Pertambahan bobot badan, status fisiologis, komposisi ... · Barbados Cross (BC) atau domba...

25
TINJAUAN PUSTAKA Domba Barbados Domba barbados berasal dari Kepulauan Karibia, tepatnya di Pulau Barbados, yang merupakan hasil persilangan antara domba afrika dengan domba daerah dingin (Suparyanto 1999). Domba ini merupakan domba tipe rambut dengan tujuan produksi daging, bobot badan dewasa betina 35-50 kg dan jantan 50-80 kg dan pertambahan bobot badan 104-109 g/hari (Rastogi 2001). Pada kondisi pakan yang baik, domba barbados beranak pertama kali pada umur 12-13 bulan, sedangkan pada kondisi pakan yang kurang baik pertama kali beranak dicapai pada umur 14-15 bulan, dengan frekuensi kelahiran anak kembar berkisar antara 56-71% (Suparyanto 1999). Domba barbados yang disilangkan dengan domba priangan memiliki bobot lepas sapih 26.63±6.83 kg/induk, bobot lepas sapih individu untuk jantan adalah 15.09±1.97 kg/ekor dan untuk betina 12.96±1.58 kg/ekor (Rahmat et al. 2007). Domba barbados yang digunakan pada studi adalah domba barbados hasil persilangan dengan domba sumatera dengan komposisi genetik 50% domba barbados dan 50% domba sumatera. Domba ini biasa dikenal dengan domba Barbados Cross (BC) atau domba barbados silangan. Pola perkawinan domba persilangan barbados adalah disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Pola perkawinan domba persilangan barbados (BC) (Subandriyo et al. 1996). X Barbados Blackbelly (B) 100% Sumatera (S) 100% X Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S

Transcript of Pertambahan bobot badan, status fisiologis, komposisi ... · Barbados Cross (BC) atau domba...

5

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Barbados

Domba barbados berasal dari Kepulauan Karibia, tepatnya di Pulau

Barbados, yang merupakan hasil persilangan antara domba afrika dengan domba

daerah dingin (Suparyanto 1999). Domba ini merupakan domba tipe rambut

dengan tujuan produksi daging, bobot badan dewasa betina 35-50 kg dan jantan

50-80 kg dan pertambahan bobot badan 104-109 g/hari (Rastogi 2001). Pada

kondisi pakan yang baik, domba barbados beranak pertama kali pada umur 12-13

bulan, sedangkan pada kondisi pakan yang kurang baik pertama kali beranak

dicapai pada umur 14-15 bulan, dengan frekuensi kelahiran anak kembar berkisar

antara 56-71% (Suparyanto 1999). Domba barbados yang disilangkan dengan

domba priangan memiliki bobot lepas sapih 26.63±6.83 kg/induk, bobot lepas

sapih individu untuk jantan adalah 15.09±1.97 kg/ekor dan untuk betina

12.96±1.58 kg/ekor (Rahmat et al. 2007).

Domba barbados yang digunakan pada studi adalah domba barbados hasil

persilangan dengan domba sumatera dengan komposisi genetik 50% domba

barbados dan 50% domba sumatera. Domba ini biasa dikenal dengan domba

Barbados Cross (BC) atau domba barbados silangan. Pola perkawinan domba

persilangan barbados adalah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola perkawinan domba persilangan barbados (BC) (Subandriyo et al.

1996).

X

Barbados Blackbelly (B)

100%

Sumatera (S)

100%

X

Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S

Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S

Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S

6

(a) (b)

Gambar 3 (a) Domba barbados peranakan penelitian (BC); (b) Domba barbados

asli di Pulau Barbados

Domba Komposit Sumatera

Domba komposit sumatera atau domba sei putih adalah salah satu domba

bentukan baru dari Balai Penelitian Ternak, Badan Litbang Pertanian, Ciawi-

Bogor yang memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut ialah dapat

dikawinkan sepanjang tahun dan beradaptasi dengan baik pada pakan sederhana.

Domba komposit sumatera adalah domba unggul hasil persilangan antara bibit

domba lokal Sumatera dengan bibit domba St. Croix asal Virgin Islands, Amerika

Serikat dan domba barbados blackbelly asal Bardados Islands. Penelitian

pembentukan domba komposit sumatera telah berlangsung dua dekade lebih

hingga menghasilkan domba yang dapat dikembangkan dalam kondisi

pemeliharaan semi intensif (BPATP 2008).

Gambar 4 Domba komposit sumatera penelitian di kandang individu

7

Gambar 5 Pola perkawinan tiga genotipe domba pembentuk domba komposit

sumatera (Subandriyo et al. 1996)

Jenis domba ini memiliki ciri berupa pola warna bulu beragam, seperti

putih, cokelat, belang atau ada yang berpola warna barbados blackbelly. Domba

komposit sumatera memiliki PBBH yang baik (101 gram/hari), dan jumlah anak

sekelahiran sama dengan dengan domba lokal yakni 1.5 ekor, bobot lahir 2.2 kg,

bobot sapih 10.3 kg, bobot 48 minggu 22.0 kg, umur beranak pertama 18 bulan,

dan produktivitas induk 21.3 kg/th (BPATP 2008).

Domba komposit sumatera saat ini banyak dikembangkan di perkebunan di

Sumatera Utara, NAD, dan Riau. Perkebunan yang sering digunakan adalah

perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet dengan sistem integrasi. Hal yang

menarik adalah domba komposit sumatera yang diberikan solid sawit pada

penggembalaan integrasi perkebunan sawit memiliki pertambahan bobot badan

harian mencapai lebih dari 100 g/hari. Banyak manfaat integrasi seperti biogas,

pupuk organik, sumber pakan alternatif, pengendali gulma dll (Tiesnamurti 2009).

St. Croix (H)

100%

Sumatera (S)

100%

Barbados Blakbelly (B)

100%

Sumatera (S)

100% X X

St. Croix Cross (HS)

(50%H, 50%S) St. Croix Cross (HS)

(50%H, 50%S)

Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S

Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S X X

St. Croix Cross (HS)

(50%H, 50%S) Barbados Cross (BC)

50%B, 50%S

Komposit Sumatera (KS)

(25%H, 50%S, 25%B)

Komposit Sumatera (KS)

(25%H, 50%S, 25%B)

X

X

Komposit Sumatera (KS)

(25%H, 50%S, 25%B)

Perkawinan silang

Perkawinan silang

8

Tabel 1 Produktivitas bangsa domba murni dan hasil persilangannya*

Uraian S H HS BC KS

PBB (g/hr) 42.7 95.2

69.6

90.31

101

Bobot Lahir (kg) 1.33

2.19

1.82 1.97

2.45

Bobot Sapih (kg) 6.9

7.2

9.6

10.3

10.6

Jumlah anak sekelahiran (ekor) 1.54

1.60

1.56

1.49

1.5

Keterangan: *Pola dan akronim genotipe persilangan disajikan pada Gambar 5; Sumber BPATP

(2008) dan Suparyanto (1999).

Domba komposit sumatera memiliki beberapa keunggulan: (1) Produktivitas

lebih tinggi daripada domba lokal sumatera (±40% lebih tinggi) dengan laju

pertumbuhan yang tinggi, tetapi jumlah anak per kelahiran, interval beranak, dan

mortalitas anak yang relatif rendah (2) Adaptasi yang baik terhadap lingkungan

termasuk resisten terhadap parasit internal (3) Karkasnya lebih besar, dengan

kualitas pakan yang baik, rata-rata bobot hidup domba jantan muda adalah 20 kg

pada umur 7 bulan dan 30 kg pada umur 11 bulan (4) Wolnya lebih sedikit

daripada domba lokal sumatera, domba lokal ekor tipis dan domba priangan.

Pertambahan Bobot Badan dan Metanogenesis

Pertumbuhan pada ternak dikategorikan menjadi dua proses yang saling

berkesinambungan, yaitu pertumbuhan sebelum kelahiran (pre-natal) dan

pertumbuhan setelah kelahiran (post-natal). Pertumbuhan post-natal terdiri atas

periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan setelah penyapihan (Aberle et al.

2001). Proses pertumbuhan pada ternak 75% terjadi hingga umur satu tahun dan

25% pada saat ternak mencapai dewasa. Pertumbuhan setelah periode sapih (post-

weaning) memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi pakan.

Metanogenesis secara tidak langsung berhubungan dengan produktivitas

ternak ruminansia. Bakteri metanogen akan memproduksi gas metana sehingga

akan menurunkan energi yang didapat untuk produksi daging. Penurunan energi

bruto domba yang banyak memiliki populasi bakteri metanogen dapat mencapai

15% sehingga penurunan PBBH (Johnson et al. 1991). Penggunaan ekstrak

tumbuhan (plant secondary metabolite) yang mengandung saponin, tanin,

organosulfur, minyak esensial (essential oil), flavanoid, dan bioaktif tanaman lain

(seperti ekstrak etanol dan metanol) dilakukan untuk menghambat terjadinya

metanogenesis oleh bakteri metanogen dan memperbaiki performa dengan

peningkatan proporsi propionat sehingga PBBH naik (Patra & Saxena 2010).

9

Komposisi Tubuh

Komposisi tubuh adalah suatu nilai yang menunjukkan proporsi dari

komponen penyusun tubuh, antara lain air, protein, dan lemak. Komposisi tubuh

sangat dipengaruhi oleh spesies, tingkat kegemukan, atau bobot tubuh temak

(Parakkasi, 1981). Komposisi tubuh domba disajikan dalam.

Komposisi tubuh yang diukur dengan teknik menginjeksikan tracer (dilution

technique) ke dalam tubuh ternak yang dilaporkan oleh beberapa peneliti disajikan

dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa komposisi tubuh sangat

bervariasi bergantung pada umur dan bobot tubuh. Komposisi tubuh dapat

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu bobot potong, umur potong,

bangsa, dan jenis kelamin. Bobot potong merupakan peubah yang paling

berpengaruh pada komposisi tubuh (Berg & Butterfield 1976).

Soeparno (1992) menyatakan bahwa nutrisi, umur, dan bobot tubuh

merupakan faktor yang saling berhubungan erat, dan dapat secara bebas atau

secara bersama mempengaruhi komposisi tubuh ternak atau karkas. Variasi

komposisi tubuh sebagian besar didominasi oleh variasi bobot tubuh, dan

sebagian kecil dipengaruhi oleh umur dan bobot potong.

Metode Pendugaan Komposisi Tubuh

Menurut Nonaka (2002) ada dua cara untuk mengetahui komposisi tubuh

ternak yaitu cara langsung dan cara tidak langsung. (1) Cara langsung (direct

method), yaitu dengan memotong ternak dan kemudian memisahkan dan

menimbang daging dan lemaknya. Cara ini adalah yang paling akurat, namun

dalam pelaksanaannya, biaya dan tenaga kerja menjadi faktor pembatas. Ada tiga

macam cara yang termasuk dalam cara tidak langsung (indirect method), yaitu

metode bobot karkas, metode kesetimbangan energi dan protein, dan metode

injeksi. Metode bobot jenis karkas masih dilakukan dengan memotong ternak dan

kemudian diceburkan ke dalam kolam untuk kemudian dihitung bobot jenisnya.

Bobot jenis inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan perbandingan

komposisi daging dan lemak ternak. Cara ini banyak digunakan pada ternak babi

dan mempunyai akurasi yang sangat tinggi. Kendala cara ini adalah biaya tinggi,

ternak tidak dapat digunakan berulang kali (sebuah cara yang biasa digunakan

untuk mengetahui perbedaan komposisi tubuh berdasarkan fase pertumbuhannya).

10

Pada metode kesetimbangan energi dan nitrogen (protein) kita dapat mengetahui

pembongkaran protein atau lemak tubuh serta dapat menghitung deposisi yang

terjadi. Keuntungan metode ini adalah ternak dapat digunakan berulang kali,

murah, akan tetapi diperlukan banyak tenaga dalam pengerjaannya terutama

dalam pengumpulan feses dan urine, sehingga sulit dilaksanakan pada jumlah

ternak yang besar. Pada metode menginjeksikan (tracer dilution technique) ke

dalam tubuh ternak, konsentrasi tracer akan berkurang karena beredar (melalui

darah) ke seluruh tubuh sesuai dengan bobot dan komposisi tubuhnya. Teknik ini

yang paling sederhana, karena hanya menggunakan sampel darah, sedikit tenaga

kerja, penggunaan ternak dapat dalam jumlah besar dan berulang kali, biaya jauh

lebih rendah dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi.

Teknik penyuntikan tracer ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa

proporsi protein konstan, sementara lemak dan air tubuh berhubungan terbalik.

Dari pemikiran ini maka apabila air tubuh dapat diketahui maka komposisi lemak

dan daging dapat ditentukan. Tracer yang sering digunakan dalam metode ini ada

tiga, yaitu tritium, deuterium, dan urea. Dari ketiga traser tersebut, traser urea

sangat mudah didapat, mudah, dan analisisnya hanya membutuhkan alat

spektrofotometer. Apabila gagal dapat segera diulang karena dalam waktu sekitar

dua hari pengaruh urea yang disuntikkan akan menghilang. Urea yang disuntikkan

akan memasuki pool tubuh, oleh karena akan terjadi pelarutan (pemerataan) urea

dalam tubuh dan terjadi perbedaan antara urea sebelum dan sesudah penyuntikan.

Berdasarkan basil penelitian Astuti dan Sastradipradja (1999) pendugaan

kandungan air, lemak, dan protein tubuh domba priangan dengan teknik "urea

space" menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi dengan r masing-masing 0.95;

0.98 dan 0.96 sedangkan hasil penelitian Panaretto dan Till (1963) diperoleh r

masing-masing 0.99; 0.93 dan 0.98.

Panas Tubuh dan Konsumsi Nutrien

Paparan panas suhu lingkungan akan mengakibatkan penurunan bobot

badan, penurunan PBBH, laju pertumbuhan, dan bentuk fisik tubuh (Marai et al.

2000). Selain itu, paparan suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan

laju respirasi, suhu tubuh, konsumsi air dan penurunan konsumsi bahan kering

(Marai et al. 2007). Studi oleh Monty et al. (1991), Nardon et al. (1991) bahwa

11

domba st. croix, karakul, dan rambouillet mengalami penurunan konsumsi bahan

kering ketika mengalami stres panas. Apabila konsumsi bahan kering menurun

oleh stres panas, konsumsi protein kasar (PK), energi bruto (GE) dan energi

metabolis (EM) juga akan menurun (Marai et al. 2001).

Fisiologis Pertumbuhan Domba

Perubahan fungsi kerja biologi domba yang mengalami cekaman panas

lingkungan dan peningkaatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh: (1) penurunan

konsumsi dan kecernaan pakan; (2) gangguan metabolisme pada air tubuh, energi,

dan keseimbangan mineral; (3) reaksi enzimatis, sekresi hormon, dan metabolit

darah (Marai et al. 2007).

Termoregulasi

Termoregulasi domba erat kaitanya dengan evaporasi dan disipasi panas

karena peran keringat berkurang dengan adanya lapisan bulu-bulu wol (Marai et

al. 2007). Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung pada

produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan

(Esmay 1982). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu

tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu

pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai

kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay 1982). Menurut Etgen (1987), energi

dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi,

pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan

yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung

aktivitasnya dan faktor intrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme

adalah sumber pakan (Scheer 1963).

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima

panas (Esmay,1982). Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan,

karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di

berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh atau suhu inti (core

temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi. Lokasi yang biasa digunakan

adalah rektum, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Suhu inti

12

mendominasi penentuan suhu tubuh. Temperatur rektum dan kulit saat siang hari

meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh

berfluktuasi lebih besar saat dehidrasi. Menurut Kelly (1984), suhu tubuh yang

diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi,

tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan

suhu yang dilepaskan. Suhu rektum sering digunakan sebagai ukuran representatif

suhu tubuh (Marai et al. 2007). Suhu rektum domba pada zona nyaman adalah

38.3-39.9°C (Marai et al. 2007). Zona nyaman (thermoneutral zone) pada domba

adalah 22-31°C untuk beraktivitas dan reproduksi (Yousef 1985).

Denyut Jantung

Laju denyut jantung merupakan refleksi utama dari proses homeostatis

sirkulasi darah sepanjang status metabolisme yang umum (Marai et al. 2007).

Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah

spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, rangsangan, tahap

laktasi, rangsangan, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan

temperatur lingkungan (Frandson 1992). Menurut Schmidt-Nielsen (1997),

jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa

stimulus eksternal. Denyut jantung domba normal menurut Duke’s (1995) adalah

60-120 denyut per menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan

meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa atau pada bagian dada

kiri atas (dekat lengan) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan

stetoskop. Selama musim panas, laju denyut jantung signifikan lebih tinggi

dibandingkan dengan musim dingin pada domba Barki di Timur Tengah (Ismail et

al. 1995). Laju denyut jantung pada waktu pagi hari (pukul 8.00) akan lebih

rendah dibandingkan dengan pada siang hari pukul (15.00) (Marai et al. 2007).

Respirasi

Dua fungsi utama sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah,

dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi yang bersifat

sekunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam

tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan pembentukan suara. Laju

respirasi dapat menjadi indikator terjadinya stres panas (Habeeb et al. 1992).

13

Domba akan melepaskan 20% panas tubuh melalui respirasi pada suhu 12°C dan

meningkat menjadi 60% dari total panas tubuh pada suhu 35°C (Thompson 1985).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada,

dan perut (merespons kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi

aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi

berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang

sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi

ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi

ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similaritas pergerakan kedua sisi

(Kelly1984).

Menurut Hecker (1983), laju respirasi untuk domba normal adalah 15-40

helaan/menit atau 30-80 respirasi/menit, sedangkan menurut Frandson (1992)

adalah 26-32 helaan/menit = 52-64 respirasi/menit. Mekanisme respirasi dikontrol

di medula yang sensitif terhadap CO2 dan tekanan darah. Jika tekanan meningkat

sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982). Peningkatan

frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu ketika

terpapar ke suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi (Kelly1984).

Konsumsi pakan berdasarkan jenis nutrisi akan mempengaruhi laju respirasi

pada kondisi stres panas (Bluett et al. 2001). Laju respirasi pada ternak yang

terpapar suhu lingkungan yang tinggi dapat mencapai 400 respirasi/menit dan

ketika terjadi penurunan menuju suhu yang rendah maka laju respirasi menjadi

lebih lama durasinya pada 155-200 respirasi/menit hingga menuju laju respirasi

normal dan nyaman (Marai et al. 2007). Laju respirasi akan meningkat pada siang

hari (15.00; 12.00; dan 16.00) dibandingkan dengan waktu pagi hari (8.00) pada

musim panas terhadap bangsa domba Mesir (Marai et al. 2008).

Emisi Gas Metana

Gas metana (CH4) merupakan salah satu gas yang menyebabkan pengaruh

gas rumah kaca atau GRK (CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6) sehingga terjadi

pemanasan global (Vlaming 2008). Gas metana memiliki potensi pemanasan

global (PPG) 25 kali lipat dibandingkan dengan gas CO2 (Tabel 2). Sumber emisi

gas metana berasal dari alam (natural resources), manusia (anthropogenic

resources), dan sinks (Reay et al. 2010). Sumber emisi metana yang berasal dari

14

Tabel 2 Gas rumah kaca penyebab pemanasan global*

GRK Masa aktif (tahun) PPG

CO2 (karbon dioksida) 50-200 1

CH4 (metana) 12 25

N2O (Nitrogen oksida) 114 298

PFC atau CF4 (Perfluorometana) 50000 7390

HFC atau CHF3(hidrofluorocarbon) 270 14800

SF6 (Sulphur hexaflorida) 3200 22800

Keterangan: *Sumber IPCC (2001) dan Solomon (2007); PPG (Potensi Pemanasan Global) adalah

istilah untuk global warming potential (GWP) berdasarkan masa CO2 selama 100

tahun.

Gambar 6 Sumber produksi gas metana dunia (Reay et al. 2010)

perbuatan manusia terbesar dari sektor peternakan atau ruminansia. Deskripsi

emisi metana berdasarkan sumber produksi disajikan pada Gambar 6.

Emisi gas rumah kaca nasional menempatkan Indonesia pada peringkat ke

empat emitter gas rumah kaca (GRK) dunia karena efek kebakaran hutan dan

gambut. Indonesia menempati peringkat ke-21 emitter GRK dunia apabila aspek

kebakaran hutan tidak diikut sertakan. Emisi nasional GRK ditampilkan pada

Tabel 3. Sektor pertanian termasuk didalamnya sektor peternakan relatif stabil dan

memiliki tingkat emisi GRK yang rendah. Sektor peternakan dalam skala nasional

kurang lebih memiliki tingkat emisi gas metana 1.2% secara keseluruhan. Namun

demikian peran turut andil dalam pengendalian emisi sangat perlu dilakukan.

15

Tabel 3 Emisi gas rumah kaca total nasional (dalam juta ton CO2 - eq)

Sektor Tahun 2005 Laju (%/th)

Energi (termasuk polusi transportasi) 369.80 5.7

Industri 48.73 2.6

Pertanian 80.18 1.1

Limbah 166.83 1.2

LUCF 674.83 fluktuasi

Kebakaran gambut 451.00 fluktuasi

Total 1991.37

Keterangan: emisi gas rumah kaca adalah total emisi CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6; LUCF

(Land Use Change and Forestry) termasuk kebakaran hutan; sumber MOE (2009).

Tingkat emisi gas metana dari proses pencernaan sapi potong, sapi perah,

kerbau, kambing, dan domba secara berurutan adalah 47, 61, 55, 5, dan 5 kg/ek/th

dan dari manajemen kotoran 1, 31, 2, 0.22, dan 0.20 kg/ek/th (IPCC 2006).

Produksi gas metana dari eruktasi atau enterik ternak lebih besar dibandingkan

dengan feses atau kotoran. Produksi metana dihasilkan sebagai hasil samping

fermentasi rumen yang menyebabkan berkurangnya energi bruto sebesar 2-15%

(Johnson & Johnson 1995). Peran mitigasi sangat penting sebagai solusi

pemanasan global dan peningkatan produksi. Upaya untuk menurunkan gas

metana berdasarkan waktu penyelesainya menurut Keliher dan Clark (2010)

disajikan pada Tabel 4. Penggunaan ekstrak pada tumbuhan dengan senyawa yang

mengandung minyak esensial, saponin, tannin, dan organosulfur untuk

meningkatkan fermentasi rumen, metabolisme protein menurunkan emisi metana

(Patra & Saxena 2010).

Tabel 4 Metode pengurangan emisi gas metana enterik ruminansia

Periode waktu Metode

Singkat Pengurangan populasi ternak

Meningkatkan produktivitas tiap individu ternak

Manipulasi pakan

Modifikasi ekosistem rumen

Sedang (<10 tahun) Modifikasi ekosistem rumen

Seleksi hijauan beremisi rendah CH4

Lama (> 10 tahun) Target manipulasi ekosistem rumen

Seleksi ternak bernilai berdasarkan heritabilitas produksi CH4

Sumber: Keliher dan Clark (2010)

16

Gas metana adalah salah satu jenis gas rumah kaca utama yang berpengaruh

pada pemanasan global. Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global diperkirakan

sebesar 18%, nomor dua setelah CO2 (49%), kemudian CFC 14%, N2O 6%, dan

lainnya 13%. Meskipun jumlahnya di atmosfer jauh lebih rendah dibandingkan

dengan gas CO2, namun gas metana memiliki kemampuan menyerap panas (radiasi

infra merah) yang dipancarkan oleh bumi 21 kali lebih tinggi dari CO2. Gas

metana memiliki waktu tinggal di atmosfer lebih singkat yaitu selama 12 tahun,

sedangkan CO2 selama 100 tahun. Gas metana mampu menembus sampai lapisan

ionosfer di mana terdapat senyawa radikal O3 (ozon) yang berfungsi sebagai

pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. Kehadiran

gas metana pada lapisan ini berpengaruh pada reaksi oksidasi yang menghasilkan

CO2, sehingga menurunkan kandungan O3. Jadi, metana adalah salah satu gas

yang yang menyebabkan penipisan ozon bumi (IPCC 1994).

Keseimbangan metana di atmosfer diatur melalui keseimbangan antara

sumber dan saluran pembuangannya. Saluran metana yang utama adalah atmosfer

yang mengandung ion hidrogen bebas pada lapisan troposfer. Metana bereaksi

dengan ion hidroksil (OH) membentuk uap air dan CO2. Saluran kedua adalah

tanah yang mengandung bakteri yang dapat menyerap metana dan mengoksidasi-

nya. Akan tetapi, bila konsentrasi metana melebihi hilangnya melalui kedua

saluran ini maka konsentrasinya di atmosfer menjadi meningkat dan mengakibat-

kan efek rumah kaca yang berlebihan dan akhirnya berpengaruh pada pemanasan

global (Reay et al. 2010).

Konsentrasi metana di atmosfer pada saat ini sudah mencapai lebih dari dua

kali lipat, yaitu dari 700 ppb menjadi 1785 ppb. Meningkatnya jumlah metana di

atmosfer berkaitan dengan meningkatnya populasi manusia, karena berkorelasi

dengan kebutuhan pangan yang dihasilkan oleh ternak dan padi sawah. Di

samping itu, juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi dan perusakan

hutan serta lahan gambut. Meningkatnya metana di atmosfer akan berpengaruh

pada perubahan iklim dan suhu global yang dikenal dengan pemanasan global

(Moss 2000).

Terjadinya pemanasan global sebagai akibat dari meningkatnya gas-gas

rumah kaca di atmosfer akan berpengaruh pada lingkungan dan kehidupan di

17

bumi. Pemanasan global diperkirakan mengakibatkan bumi lebih panas 1-2oC

dibanding sekarang pada tahun 2030, dan air laut naik 5-44 cm akibat

mencairnya es di kutub. Naiknya permukaan air laut membuat daratan semakin

sempit dan terjadi krisis air bersih terutama di perkotaan akibat intrusi air laut.

Dampak lainnya adalah meningkatknya penyakit yang ditularkan melalui

nyamuk, menurunnya produktivitas pertanian akibat perubahan suhu dan pola

hujan yang tidak teratur, dan punahnya sejumlah keragaman hayati akibat

peningkatan suhu bumi. Oleh karena itu, mengurangi emisi metana sangat

penting untuk menjaga kelangsungan hidup di bumi ini (Moss et al. 2000).

Mitigasi Emisi Gas Metana Enterik

Metana enterik dari ruminansia sekitar 11-17% dari metana global atau 17-

30% dari total metana antropogenik (Beauchemin et al. 2007). Teknologi

menurunkan emisi gas metana enterik telah banyak diteliti, dikembangkan dan

diadopsi oleh masyarakat, namun masih perlu diinventarisasi dan diseleksi untuk

dapat dipilih agar dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Mara et al. (2008)

merekomendasikan beberapa teknologi alternatif untuk menurunkan produksi

metana akibat fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan, yaitu meningkatkan

frekuensi pemberian pakan, meningkatkan jumlah konsentrat di dalam ransum,

memilih pakan yang mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi,

penggunaan legum, perbaikan manajemen padang pengembalaan, penggunaan

biji-bijian pada silase, memanfaatkan tanaman yang mengandung saponin dan

tanin sebagai pendefaunasi protozoa di dalam rumen, dan penggunaaan feed aditif.

Prinsip penggunaan feed aditif dapat dilakukan dengan berbagai macam zat

kimia dengan beberapa tipe mekanisme, antar lain berdasarkan sifat toksik

terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi

(Boccazzi dan Patterson 1995), berdasarkan pada reaksi hidrogenasi, seperti

senyawa asam-asam lemak rantai panjang tak jenuh, berdasarkan senyawa-

senyawa kimia yang afinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi daripada CO2,

seperti ion ferri dan sulfat, dan berdasarkan defaunasi atau penekanan populasi

mikroba seperti senyawa saponin dan tanin (Thalib 2004; Beauchemin et al.

2007), dan bakteri asetogenik (Thalib 2008). Rata-rata penurunan persentase

produksi metana (pengujian in vitro) oleh feed additive berkisar 10-40%,

18

bergantung pada level pemberian dalam satuan bobot feed additive per bobot

substrat yang difermentasi, dan daya kerjanya sebagai inhibitor metanogenesis.

Beberapa jenis pakan lokal yang telah dicoba dan berpotensi untuk

mengurangi emisi gas metana pada saluran pencernaan ternak ruminansia antara

lain ekstrak buah lerak ditambah metanaol (aksapon SR), daun kembang sepatu,

daun randu, daun waru, dan leguminosa akibat adanya kandungan senyawa

saponin dan tanin dalam tanaman tersebut.

Sistem Pencernaan Domba

Domba adalah termasuk ternak ruminansia yang proses pencernaannya

relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan proses pencernaan pada ternak

nonruminansia. Sistem pencernaan pada hewan ruminansia terdiri atas organ-

organ yang langsung berhubungan dengan penerimaan dan penyerapan zat-zat

makanan. Organ-organ ini dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu saluran

pencernaan dan organ-organ tambahan seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, dan

pankreas. Saluran pencernaan ternak ruminansia dibagi atas empat bagian penting,

yaitu mulut, perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang (hind gut).

Perut ternak ruminansia dibagi menjadi empat bagian, yaitu retikulum (perut jala),

rumen (perut beludru), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati). Rumen

merupakan bagian lambung yang terbesar, permukaan bagian dalamnya tidak

halus, tetapi terdapat tonjolan-tonjolan yang tidak halus yang disebut papilae yang

berfungsi untuk memperbesar luas permukaan dinding rumen, sehingga absorbsi

produk fermentasi (VFA) lebih besar. Rumen dan retikulum dihuni oleh mikroba

dan merupakan alat pencernaan fermentatif dengan kondisi anaerob. Suhu di

dalam rumen berkisar 38-42oC dan pH-nya 6,8. pH tersebut dapat dipertahankan

tetap oleh adanya serapan VFA dan amonia serta saliva yang masuk dalam rumen.

Dari seluruh VFA yang diproduksi, 85% diserap melalui epitel retikulo-rumen

(Arora 1995).

Di dalam rumen terdapat sejumlah mikroba yang terdiri atas bakteri,

protozoa, dan sejumlah kecil fungi dan virus. Bakteri merupakan penghuni

terbesar di dalam rumen dan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) bakteri yang

hidup bebas dalam cairan rumen, yang jumlahnya sekitar 30% dari total bakteri,

(2) bakteri yang menempel pada partikel makanan yang jumlahnya sekitar 70%

19

dari total bakteri, dan (3) sebagian kecil kelompok bakteri yang melekat pada

dinding epitel rumen dan ada juga dalam jumlah kecil yang melekat pada protozoa

yaitu bersifat metanogenik.

Berdasarkan macam substrat yang disukainya, bakteri rumen dapat

dikelompokkan sebagai bakteri pencerna selulosa (misalnya Ruminococcus

albus), pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens), pencerna pati

(Bacteroides amylophilus), pencerna gula (Lactobacillus ruminus), dan bakteri

pengguna produk sekunder (pemakai laktat). Sekitar 30% bakteri rumen memiliki

aktivitas proteolitik.

Protozoa dalam rumen lebih sedikit populasinya, tetapi dari segi jumlah

biomasanya ternyata cukup besar. Spesies protozoa dipengaruhi oleh jenis

makanan. Populasi protozoa dalam rumen sapi atau domba yang memakan pakan

berserat dan mengandung gula terlarut yang rendah adalah sangat rendah berkisar

105/ml. Pada ternak yang pakannya mengandung gula atau tepung, populasi

protozoa meningkat mencapai 40 x 105/ml cairan rumen. Protozoa lebih menyukai

substrat yang fermentabel (pati, gula, dan bakteri). Produk fermentasi yang

dihasilkan adalah asam asetat, butirat, laktat, CO2, dan H2. Protozoa sangat peka

terhadap situasi asam, bila pH diturunkan maka jumlahnya dalam rumen akan

menurun.

Mikroba rumen yang lain adalah fungi yang bersifat anaerob dan ditemukan

pada beberapa jenis hewan herbivora, termasuk biri-biri, domba, sapi, dan

beberapa famili rusa (Arora 1995). Fungi mempunyai fungsi dalam mencerna

pakan ternak yaitu sebagai pembuka jalan agar bagian-bagian dinding sel tanaman

yang semula tidak dapat dicerna akhirnya dapat dicerna oleh ternak ruminansia.

Fungi adalah mikroba rumen yang pertama menyerang dan mencerna komponen

tanaman. Retikulum ukurannya lebih kecil dari rumen. Sering disebut dengan

retikulo-rumen karena bersama-sama rumen berfungsi sebagai alat pencernaan

fermentatif. Permukaan dalam retikulum menyerupai bentuk sarang tawon, yang

berfungsi mendorong pakan padat dan ingesta ke dalam rumen atau mengalirkan

ingesta selama ruminasi. Pola fermentasi di dalam organ ini serupa dengan yang

terjadi di dalam rumen (Arora 1995).

20

Tabel 5 Bakteri rumen, sumber energi, dan produk-produk fermentasi

Spesies Sumber energi Produk utama fermentasi

Bacteroides succinogenes Glukosa, selulosa,

selobiosa, pati

Asetat, suksinat, format

Ruminococcus albus Glukosa, selulosa, silan Asetat, laktat, format,

etanol, CO2, H2

Ruminococcus flavivacilus Glukosa, selulosa, silan Asetat, butirat, laktat,

format, etanol, CO2, H2

Butyrivibrio fibrisolvans Glukosa, selulosa, silan,

pati

Asetat, butirat, laktat,

format, etanol, CO2, H2

Bacteroides ruminicola Glukosa, silan, pati Asetat, propionat suksinat,

format

Bacteroides amylophilus Pati, maltose Asetat, suksinat, format

Selenomonas ruminantium Glukosa, pati, laktat,

gliserol,suksinat

Asetat, propionat, laktat,

format, CO2

Streptococcus bovis Glukosa,pati Laktat

Lachnospira Glukosa, pati, pektin Asetat, laktat, format,

etanol, CO2, H2

Succinivibrio Glukosa, dekstrin Asetat, suksinat, format

Vibrio spesies (lipolitik) Gliserol Propionat

Methanobacterium

ruminantum Format, H2 Metana

Sumber : Arora (1995)

Bagian ketiga dari lambung yang terletak di sebelah kanan rumen disebut

omasum. Dinding bagian dalammnya ditaburi lamina sehingga menambah luas

permukaannya (Arora 1995). Fungsi abomasum dalam proses pencernaan adalah

membantu memperkecil ukuran partikel pakan dan mengendalikan aliran ingesta

ke dalam perut bagian belakang serta absorbsi nutrien.

Bagian yang terakhir disebut dengan abomasum atau perut sejati,

merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan pakan secara kimiawi atau

enzimatik karena adanya sekresi getah lambung. Abomasum mempunyai fungsi

yang sama dengan perut nonruminansia yaitu tempat pencernaan pakan oleh

enzim yang dihasilkan sel-sel dalam tubuh hewan maupun berupa getah-getah

pencernaan serta penyerapan nutrien.

Usus halus merupakan tempat utama hasil akhir pencernaan nutrien, seperti

asam amino, glukosa, asam-asam lemak, monogliserida, mineral, dan vitamin. Di

dalam lumen usus terdapat getah pankreas, getah usus, dan empedu untuk

mengubah pakan hasil akhir fermentasi mikroba rumen menjadi nutrien yang siap

diserap. Di dalam usus halus juga terdapat enzim-enzim proteolitik, seperti

21

tripsinogen, kemotripsinogen, prokarboksipeptidase, dan aminopeptidase. Selain

itu, juga terdapat enzim lipase, nukleosidase, enterokinase, dan gastrin.

Enterokinase dan gastrin adalah enzim yang terlibat dalam pengaktifan enzim-

enzim inaktif atau proses-proses sekresi (Arora 1995).

Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum, kolon, dan

rektum. Sekum dan kolon adalah tempat fermentasi sisa bahan pakan yang tidak

dapat dicerna dalam rumen dan usus halus. Sisa pakan difermentasi oleh mikroba

sekum menjadi bentuk karbohidrat terlarut, nitrogen, dan sulfur yang kemudian

digunakan oleh mikroba untuk berbiak. Proses fermentasi VFA sama dengan di

rumen, namun jumlah bakterinya 10-1000 kali lebih sedikit daripada rumen

(Arora 1995).

Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat

Pakan ternak ruminansia sebanyak 60-70% terdiri atas karbohidrat berupa

selulosa, hemiselulosa, pati, pektin, dan karbohidrat yang mudah larut. Selulosa

dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan ternak ruminansia,

tetapi dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen yang juga

mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air. Oleh karena itu, ternak

ruminansia bergantung sepenuhnya pada peranan mikroba rumen dalam mencerna

fraksi serat pada pakan. Laju pertumbuhan mikroba dalam rumen sangat

bergantung pada ketersediaan karbohidrat, karena merupakan sumber energi dan

sebagai kerangka karbon dalam sintesis protein mikroba. Oleh karena itu, laju

pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein

mikroba.

Pencernaan karbohidrat di dalam rumen berlangsung melalui kerja sama

mikroba rumen, terutama fungi yang bekerja sama dengan bakteri selulolitik,

amilolitik, serta protozoa. Fermentasi karbohidrat dalam rumen terjadi melalui

dua tahap. Tahap pertama adalah pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula

sederhana. Pemecahan ini terjadi oleh pengaruh enzim ekstraseluler dari mikro-

organisme (Tilman et al. 1989). Urutan pola fermentasi dalam rumen adalah

glukosa, xylosa, pati, dan selulosa (Arora 1995). Selulosa dipecah oleh satu atau

lebih glukosidase menjadi selobiosa yang kemudian diubah menjadi glukosa.

22

Pada tahap kedua, glukosa yang terbentuk pada tahap pertama akan diserap

oleh sel mikroba dan segera mengalami metabolisme intraseluler menjadi piruvat

melalui lintasan Embden Meyerhorf dan lintasan Pentosa Fosfat. Piruvat adalah

bentuk intermedier yang segera dimetabolisme melalui proses fermentasi untuk

membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam rumen, yaitu asam-asam

lemak rantai pendek yang biasa disebut VFA. VFA utama yang dihasilkan adalah

asam asetat (CH3COOH), propionat (CH3CH2COOH), dan butirat

(CH3(CH2)2COOH). Di samping VFA, proses fermentasi karbohidrat juga

menghasilkan produk sampingan berupa gas metana (CH4), CO2, dan H2. Gas-gas

tersebut dikeluarkan dari dalam rumen melalui proses eruktasi. Banyaknya VFA

yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi antara 200-1500 mg/100 ml

cairan rumen, bergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Menurut

Suryapratama (1999), kisaran konsentrasi VFA total yang layak bagi

kelangsungan hidup ternak adalah 80–160 mM, dengan titik optimum 110 mM.

Stoikiometri reaksi fermentasi karbohidrat menjadi tiga produk fermentasi

utama di dalam rumen dapat disederhanakan sebagai berikut (Orskov & Ryle

1990) :

C6H12O6 + 2H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2

C6H12O6 + 2H+

2 2CH3CH2COOH + 4 H2O

C6H12O6 2CH3(CH2)2COOH + 2CO2 + 2 H+

2

4H+2 + CO2 CH4 + H2O

Dari stoikiometri reaksi tersebut, tampak bahwa pada proses sintesis asam

asetat banyak dihasilkan gas hidrogen, demikian pula pada sintesis asam butirat.

Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak yang

digunakan. Gas hidrogen bersama dengan gas CO2 merupakan prekursor untuk

sintesis gas metana. Gas metana sesungguhnya tidak bermanfaat bagi hewan

induk semang, sehingga pola fermentasi rumen yang mengarah pada sintesis asam

propionat jelas akan lebih menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi

pakan. Konsentrasi asam asetat dalam rumen berhubungan dengan kandungan

serat kasar dalam pakan, sedangkan propionat berhubungan dengan konsentrat.

VFA yang dihasilkan dalam fermentasi rumen diserap oleh darah dari

dinding rumen dan dibawa ke hati. Asam propionat diubah menjadi glukosa

23

melalui asetil Ko-A dan menjadi bagian cadangan glukosa hati. Sebagian dari

glukosa tersebut diubah menjadi glikogen dan disimpan di dalam hati atau diubah

menjadi alfa-gliserolfosfat dan digunakan untuk sintesis trigliserida. Sisa glukosa

akan masuk ke peredaran darah menuju pelbagai jaringan tubuh dan digunakan

sebagai sumber energi, sumber koenzim pereduksi dalam sintesis asam lemak, dan

glikogen otot. Asam asetat dan butirat diabsorbsi seperti halnya asam propionat,

namun asam butirat diubah menjadi asam beta-hidroksi-butirat (BHBA) oleh

jaringan dinding rumen. Asam asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem

sirkulasi dan dipakai oleh jaringan sebagai sumber energi dan untuk sintesis asam

lemak.

Pencernaan dan Metabolisme Protein

Protein bahan makanan terdiri atas protein murni dan senyawa-senyawa

nitrogen bukan protein (NPN). Pada ternak ruminansia, sebagian protein yang

masuk ke dalam rumen mengalami perombakan (degradasi) oleh enzim proteolitik

yang diproduksi oleh mikroba rumen. Enzim tersebut terdiri atas eksopeptidase

dan endopeptidase. Beberapa bakteri rumen yang paling tinggi aktivitas

proteolitiknya ialah Fibrobacter, Butyrivibrio, dan selenomonas.

Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan

peptida dan asam-asam amino. Sebagian mikroba rumen dapat memanfaatkan

oligopeptida untuk membuat protein tubuhnya. Mikroba rumen tidak dapat

memanfaatkan asam amino secara langsung karena tidak mempunyai sistem

transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu,

asam amino didegradasi melalui deaminasi menjadi asam-asam organik, amonia

dan CO2. Amonia yang terbentuk dari deaminasi dapat dikombinasikan dengan

asam organik alfa-keto membentuk asam amino baru yang dipakai untuk sintesis

protein mikroba, terutama dari kelompok bakteri.

Amonia merupakan sumber nitrogen yang relatif banyak dibutuhkan oleh

mikroba rumen untuk membentuk protein mikroba bersama dengan kerangka

karbon yang berasal dari sumber energi. Menurut Arora (1995), bakteri rumen

menggunakan amonia sampai 5 mM (8.5 mg/100ml), sedangkan kelompok ciliata

tidak dapat menggunakan amonia seperti halnya bakteri, sehingga protozoa ini

memakan bakteri untuk kebutuhan zat makanannya. Di samping dimanfaatkan

24

oleh mikroba rumen, amonia yang dihasilkan juga diserap oleh darah melalui

dinding rumen di bawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagian besar urea

difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan bersama urine, dan sebagian lagi masuk

peredaran darah dan dikembalikan ke rumen melalui saliva. Di dalam rumen, urea

diubah oleh urease mikroba menjadi CO2 dan amonia. Konsentrasi amonia rumen

merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan, karena sangat

menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen. Konsentrasi optimum NH3

untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar 85–300 mg/l atau 6–21

mM dengan titik optimum 8 mM.

Protein makanan yang lolos dari degradasi rumen dan protein mikroba

selanjutnya mengalami pencernaan dan penyerapan di usus halus. Protein ini

kebanyakan berupa protein mikroba dan sedikit berasal dari makanan. Agar

protein bahan makanan lebih bnyak tersedia bagi ternak maka ada dua cara yang

dapat dilakukan, yaitu melalui by pass protein dan pemberian NPN. Mengingat

sifat mikroba rumen yang lebih mudah menggunakan amonia dibanding asam

amino, maka pemberian NPN akan lebih tepat dari by pass protein.

Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang

selanjutnya diserap oleh darah dibawa ke hati. Dari hati, asam-asam amino

tersebut disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk

membentuk protein jaringan dan protein susu. Sumbangan protein mikroba rumen

terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-

sisa pencernaan protein berupa protein dan asam amino bahan makanan yang

tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses.

Metanogenesis di Rumen

Ruminansia sangat bergantung pada mikroba rumen untuk mencerna dan

memfermentasi dinding sel polisakarida tanaman menjadi sumber energi,

seperti VFA dan asam organik lainnya. Ternak juga mencerna mikroba yang

lolos dari rumen sebagai sumber protein. Melalui Simbiosis mikroba di dalam

retikulo-rumen, karbohidrat tanaman dihidrolisis menjadi gula sederhana,

dengan hasil akhir berupa volatile fatty acid (asam asetat, propionat, dan

butirat), dan gas CH4, H2, dan CO2 (Hobson 1997).

25

Untuk mengurangi akumulasi H2 di dalam rumen, bakteri metanogen

terutama dari golongan Archaea, memanfaatkan gas tersebut menjadi metana

dan digunakan sebagai sumber energi. Persamaan reaksinya adalah : CO2 +

4H2 CH4 + 2H2O. Meskipun proses ini sangat diperlukan dalam fermentasi

rumen, namun secara energetika merugikan ternak karena tidak bisa digunakan

sebagai sumber energi. Sebagian besar metana dikeluarkan melalui eruktasi

yaitu sekitar 83% dan sisanya melalui pernapasan dan anus masing-masing

16%, dan 1%. Hilangnya energi pakan sebagai metana menyebabkan

rendahnya efisiensi dan berpengaruh pada produktivitas ternak.

Proses metanogenesis sebagian besar terjadi di dalam rumen (83-94%)

dan hanya sedikit di pencernaan bagian belakang (6-13%) oleh bakteri

metanogen. Koloni mikroba pengguna hidrogen (metanogen) di dalam rumen

mulai muncul setelah hewan ruminansia mendapat susu induknya, sedangkan

koloni asetogen muncul 24 jam pertama setelah lahir. Konsentrasi metanogen

bertambah banyak setelah 1-3 hari setelah lahir dengan konsentrasi sekitar 104 per

gram isi rumen dan meningkat secara eksponensial menjadi 108-10

9 per gram isi

rumen, setelah umur 3 minggu. Sejak metanogen menghuni rumen, konsentrasi

asetogen menurun. Beberapa jenis bakteri metanogen yang telah diisolasi dari

rumen dan substrat yang digunakan untuk metanogenesis tercantum pada Tabel 6

dan 7.

Terbentuknya metana di dalam rumen merupakan hasil kerja sama melalui

simbiosis dari beberapa mikroba untuk memperoleh kebutuhan energinya.

Sebagian besar mikroba rumen memenuhi kebutuhan energinya dari gula

sederhana hasil degradasi dan pencernaan bahan pakan yang selanjutnya

dioksidasi melalui siklus asam sitrat. Selama siklus asam sitrat, elektron-elektron

Tabel 6 Metanogen yang telah diisolasi dari rumen

Organisme Sumber energi

Methanobrevibacter ruminantium H2, format

Methanobrevibacter sp. H2,format

Methanosarcina barkeri H2, methanol, methylamine, asetat

Methanosarcina mazei H2, methanol, methylamine, asetat

Methanobacterium formicicum H2, format

Methanomicrobium mobile H2, format

Sumber : McAllister dan Cheng (1996)

26

Tabel 7 Substrat untuk metanogenesis

Substrat Persamaan Reaksi

H2 dan CO2 4H2 +CO2 CH4 + 2H2O

Format 4HCO2H CH4 + 3CO2 + 2H2O

Metanol 4CH3OH 3CH4 + CO2 + 2H2O

Metanol dan H2 CH3OH + H2 CH4 + H2O

Metilamine 4CH2NH2Cl + 2H2O 3CH4 + CO2 + 4NH4Cl

Dimetilamine 2(CH3)2NHCl + 2H2O 3CH4 + CO2 + 4NH4Cl

Trimetilamine 4(CH3)3NCl + 6H2O 9CH4 + 3CO2 + 4NH4Cl

Asetat CH3COOH CH4 + CO2

Sumber : Hobson (1997)

lepas kembali sebagai hidrogen bebas (H2), yang selanjutnya diambil oleh

koenzim khusus pembawa elektron intraseluler (NAD), dan direduksi menjadi

NADH. Elektron kemudian ditransfer ke aseptor elektron seperti CO2, sulfat,

nitrat, atau fumarat menghasikan NAD dan fermentasi gula menjadi sempurna

(Immig 1996; Moss et al. 2000). Fermentasi mikroba menghasilkan H2 dan

metanogen menggunakan hidrogen untuk mereduksi CO2 menjadi CH4.

Satu-satunya sumber energi bagi metanogen berasal dari reduksi CO2

menjadi CH4 menggunakan H2, format, metanaol, metilamine, atau asetat melalui

reduksi intermediate formyl-methanofuran, methenyl-tetrahydromethanopterin,

methylenyl-tetrahydromethanopterin dan methyl-tetrahydromethanopterin (Mc-

Allister & Cheng 1996). Metanogen memiliki 3 koenzim yang tidak ditemukan

pada mikroorganisme lainnya, yaitu koenzim 420 yang terlibat dalam transfer

elektron, koenzim N terlibat dalam transfer metil, dan faktor B yang terlibat dalam

pembentukan enzimatik CH4 dari metil ko enzim M.Enzim-enzim spesifik

tersebut memungkinkan metanogen memproduksi CH4. Transfer H2 dari fer-

mentasi mikroba ke metanogen dibantu sifat hidrofobik yang dimilikinya

sehingga memudahkan mereka menempel pada partikel pakan dan permukaan

protozoa. Pengambilan H2 dan produksi CH4 menjadi lebih banyak (Boadi et al.

2004). Hal ini membantu mencegah peningkatan konsentrasi H2 di rumen dan

mengurangi akumulasi nukleotida (NADH) dan menyebabkan fermentasi bahan

tanaman oleh bakteri dan fungi lebih besar (5-28%) dibanding tidak adanya

metanogen (McAllister & Cheng 1996).

27

Gambar 7 Fermentasi bahan tanaman oleh mikroba rumen dan beberapa

bakteri yang berperan, serta metanogen yang mengubah hidrogen

menjadi metana (McAllister & Cheng 1996)

Produksi metana di dalam saluran pencernaan (enteric fermentation)

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat konsumsi pakan, jenis

karbohidrat, pengelolaan hijauan, penambahan lemak dan manipulasi mikroflora

rumen. Tiga faktor yang paling utama adalah laju fermentasi bahan organik, tipe

VFA yang diproduksi karena berkaitan dengan jumlah hidrogen yang diproduksi

dan efisiensi biosintesis mikroba. Laju fermentasi bahan organik sangat

dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan dan karakteristik degradasi karbohidrat.

Lambatnya laju pencernaan dan meningkatnya retensi rumen menyebabkan

penurunan konsumsi pakan dan lebih banyak CH4 yang diproduksi per kg dray

matter intake (DMI). Meningkatnya tingkat serat dalam ransum menghasilkan

rasio asetat propionat dan produksi CH4 yang lebih tinggi (Johnson & Johnson

1995).

Produksi propionat dari piruvat membutuhkan hidrogen, sedangkan

produksi asetat menghasilkan hidrogen, yang digunakan oleh metanogen untuk

membentuk CH4. Oleh karena itu, produksi metana adalah berbanding terbalik

dengan produksi propionat dan sebanding dengan rasio asetat propionat.

Karbohidrat yang mudah difermentasi dan pH yang rendah menyebabkan rasio

28

asetat propionat dan CH4 yang dihasilkan lebih rendah, dan ini terjadi pada pakan

yang tinggi biji-bijian (Johnson & Johnson 1995; Moss et al. 2000).

Complete Rumen Modifier (CRM) dan Cassapon

Complete rumen modifier (CRM) merupakan feed additives yang

kandungannya terdiri atas (1) Senyawa saponin dari buah lerak (Sapindus rarak)

yang disiapkan menurut prosedur Thalib et al. (1994), tepung daun Albizia

falcutaria dan Sesbania grandiflora; (2) isolat bakteri dengan media asetogenik

pengguna hidrogen-karbondioksida yaitu: Asetoanaerobium notrae yang

disiapkan menurut prosedur Thalib (2008); dan (3) faktor pertumbuhan mikroba

(FPM) yang disiapkan menurut prosedur Thalib et al. (1998).

Cassapon merupakan produk dari Balai Penelitian Ternak terdiri dari

kombinasi CRM dan onggok yang berfungsi untuk menurunkan emisi gas metana

enterik dan sekaligus meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Selain itu,

peranan penambahan onggok adalah substrat bagi konsorsium mikroba selulolitik

untuk produksi enzim selulosa. Prinsip kerja bahan ini adalah mensuplai nutrisi

untuk pertumbuhan mikroba, menghambat proses metanogenesis dengan cara

menumbuhkan bakteri asetogenik pengguna hidrogen, dan menekan populasi

protozoa (defaunasi). Tabel proksimat studi sebelumnya mengenai CRM disajikan

pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis proksimat CRM dengan kandungan lerak giling dan lerak

ekstrak, dan konsentrat komersial (Thalib et al. 2010)

Parameter K K + CRM-LG K + CRM-EL

PK (%) 18.87 17.84 18.25

Lemak (%) 9.81 8.88 9.19

SK (%) 13.24 11.30 12.03

GE (Kkal/kg) 4150 3909 4175

NDF (%) 40.5 38.3 38.8

ADF (%) 18.7 19.5 18.5

Abu (%) 10.82 10.57 10.76

Ca(%) 1.42 1.36 1.34

P (%) 0.91 0.85 0.85

Keterangan: K=konsentrat komersial; K+CRM-LG=konsentrat+lerak giling dalam CRM;

K+CRM-EL=konsentrat+ekstrak lerak dalam CRM.

29

Penelitian pendahuluan mengenai bahan-bahan penyusun CRM ini sudah

dilakukan, namun masih secara tersendiri. Menurut hasil penelitian Thalib (2008),

pemberian bakteri asetogenik (Acetanoanaerobium noterae) mampu memperbaiki

performans domba dan menurunkan produksi gas metana enterik dan hasilnya

lebih nyata bila dikombinasikan dengan defaunator berupa aksafon SR.

Defaunator berfungsi untuk menekan populasi protozoa karena disamping

memakan bakteri pencerna serat, protozoa juga berhubungan dengan populasi

metanogen. Metanogen (Archaea) biasanya melekat pada protozoa terutama dari

golongan ciliata. Bahan yang biasa digunakan sebagai defaunator adalah bahan-

bahan yang mengandung saponin, salah satu di antaranya adalah buah lerak.

Menurut Thalib et al. (1996) buah lerak sangat efektif digunakan sebagai

defaunator protozoa. Secara kimia, saponin memiliki diversifikasi struktur yang

luas dan senyawa-senyawa saponin tertentu dengan sifat surfaktannya dapat

menyebabkan terjadinya lisis pada dinding sel protozoa.