Fix Isi Lengkap
-
Upload
yulia-dewi-asmariati -
Category
Documents
-
view
39 -
download
1
description
Transcript of Fix Isi Lengkap
1
BAB I
PENDAHULUAN
Ruptura uteri pada kehamilan, merupakan salah satu dari komplikasi obstetri yang sangat
serius. Komplikasi ini berhubungan erat dengan angka kematian dan angka kesakitan
dari bayi dan ibu bersalin. Jika pasien dapat selamat, fungsi reproduksinya dapat
berakhir dan proses penyembuhannya sering kali memakan waktu yang cukup lama.
Angka kejadian ruptura uteri di negara-negara yang sedang berkembang sangat
tinggi, bila dibandingkan dengan Negara-negara maju yaitu 1 : 1.250 hingga 1 : 1.2000.
Hal ini disebabkan karena rumah sakit –rumah sakit di Indonesia menampung banyak
kasus-kasus darurat dari luar (Cunningham dkk, 2004).
Sebagai penyebab utama terjadinya ruptura uteri adalah trauma dorongan, yang biasanya
dilakukan oleh para dukun saat menolong persalinan. Hal ini sesuai dengan kesimpulan
dari Hassel pada penelitian tentang ruptura uteri di daerah Jawa Tengah.
Berdasarkan kepustakaan yang ada beberapa faktor yang merupakan penyebab terjadinya
ruptura uteri di antaranya adalah : 1) parut uterus (seksio sesaria, miomektomi, abortus
sebelumnya), 2) trauma (kelahiran operatif: versi, ekstraksi bokong, forceps
perangsangan oksitosin yang berlebihan, kecelakaan, pemasangan misoprostol yang
berlebihan), 3) ruptura uteri spontan yang tidak berparut (disproporsi kepala panggul,
malpresentasi janin, anomaly janin, leiomioma uteri dan distosia bahu), 4) faktor-faktor
lain (plasenta akreta, inkreta,panyakit trofoblas invasif) (Cunningham dkk, 2004).
Dari beberapa kepustakaan disebutkan bahwa multipara merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya ruptura uteri. Hal ini mungkin disebabkan karena pada multipara
dinding uterus sudah lemah, karena persalinan sebelumnya menyebabkan luka- luka
kecil sehingga di tengah-tengah miometrium terdapat penambahan jaringan ikat yang
mengakibatkan kekuatan dinding uterus menjadi berkurang; akibat selanjutnya pada
waktu terjadi regangan saat persalinan berikutnya lebih mudah terjadi ruptura uteri
(Cunningham dkk, 2004)
Sebagai tindakan terapi terdapat 2 pilihan yakni: histerektomi atau histerografi. Yang
lebih banyak dikerjakan adalah histerektomi dibandingkan dengan histerorafi. Alasan
dipilih histerektomi adalah adanya kekhawatiran terjadinya ruptura uteri kembali pada
kehamilan berikutnya (Cunningham dkk, 2004).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Lazimnya kita membedakan antara ruptura uteri yang lengkap dan tidak lengkap,
tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap)
atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh
ligamentum kardinale (tidak lengkap). Tentu saja ruptura uteri yang tidak lengkap bisa
saja menjadi lengkap (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Kita juga harus membedakan antara ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea dan
dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea. Ruptura paling tidak berarti
pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus dengan robeknya selaput
ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan kavum peritoneum. Pada
keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusi ke dalam kavum
peritoneum. Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan
parut atau dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak apa-
apa. Sebaliknya, pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban
tidak pecah dan janin tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas
dari dehisensi adalah pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang
sudah ada sebelumnya pada uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih
utuh dan perdarahan minimal atau tidak ada (Departemen Kesehatan RI, 2004).
II. ETIOLOGI
A. Ruptur jaringan parut uterus
1. Jaringan parut seksio sesarea ( merupakan penyebab terbanyak)
2. Riwayat kuretase atau perforasi uterus
3. Trauma abdomen
B. Persalinan yang terhambat akibat disproporsi cephalopelvik
C. Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan
1. Pematangan serviks ( Misoprostol atau Dinoprostone)
2. Penggunaan kokain pada masa kehamilan
D. Faktor-faktor lain
1. Peregangan uterus yang berlebihan
3
2. Amnioinfusion
3. Neoplasia Trofoblastik Gestasional
4. Pelepasan plasenta yang sulit secara manual
E. Penemuan yang tidak berhubungan dengan ruptura uteri
1. Infus oksitosin dengan dosis berlebihan
2. Kontraksi 5x atau lebih dalam 10 menit
3. Kontraksi tetanik selama lebih dari 90 detik(Fadel,H.E, 1982)
III. TIPE RUPTURA UTERI
A. Menurut tingkat robekan :
a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus.
b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium, disebut juga
dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dinding
rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir.
c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita merasa
kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba ligamentum
rotundum menegang. Teraba cincin Bandle setinggi pusat. Segmen bawah rahim
menipis. Urine kateter kemerahan.
B. Menurut etiologinya:
a. Ruptur uteri spontan
Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) dan tanpa
adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan tidak maju
karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosepalus, janin dalam letak lintang dan
sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin meregang. Faktor yang
merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri adalah multiparitas, disini
ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan
kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan
robekan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh
dukun – dukun memudahkan timbulnya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang lancar,
dukun – dukun biasanya melakukan tekanan keras kebawah terus – menerus pada fundus
uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah meregang
dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang
4
terlampau tinggi dan atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptur
uteri
b. Ruptur uteri traumatika
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti
tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam
kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari
luar. Yang lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur uteri violenta.
Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal
untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu misalnya terjadi
pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat
untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan
embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga
setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri
dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri
violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.
c. Ruptur uteri pada parut uterus
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea,
peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma
(miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang
terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi ssesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio
sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa
nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas
seksio bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi
bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak
terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka
menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang
untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya
janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu
penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria
5
besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus
meninggal pula.
C. Menurut waktu terjadinya:
a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada
korpus
b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering
pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
D. Menurut lokasi:
a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju).
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.
c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi
dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.
6
IV. GEJALA DAN TANDA
Gejala yang bisa didapatkan pada pasien dengan ruptur uteri adalah :
1. Penderita pucat dan perdarahan vaginal;
2. Pada saat terjadi ruptur penderita kesakitan sekali dan merasa ada robekan di perutnya;
3. Gejala kolaps dan kemudian syok.
Sedangkan tanda yang bisa kita dapatkan pada pemeriksaan adalah:
7
1. Penderita pucat;
2. Tachicardi;
3. Perdarahan vaginal;
4. Dapat diraba jelas bagian-bagian janin langsung di bawah dinding perut;
5. Perut kembung, kadang-kadang defance muscular dan pada keadaan ini janin sukar
diraba;
6. Dapat ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi di samping bagian janin;
7. Denyut jantung janin negatif;
8. His berhenti;
9. Tanda-tanda adanya cairan bebas dalam kavum peritonii;
10. Pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam
jalan lahir. Kadang robekan dapat diraba, demikian pula usus pada rongga perut melalui
robekan
11. Pemeriksaan penunjang: laboratorium darah hemoglobin, hematokrit.
12. Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang semakin tipis dan teregang.
V. MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI
Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari
uterus. Sebab mekanisme karena uterus yang cacat mudah dimengerti, karena adanya
lokus minorus resistentiae (Krisnadi, 2004).
Anatomi uterus tidak hamil dan uterus hamil:
Pada umumnya uterus terbagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks uteri.
Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3cm) pada uterus yang tidak hamil. Bila kehamilan
sudah kira-kira kurang lebih 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari
ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR dari ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila
8
meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri
mengancam (RUM).
Rumus mekanisme terjadinya Ruptura Uteri:
R = H + O dimana R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan
serviks menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus
tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his
kuat), maka SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis-
lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi-
Ruptura Uteri.
Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan
serviks menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus
tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his
kuat), maka SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis-
lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi-
Ruptura Uteri.
VI. GEJALA RUPTURA UTERI MENGANCAM
1. Partus telah lama berlangsung
2. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.
3. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
4. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
5. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
6. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
7. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.
8. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.9. Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
9
teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang
penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan
tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
10. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang ke
atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi
ada hematuri.
11. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
12. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema
porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
(Krisnadi, 2004)
VII. PEMERIKSAAN FISIK PADA RUPTURA UTERI
Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptura uteri.
I. Anamnesis dan Inspeksi
1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat,
keluar keringat dingin sampai kolaps.
2. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
3. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
4. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur .
5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau
bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.
6. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.
7. Kontraksi uterus biasanya hilang.
8. Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.
II. Palpasi
1. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan
2. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.
3. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka
teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
10
4. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
III. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.
IV. Pemeriksaan Dalam.
1. Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat
didorong ke atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak.
2. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim
dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba
usus, omentum, dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam
kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang
tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus uteri.
V. Kateterisasi.
Hematuri hebat menandakan adanya robekan kandung kemih.
VIII. DIAGNOSA BANDING
1. Solusio plasenta
2. Plasenta Previa
3. Kehamilan Andominal(Okudaira, 2003).
IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi post operasi
2. Kerusakan ureter
3. Emboli cairan amnion
4. DIC
5. Kematian maternal
6. Kematian perinatal(Sherris, 2002).
11
X. PENATALAKSANAAN
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang mengalami
ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi
keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok
hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan
arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam
tindakan pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi dengan
cepat dan seksio sesarea atau laparatomi segera dimulai (Departemen Kesehatan RI,
2004). Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan
(Fadel, 1982). Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum
jadwal persalinan dimulai,asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu (Fadel,
1982).
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebi dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika
janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak
dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan
kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis
ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan
dalam uterus apakah ada ruptura uteri. Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan
penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang
sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir
luka harus rata seperti pada ruptura parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda
infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan
penderita dengan ruptura uteri.
Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat membantu
mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan kontraksi
miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi perdarahan
(Departemen Kesehatan RI, 2004).
KU jelek KU baik
12
SKEMA PENATALAKSANAAN RUPTUR UTERI
Ruptura uteri
Imminens Inkomplit Komplit
Kepala Kepala Tepi luka Luka compang- belum masuk sudah masuk lurus/baik camping
Janin hidup Janin mati Laparatomi histerorafi Ekstraksi forsep Embriotomi
Histerorafi Amputasi uteri/
histerektomi total
Bedah sesarea Cukup anak Tubektomi
13
X. PROGNOSIS
Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi janin
Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50% hingga
75%. Janin umumnya meninggal pada ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih hidup pada
saat peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin
adalah dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan adalah laparatomi. Kalau
tidak, keadaan hipoksia baik sebagai akibat terlepasnya plasenta maupun
hipovolemia maternal tidak akan terhindari. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan
wanita akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi
kemudian, kendati penyembuhan dapat terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus
yang luar biasa (Hanretty, 2003).
Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi
antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan
ruptura uteri yang hamil
14
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
\
A. Kesimpulan
Ruptur uteri pada seorang ibu hamil atau bersalin merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwa ibu dan janinya. Kematian ibu dan bayinya karena ruptur uteri masih tinggi terutama di negara berkembang .
Terjadinya ruptur uteri dapat di cegah dengan prenatal care , pimpinan partus yang baik , kecepatan merujuk dan penyediaan darah bagi ibu ruptur uteri.
B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan :a. Tenaga ksehatan hendaknya dapat memberikan pelayanan kesehatan mulai dari awal
kehamilan dan saat persalinan dengan baik untuk menghindari ruptura uteri.b. Tenaga kesehatan harus cepat dan tanggap dalam mengambil keputusan dalam
penatalaksanaan ruptura uteri.
2. Bagi ibu dan keluarga :a. Melakukan kunjungan ANC selama kehamilan.b. Bersalin di Nakesc. Segera datang ke tenaga kesehatan jika terdapat tanda – tanda bahaya pada
kehamilan dan tanda – tanda persalinan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.G, et al. 2004. Williams Obsetrics 22nd edition. NewYork. McGraw-Hill : 824-838.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta.Tridasa Printer : 5-16.
Fadel, H.E. 1982. Diagnosis and Management of ObstetricEmergencies. California. Addison-Wesley publishing company : 193-213.
Hanretty, K. Obstetrics illustrated 6th edition. 2003. Philadelphia. Churchill Livingstone : 285-290.
Krisnadi, S.R. 2004. Kesehatan Ibu dan Anak. ht t p: / /ww w .pik i r a n_r a k y a t.com/c e tak/1004/03 / k e s e h a tan.htm (Diakses 4 Maret 2014).
Okudaira, S, et al. 2003. Uterine Perforation Following Manual Removal of he Placenta. ht t p: / /ww w .nms. ac .jp / jn m s/ (diakses 4 Maret 2014).
Sherris, J. 2002. Managing Complication in Pregnancy and Childbirth.
ht t p: / /ww w .p a th.or g / r e sour ce s/pub_out l ook.htm (diakses 4 Maret 2014).