Hip Erbil
-
Upload
maharanidewicaropeboka -
Category
Documents
-
view
71 -
download
1
Transcript of Hip Erbil
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus
(Case Report)
Disusun oleh:
Cika Naya Gusnisa
Maharani Dewi Caropeboka
Natasya Ayu Andamari
Pembimbing:
dr. Murdoyo Rahmanoe, Sp.A
dr. Prambudi Rukmono, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK
SMF KESEHATAN ANAK RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2012
16
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada
sclera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang
merupakan komponen hemoglobin mamalia.
Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal,
sehingga proses glukorodinasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam
darah. Pada kebayakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi
terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi
menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat
bertahan hidup pada jangka panjang akan menyebabkan sekuele neurologis.
Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan
apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis
serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang
menjadi hiperbilirubinemia.
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian
lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang
17
menetap atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan
ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan
dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat >
5 m g /dL (> 86 µmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat,
ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 m g /dL
juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus
patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan
sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan .
B. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin, sebagian besar terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Laju penghancuran hemoglobin pada
neonatus cenderung lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua, dimana satu
gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin
darah dan sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak
efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX α. Zat ini
sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti
plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan di bawa
ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terika
toleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Se gera setelah
ada dala m sel hepar terjadi perseny awaan ligandin (pr otein Y), prot ein Z
dan gl utation hepa r lain y ang membawany a ke retikul um endoplasma
18
hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim
glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk.
Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan
selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin.
Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah
proses absorpsi entero hepatik
Gambar 1. Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin
Gambar 1. Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin
19
Gambar 2. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus.
Dalam keadaan fisiologis, pada hampir semua neonatus dapat terjadi
akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin pada masa neonatus. Pada masa
janin, fungsi ini dilakukan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal
ini menyebabkan penumpukan bilirubin dan disertai gejala
hiperbilirubinemia. Pada bayi baru lahir, karena fungsi hepar yang belum
matang, gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, karena
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar
bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
20
Bayi yang lahir kurang bulan, kadar albumin biasanya rendah, hal ini
menyebabkan kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan
sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat
melekat pada sel otak. Kapasitas pengikatan bilirubin indirek maksimal
neonatus yang mempunyai kadar albumin normal pada umumnya dicapai saat
kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%.
C. Definisi
Hiperbilirubinemia neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin total pada
minggu pertama kelahiran aterm. Sering ditemukan pada bayi baru lahir
terutama pada bayi kurang bulan (80%) karena memiliki kandungan albumin
yang lebih rendah. Hal ini disebabkan pada masa transisi setelah lahir, hepar
belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukorodinasi bilirubin tidak
terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin
tak terkonjugasi dalam darah sehingga muncul gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa akibat deposisi bilirubin
D. Epidemiologi
Banyak bayi yang mengalami hiperbilirubinemia dalam satu minggu pertama
kehidupannya, terutama pada bayi kecil (berat lahir < 2500 gram atau umur
kehamilan < 37 minggu) karena memiliki kandungan albumin yang lebih
rendah.
Dari penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, sekitar 65% dari 4 juta bayi
yang lahir setiap tahunnya, mengalami hiperbilirubinemia. Penelitian cross-
sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003, menemukan angka kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebesar 58% (kadar bilirubin di atas 5
21
mg/dL) dan 29,3% (kadar bilirubin di atas 12 mg/dL) pada minggu pertama
kehidupan.
E. Klasifikasi
Hiperbilirubinemia dapat diklasifikasikan :
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologi mengenai hampir semua neonatus. Biasanya,
setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,
namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya. Pola
hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar
bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5
kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam
minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar
bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL.
Pola hiperbilirubinemia fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras,
dan faktor-faktor lain. Misalnya, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Faktor yang
dapat mempengaruhi munculnya hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi
baru lahir adalah peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif,
pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan
dewasa 120 hari), proses pengambilan dan konjugasi di hepar yang
belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
22
2. Hiperbilirubinemia pada bayi mendapat asi (breastmilk jaundice)
Hiperbilirubinemia pada pemberian ASI dapat terjadi berkepanjangan
pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat terjadi
karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan
absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak terdapat faktor risiko lain, ibu
tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata
laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
3. Hiperbilirubinemia patologis
Hiperbilirubinemia patologi adalah hiperbilirubinemia pada bayi cukup
bulan dengan kadar bilirubin > 18 mg/dL yang terjadi pada hari pertama
atau disebabkan oleh proses yang abnormal. Paling umum patologi
disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin pada anemia hemolitik,
biasanya dari inkompatibilitas tipe darah, polisitemia, dan hematoma.
F. Etiologi
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan
penyebab terjadinya hiperbilirubinemia yaitu :
a. Hiperbilirubinemia yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab hiperbilirubinemia yang terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang
bakteri).
3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
23
1. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir
minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
d. Hiperbilirubinemia yang timbul pada akhir minggu pertama dan
selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi
2. Hipotiroidisme
3. “Breast milk jaundice”
4. Infeksi
5. Neonatal hepatitis
6. Galaktosemia
24
Hiperbilirubinemia baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan
pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak
mempunyai potensi berkembang menjadi kern icterus.
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang
diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan
kadar bilirubin mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan
pelan. Kadar normal tidak akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih
lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat diberikan, kadar
bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam.
G. Diagnosis dan Gejala Klinis
Pada kasus ini pasien dikeluhkan tubuh berwarna kuning seluruh tubuh. Pada
pemeriksaan fisik bayi tampak berwarna kuning. Penentuan kadar bilirubin
secara nonlab bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar dan tabel
berikut :
Gambar 3. Pembagian hiperbilirubinemia menurut Kramer
25
Tabel 1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah hiperbilirubinemia
menurut Kramer.
Daerah hiperbilirubinemia
Penjelasan
Kadar bilirubin (mg/dL)
Prematur Aterm
1
2
3
4
5
Kepala dan leher
Dada sampai pusat
Pusat bagian bawah sampai lutut
Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai pergelangan tangan
Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan
4 – 8
5 – 12
7 – 15
9 – 18
> 10
4 – 8
5 – 12
8 – 16
11 – 18
> 15
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat
Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera
mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan
kadar serumbilirubin.
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini
hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak
‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
Golongan darah dan Coombs test
26
Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu
diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase
dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin ), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin),
terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat
mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-
obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphy rins) di
pakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan
ekskresi bilirubin.
Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya
isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,
27
15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z,15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar kedalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin
isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu kedalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus.
Tabel 2. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin (American
Academy of Pediatrics : 2004)
Usia
Terapi Sinar Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor risiko Bayi sehat Faktor Risiko
mg/dl µmol/L mg/dl µmol/L mg/dl µmol/L mg/dl µmol/L
Hari I Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4
dst
20 340 17 290 30 510 20 340
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita
dengan kadar bilirubin indirek >12 m g /d L dan pada bayi-bayi dengan
proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama
kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar
dilakukan pula sebelu m dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan di pasang dalam kotak yang
berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470
nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu
dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet
yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggu naan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain
pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling
28
alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin
kearah bayi .
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya
diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat
menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
µmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara
keadaan yang menyertainy a diperbaiki.
Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam
mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan me mbuang pula antibodi
yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi
Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat
memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
Tabel 3. Kriteria Transfu si Tukar Be rdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi
(American Academy of Pediatrics : 2004)
Berat Bayi
(gram)
Tidak komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb
Ada komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb)
29
<1250 13 52 10 4
1250-1499 15 6 13 5,2
1500-1999 17 6,8 15 6
2000-2499 18 7,2 17 6,8
>= 2500 20 8 18 7,2
Yang dim aksud ada kom plikasi apabila :
1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr sela ma 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 OC
5. Seru m Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis y ang me mburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bay i ≤ 1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula di perhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya
digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan
serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O
dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk
transfusi t ukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transf usi Tukar:
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90% dari sirkulasi darah bayi dan 88%
mengganti Hb bayi.
30
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi,
dapat mengganti 65% Hb bayi .
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.
Tabel 5. Volu me Darah pada Transfusi Tukar (American Academy of
Pediatrics : 2004)
Kebutuhan Rumus
Double volume BB x volume darah x 2
Single volume BB x volume darah
Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang-Hct yang diinginkan)
Hct sekarang
Anemia BB x volume darah x (PCV yang diinginkan-PCV sekarang)
(PCV donor)
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc /kg BB
* Volume darah bayi kura ng bulan 100 cc/kg BB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan
harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan
yang aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi
disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan
pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis,
bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan
tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar,
penderita dapat dirujuk kepusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(transportable) dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir
risiko tinggi.
31
I. Pencegahan
Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya
dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada
bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol,
novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
g. Pemberian ASI eksklusif
h. Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum
lahir.
i. Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD
J. Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern
icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan
oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau
bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern
icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin
indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap
cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas
sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.
Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30
mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu
pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
32
Gambaran klinis kern icterus antara lain :
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor,
opistotonus, retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory
tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor), gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu
dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
DAFTAR PUSTAKA
33
1. American Academy of Pediatrics. 2004. Subcom mittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn inf ant 35 or more weeks of gestation . Pediatrics.
2. Behrman Richard E, Kliegman Robert, Nelson Waldo E, Vaughan Victor C. 2000. Nelson textbook of pediatrics. 17th edition. EGC. Jakarta .
3. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI. Jakarta.
4. Guyton, Arthur C., and Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta
6. Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2000. Kuliah Ilmu Kesehatan Anak cetakan IX. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
34