Filsafat pendidikan

44
1 A. Filsafat Ilmu 1. Hakikat Filsafat a. Pengertian Filsafat Filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’, yang terdiri atas kata philein atau philia yang berarti cinta, dan sophia, yang berarti karifan. Selanjutnya, filsafat biasanya diartikan sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan (The Liang Gie,1977 dalam Suparlan, 2005). Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan arti dari filsafat secara umum yaitu berpikir secara mendalam, sistematis, menyeluruh dan kritis untuk memahami hakikat atau kebenaran segala sesuatu. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh Associate Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut. 1) Filsafat adalah berpikir secara kritis. 2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis. 3) Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut. 4) Filsafat adalah berpikir secara rasional. 5) Filsafat bersifat komprehensif. b. Objek Filsafat 1) Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. 2) Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada. c. Sistematika Filsafat Sebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang. 1) Aliran-aliran Filsafat Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme. 2) Cabang-cabang Filsafat Filsafat memiliki cabang-cabang yang cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst. 2. Hakikat Filsafat Ilmu a. Pengertian Filsafat Ilmu Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat disimpulkan definisi dari filsafat imu yaitu suatu bidang dari filsafat

description

filsafat pendidikan

Transcript of Filsafat pendidikan

Page 1: Filsafat pendidikan

1

A. Filsafat Ilmu1. Hakikat Filsafat

a. Pengertian FilsafatFilsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’, yang terdiri atas kata philein

atau philia yang berarti cinta, dan sophia, yang berarti karifan. Selanjutnya, filsafat biasanya diartikan sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan (The Liang Gie,1977 dalam Suparlan, 2005).

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan arti dari filsafat secara umum yaitu berpikir secara mendalam, sistematis, menyeluruh dan kritis untuk memahami hakikat atau kebenaran segala sesuatu. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.

Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh Associate Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut.1) Filsafat adalah berpikir secara kritis.2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.3) Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut.4) Filsafat adalah berpikir secara rasional.5) Filsafat bersifat komprehensif.

b. Objek Filsafat1) Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam

kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan.2) Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada.

c. Sistematika FilsafatSebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang

pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang.1) Aliran-aliran Filsafat

Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.

2) Cabang-cabang FilsafatFilsafat memiliki cabang-cabang yang cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.

2. Hakikat Filsafat Ilmua. Pengertian Filsafat Ilmu

Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat disimpulkan definisi dari filsafat imu yaitu suatu bidang dari filsafat yang mempelajari dan menelaah hakikat segala jenis, bentuk dan sifat suatu ilmu.

b. Karakteristik filsafat ilmuDari beberapa pendapat di atas dapat diidentifikasi karakteristik filsafat ilmu sebagai berikut.1) Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.2) Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

c. Objek filsafat ilmu1) Objek material filsafat ilmu adalah ilmu2) Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

d. Sebab Keberadaan Filsafat Ilmu Keberadaan filsafat ilmu ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

1. Faktor intern, dari dalam ilmu pengetahuan . Maksudnya adalah bahwa perkembangan pluralitas ilmu pengetahuan didasarkan pada sifat internal objek penyelidikan yang terdiri atas bagian-bagian. Setiap bagian, karena khusus,

Page 2: Filsafat pendidikan

2

mengandung kebenaran lebih objektif, pasti dan dapat dipercaya. Atas dorongan internal itu ilmu pengetahuan itu lahir dari filsafat dengan objek, metode, sistem dan kebenaran yang bersifat khusus.

2. Faktor ekstern, dari luar ilmu pengetahuan. Hal ini juga merupakan satu faktor kuat penyebab kelahirannya. Faktor ini berupa kenyataan bahwa laju perkembangan jumlah penduduk dunia sudah tidak berimbang lagi dengan ketersediaan sumber daya alam. Fakta ini mendorong diperlukannya pengetahuan khusus yang benar dan pasti dan bersifat praktis-teknis. Pengetahuan demikian memiliki kemampuan reproduktif untuk mengolah sumber daya alam sehingga dapat bermanfaat bagi usaha mencukupi kebutuhan hidup.

Filsafat hadir di tengah-tengah keanekaragaman ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berguna untuk meluruskan jalan dan menempatkan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi itu bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Sehingga dengan demikian, manusia bisa hidup romantis dengan diri sendiri, sesamanya, alam dan Sang Penciptanya. Dengan kondisi ini pula manusia bisa hidup adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

e. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu1) Bagi Mahasiswa

Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.

Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.

Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu diterapkan.

2). Bagi Ilmu Pengetahuan Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan

nilai ontologis. Dengan paradigma ontologis , diharapkan dapat mendorong pertumbuhan wawasan spiritual keilmuan yang mampu mengatasi bahaya sekularisme ilmu pengetahuan.

Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustsrian dalam batasan nilai epistemologis. Dengan paradigma epistemologs, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan wawasan intelektual keilmuan yang mampu membentuk sikap ilmiah.

Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan nilai etis. Dengan paradigma etis, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan perilaku adil yang mampu membentuk moral tanggung jawab, sehingga pemberdayaan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian semata-mata hanya untuk kelangsungan kehidupan yang adil dan berkebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipertanggungjawabkan bukan hanya bagi kepentingan subjek manusia saja, melainkan lebih daripada itu, demi kepentingan objek alam sebagai sumber kebutuhan kehidupan.

B. Sejarah Perkembangan Filsafat IlmuFilsafat berkembang atas dasar pemikiran kefilsafatan yang telah dibangun sejak

abad ke-6 SM. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan niali-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun. Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Metode filsafat adalah metode

Page 3: Filsafat pendidikan

3

bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Objek materinya adalah semua yang ada.

Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada Zaman Kontemporer.

PEMBAHASAN2.1. FILSAFAT

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; (philosophia). Dalam bahasa ini, kataΦιλοσοφία ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan. Ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli). Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

Arti filsafat secara umum yaitu berpikir secara mendalam, sistematis, menyeluruh dan kritis untuk memahami hakikat atau kebenaran segala sesuatu . Manusia sebagai mahluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi yaitu agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Sebagai mahluk yang dinamis Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.

Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam objek yang menjadi sasaran kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka. Dari fakta tersebut kebenaran itu berarti dapat didefinisikan berdasarkan dengan paradigma yang dipakai. Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Pada dasarnya setiap proses mengetahui akan memunculkan suatu bentuk kebenaran sebagai kandungan isi pengetahuan itu. Akan tetapi setiap kebenaran pada saat pembuktiannya harus kembali pada status ontologis objek, sikap epistimologis dan akhirnya dengan sikap aksiologis yang bagaimana. Dengan demikian muculah begitu banyak teori kebenaran.  

2.2. Proses untuk Memperoleh Kebenaran Ilmu ditinjau dari Aspek Filsafat1. Know (Tahu)

Dalam struktur dasar kegiatan manusia mengetahui ( to know) mengetahui secara umum dapat dibedakan adanya 3 tahap ( Sudarminta 2002; 65) :

a. Tahap pengalaman keindraan yaitu tahap ketika obyek tersaji sebagai subjek melalui pengindraan,persepsi, imajinasi dan ingatan.

Page 4: Filsafat pendidikan

4

b. Tahap pemahaman, yaitu tahap ketika fikiran berusaha memahami atau mengerti dengan mengonseptualisasikan pola dan struktur keterpahaman yang imanen pada obyek tersaji pada tahap pertama.

c. Tahap pertimbangan dan penegasan keputusan, tahap ini tahap puncak mengandaikan dua tahap sebelumnya, dalam tajhap ketiga ini fikiran berusaha membuat penegasan putusan. Tahapan ini merupakan tahap ketika penalaran atas pengalaman dan pemahaman atasnya terjadi.

Tiga tahap ini membentuk struktur yang tak berubah berlaku dalam berbagai bentuk atau cara manusia mengetahui.

2. The Knower (Peneliti)Kemampuan manusia untuk mengetahui, merasakan,dan mencapai apa yang

dirasakan. Manusia yang ingin mencari pengetahuan dan memiliki pengetahuan berdasarkan pada kesadaran. Knower juga kemampuan manusia yang kreatif untuk mengetahui alam semesta.

Ada 3 jenis kemampuan mengetahui, yaitu :a. Kemampuan kognitif atau cipta : ialah kemampuan untuk mengerti, memahami dan

mengingat apa yang diketahui. Landasan kognitif adalah rasio dan akal yang pada hakekatnya bersifat netral.

b. Kemampuan efektif atau kemampuan rasa yaitu Kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahui dan selalu memihak, rasa inilah yang menghubungkan serta menjadi sumber kreatifitas manusia.

c. Kemampuan onatif atau kemampuan karsa atau psikomotorik, yaitu kemampuan untuk mencapaia apa yang dirasakan atau kekuatan gerak sebagaimana yang didiktekan oleh rasa. rasalah yang akhirnya memutuskan.

Hal – hal yang harus dimiliki Knower Seorang knower atau peneliti  sesungguhnya memiliki tanggung jawab dalam

mengembangkan ilmunya yang untuk itu setiap peneliti (knower) harus memiliki sikap tertentu dalam mendukung proses pengembangann keilmuan tersebut. Sikap-sikap tersebut adalah :

1.      Tanggungjawab ilmiah.Setiap peneliti (knower) harus memiliki tanggungjawab ilmiah, baik terhadap ilmu

pengetahuan yang dikuasainya juga terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Tanggung jawab ilmiah ini akan mendorong peneliti (knower) untuk berkerja secara profesional dalam tugas sebagai peneliti sebab hasil penelitian tersebut berguna bagi pengembangan pengetahuan.

Jika rasa tanggung jawab ilmiah ini tidak ada, maka penelitian yang dilakukan akan sembarangan, tidak profesional tanpa kesadaran bahwa penelitian tersebut berguna bagi perkembangan pengetahuan.

2.      Sikap ObjektifPeneliti (knower) menghindari sikap subjektif yang tentunya akan mempengaruhi

kevalidan hasil penelitian. Sikap objektif adalah menerima dan mengungkap sebuah fenomena apa adanya, tanpa adanya nilai, perasaan, emosi, kesenangan, atau kepentingan-kepentingan tertentu yang mempengaruhinya.

3.      Sikap JujurSejalan dengan sikap objektif, maka peneliti (knower) haruslah memiliki sikap jujur

dalam setiap tahapan proses penelitian sampai pada pengungkapan/publikasi hasil penelitian. Apapun yang ditemukan pada penelitian haruslah diungkap secara jujur dan tidak tunduk pada kepentingan-kepentingan tertentu.

4.      Sikap BeraniSikap jujur harus dibarengi dengan sikap berani dalam mengungkapkan segala fakta

atau kesimpulan penelitian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan pada penelitian.5.      Sikap RelatifSikap relatif ini penting bagi peneliti (knower) untuk menjaga objektifitas

penelitian. Kenyataan apa adanya penting bagi penelitian, maka jika ditemukan kenyataan yang berbeda dengan apa yang diyakini atau tidak sesuai dengan pendapat peneliti (knower) maka peneliti harus melepaskan pendapatnya. Sehingga penelitian tidak diarahkan pada arah tertentu sesuai dengan pendapat yang diyakini oleh peneliti.

6.      Sikap Skeptik

Page 5: Filsafat pendidikan

5

Sikap ragu sesungguhnya mendorong peneliti untuk betul-betul menguji segala apa yang didapat atau ditemukannya dalam penelitian. Peneliti tidak boleh dengan mudah percaya dengan info atau data yang diterima, sebab bisa jadi info atau data yang diterima bukan info atau data yang sebenarnya.

7.      Sikap tidak memihak pada nilai tertentu (bebas nilai)Sikap ini lebih pada untuk menghindari peneliti untuk menghakimi, menilai,

memutuskan atau menyimpulan hasil penelitian berdasarkan nilai atau keyakinan yang dianutnya. Pada saat penelitian, peneliti harus mengungkap fakta apa ada, kemudian ada penilian terhadap hasil penelitian tersebut seharusnya tidak dilakukan pada saat penelitian akan tetapi setelah penelitian tersebut disimpulkan atau ditemukan fakta yang sebenar-benarnya.

8.      Kecerdasan EmosionalPeneliti harus mempu mengendalikan dan mengantur emosi, perasaan sehingga

tidak mempengaruhi proses penelitian baik dalam pengambilan data maupun proses analisis data untuk mengambil kesimpulan.

9.      Penguasaan Metode PenelitianPenelitian yang valid tentunya didasarkan pada metode penelitian yang tepat.

Untuk itu seorang peneliti (Knower) haruslah menguasai metodologi penelitian sehingga bisa menentukan dan memilih metedo penelitian yang tepat dalam proses penelitian.

10.  Sabar, sederhana dan telitiSikap-sikap diatas adalah sikap yang sangat dibutuhkan oleh seorang peneliti dalam

proses penelitian, sebab sikap-sikap tersebut akan mendukung suksesnya proses peneltian.

3. Knowing Sesuatu yang dapat diindrai (pengalaman), mampu tentang berpikir atau nalar

secara sadar apa yang dipikirkan melalui pengalaman indra, atau di luar indra, jadi knowing adalah Proses nalar atau berfikir. Kesadaran adalah landasan untuk berfikir baik tentang segala sesuatu yang tidak dapat diindrai .

4. Knowledge (Pengetahuan)Pengetahuan diperoleh dari hasil nalar berhubungan dengan kepercayaan, realitas

dan solidaritas dari dunia eksternal. Pengetahuan adalah hasil mengetahui dari knowing. Jadi pengetahuan atau knowledge di kembangkan untuk pengetahuan manusia.

Pengertian Pengetahuan Menurut Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang

diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,), Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga

Page 6: Filsafat pendidikan

6

dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H Titus).

Pengetahuan juga merupakan hasil proses dalam usaha manusia untuk tahu tentang sesuatu obyek melalui rasio, pengalaman (rasa,pengamatan,atau segala sesuatu yang kita ketahui melalui pancaindra merupakan alat yang paling penting dalam memperoleh pengetahuan.

Asal Usul Pengetahuan Asal usul pengetahuan termasug hal yang sangat penting dalam epistemology.

Untuk mendapatkan darimana pengetahuan itu muncul (berasal) bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan, dan bisa dengan cara metode ilmiah, serta dari sarana berpikir ilmiah.

a. RasionalPengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal (rasio) adalah

suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan “penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan spiritual. Tokoh-tokoh paham rasionalisme yaitu : Agustinus,Johanes Scotus, Avicena, Rene Descrates, Spinoza, Leibniz, Fichte, Hegel, Plato, Galileo, Leonardo da Vinci.

b. EmperikalTak diragukan bahwa indra-indra lahiriah manusia merupakan alat dan sumber

pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara partikular. Misalnya seorang yang kehilangan indra penglihatannya maka dia tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk sesuatu yang fisikal, dan lebih jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu konsepsi universal tentang warna dan bentuk. Begitu pula orang yang tidak memiliki kekuatan mendengar maka dapat dipastikan bahwa dia tidak mampu mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara dan bunyi dalam pikirannya. Atas dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.

Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal dan material yang tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak langsung, berada di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan pikiran kita secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh pemahaman-pemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali tidak mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang hanya memiliki potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan gambar. Dan aktivitas persepsi pikiran dimulai dari indra-indra lahiriah.

Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian rupa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan? Filosof Ilahi, Mulla Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan makrifat yang dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra lahiriahnya. Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi manusia dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah berkumpulnya

Page 7: Filsafat pendidikan

7

konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial tak mempu menggambarkan objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut. Tokoh-tokoh paham Empirisme yaitu : John Locke, Berkeley, David Hume, Gothe, August Comte.

c. FenomenalPaham ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman. Dia berusaha

mendamaikan pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, pengetahuan hanya bisa terjadi oleh kerjasama antara pengalaman indra dan akal budi, dan tidak mungkin yang satu bekerja tanpa yang lain. Indra hanya memberikan data yakni warna, cita-rasa, bau, dan lain-lain. Untuk memperoleh pengetahuan, kita harus keluar atau menembus pengalaman, pengetahuan terjadi dengan menghubung-hubungkan, dan ini dilakukan oleh rasio (akal).

d. Metode IlmiahIni digunakan oleh para ilmuwan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu. Metode Ilmiah terdiri dari :

1. Pengamatan / pengalaman yang digunakan sebagai dasar untuk merumuskan masalah.2. Hipotesa, untuk penyelesaian yang berupa saran. Ini bersifat sementara dan perlu

diverifikasi lebih lanjut. Dalam hipotesa, kebenaran masih bersifat probalitas. Kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman, mencari suatu bentuk untuk menyusun fakta-fakta dalam kerangka tertentu. Hipotesa dilakukan melalui penalaran induksi, dan memuat kalkulasi dan deduksi.

3. Eksperimentasi, merupakan kajian terhadap hipotesa. Hipotesa yang kebenarannya dapat dibuktikan dan diperkuat dinamakan hukum, sedangkan di atas hokum terdapat teori.

Ada 4 macam pengetahuan yang dimiliki manusia : a. Pengetahuan biasa (common sense), dua bentuk dasar yang berbeda:

Pengetahuan yang patut digunakan atau diterapkan dalam menjawab kebutuhan praktis pengetahuan. Pengetahuan ini disebut pengetahuan non ilmiah dimana tidak mengggunakan cara-cara ilmiah diperoleh melalui hasil pemahaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.

b. FilsafatFilsafat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang radikal, tajam dan menukik

terhadap setiap persoalan. dalam mencari kebenaranpun hanya menggunakan akal semata sehingga kebenarannya merupakan kebenaran rasionalisme yang tentunya bersifat relatif atau nisbi.

c. Ilmu pengetahuanIlmu merupakan hasil dari penelitian yang dibuktikan dengan kegiatan ilmiah

melalui tahap pengujian,pembuktian, dan penyesuaian fakta yang terjadi. kebenarannya diperoleh pandangan manusia terhadap realita. sehingga kebenarannya bersifat empiris dan masih relative atau nisbi.

d. Pengetahuan agamaAgama merupakan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu (agama samawi) yang

bersifat intuisi serta rohani, kebenarannya bersifat mutlak atau hakiki.

Prosedur memperoleh ilmu pengetahuan Karena rasa ingin tahu manusia yang besar dalam mengamati sesuatu. Melalui

pengamatan, melalui rasio dan rasa manusia memperoleh kebenaran sesuatu pada tingkatan pengalamannya, sehingga ia memperoleh pengetahuan tentang kebenaran suatu teori hasil dari penelitian yang berulang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu tidak sama dengan ilmu pengetahuan, pengetahuan adalah segala sesuatu yang didapat dari pancaindra kita, pengetahuan disini disebut pengetahuan biasa yang merupakan sumber pengetahuan,pengetahuan mencakup apa yang kita ketahui tentang suatu obyek.

Kegiatan memperoleh pengetahuan ( intektual activity) Kegiatan untuk memperoleh pengetahuan atau intelectual activity adalah proses

kegiatan manusia sejak manusia ada walaupun hidup secara nomaden, manusia telah mengamati lingkungannya serta memanfaatkan lingkungannya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Dengan proses pengamatan dan pemilahan itu manusia

Page 8: Filsafat pendidikan

8

memilih gejala mana yang cocok dijadikan percobaan dalam upaya menguji kecocokan gejala-gejala itu dengan pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya.

Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya ata melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalman batin. Adapun pengetahuan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Abbas Hamami M.,1982,hlm .11)

Beberapa alat yang digunakan untuk mengetahui terjadinya suatu pengetahuan adalah :

1. InderaIndera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar

kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.

Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.

Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

2. AkalAkal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam

kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.

Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.

3. Hati atau Intuisi

Page 9: Filsafat pendidikan

9

Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.

Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.

Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.

Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.

Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.

4. WahyuSebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber

ilmu, Karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa

BAB IIIKESIMPULAN

Page 10: Filsafat pendidikan

10

Proses untuk Memperoleh Kebenaran Ilmu ditinjau dari Aspek Filsafat1. Know-Tahu

Dalam struktur dasar kegiatan manusia mengetahui ( to know)2. The Knower

Kemampuan manusia untuk mengetahui, merasakan,dan mencapai apa yang dirasakan. Manusia yang ingin mencari pengetahuan dan memiliki pengetahuan berdasarkan pada kesadaran. Knower juga kemampuan manusia yang kreatif untuk mengetahui alam semesta.

3. Knowing Sesuatu yang dapat diindrai (pengalaman), mampu tentang berpikir atau nalar secara sadar Apa yang dipikirkan melalui pengalaman indra,atau di luar indra, jadi knowing adalah Proses nalar atau berfikir. Kesadaran adalah landasan untuk berfikir baik tentang segala sesuatu yang tidak dapat diindrai .

4. Knowledge Pengetahuan diperoleh dari hasil nalar berhubungan dengan kepercayaan, realitas dan solidaritas dari dunia eksternal. Pengetahuan adalah hasil mengetahui dari knowing. Jadi pengetahuan atau knowledge di kembangkan untuk pengetahuan manusia.

2.1Ontologi, Epistemologi, dan AksiologiKetika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan tercakup pula

telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan.

Telaah yang kedua dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.

Telaah ketiga dari segi aksiologi yaitu terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Berikut ini digambarkan batasan ruang lingkup atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

2.1.1 OntologiOntologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari

Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis yang terkenal diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan

a. Pengertian OntologiMenurut Bahasa: Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos = being atau ada, dan logos = logic atau ilmu.

Jadi, ontologi bisa diartikan :The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau Ilmu tentang yang ada.

Menurut istilah: Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar,2004). b. Term ontologi

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679-1754M) membagi Metafisika menjadi 2 yaitu :

1) Metafisika Umum : Ontologi Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.

2) Metafisika Khusus : Kosmologi, Psikologi, Teologi

Page 11: Filsafat pendidikan

11

c. Paham–paham dalam Ontologi Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-aliran

pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnotisisme. 1) Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :

Materialisme Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Selanjutnya ada Anaximander, yang mengatakan: Segala Sesuatu muncul dari Aperion atau yang tak terbatas. Lalu ada Demokritos yang menyatakan: Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupakan asal kejadian alam.

Idealisme Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita, spiritualisme berarti serba ruh.Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.Tokoh aliran ini diantaranya :- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam

mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.- Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang

menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.

- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.

- Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).

2) DualismeAliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).

3) PluralismePaham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya

4) NihilismeNihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui, Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.

5) Agnotisisme

Page 12: Filsafat pendidikan

12

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya know. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar (1813-1855 M), dan Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis (Bagus, 2007).

2.1.2 EpistemologiDalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat.

Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.

Ketika kita membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.

a. Pengertian EpistemologiPada abad 19, istilah epistemologi pertama dipergunakan oleh L.E.Ferier di Institut of

Metaphisics (1854), didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta kenyataan umum dari keharusan pengetahuan sebenarnya.

Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).b. Ruang Lingkup Epistemologi

Ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.c. Objek dan Tujuan Epistemologi

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah semua-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (semua yang ada).

Objek epistemologi berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Tujuan epistemologi ialah bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, “apakah saya dapat tahu?”, tetapi untuk menemukan “syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu?”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang

Page 13: Filsafat pendidikan

13

diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).

Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.

Menurut Ahmad Tafsir (2004:5) landasan epistemologi dalam memperoleh pengetahuan adalah Metode Ilmiah. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.

2.1.3 AksiologiAksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani  yang berarti nilai dan

logos yang berarti teori. Dengan demikian maka  aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang  melahirkan etika;  Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan,  Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembanganya melahirkan sebuah polemic tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bias disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai, telah berimplikasi pada kemajuan perkembangan ilmu  akan lebih cepat terjadi. Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. Karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maupun dalam ilmu maka muncullah dua penilain yang sering digunakan yaitu etika dan estetikaDari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus diaksikan dan harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.

BAB IIPOKOK PEMBAHASAN

2.1 Penalaran Induktif dan Deduktif2.1.1 Pengertian Penalaran

Menurut Tim Balai Pustaka (dalam Shofiah, 2007:14) istilah penalaran mengandung tiga pengertian, diantaranya:

1. Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berpikir logis.2. Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan

perasaan atau pengalaman.3. Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari beberapa

fakta atau prinsip.Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera

(pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan kata lain hal ini sering disebut dengan istilah penalaran.

Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).

Page 14: Filsafat pendidikan

14

2.1.2 Konsep dan Simbol Dalam PenalaranPenalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya

diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.

Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.

2.1.3 Syarat-Syarat Kebenaran Dalam PenalaranJika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan

kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.: Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu

yang memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua

premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.

2.1.4 Jenis-Jenis PenalaranDalam penalaran untuk mencapai kebenaran ilmiah terdapat dua jenis cara

penarikan kesimpulan, yaitu:2.1.4.1 Penalaran Induktif

Menurut Shurter dan Pierce (dalam Shofiah, 2007: 14) penalaran induktif adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat khusus.

Lalu menurut Suriasumantri (dalam Shofiah, 2007: 15) penalaran induktif adalah suatu proses berpikir yang berupa penarikan kesimpulan yang umum atau dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus. Artinya,dari fakta-fakta yang ada dapat ditarik suatu kesimpulan.

Kesimpulan umum yang diperoleh melalui suatu penalaran induktif ini bukan merupakan bukti. Hal tersebut dikarenakan aturan umum yang diperoleh dari pemeriksaan beberapa contoh khusus yang benar, belum tentu berlaku untuk semua kasus.

Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk manarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta – fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut Induksi. Penalaran induktif tekait dengan empirisme. Secara impirisme, ilmu memisahkan antara semua pengetahuan yang sesuai fakta dan yang tidak. Sebelum teruji secara empiris, semua penjelasan yang diajukan hanyalah bersifat sentara. Penalaran induktif ini berpangkal pada empiris untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori atau kaedah yang berlaku umum. Contoh penalaran induktif: Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Babi berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Ikan paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Kesimpulan: semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. 

Macam-macam Penalaran InduktifAda 3 jenis penalaran induktif:a. Generalisasi

Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diminati generalisasi mencakup ciri – ciri esensial, bukan rincian. Dalam pengembangan karangan, generalisasi dibuktikan dengan fakta, contoh, data statistik, dan lain-lain.

Macam – macam generalisasi: • Generalisasi sempurna

Page 15: Filsafat pendidikan

15

Generalisasi ini disebut juga generalisasi tanpa loncatan induktif, yaitu seluruh fakta yang ada di dalam fenomena yang dijadikan sebuah kesimpulan berdasarkan penyelidikan yang terjadi. Contoh : setiap 1 bulan pada tahun masehi tidak ada yang jumlah harinya lebih dari 31 hari.

• Generalisasi tidak sempurna Generalisasi ini disebut generalisasi dengan loncatan induktif, yaitu generalisasi

yang kesimpulannya diambil dari sebagian fakta dari suatu fenomena yang berlaku pada fenomena sejenis yang belum diselidiki. Contoh: kita menyelidiki sebagian masyarakat Indonesia yang ramah, lalu kita membuat sebuah kesimpulan bahwa semua rakyat Indonesia adalah masyarakat yang ramah.

b. AnalogiAnalogi adalah suatu bentuk metode penalaran induktif untuk menarik kesimpulan

tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat penting yang bersamaan. Tujuan dari analogi adalah

- Meramalkan persamaan- Mengadakan klasifikasi- Menyingkap kekeliruan

c. Hubungan Kausal Hubungan kausal merupakan penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang

saling berhubungan.Macam hubungan kausal :1. Sebab- akibat >> Ibu Lina lupa mematikan kompor mengakibatkan kebakaran.2. Akibat – Sebab >>Ali dimarahi oleh ayahnya karena lupa mengunci pintu.3. Akibat – Akibat >> Suzy melihat jalanan terendam air. Sehingga Suzy

beranggapan rumahnya kebanjiran.

2.1.4.2 Penalaran DeduktifMenurut Shurter dan Pierce (dalam Shofiah, 2007 : 14) Penalaran deduktif adalah

cara menarik kesimpulan khusus dari hal-hal yang bersifat umum.Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk manarik kesimpulan berupa

prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-hal umum, menuju kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah, proses pembentukan kesimpulan deduktif tersebut dapat dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal-hal yang kongkrit. 

Contoh penalaran deduktif: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah

kesuksesan   (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status social.

Penalaran deduktif merupakan kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikkan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme ini disebut sebagai premis yang kemudian dibedakan menjadi :

1. Premis mayor2. Premis minor

Contoh:Mamalia adalah makhluk hidup yang berkembang biak dengan cara melahirkan (premis mayor)Sapi adalah mamalia (premis minor)Jadi sapi berkembang biak dengan cara melahirkan (kesimpulan)

Kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar dan sebaliknya.

Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yaitu:

Page 16: Filsafat pendidikan

16

1) Kebenaran premis mayor2) Kebenaran premis minor3) Keabsahan penarikan kesimpulan

Apabila salah satu dari ketiga unsur itu persyaratannya tidak terpenuhi dapat dipastikan kesimpulan yang ditariknya akan salah.Macam-macam penalaran deduktif diantaranya : a. Silogisme 

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 3 buah pendapat, yang terdiri dari 2 pendapat dan 1 kesimpulan. Silogisme juga merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X”Silogisme Katagorik

Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).Silogisme Hipotetik

Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.

Silogisme Disyungtif Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disyungtif

sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya.

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 3 buah pendapat, yang terdiri dari 2 pendapat dan 1 kesimpulan. Contoh Silogisme: Semua manusia akan matiAmin adalah manusiaJadi, Amin akan mati (konklusi / kesimpulan)b. Entimen 

Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung. Dan dapat dikatakan pula silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui. Contoh Entimen: Proses fotosintesis memerlukan sinar matahariPada malam hari tidak ada matahariPada malam hari tidak mungkin ada proses fotosintesis

2.2 Teori Kebenaran2.2.1 Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu

Page 17: Filsafat pendidikan

17

bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.

Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).

Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.

Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.

Berdardasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

1. Tingkatan kebenaran indera, adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia

2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan di samping melalui indera, diolah pula dengan rasio

3. Tingkatan filosofi, rasio dan piker murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya

4. Tingkat religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan

Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Ukuran Kebenarannya :- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran

Page 18: Filsafat pendidikan

18

- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaranJenis-jenis Kebenaran :1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

2.2.2 Hubungan antara Metode dengan KebenaranKebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran

tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.

Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.

Setiap tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :1.      Empirisme

Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka memberi  peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.

Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Disamping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia

Page 19: Filsafat pendidikan

19

harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.2.      Rasionalisme

Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.

Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.3.      Induktivisme

Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.

2.2.3 Teori-Teori KebenaranIlmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran

ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang dapat kita sebut sebagai ilmu pengetahuan.

Di dalam pemikiran epistemologi terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.

Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk

Page 20: Filsafat pendidikan

20

memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.

Sebagaimana dikemukakan seorang filosof abad XX Jusfers yang dikutip oleh haneisme 1985 mengemukakan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan teori sebelum-sebelumnya karena teori kebenaran itu selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangun sebelum-sebelumnya. Berikut ini adalah teori-teori kebenaran yang telah terlembaga antara lain :

1. Teori Kebenaran Korespondensi ( The Corespondence Theory of Truth  )Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara

luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.

Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.

Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.

Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

1. Statement (pernyataan)2. Persesuaian (agreemant)3. Situasi (situation)

Page 21: Filsafat pendidikan

21

4. Kenyataan (realitas)5. Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.

2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (The Coherence Theory of Truth)Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat

koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.

Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.

3. Teori Pragmatik ( The Pragmatic Theory of Truth )Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah

makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan, Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan , yaitu :

Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.

Page 22: Filsafat pendidikan

22

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally).

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.

Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :o   Sesuai dengan keinginan dan tujuano   Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimeno   Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

4. Teori Performatif (The Performatif Theory of Truth)           Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau  pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI

Page 23: Filsafat pendidikan

23

mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil, dan sebagainya.            Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebiasaan ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran

5. Teori Struktural (The Structural Theory of Truth)          Teori ini menyatakan bawa suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas imuwan yang mengakui atau  mendukung paradigm tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Paradigma adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.         Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bias melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Fungsi dari paradigma adalah sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum yang tidak tertulis. Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan secara berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi diantara dua paradigma yang bersaingan dalam merebutkan kesetiaan masyarakat sains. Teori baru yang menang, akan mengalami verifikasi.       Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relative suatu paradigma dalam memecahkan masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual teori instrument dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan dengan pemecahan berbagai masalah.

6. Teori Kebenaran SemantikKebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam

hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea)  si pemilik pengetahuan.

Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.

Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti

Page 24: Filsafat pendidikan

24

apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.

Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.

Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis  skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.   

7. Teori Kebenaran Non-DeskripsiTeori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat

fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa  “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.

Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.

8. Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum  logika positivistik yang di awali

oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan

Page 25: Filsafat pendidikan

25

apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).  

Positivism berpendapat ada 5 prinsip dasar dalam mencari kebenaran:a) Asumsi ontologis;b) Asumsi epistemologis;c) Asumsi keterlepasan pengamatan dari waktu ke konteks;d) Asumsi kausalitas linier;e) Asumsi aksiologis tentang bebas nilai.

9. Teori Kebenaran KonsensiusTeori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori

ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.

Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara

seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan,

membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni

mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; dan,

(4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.

Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.

10. Teori Kebenaran OtoritarianisBertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan

bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “Saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek mengetahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal

Page 26: Filsafat pendidikan

26

(struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya - walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.

2.2.4 Standarisasi IlmuBeberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada

relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.

Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.

Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda.

2.2.5 Sifat Kebenaran IlmuKebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati

secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.

1.       EvolusionismeSuatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus

hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.

Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama

Page 27: Filsafat pendidikan

27

maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.

Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.

2.      FalsifikasionisPopper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia

berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.

Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya (Taryadi, 1989: 75).

3.      RelativismeRelativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relatif dilihat

dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.

Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

4.      ObjektivismeApa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan

adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang digabungkan dengan unsur persetujuan.

Page 28: Filsafat pendidikan

28

BAB IIIPENUTUP

3.1 SimpulanSetelah kita mempelajari teknik penalaran ini, kami dapat memahami konsep dari

penalaran yaitu yang bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah, dan mengetahui jenis- jenis penalaran.

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penalaran dalam prosesnya ada 2 macam yaitu penalaran Deduktif dan penalaran Induktif. Penalaran Deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Penalaran Induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.

Di dalam pemikiran epistemologi terdapat pengelompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasarkan pada sifat terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 10 paham atau bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.

Seorang yang mempelajari ilmu filsafat ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.. LOGICO-HYPOTHETICO-VERIFIKASI

Di atas telah dinyatakan, kegiatan penelitian (yang benar) sebagai kegiatan ilmiah selalu menggunakan metode ilmiah yangmerupakan gabungan dari logika deduktif-rasional dan logika induktif-empirik, dan metode ilmiah itu sendiri dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verifikasi atau perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Penelitian dengan logika verifikasi hipotesis umumnya penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, dan kebanyakan digunakan dalam penelitian-penelitian kuantitatif. Dalam penelitian dengan logika verifikasi hipotesis, sudah pasti melibatkan logika atau cara berfikir yang sahih baik logika dedukatif maupun logika induktif, keduanya digunakan secara silih-berganti, iteratif, dalam kerangka berfikir ilmiah (berfikir dengan menggunakan metode ilmiah).

Dalam penelitian kuantitatif, setidaknya dikenal 4 logika yaitu: logika induktif probabilistik, logika deduktif probabilistik, logika paradigmatik uji inferensi, dan inferensi logik kuantitatif. Logika induktif probabilistik digunakan dalam logika matematik paradigma positivisme. Dalam kaitan ini untuk menguji validitas teori atas data empirik digunakan uji verifikasi. Inferensi yang valid adalah inferensi yang didasarkan pada relasi transitif. Proposisi dalam logika matematik disusun berdasarkan proiposisi yang menyatakan adanya relasi antar jenis. Relasi X dan Y adalah simbol dari relasi jenis X dan jenis Y. Relasinya dapat disajikan dalam persamaan kuadratik, persamaan kubik, atau persamaan linier. Konstruk proposisi dalam logika ini adalah silogisme inferensi.

Logika deduktif probabilistik merupakan ragam kedua dari penelitian yang menggunakan paradigma kuantitatif. Logika ini digunakan oleh Realisme Baru. Realisme menuntut pembuktian kebenaran yang didukung oleh teori dan empiri, knowing dan being. Eksistensi keduanya harus saling mendukung. Realisme Baru menuntut adanya "teori terkonstruk" (Thomas Kuhn, Lakatos, Laudan) dan "empiri terkonstruk" (Hacking).

Page 29: Filsafat pendidikan

29

Ragam ketiga dari logika penelitian adalah logika paradigmatik: uji inferensi logik kuantitatif. Untuk dapat menggunakan logika ini sebagai alat membuat inferensi dapat dilakukan dengan cara: Kita membangun konseptualisasi teoretik yang open ended(meberi peluang koreksi atau pengembangan) yang ditata atas skema atau paradigma pemikiran kita. Bangunan konseptualisasi itu sebagian bisa menggunakan tata berfikir linier-inferensial, thermostatik, holografik, dan sebagainya.

Logika penelitian yang keempat adalah inferensi logik kuantitatif. dalam kerangka ini, untuk analisis parametrik dituntut pemenuhan beberapa asumsi atau persyaratan misalnya sampel harus diambil secara random, distribusi data harus normal, linier, homogen. Ini berlaku misalnya dalam analisis regresi, korelasi ganda, analisis varian. Dalam kaitan itu, instrumen pengumpul datanya harus memiliki validitas (terutama validitas konstrak) dan reliabilitas yang memadai. Model uji inferensi dengan logika kuantitatif tepat digunakan jika peneliti menggunakan paradigma positivistik, lebih jauh lagi jika menggunakan paradigma lainnya seperti postpositivistik rasionalistik, realisme baru, atau logika quantum.

Kembali kepada hakikat penelitian sebagai kegiatan ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dengan logika iteratif, di mana antara deduktif dana induktif digunakan silih berganti, maka sesungguhnya logika verifikasi hipoetsis itu juga menggunakan logikaiteratif. Ketika menurunkan hipotesis untuk diuji, konstruk teori harus dibangun kuat sehingga turunan ke rumusan hipotesis benar-benar siap uji secara verifikatif dengan harapan hasil uji hipotesis dapat memperkuat bangunan konstruk teori. Untuk ini, ketika proses uji hipotesis maka diperlukan konstruk empirik yang kuat dalam arti diperlukan data-data yang objektif, valid dan reliabel sehingga mendukung proses pengujian hipotesis. Kerja penelitian dengan cara membangun konstruk teori hingga penurunan hipotesis merupakan cara kerja deduktif (meski dalam membangun tata berfikir teoretik bisa saja menggunakan logika deduktif-induktif), sedangkan cara kerja membangun konstruk empirik yang kemudian digunakan untuk uji hipotesis merupakan cara kerja induktif verifikatif. Dengan demikian, logika hipotesis verifikasi adalah logika keilmuan (ilmiah) yang iteratif yakni melibatkan logika deduktif-induktif. Dalam konteks uji hipotesis tentu paradigma kuantitatif yang dipilih. Untuk ini analisis data selalu melibatkan analisis statistik guna uji hipotesis. Karena itu penelitian yang melibatkan hipotesis adalah penelitian kuantitatif dengan melibatkan statistik. Uji hipotesis itu sendiri sering disebut uji statistik. Hipotesisnya bisa berupa hipotesis deskriptif (univariat), hipotesis korelasional, atau hipotesis komparasional.

Uji hipotesis adalah uji statistik artinya hipotesis diuji dengan teknik analsisis statistik (statistik itu sendiri adalah ukuran sampel atau menurut Djemari Mardapi disebut deskripsi numerik tentang sampel, karena itu uji statistik hanya ada dalam penelitian sampel yang hendak menguji ukuran populasi yang namanya parameter). Hasil ujinya, jika hipotesis nol (yang diuji dalam uji statistik) ditolak secara signifikan kesimpulan dan pemaknaan kemudian adalah generalisasi dari sampel ke populasi dan verifikasi teori dengan pernyataan bahwa konstruk teori yang dibangun benar adanya dan terdukung oleh konstruk empirik. Kekuatan hasil uji hipotesis ini sangat tergantung pada penggunaan alat uji statistiknya. Jika alat uji statistiknya parametrik, maka hasil inferensinya (generalisasinya) kuat dan kokoh. Tetapi jika alat uji statistiknya nonparametrik, hasil inferensinya masih lemah. Mengapa, sebab alat uji statistik nonparametrik memiliki beberapa kelonggaran asumsi atau persyaratan uji di antaranya tidak menggunakan bentuk distribusi peluang (free distribution). Karena itu, hasil-hasil penelitian (hasil-hasil uji hipotesis) yang menggunakan alat uji statistik nonparametrik kurang begitu diyakini adanya.

Uji hipotesis adalah uji statistik, dan uji statistik itu bersifat probabilistik. Karena itu dalam logika inferensi untuk uji hipotesis selalu bersifat probabilistik (dengan syarat data yang diambil harus dilakukan secara random, probabilistik). Dalam kaitan ini, hasil inferensi atau kesimpulan untuk generalisasinya sifatnya probabilistik, kemungkinan yang disertai dengan keyakinan tertentu atau derajat kepercayaan tertentu. ketika melakukan uji statistik umumnya peneliti dituntut untuk menentukan terlebih dahulu berapa derajat keyakinan yang dipakai, misalnya 95% (dalam penelitian behavioral) atau 99% atau kurang dari itu (dalam penelitian kealaman). Derajat keyakinan yang demikian dalam ilmu statistik disebut sebagai level of significance.