Fix

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin meningkat sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. Pasien dengan kedaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dialami oleh siapa saja. Dapat berupa serangan penyakit mendadak, kecelakaan, atau bencana alam. Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support merupakan tindakan- tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses menuju kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, pada korban yg pernah mengalamai hipoksemia waktunya menjadi lebih sempit sehingga butuh penanganan segera. Pada skenario 1, seorang laki-laki, diantar polisi ke IGD RS Daerah. Pasien tersebut tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, naik sepeda motor menabrak jembatan. Saat tiba di UGD penderita muntah- muntah dan kejang, keluar darah dari mulut, hidung, dan telinga disertai suara gurgling dan snooring. Perawat melaporkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 108x/menit. 1

Transcript of Fix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung

semakin meningkat sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan

pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. Pasien dengan

kedaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dialami oleh siapa

saja. Dapat berupa serangan penyakit mendadak, kecelakaan, atau bencana alam.

Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit

pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support

merupakan tindakan-tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses

menuju kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan

otak permanen, pada korban yg pernah mengalamai hipoksemia waktunya

menjadi lebih sempit sehingga butuh penanganan segera.

Pada skenario 1, seorang laki-laki, diantar polisi ke IGD RS Daerah.

Pasien tersebut tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, naik sepeda

motor menabrak jembatan. Saat tiba di UGD penderita muntah-muntah dan

kejang, keluar darah dari mulut, hidung, dan telinga disertai suara gurgling dan

snooring. Perawat melaporkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 108x/menit.

Respirasi 24x/menit. Tampak luka terbuka di paha kanan sepanjang 3 cm,

angulasi, dan perdarahan aktif. Dokter IGD melakukan primary survey dan

didapatkan data yaitu : Airway didapatkan gurgling, snoring, tampak darah di

oropharynx. Dokter melakukan pembebasan jalan nafas dengan cara suction

(gurgling) dengan kanul yang rigid, chin lift atau jaw thrust maneuver (untuk

menghilangkan snooring, karena pasien koma) dan pemasangan intubasi

endotracheal dilanjutkan oksigenasi 10 liter/menit dan memasang collar brace.

Breathing didapatkan RR 24x/menit. Jejas ekskoriasi, pengembangan tertinggal,

perkusi redup, auskultasi suara vesikuler menurun pada hemithorax sinistra.

Dokter merencanakan pemeriksaan thorax foto (pada adjunct primary survey).

Circulation didapatkan nadi cepat 108x/menit, tekanan darah 110/80 mmHg,

akral hangat. Dokter melakukan inful RL dengan iv cath no. 16 dua puluh tetes/

1

menit dan pemasangan kateter urin. Disability didapatkan GCS 8, pupil anisokor

dextra<sinistra 3/5 mm, reflek cahaya +/+ menurun hemiparese dextra. Dokter

melakukan pemberian manitol bolus 200 cc IV dan merencanakan pemeriksaan

CT scan kepala dan mempertimbangkan rujukan ke RS dengan fasilitas bedah

syaraf. Environment, semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada

kelainan lain yang sifatnya life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk

mencegah hipotermi.

Pada adjunct primary survey dokter melakukan pemeriksaan foto cervical

lateral cross table, foto thorax AP dan foto pelvis AP dan hasilnya dalam batas

normal. Kemudian pada secondary survey didapatkan kepala hematom

temporoparietal sinistra berdiameter 8 cm. wajah oedem periorbita

dextra/sinistra, bloody rhinorhoea dextra/sinistra, bloody othorhoea sinistra, halo

test +, floating maxilla +, maloklusi gigi, deformitas mandibula. Leher tidak

didapatkan kelainan. Hematothorax sehingga dokter melakukan pemasangan chest

tube. Abdomen dan pelvis tidak didapatkan kelainan. Ekstremitas didapatkan

vulnus appertum femur dextra sepanjang 3 cm, nampak angulasi, perdarahan aktif,

fat globul +, oedem, krepitasi +. Dokter melakukan bebat tekan realignment femur

dan imobilisasi. Pasien disiapkan untuk dirujuk ke trauma center.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, didapatkan rumusan masalah :

1. Bagaimana patofisiologi kelainan-kelainan yang terdapat dalam kasus di

atas?

2. Bagaimana prosedur pertolongan pada kasus diatas?

3. Apa saja indikasi pemasangan intubasi trakea, chest tube, pemberian

manitol bolus, pemeriksaan CT scan, pemeriksaan halo test dan fat globul?

4. Bagaimana proses terjadinya fraktur?

5. Apa saja yang termasuk tanda-tanda kegawatdaruratan?

6. Bagaimana prognosis pasien dalam kasus di atas?

2

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan ini antara lain :

1. Menjelaskan tanda-tanda kegawatdaruratan dalam kasus traumatologi.

2. Menjelaskan kasus-kasus yang terjadi di bidang traumatologi.

3. Menjelaskan pertolongan pertama yang tepat pada kasus traumatologi.

4. Menjelaskan penanganan yang tepat pada kasus traumatologi.

5. Menjelaskan prognosis pada kasus traumatologi.

D. Manfaat

1. Mengetahui tanda-tanda kegawatdaruratan dalam kasus traumatologi.

2. Mengetahui kasus-kasus yang terjadi di bidang traumatologi.

3. Mengetahui pertolongan pertama yang tepat pada kasus traumatologi.

4. Mengetahui penanganan yang tepat pada kasus traumatologi.

5. Mengetahui prognosis pada kasus traumatologi.

E. Hipotesis

Pasien dalam skenario mengalami trauma akibat kecelakaan yang perlu

primary survey dan penanganan dengan cepat dan tepat. Adjunct primary

survey dan secondary survey perlu dilakukan ketika pasien sudah stabil dan

tertangani dengan baik.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Trauma kepala

Trauma atau cedera pada kepala sering menyebabkan trauma pada sistem

saraf pusat. Trauma pada sistem saraf pusat merupakan penyebab kematian pada

trauma (Setyono, 2011).

Terdapat dua aspek fisiologis yang harus dimengerti untuk memahami

akibat trauma pada kepala yaitu Doktrin Monroe-Kelly dan autoregulasi serebral.

Doktrin Monroe-Kelly menyatakan bahwa volume total intrakranial adalah

konstan di dalam cranium yang kaku. Konsekuensinya, jika ada massa yang

meluas seperti perdarahan atau edema, bagian lain seperti darah dan LCS akan

keluar. Jika tekanan telah melebihi 20mmHg, maka jaringan otak akan mengalami

herniasi (Setyono, 2011).

Autoregulasi serebral merupakan kemampuan otak untuk mempertahankan

aliran darah yang tetap walupun terdapat perubahan tekanan perfusi serebral

(Setyono, 2011).

Berdasarkan derajat kesadarannya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi :

1. Cedera kepala ringan

a. GCS 13-15

b. Pingsan ≤ 10 menit

c. Tidak ada deficit neurology

d. Gambaran scanning otak normal

2. Cedera kepala sedang

a. GCS 9-12

b. Pingsan ˃ 10 menit sampai dengan 6 jam

c. Terdapat deficit neurology

d. Gambaran scanning otak abnormal

3. Cedera kepala berat

a. GCS 3-8

b. Pingsan ˃6 jam

4

c. Terjadi deficit neurology

d. Gambaran scanning otak abnormal (Setyono, 2011).

Pada trauma kepala dapat terjadi perdarahan antara lain :

1. Epidural hematom

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater

akibatpecahnya pembuluh darah/ cabang-cabang arteri meningea media yang

terdapat di duramater, pembuluh darah ini, tidak dapat menutup sendiri karena

itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari.

Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporoparietalis.

Gejala yang terjadi penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,

hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam, cepat kemudian

dangkal irreguler, penurunan nadi, dan peningkatan suhu.

2. Subdural hematom

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut

dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang

biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode

akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi

dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk,

menarik diri, berfikir lambat, kejang, dan edema pupil.

3. Perdarahan Intracerebral

Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena

pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, dan vena.

Tanda-tanda dan gejalanya : nyeri kepala, penurunan kesadaran,

komplikasi pernapasan, hemiplagia kontralateral, dilatasi pupil, perubahan

tanda-tanda vital.

4. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh

darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejalanya : nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,

dilatasi pupil ipsilateral, dan kaku kuduk (Setyono, 2011).

5

2. Trauma Maksilofasial

Definisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan

jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup

jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak

wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang

kepala yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang

mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, dan tulang alveolus.

Etiologi

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu

lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang

dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum

dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria

dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalulintas

yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan

cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.

Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas

(automobile).

Klasifikasi

Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang

wajah yang adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah.

6

Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :

- Le Fort I

Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai

dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”.

Kerusakan yang mungkin terjadi yaitu pada prosesus arteroralis, bagian

dari sinus maksilaris, palatum durum, dan bagian bawah lamina pterigoid

- Le Fort II

Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis,

dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus

maksilaris juga ke arah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine.

Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system

lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini

sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang) ”

-  Le Fort III

Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid

junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral

ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum.

Disebut juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang

memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini : keluarnya cairan

otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.

7

3. Trauma Thorax

Luka pada thoraks dapat terjadi akibat trauma tajam atau tumpul dan

menyebakan kematian pada 50% dari seluruh kematian akibat trauma (Kincaid

et al, 2008).Trauma pada thoraks dapat menyebabkan hemothoraks. (hal. 351)

Hemothoraks adalah terdapatnya darah pada rongga pleura. Hemothoraks

bisa tidak tampak pada radiografi awal karena perdarahan lambat dan tidak

tampak pada beberapa jam awal.Sekitar 60% pada pasien hemothoraks juga

mengalami pneumothoraks (Doelken et al., 2008).

4. Intubasi Endotracheal

Indikasi:

1. Pengobatan gejala hiperkapnea.

2. Pengobatan gejala hipoksemia.

3. Perlindungan Airway terhadap aspirasi.

4. Pembersihan paru-paru.

Kontraindikasi:

1. Pasien sadar

2. Airway yang dikelola kurang invasif.

5. Primary Survey (Prosedur A,B,C,D,E)

1. A (Airway)

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan fraktur

benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur

laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi

vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift

atau jaw thrust, pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap

bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap

airway harus tetap dilakukan. Harus dilakukan segala usaha untuk

menjaga jalan nafas dan memasang airway definitive bila diperlukan. Hal

yang tidak kalah penting adalah mengenali kemungkinan gangguan airway

8

yang dapat terjadi kemudian dengan melakukan re-evaluasi berulang

terhadap airway (American College of Surgeons, 1997).

2. B (Breathing)

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan

diafragma. Setiap komponen harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita

harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan

untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan

untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan

palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin

mengganggu ventilasi (American College of Surgeons, 1997).

3. C (Circulation)

a. Volume darah dan cardiac output

Penemuan klinis dalam hitungan detik yang dapat memberikan

informasi tentang keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran,

warna kulit, dan nadi. Pada keadaan hipovolemi terjadi penurunan

kesadaran, warna kulit dan ekstremitas pucat, serta nadi yang cepat dan

kecil.

b. Perdarahan

Perdarahan luar harus dikelola dengan primary survey. Perdarahan

eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara juga

dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk harus tembus

cahaya untuk mengawasi perdarahan (American College of Surgeons,

1997).

4. D (Disability)

Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologi secara cepat. Yang dinilai

adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Cara sederhana

untuk menilai tingkat kesadaran adalah AVPU (Alert, Vocal, Pain,

Unresponsive). GCS (Glasgow Coma Scale) dapat dilakukan untuk

menggantikan AVPU. GCS adalah sistem scoring sederhana yang dapat

meramal outcome penderita. Jika penilaian ini belum dilakukan pada

primary survey, harus dilakukan di secondary survey pada saat

pemeriksaan neurologis (American College of Surgeons, 1997).

9

5. E (Exposure)

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk memeriksa dan

mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita

tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat

dan diberikan cairan IV yang sudah dihangatkan (American College of

Surgeons, 1997).

6. Syok

Merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah

ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolism sel.

Secara klinik, syok dibagi atas dua golongan besar:

1. Syok hipovolemik: syok dengan volume plasma berkurang.

1. Kehilangan plasma ke luar tubuh: perdarahan, gastroenteritis, renal

(diabetes mellitus, diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat

berlebihan).

2. Kehilangan cairan di dalam ruang tubuh: patah tulang panggul atau

iga, asites, ileus obstruktif, hemotoraks, hemoperitoneum.

2. Syok normovolemik: syok dengan volume plasma normal.

1. Kardiogenik (koroner/non koroner): infark jantung, payah jantung,

aritmi.

2. Obstruksi aliran darah: emboli paru, tension pneumothorax, tamponade

jantung, aneurisme aorta dissecans, intrakardiak.

3. Neurogenik: trauma/nyeri hebat (dislokasi sendi panggul, dilatasi

serviks uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus,

kandung empedu atau kardia lambung), obat-obatan (anestetik,

barbiturate, fenotiazin), hipotensi ortostatik, lesi sumsum tulang.

4. Lain-lain: infeksi/sepsis (syok septic), anafilatik, kegagalan endokrin

(miksedema, Addison), anoksi.

10

Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok:

No Stadium Plasma yang hilang

Gejala

1 Presyok (compensated)

10-15%±750 ml

Pusing, takikardi ringan, sistolik 90-100 mmHg

2 Ringan(compensated)

20-25%1000-1200 ml

Gelisah, keringat dingin, haus, diuresis berkurang, takikardi >100/menit, sistolik 80-90 mmHg

3 Sedang(reversible)

30-35%1500-1750 ml

Gelisah, pucat, dingin, oliguri, takikardi >100/menit, sistolik 70-80 mmHg

4 Berat(ireversibel)

35-50%1750-2250 ml

Pucat, sianotik, dingin, takipnea, anuri, kolaps pembuluh darah, takikardi/tak teraba lagi, sistolik 0-40 mmHg

7. Secondary Survey

Dalam survei sekunder, didapatkan hematom di kepala bagian temporo

parietal sinistra dengan diameter 8 cm. Pada wajah didapatkan edem periorbita

dekstra/sinistra, bloody rhinorhoea dekstra/sinistra, bloody othorhoea sinistra,

halo test (+), floating maksila (+), maloklusi gigi dan deformitas mandibula.

Halo test adalah suatu jenis pemeriksaan yang digunakan untuk

mengidentifikasi adanya kebocoran cairan serebro spinal (liquor serebro

spinal, LCS) di dalam darah. Proses trauma menyebabkan adanya LCS dalam

darah. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil darah suspek kemudian

diteteskan pada secarik kain putih. Kemudian akan tampak tetes darah yang

dikelilingi oleh lingkaran bening (Dechred & Bailey, 1999). Floating maxilla

adalah lepasnya maxilla dari sendi pada kranium. Maloklusi gigi adalah tidak

sempurnanya oklusi gigi atas dengan bawah.

Fraktur rahang yaitu maloklusi atau pergerakan rahang yang abnormal

serta sakit bila digerakkan, bergerak terbatas, terdengar bunyi tertentu

(krepitasi), sulit atau tidak dapat mengunyah makanan, peningkatan produksi

air ludah, bau mulut serta gambaran jejas, luka atau lebam pada wajah. Untuk

keadaan yang lebih berat dan kompleks adalah perdarahan pada hidung,

telinga, sekitar mata bahkan muntah dan pingsan. Pada kondisi ini wajah

pasien akan terlihat tidak simetris atau terlihat memanjang (Malik, 2006).

11

Pada thoraks didapatkan hematothoraks. Dokter melakukan pemasangan

chest tube. Untuk penatalaksanaan terhadap hematothoraks, dilakukan Water

Seal Drainage (WSD). WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan

untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga

thorak, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. Tujuan

WSD, yaitu (1) mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan

rongga thoraks; (2) mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura; (3)

mengembangkan kembali paru yang kolaps; serta (4) mencegah refluks

drainase kembali ke dalam rongga dada.

Tempat Pemasangan WSD, yaitu: (1) Bagian apeks paru (anterolateral

interkosta ke 1-2, untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura); serta (2)

bagian basal (postero lateral interkosta ke 8-9, untuk mengeluarkan cairan

(darah, pus) dari rongga pleura). Indikasi WSD, yaitu: pneumothoraks,

hematothoraks, thorakotomi, efusi pleura post operasi jantung dan emfiema.

Kontraindikasi WSD, yaitu: (1) infeksi pada tempat pemasangan; (2) gangguan

pembekuan darah yang tidak terkontrol (Halimudin, 2007).

Cara pemasangan WSD, yaitu: (1) menentukan tempat pemasangan,

biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksillaris anterior dan media; (2)

melakukan analgesia/anestesia pada tempat yang telah ditentukan; (3) membuat

insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus

interkostalis; (4) memasukkan klem Kelly melalui pleura parietalis kemudian

dilebarkan; (5) memasukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan

sudah sampai rongga pleura/menyentuh paru; (6) memasukkan selang (chest

tube) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly forceps; (7)

chest tube yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada; (8)

chest tube disambung ke WSD yang telah disiapkan; serta (9) foto X-rays dada

untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan (Halimudin, 2007).

Pada ekstremitas didapatkan vulnus appertum femur dekstra sepanjang

3 cm, nampak angulasi, perdarahan aktif, fat globul (+), edem dan krepitasi (+).

Vulnus appertum menunjukkan terjadinya luka terbuka. Fat globul (+)

menunjukkan terdapat lemak yang keluar dari sumsum tulang sebagai akibat

dari trauma. Dokter melakukan bebat tekan realignment femur dan imobilisasi.

12

Bebat tekan adalah penekanan pada luka untuk menghentikan perdarahan.

Pasien disiapkan untuk dirujuk ke Trauma Center. Indikasi dilakukan rujukan

pasien ke trauma center adalah: (1) adanya penurunan kesadaran; (2) adanya

perdarahan masif (misalnya: pada fraktur femur); (3) penurunan laju

pernafasan yang signifikan, kejang, trauma atau patah tulang tengkorak; (4)

adanya memar di wajah; (5) keluarnya cairan dari hidung, mulut dan telinga;

(6) hipotensi mendadak; serta (7) adanya perubahan pupil (Fahmi, 2010).

Pada ekstremitas didapatkan vulnus appertum femur dekstra sepanjang 3 cm,

angulasi, perdarahan aktif, fat globul positif, oedem dan krepitasi positif

menunjukkan adanya trauma pada ekstremitas yaitu pada paha disertai fraktur

yang melukai pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan aktif.

13

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang mengalami trauma

akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien diduga mengalami cedera kepala. Hal ini

dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar darah dari mulut, hidung

dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera

kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita

hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani

dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang

akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal

tersebut, maka perlu dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE,

diteruskan adjunct primary survey, dan secondary survey.

Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia

merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat

disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan

napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan

hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,

ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.

Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang

disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada

keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah

sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior

menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada

kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).

Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu

dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman

dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).

Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien.

Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang

ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Suara gurgling

terjadi karena adanya cairan di rongga tenggorok. Pembebasan jalan napas

14

dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul yang rigid

(rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang berada di

rongga mulut. Apabila perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap

menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi.

Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan

usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa

pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan

napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.

Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.

Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien

ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin

memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih

dahulu pada pneumothoraxnya.

Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan.

Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit.

Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per

menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat

diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada

ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien

sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit.

Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada

pasien.

Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini

perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada

permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di

dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang

tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra.

Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai

macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di

dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau

menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang

kemungkinan besar berupa darah. Darah umumnya berasal dari a.intercostalis

15

yang mengalami trauma. Untuk mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa

ataupun memastikan adanya hematothorax pada pasien ini diperlukan

pemeriksaan foto thorax.

Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami

peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami

takikardi karena sudah melebihi 100 kali per menit. Keadaan ini kemungkinan

besar disebabkan karena perfusi oksigen yang menurun di jaringan akibat

terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan ventilasi maupun akibat kehilangan

darah akibat perdarahan aktif pada pasien. Peningkatan denyut nadi tersebut

merupakan kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan agar tetap

adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat perdarahan aktif, pasien belum

masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat dari tekanan darah dan perfusi

jaringan perifer pada pasien (dilihat dari akral) yang masih normal.

Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin

untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi

metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh

dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan

ekstraseluler. Cairan ini mempunyai kadar-kadar fisiologis sesudah infus, setelah

terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat tidak

memperberat asidosis laktat dan sejumlah volume yang diberikan memperbaiki

sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik

bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan

membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalui siklus Krebb

diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik. Pemberian RL

sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan yang sering dipakai.

Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien, dipasang kateter urin.

Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin

menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi. Produksi urin harus

dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila kurang menunjukkan adanya

hipovolemia.

Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera

kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8.

16

Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario

ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial.

Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang

merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain

itu juga terdapat perdarahan dari telinga dan hidung. Perdarahan dari telinga,

kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari

hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et

sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang

terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien

ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan

fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya

deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi

yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan

fraktur maksila dan mandibula.

Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen

yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin,

masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini

dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran

mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks

Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik

berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya

kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih

lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan

penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang

menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan

asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.

Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya,

dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan

antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala.

Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood brain

barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak.

Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan

17

sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan

penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah

berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat

hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya autoregulasi

aliran darah sehingga edema semakin hebat.

Karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini

akan menimbulkan peningkatan tekanan dalam rongga tengkorak (peningkatan

tekanan intracranial). Peningkatan TIK yang cukup tinggi dapat menyebabkan

turunnya batang otak (herniasi batang otak). Keadaan ini dapat menyebabkan

iskemia dan nekrosis jaringan otak sehingga terjadi deficit neurologis pada pasien.

Anisokor pupil timbul akibat adanya kompresi saraf cranial III pada herniasi

tentorial. Penurunan reflex cahaya pada matakiri terjadi karena adanya lesi pada

mesensefalon, sedangkan hemiparesis dextra terjadi karena adanya kerusakan

saraf motorik kiri. Adanya gangguan pada mata kiri diikuti hemiparesis kanan

menunjukkan adanya herniasi transtentorial lateral kiri. Pada herniasi

transtentorial lateral menunjukkan adanya midriasis pupil dan penurunan reflex

cahaya pada mata ipsilateral serta hemiparesis kontralateral.

Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang

pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar

ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan

pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ

vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis)

dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui

serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus

gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot

abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glotis,

pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi

yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot

abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen,

membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian

diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi

lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat

18

gejala muntah. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.

Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat

menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan

astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi

leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-β, tumor nekrosis alfa, interleukin

6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik

mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke

mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh

PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas

sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara

lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema

serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc

iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotik yang digunakan untuk

menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat

berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya.

Dari hasil secondary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa

hematothorax. Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura. Biasanya

disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan

robeknya membrane serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput

pembungkus paru. Robekan ini akan mengakibatkan darah mengalir ke dalam

rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru. Adanya penekanan

ini menyebabkan nyeri dan pengembangan dinding dada tidak asimetri.

Pengembangan dinding dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang

utama hemodinamik dan pernapasan. Tingkat respons hemodinamik ditentukan

oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal

mungkin terhambat oleh efek akumulasi darah dalam rongga pleura.

Terdapatnya angulasi, edema, dan krepitasi pada femur dekstra

mengindikasikan terjadinya fraktur femur dektra pasien. Fraktur femur yang

paling sering terjadi akibat adanya trauma kecelakaan adalah fraktur batang

femur. Adanya vulnus apertum sepanjang 3 cm dan fat globul yang positif

menunjukkan bahwa fraktur batang femur yang terjadi pada pasien kasus ini

19

merupakan fraktur yang bersifat terbuka derajat III, yaitu lukanya lebih luas dari

derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf,

pembuluh darah). Perdarahan aktif yang terjadi harus dikoreksi dengan baik agar

penanganan yang optimal dapat dilakukan jika fraktur mengenai arteri femoralis

sehingga mengganggu status sirkulasi pasien.

Penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter, yaitu dengan melakukan

bebat tekan realignmen femur dan imobilisasi sudah tepat. Kemudian pasien

dirujuk ke Trauma Center karena pasien mengalami multitrauma dan memerlukan

penanganan secara intensif. Indikasi dilakukan rujukan ke trauma center adalah :

adanya penurunan kesadaran, adanya perdarahan masif seperti pada fraktur

os.femur, penurunan laju pernafasan yang signifikan, kejang, trauma atau patah

tulang tengkorak, adanya memar di wajah, keluarnya cairan dari hidung, mulut,

dan telinga, hipotensi mendadak, dan adanya perubahan pupil.

20

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Korban trauma ditangani dengan prinsip ABCDE yang dikenal juga dengan

Primary Survei

2. Adanya penurunan kesadaran dan luka dikepala dicurgai sebagai adanya

trauma yang mengenai organ dalam cranium

B. Saran

1. Korban trauma hendaknya segera dirujuk ke trauma center setelah

distabilkan ABCDE.

2. Apabila ada perdarahan seperti dalam skenario, terutama perdarahan besar

segera dihentikan perdarahan dan dirujuk.

21

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States of America: First Impression.

Anonim. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/4/Chapter%20II.pdf (diakses 13 April 2011).

De Jong W. 2002. Buku Ajar Ilmu Bedah Cetakan 1 : Jakarta EGC.

Dechred ME, Bailey BJ. 1999. Cerebrospinal Fluid Leaks. http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/CSF-Leaks-9905/CSF-Leaks-9905.pdf

Fahmi R. 2010. Cedera Kepala. http://community.um.ac.id/archive/index.php/t-55154.html

Halimudin. 2007. Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) pada Gangguan Sistem Persarafan. http://www.nardinurses.files.wordpress.com/2007/12/terapi-diurutik-osmotik.doc

Malik G.M. 2006. Penanganan Rahang Patah. http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=41278

Purwadianto A. Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara, pp: 47-49. )\

Setyono, H. 2011. Kuliah Penatalaksanaan Trauma Kepala. Surakarta : FKUNS.

22