Gangguan Pergerakan2
-
Upload
ningrum-atmaja -
Category
Documents
-
view
39 -
download
10
description
Transcript of Gangguan Pergerakan2
1
GANGGUAN PERGERAKAN (MOVEMENT DISORDER SELAIN
PARKINSON)
Gerakan involuntar yang dapat dijumpai didalam klinik adalah khorea
(chorea), distonia, tremor essensial, tik, sindrom tourrete, mioklonus, balismus,
sindrom parkinson. Dalam kombinasi keempat gerakan involuntar itu dapat
menjadi simtomp suatu penyakit. Bahkan beberapa komponen gerakannya
memperlihatkan kesamaan, dan karena itulah mungkin keempat gerakan itu
memiliki substrat anatomik dan fisiologik yang sama.(1)
I. Khorea
a) Definisi
Korea berasal dari bahasa yunani yang berarti menari, pada korea gerak
otot berlangsung cepat, aritmik, dan kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas,
separuh badan atau seluruh badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak
atas (lengan dan tangan) terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan
gerakan yang harmonis antara otot-otot pergerakan, baik antara otot yang sinergis
maupun antagonis. (2)
Dengan kata lain korea adalah gerakan tak terkendali yang berupa
sentakan berskala besar dan berulang-ulang, seperti berdansa, yang dimulai pda
salah satu begian tubuh dan menjalar kebagian tubuh yang lainnya secara tiba-tiba
dan tak terduga. Gerak korea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan
dua macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya keatas
sambil menjulurkan lidah. Gerakan korea didapatkan dalam keadaan istirahat dan
menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Korea menghilang bila
penderitanya tidur. (2,3)
b) Etiologi
Korea bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa
terjadi pada beberapa penyakit yang berbeda. Seseorang yang mengalami korea
memiliki kelainan pada ganglia basalisnya di otak. Tugas ganglia basalis adalah
memperhalus gerakan-gerakan yang kasar yang merupakan perintah dari otak.
Pada sebagian besar kasus terdapat neurotransmiter dopamin yang berlebihan,
2
sehingga mempengaruhi fungsinya yang normal. Keadaan ini bisa diperburuk oleh
obat-obat dan penyakit yang menyebabkan perubahan kadar dopamin atau
merubah kemampuan otak untuk mengenal dopamine.(2,3)
c) Patofisiologi
Fungsi ganglia basalis yaitu membentuk impuls yang bersifat
dopaminergik dan GABAergik dari substansia nigra dan korteks motoris yang
berturut-turut disalurkan sampai ke pallidum didalam thalamus dan korteks
motoris. Impuls ini diatur dalam striatum melalui dua segmen yang paralel, jalur
langsung dan tidak langsung melalui medial pallidum dan lateral pallidum/ inti-
inti subtalamikus. (4,5)
Aktifitas inti subtalamikus mengendalikan pallidum medial untuk
menghambat impuls-impuls dari korteks, dengan demikian mempengaruhi
parkinsonisme. Kerusakan inti subtalamikus meningkatkan aktifitas motorik
melalui thalamus, sehingga timbul pergerakan involuntar yang abnormal seperti
distonia, korea, dan pergerakan tidak sadar. Contoh klasik kerusakan fungsi
penghambat inti subthalamicus adalah balismus. (4,5)
Sindrom chorea yang paling sering dipelajari adalah chorea Huntington, oleh
karena itu patofisiologi dari penyakit Huntington berlaku pada chorea dan akan
menjadi focus diskusi dibawah ini. (1)
Mekanisme Dopaminergik
Pada chorea Huntington, komposisi dari striatal dopamine normal,
mengindikasikan bahwa kelainan utama yang mengancam jiwa, tetapi sudah
terkena penyakit, ukuran menengah, pada striatal saraf-saraf dopaminergik. Zat-
zat farmakologik yang dapat menurunkan kadar dopamine (seperti reserpine,
tetrabenazine) atau memblok reseptor dopamine (seperti obat-obat neuroleptik)
dapat menimbulkan chorea. Sejak obat-obatan yang menurunkan komposisi
dopamine striatal dapat menimbulkan chorea, meningkatkan jumlah dopamine
akan menambah buruk seperti pada chorea yang diinduksi levodopa yang terlihat
pada penyakit Parkinson. (3,4,5)
Mekanisme Kolinergik
Konsep dari mekanisme ini yaitu menyeimbangkan antara acetylcholine
dan dopamine yang merupakan hal penting bagi fungsi striatum yang normal
3
memberikan hal penting untuk memahami penyakit parkinson.Pada fase awal
penyakit parkinson obat-obat anti kolinergik digunakan umum, khususnya saat
tremor sebagai gejala predominan. Gejala-gejala parkinson lain seperti
bradikinesia dan rigiditas juga dapat terjadi. (3,4,5)
Perkembangan korea pada pasien yang diberikan obat-obat kolinergik
seperti triheksipenidil merupakan pengamatan klinis yang umum. lebih lanjut obat
visostigmin intra vena (antikoliesterase sentral) dapat mengurangi korea untuk
sementara dengan cara yang sama korea yang diinduksi antikolinergik dapat
menjadi lebih berat dengan pemberian visostigmin. (3,4,5)
Dalam ganglia basalis pasien dengan penyakit huntington terjadi pengurangan
kolin asetil transferase, yaitu enzim yang mengkatalisator sintesis asetil kolin.
Berkurangnya reseptor kolinergik muskarinik juga telah ditemukan. Dua
pengamatan ini dapat menjelaskan bermacam-macam respon terhadap visostigmin
dan efek terbatas dari prekursor asetilkolin, seperti kolin dan lesitin. (3,4,5)
Mekanisme Serotonergik
Manipulasi dari sriatal serotonin dapat berperan dalam pembentukan dari
berbagai macam pergerakan abnormal. Penghambatan pengambilan kembali
serotonin seperti fluoksetin dapat menimbulkan parkinsonisme, akinesia,
mioklonus, atau tremor. Peranan serotonin (5-hidroksi triptamin) dalam
pergerakan korea kurang jelas. Striatum mempunyai konsentrasi serotonin yang
relatif tinggi. Penatalaksanaan farmakologik untuk merangsang atau menghambat
reseptor serotonin pada korea huntington tidak menunjukkan efek,
mengindikasikan kontribusi terbatas serotonin dalam patogenesis korea. (3,4,5)
Mekanisme Gabanergik
Lesi yang paling konsisten pada korea huntington terlihat dengan
hilangnya saraf-saraf dalam ganglia basalis yang mensintesis dan mengandung
GABA. Arti dari semua ini tidak diketahui. Bermacam- macam tehnik
farmakologi untuk meningkatkan GABA didalam sistem saraf pusat telah dicoba,
bagaimanapun tidak ada manfaat yang diperoleh.
Substansi P dan Somatostatin
Substansi P telah diketahui berkurang pada penyakit huntington, sementara itu
somatostatin meningkat. Arti dari semua ini belum diketahui. (3,4,5)
4
Berbagai penyakit yang memiliki gejala khorea adalah :
1. Penyakit Huntington
a. Definisi
Penyakit huntington adalah penyakit neurodegenerasiprogresif genetik
autosomal dominan, yang muncul pada dewasa umur pertengahan. (1)
b. Epidemiologi
Distribusi global penyakit huntington cukup menarik. Umumnya penyakit
tersebut diasosiasikan dengan populasi eropa barat, namun kasusnya juga ada di
wilayah lain seperti Tasmania dan papua Nugini. Data epidemiologis menunjukan
bahwa penyakit huntington umumnya menyebar melalui migrasi manusia dari
Eropa Barat. Penyakit Huntington tertinggi di dunia terletak di desa desa terpencil
sepanjang pantai Danau Maracaibo, Venezuela.(6)
c. Etiologi
Huntington merupakan penyakit yang bersifat genetik autosomal, sehingga
penyebab satu satunya dari Huntington disease ini adalah terjadinya pewarisan
gen dari seorang pengidap ke anaknya. Namun, pada kasus yang sangat jarang,
diperkirakan Huntington disease dapat terjadi tanpa faktor keturunan ketika terjadi
mutasi genetik pada kromosom ke 4 yang mengakibatkan terjadinya replikasi
yang berlebihan pada trinukleotid CAG.(7)
d. Patofisiologi
HD terjadi akibat gangguan pengulangan trinucleotida yang disebabkan oleh
panjang bagian ulang gen melebihi rentang normal. HTT gen terletak di lengan
pendek kromosom 4. HTT berisi serangkaina 3 DNA basis cytosine-adenin-
guanina (CAG) yang mengulang beberapa kali dan dikenal sebagi trinucleotide
yang berulang.klasifikasi pengulangan trinucleotide dan status penyakit yang
dipengaruhi oleh jumlah pengulangan CAG.(7)
JUMLAH
PWNGULANGAN
KLASIFIKASI STATUS
<28 Normal Unaffected
28-35 Intermediate Unaffected
36-40 Reduced penetrance Affected
5
>40 Full penetrance Affected
Umumnya seseorang memiliki kurang dari 36 ulang glutamines di wilayah
polyQ yang mengakibatkan produksi sitoplasmik Huntingtin. Namun urutan 36
atau lebih glutamines dalam hasil produksi protein memiliki karakteristik yang
berbeda, terjadi perubahan bentuk yang disebut mutan HTT(Mhtt), sehungga
dapat meningkatkan laju peluruhan jenis neuron tertentu(loss neuron). Penyakit
huntington memiliki autosomal dominan warisan, sehingga seorang individu
yang terkena biasanya mewarisi satu salinan dari gen dengan trinucleotida mutan
alel dari orang tua yang terkena dampak. Karena penetrance mutasi yang sangat
tinggi, maka seseorang yang memiliki salinan mutasi gen akan terkena penyakit
tersebut. Trinucleotida CAG melakukan pengulangan lebih dari 28 kali secara
tidak stabil selama melakukan replikasi dan jumlah pengulangan akan cenderung
meningkat. Hal ini mengakibatkan jumlah pengulangan akan berubah dalam
generasi tersebut berturut turut. Ketidakstabilan lebih besar terjadi ketika pada
fase spermatogenesis dan oogenesis.(7)
Penyakit huntington akan mempengaruhi seluruh otak, namun terdapat
daerah daerah yang lebih rentan dibanding lainnya. Efek awal terjadi pada bagian
dari basalis yang disebut neostriatum yang terdiri dari caudatus dan putamen.
Daerah lain yang terkena adalah substansia nigra, lapisan 3,5,6 korteks serebral,
hippokampus, purkinje sel dalam otak kecil, lateral inti tuberal hipotalamus dan
beberapa bagian di thalamus. Area area yang terkena efek tergantung dari jenis
neurin yang terkandung di dalamnya. Striatal neuron spiny adalah yang paling
rentan terkena terutama proyeksi yang menuju globus pallidus. Selain itu pada HD
juga dapat terjadi peningkatan astrocytes secara abnormal dan aktivitas sel imun
otak makroglia secara abnormal.(7)
Untuk melakukan suatu gerakan korteks serebral akan mengirim suatu
sinyal pada gangglia basalis untuk menghasilkan inhibisi. Kerusakan ganglia
basalis akan mengakibatkan inhibisi yang dirilis tidak terkendali sehingga gerakan
menjadi tidak menentu an tidak terkendali.
6
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis triad adalah movement disorders(chorea), demensia
(subkortikal demensia) dan gangguan psikiatri atau tingkah laku.
Gambar: wanita yang terkena Huntington Disease
Klinis: (1)
1. manifestasi klinis onse tidak pasti ( insidious), umur 35-40 tahun, prevalensi 4-
8/100000 penduduk , diturunkan secara 100% autosomal dominal (triplet expansi
CAG pada cromosom 4)
2. chorea timbul pada 90% penyakit huntington adalah gerakan yang tidak
disadari, spontan, mendadak, berlebihan, ireguler, kasar, berubah-ubah arah ,
random
3. dalam perjalanan penyakit huntington berlangsung secara progresif dan dapat
memburuk, chorea dapat berubah menjadi distonia, gambaran parkinson seperti
rigiditas,bradikinesia, gangguan postural, myoclonus, ataxia, gangguan gerakan
mata, stadium lanjut disphagia.
4. gangguan psikiatri aau tingkah laku, kadang psikosis, dengan halusinasi visual
dan dan pendengaran, mania, apais, tingkah laku obsesif dan depresi.
5. subkortikal demensia pada penyakit huntington dengan ciri khas bradyphrenia,
gangguan atensi dan sequencing tanpa disertai apraxia, agnosia atau aphasia.
Registrasi informasi baru dan immediate memory dan recall masih utuh,
meskipun retrieval recent dan remote memory terganggu.
7
f. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis ,pemeriksaan fisik dan pemeriksaaan
penunjang.(1)
Anamnesis
Ditanyakan mengeanai riwayat penyakit sekarang seperi: onset chorea,
progres chorea, keluhan seputar gangguan yang berhubungan dengan saraf seperti
kejang, jatuh, myoklonus, gangguan tidur, disphagia, riwayat medis seperti
gangguan metabolik, rash, mempunyai resiko HIV AIDS, ditanyakan pula
mengenai riwayat keluarga selama 3 generasi,riwayat penggunaan obat seperti
levodopa,neuroleptics, antikonvultant, dan juga perlu ditanyakan mengenai
riwayat psikiatri dan kognitive.
Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan untuk mengkomfirmasi khorea yang terjadi pada pasien:
o Korea secara umum ditandai adanya kedutan pada jari-jari dan pada wajah.
Seiring waktu, amplitudo meningkat, pergerkan seperti menari mengganggu
pergerakan voluntar dari ekstremitas dan berlawanan dengan gaya berjalan.
Berbicara menjadi tidak teratur.
o Tanda khas, pasien hipotonus meskipun demikian refleks-refleks mungkin
bertambah dan mungkin ditemukan klonus.
o Gerakan volunter terganggu paling awal. Khususnya pergerakan mungkin tidak
teratur.
o Hilangnya optokinetik nistagmus adalah tanda karakteristik setelah
perkembangan penyakit. Kelainan kognitif dalam manifestasi awal dengan
kehilangan memori baru dan pertimbangan melemah. Apraksia dapat juga terjadi.
o Kelainan prilaku neurologi berubah secara khas terdiri dari perubahan
kepribadian, apatis, penarikan sosial, impulsif, depresi, mania, paranoia, delusi,
halusinasi, atau psikosis.
Dilakukan pula pemeriksaan gerak, eye movement dan lainnya
Pemeriksaan penunjang
8
Laboratorium
Bila memungkinkan laboratorium genotyping khusus untuk penyakit huntington
(triplet expansi CAG pada chromosom 4)
Radiologis
Pada ct atau mri terlihat atropi berat pada caput cauda dan putamen, atropi sedang
globus pallidus, korteks,substansia nigra,nucleus subthalamus, dan locus coerolus.
Gold standar : tidak ada
Patologi anatomi
Pada penyakit huntington atropi berat pada cauda dan putamen, atropi sedang
globus pallidus, kortek,substansia nigra, nucleus subthalamus, dan locus coerolus.
g. Tatalaksana
Medikamentosa(1)
1. remacide dan coenzim Q10 600 mg/hari dapat menghambat progretivitas
penyakit
2. Untuk depresi diberikan tricyclic antidepressan(amytriptilin atau
imipramine, nortriptylin, SSRI( fluoxetine atau sertraline)
3. Chorea dapat diberikan: Haloperidol 0,5-5 mg/hari. Dopamin blocking
agent, Benzodiazepines, Amantandine 100-300 mg
4. Gangguan psikiatri seperti delusion diberikan neuroleptik, haloperidol,
atau thioridazin
5. Psikosis dapat diberikan quetiapine dan clozapine
Tindakan: tidak ada
h. Penyulit
Gangguan psikiatri dan tingkah laku, parkinsonism seperti
rigiditas,bradikinesia, gangguan postural, dystonia, myoclonus, ataxia, dysphagia.
(1)
i. Prognosis
Penyakit huntington adalah penyakit degeneratif yang progresif berakhir fatal,
sebab kematian biasanya aspirasi pneumonia atau trauma sekunder akibat jatuh.
(1)
9
II. Dystonia
a. Definisi
Dystonia adalah sindroma neurologis yang ditandai dengan gerakan
involunter, terus menerus, dengan pola tertentu akibat dari kontraksi otot
antagonis yang berulang ulang sehingga menyebabkan gerakan atau posisi tubuh
yang abnormal.(1)
b. Epidemiologi
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1998 di Rochester, Minnesota,
diperkirakn sebanyak 29,5 individu per 100000 untuk fokal distonia dan 3,4 per
100000 untuk distonia general. Ras yang mayoritas terkena adalah european
askhenazi jewish yang berisiko 3 sampai 5 kali tekena distonia.(8)
c. Klasifikasi(1)
Fokal : blepharospasme, distonia oromandibular, distonia spasmodik, distonia
servikal, writer’s cramp
Segmental : axial (leher, tubuh), satu lengan dan satu bahu, dua bahu, brachial dan
crural.
Multifokal : dua atau lebih dua bagian tubuh yang berbeda
General: kombinasi crural distonia dan segmen yang lain
Hemidistonia : lengan dan tungkai sesisi
d. Etiologi
Penyebab dystonia tidak diketahui secara pasti. Para peneliti percaya bahwa
dystonia disebabkan dari suatu kelainan atau kerusakan pada basal ganglia atau
daerah otak lain yang mengontrol gerakan. Mungkin terdapat kelainan pada
kemampuan otak untuk memproses kelompok bahan kimia yang disebut
neurotransmitter yang berfungsi untuk membantu sel sel di otak dalam
berkomunikasi dengan satu sama lain. Kemungkinan terdapat juga kelainan dalam
cara otak memproses informasi dan menghasilkan perintah untuk bergerak.
Namun dalam kebanyakan kasus, tidak ada kelainan yang terlihat menggunakan
magnetic resonance imaging atau pencitraan diagnostik lainnya. Dystonia dapat
dibagi menjadi tiga kelompok: idiopatik, genetik, dan diperoleh.(8)
Dystonia idiopatik mengacu pada dystonia yang tidak memiliki penyebab
yang jelas.
10
Dystosia genetik
Ada beberapa genetik penyebab dystonia. Beberapa bentuk tampaknya
diwariskan dalam cara yang dominan, yang berarti hanya satu orang tua yang
membawa gen yang rusak adalah diperlukan untuk lulus gangguan kepada anak
mereka. Setiap anak orang tua memiliki normal gen akan memiliki kesempatan 50
persen carry-ing gen yang rusak. Hal ini penting untuk perhatikan gejala dapat
bervariasi dalam jenis dan keparahan bahkan di antara anggota
keluarga yang sama. Dalam beberapa kasus, orang yang mewarisi gen yang rusak
tidak mungkin mengembangkan dystonia. Setelah satu bermutasi gen tampaknya
cukup untuk menyebabkan ketidakseimbangan kimia yang dapat menyebabkan
untuk dystonia, tapi genetik lain atau bahkan faktor lingkungan mungkin
memainkan peran.
Mengetahui pola pewarisan dapat membantu keluarga memahami risiko yang
lewat dystonia bersama untuk generasi mendatang.(8)
Acquired dystonia Juga disebut sekunder dystonia, hasil dari lingkungan
atau kerusakan lainnya ke otak, atau dari paparan beberapa jenis obat-
obatan. Beberapa penyebab yang diperoleh dystonia termasuk Cedera lahir
(termasuk hipoksia, kurangnya oksigen ke otak, dan otak neonatal
perdarahan), infeksi tertentu, reaksi obat-obatan tertentu, logam berat atau
karbon keracunan monoksida, trauma, atau stroke.(9)
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dystosia berdasarkan klasifikasi dystosia: (1)
Distonia fokal primer
Blepharospasme
Klinis
Gerakan involunter pada penutupan kedua mata berupa kontraksi spasmodik
dari otot orbikularis okuli di pretarsal, preseptal dan periorbital.
Biasanya disertai distonia dari kelopak mata,prenasal, wajah,bibir, lidah,
pharing, laring, otot leher.
Blepharospasme dipicu oleh cahaya yang menyilaukan, polusi udara dan
air,aktifitas dan stress
11
Blepharospasme diawali dengan kontraksi klonik kelopak mata,secara
bertahap memberat sehingga mata tertutup kuat
Distonya oromandibuler
klinis
gerakan involunter berupa spasme pada dagu, mulut, dan otot lidah
sehingga dagu menutup rapat,gigi tergigit rapat, trismus dengan akibat
kerusakan gigi, sendi temporomandibular. Adanya gerakan involuntary
pada lidah menyebabkan kesulitan mengecap, berbicara dan mencucu.
Dystonia servikal
Klinis
Tortikolisis, rotasi kepala kalateral, laterokolis,retrokolis dan anterokolis
Sepertiga penderita mengalami scoliosis, nyeri lokal akibat spasme otot
dan spondilotik radikulomyelopati.
Dipicu oleh kondisi stress dan kelelahan
Kadang disertai dengan tremor tangan dan kepala
Dystonia laringeal
Klinis
Penderita mempunyai latar belakang guru atau penyanyi
Distonia pada laring menyebabkan 2 tipe kelainan yaitu tipe adductor oleh
karena hiperaduksi korda vokalis dan tipe abductor oleh karena kontraksi
m.krikoaritenoid posterior selam berbicara sehingga abduksi korda vokalis
tergganggu
Limb dystonia
Klinis
Mempunyai 2 bentuk
Idiopatik
Sekunder: oleh karena lesi sentral dan perifer, gjal muncul pada saat
istirahat. Gejala dystonia fokal berupa cramp
12
yang berkaitan dengan pekerjaan( graphospasm, writer’s cramp) pada
dystonia idiopatik sedangkan yang sekunder berupa dystonia spesifik yang
muncul saat menulis, mengetik, makan, olahraga atau saat bermain musik.
Kadang - kadang disertai tremor essensial.
Gambar: gejala klinik dystonia
f. Patofisologi
Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai terjadinya dystonia. Suatu
pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan pada suatu studi lalu
dikatakan bahwa terdapat abnormalitas pada bagian ganglia basalis,
serebellum, cortex, brainstem, dan thalamus. Namun suatu studi yang
dilakukan baru baru ini dikatakan bahwa terdapat adanya perubahan warna
dan volume pada bagian white and grey disebutkan pula bahwa terdapat
adanya defek struktural. Suatu studi lain yang melakukan autopsi pada
dystonia generalisata DYT1 menyatakan bahwa terdapat badan inklusi
pada brainstem namun studi lainnya yang melakukan autopsi juga
menyatakan adanya masalah neurotranmitter dopamin di midbrain.
Namun, suatu studi baru yang dilakukan pada hewan yang memiliki
dystonia DYT1 menunjukakan adanya abnormalitas histopatologi yang
terlihat pada abnormalitas struktur dendritik pada purkinje otak atau
adanya masalh neurotransmitter dopamin pada midbrain. Namun hal ini
masih dipertanyakan oleh peneliti mengenai defek struktural yang terjadi
13
dikarenakan tidak terdapat bukti bukti adanya proses degenerative dan
terjadi lesi struktural.(9)
g. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui klinis sedangakan pemeriksaannya tidak ada
yang spesifik.(1)
h. Tatalaksana(1)
Blepharospasme
Medikamentosa :
Anticholinergic, benzodiazepine, baclofen dan tetrabenasin
Toksin botulinum merupakan obat pilihan
Non medikamentosa
Operasi myectomi atau pemotongan saraf fasial selektif
Rehabilitasi medis
Distonya oromandibuler
Medikamentosa : toksin botulinum, benzodiazepines, anticholinergik, baclofen
Non medikamentosa : speech terapi,operasi
Dystonia servikal
Medikamentosa: obat pilihan triheksiphenidil,injeksi toksin botulinum.
Benzodiazepines dapat mengurangi nyeri. Haloperidol jangan digunakan dapat
menyebabkan tardive dyskinesia
Non medikamentosa : Hypnosis, biofeedback,relaksasi, psikoterapi
Dystonia laringeal
Medikamentosa: tidak banyak membantu. Toksin botulinum harus digunakan
secara hati- hati, oleh karena dapat menyebabkan aphonia,disfagi.
Non medikamentosa : terapi vocal, tindakan operasi.
Limb dystonia
Medikamentosa: trihexyphenidile, benztrophine namun kurang memuaskan.
Toksik botulinum merupakan obat pilihan
Non medikamentosa : operasi, rehabilitasi medik
i. Penyulit
Ptosis, ecchymosis, diplopia, ectropion. Blurred vision, dry eyes, nyeri lokal,
kesulitan mengunyah dan berbicara Parkinson dan parkinsonism(1)
14
III. Tremor essensial
1. Definisi
Tremor essensial mempunyai beberapa sinonim yaitu : tremor
essensial benigna, tremor sinilis dan tremor familial.tremor essensial
menyerupai tremor fisiologis yang lebih kuat, yang timbul pada
gerakan dan berkurang bila istirahat. Tremor essensial merupakan
kombinasi tremor postural dan tremor aksi. Tremor ini dianggap
benigna karena biasanya tidak disertai oleh gangguan neurologis
lainnya. Tremor essensial sering disalah diagnosis sebagai penyakit
parkinson. Pada tremor essensials tremor timbul bila ekstremitas
direntangkan atau digerakkan dan bukan pada waktu sedang
diistirahatkan. Frekuensi tremor lebih besar (6-11 Hz). Tidak
ditemukan rigiditas, gangguan berjalan, atau mikrografi. Tremor
essensial paling sering melibatkan ekstremitas atas, namun suara dan
15
kepala dapat terlibat, jarang padabadan, ekstremitas bawah, lidah dan
dagu dapat terlibat. Biasanya progresif secara lambat.(10)
2. Epidemiologi
Prevalensi terjadi tremor essensial adalah 0,41% -3,92%, dan
menyerang penderita yang berumur diatas 60 tahun. Pada sebuah studi
retrospective dikatakan kasus tremor essensial terjadi 17,5 per 100000
per tahunnya.(11)
3. Etiologi
mekanisme yang mendasari tremor essensial belum diketahui.
Mungkin didapatkan imbalans antara zat- zat neurotransmitter di
ganglia basalis, sistem noradrenergik terutama reseptor beta 1,
mungkin hiperaktif. Tidak ditemukan perubahan patologis yang khas.
(10)
4. Manifestasi Klinis
1. tremor essential berdasarkan core and secondary criteria (1)
Kriteria inti Kriteria sekunder
Tremor saat kerja bilateral di
tangan dan lengan bawah
Lama > 3 tahun
Tidak ada keluhan neurologis lain
kecuali coghweel phenomenon
Riwayat keluarga positif
Tremor kepala dengan / tanpa
dystonia
Ada respon terhadap alkohol
2. onset usia rata rata 45 tahun
3. bisa unilateral atau bilateral
4. tremor bisa meluas sampai kepala dan leher, kira-kira 50-60%
mengenai kepala
5. tremor suara terjadi pada 30% pasien
6. tremor essensial jarang terjadi pada tubuh dan kaki
16
7. tremor cenderung progresif dengan bertambahnya usia
5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya tremor essensial masih tidak jelas. Beberapa peneliti
yakin bahwa terdapat kelainan pada segitiga Guillain-Mollaret (rubral nucleus,
olivary nucleus dan cerebellum). Diyakini bahwa cerebellum merupakan
penyebab paling krusial untuk terjadinya tremor essensial, hal ini didukung oleh
suatu pemeriksaan imaging dengan menggunakan spectroscopy yang dilakukan
peneliti German yang terlihat terdapat abnormalitas pada cerebellum dengan
kerusakan sel- sel cerebellum. Beberapa peneliti juga meyakini kerusakan berada
pada ganglia basalis. Namun, belum ada mekanisme yang pasti dalam
menjelaskan terjadinya tremor essensial.(11)
6. Diagnosis ditegakkan melalui klinis(1)
lab-
radiologi-
gold standar-
PA-
7. Tatalaksana (1)
medikamentosa:
Obat Dosis awal Dosis terapi
Propanolol 30 mg/hr 160-320 mg/ hr
Primidone 12,5-25 mg/ hr 62,5-350 mg/ hr
Gabapentine 300 mg/hr 1200-3600 mg/ hr
Alprazolam 0,75 mg/ hr 0.74-2,75 mg/ hr
Topiramate 25 mg/hr 100-300 mg/ hr
Nimodipine 120 mg/hr 120 mg/ hr
Theophylllin 150-300 mg / hr 15-300 mg/ hr
Botulinum toxin A: Terutama tremor essensial kepala, suara tangan
Tindakan (1)
17
Bedah: continous deep brain stimulation with electroda implanted pada
ventral intermediate nucleus of the thalamus dan thalamotomy
Physical terapi : speech terapi
Penyulit : stress
Prognosis : baik
IV. Mioklonus
a. Definisi
Mioklonus adalah gerakan tidak disadari tiba – tiba,sebentar, jerky,
shocklike, akibat kontraksi otot, disebabkan gangguan di CNS timbul di anggota
gerak, wajah atau badan. Mioklonus adalah tanda klinis, bukan suatu penyakit.
Mioklonus mempunyai ciri khas yang berupa gerakan involunter singkat seperti
sentakan yang disebabkan kontraksi atau inhibisi otot. Pasien biasanya akan
mengeluhkan mioklonus sebagai spasme otot, sentakan atau gemetar. Mioklonus
didefinisikan sebagai kontraksi dari satu atau sekelompok otot secara mendadak
seperti sentakan yang berlangsung sangat cepat, dengan amplitude dan irama tidak
teratur, dengan distribusi yang simetris dan asinkron. Gerakan mioklonus
berlangsung singkat (<100 milidetik). Gerakan mioklonus selalu sederhana, tidak
seperti pada chorea. Mioklonus juga dak dapat dikendalikan secara sadar seperti
18
pada tics. Dikenal dua jenis mioklonus yaitu mioklonus positif dan mioklonus
negatif. Gerakan yang timbul saat otot agonis dan antagonis berkontraksi
dinamakan mioklonus positif.(12,13,14)
Penghentian tonus otot sementara (<500 milidetik) atau hilangnya tonus
postural sementara dinamakan mioktanus negatif. Mioklonus positif lebih sering
dijumpai daripada mioklonus negatif. Mioklonus negatif sering dijumpai pada
pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit sebagai akibat komplikasi gangguan
metabolik. Kedua mioklonus dapat terjadi secara bersamaan pada pasien dengan
mioklonus epilepsi progresif dan mioklonus akibat hipoksia(12,13,14)
b. Epidemiologi
Studi epidemiologi mengenai mioklonus masih sangat terbatas. Kesulitan
utama dalam studi epidemiologi pada mioklonus sangat berkaitan dengan
banyaknya penyebab mioklonus dan presentasi klinis yang sangat bervariasi.
Studi epidemiologi yang sering digunakan untuk menjelaskan insidensi dan
prevalensi mioklonus umumnya berasal dari studi epidemiologi yang dilakukan
oleh Caviness et al antara tahun 1976 -1990 pada populasi di Olmsted County,
Minnesota, Amerika Serikat.(15,16)
Dalam studi tersebut dilaporkan bahwa insidensi mioklonus rata-rata per
tahun dari semua penyebab sekitar 1,3 kasus per 100.000 orang dengan angka
prevalensi 8,6 kasus per 100.000. Jenis mioklonus yang paling banyak dijumpai
adalah mioklonus simtomatik (72%), yang sebagian besar berhubungan dengan
sindrom Lance Adams, Alzheimer disease (AD) dan Creutzfeldt-Jakob disease
(CJD). Miokbnus yang berhubungan dengan epilepsi sekitar 7% dan sisanya
mioklonus esensial sekitar 11%. Data yang dikumpulkan di 2 klinik Movement
Disorders di Columbia University Medical Center (New York) dan Baylor
College of Medicine (Houston) melaporkan prevalensi mioklonus 2,4%.(15,16)
c. Etiologi
Berbagai etiologi dari mioklonus adalah : (1)
1.drug induced mioklonus: antikonvulsan , levodopa, lithium, clozapine,
penicillin, vigabatrin, cyclosporin, tricyclic antidepressan, MAO inhibitor
19
2. Opsoklonus-mioklonus sindrome
Viral, Ca Ovarii, melanoma, lymphoma, hipoglikemia
3.kortikal mioklonus: tumor, angioma, encefallitis
4. palatal mioklonus: idiopathik, stroke, neurodegenerasi
5. post anoxic encefalopati
6. ramsay hunt syndrome
7. Trauma
8. Metal toxic
9. Mptp
Sebagian besar mioklonus disebabkan gangguan pada sistem saraf pusat.
Beberapa mioklonus dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf tepi. Mioklonus
dapat juga terjadi sebagai respon terhadap infeksi, cedera kepala atau medula
spinalis, tumor otak, gagal ginjal atau hati, penyakit gangguan penyimpanan
lemak, intoksikasi bahan kimia atau obat atau gangguan lainnya. Mioklonus
primer mencakup mioklonus fisiologis dan esensial. Yang termasuk mioklonus
fisiologis adalah sleep jerks dan hiccoughs. Sleep jerks terjadi pada awal tidur.
(14)
Hiccup atau singultus terjadi akibat kontraksi berirama pada otot
diafragma dan jarang memerlukan tindakan. Pada bayi baru lahir kadang-kadang
dijumpai gerakan seperti epilepsi yang disebut benign infantile myoclonus with
feeding or sleep. Pada mioklonus esensial, mioklonus merupakan gejala utama
atau satu-satunya gejala. Salah satu contoh mioklonus esensial adalah myoclonus-
dystonia (M-D). Kelainan ini timbul sebelum usia 20 tahun dan umumnya tidak
progresif. Mioklonus ini mempunyai pola warisan autosomal dominan dan pada
umumnya disebabkan mutasi gen epsilon-sarcoglycan pada kromosom 7q21-Q31.
Mioklonus dapat terjadi secara tunggal tetapi paling sering mioklonus menjadi
salah satu gejala dari beberapa gejala yang berhubungan dengan berbagai penyakit
pada sistem saraf. Sebagai contoh, mioklonus bisa timbul pada pasien dengan
Alzheimer's disease (AD), Cretzfeldt-Jacob disease (CJD), cortico-basal
degeneration (CBD) dan multiple system atrophy (MSA). Mioklonus sering juga
terjadi pada seseorang dengan epilepsi, yaitu kelainan aktifitaslistrik di otak yang
menyebabkan bangkitan. Hal ini juga ditemukan pada Mioklonus epilepsi
20
progresif yang meliputi penyakit Lafora, penyakit Unverricht-Lundborg,
lipofuscinoses ceroid neuronal , Myoclonus epilepsy with ragged red fibers
(MERRF) dan dentatorubropallidoluysian atrophy (DRPLA).(14)
d. Patofisiologi
Meskipun mioklonik telah didefinisikan secara klinis dengan baik, belum
ada investigasi biokimia yang telah menjelaskan mekanisme patofisiologi yang
mendasari mioklonik. Studi aliran darah otak memanfaatkan SPECT dan xenon-
133 atau [teknesium- 99m]-d, l-hexamethylpropylenamineoxime telah
mengungkapkan asimetri fokus dalam pola aliran darah otak yang terdiri dari
hipoperfusi relatif belahan otak kiri dikombinasikan dengan menyeberangi terkait
diaschisis serebral. Pola ini dapat terjadi akibat lesi kecil di batang otak atau
ganglia basal, dengan deafferentation sekunder dari lobus frontal ipsilateral dan
kontralateral otak, menunjukkan bahwa mioklonik memiliki asal subkortikal.
Studi elektrofisiologi juga menyarankan asal subkortikal untuk bentuk mioklonik
Mioklonik dapat muncul sebagai sentakan teratur , sentakan ritmis (seperti
mioklonik palatal dan mioklonik okular dengan laju sekitar 2 hz ) , atau sentakan
osilasi yang terjadi di burst dan kemudian memudar . Mioklonik ritmis biasanya
karena lesi tof struktural batang otak atau sumsum tulang belakang ( mioklonik
segmental ) , tetapi tidak semua kasus mioklonik segmental yang ritmis . Sentakan
mioklonik terjadi di bagian tubuh yang berbeda sering disinkronkan, sebuah fitur
yang mungkin khusus untuk mioklonik. Sentakan sering dapat dipicu oleh
rangsangan mendadak seperti suara, cahaya, ancaman visual, atau gerakan.
Mioklonik memiliki hubungan kejang tampaknya menjadi hasil dari
neuron yang hyperexcitablle. Mioklonik refleks kortikal biasanya disajikan
sebagai mioklonik fokus dan dipicu oleh gerakan otot aktif atau pasif dari bagian
tubuh yang terkena. Hal ini terkait dengan amplitudo somatosensori
membangkitkan potensi tinggi dan dengan paku kortikal diamati oleh kembali
rata-rata komputerisasi , yang merupakan waktu yang terkunci stimulus . Reticular
refleks mioklonik lebih sering umum atau menyebar di sepanjang tubuh dari
sumber secara berurutan terkait.
21
Fakta bahwa sentakan mioklonik ritmis satu bagian tubuh yang
disinkronkan dengan kontraksi tempat lain adalah argumen yang kuat untuk
mengkategorikan gerakan seperti mioklonik dan bukan sebagai tremor.
Selanjutnya, oculopalatal mioklonik berlanjut selama tidur. Semua gangguan
gerak kecuali mioklonik menghilang selama tidur. Seringkali, sentakan mioklonik
tampil dengan tubuh saat istirahat, tapi mioklonik aksi, di mana sentakan
mioklonik muncul ketika bagian tubuh yang terkena adalah dalam keadaan sadar,
juga terjadi. Mioklonik lebih sering ditemui setelah hipoksia serebral dan dengan
gangguan degeneratif tertentu, seperti sindrom Ramsay Hunt. Biasanya, action
mioklonik lebih melumpuhkan daripada rest mioklonik.(15,16)
e. Pemeriksaan (12,14)
Penting untuk diperiksa:
Saat istirahat, posisi tangan terentang atau melakukan tindakan
mioklonus saat istirahat menunjukkan sumber medula spinalis
sedangkan mioklonus action-induced bersumber di kortikal
Distribusi Mioklonus
mioklonus fokal dan multifokal yang terjadi selama tindakan sadar
adalah khas untuk mioklonus kortikal
mioklonus medula spinalis segmental juga fokal, namun bukan
mioklonus action-induced dan kadang-kadang sensitif terhadap
stimulus,
mioklonus general biasanya subkortikal dan jarang kortikal.
Amplitude Mioklonus
mioklonus distal sangat kecil hampir tidak terlihat adalah khas pada
MSA, sedangkan amplitude raksasa adalah khas pada mioklonus
epilepsi progresif.
Mencari tanda kepekaan terhadap rangsangan dengan menyentuh jari-
jari saat direntangkan untuk memicu mioklonus, bertepuk tangan dapat
menginduksi mioklonus yang sensitif terhadap rangsangan pendengaran. Mencari
tanda-tanda defisit neurologis lainnya, seperti demensia, gejala fungsi serebelum,
kelainan gerakan mata dan tanda-tanda lain yang terkait penyakit sistemik.
22
· Unified Myoclonus Rating Scale (UMRS)
UMRS terdiri dari 73 item dan 8 komponen. Dengan UMRS,
memungkinkan dokter melakukan wawancara dan penilaian standar untuk
mengevaluasi respon pasien terhadapterapi antimioklonus. Ke-8 komponen
tersebut adalah:
a. kuesioner pasien,
b. mioklonus saat istirahat,
c. sensitivitas terhadap stimulus,
d. mioklonus saat bergerak,
e. penilaian fungsional
f. penilaian global menurut dokter,
g. mioklonus negatif,
h. keparahan mioklonus negatif.
· Laboratorium dan Imaging
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi pemeriksaan kadar elektrolit dan
glukosa serum,
fungsi ginjal dan hati, skrining obat, toksin dan antibodi,
b. Pemeriksaan imaging untuk mengidentiflkasi endapan patologi di
korteks (mioklonus kortikal) dan batang otak (mioklonus retikuler). MR1 batang
otak sangat dianjurkan pada pasien yang menunjukkan mioklonus palatal.
· Neurofisiologi
Pemeriksaan neurofisiologi meliputi electromyograph (EMG),
electroencephalograph (EEC) dan evoke potential (EP). Pemeriksan untuk
mendeteksi apakah mioklonus adalah kortikal, subkortikal atau medula spinalis.
EEC digunakan untuk mengidentiflkasi mioklonus yang bersumber kortikal yaitu
sindrom epilepsi dan epilepsia partialis continua (EPC) dan mengidentifikasi
sindrom simptomatik seperti Creutzfeldt-Jacob disease. Pemeriksaan EMG
menetapkan urutan kronologi gerakan pada mioklonus dan melokalisir lesi pada
mioklonus medula spinalis
f. Penatalaksanaan (1,14,)
23
Penatalaksanaan mioklonus secara farmakologi ditujukan untuk membantu
mengurangi atau menghilangkan gejala. Klonazepam adalah obat yang sering
digunakan untuk mengobati mioklonus. Manfaat Klonazepam dapat semakin
menurun seiring perjalanan waktu jika seseorang mengalami toleransi terhadap
obat. Beberapa obat lain yang sering digunakan untuk mengobati epilepsi, dapat
juga digunakan untuk mengobati mioklonus antara lain Asam Valproat, Phenitoin,
Levetiracetam, Primidon dan Barbiturat. Beberapa penelitian juga telah
membuktikan bahwa obat 5-hidroksitriptofan (5-HT) yang menghambat serotonin
dapat memperbaiki beberapa jenis dari mioklonus aksi dan mioklonus epilepsi
progresif. Setiap jenis mioklonus memerlukan obat yang berbeda. Cara pemilihan
obat untuk mioklonus pada umumnya berdasarkan letak lesi yang mendasari
(Tabel 3). Mioklonus yang kompleks memerlukan beberapa jenis obat untuk
pengobatan yang efektif. Beberapa obat dapat mempunyai efek yang lebih besar
jika digunakan bersamaan dengan obat lain dengan jalur atau mekanisme yang
berbeda di otak. Dosis obat-obatan yang dapat digunakan untuk pengobatan
mioklonus dapat dilihat pada Tabel 4, Pada mioklonus kortikal, terapi ditujukan
untuk memperbaiki defisiensi neurotransmiter GABA. Natrium Valproat
merupakan obat golongan GABA yang paling efektif. Obat golongan
Benzodiazepin juga sangat bermanfaat, khususnya Klonazepam.
Piracetam dan Levetiracetam juga terbukti sangat bermanfaat untuk
mengendalikan mioklonus kortikal terutama jika dikombinasikan dengan natrium
valproate dan klonazepam. Efek samping yang penting dari politerapi adalah
sedasi dan ataksia. Keadaan ini dapat diatasi dengan prinsip 'start low, go slow'.
Pada mioklonus subkortikal, obat antiepilepsi yang digunakan pada mioklonus
kortikal umumnya kurang efektif. Klonazepam cukup efektif untuk hyperekplexia
dan sebagian bermanfaat untuk mioklonus refleks retikular. Pada mioklonus
medula spinalis, rsspon terapi umumnya kurang memuaskan. Meskipun
Klonazepam tetap menjadi obat pilihan utama untuk mioklonus medula spinalis.
Pada mioklonus saraf tepi, obat biasanya tidak efektif, meskipun Karbamazepine
mungkin memiliki beberapa efek perbaikan. Injeksi toksin botulinum cukup
efektif untuk digunakan pada mioklonus fokal (contoh: hemifacial spasm),
mioklonus palatal dan mioklonus medula spinalis segmental. Obat imunosupresi
24
seperti azathioprine, kortikosteroid, imunoglobulin dan hormon
adrenokortikotropik sering digunakan untuk mengobati mioklonus opsoklonus
pada anakanak. Pemberian imunoglobulin cukup efektif untuk mioklonus
opsoklonus parainfeksi dan mioktanus opsoklonus idiopatik.
Tindakan pembedahan kadang-kadang digunakan untuk mengendalikan
mioklonus. Contoh tindakan pembedahan yang sering digunakan, seperti
dekompresi saraf tepi akibat cedera pada mioklonus perifer, pengangkatan
fesi/kompresi pada mioklonus spinalis, stimulasi thalamus pada mioklonus
distonia dan eksisi neoplasma pada mioktanus opsoklonus.
JENIS MIOKLONUS
OBAT
OBAT PILIHAN
PERTAMA
LAINNYA
Mioklonus Kortikal Asam Valproat (natrium
valproat atau
klonazepam)
Primidon atau
fenobarbital,
levetirasetam, pirasetam,
5-HTP
Mioklonus retikular Asam valproic acid atau
klonazepam
5-HTP
Hiperekpleksia Klonazepam Karbamazepin, fenitoin
Mioklonus balistik Benzatropin atau
trihexifenidil
Alkohol (ethanol),
klonazepam, 5-HTP
Mioklonus palatal Fenitoin, karbamazepin,
klonazepam, diazepam,
trihexifenidil atau
baclofen
5-HTP, sumatriptan
Mioklonus propriospinal Klonazepam
Mioklonus segmental Klonazepam Diazepam, karbamazepin,
tetrabenazin
OBAT DOSIS (mg/hari)
Baklofen 15-100
Benzatropin 4-9
Karbamazepine 800-1600
Klonazepam 15
Diazepam 5-30
5-hidroksitriptifan sampai 1500
Levetirasetam 1000-3000
Fenitoin 100-300
Fenobarbital 60-180
Pirasetam 2400-16800
Primidon 500-750
Trihexifeinidil
(benzhexol)
sampai 35
Asam Valproat
(natrium valproat)
1000-1500
Tetrabenazin 50-200
25
Prognosis
Mioklonus mempunyai prognosis yang sangat bervariasi. Pada umumnya
prognosis mioklonus dipengaruhi etiologi, anatomi lesi dan pilihan obat yang
digunakan. Pada orang normal dapat terjadi mioklonus bentuk sederhana dan
tidak menyebabkan kesulitan dalam aktifitas sehari-hari. Mioklonus ini termasuk
jenis mioklonus fisiologis yang mempunyai prognosis baik, dimana mioklonus
dapat menghilang tanpa pengobatan. Pada mioklonus yang lebih berat dapat
menganggu gerakan dan membatasi aktifitas seseorang seperti makan, berbicara
atau berjalan. Meskipun mioklonus bukan merupakan kondisi yang mengancam
kematian, namun dapat menyebabkan gangguan kecacatan yang serius. Mioklonus
umum paska anoksia otak paska resusitasi kardiopulmoner merupakan salah satu
jenis mioklonus yang mempunyai prognosis buruk. Mioklonus ini merupakan satu
tipe dari status epiletikus konvulsif, yang juga disebut status mioklonus, status
epileptikus mioklonus atau stitus epileptikus paska anoksia. (1,14)
26
V. Sindrom Tourette
a. Definisi
Sindrom Tourette adalah gangguan perilaku-perkembangan saraf-kejiwaan
(psychoneurogenobehavioral disorder) berbasis neurotransmiter, dicirikan oleh
aksi tak disadari, berlangsung cepat, bersifat genetik, diwariskan, dengan onset di
masaanak, dan memiliki pola tik vocal-motorik yang menetap-menahun. Sindrom
Tourette merupakan gangguan neurodevelopmentalneuropsychiatric dengan dasar
neurogenetik.3 Sindrom Tourette disebut juga Tourette’s disorder atau Gilles de
la Tourette syndrome.(17)
b. Epidemiologi
Pada mulanya insidens TS dilaporkan 4,6 per 1 juta penduduk, jumlah ini
terus bertambah sesuai pertumbuhan penduduk dan berkembangnya metodologi
riset.5 Riset terbaru menunjukkan insiden TS mencapai 1-10 per 1000 orang.
Prevalensi sekitar 0,03–3%. Referensi lain menyebutkan prevalensi berkisar dari
27
1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi internasional rata-rata 1% di mayoritas
kebudayaan dunia. TS dapat mengenai semua ras, lebih dominan pada pria,
dengan rasio anak lelaki:anak wanita = 3-5:1.6 – 8 Banyak kasus ringan yang
luput dari perhatian medis. Onset biasanya pada usia 7-8 tahun, puncaknya antara
8-12 tahun. Sumber lain menyebutkan, TS umum terjadi di usia 5-9 tahun,
mencapai puncak di usia 10-12 tahun, dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang
usia penderita TS antara 2-21 tahun.9 Terutama terjadi di usia 10 tahun, namun
hanya 5% yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua pertiga penderita TS
mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan total jarang terjadi.10
Prevalensi tik di populasi pediatrik diperkirakan 6–12%.11-12 Prevalensi TS pada
447 pelajar dengan autisme anak-anak dan remaja di sembilan sekolah di London
mencapai 8,1%.(17)
c. Patofisiologi
Etiopatogenesis pasti belum diketahui, diduga multifaktor. Faktor
neurokimiawi, yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di nekleus kaudatus; juga
ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap neurotransmiter, terutama
dopamin dan serotonin. Peran neurotransmiter dopamin amat penting; pada studi
neuroimaging, ada ketidaknormalan sistem dopaminrgik di dalam korteks
prefrontal dan striatum otak. Pada penderita TS, terjadi peningkatan densitas
transporter dopamin presinaps dan reseptor dopamin D2 postsinaps, yang berarti
terjadi peningkatan uptake dan release dopamin. Hipotesis supersensitivitas
dopamin menjelaskan mengapa TS begitu responsif terhadap penghambat reseptor
dopamin atau neuroleptik. Riset terbaru menunjukkan tidak ada bukti peningkatan
inervasi dopaminrgik striatal pada penderita TS.14 Di sistem saraf pusat,
neurotransmiter dopamin (DA) memperantarai bermacammacam fungsi fi siologis
termasuk pengaturan aktivitas lokomotorik, proses kognitif, sekresi (pengeluaran)
neuroendokrin,dan pengendalian perilaku yang termotivasi (motivated behaviors)
termasuk mekanisme emosi, afek, dan pemberian penghargaan.(17)
Jalur dopaminrgik bukanlah satu-satunya yang bertanggung-jawab atas
munculnya gejala TS, faktor lain yang juga berperan, antara lain: rendahnya kadar
serotonin, glutamate dan AMP siklik. Di sirkuit subkortikal frontal, abnormalitas
28
reseptor glutamat, dopamin, serotonin, GABA, asetilkolin, noradrenalin, opioid,
dan cannabinoid juga berperan dalam patogenesis TS. Overekspresi synaptogyrin-
3 di sel-sel PC12 dan MN9D yang mirip saraf (neuronal-like) namun bukan di
sel-sel HEK 293 nonneuronal, menghasilkan peningkatan aktivitas dopamin
transporter (DAT) pada level transporter di membran plasma. Efek synaptogyrin-
3 ini ditiadakan oleh keberadaan vesikular monoamine transporter-2 (VMAT2)
inhibitor reserpine, memberi sugesti bahwa kemampuan synaptogyrin-3 untuk
meregulasi (mengatur) aktivitas DAT bergantung pada sistem penyimpanan
dopamin (DA) vesikular. Terdapat interaksi biokimiawi yang kompleks antara
DAT, synaptogyrin-3, dan VMAT2, di samping juga ditemukan hubungan fi sik
dan fungsional antara DAT dan sistem DA vesikular.(17)
Saat penderita TS mengalami serangan tik, terjadi aktivasi multifokal di
otak seperti di korteks premotorik lateral dan medial, korteks ciaguli anterior,
korteks prefrontal dorsolateral-rostral, korteks parietal interior, putamen, nukleus
kaudatus, korteks motorik primer, area Broca, girus temporal superior, insula, and
klaustrum. Hal ini menunjukkan keterlibatan daerah paralimbik, bahasa, dan
sensorimotorik. Secara spesifi k, ketidaknormalan sirkuit kortiko-striato-talamo-
kortikal melibatkan inhibitory interneurons di ganglia basal, yang dapat
berhubungan dengan patogenesis dan persistensi beragam kasus TS. Malfungsi
sirkuit ini dapat berkontribusi terhadap perilaku semi-otonom fragmenter yang
bermanifestasi sebagai tik. Ganglia basal, terutama nukleus kaudatus dan korteks
prefrontal inferior, berhubungan dengan perkembangan TS. Sirkuit ganglia basal
dan kortikal juga berperan pada fungsi motorik dan pembentukan kebiasaan;
disfungsi ganglia basal telah lama diketahui sebagai penyebab utama gejala tik.
Selain itu, di otak penderita TS, terjadi penurunan 5% volume nukleus kaudatus,
namun abnormalitas seluler yang mendasarinya belum jelas. (17)
Selain itu juga dijumpai 50%– 60% penurunan parvalbumin dan kolin
asetiltransterase interneuron kolinergik di nukleus kaudatus dan putamen.
Penurunan interneuron kolinergik terlihat jelas di regio asosiatif dan
sensorimotorik, namun tidak terlihat di regio limbik. Hal ini diketahui dari hasil
penilaian densitas berbagai tipe interneuron dan medium spiny neurons di striatum
otak postmortem penderita TS dengan analisis stereologis.23 Menurut teori
29
autoimun, TS ditimbulkan oleh gangguan autoimun pada anak yang berhubungan
dengan infeksi streptokokus (pediatric autoimmune neuropsychiatric disorder
associated with streptococcal infections, PANDAS). Infeksi group A beta-
haemolytic streptococcal (GABHS) juga berkaitan dengan TS. Hipotesis
disregulasi sistem imun, termasuk: disregulasi sitokin, peranan interleukin (IL),
misalnya: IL-1beta, IL-2, IL-6, IL- 12, serta tumor necrosis factor (TNF)-alfa
masih memerlukan riset lanjutan. Kadar besi dan feritin yang lebih rendah pada
penderita TS sesuai dengan keadaan gangguan gerak lain, memberi kesan bahwa
rendahnya besi dapat menjadi penyebab tik. Simpanan besi yang rendah dapat
berkontribusi terhadap hipoplasi nukleus kaudatus dan putamen, meningkatkan
kerentanan terhadap tik atau memperberat tik.
Beragam faktor epigenetik berperan dalam patogenesis TS, termasuk
perinatal insults,pajanan androgen, stres psikologis, danmekanisme otoimun
pasca-infeksi. Peristiwaiskemia/hipoksia perinatal dan merokok dimasa prenatal-
maternal dilaporkan sebagaifaktor risiko TS. Secara genetik, TS merupakan
kondisi poligenetik yang berpola sex-infl uenced autosomal dominant. Lokus
kandidat Tberhasil ditemukan pada lokus 18q22, pada gen SLITRK1 yang
berlokasi di kromosom 13q31, dan pada tubulin-specifi c chaperone D (TBCD,
region 17q25.3). Meskipun demikian, SLITRK1 bukanlah gen yang signifi kan
pada mayoritas individu dengan TS.30 Beragam candidate genes lain, antara lain:
reseptor dopamin (DRD1, DRD2, DRD4, dan DRD5), transporter dopamin,
berbagai gen noradrenergik (ADRA2a, ADRA2C, DBH, dan MAO-A), serta gen
serotonergik (5HTT). Ditemukan pula delesi di region 22q11-q13. Riset
selanjutnya menemukan lokus potensial di kromosom 2p23.2, 3, 4q, 5, 8q, 9, 10,
11, 13, dan 19. TS terjadi 50% pada kembar monozigot dan 8% pada dizigot.(17)
d. Manifestasi Klinis
Klinis TS berupa tik motorik dan vokal, dapat berlangsung selama lebih dari
satu tahun, biasanya muncul saat menyaksikan peristiwa tertentu. Tik motorik
dapat sederhana (misalnya: mengejapkan mata berkali-kali, sering mengangkat-
angkat bahu) atau kompleks (misalnya: meniru gerakan orang lain atau
echopraxia). Tik motorik bisa juga multipel, misalnya: blinking (mengejapkan
30
mata), grimacing (meringis, menyeringai, atau memainkan ekspresi wajah),
jumping (melompat-lompat). Tik vokal dapat berupa kata-kata sederhana atau kata
tunggal. Tik vokal klasik termasuk berkata jorok (coprolalia) dan menirukan atau
mengulangi frase (palilalia), atau ucapan orang lain (echolalia). Tik fonik berupa
suara atau bunyi, seperti: suara membersihkan tenggorokan/kerongkongan dari
lendir atau benda asing, batuk, pilek.(17)
Setidak-tidaknya dijumpai satu tik vokal atau fonik, misalnya: grunting
(mendengkur, mengorok) atausniffing (seolah pilek, menghirup-hirup, cinguli
kanan.57 atau mencium-cium bau). Tik seringkali diperburuk oleh stres fisik atau
emosional, membaik saat sendirian dan relaks. Tik juga dapat terjadi selama tidur
dan berkaitan dengan berbagai problem tidur, termasuk insomnia, tidak cukup
tidur, tidur gelisah, parasomnia (tidur berjalan dan sleep terrors). Tik selama tidur
umumnya dikendalikan oleh thalamo-cortical oscillating dysrhythmia.
Manifestasi lain yang penting namun kurang umum, seperti: meniru tingkah laku
(echophenomena), suka mengulang-ulang sendiri (pali phenomena), menyumpah
tanpa sadar, di luar kemauan, dan tidak pantas (swearing involuntarily and
inappropriately), perilaku melukai diri sendiri (self-injurious behaviours). (17)
e. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis TS, ada tiga ciri khas yang sering muncul, yaitu: tik
multipel, berkata jorok (coprolalia), dan latah atau suka membeo (echolalia).
Kriteria yang dipakai secara internasional adalah Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR): (17)
1. Onset sebelum usia 18 tahun.
2. Tik vokal dan motorik multipel berkali-kalihampir setiap hari, atau sebentar-
sebentarberlangsung lebih dari 1 tahun. Selama itu tak ada periode bebas tik
selama lebih dari 3 bulan berturut-turut. Tik tidak harus berlangsung bersamaan.
3. Gangguan bukan karena efek fi siologis langsung zat (seperti: stimulan) atau
kondisi medis umum (seperti: penyakit Huntington, ensepalitis postviral).
f. Pemeriksaan penunjang
31
Beragam pilihan kuesioner dapat dipakai untuk memastikan diagnosis TS:
Tourette Syndrome Symptom List, Tourette Syndrome Questionnaire, The Motor
Tic Obsessions and Compulsions Vocal Tic Evaluation Survey, Ohio Tourette
Survey Questionnaire, Tourette Syndrome Global Scale, Tourette Syndrome
Diagnostic Confi dence Index, Tourettes Syndrome Severity Scale, Shapiro
Tourette Syndrome Severity Scale, Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS),
Children’s Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (CYBOCS), Hopkins Motor
and Vocal Tic Severity Scale, Clinical Global Impressions–Improvement Scale,
Diagnostic Confi dence Interval, National Hospital Interview Scale, dll digunakan
untuk interview, menegakkan diagnosis dan evaluasi klinis lain, seperti:
menentukan derajat keparahan TS, menentukan terapi, keperluan riset, dsb. Untuk
mengetahui kemampuan motorik, dapat menggunakan tes Purdue Pegboard. Baik-
buruknya kemampuan motorik di masa anak-anak, berhubungan dengan
meningkatnya derajat keparahan tik di masa dewasa.(17)
Untuk menilai IQ digunakan Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence
(WASI). Obsesi-kompulsi dapat diketahui dengan Dimensional Yale-Brown
Obsessive- Compulsive Scale (DYBOCS).47-52 Skor Yale Global Tic Severity
Scale (YGTSS) berkisar 0-50, dengan rincian: tidak ada tik (YGTSS: 0), tik
minimal (YGTSS: 1–9), tik ringan (YGTSS: 10–19), tik sedang atau lebih berat
(YGTSS: ≥20). Skor YGTSS > 15 mengindikasikan tik yang secara klinis signifi
kan. Sedangkan skor Clinical Global Impressions–Improvement Scale berkisar 1-
8, skor 1 berarti perkembangannya sangat baik, skor 8 berarti sangat buruk.53
Instrumen DISC (Diagnostic Interview Schedule for Children) digunakan untuk
mengetahui profi l diagnostik penderita TS. DISC adalah interview semistructured
berbasis komputer yang terdiri dari 15 sub-bagian, meliputi: gangguan tic (TS,
gangguan tic kronis, transient tic disorder), OCD, ADHD, fobia sosial, fobia
spesifi k, separation anxiety disorder, gangguan panik, gangguan perilaku,
agoraphobia, generalized anxiety disorder, post-traumatic stress disorder,
trichotillomania, major depressive episode, dysthymic disorder,dan oppositional
defi ant disorder. (17)
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan sesuai indikasi dan/atau untuk
keperluan riset, yaitu mengetahui ekspresi gen (RNA) yang diukur menggunakan
32
whole genome Aff ymetrix microarrays. Pencitraan dilakukan bila perlu atau untuk
riset. Melalui pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging), diketahui
penderita TS memiliki area dorsolateral prefrontal yang lebih besar dan
peningkatan substantia alba di lobus frontal kanan. Volume nucleus caudatus
yang lebih kecil pada MRI di masa anak berhubungan dengan meningkatnya
derajat keparahan tik di masa dewasa. Pemeriksaan lain menggunakan voxel-
based morphometry (VBM) dan magnetization transfer imaging (MTI) yang lebih
sensitif terhadap perubahan jaringan dibandingkan MRI konvensional. Keduanya
merupakan pengukuran kuantitatif integritas makrostruktur. Pada VBM, penderita
TS menunjukkan penurunan volume substantia nigra di area prefrontal, girus
cinguli anterior, area sensorimotorik, nukleus kaudatus kiri, dan girus postsentral
kiri secara signifikan. Penurunan volume substantia alba terdeteksi di girus frontal
inferior kanan, girus frontal superior kiri, dan anterior corpus callosum.
Peningkatan dijumpai di girus frontal pertengahan kiri dan area sensorimotor kiri.
Dengan MRI, reduksi substantia alba terlihat di girus frontal medial kanan, girus
frontal inferior bilateral, dan girus cinguli kanan. (17)
g. Penatalaksanaan
Umumnya, terapi dimulai dengan agonist clonidine dosis rendah dan
ditingkatkan dosis dan frekuensinya secara bertahap, sampai hasilnya memuaskan.
Guanfacin (0,5–2 mg/hari) merupakan golongan agonis baru yang disukai karena
dosisnya hanya sekali sehari. Bila tidak efektif, dapat diberi antipsikotik.
Neuroleptik atipikal (risperidon 0,25–16 mg/hari, olanzapine 2,5–15 mg/hari,
ziprasidon 20–200 mg/hari) dipilih karena rendahnya risiko efek samping
ekstrapiramidal. Jika tidak efektif, dapat diberikan neuroleptik klasik, seperti
haloperidol, fl uphenazin, atau pimozid. Modalitas terapi lain juga dapat
dipertimbangkan. Suntikan botulinum toxin tipe A efektif mengendalikan tik
vokal yang melibatkan kumpulan otot kecil (localized tics). Tindakan atau
intervensi yang lebih invasif seperti: deep brain stimulation, transcranial
magnetic stimulation (TMS), dan bedah saraf (neurosurgery) boleh
dipertimbangkan. TMS repetitif adalah pendekatan efektif untukkasus berat.(17)
33
Terapi nonfarmakologis berupa: edukasi penderita, anggota keluarga,
teman sekolah, modifikasi lingkungan sekolah sehingga penderita tidak merasa
bosan, stres, tegang, atau tertekan, konseling suportif yang dapat dilakukan saat di
sekolah dan di luar sekolah. Teknik relaksasi dapat meringankan tik. Terapi
pembalikan kebiasaan (habit reversal therapy) juga pilihan efektif untuk TS.
Terapi lain berupa complementary and alternative medicine (CAM), misalnya:
berdoasholat (pray), vitamin, pijat, suplemen diet, manipulasi chiropractic,
meditasi, perubahan diet, yoga, akupunktur, hipnosis, homeopati, dan EEG
biofeedback. Meskipun alami dan tak berbahaya, perlu riset lanjutan untuk
mempelajari keamanan dan efektivitasnya.(17)
Beberapa strategi cerdas dan efektif melalui pendekatan psikoedukasi
dipergunakan untuk memperlakukan, merawat, dan mengevaluasi anak TS.
Lingkungan nyaman, higienis, pola tidur teratur dapat bermanfaat. Berbagai faktor
seperti: stres, lelah, penyakit fisik dapat memperburuk tics untuk sementara.
Berbagai aktivitas seperti: memainkan alat musik, berolahraga, menari atau
berdansa bermanfaat dan membantu anak untuk mengalihkan atau meredakan tik.
Konsentrasi yang terutama melibatkan aktivitas motorik, sering dapat
memperbaiki tik. Medikasi tik berfokus pada upaya meminimalkan impairment,
bukan menghilangkan tik. Pada mayoritas kasus, tik membaik selama masa
remaja. Komorbiditas umum dijumpai pada TS, dapat menyebabkan perburukan
atau gangguan yang lebih besar daripada tik. Anak TS berisiko tinggi menjadi
OCD selama masa remaja dan dewasa muda. Edukasi dan terapi perilaku agresif
gejalagejala OCD sangat membantu meminimalkan pengaruh jangka panjang.
Akurasi diagnosis, termasuk identifi kasi komorbiditas amat perlu sebelum
menentukan farmakoterapi yang sesuai. Penyalahgunaan zat, terutama kokain atau
amfetamin, sering memperburuk tik. Keturunan penderita TS memiliki peluang
10% berkembang menjadi tik, jika pasangan hidupnya tidak memiliki riwayat
keluarga tik. Banyak orang dewasa dapat menikmati kehidupan meskipun
mengalami tik. (17)
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Pande S. Chorea.Journal of The Association of Physician of India. 2013; 61:
471-473.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Neurologi. Jakarta :
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2006.
3. Mardjono M dan Sidharta P .Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: Dian
Rakyat;2003.60-6.
4. Lumbantombing S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik Dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006.92-3.
5. Lumbantobing S. Gangguan Gerak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
116-35.
6. Charles C, Robin H, Martin R and Simon S. Neurology: A Queen Square
Textbook. London : National Hospital for Neurology & Neurosurgery
University College London Hospitals NHS Foundation Trust Queen Square;
2009.
7. Mumenthaler and Mark. Neurology 4th Edition Thieme. Switzerland:
Department of Neurology Berne University; 2009.
35
8. Department of Health and Human Services. The dystonia. United State:
Public Health Service National Institutes of Health; 2012
9. Alberto A, Kailash B, Susan B, Bressman, Mahlon R, Stanley F, et al.
Phenomenology and Classification of Dystonia: A Consensus Update.
Movement Disorder.2013; 7.
10. Lumbantombing S. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004.32-4.
11. Gunter Deuschi and Della Lorenz. Essential Tremor. German : Orphanet
Encyclopedia. 2003;1-4.
12. Frederic H.Human Anatomy The Skeletal System.Seventh Edition.New
York : Pearson Education;2012.p. 550-560
13. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 10th ed. New
York: McGraw-Hill; 2009. p. 1559-1560.
14. PERDOSSI.Buku Panduan Tatalaksana Penyakit Parkinson dan Gangguan
Gerak Lainnya.Depok : Desantara Utama; 2013.p.113-128
15. Sidharta P. Neurologi Dasar Klinis.Jakarta : Dian Rakyat; 2009. p. 60-66
16. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi 7.Jakarta : EGC;2009.p. 192-236.
17. Dito Anurogo. Fenomenologi Sindrom Tourette. CDK-211.2013; 40;12.