HIV dalam Kehamilan

download HIV dalam Kehamilan

of 36

description

Makalah dalam menempuh kepaniteraan klinik OBSGYN

Transcript of HIV dalam Kehamilan

BAB IPENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyebaran HIV ini berkembang dengan cepat dan mengenai wanita dan anak-anak. AIDS menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang setahun. Di Indonesia, jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sejak tahun 2002 hingga Juni 2011 berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI yaitu 26.483 kasus. 1,2AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena tumor/kanker. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara horisontal yaitu melalui cairan tubuh saat terjadi kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-anak di bawah 15 tahun terinfeksi HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS tertular dari ibunya.1,3,4 Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi yang ditularkan dari ibu akan mengganggu kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang mudah, proses penularan dapat ditekan hingga sekitar 50%.5,6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. EtiologiVirus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamily Lentiviridae .Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelope, berbentuk bulat sferis dengan diameter 80-120nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua rantai single stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein. Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat reseptor (reseptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.1Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Enveloped lipid terbungkus dalam kapsid yang berbentuk ikosahedral 9p24 dan matriks 17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga membentuk cangkang di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam cangkang tersebut berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.1Gambar 1: Stuktur Human Immunodeficiency Virus (HIV)1

2.2. PatogenesisPartikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui berbagai cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral load adalah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada host yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh host. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu terinfeksi oleh virus, bisa CD4+ sel T dan monosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada jaringan mukosa. Ketika HIV mencapai permukaan mukosa maka akan menempel pada limfosit T CD4+, makrofag, atau sel dendrit pada kulit. Setelah virus ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target seluler pertama virus adalah sel dendrit jaringan (sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal dan selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi ke dalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada beberapa kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodulus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus.1Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respon imun seluler spesifik HIV. Respon ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respon imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS.1,6Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid, sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimptomatis maupun simptomatis. Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.1Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang terinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimptomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi.1Selama fase kronik, penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, gagal ginjal (HIV nefropati) dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respon imun seluler dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.1,6

Gambar 2: Patogenesis AIDS 1

2.3. Gambaran KlinisGambaran klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase sesuai dengan perjalanan infeksi HIV itu sendiri, yaitu: 1,7

2.3.1. SerokonversiSerokonversi adalah masa selama virus beredar menujut target sel (viremia) dan antibodi serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV primer menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6 minggu setelah infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut (acute retroviral syndrome; ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta penyebaran HIV dan terdiri dari gejala-gejala yang tipikal, namun tidak khas. Sindrom ini memiliki berbagai macam manifestasi, gejala yang paling umum mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam kulit, limfadenopati, dan nyeri tenggorokan. Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat dengan penurunan jumlah limfosit CD4+.

2.3.2. Penyakit HIV asimptomatikSetelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respon imun spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi. Tahap ini dapat asimptomatis sepenuhnya. Jika tidak diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18 bulan hingga 15 tahun bahkan lebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak rentan terhadap infeksi dan dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4+ sel T secara perlahan mulai turun dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan masa laten yang lama, biasanya menunjukkan prognosis yang lebih baik.

2.3.3. Infeksi HIV simptomatik atau AIDSJika terjadi penurunan jumlah sel CD4 yang meningkat disertai dengan peningkatan viremia maka hal tersebut menandakan akhir masa asimptomatik. Gejala awal yang akan ditemui sebelum masuk fase simptomatik adalah pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh dengan konsistensi kenyal, mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring dengan menurunnya jumlah sel CD4+ dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi akan mempercepat terjadinya infeksi oportunistik.Sebagian besar permasalahan yang berkaitan dengan infeksi HIV terjadi sebagai akibat langsung hilangnya imunitas seluler (cell mediated immunity) yang disebabkan oleh hancurnya limfosit T-helper CD4+ hingga kurang dari 200 sel/mm3 dikatakan menderita AIDS, meskipun kondisi ini tidak disertai dengan adanya penyakit yang menandai AIDS. Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sl CD4+ secara progresif. Setelah AIDS terjadi, maka sistem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak mampu lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada kondisi normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang tidak diobati rata-rata meninggal dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun. Terapi yang telah tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis pasien infeksi HIV secara signifikan.

2.4. Cara PenularanTerdapat beberapa cara dimana seseorang dapat terinfeksi oleh HIV. Infeksi HIV dapat ditransmisi melalui: 1,71. Kontak seksual: HIV terdapat dalam air mani dan secret vagina yang akan ditularkan virus ke sel, kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis akan memudahkan terjadinya infeksi HIV. Hubungan seks tanpa menggunakan proteksi dengan partner yang terinfeksi, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus.1,72. Transfusi: HIV ditularkan melalui injeksi dengan darah yang sudah tercemar HIV atau produk darah (infeksi melalui graf kulit, transplant organ)3. Melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika penyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit.4. Transimisi (Perinatal) : wanita yang terinfeksi HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkan melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.1

2.5. Penegakan Diagnosis2.5.1. Kriteria Klinik HIV/AIDS pada dewasa dan anak (WHO)9

Manifestasi Klinik Diagnosis Klinik Diagnosis pasti

Stadium I

Asimptomatik - -

Limfadenopati generalisata persisten Pembesaran KGB > 1 cm, tidak nyeri pada 1 atau 2 tempat dengan sebab yang tidak diketahui dan persisten selama 3 bulan atau lebih Histology

Stadium II

BB turun 1x selama 6 bulan) Sinusitis Otitis Media Tonsilopharyngitis Laboratorium

Herpes Zooster Vesicular rash, nyeri , distribusi dermatomal, tidak melewati midline tubuh. Diagnosis klinik

Angular cheilitis Pecah2 pada sudut bibir yang bukan diakibatkan oleh def fe, biasanya berespon dengan pemberian terapi antijamur Diagnosis klinik

Ulserasi oral rekuren (2x selama 6 bulan terakhir) Aphthous, nyeri, dan pseudomembran kuning abu-abu Diagnosis klinik

Papular preuritic eruption Lesi papular Diagnosis klinik

Seborrhoic dermatitis Kulit gatal, bersisik, terutama pada daerah berambut Diagnosis klinik

Infeksi jamur pada kuku Paronikia OnycholisisKultur jamur

Stadium III

BB turun > 10 % BB sebelumnya BB turun tanpa sebab yang jelas. Tampak kurus, BMI < 18,5 kg/m2 atau BB turun pada kehamilan BB turun > 10% terdokumentasi

Diare kronik lebih dari 1 bulan Diare kronik lebih dari 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya Pemeriksaan feses

Demam persisten Demam persisten lebih dari 1 bulan Suhu > 37.50, dengan kultur darah negative, ziehl-nelsen negative, apusan darah malaria negative, foto thorax normal, dan tidak ada focus infeksi

Kandidiasis oral persisten Berupa pseudomembraneus berwarna putih atau erythematous form Diagnosis klinik

Oral hairy leukoplakia Diagnosis klinik

TB ( berulang) Gejala kronik : batuk, batuk darah, sesak, nyeri dada, BB turun, keringat malam, demam. Dengan sputum BTA + atau sputum BTA dengan gambaran radiologis yang mendukung. BTA sputum +, kultur positif

Infeksi bakteri berat (pneumonia, meningitis, empiema, pyomiositis, infeksi tulang dan sendi, septicemia, PID) Demam disertai gejala dan tanda spesifik, dan merespon terhadap pemberian antibiotik. Isolasi bakteri

Acute necrotizing ulcerative gingivitis atau necrotizing ulcerative periodontitis.Papilla gingival ulserasi, sangat nyeri, gigi tanggal, perdarahan, bau mulut tidak sedap, dll. Diagnosis klinik

Anemia ( (8 gr%) Neutropenia ( 1 bulan tanpa sebab yang jelas Atau Demam > 1 bulan tanpa sebab yang jelas

Pneumocystis pneumonia Dispnoe on exertion atau batuk tidak produktif, takipneu, dan demam. Dan CXR : infiltrate difus bilateral Dan Tidak ada bukti infeksi pneumonia bakterial, krepitasi bilateral, dan auskultasi dengan atau tanpa obstruksi jalan nafas Cytology, imunofloresent mikroskopi.

Pneumonia bakterial rekuren 2x selama 6 bulan terakhir, onset akut ( 500, tidak terdeteksi virus (viral load) dalam darah ibu, dan ibu minum ART secara teratur sebelum dan selama kehamilan.62. Turunkan viral load (jumlah virus dalam tubuh pengidap) serendah-rendahnya. Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini hanya berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan viral load. 5Upaya yang dilakukan untuk menurunkan viral load adalah: 6 a. Minum ARV secara teratur (bagi ibu dengan HIV positif yang tidak hamil)b. Minum ARV profilaksis (pencegahan), bagi ibu dengan HIV positif yang hamil.3. Meminimalkan paparan janin/bayi dengan cairan tubuh ibu yang mengidap HIV positif. Upaya yang dilakukan adalah:5,6a. Selama kehamilan : memberikan ARV profilaksis pada ibu hamil dengan HIV positif.b. Selama persalinan : tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan obstetrik yang invasif yang tidak perlu dan dapat menjadi jalur penularan HIV, misalnya: episiotomi secara rutin, ekstraksi vakum/forcep, memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap dan terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam. Apabila dipertimbangkan seksio sesarea, perlu dipertimbangkan syarat, biaya dan tindakan operasi, fasilitas dan komplikasi pasca bedah akibat imunitas rendah. 3,5,6c. Menyusui (laktasi) : ibu hamil dengan HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk memberikan ASI ekslusif atau susu formula. 54. Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif. Upaya yang dapat dilakukan: 6a. Pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan untuk pemantauan kehamilan dan keadaaan janin.b. Minum roboransia (penunjang kesehatan misal : vitamin) untuk meningkatkan kebutuhan mikronutrien.c. Ibu menjalani pola hidup sehat : cukup gizi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak merokok, dan tidak minum alkohol.d. Menggunakan kondom, untuk mencegah infeksi baru (bila pasangannya tidak menderita HIV/AIDS), atau mencegah superinfeksi (bila pasangannya menderita HIV/AIDS).

2.8.6. Penggunaan obat Antiretroviral (ARV) Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus. 1,3Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13 Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7

A. Monoterapi ZidovudineObat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7

Tabel 5.1. Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu5x100mg/hariIntrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam,dilanjutkan infus 1mg/kgBB sampai 1 hari setelahmelahirkanPostpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jampostpartum dan diteruskan sampai 6 minggu Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang menambahkan imunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan.Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif oleh Wade, dkk di New York menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS mengikuti protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin baru diberikan setelah usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu yang lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama penggunaan antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi HIV. Joao, dkk mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama penggunaan antiretrovirus pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama penggunaan antiretrovirus ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi yang tertular HIV. 1Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti ialah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin. Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin. 1Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan stavudin.1

B. Nevirapin Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan.1

Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan1,7GolonganObatKategori FDA

Nukleosida Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)Zidovudin/ZDV/AZTZalsitabin/ddCDidanosin/ddlStavudin/d4TLamivudin/3TCAbacavir/ABCTenofovir/DFCCBCCCB

Non Nukleosida Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)NevirapinDelavirdinEfavirenzCCC

Protease Inhibitor (PI)IndinavirRitonavirSaquinavirNelvinafirAmprenavirLopinavirCBBB CC

Golongan lainHidroksiureaD

Keterangan :Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak sesuai dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester pertama (dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya).Kategori C:Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin.Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.

Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada semua wanita hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4.5,10,11Stadium Klinik WHOTidak Tersedia Tes CD4Tersedia Tes CD4

1Tidak diobatiDiobati jika jumlah sel CD4