HIV adalah:

Paparan makrofag alveolus dan limfosit darah dari ODHA pada antigen MTB secara

invitro akan meningkatkan replikasi retrovirus

Pada ODHA dengan TB paru, konsentrasi RNA retroviral paling tinggi ditemukan

pada cairan hasil lavase bronkoalveolus.

Cairan pleura pada pasien dengan TB meningkatkan replikasi HIV di dalam limfosit

yang terakvitasi

MTB meningkatkan replikasi HIV dengan menginduksi makrofag memproduksi

TNF-α, IL-1, dan IL-6.

Turnover rate dari sel limfosit T juga akan berjalan lebih cepat karena gangguan

keseimbangan sitokin.

Infeksi HIV laten dalam sel limfosit T dapat teraktivasi melalui interaksi antar sel

fagosit yang terinfeksi oleh M. Tuberculosis.

Sebaliknya, HIV dapat mempengaruhi perjalanan klinis dari TB. Sifat virus HIV

yang relatif tidak sitopatik pada sel fagosit menyebabkan sel ini akan memproduksi

faktor sitokin yang lebih sedikit dalam jangka waktu yang lama termasuk IFN-gamma

dan IL-6 yang mendukung perkembangan kedua mikroorganisme patogen ini. Koinfeksi

dengan HIV menghambat respon imun dimediasi sel kepada M.tuberculosis karena

mengganggu sinyal IL-2. Banyak fungsi makrofag terdepresi pada ODHA seperti fungsi

fagositosis dimediasi reseptor dan aktivitas oksidatif juga mekanisme kemotaksis yang

merupakan langkah utama untuk menemukan dan membunuh patogen mikrobial.

Perubahan terhadap fungsi makrofag ini menyebabkan komponen virus HIV yang

menyebar di dalam sirkulasi tubuh ODHA ataupun penyebaran ekstraseluler dari sel

yang terinfeksi. Glikoprotein HIV (GP120) secara langsung dapat mempengaruhi fungsi

sel makrofag efektor melalui pengurangan ekskresi reseptor makrofag sebagai ligand

7

Page 8: Refrat Kolaborasi TB-HIV

kemotaktik. Dalam kondisi ini, risiko terinfeksi MTB dari lingkungan, kecepatan

progresi penyakit, atau reaktivasi infeksi TB laten dapat timbul dengan cepat. Efek

infeksi HIV terhadap sistem kekebalan tubuh akan menyebabkan kegagalan untuk

menahan infeksi MTB dan replikasi mikroba tidak dapat terkontrol sehingga

menyebabkan infeksi MTB yang diseminata.5,6,7

2.5. Manifestasi Klinis

Infeksi TB aktif cenderung timbul lebih awal pada ODHA dibanding infeksi

mycobacterim atipikal seperti MAC dan dapat merupakan tanda klinis awal dari HIV.

Individu yang terinfeksi HIV-AIDS (ODHA) dan TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh

derajat imunodefisiensi. Secara umum pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350

sel/L gejala klinik TB sesuai dengan TB tanpa HIV. Perjalanan penyakit tuberkulosis

pada ODHA dapat berkembang menjadi penyakit TB aktif dalam beberapa minggu,

berbeda dengan infeksi TB pada orang tanpa imunodefisiensi yang biasanya

membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan. Ketika HIV/AIDS hanya mempengaruhi

secara parsial terhadap imunitas seluler, TB paru timbul dengan pola yang tipikal berupa

demam, batuk, sesak saat beraktivitas, penurunan berat badan, keringat malam dengan

infiltrat pada lobus atas dan kavitas, tanpa limfadenopati yang signifikan atau efusi

pleura. Pada infeksi HIV lanjut, infeksi TB dapat lebih parah berupa infiltrat yang difus

atau milier biasanya pada lobus tengah dan bawah dengan gambaran kavitas yang lebih

jarang ditemukan dan dapat disertai limfadenopati mediastinum dan efusi pleura. Pasien

dengan infeksi TB-HIV lanjut dapat datang dengan keluhan tidak spesifik dengan

demam, penurunan berat badan, kelelahan, dengan atau tanpa batuk. Penurunan berat

badan dapat ditemukan lebih parah pada orang dengan TB-HIV dibanding HIV saja.

ODHA dikenal mengalami diare kronik akibat enteropati HIV, namun hampir setengah

ODHA yang meninggal dengan penurunan berat badan berat, ditemukan memiliki TB

diseminata dalam tubuhnya menandakan bahwa TB diseminata berpengaruh terhadap

sindrom wasting yang berat ini. Lebih jarang, gambaran foto toraks dapat ditemukan

normal walaupun pada pemeriksaan kultur dahak memberikan hasil M. Tuberkulosis

yang positif.6,7

Gejala TB ekstrapulmoner lebih sering terjadi pada ODHA dibanding dengan

pasien tanpa infeksi HIV walaupun manifestasi klinik antara keduanya tidak secara

substansial berbeda. TB ekstraparu dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan pada

pasien HIV dengan jumlah CD4+ < 200 sel/L. Keadaan imunodefisiensi yang semakin

8

Page 9: Refrat Kolaborasi TB-HIV

berat akan membuat gejala ekstraparu menjadi lebih sering. Bentuk paling umum adalah

TB limfatik, TB diseminata, TB pleura, dan TB perikardium. Dapat juga ditemukan TB

pada organ visera, traktus gastrointestinal, dan tulang. Mikobakteremia dan meningitis

juga sering timbul, khususnya pada ODHA stadium lanjut. Beberapa pasien dengan

infeksi HIV lanjut dan TB aktif dapat tidak bergejala karena itu skrining TB lebih baik

menjadi evaluasi awal pada setiap pasien HIV.Sekitar 60-80% ODHA dengan TB

mempunyai penyakit paru dan 30-40% mempunyai penyakit ekstraparu.6

Manifestasi klinis dari TB abdomen pada ODHA berupa lesi visceral dan

limfadenopati intra-abdominal dengan nekrosis yang paling jelas terlihat dengan CT-

scan. Secara kontras dimana ascites dan penebalan omentum merupakan penemuan klinis

yang khas untuk TB-abdomen pada orang tanpa infeksi HIV. Manifestasi klinis dari

meningitis TB juga dikatakan sama pada ODHA maupun orang tanpa HIV namun lesi

intraserebri berupa tuberkuloma lebih sering timbul pada ODHA.6

Lebih lanjut, dapat terjadi eksaserbasi pada tanda dan gejala sistemik atau

respirasi dan manifestasi laboratorium atau radiografi dari TB berhubungan dengan

pemakaian ART disebut immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). IRIS

biasanya terjadi setelah 1-3 bulan pemakaian ART. IRIS lebih sering terjadi pada pasien

dengan imunosupresi yang berat, dan TB ekstrapulmoner. IRIS tipe “unmasking” dapat

timbul setelah pemakaian ART pada pasien dengan TB subklinis yang tidak terdiagnosis.

IRIS disebabkan oleh respon imun yang dicetuskan oleh antigen yang dilepaskan saat

bakteri dibunuh saat pemakaian kemoterapi ART dan berkaitan dengan membaiknya

fungsi sistem imun.8

Tabel 1. Gejala Klinik Pada Pasien TB-HIV

Karakteristik Infeksi TB-HIV Lanjut

(CD4 < 200 sel /L)

Infeksi TB-HIV Awal

TB paru: ekstraparu 50:50 80:20

Gejala Klinik Sering seperti TB primer Sering seperti TB post primer

Foto thoraks: Limfadenopati

intrathoraks

Sering Jarang

Foto thoraks: keterlibatan

lobus bawah

Sering Jarang

9

Page 10: Refrat Kolaborasi TB-HIV

Kavitas Jarang Sering

Anergi TB Sering Jarang

Pemeriksaan Dahak + Jarang Sering

Reaksi Obat Sering Jarang

Kambuh Setelah Pengobatan Sering Jarang

Dikutip dari Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology.

Diagnosis & Management. Indian J Med Res 2005; 121, 550-67.7

10

Page 11: Refrat Kolaborasi TB-HIV

Gambar 1. Perjalanan klinis alamiah dari MTB pada ODHA atau pasien dengan

imunodefisiensi. Dikutip dari Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:

Epidemiology. Diagnosis & Management. Indian J Med Res 2005; 121, 550-67.7

11

Page 12: Refrat Kolaborasi TB-HIV

2.6. Diagnosis Infeksi Tuberkulosis Pada ODHA

HIV dapat meningkatkan resiko terjadinya TB, baik kasus TB baru, reaktivasi

ataupun reinfeksi. Koinfeksi HIV dengan TB menunjukkan manifestasi klinik tersendiri,

menurunkan survival rate, meningkatkan resiko infeksi oportunistik dan peningkatan

replikasi HIV.9

Diagnosis TB pada pasien dengan HIV dan non-HIV memiliki beberapa perbedaan

yang harus diperhatikan. Pada pasien HIV, kecurigaan TB didasarkan pada kecenderungan

resiko infeksi berdasarkan epidemiologis dan tes tuberkulin, presentasi TB yang atipik, dan

berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium.10

Perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis TB pada HIV adalah sebagai

berikut: 10

Pertama, tes tuberkulin pada pasien HIV sering memberikan hasil negatif palsu, dan

kemungkinan ini semakin meningkat dengan perburukan imunosupresi.

Kedua, gambaran radiologik TB yang biasanya cukup diagnostik akan tampak tidak

spesifik pada pasien dengan HIV. Oleh karena itu TB pada HIV sering kali

terlewatkan dan meningkatkan resiko penularan, maka pada pasien HIV yang

memiliki penyakit paru yang belum diketahui harus dipertimbangkan kemungkinan

infeksi oleh M.tuberculosis.

Ketiga, hasil pemeriksaan sputum pada pasien HIV cenderung kurang sensitif. Namun

jika pemeriksaannya positif untuk bakteri tahan asam, maka pengobatan TB dapat

segera dimulai hingga terbukti spesies bakterinya. Pemeriksaan polymerase chain

reaction (PCR) dapat digunakan untuk membedakan jenis bakteri ini dengan cepat.

Hasil pemeriksaan kultur darah M.tuberculosis pada pasien HIV positif dapat menjadi

positif, dan merupakan parameter diagnostik untuk TB yang disseminated pada

infeksi HIV berat. Gambaran histologik TB yang khas seperti granulomatosa juga

berubah pada pasien imunosupresi, dimana tidak terbentuk secara utuh atau bahkan

tidak terbentuk sama sekali, dengan jumlah mikroorganisme yang lebih banyak.

2.7. Pengobatan TB Pada Penderita HIV

Pasien TB dengan HIV positif memiliki resiko kematian lebih tinggi daripada

pasien yang HIV negatif. Pulasan BTA yang negatif dan TB ekstrapulmonal

menunjukkan tingkat imunosupresif yang lebih berat daripada yang pulasan BTA

12

Page 13: Refrat Kolaborasi TB-HIV

positif, sehingga kasus mortalitasnya lebih tinggi. Namun pemberian ARV yang

semakin banyak digunakan telah membantu menurunkan angka tersebut.11

Pasien HIV memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami reaksi efek

samping obat terhadap OAT dan mengalami resistensi obat dibandingkan dengan

yang non-HIV. Pemberian ART dengan OAT tidak menyebabkan resiko efek

samping obat, melainkan karena perjalanan penyakit HIV nya itu sendiri. Obat yang

berisiko menyebabkan resistensi adalah rifampin dan isoniazid.4 Selain itu juga

terdapat reaksi antar obat antara regimen ART dan OAT, salah satunya adalah

rifampin, yang mempengaruhi enzim hepar sehingga dapat menurunkan konsentrasi

beberapa jenis ARV.11

Pasien TB dengan HIV positif diutamakan untuk segera memulai pengobatan

TB, lalu dilanjutkan dengan pemberian kotrimoksazol dan ARV. Pasien TB kasus

baru dengan HIV positif diberikan pengobatan sebagai berikut:11

Tabel 2. Regimen Standar Pada Pasien TB Kasus Baru

Fase intensif Fase kontinu Keterangan

2HRZE 4HR H= isoniazid, R= rifampisin, Z=

pirazinamid, E= etambutol, S=

streptomisin

Frekuensi pemberian dosis

Setiap hari Setiap hari Optimal

Setiap hari Tiga kali seminggu Alternatif pada pasien TB yang

mengikuti DOTS

Tiga kali seminggu Tiga kali seminggu Alternatif pada pasien dengan

DOTS yang diketahui tidak

menderita HIV.

Keterangan: WHO tidak merekomendasikan pemberian etambutol pada masa intensif pada

pasien non-kavitas, pulasan BTA negatif, yang diketahui HIV negatif. Pada meningitis TB,

etambutol digantikan dengan streptomisin.

Pengobatan fase intensif TB kasus baru dapat dilakukan setiap hari ataupun

tiga kali seminggu, namun pada pasien HIV positif, fase intensif tiga kali seminggu

tidak lagi disarankan karena tingginya insiden relaps dan gagal pengobatan pada

pasien HIV positif yang mengidap TB, yaitu 2-3 kali lipat lebih tinggi daripada yang

13

Page 14: Refrat Kolaborasi TB-HIV

pengobatan setiap hari. Selain itu sebuah studi di India mengatakan bahwa pasien

HIV positif yang gagal pengobatan tiga kali seminggu memiliki resiko tinggi

mengalami resistensi rifampisin.11

Pasien dengan koinfeksi HIV-TB harus menerima pengobatan TB sekurang-

kurangnya dengan regimen yang sama seperti pada pasien TB yang non-HIV. Pasien

HIV-TB yang sudah pernah menerima pengobatan TB harus mendapat pengobatan

kategori dua seperti pada pasien TB yang non-HIV. Lama pengobatan TB pada pasien

HIV yang berlangsung selama 8 bulan atau lebih dengan regimen yang mengandung

rifampisin dikatakan memiliki insiden relaps yang lebih rendah daripada yang hanya

pengobatan 6 bulan.11

2.8. Pemberian Terapi Anti Retroviral pada Koinfeksi HIV-

TB

Dengan adanya anti retroviral therapy (ART), angka kejadian TB baru sudah

semakin menurun.9 Waktu untuk memulai pemberian ART pada koinfeksi HIV-TB

masih sering memicu perdebatan, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa

inisiasi ART dini dapat menurunkan mortalitas, meningkatkan outcome pada TB dan

menurunkan insiden immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).11

IRIS tingkat ringan hingga sedang sering terlihat pada pasien TB yang

memulai ART, hingga sepertiga dari total penderita. Namun bentuk yang berat sangat

jarang dijumpai. Sindrom ini meliputi adanya demam, pembesaran KGB, infiltrat paru

yang meningkat, atau eksaserbasi inflamasi di fokus lain. Biasanya dapat dilihat

dalam 3 bulan sejak pengobatan ART dan lebih sering terjadi jika jumlah CD4 <50

sel/mm3. Kebanyakan kasus tidak membutuhkan penanganan dan ART dapat tetap

dilanjutkan. Oleh karena itu IRIS bukanlah indikasi untuk mengganti regimen

pengobatan menjadi ART lini kedua, namun ART tersebut harus disesuaikan dahulu

agar sesuai dengan pengobatan TB.11

ART meningkatkan harapan hidup penderita HIV positif. Penggunaan ART

berperan menurunkan 60% kejadian TB di populasi, serta menurunkan rekurensi TB

sebesar 50%. Oleh karena itu, di tahun 2010 WHO merekomendasikan penanganan

HIV-TB sebagai berikut: 9,11,13

14

Page 15: Refrat Kolaborasi TB-HIV

1. Pengobatan ART dimulai pada semua individu yang terinfeksi HIV dengan TB aktif,

tanpa memperhitungkan jumlah CD4

2. Pengobatan TB dimulai terlebih dahulu dan diikuti ART begitu kondisinya

memungkinkan dalam 8 minggu pertama setelah pengobatan TB.

Hal ini sedikit berbeda dengan guideline WHO tahun 2006 mengenai

pemberian ART pada pasien TB, dimana pengobatan ART dimulai jika CD4 ≤350

sel/mm3 dan masih dapat ditunda selama CD4 >200 sel/mm.11,13

Pemberian ART pada TB ini didukung oleh penelitian oleh BioMed Central

pada tahun 2012 yang membandingkan waktu pemberian ART pada pasien koinfeksi

HIV-TB, dimana tidak ada perbedaan berarti dalam hal mortalitas pada pasien HIV-

TB yang memulai ART setelah 2-4 minggu dengan yang telah menjalani 8-12 minggu

menjalani pengobatan OAT.1 Namun dapat terjadi perburukan perjalanan penyakit

HIV bila pemberian ART ditunda dari 2-4 minggu menjadi 8-12 minggu setelah

pemberian OAT. Penelitian oleh Karim et al menunjukkan bahwa pengobatan ART

pada pasien TB positif yang jumlah CD4 nya <500/mm3 menurunkan resiko mortalitas

sebanyak 56% dibandingkan menunggu sampai pengobatan TB selesai.9

WHO merekomendasikan ART lini pertama yang terdiri dari: 9,11,13

1. Dua nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dimana salah satunya

harus ada zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF), dengan 3TC atau FTC

2. Satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Untuk NNRTI,

WHO menyarankan pemberian efavirenz (EFV) atau neriverapine (NVP).

Pengobatan ini termasuk efektif dan tidak terlalu mahal karena dalam bentuk

generik dan formulasi FDC.11,13 Regimen lini pertama ARV yang disarankan adalah

yang mengandung efavirenz karena interaksi dengan obat-obatan TB minimal serta

memiliki efektivitas yang tinggi dalam mensupresi virus HIV. Namun EFV tidak

boleh diberikan pada pasien wanita usia produktif yang tidak menggunakan

kontrasepsi adekuat ataupun pada wanita hamil trimester pertama karena memiliki

sifat teratogenik.11

Pada pasien yang intoleran dengan EFV atau yang terinfeksi dengan strain

HIV yang resisten terhadap NNRTI, regimen yang mengandung EFV adalah suatu

kontraindikasi. Regimen yang dapat digunakan pada pasien-pasien ini adalah:11

15

Page 16: Refrat Kolaborasi TB-HIV

1. AZT+3TC+NVP atau

2. TDF+3TC atau

3. FTC+NVP atau

4. regimen dengan tiga NRTI (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF).

Pemilihan regimen ini disesuaikan dengan ketersediaan di negara masing-

masing. Di negara-negara yang tersedia rifampisin, pemberian utama nevirapine tidak

diperlukan.11

Regimen lini kedua ART harus meliputi ritonavir-boosted protease inhibitor

(PI) ditambah dua NRTI, dimana salah satunya harus AZT atau TDF tergantung dari

apa yang digunakan di terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau

lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang sering digunakan.13

2.9. Prognosis

Pada penatalaksanaan yang tepat serta pengobatan yang teratur,

penyakit ini dapat disembuhkan. Akan tetapi tanpa pengobatan/tidak teratur

pengobatan, penyakit ini dapat menjadi fatal dalam rentang waktu lima tahun dan

dapat berkomplikasi menjadi kematian.

Orang yang terinfeksi HIV dapat diperkirakan apakah akan berkembang

menjadi AIDS dengan memperhatikan jumlah limfosit T CD4+ dan jumlah RNA HIV

dalam plasma. Infeksi oportunistik adalah penyebab kematian terbanyak bagi

penderita AIDS. Dengan pengobatan antiretroviral, kehidupan dapat diperpanjang 2-3

tahun.

16

Page 17: Refrat Kolaborasi TB-HIV

BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Penanganan TB pada pasien dengan HIV/AIDS membutuhkan

penanganan khusus mulai dari menegakkan diagnosis serta

tatalaksana. Setiap klinisi yang bertemu dengan kasus TB harus

waspada terhadap kemungkinan HIV dimana koinfeksi sering terjadi

dan survei terhadap penderita baru TB dapat menjadi pintu masuk

untuk diagnosis HIV. Tatalaksana OAT pada pasien TB-HIV juga lebih

baik dilakukan untuk mencegah sindroma pulih imun yang berat

akibat respon inflamasi terhadap materi virus yang menyebar di

tubuh akibat ART. Penatalaksaan holistik juga harus dilakukan

terhadap setiap infeksi oportunistik lain beserta terapi ART untuk

meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup ODHA.

3.2. Saran

Adapun kami memberikan saran bagi kelompok –kelompok

pembuatan makalah selanjutnya agar mengambil jurnal-jurnal

terbaru untuk penatalaksanaan infeksi oportunistik lain pada ODHA

ataupun tatalaksana TB resisten obat yang meningkat jumlahnya

pada ODHA dan membutuhkan perhatian khusus dimana mortalitas

dan morbiditas akan melambung tinggi tanpa penanganan terpadu.

17

Page 18: Refrat Kolaborasi TB-HIV

18