Geriatri Satu

19
Tinjauan Pustaka Aspek Fisiologis dan Patologis Akibat Menua Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organorgannya makin besar. Penurunan tersebut tidak dikaitkan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Penurunan tadi akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit pada organ tersebut. Umur biologik dipengaruhi oleh faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan kurangnya aktivitas (Martono et al., 2009). Petanda penuaan-adalah bukan pada tampilan organ atau organisme saat istirahat, akan tetapi bagaimana organ atau organisme tersebut dapat beradaptasi terhadap stres dari luar. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia kadang bekerja sama untuk menghasilkan nilai fungsional yang terlihat normal pada lansia (Martono et al., 2009). Pada lansia terdapat beberapa perubahan fisik seperti (Setiati et al., 2007): Sistem saraf Sistem endokrin a. Berat otak menurun 10-20% b. Cepatnya menurun hubungan persarafan c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya untuk stress d. Mengecilnya saraf panca indera e. Kurang sensitif terhadap sentuhan a. Produksi semua hormon menurun b. Menurunnya aktivitas tiroid dan BMR c. Menurunnya produksi aldosteron d. Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya estrogen, progesteron, dan testosteron Sistem pendengaran Sistem gastrointestinal

description

turorial

Transcript of Geriatri Satu

Tinjauan Pustaka

Aspek Fisiologis dan Patologis Akibat Menua

Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organorgannya makin besar. Penurunan tersebut tidak dikaitkan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Penurunan tadi akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit pada organ tersebut. Umur biologik dipengaruhi oleh faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan kurangnya aktivitas (Martono et al., 2009).

Petanda penuaan-adalah bukan pada tampilan organ atau organisme saat istirahat, akan tetapi bagaimana organ atau organisme tersebut dapat beradaptasi terhadap stres dari luar. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia kadang bekerja sama untuk menghasilkan nilai fungsional yang terlihat normal pada lansia (Martono et al., 2009).

Pada lansia terdapat beberapa perubahan fisik seperti (Setiati et al., 2007):

Sistem saraf Sistem endokrin

a. Berat otak menurun 10-20%

b. Cepatnya menurun hubungan persarafan

c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya untuk stress

d. Mengecilnya saraf panca indera

e. Kurang sensitif terhadap sentuhan

a. Produksi semua hormon menurun

b. Menurunnya aktivitas tiroid dan BMR

c. Menurunnya produksi aldosteron

d. Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya estrogen, progesteron, dan testosteron

Sistem pendengaran Sistem gastrointestinal

a. Presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) terutama trhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi

b. Otosklerosis akibat atrofi membran timpani

c. Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin

d. Kehilangan gigi

e. Kemampuan indera pengecap menurun

f. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun

g. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi

h. Daya absorbsi lemah

Sistem penglihatan Sistem kardiorespirasi

a. Timbul sklerosis dan hilangnya a. Kemampuan jantung memompa

respon terhadap sinar; lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap

b. Kornea lebih berbentuk sferis (bola)

c. Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak

d. Hilangnya daya akomodasi

e. Menurunnya lapang pandang

f. Menurunnya daya membedakan warna

darah menurun

b. Kehilangan elastisitas pembluh darah

c. Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh daarah perifer

d. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku

e. Paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapsitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman pernafasan menurun

Sistem muskuloskeletal Sistem perkemihan

a. Tulang kehilangan density dan makin rapuh

b. Pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas

c. Persendian membesar dan menjadi kaku

d. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis

e. Atrofi serabut otot tapi otot-otot polos tidak begitu berpengaruh

a. Nefron menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%

b. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

Pemeriksaan khusus pada geriatri

Pemeriksaan khusus yang akan di bahas disini adalah screening fungsi kognitif melalui MSSE (Mini Mental State Examination) dan screening GDS (Geriatric Depression Scale).

A. MMSE (Mini Mental State Examination)

MMSE merupakan alat yang digunakan secara sistematik untuk mengukur status mental. Terdapat 11 pertanyaan yang mengukur 5 area dalam fungsi kognitif: orientasi, registrasi, perhatian, dan kalkulasi, recall, dan bahasa. Skor maksimum adalah 30. Skor dibawah 23 atau lebih rendah lagi mengindikasikan adanya gangguan kognitif (Wallace,1999).

B. GDS (Geriatric Depression Scale)GDS tidak digunakan sebagai alat diagnosis. Alat ini hanya digunakan untuk screening adanya depresi pada usia lanjut. GDS dapat digunakan untuk orang sehat, sakit medis, dan gangguan kognitif ringan sampai sedang. Alat ini sudah digunakan luas di komunitas, dan perawatan akut dan jangka panjang. Terdapat 15 pertanyaan yang perlu dijawab. Nilai 0-4 normal, 5-9 depresi ringan, 10-15 depresi lebih parah (Thomas, 2009).

C. Index Barthel

Merupakan pengukuran untuk mengetahui kemampuan fungsional seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Activity Daily Life) (John, dkk, 1998).

NO FUNGSI SKOR KETERANGAN

1 Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar).

pembuangan tinja 1

2 Kadang-kadang tak terkendali (1x seminggu).

Terkendali teratur.

2 Mengendalikan rangsang berkemih

0

1

2

Tak terkendali atau pakai kateter

Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/24 jam)

Mandiri

3 Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi)

0

1

Butuh pertolongan orang lain

Mandiri

4 Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)

0

1

2

Tergantung pertolongan orang lain

Perlu pertolonganpada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain.

Mandiri

5 Makan 0

1

2

Tidak mampu

Perlu ditolong memotong makanan

Mandiri

6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk

0

1

2

3

Tidak mampu

Perlu banyak bantuan untuk bias duduk

Bantuan minimal 1 orang.

Mandiri

7 Berpindah/ berjalan 0

1

2

3

Tidak mampu

Bisa (pindah) dengan kursi roda.

Berjalan dengan bantuan 1 orang.

Mandiri

8 Memakai baju 0

1

2

Tergantung orang lain

Sebagian dibantu (mis: memakai baju)

Mandiri.

9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu

1

2

Butuh pertolongan

Mandiri

10 Mandi 0

1

Tergantung orang lain

Mandiri

Interpretasi dari skor indeks barthel adalah:

20 : Mandiri

12-19 :Ketergantungan ringan

9-11 : Ketergantungan sedang

5-8 : Ketergantungan berat

0-4 : Ketergantungan total

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang akan di bahas di bagian ini adalah jatuh, hipertensi, gagal ginjal, dan osteoarthritis.

A. JatuhJatuh adalah kejadian yang tidak disadari oleh seseorang yang terduduk di lantai/tanah atau tempat yang lebih rendah. Adapula ynag mendefinisikan jatuh sebagai suatu kejadian yang dilaporkan oleh saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang menadadak terbaring atau terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Martono et al., 2009).Banyak faktor yang berperan dalam jatuh, bauik faktr intrinsik maupun ekstrinsik (Kane et al., 2004).

Direkomendasikan untuk melakukan asesmen pada semua lansia sebagai bagian dari pemeriksaan rutin yang meliputi:1. Semua lansia yang kontrol rutin di puskesmas atau dokter atau tenaga kesehatan

lain wajib untuk ditanya tentang jatuh minimal setahun sekali.2. Semua lansia yang pernah dilaporkan jatuh satu kali wajib diobservasi dengan

meminta untuk melakukan the get up and go test. Jika pasien dapat melakukan tanpa kesulitan tidak memerlukan asesmen lanjutan.

3. Pasien yang mengalami kesulitan untuk memerlukan kajian yang lebih lanjut (Martono et al., 2009).

Penatalaksanaan dilalkukan untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi komplikasi yang terjadi. Penatalaksanaan bersifat individualis, artinya berbeda-beda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bersama-sama mengakibatkan jatuh. Penatalaksanaan yang mungkin perlu untuk dilakukan misalnya: pengelolaan gangguan penglihatan, pengelolaan gangguan keseimbangan, intervensi obat-obatan, intervensi lingkungan, pemakaian alas kaki, intervenmsi pendidikan/pengetahuan yang berhubungan jatuh (Martono et al., 2009).

B. HipertensiFaktor yang berperan dalam patogenesis hipertensi pada lanjut usia terutama adalah:1. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua.

Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi-glomerulo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.

2. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.3. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer.4. Perubahan ateromatos akibat proses menua (Martono et al., 2009)

Jenis hipertensi pada usia lanjut menurut JNC VII adalah (martono et al., 2009):

1. Hipertensi sistolik saja2. Hipertensi diastolik3. Hipertensi sistolik-diastolik

Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC VII adalah sebagai berikut (JNC VII, 2004)):

Klasifikasi tekanan darah

Tekanan darah sistolik (mmHg)

Tekanan darah diastolik (mmHg)

Modifikasi gaya hidup

Terapi farmakologis inisial

normal <120 <80 Dianjurkan Tidak ada obat yang dianjurkanprehipertensi 120-139 80-89 Ya

Hipertensi stage 1

140-159 90-99 Ya Kebanyakan diureti thiazide. Dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, BB,CCB, atau kombinasi

Hipertensi stage 2

>159 >99 Ya Kombinasi dua obat (biasanya thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB

Ket: ACEI (angiotensin converting enzyme inhibitor), ARB (angiotensin receptor blocker), BB (beta blocker), CCB (calcium channel blocker).

Terdapat upaya upaya non-farmakologik, seperti (JNC VII, 2004):

Berhenti merokok.

Menurunkan berat badan yang berlebih.

Berhenti/mengurangi asupan alkohol.

Mengurangi asupan garam.

C. Gagal ginjal

Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal irreversible, pada

suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis

atau transplantasi ginjal (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Adapun kriteria

diagnosisnya adalah:

1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan

Kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG) dengan presentasi:

a) Kelainan struktur histopatologi ginjal.

b) Petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau

uji pencitraan ginjal.

2. LFG < 60 mL/menit/1.73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sukandar,2006).

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronis melibatkan dua mekanisme kerusakan: (1)

tahap inisiasi mekanisme kerusakan spesifik akibat penyakit yang mendasari, (2)

tahap mekanisme kerusakan progresif, diantaranya hiperfiltrasi dan hipertrofi

nefron yang tersisa, yang merupakan konsekuensi umum akibat berkurangnya

masa renal karena etiologi tertentu. Respon terhadap berkurangnya masa renal

dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Proses terhadap

kompensasi tadi akan menyebabkan respon maladaptif akibat kenaikan tekanan dan

aliran yang menyebabkan sklerosis dan rusaknya nefron yang tersisa (Fauci et al.,

2008).

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi: a) sesuai kondisi medis

yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus

urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematos Sistemik (LES), dan lain

sebagainya; b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual

muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma; c) gejala komplikasi antara lain,

hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,

gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009).

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis meliputi terapi spesifik terhadap penyakit

dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat

perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti

ginjal berupa dialisis atau transplantasi. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis

sesuai derajatnya adalah sebagai berikut:

Derajat LFG (ml/menit/1,73 mm)

Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan fungsi ginjal, megurangi resiko kardiovaskular

2 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi4 15-29 Persiapan untuk terapi

pengganti ginjal5 <15 Terapi pengganti ginjal

(Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009).

Hal yang perlu diperhatikan pada lanjut usia adaah kadang terjasi perubahan yang

bekerja sama untuk menghasilkan nilai fungsional yang terlihat normal pada

lansia. Pada lansia walaupun laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal sudah

menurun pada usia lanjut, banyak lansia menunjukan nilai kreatinin serum dalam

batas normal. Ini disebabkan karena massa otot “bersih” dan produksi kreatinin

yang sudah menurun pada lanjut usia. Oleh karena itu pada usia lanjut kreatinin

serum tidak begitu tepat untuk dijadikan sebagai indikator fungsi ginjal dibanding

pada usia muda. Pada lansia dianjurkan memakai formula Cockroft-Gault

(Martono et al., 2009).

D. Osteoarthritis

Osteoarthritis adalah penyakit sendi degenaratif yang berkembang lambat, progresif, dan menyebabkan kerusakan kartilago sendi (Isbagio, 200). Karakteristik penyakit ini antara lain menipisnya tulang rawan sendi secara progresif disertai pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya tulang rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik, proses OA ditandai dengan menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodeling tulang di sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang di sekitarnya. Beberapa faktor risiko OA adalah:

1. Umur : jarang pada usia < 40 tahun dan tersering usia > 60 tahun

2. Jenis kelamin : wanita (khususnya mengenai banyak sendi dan sendi lutut), laki-laki (biasanya pada sendi pinggul, pergelangan tangan, dan leher) dan setelah menopause lebih sering pada wanita dibanding laki-laki

3. Suku bangsa : orang kaukasoid lebih sering terkena daripada orang asia dan kulit hitam; orang Indian lebih sering dari orang kulit putih (Soeroso et al, 2007)

Klasifikasi osteoartritis menurut etiologinya :

1. Osteoartritis primer : kausanya tidak diketahui (idiopatik)

2. Osteoartritis sekunder : pekerjaan dan olahraga (tekanan berlebih, obesitas (beban tubuh berlebih), usia lanjut (proses penuaan), gangguan endokrin (menopause), cedera sendi) (inflamasi), genetik, kelainan pertumbuhan (Isbagio, 2007).

Manifestasi klini soteoartritis antar lain nyeri sendi, hambatan gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, perubahan gaya berjalan (Cicaherlina, 2006). Diagnosis OA dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa pemeriksaan dalam penegakkan diagnosis OA antara lain (Cicaherlina, 2006) :

1. Fisik : terdapat gambaran gejala klinis seperti yang disebut di atas

2. Radiologis : terdapat gambaran penyempitan celah sendi asimetris, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada tepi sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi

3. Laboratorium darah : pemeriksaan darah tepi dan imunologis (ANA, faktor rematoid dan komplemen) dalam keadaan normal. Namun, jika terjadi peradangan

akan terlihat penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan sel radang dan protein.

Gejala klinis:

Nyeri sendi, hambatan gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, kaku pagi, tanda-tanda radang (kalor, dolor, tumor, rubor, finctio laesa), deformitas sendi, perubahan gaya berjalan (Cichaerlina, 2006)

Patogenesis (Soeroso, et al, 2007)

Jejas mekanik pada sinovial sendi

Merangsang terbentuknya molekul abnormal

Degenerasi kartilago kompensatorikSendi+inflamasi

Aktivitas fibrinogenik regenerasi kartilago remodelling tulangAktivitas fibrinolitik

Trombus+kompleks lipid sintesis kolagen, proteoglikan, pembentukan osteofitMenyumbat pembuluh menekan enzim streptomisin, di tepi sendidarah proliferasi sel

Iskemik dan nekrosis jaringan menyebabkan penekananPeriosteum dan radiks

saraf

Merangsang mediator kimiawiProstaglandi dan interleukin nyeri

Nyeri merangsang monositmenjadi osteoklas danmeresorpsi matriks kartilago

Gangguan homeostasis sendi

Perlunakan, perpecahan, dan pengelupasan lapisan tulang rawan sendi (osteoarthritis)

Penatalaksanaan OA antara lain (Amalia, 2008; Cicaherlina, 2006):

1. Terapi farmakologis

a. Acetaminophen. Merupakan obat pertama yang direkomendasikan oleh dokter karena relatif aman dan efektif untuk mengurangi rasa nyeri.

b. NSAIDs. Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Mempunyai efek samping, yaitu menyebabkan sakit perut dan gangguan fungsi ginjal.

c. Topical pain. Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada kulit yang terasa sakit.

d. Tramadol (ultram). Tidak mempunyai efek samping seperti yang ada pada NSAIDs dan acetaminophen.

e. Milk narcotic painkillers. Mengandung analgetik seperti codein atau hydrocodone yang efektif mengurangi rasa sakit pada penderita osteoarthritis.

f. Corticosteroid. Efektif mengurangi rasa sakit.

g. Glucosamine dan chondroitin sulfate. Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoarthritis pada lutut.

2. Terapi non farmakologis

Ada beberapa cara dalam penanganan osteoarthritis non farmakologi, diantaranya (Amalia, 2008; Cicaherlina, 2006) :

a. Olahraga : mengurangi rasa sakit dan dapat membantu mengontrol berat badan. Olahraga untuk osteoarthritis antara lain berenang dan jogging.

b. Menjaga sendi : mengguanakan sendi dengan hati-hati dapat mengurangi stress pada sendi.

c. Panas/dingin : panas didapat, misalnya mandi air panas. Panas dapat mengurangi rasa sakit pada sendi dan melancarkan peredaran darah. Dingin dapat mengurangi pembengkakan pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat didapat dengan mengompres daerah yang sakit dengan air dingin.

d. Viscosupplementation : merupakan perawatan dari Canada untuk orang yang terkena OA pada lutut, berupa gel

e. Pembedahan : apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu kuat, akan dilakukan pembedahan. Dengan pembedahan, dapat memperbaiki bagian dari tulang.

f. Akupuntur : dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.

g. Pijat : pemijatan sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya.

h. Vitamin D, C, E, dan beta karotin. Untuk mengurangi laju perkembangan osteoarthritis.

Amalia. 2008. Osteoarthritis. http://fkui.org/tikidownload/wiki/attachment.php. diunduh tanggal 17 Maret 2011

Cicaherlina. 2006. Arthritis. www.kalbefarma.com/files/cdk/files/04penyakitpenyakit artritis023.pdf/04penyakitpenyakit023.html. diunduh tanggal 17 Maret 2011

Isbagio, Harry. 2000. Struktur Rawan Sendi dan Perubahannya pada Osteoarthritis. http:?www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_129_penyakit_sendi,pdf. Diunduh tanggal 17 Maret 2011

Soeroso J, et al. 2007.Osteoarthritis. In: Aru W.S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Martono, H. 2009. Martono, H. and Pranaka K. Buku Ajar Boedhie-Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 4th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

JNC-VII. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA. 269(19):2560-2572.

Sukandar E.2006. Nefrologi Klinik. Edisi 3. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS.Dr.Hasan: Sadikin

Suwitra K.2009. Penyakit Ginjal Kronis.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.2008. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th Edition. Mc Graw-Hill’s

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. 2004. Essentials of Clinical Geriatrics. 5th Edition. Mc Graw-Hill’s

Wallace M. 1999. The Mini Mental State Examination (MMSE). Hartford Institute for Geriatric Nursing. www.hartfordign.org. Diunduh tanggal 25 maret 2012

Thomas H.2009. Geriatric Depression Scale. http://www.patient.co.uk/doctor/Geriatric-Depression-Scale-(GDS).htm diundih pada 25 maret 2012

Joseph J. Gallo, William Reichel, Lillian M. Andersen. 1998. Buku Saku Gerontologi Edisi 2, Jakarta: EGC.