TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C ...

29
1 TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU RSUP. Haji Adam Malik PENDAHULUAN Hepatitis C merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia dengan angka prevalensi dan komplikasi yang cukup tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien hepatitis C dengan tepat dan menyeluruh dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna. Meskipun begitu, banyak hambatan yang ditemukan sehubungan dengan tata laksana pasien hepatitis C, baik dari segi pasien sendiri seperti kepatuhan minum obat dan mahalnya biaya pengobatan, maupun dari segi tenaga kesehatan berupa masih tidak meratanya pengetahuan mengenai hepatitis C bagi para dokter, tenaga medis serta instansi terkait dalam penanganan kasus hepatitis C di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya insidens HIV maka koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan virus hepatitis C telah menjadi masalah yang semakin banyak dijumpai di dunia. Selama lebih dari satu dekade, pengobatan untuk hepatitis C adalah kombinasi peginterferon dan ribavirin (PegIFN/RBV), akan tetapi kombinasi ini dikaitkan dengan rendahnya respon imunologis menetap/Sustained Virologic Response (SVR) terutama pada koinfeksi HIV dan hepatitis C. 1 Kemajuan pesat obat anti virus hepatitis C menghasilkan suatu penemuan kelas baru dari anti virus, yaitu Direct Acting Antiviral (DAA), suatu agen anti virus yang bekerja secara langsung pada fase replikasi virus hepatitis C. 1 Saat ini, DAA telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Pedoman baru telah dikeluarkan oleh American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan Infections Diseases Society of America (IDSA) bahwa agen DAA dapat diberikan dengan atau tanpa RBV. 2,3 DAA memiliki tingkat SVR yang lebih tinggi, mempunyai efek samping yang lebih sedikit dan jangka waktu terapi yang lebih pendek dari obat anti virus sebelumnya. 1 Reading assignment kali ini akan mengulas mengenai penanganan kasus koinfeksi HIV dan hepatitis C terbaru, harapannya dengan strategi terapi dan pengobatan yang baik dan Universitas Sumatera Utara

Transcript of TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C ...

1

TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C

Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W

Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

RSUP. Haji Adam Malik

PENDAHULUAN

Hepatitis C merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia dengan angka

prevalensi dan komplikasi yang cukup tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien hepatitis C

dengan tepat dan menyeluruh dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna.

Meskipun begitu, banyak hambatan yang ditemukan sehubungan dengan tata laksana pasien

hepatitis C, baik dari segi pasien sendiri seperti kepatuhan minum obat dan mahalnya biaya

pengobatan, maupun dari segi tenaga kesehatan berupa masih tidak meratanya pengetahuan

mengenai hepatitis C bagi para dokter, tenaga medis serta instansi terkait dalam penanganan

kasus hepatitis C di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya insidens HIV maka koinfeksi Human Immunodeficiency

Virus (HIV) dengan virus hepatitis C telah menjadi masalah yang semakin banyak dijumpai di

dunia.

Selama lebih dari satu dekade, pengobatan untuk hepatitis C adalah kombinasi

peginterferon dan ribavirin (PegIFN/RBV), akan tetapi kombinasi ini dikaitkan dengan

rendahnya respon imunologis menetap/Sustained Virologic Response (SVR) terutama pada

koinfeksi HIV dan hepatitis C.1 Kemajuan pesat obat anti virus hepatitis C menghasilkan suatu

penemuan kelas baru dari anti virus, yaitu Direct Acting Antiviral (DAA), suatu agen anti virus

yang bekerja secara langsung pada fase replikasi virus hepatitis C.1 Saat ini, DAA telah disetujui

oleh Food and Drug Administration (FDA). Pedoman baru telah dikeluarkan oleh American

Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan Infections Diseases Society of America

(IDSA) bahwa agen DAA dapat diberikan dengan atau tanpa RBV.2,3 DAA memiliki tingkat

SVR yang lebih tinggi, mempunyai efek samping yang lebih sedikit dan jangka waktu terapi

yang lebih pendek dari obat anti virus sebelumnya.1

Reading assignment kali ini akan mengulas mengenai penanganan kasus koinfeksi HIV

dan hepatitis C terbaru, harapannya dengan strategi terapi dan pengobatan yang baik dan

Universitas Sumatera Utara

2

mengacu pada pedoman yang telah dibuat, dapat dicapai respon terapi yang optimal dengan efek

samping obat yang minimal.

.

PREVALENSI INFEKSI VIRUS HEPATITIS C PADA HIV DI INDONESIA

Adanya kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan infeksi virus hepatitis C

menyebabkan tingginya angka kejadian koinfeksi HIV dan hepatitis C. Beberapa studi di Eropa

dan Amerika Serikat menunjukkan prevalensi koinfeksi HIV dan Hepatitis C berkisar antara, 30-

50%.4

Berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2013, Indonesia merupakan salah satu negara

dengan peningkatan kejadian infeksi HIV tertinggi di Asia, dan diperkirakan peningkatan ini

akan terus terjadi hingga tahun 2020.5 Pada studi yang dilakukan oleh Yunihastu dkk pada klinik

Pokdisus AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusomo menunjukkan angka kejadian koinfeksi HIV

dan hepatitis C yang tinggi. Studi terhadap 3.613 pasien yang baru terdeteksi HIV pada tahun

2004 hingga 2009, ditemukan HCV positif pada 67,9% pasien.6,11 Sementara data yang ada pada

RSUP Haji Adam malik mulai dari Januari 2015 hingga September 2016, terdapat 360 pasien

yang terinfeksi HIV baru, dan sekitar 4% atau sebanyak 14 pasien yang mengalami koinfeksi

HIV dan hepatitis C.

PATOGENESIS PENYAKIT HATI

Pada pasien hepatitis C kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat

mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis C.13 Suatu meta analisis dari 29 studi yang

melibatkan 16.750 pasien menunjukkan bahwa pasien koinfeksi memiliki risiko tiga kali lebih

tinggi terjadinya sirosis, penyakit hati dekompensata, kanker hati atau kematian.6

Respon Imun Seluler

Progresi menjadi fibrosis hati berhubungan dengan lemahnya respon imun seluler

terhadap antigen hepatitis C pada pasien HIV. Infeksi HIV ditandai dengan penurunan jumlah sel

CD4 didalam sirkulasi, gangguan fungsi dari sel CD4 dan CD8 serta down regulation dari

Universitas Sumatera Utara

3

ekspresi CD28, sebuah molekul yang dibutuhkan untuk aktifasi dari limfosit. Pasien dengan

kadar CD4 yang rendah akan mengakibatkan penurunan respon dari sel CD8 terhadap virus

hepatitis C. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara supresi imun dengan

progresi penyakit hati, karena respon dari sel CD8 diketahui penting dalam respon imun terhadap

infeksi virus.4,12

HIV Terkait dengan Aktivasi Imun

Hipotesis lain menduga bahwa aktivasi imun kronik yang disebabkan secara sekunder

oleh infeksi HIV, dapat mempengaruhi progresi penyakit hati, melalui peningkatan sitokin

proinflamasi di dalam sirkulasi.4,12

Aktivasi imun kronik dimediasi oleh translokasi dari produk mikroba karena adanya

kerusakan integritas mukosa usus. Rusaknya barier mukosa usus muncul bersamaan dengan

menurunnya jumlah CD4 pada jaringan limfoid usus, pada awal terjadinya infeksi HIV. Pada

satu studi pada pasien koinfeksi HIV dan hepatitis C, ditemukan bahwa penurunan limfosit CD4

berhubungan dengan penanda translokasi mikroba (LPS), dan penanda ini juga berhubungan

dengan perkembangan suatu sirosis.4,12

Aktivasi Sel Stelata Hati

Aktivasi sel stelata hati memediasi formasi kolagen menjadi fibrosis hati pada infeksi

virus hepatitis C. Satu studi menemukan bahwa aktivasi sel stelata hati berhubungan dengan

aktivasi imun sel CD4 dan CD8 serta peningkatan ekspresi gen interleukin 15 (IL-15).4,12

HIV dan Apoptosis

Tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) memediasi terjadinya

apoptosis pada hepatosit normal pada infeksi virus hepatitis C. Satu studi invitro menduga bahwa

glycoprotein HIV (gp120) dapat membuat hepatosit menjadi sel mati melalui upregulation dari

TRAIL.4,12

Virus Hepatitis C terkait Sitokin Proinflamasi

Universitas Sumatera Utara

4

Infeksi hepatitis C itu sendiri dapat menginduksi regulasi imun dan jalur proinflamasi,

sehingga berkontribusi terhadap progresi fibrosis hati. Sitokin proinflamasi ini dapat

memberikan efek yang merugikan terhadap penyakit HIV.4,12

PENILAIAN KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C (HCV)

Diagnosis Koinfeksi HIV/HCV

Semua pasien HIV harus dilakukan skrining untuk koinfeksi HCV dengan tes serologi,

Begitu juga dengan pasien HCV, harus dievaluasi untuk koinfeksi HIV.1,6,7 Pada individu dengan

immune compromised, maka antibodi HCV dapat negatif palsu, dan perlu dipertimbangkan untuk

pemeriksaan HCV RNA.7,8

Dengan terdeteksinya antibodi HCV, tidak memastikan adanya infeksi yang aktif, sekitar

10-25% individu koinfeksi dan monoinfeksi akan secara spontan membersihkan virus.

Pemeriksaan HCV RNA harus dilakukan sesudah ditemukannya positif HCV pada pemeriksaan

skrining, untuk menyingkirkan adanya spontaneous clearance.7

Individu dengan positif HCV RNA harus melakukan pemeriksaan genotipe, supaya dapat

menentukan terapi selanjutnya.1,6,7

Individu dengan data dasar HCV RNA negatif, harus dipertimbangkan untuk

pemeriksaan ulang, untuk memastikan ada tidaknya infeksi kronik, paling tidak satu kali,

terutama jika terjadi peningkatan ALT.7

Semua individu harus melakukan skrining kekebalan hepatitis A (hepatitis A IgG) dan

hepatitis B (HBsAg, AntiHBs dan anti HBc) dan harus dilakukan vaksinasi jika nonimmune.1,6,7

Jika infeksi kronis hepatitis B, maka harus dinilai untuk dilakukan terapi.7

Rekomendasi

1. Semua pasien dengan HIV positif, harus melakukan skrining antibodi HCV. Skrining

harus dilakukan secara berulang, paling tidak setahun sekali, terutama untuk individu

yang mempunyai risiko tinggi, namun antibodi HCV negatif. (1,C)1,6,7

Universitas Sumatera Utara

5

2. Pasien homoseksual dengan HIV positif , harus melakukan skrining antibodi HCV setiap

tahun serta pemeriksaan enzim hati setiap 6 bulan, jika aktif secara seksual dan

pengulangan pemeriksaan antibodi HCV harus dilakukan setiap terdapat peningkatan

enzim hati yang tidak diketahui penyebabnya. (2a,C)7

3. Pasien dengan antibodi HCV positif, harus melakukan pemeriksaan HCV RNA PCR.

(1,C)1,6,7,8

4. Pasien dengan HCV RNA positif, harus melakukan pemeriksaan genotipe HCV. (1,C)1,6,7

5. Pasien dengan HCV RNA negatif, maka harus melakukan pemeriksaan ulangan, paling

tidak satu kali, untuk memastikan adanya spontaneous clearance, jika terdapat

peningkatan enzim hati. (1,C)7

6. Semua pasien harus melakukan skrining untuk hepatitis A dan B dan harus di tawarkan

pemberian vaksinasi jika nonimmune. (IC)1,6,7

Penilaian Klinis dan Laboratorium Terhadap Penyakit Hati

Dibutuhkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menentukan penyakit hati.

Pemeriksaan termasuk penilaian adanya splenomegali, asites, ginekomastia, spider nevi, serta

manifestasi lain dari end stage liver disease.7

Pemeriksaan darah rutin lengkap, enzim liver termasuk alanine aminotransferase (ALT)

dan aspartate aminotransferase (AST), dan penanda dari fungsi sintesis (INR, albumin dan

bilirubin) harus dilakukan sebagai data dasar, kemudian akan dilakukan pemeriksaan ulangan

secara rutin (setiap 6 bulan sekali), pada individu yang mendapat antiretroviral therapy (ART).7

Trombositopenia dapat sebagai penanda dari hipersplenisme dan advanced liver disease.

Adanya gangguan pada fungsi sintesis menandakan adanya penyakit tahap lanjut.7

Rekomendasi

7. Pasien harus dievaluasi untuk kondisi lain yang mengakibatkan penyakit kronis hati.

(1,C)7

Peran Biopsi Hati

Meskipun telah diketahui bahwa peningkatan enzim hati merefleksikan aktifitas penyakit,

namun telah dibuktikan bahwa individual yang terinfeksi HCV dapat berkembang jadi fibrosis

dan juga sirosis tanpa peningkatan signifikan enzim hati. Pada studi retrospektif pasien koinfeksi

Universitas Sumatera Utara

6

yang dilakukan biopsi hati, maka sekitar 25% individu dengan persisten nilai normal ALT,

ditemukan paling tidak sudah dalam keadaan fibrosis F2. Olehkarenanya, menggunakan kriteria

ALT saja tidak dapat digunakan untuk memulai terapi pada pasien koinfeksi.7

Biopsi hati merupakan gold standard untuk menilai progresi penyakit pada pasien HCV.

Biopsi hati dapat menilai derajat aktifitas inflamasi dan fibrosis, serta dapat menentukan

penyebab dari kerusakan hati. Dengan adanya penilaian fibrosis secara non invasif, maka biopsi

hati dapat dijadikan cadangan apabila terdapat ketidakpastian dalam menentukan derajat

fibrosis.7

Menggunakan Pemeriksaan Non Invasif untuk Menentukan Derajat Fibrosis : Transient

Elastography dan Penanda Laboratorium

Transient Elastography (TE, Fibroscan) adalah tehnik non invasif, dalam menilai kekakuan

hati (dengan menggunakan perhitungan kilopascal atau kPa), yang dapat digunakan sebagai

penanda fibrosis hati. Sensitifitas dan spesifisitasnya dalam menentukan fibrosis 71,9% dan

82,4% serta 84,4% dan 94,6% untuk sirosis. TE telah dapat digunakan untuk pasien koinfeksi.

Namun mempunyai keterbatasan dengan bentuk tubuh (obesitas dapat mengganggu kemampuan

probe dalam menilai hati secara akurat) dan tingkat kesalahan menjadi meningkat ketika terjadi

inflamasi hati.7

Penggunaan penanda laboratorium dapat berguna dalam penilaian fibrosis pada pasien

koinfeksi. Penggunaan indeks AST dengan trombosit (APRI) dapat digunakan pada pasien

koinfeksi. Skor APRI >15, 100% spesifik dan 52% sensitif untuk menentukan fibrosis.7

Rumus lain dalam menilai fibrosis, termasuk Skor Fib-4 dan Fibro Test. Namun, metode

ini kurang sensitif untuk menentukan fibrosis jika dibandingkan dengan TE.7

Pasien Sirosis

Pasien dengan sirosis harus dimonitor kemungkinan adanya HCC. Diperlukan pemeriksaan

skrining dengan USG setiap 6 bulan sekali dengan atau tanpa pemeriksaan serum alpha

fetoprotein (AFP). Merujuk kepada ahli gastroenterologi diperlukan untuk dilakukan endoskopi,

Universitas Sumatera Utara

7

guna skrining dan/atau monitor varises esofagus. Monitor akan adanya HCC juga dianjurkan

pada pasien sirosis yang telah mengalami sustained virological response (SVR) dengan terapi

HCV.7

Rekomendasi

8. Kriteria ALT saja tidak dapat digunakan dalam menentukan terapi pada pasien koinfeksi.

(2a,C)7

9. USG abdomen dengan doppler harus dipertimbangkan penggunaannya pada semua pasien.

(2a,B)7

10. Dianjurkan evaluasi fibrosis hati (Fibroscan, FibroTest dan APRI) untuk menentukan

derajat fibrosis hati. (2a,B)7

11. Evaluasi fibrosis hati dengan biopsi hati dapat dipertimbangkan jika metode non invasif

dalam menentukan fibrosis tidak tersedia, atau jika dipikirkan diagnose lain. (2a,C)7

12. Pasien dengan sirosis harus melakukan skrining setiap 6 bulan untuk HCC dengan

menggunakan USG (1,B)7

13. Pasien dengan sirosis harus melakukan gastroskopi untuk skrining varises esofagus.

(1,B)7

Persiapan untuk Terapi HCV

Selain penilaian laboratorium dalam menentukan status HCV, dibutuhkan penilaian

kesehatan mental pasien serta lingkungan dan pola makan pasien. Adanya riwayat gangguan

kesehatan mental pada pasien, dapat dieksaserbasi dengan terapi interferon, sehingga dibutuhkan

regimen tanpa interferon.7

Individu yang dipertimbangkan pemberian terapi HCV, harus dinilai apakah ada

kontraindikasi. Kontraindikasi tersebut, termasuk :

a. Kehamilan (merupakan kontraindikasi absolut, karena adanya efek teratogenik dari

pegylated interferon/ribavirin serta data yang masih kurang dengan regimen DAA).7

b. Penyakit hati dekompensasi

Individu > 50 tahun dengan riwayat hipertensi, hipertensi atau retinopati, harus melakukan

pemeriksaan mata sebelumnya jika dipertimbangkan mendapat regimen interferon, karena

berhubungan dengan eksaserbasi/onset baru dari retinopati.7

Universitas Sumatera Utara

8

Individu yang sebelumnya telah berhasil menjalani terapi HCV, harus dilakukan evaluasi

ulang HCV RNA jika terjadi peningkatan ALT, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi

berulang.7

Rekomendasi

14. Semua pasien koinfeksi harus dilakukan evaluasi sebelum mendapat terapi HCV (1,A)1,7

15. Evaluasi mengenai penggunaan zat adiktif, status kesehatan mental serta pola makan

pasien merupakan hal yang penting ketika mempersiapkan terapi HCV (1,B)7

16. Perawatan multidisiplin dianjurkan untuk mengoptimalkan pasien dalam menjalani terapi

HCV (1,B)7

17. Jika interferon akan digunakan, maka nilai secara detail mengenai hal-hal yang menjadi

kontraindikasi dalam pemberian interferon. (I,C)7

TATALAKSANA PASIEN KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C

Kunci dalam tata laksana pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV adalah menentukan inisiasi

terapi. Gangguan fungsi hati menjadi salah satu penyebab penting peningkatan morbiditas dan

mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV, khususnya setelah munculnya ARV

sebagai terapi anti HIV.6

Standar pengobatan untuk hepatitis C kronik pada tahun 2014 adalah pemberian pegylated

interferon dan ribavirin. Walaupun tatalaksana pengobatan hepatitis C saat ini sudah mulai

meninggalkan penggunaan interferon, namun pengobatan ini merupakan satu satunya pilihan

untuk anak dan remaja, dan masih sebagai pilihan alternatif regimen pada beberapa genotipe.14

Kombinasi ini meningkatkan kesintasan selama 8 tahun dan respon yang lebih baik secara

signifikan dibandingkan terapi interferon standar. Meskipun demikian, pencapaian SVR pada

pasien dengan koinfeksi hepatitis C dan HIV menurun sebesar 10-20% dibandingkan pasien

monoinfeksi virus hepatitis C. Durasi pemberian terapi untuk virus hepatitis C pada koinfeksi

virus hepatitis C dan HIV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotipe yang menginfeksi.

Adanya regimen obat baru untuk terapi hepatitis C, yaitu direct acting antiviral (DAA)

meningkatkan keberhasilan presentase terapi. Akan tetapi harus dipertimbangkan interaksinya

dengan obat ARV yang digunakan.6

Universitas Sumatera Utara

9

Sebanyak lebih dari 20 obat antiretrovirus yang terbagi dalam 6 kelas dapat menjadi

pilihan kombinasi. Enam kelas tersebut adalah nucleoside/nucleotide reverse transcriptase

inhibitors (NRTIs), non nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), protease

inhibitors (PIs), fusion inhibitors (FIs), CCR5 antagonists, dan integrase strand transfer

inhibitors (INSTIs). Secara umum, kombinasi pengobatan terdiri atas 2 NNRTI dan 1 NNRTI/

PI.6

Isu utama dalam pengobatan pasien koinfeksi HIV-HCV adalah interaksi obat yang

diperkirakan dapat mengurangi efikasi pengobatan untuk salah satu pihak dan efek samping yang

dapat ditimbulkan melalui interaksi obat. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan

pemberian obat antivirus untuk virus hepatitis C tidak mengurangi efikasi dari ARV, hal ini

dibuktikan dengan jumlah titer virus yang menurun. Pemberian pegylated interferon dan

ribavirin pada beberapa studi bahkan terbukti membantu menurunkan jumlah virus RNA HIV

sebesar 1 log.6

Efek samping yang perlu diperhatikan pada terapi koinfeksi HIV-HCV adalah pemberian

ribavirin meningkatkan fosforilasi didanosin, sehingga konsentrasi obat meningkat. Sebanyak

16% pasien dilaporkan mengalami toksisitas mitokondria dalam bentuk asidosis laktat atau

pankreatitis pada studi RIBAVIC. Selain itu, dekompensasi hati juga dilaporkan terjadi pada

studi APRICOT. Karena interaksi diatas, pada saat memulai terapi untuk HCV, diperlukan

penggantian terapi didanosin menjadi obat antivirus lainnya. Selain itu, ribavirin bersama dengan

zidovudin dapat menyebabkan eksaserbasi anemia yang dipicu oleh ribavirin, sehingga

penggunaan keduanya secara bersamaan harus dihindari. Pengawasan ketat wajib dilakukan pada

pasien sirosis. Adanya sirosis dekompensata menjadi tanda untuk menghentikan terapi HCV.

Pasien dengan sirosis hati dekompensata (child pugh score B atau C) tidak menjadi indikasi

terapi pegylated interferon (PegIFN) dan ribavirin (RBV), dan transplantasi hati dapat

dipikirkan. Selain tanda sirosis, pengukuran laktat berkala juga perlu dilakukan terkait efek

samping.6

Terapi HIV dimulai ketika hitung jumlah CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3.

Namun beberapa studi terbaru menyebutkan penggunaan ARV dapat dimulai tanpa melihat hasil

CD4 pada pasien dengan koinfeksi HIV dan HCV,1,6,7 dengan adanya studi yang menyatakan

penggunaan ARV pada jumlah CD4 diatas 500 sel/mm3 menunjukkan aktivitas nekroinflamasi

Universitas Sumatera Utara

10

yang lebih perlahan pada jaringan hati. Hal lain yang mempengaruhi waktu memulai terapi

adalah adanya penelitian lain menunjukkan efikasi terapi HCV yang berkurang pada pasien

dengan CD4 kurang dari 500 sel/mm3.6 Pada kondisi dimana terapi HIV dan HCV dimulai

bersama-sama, dianjurkan penggunaan ARV terlebih dahulu, menggunakan regimen yang tidak

menyebabkan terjadinya hepatotoksik. Terapi HCV dimulai setelah 1-2 bulan setelah dimulainya

terapi ARV.6

Inisiasi Terapi

Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi terapi pada

pasien koinfeksi HIV-HCV didasarkan pada hitung jumlah CD4. Terapi antar genotipe HCV

dimulai dengan syarat yang berbeda pada koinfeksi HIV-HCV.6

V.1.a Kondisi yang Tidak Membutuhkan Terapi untuk hepatitis C

Pasien yang tidak membutuhkan terapi untuk hepatitis C adalah pasien dengan

karakteristik sebagai berikut : antibodi HCV positif tetapi tidak ada tanda replikasi RNA HCV.

Pasien yang tidak membutuhkan terapi tetap memerlukan monitoring yang ketat setiap 6 bulan,

(pemeriksaan klinis dan fungsi hati) dan setiap 3 tahun untuk melihat histologi lesi hati.6

V.1.b Kondisi yang Membutuhkan Terapi Hepatitis C

Terapi dapat dimulai lebih awal pada pasien koinfeksi apabila didapati kondisi dimana

progresivitas penyakit hati berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi

hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi

ARV. Terapi dapat dimulai tanpa melihat jumlah virus hepatitis C pada genotipe 2 dan 3.

Sementara terapi untuk genotipe 1 dapat dimulai pada kondisi jumlah virus ≤ 8x105 IU/ml tanpa

melihat hasil pemeriksaan histologi atau > 8x105 IU/ml dan dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai

klasifikasi metavir. Pada genotipe 4, tatalaksana dilakukan pada jumlah virus > 8x105 IU/ml dan

dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai klasifikasi metavir. Pasien dengan genotipe 2 atau 3, jumlah

virus < 8x105 IU/ml, tidak ditemui sirosis, umur < 40 tahun, nilai ALT lebih dari 3 kali batas atas

normal memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk mencapai Sustained Virological Response

(SVR).6

Universitas Sumatera Utara

11

Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi

kronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik,

HCV RNA tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini adalah

pegylated interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk pegylated

interferon α2a adalah 180 µg satu kali seminggu atau 1,5 µg/kgbb perminggu untuk pegylated

interferon α2b. Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan

HIV berbeda-beda, tergantung kepada jenis genotipe. Untuk genotipe 1 dan 4 dosis yang

dianjurkan adalah 1000-1200 mg/hari, sementara untuk genotipe 2 dan 3, dosis ribavirin yang

digunakan adalah 800 mg. durasi terapi untuk semua genotipe adalah 48 minggu. Akan tetapi,

terapi dihentikan, apabila pada minggu ke 12, hasil pemeriksaan HCV RNA kuantitatif,

menunjukkan penurunan kurang dari 2 log.6

V.1.c Kondisi yang Membutuhkan Terapi HIV

Progresi menjadi fibrosis hati menjadi lebih cepat pada koinfeksi HIV-HCV, terutama

pada individu dengan jumlah CD4 rendah (≤350 sel/mm3). Data dari studi kohort retrospektif

tidak konsisten mengenai pengaruh terapi anti retroviral (ART) terhadap perjalanan alamiah

HCV. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa ART dapat memperlambat perkembangan

penyakit hati dengan menjaga atau memulihkan fungsi kekebalan tubuh dan dengan mengurangi

inflamasi.6 Oleh karena itu, ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa

melihat jumlah CD4.1,6,7 Namun pada pasien HIV yang naive, dengan jumlah CD4 >500

sel/mm3, beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai, untuk

menghindari interaksi obat.1 Bila dibandingkan dengan pasien dengan jumlah CD4 >350

sel/mm3, maka pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 mempunyai tingkat respon terapi yang

lebih rendah dan memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi disebabkan karena PegIFN/RBV.6

Data yang ada masih sedikit mengenai respon terhadap terapi kombinasi dengan agen DAA pada

pasien yang mengalami kondisi imunosupresi tahap lanjut. Untuk pasien dengan jumlah CD4

lebih rendah (<200 sel/mm3), ART harus segera diberikan dan terapi HCV dapat ditunda sampai

pasien stabil.1,6

Rekomendasi

18. Regimen ART harus dimulai sesuai dengan pedoman yang ada saat ini, karena efektif dan

dapat ditoleransi dengan baik pada pasien koinfeksi. (1,A)7

Universitas Sumatera Utara

12

19. Dimulainya ART dapat melambatkan progresi dari penyakit hati pada pasien koinfeksi.

ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa memandang jumlah

CD4. (1,A)1

20. Pada pasien naïve, CD4 diatas 500 sel/mm3, beberapa klinisi memilih untuk menunda

ART sampai terapi HCV selesai, untuk menghindari interaksi obat. (3,C)1

21. Pada pasien dengan CD4 dibawah 200 sel/mm3, ART harus dimulai terlebih dahulu

(1,A)1 dan terapi HCV dapat ditunda sampai pasien stabil. (3,C)

22. Regimen terapi hepatitis C pada pasien dengan HIV-HCV meliputi pegylated interferon

α2a atau α2b dan ribavirin selama 12 bulan.6

23. Terapi umum tatalaksana HIV AIDS adalah 2 NRTI dengan 1 NNRTI/PI, kombinasi

ARV yang disarankan adalah tenofovir dan emmtricitabin atau lamivudine ditambah

dengan efavirens.6

V.I.d Pengobatan Koinfeksi HIV-HCV dengan DAA

Ditahun 2011, telepravir dan bocepravir telah disetujui penggunaanya untuk HCV genotipe

1, dan ini merupakan generasi pertama dari DAA. Keduanya harus diberikan bersamaan dengan

pegylated interferon dan ribavirin. Terapi triple ini memang mencapai nilai SVR yang lebih baik

daripada dual terapi (75% dengan 65%), namun mengingat efek samping dan biaya yang besar

maka dicari pilihan lain yang lebih terjangkau dan toleransi yang lebih baik.15

Kemudian pada tahun 2014 terdapat DAA baru yang disetujui penggunaannya di uni eropa

sebagai bagian dari terapi untuk infeksi HCV, salah satu diantaranya adalah sofobusvir,

simeprevir, daclatasvir.15 Di Indonesia sendiri saat ini baru tersedia sofobusfir dan daclatasvir.

Rekomendasi

24. Genotipe 1 (naïve individuals)

Pilihan pertama : Sofobusfir 400 mg bersama dengan ledipasvir 90 mg, setiap hari untuk

12 minggu (I,B), atau ombitasvir/paritaprevir/ritonavir dengan dasabuvir dan ribavirin

selama 12 minggu; atau grazaprevir-elbasvir selama 12 minggu (1,C)2,3,7,8

25. Genotipe 1 (experienced patients)

Pilihan pertama : Sofobusfir 400 mg setiap hari bersama dengan ledipasvir 90 mg sekali

sehari selama 12 minggu (I,B).7,8 Pasien sirosis harus diterapi selama 24 minggu,

berdasarkan data monoinfeksi HCV (I,C)7,8 atau ombitasvir/paritaprevir/ritonavir

Universitas Sumatera Utara

13

ditambah dengan dasabuvir dan ribavirin selama 12 minggu (1,B)7 (regimen ini dapat

digunakan pada pasien yang gagal dengan dual terapi PEG-IFN/RBV (PR), tapi tidak

direkomendasikan untuk pasien yang gagal terapi dengan NS3 protease inhibitor).

26. Regimen yang tidak direkomendasikan lagi untuk pilihan pertama

(1) Terapi tripel dengan PEG-IFN/RBV (PR) ditambah dengan DAA untuk genotipe 1

HCV tidak lagi direkomendasikan.7

(2) Sofobusvir dengan simeprevir untuk genotipe 1 (karena harga dan data minimal pada

pasien koinfeksi).7

27. Genotipe 2 (naïve patients)

Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg sehari sekali dengan ribavirin selama 12 minggu,

dengan pertimbangan 16 minggu pada pasien sirosis. (1,B)7,8

Pilihan kedua : Sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari selama 12 minggu

(1,B)7

28. Genotipe 2 (experienced patients)

Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dengan ribavirin selama 12 minggu atau 16

minggu pada sirosis (1,B)7,8

Pilihan kedua : sofosbuvir 400mg/hari dengan ribavirin dan pegylated interferon 180 µg

setiap minggu selama 12 minggu (1,B)7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60

mg/hari selama 12 minggu (1,B)7,8

29. Genotipe 3 (naïve patient)

Pilihan pertama : sofosbufir 400 mg/hari dengan ribavirin dan pegylated interferon 180

µg setiap minggu selama 12 minggu (I,B)7,8 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan ribavirin

selama 24 minggu (non sirosis) (I,B)7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60

mg/hari selama 12 minggu (non sirosis);7,8 sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60

mg/hari dengan ribavirin selama 12 minggu (sirosis) (I,B)7,8

30. Genotipe 3 (experienced patient)

Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dengan pegylated interferon alpha 2a 180 µg

setiap minggu dan ribavirin selama 12 minggu (I,C)7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan

ribavirin selama 24 minggu (I,B)7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari

selama 12 minggu (non sirosis);7 sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari

dengan ribavirin selama 12 minggu (sirosis). (I,B)7

Universitas Sumatera Utara

14

31. Genotipe 4 (naïve dan experienced)

Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dan ledipasvir 90 mg/hari selama 12 minggu

(I,B)7,8 atau paritaprevir 150 mg/hari, ritonavir 100 mg/hari, ombitasvir 25 mg/hari dan

ribavirin selama 12 minggu (I,C)7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan pegylated

interferon dan ribavirin selama 12 minggu (berdasarkan studi monoinfeksi HCV) (I,C)7,8

atau sofosbuvir 400 mg/hari dan ribavirin selama 24 minggu.7,8

Data yang ada masih belum cukup pada pasien koinfeksi HIV-HCV dengan genotipe 4-6, untuk

menjelaskan mengenai efikasi dari sofosbuvir-simeprevir atau sofosbuvir-daclatasvir, dan juga

untuk genotipe 5-6 mengenai efikasi sofosbuvir dengan pegylated interferon dan ribavirin.7

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Paien Koinfeksi HIV/HCV Tanpa Sirosis, Untuk Pasien Naïve8

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Pasien Koinfeksi HIV/HCV Dengan Sirosis Kompensata (Child

Pugh A) untuk Pasien Naïve.8

Universitas Sumatera Utara

15

V.1.e Pengobatan Koinfeksi HIV-HCV Secara Bersamaan

Pengobatan koinfeksi HIV-HCV secara bersamaan adalah mungkin, akan tetapi akan

dipersulit dengan adanya beban meminum tablet yang banyak, interaksi obat dan toksisitas. Pada

keadaan ini, maka tahap dari penyakit hepatitis C harus dipastikan, agar dapat menentukan

pengobatan HCV serta membuat keputusan kapan dimulai pengobatan. Jika keputusannya adalah

memberikan pengobatan HCV, maka regimen ART harus dimodifikasi sebelum pengobatan

HCV dimulai, untuk mengurangi potensi interaksi obat dan/atau toksisitas yang mungkin timbul

pada saat pengobatan HIV dan HCV dilakukan secara bersamaan (tabel 1). Pada pasien dengan

kadar plasma HIV RNA tersupresi maka dengan pemberian modifikasi ART, HIV RNA harus

dinilai dalam waktu 4 sampai 8 minggu sesudah merubah terapi HIV untuk mengkonfirmasi

efektivitas dari regimen baru. Sesudah pengobatan HCV selesai, maka modifikasi regimen ART

harus dilanjutkan sampai paling tidak 2 minggu sebelum memulai kembali regimen yang

lama/original. Melanjutkan regimen modifikasi dibutuhkan, karena waktu paruh yang lama dari

Universitas Sumatera Utara

16

beberapa obat HCV dan adanya potensi interaksi obat jika regimen lama dimulai kembali segera

setelah pengobatan HCV selesai.1

Tabel 3. Pilihan Penggunaan Obat HIV dan DAA Secara Bersamaan Pada Koinfeksi HIV-HCV1

Universitas Sumatera Utara

17

Universitas Sumatera Utara

18

Keterangan :

: ARV dapat diberikan secara bersamaan

: ARV tidak dapat diberikan secara bersamaan

? : data masih terbatas

Universitas Sumatera Utara

19

VI. MONITORING TERAPI

Monitoring terapi koinfeksi HIV-HCV diperlukan untuk menilai keberhasilan terapi, efek

samping dan interaksi obat yang dapat terjadi.6

VI.1 Respon Virologis

Pemeriksaan untuk menilai respon virologis dilakukan menggunakan pemeriksaan HCV

RNA kuantitatif pada awal terapi dan minggu ke 12 terapi. Pemeriksaan pada minggu ke 24 dan

48 setelah memulai terapi dan 24 minggu setelah terapi selesai dilakukan menggunakan

pemeriksaan HCV RNA kualitatif.6 Beberapa istilah yang perlu dipahami dalam penilaian

respons virologis antara lain :

a. Rapid Virological Response (RVR)

Respons virologis cepat (RVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada minggu

ke 4 setelah awal terapi. RVR bernilai positif apabila HCV RNA tidak terdeteksi. RVR

juga digunakan untuk memprediksi respons terapi.6

b. Early Virological Response (EVR)

Respons virologis awal (EVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke

24 setelah awal terapi. EVR bernilai positif apabila terjadi penurunan jumlah virus lebih

dari 2 log dibandingkan hasil pemeriksaan HCV RNA awal sebelum terapi. EVR bernilai

negatif apabila penurunan kurang dari 2 log.6

c. End of Treatment Response (ETR)

Respons akhir terapi (ETR) merupakan hasil HCV RNA pada akhir terapi. ETR bernilai

positif apabila tidak ditemukan HCV RNA pada pemeriksaan.6

d. Sustained Virological Response (SVR)

Respons virologis menetap (SVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada 24

minggu setelah akhir terapi. SVR bernilai positif apabila tidak ditemukan HCV RNA

pada pemeriksaan.6

Pemeriksaan HCV RNA pada koinfeksi HIV-HCV dilakukan dengan jadwal sebagai

berikut :6

a. Awal terapi

b. Minggu ke 4 terapi

Universitas Sumatera Utara

20

c. Minggu ke 12 terapi

Pada pasien dengan penurunan jumlah virus lebih dari 2 log, tatalaksana HCV

dilanjutkan hingga minggu ke 48. Akan tetapi, pada penurunan kurang dari 2 log pada

minggu ke 12, tata laksana dianjurkan untuk dihentikan, karena risiko kegagalan

terapi cukup tinggi, dengan angka non SVR mencapai 99-100%.

d. Minggu ke 24 terapi

Pasien dengan HCV RNA yang tetap ada hingga minggu ke 24 dianjurkan untuk

menghentikan pengobatan, karena tingginya angka non SVR mencapai 100%.

e. Minggu ke 48 terapi

f. Minggu ke 24 setelah selesai terapi

Pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke 24 setelah terapi menentukan kemungkinan

terjadinya rekurensi. Pasien dengan HCV RNA negatif pada pemeriksaan HCV RNA

di minggu ke 24 setelah terapi (SVR positif) memiliki tingkat rekurensi yang sangat

rendah.

VII. TATALAKSANA TERAPI JIKA TERAPI DENGAN DAA GAGAL

VII.1 Gagal dengan Protease Inhibitor ditambah dengan Peginterferon dan Ribavirin

Studi mengenai triple terapi, yaitu dengan peginterferon, ribavirin dan NS3 protease

inhibitor menunjukkan bahwa lebih dari 80% kegagalan berhubungan dengan mutasi yang

mengakibatkan resistensi terhadap NS3.7

Pemberian terapi dengan sofosbuvir/ledipasvir selama 12 minggu, pada pasien yang

sebelumnya gagal dengan regimen peginterfeon, ribavirin dan NS3 PI, mengalami SVR

sebanyak 98%.7

VII.2 Gagal dengan Sofosbuvir dan Ribavirin

Dua puluh pasien dengan genotipe 1 HCV monoinfeksi, yang gagal mendapat terapi

dengan sofosbuvir dan ribavirin, diberi terapi sofosbuvir/ledispavir ditambah ribavirin selama 12

minggu, semuanya mencapai SVR.7

Universitas Sumatera Utara

21

VII.3 Gagal dengan Peginterferon ditambah Ribavirin dan Sovosbuvir

Dua puluh lima pasien dengan genotipe 1 HCV monoinfeksi, yang gagal mendapat terapi

dengan peginterferon ditambah ribavirin dan sovosbuvir, diberi terapi sofosbuvir/ledispavir

ditambah ribavirin selama 12 minggu, semuanya mencapai SVR.7

VII.4 Gagal dengan Sofosbuvir/Ledipasvir

Kegagalan virologi sangat jarang terjadi pada pasien genotipe 1 HCV yang diterapi

dengan sofosbuvir/ledipasvir. Angka kejadian hanya 2,4%. Data terbatas mengenai pengulangan

terapi pada pasien yang gagal terhadap sofosbuvir/ledipasvir. Satu pasien yang diterapi ulang

dengan sofosbuvir/ledipasvir ditambah ribavirin selama 24 minggu, mencapai SVR.7

VII.5 Gagal dengan Sofosbuvir dan Simeprevir

Tidak terdapat data mengenai pengulangan terapi pada pasien yang gagal dengan

sofosbuvir dan simeprevir. Meskipun begitu, data mengindikasikan bahwa pasien yang gagal

dengan regimen ini, mungkin dengan pemberian terapi sofosbuvir/ledipasvir dapat efektif.7

VII.6 Gagal dengan Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir

dengan atau tanpa Ribavirin

Tidak terdapat data mengenai pengulangan terapi pada pasien yang gagal dengan

Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir dengan atau tanpa Ribavirin,

karena sangat jarang ada yang gagal. Jika pasien yang gagal dengan

Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir dengan atau tanpa Ribavirin harus

dilakukan terapi, tanpa ada data pendukung, maka disarankan memberikan triple terapi, yaitu

dengan sofosbuvir ditambah dengan peginterferon dan ribavirin selama 12 minggu.7

Universitas Sumatera Utara

22

Tabel 4. Rekomendasi Terapi Pasien Koinfeksi HIV/HCV yang Gagal Mencapai SVR Setelah

Mendapat Terapi yang Mengandung DAA.8

Universitas Sumatera Utara

23

VIII. INTERAKSI OBAT

VIII.1 Direct Acting Antiviral dengan Antiretroviral

Sofobusvir adalah termasuk HCV NS5B nucleotide polymerase inhibitor, yang tidak

dapat dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450 dan, olehkarenanya dapat digunakan

kombinasi dengan banyak obat ARV. Sofobusvir adalah substrat dari p-glycoprotein (P-gp).

Induser P-gp, seperti tipranavir (TPV), dapat menurunkan konsentrasi plasma sofobusvir,

sehingga tidak bisa diberikan bersamaan dengan sofobusvir. Tidak ada ditemukan interaksi

farmakokinetik antara sofobusfir dan ARV.1

Ledipasvir adalah sebuah inhibitor HCV NS5A dan merupakan bagian dari kombinasi

obat fixed dose sofobusvir dan ledipasvir. Sama seperti sofobusvir, ledipasvir tidak

dimetabolisme oleh sistem enzim P450 sitokrom dan merupakan substrat P-gp. Ledipasvir

menghambat obat tansporters P-gp dan breast cancer resistance protein (BCRP) dan dapat

meningkatkan absorpsi di usus, jika diberikan secara bersamaan. Penggunaan inducer P-gp

secara bersamaan dengan ledipasvir/sovobusvir tidak direkomendasikan. Pemberian

ledipasvir/sovosbufir secara bersamaan dengan regimen ARV yang mengandung tenofovir

disoproxil fumarate (TDF) berhubungan dengan meningkatnya paparan TDF, terutama ketika

TDF diberikan bersama dengan protease inhibitor (PI), baik ritonavir (RTV) maupun cobicistat

(COBI). Pada beberapa pasien, pilihan alternatif obat HCV atau ARV harus dipertimbangkan

Universitas Sumatera Utara

24

untuk menghindari meningkatnya paparan TDF. Namun jika obat tetap diberikan secara

bersamaan, maka pasien harus dimonitor potensi adanya gangguan fungsi ginjal yang disebabkan

oleh TDF, dengan menilai fungsi ginjal (klirens kreatinin, fosfor serum, glukosa urin dan protein

urin) sebelum pengobatan HCV dimulai dan secara periodik selama pengobatan.1

Rekomendasi

32. Untuk individu dengan genotipe 1 yang mendapat inisiasi terapi dengan

sofosbuvir/ledipasvir, maka pilihan pertama antiretroviral dapat digunakan. Jika tenofovir

digunakan, maka monitoring ketat terhadap fungsi ginjal diperlukan. (2b,B)7

Daclatasvir adalah NS5A inhibitor yang disetujui penggunaannya bersama sofobusfir.1

Daclatasvir adalah substrat dari CYP3A dan inhibitor dari P-gp, OATP1B1/3 dan BCRP. Induser

kuat dari CYP3A, seperto evafirenz dan nevirapin, dapat menurunkan kadar daclatasvir didalam

plasma dan menurunkan efek terapeutiknya. Pada kasus ini, maka dosis daclatasvir harus

ditingkatkan dari 60 mg/hari menjadi 90 mg/hari. Sebaliknya inhibitor CYP3A yang kuat, dapat

meningkatkan kadar daclatasvir didalam plasma, sehingga dosis harus diturunkan menjadi 30

mg/hari.1

VIII.2 Interaksi antara DAA dengan Obat lain

Banyak obat dari berbagai macam kelas, berisiko menjadi interaksi dengan DAAs..

Sebagai contoh, ledipasvir membutuhkan suasana asam supaya dapat secara optimal diabsorpsi

Maka semua obat yang dapat mengubah pH gaster dapat menyebabkan terganggunya absorbsi

ledipasvir.7

Rekomendasi

33. Penilaian dan monitor interaksi obat antara direct acting agents dengan obat lain, harus

dilakukan pada awal terapi dan pada saat dijalankan terapi (1,C)7

34. Semua medikasi yang tidak berguna, harus dihentikan selama terapi HCV, terutama

ketika DAA digunakan (I,C)7

Universitas Sumatera Utara

25

IX. TATALAKSANA PADA POPULASI KHUSUS

IX.1 Terapi Infeksi Akut HCV pada Pasien HIV

Konsensus yang dikeluarkan oleh The European NEAT dalam tatalaksana infeksi akut

HCV merekomendasikan pegylated interferon dengan ribavirin. Pada kasus dimana rapid

virologic response (RVR) tercapai maka direkomendasikan terapi selama 24 minggu, untuk yang

tidak mencapai RVR maka direkomendasikan terapi selama 48 minggu penuh.7

Rekomendasi

35. Pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi HCV ataupun menunjukkan

tanda dan gejala dari infeksi akut, maka harus dilakukan skrining untuk HCV (I,C)7

IX.2 Kehamilan

Pilihan terapi HCV untuk wanita hamil masih terbatas. Pegylated interferon tidak

ditoleransi baik oleh wanita hamil, dan ribavirin dikontraindikasikan karena teratogenik.7

Rekomendasi

36. Pegylated interferon dan ribavirin dikontraindikasikan selama kehamilan dan 6 bulan

sebelum konsepsi (I,C)7

37. Wanita usia subur dan pria yang tidak dilakukan vasektomi, yang berpotensi memiliki

keturunan dan sedang mendapat terapi ribavirin, maka diharuskan menggunakan 2

macam kontrasepsi selama mendapat terapi dan 6 bulan sesudah mendapat terapi (I,C)7

38. Wanita dengan positif HCV aman jika menyusui bayinya. Namun jika koinfeksi dengan

HIV, maka dikontraindikasikan menyusui karena resiko transmisi HIV (2A,C)7

39. Wanita hamil dengan positif HCV, jangan dianjurkan pemberian terapi DAA. (2A,C)7

IX.3 Koinfeksi HIV-HCV/HBV

Untuk pasien koinfeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah

sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterapi bersama-sama,

sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.10

Universitas Sumatera Utara

26

X. EFEK SAMPING DAN TATALAKSANANYA

Regimen terapi HCV dengan pegylated interferon dan ribavirin mempunyai sejumlah

efek samping, dan banyak yang tumpang tindih dengan efek samping dari antiretroviral HIV.

Dengan paradigma baru terhadap terapi HCV dimana tanpa interferon, maka efek samping

menjadi berkurang. Regimen tanpa interferon tidak menunjukkan peningkatan efek samping,

pada pasien koinfeksi, jika dibandingkan pasien monoinfeksi, namun interaksi obat merupakan

hal yang kompleks dan pasien tetap harus dilakukan monitor secara ketat.7

Rekomendasi

40. Monitoring ketat selama terapi HCV dibutuhkan (I,C)7

41. Anemia yang berhubungan dengan terapi HCV pegylatedinterferon/ribavirin atau DAA

dengan ribavirin harus dilakukan penyesuaian dosis dengan cara mengurangi dosis

ribavirin. Penggunaan eritropoietin tidak direkomendasikan sebagai tatalaksana pilihan

pertama dalam penanganan anemia (2b,B)7

XI. HIV DAN TRANSPLANTASI HATI

Indikasi transplantasi hati pada pasien HIV, yaitu supresi viral load dengan jumlah CD4 >

200 sel/µL dan tidak ada infeksi oportunistik. Angka survival 5 tahun pada pasien koinfeksi

HIV-HCV setelah transplantasi hati adalah berkisar 50-55% dibandingkan 71% pada kasus

monoinfeksi HCV. Hal utama yang menjadi prediktor outcome adalah eliminasi viral HCV post

transplantasi dengan terapi antiviral HCV. Pada yang mencapai SVR, maka angka survival 5

tahun berkisar antara 80%. Kesuksesan terapi DAA pada pasien koinfeksi HIV-HCV yang telah

menjalani transplantasi hati, meningkatkan harapan meningkatnya angka survival.7

Rekomendasi

42. Pasien koinfeksi HIV-HCV harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati,

jika semua kriteria terpenuhi. (2a,C)7

43. Terapi antiviral HCV harus dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang telah

menjalani transplantasi (I,C)7

Universitas Sumatera Utara

27

XII. WAKTU DIMULAINYA TERAPI HCV PADA ERA DAAs

Individu dengan minimal fibrosis, dapat menunda terapi jika dibandingkan individu

dengan tahap penyakit yang sudah lanjut. Jika dilakukan penundaan, maka harus selalu

memeriksakan progresi dari derajat fibrosis setiap tahunnya, jika terdapat TE atau setiap 3 tahun,

jika dengan biopsi hati.7

XIII. KESIMPULAN

Semua pasien HIV harus diskrining infeksi virus hepatitis C (HCV). Pasien dengan risiko

tinggi infeksi hepatitis C, harus diskrining setiap tahun dan kapanpun ketika diduga

infeksi HCV.

Terapi antiretroviral dapat memperlambat progresi penyakit hati dengan cara menjaga

atau mengembalikan fungsi imun dan mengurangi aktifasi imun dan inflamasi yang

berkaitan dengan HIV. Untuk hampir semua pasien koinfeksi HIV-HCV, termasuk yang

sirosis, ART lebih penting dibandingkan dengan DILI. Olehkarenanya, ART harus

dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa memperhatikan nilai CD4.

Regimen awal ART yang direkomendasikan untuk pasien dengan koinfeksi HIV-HCV

adalah sama dengan individu tanpa infeksi HCV. Namun ketika pengobatan keduanya

HIV dan HCV indikasi diberikan, maka regimen harus dipilih secara selektif, dengan

beberapa pertimbangan potensi interaksi obat dan toksisitas obat.

Pengobatan HIV dan HCV rumit, dengan adanya interaksi obat, dan toksisitas. Meskipun

ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV tanpa memperhatikan nilai

CD4, namun pada pasien naif ART dengan CD4 >500 sel/mm3, maka beberapa klinisi

memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai.

Pada pasien dengan nilai CD4 rendah (<200 sel/mm3), maka ART harus dimulai dan

pengobatan HCV ditunda sampai pasien stabil dengan pengobatan HIV

Terapi DAA telah mengalami revolusi didalam tatalaksana HCV pada pasien koinfeksi

HIV-HCV. Angka SVR pada pasien koinfeksi HIV-HCV dengan monoinfeksi hampir

sama.

Standard terbaru untuk pasien dengan genotipe 1 adalah kombinasi regimen DAA, tanpa

interferon.

Universitas Sumatera Utara

28

Standard terapi untuk pasien dengan genotipe 2 dan 3 adalah dual terapi dengan

sofosbuvir dan ribavirin atau daclatasvir dan sofosbuvir

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of

antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents. 2016. Available from:

http://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf.

2. American Association for The Study of Liver Diseases. Recommendations for testing,

managing, and treating hepatitis C. 2016. Available from: http://www.hcvguidelines.org.

3. Infectious Diseases Society of America. Recommendations for testing, managing, and

treating hepatitis C. 2016. Available from: http://www.hcvguidelines.org

4. Uptodate 19.3. Epidemiology, natural history, and diagnosis of hepatitis C in the HIV-

infected patients.

5. Global Report. UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013. Available from:

http://www.unaids.org/en/resources/campaigns/globalreport2013/globalreport.

6. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Petunjuk klinis koinfeksi HIV-HCV 2014.

Available from: http://spiritia.or.id/dokumen/juknis-hivhcv2014.pdf

7. Hull M, Shafran S, Wong A, et al. CIHR Canadian HIV trial network coinfection and

concurrent diseases core research group: 2016 updated canadian HIV/hepatitis C adult

guidelines for management and treatment. Canadian Journal of Infectious Diseases and

Medical Microbiology 2016:1-34.

8. European Association for The Study of The Liver. EASL recommendations on treatment

of hepatitis C 2015. Journal of Hepatology 2015;63:199-236.

9. Peraturan Menteri Kesehatan. Pedoman pengobatan antiretroviral 2014.

10. Gani R. Hepatitis C. Buku ajar ilmu penyakit dalam 6th edition. InternaPublishing

2014;254:1972-77.

11. Yunihastuti E, Djoerban Z, Gani RA. Coinfection of hepatitis B and C among HIV

infected patients: a database of HIV Clinic Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta 2004-

2009, 2011.

Universitas Sumatera Utara

29

12. Bartensclager R, Lohmann V. Replication of hepatitis C virus. J Gen Virol

2000;81(7):1631-48.

13. Chen SL, Morgan TR. The natural history of hepatitis C virus infection. Int J Med Sci

2006;3(2):47-52.

14. World Health Organization. Guidelines for the screening care and treatment of person

with chronic hepatitis C infection 2016. Available from:

http://www.who.int/hiv/pub/hepatitis/hepatitis-c-guidelines/en/

15. Andrew O, Raja K. The role of direct acting antivirals in chronic hepatitis C treatment

update. Journal Antivirals and Antiretrovirals. 2016:54-59.

Universitas Sumatera Utara