HIPERTENSI BLOK 12.docx
Transcript of HIPERTENSI BLOK 12.docx
HIPERTENSI
DEFINISI
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah. Tekanan darah (TD)
ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah
hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar ini sekuncup ditentukan oleh kekuatan
kontraksi miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada
pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan
oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah
(Ganiswara,1995:50).
Klasifikasi tekanan darah menurut The Sevent Joint National Committee on Prevention
Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7).
KLASIFIKASI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 ≥ 100
(Sumber : Dipiro et al, 2006).
ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90% - 95% kasus).
Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan
lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitifitas terhadap
natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskuler
(terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin (Setiawati dan Bustami, 1995:315-342).
b. Hipertensi sekunder atau Renal
Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat sekitar 5% -
10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),
hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obat dan lain-lain.
PATOGENESIS
Pada geriatri patogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda dengan yang terjadi
pada dewasa muda. Faktor yang berperan pada geriatric adalah:
a. Penurunan kadar rennin karena menurunya jumlah nefron akibat proses menua.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.
c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan mengakibatkan hipertensi
d. Sistolik saja (ISH = Isolated Systolic Hypertension). (Darmojo dan Martono, 2006:45)
GEJALA
Peninggian tekanan darah kadang–kadang merupakan satu-satunya gejala (Mansjoer, 2001).
Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru setelah beberapa tahun adakalanya pasien
merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur, nyeri ini biasanya hilang setelah bangun
(Tan dan Raharja, 2001). Pada survai hipertensi di Indonesia tercatat berbagai keluhan yang
dihubungkan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah, telinga berdenging, sukar tidur,
sesak nafas, rasa berat ditekuk, mudah lelah, sakit kepala, dan mata berkunang-kunang. Gejala
lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti : gangguan penglihatan, gangguan
neurologi, gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Timbulnya gejala
tersebut merupakan pertanda bahwa tekanan darah perlu segera diturunkan (Susalit et al,
2001:453-472).
Hasil Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien hipertensi meliputi:
1) Pemeriksaan ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai fungsi ginjal.
2) Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
3) Pemeriksaan kalsium penting untuk pasien hiperparatiroidisme primer dan dilakukan sebelum
memberikan diuretik karena efek samping diuretik adalah peningkatan kadar kalsium darah.
4) Pemeriksaan glukosa dilakukan karena hipertensi sering dijumpai pada pasien diabetes
mellitus.
5) Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membantu menegakan diagnosis penyakit ginjal, juga
karena proteinuria ditemukan pada hampir separuh pasien. sebaiknya pemeriksaan dilakukan
pada urine segar.
6) Pemeriksaan elektrokardiogram dan foto pada yang bermanfaat untuk mengetahui apakah
hipertensi telah berlangsung lama. Pembesaran ventrikel kiri dan gambaran kardiomegali
dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini (Suyono, 2001:461-462).
PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I
oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam
mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit
urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada
akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron
dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan
multifaktorial dan sangat komplek. Faktor faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap
perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi
darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi
neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik,
asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.
Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang-kadang
muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi
persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di
aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat. Progresifitas hipertensi
dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung)
kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer
meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi
hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun(Menurut Sharma S et al, 2008 dalam
Anggreini AD et al, 2009). komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah
terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan
stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi
faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan
gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang
kadangkadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang
lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan
organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan
meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun
(dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan
akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (Menurut Sharma S et al,
2008 dalam Anggreini AD et al, 2009).
TERAPI HIPERTENSI
Terapi pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat
tekanan darah tinggi, ini berarti tekanan darah harus diturunkan serendah mungkin yang tidak
mengganggu fungsi, ginjal, otak, jantung maupun kualitas hidup. Terapi hipertensi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu terapi Non farmakologi (tanpa obat) dan terapi farmakologi
(dengan obat)
A. Terapi non farmakologi ditujukan untuk menurunkan tekanan darah pasien dengan jalan
memperbaiki pola hidup pasien. Terapi ini sesuai untuk segala jenis hipertensi.
Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah lain penurunan tekanan
darah pada kasus obesitas, diet asupan kalium dan kalsium, pengurangan asupan natrium,
melakukan kegiatan fisik, dan mengurangi konsumsi alcohol (Chobanian et al, 2003).
B. Terapi farmakologi sedikit berbeda dibanding dengan pasien usia muda. Perubahan-
perubahan fisiologis yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi
tinggi dan waktu eliminasi menjadi panjang. Juga terjadi penurunan fungsi dan respon
organ-organ, adanya penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit lain yang sementara
dikonsumsi, harus diperhitungkan dalam pemberian obat anti-hipertensi.
Prinsip pemberian obat pada pasien usia lanjut:
1) Sebaiknya dimulai dengan satu macam obat dengan dosis kecil.
2) Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan,untuk penyesuaian autoregulasi guna
mempertahankan perfusi ke organ vital.
3) Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari.
4) Antisipasi efek samping obat.
5) Pemantauan tekanan darah itu sendiri di rumah untuk evaluas efektivitas pengobatan.
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat kelainan target
organ. Oleh karena itu fungsi ginjal telah menurun dan terdapat gangguan metabolisme
obat,sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih rendah pada hipertensi tanpa
komplikasi. Hipertensi pada usia lanjut perlu diobati seperti pada usia yang lebih muda,secara
hati-hati sampai tekanan sistolik 140 mmHg dan diastolik 80 mmHg atau kurang. Selain itu perlu
diobati faktor resiko kardiovaskuler yang lain: dislipedemia, merokok, obesitas, diabetes melitus
dan lain-lain (Suharjono,Syakib,2001: 484-485).
KOMPLIKASI
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika tekanan darah (TD) diastolik ≥
130 mmHg atau kenaikan tekanan darah (TD) yang terjadi mendadak dan tinggi. Pada hipertensi
ringan dan sedang komplikasi yang sering terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung, dan otak.
Pada mata berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal
jantung merupakan kelainan yang sering dijumpai pada hipertensi berat disamping kelainan
koroner dan miokard. pada otak sering
terjadi pendarahan yang disebabkan pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibatkan
kematian. Kelainan lain yang terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak
sementara. Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi
(Susalit et al, 2001).
OBAT-OBAT ANTI HIPERTENSI
Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih dari empat tempat kontrol anatomis
dan efek tersebut terjadi dengan mempengaruhi mekanisme normal regulasi tekanan darah. Obat-
obat antihipertensi yang sering digunakan diklasifikasikan sebagai berikut:
Diuretik
Khasiat hipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air,
sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Tekanan darah turun akibat
berkurangnya curah jantung, sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. pada
pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi masih kira-kira 5% dibawah nilai sebelum
pengobatan curah jantung kembali mendekati normal. Tekanan darah tetap turun karena sekarang
resistensi perifer menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi kemudian ini tampaknya bukan efek
langsung tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap pengurangan
volume plasma yang terus menerus. Kemungkinan lain adalah berkurangnya volume cairan
intestisial yang berakibat pada berkurangnya kekakuan. Dinding pembuluh darah dan
bertambahnya daya lentur (Ganiswara, 1995).
β-Bloker (beta-bloker).
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum jelas, diperkirakan ada
beberapa cara, cara pertama adalah pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard
menyebabkan denyut berkurang. Refleks baroreseptor serta hambatan reseptor B2 Vaskuler
menyebabkan resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuaian terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik. Cara yang kedua adalah hambatan sekresi rennin
melalui reseptor B1 di ginjal (Ganiswara, 1995:330). Penurunan tekanan darah oleh beta bloker
yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1
minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan tekanan darah lebih
lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Efek samping obat golongan beta bloker dapat
diperkirakan selain itu juga terdapat banyak pilihan sehingga beta bloker sering digunakan
sebagai obat pilihan pertama. Khususnya pada kasus hipertensi dengan aritmia atau ischaemia
heart disease. Kontra indikasi pemakaian beta bloker adalah obstruksi saluran
nafas (asma bronkhial), penyakit pembuluh darah perifer, dan gagal jantung (Raharjo, 2001).
α- Bloker (Alfa-bloker).
Antagonis adrenoreseptorm α memblok reseptor adrenergic α dipembuluh darah sehingga
vasodilatasi. obat ini tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan janka panjang sebagai
antihipertensi. Alfa bloker merupakan satu-satunya golongan antihipertensi yang memberikan
efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida
dan meningkatkan kolesterol HDL). Alfa bloker juga dapat menurunkan resistensi insulin
(disamping penghambat ACE), memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan mengurangi
serangan asma akibat latihan fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS. Karena itu, alfa bloker
dianjurkan penggunaanya pada penderita hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas,
gangguan resistensi perifer, asma, dan perokok. Merokok meningkatkan trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL dalam darah. Alfa bloker juga dapat dianjurkan untuk penderita
muda yang aktif secara fisik, dan mereka yang menggunakan AINS (Ganiswara,1995:321).
Antagonis kalsium
Pada otot jantung ada otot vaskuler, ion kalsium terutama berperan dalam peristiwa kontraksi.
Meningkatnya kadar ion kalsium dalam sitosol akan meningkatkan kontraksi. Masuknya ion
kalsium dalam ruang ekstrasel kedalam ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar (kadar
kalsium ekstrasel 10. 000 kali lebih tinggi disbanding kadar ion kalsium intrasel sewaktu
diastole). Obat antihipertensi golongan antagonis kalsium bekerja dengan jalan memblok kanal
kalsium yang terletak pada otot polos sehingga mencegah terjadinya vasokonstriksi (Ganiswara,
1995:325). Antagonis kalsium makin banyak digunakan karena efek sampingnya pada
kardiovaskuler, bronkus, dan metabolism tubuh lebihkecil dibandingkan dengan beta bloker.
Berdasarkan efek tersebut, antagonis kalsium ini terutama digunakan pada hipertensi, apabila
diuretic dan atau beta bloker kurang efektif. Golongan obat antihipertensi ini menurunkan darah
secara efektif, dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik serta menekan kejadian stroke.
Indikasi terutama hipertensi sistolik pada lansia.
Penghambat Enzim konversi Angiotensin (ACE-inhibitor)
Mekanisme kerja penghambat ACE adalah mengurangi pembentukan angiotensin II sehingga
terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldostero yang menyebabkan terjadinya ekresi natrium
dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan tekanan darah akibat penghambat ACE
disertai dengan penurunan resistensi perifer. Tampaknya kerja golongan obat ini tidak hanya
melalui system rennin-angiotensinaldosteron, tetapi juga melalui system rennin. Hambatan
inaktivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan bradikinin dan prostaglandin
vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan pembentukan angiotensin II
(Ganiswara,1995).
Obat Antihipertensi Kerja Sentral
Kelompok ini termasuk metildopa, yang mempunyai keuntungan karena aman bagi pasien asma,
gagal jantung, dan kehamilan. Efek sampingnya diperkecil jika dosis perharinya dipertahankan
tetap dibawah 1g. Klonidin mempunyai kerugian karena penghentian pengobatan secara tiba-tiba
bisa menyebabkan krisis hipertensif. Maksonidin, obat yang bekerja sentral, belum lama ini
diperkenalkan untuk hipertensi esensial ringan sampai sedang (DepKes RI, 2000).
Antagonis Reseptor Angiotensin II.
Ada dua tipe reseptor angiotensin II. tipe I Mengontrol vasokonstriksi dan sintesis aldosteron,
dan tipe 2 yang aksinya kurang spesifik. Antagonis angiotensin II menghambat pada reseptor tipe
I dan memiliki tipe yang sama dengan penghambat ACE dan menurunkan tekanan darah namun
efek sampingnya lebih kecil (Clarke and Hebron, 1999).
Vasodilator
Obat antihipertensi golongan ini dapat mengembangkan dindingdinding arteriola sehingga daya
tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah menurun. Mekanisme kerjanya langsung
terhadap obat-obat licin pembuluh yang daya kontraksinya dikurangi, tanpa hubungan dengan
saraf-saraf adrenergic. (Tan Raharja, 2002).
PENGATURAN TEKANAN DARAH
BP= CO x PVR
Tekanan darah dipertahankan melalui pengaturan cardiac output dan peripheral vascular
resistence pada lokasi:
Arteriol
Postcapillary venules
Jantung
Lokasi ke-4 adalah ginjal
Mengatur tekanan darah dengan cara mengatur volume intravascular
Barorefleks diperankan oleh saraf otonom yang bekerja dengan mekanisme humoral,
sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Berfungsi untuk mengkoordinasi 4 lokasi pengaturan untuk mempertahankan tekanan
darah
Semua obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih mekanisme pengaturan tekanan
darah
Terdapat 4 kelompok obat antihipertensi:
Diuretika
Obat-obatan simpatoplegia
Vasodilator
Obat-obatan yang menghambat produksi atau kerja angiotensin
Reseptor Adrenergik:
Reseptor yang menerima signal dari SSP menuju target organ
Ada 4 tipe reseptor adrenergik:
a1: pada otot polos arteriol dan vena; efek vasokonstriksi
a2: ujung saraf adrenergik; umpan balik menghambat pelepasan
noradrenalin
b1:
pacemaker jantung: denyut jantung meningkat
miokardium: kontraktilitas meningkat
korteks ginjal: sekresi renin meningkat
b2: otot polos bronkus; bronkodilatasi
Diuretika
Telah lama diketahui bahwa pembatasan natrium melalui diet dapat menurunkan tekanan
darah pada penderita hipertensi
Diuretika menurunkan tekanan darah terutam amelalui penurunan natrium.
Pada awal pemberian diuretika terjadi penurunan volume darah dan cardiac output. PVR
dapat meningkat
Setelah 6 –8 minggu CO kembali normal sedangkan PVR menurun
Natrium diyakini memiliki kontribusi terhadap PVR melalui peningkatan kekakuan
vascular dan reaktivitas neural, yang mungkin menyebabkan peningkatan pertukaran Na-
Ca, dengan hasil peningkatan kalsium intraselula
Beberapa diuretika memiliki efek vasodilatasi, misalnya indapamide
Contoh diuretika
Thiazide, misalnya HCT
Diuretika kuat, misalnya furosemid (lasix)
Diuretika hemat kalium (potassium sparing diuretics)
Toksisitas diuretika
Hipokalemia, kecuali pada diuretika hemat kalium
Hipomagnesia
Impair glucose tolerance
Peningkatan konsentrasi lemak serum
Peningkatan konsentrasi asam urat
Obat-obatan yang mempengaruhi fungsi saraf simpatis
Digunakan pada hipertensi sedang
Pada obat yang bekerja pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan sedasi,
depresimental serta gangguan tidur
Jenis obat anti hipertensi yang mempengaruhi fungsi saraf simpatis
Simpatoplegia sentral, misalnya metildopa, clonidine
Penghambat ganglion, misalnya trimetaphan
Obat penghambat neron adrenergik, misalnya guanetidin, reserpin
Beta blocker, misalnya propranolol, metoprolol, labetalol
o menghambat reseptor beta adrenergik
o pengurangan denyut jjantung dan kontraktilitas miokard
Alfa blocker, misalnya prazosin
Vasodilator
Ada cara pemberian obat vasodilator, yaitu
Vasodilator oral, misalnya hidralazine dan minoxidil
Vasodilator parenteral, misalnya nitroprusside, diazoxide. Digunakan pada kasus
emergensi di RS
Efek samping
Sakit kepala
Mual
Muntah
Jantung berdebar
Flushing
Contoh vasodilator
Hidralazin
Minoxidil
Nitroprussid
Calcium Channel Blockers (CCB), misalny anifedipin, amlodipin, felodipin, dll)
Menghambat masuknya ion Ca2+ melewati slow channel yang
terdapat pada membrane sel
dilatasi arteriol perifer dan koroner --> tahanan perifer ↓
menghambat kontraksi otot jantung
verapamil, diltiazem, nifedipin
efek samping: konstipasi, mual, pusing, sakit kepala, hipotensi,
edema
Penghambat Angiotensin
Renin yang dikeluarkan oleh korteks ginjal dirangsang oleh penurunan tekanan arteri
renal, simpatis, peningkatan konsentrasi natrium pada tubulus distalis ginjal
Renin bekerja dengan cara memecah decapeptide angiontensinI.
AngiotensinI diubah oleh ACE (angiotensin-converting enzyme) menjadi Angiotensin II
di paru-paru. AngiotensinII merupakan vasokonstriktor
Jenis obat penghambat angiotensin
Angiotensin-covertingenzyme inhibitors (ACE-inhibitors), misalnya captopril, enalapril,
lisinopril
Angiotensin–Reseptor Blockers (ARB), misalnya losartan, valsartan,
Efek toksik ACE inhibitors
Hipotensi, biasanya terjadi pada dosis awal pemberian pada penderita hipovelimi karena
diuretika, pembatasan garam dan diare
Hiperkalemia, pada gangguan ginjal atau diabetes
Batuk kering
Angioedema
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil trimester 2 dan 3
Efek toksik ARB
Hampir sama dengan ACE inhibitor
Tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioedema karena tidak mempengaruhi
bradikinin
PENGATURAN TEKANAN DARAH
BAROREFLEKS