GAMBARAN ERITROSIT DOMBA SETELAH DIVAKSIN … · ABSTRAK HARRY PRIMA VIDIANSYAH. Gambaran Eritrosit...

44
GAMBARAN ERITROSIT DOMBA SETELAH DIVAKSIN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus HARRY PRIMA VIDIANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Transcript of GAMBARAN ERITROSIT DOMBA SETELAH DIVAKSIN … · ABSTRAK HARRY PRIMA VIDIANSYAH. Gambaran Eritrosit...

GAMBARAN ERITROSIT DOMBA SETELAH DIVAKSIN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus

HARRY PRIMA VIDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

ABSTRAK

HARRY PRIMA VIDIANSYAH. Gambaran Eritrosit Domba Setelah

Divaksin Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus. Dibimbing oleh TUTUK

ASTYAWATI dan RETNO WULANSARI.

Infestasi Rhipicephalus sanguineus dapat menimbulkan kerusakan pada

hewan domestikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perkembangan

ilmu pengetahuan tentang pencegahan R. sanguineus telah banyak dilakukan,

terutama vaksin dengan berbagai cara penggunaannya. Penelitian ini mengamati

beberapa parameter hematologi darah domba yaitu jumlah eritrosit (RBC), kadar

hemoglobin (Hb), dan nilai hematokrit (PCV) yang divaksin ekstrak caplak R.

sanguineus dan diinfeksi caplak R. Sanguineus dengan tujuan untuk melihat

respon tubuh domba terhadap vaksin dan infestasi caplak. Penelitian ini

menggunakan 3 ekor domba. Pengambilan darah dilakukan seminggu sebelum

vaksinasi, dua minggu setelah vaksinasi pertama dan ke-dua, dan 2 kali seminggu

berturut-turut setelah uji tantang. Pengambilan darah pada vena jugularis

eksterna, vaksinasi dilakukan pada bagian subkutan dan uji tantang pada daerah

leher domba. Jumlah eritrosit (RBC), kadar hemogolobin (Hb), dan nilai

hematokrit (PCV) sebelum dengan setelah vaksinasi dan setelah uji tantang tidak

berbeda nyata (P>0,05) dengan menggunakan uji statistik ANOVA dan

DUNCAN. Vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus tidak berpengaruh terhadap

kinerja kesehatan domba yang ditunjukkan melalui gambaran darah domba

(jumlah eritrosit, nilai PCV, kadar Hb) tetap stabil setelah vaksinasi.

Kata Kunci : Rhipicephalus sanguineus, vaksinasi, domba, jumlah eritrosit

(RBC), kadar hemoglobin (Hb), dan nilai Hematokrit (PCV).

GAMBARAN ERITROSIT DOMBA SETELAH DIVAKSIN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus

 

 

 

 

HARRY PRIMA VIDIANSYAH  

   

 

 

 

 

 

 

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

 

Judul Skripsi : Gambaran Eritrosit Domba Setelah Divaksin Ekstrak

Caplak Rhipicephalus sanguineus

Nama Mahasiswa : Harry Prima Vidiansyah

NRP : B04104089

Disetujui,

 

Drh. Tutuk Astyawati, MS

Pembimbing I

Drh. Retno Wulansari, M.Si, PhD

Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Berkehendak, MahaBesar,

atas segala karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan

judul Gambaran Eritrosit Domba Setelah Divaksin Ekstrak Caplak

Rhipicephalus sanguineus ini merupakan salah satu syarat kelulusan studi

program sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Tiada keberhasilan yang kita peroleh mutlak karena usaha dan kekuatan

sendiri. Atas segala dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini,

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. drh. Tutuk Astyawati, MS dan drh. Retno Wulansari, M.Si., Ph.D selaku

dosen pembimbing skripsi

2. Kedua orang tua tercinta Bapak drh. Deddy Djauhari S, M.Si dan Ibu drh.

Salfina Nurdin A, MP. Kepada Adikku Pandu Setya, Panji Laksamana,

dan Riduansyah serta keluarga besar penulis

3. Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik

4. Teknisi Laboratorium dan Lapangan Bagian Penyakit Dalam: Pak Jajat,

Pak Kosasih, dan Pak Dahlan

5. Teman-teman sepenelitian : Siti, Budi, Muhamad, Eki, dan Arin

6. Teman-teman seperjuangan ikhwah fillah, Pondok Hamas, Pondok Al-

Ikhsan, dan DKM An-Nahl FKH IPB

7. Teman-teman Asteroidea 41, adik-adik 42, 43, 44, dan 45

8. Kakak kelas yang selalu memberikan semangat : 36, 37, 38, 39, dan 40

9. Semua pihak yang turut memberikan arti penting dalam perjalanan hidup

penulis termasuk penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Kritik

dan saran yang membangun agar karya penulis menjadi lebih sempurna sangat

penulis harapkan.

Bogor, 27 Januari 2009

Harry Prima Vidiansyah

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Harry Prima Vidiansyah. Penulis dilahirkan di

Bandar Lampung pada tanggal 18 Oktober 1985. Penulis merupakan putra

pertama dari empat bersaudara dari Bapak drh. Deddy Djauhari, M.Si dan Ibu drh.

Salfina Nurdin A, MP.

Penulis mulai mengenyam pendidikan di TK Tunas Rimba Banjarbaru

hingga lulus tahun 1992. Penulis menyelesaikan pendidikan SD Langkai 12

Palangkaraya hingga lulus tahun 1998. Penulis menyelesaikan pendidikan

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 3 Palangkaraya dan menyelesaikan

pendidikannya pada tahun 2001. Jenjang Sekolah Menegah Umum (SMU),

penulis selesaikan di SMUN 2 Palangkaraya hingga tahun 2004. Penulis

kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana dalam bidang Kedokteran

Hewan yang ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan

organisasi seperti DKM An-Nahl FKH IPB (2004-2008), Forum Silaturahmi

Lembaga Dakwah Kampus IPB (2006-2008), IMAKAHI (2005-2006), Anggota

Himpro Ruminansia (2005-2006), dan Pengurus Asisten Pendidikan Agama

Islam (2007-2008). Dalam bidang akdemik, penulis pernah menjadi asisten mata

kuliah Anatomi Veteriner l dan ll (2007) dan asisten mata kuliah Pendidikan

Agama Islam (2006-2008).

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................. 1 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................. 1 1.3 Manfaat Penelitian ........................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rhipicephalus sanguineus ................................................ 3 2.2 Siklus hidup caplak Rhipicephalus sanguineus ............... 4 2.3 Lingkungan Caplak Rhipicephalus sanguineus................ 6 2.4 Kerusakan yang Ditimbulkan oleh Caplak Rhipicephalus sanguineus .............................................................................. 7 2.5 Penyakit yang Ditularkan oleh Vektor Rhipicephalus sanguineus .............................................................................. 8 2.6Domba ............................................................................... 9 2.7 Hematologi ....................................................................... 9 2.8 Eritrosit (Red Blood Cell) padadomba.............................. 10 2.9 Hemoglobin……………………………………………… 12 2.10 Hematokrit……………………………………………… 12 2.11 Anemia…………………………………………………. 13

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................... 15 3.2 Alat dan Bahan ................................................................ 15 3.3 Metode ............................................................................. 15

3.3.1 Ekstrak Caplak ......................................................... 15 3.3.2 Perlakuan Domba ..................................................... 16 3.3.3 Pengambilan Darah .................................................. 17 3.3.4 Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) .. 17 3.3.5 Penghitungan Nilai Hematokrit (PCV) .................... 18 3.3.6 Penghitungan Kadar Hemoglobin (Hb) ................... 19

3.4 Analisis Data ................................................................... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Eritrosit ............................................................... 20 4.2 Kadar Hemoglobin .......................................................... 22 4.3 Nilai Hematokrit .............................................................. 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...................................................................... 26 5.2 Saran ................................................................................ 26

VI. DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 27

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter Hematologi Domba Normal…………………………… 11 2. Rata-rata gambaran darah domba dengan perlakuan vaksin dan

uji tantang caplak Rhipicephalus sanguineus……………………… . 20

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Rhipicephalussanguineus………………………………………… 3 2. Siklus hidup caplak Rhipicephalus sanguineus ………………… 5 3. Domba…………………………………………………………….. 9 4. Hemocitometer Burker dan Grid………………………………….. 18 5. Gambaran rata-rata jumlah sel darah merah (RBC) x 106 /µl pada

domba sebelum, sesudah vaksinasi dan uji tantang………………. 21 6. Gambaran rata-rata kadar hemoglobin (Hb) gram% pada domba

sebelum, setelah vaksinasi dan uji tantang………………………. 22 7. Gambaran rata-rata nilai Hematokrit (PCV) % pada domba sebelum,

setelah vaksinasi, dan uji tantang………………………………… 23

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil uji Anova dan Duncan nilai hematokrit (PCV) sebelum,

sesudah vaksinasi, dan uji tantang……………………………… 30 2. Hasil uji Anova dan Duncan kadar hemoglobin (Hb) sebelum,

sesudah vaksinasi, dan uji tantang……………………………… 31 3. Hasil uji Anova dan Duncan jumlah eritrosit (RBC) sebelum,

sesudah vaksinasi dan uji tantang……………………..……….. 32

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam mengatasi infestasi caplak

Rhipicephalus sanguineus telah banyak dilakukan, terutama dengan penggunaan

vaksin. Infestasi caplak pada hewan domestik memberikan dampak besar baik

secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung mengakibatkan

anemia, anoreksia, dermatosis, dan paralisis. Dampak secara tidak langsung

mengakibatkan penyakit-penyakit yang dapat ditularkan oleh R. Sanguineus. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan pengembangan dalam pencegahan infestasi caplak pada

hewan domestik.

Indonesia dengan kekayaan flora dan fauna serta iklim tropis yang dibatasi

60 LU-120 LS ini merupakan lokasi yang baik untuk berkembangbiakan R.

Sanguineus. Caplak ini tersebar di negara yang terletak pada 500 LU-350 LS

(Levine 1990).

Salah satu penyakit yang sering ditimbulkan oleh vektor R. sanguineus

adalah babesiosis yang disebabkan oleh parasit Babesia sp. Caplak ini sebagai

parasit obligat pada semua stadium kecuali telur menghisap darah sehingga inang

mengalami kekurangan darah atau anemia. Infestasi caplak yang banyak akan

menyebabkan kehilangan volume darah, juga menyebabkan kerusakan kulit inang

hingga paralisis syaraf (Sugiarto 2005).

Pengendalian terhadap infestasi R. sanguineus, dalam mencegah infeksi

parasit darah ataupun kerusakan akibat gigitan yang ditimbulkannya, maka

vaksinasi merupakan salah satu cara efektif .

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati gambaran sel darah

merah domba yang divaksin ekstrak caplak R. sanguineus.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

efektifitas vaksin ekstrak caplak R. sanguineus yang tidak mempengaruhi kinerja

kesehatan domba dengan melihat jumlah sel darah merah, nilai hematokrit dan

kadar hemoglobin.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rhipicephalus sanguineus

Caplak R. sanguineus memiliki ciri berupa struktur tubuh yang lunak

dan berbentuk bulat, mulut dan bagian kaki tidak tampak jelas, memiliki berbagai

ornamen, dan dilengkapi dengan hipostoma dan klisera yang bergigi bagian

mulut. Caplak ini termasuk superfamilia Ixodidae. Secara anatomi, memiliki ciri

pada bagian dorsal keras dengan zat kitin disebut scutum. Caplak betina memiliki

pelindung relatif sedikit pada permukaan bagian anterior dorsal, juga pada larva

dan nimfa, kutikula dengan kulit yang luas. Caplak jantan scutum menyelimuti

seluruh permukaan. Alur anus terletak di belakang anus dan mempunyai feston.

Biasanya scutum memiliki ornamen (Lord 2001). Caplak hidupnya sebagai

ektoparasit yang dapat menyerang mamalia, reptil, dan burung (Matzigkeit 1990).

Caplak R. sanguineus menurut Teel (1985), memiliki klasifikasi sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Chelicerata

Kelas : Arachinida

Sub Kelas : Acari

Ordo : Parasitiformes

Sub ordo : Metastigmata

Super Familia : Ixodidae

Genus : Rhipicephalus

Spesies : Rhipicephalus sanguineus

Caplak ini sering disebut red-brown-tick karena merupakan caplak

kosmopolitan yang memiliki ornamen coklat dan merah pada tubuhnya. Caplak

ini dapat bertahan hidup pada inangnya dengan melengkapi siklus hidupnya pada

lingkungan sekitar yang sesuai inang. Caplak masih dapat bertahan hidup pada

suhu udara yang kurang mendukung baik suhu tinggi maupun rendah. Populasi

Gambar 1. Rhipicephalus sanguineus (Lord 2001)

Caplak akan meningkat drastis bila suhu hangat. Caplak ini memiliki sifat

toleransi terhadap perubahan cuaca (Lord 2001, Sugiarto 2005).

Inang R. sanguineus utama adalah bangsa anjing dan kadang-kadang

terdapat pada domba, babi, dan hewan lainnya (reptil dan burung). Caplak ini

penyebarannya terutama di daerah tropis, banyak ditemukan pada hewan utama

maupun hewan lainnya (Matzigkeit 1990).

2.2 Siklus Hidup Caplak Rhipicephalus sanguineus

Caplak ini bereproduksi secara seksual dengan menggunakan penis yang

dapat tersembul dan dimasukan ke dalam vagina caplak betina. Caplak jantan,

umumnya sperma disimpan didalam spermatofora. Siklus R. sanguineus dimulai

dari caplak betina yang bertelur hingga menetas larva yang berkaki 3 pasang

berkembang menjadi nimfa yang berkaki 4 pasang hingga berkembang menjadi

caplak dewasa yang semuanya berada pada inang (Sugiarto 2005).

Rhipicephalus sanguineus membutuhkan 3 inang dalam melengkapi

seluruh siklusnya, sehingga disebut caplak berumah tiga. Siklus hidup R.

sanguineus diawali dari telur yang diletakkan oleh induknya di tanah. Caplak

dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang (engorged), lalu

jatuh ke tanah dan akan bertelur. Telur akan menetas menjadi larva dengan 3

pasang kaki, dan naik ke rumput atau semak belukar. Larva akan mencari inang

barunya dengan bantuan organ olfaktoriusnya (untuk mencium adanya inang

baru). Setelah mendapatkan inangnya, larva akan menghisap darah inang tersebut

sebagai makanannya sampai kenyang. Kemudian larva jatuh ke tanah atau tetap

tinggal pada tubuh inang tersebut dan berubah (molting) menjadi nimfa dengan 4

pasang kaki. Nimfa hinggap ke inang yang kedua dan menghisap darah sebagai

makanannya. Setelah kenyang menghisap darah inang, nimfa jatuh ke tanah dan

molting menjadi caplak dewasa. Caplak betina dan jantan dewasa hinggap pada

inang yang ketiga, kemudian akan kembali kopulasi dan bertelur hingga 3.000

butir (Matzigkeit 1990; Sugiarto 2005).

Gambar 2. Siklus hidup caplak Rhipicephalus sanguineus (Lord 2001)

Waktu bertelur berkisar antara 13 sampai 15 hari (Lord 2001). Jumlah

telur yang dikeluarkan setelah kopulasi oleh caplak betina tergantung pada kondisi

lingkungan dan berat badan. Kondisi lingkungan untuk menetaskan telur pada

suhu optimum 240-300C dengan kelembaban yang sesuai. Jumlah telur yang

dihasilkan juga dipengaruhi oleh banyaknya darah yang dihisap (Lord 2001).

Jumlah telur yang dikeluarkan sekitar 1.000 hingga 3.000 butir (Matzigkeit 1990;

Sugiarto 2005).

Telur caplak biasanya bergerombol pada celah-celah dinding, di bawah dan

di balik perabot-perabot, sofa, tirai, kain pelapis, kursi, di bawah semak-semak

dan tanaman lainnya serta di atap (Levine 1990, Yates 1992, Hadi & Soviana

2000). Periode inkubasi atau proses mulai dikeluarkannya telur sampai menetas

menjadi larva dicapai dalam waktu 17-30 hari (Levine 1990), 14-35 hari (Lord

2001), 19-60 hari (Yates 1992).

Telur akan menetas menjadi larva dengan tiga pasang kaki (Lord 2001,

Hadi dan Soviana 2000). Larva menghisap darah inang selama 3 sampai 9 hari

(Yates 1992), 2 sampai 6 hari (Levine 1990), 3 sampai 7 hari (Lord 2001). Larva

dapat ditemukan dicelah-celah dinding, lantai, horden, dan kain pelapis kursi

(Levine 1990). Larva terutama menempel pada rambut panjang di belakang leher

inang.

Kemampuan hidup larva dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Faktor intrinsik dari inang, menyangkut jenis kelamin caplak dan jumlah darah

yang telah dihisap. Untuk molting larva menjadi nimfa membutuhkan waktu

selama 2 minggu pada musim panas dan 7 minggu pada musim dingin (Lord

2001) atau 5 sampai 23 hari (Levine 1990, Yates 1992). Faktor ekstrinsik meliputi

suhu dan kelembaban. Larva akan mengalami perubahan bentuk tubuh dari bentuk

pipih sebelum menghisap darah menjadi bulat (globular) setelah menghisap

darah. Larva yang sudah siap untuk berubah menjadi nimfa berwarna biru keabu-

abuan atau disebut light brown (Yates 1992).

Nimfa mempunyai empat pasang kaki, tetapi tidak mempunyai lubang

genital (Noble & Noble 1989). Nimfa menempel pada inang terutama di belakang

leher, menghisap darah selama 4 sampai 9 hari (Levine 1990, Yates 1992), 5

sampai 10 hari (Lord 2001). Nimfa yang telah kenyang menghisap darah,

kemudian jatuh dan berubah menjadi dewasa dalam waktu 11 sampai 73 hari

(Levine 1990), 12 sampai 29 hari (Yates 1992), 2 minggu (Lord 2001).

Ada perbedaan antara caplak betina dan jantan. Caplak betina bila

menghisap darah maka akan berubah bentuk tubuhnya dari pipih menjadi globular

yang besar dan luas pada permukaan badannya, sedangkan jantan menghisap

darah yang sedikit pada inangnya sehingga perubahannya tidak besar, karena

anatomi R. sanguineus jantan mempunyai scutum yang lebih besar daripada

betina (Sugiarto 2005).

2.3 Lingkungan Caplak Rhipicephalus sanguineus

Caplak R. sanguineus dalam siklus hidupnya sebagai caplak berumah tiga,

memerlukan lingkungan yang baik dalam bertahan hidup. Suhu yang terlalu panas

atau terlalu dingin dan kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah (kering)

serta sinar matahari yang berlebihan, kurang baik untuk perkembangan caplak

(Hadi dan Soviana 2000).

Larva mengalami dua kali pergantian kulit (molting) sebelum mencapai

caplak dewasa. Caplak R. sanguineus dari mulai larva sampai dewasa adalah

parasit yang menghisap darah (parasit obligat). Molting caplak berada di luar

tubuh inang (Sugiarto 2005).

2.4 Kerusakan yang Ditimbulkan oleh Caplak Rhipicephalus sanguineus

Menurut Matzigkeit (1990), kelainan-kelainan umum atau kerusakan fisik

akibat infestasi R. sanguineus yang berpengaruh terhadap produksi ternak ialah :

1. Kerusakan mekanis pada kulit inang (integumen), dermatosis, peradangan,

gatal, kebengkakan dan ulserasi akibat infeksi sekunder. Caplak melekat

pada inang dengan hipostom yang terbenam di dalam kulit, sehingga

gigitan atau bekas gigitan caplak akan mengiritasi dan dapat menyebabkan

peradangan pada kulit serta menimbulkan rasa gatal. Bila bagian yang

gatal digaruk, digigit atau dijilat, dapat menyebabkan kulit lecet, luka dan

kadang-kadang bernanah akibat infeksi sekunder oleh bakteri. Infestasi

caplak dan iritasi kulit, merusak tubuh yang dapat menurunkan produksi

susu dan kualitas daging serta penurunan kondisi tubuh.

2. Anemia hemolitik dapat terjadi pada infestasi caplak yang hebat. Seekor R.

sanguineus betina dapat menghisap 1 sampai 3 ml darah dalam

melengkapi siklus hidup selama berada pada inang. Bila infestasi caplak

dalam jumlah banyak, maka akan membuat hewan yang dihinggapi

dengan cepat kehilangan banyak darah dan hewan akan lemah, dengan

selaput lendir yang sangat pucat. Caplak merupakan vektor protozoa jenis

Theleria sp dan Babesia sp yang merusak eritrosit hewan sehingga

memperparah anemia.

3. Kerusakan sistemik dapat menimbulkan paralisis akibat caplak (tick

paralysis). Saliva caplak mengandung sejenis racun (toksin) yang dapat

menyebabkan paralisis. Bila menggigit di daerah belakang kepala sangat

berbahaya, karena bahan-bahan toksik yang kemungkinan dihasilkan oleh

ovarium atau ovum dari caplak menyebabkan paralisis motoris ringan

yang mengarah ke otak dengan cepat (Karen et al.2004 dalam Sugiarto

2005). Gejala yang dapat diamati antara lain peningkatan suhu tubuh,

kesulitan bernafas, bersuara serta menelan dan kadang-kadang kematian

akibat paralisis pernafasan atau jantung. Dapat pula mengganggu dalam

produksi pada infestasi yang berat.

2.5 Penyakit yang Ditularkan oleh Vektor Rhipicephalus sanguineus

Caplak berpotensi untuk mentransmisikan penyakit dari protozoa, virus,

dan bakteri pada inang. Ehrlichiosis dan babesiosis sering diakibatkan oleh

adanya infestasi R. Sanguineus. Caplak ini merupakan vektor yang baik bagi

Babesia sp, penularan Babesia sp. oleh caplak menyebabkan penyebaran

babesiosis sangat tinggi, karena caplak memerlukan 3 inang dalam siklus

hidupnya (Matzigkeit 1990).

Babesiosis dapat menimbulkan gejala klinis berupa demam,

hemoglobinuria, hemoglobinemia, bilirubinemia (ikterus), dan splenomegali juga

menyebabkan kehilangan berat badan. Babesia sp. menginfeksi dan merusak

eritrosit yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis sehingga terjadi anemia

(Sugiarto 2005).

Caplak yang dapat bertahan selama 2 sampai 4 minggu pada inang dapat

juga menyebabkan ehrlichiosis dengan gejala klinis berupa anemia, demam,

depresi, kelemahan, kehilangan nafsu makan, nafas dangkal, dan sakit persendian.

Bila caplak menggigit hewan secara kronis selama 1 sampai 4 bulan setelah

kejadian akut, gejala yang terlihat adalah anemia, kehilangan berat badan, gejala

syaraf, pendarahan, inflamasi mata, oedema di kaki belakang, dan demam

(Sugiarto 2005).

Pola transmisi babesiosis dan ehrlichiosis pada hewan domestik akibat

infestasi caplak adalah transovarial dan transstadial (Soulsby 1982). Anak-anak

caplak betina yang terinfeksi oleh babesia sp. biasanya akan terinfeksi oleh

protozoa ini karena transmisi melewati transovarial. Bila caplak betina dewasa

yang terinfeksi oleh babesia sp. akibat menghisap darah inang yang terinfeksi

Babesia sp., maka keturunan caplak tersebut juga akan berpotensi sebagai vektor

penyakit babesiosis. Transovarial merupakan transmisi agen penyakit pada

keturunannya melalui sel telur. Transstadial adalah pola transmisi agen penyakit

pada keturunannya melalui stadium perkembangan caplak. Jadi bila ada hewan

domestik yang terserang babesiosis atau erhlichiosis, maka caplak yang

berkembang pada inang tersebut akan mengandung agen penyakit tersebut

(Sugiarto 2005).

Pola transmisi penyakit dengan transovarial atau transstadial menyebabkan

kesulitan dalam pemberantasan penyakit babesiosis atau erhlichiosis karena

potensi menurunkan penyakit secara vertikal, dan caplak tahan terhadap

kekeringan dan kekurangan pakan (Sugiarto 2005).

2.6 Domba

Domba merupakan hewan yang menghasilkan daging dan wol. Di

Indonesia kulit domba banyak dibuat barang-barang kerajinan. Domba berasal

dari Asia tengah, selatan, dan barat daya yang diduga keturunan ras Moufflon

(Sugiarti 2007). Domba diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla

Familia : Bovidae

subFamili : Capricane

Genus : Ovis

Spesies : Ovis aries

Gambar 3. Domba (Linaeus 1758)

Berat badan dan pertumbuhan domba dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Domba mudah beradaptasi terhadap perubahan iklim, pakan dan penyakit. Faktor

lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas domba adalah suhu, kelembaban,

dan panjangnya siang hari (Sugiarti 2007).

Domba menyukai pakan yang berasal dari jenis leguminosa. Domba

menurut Swenson (1984) memiliki pulsus jantung 70-80/ menit, frekuensi

respirasi 16-34 / menit, dan suhu tubuh sekitar 38,40C-39,50C (Sugiarti 2007).

2.7 Hematologi Domba

Darah berfungsi sebagai media transpor di dalam tubuh. Menurut Delman

dan Brown (1989), volume total darah mamalia berkisar antara 7 – 8 % dari berat

badan, plasma 75 – 85 % , dan sisanya 25 – 35 % merupakan elemen-elemen sel

darah yang utama yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan

keping darah (platelet). Menurut Swenson (1984), plasma darah berkisar antara 91

– 92 % cair dan 8 – 9 % padatan pada hewan dewasa. Menurut Rastogi (1997),

jika volume plasma dan % hematokrit diketahui maka volume darah dapat

diketahui dengan persamaan :

Volume darah = (Volume plasma x 100) : (100 – hematokrit)

Menurut Frandson (1996) dan Banks (1993), darah memiliki fungsi

membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke

jaringan tubuh, membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan untuk respirasi

internal dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk respirasi

eksternal. Darah juga memiliki fungsi sebagai sistem buffer, seperti bikarbonat di

dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan, cairan

tubuh dan phosphat, membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke

ginjal untuk diekskresikan, dan membawa hormon dari kelenjar endokrin ke

organ-organ lain di dalam tubuh. Darah sangat berperan penting dalam

pengendalian suhu (regulator panas) dari struktur yang lebih dalam menuju ke

permukaan tubuh, ikut berperan dalam menjaga volume cairan tubuh dalam

mempertahankan keseimbangan air, dan ekskresi sisa-sisa metabolisme. Fungsi

lain darah adalah membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ-organ lain di

dalam tubuh, pembekuan darah untuk mencegah terjadinya kehilangan darah yang

berlebihan pada waktu luka, dan mengandung faktor-faktor penting untuk

pertahanan tubuh (antibodi) terhadap penyakit.

2.8 Eritrosit (Red Blood Cell) pada Domba

Eritrosit dalam bahasa yunani Eritro yang berarti darah dan Sit yang

berarti sel. Pembentukan sel-sel darah merah pada hewan dewasa secara normal

terjadi di dalam sumsum tulang merah. Akan tetapi pada fetus, sel darah merah

juga dihasilkan oleh hati dan limpa (Wilson 1979). Eritrosit pada domba memilki

diameter 4,8 µm untuk pengangkutan oksigen (Swenson 1984). Sel ini berbentuk

cakram (disk) bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler .

Lama hidup eritrosit domba dewasa 146 ± 12,9 hari diukur dengan

metode serologi dan 137 hari diukur dengan metode radioaktif (59Fe) (Sherif and

Habel 1976). Rata-rata lama hidup hidup eritrosit dalam 100 hari maka yang rusak

sekitar 3 triliun dan dibentuk oleh tubuh perhari, atau 35 miliar tiap detiknya

(Swenson 1984).

Tabel 1. Parameter Hematologi Domba Normal Parameter Satuan Kisaran (rata-

rata) RBC X 106/ µl 8 -16

Hb gram% 8 -16 PCV % 24 - 50 MCV fl 33 - 48 MCH pg 8 -13 MCHC g/dl 27 - 38

(Sumber : Duncan & Prasse (1986), Frandson (1996), Swenson (1984), dan Banks (1993))

Eritrosit pada mamalia tidak berinti dan nonmotile (Swenson 1984).

Peningkatan produksi eritrosit dalam darah mamalia karena adanya rangsangan

dari EPO (Erythropoietin) yang dibentuk di ginjal akibat dari respon terhadap

hipoksia (Guyton and Hall 1997). Penghancuran sel-sel darah merah terjadi

setelah mengalami sirkulasi tiga sampai empat bulan. Sel-sel darah merah

mengalami disintegrasi, melepaskan Hb ke dalam darah, dan debris (puing-puing)

sel yang rusak itu dibuang dari sirkulasi oleh sistem makrofag atau sistem

retikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel khusus di dalam hati, limfa, sumsum

tulang, dan limfonodus (Frandson 1996).

Hemopoiesis adalah proses pembentukan eritrosit, leukosit, dan platelet.

Semua sel darah hewan dewasa terbentuk dari sumber yang sama, yaitu sel-sel

batang primordial yang terdapat di dalam sumsum tulang. Proses pembentukan

eritrosit disebut eritropoiesis. Eritropoiesis dikendalikan oleh kadar oksigen di

dalam jaringan. Bila kadar oksigen kadarnya menurun lebih rendah dari

kebutuhan jaringan dan sel (hipoksia), maka erythropoietin atau hemopoetin

(hormon yang dibentuk di renal) yang berada di plasma merupakan faktor

stimulasi eritropoiesis. Enzim yang bekerja pada hormon ini sebagai prekusor dan

faktor erythropoietik renal. Erythropoietin berada dalam plasma dalam waktu satu

jam setelah mulai terjadinya hipoksia; yang terbentuk karena kadar oksigen yang

rendah dalam darah arterial atau afinitas yang rendah dari hemoglobin terhadap

oksigen. Tidak ada pengaruh langsung dari sumsum tulang terhadap hipoksia.

Umumnya diperlukan waktu 3 hari sejak dimulainya hipoksia untuk memproduksi

sel-sel darah merah oleh sumsum tulang sampai dilepaskan ke dalam sirkulasi

darah. Mekanisme eritropoiesis berlanjut selama masih dibutuhkan, dan akan

berakhir pada saat keadaan hipoksia di dalam sel berhenti. Jadi konsentrasi sel

darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatif. Apabila penyebab

hipoksia itu dihilangkan, kelebihan sel darah merah akan dikurangi melalui atrisi

(pelemahan) dan degenerasi normal setelah lebih kurang 120 hari tanpa pergantian

(Frandson 1996).

2.9 Hemoglobin

Hemoglobin merupakan pigmen pada eritrosit yang kompleks, memuat

besi, protein konjugasi yang terdiri dari pigmen dan protein sederhana (Swenson

1996). Hemoglobin dalam eritrosit berkemampuan untuk mengangkut oksigen,

serta penyebab timbulnya warna merah pada darah.

Dari segi kimia, hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang

kompleks, yang terdiri atas empat pigmen porifirin merah (heme), masing-masing

mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang

terdiri atas empat rantai asam-asam amino. Hemoglobin yang bergabung dengan

oksigen pada saat mengambil oksigen dalam paru-paru dinamakan

oksihemoglobin, yang selanjutnya melintasi sistem kapiler, dan melepaskan

oksigen ke sel-sel jaringan di dalam tubuh (Swenson 1984, Frandson 1996).

2.10 Hematokrit

Hematokrit adalah persentase volume darah dengan padatan darah yang

terdapat darah, diukur dengan sentrifugasi sampel darah dalam pipa kapiler. Pada

darah yang disentrifugasi akan terlihat volume padatan dan volume plasma.

Hematokrit dapat diukur dengan membandingkan volume padatan sel darah

merah dengan volume darah sampel dengan menggunakan hematocrit reader.

Nilai hematokrit yang meningkat dapat diindikasikan peningkatan

viskositas darah karena adanya peningkatan jumlah sel darah merah

(hemokonsentrasi). Konsentrasi eritrosit tinggi karena suatu gangguan sirkulasi

darah sehingga viskositas darah naik. Konsentrasi eritrosit yang rendah karena

suatu anemia, menyebabkan viskositas darah rendah, kecepatan sirkulasi darah

meningkat dan tekanan darah menurun (Wilson 1979).

2.11 Anemia

Anemia (bahasa yunani An = tanpa; emia = darah) terjadi apabila jumlah

sel-sel darah merah fungsional atau jumlah hemoglobin berkurang jauh di bawah

nilai normal. Anemia dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang

memadai akibat dari gizi yang tidak baik, termasuk adanya defisiensi zat besi,

Cu, vitamin, dan asam amino dalam pakan. Anemia dapat pula disebabkan oleh

hilangnya darah oleh karena pendarahan dari luka, atau karena parasit seperti

cacing pada saluran pencernaan ataupun kutu. Penyebab lainnya adalah kurangnya

sekresi faktor intrinsik (glikoprotein yang disekresi oleh sel parietal pada gandula

gaster) dari saluran pencernaan; faktor ini memungkinkan dapat berlangsungnya

penyerapan vitamin B12 dan asam folat (Frandson 1996).

Anemia dapat juga terjadi apabila sel-sel darah mengalami lisis yang lebih

cepat dibandingkan dengan pembentukannya yang baru, atau sel-sel darah merah

tidak berhasil menjadi dewasa secara normal (Frandson 1996).

Beberapa penyebab dan tipe anemia :

• Anemia akibat kehilangan darah, setelah tubuh mengalami pendarahan

akut, maka tubuh akan mengganti cairan plasma dalam waktu 1 sampai 3

hari menyebabkan konsentrasi sel darah merah menjadi rendah. Bila tidak

terjadi pendarahan berikutnya, maka konsentrasi sel darah merah biasanya

kembali normal dalam waktu 3 sampai 6 minggu. Kehilangan darah

kronis, penderita seringkali tidak dapat mengabsorbsi cukup besi dari usus

halus untuk membentuk hemoglobin secepat darah yang hilang, sehingga

terbentuk sel darah merah yang mengandung sedikit sekali hemoglobin.

• Anemia aplastik, aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya

sumsum tulang. Salah satu penyebabnya adalah terapi yang menggunakan

sinar-x yang berlebihan, atau terkena bahan-bahan kimia pada industri

tertentu.

• Anemia megaloblastik, anemia yang diakibatkan oleh sel darah merah

kekurangan salah satu atau keseluruhan unsur vitamin B12, asam folat,

dan faktor-faktor intrinsik yang berasal mukosa lambung sehingga

memperlambat produksi eritrosblast dalam sumsum tulang, akibatnya sel

ini membesar dengan bentuknya abnormal (megaloblas).

• Anemia hemolitik, sel darah merah yang abnormal dengan sifat rapuh,

mudah robek saat melewati kapiler terutama lewat limpa dan kebanyakan

didapat secara keturunan. Macam-macamnya ialah sferositosis herediter,

anemia sel sabit, eritroblastosis fetalis dan hemolisis (Guyton & Hall

1997).

Anemia berpengaruh dalam sistem vaskular, viskositas (kekentalan) darah

pada anemia berat menjadi turun dan tahanan terhadap aliran darah dalam

pembuluh perifer rendah, sehingga jumlah darah yang mengalir melalui jaringan

dan kemudian kembali ke jantung menjadi jauh melebihi normal. Hipoksia yang

terjadi akibat penurunan transpor oksigen oleh darah akan menyebabkan

pembuluh jaringan perifer berdilatasi, yang selanjutnya meningkatkan jumlah

darah ke jantung, sehingga meningkatkan curah jantung sampai nilai yang lebih

tinggi, sehingga efek utama dari anemia adalah meningkatkan beban kerja

jantung. Kecepatan aliran darah dan curah jantung tinggi, sehingga jumlah

oksigen yang dialirkan ke jaringan hampir mendekati normal. Bila penderita

anemia semakin parah, maka jantung tidak mampu memompa jumlah darah lebih

banyak daripada jumlah yang dipompa sebelumnya. Selama anemia akan terjadi

peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen yang dapat menimbulkan

hipoksia jaringan yang serius dan dapat terjadi gagal jantung akut (Guyton and

Hall 1997).

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di Kampus Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor. Pemeliharaan, pengamatan, dan pengambilan darah domba di

Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Hewan Percobaan FKH IPB. Pengamatan

dan pemeriksaan darah domba dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik

Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB. Waktu penelitian dimulai

pada bulan Juli hingga September 2007.

3.2 Alat dan Bahan

Kandang hewan, tempat pakan, tempat air minum, syringe 3 ml, jarum

suntik no.23, gelas obyek, mikroskop, tabung ependorf, tabung reaksi, satu set

hemositometer Burker, satu set hemometer Sahli, pipa kapiler, tisu pembersih,

hematocrit reader, sentrifuge, dan cristoseal.

Penelitian ini menggunakan 3 ekor domba berumur sekitar 1 tahun dengan

jenis kelamin betina, hijauan, dan air minum domba. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini ialah vaksin dari ekstrak caplak R. sanguineus dengan dosis

250 µg dalam adjuvant sehingga volume akhir 1 ml dan caplak R. sanguineus.

K3EDTA (ethylendiamine tetraacetic acid) cair, larutan hayem, akuades, dan

larutan HCl.

3.3 Metode

3.3.1 Ekstrak caplak

Caplak R. sanguineus yang digunakan dalam pembuatan vaksin dan uji

tantang berasal dari anjing lokal yang dipelihara pada kawasan kandang rumah

sakit hewan, Kapolri Kelapa Dua, dan Pengayom Satwa Pasar Minggu (Ragunan).

Ekstrak caplak dipersiapkan bedasarkan metode Heller-Haupt et al. (1987) dalam

Astyawati dan Wulansari (2008). Caplak betina dewasa yang siap betelur diseksi

kemudian direndam dalam larutan PBS (pH 7,4) dan disimpan pada suhu -200C

sampai digunakan. Caplak disentrifuge pada 5000x g selama 15 menit. Supernatan

dibuang dan filtrat caplak disuspensikan dengan PBS. Prosedur ini diulang sampai

diperoleh supernatan yang jernih. Filtrat caplak kemudian dilarutkan dengan tris

buffer (pH 6,8) 0,1 M dan sonifikasi (Branson sonifier 250) dalam waktu 10 menit

dengan 1/10 s putaran (60 W). Ekstrak kemudian disentrifuge pada 15000 x g

selama 1 jam pada suhu 40C. Supernatan difiltrasi dengan miliophore (0,22 µm)

dan disimpan pada suhu -200C sampai digunakan. Konsentrasi protein ekstrak

kelenjar ludah (salivary gland) dan usus (gut), ditentukan menurut metode Smith

et al. (1985) dalam Astyawati dan Wulansari (2008) ialah 0,2 mg/ml dan 3,2

mg/ml, berturut-turut.

3.3.2 Perlakuan pada Domba

Tahap awal, domba pada minggu pertama dilakukan adaptasi terhadap

lingkungan kandang dan sekitarnya. Pengecekan kesehatan domba dengan

melakukan pemeriksaan fisik. Domba diberi obat cacing (Albendazol) dan

multivitamin. Pemberian pakan hijauan (rumput) dan air minum ad libitum sesuai

dengan jadwal dan kebutuhan per harinya. Pengadaptasian domba dengan

berbagai perlakuan dengan bertujuan agar tidak stres akibat perlakuan yang

berubah dari tempat asalnya, sehingga perlakuan yang telah sesuai selama 2

minggu dapat memudahkan untuk pengamatan secara normal pada tahap

berikutnya.

Kandang sebelum digunakan dilakukan sanitasi dan desinfeksi untuk

meminimalisir adanya parasit. Perlakuan kandang ini dilakukan 2 kali sebelum

domba dimasukkan. Selain di dalam kandang, domba pada waktu pagi hari

dilepaskan disekitar kandang agar mendapat sinar matahari, suhu, dan

kelembaban agar tubuh domba dapat adaptasi di lingkungan sekitar kandang.

Ketiga domba mendapatkan perlakuan yang sama dalam satu kandang.

Pengambilan darah pada minggu awal sebelum dilakukan vaksinasi untuk

melihat gambaran darahnya. Pada tahap berikutnya, domba diberi vaksin ekstrak

caplak R. saguineus dengan dosis 250 µg dalam 50 µl oil adjuvant sehingga

volume akhir 1,0 ml/hewan. Vaksinasi dilakukan secara subkutan.

Pengambilan darah tahap ke-2 yaitu pada minggu 2 setelah vasinasi 1

untuk melihat gambaran sel darah merah. Kemudian domba diberi vaksin ekstrak

caplak R. sanguineus yang kedua sebagai booster, agar imun (daya kebal)

terhadap caplak dalam tubuh stabil. Satu minggu setelah vaksinasi terakhir

dilakukan uji tantang dengan menanam caplak di leher domba dalam tabung yang

direkatkan dengan selotip.

3.3.3 Pengambilan Darah

Darah diambil melalui Vena Jugularis Externa yang terletak pada leher

domba pada daerah sulcus jugularis. Sebelum pengambilan darah maka daerah

leher tempat penyuntikan, dicukur rambutnya terlebih dahulu. Setelah bersih vena

ditekan agar terlihat dengan jelas pembesaran Vena Jugularis Externa. Sebelum

pengambilan darah maka dibersihkan dengan alkohol 70 % pada daerah yang

diambil. Penyiapan tabung ependorf sebagai penampung darah, dan syringe

dengan sedikit basah oleh EDTA melalui teknik pembilasan. Setelah darah

diambil, segera ke laboratorium untuk dilakukan pegujian dan pengamatan darah

domba. Pengambilan darah dilakukan pada minggu awal sebelum vaksin, setelah

vaksin pada minggu ke 2 dan ke 4, dan setelah uji tantang yaitu pada minggu ke 6

dan ke 7.

3.3.4 Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Darah yang tercampur dengan EDTA di dalam tabung ependorf dihisap

dengan pipet pengencer eritrosit dengan garis batas 101 sampai tepat pada garis

batas 0.5. Pipet dicelupkan ke dalam larutan pengencer eritrosit (Hayem) dan

dihisap sampai garis batas 101, kemudian di homogenkan dengan digoyang

seperti angka 8 selama 1 menit agar merata. Darah pada ujung pipet dikeluarkan

agar darah yang tidak terkocok tidak terhitung. Cover glass yang bersih diletakan

diatas Hemocytometer Burker dan pipet berisikan campuran darah dengan larutan

pengencer eritrosit di teteskan dibawahnya.

Gambar 4. Hemocytometer Burker dan Grid (Anonim 2007)

Hemocytometer Burker ditutup dengan cover glass diamati di bawah

mikroskop dengan pembesaran 40 x 10. Larutan pengencer eritrosit ialah larutan

Hayem yang pengencerannya 1 : 200 sehingga penghitungan jumlah eritrosit per

mm3 adalah banyak sel dihitung x 10 (dalam 0,1 pada satu kotak) x 5 (1/5 mm2

pada luas kotak) x 200 (pengenceran). Atau jumlah sel dalam kelima kotak x

10.000 /µl (Wilson 1979)).

3.3.5 Penghitungan Nilai Hematokrit (PCV)

Penghitungan nilai hematokrit menggunakan pipa kapiler, sewaktu

mengisi pipa kapiler cegah terbentuknya gelembung udara dan isi kapiler

hematokrit sampai batas kurang dari 1 cm dari ujung atas. Pipa kapiler yang telah

diisi darah disumbat dengan cristoseal kemudian disentrifuge selama 15 menit

dengan kecepatan 1500 rpm.

Pengamatan hematokrit diukur dengan hematocrit reader dengan

meletakkan pipa kapiler yang telah disentrifuge dan mengukur kadar hematokrit

(%) dari perbandingan volume padatan dengan total volume darah sampel (Wilson

1979).

3.3.6 Penghitungan Kadar Hemaglobin Darah (Hb)

Hemoglobin darah dinyatakan dalam satuan gram % sesuai standarisasi

dari pemakaian hemometer. Darah diambil menggunakan pipet hingga tera 20

mm3 dan dimasukan ke dalam tabung Sahli, ujung pipet dibersihkan dari sisa

darah. Kemudian HCl 0.1 N dihisap dari tabung menggunakan pipet yang berbeda

ke dalam tabung sahli, sehingga akan terbentuk hematin acid berwarna coklat.

Sewaktu pengambilan darah diusahakan jangan terbentuk gelembung udara.

Darah diaduk rata menggunakan batang pengaduk khusus tabung Sahli. Tabung

hemometer Sahli diletakkan di dalam standar hemometer Sahli, dilihat warna dan

kekeruhannya. Bila belum sama maka diencerkan dengan aquadest hingga sama

dengan standar hemometer Sahli. Lihat skala di tabung hemometer sahli yang

telah sama dengan standar hemometer Sahli. Skala dibaca pada tabung bagian kiri

atau skala berwarna kuning (Wilson 1979).

3.4 Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah uji analysis of variance (ANOVA) dan

dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan darah merah (Jumlah RBC, kadar Hb, dan nilai PCV)

yang dilakukan sebelum vaksinasi (minggu 0), 2 minggu setelah vaksinasi

pertama (minggu ke-2), 2 minggu setelah vaksinasi kedua (minggu ke-4), 1 dan 2

minggu setelah uji tantang (minggu ke-6 dan ke-7), dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata gambaran darah domba dengan perlakuan vaksin dan uji tantang caplak Rhipicephalus sanguineus

Minggu RBC (x106/µl) Hb (gram%) PVC (%) 0 7,31 ± 1,9a 7,6 ± 1,6a 23,2 ± 4,0a 2 9,68 ± 2,1a 9,4 ± 0,3a 24,6 ± 3,4a 4 8,36 ± 1,4a 10,0 ± 1,7a 27,8 ± 5,3a 6 8,87 ± 1,5a 8,9 ± 0,3a 26,2 ± 4,6a

7 8,83 ± 1,4a 9,1 ± 0,4a 25,7 ± 4,1a Ket : huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak

berbeda nyata (P>0,05)

Analisis data jumlah eritrosit (RBC), kadar hemoglobin (Hb), dan nilai

hemotokrit (PCV) domba dengan diuji dengan analysis of variance (ANOVA)

dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002) tidak berbeda

nyata (P>0,05), baik sebelum maupun sesudah pemberian vaksin dan uji tantang.

4.1 Jumlah Eritrosit

Domba mempunyai kisaran jumlah eritrosit (RBC) normal 9 – 15 x 106 /µl

(Duncan & Prasse 1986), 11 x 106 /µl ( Frandson 1996; Swenson 1984), dan 8 -16

x 106 /µl (Banks 1993). Pemberian pakan dan minum, faktor iklim, suhu, jenis,

usia dan cuaca mempengaruhi jumlah sel darah merah hewan. Lama hidup

eritrosit domba sekitar 146 ± 12,9 hari yang dapat mempengaruhi jumlah sel

darah merah (Sheriff and Habel 1976). Perubahan gambaran jumlah eritrosit

(RBC) domba sebelum dengan setelah vaksinasi dan uji tantang dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Gambaran rata-rata jumlah sel darah merah (RBC) x 106 /ul pada domba sebelum dengan setelah vaksinasi dan uji tantang.

Gambaran eritrosit (RBC) sebelum vaksinasi sebesar 7,31 ± 1,9 x 106 /µl,

setelah vaksinasi pertama naik menjadi 9,68 ± 2,1 x 106 /µl dan setelah vaksinasi

kedua menurun menjadi 8,36 ± 1,4x 106 /µl. Kenaikan dan penurunan eritrosit

(RBC) sebelum dan setelah vaksinasi satu serta kedua tidak berbeda nyata (P>

0,05) yang masih dalam kisaran normal. Kenaikan dan penurunan eritrosit

dipengaruhi oleh faktor internal seperti umur dan jenis maupun faktor eksternal

seperti pakan, minum dan iklim (Sheriff and Habel 1976). Dari gambaran dan

data statistik bahwa vaksinasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap perubahan darah.

Pada gambaran eritrosit setelah uji tantang pertama 8,87 ± 1,5 x 106 /µl

dan uji tantang kedua 8,83± 1,4 x 106 /µl terhadap sebelum vaksinasi tidak

berbeda nyata (P>0,05) yang masih dalam kisaran normal.

4.2 Kadar Hemoglobin

Pada domba sehat memiliki nilai hemoglobin dengan kisaran

9 – 15 gram% (Duncan & Prasse 1986), 11 gram% (Frandson 1996), dan 8 – 16

gram% (Banks 1993). Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dalam eritrosit

7.315

9.68

8.3578.867 8.833

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5 6 7 8

RBC (x10

6/µl)

Minggu ke‐

dan memberikan warna pigmen merah. Hemoglobin darah berkurang akibat dari

toksin, bakteri, bisa ular, parasit darah, larutan hipotonik, serta banyak zat lainnya.

Anemia biasanya dihubungkan dengan kadar hemoglobin yang jauh di bawah

normal (Frandson 1996).Perubahan gambaran rata-rata kadar hemoglobin sebelum

dengan setelah vaksinasi dan uji tantang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Gambaran rata-rata kadar hemoglobin (Hb) gram% pada domba sebelum dengan setelah vaksinasi dan uji tantang.

Gambaran kadar hemaglobin pada setelah vaksinasi pertama 9,4 ± 0,3

gram% dan vaksinasi kedua 10,0 ± 1,7 gram% dibandingkan dengan sebelum

vaksinasi 7,6 ± 1,6 gram% tidak berbeda nyata (P>0,05) serta masih dalam kisaran

normal. Vaksinasi ekstrak R. sanguineus pada domba tidak mempengaruhi kadar

hemoglobin.

Gambaran kadar hemoglobin setelah uji tantang pertama

8,9 ± 0,3 gram% dan kedua 9,1 ± 0,4 gram% dibandingkan dengan sebelum

vaksinasi tidak berbeda nyata (P>0,05) serta masih dalam kisaran normal.

Gambaran kadar hemoglobin memperlihatkan vaksinasi ini dapat melindungi

hemoglobin darah dari kerusakan akibat gigitan R. sanguineus dan tidak

terjadinya anemia.

7.6

9.410

8.9 9.1

0

2

4

6

8

10

12

0 2 4 6 8

Hb (gram%)

Minggu ke‐

4.3 Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit (PCV) normal domba memilki kisaran 27 – 45 %

(Duncan & Prasse 1986), 32 % (Frandson 1996), dan 24 – 50 % (Banks 1993).

Nilai hematokrit merupakan presentase (bedasarkan volume) dari darah yang

terdiri sel-sel darah merah terhadap cairan (plasma darah). Nilai hematokrit

memperlihatkan secara langsung viskositas darah dan secara tidak langsung

jumlah sel darah merah (Frandson 1996). Perubahan rata-rata nilai hematokrit

(PCV) sebelum dengan setelah vaksinasi dan uji tantang dapat dilihat Gambar 7.

Gambar 7. Gambaran rata-rata nilai hematokrit (PCV) % pada domba sebelum

dengan setelah vaksinasi dan uji tantang.

Nilai hematokrit setelah vaksinasi pertama 24,6 ± 3,4 % dan kedua 27,8 ±

5,3 % dibandingkan dengan sebelum vaksinasi 23,2 ± 4,0 % tidak berbeda nyata

serta masih dalam kisaran normal. Bedasarkan analisa statistik nilai hematokrit

setelah vaksinasi tidak berubah.

Gambaran nilai hematokrit setelah uji tantang pertama 26,2 ± 4,6 % dan

kedua 25,7 ± 4,1 % dibandingkan dengan sebelum vaksinasi tidak berbeda nyata

(P>0,05) serta masih dalam kisaran normal. Gambaran dan data statistik nilai

hematokrit memperlihatkan bahwa vaksinasi menimbulkan imunitas pada domba

terhadap gigitan R. sanguineus sehingga konsentrasi darah tidak menjadi turun.

Ekstrak caplak R. sanguineus menurut Hernandez, et al (1994), Rath

(1999), dan Kavitha et al. (2007) yang sangat baik untuk vaksin berasal dari

23.2

24.6 27.8  26.7  26.3 

510152025303540

0 1 2 3 4 5 6 7 8

PCV (%

)

Minggu ke‐PVC (%)

kelenjar saliva dan usus tengah caplak. Antibodi yang terbentuk dalam tubuh

setelah vaksinasi pertama dan kedua (booster) dapat meningkatkan imunitas

terhadap antigen caplak, sehingga akan menekan siklus hidup caplak terhadap

bobot dan gigitan pada hewan (Rath 1999). Ekstrak caplak R. sanguineus yang

digunakan dalam vaksin ini berasal dari midgut, terlihat mampu melindungi inang

dari penurunan jumlah sel darah merah.

Setelah vaksinasi pertama dan kedua jumlah sel darah merah, kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit dibandingkan dengan sebelum vaksinasi tidak

berbeda nyata (P>0,05) dan berada kisaran normal. Eritrosit ini masih berfungsi

dalam memberikan nutrien keseluruh jaringan dan pertukaran ion-ion penting

dalam cairan darah. Oksigen yang mampu diangkut dalam sel darah merah

diedarkan keseluruh tubuh dan pertukaran udara di paru-paru, tetapi vaksin tidak

mempengaruhi lama hidup sel darah merah dalam membentuk eritrosit baru atau

merombak eritrosit yang rusak dan menunjukan hewan tidak terjadi anemia

(Frandson 1996; Hatangadi and Lodish 2007; dan Swenson 1984). Jumlah

eritrosit dengan kenaikan dan penurunan yang masih dalam kisaran normal, serta

kadar hemoglobin dalam kisaran normal menunjukan bahwa vaksin dapat

diterima oleh respon tubuh.

Vaksinasi tidak berpengaruh terhadap pengaturan produksi sel darah

merah karena hanya menginduksi antibodi pada hewan. Menurut Putra (2008),

vaksinasi ekstrak caplak R. sanguineus meningkatkan leukosit yaitu : limfosit,

neutrofil, eosinofil dan basofil. Peningkatan dan penurunan jumlah sel darah

merah ditentukan oleh oksigenasi jaringan. Oksigenasi jaringan memberikan

respon terhadap hormon eritropoietin yang berfungsi dalam merangsang produksi

sel darah merah dan pembentukannya. Pembentukan sel darah merah berasal dari

sel stem hemopoetik pluripoten. Pembentukannya bertahap hingga matang, masuk

ke dalam sirkulasi dengan lama hidup yang pendek. Produksi eritrosit dirangsang

oleh hormon eritropoetin akibat faktor-faktor dari menurunnya oksigenasi

jaringan seperti : volume darah rendah, anemia, hemoglobin rendah, aliran darah

jelek, dan penyakit paru-paru (Guyton and Hall 1997).

Peningkatan kadar hemoglobin saat vaksinasi menyertai oleh peningkatan

jumlah eritrosit. Hemoglobin dalam darah dibentuk pada saat pembentukan tahap

proeritroblast dan dilanjutkan dalam stadium retikulosit. Hemoglobin berperan

dalam ikatan dengan oksigen dan sangat ditentukan oleh zat besi dalam

pembentukannya. Pada saat vaksinasi dan uji tantang tidak memberikan pengaruh

kadar hemoglobin, karena tidak mengganggu lama hidup eritrosit dan defisiensi

zat Fe2+ (Guyton dan Hall 1997).

Pematangan sel darah merah ditentukan oleh asam folat dan vitamin B12

bila salah satu atau seluruhnya tidak ada, eritrosit mengalami kerusakan atau

gangguan (Guyton and Hall 1997). Peningkatan jumlah sel darah merah akan

meningkatkan vikositas darah dan penurunan jumlah sel darah merah akan

menurunkan vikositas darah (anemia) (Wilson 1979). Nilai hematokrit ditentukan

jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin.

Menurut Matzigkeit (1990) bahwa siklus dari seekor R. sanguineus betina

dapat menghisap 1 sampai 3 ml darah selama berada pada inang. Pemberian

vaksin ekstrak caplak R. sanguineus ini tidak dapat menekan jumlah caplak dalam

satu generasi pada inang, akan tetapi dapat mengendalikan siklus dari telur, larva,

dan nimpha sehingga mengurangi jumlah dewasa (Kavitha, et al. 2007).

Seminggu setelah uji tantang jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai

hematokrit lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum vaksinasi, juga pada

minggu terakhir terlihat sama. Vaksinasi ini dapat menimbulkan antibodi terhadap

antigen dengan meningkatkan imunitas domba yang dapat mengurangi kerusakan

eritrosit. Antigen caplak dapat direspon oleh tanggap kebal tubuh dari

pembentukan antibodi sewaktu vaksinasi dan penambahan vaksinasi kedua

(booster) oleh limfosit dan antibodi berikatan dengan antigen juga komplemen

yang mengaktifkan antibodi serta enzim-enzim sehingga membantu mencegah

kerusakan akibat gigitan caplak (Guyton and Hall 1997). Menurut Kavitha, et al.

(2007) reaksi komplemen dan antibodi dapat merusak usus caplak sehingga

mempertahankan eritrosit sewaktu caplak menghisap darah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Vaksin ekstrak caplak R. sanguineus tidak berpengaruh terhadap kinerja

kesehatan domba melalui gambar darah merah (jumlah eritrosit, kadar

hemoglobin, dan nilai hematokrit). Vaksinasi dapat menstabilkan jumlah eritrosit

(RBC), kadar hemoglobin (Hb), dan nilai hematokrit (PCV) dalam kisaran normal

sewaktu uji tantang (pemberian R. sanguineus).

5.2 Saran

Uji vaksin ekstrak caplak R. sanguineus memerlukan waktu untuk

pengamatan lama. Perlu adanya pengamatan terhadap serologi, jumlah caplak tiap

stadium, dan parameter indeks darah merah.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Astyawati T dan Wulansari R. 2008. Penanggulangan caplak Rhiicephalus sanguineus dengan vaksinasi. Jurnal penelitian. Ilmu penyakit hewan dan kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Banks WJ. 1993. Applied Veterinery Histology. Texas: Mosby, Inc. 142-154.

Dellman HD dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner Edisi ke 3. Penerjemah Hartono. UI press: Jakarta

Duncan JR and Prasse KW. 1986. Veterinary Laboratory Medicine. 2nd Ed. Lowa State University. USA

Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi keempat. Terjemahan Srigandono dan K. Praseno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Guyton AC and Hall EJ. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Hadi UK. Dan Soviana, S. 2000. Ektoparasit: pengenalan diagnosis dan pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. Bagian Parasitologi dan Patologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Hattangadi SM and Lodish HF. 2007. Regulation of Erythrocyte Lifespan: Do Reactive Oxygen Species Set The Clock ?. Institute for Biomedical Research, Cambride and Childreen’s Hospial of Boston. The Journal of Clinical Investigation. Volume : 117, Number : 18. Massachusets, USA.

Hernandez MR, Hoyo DCC., Garcia OSA., and Rodriguez RAJ. 1994. Immunological Response in Rabbit Infested with Rhipicephalus sanguineus. Royal Entomological Society.

Kavitha KT, Latha BR, Raj ED, and John L. 2007. Immunoprophylaxis of Rabbits against Rhipicephalus haemaphysaloides tick using immunoaffinity purified 35 kDa midgut antigen. Veterinarski Arhiv 77 (2) : 147-157.

Levin ND. 1990. Buku pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Pp. 312-324.

Linnaeus. 1758. http//id.wikpedia.org/wiki/domba [Juli 2008]

Lord CC. 2001. National Public Health Pest Control Manual. Departement of Entomology and Nematology. Departement of Agriculture and Consumer Services. Division of Plant Industry. University of Florida. http ://creatures.ifas.ufl.edu/urban/medical/brown_dog_tick.htm. (Tanggal Juni 2008)

Mattjik AA dan Sumertajaya M. 2002. Perancang Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press.

Matzigkeit U. 1990. Natural veterinary medicine: ectoparasites in the tropics. AGRECOL. Weikersheim. Germany. hal 18-29

Noble FR and Noble GA. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan, Edisi Kelima. Terjemahan Wardianto. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.pp.770-782.

Putra ES. 2008. Gambaran Sel Darah Putih (Leukosit) Domba Lokal (Ovis aries) yang diimmunisasi dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus sanguineus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Rastogi SC. 1977. Essential of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited: New Delhi

Rath SS. 1999. Experimental Immunization of Rabbits with Salivary Gland and Whole Ground Antigen of Rhipicephalus sanguineus. Indian Veterinary Journal 76 : 1062 – 1064.

Schalm OW. 1965. Veterinary Hematology. 6th Ed. Philadelphia: Lea and Febiger. 6 – 100.

Sherif D and Habel JD. 1976. Sheep Haematology in Diagnosis. The University of Sydney. Sydney

Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and protozoa of domestic Animals. 7th Ed. Bailliere Tindall. London.

Sugiarti Y. 2007. Nilai-nilai Hematologi Domba yang Dipelihara di Hutan Pendidikan Gunung Walat-Sukabumi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Sugiarto. 2005. Potensi Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus sebagai Vektor Penyakit. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Swenson MJ. 1984. Dukes’ Physiology of Domestic Animal, Tenth Edition. Comstock Publishing Associates a divisi of Cornell University Press. Ithaca and London.

Szabo MPJ and Bechara, G. H. 1997. Immunisation of Dog and Guinea Pigs Against Rhipicephalus sanguineus Ticks Using Gut Extract. Veterinary Parasitology 68: 283 - 294l

Teel PD. 1985. Tick. Didalam : Wiliam RE, Robert DH, Alberto BB, Philip JS, Editor. Livestock Entomology. New York. hlm 129-130

Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner, Edisi kedua. Terjemahan S. Hardjosworo. Airlangga University Press. Surabaya

Wilson JA. 1979. Principles of Animal Physiology, Second Edition. Macmillan Publishing. New York.

Yates III JR. 1992. Rhipicephalus sanguineus (Latreille). Extension Urban Entomologist. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii at Manoa. http://www.extentii.hawaii.edu/kbase/urban/site/brdgstick.htm. [10 November 2008]

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil uji Anova dan Duncan Nilai Hematokrit (PCV) sebelum, sesudah vaksin dan uji tantang

pcv

N Mean Std.

Deviation Std.

Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximum

Lower Bound

Upper Bound

0 3 23.200 4.0286 2.3259 13.192 33.208 20.3 27.82 3 24.600 3.4176 1.9732 16.110 33.090 21.0 27.84 3 27.833 5.3929 3.1136 14.437 41.230 24.0 34.06 3 26.733 4.3924 2.5360 15.822 37.645 24.0 31.87 3 26.267 4.6361 2.6766 14.750 37.783 23.2 31.6Total 15 25.727 4.1036 1.0595 23.454 27.999 20.3 34.0

ANOVA pcv

Sum of Squares df

Mean Square F Sig.

Between Groups 40.189 4 10.047 .514 .728

Within Groups 195.560 10 19.556 Total 235.749 14

pcv Duncan

Minngu N

Subset for alpha

= .05

1 0 3 23.2002 3 24.6007 3 26.2676 3 26.7334 3 27.833Sig. .264

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 2. Hasil uji Anova dan Duncan Kadar Hemoglobin (Hb) sebelum, sesudah vaksin dan uji tantang

Hb

N Mean Std.

Deviation Std.

Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximum

Lower Bound

Upper Bound

0 3 7.633 1.5503 .8950 3.782 11.484 6.5 9.42 3 10.833 1.5044 .8686 7.096 14.571 9.1 11.84 3 9.967 1.6803 .9701 5.793 14.141 8.5 11.86 3 8.933 .3055 .1764 8.174 9.692 8.6 9.27 3 9.067 .4163 .2404 8.032 10.101 8.6 9.4Total 15 9.287 1.5306 .3952 8.439 10.134 6.5 11.8

ANOVA Hb

Sum of Squares df

Mean Square F Sig.

Between Groups 17.284 4 4.321 2.785 .086

Within Groups 15.513 10 1.551 Total 32.797 14

Hb Duncan

Minngu N

Subset for alpha = .05

1 2 0 3 7.633 6 3 8.933 8.9337 3 9.067 9.0674 3 9.967 9.9672 3 10.833Sig. .058 .112

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 3. Hasil uji Anova dan Duncan jumlah eritrosit (RBC) sebelum, sesudah vaksin, dan uji tantang

RBC

N Mean Std.

Deviation Std.

Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximum

Lower Bound

Upper Bound

0 3 731.500 187.9601 108.5188 264.581 1198.419 558.5 931.5

2 3 968.000 214.2732 123.7107 435.716 1500.284 744.0 1171.0

4 3 835.667 141.7968 81.8664 483.424 1187.909 736.0 998.06 3 886.667 150.0044 86.6051 514.035 1259.298 736.0 1036.07 3 883.333 140.8735 81.3333 533.384 1233.282 722.0 982.0Total 15 861.033 164.1963 42.3953 770.104 951.962 558.5 1171.0

ANOVA RBC

Sum of Squares df

Mean Square F Sig.

Between Groups

90055.733 4 22513.933 .783 .561

Within Groups 287390.000 10 28739.000

Total 377445.733 14

RBC Duncan

Minngu N

Subset for alpha

= .05

1 0 3 731.5004 3 835.6677 3 883.3336 3 886.6672 3 968.000Sig. .147

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000