PRESUS TB HIV-2

47
BAB II TUBERKULOSIS Definisi Tuberkulosis adalah adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 1,2 Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol. 2,3 Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis

description

Geriatric Syndrome

Transcript of PRESUS TB HIV-2

Page 1: PRESUS TB HIV-2

BAB II

TUBERKULOSISDefinisi

Tuberkulosis adalah adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1,2

Mycobacterium Tuberculosis

Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang berbentuk

batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini

berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat

kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel

M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa

dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan

dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri

M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya

penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.2,3

Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberkulosis sebagai Global Emergency. Perkiraan TB secara global pada tahun 2009

adalah :

Insidens kasus : 9,4 juta (8,9 – 9,9 juta )

Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2 – 1,5 juta)

Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32 – 0,45 juta)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis

(15-50 tahun). Indonesia termasuk 5 negara dengan inseden kasus TB terbanyak setelah

india, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh

nomor satu diantara penyakit menular dan menrupakan penyebab kematian nomor tiga

setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.2,3

Patogenesis

Page 2: PRESUS TB HIV-2

Bagan 1. Tuberkulosis primer dan post primer2,3,4

Faktor Risiko

Golongan sosial ekonomi rendah

Keadaan daya tahan tubuh yang rendah

Terinfeksi HIV

Malnutrisi

Keadaan imunosupresan (menggunakan obat kortikosteroid dalam

jangka lama)

Kegagalan progam TB

Lingkungan padat penduduk (terutama daerah yang prevalensi Tbnya tinggi)

Ruangan dengan ventilasi yang kurang baik (kurang sinar matahari dan lembab)

Berkontak langusng dengan penderita 2,4

Page 3: PRESUS TB HIV-2

Gambar 1. Faktor risiko kejadian TB

Cara Penularan

a) Saluran pernapasan melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei

b) Saluran pencernaan melalui melalui susu yang tidak dipasteurisasi dan

terkontaminasi TB

Klasifikasi Tuberkulosis

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan :

1. Letak anatomi penyakit2,3

Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru

Tb ekstra paru adalah kasus TB yang mengenai organ selain paru seperti

pleura, kelenjar getah bening, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang

dan selaput otak

2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologinya2,3

Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :

Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah :

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

Page 4: PRESUS TB HIV-2

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan biakan positif

Tuberkulosis Paru BTA (-) adalah :

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis

aktif

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M.tuberculosis positif

3. Riwayat pengobatan sebelumnya2,3

Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis

harian)

Kasus kambuh (relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan

dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan

perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif

kembali, harus dipikirkan beberap kemungkinan :

Infeksi sekunder

Infeksi jamur

TB paru kambuh

Kasus default atau drop out

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ bulan dan tidak

mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih sebeleum masa

pengobatannya selesai

Kasus gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau pada akhir pengobatan

Page 5: PRESUS TB HIV-2

Kasus kronik

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang

baik

Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)

negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB

inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan

gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang

adekuat akan lebih mendukung

Pada kasus dengan gambaran radiologikmeragukan lesi TB aktif,

namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan

ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik

4. Status HIV pasien2

Diagnosis

A. Gambaran klinis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan

fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan

penunjang lainnya.2,3

Gejala klinis

Dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistermik, bila organ

yang terkena adalah paru maka gejala lokalnya ialah gejala respiratori (gejala

lokal sesuai organ yang terlibat) :2,3

Gejala respiratori

batuk ≥ 2 minggu

batuk darah

sesak napas

nyeri dada

Gejala sistemik

Demam

Page 6: PRESUS TB HIV-2

gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat

badan menurun

Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,

misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang

lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis

tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi

yang rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang

terlibat. 2,3

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur

paru. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma

& mediastinum. 2,3

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya

cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas

yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. 2,3

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering

di daerah leher kadang-kadang di daerah ketiak. 2,3

C. Pemeriksaan bakteriologi

Bahan pemeriksaan

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) 2,3

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

Page 7: PRESUS TB HIV-2

Dahak Pagi ( keesokan harinya )

Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Mikroskopis

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan

ialah bila :

3 atau 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

Pemeriksaan biakan kuman

D. Pemeriksaan radiologi

Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-

macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB

aktif : 2,3

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan

atau nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif : 2,3

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Fibbrotik

Kalsifikasi

Penebalan pleura

E. Pemeriksaan penunjang lainnya

Analisis cairan pleura

Pemeriksaan histolpatologi

Page 8: PRESUS TB HIV-2

Pemeriksaan darh

Uji tuberkulin

Bagan 2. Alur diagnosis TB

Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)

dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. 2

Page 9: PRESUS TB HIV-2

Tabel 1. Pengelompokan OAT

Tabel 2. Sifat dan dosis OAT lini pertama

Prinsip pengobtan tuberkulosisi sebagai berikut :

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

Page 10: PRESUS TB HIV-2

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2

Page 11: PRESUS TB HIV-2

Tabel 6. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 2

OAT Sisipan (HRZE) 2

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1

yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 7. Dosis KDT untuk sisipan

Pengobatan Suportif/Simtomatik

Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk

meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.2,3

Pada pasien rawat jalan dapat diberikan tambahan vitamin dan makan

makanan bergizi, atau aapbila demam dapat diberikan obat penurun demam,

atau diberikan untuk mengatasi gejala batuk dan sesak napas

Pada pasien rawat inap pengobatan suportif diberikan sesuai dengan

keadaan klinis dan indikasi rawat

Terapi Pembedahan

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak2,3

Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap

positif

Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara

konservatif

Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat

diatasi secara konservatif

2. lndikasi relatif

Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

Page 12: PRESUS TB HIV-2

Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

Sisa kaviti yang menetap

Page 13: PRESUS TB HIV-2

BAB III

HIV/AIDS

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari

sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit

yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel

limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-

sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke

tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara

1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang

yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa

kasus bisa sampai nol(1))

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti

kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi

virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar

seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh

ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau

media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi

tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik

akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi

oportunistik

Epidemiologi

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta

orang dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah

dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan

Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005.

Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS

dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya

pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal

Page 14: PRESUS TB HIV-2

karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di

setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau

AIDS.

Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana

lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.

Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper

lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.

Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim

transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)(1,2).

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis

kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai

saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan

terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor

lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh

HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini

bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase

Tahun 2006

Tahun 2007

Tahun 2008

Tahun 2009

Tahun 2010

0

Grafik ODHA di Indonesia 5 tahun terakhir

Jumlah orang dengan HIV AIDS di Indonesia

Page 15: PRESUS TB HIV-2

ini disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang

terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi

positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis

infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam,

diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang

lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi

HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian

kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase

asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali

mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring

dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di

dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan

limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase

infeksi klinisnya mungkin laten(5).

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya

telah turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan

imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit

terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori

klinis ini

Page 16: PRESUS TB HIV-2
Page 17: PRESUS TB HIV-2

HIV masuk ke tubuh

Oleh APC ke KGB regional

Virus bereplikasi di KGB

Viremia terdeteksi 1-3 minggu setelah infeksi

Terjadi pembentukan Ab, ditandai dengan viremia menurun

Replikasi dalam keadaan‘steady state’

GEJALA INFEKSI HIV AKUT- Demam- Ruam-

Pembesaran

KGB

- Nyeri Menelan- Batuk- Diare

Page 18: PRESUS TB HIV-2

PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam

8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan

Page 19: PRESUS TB HIV-2

menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas

dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas

beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma

kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama

serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan

yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan

kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,

zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse-

transcriptase inhibitor )

penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari

RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum

penggabungan DNA virus dengan kromosom sel

inang.

2 NNRTI (non-nucleoside

reverse-transcriptase inhibitor

(NNRTI)

menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase

dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif

pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan

untuk memecah prekursor poliprotein virus dan

membangkitkan fungsi protein virus.

Page 20: PRESUS TB HIV-2

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi

penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang

tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada

dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang

tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI,

2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai

terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya

setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda

klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.

(Depkes RI, 2007)

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium

KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia

pemeriksaan CD4

1

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit

<1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan

terapi sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil

dengan CD4 350

Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan

CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi

bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa

memandang jumlah limfosit

total

4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah

CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru

dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai

penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat

ditentukan.

Page 21: PRESUS TB HIV-2

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4

tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau

III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada

pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat

ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV

adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit

akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi

dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV

sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk

memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan

pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.

Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <

350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan

untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis

dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu

keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak

dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang

aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan

fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin

(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan

lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu

setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga

untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang

dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau

HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV

Page 22: PRESUS TB HIV-2

menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan

manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2

NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,

lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin

(NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +

NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan

anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.

Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti

lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat

digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan

Page 23: PRESUS TB HIV-2

mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi

terapi ARV yang tidak dianjurkan:

Pilihan obat ARV golongan NR

Page 24: PRESUS TB HIV-2

Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal

terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber

dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama

kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/

mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi

NNRTI.

Pengobatan ko-Infeksi TB-HIV

Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan

segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi

Page 25: PRESUS TB HIV-2

dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.

Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit TB maka

pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini:1

Tabel 8. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Sedangkan untuk pengobatan ko-infeksi TB-HIV dengan prinsip mulai pengobatan dengan ARV segera setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dapat di lihat seperti gambar di bawah ini :

Gambar 2. Skema pengobatan ko-infeksi TB-HIV

Page 26: PRESUS TB HIV-2

Tabel 8. Pilihan paduan pengobatan ko-infeksi TB-HIV

Tabel 9. Pilihan paduan pengobatan ko-infeksi TB-HIV

Page 27: PRESUS TB HIV-2

Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan

CD4 <200/

mm3

Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV

segera setelah terapi TB dapat ditoleransi

(antara 2 minggu hingga 2 bulan)

Paduan yang mengandung EFV (AZT

atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800

mg/hari).

Setelah OAT selesai maka bila perlu

EFV dapat diganti dengan NVP.

Bila NVP terpaksa harus digunakan

disamping OAT, maka dapat dilakukan

dengan melakukan pemantauan fungsi

hati (SGOT/SGPT) secara ketat

Saat mulai ART pada 2 – 8

minggu setelah OAT

CD4 200-350/

mm3

Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB

CD4 >350/

mm3

Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai

kembali pada saat minggu ke

8 terapi TB dan setelah terapi

TB lengkap

CD4 tidak

mungkin

diperiksa

Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV

mulai 2 – 8 minggu setelah

terapi TB dimulai

Page 28: PRESUS TB HIV-2

BAB IV

PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA (PCP)

Definisi

Pneumocystis carinii pneumonia adalah suatu infeksi pada paru yang

disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan infeksi oportunis

berbahaya yang sering terjadi pada pasien AIDS. Distribusi tersebar luas di dunia,

dapat menginfeksi manusia dan hewan. PCP biasa terjadi pada penderita dengan

kekebalan tubuh rendah. Sebelum adanya AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang terjadi

dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL (acute

lymphocytic leukemia), atau pada pasien-pasien yang mendapat terapi kortikosteroid.

Sekarang infeksi ini sering dihubungkan dengan infeksi HIV lanjut.

Morfologi dan Siklus Hidup

Pneumocystis carinii menjadi 3 stadium yakni:

1. Stadium trofozoit : bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1-5 µ dan

memperbanyak diri dengan mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat

ultrastruktursebagai berikut : berdinding tipis (20-40µ) dengan beberapa

ekspansi tubular yang disebut dengan filopodium, umumnya memiliki 1 inti

tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti; mitokondria, retikulum endoplasmik kasar;

benda-benda bulat (round bodies dan vakuol-vakuol). Pada pewarnaan Giemsa,

inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain

yang khas. Trofozoit yang kecil (1-1,5µ) ditemukan dekat kista yang berdinding

tebal, berbentuk bulan sabit, menyerupai intracystic bodies. Trofozoit yang

besar menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama

dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseupodium

sehingga berbentuk ameboid.

2. Stadium prakista

Merupakan bentuk intermediate antara kista dan trofozoid. Bentuk oval, ukuran

3 - 5µ dan dindingnya tebal (berkisar antara 40 -120µ) dengan jumlah inti 1-8.

Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi

Page 29: PRESUS TB HIV-2

dinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai dengan

methenamine silver.

3. Stadium kista

Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis, juga diduga

sebagai bentuk infektif manusia. Bentuk bulat dengan diameter 3,5 – 12 µ,

mengandung 8 trofozoit yang sedang berkembang dengan diameter 1 – 1,5µ.

Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit, atau kadang-

kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang

homogen atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa

atau dengan cara pewarnaan Gram. Pewarnaan Giemsa baik untuk melihat

bagian-bagian dari parasit.

Siklus Hidup

Jamur ini ditemukan pada paru-paru mamalia di tempat jamur ini tinggal tanpa

menyebabkan infeksi yang nyata sampai imun hospes melemah.

Page 30: PRESUS TB HIV-2
Page 31: PRESUS TB HIV-2

Patogenesis dan Patologi

Transmisi Pneumocystis carinii dari orang ke orang diduga terjadi

melalui respiratory droplet infection dan kontak langsung, dengan kista

sebagai bentuk infektif pada manusia. Masa inkubasi ekstrinsik (=

prepaten period) diperkirakan 20-30 hari dengan durasi serangan selama 1-

4 minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi

infeksi laten yang telah pernah didapat penderita sebelumnya atau karena

paparan berulang dan reinfeksi terhadap jamur ini. Namun diduga

mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Organisme

ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer

infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi

dilaporkan bahwa infeksi Pneumocystis carinii bisa juga terdapat

ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening dan sumsum

tulang. Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel

alveolar tipe I. Di paru pertumbuhannya terbatas pada permukaan

surfaktan di atas epitel alveolar. Pneumocystis carinii berkembang biak di

paru dan merangsang pembentukan eksudat yang eosinofilik dan berbuih

yang mengisi ruang alveolar, mengandung histiosit, limfosit, dan sel

plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga

menurunkan oksigenasi, interstitium menebal, dan kemudian fibrosis. Pada

akhirnya mengakibatkan kematian karena kegagalan pernapasan akibat

asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan bronchial oleh massa

Page 32: PRESUS TB HIV-2

jamur yang berproliferasi tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah

berat dan volumnya bertambah besar, pleura agak menebal. Penampang

irisan paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus

yang jelas. Hiperplasia jaringan interstitial dan terinfiltrasi berat dengan sel

mononukleus dan sel plasma juga tampak. Dinding alveolus menebal dan

alveolus berisi eksudat yang amorf dan eosinofilik – memberi gambaran

seperti sarang lebah (honeycomb appearance) yang mengandung histiosit

dan limfosit, sel plasma, dan organisme itu sendiri.

Gejala Klinis

Gejala klinis PCP meliputi demam yang tidak terlalu tinggi,

dispnoe- terutama saat beraktifitas, dan batuk non-produktif. Progresivitas

gejala biasanya perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan sampai

berbulan-bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, takipnoe-

frekuensi pernapasan meningkat sampai 90-120x/menit sampai terjadi

sianosis.

Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang

spesifik. Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak

dijumpai kelainan apapun. Pada 2-6% kasus, PCP dapat muncul dengan

pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran

yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer,

bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi

dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti honey

comb appearance.

Pada darah dijumpai kadar LDH (lactate dehidrogenase) yang tinggi

>460 U/L atau PaO2 <75mmHg. Lesi ektrapulmoner jarang terjadi <3%

Page 33: PRESUS TB HIV-2

namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening, dan sumsum

tulang.

Diagnosa

Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan

menemukan Pneumocystis carinii pada sediaan paru atau bahan yang

berasal dari paru, diantaranya:

- Sediaan yang diperoleh dari induksi sputum

- Sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar

Lavage), yang dilakukan bila hasil induksi sputum (-).

- Sediaan dari biopsi paru.

Foto RÖntgen dada dapat menunjukan gambaran abnormal seperti adanya

gambaran infiltrate interstitial bilateral difus pada daerah hilus. Dapat juga

terlihat gambaran yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi,

pneumotocele, dan pneumothorax.

Page 34: PRESUS TB HIV-2

Penatalaksanaan

Profilaksis

Profilaksis umumnya diberikan pada pasien immunodefisiensi. Pada

HIV/AIDS dengan CD4 menurun hingga <300, dianjurkan untuk

mengkonsumsi kemoprofilaksis PCP. Kemoprofilaksis biasanya berupa

pemberian kombinasi trimetoprim + sulfametokzasol, 150 mg dan 70

mg/m2/hari, dibagi dalam 2 dosis dengan interval pemberian tiap 12 jam.

Page 35: PRESUS TB HIV-2

Daftar Pustaka

1. Toni Wandra, Nani Rizkiyati, Asik Surya, Triya Dinihari, Naning Nugrahini, Endang Budi Hastuti, Vanda Siagian, Endang Lukitosari, Novayanti, Ratih Pahlesia, Joan Tanumihardja, Retno Kusuma Dewi dan anto Lingga. 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2. Fattiyah Isbaniyah, Zubaidah Thabrani, Priyanti Zuwayudha Soepandi, Erlina Burhan, Reviono, Yani Jane Sugiri, Iswanto, Arifin nawas, Deddy Herman, dan Herudian Ahmad. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

3. Abdul Manaf, Agung Pranoto, Agung P.Sutiyoso, Ahmad Hudoyo, Agus Sjahrurrahman, Arto Yuwono, Anwar Jusuf, Arifin Nawas, Armen Muchtar, Asik Surya, Bambang Supriatno, Bangun Trapsilo, Benson Hausman. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

4. Zulkifli amin dan Asril bahar. 2009. Tuberkulosisi Paru. Jakarta. Interna Publishing

5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

6. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

7. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

8. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

9. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

10. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

11. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

12. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

Page 36: PRESUS TB HIV-2

13. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.

14. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040