isi rjp fix

21
 BAB I DASAR TEORI 1.1 Kega watd aruratan Kegawa tdaru ratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan ya ng din ilai sebaga i ket erg ant ung an seseora ng dal am men erima tin dak an med is atau eva lua si tindak an ope rasi den gan sege ra. Ber das arkan def ini si te rs eb ut The American Coll ege of Emer ge ncy Physicians St ates dalam melaku kan penatalaksanaan kegawatdaruratan memi liki prinsi p awal dalam menge valua si, melak sanakan , dan meny ediakan terapi pada pasien -pasien dengan trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya (Stone Humphries, !!"# $en atal aks anaa n awal dal am kegawa tda rura tan mer upa kan apl ika si terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat ter%adinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan meng guna kan fasilit as atau  benda-benda yang tersedia saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diu%i sampai korban dipindahkan ke rumah sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia (Skeet, &''# $enatalaksanaan awal diberikan untuk ) *empertahankan hidup *encegah kondisi men%adi lebih buruk *eningkatkan pemulihan Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus ) *engka%i sesuatu *enentukan diagnosis untuk setiap korban *emb erikan penangana n yang cepat dan adekuat, mengingat  bahwa korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan  beberapa korban akan membutuhkan perhatian lebih daripada yang lain +idak menunda pengiriman korban ke umah Sakit sehubungan dengan kondisi serius 1

description

laporan rjp (resusitasi jantung paru)

Transcript of isi rjp fix

BAB I

DASAR TEORI

1.1 KegawatdaruratanKegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut The American College of Emergency Physicians States dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya (Stone Humphries, 2008)

Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas atau benda-benda yang tersedia saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke rumah sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia (Skeet, 1995)

Penatalaksanaan awal diberikan untuk :

Mempertahankan hidup

Mencegah kondisi menjadi lebih buruk

Meningkatkan pemulihan

Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :

Mengkaji sesuatu

Menentukan diagnosis untuk setiap korban

Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan membutuhkan perhatian lebih daripada yang lain

Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan kondisi serius

Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses in dikenal sebagai initial assessment (penilaian awal) yang meliputi (ATLS, 2004) :

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary Survey (ABCDE)4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

7. Tambahan terhadap secondary survey8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

9. Penanganan definitive1.2 Primary SurveyPenatalaksanaa awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :

A : Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spinecontrol)

B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C : Circulation, dengan control pendarahan (hemorrhage control)

D : Disability, status neurologisE : Exposure/environmental control, membuka baju penderita tetapi cegah hipotermia1.2.1 Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular dan maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan dan sebagian, atau progresif dan/aatau berulang.

Menurut ATLS 2004, kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway2. Ketidakmampuan membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih. Walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.

Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur- prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (inline immobilization) (ATLS, 2004) Teknik-teknik mempertahankan airway :

1. Head tilt Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).2. Chin lift Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).3. Jaw thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).

4. Oropharingeal Airway (OPA)

Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

Gambar 2.3. Oropharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill

Companies2006)

5. Nasopharingeal Airway Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

Gambar 2.4. Nasopharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill

Companies 2006).6. Airway definitif

Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):1. Adanya apnea

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara cara yang lain

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus

4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway 5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical. Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :

1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat.

2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.

3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

1.2.2 BreathingOksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007). Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012): 1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh 2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran) 3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut) 4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka 5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien 6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan 7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama) 8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa) 9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.

Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan- keadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012): a. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 12 L/menit b. Tension pneumotoraks: Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis c. Massive haemotoraks: Pemasangan Chest Tube d. Open pneumotoraks: Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type valveefect)

Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).1.2.3 CirculationPerdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004). a. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. b. Warna kulit Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. c. Nadi Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992): 1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol 2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol 3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol 4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol

Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (ATLS, 2004).

1.2.4 DisabilityMenjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008). AVPU, yaitu: A : Alert V : Respon to verbal P : Respon to pain U : Unrespon GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien. 1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita : a. Membuka mata spontan b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan) d. Tidak memberikan respon 2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita : a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi b. Disorientasi atau bingung c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya) e. Tidak memberikan respon 3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita : a. Melakukan gerakan sesuai perintah b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri d. Fleksi abnormal (decorticated) e. Ektensi abnormal (decerebrate) f. Tidak memberikan respon Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran) Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) : 1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak 2. Trauma pada sentral nervus sistem 3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol 4. Gangguan atau kelainan metabolic1.2.5 Exposure/environmental controlMerupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.1.3 Aspek Medikolegal dalam Pelayanan Kegawatdaruratan Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu: 1. Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat 2. Perubahan klinis yang mendadak 3. Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. 1.3.1 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan pelayanan Gawat Darurat Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU No.23/1992 tentang kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang persetujuan tindakan medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159/1988 tentang rumah sakit. Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang praktik kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan.

Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian layanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra- rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien (Herkutanto, 2007).

BAB II

HASIL PERCOBAANPERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Jelaskan mengapa mahasiswa fakultas kedokteran gigi memerlukan pengetahuan tentang BLS?

Pengetahuan tentang BLS ini sangat penting bagi mahasiswa kedokteran gigi karena mahasiswa kedokteran gigi merupakan calon orang yang bekerja dalam bidang kesehatan yang nantinya akan dihadapkan dengan pasien-pasien dengan masalah dan keluhan yang berbeda. Mereka dituntut untuk bisa menanganinya termasuk tindakan kegawatdaruratan seperti BLS pada korban tidak sadar guna memberikan pertolongan pertama

2. Apa yang anda lakukan apabila anda temukan gigi tiruan pasien anda tertelan?

Apabila terdapat pasien yang tidak sengaja menelan gigi tiruannya, maka langkah pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pembebasan jalan nafas dengan membuka rongga mulut dan mengambil gigi tiruan yang tertelan dengan metode jaw thrust. Namun apabila hal ini tidak dapat dilakukan, maka dapat melakukan metode Heimlich maneuver.3. Apa gunanya metode black blow di bidang kedokteran gigi?

Dalam bidang kedokteran gigi, metode black bow dilakukan apabila pasien yang masih anak-anak secara tidak sengaja menelan benda asing selama perawatan rongga mulut. Metode ini dilakukan sebanyak 5 kali dengan cara memukul menggunakan telapak tangan daerah di antara tulang scapula di punggung.

4. Apa gunanya metode Heimlich maneuver di bidang kedokteran gigi?

Metode Heimlich dalam bidang kedokteran gigi dilakukan apabila pasien yang merupakan orang dewasa tidak sengaja menelan benda asing ketika dilakukan perawatan di dalam rongga mulut sehingga mengganggu jalan nafas pasien.

5. Apa gunanya metode chest thrust di bidang kedokteran gigi?

Dalam bidang kedokteran gigi, metode chest thrust ini dilakukan apabila pasien yang merupakan ibu hamil secara tidak sengaja menelan benda asing ketika dilakukan perawatan pada area rongga mulut. Tertelannya benda asing ini dapat mengganggu jalannya nafas pasien sehingga harus dilakukan metode chest thrust ini untuk membebaskan jalan nafas pasien.6. Apa yang anda lakukan pada saat anda jumpai pasien anda mengalami pingsan setelah dilakukan anastesi? Jelaskan!

Apabila ada pasien yang tidak sadarkan diri akibat shock setelah dianastesi, hal pertama yang dilakukan adalah memeriksa tingkat kesadaran pasien dengan metode AV-PU. Kemudian memriksa jalan nafas pasien dengan metode look, listen, and feel.

BAB IIIPEMBAHASAN

Bidang Kedokteran Gigi merupakan salah satu bidang yang bekerja dalam ruang lingkup kesehatan. Sebagai mahasiswa kedokteran gigi yang nantinya harus menangani pasien dengan berbagai keluhan, mahasiswa kedokteran gigi harus benar-benar memiliki kemampuan untu menanganinya. Salah satunya adalah pengetahuan tentang BLS (basic life support). Pengetahuan tentang BLS ini sangat dibutuhkan ketika ditemukan pasien yang tidak sadarkan diri. Mahasiswa kedokteran gigi yang nantinya akan menjadi dokter harus bisa melakukan pertolongan pertama agar pasien dapat diselamatkan.

Contohnya adalah ketika ditemukan pasien yang tidak sengaja menelan gigi tiruannya. Gigi tiruan yang tertelan ini dapat menyumbat jalan nafas pasien. Apabila tidak segera ditangani, maka hal ini dapat membahayakan nyawa pasien. Maka dari itu dapat dilakukan beberapa metode untuk membebaskan jalan nafasnya. Yang pertama dapat dilakukan dengan cara mengambil gigi tiruan yang tertelan tersebut secara langsung dengan metode jaw thrust. Apabila tidak memungkinkan, maka dapat digunakan 3 metode yang lain yaitu back blow, Heimlich maneuver, atau chest thrust.Metode back blow dilakukan untuk membebaskan jalan nafas bagi pasien bayi dan anak-anak. Metode ini dilakukan sebanyak 5 kali dengan cara memukul menggunakan telapak tangan daerah di antara tulang scapula di punggung pasien.

Sedangkan untuk pasien yang telah dewasa, metode yang dapat dilakukan untuk membebaskan jalan nafas yang tersumbat yaitu dengan metode Heimlich maneuver ataupun chest thrust. Untuk chest thrust, metode ini digunakan sebagai upaya pembebasan jalan nafas untuck ibu hamil.Jika menjumpai pasien dianastesi kemudian tidak sadarkan diri, kita bisa memberikan PPDG dengan langkah awal pengkajian korban yang meliputi pernafasan dan peredaran darahnya. Jika pasien pingsan, yang diperiksa adalah pernafasannya melalui terangkatnya dada dengan metode Look, Listen and Feel. Hal lain yang perlu diperiksa yaitu pupil mata dan denyut nadi pada arteri carotis. Apabila korban tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran, maka segera dilakukan nafas buatan dan meminta orang lain untuk menghubungi Layanan Kedaruratan Medis (LKM).

BAB IV

KESIMPULAN

Pengetahuan tentang penanganan kegawatdaruratan sangat dibutuhkan oleh mahasiswa kedokteran gigi karena ketika nantinya telah menjadi dokter gigi, maka dituntut untuk bisa menangani pasien yang secara mendadak tidak sadarkan diri ataupun peristiwa kegawatdaruratan lain. Sehingga bisa dengan segera memberikan pertolongan pertama untuk menyelematkan jiwa pasien dengan tanggap.

DAFTAR PUSTAKADavey, Patrick.2005.At a Glance Medicine.Jakarta:ErlanggaGray, Huon dkk.2009.Lecture Notes : Kardiologi.Jakarta:Erlangga.Kartono,mohomad.1975.Pertolongan Pertama.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.Kozier&Erb.2009.Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Ed. 5.Jakarta:EGC

Kartono, Mohomad.1975.Pertolongan Pertama.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Purwoko, Susi.2007.Pertolongan Pertama dan RJP pada Anak Edisi 4.Jakarta:EGCRilantono, Lily.2004.Buku Ajar KARDILOLOGI.Jakarta:Gaya Baru22