Esai

4
Pemecah Belah, Masyarakat Kritis, dan Bumerang (Oleh Azhar Ritonga) Tahun 2014 keadaan politik tanah air semakin memanas, bukan karena adanya kebijakan kontroversional dari pemegang kuasa maupun gejolak masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan yang berlangsung. Jawabannya adalah ajang "curi" suara rakyat, Pemilihan Umum (Pemilu), akan segera dilaksanakan. Namun ajang yang seharusnya menjadi pesta skala nasional dan langkah awal pembangunan bangsa berubah menjadi mimpi buruk dan penyulut emosi antar pendukung untuk beradu argumen tak beralasan yang tiada akhirnya. Terdapat satu kekuatan besar yang berperan dalam membangun beragam argumen masyarakat tersebut, yaitu media massa. Sangat disayangkan media yang ada di Indonesia terlanjur dibeli oleh orang- orang yang punya kepentingan tertentu di dalamnya, sehingga terjadi ketimpangan komposisi berita yang cenderung mendukung satu pihak dan menyecar pihak lainnya. Keadaan diperparah menyusul dua stasiun TV berita nasional yang memihak masing- masing calon presiden yang juga berjumlah dua kandidat, TV One memihak kepada Prabowo Subianto dan Metro TV dengan Joko Widodo, mantan walikota Solo sekaligus gubernur DKI Jakarta saat itu. Persaingan terus berlanjut pada media cetak dan online yang merupakan anak perusahaan atau kongsi masing-masing stasiun, sebut saja Kompas, Jakarta Post, Sindo, Vivanews.com, dan lain-lain. Pemecah Belah Ada dua penyebab utama mengapa komposisi berita cenderung berat sebelah yaitu pemilik saham perusahaan dan pengiklan. Pemilik saham yang juga merupakan orang politik secara otomatis akan mengerahkan stasiun TV miliknya agar menyiarkan sisi baik calon pilihannya dan berupaya menjatuhkan lawan politik dengan membangun opini publik yang kadang belum terbukti kebenarannya. Usut punya usut, saham terbesar Metro TV merupakan milik Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem (salah satu partai pendukung Joko Widodo). Sementara TV One tergabung dalam Viva Grup milik Bakrie Grup, perusahaan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Tujuan

description

Menulis

Transcript of Esai

  • Pemecah Belah, Masyarakat Kritis, dan Bumerang

    (Oleh Azhar Ritonga)

    Tahun 2014 keadaan politik tanah air semakin memanas, bukan karena adanya

    kebijakan kontroversional dari pemegang kuasa maupun gejolak masyarakat yang

    tidak puas dengan pemerintahan yang berlangsung. Jawabannya adalah ajang "curi"

    suara rakyat, Pemilihan Umum (Pemilu), akan segera dilaksanakan. Namun ajang

    yang seharusnya menjadi pesta skala nasional dan langkah awal pembangunan bangsa

    berubah menjadi mimpi buruk dan penyulut emosi antar pendukung untuk beradu

    argumen tak beralasan yang tiada akhirnya. Terdapat satu kekuatan besar yang

    berperan dalam membangun beragam argumen masyarakat tersebut, yaitu media

    massa. Sangat disayangkan media yang ada di Indonesia terlanjur dibeli oleh orang-

    orang yang punya kepentingan tertentu di dalamnya, sehingga terjadi ketimpangan

    komposisi berita yang cenderung mendukung satu pihak dan menyecar pihak lainnya.

    Keadaan diperparah menyusul dua stasiun TV berita nasional yang memihak masing-

    masing calon presiden yang juga berjumlah dua kandidat, TV One memihak kepada

    Prabowo Subianto dan Metro TV dengan Joko Widodo, mantan walikota Solo

    sekaligus gubernur DKI Jakarta saat itu. Persaingan terus berlanjut pada media cetak

    dan online yang merupakan anak perusahaan atau kongsi masing-masing stasiun,

    sebut saja Kompas, Jakarta Post, Sindo, Vivanews.com, dan lain-lain.

    Pemecah Belah

    Ada dua penyebab utama mengapa komposisi berita cenderung berat sebelah yaitu

    pemilik saham perusahaan dan pengiklan. Pemilik saham yang juga merupakan orang

    politik secara otomatis akan mengerahkan stasiun TV miliknya agar menyiarkan sisi

    baik calon pilihannya dan berupaya menjatuhkan lawan politik dengan membangun

    opini publik yang kadang belum terbukti kebenarannya. Usut punya usut, saham

    terbesar Metro TV merupakan milik Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem (salah

    satu partai pendukung Joko Widodo). Sementara TV One tergabung dalam Viva Grup

    milik Bakrie Grup, perusahaan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Tujuan

  • yang sama juga dilakukan oleh para pengiklan yang rela menghabiskan uangnya

    untuk memenangkan sang jagoan. Tak banyak yang memerhatikan apa isi kolom

    iklan di berbagai media cetak selama masa kampanye. Koran nasional Kompas

    dengan bangga memasang iklan kampanye Joko Widodo dalam ukuran besar, hal

    yang sama dilakukan oleh harian Seputar Indonesia (Sindo) dalam mendukung

    Prabowo Subianto. Inilah kambing hitam mengapa berita yang seharusnya memuat

    fakta dan objektivitas menjadi terabaikan, dimana masyarakat yang terus diobok-

    obok opini sepihak menjadi terkotak-kotak karena termakan berita yang belum

    diperiksa sebelumnya lantaran mind-set yang tertanam dalam masyarakat bahwa

    semua yang diberitakan merupakan benar dan patut dipercaya. Sejalan dengan hal ini,

    masing-masing media telah melanggar kaidah dan etika jurnalistik, di antaranya

    Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,

    berimbang, dan tidak beritikad buruk (Pasal 1).

    Masyarakat Kritis

    Berkaca pada sistem rating penonton TV yang menjadi pedoman semua stasiun TV

    untuk berlomba-lomba meraih perhatian penonton, nyatanya terjadi perubahan

    signifikan pemirsa masing-masing stasiun TV. Massa pendukung Prabowo Subiato

    lebih memilih menonton TV One walaupun sebelumnya mereka adalah penikmat

    Metro TV, sebaliknya pendukung Joko Widodo yang fokus menyaksikan Metro TV.

    Keberhasilan Joko Widodo dalam memimpin Solo dan Jakarta menjadi lahan

    keberuntungan untuk meningkatkan rating-nya. Sistem ini juga memaksa semua

    stasiun TV untuk mengedepankan unsur hiburan semata dan menyampingkan nilai

    pendidikan di dalamnya. Terlebih lagi untuk stasiun TV berita yang berusaha

    membangun opini publik berdasarkan orientasi bad news is a good news, good news

    is a bad news. Dasar pemikiran inilah yang kemudian menjadi alasan untuk

    membuat sensasi dan menggiring masyarakat untuk percaya nilai keburukan lawan

    dengan menyelipkan opini yang belum terbukti benar.

    Bahaya besar memang sudah mengintai di saat media kita terpecah dan tidak lagi

    independen, jawabnya adalah perpecahan, pembohongan, atau dampak buruk lainnya.

  • Namun apakah kita pernah membayangkan apa yang menjadi nilai positif yang

    diperoleh dari fenomena ini. Di tengah gempuran berita yang syarat politis tanpa kita

    sadari ternyata telah membantu masyarakat kita menjadi individu yang kritis terhadap

    tayangan yang disiarkan oleh stasiun televisi. Sistem rating yang menjadi pedoman

    masing-masing stasiun TV ternyata memiliki manfaat di saat-saat tertentu. Pasca

    Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diadakan Juli 2014 silam, ternyata masyarakat kita

    tidak sebodoh saat masa kampanye sebelumnya. Dari rating yang dirilis per Agustus

    2014, TV One berhasil meraup rating tertinggi dari seluruh televisi swasta lainnya,

    padahal TV One sempat terpuruk oleh dugaan tayangan quick count bohong yang

    memenangkan Prabowo Subianto. TV One jauh unggul dengan persentase sebesar

    14,51% dibanding Metro TV yang hanya meraup rating sebesar 6,39%. Artinya

    masyarakat tidak mau terlena dengan berita Metro TV yang hanya akan berisi

    sanjungan seiring dengan kemenangan Joko Widodo. Namun masyarakat lebih

    memilih untuk menonton berita dari TV One yang memang mau tidak mau harus

    menjadi pihak kontra/penentang dari presiden terpilih, sejalan dengan kubunya yang

    kalah dalam Pilpres. Dengan kata lain di saat Metro TV berusaha menutupi

    keburukan Joko Widodo, TV One sudah akan menyiarkan hal tersebut. Keberpihakan

    media ini justru menyadarkan masyarakat untuk perlu mengkritisi pemerintahan yang

    ada, baik pendukung Prabowo Subianto yang memilih tetap kritis maupun pendukung

    Joko Widodo yang merasa kurang puas dengan pemerintahan yang sedang berjalan.

    Sumber gambar:

    abdisuhamdi.com/2014/08/23/rating-13-

    stasiun-tv-teratas-indonesia/

  • Fakta menarik lainnya adalah masyarakat yang selama ini lebih cenderung menyukai

    program hiburan saja, namun keberhasilan TV One menjadi peringkat pertama

    menandakan masyarakat perlu mengetahui perkembangan politik yang berlangsung.

    Sekali lagi, masyarakat menjadi lebih kritis oleh keberpihakan masing-masing media.

    Bumerang

    Kita memang tidak tahu sampai kapan masing-masing stasiun akan bersikap seperti

    ini. Bak senjata makan tuan, TV One sudah merasakan akibat dari keberpihakan

    mereka, dimana saham Viva Grup mengalami penurunan akibat penayangan quick

    count yang berbeda dari sebagian besar lembaga quick count. Dan yang menjadi

    pertanyaan besar adalah apakah Metro TV akan terus berada di barisan pendukung

    Joko Widodo atau kembali menjadi media yang independen seperti yang seharusnya?

    Karena tidak tertutup kemungkinan banyak kebijakan Joko Widodo akan

    menimbulkan protes dari masyarakat, contohnya adalah kenaikan harga BBM, upaya

    pemberantasan korupsi, dan lain-lain. Metro TV tidak akan dapat menahan malu saat

    tetap berusaha menutupi keburukan Joko Widodo yang sangat jelas terlihat di depan

    mata masyarakat. Hal ini tak ubahnya seperti bumerang bagi mereka sendiri.

    Keberpihakan media tanah air memang sudah di luar batas kewajaran dan melanggar

    kaidah dan etika jurnalistik. Media yang ada hanya mengedepankan kepentingan

    pihak-pihak tertentu. Namun di balik upaya ini justru menyadarkan masyarakat untuk

    semakin kritis terhadap tayangan berita televisi, ada tempat untuk melihat prestasi

    terkini pemerintahan dan ada juga tempat menyimak dampak buruk kebijakan yang

    keluar. Untuk media bersangkutan sendiri akan merasakan akibat dari berita keliru

    yang mereka publikasikan. Mulutmu adalah harimaumu, ada saat mereka akan

    terjatuh oleh ulah mereka sendiri karena hakekat fakta yang seharusnya diutamakan

    akan tetap menjadi nilai kebenaran dari suatu peristiwa. Good news is always great

    news, bad news is always bad news.