Keratouveitis Viral

download Keratouveitis Viral

of 33

description

Keratouveitis Viral

Transcript of Keratouveitis Viral

KASUS PANJANGKERATOUVEITIS

Oleh:

Oleh:Rizqi Yuni Ardhani105070100111026Astrid N. Lukito105070100111096Evanti Tansil105070107111033

Pembimbing:dr. Ovi Sofia, Sp.M

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYARUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWARMALANG2015BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keratouveitis adalah istilah yang digunakan bila terdapat kombinasi keratitis dan uveitis dalam waktu yang bersamaan. Keratouveitis biasanya terjadi karena keratitis yang kemudian menyebabkan adanya uveitis. Kejadian paling sering adalah keratitis yang kemudian menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Hal ini terjadi lebih dikarenakan struktur anatomis dari kornea dan traktus uvea yang saling berdekatan. Insiden pada keratouveitis hampir sama banyaknya dengan insiden kejadian uveitis anterior itu sendiri.Keratitis sendiri merupakan peradangan pada kornea. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan deturgenses. Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea (Biswell, 2010). Radang pada kornea biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis superficial dan interstitial atau profunda, yang disebabkan oleh virus, bakteri jamur dan protozoa (Iiyas, 2015).Uveitis anterior merupakan peradangan yang mengenai iris dan jaringan bada siliar (iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset akut. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, yaitu mencapai 1,5% dari jumlah penduduk. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan di retina (0,13%), serta kelainan di kornea (0,10%)Apabila keratouveitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen. Sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan. Berdasarkan hal tersebut, pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah definisi keratouveitis?1.2.2 Bagaimana cara mendiagnosis keratouveitis?1.2.3 Bagaimana penatalaksanaan keratouveitis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui definisi keratouveitis1.3.2 Mengetahui cara mendiagnosa keratouveitis1.3.3 Mengetahui penatalaksanaan keratouveitis

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi KeratouveitisKeratouveitis merupakan inflamasi yang melibatlam kornea dan uvea pada mata. Penyebab terbanyak keratouveitis ialah dari virus, herpes simpleks virus dan herpez zooster virus, akan tetapi penyebab lain seperti bakteri, akantamoeba, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.

2.2Epidemiologi KeratouveitisKeratitis seringkali dikaitkan dengan penggunaan lensa kontak. Studi di Hongkong menunjukkan insiden 0.63 dari 10.000 orang non pengguna kontak lensa dan 3.4 per 10.000 pengguna lensa kontak. Insiden keratitis infeksius di negara berkembang cukup tinggi. Di Nepal, terdapat 799 kejadian per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Di India Selatan, 35% ulkus kornea karena bakteri, dan 32% karena fungi. Beberapa penyebab keratitis virus ialah adeno virus, herpes simplex viru, herpes zoster. Herpes simpleks saat ini menjadi penyebab utama kebutaan yang infeksius di negara berkembang karena HSV dapat menyebabkan opasifikasi pada stromal. Insiden globalnya meliputi 1.5 juta, meliputi, 40.000 kasus baru dnegan kerusakan visual monokular setiap tahunnya. Adenovirus seringkali menjadi 92% penyebab viral keratokonjungtivitis terbanyak. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin pada keratitis akibat adenovirus (Farooq and Shukia, 2012).Uveitis menyebabkan 10% kebutaan di Amerika Serikat, meskipun demikian insidennya hanya meliputi 15/100.000 orang per tahun. prevalensi ini bervariasi tergantung pada lokasi geografiknya, umur, dan waktunya. Di California, insidennya meliputi 52.4/100.000 orang/tahun, 3 kali lebih banyak dari Amerika Serikat (Grits, et al., 2007). Berdasarkan umur, paling sedikit terjadi pada pediatrik dan tertinggi di usia sekitar 65 tahun. wanita lebih sering terkena (Nagpal. et al., 208). Berdasarkan ditribusinya terbanyak meliputi bagian anterior, kemudian panuveitis, kemudian posterior uveitis dan yang terakhir uveitis intermediate. Biasanya sebagian besar disebabkan oleh idiopatik yang biasanya tampak pada uveitis anterior dan k infkesi bila pada uveitis posterior. Penyakit Behcet banyak di Tukey dan Cina, Uveitis viral dan toxoplasmosis banyak di Timur tengah dan Perancis (Rathinam and Namperumalsamy, 2007).

2.2 Anatomi2.2.1Anatomi Kornea

Gambar 2.1 Anatomi mataKornea disebut juga selaput bening mata, yaitu merupakan bagian mata yang tembus yang tembus cahaya. Kornea terdiri dari 5 lapis (Sidharta, 2015).

Gambar 2.2 Lapisan Kornea

Lapisan pertama ialah lapisan epitel. Memiliki tebal 550 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih. Lapisan epitelium terdiri dari sel basal kolumnar yang berikatan satu sama lain dengan desmosom dan makula okluden, ikatan ini berguna untuk menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal sering kali terjadi mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan maju lagi menjai sel skuamous. Area yang paling luar terdapat mikroplika dan mikrovili yang memfasilitasi perlekatan pada tear film dan musin. Stem sel kornea terletak pada limbus sklerokorneal, yaitu pada palisade Vogt. Kekurangan dapat mengakibatkan defek epitelual dan konjungtivalisasi yang merupakan instabilitas dari epitel, vaskularisasi, dan penampakkan pada sel goblet. Ini semua sangat penting sebaga penghalang fisiologis, mencegah jaringan konjungtiva dari bergerak ke konjunctiva, mencegah jaringan konjunctiva.Lapisan Bowman, merupakan lapisan aselular superfisialis pada stroma da yang dibentuk oleh serat kolagen, lapisan ini tidak mem[unyai daya regenerasi. Stroma membentuk 90% ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu sama lain, permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer serat ini bercabang. Jarak antara 1 dengan yang lain dipertahankan dengan substansi proteoglikan chondroitin sulphate and keratan sulphate . terbentuknnya kembali serat kolagen memakan waktu 15 bulan,. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibriblast terletak diantara serat kolagen stroma.Lapisan membrane desemen, merupakan membrean aselular dan merupakan batas belakang stroma, bersifat elastic dan memiliki potensi. Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk helsgonal. Sel endotel mempertahankan deturgencence korneal dengan memompa kelebihan cairan dari stroma. Pada dennsitas500 cells/mm2 terjadi edema korneal dan tranparansi (Kanski, 2015 ).

2.2.2Anatomi UveaTraktus uvea meliputi iris, badan siliar, dan koroid yang merupakan lapisan vascular yang juga mesuplai retina (Asbury, et al., 2007).Perdarahan pada uvea dibedakan antara anterior dan superior. Bagian anterior diperdarahi oleh 2buah arteri siliar posterior longus yang masuk dengan menembus sclera dari temporal dan nasal dekat saraf optikus dan 7 arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial inferior pada otot rektus lateral. Arteri ini bergabung membentuk areteri siliaris mayor pada badan siliar.Sedangkan uvea posterior mendapatkan perdarahan dari 15-20 arteri siliar antara bola mata dan otot rektus lateral (Sidharta, 2015).Sedangkan persarafan untuk uvea ialah saraf sensoris, saraf simpatis, dan parasimpatis. Saraf sensoris berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar, saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri karotis, mempersarafi pumbuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil, dan akar saraf motor yang memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil (Sidharta, 2015).Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur cahaya yang masuk ke dalam bola mata melalui reaksi pupil.Dimana dia diatur oleh saraf simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis).Badan siliar merupakan susunan otot yang melingkar dan emmpunyai system ekskresi di belakang limbus, yang mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di limbus, sehingga tampak mata merah dan gambaran karakteristik radang intraocular. Otot longitudinal berinsersi di daerah baji sclera bila berkontraksi akan membuka trabecular meshwork dan mempercepat aliran cairan mata. Otot melingkar badan diliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan menggendornya zonula zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.Keduanya dipersarafi oleh saraf parasimpatik dan bereaksi dengan obat parasimpatomimetik (Sidharta, 2015).

2.3Faktor Resiko KeratouveitisFaktor resiko keratitis secara umum ialah defisiensi vitamin A, trauma dan kerusakkan epitel, lensa kontak yang mngakibatkan infeksi sekunder dan non infeksi keratitis, daya imunitas yang berkurang, pemkaian kortikosteroid, musim panas dan daerah yang lembab, herpes genital (Sidharta, 2015).Pada keratitis oleh virus seperti pada keratitis karena herpes simpleks faktor resiko terjadinya ialah dari terpapar dengan viral yang berlangsunga simptomatik.Akan tetapi ini bisa reaktifasi, faktor resikonya ialah trauma, sinar matahari, panas, menstruasi, stress, penyakit infeksi, dan keadaan imunokompromis (AAO, 2005).Faktor resiko uveitis anatra lain HLA-B27 alel, ankylosing spondylitis, psoriatic arthritis (American Uveitis Society, 2003).

2.4Kornea dan Keratitis2.4.1Fisiologi dan Resistensi terhadap InfeksiFungsi kornea ialah sebagai membrane protektif dan sebagai jendela tempat lewatnya cahaya.Transparansinya dikarenakan struktur yang uniform, avascular, dan detugescence. Deturgescence berhubungan dengan dehidrasi pada jaringan kornea yang diatur oleh pompa bikarbonat dari endothelium dan fungsi barrier pada epitelium dan endothelium. Endotelium lebih penting dari epitelium pada mekanisme dehidrasi karena kerusakan pada endothelium menyebabkan edema kornea dan menyebabkan kehilangan transparansinya, di mana keadaan ini dapat menetap karena kemampuan pemulihan endotel yang terbatas.Sedangkan kerusakan pada epitelium biasanya hanya sebentar karena edemanya terlokalisir yang menghilang dengan cepatnya regenerasi sel epitel yang cepat. Evaporasi air dari tear film prekorneal menghasilakn hipertonisitas pada film, di mana proses dan evaporasi langsung yang menarik air dari permukaan stroma kornea dengan tujuan untuk mempertahankan dehidrasi. Penetrasi obat pada kornea yang ntak bifasik. Substansi lemak dapat melewati epitelium yang intak, dan substansi air dapat melalui stroma yang intak. Sehingga untuk dapat melewati retina, obat harus larut dalam lemak dan air (Asbury, et al., 2007).Epitel merupakan barrier yang efektif terhadap mikroorganisme untuk amsuk ke kornea. Sekali terjadi kerusakan pada epitelium, avascular stroma dan lapisan bowman menjadi rentan terhadap infeksi bakteri, amoeba, jamur, virus.kortikosteroid oral maupun sistemik mengubah reaksi imun dari host dan mengakibatkanTermasuknya mikroorganisme dan virus (Vaughan).Gejala nyeri yang diarasakan pada kelainan di kornea terjadi karena terdapatnya banyak serat-serat nyeri, sebagian besar karena lesi pada kornea, superfisial maupun dalam (benda asing kornea, abrasi kornea, phlyctenule, keratitis interstitial).Lesi pada kornea juga mengakibatkan pandangan kabur.Potofobia pada kornea merupakan hasil dari kontraksi yang nyeri pada iris yang inflamasi.Dilatasi pada pembuluh iris merupakan fenomena reflek yang disebabkan iritasi pada serabut saraf kornea (Asbury, et al., 2007).

2.4.2Respon Imun pada KorneaPada mata yang normal, hanya bagian limbus kornea yang tervaskularisasi. Pada limbus sangat banyak terdapat sel Langerhans. Sebaliknya, tidak terdapat APC pada kornea parasentral dan sentral. Stimulus seperti trauma mengakibatkan terlibatnya sitokim-sitokin tertentu (IL-1). Selain itu, infeksi dapat merekruit APC menuju ke kornea sentral. Sel pada kornea juga menunjukkan sintesis antimikroba dan imunoregulator protein. Sel efektor umumnya tidak ada, akan tetapi neutrophil, monosit, dan limfosit dapat bermigrasi melalui stroma jika adanya aktivasi stimuli kemotaktik yang cukup. Limfosit, monosit, dan neutrophil dapat juga menempel pada permukaan endotel selama inflamasi, memberikan bentukan keratik presipitat atau garis khodadoust pada rejeksi endothelial (Streilein, et al., 2002).

2.4.3Morfologi Lesi KorneaLesi pada kornea dibedakan pula berdasarkan letaknya yaitu epithelial, subepitelial, stromal, dan endothelial keratitis.Perubahan pada epithelial bervariasi mulai dengan pembentukkan edema dan vakuolisasi sampai erosi, pembentukkan filament, keratinasi partial dan sebagainya. Lesi juga bervariasi tergantung pada letaknya (Asbury, et al., 2007 ).

Gambar 2.4 Tipe Epitelial Keratitits (Asbury, et al., 2007)

Terdapat beberapa tipe lesi subepitelial, seringkali merupakan akibat dari keratitis epithelial seperti pada infiltral supepitel pada keratokonjungtivitis epidemic yang disebabkan oleh adenovirus 8 dan 19 (Asbury, et al., 2007).Respon stroma korneal dapat meliputi edema infiltrasi yang merupakan akumulasi dari sel inflmasi, edema yang merupakan manifestasi penebalan kornea, opasifikasi, dan skar yang berupa nekrosis atau meleleh, di mana dapat mengarah pada penipisan dan perforasi dan vaskularisasi. Pola respon ini kurang spesifik jika dibandingkan dengan yang tampak pada keratitis epithelial (Asbury, et al., 2007 ).Disfungsi endotel kornea mengakibatkan edema korneal yang awalnya mempengaruhi stroma kemudian ke epitel. Edema ini berbeda dengan edema kornea karena peningkatan tekanan intraocular, di mana epitel terlibat lebih dahulu daripada stroma (Asbury, et al., 2007 ).

2.5 Patogenesis KeratitisSebagian besar inflamasi pada kornea ditandai dengan edema lokal ataupun difus yang non spesifik, yang dimanifestasikan sebagai hilangnya transparansi dari kornea. Reaksi vaskuler awal pada inflamasi kornea adalah hiperemi perilimbal, yang dapat bersifat sektoral ataupun menyebar hingga ke seluruh kuadran dari mata. Sel inflamasi pada kornea berasal dari pembuluh darah limbus baik yang superfisial maupun dalam. Leukosit juga bermigrasi ke lokasi adanya stimulus inflamasi, mengikuti jalur intralamellar dan mengakibatkan adanya iregularitas pada batas anatomis dari lamella.Migrasi sel pertama yang berupa leukosit PMN interlamellar terjadi pada 8-12 jam pertama setelah terjadi lesi (Spencer, 1985). Selama 12-16 jam pertama, makrofag (sel fagosit) yang berasal dari limbus, bersamaan dengan makrofag yang berasal dari sel stroma, mulai memakan mikroorganisme dan produk hasil inflamasi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa antigen yang terkait dengan makrofag merupakan suatu hal yang penting untuk memulai stimulasi elemen limfosit dan respon imun spesifik.

Gambar 2.5 Patogenesis Keratitis Epithelial dan Keratitis StromalSemakin luas lesi epitel dan semakin lama lesi ini dibiarkan, semakin besar kemungkinan terjadinya reaksi pada stromal hingga mengakibatkan keratitis disciform dengan keratic precipitate di belakang dari area yang terinfeksi. Flare, cell, KP, dan bahkan hipopion menunjukkan respon uvea terhadap kornea yang terpenuhi oleh antigen (Jones, 1958). Keratic precipitate (KPs) merupakan gumpalan dari sel inflamasi pada belakang kornea yang asalnya dari uvea anterior selama keratitis atau uveitis. Bentukan klinis dari KPs ialah fibrin dan kogulat protein lainnya menjadi titik-titik kecil dan garis (Leibowitz and Waring, 1998). KP juga dapat menyumbat trabekular Meshwork dan mengakibatkan glaukoma sekunder.Selama masa penyembuhan dari reaksi inflamasi, neovaskularisai pada kornea pada umumnya akan terjadi sebagai suatu respon terhadap adanya edema, infiltrasi sel, nekrosis jaringan, perubahan pH, proses oksidatif, enzim dari sel inflamasi dan sel pada jaringan kornea, dan lain sebagainya. Luas dari vaskularisasi tergantung pada tingkat keparahan dan ukuran dari fokus inflamasi serta lamanya inflamasi berlangsung.Gejala nyeri biasanya terjadi akibat stimulasi pada bagian sensoris dari cabang siliaris di bagian oftalmikus pada nervus trigeminus. Namun begitu, inflamasi yang menurunkan sensasi pada kornea, seperti keratitis akibat HSV, dapat pula terasa tidak nyeri pada awalnya (Sharma, 2001).Lesi pada kornea dapat terbatas pada epitel (epithelial keratitis) ataupun hingga subepithelial (stromal keratitis). Lesi yang hanya terbatas pada epitel biasanya sembuh tanpa mengakibatkan opasitas residual, sedangkan infeksi yang lebih dalam biasanya mengakibatkan opasitas fokal saat penyembuhan. Pada EKC, contohnya, opasitas akan muncul di akhir sebagai akibat dari infiltrasi subepitelial oleh sel limfosit T tersensitisasi yang terstimulus oleh viron inaktif (Laibson, 1970).Keratitis dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, maupun virus. Virus respiratori seperti adenovirus, virus influenza, respiratory syncytial virus, corona virus, dan rhinovirus merupakan penyabab penyakit yang berhubungan dengan respirasi. Beberapa virus ini juga berhubungan dengan proses tropisme okular, seperti pada spesies D adenovirus dan influenza subtipe H7. Dimana adenovirus seringkali berhubungan dengan epidemi keratokonjungtivitis dan influenza virus berhubungan dengan adanya konjungtivitis (Belser, et al., 2013).Telah diketahui bahwa virus dapat ditularkan melalui kontak direk mayupun indirek. Epitelial pada mata menunjukkan permukaan mukosa yang cocok untuk infeksi melalui aerosol. Terdapat berbagai macam hal yang menjadikan mata menjadi tempat yang potensial untuk replikasi virus dan juga pintu masuk untuk mentransfer virus ini ke sistem ekstraokular melalui sistem nasolakrimalis yang merupakan jembatan antara okular dan jaringan respirasi. Duktus lakrimalis akan mengumpulkan air mata pada permukaan okular kemudian menuju ke meatus inferior pada hidung sehingga merupakan jalur transmisi virus dari mata ke sistem respirasi. Ketika terdapat di mata, cairan ini dapat diambil oleh konjungtiva, sklera, korna, tetapi sebagian besar akan di drainase ke nasofaringeal. Hal ini mendrainasekan agen imun ke jaringan nasal. Lapisan sel epitelial pada duktus nasolakrimaslis dengan mikrovili menambah sekresi dan reabsorbsi pada komponen air mata. Host epithelial cell glycoproteins lacrimal sialic acids (SA) didistribusiakan di traktus respirasi dan jaringan okular sehingga menjadi reseptor untuk virus respirasi. Epitel sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis ternyata mengekspresikan 2-3-linked SA yang sama dengan di mukosa nasal dan trakea. 2-3-linked SA banyak terdapat di konjungtiva dan kornea mata sehingga cocok dengan virus influenza dan adenovirus yang menggunakan 2-3-linked SA. Selain itu, adenovirus juga menggunakan GD1a glycans (Belser, et al., 2013).

2.6Diagnosis dan TatalaksanaSecara umum, diagnosis keratouveitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Pada anamnesis bisa didapatkan keluhan berupa mata merah, nyeri, fotofobia, epifora (banyak keluar air mata), perasaan adanya benda asing dan pandangan kabur pada mata yang terinfeksi (Pedoman Diagnosis dan Terapi FKUB, 2010).Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan visis dan pemeriksaan segmen anterior.Temuan yang mungkin didapatkan pada keratouveitis dapat berupa visus yang menurun. Gambaran lain dari keratouveitis yang merupakan suatu infeksi primer adalah gambaran keratitis punctata difusa non spesifik yang sering disertai konjungtivitis folikularis akut dan adanya pembentukan pseudomembran. Namun, bila infeksi tersebut merupakan infeksi rekuren, gambaran yang didapatkan mungkin berupa lesi kornea khas berbentuk dendrite, geografis, disiformis, maupun punctata. Tes fluoresin akan menunjukkan hasil positif dan tes sensibilitas akan menurun sampai dengan negatif. Selain itu, juga bisa didapatkan neurotrophic ulcer (ulkus steril dengan tepi epitel yang halus pada area stroma kornea interpalpebral yang menetap atau memburuk setelah terapi antiviral) serta scar/ghost dendritic.Tanda lain yang bisa didapatkan pada pemeriksaan segmen anterior adalah spasme ataupun edema ringan pada kelopak mata, konjungtiva yang hiperemis, dilatasi pembuluh darah di sekitar limbus (hiperemi perikorneal), keratik presipitat, flare disertai hipopion atau fibrin, edema iris, sinekia, serta reflek pupil yang lambat hingga negatif (Pedoman Diagnosis dan Terapi FKUB, 2010).Hasil pemeriksaan fisik pada keratouveitis viral juga dapat ditentukan dari jenis virus penyebab dari penyakit tersebut. Uveitis anterior herpetik memberikan karakteristik berupa keratik presipitat yang bersifat difus, inflamasi sedang, sinekia posterior, dan atrofi iris, baik sektoral maupun difus. Uveitis yang dikarenakan HSV cenderung memberikan gambaran patchy atrophy di sekitar sphincter pupil.Tekanan intraokuli cenderung meningkat. HSV lebih banyak menginfeksi kelompok usia muda, sedangkan HZV lebih banyak ditemukan pada usia tua dan pasien immunocompromised (Mundey et.al, 2015).Keratitis BakterialDari anamnesa, akan didapatkan keluhan berupa rasa nyeri, fotofobia, pandangan kabur, serta sekret mukopurulen hingga purulen (Kanskis Clinical Ophtalmology, 2015).Pemeriksaan fisik akan menunjukkan hasil sebagai berikut : Defek epitel dengan infiltrate luas dan injeksi kornea yang bermakna Edema stromal, lipatan di membrane Descement, serta uveitis anterior Chemosis dan edema palpebra pada kasus sedang-berat Ulkus yang parah dapat mengakibatkan terbentuknya descemetocoele dan perforasi, terutama pada infeksi oleh karena Pseudomonas Skleritis (pada infeksi berat pada daerah perilimbal) Endoftalmitis (jarang) Penurunan sensibilitas korneaPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di antaranya adalah scrapping kornea, swab konjungtiva, contact lens cases, pewarnaan Gram, serta kultur maupun tes sensitivitas. Diagnosis banding keratiitis bakterial adalah keratitis akibat mikroorganisme lainnya, keratitis marginal, sterile inflammatory corneal infiltrates, peripheral ulcerative keratitis dan toxic keratitis.Tatalaksana pada keratitis bakterial adalah berupa pemberian antibotik topikal seperti ciprofloxacin dan ofloxacin, agen midriatil seperti cyclopentolate 1% untuk mencegah terjadinya sinekia posterior dan mengurangi nyeri, serta steroid topikal. Antibiotik sistemik jarang diberikan.

Keratitis FungalKeratitis fungal jarang ditemukan dan seringkali berkembang secara perlahan, namun keratitis ini dapat menyebabkan respon inflamasi yang berat berupa perforasi kornea maupun penurunan visus yang signifikan. Pasien umumnya mengeluhkan adanya nyeri gradual, perasaan mengganjal pada mata, fotofobia, pandangan kabur dan sekret yang bersifat watery hingga mukopurulen. Sedangkan pada pemeriksaan fisik akan didapatkan gambaran infiltrat putih kekuningan, defek epitel, serta adanya anterior uveitis, hipopion, plak endothelial, TIO yang meningkat, skleritis dan endoftalmitis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pewarnaan (KOH, Gram, Giemsa), kultur, analisa PCR (Polymerase Chain Reaction), ataupun pemeriksaan dengan mikroskop konfokal yang bertujuan untuk mengidentifikasi organisme penyebab. Diagnosis banding dari keratitis fungal di antaranya adalah keratitis bakterial, herpetic dan akibat acanthamoeba.Tatalaksana dari keratitis fungal adalah pemberian antifungal topikal seperti amphotericin B 0.15% dan fluconazole 2%, broad-spectrum antibiotic untuk pencegahan ko-infeksi bakterial dan sikloplegia. Antifungal sistemik diberikan jika terdapat kecurigaan endoftalmitis. Tetrasiklin dapat diberikan sebagai antikolagenase ketika terjadi penipisan yang signifikan. TIO harus dimonitor secara berkala. Tindakan yang dapat dilakukan pada keratitis fungal adalah keratektomi superficial dan keratoplasty terapeutik (Kanskis Clinical Ophtalmology, 2015).

Herpes Simplex KeratitisInfeksi primer umumnya terjadi pada usia anak dan sebagian besar menyebar melalui droplet. Gejala yang dikeluhkan pasien pada stadium ini sebagian besar merupakan gejala subklinis atau hanya berupa demam yang tidak terlalu tinggi, kelemahan, serta gejala pada saluran nafas atas. Blepharitis dan konjungtivitis folikular juga dapat terjadi, namun kebanyakan ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya.Stadium yang selanjutnya adalah infeksi berulang. Pada fase ini, perjalanan penyakit akan bertahap dari infeksi primer hingga menjadi reaktivasi subklinis. Setelah itu akan terjadi reaktivasi klinis yang dipicu akibat adanya demam, perubahan hormonal, radiasi UV, trauma, ataupun kerusakan pada nervus trigeminus. Keratitis akibat HSV dapat berupa keratitis epithelial maupun keratitis disciformis. Pengobatan terhadap keratitis akibat HSV adalah berupa agen antiviral seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, serta valganciclovir.

Herpes Zoster OphtalmikaKeratitis yang terkait dengan infeksi Herpes Zoster memiliki fase prodromal yang ditandai dengan munculnya ruam. Ruam pada HZO awalnya berbentuk area kemerahan yang nyeri dan selanjutnya akan berkembang menjadi vesikel. Fase ini akan bertahan selama 3-5 hari dengan gejala berupa kelelahan, demam, kelemahan, dan nyeri kepala. Gejala neurologis berupa gatal, kesemutan, ataupun sensasi terbakar akan muncul sesuai dengan dermatom yang terkena.Gejala pada mata dapat berupa keratitis epithelial akut yang ditandai dengan lesi dendritik yang lebih kecil dan halus dibandingkan dendrite pada herpes simpleks, konjungtivitis, episkleritis dan skleriitis, keratitis numularis/stromal/disiform, serta uveitis baik anterior maupun posterior. TIO pada pasien dengan HZO perlu dievaluasi karena peningkatan TIO banyak ditemukan pada pasien dengan HZO. Komplikasi neurologis juga mungkin terjadi pada fase akut, yakni kelumpuhan nervus III, neuritis optik, serta manifestasi CNS seperti ensefalitis, arteritis kranialis, dan Guillain-Barre Syndrome. Pada fase kronis, kelainan pada mata yang mungkin terjadi akibat infeksi Herpes Zoster adalah keratopati neurotropik, skleritis, mucous plaque keratitis, degenerasi lemak, dan jaringan ikat subkonjungtiva maupun pada kelopak mata. Sedangkan pada fase relapse, lesi yang paling sering muncul adalah jaringan ikat pada kelopak mata. Namun begitu, reaktivasi dari keratitis, episkleritis, skleritis maupun iritis masih mungkin terjadi (Kanskis Clinical Ophtalmology, 2015).

Tabel 2.5 Perbedaan Keratitis Herpes Simplex dan Varicella Zoster

Sumber : American Association of Ophtalmology, 2015Rekomendasi terapi untuk HZO saat ini adalah famciclovir oral 3x500 mg, valacyclovir 3x1 g, atau acyclovir 5x800 mg selama 7-10 hari, yang sebaiknya dimulai dalam 72 jam pertama. Pengobatan antiviral topikal dinilai kurang efektif, sedangkan terapi acyclovir intravena (10 mg/kg/8 jam) diindikasikan pada pasien imunosupresi.Lesi kulit juga dapat ditangani dengan kompres hangat dan salep antibiotik.Kortikosteroid topikal dan siklopegia diindikasikan untuk keratouveitis. Kortikosteroid oral direkomendasikan pada pasien usia lebih dari 60 tahun dengan HZO untuk mengurangi nyeri akut dan memperbaiki kualitas hidup.PHN dapat ditangani dengan krim capsaicin serta dosis rendah dari amitriptilin, despiramin, clomipramin, ataupun carbamazepin. Gabapentin dan pregabalin juga menunjukkan manfaat yang cukup signifikan dalam penanganan PHN.Pemberian artificial tears, gel, dan salep diindikasikan pada keratopati neurotropik.Pada pasien dengan nyeri yang signifikan, rujukan segera untuk penanganan nyeri harus segera dipertimbangkan.

Adenovirus KeratitisAdenovirus merupakan jenis virus yang paling banyak menyebabkan konjungtivitis dan juga merupakan penyebab utama dari epidemic keratoconjunctivitis. Virus ini menyebar melalui droplet dan cairan tubuh dari pasien yang terinfeksi melalui hidung, tenggorokan, dan konjungtiva (Kishan et.al, 2015). Masing-masing subtype dari adenovirus memberikan gejala yang mata. Secara umum, penyakit mata akibat adenovirus dapat muncul sebagai 1 dari 3 sindroma klasik, yakni simple follicular conjunctivitis (semua serotype), pharyngoconjunctival fever (serotype 3 atau 7), serta epidemic keratokonjunctivitis/EKC (serotype 8, 19, atau 37 dan subgroup D) (American Association of Ophtalmology, 2005).Dalam suatu penelitian, gejala yang paling sering muncul sebagai manifestasi infeksi adenovirus pada mata adalah mata merah, nyeri, mata berair, sekret mukoid, dan rasa gatal pada mata (Kishan et.al, 2015). Berdasarkan 3 kelompok penyakit mata akibat adenovirus, dapat dijabarkan beberapa gejala khas pada masing-masing kelompok tersebut. Adenoviral follicular conjunctivitis bersifat self-limited, tidak berkorelasi dengan penyakit sistemik, dan terkadang tidak menunjukkan gejala yang signifikan sehingga pasien cenderung tidak mencari pengobatan yang spesifik. Bila terdapat keratitis epithelial pada kelompok ini, maka keratitis itu hanya bersifat ringan dan fleeting. Pharyngoconjunctival fever memiliki karakteristik demam, nyeri kepala, faringitis, konjungtivitis folikular, dan adenopati preaurikular.Epidemic keratoconjunctivitis adalah satu-satunya manifestasi infeksi adenovirus pada mata yang memberikan gangguan yang signifikan pada kornea. Infeksi biasanya terjadi bilateral dan muncul setelah terjadi suatu episode infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Konjungtivitis folikular berat akan muncul setelah 7-10 hari pasca inokulasi, yang berhubungan dengan terjadinya keratitis epithelial punctata. Pada pemeriksaan akan didapatkan chemosis, bintik perdarahan ptechiae, dan terkadang perdarahan subkonjungtiva. Adenopati preaurikular sangat menonjol. Dapat terbentuk membrane ataupun pseudomembran pada tarsus konjungtiva. Pasien akan mengeluhkan adanya mata berair, sensitivitas terhadap cahaya, dan sensasi adanya benda asing di mata. Erosi kornea geografis luas di sentral dapat terbentuk dan bertahan selama beberapa hari. Dalam 7-14 hari setelah onset, infiltrat pada kornea di lapisan subepitelial (stromal) yang bersifat multifokal dapat terlihat pada pemeriksaan dengan slit lamp. Fotofobia dan penurunan visus akibat infiltrat tersebut dapat menetap selama beberapa bulan ataupun tahunan. Komplikasi kronis pada konjungtiva dapat berupa scar pada subepitelial kornea, simblefaron, dan sindroma mata kering akibat adanya hambatan pada kelenjar lakrimal ataupun duktus lakrimal (American Association of Ophtalmology, 2005). Selain itu, suatu penelitian juga menunjukkan adanya penurunan sensibilitas kornea pada pasien dengan EKC (Eser et.al, 2013).

Gambar 2.7 Infiltrat Subepitelial Kornea pada Pasien dengan EKC

Pemeriksaan penunjang pada penegakan diagnosis EKC tidak terlalu banyak membantu. Kultur dapat dilakukan untuk membedakan adenovirus dengan HSV, namun sebagian besar EKC telah sembuh bahkan sebelum hasil dari kultur didapatkan. Rapid Immunodetection Assay dapat dilakukan untuk mendeteksi antigen adenovirus di konjungtiva. Titer serologi selama 2-3 minggu awal juga dapat menunjukkan infeksi akut dari adenovirus, namun tes ini jarang dilakukan. Karena hal tersebut, maka diagnosis dari EKC lebih sering ditegakkan berdasarkan klinis konjungtivitis folikular bilateral dengan disertai perdarahan ptechiae pada konjungtiva, pseudomembran konjungtiva, ataupun adanya infiltrat subepithelial bilateral.

Gambar 2.8 Membran Konjungtiva pada Pasien dengan EKC

Terapi pada pasien dengan infeksi mata akibat adenovirus lebih bersifat supotif. Kompres dingin dan artificial tears dapat membantu secara simptomatik. Antibiotik topikal hanya diindikasikan pada pasien dengan gejala klinis mengarah ke infeksi bakteri ataupun ketika viral belum dapat dipastikan sebagai penyebab pasti dari suatu keratitis.Steroid topikal dapat diberikan untuk mengurangi fotofobia dan memperbaiki gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial akibat adenovirus. Namun, pemakaian steroid hanya dibatasi pada pasien dengan indikasi spesifik seperti adanya membran pada konjungtiva dan gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial bilateral. Pada pasien dengan membrane pada konjungtiva, harus dilakukan pengambilan manual oleh dokter dengan menggunakan forsep atau dengan lidi kapas setiap 2-3 hari, dikombinasikan dengan steroid topikal untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya jaringan parut.Pasien dengan infeksi yang masih aktif dapat menyebarkan virus ini dengan cepat, sehingga penularan harus dicegah dengan menjaga higienitas seperti sering mencuci tangan, handuk, sapu tangan, maupun sarung bantal serta membuang setiap tisu yang sudah terkontaminasi pada tempatnya. Pasien yang bekerja dan berhubungan dengan masyarakat harus mengambil hari libur untuk menghindari penularan pada orang lain. Pasien dikatakan masih infeksius jika pasien masih menunjukkan gejala mata merah dan berair.

2.7 Komplikasi KeratitisKeratitis yang tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi pada mata. Beberapa komplikasi dari keratitis di antaranya adalah inflamasi kronis pada kornea, terbentuknya ulkus kornea, terbentuknya jaringan parut (scar) pada kornea, hingga hilangnya penglihatan pada mata yang terinfeksi. Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah uveitis.Uveitis merupakan peradangan pada uvea. Uveitis dapat terjadi sebagai suatu komplikasi dari keratitis akibat respon uvea terhadap kornea yang terpenuhi oleh antigen (Jones, 1958).Gejala uveitis secara umum adalah mata merah, nyeri, fotofobia, epifora, dan gangguan penglihatan, baik berupa pandangan kabur, skotoma, maupun floaters. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan juga adanya injeksi siliar, miosis, hipopion, adanya sel radang pada kamera okuli anterior, keratic precipitate, eksudat fibrin, nodul pada iris, sinekia (anterior ataupun posterior), atrofi iris, band keratopathy, rubeosis iridis, serta penurunan TIO. Terapi yang dapat diberikan pada uveitis adalah agen midriatil, siklopegia, NSAID, steroid, dan imunomodulator.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1Identitas Nama: Ny. S Umur: 60 tahun Jenis Kelamin: Perempuan Agama: Islam Pekerjaan: Petani Alamat: Ds. Kasin 27/09 Karangploso

3.2 Anamnesis3.2.1 Keluhan Utama Penglihatan mata kiri kabur3.2.2 Riwayat Penyakit SekarangPasien merasakan mata kiri kabur sejak 1 minggu sebelum ke poli mata RSSA. Pasien merasa pandangan tertutup bayangan. Selain itu pasien juga mengeluhkan silau yang berlebihan saat melihat cahaya. Mata merah (+) sejak 10 hari sebelum ke poli mata RSSA, nyeri (+), nrocoh (+). Saat ini keluhan dirasa sudah cukup membaik.Pasien memiliki riwayat trauma mata kelilipan padi sebelum keluhan mata merah dirasakan.3.2.3 Riwayat Penyakit DahuluPasien memiliki riwayat HT dengan tensi 150/100 namun pasien tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi. Riwayat DM disangkal. Riwayat nyeri sendi, batuk lama, kelainan di kulit beberapa hari sebelum keluhan muncul disangkal. 3.2.4 Riwayat Terapi Pasien awalnya menggunakan pengobatan berupa obat tetes mata Herbal dan obat tetes mata Visine, masing-masing 2x1 tetes tiap harinya. Namun, keluhan dirasa tidak membaik sehingga pasien berobat ke poli mata RSSA. Pasien kemudian 4 hari yang lalu berobat ke Poli Mata RSSA, didiagnosis dengan keratokonjungtivitis dan diberi pengobatan Levofloxacin eye drop 8x1 OS dan Protagent A eye drop 6x1 OS.3.2.5 Riwayat Keluarga DM (-), HT (-).

3.2.6 Riwayat KacamataPasien pernah menggunakan kacamata baca.

3.3 Pemeriksaan Fisik5/30 ph 5/8.5Visus5/8.5F kms 5/8.5 F

OrthophoriaKedudukanOrthophoria

Gerakan Bola Mata

Spasme (-), Edema (-)PalpebraSpasme (-), Edema (-),

CI (-), PCI (-)KonjungtivaCI (+), PCI (+), sekret (-)

JernihKorneaErosi (+), infiltrat (+) di subepitel, edema (+), Keratic Precipitate putih (+) di sentral

DalamC.O.ADalam, cell (-), flare (-)

RadlineIrisRadline, sinekia (-)

Bulat,diameter 3mm, RP (+)PupilBulat,diameter 3mm, RP (+)

Keruh tipisLensaJernih

n/pTIOn/p

3.4 Status Generalis GCS 456 TD: 140/90 mmHg.

3.5 Status Lokalis MataTanggal 25 September 2015

OSOD

OSOD

Pemeriksaan Okuli Sinitra dengan Slit Lamp + Fluorescin

3.6 Diagnosis BandingOS KeratouveitisOS Keratokonjungtivitis

3.7 AssessmentOS Keratouveitis

3.8 Planning Terapi Vosama eyedrop 6x1 OS Levofloxacin eyedrops 4x1 OS Protagent A eyedrops 6x1 OSPlanning Edukasi KIE pasien tentang penyakitnya yang kemungkinan disebabkan virus KIE pasien tentang kemungkinan penularan dan pentingnya menjaga higienitas dengan mencuci tangan KIE pasien tentang pengobatannya KIE pasien untuk tidak menggunakan obat herbal yang sebelumnya digunakan

3.8 PrognosisAd visam: dubia ad bonamAd fungsionam: dubia ad bonamAd kosmetika: dubia ad bonamAd sanam: dubiaAd vitam: bonam

3.9 Follow Up 30 September 2015Keluhan utama: keluhan sudah membaik, kabur sudah berkurang, merah (-) nyeri (-), nrocoh (-), klawer-klawer (-).

Pemeriksaan Fisik5/20F ph 5/8.5Visus5/8.5F kms 5/8.5F

OrthophoriaKedudukanOrthophoria

Gerakan Bola Mata

Spasme (-), Edema (-)PalpebraSpasme (-), Edema (-),

CI (-), PCI (-)KonjungtivaCI (+), PCI (+), sekret (-)

JernihKorneaErosi (+) punctata, infiltrat disciform(+) di subepitel, edema (+), Keratic Precipitate putih (-)

DalamC.O.ADalam, cell (-), flare (-)

RadlineIrisRadline, sinekia (-)

Bulat,diameter 3mm, RP (+)PupilBulat,diameter 3mm, RP (+)

JernihLensaJernih

n/pTIOn/p

Diagnosa KerjaOS Keratouveitis suspek viral dengan perbaikan

Terapi Vosama eyedrop 6x1 OS Levofloxacin eyedrops 4x1 OS Protagent A eyedrops 6x1 OS KIE kontrol 1 minggu

BAB IVPEMBAHASAN

Secara epidemiologi, keratouveitis paling jarang terjadi pada pasien pediatrik dan paling sering ditemukan pada pasien usia sekitar 65 tahun. Keratouveitis lebih sering mengenai wanita dibandingkan dengan laki-laki. Faktor resiko pada keratouveitis secara umum ialah defisiensi vitamin A, trauma dan kerusakan epitel, pemakaian lensa kontak, daya imunitas yang berkurang, pemakaian kortikosteroid, musim panas dan daerah yang lembab, serta herpes genital. Pada keratitis oleh virus, faktor resiko reaktifasi ialah trauma, sinar matahari, panas, menstruasi, stress, penyakit infeksi, dan keadaan imunokompromis. Pada kasus ini, didapatkan bahwa usia pasien adalah 60 tahun dan pasien berjenis kelamin wanita. Pasien tersebut memiliki riwayat trauma dan kerusakan epitel pada mata yang terinfeksi, terpapar sinar matahari, panas, dan suhu yang lembab. Hal ini sesuai dengan epidemiologi serta faktor resiko keratouveitis pada landasan teori.Pasien dengan keratouveitis secara umum akan mengeluhkan adanya mata merah, nyeri, fotofobia, epifora (banyak keluar air mata), perasaan adanya benda asing dan pandangan kabur pada mata yang terinfeksi. Pada keratitis bakterial, akan didapatkan keluhan yang lebih spesifik berupa sekret mukopurulen hingga purulen. Keratitis fungal akan memberikan keluhan berupa nyeri gradual, perasaan mengganjal pada mata, fotofobia, pandangan kabur dan sekret yang bersifat watery hingga mukopurulen. Pasien dengan Herpes Zoster Ophtalmika dapat memberikan keluhan spesifik berupa nyeri pada mata disertai munculnya lesi kulit berbentuk vesikel bergerombol yang mengikuti alur dermatom dan nyeri. Keratitis akibat infeksi virus Herpes Simplex dan adenovirus memberikan gambaran yang mirip, yakni mata merah, nyeri, mata berair, sekret mukoid, dan rasa gatal pada mata. Namun, pada EKC pasien akan cenderung mengeluhkan adanya mata berair, sensitivitas terhadap cahaya, dan sensasi adanya benda asing di mata. Keluhan biasanya muncul setelah terjadi suatu episode ISPA. Gejala uveitis secara umum adalah mata merah, nyeri, fotofobia, epifora, dan gangguan penglihatan, baik berupa pandangan kabur, skotoma, maupun floaters. Pada uveitis anterior gejala yang muncul meliputi nyeri unilateral, fotofobia, mata merah disertai sekret watery, terkadang dengan sedikit rasa tidak nyaman pada mata selama beberapa hari.Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan pandangan mata kiri kabur disertai dengan mata merah, rasa nyeri pada mata kiri, rasa panas pada mata, mata berair, terasa mengganjal, dan sensitif terhadap cahaya. Pasien juga mengaku beberapa hari sebelum muncul keluhan pada mata, pasien mengalami batuk yang tidak terlalu mengganggu. Tidak ditemukan adanya keluhan secret mukopurulen maupun adanya lesi kulit berbentuk vesikel bergerombol yang mengikuti alur dermatom dan nyeri. Maka pasien ini dapat didiagnosis sebagai keratouveitis dengan kecurigaan virus sebagai organisme penyebab.Pada pemeriksaan fisik, gambaran yang mungkin didapatkan pada pasien dengan keratouveitis dapat berupa visus yang menurun. Gambaran lain dari keratouveitis adalah gambaran keratitis punctata difusa non spesifik yang sering disertai konjungtivitis folikularis akut dan adanya pembentukan pseudomembran. Namun, bila infeksi tersebut merupakan infeksi rekuren, gambaran yang didapatkan mungkin berupa lesi kornea khas berbentuk dendrite, geografis, disiformis, maupun punctata. Tes fluoresin akan menunjukkan hasil positif dan tes sensibilitas akan menurun sampai dengan negatif. Selain itu, juga bisa didapatkan neurotrophic ulcer (ulkus steril dengan tepi epitel yang halus pada area stroma kornea interpalpebral yang menetap atau memburuk setelah terapi antiviral) serta scar/ghost dendritic.Tanda lain yang bisa didapatkan pada pemeriksaan segmen anterior adalah spasme ataupun edema ringan pada kelopak mata, konjungtiva yang hiperemis, dilatasi pembuluh darah di sekitar limbus (hiperemi perikorneal), keratik presipitat, flare disertai hipopion atau fibrin, edema iris, sinekia, serta reflek pupil yang lambat hingga negatif.Hasil pemeriksaan fisik pada keratouveitis viral juga dapat ditentukan dari jenis virus penyebab dari penyakit tersebut. Uveitis anterior herpetik memberikan karakteristik berupa keratik presipitat yang bersifat difus, inflamasi sedang, sinekia posterior, dan atrofi iris, baik sektoral maupun difus. Uveitis yang dikarenakan HSV cenderung memberikan gambaran patchy atrophy di sekitar sphincter pupil.Tekanan intraokuli cenderung meningkat. HSV lebih banyak menginfeksi kelompok usia muda, sedangkan HZV lebih banyak ditemukan pada usia tua dan pasien immunocompromised.Pada keratitis bakterial akan didapatkan defek epitel dengan infiltrat luas dan injeksi kornea yang bermakna. Pada keratitis fungal, akan didapatkan gambaran infiltrat putih kekuningan, defek epitel, serta adanya anterior uveitis, hipopion, plak endothelial, TIO yang meningkat, skleritis dan endoftalmitis. Pada HZO, dapat ditemukan keratitis epithelial akut yang ditandai dengan lesi dendritik yang lebih kecil dan halus dibandingkan dendrite pada herpes simpleks, konjungtivitis, episkleritis dan skleriitis, keratitis numularis/stromal/disiform, serta uveitis baik anterior maupun posterior. Keratitis Herpes Simplex akan memberikan gambaran berupa sel epitel yang berupa punctat kasar ataupun berbentuk stellata, deskuamasi sentral, edema stromal, adanya keratic precipitates, lipatan membrane Descemet pada kasus yang berat, penurunan sensibilitas kornea, kekeruhan subepitelial, serta TIO yang cenderung meningkat. Pada EKC, konjungtivitis folikular berat akan muncul setelah 7-10 hari pasca inokulasi, yang berhubungan dengan terjadinya keratitis epithelial punctata. Pada pemeriksaan akan didapatkan chemosis, bintik perdarahan ptechiae, dan terkadang perdarahan subkonjungtiva. Adenopati preaurikular sangat menonjol. Dapat terbentuk membran ataupun pseudomembran pada tarsus konjungtiva. Erosi kornea geografis luas di sentral dapat terbentuk dan bertahan selama beberapa hari. Dalam 7-14 hari setelah onset, infiltrat pada kornea di lapisan subepitelial (stromal) yang bersifat multifokal dapat terlihat pada pemeriksaan dengan slit lamp. Selain itu, penurunan sensibilitas kornea juga dapat ditemukan pada pasien dengan EKC.Pada kasus ini, dari pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan hasil berupa CI, PCI, erosi kornea, infiltrat subepitel berbentuk disiformis, edema kornea, dan Keratic Precipitate putih di sentral. Tes fluoresin pada pasien ini memberikan hasil yang positif. Gambaran pemeriksaan fisik tersebut juga menunjukkan bahwa pasien menderita keratouveitis. Selanjutnya, masih perlu dilakukan pemeriksaan sensibilitas kornea untuk mengarahkan kemungkinan agen penyebab keratouveitis pada pasien ini.Tatalaksana pada keratitis, terutama yang diakibatkan oleh virus, awalnya lebih bersifat supotif. Kompres dingin dan artificial tears dapat membantu secara simptomatik. Antibiotik topikal hanya diindikasikan pada pasien dengan gejala klinis mengarah ke infeksi bakteri ataupun ketika viral belum dapat dipastikan sebagai penyebab pasti dari suatu keratitis. Steroid topikal dapat diberikan untuk mengurangi fotofobia dan memperbaiki gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial akibat adenovirus. Namun, pemakaian steroid hanya dibatasi pada pasien dengan indikasi spesifik seperti adanya membran pada konjungtiva dan gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial bilateral. Pada pasien dengan membrane pada konjungtiva, harus dilakukan pengambilan manual oleh dokter dengan menggunakan forsep atau dengan lidi kapas setiap 2-3 hari, dikombinasikan dengan steroid topikal untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya jaringan parut. Sedangkan terapi untuk uveitis adalah agen midriatil, siklopegia, steroid, serta imunomodulator.Pada kasus ini, pasien ditatalaksana dengan Vosama eyedrop 6x1 OS, Levofloxacin eyedrops 4x1 OS, dan Protagent A eyedrops 6x1 OS. Terapi ini sesuai dengan teori mengenai tatalaksana terhadap keratouveitis akibat virus, terutama adenovirus. Vosama merupakan steroid yang diberikan dengan tujuan untuk mengurangi fotofobia, memperbaiki gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial akibat adenovirus, serta mengobati uveitis yang terdapat pada pasien. Levofloxacin diberikan sebagai pencegahan terjadinya infeksi sekunder serta sebagai proteksi karena adanya erosi epitel pada kornea pasien. Selain itu, pada pasien ini dapat diberikan antibiotik topikal karena virus belum dapat dipastikan sebagai penyebab pasti dari suatu keratitis. Sedangkan protagent A diberikan sebagai artificial tears dan membantu reepitelisasi pada daerah kornea yang terjadi erosi. Pada follow up, pasien menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan, yang menunjukkan terapi yang diberikan sudah adekuat dan tepat.Keratitis akibat adenovirus merupakan suatu penyakit yang mudah menular. Pasien dengan infeksi yang masih aktif dapat menyebarkan virus ini dengan cepat, sehingga penularan harus dicegah dengan menjaga higienitas seperti sering mencuci tangan, handuk, sapu tangan, maupun sarung bantal serta membuang setiap tisu yang sudah terkontaminasi pada tempatnya. Pasien yang bekerja dan berhubungan dengan masyarakat harus mengambil hari libur untuk menghindari penularan pada orang lain. Pasien dikatakan masih infeksius jika pasien masih menunjukkan gejala mata merah dan berair. Karena itu, pada kasus ini pasien diberikan KIE untuk menjaga higienitas dan mencegah kemungkinan penularan kepada sekitarnya.

BAB VKESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus OS keratouveitis pada seorang wanita berusia 60 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan keluhan pandangan mata kiri kabur disertai dengan mata merah, rasa nyeri pada mata kiri, rasa panas pada mata, mata berair, terasa mengganjal, dan sensitif terhadap cahaya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan CI, PCI, erosi kornea, infiltrat subepitel berbentuk disiformis, edema kornea, dan Keratic Precipitate putih di sentral. Tes fluoresin pada pasien ini memberikan hasil yang positif. Pasien ditatalaksana dengan menggunakan Vosama eye drop 6x1 OS, Levofloxacin eyedrops 4x1 OS, dan Protagent A eyedrops 6x1 OS. Pada follow up pasien menunjukkan perbaikan yang berarti, sehingga dapat disimpulkan pemberian tatalaksana sudah cukup tepat dan adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course, External Disease and Cornea, 2005-2006, 134-145

American Association of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course, Intraocular Inflammation and Uveitis, 2005-2006, 85-115.

Ashbury T, et al., 2007, General Ophthalmology, Lange: California

Beiser, JA, Rota PA, Tumpey M. Ocular Tropism of Respiratory Viruses. American Society for Microbiology. 2013, 77: 144-156

Eser HO, Baris S, Umit B. Corneal Sensitivity may Decrease in Adenoviral Epidemic KeratoconjunctivitisA Confocal Microscopic Study. Eye&Contact Lens: Science&Clinical Practice, 2013, 39(4): 264-268

Farooq AV, Shukia D, Herpes simplex epithelial and stromal keratitis: an epidemiologic update. Surv Ophthalmol. 2012, 57(5):448-462

Gritz DC, Wong IG. The incidence and prevalence of uveitis in Northern California: The Northern California Epidemiology of Uveitis Study. Ophthalmology. 2004, 111(3 ): 491 - 500.

Ilyas S. Glaukoma. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2013.

James T. Rosenbaum. 2003. Oregon Health Sciences University Portland, OR, USA

Jones BR. The Clinical Features of Viral Keratitis and a Concept of Their Pathogenesis. Proceedings of the Royal Society of Medicine, 1958, 51(13): 917-924.

Kanski, J. J. 2003. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach. Fifth Edition. Butterworth Heinemann. Edinburgh.

Kishan MG, Baldava S, Reddy JV. Profile of Viral Conjunctivitis. Journal of Evidence-based Medicine and Healthcare, 2015, 2(15): 2296-2302

Laibson PR, Dhiri S, Oconer J, Ortolan G. Corneal Infiltrates in Epidemic Keratoconjunctivitis: Response to Double-Blind Corticosteroid Therapy. Arch Ophtalmol, 1970, 84: 36-40.

Levinger E, Trivizki O, Shachar Y, Levinger S, Verssano D. Topical 0.03% Tacrolimus for Subepithelial Infiltrates Secondary to Adenoviral Keratoconjunctivitis. Graefes Archive for Clinical and Experimental Ophtalmology. 2014, 252(5): 811-816

Mundey K, Sofi IA, Priya. Unexplained Anterior Uveitis: Viral Causes. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 2015, 9(8): 1

Nagpal A, Leigh JF, Acharya NR. Epidemiology of uveitis in children. Int Ophthalmol Clin. 2008, 48(3):17

Nussenblatt RB, Whitcup SM. Uveitis: Fundamentals and Clinical Practice. 3rd ed. Philadelphia, PA: Mosby; 2004.

Rathinam SR, Namperumalsamy P. Global variation and pattern changes in epidemiology of uveitis. Indian J Ophthalmol. 2007, 55(3):173- 183.

Sharma S. Keratitis. Bioscience Reports, 2001, 21(4): 419-444.

Spencer WH. 1985. Cornea, Chapter 3 in: Ophtalmic Pathology: An Atlas and Textbook, Vol.1, 3rd ed., WB Saunders Company, Philadelphia.

Streilein JW, Ma N, Venkel H, Ng TF, Zamiri P. Immunobiology and privilege of neuronal retina and pigment epithelium transplants. Vision Res. 2002, 42(4):487-495.

Waly, New Management of Epidemic Viral Keratoconjunctivitis. Journal of Ophthalmology and Visual Science, 2004, 3(2).

Wenkel H, Streilein JW. Evidence that retinal pigment epithelium functions as an immune- privileged tissue. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2000, 41(11): 3467-3347

Yang P, Zhang Z, Zhou H, et al. Clinical patterns and characteristics of uveitis in a tertiary center for uveitis in China. Curr Eye Res. 2005, 30(11): 943- 948.

Sundmacher R, Neumann-Haefelin D: Herpes simplex virus-positive and -negative keratouveitis. In Silverstein AM, O'Connor R (eds): Immunology and Immunopathology of the Eye p 225. New York: Masson, 1979

32