Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
-
Upload
armanion-sains -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
1/24
HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV
MELATI SILVANI NASUTION
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
2/24
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan ........................................................................................ 1
II Epidemiologi ........................................................................................ 1
III Hepatitis B dan HIV ........................................................................... 2
1. Epidemiologi ....................................................................................... 2
2. Patogenesis .......................................................................................... 3
3. Riwayat Alami Koeinfeksi HIV dan HBV ......................................... 3
4. Skrining HBV pada Pasien HIV ......................................................... 4
5. Kapan diberikan Terapi Hepatitis B Kronik pada HIV ....................... 6
6. Obat Antiviral hepatitis B Kronik pada pasien HIV ........................... 7
7. Pilihan Terapi Hepatitis B kronik pada pasien HIV ………………... 9
IV. Hepatitis C dan HIV ........................................................................... 11
1. Epidemiologi ....................................................................................... 11
2. Perjalanan Klinis dan Patogenesis ...................................................... 12
3. Komplikasi lain dari Koeinfeksi HIV dan HCV ................................. 13
4. Progresifitas HCV dengan Koinfeksi .................................................. 14
5. Skrining HCV pada Pasien HIV ......................................................... 15
6. Penatalaksanaan HCV pada Infeksi .................................................... 16
V. Kesimpulan .......................................................................................... 19
VI. Daftar Pustaka .................................................................................... 21
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
3/24
HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV
Melati Silvanni Nst
Divisi Penyakit Tropik & Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU
, Endang S, Saut Marpaung, Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren,
Armon Rahimi, Yosia Ginting
PENDAHULUAN
Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) dan Virus Hepatitis C (HVC) sering terjadi pada
pasien-pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) oleh karena jalur
transmisi virusnya. Penyakit hati yang disebabkan oleh infeksi HBV kronik dan HCV menjadi
penyebab kematian utama yang berhubungan dengan penyakit hati, yang ternyata berbanding
terbalik dengan jumlah CD4. Juga terdapat peningkatan terhadap kejadian kanker hati dan efek
hepatotoksik yang berhubungan dengan obat antiretroviral pada pasien-pasien dengan
koinfeksi HBV dan HCV. Ditemukannya pengobatan-pengobatan terbaru untuk infeksi HBV
dan HCV telah meningkatkan kesempatan untuk mengatasi infeksi ini dan berpotensi dalam
mencegah komplikasi penyakit hati.
1,2
EPIDEMIOLOGI
Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di
seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi
hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang
lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah
yang terkontaminasi atau produk darah.
Prevalensi koinfeksi HBV atau HCV bervariasi tergantung pada faktor risiko pasien
untuk menderita HIV. HCV lebih efektif menular melalui paparan langsung dari darah yang
terkontaminasi atau dari produk darah. Angka rata-rata transmisi secara vertikal dan perinatal
rendah, meskipun meningkat pada kejadian koinfeksinya.3 Transmisi HCV secara seksual tidak
efisien dan risiko sebenarnya yang berhubungan dengan berbagai jenis aktivitas seksual masih
belum diketahui, meskipun terdapat peningkatan kemungkinan bahwa infeksi akut HCV
berhubungan dengan perilaku seksual yang tidak aman pada laki-laki homoseksual.4 Di
Amerika Serikat, HIV dan koinfeksi HCV lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang
memiliki penyakit hemofilia atau pengguna obat-obatan intravena. Diantara pasien-pasien
tersebut, angka rata-rata kejadian koinfeksi mencapai 70-95% dibandingkan dengan 1-12% pada laki-laki homoseksual.3
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
4/24
Di Amerika Serikat dan Eropa barat, HBV biasanya sering terjadi pada dewasa muda
atau usia tua yang beraktivitas seksual bebas. Walaupun terdapat angka bersihan spontan HBV
yang tinggi pada usia dewasa yang imunokompeten, infeksi kronik terjadi pada 20% orang
dewasa dengan infeksi HIV setelah terpapar HBV.5 Prevalensi secara umum infeksi HBV
kronik diantara orang-orang dengan infeksi HIV positif pada Amerika Serikat dan Eropa baratkurang dari 10% dan angka tertinggi terjadi pada laki-laki homoseksual dan pada pengguna
narkoba jarum suntik. Pada wilayah dimana transmisi HBV secara vertikal dan perinatal sering
terjadi, seperti di Asia dan Afrika, infeksi kronik HBV terjadi lebih dari 90% pada bayi baru
lahir yang terpapar HBV. Sehingga, prevalensi infeksi HBV diantara orang yang terinfeksi
HIV bervariasi, dari 5-10% di Amerika Serikat sampai 20-30% di Asia dan Afrika.
3
HEPATITIS B DAN HIV
1.
EPIDEMIOLOGI Diantara hampir 35 juta orang saat ini yang hidup dengan HIV, terdapat sekitar 3 juta
yang mengalami infeksi HBV yang kronik. Prevalensi koinfeksi HIV dengan HBV bervariasi
secara geografis, kemungkinan besar oleh karena adanya perbedaan pada rute transmisi yang
predominan. Studi-studi yang memfokuskan terhadap perjalanan penyakit hepatitis B pada
HIV menunjukkan peningkatan risiko perburukan penyakit hati dan kematian pada individu
dengan koinfeksi.5 Pada daerah dengan endemisitas HBV yang rendah, seperti Amerika
Serikat, Australia dan Eropa, HBV dan HIV biasanya terjadi pada dewasa melalui hubungan
seksual atau transmisi perkutaneus. Di daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV sekitar 5%-7%
pada pasien dengan infeksi HIV namun beragam pada rute transmisinya. Prevalensi yang
paling tinggi adalah pada laki-laki homoseksual dan paling rendah pada heteroseksual. Pada
negara-negara dengan endemis HBV yang tinggi, rute transmisi paling sering dari perinatal
atau pada masa kanak-kanak awal, sehingga infeksi HBV mendahului infeksi HIV beberapa
tahun kemudian. Pada daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV-HIV sekitar 10%-20%.1,2,5
Gambar 1. Prevalensi HBV berdasarkan geografis dan rute infeksinya
1
Strain HBV dapat digolongkan menjadi 8 genotipe, dari A sampai H berdasarkan
urutan minimum yang berbeda berkisar 8% dari seluruh genom. Penelitian dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
5/24
negara memberi petunjuk bahwa genotipe HBV berpengaruh terhadap perjalanan penyakit hati
dan responnya terhadap obat-obat antiviral. Namun demikian masih belum jelas, apakah hasil
penelitian tersebut dapat digeneralisir untuk semua pengidap HBV di seluruh belahan dunia.
Genotipe HBV memiliki distribusi yang berbeda secara geografis, dimana genotipe A
dominan di Eropa Utara, Amerika Selatan dan Utara dan beberapa wilayah di Afrika. GenotipeB dan C biasanya ditemukan di Asia Timur dan baru-baru ini dikaitkan dengan risiko
peningkatan kejadian kanker hati. Genotipe D sering terdapat di Mediterania, genotipe E di
Afrika, genotipe F di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe G di Prancis dan Amerika Serikat
dan genotipe H di Amerika Utara. Di Indonesia terdapat 4 genotipe HBV yaitu genotipe A, B,
C, dan D. Distribusi geografis genotipe HBV haruslah dilihat sebagai fenomena dinamik yang
disebabkan oleh peningkatan migrasi populasi. Namun, informasi mengenai genotipe HBV
pada infeksi HIV sangat jarang dan memerlukan studi yang lebih lanjut.
6
2. PATOGENESIS
Sepertinya berlawanan bahwa penyakit hati oleh karena infeksi HBV yang diperantarai
imun terjadi eksaserbasi karena status imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. Terdapat
beberapa alasan yang mungkin atas hubungan yang berlawanan ini. Pada pasien dengan infeksi
HIV, progresivitas penyakit hati yang cepat disebabkan karena efek sitopatik viral daripada
respon imun, yang mana disebut dengan hepatitis kolestatik. Sehingga, masuk akal jika varian
HBV, yang biasa terjadi pada infeksi HIV, dapat berperan dalam peningkatan penyakit hati
pada infeksi HIV.
Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa modulasi HIV terhadap respon imun spesifik
HBV dapat mengubah lingkungan sitokin hepar yang kemudian berefek pada penyakit hati.
Namun, hipotesis ini masih belum diteliti lebih lanjut.
Yang terakhir, dikatakan bahwa HBV mempengaruhi replikasi HIV, hal ini
dimungkinkan karena protein X berinteraksi dengan NK-kB atau kB-like cellular
transcriptional factors. Proses tersebut berdampak pada limfosit untuk membentuk komplek
dan mengikat HIV, mendorong ke arah upregulation replikasi HIV. HIV-HBV sering terdapat
bersamaan pada limfosit. Pol-encoded protein HBV menekan produksi interferon yang
memungkinkan replikasi HIV. Penderita HBV kronis terdapat peningkatan kadar TNFα, maka
melalui jalur sitokin dapat mendorong upregulate HIV melalui induksi NF-kB sehingga
replikasi HIV meningkat.
9
3. RIWAYAT ALAMI KOINFEKSI HIV DAN HBV
a. Dampak HIV pada viral load, penularan dan sifat kronis
Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan kekebalan yang kuat untuk
memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis; hal ini dapat
dicapai pada orang tanpa infeksi HIV (>90%). Namun, orang dewasa dengan HIV yang
terinfeksi HBV memiliki pemulihan yang lebih rendah, mungkin terkait dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
6/24
kekebalan pada saat tertular HBV. Orang dengan koinfeksi HBV-HIV yang belum diobati
memiliki angka HbsAg/HbeAg positif dan HBV DNA yang lebih tinggi, namun nilai
transaminase dan nekroinflamasi dari histologi yang lebih rendah daripada pada
monoinfeksi HBV.
b.
Dampak HIV pada perkembangan penyakit hati HBVHIV berkaitan dengan efek imunosupresannya memiliki dampak terhadap perjalanan
penyakit infeksi HBV.8
1. Kadar HBV DNA dan angka reaktivasi lebih tinggi pada pasien-pasien yang terinfeksi
HIV daripada dengan HBV sendiri; risiko reaktivasi mungkin berhubungan dengan
rendahnya jumlah CD4.
Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa :
2.
Kemunculan kembali HbsAg dan viremia HBV telah didokumentasikan pada pasien-
pasien HIV dengan koinfeksi HBV yang memiliki marker serologis konsisten dengan
infeksi HBV yang telah sembuh.
3. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV memiliki angka bersihan HbeAg spontan yang
rendah.
Predisposisi pasien-pasien terinfeksi HIV untuk mengalami infeksi kronik setelah
terpapar infeksi HBV telah ditunjukkan dalam studi mengenai vaksin hepatitis B pada pasien-
pasien seronegatif dan seropositif HIV yang sebelumnya belum terinfeksi HBV. Infeksi kronik
HBV terjadi pada 21% pasien dengan terinfeksi HIV dibandingkan dengan 7% kontrol pasien
dengan HBV saja. Perbedaan ini tidak dapat dijelaskan oleh karena makin seringnya infeksi
HBV akut pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV.10
4. SKRINING HBV PADA PASIEN HIV
Beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu alasan utama pengobatan HBV yang tidak
adekuat pada pasien HIV adalah kurangnya pengetahuan terhadap status HBV kronik.
Memberitahukan informasi bagaimana transmisinya, investigasi pemeriksaan serologis HBV
seperti HBV Surface Antigen (HbsAg), Antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs) dan antibodi
anti-core (anti-HBc), haruslah dilakukan pada pasien-pasien dengan infeksi HIV.
Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi untuk infeksi HBV 10
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
7/24
Bila HbsAg terdeteksi, keberadaan replikasi HBV secara aktif harus dinilai melalui tes
kuantitatif untuk HBV DNA (viral load). Tingkat HBV DNA berhubungan dengan risiko
penularan, penyakit hati lanjutan dan peradangan hati yang flare. HBV DNA dapat dihitung
dengan tes non amplifikasi atau tes amplifikasi. Interval pemeriksaan haruslah secara idealtidak lebih dari 12 bulan jika tidak dalam terapi anti HBV dan 6 bulan jika dalam terapi anti
HBV.
Penting juga menentukan status antigen e HBV (HbeAg) karena tingkat DNA yang
bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status HbeAg. Saat ini dianjurkan pada
pasien HbeAg (+), viral load >105 copy/ml bermakna secara klinis, sementara pada pasien
HbeAg (-), viral load >104 copy/ml dianggap bermakna. Tes amplifikasi seperti PCR lebih
dipilih dalam penilaian replikasi, terutama pada infeksi HbeAg(-), karena tes non amplifikasi
hanya mempunyai sensitivitas 105
Bila ada bukti biokimia adanya peradangan hati (didefinisi sebagai tingkat ALT diatas
batas atas nilai normal), biopsi hati umumnya dianjurkan untuk menentukan grade dan stadium
penyakit. Pada pasien-pasien HIV-HBV dengan sirosis hepatis, interval waktu yang lebih cepat
lebih adekuat, dan pemeriksaan alfa feto protein dan USG abdomen harus dilakukan dalam
interval 6 bulan.
copy/ml. Orang dengan tingkat HBV DNA yang sangat
tinggi sebaiknya dinilai lebih lanjut dan dipertimbangkan untuk terapi antiviral
2,5,10
Gambar 2. Algoritme penyelidikan untuk menilai HBV pada orang koinfeksi HIV6
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
8/24
5. KAPAN DIBERIKAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN
HIVKeputusan untuk memberikan terapi hepatitis B kronik pada pasien HIV dengan
koinfeksi HBV haruslah berdasarkan pertimbangan yang hati-hati terhadap faktor prognostik
perkembangan penyakit hatinya, berat penyakit hati yang sekarang, respon tubuh terhadap obat
anti HBV, risiko terhadap efek samping obat dan kebutuhan akan terapi antiretroviral untuk
HIVnya. Pasien HIV dengan koinfeksi HBV dengan replikasi HBV aktif dan peningkatan
aminotransferase haruslah berhati-hati untuk mendapatkan terapi anti HBV, karena dapat
memperberat kerusakan hati. Pada infeksi HIV, hepatitis B kronik cepat berkembang menjadi
sirosis dan respon terhadap terapi anti HBV dapat berkurang karena progresivitasimunodefisiensinya. Tujuan pengobatan HBV adalah sama dengan terhadap individu dengan
atau tanpa koinfeksi HIV; serokonversi HbeAg pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), normal
ALT, perbaikan pada pemeriksaan histologi hatinya, supresi HBV DNA serum yang menetap,
mengurangi kejadian dekompensasi hepatik pada pasien-pasien dengan sirosis yang lanjut dan
mengurangi risiko terjadinya kanker hati.
Keuntungan dari menghentikan replikasi HBV telah dimengerti; dengan menunjukkan
adanya hubungan langsung antara kadar HBV DNA serum dengan risiko kejadian sirosis dan
kanker hati, tanpa melihat status HbeAg dan/atau peningkatan enzim hati. Guideline HBV
terbaru merekomendasikan untuk memulai terapi anti HBV pada individu dengan HbeAg (+)
jika HBV DNA serum >2 x 10
2,5,6
4 IU/ml. Sebaliknya, pada pasien dengan HbeAg (-), nilai HBV
DNA serum yang harus diberikan terapi adalah 2 x 103 IU/ml.11
Pada pasien HIV dengan infeksi HBV kronik, pengobatan haruslah lebih dipikirkan
daripada pada pasien tanpa infeksi HIV. Gambar 3 menunjukkan algoritma pengobatan anti
HBV pada pasien HIV, yang dibagi berdasarkan tiga parameter yaitu HBV DNA serum, ALT
dan tingkatan fibrosis hati.
2 Jika kadar viremia lebih dari 2000 IU/ml dan/atau ALT meningkat,
kerusakan hati yang berat mungkin terjadi, sehingga pengobatan anti HBV haruslah
dianjurkan. Dengan kata lain, fibrosis hati yang berat atau sirosis secara sporadis dapat dilihat
pada pasien dengan HBV DNA serum yang rendah dan/atau ALT yang normal ; dan
berdasarkan hal ini pasien-pasien tersebut juga dapat memperoleh keuntungan dari terapi
antiviral.
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
9/24
Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B kronis pada koinfeksi HIV-HBV. Kapan waktunya diterapi
2
6.
OBAT ANTIVIRAL HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIVTujuh jenis obat telah disetujui sejauh ini sebagai terapi hepatitis B kronik dan yang lain,
Emtricitabine kombinasi dengan Tenefovir masih dalam penelitian.
1. Interferon α-2b
2,5,11,12
Merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati hepatitis B kronik. Interferon
alpha standard (IFNα) telah diganti oleh pegylated IFNα pada beberapa keadaan. IFNα
(atau pegylated IFNα) efektif terhadap pasien hepatitis B kronik dengan peningkatan ALT,
HBV DNA serum yang rendah dan genotipe HBV A dan B. Obat ini kontraindikasi
terhadap pasien-pasien dengan sirosis dekompensata, karena dapat mengeksaserbasi
kejadian dekompensata. Enzim hati yang meningkat selama terapi IFNα sering terjadi
pada pasien-pasien HIV dibandingkan HIV yang negatif karena alasan yang belum jelas.
Efikasi IFNα lebih rendah pada pasien HIV dengan HBV tanpa melihat kadar CD4 yang
mungkin sebagian besar disebabkan oleh karena kelainan yang diperantarai imun.
Rekomendasi durasi terapi adalah selama 12 bulan.
2. Pegylated interferon α-2a
Bentuk pegylated dari IFNα memiliki waktu paruh yang lebih lama dan potensi yang
lebih tingi dari pada IFNα standar. Pada individu dengan monoinfeksi HBV, pegylated
IFNα lebih efektif daripada IFNα standar. Pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), hampir
sepertiga pasien menunjukkan HbeAg (-) dan ALT yang normal selama 12 bulan terapi.
Trial-trial membandingkan pegylated IFNα dan lamivudine menunjukkan serokonversi
HbeAg, supresi HBV DNA serum dan normalisasi ALT lebih tinggi pada pegylated IFNα
daripada lamivudine, namun yang menarik tidak ada keuntungan jika kedua obat tersebut
dikombinasikan.
Pada koinfeksi HBV/HIV, terapi berdasarkan IFN berhubungan dengan rendahnya
angka keberhasilan terapi dan peningkatan toksisitas. Sehingga, obat ini hanya boleh
diresepkan pada pasien-pasien sirosis non dekompensata yang tidak memerlukan terapi
antiviral dan memiliki kemungkinan respon yang baik terhadap IFNα, seperti pada
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
10/24
HbeAg(+), peningkatan ALT dan HBV DNA serum yang rendah. Pengobatan biasanya
membutuhkan waktu 12 bulan. Gambar 4 menunjukkan obat antiviral yang cocok untuk
mengobati hepatitis B kronik pada pasien-pasien HIV berdasarkan kebutuhan akan
antiretroviral dan status HbeAg2
Gambar 4. Penatalaksanaan hepatitis B kronik pada koinfeksi HIV-HBV. Obat mana yang digunakan
2
Jika pertanda respon terhadap IFNα atau pegylated IFNα tidak tercapai setelah 12 bulan
terapi, pengobatan diganti dengan analog nukleosida haruslah dipikirkan. Memberikan
obat-obat jenis ini biasanya lebih ditoleransi, terapi biasanya diberikan dalam jangka
waktu yang tidak dapat ditetapkan
Kombinasi pegylated IFNα dan analog nukleosida oral telah dibandingkan dengan pemberian lamivudine dan adefovir pada individu dengan monoinfeksi HBV. Tidak ada
keuntungan yang signifikan dalam hal potensi antiviral yang lebih besar dibandingkan
dengan monoterapi pegylated IFNα.
3. Lamivudine (3TC)
Lamivudine adalah analog nukleosida yang menekan replikasi HIV dan HBV dengan
menghambat pekerjaan enzim reverse trancriptase virus, meskipun dosis untuk mensupresi
HBV (100 mg/hari) lebih rendah dibandingkan dosis yang dibutuhkan dalam mensupresi
HIV (300 mg/hari). Efektivitas 3TC dalam pengobatan hepatitis B kronik sudah cukup
diketahui, menghasilkan penurunan yang signifikan terhadap kadar HBV DNA serum dan
kadar ALT, perbaikan pada histologi hati dan peningkatan hilangnya HbeAg. Namun,
masalah utama dengan pemberian jangka lama 3TC adalah pilihan resistensi viral, dimana
sering terjadi karena rebound pada HBV DNA serum dan enzim hati meningkat drastis.
Untuk mengobati koinfeksi HBV-HIV dosis 3TC yang direkomendasikan adalah 300
mg/hari dan obat ini harus selalu diberikan dengan sedikitnya dua obat anti HIV lainnya,
kalau tidak akan terjadi mutasi resistensi HIV.
Diberikan secara oral, tolerabilitas yang baik dan hanya satu tablet per hari, 3TC telah
banyak digunakan sebagai obat anti HBV, termasuk pada pasien dengan koinfeksi HIV,
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
11/24
banyak yang telah menerima terapi 3TC jangka lama. Mutasi resistensi HBV dapat
dikenali lebih dari 90% pada pasien-pasien dengan HIV yang telah menerima terapi
antiretroviral termasuk 3TC selama lebih dari 4 tahun.
4. Adefovir (ADV)
Adefovir merupakan analog nukleotida pertama yang disetujui sebagai terapi infeksiHBV. Obat ini juga dapat menghambat HIV pada dosis yang lebih besar daripada yang
diberikan pada infeksi HBV, namun dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas. Pada dosis
10 mg/hari, ADV mensupresi replikasi HBV. ADV jiuga menghambat replikasi HBV
yang resisten terhadap 3TC.
Pada individu dengan koinfeksi HIV-HBV, pemberian ADV dilakukan pada 35 pasien
dalam terapi antiretroviral termasuk 3TC. Setelah 144 minggu pemberian ADV,
penurunan kadar HBV DNA serum terlihat pada 45% subjek, dimana lebih sedikit dari
56% pada subjek dengan monoinfeksi HBV.
5.
Entecavir (ETV)
Entecavir adalah analog guanosin yang menghambat replikasi HBV dengan tiga
tahapan ( priming, reverse transcriptase dan positive strand synthesis). ETV ternyata lebih
poten dalam mensupresi HBV DNA serum dibandingkan 3TC dan ADV dan dapat
diberikan pada orang yang belum membutuhkan terapi ARV.
6. Telbivudine (LdT)
Telbivudine adalah L-analog timidin tanpa efek melawan HIV. LdT memiliki efikasi
antiviral yang lebih besar dibandingkan 3TC maupun ADV pada pasien hepatitis B kronik.
7.
Emtricitabine (FTC)
Seperti 3TC, FTC merupakan analog sitosin dengan efek antiviral melawan HBV dan
HIV. FTC memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan 3TC dan sama-sama cepat
mengurangi HBV DNA serum pada dosis 200 mg/hari. Supresi replikasi HBV terjadi
lebih dari 48 minggu terapi pada lebih dari separuh pasien. Belum ada data pemberian
monoterapi FTC pada koinfeksi HBV-HIV.
8. Tenofovir (TDF)
Tenofovir adalah analog nukleotida adenosin, sudah dipakai sebagai terapi infeksi HIV.
TDF juga menunjukkan efek yang poten melawan HBV pada pasien dengan atau tanparesistensi 3TC.
7. PILIHAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV
Jika infeksi HBV membutuhkan terapi namun infeksi HIV tidak perlu yang biasanya
berdasarkan peningkatan jumlah CD4 (>350 sel/mm3), pilihan terapi untuk HBV haruslah
termasuk obat yang tidak memiliki efek melawan HIV, seperti pegylated IFNα, ADV atau
LdT.2 Pemberian pegylated IFNα selama 12 bulan dapat dianjurkan pada pasien-pasien dengan
kadar CD4 yang tinggi dan HbeAg (+), peningkatan ALT, HBV DNA serum yang rendah danfibrosis hati yang minimal, terutama jika terinfeksi HBV genotipe A. Hampir sepertiga dari
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
12/24
pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan supresi HBV DNA serum yang bertahan sampai
penghentian terapi, keuntungan yang mungkin tidak dapat tercapai dengan terapi yang lainnya.
Kelemahan pegylated IFNα adalah tolerabilitasnya yang rendah dan efikasi yang rendah pada
HIV.
Pada pasien-pasien lainnya dengan koinfeksi HBV-HIV yang tidak memerlukan terapiantiretroviral, obat nukleosida jangka lama merupakan satu-satunya pilihan. Sampai saat ini,
baik ADV atau LdT merupakan alternatif yang baik, meskipun memberikan risiko obat yang
resisten, strategi “early add-on” harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai HBV DNA
serum yang tidak terdeteksi pada 24 minggu terapi.
11
2 Menambah jenis obat daripada
menggantinya harus disarankan, karena terdapat bukti untuk efek protektif melawan resistensi
dan kurangnya efek sinergistik dan additif obat antiviral jika diberikan dengan kombinasi.
Gambar 5. Pendekatan terapi pada HBV. Kombinasi terapi dari awal atau “early add-on therapy”2
Pilihan terapi untuk pasien dengan infeksi HBV dan HIV yang harus diterapi keduanya,
dibagi untuk pasien yang baru mendapatkan terapi dan yang sudah pernah mendapatkan terapi.
Untuk pasien yang baru mendapatkan terapi disarankan kombinasi pemberian TDF ditambah
FTC (atau 3TC).2 Penggunaan dua obat anti HBV penting untuk pasien dengan sirosis
sangatlah penting. Interval dosis TDF harus dimodifikasi pada pasien dengan klirens kreatinin
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
13/24
Gambar 6. Algoritme penatalaksanaan HBV pada koinfeksi HIV di Indonesia
13
HEPATITIS C DAN HIV
1. EPIDEMIOLOGI
Kejadian hepatitis C diantara laki-laki homoseksual telah dilaporkan pada beberapa
kota di Eropa dan Amerika Utara. Observasi terhenti sejak HCV dulu tidak dipikirkan menular
cepat melalui kontak seksual, seperti HBV dan HIV. Angka seks bebas yang tinggi dan
penularan penyakit menular seksual, semuanya berhubungan dengan maraknya kejadian HCV.
Peningkatan kadar viremia HCV terlihat pada pasien HIV (+) dapat berkontribusi terhadap
kejadian infeksi yang meningkat.
Respon terapi dipengaruhi oleh genotipe HCV. Enam genotipe dengan sejumlah subtipe
telah diketahui, dan memiliki distribusi regional yang berbeda-beda : genotipe 1 dan 3 banyak
ditemukan di Eropa, dimana genotipe 4 dan 5 ditemukan di Afrika dan genotipe 6 di Asia
Tenggara. Sedangkan di Indonesia, > 60% yang diidentifikasi merupaka genotipe 1.
1,4
14 Genotipe
1 mempunyai kecepatan replikasi yang lebih besar daripada genotipe lainnya sehingga
prognosisnya lebih buruk. Genotipe 1 dan 4 memerlukan terapi yang lebih lama. Genotipe 2
dan 3 diketahui memiliki respon yang lebih baik dengan terapi interferon.13,15,17
Berlawanan dengan individu dengan HIV (-), infeksi akut HCV dapat menunjukkan bersihan viral yang spontan pada 30% kasus selama 12 minggu awal setelah paparan awal,
pasien-pasien HIV (+) mengalami kronisitas lebih dari 80% kasus.
13
Sehingga, intervensi
terapi awal pada pasien hepatitis C diindikasikan pada individu dengan HIV (+), meskipun
terapi jangan diberikan dahulu sebelum 12 minggu dari paparan, dalam rangka menghapus
bersihan spontan HCV. Terlalu lama ditunda, haruslah diperhatikan karena akan menurunkan
respon terapi. Pengobatan hepatitis C akut pada HIV (+) jarang sembuh dibandingkan dengan
HIV (-) (60% vs 80%).
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
14/24
2. PERJALANAN KLINIS DAN PATOGENESIS
Perjalanan klinis koinfeksi hepatitis C ditentukan oleh imunosupresi yang berkaitan
dengan HIV. Progresivitas imunosupresi meningkatkan kejadian hepatitis C. Periode laten
sampai kejadian gagal hati atau kanker hati diperkirakan terjadi 10-20 tahun, dimana terjadi
pada 30-40 tahun pada monoinfeksi HCV.Kemajuan terapi terhadap infeksi HIV telah meningkatkan kemungkinan pasien
mengalami kejadian gagal hati. Hubungan dengan penurunan angka kematian dengan infeksi
HIV telah menyebabkan peningkatan relatif terhadap angka mortalitas yang berhubungan
dengan hepatitis. Pada beberapa sentra, gagal hati merupakan penyebab kematian tersering
pada pasien dengan infeksi hati. Dampak buruk hepatitis C pada infeksi HIV dapat diatasi
dengan pengobatan infeksi HIV dengan HAART. Tambahan, perkembangan gagal hati dapat
diperlama dengan memperbaiki fungsi imun dengan terapi HAART.
16,17
Disisi lain, infeksi hepatitis C dapat memperburuk kemungkinan hepatotoksisitas
terhadap beberapa regimen HAART. Hampir 10% pasien harus menghentikan HAART karena
hepatotoksisitas yang berat. Risiko ini berhubungan terutama dengan obat-obat golongan
nukleotida.
16
Pada beberapa pasien koinfeksi, peningkatan sementara transaminase terlihat setelah
pemberian HAART, hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan aktivitas inflamasi
hepatitis C akibat peningkatan status imunnya.
16
Penyakit hati yang berkaitan dengan HCV termasuk fibrosis, sirosis dan gagal hati
meningkat pada individu dengan infeksi HIV. Progresivitas menjadi sirosis tiga kali lebih
tinggi pada pasien-pasien koinfeksi daripada monoinfeksi dan hampir 33% menjadi sirosis
kurang dari 20 tahun. Metaanalisis dari 17 studi menemukan 21% kejadian sirosis dari 3567
individu dengan koinfeksi setelah 20 tahun dan 49% setelah 30 tahun.
17
Steatosis hepar, komplikasi yang sering pada monoinfeksi HCV dan koinfeksi HIV-HCV
(40%-75%), berhubungan dengan progresivitas fibrosis. Steatosis hepar berhubungan dengan
peningkatan indeks massa tubuh, diabetes, peningkatan kadar ALT, HCV genotipe 3,
nekroinflamasi dan fibrosis.
Mekanisme untuk menjelaskan peningkatan penyakit hati pada pasien-pasien koinfeksi
tidak begitu jelas, namun mungkin berhubungan dengan efek langsung viral dan reaksi
imunologis seperti aktivasi imun, apoptosis dan hilangnya respon sel T spesifik HCV.17,18
Aktivasi imun oleh perubahan sitokin karena HIV (seperti IL-4, IL-5, IL-13, TGF-β) yang
meningkatkan inflamasi dan fibrosis hati. Koinfeksi meningkatkan apoptosis hepatosit melalui
jalur Fas/FasL yang dapat memperberat penyakit hati. Akumulasi sel sitotoksik CD8 di dalam
hati yang meningkatkan mediator-mediator inflamasi pada koinfeksi dibandingkan dengan
pasien-pasien monoinfeksi HCV juga dapat menyebabkan peningkatan kerusakan jaringan
pada pasien-pasien koinfeksi. Bukti terbaru menunjukkan sel CD8 spesifik HIV berakumulasi
di hati pada koinfeksi dan memproduksi TNF-α, dimana berhubungan dengan fibrosis hati.
18
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
15/24
Replikasi HIV terdapat pada hepatosit dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Infeksi HIV
yang mengaktifkan HSC menyebabkan pengeluaran kolagen dan sekresi sitokin-sitokin
proinflamasi. Sebagai tambahan dari infeksi, protein HIV merangsang hepatosit untuk
berapoptosis dan mengeluarkan kemokin dan sitokin inflamasi yang menyebabkan fibrosis.18
Resistensi insulin juga terjadi pada HCV kronik, dan memberat pada steatosis hati dan progresivitas penyakit hati. Mekanisme resistensi insulin pada penyakit hati diantara pasien-
pasien dengan infeksi HCV tidak diketahui, namun hiperinsulinemia dan hiperglikemia
menstimulasi HSC, menyebabkan peningkatan growth factor jaringan ikat dan akumulasi dari
matriks ekstraseluler.
16
Gambar 7. Patogenesis koinfeksi HIV-HCV 15
3.
KOMPLIKASI LAIN DARI KOINFEKSI HIV-HCV
a. Gangguan Imun dan Hematologis
16
Sebuah studi retrospektif besar menemukan bahwa pada pasien-pasien koinfeksi HCV
memiliki kadar C-Reactive Protein (CRP) yang lebih rendah dibandingkan pasien-pasien
monoinfeksi HIV, menunjukkan bahwa HCV menurunkan kemampuan hati untuk
mensekresikan CRP. Trombositopenia yang berhubungan dengan HIV merupakan masalah
yang penting pada era HAART dan hal ini berhubungan dengan sirosis juga infeksi HCV
tanpa penyakit hati yang berat.
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
16/24
b. Penyakit Ginjal
Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit ginjal yang
berhubungan dengan HIV, termasuk proteinuria dan gagal ginjal akut, dibandingkan pada
monoinfeksi HIV. Koinfeksi HCV juga berhubungan dengan angka kejadian gagal ginjal
kronik yang lebih tinggi dimana prevalensi HCV meningkat dengan perburukan laju filtrasiglomerulus.
c. Penyakit Kardiovaskular
Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit serebrovaskular dan
akan meningkatkan risiko infark miokard akut diantara pasien-pasien infeksi HIV. Pasien-
pasien infeksi HIV memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular karena HAART
dan inflamasi kronik yang berhubungan dengan HIV dapat menyebabkan disfungsi endotel.
d. Status Neurologis
HIV dan HCV sama-sama bereplikasi di otak dan cairan serebrospinal dan
berhubungan dengan sindroma neurokognitif dan neuropati perifer. Pada pasien-pasien
koinfeksi menunjukkan gangguan motor-kognitif yang signifikan dibandingkan dengan
pasien-pasien monoinfeksi HIV dan peningkatan kejadian gangguan kognitif global,
terutama dalam belajar dan memori
4. PROGRESIVITAS PENYAKIT HCV DENGAN KOINFEKSI HIV
Pada pasien-pasien dengan infeksi kronik HCV, infeksi bersamaan dengan HIV
berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi dengan kejadian gagal
hati.16,18
Studi-studi yang membandingkan biopsi hati pada pasien-pasien koinfeksi HIV-HCV
dengan infeksi HCV saja menunjukkan hasil yang membingungkan apakah pasien dengan
koinfeksi mengalami nekroinflamasi dan fibrosis yang lebih buruk daripada yang bukan
dengan koinfeksi. Hal ini mungkin disebabkan karena dijumpainya berbagai derajat
imunosupresi pada populasi pasien. Salah satu studi mengatakan bahwa status HIV tidak
berhubungan dengan peningkatan nekroinflamasi atau fibrosis dibandingkan dengan HCV saja,
sedangkan studi lainnya terdapat peningkatan pada gambaran histologinya.
Pasien-pasien dengan infeksi HIV memiliki angka bersihan viral spontan yang lebih
rendah selama infeksi akut, dimana mungkin disebabkan oleh gangguan respon
limpoproliperatif terhadap antigen HCV. Pasien-pasien dengan hepatitis C dengan penyakit
HIV cepat berkembang menjadi sirosis daripada pasien hepatitis C saja. Faktor risiko
berhubungan dengan tingginya progresitivitas fibrosis termasuk konsumsi alkohol, umur,
jumlah CD4
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
17/24
karena immune reconstitution. Sindroma ini terjadi sebagai respon terhadap patogen apa pun
dan terlihat 4-8 minggu pertama setelah pemberian HAART, biasanya diikuti dengan
penurunan kadar HCV RNA yang cepat dan peningkatan CD4 16-18
5.
SKRINING HEPATITIS VIRAL C PADA HIVTes diagnostik yang digunakan pada pasien-pasien koinfeksi sama dengan pasien-pasien
monoinfeksi HCV. Deteksi antibodi HCV (anti-HCV) menunjukkan paparan terhadap HCV,
namun tidak membedakan hepatitis C yang kronik atau sudah sembuh. Hepatitis C kronik
didiagnosa dengan deteksi adanya viremia HCV (HCV RNA). Harus diingat bahwa antibodi
HCV dapat menghilang selama perjalanan infeksi HCV oleh karena imunosupresi yang
mendasarinya, meskipun akhir-akhir ini kejadian tersebut sudah jarang terjadi. Adanya
dijumpai kadar HCV RNA menunjukkan kasus infeksi HCV yang akut, dimana antibodi HCV
hanya dapat dideteksi satu sampai lima bulan setelah infeksi.
11,15
Gambar 8. Algoritme pemeriksaan HCV pada koinfeksi HIV 15
Pasien-pasien dengan koinfeksi HIV/HCV memiliki kadar viremia HCV yang lebih
tinggi daripada pasien dengan monoinfeksi HCV (sekitar 1 log). Namun, kadar viremia tidak
memiliki nilai prognostik dalam perjalanan hepatitis C. Sehingga pemeriksaan HCV RNA
secara reguler sebagai prosedur rutin tidak diperlukan. Kita dapat memprediksi respon
terhadap pengobatan dari melihat kadar viremia HCV, jika konsentrasi HCV RNA dibawah
800.000 IU/ml, kemungkinan pengobatan berhasil lebih tinggi daripada kadarnya diatas
800.000 IU/ml.
Pemeriksaan genotipe sangatlah penting karena dapat dipakai untuk memprediksi respon
terhadap terapi antivirus dan menentukan durasi terapi. Genotipe 2 dan 3 adalah genotipe yang
telah diketahui memiliki respon lebih baik dibandingkan genotipe 1. Tingkat respon terhadap
17
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
18/24
terapi kombinasi pegylated IFN dan ribavirin adalah sekitar 80% untuk genotipe 2 dan 3 serta
48% untuk genotipe 1, 4, 5 dan 6. Karena genotipe tidak akan berubah selama masa infeksi
maka pemeriksaan ini tidak perlu diulang kembali.
Penilaian tingkatan fibrosis hati sangat penting untuk menilai kerusakan dari hati. Jika
biopsi hati tidak tersedia, konsensus terbaru merekomendasikan memberikan terapi hepatitis pada genotipe 2+3, atau genotipe 1 dan kadar viremia HCV yang rendah. Jika biopsi hati
menunjukkan fibrosis yang signifikan, terapi segera biasanya tidak diperlukan tanpa melihat
jenis genotipenya.
14
Jika tidak dalam pengobatan, Alfa Feto Protein (AFP) dan USG hati harus dilakukan
setiap 6-12 bulan untuk mendeteksi HCC dini. Oleh karena perjalanan penyakit hepatitis C
memburuk dengan koinfeksi HIV dan 10-30% pasien akan mengalami HCC tanpa melalui
sirosis, pemeriksaan secara teratur sangat penting dilakukan.
15
17
6. PENATALAKSANAAN HCV PADA INFEKSI HIV
Penatalaksanaan HCV kronik pada pasien koinfeksi merupakan suatu prioritas karena
progresivitasnya yang lebih cepat menuju gagal hati, toleransi yang jelek terhadap ARV dan
risiko besar mengalami hepatotoksisitas. Bersihan berkaitan dengan regresi fibrosis hati dan
penurunan risiko hepatotoksik ARV. Namun, anti HCV kurang efektif pada pasien-pasien
koinfeksi.
Konsensus penatalaksanaan HCV pada pasien-pasien koinfeksi telah diterbitkan,
namun terdapat kelemahan pada konsensus tersebut mengenai faktor kunci yang mungkin
menginformasikan inisiasi dan lamanya terapi, termasuk stadium penyakit HIV dan HCV dan
viral load , genotipe HCV, tingkatan fibrosis hati dan kesiapan pasien dalam mentoleransi dan
menjalani pengobatan.
16
19
Pada koinfeksi HIV-HCV, pasien dapat diberikan terapi antiviral untuk HCV bila CD4
> 350 sel/ml. Akan tetapi, bila CD4 < 350 sel/ml, maka pasien diberikan terapi ARV saja
terlebih dahulu sampai CD4 > 350 sel/ml. Setelah itu, baru diberikan antiviral bersama dengan
ARV. Pegylated IFN dan ribavirin dapat digunakan untuk kasus koinfeksi seperti ini selama 48
minggu dengan dosis sama dengan yang direkomendasikan untuk infeksi HCV saja.
Hal-hal ini sangat penting karena mempengaruhi keamanan,
tolerabilitas dan keberhasilan terapi. Penelitian terus dilakukan untuk mengidentifikasi
prediktor yang lebih baik terhadap respon terapi yang dapat menuntun proses evaluasi
preterapi, mengurangi biaya tambahan dan efek samping dari terapi yang tidak efektif.
Pegylated IFN dengan dosis 180 µg secara subkutan per minggu ditambah dengan
ribavirin dengan dosis 1000 mg untuk BB≤75 kg dan 1200 mg untuk BB > 75 kg merupakan
terapi HCV standar pada pasien-pasien monoinfeksi maupun koinfeksi. Walaupun konsensus
merekomendasikan 48 minggu pemberian terapi HCV pada pasien-pasien koinfeksi,
15
19 studi
terbaru yang meneliti respon terapi, dengan lamanya terapi berdasarkan respon virologis pada
pemberian terapi di minggu ke 4, 12 dan 24. Hasilnya mengejutkan, dimana 55% mencapai
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
19/24
SVR. Diantara pasien yang gagal dengan terapi awal, terapi kembali dengan pegylated IFN
ditambah ribavirin selama 12 bulan mencapai SVR pada sepertiganya.20
Gambar 9. Durasi optimal yang dianjurkan untuk terapi HCV pada pasien koinfeksi HIV-HCV 11
Prediktor terbaik keberhasilan terapi adalah respon kinetik virologis, termasuk Rapid
Viral Response (RVR), yaitu viral load HCV dibawah kadar terdeteksi 4 minggu setelah
pemberian terapi awal, Early Viral Response (EVR), yaitu tidak terdeteksinya viral load atau
turun 2 log dari nilai awal 12 minggu setelah pemberian terapi awal, dan Sustain Viral
Response (SVR), yaitu tidak terdeteksinya HCV selama 24 minggu terapi komplit. Jika HCV
RNA yang tidak terdeteksi pada minggu ke empat merupakan prediktor terbaik SVR pada
pasien-pasien koinfeksi, kadar awal HCV RNA serum merupakan prediktor independen SVR pada pasien HCV genotipe 1.13,15,16
Hasil dari beberapa penelitian mengenai dampak jumlah CD4 terhadap respon kinetik
virologis berbeda-beda. Pada satu studi besar mengenai pegylated IFN ditambah dengan
Ribavirin pada pasien-pasien koinfeksi yang mengikutsertakan beberapa pasien dengan jumlah
CD4
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
20/24
Tabel 2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan SVR pada terapi HCV pada pasien HIV 2
Efek samping terhadap terapi interferon, terutama penurunan jumlah CD4 dan efek
psikiatri dilaporkan lebih sering terjadi pada pasien-pasien koinfeksi daripada yang tanpa
koinfeksi. Suatu penelitian meta analisis pertama yang membandingkan efek samping
berdasarkan jenis kelamin pada pasien-pasien dengan koinfeksi menunjukkan bahwa wanita
lebih sering mengalami efek samping sehingga memerlukan penghentian terapi atau modifikasi
dosis, namun efek samping yang terjadi sama. Wanita dengan terapi NNRTI lebih sering
menghentikan terapi dan wanita dengan terapi Zidovudin lebih sering mengalami efek
samping, hal ini menunjukkan bahwa pada wanita, regimen antiviral merupakan prediktoryang penting dalam penghentian dan modifikasi terapi.
Tabel 3 menunjukkan jenis terapi dan efek samping dari HAART pada infeksi HCV,
sendiri atau kombinasi dengan pegylated IFN ditambah Ribavirin. Pemberian HAART dini
dapat melindungi pasien dari progresivitas fibrosis hati. HAART dapat secara signifikan
menurunkan aktivitas nekroinflamasi pada pasien-pasien koinfeksi dengan status imun yang
lemah, kemungkinan dengan menghambat replikasi HIV di hati atau menurunkan kadar
sitokon-sitokin proinflamasi.
2,15
15
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
21/24
Tabel 3. Efek samping dan efek terapeutik ARV pada HCV dengan atau tanpa koinfeksi HIV-HCV
16
Pasien-pasien koinfeksi dapat mengalami kenaikan enzim hati setelah pemberian
HAART. Peningkatan jumlah CD4 segera setelah pemberian HAART lebih tinggi pada pasien-
pasien koinfeksi yang mengalami peningkatan enzim hati dibandingkan pasien-pasienkoinfeksi atau monoinfeksi yang tidak mengalami peningkatan enzim hati, hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan enzim hati segera setelah pemberian HAART merupakan
sebuah bentuk dari IRIS karena respon terhadap antigen spesifik HCV. 15
KESIMPULAN
Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di
seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi
hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang
lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah
yang terkontaminasi atau produk darah. Pasien-pasien dengan koinfeksi HIV-Hepatitis
menunjukkan perjalanan penyakit hati yang meningkat, dengan progresivitas ke arah fibrosis
yang tinggi. Jumlah obat-obat anti HBV telah meningkat pada tahun-tahun terakhir ini dan
beberapa obat juga memiliki efek melawan HIV.
Diagnosis yang tepat dan monitoring hepatitis viral kronik, termasuk penggunaan alat
non invasif untuk menilai fibrosis hati dan pengukuran viral load, dapat digunakan dalam
mengobati hepatitis viral kronik pada infeksi HIV, mencegah perkembangan ke gagal hati,
dimana satu-satunya pilihan adalah tinggal transplantasi hati.
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
22/24
Pemberian terapi anti HBV pada pasien koinfeksi HIV yang tidak memerlukan terapi
ARV diberikan obat yang tidak memiliki efek melawan HIV dan pada pasien yang harus
diterapi keduanya diberikan golongan anti nukleotida sambil melihat jumlah CD4nya.
Pemberian terapi anti HCV pegylated IFN dan ribavirin pada pasien koinfeksi HIV diberikan
jika jumlah CD4 > 350 sel/ml. Jika 350 sel/ml.
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
23/24
DAFTAR PUSTAKA
1. Koziel MJ, Peters MG. Viral Hepatitis in HIV Infection. New England Journal of Medicine
2007 ; 356 :1445-1454
2. Soriano V, Vispo E, et al. Viral Hepatitis and HIV co-infection. Antiviral Research 2010 ;
85 : 303-315
3. Alter MJ. Epidemiology of viral hepatitis and HIV co-infection. Journal of Hepatology
2006 ; 44 : suppl : S6-S9
4. Gotz HM, Van Doornum G, et al. A cluster of acute hepatitis C virus infection among men
who have sex with men. AIDS 2005 ; 19 : 969-74
5.
Soriano V, Puoti M, et al. Care of HIV patients with chronic hepatitis B : Updated
recommendation from the HIV-HBV International Panel. AIDS 2008 ; 22 : 1399-1440
6. Budihusodo U. Patogenesis dan Diagnosis Hepatitis B Kronik. Dalam : Pendekatan
Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman
BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
7. Rehermann B, Nascimbeni M. Immunology of hepatitis B virus and hepatitis C virus
infection. Nature Review of Immunology 2005 ; 5 : 215
8. McGovern BH. The epidemiology, natural history and prevention of hepatitis B :
implications of HIV coinfection. Antiviral therapy 2007 ; 12 : suppl : H3
9. Nasronudin. Penatalaksanaan Koinfeksi Penderita HIV. Dalam : HIV dan AIDS
Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial, editor Barakbah J, Soewandojo E,
Suharto, Hadi U, Astuti WD, Airlangga10.
Hadler SC, Judson FN, et al. Outcome of hepatitis B virus infection in homosexual men
and its relation to prior human immunodeficiency virus infection. Journal Of Infection
Disease 1991 ; 163 : 454University Press 2007
11. Wasmuth JC, Rockstroh J. HIV and HBV/HCV Coinfections. In HIV Medicine 2007,
editors Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS, 15th edition, Flying Publisher 2007
12. Lok A, McMahon B. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepatology 2007 ;
41 : 275-279
13.
Waspodo AS. Penatalaksanaan terkini hepatitis B. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B
dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA,
Ed 1, Sagung Seto 2010
14. Thomas D, Astemborski J, et al. The natural history of hepatitis C virus infection : host,
viral and environmental factors. JAMA 2000 ; 284 : 450-456
15. Hasan I, Laho IM. Penatalaksanaan terkini hepatitis C. Dalam : Pendekatan Terkini
Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS,
Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010
16. Operskalski EA, Kovacs A. HIV/HCV co-infection : Pathogenesis, clinical complications,
treatment and new therapeutic technologies. Curr HIV/AIDS Rep 2011 ; 8 : 12-22
Universitas Sumatera Utara
-
8/19/2019 Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV Dr.melati
24/24
17. Singal, AK, Anad BS. Management of hepatitis c virus infection in HIV/HCV co-infected
patients : clinical review. World J Gastroenterol 2009 ; 15 : 3713-3724
18. Rotman Y, Liang TJ. Coinfection with hepatitis c virus and human immunodeficiency
virus : virological, immunological and clinical outcomes. Journal of Virology 2009 ; 83 :
7366-7419. Soriano V, Puoti M, et al. Care of patients coinfected with HIV and hepatitis C virus : 2007
updated recommendation from the HCV-HIV International panel. AIDS 2007 ; 21 : 1073-
89
20. Van den Eynde E, et al. Response-guided therapy for chronic hepatitis c virus infection in
patients coinfected with HIV. Clinical Infection Disease 2009 ; 48 : 1152-1159