Hikikomori Dana Santika Fisika Undiksha
-
Upload
dana-santika -
Category
Documents
-
view
202 -
download
1
Transcript of Hikikomori Dana Santika Fisika Undiksha
1 | H i k i k o m o r i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang merupakan negara maju terbesar di Asia.Jepang tidak hanya maju
secara ekonomi, tetapi juga memiliki kemajuan di bidang teknologi, pendidikan,
serta Informasi. Namun dibalik kelebihannya itu, Jepang ternyata mengalami
kemunduran di bidang sosial sebagai imbalan akan kemajuannya. Berbagai
penyakit psikologis menghantui masyaratat Jepang karena tingkat stress yang
semakin tinggi. Bagi warga yang tidak bisa bertahan, mereka akan mengambil
jalan pintas dengan mengahkiri hidupnya sendiri, dengan anggapan bahwa mereka
akan semakin cepat lepas dari tekanan. Selain itu, kemajuan juga mengubah cara
bergaul masyarakat Jepang. Penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah, serta
pergaulan yang tanpa batas merupakan ciri pergaulan masyarakat Jepang. Bagi
korban penindasan, mereka akan menjadi orang yang pendiam tapi tetap terjun di
masyarakat atau malah mengahkiri hidupnya. Selain itu, ada pula orang yang pada
ahkirnya menarik diri dari pergaulan. Orang-orang tersebut sering dijuluki dengan
istilah Hikikomori.
Hikikomori adalah salah satu masalah terbesar bagi Jepang setelah lebih dari
satu dekade sebelumya telah sukses menikmati kemajuan ekonomi yang luar
biasa. Bahkan beberapa dekade terakhir ini, Jepang masih bergulat untuk
mengembalikan kejayaan ekonominya walau masih jauh dari puncak sebelumnya.
Akibatnya banyak lowongan kerja penuh waktu atau salariman (yang menerima
gaji tetap tiap bulan dan akan menikmati uang pensiun) menjadi hal yang sulit
diperoleh. Walaupun pekerjaan paruh waktu tetap banyak, tetapi kemapanan
bekerja di satu perusahaan dengan gaji tetap tiap bulan dan menikmati keamanan
uang pensiun merupakan angan-angan sebagian besar pekerja di Jepang.
Salah satu penyebab lainnya adalah kultur gender, dimana anak laki-laki
mendapat tekanan untuk sukses di bidang akademik dan pekerjaan lebih
dibanding anak perempuan. Konsekuensinya adalah mereka harus bersekolah dari
pagi hingga sore kemudian dilanjutkan dengan sekolah private sebagai persiapan
masuk universitas. Kegiatan semacam ini mereka lakukan hampir selama tujuh
2 | H i k i k o m o r i
hari seminggu. Karena hanya dengan masuk universitas bergengsi (Universitas
Tokyo, misalnya), mereka bisa di rekrut masuk dalam kelas pekerja tetap dan
menikmati pensiun. Sisanya bekerja di pekerjaan paruh waktu atau tanpa
pekerjaan sama sekali, yang tidak memberikan keamanan finansial yang tetap.
Namun pada satu titik, terdapat beberapa orang yang merasa masa bodoh dengan
tekanan tersebut, keluar dari jalur kompetisi dan menutup dirinya. Hasilnya adalah
sekelompok pemuda yang tidak bisa dan tidak akan ikut dalam kelas pekerja
Jepang, yang dikenal sebagai Hikikomori.
Mungkin fenomena semacam ini belum banyak terjadi di Indonesia.Namun
tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama juga akan berkembang secara
luas mengingat dampak globalisasi yang mengharuskan manusia untuk selalu
berkompetisi dalam setiap bidang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
dinilai perlu untuk mengkaji fenomena Hikikomori ini secara mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, terdapat beberapa
permasalahan yang akan dijadikan sebagai panduan dalam kajian ini.
a. Apa yang dimaksud dengan Hikikomori?
b. Apa faktor penyebab Hikikomori?
c. Apa hubungan Hikikomori dengan karakteristik kebudayaanJepang?
d. Bagaimanakah perkembangan Hikikomori di Indonesia?
e. Apa solusi yang tepat terhadap masalah Hikikomori?
1.3 Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari
penulisan ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan definisi Hikikomori?
b. Mendeskripsikan faktor penyebab Hikikomori?
c. Mendeskripsikan hubungan Hikikomori dengan karakteristik
kebudayaanJepang?
d. Mendeskripsikan perkembangan Hikikomori di Indonesia.
e. Mendeskripsikan solusi yang tepat terhadap masalah Hikikomori?
3 | H i k i k o m o r i
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FenomenaHikikomori
Secara harfiah, Hikikomori berarti “menarik diri, menjadi terbatas”.
Hikikomori merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang merujuk pada fenomena
orang-orang penyendiri yang memilih untuk menarik diri dari kehidupan sosial,
sering mencari derajat ekstrem isolasi dan pengurungan karena faktor pribadi dan
sosial dalam kehidupan mereka.Dalam terminologi orang barat, kelompok ini
mungkin termasuk orang yang menderita fobia sosial atau masalah kecemasan
sosial.Ini juga bisa disebabkan oleh agorafobia, gangguan kepribadian avoidant
atau rasa malu yang berlebihan. Ada juga Hikikimori yang mungkin memilih gaya
hidup ini semata-mata karena alasan budaya.
Hikikomori telah mencuat menjadi isu hangat yang dibahas besar-besaran baik
oleh media masa maupun akademisi, pada tahun 2000-an. Namun, jika ditelusuri
lebih lanjut, sebenarnya fenomena Hikikomori sendiri sudah ada sejak lama, yaitu
sejak tahum 1980-an. Pada pertengahan 80-an, seorang pria muda yang lesu dan
pendiam, muncul didepan kantor Dr. Tamaki Saito, di Rumah sakit Sofukai
Sasaki, Chiba. Pemuda itu mengaku telah menghabiskan sebagian besar hari-
harinya hanya dengan berada di kamar tidurnya saja. Saito yang saat itu tidak
mempunyai nama untuk kasus seperti ini, pada mulanya mediagnosa hal tersebut
sebagai salah satu jenis penyakit dari kelainan jiwa, depresi, atau schizophrenia.
Tetapi setelah ia merawat banyak orang yang mengalami masalah yang sama,
akhirnya pada tahun 1998 ia memberi nama Hikikomori untuk masalah yang
dimaksud. Saito merupakan orang pertama yang menciptakan istilah Hikikomori
sebagai nama untuk fenomena “penarikan diri dari lingkungan masyarakat” yang
terjadi di Jepang.
Bukti lain yang menunjukan bahwa Hikikomori bukanlah fenomena baru
adalah hasil survey tentang Hikikomori yang diselenggarakan di perfektur Oita
oleh Hiroko Okuma dari Oita Mental Health Welfare Centre pada tahun 2002, dan
di Saitama oleh Takahashi Takahata. Dari penelitian di Oita yang dilakukan
oleh Hiroko Okuma, ditemukan bahwa 4% dari pelaku Hikikomori telah
4 | H i k i k o m o r i
melakukan Hikikomori selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan dari penelitian
Takahashi Takahata di Saitama pada tahun 2001, terungkap bahwa 14,2% kasus
sudah terjadi selama lebih dari 10 tahun. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa
Hikikomori sebenarnya bukanlah fenomena baru melainkan hal yang sudah ada
sejak dulu.
Menurut penulis novel berkebangsaan Jepang, Ryu Murakami (dalam
Puspitasari : 2008), istilah Hikikomori yang diterjemahkan sebagai penarikan diri
dari lingkungan sosial mengacu pada keadaan tanpa norma yang berkembang di
kalangan anak muda Jepang yang mengalami “kegagalan” baik dalam dunia
pendidikan, pekerjaan, maupun dalam hubungan dengan orang lain. Rasa curiga
yang berlebihan, sikap tak percaya, dan budaya anti sosial mendominasi sebagian
besar pelaku Hikikomori. Menurut Murakami, pelaku Hikikomori sebelumnya
adalah orang-orang yang sering berpenampilan tidak bahagia, kehilangan kawan,
merasa tidak aman, malu, dan suka berdiam diri.
Yuji Oniki (dalam Puspitasari : 2008), menjelaskan bahwa pelaku Hikikomori
umumnya hidup seperti binatang nocturnal, yaitu tidur di siang hari dan
melakukan aktivitas di malam hari. Biasanya pelaku Hikikomori menghabiskan
siang hari mereka dengan tidur-tiduran saja, kemudian bangun di sore hari dan
tetap terjaga sampai larut malam bahkan sampai menjelang fajar.Di malam hari
barulah mereka melakukan aktifitas-aktifitas yang tentunya tidak mengharuskan
mereka untuk keluar dari kamar, dan melakukan kontak langsung dengan orang
atau dunia luar. Hal ini dapat mereka lakukan karena sebagian besar dari mereka
memiliki fasilitas hiburan dalam kamar, seperti computer, televisi, ponsel, dvd
player, komik, dan sarana hiburan lainnya.
Menurut Murakami, orang tua yang memfasilitasi pelaku Hikikomori dengan
sarana dan prasarana yang bisa meminimalkan komunikasi langsung antar
individu, secara tidak langsung juga turut memfasilitasi anak-anak mereka untuk
terus melanjutkan hidup dalam "isolasi diri" ini, bahkan hingga waktu yang sangat
lama. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data yang menyatakan bahwa ada
pelaku Hikikomori yang melakukan "penarikan diri" hingga tahunan bahkan
puluhan tahun.
5 | H i k i k o m o r i
Meskipun pelaku Hikikomori diasumsikan sebagai orang-orang yang
mengurung diri dalam kamar dan tidak meninggalkan kamarnya, pada
kenyataannya justru banyak pelaku Hikikomori yang keluar dari rumah maupun
kamarnya. Mereka biasanya keluar kamar atau rumah untuk pergi ke Konbini
(mini market yang buka 24 jam) sekali dalam sehari atau sekali dalam seminggu.
Di Konbini, pelaku Hikikomori bisa mendapatkan sarapan, makan siang, sekaligus
makan malam yang dikemas dalam bentuk praktis, sehingga mereka yang tidak
tinggal dengan orangtuannya tidak harus bersusah payah untuk mendapatkan
makanan.
Bagi pelaku Hikikomori, Konbini adalah fasilitas publik yang sangat
menunjang “penarikan diri” mereka.Hal ini karena Konbini tetap buka pada
malam dan dini hari. Pelaku Hikikomori cenderung memilih pergi ke Konbinipada
waktu tengah malam atau dini hari, karena pada waktu-waktu seperti itu, mereka
tidak akan bertemu dengan banyak orang dijalan maupun di Konbini. Mereka juga
pergi ke Konbini karena proses perbelanjaan disana tidak memerlukan komunikasi
dengan siapapun. Kasir Konbini yang terkenal tidak banyak bicara menyebabkan
pelaku Hikikomori tidak harus bersusah payah memberanikan diri untuk memulai
pembicaraan.Mereka cukup masuk dan memilih barang yang ingin dibeli, lalu ke
kasir dan membayar tanpa berbicara sedikit pun.Dengan begini, pelaku
Hikikomori dapat terus melakukan perannya sebagai bagian yang tida terlihat dari
masyarakat Jepang.
Tidak ada statistik resmi mengenai seberapa banyak jumlah pelaku
Hikikomori di Jepang.Namun, diperkirakan lebih dari satu juta anak muda di
Jepang sekarang ini menderita penyakit sosial tersebut. Sebagai masalah sosial
yang banyak dibahas dan diteliti, tidaklah mengherankan apabila terdapat banyak
penjelasan mengenai apa itu Hikikomori. Berikut ini akan dijelaskan lima konsep
Hikikomori.
1. Menuru psikolog Jepang, Ushio Isobe (dalam Puspitasari : 2008),
Hikikomori adalah seseorang yang mengurung diri selama lebih dari enam
bulan di dalam rumah dan membatasi kebutuhan mereka pada apa yang
mereka pikir mereka butuhkan dan tidak mereka
butuhkan. Isobe menjelaskan bahwa tidak ada kosakata Hikikomori dalam
6 | H i k i k o m o r i
kamus bahasa Jepang, yang ada adalah kata Hikikomoru yang berarti
menarik dan menutup diri. Ia jugamenambahkan,bahwa dalam dunia
kejiwaan, masalah Hikikomori dikenal dengan nama "isolasi sosial" atau
"isolasi tanpa penyakit kejiwaan".
2. Senada dengan Isobe, psikiater Jepang, Tamaki Saito (dalam Puspitasari :
2008), mengemukakan Hikikomori sebagai keadaan seseorang yang
mengurung diri dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial lebih dari
enam bulan. Kegiatan sosial disini dapat berarti tidak pergi ke sekolah,
tidak bekerja, dan tidak memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain
selain keluarganya sendiri, serta kelainan jiwa atau masalah kejiwaan
bukanlah penyebab utama dari masalah ini.
3. Tatsushi Ogino (dalam Puspitasari : 2008), mengkonsepkan Hikikomori
sebagai orang-orang yang secara khusus menarik diri dari sebagaian besar
aktivitas sosial dan mundur ke dalam kehidupan atau ruang pribadi mereka
untuk waktu yang lama, bahkan keluarganya pun sulit mengerti alasan
mengapa yang bersangkutan melakukan Hikikomori.
4. Naoki Ogi, ketua dari LSM swasta, Centre for Clinical Research on
School Development (dalam Puspitasari : 2008),, mendefinisikan
Hikikomori sebagai keadaan dimana seseorang yang berusia 15 tahun atau
lebih, menarik diri dari lingkungan sosial ke dalam lingkungan
keluarganya. Berada dirumah untuk jangka waktu lebih dari enam bulan
dan penarikan dirinya ini bukan karena alasan penyakit kejiwaan, serta
tidak mampu berpatisipasi dalam kegiatan sosial.
5. Kementrian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang (KKBKJ) (dalam
Puspitasari : 2008), menjelaskan bahwa Hikikomori mengacu pada
keadaan orang-orang mengurung dirinya dalam rumah selama lebih dari
enam bulan, tidak mampu atau tidak mau berinteraksi dengan warga
masyarakat yang lainnya dengan tidak bersekolah atau bekerja. Menurut
KKBKJ konsep ini tidak berlaku untuk penderita schizophrenia atau
orang-otang yang memiliki penyakit kejiwaan lainnya. KKBKJ membatasi
isolasi sosial yang bisa disebut sebagai Hikikomori dengan menetapkan
jangka waktunya, yaitu apabila penarikan diri tersebut sudah berlangsung
7 | H i k i k o m o r i
lebih dari enam bulan. KKBKJ juga menyatakan bahwa penyebab utama
Hikikomori bukanlah penyakit kejiwaan.
Berdasarkan kelima definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Hikikomori merupakan suatu penyakit non kejiwaan yang menyebabkan
seseorang mengurung diri dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dalam
kurun waktu lebih dari enam bulan.
Dalam bukunya, Hey Hikikomori! It’s Time, Let's Go Out, Kudo (dalam
Puspitasari : 2008), mengelompokkan Hikikomorike dalam empat kategori dasar.
1. Pencari Kesenangan (disebut juga sebagai delinquents)
2. Orang yang malas (seseorang yang tidak suka pergi sekolah)
3. Komori (seseorang yang selalu merasa khawatir jika orang lain
melihatnya, dan ingin keluar dari situasi tidak menyenangkan tersebut tapi
tidak bisa).
4. Kasus-kasus khusus (seseorang yang berhenti sekolah karena bermasalah
dengan kekerasan, teman, guru, karena tidak menyukai sesuatu seperti
belajar atau matapelajaran tertentu, atau mereka merasa rendah diri karena
kedua orangtuanya berpisah atau bercerai)
2.2 Faktor Penyebab Hikikomori
Hikikomori bukan merupakan penyakit menular.Namun, tidak menutup
kemungkinan setiap orang bisa saja menjadi pelaku hikomori.Ada banyak faktor
yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku Hikikomori, secara umum dapat
dikelompokan sebagai berikut dibawah ini.
1. Ekonomi dan Budaya
Umumnya keluarga yang memiliki ekonomi yang maju memfasilitasi anaknya
dengan berbagai kebutuhan yang terkadang berlebihan. Dengan fasilitas yang
disediakan anak akan enggan untuk keluar dari rumah. Selain itu, orang tua
melarang anaknya bergaul ataupun bermain dengan anak-anak yang bukan
bangsawan.Ini biasanya terjadi pada keluarga kaum bangsawan.Budaya ini
menyebabkan pelaku Hikikomori terasing dari lingkungan anak-anaknya dan
cenderung kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungan
sekitarnya.Sehingga menyebabkannya memilih untuk diam saja di rumah dan
8 | H i k i k o m o r i
akhirnya menjadi seorang Hikikomori.Kasus Hikikomori juga terjadi di
Indonesia, namun tidak menjadi sorotan seperti yang terjadi di Jepang.
Menurut Sadatsugu Kudo, masyarakat Jepang yang sangat mementingkan
keseragaman mengharapkan setiap individu untuk setidaknya tidak "berdiri"
diluar lingkungan atau berbeda dengan yang lainnya. Sehingga saat seseorang
gagal untuk menjadi sama seperti masyarakat kebanyakan ia akan merasa
berbeda kemudian malu. Kemudian individu yang merasa malu akan
mengambil jalan menyelamatkan diri dengan cara menghilang atau menarik
diri dan menjadi Hikikomori.
2. Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan yang penuh dengan persaingan dapat membuat pelaku
Hikikomori merasa tertekan karena mereka tidak mampu mengikuti
persaingan tersebut. Hal ini menyebabkan pelaku Hikikomori menjadi malu
dan akan mengasingkan dirinya sendiri dari lingkungan sosialnya. Seorang
pelaku Hikikomori yang sejak Sekolah Dasar hingga masuk Perguruan Tinggi
dididik harus memiliki jiwa dan kemampuan intelektual tinggi yang tahan
dalam persaingan membuat pelaku Hikikomori kehilangan masa-masa
bermainnya sehingga pelaku Hikikomori merasa terbebani. Dan apa bila
pelaku Hikikomori tidak mampu mencapai apa yang diharapkan oleh orang
tuanya si pelaku Hikikomori akan merasa tertekan dan menjauh dari
lingkungannya.
3. Kekerasan di Sekolah
Kekerasan seperti memperdaya, menganiaya, melecehkan pelaku Hikikomori
yang dianggap memiliki kelainan dari kawan-kawannya akan menyebabkan
seseorang terkucilkan. Bila sudah amat tertekan, tidak jarang pelaku
Hikikomori yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan tersebut menjadi
mogok sekolah dan menarik diri dari kehidupan social.
4. Peranan Keluarga
Siapa yang tidak ingin anaknya sukses?Orang tua sangat ingin menjadikan
anaknya sukses. Namun, untuk mengsukseskan anaknya orang tua terkadang
memanjakanya dengan fasilitas-fasilitas yang berlebihan, memberikan
keamanan dan perlindungan yang ketat dan menuntutnya dengan tekanan-
9 | H i k i k o m o r i
tekanan yang tidak dapat ia capai. Hal ini menyebabkan anak menjadi
ketergantungan dengan orang tuanya dan berpikir ia dapat hidup tanpa harus
bekerja dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perlidungan yang
over protective dan tuntutan keluarga yang keras menyebabkan anak merasa
tertekan dan malu dengan lingkungnya sehingga anak cenderung memilih
untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya dan lambat laun menjadi seorang
Hikikomori.
2.3 Hikikomori dan Karakteristik Kebudayaan Jepang
Banyaknya kasus Hikikomori yang terjadi di Jepang menyebabkan munculnya
pertanyaan mengenai faktor apa sebenarnya yang ada dalam masyarakat Jepang,
yang menyebabkan penarikan diri seperti Hikikomori sangat eksis dibandingkan
di negara lain. Jurnalis AmerikaSerikat, Phill Rees (dalam Puspitasari : 2008),
dalam artikelnya yang berjudul The Mystery of a Milion, mengemukakan
keheranannya atas begitu banyakanak muda Jepang yang memutuskan untuk
menarik diri dari masyarakat. Rees menyatakan bahwa sangat sulit baginya untuk
dapat memahami mengapa masalah Hikikomori sangat digemari oleh anak muda
Jepang. Ia mengatakan hal ini karena menurutnya Hikikomori adalah masalah
sosial yang ada hanya di masyarakat Jepang, sehingga untuk mereka yang ingin
memahami lebih dalam tentang Hikikomori, terlebih dahulu harus memahami
karakteristik kebudayaan Jepang.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dengan Rees juga diungkapkan
oleh Benjamin Secher dalam artikelnya yang berjudul, Solitary Soul: Out of Sight,
not Out of Mind. Dalam atikel tersebut, Secher (dalam Puspitasari : 2008),
mengungkapkan bahwa perilaku kebanyakan individu yang terwujud dalam pola
yang hampir sama, pada dasarnya berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat
itu sendiri. Sehingga, dengan menimbang pada begitu menyebar dan banyaknya
jumlah kasus Hikikomori yang terjadi di Jepang, sangat mungkin perilaku anti-
sosial ini mendapat pengaruh dari karakteristik kebudayaan masyarakat Jepang.
Pendapat yang mengemukakan keterkaitan karakteristik kebudayaan Jepang
dengan eksisnya perilaku Hikikomori dalam masyarakat Jepang juga diungkapkan
oleh Sadatsugu Kudo, Dorota Krysinska, Michaael Dziensinski, dan Ron Adams.
10 | H i k i k o m o r i
Kudo (dalam Puspitasari : 2008), menyatakan keterkaitan antara Hikikomori
dengan karakteristik kebudayaan Jepang melalui konsep pentingnya rasa malu
dalam masyarakat Jepang. Sementara itu Zielenzigger, Krysinska, dan Adams
berpendapat bahwa Hikikomorimendapat pengaruh dari konsep pengendalian
masalah dalam masyarakat.
Menurut Kudo, pentingnya rasa malu dalam masyarakat Jepang dapat
mengarahkan individu-individu yang gagal kepada perilaku penarikan diri. Kudo
mengatakan bahwa siapapun tidak dapat menunjukan alasan yang tepat mengapa
Hikikomori terjadi begitu menyebar di Jepang, tetapi, dengan memahami konteks
bahwa hal ini terjadi dalam masyarakat Jepang, dapatlah dipahami bahwa sedikit
banyak karakteristik kebudayaan masyarakat Jepang telah mempengaruhi
kemunculan Hikikomori. Menurut Kudo, masyarakat Jepang yang sangat
mementingkan keseragaman mengharapkan setiap individu untuk setidaknya tidak
“berdiri” diluar lingkungan atau berbeda dengan yang lainnya. Sehingga saat
seseorang gagal untuk menjadi sama seperti masyarakat kebanyakan ia akan
merasa berbeda kemudian malu. Menurut Kudo, individu yang merasa malu akan
mengambil jalan menyelamatkan diri dengan cara menghilang atau menarik diri.
Pendapat ini dapat dibuktikan dari pendapat beberapa ahli dan Jurnalis yang
mengatakan bahwa penyebab seseorang melakukan Hikikomori adalah kegagalan
dalam kehidupan pelaku Hikikomori sebelumnya. Beberapa ahli dan jurnalis,
dalam buku dan artikel yang mereka tulis, menyatakan bahwa banyak pelaku
Hikikomori yang sebelum memutuskan menarik diri adalah orang-orang yang
mengalami kegagalan baik dalam bidang pendidikan, hubungan dengan lawan
jenis, maupun dalam usaha untuk mendapatkan pekerjaan.
Berbeda dengan Kudo, Dorota Krysinska (dalam Puspitasari : 2008),
mengemukakan bahwa pilihan anak muda Jepang untuk melakukan Hikikomori
terkait erat dengan konsep penyelesaian masalah (conflict management) dalam
masyarakat Jepang. Krysinska yang mengacu pada pendapat Eisenstadt tentang
konsep pengendalian masalah di masyarakat Jepang yang menyatakan bahwa
dalam menghadapi masalah, individu-individu di Jepang seringkali memilih cara
menarik diri.
11 | H i k i k o m o r i
Eisenstadt (dalam Puspitasari : 2008), mengemukakan bahwa kepentingan
untuk menjaga keharmonisan sangat berperan dalam konsep pengendalian
masalah (conflict management) di masyarakat Jepang. Dalam bukunya yang
berjudul Patterns of Conflict and Conflict Resolution in Japan,
Eisenstadt mengemukakan bahwa dalam masyarakat Jepang, konflik cenderung di
sangkal keberadaannya untuk menjaga kesatuan kelompok. Sehingga seringkali
dalam menghadapi suatu masalah individu memilih mengambil jalan untuk
memisahkan diri untuk menjaga keutuhan kelompok.
Menurut Krysinska, anak-anak muda Jepang mengalami masalah dalam dunia
pendidikan, keluarga, ataupun pekerjaan memilih untuk menarik diri karena tidak
“diizinkan” untuk menunjukkan semua masalah yang dihadapinya agar
keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga.
Senada dengan Krysinska, M. Zielenzigger juga mengemukakan bahwa
pilihan anak muda Jepang untuk melakukan Hikikomori mendapat pengaruh dari
konsep pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang. Menurutnya, anak-anak
muda di berbagai belahan dunia juga melakukan perilaku anti sosial yang
disebabkan oleh kemarahan, depresi, dan beratnya masalah yang mereka hadapi,
sama seperti anak-anak muda di Jepang. Namun, tampaknya perilaku penarikan
diri bukanlah salah satu pilihan yang “digemari” di negara-negara lain selain
Jepang. Anak-anak muda Jepang cenderung untuk mengambil jalan memisahkan
diri untuk menghindari konflik terbuka. Zielenzigger berpendapat bahwa
kecenderungan seperti di atas dapat dipahami melalui penjelasan Lebra mengenai
tipe pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang.
Dalam bukunya yang berjudul Nonconfrontational Strategies for Management
of Interpersonal Conflict, Lebra (dalam Puspitasari : 2008), mengatakan bahwa
kepentingan untuk menjaga keharmonisan sangat berpengaruh dalam proses
penyelesaian masalah dalam masyarakat Jepang. Menurut Lebra, dalam
menghadapi masalah, masyarakat Jepang cenderung menghindari konfrontasi. Hal
ini bukan karena masyarakat Jepang tidak mau mengambil resiko tetapi untuk
mempertahankan keharmonisan dengan semua pihak, cara-cara yang mendorong
keharmonisan harus didahulukan.
12 | H i k i k o m o r i
Dalam buku tersebut, Lebra juga menjelaskan beberapa tipe pengendalian
masalah dalam masyarakat Jepang, dan salah satunya adalah komunikasi negatif
(negative communication). Menurut Lebra, pihak yang mengalami masalah
cenderung mengekspresikan perasaannya dengan melakukan komunikasi negatif
atau tidak berkomunikasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
konfrontasi. Sehingga menurut Lebra, pengendalian masalah dalam masyarakat
Jepang tidak berarti “pemecahan masalah” tetapi “penghindaran masalah” yaitu
dengan cara tidak berkomunikasi.
Menurut Zielenzigger (dalam Puspitasari : 2008), anak-anak muda Jepang
tidak memiliki pilihan untuk melakukan hal-hal yang memancing lahirnya konflik
terbuka seperti yang dilakukan anak-anak muda di Amerika. Anak muda Jepang
lebih memilih untuk menghindari konflik terbuka sehingga cenderung mengambil
bentuk isolasi sebagai wujud ketidakmampuan mereka menghadapi masalah yang
membelenggu mereka.
2.4 Hikikomori di Indonesia
Hikikomori merupakan salah satu fenomena sosial yang sedang terjadi di
Negara Jepang.Dimana Hikikomori sendiri adalah suatu prilaku mengisolasi diri
atau membatasi pergaulan dengan lingkungan sekitar.Dengan adanya pola prilaku
seperti itu, tentunya sangat meresahkan masyarakat.Hikikomori juga dapat
diartikan seseorang yang anti sosial. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
Hikikomori antara lain kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, kurangnya
rasa percaya diri anak terhadap pergaulan sekitar, dan kemajuan teknologi yang
mengakibatkan anak tidak ingin meninggalkan aktivitas dunia maya mereka.
Prilaku antisosial ini tidak hanya melanda negara Jepang, akan tetapi negara-
negara lain juga ikut terkena imbasnya seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri,
kemajuan teknologi dan komunikasi terjadi begitu pesat.Anak-anak tidak awam
lagi dengan adanya alat-alat komunikasi seperti komputer, laptop, hp, dan lain-
lain.Kecangihan media komunikasi tersebut mengundang terjadinya prilaku
antisosial terhadap anak.Mereka beranggapan apapun bisa diperoleh melalui
internet. Orang-orang tak perlu repot lagi mencari ilmu pengetahuan melalui
buku, cukup dengan internet semua kemudahan dapat diperoleh. Tak hanya itu,
13 | H i k i k o m o r i
berbelanja pun bisa dilakukan melalui online.Dewasa ini, kita sering menjumpai
anak-anak sekolah yang kecanduan game online. Mereka bisa menghabiskan
waktu mereka seharian berkutat dengan game tanpa menghiraukan aktivitas
lainnya. Dan ironisnya, mereka bisa tidak masuk sekolah dan langsung pergi ke
warnet. Hal ini akan berdampak negatif pada diri anak tersebut, dan merosotnya
kualitas serta sumber daya manusia.
Situs-situs sosial seperti facebook dan twitter, serta layanan Black Berry
Messager juga dapat menyempit ruang gerak anak. Mereka yang telah kecanduan
akan situs tersebut akan menghabiskan seluruh waktu mereka dengan meng-
update status-status di situs tersebut. Dan hal terburuk dari kecanggihan teknologi
lainnya yaitu tidak terkontrolnya akses film-film porno di dunia maya yang
tentunya akan merusak moral anak bangsa. Dampak lain dari situs sosial dunia
maya yang telah terjadi yaitu adanya penculikan remaja melalui media facebook.
Salah satu kasus Hikikomori di Indonesia yaitu terjadi pada seorang remaja
yang suka mengurung diri di dalam kamar.Seluruh waktunya dihabiskan untuk
membaca komik anime, bermain game online, dan manga.Umumnya, anak ini
cenderung menutup diri untuk bergaul dengan sekitarnya.Pulang sekolah anak
tersebut langsung pergi ke warnet.Ketika ada kegiatan kerja kelompok
mengerjakan tugas sekolah, remaja tersebut enggan untuk datang dan acuh
terhadap kegiatan tersebut.Dan cenderung remaja tersebut menarik diri dari
lingkungan sekitarnya.Gaya hidup tersebut muncul dari dalam diri remaja itu
sendiri. Umumnya remaja mengalami rasa tidak percaya diri karena merasa diri
telah gagal dan tidak bisa diperbaiki lagi, tertekan, malu untuk berhadapan dengan
orang lain karena menggangap diri gagal, malas/kapok berhubungan dengan orang
lain karena pengalaman-pengalaman yang menyebabkan sakit hati, susah percaya
dengan orang lain, tidak mau bergantung atau meminta pertolongan orang lain
karena tidak percaya ( kalau belum dekat ) atau tidak mau menyusahkan orang
lain, merasa diri tidak berharga secara ekstrim, merasa sudah tidak ada masa
depan lagi, takut untuk gagal, malu terhadap orang terdekat karena menganggap
diri telah mengecewakan mereka, sering kesal dengan orang lain tetapi jarang
diungkapkan.
14 | H i k i k o m o r i
Pola tersebut akan mengakibatkan pemikiran negatif dari masyarakat, dimana
masyarakat akan menganggap remaja tersebut kelainan seks, ataupun kurangnya
perhatian orang tua terhadap anak sehingga anak mencari kesenangan mereka
sendiri. Kesadaran dari dalam diri remaja sendiri yang dapat mengubah pola
prilaku mereka kembali sebelum mereka mengalami Hikikomori.
2.5 Solusi terhadap Fenomena Hikikomori
Sebagai makhluk sosial, sangat penting untuk memperhatikan keadaan
lingkungan sekitar.Terutama pada kasus-kasus yang menimpa kebanyakan orang
di jaman global sekarang, salah satunya seperti Hikikomori ini.Masalah ini terjadi
diseluruh dunia namun sangat terkenal di Jepang.Akibat kemajuan Negaranya
Jepang terlihat menyepelekan keadaan social masyarakatnya, dan berdampak pada
interaksi social penerus bangsanya.
Solusi penanganan masalah social Hikimori ini adalah dengan cara
mengeluarkandefinisi, konsep, atau label positif disarankan para sosiolog
penganut perspektit labeling. Dengan mengeluarkan definisi, konsep, atau label
positif mengenai Hikikomori, diharapkan dapat mengarahkan sikap publik Jepang
terhadap Hikikomori menjadi lebih positif dari sebelumnya.Sikap public Jepang
yang lebih positif terhadap Hikikomori selanjutnya diharapkan dapat mendorong
pelaku dan keluarga untuk tidak malu melaporkan keadaan mereka pada pihak-
pihak yang dapat membantu mereka kembali ke masyarakat.
Menurut ahli Hikikomori, Noki Futagami, label positif yang dibentuk
pemerintah dan para ahli dengan sendirinya menjadi solusi dalam penanganan
masalah Hikikomori di Jepang. Sudut pandang yang baru ini, oleh banyak pihak
dinilai lebih toleran dalam menangani kasus Hikikomori maupun para pelakunya
sehingga mampu membuat pelaku Hikikomori dan keluarganya membuka diri
untuk memperoleh bantuan dari para ahli.
Label positif terhadap Hikikomori dan para pelaku juga dinilai mampu
memperbaiki pemahaman masyarakat Jepang serta meningkatkan perhatian dan
kepedulian terhadap pelaku Hikikomori, dan selanjutnya dapat memotivasi pelaku
untuk tidak malu melakukan konsultasi dan mendapatkan bantuan. Pemerintah
Jepang lewat Kementrian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang
15 | H i k i k o m o r i
mengeluarkan definisi yang menjelaskan bahwa Hikikomori adalah orang-orang
yang tidak suka bergaul dan bukannya orang-orang kejam atau kasar (most
Hikikomori are simply anti-social, not violent).Para ahli di Jepang juga turut
mendukung pemerintah dengan mengeluarkan definisi yang menyatakan bahwa
Hikikomori bukan sebuah penyakit kejiwaan tetapi adalah sebuah kata yang
mengacu pada keadaan. Mereka juga mengatakan bahwa pelaku Hikikomori juga
menginginkan interaksi dengan orang lain tetapi terlalu takut untuk keluar rumah.
Setelah mengeluarkan label yang lebih positif terhadap pelaku Hikikomori,
terjadi peningkatan dalam hal perhatian dan dukungan masyarakat Jepang untuk
membantu pelaku Hikikomori dan keluarganya keluar dari perilaku penarikan diri.
Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap masalah ini, maka
muncul berbagai institusi-institusi yang serius dalam membantu pelaku
Hikikomoriuntuk keluar dari penarikan diri.
Selain itu pula ada hal yang sangat penting yang dapat meminimalisir masalah
Hikikomori yaitu dengan memberikan treatment untuk para Hikikomori ,
treatment yang diberlakukan terhadap para Hikikomori mengikuti dua filosofi,
yaitu psikologis dan sosialisasi.
1. Metode Psikologis
Metode psikologis menekankan pada pendampingan untuk membantu
penderita Hikikomori menghadapi penyakit mereka.Beberapa menekankan
untuk membawa penderita dari rumah mereka dan menempatkan mereka
ke dalam sebuah lingkungan rumah sakit, sedangkan sebagian lagi lebih
mendukung cara-cara yang bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan
penderita dari rumahnya, misalnya konseling online.
2. Metode Sosialisasi
Metode sosialisasi dilakukan dengan jalan menjauhkan penderita dari
lingkungan rumahnya dan memasukkannya ke dalam sebuah lingkungan
baru di mana di dalamnya terdapat penderita Hikikomori lainnya yang
sudah sembuh, pendekatan ini menunjukkan kepada para Hikikomori
bahwa mereka tidak sendirian dalam kondisi tersebut.
Bukan hanya Jepang saja, setiap negara di seluruh dunia harus juga
memperhatikan serius masalah ini, khususnya Negara Indonesia kita.Perilaku
16 | H i k i k o m o r i
menyimpang generasi penerus Babgsa sekarang menyebabkan kekawatiran pada
semua pihak baik orang tua maupun pemerintah.Adanya interaksi yang baik yang
dibangun sejak dini dari lingkungan keluarga adalah factor utama yang harus
ditanamkan orang tua pada anaknya. Adanya keterbukaan, dan saling sharing
dengan apa yang dikenendaki orang tua dan anak juga merupakan salah sau cara
meminimalisir masalah ini. Sebagai orang tua juga harus memahami
perkembangan anaknya.Selain itu pemilihan lingkungan social yang tepat juga
merupakan factor yang yang perlu diperhatikan.Ajarkan anak agar dapat krtis
memilih lingkungan social yang terbaik untuk mereka. Selain itupula lingkungan
pendidikan yang perlu kita tanamkan pada anak, dan tak lupa menyelipkan nilai-
nilai, norma, dan etika yang baik sesuai dengan budaya kita, yang sopan dan
santun pada setiap orang. Setiap komponen masyarakat memiliki tugas yang
penting untuk mengatasi masalah serius ini, guna terwujudnya tujuan
Negara.Negara maju dengan ahlak muliadan interaksi social yang baik yang
dimiliki masyarakatnya.
Hikikomori memiliki tipe kepribadian introvert ini umumnya tidak menyukai
kegiatan yang mengharuskannya bertemu banyak orang atau kegiatan yang
mengharuskannya bersosialisasi. Ketika seorang introvert menemukan pekerjaan
yang ia senangi dan ia memang berbakat di bidang tersebut, ia akan menjadi aset
perusahaan yang berharga.
Namun pada kenyataanya para Hikikomori atau kepribadian intovert adalah
orang-orang yang lebih senang menyibukkan diri dengan kehidupan didalam
pikirannya inilah yang membuat mereka lebih senang beraktifitas sendirian
daripada harus bersosialisasi dengan banyak orang.Tipe kepribadian ini memiliki
ketertarikan dalam penyelesaian masalah, bekerja secara kreatif ketika sendiri, dan
bisa memberikan solusi ketika berpikir tanpa ada gangguan. Pada dasarnya, para
Hikikomori atau para intovert tidak takut bekerja disekeliling orang lain. Namun
mereka hanya lebih suka memilih pekerjaan yang dimana mereka dapat bekerja
sendiri.karena itulah para Hikikomori bisa jadi merupakan pemberi solusi yang
baik, punya kecenderungan untuk bekerja sebagai analis system komputer atau
peranti lunak, akuntan, penasihat keuangan, teknik sipil, mekanik, dan desainer
grafis.
17 | H i k i k o m o r i
Beberapa profesi yang cocok untuk para Hikikomori, jika dibekali dengan
pelatihan yang tepat adalah:
1. Programer, jenis pekerjaan ini menarik minat para Hikikomori atau para
intovert karena pekerjaan ini mengharuskan mereka untuk bekerja secara
independen.Dan jenis pekerjaan ini dibutuhkan ijazah dalam bidang
komputer [IT], untuk selalu bisa berkompetisi dalam bidang ini, maka
seorang programer harus selalu mengupdateinformasi dan ilmunya setiap
hari, dan sesering mungkin untuk mengikuti perkembangan teknologi.
2. Akuntan dan Auditor, karena para Hikikomori atau introvert sangat
berbakat dalam memecahkan masalah, mampu menjalankan analisis
sendiri, dan mampu mengembangkan strategi jangka panjang, maka
profesi akuntan bisa tergolong cocok untuk mereka. Sedangkan dalam
pekerjaan ini dibutuhkan pendidikan di bidang akuntan dan finansial untuk
bisa mendapatkan pekerjaan di bidang ini.
3. Desain Grafis, pekerjaan ini mungkin adalah salah satu pekerjaan yang
paling diminati oleh para Hikikomori, karena mereka dapat dengan bebas
menginterpresentasikan imajinasinya. Karena kebanyakan atasannya akan
melihat hasil kerjanya diakhir, dan membiarkan mereka mendesais
grafisnya sendiri, atau bahkan karena mereka para Hikikomori sangat
menyukai anime mereka dapat juga bekerja di bidang periklanan,
penciptaan games, atau bahkan animasi, yang tak selalu diperlukan
pendidikan yang sangat mendalam dibidang ini.
4. Teknik Sipil, dengan semakin bertumbuhnya negara, maka akan makin
dibutuhkan teknik sipil untuk memperhitungkan segala hal yang butuh
perhitungan saat pembangunan bangunan. Dibutuhkan pendidikan khusus
di bidang ini, jika menambahkan pengetahuan seputar lingkungan dan
green engineering, maka para Hikikomori akan menjadi seorang teknik
sipil yang amat dicari.
5. Analis Riset Pasar, tipe pekerjaan ini mengumpulkan data bagaimana
pasar berpikir dan kecenderungannya, dan hasilnya akan membantu
perusahaan untuk menggapai pasarnya
18 | H i k i k o m o r i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
a. Hikikomorimerupakan suatu penyakit non kejiwaan yang menyebabkan
seseorang mengurung diri dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial
dalam kurun waktu lebih dari enam bulan.
b. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya fenomena
Hikikomori. Faktor-faktor tersebut adalah kebudayaan dan ekonomi,
system pendidikan, kekerasan disekolah, dan peranan keluarga.
c. Karakteristik kebudayaan Jepang sangat berpengaruh terhadap timbulnya
fenomena Hikikomori. Hal ini terkait dengan konsep pentingnya rasa malu
dan konsep pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang.
d. Terdapat beberapa solusi yang kiranya tepat untuk mencegah timbulnya
fenomena Hikikomori. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi untuk
mengeluarkan definisi, konsep, atau label positif agar pengetahuan
masyarakat lebih luas dan dapat menerima serta menolong penderita
Hikikomori.
3.2 Saran
Mungkin fenomena Hikikomori belum banyak terjadi di Indonesia. Namun
tidak menutup kemungkinan fenomena ini juga akan berkembang secara luas
mengingat dampak globalisasi yang mengharuskan manusia untuk selalu
berkompetisi dalam setiap bidang. Untuk itu, ada baiknya jika kita mengkaji
masalah ini lebih mendalam sehingga kita mampu mempersiapkan solusi preventif
sebagai benteng pencegahan. Keterbukaan adalah kunci pencegahaannya.