Contoh Esai Juara Temp0
-
Upload
haris-setyawan -
Category
Documents
-
view
923 -
download
9
Transcript of Contoh Esai Juara Temp0
Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup
Oleh: AGUSTINUS LONIS - Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
Ringkasan
Berbagai macam persoalan mengenai lingkungan hidup merupakan suatu masalah bersama
yang dihadapi oleh manusia. Manusia perlu menanggapinya dengan serius sambil
mengusahakan suatu solusi yang terbaik. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan
sebagai usaha melestarikan lingkungan hidup antara lain; upaya rekonsiliasi, perubahan
konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari.
—————-
Permasalahan seputar lingkungan hidup selalu terdengar. Segala macam pemberitaan tentang
kerusakan lingkungan hidup tidak lagi asing di pengamatan dan pendengaran kita. Peristiwa
demi peristiwa terjadi tanpa kompromi. Kapan dan dimana akan terjadi, manusia hanya bisa
mereka-reka. Dan melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi yang ada, manusia hanya bisa
menghindar dan menyelamatkan diri. Oleh karena itu, tak jarang keresahan dan kecemasan
manusia akan suatu efek yang lebih besar, terus menerus membayangi hidup manusia.
Dengan demikian, timbullah persepsi bahwa alam adalah musuh bagi manusia, sehingga
tingkat kewaspadaan manusia pun semakin meningkat.
Kejadian demi kejadian yang dialami di dalam negeri ini telah memberi dampak yang sangat
besar. Tidak sedikit kerugian yang dialami, termasuk nyawa manusia juga. Namun hal yang
perlu dipertanyakan, apakah pengalaman tersebut sudah cukup menyadarkan manusia untuk
melihat kesalahan dalam dirinya? Ataukah manusia justru merasa lebih nyaman dengan sikap
menghindar dan menyelamatkan diri tanpa suatu pencarian solusi yang lebih baik dan lebih
tepat lagi/
Menurut saya, ada beberapa usaha yang mestinya dilakukan oleh manusia dalam upaya
pelestarian lingkungan hidup, yaitu upaya rekonsiliasi, perubahan konsep atau pemahaman
tentang alam dan menanamkan budaya pelestari.
Upaya Rekonsiliasi
Kenyataan kerusakan lingkungan hidup dan efeknya terus berlangsung dan terjadi. Manusia
cenderung untuk menangisi nasibnya. Lama-kelamaan tangisan terhadap nasib itu terlupakan
dan dianggap sebagai hembusan angin yang berlalu. Bekas tangisan karena efek dari
kerusakan lingkungan yang dialaminya hanya tinggal menjadi suatu memori untuk
dikisahkan. Tapi perlu diingat bahwa tidaklah cukup jika manusia hanya sebatas menangisi
nasibnya, tetapi pada kenyataannya tidak pernah sadar bahwa semua kejadian tersebut adalah
hasil dari suatu perilaku dan tindakan yang patut diperbaiki dan diubah.
Setiap peristiwa dan kejadian alam sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup
merupakan suatu pertanda bahwa manusia mesti sadar dan berubah. Upaya rekonsiliasi
menjadi suatu sumbangan positif yang perlu disadari. Tanpa sikap rekonsiliasi, maka
kejadian-kejadian alam sebagai akibat kerusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi
langganan yang terus-menerus dituai.Lalu, usaha manusia untuk selalu menghindarkan diri
dari akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut hendaknya bukan dipahami sebagai suatu
kenyamanan saja. Tetapi justru kesempatan itu menjadi titik tolak untuk memulai suatu
perubahan. Perubahan untuk dapat mencegah dan meminimalisir efek yang lebih besar. Jadi,
sikap rekonsiliasi dari pihak manusia dapat memungkinkannya melakukan perubahan demi
kenyamanan di tengah-tengah lingkungan hidupnya.
Perubahan Konsep Manusia Tentang Alam
Salah satu paham yang mungkin menjadi akar permasalahan seputar kerusakan lingkungan
hidup adalah terjadinya pergeseran konsep manusia tentang alam. Berbagai fakta kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi di dalam tanah air kita tidak lain adalah hasil dari suatu
pergeseran pemahaman manusia tentang alam. Cara pandang tersebut melahirkan tindakan
yang salah dan membahayakan. Misalnya, konsep tentang alam sebagai obyek. Konsep ini
seolah-olah bahkan secara terang-terangan memberi indikasi bahwa manusia cenderung untuk
mempergunakan alam semau gue. Dan tindakan dan perilaku manusia dalam mengeksplorasi
alam terus terjadi, tanpa disertai suatu pertanggung jawaban bahwa alam perlu dijaga
keutuhan dan kelestariannya.Oleh karena itu, tak jarang pula binatang-binatang yang
seharusnya dilindungi pada akhirnya menjadi korban perburuan manusia-manusia yang tidak
bertanggung jawab. Pemabalakan liar yang terjadi pun tak dapat dibendung lagi. Pencemaran
tanah dan air sudah menjadi lagu lama yang terus dinikmati. Dan permasalahan seputar polusi
telah menjadi semacam udara segar yang terus dihirup manusia tanpa menyadari bahwa
terdapat kandungan toksin yang membahayakan. Jadi, di sini alam merupakan obyek yang
terus menerus dieksplorasi dan dipergunakan sejauh manusia membutuhkannya.Berhadapan
dengan kenyatan demikian, maka menurut saya perlu suatu perubahan konsep yang baru.
Konsep yang dimaksud adalah melihat alam sebagai subyek. Konsep alam sebagai subyek
berarti manusia dalam mempergunakan alam membutuhkan kesadaran dan rasa tanggung
jawab. Di sini tampak bahwa manusia dalam kesaksian hidupnya dapat menghargai dan
mempergunakan alam secara efektif dan bijaksana. Misalnya, orang Papua memahami alam
sebagai ibu yang memberi kehidupan. Artinya alam dilihat sebagai ibu yang daripadanya
manusia dapat memperoleh kehidupan. Oleh karena itu, tindakan yang merusak lingkungan
secara tidak langsung telah merusak kehidupan itu sendiri.
Membangun Budaya Pelestari
Kedua upaya melestarikan lingkungan hidup sebagaimana yang telah saya uraikan diatas akan
dapat tercapai, jika manusia sungguh-sungguh berusaha membangun dan menanamkan suatu
budaya pelestari. Dengan semangat budaya pelestari, manusia senantiasa mempertimbangan
segi baik dan buruknya dalam mempergunakan hasil alam. Segi yang baik bahwa manusia
bertindak selektif dan mengambil apa yang memang dibutuhkan tanpa bersikap boros.
Dengan demikian, manusia telah dengan sendirinya merasa sebagai bagian dari alam yang
mesti dijaga kelestariannya.
Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menanamkan budaya pelestari tersebut kepada
anak-anak sejak berada di bangku pendidikan. Misalnya pemberian porsi yang lebih kurang
banyak tentang persoalan lingkungan hidup agar terbangunlah semangat kesadaran untuk
menghargai dan menghormati lingkungan tempat tinggalnya. Tidak sebatas itu saja, tetapi
perlu juga membiasakan anak-anak untuk terlibat dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan
hidup. Jadi, adanya perpaduan antara teori dan praktek.
Penanaman budaya pelestari yang dilakukan sejak dini merupakan suatu upaya yang sangat
efektif dalam mengatasi persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Tentunya di sini
membutuhkan partisipasi dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga dan juga dalam
seluruh proses pendidikannya di bangku sekolah. Dengan demikian, melalui pembiasaan yang
dilakukan secara kontinyu tersebut generasi yang akan datang semakin menyadari akan
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, proses penyadaran tersebut
juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan yang turut membentuk rasa tanggung jawab manusia
dalam mempergunakan lingkungan hidup.
KEM AMI Kompetisi Esai 2011
Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia
18-Aug-2011 oleh webmaster Tidak ada Komentar Posting didalam :
Naskah, Tahun 2009
Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
“Annyong haseyo!”
Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang
kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang
menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi.
Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsahamnida,” (terima kasih),
“Sarang haeyo,” (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan)
kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal
lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang
berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk
budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut
Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di
Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film
Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa.
Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh
gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun
bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita.
Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap
globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi
generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak
salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita.
Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya
imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan,
gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu
sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-
katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap
defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka
atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan
terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior,
yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi
bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi
itu sendiri.
Merancang Gelombang Budaya Indonesia
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel
dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama
Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya
seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia.
Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah,
budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya
memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran
media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan
persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat
beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi
Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta
mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu
berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya
mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa
kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun
dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.
Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya
Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari,
apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya
kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu
budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan
intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada
dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus ‘menyebarkan’.
Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami
akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita
semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak
milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan
pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi
dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena
memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita
penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi.
Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas
industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka
kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan
survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju
ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi
budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri
budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan
industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri
tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun
ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi
ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat.
Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri
tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik.
Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar
negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya
pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung
dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada
seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup
dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus
memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi
massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film
yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual
memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam
komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud
film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan
sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain
seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya
suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya
berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan
budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan
Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan
perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah
untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan
suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-
produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya
kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil
contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang.
Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik,
anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu
dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan
tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka
potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya
yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.
Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan
membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri
perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi
budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan,
maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya.
Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk
memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita
diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga
dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih
pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas
berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi
suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya
seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat
minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah
terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk
go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di
negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan
masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya
hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan
jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.
Sejumlah PR
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang
cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena
menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan
misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya
membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah
harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk
tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-
produk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia,
sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos
ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib
mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang
tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi,
atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain
itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak
dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat
menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.
Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan kita ini.
Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam
perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang
dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di
Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film
nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong,
yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta.
Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI
Jakarta.
Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal
32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan
asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki
banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena
memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas
baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh
penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan
masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa
masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor.
Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu
dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states)
modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa
bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk
bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita
bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas jika
Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh
dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung
dalam rumah Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan
dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya
sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan
berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh
Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang
peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek
negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu
merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan
nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah
kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri
Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita
akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.
Referensi
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To
History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research
Associates
BIODATA
Nama: Sidiq Maulana Muda
TTL: Jakarta, 12 Januari 1989
Pendidikan: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Alamat: Komplek POLRI Munjul no. 258 Cipayung Jakarta Timur
No. Telp: 021-8445916
Email: [email protected]
“Pemimpin dan Budi Pekerti”
Oleh: VINISA NURUL AISYAH - UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Rangkuman :
Pemimpin kampus sebagai pemegang kekuasaan memiliki hobi unik. Penghakiman budi
pekerti. Budi pekerti dijadikan alasan demi kesewenang-wenangan atas kuasa yang dimiliki.
Pemimpin institusi pendidikan yang memberi contoh menjawab dengan logis dan tanggung
jawab selalu diabaikan. Mengapa pemimpin tak pernah mau mengakui kesalahan demi sebuah
perbaikan?
————-
“Mba, Mba’nya itu berjilbab. Jadi harus jujur dan nggak boleh su’udzon dengan pihak
fakultas,” kata Pembantu Dekan I Fisip Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) periode
2009 lalu. Kata-kata itu terlontar saat saya mempertanyakan pungutan uang sumbangan dari
fakultas kepada mahasiswa baru yang dilakukan tanpa ada legalitas dan sepengetahuan
rektorat. Bukannya mempertanggungjawabkan pungutan tersebut dengan jelas dan logis,
malah menghukum moral dan budi pekerti saya di ruang dekanat.
Tiga tahun berlalu, budi pekerti masih menjadi kilahan yang laris manis digunakan oleh
birokrat kampus. Kali ini terjadi di Fakultas Peternakan saat audiansi tentang adanya
pungutan untuk syarat wisuda mahasiswa angkatan 2008 bulan ramadhan tahun ini.
Saat ditanya legalitas penarikan, jawaban soal budi pekerti pun terlontar kembali. “Penarikan
ini sebenarnya untuk membuktikan bagaimana moral dan kejujuran adek-adek mahasiswa
kepada orang tua. Apalagi kan ini sedang bulan ramadhan,” ujar Dekan Fakultas Peternakan.
Kasus ini dilatarbelakangi mahasiswa yang keberatan membayar uang pungutan sebagai
syarat wisuda. Pasalnya, mahasiswa bersikeras pungutan tersebut ilegal, tak ada payung
hukumnya dan tak tahu kemana larinya uang-uang hasil pungutan itu. Bahkan pihak rektorat
sudah melarang pungutan liar bagi mahasiswanya.
Awalnya penarikan diwajibkan, namun ketika sudah mencapai tahap audiensi mereka justru
melemparkan pernyataan-pernyataan justifikasi budi pekerti. Logika “siapa yang tak mau
membayar, maka berbudi pekerti jelek” dilontarkan. Kemudian logika, “Birokrasi dengan
budi pekerti macam apa yang terus menarik pungutan paksa untuk mahasiswa?” muncul dan
hasilnya, tak seorang pun mahasiswa membayar pungutan liar tersebut.
Seolah kehabisan alasan, berkali-kali budi pekerti menjadi pemanis kesewang-wenangan bagi
orang yang yang memiliki kuasa. Bahkan di dalam instiutsi pendidikan. Benarlah apa yang
dikatakan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya, “Budi pekerti dalam pergulatan
kekuasaan, akhirnya berfungsi sebagai bedak dan gincu”.
Moral dan budi pekerti digunakan untuk menutupi kesewenang-wenangan. Seringkali
mahasiswa terkecoh kemudian tenggelam pada refleksi moral diri sendiri. Kesewenang-
wenangan pun terlupakan.
Bukankah sangat memalukan, atas nama budi pekerti dan kuasa, kesewenang-wenangan terus
terjadi? Sedang orang-orang dibawahnya? Hanya mampu menggeram karena tak digubris,
sisanya terkecoh.
Seolah tak malu dengan status lembaga pendidikan tinggi. Di dalam kelas kita selalu dituntut
untuk menjawab pertanyaan dosen dengan logis, sesuai dengan kapasitas sebagai seorang
intelektual muda. Namun di luar kegiatan belajar mengajar, kita terus dicekoki dengan
jawaban yang tak logis.
Birokrasi-birokrasi busuk terus mengoyak kehidupan kampus kecil di lereng gunung Slamet
ini. Mereka menciderai status pelayan mahasiswa dalam memperoleh pendidikan, yang pada
akhirnya mengkhianati niat baik dibangunnya institusi pendidikan tinggi.
Bahkan terang-terangan, dalam sebuah buletin LPM Solidaritas, pers mahasiswa di Fisip
Unosed, Pembantu Rektor II menyatakan mahasiswa adalah bisnisnya Unsoed. Mahasiswa
direndahkan statusnya, bukan sebagai manusia yang mengidamkan sebuah pencerahan dari
gudnag ilmu pengetahuan. Mereka memandang mahasiswa sebagai mangsa empuk yang harus
dikuras dompetnya demi menumpuk kekayaan universitas.
Tak pernah belajar dari sejarah, hal tersebut bukan satu atau dua kali namun sering layaknya
sebuah rutinitas. Pantas jika jalan yang mereka tempuh gelap tanpa cahaya pembelajaran dari
sejarah.
Tak heran, yang terjadi kini adalah ketidakpercayaan pada birokrasi. Mosi tidak percaya
karena pengkhianatan dan kesewenang-wenangan terus dilakukan. Seiring dengan hal
tersebut, mahasiswa yang mengkritisi dan mencecar kebijakan akan disebut mahasiswa
berbudi pekerti buruk. Hanya karena berjilbab dan menanyakan pertanggungjawaban
penarikan “haram” yang terjadi, atau karena segan membayar pungutan dengan akal-akalan
syarat wisuda yang entah-kebijakan-siapa.
Kasus demi kasus seolah ingin mengatakan sudah hilangnya pemimpin kampus yang
memiliki tanggung jawab pada peserta didiknya. Tak heran jika menular pada struktur
birokrasi yang ada di bawahnya.
Birokrasi yang melayani bagian akademik dan kemahasiswaan di tingkatan fakultas seringkali
menarik pungutan tak jelas. Seribu rupiah untuk selembar ijazah yang sudah dilegalisir. Tiga
ribu rupiah untuk pengambilan raport per semester. Jika dikritik, mereka hanya melempar
pada struktur yang lebih tinggi tanpa jawaban yang pasti.
Masyarakat kampus (mahasiswa) sudah tak kaget lagi jika kata-kata pemimpin tak sejalan
dengan kebijakan dan tindakan mereka. Kekecewaan dan kemuakan ini mungkin
tersampaikan juga lewat sebuah karya, lagu berjudul “Mosi Tidak Percaya” milik Band Efek
Rumah Kaca. Ini masalah kuasa, alibimu berharga. Kalau kami tak percaya, lantas kau mau
apa? Kau tak berubah, selalu mencari celah. Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah, Jelas
kalau kami marah, kamu dipercaya susah, pantas kalau kami resah, sebab argumenmu payah!
Apa yang harus kita pelajari dari sebuah institusi pendidikan dengan pemimpin yang
mengkambinghitamkan moral? Kita hanya akan belajar bagaimana menjadi Indonesia yang
lemah.
Menjadi Indonesia yang kuat tak membutuhkan pemimpin yang pandai berkilah atas
kesalahan dan tak mengenal perbaikan. Pemimpin Indonesia adalah sejalan dengan apa yang
dikatakan Goenawan Mohamad, menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi
bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu
tidak pernah selesai.
1 Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Merajut Cita Bangsa di Balai Kambang
Oleh: DEWI MAGHFIROH - UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Ringkasan
Pendidikan masih menjadi sesuatu yang prestisius. Konsep standarisasi internasional santer
diperdebatkan. Sementara, pendidikan toh tak dapat menjawab persoalan bangsa. Begitu pula
dengan sistem pendidikan yang secara tidak langsung mengarah pada academic orientad.
Tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai. Pengajar pun seolah menutup mata, dan
hanya sebatas melaksanakan tugas. Maka dari itu, pendidikan Indonesia memerlukan
terobosan-terobosan untuk mencapai cita bangsa yang termaktub dalam Undang-undang.
salah satunya pendidikan di Balai Kambang. Di tempat tersebut memadukan antara ilmu
agama, pendidikan formal, dan ketrampilan. Siswa tak lagi dituntut hanya pada satu sisi yaitu
akdemik. Namun, ketulusan untuk tercapainya sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar.
Membangun sikap kesopanan, kedisiplinan, dan kreativitas.
————————-
Bergelimang manusia tumpah ruah di pojok pendidikan. Iming-iming bilingual, standart
international masih menjadi dambaan. Khususnya untuk mereka yang berstatus anak
penggede. Namun, sebagai masyarakat kecil yang hanya mampu menyusur mulut dengan sirih
seadanya, pendidikan bukan pada statusnya namun lebih pada esensi. Koceh-koceh mulut
petinggi yang selalu membumbung menyoal pendidikan, toh akhirnya berujung bisnis.
Tumpulnya orang yang berpendidik tanpa bermoral menjadikan semakin merosotnya kualitas
manusia. Tak ada yang patut dipercaya kecuali menemukan jalan sendiri. Cita pendidikan di
negeri ini yang termaktub dalam undang-undang pun mulai pudar. Mencoba bangkit
merangkai serpih-serpih yang telah berserakan. Sebuah terobosan untuk merajut cita
pendidikan kembali, yakni sistem pendidikan yang menggabungkan antara ilmu agama dan
pendidikan formal.
Pendidikan masih menjadi idaman setiap rakyat. Orang tua menginginkan pendidikan tinggi
kepada anaknya. Secercah harapan pun terbesit “anakku harus menjadi orang yang sukses tak
seperti orangtuanya”. Tetes-tetes keringat dibiarkan bercucuran untuk beberapa lembar uang
lusuh, kumal.
Terik mentari menjelang, masyarakat Desa sekitar tempat tinggal saya sudah siap di peraduan
nasib. Kehidupan yang bisa dikatakan jauh dari kemewahan. Keliling dari desa ke desa
dengan memanggul dagangan, di perempatan jalan mengatur lalu lalang kendaraan tanpa
embel-embel pangkat dan hanya mengharap receh dari tangan-tangan tulus pengemudi.
Bergumul dengan debu menjadi suatu keharusan. Mereka lakukan setiap hari hingga mentari
terbenam. Semua itu tak ada yang lain demi pendidikan seorang anak.
Sejauh ini pendidikan Indonesia belum bisa sepenuhnya mencetak generasi-generasi yang
berbudi luhur dan berpemikiran luas. Sepak terjang yang selalu menekankan pada akedemik
menjerumuskan pendidikan pada kegelapan. Angka menjadi tuhan tersendiri bagi pelajar.
Pemuja nilai. Betapa tidak, pengajar selalu menekankan pada anak didiknya untuk
mempunyai nilai tinggi dan lulus cepat. Tanpa memberikan pemahaman bagaimana proses
untuk mendapatkan sebuah nilai dan kelayakan untuk meninggalkan bangku pendidikan.
Alhasil pragmatisme yang dipahami pelajar. Instan lebih dipilih daripada harus bergeliat dari
nol hingga mencapai sebuah asa. Euforia pendidikan pun seakan diamini semua lapisan.
Imbas kondisi pendidikan yang seperti itu menjadikan generasi kini bermental nglokro. Yang
ujung-ujungnya materi yang dikejar. Pendidikan tanpa didasari moral yang selaras. Sebagai
buktinya banyak koruptor yang berada di kerangkeng penjara, jauh lebih banyak lagi yang
masih berkeliaran melenggang kesana kemari. Oh, ternyata memang sistem pendidikan kita
ini ada yang salah. Mencetak yang berpendidik tanpa bermoral. Padahal moral jauh lebih
penting untuk menata kepribadian. Kesadaran setiap manusia tak akan terlahir tanpa
kepribadian yang bermoral. Sehingga jika setiap orang mempunyai moral yang baik, kualitas
hidup bermasyarakat dan bernegara pun akan baik pula.
Balai Kambang
Balai Kambang mengingatkan saya pada pendidikan yang sebenarnya. Berdiri di desa kecil di
Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Namun siswa datang dari berbagai daerah dan
kalangan. Balai kambang didirikan atas keprihatinan seorang kakak beradik terkait pendidikan
Indonesia yang semakin menapaki jurang kegelapan. Awalnya kakak-beradik tersebut
menginginkan putra-putrinya mendapatkan pendidikan yang layak. Begitu pula kondisi di
sekitar yang masih asing dengan bangkau sekolah. Kemudian mempunyai niatan untuk
mewadahi mereka agar dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang menggabungkan
antara ilmu agama dan sekolah formal. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah
Dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah
(MA) atau Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mereka
diwajibkan untuk tinggal di asrama. Di sana diajarkan kemandirian dan kreativitas.
Sebuah terobosan pendidikan di tengah konsepan sekolah yang masih grambyangan tanpa
arah yang jelas. Pengajaran di Balai Kambang menekankan pada ketulusan untuk tercapainya
sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar. Tak hanya melulu mengkaji ilmu agama, namun
juga ilmu sains. Di tengah tuntutan jaman yang serba modern dan canggih Balai Kambang
menyesuaikan dengan perubahan jaman. Namun, tetap tanpa melupakan esensi agama. Jika
setiap orang memahami akan agama masing-masing secara luas dan mengindahkan fanatisme,
kehidupan akan selaras.
Pelatihan-pelatihan ketrampilan juga semakin diberlakukan. Seperti, menjahit, merajut,
otomotif, berdagang, dan kerajinan tangan. Diungkap pengasuh yayasan, harapan mandiri
setelah lulus juga sangat diperhatikan pengajar. Mereka dibekali pengetahuan lebih setidaknya
untuk pegangan diri sendiri lebih-lebih orang disekitarnya.
Dalam pendidikan formal biasa, seorang guru diyakini menjadi orang yang bisa digugu lan
ditiru siswa. Kenyataannya, mereka hanya menjadi pengajar. Berbeda dengan di Balai
Kambang. Pengajar selain menjadi pengajar, juga menjadi pamong, pengasuh, dan pendidik.
Merajut Cita
Isu miring pendidikan Indonesia tak menjadikan semakin terpuruk. Tamparan tersebut sebagai
introspeksi semua elemen. Baik sang pemangku kebijakan pendidikan dan rakyat biasa. Cita
pendidikan yang telah menjadi serpih-serpih daun kering yang siap diguncang angin mulai
terkumpul kembali. Banyak jalan untuk menuju Roma, begitu pula banyak jalan menuju
gerbang kemajuan pendidikan. Pendidikan tak hanya dari satu sisi yakni, pemerintah. Kita
dapat menjadi berpendidik dan bermoral dari manapun arahnya.
Balai Kambang menjadi salah satu terobosan pendidikan di Indonesia. Rakyat Indonesia harus
yakin akan pendidikan. Pendidikan bukan sebagai penentu kursi kekuasaan. Namun, melalui
pendidikan sebagai bekal ilmu untuk mengembangkan keahlian.
Cita yang terwujud tak selamanya harus ditempuh di jenjang yang eksklusif. Lebih-lebih
dengan biaya yang mahal. Bukan apa dan siapa yang dapat menentukan cita kita. Namun, kita
sendiri yang harus begerak. Jika setiap cita kecil selalu dirajut maka akan menjadikan
kekuatan besar. Kekuatan negara akan terbentuk dari generasi yang mau peduli dengan
kondisi negaranya.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Tradisi Lisan : Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau
Oleh: SITI RAHMANA - UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Ringkasan :
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia
adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga
tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan
oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan (penuturan). Tradisi lisan
mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengah-
tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai
aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang
dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat
dijumpai di dalam tradisi lisan.
—————
Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara, eksistensi
tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini
memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno
terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal
keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi
lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ada
beberapa gagasan yang dihadirkan. Diantaranya dengan pengaktualisasian tradisi lisan yang
dikemas dalam seni pertunjukan agat lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa
meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya, selain itu juga menciptakan “formula
baru” dengan membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya
sebagai ekstrakulikuler di sekolah, serta menggunakan tradisi lisan sebagai sumber
pengetahuan melalui “pendekatan historis”.
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia
adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga
tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan
oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan. Sebelum masyarakat Indonesia
mengenal tradisi tulis-menulis yang menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia
Kuno, masyarakat Indonesia telah lebih dulu mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup
pada masa tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat
tersebut memiliki kecendrungan dekat dengan alam, sehingga mereka berusaha
menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Hal ini memunculkan korelasi
yang erat antara peristiwa alam dengan cerita turun-temurun yang termuat dalam mitos,
legenda, dongeng, maupun folklore sebagai bagian dari tradisi lisan. Sehingga tradisi lisan
dapat dimaknai sebagai gagasan atau aktivitas yang dilakukan secara berkelanjutan, melalui
proses “penuturan” dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di
tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari
berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma
yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat
dijumpai di dalam tradisi lisan. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan
belakangan ini mulai dipertanyakan. Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk
peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, terabainya tradisi lisan sudah
sepantasnya menjadi kekhawatiran bersama. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan
saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan
oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan
tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan
aspek ilmu pengetahuan.
Iklim globalisasi masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar bagi terciptanya masyarakat
modern Indonesia. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan cara berpikir masyarakat.
Lambat laun masyarakat tradisional mulai bertransformasi menjadi masyarakat modern.
Dimana segala sesuatu yang dilakukan masyarakat modern Indonesia mulai mengikuti pola
kebudayaan barat. Misalnya menjaring ikan menggunakan pukat harimau, cara hidup berbasis
teknologi ini lebih mengedepankan nilai keefektivitasan serta keefisiensian, tanpa menimbang
dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup. Perilaku masyarakat modern tersebut menjadi
salah satu penyebab menurunnya kesadaran akan identitas masyarakat Indonesia, dimana
masyarakat modern mulai meninggalkan budaya lokal pesisir yang menggunakan syair lagu
untuk memanggil ikan tangkapan. Menurunnya kesadaran identitas yang dimaksud, berupa
cara berpikir dan berperilaku layaknya orang Indonesia yang senantiasa menjaga serta
memelihara budaya lokal demi keselarasan masyarakat dengan lingkungan alamnya, seperti
yang tersirat dalam tradisi lisan. Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai
berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman.
Oleh karena itu, tradisi lisan mulai ditinggalkan sehingga budaya lokal yang satu ini terancam
hilang dari peradaban nusantara.
Namun, anggapan yang menilai tradisi lisan tidak mampu bergerak secara dinamis merupakan
suatu kebohongan besar, mengingat hakikat tradisi adalah mengalami perkembangan yang
disesuaikan dengan jiwa zaman masyarakatnya. Bukan tidak mungkin tradisi lisan yang
terkesan kuno tersebut dikemas dengan lebih aktual mengikuti jiwa zaman saat ini. Cerita
rakyat, upacara, pantun, tarian rakyat, mantra, serta nyanyian rakyat dapat dikombinasikan
dan kemudian dikemas dalam seni pertunjukan lokal secara berkala. Aktualisasi tradisi lisan
yang dikemas dalam sebuah pertunjukan lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa
meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Terkhusus lagi, dapat membuka ruang
antusias yang tinggi terhadap tradisi lisan dikalangan generasi muda Indonesia. Sehingga
kegiatan ini dapat menghidupakan kembali “penuturan” yang dilakukan secara turun-temurun
di tengah masyarakat modern Indonesia.
Seiring dengan pengaktualisasian tradisi lisan dalam rangka menyelamatkan produk budaya
masa lampau, masalah lain yang muncul terkait dengan eksistensi tradisi lisan adalah belum
tersedianya generasi yang siap berkomitmen melestarikan tradisi lisan, pasca dikenalnya
aksara yang mendukung terciptanya tradisi tulis-menulis. Berkembangnya tradisi tulis-
menulis sejak ditemukannya prasasti di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi, ternyata
membawa pengaruh besar bagi keberlangsungan tradisi lisan. Hingga sekarang, disiplin ilmu
yang berkembang di Indonesia cendrung mengandalkan sumber tertulis daripada
menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, perlu adanya
“formula baru” untuk menghasilkan sumber daya manusia yang dibekali dengan kemampuan
khusus mempelajari tradisi lisan, sekaligus sebagai upaya mempersiapkan generasi pelopor
pelestarian tradisi lisan. “Formula baru” tersebut dapat diwujudkan dengan mengikutsertakan
tradisi lisan ke dalam lingkungan pendidikan, baik itu membuka studi khusus tradisi lisan di
perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah. Dengan begitu,
tradisi lisan mulai dikenal di dunia akademis, sehingga keberadaan tradisi lisan bisa lebih
diperkuat dengan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan akademisi.
Terakit displin ilmu di Indonesia yang cendrung menggunakan sumber tertulis, hal ini
memunculkan polemik tersendiri bagi posisi tradisi lisan yang juga sebagai sumber
pengetahuan. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keraguan terhadap
kebenaran informasi yang terkandung dalam tradisi “penuturan” ini. Tradisi lisan berupa
dongeng, hikayat, mantra, dan legenda lebih didominasi unsur “fantasi” dalam cerita,
sehingga tidak mudah membedakan antara fakta dan fiksi yang sebenarnya. Pada hakikatnya,
masyarakat pra-aksara belum mampu mendefinisikan suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu
pengetahuan. Sehingga cerita-cerita yang berkembang melalui “penuturan” senantiasa
disesuaikan dengan kemampuan berpikir, kebutuhan, dan kondisi masyarakat saat itu.
Masyarakat pra-aksara berusaha menyalurkan norma, nilai, hukum, kebiasaan, dan
pengetahuan yang berkembang saat itu melalui “penuturan” secara turun-temurun. Hal ini
didasari pada tingkat pengalaman dan pemahaman yang mereka dapati. Oleh karena itu tidak
sedikit ilmuwan berpendapat, bahwa tradisi lisan telah mengalami proses pewarisan dalam
waktu yang panjang sehingga tradisi lisan dimungkinkan mengalami distorsi. Alhasil, nilai
kebenaran dalam tradisi lisan lantas dipertanyakan.
Melalui kaca mata yang berbeda, saya mencoba untuk membalikan kenyataan. Kenapa tidak
tradisi lisan digunakan sebagai sumber pengetahuan, jika kita mampu menjadikan ritual
Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang
dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai
kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri
manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran
dalam ritual Hamis Batar, juga kebiasaan masyarakat mempersiapkan jagung yang memiliki
kualitas terbaik dari hasil panen untuk diikutsertakan dalam upacara adat, serta eksistensi nilai
dan norma yang ikut diwariskan secara turun-temurun melalui ritual Hamis Batar. Dengan
melakukan “pendekatan historis” untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa
menemukan pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan
identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat
diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk
menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk aktivitas yang
berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut
mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang
berkembang di wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan
mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa
lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya
pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat Indonesia.
Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar budaya nusantara,
maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi
“penuturan” ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang
dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis
sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi “penuturan”, serta
menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode ilmiah
dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat
diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga,
masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat digunakan sebagai
pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Menjadi Indonesia Lewat “Rumah Pelangi” di Bantaran Sungai Bengawan
Oleh: SEPTI DIAH PRAMESWARI - UNIVERSITAS PARAMADINA
Hawa dingin di pagi itu tak menyurutkan langkah seorang gadis muda untuk keluar rumah.
Dialah yang sering dipanggil “Ustadzah Ida” oleh anak-anak kecil di kampung mereka.
Seorang gadis lulusan SMA, tapi punya semangat tinggi untuk berbagi dengan sekitarnya. Ia
terus melangkah, menyusuri tanggul dan berhenti di sebuah rumah mungil di pinggir tanggul.
Meski mungil, rumah itu terlihat ada nuansa ceria yang melingkupinya. Mungkin karena cat
warna-warni di dindingnya. Mungkin juga karena suara keceriaan anak-anak yang terdengar
keluar. Di depan rumah mungil itu terpampang papan putih bertuliskan “Rumah Pelangi”
dengan huruf berwarna-warni. Apa itu Rumah Pelangi?
Ceritanya berawal saat banjir besar melanda sebagian besar Solo yang dekat dengan bantaran
sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya di akhir tahun 2007 silam. Kejadian itulah
yang menjadi awal perjuangan gadis bernama Ida yang tinggal di kampung Sawangan, di
pinggir kota Solo. Waktu itu, dia masih duduk di bangku putih abu-abu. Rumahnya ikut
terendam air bah hingga setinggi lima meter. Banjir yang datang tiba-tiba di pagi buta itu
tanpa isyarat, sehingga hanya pakaian yang menempel di badannyalah yang dapat
diselamatkan. Bantuan materiil berupa selimut, tenda, bahan makanan segera datang dari
berbagai pihak tak kurang dari 12 jam setelah air bah datang. Namun, kesedihannya belum
terobati karena buku-buku pelajaran dan ijazahnya mulai SD-SMP sekaligus sertifikat-
sertifikat penghargaan yang ia miliki ikut terendam banjir. Tidak hanya itu, ayahnya yang
sudah lama sakit tiba-tiba meninggal dunia. Dua hari setelah air bah surut dan ia mulai
membersihkan rumahnya bersama sang ibu, lagi-lagi air bah kembali datang menghampiri.
keadaan seperti itu berlangsung hingga 4 kali dalam 2 pekan. Ia putus harapan. Ia berniat tak
akan kembali ke sekolah.
Keadaan mulai berangsur normal setelah sebulan berlalu, air bah tak datang-datang lagi. Ia
membangun asa kembali setelah tersadar bahwa lingkungannya membutuhkan kehadiran dia
dan orang-orang sepertinya. Ia kembali ke sekolah, tapi sekarang tidak hanya sekolah
aktivitasnya sehari-hari. Ia tersadar ketika melihat anak kecil yang setenda dengannya di camp
pengungsian saat bencana banjir menghampiri. Anak itu masih duduk di bangku kelas 1 SD.
Namanya Eka. Eka kecil selalu merajuk pada ibunya agar diantar ke sekolah. Setiap kali ingat
sekolah, Eka kecil merajuk. Ibunya bukan malas mengantar Eka kecil ke sekolah, tapi yang
menjadi sebab ialah sekolah Eka kecil ikut terendam banjir. Kerusakan bangunan sekolahnya
pun tergolong parah, sehingga memakan waktu yang lumayan lama untuk membenahinya.
Namun, Eka kecil tak paham tentang keadaan itu. Eka kecil sering menangis meraung hanya
karena ia tak dapat pergi ke sekolah. Hingga suatu pagi suara tangis Eka kecil tak terdengar.
Eka kecil ternyata sakit. Ida begitu terharu melihat keadaan Eka kecil yang begitu antusias
pergi ke sekolah meski suhu badannya tinggi. Berbeda dengan dirinya yang kehilangan
semangat untuk melanjutkan sekolah.
Melihat Eka kecil sakit, ia bertanya pada Eka kecil dan sungguh jawaban mulut mungilnya
membuat hujan di hati gadis itu semakin deras. Eka kecil menjawab, “Eka kepingin sekolah,
mbak. Eka wedi dadi cah bodho. Eka kepingin dadi dokter. Dadi dokter kudu pinter yo,
mbak?”[1] Dari Eka kecil ia belajar. Ia bulatkan tekad untuk meraih cita-citanya. Bukan
hanya untuk sekolah, tapi ia mengabdikan dirinya untuk mengajar Eka kecil dan teman-
temannya.
Hari itu juga Ida bertekad untuk punya semangat yang tinggi layaknya Eka kecil. Di tenda
pengungsian, ia kumpulkan teman-teman Eka kecil, tentu saja bersama Eka untuk belajar dan
bermain bersama. Hal itu disambut dengan antusiasme yang tinggi, baik dari orang tua
maupun anak-anak sendiri. Selain belajar dan bermain, Ida sering mendongeng untuk anak-
anak. Ida yakin lewat dongeng, Ida dapat berbagi banyak hal dengan anak-anak. Rutinitas itu
berjalan tidak hanya saat di tenda pengungsian. Setelah rumah mereka dapat di huni kembali,
kegiatan bersama anak-anak itu tetap berlanjut di rumah Ida. Jika saat di tenda kegiatan itu
berlangsung di siang hari, namun saat di rumah Ida kegiatan itu dilakukan di sore hari
mengingat Ida pun sudah harus kembali ke sekolah. Sebagian besar anak-anak yang ikut
kegiatan Ida belum dapat kembali ke sekolah karena sekolah mereka belum selesai dibenahi.
Beberapa minggu kemudian, saat anak-anak sudah mulai kembali ke sekolah, Ida berpikir
bahwa waktunya berbagi dengan anak-anak sudah selesai. Namun, dia kembali berpikir,
kenapa ia harus berhenti untuk ikut serta membantu mencerdaskan putra-putri bangsa ini.
Akhirnya Ida tetap membuka rumahnya untuk menjadi rumah singgah bagi anak-anak. Ida
mencari donatur buku-buku bacaan anak agar anak-anak mendapat tambahan ilmu dari buku-
buku bacaan. Ida sadar, jika hanya mengandalkan orang tua anak-anak tersebut, mereka hanya
akan dapat membaca buku dari sekolah. Ekonomi orang tua mereka yang sulit, mengingatkan
bahwa dapat menyekolahkan anak-anak mereka pun sudah termasuk kebahagiaan tersendiri.
Di lingkungan Ida, hanya segelintir orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya hingga
lulus SMP apalagi SMA. Hal ini juga yang mendorong Ida untuk tetap berbagi dengan anak-
anak di sekitarnya.
Sekarang Ida telah lulus SMA, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di salah
satu perguruan tinggi di kotanya. Kesibukan sebagai mahasiswa tidak menghalanginya
melakukan aktivitas dengan anak-anak di rumah singgahnya. Lewat jerih payah Ida mencari
donatur dan mengumpulkan uang pribadinya, Ida berhasil menyewa satu ruangan kecil untuk
rumah singgahnya, tepat di bibir tanggul Bengawan Solo. Di rumah itu ia habiskan waktu
bersama anak-anak. Membagi semangat, membagi cerita dan berdongeng untuk anak-anak.
Rumah itu ia beri nama ‘Rumah Pelangi”, di mana ia berharap lewat rumah itu anak-anak di
sekitarnya mampu melihat indahnya pelangi cita-cita mereka. Cita-cita mereka yang beragam
yang tergantung di langit layaknya pelangi beraneka warna yang sering terlihat di atas riak-
riak Bengawan Solo. Lewat usaha Ida juga, teman-teman Ida tertarik menjadi sukarelawan
untuk berbagi bersama anak-anak kampung di Rumah Pelangi. Tidak hanya materiil yang
mereka bagi, tapi waktu, perhatian, semangat dan cita-cita pun mereka bagi. Sekarang Rumah
Pelangi tak pernah sepi dari aktivitasnya. Penulis yakin, di luar sana ada seribu Ida yang
peduli dengan Indonesia. Semoga terus tumbuh Ida-Ida yang lain di berbagai bidang, yang
peduli dengan masa depan anak-anak bangsa.
[1] “Eka ingin sekolah, mbak. Eka takut jadi anak bodoh. Eka ingin jadi dokter. Jadi dokter
harus pintar kan, mbak?”
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kurikulum Sekolah Bagi Si Miskin di Pedalaman
Oleh: FIRDAUS - Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli
Ringkasan:
Salah satu faktor tingginya jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan oleh kurang
trampilnya warga negaranya. Dengan kata lain, penduduk Indonesia tidak bisa memenuhi
tuntutan kerja dewasa ini karena latar pendidikan dan skill yang tidak memadai. Akibatnya,
hal tersebut juga berdampak pada terus meningkatnya angka kemiskinan di Republik kita
tercinta ini.
Pendidikan bukan hanya sekedar menjadi wacana untuk digembar-gemborkan melalui
berbagai program yang tidak tepat sasaran. KTSP yang menjadi kurikulum pendidikan
nasional di Indonesia perlu dipertimbangkan lagi ke-efektifitasannya, mengingat, masih
banyaknya sekolah-sekolah di pedalaman yang tidak ditunjang oleh fasilitas yang lengkap,
SDM guru yang tidak bisa memanfaatkan fasilitas atau media belajar yang sudah ada pun
perlu dibenahi, dan otonomi yang ada dalam KTSP sendiri untuk membebaskan para guru
menyusun bahan ajar sendiri sesuai dengan daerah masing-masing meski harus mengacu pada
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan di bawah pengawasan dinas kabupaten atau
kota, tidaklah sesuai dengan ujian akhir nasional yang kadang soal-soalnya bertentangan
dengan apa yang selama 3 tahun dipelajari oleh para siswa di sekolah mereka masing-masing.
Adapun beberapa solusi agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik ke depan,
penulis menawarkan beberapa gagasan, yaitu: lahirkanlah guru-guru yang profesional,
kurangi jumlah mata pelajaran yang terlalu ‘gemuk’, dan stop KKN serta jangan politisir
dunia pendidikan.
Kebodohan itu dekat dengan kemiskinan, kemiskinan adalah tetangganya si zalim atau si
‘pencipta onar’! Dan manusia yang zalim, buruk peranggai serta biadab tingkah lakunya
tentulah akan disambut oleh malaikat Malik di pintu neraka! Di samping itu, jika bangsa ini
dihuni oleh “para kaum dungu dan buruk peranggai”, maka di hari ulang tahun negara
Republik Indonesia yang ke-400 pun, negara ini masih saja dihiasi oleh demo-demo masalah
keanaikan BBM, demo yang menuntut kenaikan upah buruh, dan berita-berita mengenai TKI
yang disiksa di luar negeri karena ketidakmapanannya manusia-manusia yang menghuni
negara ini walau hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang primer (pokok).
Nah, salah satu cara membebaskan para manusia yang mengantongi kartu tanda penduduk
(KTP) Republik Indonesia dari kebodohan adalah melalui pendidikan. Pandidikan adalah
jembatan yang menhubungkan ilmu pengetahuan dengan kesejahteraan dan si manusia yang
berbudi luhur. Namun, bagaimana kiranya warga negara kita hendak melalui jembatan
pendidikan tersebut jika pemerintah tak membangun jembatan-jembatan itu secara adil di
seluruh penjuru Indonesia. Oke, kita patut berbangga dengan adanya sekolah-sekolah
unggulan sekarang, contohnya beberapa sekolah yang ada di Aceh, dan Pidie khususnya, di
tempat penulis berdomisili, seperti: SMP dan SMA Unggul Sigli yang dulunya dibangun pada
tahun 2007 oleh Swiss Red Cross paska musibah tsunami yang diperuntukan bagi anak-anak
korban tsunami dan konflik, tapi kini justru menjadi sekolah bagi anak-anak kaum pengusaha,
pejabat, dan pegawai negeri yang berpangkat!
Dan jika pun ada beberapa sekolah unggul atau sekolah yang bertaraf internasional di negara
kita yang tercinta ini, coba kita tanyakan lagi pada diri kita masing-masing, berapa persenkah
anak-anak di seluruh pelosok nusantara mampu bersekolah di sekolah-sekolah elit tersebut?
Jawabannya tentu saja sangat SEDIKIT dan hanya bagi mereka-mereka yang punya orang tua
kayalah yang mampu menikmati pendidikan yang layak dan berkualitas.
Sistem pendidikan di negara ini pun sungguh luar biasa hebatnya! Tahukah Anda kenapa? Ya,
karena persoalan ujian nasional dan kurikulumnya yang persis sama seperti seorang penderita
penyakit kurap dan panu yang sengaja menutupi tubuhnya dengan baju agar tak terlihat
penyakit memalukan itu oleh orang lain. Sudah menjadi rahasia umum jika ujian nasional
yang diberlakukan oleh pemerintah adalah ibarat “sinetron remaja” yang dibagian
pembukanya tertulis beberapa kalimat, seperti berikut: “Ujian ini adalah fiktif belaka. Apabila
ada kesamaan cerita, tempat, dan tokoh, hal tersebut tidaklah disengaja!”
Adapun maksudnya adalah semua elemen masyarakat, praktisi pendidikan, sampai tukang
parkir pun tahu jika ujian nasional tidaklah objektif. Kunci jawaban berhamburan ketika ujian
fiktif ini diselenggarakan. Semua sekolah berlomba-lomba meluluskan semua siswa-siswa
mereka tanpa mempersoalkan fair atau tidak fairkah ujian itu sendiri, yang terpenting LULUS
100%. Nama baik sekolah dan posisi seorang kepala sekolah pun ikut dipertaruhkan dalam
ujian yang diberlakukan setahun sekali ini. Provinsi menyurati dinas pendidikan kabupaten,
dinas kabupaten kemudian membagikan maklumat “kramat” kepada semua kepala sekolah
yang berada di bawah naungannya tersebut. Apabila hasil ujian nasional disatu sekolah
tertentu mengecewakan dinas dan provinsi, maka sang kepala sekolah siap-siap untuk
dimutasi alias ‘angkat koper’ ke sekolah pedalaman atau sekolah yang letaknya di daerah
terpencil. Anehnya lagi, di koran pun, semua sekolah berlomba-lomba memasang target
kelulusan untuk ujian nasional pada bulan-bulan sebelum ujian nasional terselenggara sebagai
simbol pretise belaka.
Kurikulum nasional yang di adaptasi oleh semua sekolah di Indonesia sekarang ini
sebenarnya tidaklah efektif dan selalu tidak tepat sasaran. Mengapa demikian? Nah, mari kita
telaah terlebih dahulu apa itu kurikulum dan seperti apakah kurikulum pendidikan di
Indonesia saat ini. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan tujuan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai rambu-rambu (pedoman) dalam proses belajar
mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran itu sendiri. Sejak tahun 2006, kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum pendidikan nasional yang telah diputuskan oleh
pemerintah.[1] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sendiri merupakan model
kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam meng-implementasi KTSP, guru diberikan kebebasan untuk
menyusun bahan ajar sendiri. Lebih lanjut, KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun
dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP juga dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.[2]
Dari gambaran tentang definisi KTSP di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum ini
memberikan otonomi khusus bagi sekolah (dewan guru) untuk menyusun bahan ajar sendiri
walaupun harus mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan berada di
bawah supervisi dinas pendidikan Kabupaten/Kota. Namun dalam pelaksanaan KTSP di
sekolah-sekolah tidaklah seindah konsep KTSP yang telah tersusun sedemikian rupa.
Contohnya, banyak ditemui sekolah-sekolah yang sama sekali tak mampu meng-aplikasikan
KTSP karena fasilitas belajar yang tidak memadai, tapi uniknya lagi, ada pula sekolah yang
punya fasilitas lengkap bantuan pemerintah, justru tak menggunakan media belajar tersebut
dikarenakan oleh dari sumber daya manusia (SDM) guru yang tidak layak pakai.
Untuk lebih jelas, di sini penulis mencoba mengambil satu contoh sekolah yang terletak
disekitar tempat tinggal penulis sendiri, yaitu: SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan.
Sekolah tersebut berada langsung di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie,
Provinsi NAD. SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan terletak pedalaman daerah
pesisir yang mayoritas penduduk di sekitar bekerja sebagai petani garam dan nelayan. Ketika
penulis mendatangi sekolah ini untuk melengkapi salah satu tugas liputan (berupa video)
untuk memenuhi tugas mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran, penulis sempat
mewawancarai sang kepala sekolah SMP tersebut. Berikut, adalah beberapa poin dari
penggalan percakapan penulis dan kepala sekolah SMP Negeri 2 Kembang Tanjung Desa
Arusan, yang bernama: Ibu Mardussana, S.Pd.
Penulis : “Sejauh mana implementasi KTSP di sekolah ini dan adakah kendala yang ditemui
di dalam kelas saat proses belajar mengajar dengan mengadaptasi kurikulum tersebut?”
Ibu Mardussana, S.Pd : “KTSPkan tentang sekolah kami sendiri, misalnya untuk sekolah
kami punya lima belas mata pelajaran, jadi untuk pengembangan kurikulum, kami bisa
menambahkan beberapa mata pelajaran muatan lokal, seperti: fiqih dll.”
Penulis : “ Bagaimana dengan jumlah guru di sini?”
Ibu Mardussana, S.Pd : “Guru melebihi karena jumlah siswanya kurang. Jumlah murid hanya
113 dari kelas 1 sampai dengan kelas 3.”
Penulis : “Apakah guru di sini mengajar sesuai dengan disiplin ilmu meraka masing-masing?”
Ibu Mardussana, S.Pd : “Misalnya begini, kamikan kadang-kadang guru-gurunya
perjurusankan lebih, kadang-kadang dijurusan yang lain tidak ada. Misalnya, TIK tidak ada
ahlinya, tapi ada guru ekonomi yang bisa pegang TIK, jadi kami kasih guru yang pegang
ekonomi itu mengajar TIK.”
Penulis : “Bagaimana dengan jumlah kelulusan siswa dalam ujian nasional tahun ini?”
Ibu Mardussana : “Alhamdullilah, sekolah kami lulus 100%.”
SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan bisa dikatakan minim peminat dikarenakan
faktor tempat yang terletak dipedalaman dan juga anggapan negatif para orang tua siswa
terhadap kualitas sekolah ini. Hal tersebut dikatakan langsung oleh kepala sekolah, Ibu
Mardussana, S.Pd. Beliau juga menambahkan, “Dinas sudah menetapkan rayon masing-
masing, tetapi kadang-kadang orang tua menganggap sekolah di kecamatan lebih bagus.”
Dari segi fasilitas belajar, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kembang Tanjong Desa
Arusan hanya memiliki 1 Lab. IPA dan 1 perpustakaan, namun SMP Negeri 2 Kembang
Tanjong Desa Arusan adalah salah satu sekolah yang bisa meluluskan 100% siswa-siswanya
meskipun KTSP di sana berjalan terseok-seok sebab kurangnya fasilitas dan SDM guru.
“100% ajaib!”
Untuk keluar dari kesembrawutan sistem pendidikan nasional, maka penulis ingin
menawarkan beberapa gagasan, yaitu: guru yang mengajar di sekolah bukanlah guru jadi-
jadian, sekolah di Indonesia jangan lagi ‘egois’, dan pemerintah harus ekstra peduli terhadap
nasib-nasib sekolah di negara ini.
Mengacu pada poin yang pertama, menganai tenaga pengajar (guru) hendaknya haruslah
betul-betul profesional. Jika bisa, para guru yang diseleksi untuk menjadi pegawai negeri
bukan hanya menjawab soal-soal di kertas saja, tapi teslah juga kepribadian mereka. Bisakah
calon-calon guru tersebut menguasai kelas dan memotivasi para muridnya nanti? Karena
mengajar bukanlah hanya sekedar menstranfer ilmu saja, tapi membuat siswa mau peduli
untuk belajar jauh lebih penting agar para guru nanti tidak menguraikan dan menjelaskan
materi pelajaran pada dinding-dinding kelas, tapi mereka harus bisa menggerakkan para siswa
untuk peduli pada materi yang sedang diajarkan. Dan para guru haruslah mengajar sesuai
dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Jangan lagi ada guru Ekonomi mengajar mata
pelajaran teknologi informasi dan komunisi ataupun guru bahasa daerah yang mengajar
pelajaran bahasa Inggris.
Kedua, hendaknya jumlah mata pelajaran janganlah terlalu banyak karena hal tersebut
tidaklah mungkin ter-kaver oleh anak-anak Indonesia yang kebanyakan menderita “gizi
buruk”. Arahkan mereka sesuai minat dan bakat mereka masing-masing. Hal tersebut justru
lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu.
Yang terakhir, stop KKN dan jangan politisir dunia pendidikan! Pemerintah harus lebih peduli
tentang nasib jutaan anak manusia yang akan menjadi kunci maju atau tidaknya bangsa ini di
masa yang akan datang. “Peduli” di sini bukan hanya sekedar menciptakan program
sebanyak-banyaknya tapi tidak tepat sasaran, contohnya: sertifikasi guru yang sampai dengan
hari ini tak jua memperlihatkan dampak positif yang signifikan untuk dunia pendidikan
Indonesia, pelatihan-pelatihan jangka pendek yang menghabiskan banyak biaya, dan lain-lain,
tetapi tugaskanlah atau berikanlah posisi-posisi yang berkenaan dengan dunia pendidikan
pada ahlinya, bukan hanya pada manusia-manusia yang punya kerabat dengan pejabat
tertentu. Jika salah menempatkan orang sesuai dengan bidang masing-masing bukanlah
perubahan yang akan didapatkan, tapi MALAPETAKA yang selalu hadir di tengah-tengah
kamuflase peningkatan mutu pendidikan Indonesia.
[1] Eka L. Koncara, “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),” UPTD Pembinaan TK-
SD PLS KEC. PLERED, (2010), hal. 2.
[2] Jumadi, “Pengertian KTSP dan Pengembangan Silabus dalam KTSP,” (Makalah
disampaikan pada pelatihan dan Pendampingan Implementasi KTSP di SD Wedomari).
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
“Bacalah Kudai” ( sebuah kisah taman bacaan di negeri antah berantah)
Oleh: ELSA RESTRIANA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan:
Isi essay menceritakan tentang pengalaman si penulis sendiri sewaktu mendirikan taman
bacaan di lokasi praktek kuliah kerja nyata ( KKN) penulis pada waktu itu. Penulis
menemukan fakta bahwa sebenarnya bukan karena malas, orang Indonesia itu membaca buku,
tetapi bisa jadi aset dan akses yang dibutuhkan untuk mendapatkan buku bacaan bermutu
memang sangatlah minim. Penulis pun mengharapkan keberadaan Taman Bacaan tidak
hanya sebagai tempat membaca atau meminjam buku saja. Justru keberadaanya seharusnya
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengembangan nilai seni dan budaya kita ataupun
tempat diskusi pertukaran ilmu dan pengetahuan.
———-
“ayuk[1] mokase yoh buku-bukunyo, aku jadi men balek sekolah idak maen layangan lagi,
mampir kudai ke sini, baco buku dulu ( ayuk, terimakasih yah buku-bukunya, sekarang tiap
pulang sekolah aku tidak main layangan lagi, tapi mampir dulu kesini, baca buku dulu)
Saya bingung, terharu dan sekaligus senang mendengar perkataan anak kecil di hadapan saya
barusan tersebut. Sebegitu tertarikkah anak-anak di desa ini dengan buku-buku bacaan yang
saya bawa, sehingga mereka bisa melupakan sejenak permainan layang-layang mereka yang
hampir dikata setiap hari sehabis pulang sekolah anak-anak disini menghabiskan waktu
mereka untuk bermain disini. Padahal buku-buku yang kami bawa ini sebagian besar buku-
buku lama yang diberikan secara cuma- cuma oleh perpustakaan kota Yogyakarta. Melihat
mereka sampai sebegitunya hati saya terenyuh, saya tidak menyangka taman bacaan ini begitu
dinantikan oleh anak-anak di desa ini.
Kejadian itu terjadi sudah lebih dari setahun yang lalu. Tepatnya di tahun 2011, di tahun itu
untuk pertama kalinya saya melaksanakan praktek Kuliah Kerja Nyata ( KKN) yang
diselenggarakan oleh pihak universitas saya. Program KKN itu sendiri merupakan mata
kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dan merupakan salah satu syarat
kelulusan. Ketika itu saya ditempatkan di kota Pagar Alam, provinsi Sumatera Selatan.
Memang tidak banyak orang yang mengenal tempat ini atau mungkin malahan ada yang tidak
menyangka kalau tempat ini ada di dalam wilayah Indonesia. Hal itulah yang saya alami,
ketika banyak teman-teman lain yang menanyakan dimana lokasi KKN saya berada. Malahan
ada beberapa teman yang mengatakan jangan-jangan saya ini sedang KKN di negeri antah
berantah. Saya pun, walaupun orang asli Sumatera bahkan tidak pernah mengunjungi tempat
ini, hanya mendengar namanya saja tetapi tidak pernah secara langsung dan sengaja
mengunjungi tempat ini. Dikarenakan memang lokasinya yang cukup jauh dari kota
Palembang sendiri dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam dari kota Palembang, belum lagi
ditambah dengan medan yang terjal, kanan kiri curang, dan daerah perbukitan yang rawan
longsor, sehingga membuat orang berpikir dua kali untuk mengunjungi daerah ini walaupun
daerah ini sebenarnya menyimpan banyak potensi pariwisata di dalamnya, baik wisata alam,
budaya, ataupun sejarah di daerah ini. Karena bisa dibilang daerah ini kaya akan peninggalan
prasejarah zaman Megalithikum.
Tema program KKN yang diusung oleh kelompok saya ialah mengenai pengembangan
potensi pariwisata. Saya dan 23 orang teman saya lainnya ditempatkan di Kelurahan Pagar
Wangi, desa Tegur Wangi Baru. Kebetulan desa ini menyimpan salah satu peninggalan
Megalithikum di dalamnya. Selain menjalankan program-program utama yang sesuai dengan
tema di atas, kami pun menjalankan program tambahan di luar tema utama berbasiskan
kepada pengabdian masyarakat. Salah satu program yang kami jalankan disana ialah program
pembuatan taman bacaan. Program inilah yang nantinya akan mengantarkan kita kepada
cerita di awal tadi.
Awalnya sebelum program ini dijalankan, saya dan teman-teman sempat pesimis, apakah
program ini akan sukses, apakah masyarakat akan menerima, apalagi mengingat buku bacaan
yang akan kami bawa nanti jumlahnya sangatlah minim. Pada waktu itu kami hanya
mengandalkan sumbangan dari teman-teman di kampus, beruntung H-3 sebelum kami akan
berangkan KKN, kami mendapatkan bantuan buku sebanyak dua kardus berukuran sedang
dari Perpustakaan kota Yogyakarta walaupun buku-buku yang diberikan kepada kami
merupakan buku-buku cetakan lama, tapi tidak apalah, toh setidaknya buku ini masih cukup
relevan untuk dibaca hingga saat ini. Ketika program akan disosialisasikan ke warga pun kami
pun mendapatkan kendala mengenai tempat atau lokasi yang akan dijadikan taman bacaan.
Kami baru sadar bahwa untuk membuat taman bacaan dibutuhkan lokasi yang cukup
mumpuni untuk dijadikan tempat menaruh koleksi-koleksi buku ini dan tempat yang nyaman
untuk anak-anak ataupun orang dewasa yang ingin membaca buku ini. Beruntung, ada salah
satu warga yang merelakan bagian bawah rumah panggungnya yang biasanya dijadikan
sebagai gudang, beliau relakan untuk digunakan sebagai tempat berdirinya taman bacaan
tersebut tanpa kami harus membayar ganti rugi sepeser pun, melihat bantuan dan dukungan
dari masyarakat yang begitu besar. Saya optimis bahawa taman bacan ini akan diterima dan
akhirnya setelah lokasi taman bacaan didapatkan, kami pun mulai mensosialisasikan hal ini
kepada warga. Respon yang kami dapatkan pun sesuai dengan harapan kami di awal tadi.
Taman bacaan ini pun kami beri nama “ Bacalah Kudai”. Kudai merupakan bahasa setempat
yang sering digunakan oleh orang-orang setempat untuk mengajak orang-orang yang lewat di
depan rumah mereka, untuk singgah atau sekadar mampir sebentar sambil minum kopi
dahulu. Kurang lebih dapat diartikan sebagai “mampirlah dulu”,begitupun alasan filosofis
kami memilih nama ini, kami sangat mengharapkan siapa saja yang lewat di depan taman
bacaan ini dapat meluangkan waktunya sejenak untuk mampir sejenak sambil membaca buku
walaupun belum ada secangkir kopi hangat yang menemani, tetapi setidaknya itu merupakan
seruan kepada warga yang lewat untuk mampir sejenak kemari.
Tiga bulan pertama setelah kami meninggalkan lokasi KKN, kami masih sempat
mendapatkan kabar dari pengurus taman bacaan tersebut sekaligus Karang Taruna setempat
yang kami titipkan dan serahkan untuk menjadi pengurus taman bacaan tentang kondisi taman
bacaan kami tersebut. Tapi setelah 6 bulan kami tidak mendapatkan kabar apa-apa. Setahun
berlalu, tepatnya bulan juni lalu tepat setahun KKN saya. Saya pun menyempatkan diri untuk
mampir lagi ke tempat KKN saya dulu, dari kabar yang saya dengar, taman bacaan itu
memang sudah sepi peminatnya, oleh karena itu akhirnya pengurus Karang Taruna setempat
mengambil inisiatif menjadikan taman bacaan tersebut sebagai lokasi PAUD ( Pendidikan
Anak Usia Dini). Perasaan saya waktu itu bingung dan sulit sekali menjelaskannya, sedih iya
karena taman bacaan itu menjadi lokasi PAUD, tetapi senang juga ada karena menurut
pengakuan Karang Taruna setempat berkat taman bacaan inilah, ide untuk mendirikan PAUD
di desa ini muncul. Mereka pun sebenarnya memang menyayangkan animo masyarakat
terutama anak-anak disini terhadap taman bacaan semakin lama semakin menurun, mungkin
memang karena kondisi buku yang lama tidak diperbaharui. Mereka pun sudah berusaha
mencari bantuan kemana-mana tetapi sampai sekarang tidak ada bantuan yang turun, maka
dari itu menurut mereka daripada taman bacaan ini dibiarkan mubazir begitu saja maka
mereka mengubahnya menjadi PAUD. Lokasi PAUD ini pun dipindah, yang tadinya di taman
bacaan “ Bacalah Kudai”, dipindah di dekat Madrasah Ibtidaiyah ( MI) di desa tersebut,
kebetulan ada bangunan kosong bekas gudang di MI tersebut, yang kemudian setelah
diperbaiki akhirnya dipergunakan sebagai lokasi PAUD tersebut dan “bacalah kudai”
teronggok begitu saja di bawah rumah panggung warga.
“yuk, yuk, ayuk kesini nak bikin taman bacaan lagi, ado buku baru dak yuk, kalo ado buku
baru aku nak tiap balek sekolah nak ke “bacalah kudai” lagi” ( yuk..yuk.ayuk kesini mau
bikin taman bacaan lagi, ada buku baru gak, kalau ada nanti tiap pulang sekolah aku mau ke “
bacalah kudai “ lagi) ucap anak-anak kecil di desa itu dengan riang
Lagi-lagi saya hanya mampu menatap mereka satu persatu-satu dengan senyum getir saya
katakan: “ nanti yah, “ bacalah kudai” jadi PAUD dulu, gek kalu ado buku baru, “bacalah
kudai” pasti ado lagi. ( nanti yah, “bacalah kudai” jadi PAUD dulu, nanti kalau ada buku
baru, “bacalah kudai pasti ada lagi)
Sepertinya, anggapan bahwa orang-orang Indonesia itu malas membaca buku, tidak semuanya
benar 100% dapat kita percayai. Mungkin, bukan malas lebih tepatnya, tetapi akses dan
kesempatan untuk mendapatkan buku bacaan yang bermutu dan berkualitas itu belumlah ada
dan menyentuh lini masyarakat Indonesia. Apalagi dengan kondisi wilayah Indonesia yang
cukup luas. Masih banyak penduduk kita di belahan bumi Indonesia lain yang merindukan
buku-buku bacaan segar sebagai makanan jiwa dan otak mereka. Taman Bacaan pun tidak
semestinya dikonotasikan hanya sebagai tempat membaca dan meminjam buku belaka, tetapi
tempat diskusi pertukaran ilmu dan informasi dapat terjadi di dalamnya atau mungkin sebagai
pusat pelatihan kebudayaan dan seni. Itulah gambaran ideal taman bacaan yang saya
harapkan. Tidak hanya tempat membaca buku, teapi juga pusat kegiatan edukatif di luar
kegiatan formal anak-anak di sekolah. Ahh…andai itu terjadi yah untuk saat ini saya hanya
mampu mengangankannya, walaupun mungkin di beberapa tempat mungkin sudah ada model
taman bacaan seperti itu, tapi yah itu tidak semuanya dapat dijangkau oleh jutaan warga di
Indonesia. Di Yogyakarta saya sendiri, saya sempat menemukan taman bacaan dengan model
seperti itu, jadi di samping taman bacaan, di dalamnya juga ada sanggar kesenian dan
keterampilan untuk anak-anak. Saya harapkan juga nantinya “ Bacalah Kudai” dapat
berkembang menjadi seperti itu.
Sebelum saya pulang, salah satu pengurus karang taruna disana sekaligus pengurus taman
bacaan disana mengatakan kepada saya, bahwa tahun depan “bacalah kudai” pasti akan ada
lagi dengan lokasi yang sama dimana PAUD tersebut berdiri sekarang. Sambil tersenyum
pahit dan getir, apalagi mengingat keadaan “bacalah kudai” sekarang, saya katakan
kepadanya untuk tidak usah menghibur saya. Dengan tegas, dia menjawab, bahwa apa yang
dia katakan barusan bukanlah bermaksud menghibur tapi ini benar-benar janji karena bagi
mereka “bacalah kudai” sudah mengubah segalanya di desa ini dan sudah menjadi bagian dari
desa ini, “bacalah kudai” ada di hati warga di desa ini. Saya yang tadinya hanya tersenyum
getir berubah menjadi ceria kembali, saya katakan kepadanya satu tahun lagi saya akan
kembali kesini menagih janji yang dia ucapkan ke saya. “Bacalah Kudai” oh “Bacalah Kudai”
kisahmu semoga tidak berakhir begitu saja dan saya harap akan ada kudai kudai yang lainnya
di desa lain.
[1] Ayuk: panggilan untuk kakak perempuan di Sumatera Selatan
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Pesan Keteguhan dari Pulau Lombok
Oleh: FATIMAH ZAHRA - UNIVERSITAS PARAMADINA
Ringkasan
Esai ini bercerita tentang warga Ahmadiyah Lombok yang sudah mengungsi di Transito sejak
2006 yang belum ada kejelasan nasibnya hingga kini. Mereka mengalami hambatan ekonomi
dan sosial, tak bisa pulang ke rumah asalnya. Namun, para pengungsi teguh dalam hadapi
segala tekanan dan pengacuhan.
——————————
PERTENGAHAN SEPTEMBER 2012 lalu saya berkesempatan berkunjung ke Transito,
tempat pengungsian Ahmadiyah di Lombok. Letak asrama Transito tak jauh dari pusat kota
Mataram, eks gedung transmigrasi. Ada lebih seratus warga Ahmadiyah mengungsi di sana.
Sehari-hari mereka menetap di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain-kain bekas spanduk
sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain. Tiap keluarga – ayah-ibu
serta anak-anaknya – tinggal di ruang petak berukuran 3×3 meter berbatas kain itu. Mereka
berbagi tidur, anak-anak belajar, dan memasak di ruang yang sama.
Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh orang-orang yang
menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid Ahmadiyah di Bayan,
Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal, dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir.
Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi
dari kampungnya dan mengungsi. Sejak saat itu setidaknya delapan kali warga Ahmadi
berpindah tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok-Sumbawa. Ada yang mengungsi
ke sanak saudara, ada pula yang kembali berusaha membangun rumah di tempat lain. Namun,
tak kurang dari delapan kali itu pula mereka terus-menerus diserang dan diusir. Tahun 2010
beberapa belas kepala keluarga beli tanah dan bangun rumah dari hasil keringat sendiri di
daerah Ketapang, tapi lagi-lagi rumah mereka disasar dan dibakar. Ihwal ini, laporan
sementara Komnas HAM mengindikasikan adanya sebuah pola yang “sistematis dan meluas”,
dua unsur yang menunjukkan adanya pelanggaran berat atas kemanusiaan. Intensitas
kekerasan atas nama keyakinan naik drastis pasca-Suharto, lebih-lebih di bawah pemerintahan
Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 anti-Ahmadiyah.
Sejak 2006, warga Ahmadiyah Lombok tinggal di Transito. Ada pasangan yang menikah di
pengungsian, ada perempuan-perempuan mengandung, ada anak-anak yang lahir dan tumbuh
besar juga di sana. Para pengungsi tersebut mengalami begitu banyak hambatan sosial dan
ekonomi.
“Kami ini seperti tak diakui sebagai warga negara Indonesia,” ujar Syahidin, seorang
pengungsi. “Kalau ketahuan kami orang Ahmadiyah, tinggal di Transito, kami mengurus KTP
tidak akan diproses.”
Sebagian besar pengungsi tak punya kartu penduduk. Imbasnya, pasangan yang menikah tak
bisa memiliki akta nikah, lalu anak-anak pun tak punya akta lahir, yang gilirannya akan
kesulitan saat daftar sekolah. Pengungsi yang tak punya KTP tak bisa mendapat akses layanan
publik seperti jaminan kesehatan. Status kependudukan yang diabaikan di tempat asal maupun
di Transito bikin anak-anak sekolah kesulitan mendaftar beasiswa karena pejabat kelurahan
enggan memberikan dokumen pengantar.
Menurut Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina, “Tenun kebangsaan kita seperti
sedang dirobek-robek”. Sebagai sebuah negara-bangsa kita telah bersepakat untuk
membentuk dan berada dalam sebuah kesatuan yang tak membedakan baik agama,
keyakinan, warna kulit, ataupun ras. Konstitusi menjaminnya. Namun, di pulau Lombok ini,
ada sebagian penduduk yang hak-haknya sebagai warga negara dicerabut karena keyakinan
yang dianut.
“Kami ini seperti sepetak tanah yang belum merdeka,” ujar Rahma mengungkapkan kesulitan
tanpa dokumen kewargenagaraan.
Meski demikian, mereka memilih tetap teguh dengan keyakinannya – betapapun bertahun-
tahun hidup di bawah tekanan sekaligus diabaikan keberadaannya.
“Memangnya orang-orang yang mengusir dan menyuruh kami keluar dari iman kami, bisa
menjamin bahwa jalan yang mereka paksakan bisa membuat kami tentram? Kami bertahan.
Kami rela kehilangan harta benda dan melewati segala ancaman, intimidasi, serangan—meski
sulit—serta kepedihan ini. Karena kami mendapatkan kedamaian dengan keyakinan ini.
Kedamaian itu yang membuat kami kuat melewati semua ini.” ujar ibu-ibu satu suara saat
saya mengobrol melingkar dengan mereka. Keteguhan ibu-ibu ini, menggaris pesan untuk
kita: Silahkan penjarakan tubuh kami, tapi tak akan pernah bisa atas pikiran dan keyakinan
kami.
Saya meyakini bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tuhan menciptakan kita dalam
penuh warna, supaya kita saling belajar dan mengambil hikmah satu sama lain. Berusaha
memberangus keragaman yang ada, apalagi dengan kekerasan, adalah sebuah perbuatan yang
naif. Berkaca dari keteguhan ibu-ibu pengungsi Transito, menekan orang lain untuk menjadi
sama dengan kita hanyalah perbuatan sia-sia.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang pasti ada. Menjadi pilihan kita, akan
bersikap seperti apa pada hal yang niscaya ada itu. Menumpah darah untuk
menyingkirkannya, telah kita lihat hanya akan menjadi rantai konflik panjang yang tak pernah
usai, dan sia-sia. Atau, menerima perbedaan sebagai sumber kekayaan.
Saya menjadikan perbedaan sebagai warna dan sumber pelajaran hidup dalam interaksi sosial.
Bersama teman-teman kampus di Dewan Keluarga Masjid (DKM) Paramadina, kami
membentuk sebuah organisasi keagamaan yang inklusif. DKM ini seperti rohis atau Lembaga
Dakwah Kampus bila di universitas-universitas lain. Rohis banyak dikenal sebagai sebuah
organisasi yang sektarian. Memandang kelompoknya paling benar dan ingin meyingkirkan
yang lain. Namun, di DKM ini kami berusaha membentuk kultur lain. Organisasi terbuka
bagi ideologi keyakinan dan pikiran apapun. Menjadi anggota DKM tak harus mesti berjilbab,
bahkan ada juga teman non-muslim turut bergabung.
Belajar dari pengalaman, interaksi secara personal dengan yang berbeda merupakan metode
yang ampuh untuk menerima dan menghargai keragaman. Saya senantiasa mendorong rekan-
rekan “minoritas” keyakinan untuk speak out. Saya punya banyak teman beragam keyakinan:
Ahmadiyah, Bahai, Kristen, Syiah dan lainnya. Terutama saat kasus-kasus kekerasan terhadap
kelompok-kelompok keyakinan ini merebak, saya dorong dan perkenalkan teman-teman ini
ke organisasi. Biasanya setelah kenal secara personal dengan teman dari kelompok keyakinan
yang sedang disasar, rekan-rekan lain bisa memandang masalah yang ada secara lebih
humanis.
“Kaget sih waktu denger dia ngaku Ahmadiyah. Baru pertama kali soalnya punya temen
Ahmadiyah. Jadi seneng sih punya temen beragam. Sekarang kalau ada kejadian apa-apa saya
suka nanya keadaannya sama temenku ini.” ujar Hayat, anggota DKM setelah seorang
Ahmadi speak out.
Pendidikan publik di lingkup kecil ini sangat penting supaya lingkungan sekitar kita belajar
untuk menerima dan menghargai perbedaan. Ada begitu banyak masa depan anak-anak yang
tercerabut karena ketidakdewasaan kita menghadapi perbedaan. Seperti puluhan anak-anak
pengungsian Transito ini, yang berebut mencium tangan saat saya hendak pulang. Masa depan
mereka masih panjang.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Merajut Benang dalam Sistem Demokrasi Kerakyatan
Oleh: MICHAEL ARNOLD PRAMUDITO - UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Demokrasi dalam konsepsi yunani disebut sebagai Government or rule by the people atau
juga sering disebut Pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat seperti dalam pidato Abraham
Lincoln di Geutsberg-Amerika Serikat. Pada kondisi ini, demokrasi menghendaki adanya
kebebasan, kesetaraan berpolitik, serta adanya Sirkulasi Elit yang temporer mengingat
demokrasi berangkat dari Keutamaan Warganegara atau Kedaulatan ada ditangan Rakyat.
Rocky (2009) menyebutkan bahwa filsafat dibelakang demokrasi adalah penerimaan terhadap
Filibilisme manusia, ketidaklengkapan manusia karena itu tentang kemungkinan berbuat salah
sehingga konsesus yang dihasilkan demokrasi adalah konsesus yang menjamin kesetaraan
Hak dan kebebasan warga Negara (http://raflizulfikr.wordpress.com).
Demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti
dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga Pilkada dapat berlangsung
dengan bebas, transparan, demokratis, dan, paling penting, dalam suasana damai. Check and
balance di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga berlangsung sangat
dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih baik dibandingkan masa Orde
Baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya beberapa kelemahan dalam batang tubuh UUD
1945 yang kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil berbeda dibanding Batang Tubuh
UUD 1945 yang asli (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hal. 99).
Perlu diakui bahwa perubahan UUD 1945 hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan
dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya
terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia. Pasca Amandement
UUD 1945 negara Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan yang terjadi muncul
sangat beragam dari masyarakat. Hal tersebut sangat wajar sebab di balik sistem demokrasi
yang dianut di Indonesia, ditemukan sisi negatif dari perkembangan nilai demokrasi.
Perkembangan demokrasi dianggap tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia. Sisi negatif
itu muncul bukan dari kehidupan rakyat dalam lingkungan kemasyarakatan, tetapi dari
pemerintahan yang berkuasa. Demokrasi yang dianut oleh elite politik bukan demokrasi yang
telah dibangun oleh founding father Republik Indonesia, tetapi demokrasi Pontokrasi yaitu
konsolidasi antara segelintir pemilik modal dengan para politisi yang duduk di parlement dan
pemerintahan. Tidaklah mengherankan bila proses politik di Indonesia menghasilkan
kepentingan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Freedom House, Organisasi non pemerintah terkemuka dari AS, yang melakukan riset dan
advokasi, kemerdekaan politik dan hak asasi manusia. Laporan penilaian tahunan yang
berjudul “Countries at the Crossroads 2012” itu dirilis di Washington DC, Amerika Serikat,
Senin 17 September 2012. Laporan tersebut memuat hasil penelitian terhadap 35 negara yang
dipandang penting dan strategis di seluruh dunia. Indonesia disorot secara khusus karena telah
terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para
wartawan. Kepemilikan media juga mengerucut pada kelompok-kelompok tertentu yang
jumlahnya semakin sedikit. Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh melakukan
pemberantasan korupsi dan melakukan penyedotan sumberdaya alam secara serampangan.
Juga disebutkan keberadaan oligarki-oligarki ekonomi yang mampu memanipulasi kebijakan
pemerintah. Dokumen laporan resmi yang diperoleh Kompas 19 September 2012 dari laman
resmi Fredoom House (www.freedomhouse.org)
Keadaan ini seolah berbanding lurus dengan para elite politik yang seakan belum bisa dewasa
untuk menyikapi apa arti demokrasi. Buktinya, pada rapat anggota DPR yang membahas
mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM, mereka seakan akan bagai singa yang
meraung raung untuk mempertahankan kekuasaan. Sangat terlihat sekali, bahwa sebenarnya
yang mereka anut bukan demokrasi, tetapi suara mayoritas yang menekan suara minoritas,
demokrasi bagi mereka adalah jalan untuk mempertahankan kekuasaan, menggunakan
popularitas sebagai alat politik.
Parahnya lagi muncul dua ribuan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin
dan anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan hasil analisis Pusat
Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan itu kuat menandakan bahwa sebagian pemimpin
dan anggota Badan Anggaran, yang seharusnya mengawasi kualitas belanja negara, justru
menjadi episentrum persoalan: bak pagar makan tanaman (Tempo, 3-9 September 2012).
Pada tanggal 7 Desember 2011 Sondang Hutanggalung, seorang aktivis mahasiswa
melakukan aksi bakar diri didepan istana sebagai protes kepada pemerintahan SBY yang dia
anggap gagal dan tidak pro rakyat. Tanggal 10 Desember, tepat dihari Hak Asasi Manusia
Sondang wafat sebagai martir. Apa yang sebenarnya dituntut Sondang adalah exspresi politik
dari ‘mayoritas diam’ yang tidak puas dengan kondisi yang ada (Usman Hamid: Bergerak
untuk daulat, hal: v).
Seakan rakyat juga tidak pernah diam. Respons politik rakyat berkembang hingga berbagai
sektor seperti mahasiswa, petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan dan lembaga
swadaya masyarakat. Pergerakan mereka didukung para aktifis perempuan, aktifis
lingkungan, pejuang HAM. Mereka bergerak menyuarakan kepentingan politik rakyat.
Perkembangan ini kemudian didukung dengan logika masyarakat yang mulai berkembang ke
arah yang positif, membuktikan bahwa rakyat terus bergerak memperjuangkan demokrasi
kerakyatan.
Sebenarnya yang memang sangat perlu diperhatikan dalam lingkungan kemasyarakatan
adalah bagaimana pemerintah dapat mengatasi sistem birokrasi yang saling bertentangan atau
berlawanan, ini muncul karena pergantian sistem birokrasi dari berbagai rejim yang berkuasa,
peninggalan antara berbagai rejim ini menyebabkan ketidak seimbangan didalam
pemerintahan, peninggalan rejim lama yang masih cenderung korup, tidak transparan, tidak
akuntabel dan tidak efektif, jika masih belum dimusnahkan maka sebaik apapun pemerintah
mengorganisir, maka pemerintahan akan tetap belum demokratis. Birokrasi diciptakan untuk
memberikan pelayanan kepada publik. Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program
dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang
harus ada. (Toenggul P. Siagian: 2000).
Jokowidodo menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rezim orde lama sangat
dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang tak sejalan dengan sistem
yang ia bangun ia pecat dan digantikan dengan yang baru. Dengan dengan ketegasan ini ia
berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sisitem yang ia
bangun. Jokowi bukanlah tipe ‘pemimpin peragu’ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam
pemerintahanya (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: 305).
Peningkatan sistem birokrasi kerakyatan ini juga harus diimbangi dengan Keberpihakan
Ekonomi Kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada
kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi
atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya
mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang
selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor
pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
UKM terbukti mampu menjadi bantalan bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, sektor
UKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar ( padat karya angkatan kerja
tidak terdidik dan terlatih ) sehingga mampu memperluas lapangan kerja untuk mengurangi
jumlah pengganguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Riset Bank Indonesia
menunjukkan, sepanjang krisis ekonomi periode 1998 lalu, hanya 4 persen UMKM (Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah) yang bangkrut, 31 persen mengurangi skala usaha dan 65 persen
mampu mempertahankan kenerja usahanya. (Koran Tempo, Rabo 19 sept 2012)
Sehingga dengan adanya berbagai sistem pemerintahan yang pro Rakyat, mampu
menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dan sebagai akar dari pembangunan
Indonesia menjadi negara maju.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Internet Viral Marketing: Cara Baru Memperkenalkan Budaya Bangsa
Oleh: VENNI BUDI CAHYANI - UNIVERSITAS DIPONEGORO
Kemajuan teknologi dan informasi menjadi ancaman bagi kebudayaan nasional yang masih
tradisional. Masuknya kebudayaan dari luar melalui media baik elektronik maupun cetak
mulai menggeser kecintaan masyarakat terhadapan budaya asli Indonesia. Selain itu ancaman
musnahnya kebudayaan nasional muncul dari dalam diri masyarakat itu sendiri, terutama di
kalangan generasi muda. Generasi muda Indonesia masih sangat rendah minat dalam hal
membaca dan menulis sehingga ini merupakan tolak ukur bagi tingkat mempelajari budaya.
Namun dari kemajuan teknologi pula kita dapat menangkap peluang baru untuk melestarikan
kebudayaan nasional. Dengan cara mempopulerkan dan mengenalkan keragaman budaya
nasional melalui jejaring sosial, baik facebook, twitter maupun jejaring sosial lainnya. Hal ini
menjadi peluang yang sangat baik karena trend gaya hidup masyarakat Indonesia terutama di
kota – kota besar telah bergeser pada generasi gadget dan internet. Pengaruh jejaring sosial di
internet pun semakin besar. Misalnya dalam memilih tempat wisata para turis baik manca
maupun domestik lebih percaya pada banyaknya orang yang membicarakannya di twitter atau
rekomendasi teman – teman di facebook daripada brosur pariwisata. Kicauan – kicauan di
twitter pun dapat mempengaruhi jumlah pemilih dan pemilihan umum.
Sosialisasi melalui jejaring sosial atau lebih dikenal dengan Internet Viral Marketing ini sudah
banyak digunakan oleh negara – negara maju. Misalnya saja negara Inggris, yang mewajibkan
semua anggota parlemen dan pegawai negri sipilnya untuk ikut mensosialisasikan kebijakan –
kebijakan pemerintah yang telah dibuat. Ini merupakan salah satu pendekatan komunikasi
pemerintah dengan rakyatnya. Mengingat semakin banyaknya warga negara yang
menggunakan internet, pemerintah Inggris mengembangkan kemampuannya menggunakan
channel digital secara efektif.
Pengguna jejaring sosial di Indonesia untuk media twitter, berdasarkan data yang dilansir situs
Semiocast Dot Com, jumlah tweeps di Indonesia sebanyak 19,5 juta orang. Jumlah tersebut
menempati posisi kelima dunia setelah Amerika Serikat (sekitar 107 juta pengguna), Brasil
(33 juta pengguna), Jepang (29 juta pengguna), dan Inggris (24 juta pengguna).
Sementara itu, data yang dirilis situs A World of Tweets Dot Com menempatkan Indonesia
sebagai negara ketiga terbanyak di dunia dalam menulis tweet (kicauan), yakni sebesar
11,39%. Peringkat pertama diduduki Amerika Serikat dengan jumlah tweet sebanyak 27%,
dan peringkat kedua dipegang Brazil dengan tweet sebesar 24 %.
Sementara untuk media fecebook, jauh lebih besar yakni 43,06 juta (data terakhir situs
Socialbakers Dot Com terlampir). Pengguna facebook berasal dari semua kalangan dan
semua usia.
Dari data di atas angka pengguna situs yang cukup besar. Terlebih lagi pengguna jejaring
sosial di Indonesia sangat aktif online dan berkicau. Terbukti dari survey bahwa Indonesia
menempati urutan ketiga dalam menuliskan tweet di twitter dapat kita simpulkan bahwa
media jejaring sosial sangat berpotensi sebagai media untuk mensosialisasikan khazanah
budaya bangsa yang sudah banyak dilupakan masyarakat.
Agar persebaran informasi dapat maksimal dan menarik, ada beberapa cara yang dapat kita
terapkan. Cara – cara tersebut adalah:
Membuat situs atau blog perpustakaan budaya
Situs ini berisi database, foto – foto, dan video keragaman budaya di Indonesia. Pada beranda
terdapat link masing – masing provinsi. Pada link provinsi tersebut kita dapat mengetahui
informasi dan berita terkini seputar budaya di daerah tersebut.
Membuat akun fanspage di facebook
Akun fanspage merupakan salah satu ikon di facebook yang dapat diikuti banyak fans tanpa
harus menjadi teman. Akun ini dapat diupdate oleh beberapa admin. Dengan menggunakan
akun ini informasi akan lebih mudah didapatkan oleh para fans.
Menghubungkan beberapa media
Link situs / blog yang berisi artikel – artikel, foto, video budaya dengan twitter dan facebook.
Setiap ada content blog baru maka secara otomatis akan tersiar juga di twitter dan facebook.
Aktiflah untuk update status ataupun tweet
Update info harus rutin dan berkelanjutan. Jangan lupa mention instansi atau orang-orang
penting dan yang terkait dengan update kita. Jika sedang tidak ada artikel baru kita bisa
update yang lain yang bermanfaat dengan tetap menyelipkan link situs / blog kita.
Buatlah kuis kebudayaan berhadiah
Kuis tentang pengetahuan budaya berhadiah dapat memotivasi masyarakat pengguna jejaring
sosial untuk mempelajari budaya nasional dan lebih sering membuka situs – situs budaya. Hal
ini sangat menarik minat masyarakat dan merupakan cara yang paling efektif untuk memaksa
masyarakat mempelajari dan mengenal budaya nasional.
Sebarkanlah semangat melestarikan budaya nasional
Selain memperkenalkan dan mensosialisasikan kembali kebudayaan nasional, kita dapat juga
memotivasi generasi muda untuk menggunakan kebudayaan nasional dalam event – event
yang mereka adakan. Misalnya dalam event sekolah, kampus, maupun masyarakat kita
menampilkan tari – tarian asal Indonesia ketimbang boyband ataupun dance dari luar. Inilah
tugas kita untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan pada budaya nasional pada
generasi muda.
Dimulai dari dunia maya dengan menyebarkan dan membiasakan masyarakat membaca
informasi tentang kebudayaan nasional akan dapat mempengaruhi alam bawah sadar mereka.
Bahwa kebudayaan nasional jauh lebih baik dan lebih patut untuk dibanggakan sebelum
kebudayaan lainnya. Dengan terbangunnya lagi rasa cinta budaya bangsa maka aksi – aksi
untuk melestarikan budaya nasional di dunia nyata akan banyak dilakukan. Semakin banyak
generasi muda yang peduli dan mau meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan
chanel digital secara efektif untuk menyebarkan semangat mengenali dan mencintai
kebudayaan nasional maka semakin mudah bagi Indonesia mengembalikan keutuhan
budayanya dan kebhinekaannya.
Ancaman lunturnya kebudayaan nasional di Indonesia dapat diimbangi dengan gencarnya
menyebarkan gerakan “kenali dan cintai budaya nasional” melalui media jejaring sosial. Hal
ini sangat potensial mengingat hampir sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini
menggunakan internet dan aktif di jejaring sosial. Kita hanya perlu mengenalkan dan
menyadarkan masyarakat akan keberadaan kebudayaan tersebut. Dengan membangun
kembali pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya nasional mealui dunia maya, maka
masyarakat sendirilah yang akan sadar dan melestarikannya dalam kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Organisation.org
awordoftweet.com
wikipedia.com
Negara Hijau Ini “Mengemis” Penghijauan
Oleh: IBNI SABIL A’IFA ZAENAL MANAN - UNIVERSITAS INDONESIA
Ringkasan Esai:
Sangat memilukan kondisi bangsa ini, semakin terdikte atau lebih tepatnya “tertindas”
keinginan bangsa lain. Negara hijau dengan julukan populer paru-paru dunia ini sekarang
dipaksa menjadi pengemis dalam penghijauan tubuhnya sendiri. Konsep REDD yang diusung
menjadi kesepakatan dunia dalam menangani perubahan iklim serta pemanasan global mulai
berbau politik yang menyebabkan negara berkembang semacam Indonesia terus dipaksa
“memubadzirkan” buminya dengan kepentingan yang mayoritas hanya untuk bangsa-bangsa
maju. Mubadzir karena saat hutan hijau kita mampu diolah dengan cermat, telah sangat cukup
untuk memakmurkan rakyat pribumi.
—————————————————-
Saya sedikit akan memulai esai ini dengan cerita, cerita yang sewaktu itu saya banggakan.
Pernah sewaktu saya menginjak tahun kedua berkuliah, saya mengikuti suatu forum se-Asia
yang membahas mengenai karbon (sebutan untuk senyawa kimia yang sekarang tenar menjadi
kambing hitam akan munculnya global warming). Setelah mengikuti forum tersebut, saya
membentuk tim penelitian dan mengajukan sebuah proposal penelitian bertopik karbon,
khususnya dalam kepentingan mengestimasi jumlahnya di Provinsi Riau. Saya dan tim cukup
bangga waktu itu karena proposalnya disetujui untuk mendapat pendanaan, tetapi itu waktu
dulu (artinya sekarang tidak begitu). Mengapa tidak bisa lagi membanggakan? Karena
sekarang mata saya terbuka, terutama mata hati bahwa kebanggaan dari penelitian ini
hanyalah prestasi semu.
Meredam Kegagalan Pembangunan Global (Gagalnya Rezim Global)
OK, saya mencoba mengawali kronologisnya seperti ini. Krisis energi global adalah persoalan
ekonomi politik yang sangat dekat dengan persoalan penguasaan akses ekonomi, alokasi
sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Hal yang perlu
ditekankan dari pengertian tersebut adalah soal siapa yang memperoleh manfaat
(keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya
kerusakan/pencemaran lingkungan. Saya bisa katakan bahwasanya krisis lingkungan global
adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.
Secara umum sebagian besar penduduk negara-negara kaya (yang cenderung di belahan bumi
utara) dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap
kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta
terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka
harusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat
eksploitasi yang berlebihan di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.
Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model
pembangunan skala global. Karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan
perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga
tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang
terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi
ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.
Dalam REDD, Hutan = Tempat Sampah Pemanasan Global
Isu pemanasan global menjadi runyam karena ternyata skema mekanisme pembangunan
bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan, dan sampai hari
ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan hijau Indonesia tak ubahnya hanya
“tempat sampah” CO2 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagi
masyarakat Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air,
energi dan pangan, terutama teruntuk rakyat sekitar hutan.
Kemudian muncullah tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions from
deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme
pembangunan bersih (clean development mechanism) dengan penanganan kerusakan hutan
(deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban negara-negara “Utara” untuk
membayar kompensasi kepada negara-negara “Selatan” guna mengurangi penggundulan
hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang
dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari
deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi
karbon di atmosfer dapat dikurangi.
Tapi ada beberapa hal terpelenceng dan merugikan dari konsep REDD. Pertama, REDD
terlalu menyederhanakan fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbon
dioksida (carbon sinks) dan mengabaikan fungsi penting lain hutan sebagai daerah tangkapan
air (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood) di
sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan dari
sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentu akan
merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik.
Kedua, REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan
(termasuk Indonesia) untuk menjaga atau lebih tepatnya “mengunci” kawasan hutannya
dengan imbalan “recehan”. Tawaran ini dengan sendirinya akan membatasi akses dan
partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common
goods.
Ketiga, REDD akan berpotensi mengaburkan proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus
kejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi
kewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan begini,
posisi Departemen Kehutanan pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasional
dan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Keprihatinan REDD justru lebih condong
pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melalui
mekanisme insentif yang ditawarkan.
Saya sendiri geograf yang belajar cukup banyak mengenai kompleksitas ekosistem hutan.
Konsep REDD sangat rawan memicu ketiga celah tadi dan bahkan masih mungkin berefek
domino pada kemunculan kerugian, kecurangan, atau kerusakan yang lain.
Mereka “Mencuci Tangan” dengan REDD
Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat diarahkan pada sistem klasifikasi hutan pada
Tataguna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi,
hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak
terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan
(tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus
ditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang
kondisi masih berupa hutan. Dengan pengkatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan
semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan
melibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah.
Dengan model klasifikasi ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini berada dalam
“kawasan hutan” berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan “terusir”
dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka Pemerintah Pusat
melalui Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara “liar” menetapkan
tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatas hutan terpadu
sampai dg 30%). Ini akan berdampak pada tersingkirnya masyarakat di “kawasan hutan”.
Secara tegas dalam IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) memandatkan untuk
menegosiasikan “kebun kayu” (HTI), perkebunan kelapa sawit dan kawasan konservasi ke
dalam skema REDD. Dan ini berarti tidak ada tempat lagi untuk rakyat sekitar hutan. Sebab
yang paling diuntungkan adalah para pebisnis sektor hutan, sektor perkebunan, dan sektor
konservasi.
Perubahan Iklim Selesai dengan REDD?
“Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal
REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia)”.
Pernyataan tersebut banyak diungkap oleh berbagai pihak, termasuk saya yang setuju dengan
pernyataan di atas. Mekanisme REDD menegaskan negara hijau ini untuk “mengemis”
kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan kita sendiri, maka tak ada lagi
yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara juga
memiliki tanggung jawab besar daripada “membagi” uang receh kepada negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus
memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.
Mengulas kembali pernyataan saya di atas, pertama REDD tidak lebih dari upaya menutup
akses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat
yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan
menyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung
jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi (konotasi
negatif) perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Keempat, REDD
merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Hutan bukan sekedar penyerap
karbon, tetapi juga sebagai ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi
kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.
Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/
market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Protokol Kyoto mengatur berbagai cara
agar emisi karbon negara-negara industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yang
mereka keluarkan pada tahun 1990. Protokol ini mengatur salah satu pengurangan tersebut
dengan mekanisme perhitungan tertentu yang pada intinya memberi nilai moneter pada
karbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yang
mereka keluarkan.
Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secara
meyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasi dana.
Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap atau dicegah
tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidak rusak/ditebang, dan
inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.) sangat suka ide ini,
karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri.
Dilihat dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihak
industri tersebut terus melakukan polusi atmosfer kita yang pada akhirnya akan menjadi
masalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar,
mereka dapat melakukan ini. Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema ini
akan menjadi semacam area “status-quo” dimana masyarakat tidak boleh menebang atau
memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untuk
melayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanjut lagi, siapa yang akan
menentukan tanah/hutan mana untuk skema ini?
Bukan hanya itu, ternyata menurut pemaparan Meneg KLH Rachmad Witoelar, taksiran
kompensasi untuk hutan di Indonesia hanya kurang lebih sebesar Rp 95.000,- per hektar per
tahun. Bahasa kasar untuk mengumpamakan “pelecehan” ini mungkin ibarat untuk uang jaga
atau membeli kopi saja tak akan mencukupi, apalagi diandalkan sampai mencukupi kebutuhan
masyarakat yang tidak lagi diizinkan mengelola hutan. Padalah menurut perhitungan
Suparmoko (seorang ahli kehutanan), jika hutan Indonesia dikelola baik-baik akan mampu
menghasilkan US$ 191,25/ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/ha/tahun untuk hutan
sekunder, US$ 301,85/ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$ 301,85/ha/tahun untuk
hutan lindung. Melihat angka ini, saya sendiri merasa sangat dibodohi konsep REDD yang
dulu pernah saya banggakan.
Sudah saatnya bangun dan sadari bahwa negara hijau ini tidak harus mengemis untuk
menghijaukan buminya. Indonesia kita, mampu hijau dan bermanfaat dengan mandiri.
Masyarakat adat sekitar hutan yang sejak dahulu terus mewarisi budaya mereka untuk
melestarikan hutan adalah orang-orang terbaik yang akan menjaga dan mengelola potensi
besar hutan ini. Bukan orang-orang ambisius dengan harta, tapi masyarakat sekitar hutan ini
secara nurani telah menyatu dengan hutan, cukup hormati hak mereka dan terus saling
membantu mengelola hutan kita, maka tidak akan ada lagi permasalahan yang terlalu rumit,
apalagi hanya soal harus kembali hijaunya sang paru-paru dunia.
Referensi
http://basapindo.blogspot.com/ (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.15 WIB)
http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666 (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.10 WIB)
www.rareplanet.org (diakses 5 Oktober 2012, pukul 10.10 WIB)
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Lagu Daerah, Riwayatmu Kini
Oleh: DIAN NISITA - UNIVERSITAS INDONESIA
Rangkuman :
Lagu – lagu daerah kini kian tergerus oleh lagu-lagu kontemporer yang dianggap lebih
modern. Hal ini mengakibatkan lagu-lagu warisan nenek moyang tersebut kurang
mendapatkan perhatian, kemudian ditinggalkan. Kasus klaim Rasa Sayange oleh negara
Malaysia merupakan suatu bukti dimana lagu-lagu daerah Indonesia sangat mudah untuk
direbut oleh negara lain. Musisi dan peneliti telah melakukan berbagai usaha untuk
melestarikan keberadaan lagu-lagu daerah, baik dengan mengaransemen ulang maupun
dengan menciptakan peta lagu. Kini, giliran pemerintah untuk memaksimalkan apa yang telah
dirintis oleh musisi dan peneliti dalam rangka mempertahankan eksistensi lagu-lagu daerah
sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan,
seharusnya dapat melakukan lebih banyak tindakan untuk melestarikan lagu-lagu daerah.
Pelestarian tersebut dilakukan dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
berharganya lagu-lagu daerah tersebut melalui berbagai hal, diantaranya adalah melaksanakan
Festival Lagu Daerah di tingkat daerah, mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan
mematenkan lagu-lagu daerah tersebut, serta mengeluarkan kebijakan bagi musisi pendatang
untuk menyelipkan minimal satu buah lagu daerah ke dalam album baru yang akan
diluncurkan.
—————
Rasa sayange
Rasa sayang sayange
Lihat Ambon dari jauh
Rasa sayang sayange
………
Lagu daerah Maluku ini marak terdengar di penjuru negeri. Bukan karena kesadaran dari
masyarakat untuk mendengungkannya, namun karena mencuatnya kasus klaim Malaysia atas
lagu daerah Indonesia bagian Timur ini pada tahun 2007 silam. Kasus ini berhasil
membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan lagu tersebut sebagai
bagian dari budaya Indonesia.
Hidup segan, mati tak mau. Peribahasa tersebut sangat tepat untuk disematkan pada lagu-lagu
ciptaan nenek moyang Indonesia. Di tengah maraknya karya anak bangsa dalam bidang
musik, sebagaimana terlihat dengan banyaknya penyanyi maupun band baru yang
bermunculan, tidak ada satupun yang tampil dengan membawakan lagu daerah sebagai single
utama mereka.
Tak ayal, hal ini juga merupakan dampak akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap
keberadaan musik-musik tradisional tersebut. Bahkan, tidak terdapat data pasti mengenai
jumlah lagu daerah di Nusantara, padahal telah terdapat catatan bahwa bahasa daerah di
Indonesia berjumlah 742 bahasa[1] dan suku bangsa di Indonesia berjumlah 1.128 suku[2].
Lalu bagaimana dengan lagu daerah Indonesia?
Masyarakat meninggalkan lagu-lagu daerah karena dianggap ‘jadul’ atau ketinggalan zaman.
Mereka lebih menikmati musik kontemporer yang justru minim akan makna jika
dibandingkan dengan lagu-lagu daerah. Yap, jika syair lagu daerah ditelaah dengan baik,
maka akan tampak bahwa lagu-lagu tersebut mengandung nilai pendidikan yang sangat
kental, contohnya adalah lagu daerah Jawa Tengah berjudul Dhondhong apa Salak dengan
salah satu bagian liriknya :
…….
Adik ndherek Ibu tindak menyang pasar
Ora pareng rewel ora pareng nakal
Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh
Kacang karo roti, adik diparingi
Dalam bahasa Indonesia, lirik lagu tersebut berarti :
……
Adik ikut Ibu pergi ke pasar
Tidak boleh rewel tidak boleh nakal
Ibu nanti pasti beli oleh-oleh
Kacang dan roti, Adik akan diberi
Lirik yang sangat sederhana, namun mengandung nasehat yang sangat besar
maknanya. Tentunya hal ini sangat kontras dengan industri musik Indonesia sekarang ini yang
lebih banyak dihiasi dengan lagu-lagu bertemakan perselingkuhan atau patah hati. Lagu-lagu
berbahasa asing pun saat ini kian menjamur di masyarakat, khususnya kaum muda. Padahal,
kaum muda merupakan lapisan masyarakat yang memberikan kontribusi besar bagi
keberlangsungan bangsa. Mereka merasa bangga ketika berhasil menciptakan ataupun
menyanyikan lagu berbahasa asing dengan fasih, namun kebanggaan tersebut tidaklah tampak
ketika harus melantunkan lagu dalam bahasa daerah. Tidak perlu mengkritik masyarakat kota,
anak-anak muda yang tinggal di wilayah perbatasan dan jauh dari keramaian kota, seperti di
Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Barat, bahkan tidak mengenal lagu daerah mereka,
yaitu Cik Cik Periook. Mereka lebih mengenal dan hafal lirik lagu-lagu populer, seperti lagu-
lagu yang dibawakan oleh girlbands maupun boybands.
Tantangan dan Usaha Pelestarian Lagu Daerah
Tantangan tidak akan pernah berhenti menghantam dan kita tidak akan pernah tahu kapan ia
datang. Menilik kembali kasus klaim Rasa Sayange beberapa tahun silam, tentu menjadi
‘sentilan’ bagi bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mengingat
kembali apa yang terlupakan dan mengantisipasi peristiwa yang sama agar tidak terulang
kembali.
Lagu Rasa Sayange mungkin merupakan salah satu lagu daerah yang cukup akrab di telinga
kita karena sering diperdengarkan, khususnya saat mata pelajaran seni musik, sehingga kita
dapat segera mengenalinya sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia ketika lagu tersebut
diakui milik negara lain. Namun bagaimana dengan nasib lagu-lagu daerah lain yang kurang
akrab di telinga kita? Sebutlah lagu Sintren dari Cirebon, Sayangkene dari Maluku, atau Dung
Dung Sera dari Riau. Tidak semua orang mengenal lagu-lagu tersebut.
Jika salah satu dari ketiga lagu daerah tersebut diklaim oleh negara lain, sanggupkah kita
melakukan pembelaan seperti yang kita lakukan saat terjadinya kasus klaim Rasa Sayange?
Sebagai contoh, lagu Dung Dung Sera kemudian diklaim oleh negara Singapura, apakah kita
layak melakukan pembelaan jika kita sendiri tidak pernah mendengar lagu tersebut?
Peribahasa berkata “tak kenal maka tak sayang”. Mampukah kita menunjukkan rasa sayang
terhadap lagu tersebut jika kita bahkan tidak mengenalnya?
Kesadaran untuk melestarikan lagu-lagu daerah telah ditunjukkan oleh Hokky Situngkit (34)
yang berhasil menciptakan peta lagu dengan membedah lagu secara mekanika statistika[3].
Dalam peta lagu tersebut terdapat kluster Sumatera, Melayu, Maluku, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Lagu daerah yang berhasil dipetakan adalah lagu Rasa Sayange
dan memberikan hasil bahwa lagu tersebut memang termasuk kluster Maluku, bukan Melayu.
Maka klaim lagu Rasa Sayange yang merupakan budaya Malaysia dapat dipastikan salah.
Keberadaan lagu-lagu daerah yang mulai punah juga disadari oleh beberapa musisi ternama
tanah air. Mereka kemudian mengangkat kembali lagu-lagu daerah tersebut, seperti Ten 2
Five yang mengaransemen ulang lagu daerah dalam balutan musik jazz, Addie MS yang
menyajikannya dalam bentuk orkestra, dan Trisum yang memberikan nuansa baru berupa
balutan melodi gitar dalam lagu – lagu tersebut.
Namun usaha para musisi tersebut belumlah cukup untuk dapat mengangkat eksistensi lagu
daerah dalam masyarakat secara penuh. Indonesia memiliki sangat banyak lagu daerah yang
tidak mungkin dapat diabadikan hanya oleh beberapa musisi. Muchlis BA dan Azmy BA,
dalam bukunya Lagu-Lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan, mencatat terdapat 201
lagu daerah dari seluruh wilayah Indonesia. Namun jumlah ini bukanlah jumlah mutlak,
masih sangat dimungkinkan terdapat banyak lagu daerah yang belum teridentifikasi
keberadaannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hokky dan aransemen ulang para musisi akan lagu -lagu
daerah tersebut sudah seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan dari pemerintah. Dengan
adanya konsep peta lagu, maka lagu-lagu daerah Indonesia tidak akan dengan mudah diklaim
oleh negara lain. Aransemen ulang yang dilakukan oleh para musisi juga menjadikan lagu –
lagu daerah lebih modern dan sesuai dengan selera musik masyarakat masa kini.
Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seharusnya
memberikan dukungan terhadap usaha pelestarian lagu-lagu daerah tersebut. Pemerintah
cenderung acuh terhadap keberadaan lagu-lagu daerah yang terancam punah. Seharusnya
pemerintah dapat bekerjasama dengan para budayawan untuk melacak lagu-lagu daerah yang
hampir hilang dari wilayah di Sabang hingga Merauke, kemudian memadukannya dalam
sebuah lembar daftar lagu-lagu daerah Indonesia dan memublikasikannya sehingga
masyarakat dapat dengan mudah mengakses data tersebut. Pendokumentasian sangat
diperlukan untuk membuktikan bahwa lagu-lagu daerah tersebut memang ada dan akan tetap
ada. Selain itu, pemerintah juga perlu mematenkan lagu-lagu tersebut agar tidak kembali
diklaim oleh negara lain. Festival Lagu Daerah yang pernah diselenggarakan pada awal 2012
perlu digiatkan, khususnya di tingkat daerah, dimana unsur budaya asli masih kental sehingga
benar-benar mencerminkan kebudayaan daerah tersebut.
Suatu kebijakan juga perlu dibentuk bagi para musisi pendatang agar menyelipkan setidaknya
satu lagu daerah yang diaransemen ulang sesuai aliran musik musisi tersebut dalam setiap
album yang akan dikeluarkan. Dengan demikian, para musisi, khususnya musisi pendatang,
tidak melulu menyanyikan lagu-lagu ‘galau’, namun juga turut melestarikan lagu-lagu daerah
Indonesia dengan talenta yang mereka miliki.
Penutup
Tidak ada yang dapat melestarikan keberadaan suatu budaya selain masyarakat yang hidup
dalam budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat melestarikan lagu-lagu daerah
Indonesia selain bangsa Indonesia itu sendiri. Lagu-lagu daerah semestinya menjadi suatu hal
yang dibanggakan, bukan ditinggalkan. Untaian lirik yang sarat unsur budaya dan nilai
pendidikan tersebut dapat memberikan suatu kebanggan tersendiri bagi bangsa. Jika kita, yang
merupakan bagian dari bangsa Indonesia, hanya diam melihat lagu-lagu daerah tersebut
perlahan-lahan hilang, jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan kita akan mendengar
lagu ini berkumandang :
……….
Rasa sayange
Rasa sayang sayange
Lihat Malaysia dari jauh
Rasa sayang sayange
……..
Daftar Pustaka
Buku
BA, Muchlis dan Azmy, BA. 2007. Lagu-lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan.
Depok : Musika.
Internet
“169 Bahasa Daerah Terancam Punah”
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah
diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB
“Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa” http://www.jpnn.com/index.php?
mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB
“Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing”
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-
tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB
[1] “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah
diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB
[2] “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa” http://www.jpnn.com/index.php?
mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB
[3] “Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing”
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-
tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Rintihan Pantura
Oleh: MUHAMMAD ISOMUDDIN - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nur
Jati Cirebon
Ringkasan;
Budaya merupakan harta kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Tumbuh berkembangnya
bangsa ini, tidak terlepas dari budaya yang membentuk karakter bangsa. Arus modernitas
melintas tepat di garis khatulistiwa bangsa, menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadap
kebudayaan sendiri. Mencoba merangkai Indonesia lewat puzzle kecil bernama kota Cirebon.
Kota yang punya empat keraton, tak membuat nuansa erotis sensual kentara. Permasalahan
ekonomi yang menjepit pewaris kebudayaan, melakukan penyelewengan dengan menjual
warisan kebudayaan. Sapaan modernitas sudah terdengar oleh bangsa ini. Menggiring pada
bentuk masyarakat konsumtif dan ada paradoks dari kebudayaan. Teks sudah diganti dengan
praksis, bentuk asli dirubah menjadi imitasi, nilai guna diganti dengan nilai liyan :
prestice,status. Ini realita yang penulis temukan di kota Cirebon. Budaya sedang kebingungan
di persimpangan jalan. Harus segera menentukan arah kemana budaya akan dibawa.
Penyusunan strategi dan langkah konkret merupakan keniscayaan bagi penempatan posisi
kebudayaan. Berangkat dari daerah, mengalisis sampai bertindak secara nyata untuk
memperjelas rupa budaya. Dan dipersembahkan untuk Indonesia yang berbudaya luhur
dalam menciptakan karakter bangsa.
———
Perbincangan mengenai Indonesia tidak akan lepas dari atmosfer kebudayaan yang
menyelimutinya. Budaya menjadi sebuah cerita indah dan panjang tak membosankan,
melebihi dari apa yang ada dalam cerita negeri dongeng. Beberapa tahun ini, budaya menjadi
barang langka untuk disaksikan di dunia nyata. Seolah cerita panjang tentang kebudayaan
menjadi riwayat akhir sebuah perjalanan selama ini, menjelma negeri dongeng tersendiri—
penuh keilusian untuk ditarik ke dunia nyata. Sapaan modernitas merasupi bangsa Indonesia
sehingga tak sadar akan warna bajunya sendiri. Bila memang demikian, Indonesia bukan lagi
sebuah bangsa yang kaya akan budaya tapi bangsa yang kaya akan “cerita budaya”.
Berangkat dari rangkaian Indonesia yang begitu kompleks, saya mencoba merangkai puzzle
kecil dari Indonesia yaitu kota Cirebon. Kota persinggahan lintas pantura ini, mempunyai
segudang kebudayaan—lengkap dengan keperihatinannya. Ada empat keraton yang berada di
tengah kota Cirebon, yang seharusnya kental dengan aura keerotisan kebudayaan. Justru
nuansa kebudayaan terasa mampat dan monoton. Tuan rumah dari tari topeng, sintren, batik,
tembang pantura dan naskah kuno kini terselip ditumpukan bata gapura keraton. Kesulitan
untuk meraba keberadaanya sekarang. Fakta mencuat ke permukaan minggu ini di harian
kabar Cirebon, maraknya penjualan naskah kuno Cirebon ke luar negeri. Untuk merestorasi
kertas naskah kuno menjadi lembaran uang kartal. Perhatian pemerintah tak begitu melirik
untuk menjaga naskah kuno, malah lebih memilih jilidan proposal siluman dari pengintaian
media.
Permasalahan ekonomi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan.
Terlihat dari rentetan peristiwa, tradisi ditumbalkan untuk sesajen pemberhalaan uang. Di sisi
lain, ada bentuk yang lebih halus namun menikam yaitu penjajahan budaya dilakukan oleh
kita sendiri tanpa disadari mengamini sebagai suatu keniscayaan. Penyingkiran budaya
dilakukan secara massal dengan merayakan pencitraan dalam menciptakan masyarakat
konsumtif. Dimana kebudayaan direduksi dari bentuk asli ke bentuk imitasi, dari teks ke
simbolik. Budaya tradisonal menghadapi tantangan industri kebudayaan yang begitu besar.
Era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan.
Pemuda yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan
keberlangsungan dan eksistensi budaya tersebut. Telah ternarik peran pemuda ke dalam poros
arus modernitas. Percepatan dan pemadatan rupa kehidupan, dilipat-lipat sampai tidak bisa
dilipat dan tidak memperlihatkan wujud asli dari apa yang dilipat. Apa yang disebut sebagai
deru mesin kapitalisme mutakhir yaitu differensiasi. Pembedaan-pembedaan telah diproduksi
secara massal untuk membangun identitas dan gaya hidup. Konsumerisme dilepas secara
bebas dengan melabelkan yang other terhadap produknya.
Kini kemodernan merupakan kiblat baru bagi masyarakat yang ingin mencicipi perubahan.
Ada banyak pembangunan hypermart, diskotik, café, hotel diamini sebagai gairah kemajuan
suatu daerah. Pembungkusan menarik yang ditawarkan dengan menonjolkan hal liyan dari
apa yang disuguhkan. Gaya hidup dan life style membangun bangunan kokoh segitiga kasta.
Dari sebuah sabda iklan oleh sang produser yang menjelma Tuhan dan mewajibkan untuk
mengimaninya. Pemuda lebih mengikuti apa yang sekarang menjadi trend, dengan siklus
pergantian dan tempo yang cepat, seolah mewajibkan diri untuk segera update. Tak ada
pendirian kukuh hanya untuk mendapatkan apa yang dikatakan Heiddeger sebagai sublasi
(pemberian pengakuan). Model kehidupan yang mengalir mengikuti arus bukan mengalir
pada alur.
Terlihat begitu kentara di kota Cirebon sebagai persinggahan supir pencinta tembang pantura.
Ada kelucuan orientasi pemuda yang mengkiblatkan pada titik gerbang rujukan, yaitu Jakarta,
Bandung dan Yogyakarta. Kalau boleh kita sebut tiga kota tersebut sudah terbingkai sebagai:
pragmatis, hedonis dan tradisionalis. Ditarik dengan menelan mentah-mentah apa yang
sedang menjadi trend di kota tersebut. Berpengaruh besar dalam sosio-kultural kota Cirebon,
khususnya para pemuja yang kehilangan orientasi asal. Dengan dalih membentuk Cirebon,
tapi tak melihat bentuk yang sudah ada yang dimiliki Cirebon sendiri. Tidak adanya pijakan
dari tanah sendiri, akultarasi lintas budaya ini hanya akan menciptakan formalism disoriented.
Mengambil bentuk dari pada etos dalam melihat budaya lain, akan menimbulkan pengagung
permukaan tanpa kedalaman. Terkecoh dengan kutang perempuan dari isi yang kurang padat.
Gaya hidup sudah seperti rukun dalam menjalani kehidupan dari sabda iklan Tuhan. Ketika
praktik kebudayaan secara sosial dicumbu sebagai bagian dari gaya hidup. Menggiring pada
bentuk paradoks antara yang inti dan luar, filosofis dan praksis. Masuk dalam bingkai
nihilism, terperangkap kesubjektifan palsu melalui dunia citra.
Ada kerancuan representasi dari sebuah apresiasi terhadap budaya. dengan dalih ingin
membudayakan apa yang dimiliki oleh kulturnya. Dengan memakai kaos bertuliskan “I love
Cirebon”, “I love batik” dan lainya, seolah-olah dengan memakai itu sudah
merepresentasikan masyarakat berbudaya. Gimana tidak keliru, cinta batik kok pakai kaos?
Kenapa tidak dengan memakai batiknya saja. mungkin ini yang dinamakan sebuah simulasi
oleh Jean Baudrillard, simbol mendahului dari apa yang disimbolkan.
Berbicara bahasa jawa Cirebon jarang ditemui di tempat-tempat umum. Ada keminderan yang
mendera di masyarakat. Jika berbicara bahasa jawa berkonotasi orang desa dan katro, lebih
suka memakai bahasa Indonesia ala Jakarta. Apalagi musik tarling pantura, hampir tidak ada
pemuda yang menyanyikannya. Lebih menggauli musik Mtv dan boy band berbehel dan
pamer BB. Tak ada café menggelar live musik pantura, cuma ditemukan di acara nikahan atau
pesta rakyat. Bahkan sampai di kampus sekelas negeri pun tidak ada. katanya sih, mengumbar
nafsu, padahal kita tahu pejabat kampus pun nafsu akreditasi toh. Tersubordinasinya kultur
Cirebon menempatkan titik terbawah dari garis vertikal status sosial.
Membentuk sebuah oposisi biner antara tradisional dan modern. Tradisional yang bersifat tua,
kuno, Statis, lambat dan modern yang bersifat muda, baru, dinamis, cepat. Sudah
menghegemoni dikalangan pemuda, tradisi terlihat sebagai wabah virus lepra yang
melumpuhkan dan lebih mengambil bentuk kemodernan sebagai vitamin perubahan. Anak
muda terjangkiti “kepikunan dini” atas dirinya sendiri yaitu tradisi asal sebagai identitas
otentik.
Perlu adanya kesadaraan dan pengakuan bahwa kebudayaan kita sekarang sedang
kebingungan di persimpangan jalan. Harus sigap dan cepat menentukan arah kemana akan
dibawanya budaya ini. Tindakan perubahan dengan wacana yang mengawang-awang di langit
harus ditarik ke bumi untuk tindakan yang konkret. Mendirikan dan menjalankan pusat-pusat
kebudayaan di daerah perlu diadakan untuk mengkat kebudayaan lokal. Indonesia tidaklah
berarti tanpa adanya budaya yang berada di daerah-daerah. Menjadi Indonesia bukanlah
memuja Indonesia. Namun, bertindak mengangkat daerah untuk dipersembahkan kepada
Indonesia.
Strategi pemerintah pun penting dalam menyusun strategi kebudayaan untuk memunculkan
kearifan lokal yang masih terselip dalam taradisi dan untuk meminimalisir penyelewengan
budaya seperti penjualan naskah kuno. Mengubah karakter masyarakat yang konsumtif
menjadi produktif, peniru menjadi pencipta, pengikut menjadi kreator. Perlu ditanamkan
secara dini dan aplikatif di lingkungan sekolah. Agar pembagunan karakter yang diharapkan
bisa terwujud ketika tulisan ini lapuk.
Kebudayaan tradisional tidaklah asketis dan konservatif terhadap dunia modern dan tidak juga
mendistorsi kebaruan secara binal. Namun menempatkan pada satu tatanan yang menjadi akar
untuk menumbuhkan karya baru sehingga dapat berdiri tegak dari terpaan angin kumbang.
Turut ambil aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, bukan menjadi mayoritas
yang diam dikuasi oleh segelintir elite.
Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa revitalisasi kebudayaan bukan sekedar menggali
puing-puing tradisi untuk diagung-agungkan semata, melainkan kearifan lokal yang tersimpan
dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerahan dalam mengubah karakter
masyarakat konsumtif. Menjadi Indonesia yang berbudaya tidaklah mustahil dan bukan
angan-angan yang terlalu muluk. Karena memang bangsa ini sudah mempunyai riwayat
sejarah budaya nyata. Kita tinggal meneruskan dan mengolahnya dalam mengahadapi budaya
modern. Pada umur Indonesia ke 100 tahun akan menjadi kiblat dari cerminan dunia.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
“Rekonstruksi Sistem Pendidikan Indonesia dengan Penerapan Sistem Focus on
Subject”
Oleh: RAHMAT HIDAYAT - UNIVERSITAS HASANUDDIN
Ringkasan Esai
Berbicara mengenai kehebatan serta kemajuan sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dari
yang namanya peranan penting sebuah “PENDIDIKAN”. Pendidikan di semua negara
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian baik dari pemerintah
maupun masyarakat dalam negara tersebut. Tanpa adanya pendidikan, yakinlah bahwa negara
tersebut tidak akan pernah mengalami yang namanya perkembangan. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah sistem yang betul-betul bagus untuk menata proses pendidikan yang akan
berjalan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh masing-masing negara itu berbeda-beda,
termasuk Indonesia. Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung di
Indonesia sekarang ini, sepertinya perlu dievaluasi keberhasilannya. Sudah banyak sistem
yang telah dicoba oleh bangsa kita, akan tetapi sistem tersebut belum bisa membuat negara
kita maju dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru yang bisa
memperbaiki kondisi pendidikan di negeri kita yang tersayang.
——————-
Sistem yang saya maksudkan di sini adalah sistem pembelajaran focus on subject, maksudnya
adalah di dalam menempuh sebuah pendidikan, kita tidak boleh melakukan pemaksaan
kepada orang lain untuk mempelajari dan menekuni pelajaran yang mereka tidak inginkan
atau sukai. Seharusnya kita memberikan kebebasan kepada seluruh pelajar untuk memilih
bidang yang mereka sukai sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dengan begitu,
mereka tidak akan tertekan dalam hal proses belajar mengajar, mereka akan belajar dengan
nyaman dan tanpa beban karena apa yang mereka pelajari adalah bidang yang memang
mereka inginkan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga, akhirnya nantinya akan
lahir pelajar-pelajar yang ahli di masing-masing bidangnya. Jadi, dengan begitu, dengan
penerapan sistem ini, setiap siswa atau pelajar akan difokuskan untuk belajar sedikit saja yang
penting mereka ketahui secara mendalam tentang apa yang mereka pelajari. Lagi pula, secara
logika untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan
mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam
ilmu yang kita pilih.
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyak orang yang mengatakan bahwa kuantitas
Sumber Daya Manusia (SDM) di sebuah negara merupakan salah satu faktor yang dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sebuah negara menuju negara maju.
Semakin banyak penduduk sebuah negara, maka negara tersebut juga akan cepat mengalami
perkembangan. Akan tetapi, jika kita bercermin ke negara kita yang tercinta yaitu Indonesia,
hal tersebut tidak kita dapatkan. Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang
sangat banyak, tetapi sampai sekarang negara kita masih berada pada posisi negara
berkembang. Menurut saya, kuantitas SDM dari sebuah negara memang tidak bisa kita
abaikan begitu saja, akan tetapi hal yang paling penting dari semua itu adalah kualitas yang
dimiliki oleh masyarakat yang ada di negeri tersebut.
Contohnya seperti negara China, selain memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak,
kualitas masyarakatnya juga sangat bagus yang tidak jauh berbeda dari negara-negara Eropa
dan Amerika. Di negara ASEAN sendiri, kita bisa lihat bagaimana Singapore yang hanya
sebuah negara kecil yang memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit dibandingkan
Indonesia, akan tetapi Singapore lebih baik dan lebih maju dibandingkan Indonesia, begitupun
dengan negara yang lainnya seperti Jepang, Korea dan yang lainnya. Apa sebenarnya yang
membuat mereka bisa seperti itu? tidak lain jawabannya adalah karena kualitas masyarakat
atau SDM-nya yang sangat bagus dibandingkan dengan Indonesia. Di sini, saya tidak
mengatakan bahwa kualitas SDM atau masyarakat Indonesia itu sangat tidak bagus, akan
tetapi kualitas tersebut masih perlu diperbaiki lagi dan ditingkatkan supaya kita tidak
tertinggal dari negara-negara lainnya yang sudah maju.
Indonesia memiliki potensi yang sangat bagus untuk dikembangkan, apalagi kita didukung
oleh Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak dan melimpah. Banyak negara luar yang
mengatakan bahwa Indonesia adalah surganya dunia. Jadi, apa lagi yang kurang dari negeri
kita yang tercinta ini, tinggal kita sebagai penghuninya yang harus cerdas dalam
memanfaatkan semua itu. Kualitas SDM sebuah negara tidaklah langsung tercipta begitu saja,
akan tetapi dibutuhkan sebuah proses yang panjang dalam pembentukannya. Singapore yang
dulunya tidak mendapatkan perhatian dunia internasional, sekarang sudah menjadi salah satu
negara yang dianggap berhasil memajukan negaranya, serta menjadi representative dari
komunitas ASEAN di mata dunia internasional. Oleh karena itu, untuk menjadikan negara
kita ini maju dan berhasil, maka yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kualitas SDM
yang kita miliki.
Dan menurut saya, cara yang paling bagus untuk meningkatkan kualitas SDM dari negara kita
adalah dengan memperbaiki sistem PENDIDIKAN yang selama ini kita jalani dan terapkan di
negara ini. Pendidikan sangat berperan penting dalam hal pembentukan karakter dan kualitas
masyarakat sebuah negara. Jika kita memang tidak ingin ketinggalan dari negara lainnya, dan
ingin bersaing di kancah internasional, maka Indonesia perlu mengevaluasi sistem pendidikan
yang selama ini telah diterapkan. Kita mencari alternatif baru atau memperbaiki sistem yang
sudah ada, intinya sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi. Dan menurut saya,
tidak masalah ketika kita mengadopsi ataupun belajar dari pengalaman negara-negara lain
dalam hal sistem pendidikan yang diterapkan di negaranya.
Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk peradaban bangsa setiap Negara di
dunia ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan hal yang sangat dinamis dan
sangat peka terhadap perubahan berdasarkan perkembangan zaman. Pendidikan di Indonesia
mengalami beberapa perkembangan sejak zaman perkembangan Hindu Budha sampai dengan
zaman pasca reformasi sekarang. Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa
perkembangan Hindu Budha sampai paska kemerdekaan berkembang secara stimultan. Dari
mulai perkembangan sastra yang dibawa oleh Hindu Budha, pesantren oleh masa
perkambangan Islam, sampai sekolah yang dibawa oleh masa colonial Belanda sampai
sekarang. Pendidikan di Indonesia mempunyai system semi disentralisasi. Yang dimaksud
dengan semi disentralisasi adalah setengah disentralisasi setengah sentralisasi. Dalam konsep
manajemen sekolah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan sekolah diserahkan
sepenuhnya oleh sekolah, akan tetapi dalam system evaluasi masih menganut sentralisasi
dimana ujian Negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat.
Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini
kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini
disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa
sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan
disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian
nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali
lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah
negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu
orang. Sungguh jauh panggang dari api atau bagai punguk merindukan bulan.
Sesuatu yang harus kita perbaiki adalah paradigma pemikiran. Baik itu dari para pengambil
kebijakan (para pejabat di kementerian), para pelaksana di tingkat managerial (Para pejabat di
tingkat dinas baik propinsi maupun kabupaten) sampai pada para pelaksana di lapangan (para
guru). Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan.
Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang
pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik,
pengawas, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan
teknisi sumber belajar. Semuanya itu harus berfungsi sebagaimana yang telah menjadi tugas
dan tanggung jawabnya. Jika semuanya bisa berjalan sesuai dengan koridornya, maka
yakinlah, bahwa pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan yang terbaik di dunia.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pendidikan yang ada di negeri ini,
seperti yang saya sebutkan tadi bahwa tidak ada salahnya ketika kita mencoba meniru,
mengadopsi serta belajar dari pengalaman negara lain dalam memajukan pendidikannya.
Sudah banyak negara di luar sana yang telah berhasil mengembangkan pendidikan dengan
metode yang mereka gunakan, dan salah satunya adalah negara Finlandia. Finlandia telah
diakui oleh dunia internasional sebagai sebuah negara yang berhasil memajukan pendidikan di
negaranya. Sedikit saya berikan gambaran pendidikan di Finlandia sebagai bahan acuan atau
pelajaran bagi kita untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Di Finlandia hanya
ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri
adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah
menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah
pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat
daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
Jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang
sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, testing
itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita
cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di
Finlandia. Kita belajar di sekolah hanya ingin dapat nilai akademik yang bagus dan
memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknya
yang penting nilai kita bagu. Pada usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahui
kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan
tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak pra-TK. Hal ini
membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri.
Semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent.
Karena dengan adanya banyak pendiktean membuat para siswa akan merasa tertekan dan
suasana belajar menjadi tidak menyenangkan. Bagaimana dengan siswa yang kurang cepat
tanggap ? Mereka akan mendapatkan bimbingan yang lebih intensif. Inilah yang membuat
Finlandia berhasil menyandang gelar Negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia.
Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program
individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, contohnya:
Pertama, masuk kelas, kemudian datang tepat waktu, berikutnya membawa buku, dsb. Kalau
mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka
berusaha. Dari sini, dapat dilihat sangat tercermin kalau guru di sana tidak menuntut anak
didiknya untuk mengerjakan dengan hasil yang harus benar, para guru Finlandia menghargai
setiap usaha dari siswanya.
Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika
kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan
jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa
diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka
dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar
bangga terhadap dirinya masing-masing. Adanya ranking hanya membuat guru memfokuskan
diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Dari gambaran ini, kita
bisa belajar bahwa ternyata, negara yang tak diunggulkan bisa menjadi yang terbaik di dunia,
tentu semua itu karena adanya kemauan & usaha yang keras serta kesolidan dari berbagai
pihak.
Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem
pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa
belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran
siswa tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap siswa
memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua siswa
harus suka belajar matematika, karena ada siswa yang tidak memiliki keahlian sama sekali di
bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya.
Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan
ketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di
bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, siswa bebas menentukan kelas jurusan
apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangat
yakin bahwa siswa akan belajar dengan santai serta siswa tidak akan mengalami yang
namanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai,
mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun.
Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap siswa untuk
focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para
pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk
belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas
siswa tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk apa
kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran
tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih.
Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-
masing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa
memahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negara-
negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnya
untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orang
yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak
ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan
Indonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya
khususnya dalam bidang pendidikan.
let’s we move together and we change our nation to be better than before.. Never say give up!
DAFTAR PUSTAKA
- Wahyudi blog
- www.kompasiana.com
- www.ilmu pendidikan.net
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Budaya Didik yang Belum ‘Mendidik’
Oleh: WAN ULFA NUR ZUHRA - UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rangkuman:
Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,
membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Pertanyaannya adalah, sudahkah
lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan
dialektika, dan menghaluskan perasaan? Di negeri ini, guru atau dosen hanya menjadi mesin
distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian,
pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir
semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah
dihafalnya. Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik,
tanpa proses dialektika.
Anak-anak Indonesia perlu diajarkan menjadi kritis sejak dini. Mereka harus dibiasakan
menanyakan segala hal. Peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk
mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama, bukan
kesepakatan sepihak dari guru atau dosen.
——
Pertengahan Februari tahun 2010 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit diskusi
dengan Butet Manurung, perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan
bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi. Saat itu kami berdiskusi tentang bagaimana
perbedaan pola pikir anak-anak di kota dengan anak-anak di Suku Anak Dalam.
“Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,” begitu Butet membuka diskusi. Sebuah
statement yang membuat saya—sebagai anak yang tinggal di Kota—sedikit malu. Lalu Butet
ceritakan pengalamannya mengajar anak-anak rimba.
Mereka, anak-anak rimba selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan “Untuk apa
kami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.” Butet lalu menjelaskan tentang
konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan mereka
cukup logis, “Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.” Butet
pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian.
Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar—
karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian,
lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet.
Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak di
Kota bertanya megapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu?
Mengapa harus belajar ini itu? Bahkan saya tak pernah bertanya pada orang tua saya,
mengapa saya harus sekolah? Semua itu sudah seperti ritual yang memang harus dilakukan.
Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi menurut saya ini esensial. Ketika seorang anak bertanya
tentang sesuatu, berarti ia berpikir, dan berpikir adalah awal ditemukannya ilmu pengetahuan.
Tanpa berpikir, James Watt tak akan pernah bisa menciptakan mesin uap.
Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,
membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Bayangkan apa jadinya peradaban
manusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikan
formal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik.
Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh Negara di
Dunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakan
manusia-manusia yang bermutu.
Pertanyaannya adalah, sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun
proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali boleh
saya bilang ‘Tidak’.
Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan, meminimalkan proses
ceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan, namun proses pembelajaran
semestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuan
kalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal?
Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada
kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut
haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus
menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya.
Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik, tanpa proses
dialektika. Ya bagaimana bisa mengkritik, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan
perguruan tinggi hanyalah budaya menghapal?
Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam
proses belajar- mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarang
makan selama proses belajar-mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan
baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu.
Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak
berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jika
mereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya
begitu, tak boleh protes, tak boleh mengkritik. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturan
sepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus.
Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk
mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yang
diyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan
tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir.
Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator, bukan
diktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru seperti
dimaksud Tan Malaka.
Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah
untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki
penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didorong
untuk memiliki keberanian berbicara.
Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan.
PP 19/2005 pasal 19 menyebutkan bahwa “Satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik”.
Namun, pada prakteknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih
mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itu
memang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator.
Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam
belajar.
Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalah
dalam pendidikan di negeri ini sebenarnya, mulai dari dana pendidikan hingga usaha
komersialisasi pendidikan. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikan
kita, pada praktek pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada
petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Tak
cukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak pada
tataran praktek di kelas. Memikirkan dengan serius!
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Bersua Dengan Bhinneka
Oleh: HAPSARI KUSUMANINGDYAH - UNIVERSITAS INDONESIA
Rangkuman:
Konflik yang terjadi atas nama perbedaan memunculkan sejumlah kegelisahan tersendiri akan
makna persatuan dalam keberagaman. Bhinekka Tunggal Ika yang selama ini menjadi
semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara dicari keberadaanya, secuil perayaan Imlek di
kampung Sudiroprajan dianggap penulis sebagai salah contoh peristiwa yang merefleksikan
Bhinekka Tunggal Ika. Perayaan ini menggambarkan sebuah tujuan superordinat bagi kedua
belah etnis untuk saling bertemu dalam kedamaian, bila dianalogikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebuah tujuan superordinat juga perlu di desain guna mencipta
sebuah tujuan yakni persatuan.
——————–
Perkenalan saya dengan Bhinneka Tunggal Ika bermula di bangku sekolah dasar ketika
menghafal lima sila Pancasila berserta isi gambar Burung Garuda merupakan sebuah
kewajiban. 15 belas tahun lalu saya masih mempertanyakan apa pentingnya pelajaran tentang
“persatuan” ini, yang disajikan secara membosankan dan di kemas dalam narasi panjang yang
tak tahu rimbanya dengan kehidupan. Namun kini saya sangat rindu akan makna pelajaran ini,
ketika sering sekali saya dengar berita mengenai konflik antar suku, etnis, dan agama. Konflik
Syiah dan Sunni di Sampang di Madura, Teror Bom di Solo, Kampanye berbumbu sentimen
agama menjelang Pilkada DKI, tawuran antar pelajar sekolah hingga konflik-konflik berbau
sentimen suku, etnis, agama dan antar golongan. Semua peristiwa ini membuat saya sangat
rindu, rindu untuk bersua dengan “Bhinekka Tunggal Ika” yang sebenarnya.
Adalah seorang siswa taman kanak-kanak yang membantu saya untuk berjumpa dan melihat
apa itu Bhinnekka Tunggal Ika. Wahyu, bocah TK berusia 4 ini mungkin tidak tahu, apa itu
arti persatuan dalam keberagaman, toleransi antar suku,ras, dan agama. Namun di sudut-
sudut rumanhnya,di tiap gang sempit dikampungnya di Sudiroprajan ada semerbak aroma
keberagaman dan keharmonisan yang berusaha dijaga oleh penduduknya yang mayoritas etnis
Jawa dan Tiong Hoa. Wajahnya sangat sumringah saat menyambut Imlek, walaupun dia tidak
secara langsung merayakan Imlek karena Bapak Ibunya merupakan seorang muslim turunan
Jawa. Sepupu kecil saya ini selalu membawa cerita gembira tiap Imlek tiba. Dialah yang
menceritakan tentang senangnya mendapat angpaou merah, melihat arak-arakan parade
kebudayaan, pertunjukkan Liong dan Barongsai yang meriah, dan gunungan kue keranjang.
Seluruh narasinya tentang Imlek ini menjadi indah walaupun disajikan terbata-bata karena
naratornya saja baru baru belajar bicara. Narasi Wahyu tentang Grebeg Sudiroprajan
merupakan secuil kisah romantis tentang persatuan. Sebuah perayaan yang ihwalnya milik
orang Tiong Hoa namun turut di semarakkan oleh orang Jawa. Tidak hanya di isi oleh
Barong Sai dan Liong saja, namun juga di percantik dengan pertunjukkan tari Manggala
Yudha. Semua berbagi, menari dalam persatuan, bahkan Gunungan yang merupakan ciri khas
perayaan adat Jawa pada akhirnya menurut untuk dikawinkan dengan kue keranjang.
Ceritanya tidak berhenti sampai situ saja, namun berlanjut ketika saban hari yang dia
sambangi adalah teman-teman mainnya yang bermata sipit, budhe dan buliknya yang
beragama Katholik hidup damai walau tinggal satu atap dengan bapak ibunya yang muslim.
Semua cerita bocah kecil tentang perbedaan itu merupakan sebuah gambaran kecil, sebuah
subsistem dari sebuah kehidupan kampung di Sudiroprajan di kota Solo yang merefleksikan
semboyan Bhineka Tunggal Ika
Sebuah Persatuan Bukan Kesatuan
Sebuah pesan singkat dalam sebuah frasa Bhinekka Tunggal Ika ternyata menyeret sebuah
narasi panjang bernama “persatuan”. Nilai bernama “persatuan” ini sudah berusaha di
doktrinasi kepada para anak-anak sejak dini, melalui mata pelajaran kewarganegaraan.
Didalamnya terdapat instruksi untuk menghafalkan kelima sila beserta berbagai pasal tentang
kenegaraan dan terkadang stuktur mengenai pemerintahan. Namun esensi nilai persatuan ini
seakan kabur, karena di kubur oleh kesalahan pemaknaan akan kata persatuan itu sendiri.
Segala nilai persatuan pada akhirnya di reduksi ke dalam kata keseragaman dan kesamaan
yang berarti bahwa hanya ada satu nilai yang benar dan di legitimasi. Dahulu sewaktu masih
duduk di bangku sekolah dasar Bapak Guru mengajarkan kami untuk mengasihi “sesama”.
“Sesama” yang sama agama, sama sukunya, sama bahasanya, sama pemikirannya, sama
kelompoknya. Saya ingat bagaimana Bapak Guru menceritakan baiknya agama dan suku
kami namun tidak pernah menyingung perihal kebaikan dari kelompok lain. Kami tidak
diedukasi untuk tahu atau mengerti ada agama lain di luar agama kami, yang saya ingat hanya
kalimat “YANG LAIN KAFIR”. Semua yang makna persatuan jadi kabur karena berisi ajaran
tentang dominasi, hegemoni, kesenangan akan subordinasi, dan minimnya pengetahuan akan
eksistensi kelompok lain.
Padahal Menurut Fromm dalam bukunya The Art of Love konsep persatuan dan konsep
kesetaraan dapat dibahas dalam konteks cinta kasih antar sesama. Cinta inilah di cirikan
dengan minimnya ekslusivitas karena adanya perasaan kesetaraan merasa sama-sama menjadi
manusia. Inilah yang mendasarkan manusia untuk saling mengambil tanggung jawab,
menolong, membantu, dan menghargai sesama manusia (Fromm,1956). Bahkan konsep
kesetaraan dan persatuan ini mendapatkan tempat dalam konteks religiusitas bahwa kita sama-
sama hamba Tuhan sama-sama manusia yang di ciptakan olehnya. Kesetaraan sekarang telah
berubah menjadi keseragaman bukannya persatuan “ atau rasa menjadi satu”(Fromm,1956).
Anasir Perjalanan Bangsa
Runyam segala runyam, karena semboyan bangsa jadi kabur dan tak tahu rimbanya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal ihwal semboyan Bhinekka Tunggal Ika lebih tua
dibandingkan ihwal negara kita, karena 800 tahun yang lalu jauh sebelum Pancasila lahir,
kalimat itu telah tertulis dalam sebuah kitab Purusadha Santa atau yang lebih di kenal dengan
kitab Sutasoma di zaman Majapahit. Semboyan ini bukanlah sekedar rangkaian frasa atau
gantungan kaki burung garuda, tapi juga sebuah refleksi sejarah Nusantara. Hubungan antara
agama Budha dan Hindhu yang harmonis saat itulah yang mengilhami sang penulis Empu
Tantular untuk menggambarkan bagaimana persatuan dapat di bangun dalam pondhasi yang
beragam.
Bahkan sebelum teori multikulturaisme yang popular dari Kanada 50 tahun yang lalu lahir,
semboyan “Bhinekka Tunggal Ika” yang isinya hampir sama sudah mbrojol terlebih dahulu ke
Bumi Nusantara. Semboyan ini telah di tempa oleh ratusan peristiwa sejarah, pergantian
dinasti kerajaan, peperangan, kolonisasi dan akhirnya berhasil mencuri perhatian para panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia. Semboyan ini adalah sebuah refleksi panjang perjalanan
sebuah bangsa yang dulunya berasal dari chauvinis-chauvinis kecil kerajaan-kerajaan, dari
pecahan berbagai suku, budaya dan agama yang beragam.
Beban sebuah Konflik
Sebagai sebuah landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Bhinekka Tunggal Ika
seharusnya dapat hadir dalam keseharian kita, untuk itu memerlukan usaha para manusia-
manusia Indonesia untuk menjaganya. Namun nyata sangat sulit hanya untuk bersua dengan
Bhinekka Tunggal Ika di “alam”Indonesia. Tumpukan kesedihan mulai tumpah ketika banyak
sekali konflik terjadi atas nama perbedaan mencuat. Larangan beribadah bagi umat minoritas
beragama tertentu seperti Ahmadiyah, konflik suku yang tak berkesudahan di Poso dan
Papua, saling serang mulai dari pelajar hingga mahasiswa, sampai cerminan pesta demokrasi
yang di gentayangi dengan isu SARA. Selain menyita perhatian, konflik-konflik ini seakan
lingkaran setan yang tak ada habisnya diulang dan di bumbui dengan korban, kematian, darah,
isak tangis, kerugian fisik dan psikologis. Berapa harga yang harus kita bayar untuk konflik
atas nama perbedaan, berapa rumah yang harus dibakar? Berapa pemuda yang harus
meregang nyawa karena paradigma primordial kesukuan, kegamaan,keanggotaan, atau
apapun itu namanya. Konflik-konflik ini merupakan sampah tersendiri bagi arus kemajuan
bangsa, hitung saja berapa energi yang kita habiskan untuk memikirkan hal-hal yang
kontraproduktif ini.
Mencipta Sebuah Tujuan Superordinat
Seorang psikolog sosial bernama Sherif tahun 1961 pernah melakukan sejumlah eksperimen
mengenai dinamika kelompok (Forsyth,2010). Ada 2 kelompok yang di desain oleh untuk
saling bermusuhan dalam sebuah setting tertentu yakni kompetisi dan sabotase. Namun di
tengah jadwal yang telah di rencanakan,eksperimen hampir di hentikan karena hasilnya
melebihi apa yang di harapkan. Kedua kelompok ini telah berkonflik sedemikian hingga
hingga memunculkan tindakan kekerasan. Pada akhirnya sebuah resolusi di ciptakan yakni
dengan membuat sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok. Eksperimen
terhadap kelompok ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah konflik dapat di desain
karena adanya rekayasa dan manipulasi akan “perbedaan” namun juga tidak menutup
kemungkinan untuk diselesaikan dengan sebuah tujuan bersama yakni tujuan superordinat.
Kembali ke narasi Wahyu, bahwa sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok
dapat mempererat hubungan antara dua kelompok. Misalnya antara etnis Jawa dan etnis Cina
di kampung Sudiroprajan yang akhirnya memiliki sebuah tujuan bersama. Merayakan Imlek
dengan menggabungkan kedua unsur budaya, dan mengajak segenap etnis yang berada disana
untuk turut memeriahkan Imlek. Dari sebuah bingkai kecil kehidupan di kampung
Sudiroprajan membawa sebuah pesan besar akan persatuan. Persatuan akan sebuah bangsa
yang tersusun atas enigma-enigma suku bangsa yang berbeda, walaupun berbeda sebenarnya
kita semua sama, sama-sama manusia, manusia Indonesia!
Daftar Pustaka
Forsyth, D. R. (2010). Group Dynamics. Belmont: Cenggage Learning.
Fromm, E. (1956). The Art of Loving. New York: Harper & Row Publisher.
Purwadi, D. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan
Perkembangannya di Jawa. Yogjakarta: Media Abadi.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Melihat Indonesia Lebih Dekat
Oleh: UTOMO PRIYAMBODO - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Ringkasan Esai:
Berdasarkan pengamatan terhadap teman-teman sekampus saya, saya menemukan fakta
bahwa teman-teman kampus yang ketika kecil tumbuh dan besar di lingkungan
perkampungan, pedesaan, dan daerah-daerah sejenisnya yang mayoritas dihuni ‘”rakyat”,
memiliki sikap dan pemikiran yang lebih nasionalis dibandingkan teman-teman kampus yang
ketika kecil tumbuh dan besar di perumahan-perumahan kota yang justru terkesan bersikap
dan berpermikiran kapitaslis. Kata “rakyat” di sini secara khusus ditujukan untuk lapisan
masyarakat kelas bawah.
Dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia ini, saya merasa bahwa mata pelajaran
kewarganegaraan yang diajarkan di tiap-tiap instansi pendidikan masih sangat kurang
berperan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada tiap-tiap diri peserta didiknya.
Pelajaran itu, bagi saya sendiri, hanya menjadi pelajaran sampingan yang sifatnya formalitas.
Semakin lama, semakin banyak peserta didik yang justru meremehkannya.
Menurut saya, untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, rasa cinta kepada bangsa dan negara
Indonesia, kita haruslah terlebih dulu mengenal bangsa dan negara ini. Unsur utama suatu
bangsa dan negara adalah rakyatnya. Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan tiap instansi
pendidikan di negeri ini memiliki kurikulum yang memungkinkan adanya kegiatan-kegiatan
bagi peserta didiknya untuk dapat melihat kehidupan rakyat Indonesia secara lebih dekat.
Mulanya memang hanya sekedar melihat, tapi kemudian mengenal, lalu sayang, dan akhirnya
cinta.
—————————-
Ketika dulu masih kecil, saya sering merasa malu dengan lokasi rumah saya yang berada di
daerah perkampungan. Kebetulan, teman-teman sekolah saya yang lain, kebanyakan
rumahnya berada di daerah perumahan, di kompleks, atau yang sejenisnya.
Saat mengisi kolom alamat biodata pribadi, hampir semua teman mengisinya dengan nama
jalan, nama kompleks, ataupun nama perumahan. Sedangkan saya ketika itu harus secara
malu-malu mengisinya dengan rangkaian tulisan berkata pertama “Kampung”. Kenyataannya,
rumah saya memang berada di sebuah kampung bernama Kampung Kebantenan, Jatiasih,
pinggir kota Bekasi. Sejak awal, ibu saya telah mencontohkan kepada saya untuk menuliskan
“Kampung” atau bila disingkat “Kp.” sebagai kata pertama tulisan di setiap kolom alamat
biodata saya. Baik itu untuk biodata TK, SD, maupun biodata kuliah saya sekarang, meski
kini tak perlu lagi dicontohkan oleh beliau karena saya sudah terbiasa menuliskannya sendiri.
Namun, perasaan malu itu kian lama kian hilang seiring bertambahnya usia saya, juga
(mungkin) kedewasaan saya. Kini saya justru merasa beruntung karena sejak kecil saya
tumbuh dan besar di daerah perkampungan. Kenapa? Karena banyak pengalaman yang saya
peroleh selama saya tumbuh dan besar di sana yang kemungkinan besar tidak akan saya
dapatkan bila saya tinggal di daerah kompleks perumahan, atau yang sejenisnya.
Salah satunya adalah tentang beragam dan banyaknya fenomena sosial yang saya jumpai dan
alami selama saya tinggal di lingkungan rumah saya yang merupakan daerah perkampungan
itu. Bila teman-teman saya yang orang kompleks atau perumahan hanya akan menjumpai
rumah-rumah dan orang-orang yang tak jauh beda kondisi sosialnya dengan keluarga mereka;
di lingkungan rumah saya, sehari-harinya saya selalu melihat fenomena-fenomena sosial yang
mencerminkan kehidupan rakyat dengan sebenar-benarnya makna rakyat.
Di daerah perkampungan rumah saya, kasta sosial-ekonomi-pendidikan masing-masing
keluarga sangatlah beragam. Ada yang termasuk kelas atas, kelas menengah, dan banyak
kelas bawah. Keluarga saya termasuk yang beruntung karena tidak temasuk kelas bawah.
Tapi, saya memiliki teman-teman sekitar rumah yang kebanyakan berasal dari keluarga kelas
bawah alias kurang mampu. Saya senang dan bahagia bergaul dengan mereka. Walaupun
ketika kecil dulu, saya suka malu bila terlihat oleh teman-teman sekolah, saya sedang bermain
dengan teman-teman lingkungan rumah yang biasa disebut anak-anak kampung.
Namun, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, sekarang saya justru merasa beruntung
telah mendapatkan pengalaman hidup tumbuh dan besar di dekat rakyat Indonesia dengan
sebenar-benarnya makna rakyat. Apa maksud dari rakyat dengan sebenar-benarnya makna
rakyat?
Definisi rakyat secara formal adalah penduduk suatu negara[1] dan itu mencakup semua
orang tanpa terkecuali. Namun, kata rakyat, sebenarnya lebih sering ditujukan secara khusus
untuk lapisan masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu, bila kita mengamati penduduk yang
tinggal di sebuah kavling perumahan ataupun kompleks, dapat kita simpulkan sendiri bahwa
mayoritas bahkan semua orang yang tinggal di sana adalah masyarakat lapisan kelas
menengah ke atas. Mereka bukanlah rakyat yang dimaksudkan, bukan rakyat dengan sebenar-
benarnya makna rakyat.
Mengapa saya merasa beruntung pernah hidup lama di dekat rakyat? Sebab atas pengalaman
hidup itulah saya merasa terbentuk menjadi seorang yang mudah untuk bersimpati dan
berempati kepada rakyat Indonesia –dengan sebenar-benarnya makna rakyat.
Jiwa nasionalisme saya mendapat rangsangan lebih untuk memajukan bangsa dan negara ini
sebab saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa masih banyak rakyat
Indonesia yang memerlukan bantuan. Masih banyak rakyat Indonesia yang hidupnya
kesulitan. Masih banyak rakyat Indonesia yang taraf sosial, ekonomi, dan pendidikannya
rendah. Ya, banyak keluarga di dekat rumah saya di sana yang butuh diberdayakan. Banyak
teman-teman masa kecil saya di sana yang putus sekolah. Ketika sekarang saya tengah
berkuliah; kebanyakan dari mereka justru telah bekerja sejak usia remaja dan bahkan sudah
berkeluarga meski dengan status pekerjaan yang belum dapat menjamin masa depan.
Seperti yang pernah ditulis oleh seorang Soe Hok Gie, “Dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.[2] Saya
sangat menyepakati pernyataan tersebut. Apalagi saya telah merasakan sendiri dampak dari
pengalaman semacam itu.
Contoh serupa, ketika di kampus, teman-teman kuliah saya yang sejak kecil tumbuh dan besar
di lingkungan perumahan atau kompleks, terlihat lebih senang bergaul dengan sesama “anak
gaul kota” dan cenderung hura-hura. Sedangkan teman-teman lain yang sejak kecil seperti
saya tumbuh dan besar di lingkungan rakyat, sekalipun bisa saja mengikuti gaya hidup anak
gaul kota dengan menghamburkan harta orang tua, justru lebih senang bergaul secara lebih
sederhana dengan teman-teman yang berasal dari wilayah-wilayah daerah. Ketika teman-
teman saya yang “anak gaul kota” tadi memiliki cita-cita untuk bekerja di perusahaan asing
swasta dengan gaji puluhan juta; teman-teman yang ketika kecil seperti saya dan teman-teman
yang berasal dari daerah tadi justru berniat untuk bekerja membangun perusahan milik negeri
sendiri saja, atau di perusahaan-perusahan yang memungkinkan mereka untuk membangun
dan kembali ke daerah setelah lulus nanti.
Saya tidak bermaksud tinggi hati menceritakan hal di atas. Namun, itu adalah fakta di antara
teman-teman saya, meski tidak bisa juga menggeneralisasi semua teman. Sebab ada juga anak
gaul kota tapi tetap nasionalis, atau anak daerah tapi kapitalis (maaf). Tapi, sebagian besar
pembagian klasifikasi di atas adalah benar yang saya temukan.
Dua orang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban, melakukan sebuah rangkaian perjalanan
mengelilingi Indonesia untuk memotret fenomena kehidupan rakyat dan alam di segenap
daerah. Mereka menamakan rangkaian perjalanan tersebut “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa”.
Hasil rangkaian perjalanan tersebut diabadiakan dalam sebuah buku oleh Ahmad Yunus.
Buku itu berisi ringkasan tulisan, foto, dan video catatan perjalanan mereka berdua.[3]
Berdasarkan pengakuan mereka berdua, rasa cinta mereka kepada Indonesia menjadi semakin
bertambah setelah melakukan ekspedisi tersebut. Sebab, mereka telah melihat sendiri
bagaimana kenyataan kehidupan rakyat di segenap penjuru tanah air, di berbagai pelosok
daerah di Indonesia. Kenyataan itulah yang membuat mereka pun menghimbau para pembaca
buku itu untuk pergi melihat Indonesia secara lebih dekat, melihat fenomena rakyat juga
alamnya.
Saya ingin mengutip sebuah pepatah yang sering kita dengar bersama, “Tak kenal maka tak
sayang, tak sayang maka tak cinta.” Begitu benar isi pepatah itu menurut saya. Jika kita tak
mengenal bangsa dan negara ini bagaimana mungkin kita bisa mencintainya? Lengkapnya
lagi, bagaimana mugkin kita bisa mengenal sesuatu jika kita tak pernah mengamatinya,
melihatnya. Dan unsur utama sebuah bangsa dan negara adalah rakyatnya.
Saya yakin bila semua warga negara ini mau melihat Indonesia secara lebih dekat dengan
melihat, mengenal, dan membiasakan diri untuk dekat dengan rakyat Indonesia, niscaya rasa
cinta yang ada pada diri tiap-tiap warga kepada bangsa dan negara ini akan muncul dan
bertambah. Siapapun dan apapun profesi warga negara tersebut. Baik itu pelajar, pengusaha,
pejabat pemerintahan, maupun lainnya. Sehingga, bangsa dan negara ini pun akan menjadi
bangsa dan negara yang sejahtera sebab selalu diperhatikan dan dicintai oleh segenap warga
negaranya.
Melihat Indonesia lebih dekat tidaklah harus ekspedisi keliling Indonesia seperti yang
dilakukan dua jurnalis di atas. Tidak juga harus memiliki pengalaman masa kecil seperti saya
yang hidup tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan yang banyak berpenduduk
“rakyat”.
Jika kebetulan Anda adalah orang kota, Anda tak perlu juga jauh-jauh pergi ke desa-desa atau
ke kampung-kampung untuk melihat “rakyat”, untuk melihat Indonesia lebih dekat. Sebab, di
kota-kota besar banyak juga terdapat rakyat. Coba saja ke kawasan pemukiman penduduk
kelas bawah di kolong-kolong jembatan kota atau di pinggir rel kereta api stasiun kota. Tak
mengapa hanya melihat-lihat saja ketika di sana, belum sempat atau belum mampu
membantu. Dari sekadar melihat-lihat itulah, niscaya kian lama akan bertumbuh dan
bertambah rasa simpati dan empati kita kepada rakyat Indonesia. Akan semakin tumbuh rasa
cinta kita kepada bangsa dan negara ini.
Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di Indonesia, saya masih merasa kurang dengan
sekadar adanya mata pelajaran kewarganegaaran. Menurut saya, itu hanyalah terkesan sebagai
sebuah mata pelajaran formalitas dalam kurikulum pendidikan yang sudah turun temurun.
Bagi saya pribadi, efek mata pelajaran tersebut untuk meningkatkan rasa nasionalisme dalam
diri saya sangatlah sedikit. Apalagi, berdasarkan pengamatan saya, semakin beranjak usia,
peserta didik semakin menganggap remeh mata pelajaran tersebut. Bahkan di kalangan
mahasiswa, mata kuliah kewarganergaraan hanya dianggap sebagai mata kuliah sampingan
sekaligus mata kuliah “paket A” sebab saking mudahnya untuk mendapatkan nilai tinggi
dalam mata kuliah tersebut.
Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan pemerintah beserta tiap-tiap instansi pendidikan di
negeri ini untuk membuat sebuah kurikulum pendidikan baru yang memungkinkan adanya
jadwal praktik kegiatan di luar kelas tiap minggu atau minimal tiap bulan bagi para peserta
didiknya untuk mengunjungi dan melihat kehidupan rakyat secara lebih dekat –melihat
Indonesia lebih dekat. Seperti yang telah saya utarakan, tak perlu jauh-jauh berpergian, seperti
halnya kegiatan study tour dan lainnya. Cukup ke lingkungan rakyat yang terdekat dengan
gedung sekolah yang bersangkutan.
Agar peserta didik lebih terkesan dengan kunjungan kegiatan tersebut, para pendidik dapat
secara kreatif mengadakan kegiatan sederhana dengan penduduk di lingkungan rakyat
tersebut untuk para peserta didiknya agar dapat berinteraksi dengan rakyat. Akan menjadi
nilai plus lagi apabila kegiatan yang diadakan tentunya dapat bermanfaat juga bagi penduduk
setempat.
Jikapun para pendidik tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan kegiatan untuk dapat
melibatkan para peserta didik dengan rakyat, kunjungan untuk sekadar melihat-lihat
kehidupan rakyat pun menurut saya sudah lebih bagus daripada sekadar hadir di kelas mata
pelajaran kewarganegaraan. Mata pelajaran yang materinya yang semakin sering ditemui
semakin membuat ngantuk dan diremehkan peserta didik.
Dalam proses menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, tahapan awalnya cukup dilakukan
dengan melihat-lihat terlebih dulu kehidupan rakyatnya secara lebih dekat, lalu mengenal,
kemudian sayang, dan akhirnya cinta. Inilah cara mudah lagi sederhana, tapi mampu
menggugah rasa nasionalisme kepada bangsa dan negara. Silakan dicoba!
___________________________________________________________________________
[1] Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[2] Gie, Soe Hok. 1989. Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
[3] Yunus, Ahmad. 2011. Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara. Jakarta:
Serambi.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kotak Pandora Bernama Toleransi
Oleh: DANIEL HERMAWAN - UNIVERSITAS PARAHYANGAN
Rangkuman:
Dewasa ini, keberagaman masih dianggap sebuah jurang pemisah dalam masyarakat
Indonesia. Perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan bahasa memberikan persepsi bahwa kita
berbeda dan kita tak mungkin bersatu. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” seolah masih
menjadi utopia dan hiasan dinding sekolah semata tanpa realisasi praktik nyata di lapangan.
Jika gejala perpecahan akibat keberagaman ini terus terjadi, bukan mustahil 50 hingga 100
tahun ke depan, nama Indonesia mungkin sudah tinggal dalam catatan sejarah. Maka dari itu,
kita harus membuka kotak Pandora bernama toleransi untuk menyelamatkan dan melakukan
revitalisasi terhadap makna keberagaman itu sendiri.
I. Prolog
Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum
akhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolom
mendatar: Apakah arti “Bhinneka Tunggal Ika”? Aku ingin menjawab “persatuan” pada
kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanya
dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab
oleh pembuat teka-teki silang ini?
Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi
masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kita
masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai
bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung
bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakar
karya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap
keberagaman itu.
Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai
kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
II. Refleksi
Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku
tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budaya
Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.
Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun
terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki ke
sekolah melewati rumah warga sekitar. “Eta aya si Cina. Cina!” (Itu ada si Cina. Cina!)
Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat
langkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada.
Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku
menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. “Haiya, ada orang Cina mau ikutan
seminar!” Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkah aku
bukan bagian dari Indonesia yang katanya “Bhinneka Tunggal Ika”?
Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna
“Bhinneka Tunggal Ika” itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket
pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat “Bhinneka
Tunggal Ika” itu selama ini belum pernah ku rasakan. Konsep kebanggaan terhadap
keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan.
Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkala
terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di
ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibat
kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar
tatkala kerusuhan itu meluas, bukan mustahil kami akan menjadi target selanjutnya.
Aku bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak mempunyai
kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini? Aku sempat berpikir
warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak dengan warga pribumi. Sampai
kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang ku
pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah khayalan belaka.
Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap mendapatkan
jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti dari “Bhinneka Tunggal Ika”.
III. Solusi dan Aksi
Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap
keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap tersisih dan
mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka terancam oleh kepentingan
kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan bersama.
Kebanggaan terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita
di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di Indonesia. Mempelajari zaman
penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat bangsa kita mudah diadu domba yang
pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah masuk dan menjarah kekayaan bangsa
Indonesia.
Kemerdekaan yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah
diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman
haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi masyarakat
berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat bangsa yang haus akan
kebhinekaan yang sejati.
Sudah saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu. Tatkala
kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban dari pluralisme itu
terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan ini
tatkala kita masih menganggap diri kita berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita
harus mengendurkan ego dan memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Mustahil membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih
menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk berjalan
beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan sebuah bangsa adalah
kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran setiap suku, agama, etnis, dan golongan
akan menjadi elemen penting yang saling melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh
tentang Indonesia.
Ibarat menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah
bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi yang
tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat ditiru dan dibeli
dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita mengetahui nilai dari
Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap utuh dan terawat hingga anak cucu
kita kelak.
Tidak perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena kita
semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas yang kita
sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu dengan yang lainnya,
melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk lukisan indah bernama
keberagaman Indonesia.
IV. Epilog
Kini aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan “toleransi”
dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan baik dan aku bisa
melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata teka-teki bernama
keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami hakikat dari “Bhinneka
Tunggal Ika” itu sendiri.
Jawaban “persatuan” yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala berbicara
tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada didalamnya. Dalam hal ini,
toleransi adalah proses yang harus kita tempuh sebelum akhirnya menghasilkan persatuan
sebagai dampaknya.
Tatkala kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa
keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan
semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Teori Sampah Indonesia
Oleh: SABHRINA GITA ANINTA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Rangkuman:
Masalah lingkungan Indonesia kebanyakan disebabkan oleh masyarakat Indonesia
sendiri. Masyarakat cederung tidak peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak
lingkungan. Contoh sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan
pesta. Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan
orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana perilaku
masyarakat Indonesia keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena ketidakpedulian
masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena ketidaktahuan. Masyarakat
Indonesia harus diedukasi mengenai masalah ini, dengan terlebih dahulu diyakinkan bahwa
ini memang sebuah masalah: lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat yang
tinggal di dalamnya. Edukasi ini harus dilakukan dengan tepat dan terus-menerus sebagai
bagian dari ikhtiar kita membangun Indonesia yang tidak akan pernah berhenti, sampai
Indonesia tidak ada lagi.
Perayaan Idul Fitri tahun ini membawa banyak cerita. Momen yang diperingati umat Islam ini
mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling
sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan
minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. Orang-orang yang cenderung
kedatangan tamu akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan
membereskan minuman dan makanan ke tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.
Pada hari-hari libur lebaran, ibu saya meminta saya membeli satu kardus air minum kemasan.
Perdebatan yang agak alot antara masalah kepraktisan dan sampah yang tak terurai sempat
terjadi sebelum akhirnya saya mengalah untuk pergi membeli barang tersebut. Namun dalam
perjalanan, ternyata tidak mudah mendapatkan satu kardus air minum kemasan bahkan di
minimarket. Tiga minimarket sudah saya lewati dan semuanya kehabisan air minum kemasan
merek apa pun. Jika satu minimarket melingkupi setidaknya dua wilayah perumahan yang
kisaran penduduknya bisa mencapai 10 KK, berapa banyak orang di sepanjang jalan yang
memiliki pemikiran sama dengan ibu saya?
Air minum kemasan praktis sekaligus bermasalah. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik
berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan
dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga
cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai. Dari sisi
pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang
digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat
pembuangan akhir. Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak
mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu
sepuluh ribu tahun. Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan
memerparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang
yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat lebaran.
Sampah plastik pun menumpuk.
Peristiwa kecil ini sudah cukup menggambarkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap
lingkungan. Gambaran kecil tentang perlakuan masyarakat perkotaan Indonesia terhadap
gelas plastik dapat memberikan gambaran besar perilaku masyarakat Indonesia terhadap
lingkungan. Estimasi dapat diberlakukan bahwa di setiap kilometer persegi wilayah Indonesia
dengan karakteristik masyarakat yang telah digambarkan, bahwa orang Indonesia yang
membuang sampah sembarangan lebih banyak dari yang membuang sampah di tempat
sampah. Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang
semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga
lingkungan yang membawa paradigma “lebih merepotkan”. Apalagi jika dampak langsungnya
tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah,
maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting.
Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat
tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan hidup tidak
menjamin kepeduliannya. Pernah seorang ibu yang saya tegur setelah saya mengambil
bungkus plastik yang dibuangnya ke bawah kursi angkutan umum merasa tidak enak setelah
sekian lama dan mengambil bungkus plastik itu dari saya untuk dibuangnya sendiri. Ada lagi
seorang teman yang memberikan jawaban jelas, “Kan nanti ada yang membersihkan,” atau
“Mending dibuang di dalam angkot daripada di jalan raya”. Padahal cukup sulit mencari
tempat sampah di Indonesia. Dengan kata lain, siapa pun yang nanti membersihkan itu akan
menambah sampah di tempat lain. Mereka mengerti, tapi mereka tidak peduli. Padahal,
kepedulian ini penting, seperti teori yang akan dijabarkan berikut.
Ketika suatu area sudah cenderung dipenuhi sampah yang berserakan, orang akan mudah
tidak merasa bersalah membuang sampah di tempat tersebut. Para ahli ilmu sosial
merumuskan perilaku manusia yang satu ini dalam teori jendela pecah. Jika suatu perilaku
menyimpang dibiarkan terjadi cukup sering, kemerosotan lingkungan akibat penyimpangan
ini akan terus meningkat tanpa bisa dikembalikan atau dihentikan dan pada akhirnya orang-
orang akan cenderung mengabaikan lingkungan sekitarnya. Ini biasa terjadi untuk perbuatan-
perbuatan menyimpang yang sanksi sosialnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat diamati di
dalam angkutan umum; tidak akan sulit mencari sampah yang diselipkan di sudut-sudut
tertentu atau kerusakan, bahkan vandalisme di bagian kursi atau bingkai jendela. Contoh lain
adalah sampah-sampah yang umum tampak di pasar tradisional yang digelar di jalan raya atau
alun-alun kota. Orang mungkin berpikir bahwa “nanti akan ada” orang yang membersihkan,
repot harus mencari tempat sampah, atau mengapa saya harus menjadi orang yang peduli?
Padahal, suatu bentuk penyimpangan, misalnya coretan iseng atau sampah di sembarang
tempat, jika dibiarkan dalam jumlah banyak dapat mendukung timbulnya tindakan
menyimpang yang lain, misalnya mencuri.
“Satu jendela pecah yang diperbaiki menunjukkan bahwa suatu perilaku tidak dapat
ditoleransi, namun satu jendela pecah yang dibiarkan,” Wilson dan Kelling menulis, “adalah
tanda bahwa tidak ada yang peduli sehingga memecahkan lebih banyak kaca tidak akan
merugikan siapa pun”. Hal ini berlaku juga ketika konteks “jendela pecah” disubstitusi
dengan “membuang sampah sembarangan”. Ketika berada di lingkungan yang banyak
sampahnya, orang akan berpikir bahwa tidak apa-apa menambah beberapa sampah tambahan,
terutama jika lokasi tersebut bukan lokasi yang sering didatanginya. Melihat basis teori
jendela pecah dan realita masyarakat sekarang, bukan tidak mungkin tempat dengan banyak
sampah akan menghasilkan perilaku menyimpang yang lebih parah. Tempat dengan banyak
sampah, dinding yang dicoret-coret dengan nama geng yang dibiarkan, atau fasilitas rusak
akan mengundang aktivitas sekumpulan pelaku penyimpangan dan berujung pada tindakan-
tindakan immoral. Beberapa contoh yang dapat disebutkan adalah perusakan dan vandalisme
lebih lanjut, tawuran, membuang lebih banyak sampah di tempat tersebut, dan lain-lain. Dari
sini dapat dikatakan bahwa lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat sehingga
sudah selayaknya dijaga. Lingkungan harus dijaga demi membentuk masyarakat yang lebih
baik. Ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, yang bisa diambil dari contoh
sampah ini, lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat.
Karena itu, usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak
boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya
konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah—bahkan kebohongan yang diulang-
ulang bisa menjadi kebenaran. Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan
elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungan.
Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit.
Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu
masalah. Daya tahan tubuh masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap penyakit lebih tinggi
dari masyarakat negara lain yang memang lingkungan hidupnya lebih bersih. Otomatis,
orang-orang Indonesia tidak akan merasa terganggu hanya dengan beberapa sampah plastik
saja di sekitarnya. Dapat juga dikatakan bahwa usaha membersihkan daerah sekitarnya tidak
terjaga sebagai suatu kebiasaan yang dianggap perlu. Hal ini juga yang sering dibiarkan
tertanam di anak-anak kita: nanti kan juga kotor lagi? Standar kenyamanan sebagian besar
masyarakat Indonesia yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu dari sekian banyak faktor
yang membuat negara kita tercinta menomorsekiankan masalah lingkungan.
Edukasi masyarakat memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Satu hal yang harus
disadari oleh semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua sedang berada di sebuah perahu yang sama, perahu
Indonesia. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu, seluruh penumpang akan ikut
tenggelam. Apa yang dapat kita lakukan adalah memberitahu penumpang yang sedang
berusaha melubangi perahu tersebut dampak perbuatannya, dan membujuknya untuk tidak
melakukannya. Ini jelas membutuhkan pengetahuan tentang kondisi kapal. Kondisi
lingkungan Indonesia.
Dari analogi kapal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yang mengedukasi masyarakat
tentang lingkungan haruslah orang yang tepat, dan pemberitahuan dilakukan dengan cara
yang tepat. Kaum cendekia yang mendalami tentang isu-isu lingkungan tersebut memiliki
tanggung jawab untuk memberitahu masyarakat di sekitarnya mengenai apa yang harus
dilakukan dengan lingkungan sekitar kita. Dosen teknik lingkungan perlu membagi dan
memfasilitasi penyebaran ilmu tentang pengolahan limbah air agar rumah-rumah tidak boros
air. Mahasiswa-mahasiswi ilmu alam dapat memberi tahu para pedagang kaki lima ketika
mereka membeli dagangannya betapa pentingnya menjaga daerah berjualannya tetap bersih
dari sampah. Siswa-siswi sekolah dapat mengajak orang tuanya memisah sampah di rumah
dan mengatur agar kompleks rumah mereka tidak menjadi kontributor terbesar Tempat
Pembuangan Akhir. Hal-hal ini hal-hal sederhana yang jika dilakukan oleh semua orang,
dampaknya akan besar. Tak lupa pula bahwa cara mengedukasi masyarakat harus tepat. Kita
tidak dapat menjelaskan pemanasan global kepada tukang mie tek-tek jika kita menggunakan
istilah-istilah semacam metana dan penipisan ozon. Mereka akan lebih mengerti jika kita
memakai analogi terkait kehidupan sehari-hari mereka. Mungkin “efek rumah kaca” bisa
diganti “efek panci mie kuah”. Hal ini hanya bisa kita lakukan dengan benar jika kita
mengerti kehidupan sosial mereka dan tingkat edukasi mereka.
Masalah lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya
memerhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya
membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang mereka pelajari
dapat berguna langsung bagi masyarakat. Di sinilah saat ketika tugas para cendekia menjadi
nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam dan memahami cara mengajarkannya
atau mengaplikasikannya kepada masyarakat. Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih
mengotakkan kedua aspek tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah
pendidikan maupun mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi
pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen negara. Semua
harus menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang besar.
Dengan ilmu yang tinggi, timbul tanggung jawab untuk untuk menyebarkan dan
meresapkannya ke setiap bagian masyarakat untuk kebaikan bangsa.
Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung
jawab itu kepada para cendekiawan. Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan
terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu tauladan
lebih baik dari seribu arahan. Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter
dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga
timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang
lebih baik bagi anak cucu kita, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik
bagi lingkungan kita.
Masyarakat memiliki kekuatan utama dalam melestarikan lingkungan. Masyarakatlah yang
paling dekat dengan lingkungan. Sayangnya, banyak yang termakan pesimisme karena
ketidakpedulian pemerintah sehingga banyak yang tidak mau berusaha. Padahal usaha-usaha
penting dalam melestarikan lingkungan akan lebih membawa signifikansi jika dilakukan oleh
masyarakat Indonesia. Apakah kita harus selalu menunggu pemerintah untuk peduli baru kita
berjalan? Negara adalah pemerintah, wilayah, dan rakyat. Negara adalah gambaran ketiga
elemen penyusunnya, tidak hanya pemerintah.
Edukasi masyarakat mengenai lingkungan harus terus dilakukan. Terus diulang agar meresap
ke setiap kepala yang mendengarnya secara berulang. Sesuatu yang diulang dan selalu
dilakukan dapat membantu pengertian semua orang, menjadikan hal tersebut suatu budaya,
kunci kekuatan suatu bangsa. Ini adalah ikhtiar yang akan selalu berlangsung tanpa henti,
terus dilakukan, sampai Indonesia tidak ada lagi.
Mungkin saya akan terus membeli sekardus gelas plastik setiap lebaran menjelang. Terus
menerus, sampai saya bisa membawa pulang ke rumah alat yang bisa mengubah air keran
menjadi air layak minum, atau membantu memperbaiki sistem PDAM. Namun, hari itu, hari
ketika ibu saya tidak akan mendebat saya tentang sekardus gelas plastik, pasti akan datang.
Sudah cukup banyak solusi untuk segala masalah lingkungan, baik dari hasil inovasi generasi
muda maupun percontohan dari berbagai etnis atau golongan masyarakat. Di media massa ada
berita mengenai tentang alat pengubah asap rokok menjadi oksigen dan pasta gigi ramah
lingkungan berbahan cangkang kerang. Banyak ulasan mengenai etnis-etnis yang
memanajemen hutan tempat tinggalnya melalui kearifan lokalnya, salah satunya suku Baduy.
Warga lokal yang terlambat menyadari pentingnya menjaga lingkungannya juga belajar.
Banyak kisah mengenai kiprah aktivis-aktivis lingkungan yang tak kenal menyerah mencari
solusi memertahankan jasa ekologis yang kita pakai. Semua itu memerlukan implementasi
tindakan dan peraturan yang didasari pemahaman, atau tinggal wacana. Semua elemen negara
harus memahami bahwa dalam mengelola lingkungan, aspek keterpaduan harus dipahami.
Lingkungan merupakan kumpulan interaksi sehingga harus dikelola secara holistik, dan ini
membutuhkan pengertian semua pihak yang terlibat. Kepedulian dan pengetahuan seluruh
elemen masyarakat menjadi kunci di sini.
Referensi
The Economist. 2008. ”Can the can”. http://www.economist.com/node/12630201 diakses
tanggal 28 September 2012
Weber, B. 2012. “James Q. Wilson Dies at 80; Originated ‘Broken Windows’ Policing
Strategy”. The New York Times. http://www.nytimes.com/2012/03/03/nyregion/james-q-
wilson-dies-at-80-originated-broken-windows-policing-strategy.html?_r=1&pagewanted=all
diakses tanggal 28 September 2012
Anonim. 2010. “Dioxin – Dampak Negatifnya dan Cara Menghindarinya”.
BemFKUnud.com. http://www.bemfkunud.com/2010/02/28/dioxin-dampak-negatifnya-dan-
cara-menghindarinya/ diakses tanggal 29 September 2012
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Modernitas dan Demokrasi Selebar Lima Kaki
Oleh: AZHAR IRFANSYAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Rangkuman:
Jalan raya merupakan ruang kontestasi dengan beragam dinamika. Di pinggiran dinamika itu
trotoar hadir sebagai ruang demokratis yang menyangga aspirasi kaum pejalan kaki. Namun
laju modernitas membuat keberadaan trotoar seolah-olah tak relevan lagi, sehingga kini
trotoar menjadi ruang yang semrawut. Kehadiran negara pun menjadi dilema yang lain dalam
upaya demokratisasi jalan.
—————————-
Trotoar merujuk pada tepi jalan selebar lima kaki yang sedikit ditinggikan dan—idealnya—
eksklusif bagi pejalan kaki. Istilah ini dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari
lema trottoir, sedangkan secara etimologis berasal dari bahasa Perancis, trotter yang artinya
“berlari kecil”. Modernisasi transportasi telah menciptakan kendaraan bermotor. Ketika
kendaraan bermotor baik yang beroda empat maupun dua mulai menjadi konsumsi publik,
kondisi jalan-jalan kota berubah. Pejalan kaki yang dulunya dapat lenggang kangkung di
tengah-tengah jalan kota kini dalam keadaan terancam. Kendaraan bermotor menguasai jalan-
jalan. Rangka besi dengan berbagai model dari berbagai merk itu melaju puluhan kilometer
per jam, membuat pejalan kaki harus menyingkir demi keselamatan. Untuk melindungi para
pejalan kaki yang berada di pinggir jalan inilah trotar dibangun.
Lantaran fungsi idealnya inilah trotoar menjadi wujud demokratisasi di jalan raya. Trotoar
menjadi jalur aspirasi dari warga-warga yang tak menggunakan kendaraan bermotor. Selain
itu trotoar juga menjadi representasi kelas bawah karena kebanyakan warga tanpa kendaraan
bermotor ini berasal dari kelas bawah strata sosial kota. Dari trotoar mereka berjalan kaki,
menyajikan perlawanan yang puitis terhadap modernitas.[1] Trotoar menyangga kaum tak
berpunya yang puitis ini agar tak terhempas dari kontestasi ruang di jalan raya, sekalipun
ruang mereka hanya selebar lima kaki.
Namun trotoar yang merupakan penawar bagi, meminjam istilah Theodor Adorno, dilaektika
negatif modernisasi ini kini diabaikan dan terlupakan. Di hadapan kemajuan teknologi
mutakhir, keberadaan trotoar jadi terlalu remeh-temeh untuk diperhatikan. Padahal melalui
rimba trotoar yang sering dianggap remeh temeh sifat-sifat modernisasi dapat kita cermati
secara lebih mendetail.
Dari trotoar misalnya, istilah Edmund Leach yang menyebut modernitas sebagai “runaway
world” akan lebih mudah dipahami. Saat kita berada di jalan raya menggunakan kendaraan
bermotor, kita melebur dalam kecepatan modernitas. Tetapi saat kita berjalan di tepian trotoar
kita hanya menjadi penonoton dari kecepatan modernitas, sambil berharap kecepatan itu tak
melibas kita. Dalam keadaan inferior karena tak ikut berpartisipasi dalam menggunakan
teknologi akhirnya modernitas dapat kita persepsikan dengan cara yang berbeda. Teknologi
yang kita rasakan manfaatnya saat kita gunakan jadi penuh mudharat saat kita tak
memilikinya. Inilah wajah lain dari teknologi modern. Teknologi yang pada awalnya menjadi
instrumen untuk mengatasi berbagai krisis dalam hubungan manusia dengan alam, sehingga
dapat disebut sebagai kekuatan emansipatoris, kini justru tampak tak terkontrol. Teknologi
justru berubah menjadi kekuatan yang dominatif terhadap manusia.[2]
Menurut Giddens, perubahan sifat dari teknologi ini seiring dengan perubahan sifat
modernitas. Giddens membagi modernitas dalam dua periode: periode modernitas sederhana
dan modernitas refleksif. Kini kita telah memasuki modernitas refleksif yang penuh dengan
kondisi ketidakpasitan. Dunia tempat kita tinggal sekarang lebih tak menentu dari dunia yang
dialami oleh generasi sebelumnya. Ketidakmenentuan pada era ini disebut oleh Giddens
sebagai manufactured risk, resiko yang bersumber dari keterlibatan manusia dalam mencoba
untuk mengubah alur sejarah dan menguasai alam.[3] Kendaraan bermotor adalah salah satu
bentuk dari resiko ini.
Konteks-konteks kelembagaan modernitas kemudian menjadi sumber dari manufactured risk.
Beberapa konteks kelembagaan modernitas yang sesuai dengan keberadaan trotoar yaitu
polarisasi ekonomi dan ancaman teknologi terhadap ekosistem.[4] Polarisasi ekonomi telah
membuat teknologi menjadi eksklusif, sedangkan teknologi sendiri menghasilkan residu yang
dapat membahayakan kelangsungan hidup ekosistem. Kendaraan bermotor misalnya, tak bisa
diakses oleh mereka yang tak memiliki uang untuk membelinya. Eksklusifitas dari teknologi
ini membuat para pengguna teknologi menjadi kurang peka terhadap nasib mereka yang tidak
mampu mengakses teknologi. Padahal distribusi resiko dari dari residu teknologi terbagi ke
semua penghuni ekosistem, termasuk pada mereka yang tidak menggunakan teknologi. Polusi
yang dihasilkan kendaraan bermotor misalnya, harus dihirup juga oleh pengguna trotoar yang
tidak memanfaatkan kendaraan bermotor.
Trotoar, dan juga jalan, akhirnya membentang sebagai metode fenomenologis untuk
mempersepsikan kontestasi asimetris antara the haves dan the haves-not. Atau mungkin bukan
hanya antara the haves dan the haves-not, melainkan antara satu melawan semua. Kontestasi
ini ditingkahi prilaku manusia yang secara “rasional” mengutamakan kepentingannya sendiri.
Prilaku ini akhirnya menyebabkan gagalnya skema kepemilikan bersama atas jalan dan
trotoar.
Gagalnya Kepemilikan Bersama dan Dilema Kehadiran Negara
Akhirnya jalan raya dan trotoar sama-sama habis terbagi oleh egoisme kita yang tak ada
batasnya, keduanya menuju kekacauan tanpa ada solusi teknis. Status “milik bersama” jalan
raya dan trotoar membuat semua orang seakan-akan sah saja menyelenggarakan
kepentingannya secara suka-suka. Negara sebagai pengelola ruang milik bersama berupaya
membatasi sikap suka-suka ini dengan menebar rambu-rambu dan polisi di jalan raya.
Namun, terutama bagi pengguna kendaraan bermotor, seringkali rambu-rambu ini hanya
dipatuhi selama kepatuhan itu menguntungkan atau tidak merugikan pengguna jalan secara
pribadi. Lampu merah misalnya, dipatuhi karena para pengendara tak mau tertabrak atau
ditilang oleh polisi. Ketika rambu-rambu itu dianggap tak relevan dengan nasib pengguna
jalan, rambu-rambu itu hanya sekedar penanda bisu di tengan jalan. Rambu batas kecepatan
atau dilarang parkir misalnya, seringkali dilanggar karena tak berkonsekuensi langsung
terhadap nasib pelanggarnya. Di trotoar keadaannya lebih semrawut lagi. Inferioritas pejalan
kaki telah membuka berbagai tafsir baru atas trotoar. Tafsir-tafsir ini hanya berdasar pada
kepentingan diri sendiri. Pengendara motor akan menafsirkan trotoar sebagai jalan pintas
yang bisa digunakan saat macet, pedagang kaki lima akan menafsirkan trotoar sebagai lahan
usaha yang murah, lalu pemilik toko di pinggir jalan raya akan menafsirkan trotoar sebagai
lahan parkir yang serba guna. Oleh tafsir-tafsir baru ini pejalan kaki menjadi termarjinalisasi,
padahal tafsir pejalan kaki terhadap trotoar ini sudah dijadikan tafsir resmi negara dalam UU
22/2009.
Jika persoalannya memang tak adanya konsekuensi langsung atas pelanggaran-pelanggaran
rambu-rambu, maka seharusnya ada solusi teknis untuk mencegah jalan raya jatuh dalam
kekacauan: menambah kehadiran negara hingga tingkat yang paling maksimum. Namun
seandainya memproyeksikan kehadiran negara ke jalan raya ini biayanya bisa dijangkau, kita
akan ngeri membayangkan kekuasaan aparatur negara merajalela di jalanan. Hardin sebagai
penganjur ekonomi liberal menganggap keterlibatan negara juga akan membawa mudharat.
Ini karena ada sentimen lama dalam masyarakat, quis custodiet ipsos custodes? Lalu siapa
yang akan mengawasi para pengawas? Pasalnya negara dari rezim yang satu ke rezim yang
lain juga kerap memegang tafsirnya sendiri atas jalanan. Rezim pemerintah kolonial Hindia
Belanda misalnya, menafsirkan jalan raya sebagai modernisasi yang diimpor dari Eropa dan
difungsikan untuk kemaslahatan pemerintah kolonial. Tak masalah jika kaum pribumi tak
mendapatkan faedah dari pembangunan jalan raya. Pandangan ini dipelihara karena kaum
pribumi—yang ribuan dari mereka harus mati dalam kerja paksa membangun jalan raya—
dianggap tak punya saham sama sekali dalam pengadaan jalan raya di Hindia Belanda.
Pembangunan Jalan Raya Pos Daendels misalnya, dimulai saat kebanyakan kaum pribumi
bahkan bersepatu saja belum. Sejak awal, pembangunan Jalan Raya Pos Daendels memang
bukan untuk pribumi melainkan untuk menerapkan strategi Belanda membendung invasi
Inggris. Setelah merdeka dari kolonialisme Belanda dan Jepang, rezim pascakemerdekaan
dibawah kepemimpinan Sukarno juga memegang tafsirnya sendiri atas jalan. Jalan bagi rezim
Sukarno adalah mercusuar untuk ditunjukkan pada dunia sebagai manifestasi “citra
pembangunan Sukarno”. Kota-kota besar dibangun agar dapat dijadikan simbol kebanggaan.
Namun hal ini membawa dampak negatif, pembangunan jalan-jalan hanya terpusat pada kota-
kota besar saja, di Jakarta misalnya. Demi proyek mercusuarnya, Sukarno memang pernah
menanamkan bahwa “Membangun Jakarta sama dengan membangun tanah air, membangun
negara, dan membangun masyarakat.”[5] Cara pandang inilah yang kemudian menciptakan
kesenjangan antara pusat dan daerah, kesenjangan ini pada titik kulminasinya berujung pada
pemberontakan PRRI-Permesta yang menuntut pemerataan pembangunan. Pergantian rezim
pascakemerdekaan Sukarno ke rezim orde baru Suharto juga membawa perubahan pada tafsir
atas jalan. Di era Suharto, jalan merupakan sasaran pembangunan penting bersamaan dengan
proyek-proyek pemerintah lainnya. Jalan-jalan diaspal untuk mempermudah tranpostasi antar
wilayah sekaligus membukan orde ekonomi.[6] Jika di era Sukarno jalanan dibangun untuk
dimercusuarkan, jalanan di era Suharto dibangun untuk membuka akses ekonomi.
Kesenjangan antara pusat dan daerah di era Sukarno pun terulang lagi meskipun dengan
filosofi yang berbeda. Jalan-jalan yang membawa manfaat ekonomi dan investasi diaspal
berkali-kali, sedang jalan yang dianggap tidak potensial secara ekonomi dibiarkan dalam
kondisi berlubang-lubang.[7]
Setiap rezim yang mewujud dalam negara juga tak objektif dalam menafsirkan jalanan. Tafsir
yang searah oleh rezim dalam negara juga membawa dampak yang merugikan sebagian
masyarakat. Memproyeksikan kehadiran negara ke jalanan tidak mengubah arah dari
kekacauan.
Namun perlu diingat bahwa membuat semua tak merasa dirugikan itu mustahil. Bahkan dalam
keadaan yang paling demokratis pun keinginan semua orang dalam suatu masyarakat tak
mungkin terpenuhi. Maka itu penerapan hukum yang sifatnya memaksa tak selamanya berarti
buruk atau malah dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Semua tergantung pada: apakah
penerapan hukum tersebut disepakati secara bersama-sama atau hanya keinginan segelintir
elit? Jika penerapan hukum itu memang disepakati bersama maka unsur-unsur paksaan
dibutuhkan. Anjuran John Adams bahwa suatu masyarakat harus mengusung pemerintahkan
yang berasaskan hukum dan bukan hanya sekumpulan elit[8] sangat relevan dalam hal ini.
Pada pembentukan kesepakatan dan pelaksanannya itulah letak fungsi demokrasi, dan di
ruang pinggiran bernama trotoar fungsi demokrasi itu diuji. Demokrasi bukan hanya soal
penyelenggaraan pemilu berkala dan deliberasi dalam parlemen saja. Manifestasi fungsi
demokrasi justru berada di luar penyelengaraan prosedur formal. Penyediaan trotoar
sebenarnya sudah merupakan wujud dari demokrasi itu sendiri. Melalui trotoar aspirasi
mereka yang berada di pinggiran dapat tetap mengalir. Sayangnya, seperti ditulis oleh Marco
Kusumawijaya, sekalipun telah membangun kota-kota besar secara fisik masyarakat
Indonesia hingga kini belumlah mengenal budaya berkota. Sehingga trotoar dalam
penggunaanya sering tidak pada fungsi yang telah disepakati, yaitu sebagai ruang pejalan
kaki. Hal ini menandakan demokrasi kita belum sampai ke trotoar.
[1] Marco Kusumawijaya, Jalan. Ditulis sebagai pengantar dalam Hani Rihana, Negara di
Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius & IMPULSE, Yogyakarta. 16
[2] Suharko, Karakteristik dan Sumber resiko dalam Era Modernisasi Reflektif, Jurnal Sosial
Politik Vol. I No.2, November 1997. 66
[3] Ibid. 69
[4] iIbid 72
[5] Abidin Kusno, Behind Post Colonial Architecture, Urban Space, and Political Culture in
Indonesia, 2000, Routledge, London. 102
[6] Hani Raihana, Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius,
Yogkakarta. 43
[7] Ibid. 44
[8] Garrett Hardin, The Tragedy of The Commons, Science Vol 162 No. 3859, 13 Desember
1968. Dapat diakses di http://www.sciencemag.org/content/162/3859/1243.full (diakses pada
1 Oktober 2012)
Merawat Indonesia dengan Dialog
Oleh: NABILAH MUNSYARIHAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan:
Keberagaman di Indonesia adalah akumulasi budaya dari berbagai daerah. Jika kehidupan
masyarakat di daerah-daerah harmonis, wajah Indonesia pun akan menjadi ayu. Tapi konflik
di Indonesia muncul silih berganti. Konflik, diantaranya, disebabkan oleh diskursus yang
tidak disemai dengan sehat. Indonesia membutuhkan ruang dialog yang tidak elitis. Tulisan
ini mempertemukan kegelisahan dengan sebuah ikhtiar untuk menepisnya. Inilah sopotong
sumbangsih Jombang dalam mewarnai dialog kemajemukan Indonesia. Dimulai oleh
sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Staramuda.
———————–
5 Oktober 94 tahun silam, kongres Boedi Oetomo (BO) tidak banyak berarti tanpa 1200 orang
yang menyatakan diri sebagai anggota dari pelbagai penjuru Jawa. Berkat iuran anggota dari
daerah, BO bisa beroperasi. Sampai akhirnya iuran itu tak sederas pada mulanya, BO
menyerahkan kebebasan pada pengurus di daerah. Dalam kongres tadi, kemajuan berpikir
Tjipto Mangoenkoesoemo lahir mendahului zamannya. Ia mengharap BO menjadi partai
politik berdasarkan ‘persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, jenis kelamin, atau
kepercayaan’.[1] Pemikiran ini kelak menjadi milik banyak pemuda modern. Ada dua
pelajaran berharga dari BO, pentingnya daerah dan pemikiran radikal kaum muda.
Orang daerah merasa senantiasa menjadi pinggiran dari Jakarta. Taukah, bahwa sejatinya,
Jakarta adalah pinggiran dari Eropa dan Amerika – pusat dunia?[2] Saya tersentak membaca
analisis tajam Daniel Dakhidae itu dalam salah satu edisi Jurnal Prisma. Saya merasa tiba-tiba
terhubung dengan seluruh dunia. Saya lantas menerawang, tanpa Jombang, Manokwari, pulau
We, atau hilang salah satu saja di antaranya, gagal negara ini disebut sebagai Indonesia.
Setiap daerah punya sumbangsih besar terhadap wajah Indonesia. Sebab ternyata, pilar-pilar
penting Indonesia ada di daerah, bukan di pusat.
Patut disayangkan, wajah Indonesia hari ini adalah kekerasan di Sampang, pelanggaran HAM
di Papua, dan penggusuran lahan petani di Kulon Progo. Isu HAM dan SARA, seperti Syiah,
Ahmadiyah, Gereja Yasmin, mengeruhkan rupa damai Indonesia. Kita sering kali hanya
reaktif terhadap fenomena, tapi tidak aktif merawat. Kita sibuk dengan urusan pribadi, seolah
Indonesia bisa mengurus dirinya sendiri. Lantas ketika ada darah atau api menyeruak di suatu
lokasi, barulah kita teriak, Pancasila dinodai! Indonesia butuh dirawat, bukan hanya ditilik
sesekali. Apalagi dititipkan pada politisi.
Mempersiapkan Indonesia
Dimensi mempersiapkan Indonesia tidak hanya waktu, melainkan juga ruang. Persiapan
Indonesia tidak berhenti dilakukan PPKI di masa lalu. Tetapi terus bergulir dengan tenaga-
tenaga pendorong dari daerah. Saya percaya bahwa tenaga itu bukan saja soal pertumbuhan
ekonomi dan demokratisasi, melainkan juga iklim harmonis dalam kehidupan masyarakat.
Inilah yang menjadi catatan besar, sebagian dari kita ternyata tidak betah bersebelahan dengan
tetangga beda agama. Tidak sepakat ada rumah ibadah lain di sekitar kompleks perumahan
kita.[3] Kita ini ternyata menyangkal nilai kebhinekaan sejak satu centimeter dari halaman
rumah.
Seorang kenalan kristian pernah bercerita, di desanya dulu semua umat beragama saling
bertandang saat hari raya tiba. Muslim bertandang ke rumah pemeluk kristen ketika natal.
Umat kristen bersilaturrahim ke rumah tetangga muslim ketika lebaran. Suatu saat, ada
seorang pemuka agama Islam masuk ke desanya, berceramah haram muslim mengucapkan
selamat natal. “Tahun-tahun sebelumnya rumah kami selalu ramai, tiba-tiba saja tahun itu
sepi. Kasihan ibu saya sudah capek menyiapkan makanan,” kisahnya.
“Nabila, apa memang Islam melarang laki-laki dan perempuan bersentuhan?” Pertanyaan ini
terlontar dari seorang teman ketika kami berdua sedang menunggu kendaraan pulang dari
sebuah acara lintas iman. Teman saya yang ini seorang Hindu berdarah Bali. Ia merasa
tersinggung ketika seorang teman muslimnya tidak mau bersalaman dengannya. “Memang
tanganku kotor ya?” responnya spontan ketika itu. Ia mengaku tak keberatan bila temannya
menjalankan perintah agamanya, “Tapi mereka tidak memberikan pemahaman yang cukup.
Hanya menghindar begitu saja.” Inilah akar dari selisih paham antarumat beragama di
Indonesia, banyak perbedaan yang dilarutkan dalam diam. Perdsoalan lantas membeku sulit
dipecah, rumit sukar diurai.
Saya mafhum bahwa banyak orang merasa belum selesai mempelajari ajaran agamanya
sehingga merasa tidak perlu memahami ajaran agama orang lain. Atau justru, ada yang
merasa telah selesai menempuh pendidikan agamanya dengan congkak menyalahkan ajaran
orang lain. Ada juga yang senggol bacok lantaran berebut lahan lalu kolektivisme identitas
masing-masing pihak menggumpal. Pecahlah kekerasan atas nama (kelompok) agama.
Pandangan masyarakat pun dibuat bias, ini konflik tentang agama atau bisnis? Pemerintah dan
media berlagak seperti aktor dalam sinetron. Terus bermain peran, tapi tak menjawab apa-apa.
Terkadang, pemerinta sendiri mencederai kebhinekaan atas nama hegemoni kelompok
tertentu.
Indonesia sudah makan asam garam hidup dalam kemajemukan, tapi konflik tak kunjung bisa
diredam. Seolah selalu saja ada oknum yang ambil untung sehingga berniat merawat konflik,
seperti yang tampak di Papua. Sampai sini, kita sadar ada yang salah dalam mempersiapkan
Indonesia.
Kita terima Pancasila sebagai formula paling manjur dalam meredam gelagat phobia terhadap
kelompok yang berbeda. Tapi detik ini, kita semua sedih karena Pancasila seolah lumpuh
kesaktiannya. Pancasila mandek dalam ruang kelas dan diskusi kaum terpelajar. Nan jauh di
sana, nilai Pancasila justru terlaksana di desa-desa dalam kesederhanaan dan kearifan
warganya tanpa umuk dilabeli pengamalan Pancasila. Di kota, Pancasila usang, menggantung
di tembok sekolah dan perkantoran. Lebih dari sosok garuda, kita membutuhkan kehadiran
Pancasila dalam akal budi yang menjelma dalam kesantunan berbalut keberanian untuk
berbicara dan bersikap.
Pancasila hadir dalam banyak dialog. Tapi, forum dialog antaragama seringkali diisi oleh elit
agama yang sudah selesai dengan kesalahpahaman. Almarhum Gus Dur dan Romo
Mangunwijaya, keduanya sosok yang sudah berhasil menciptakan harmoni dalam dirinya.
Tetapi, umat di bawahnya, belum cukup paham dalam memaknai dan menghadapi perbedaan.
Maka, energi fanatisme umat bisa menggelinjang sewaktu-waktu. Saya pernah menduga,
konflik dan toleransi itu sebenarnya hanya terjadi di tubuh elit masyarakat. Tetapi konflik
lebih mudah diikuti akar rumput daripada sikap toleran.
Toleransi itu tak cukup didapat dari pelajaran sekolah. Sebab, toleransi lahir dari pengalaman
menghadapi perbedaan. Orang yang hidup dalam homogenitas, relatif tak punya pengalaman
dalam menyikapi perbedaan. Toleransi merupakan keterampilan untuk merendahkan hati,
mengonfirmasi ketidakjelasan, dan menyiapkan diri untuk berdialog.
Sepakat atau tidak sepakat bukanlah tujuan, melainkan saling mengerti itulah yang ingin
dicapai. Maka, dalam perspektif dialogis, sidang isbat tiap jelang lebaran memang tak harus
ada persamaan pendapat. Sebab, masing-masing keputusan telah membawa argumentasinya
sendiri. Tapi sayangnya, kasak-kusuk di facebook dan twitter terus berlanjut, menyinidir
orang yang berbeda pendapat tentang cara menentukan awal bulan. Kasus ini mungkin tidak
berujung fatal, tetapi ini menampakkan dengan jelas ada penyakit yang mengakar dalam cara
pandang kita melihat perbedaan. Maka, mempersiapkan Indonesia adalah menghidupkan
ruang-ruang dialog di akar rumput.
Dia-lo-gue: Ikhtiar Staramuda Jombang
Mengenal Jombang dari kulitnya adalah segera terbesit seribu satu nama orang asal Jombang
yang berhasil mewarnai wajah Indonesia. Bermacam respon pertama orang ketika mendengar
Jombang, ada yang sebut Gus Dur, yang lain sebut Rian si Jagal, lain lagi sebut Ponari.
Demikian Jombang, terdiri dari unsur ijo (hijau) dan abang (merah). Hijau mewakili santri
dan merah mewakili abangan.
Sejarah Jombang terendus dari catatan tentang Klentheng Tridharma di kecamatan Gudo
berdiri 1700an dan Gereja Kristen Jawi Wetan di kecamatan Mojowarno berdiri 1893.[4] R.A.
Kartini juga pernah menulis dalam suratnya, ia tertarik dengan persekutuan Mojowarno untuk
belajar menjadi perawat.[5] Tepat di depan gereja, persekutuan Mojowarno mendirikan
sebuah rumah sakit.
Di waktu yang hampir bersamaan, Abdussalam seorang bekas prajurit Diponegoro, membabat
alas di desa gedhangan dan mendirikan pesantren selawe. Keturunan Abdussalam ini yang
kini memegang kepemimpinan atas empat pesantren besar di Jombang, yaitu Tebuireng,
Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso. Sejak awalnya, Jombang tak pernah berwajah tunggal.
Tak ada catatan tentang pelanggaran HAM dan SARA yang pernah terjadi di Jombang. Relasi
kelompok-kelompok agama dan etnis juga terawat baik. Para keturunan Tioghoa, yang
mendominasi pusat pertokoan di sepanjang jalan A.Yani dan jalan KH. Abdurrahman Wahid
(dulu jalan Merdeka), memiliki sumbangsih besar terhadap pembangunan pesantren. Atas
dasar kepercayaan, mereka memberikan penundaan pembayaran kepada pesantren yang
membeli bahan bangunan di toko mereka. Gedung-gedung pesantren itu berdiri di atas
pondasi harmoni antara Jawa dan Tinghoa.
Setengah jam dari kampung saya di Jombang, saya menemui sebuah desa yang memberikan
kehidupan bagi tiga komunitas beragama sekaligus rumah ibadahnya. Survei CSIS tidak
berlaku di desa ini. Di dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, kaum muslim,
Kristen, dan Hindu berpadu jadi satu. Gereja, masjid, dan pura menanungi umat tanpa tebar
kebencian. Mereka guyub dalam satu komunitas bernama Budi Luhur untuk menjaga
harmonisasi masyarakat. Inilah wajah ayu Indonesia. Tapi sejulah tamsil ini bukan berarti
mennjukkan isu antariman di Jombang telah paripurna.
Sebagai bagian dari Jombang, saya tak pungkiri pernah mengalami fase fanatik yang amat
mendalam. Mungkin karena saya lahir dan dididik di balik dinding pesantren. Saya butuh
waktu untuk memahami bahwa stereotipe buruk terhadap Kristen itu salah. Bahwa orang Cina
itu najis karena mereka makan babi itu pandangan yang sesat. Sampai akhirnya saya duduk
semeja selama tiga tahun di SMA dengan seorang Protestan. Dalam sejumlah obrolan, kami
tak segan mengonfirmasi stereotipe masing-masing. Kami tetap berkawan sebab kami saling
memberikan pemahaman. Di titik itulah saya menemukan bahwa toleransi adalah seperangkat
pengalaman. Sahabat saya ini sangat membantu saya dalam melihat dunia yang penuh warna
berbeda.
Juni lalu saya berkenalan dengan sekelompok anak muda yang menamakan dirinya Staramuda
Community. Mereka menjadi garda depan penjaga harmonisasi antariman di Jombang.
Komunitas ini baru mei lalu dideklarasi. Setiap bulan, Staramuda menggelar nonton film
bertema lintas agama untuk menjadi bahan pantikan diskusi. Nonton bareng bulan lalu,
mereka mengundang puluhan santri putri Rejoso ke dalam ruang multimedia Gereja Katolik
St. Maria.
Pembedah film diundangkan dari tokoh-tokoh muda di sekitar Jombang yang memiliki
keterbukaan. Staramuda beruntung disambut dengan baik oleh sejumlah gereja dan tokoh
pesantren. Di setiap bedah film, pembedah terdiri dari paling tidak dua unsur yang berbeda
yang menawarkan perspektif mereka sendiri. Sejumlah anak muda dari pesantren, gereja dan
kampus turut silih berganti meramaikan diskusi.
Proses dialog juga tak pernah berlangung alot. Semuanya sama-sama belajar berdialog dengan
sehat, menghindari pernyataan yang menyudutkan pihak lain. Diskusi Staramuda selalu
dilengkapi dengan kacang dan ketela rebus, tak ketinggalan juga tawa yang renyah.
Saya merasa mewah ada komunitas diskusi seperti ini di kota sekecil Jombang. Saya tak mau
melewatkan kemewahan ini sebagai penonton, maka saya bergabung dengan Staramuda.
Sekelompok pemuda ini yang dengan telaten mengetuk pintu-pintu pesantren, gereja, dan
klenteng untuk duduk bersama saling memberikan pemahaman dan berbagi pengalaman.
Suatu hari, Staramuda menyisir wilayah selatan Jombang. Salah satunya, menemui Pendeta
Wimbo, pemimpin GKJW Mojowarno. “Kami menyambut baik komunitas ini. Karena
kadang anak yang ada di desa seperti ini tidak tahu bagaimana cara menyambung perkawanan
dengan yang di kota.” Seketika saya menyadari, jika Staramuda diseriusi, ia menjadi simpul
penting bagi Jombang. Tak hanya antariman, tapi juga menggerus dinding rural-urban yang
selama ini kokoh berdiri.
Salah satu hal yang menarik dari Staramuda, komunitas ini hanya boleh dipimpin oleh
golongan minoritas. Ini dilakukan untuk menghindari dominasi dan hegemoni mayoritas.
Ketuanya sekarang seorang Tionghoa, Adi Sudjatmika, biasa dipanggil Acong. Keluarga
Acong mengelola sebuah toko. Tapi ia sendiri tak merasa nyaman beraktivitas dalam bisnis
keluarga. “Aku lebih suka kerja sosial atau kuliah,” akunya dalam suatu obrolan. Untuk
ukuran Jombang, Acong adsalah Tionghoa yang nyeleneh.
Syawal lalu, Acong bersama Lugis, mewakili Staramuda, berangkat ke GOR Sampang.
Mereka bergabung dengan relawan lain untuk membantu umat Syiah korban kekerasan.
Mereka juga mengawal bantuan yang berhasil dihimpun Staramuda dari warga sekitar
Jombang. Bantuan justru berbondong-bondong datang dari Gereja.
Esoknya, sejumlah pegiat Staramuda akan menyusul ke Sampang. Tapi ternyata, kondisi di
GOR tidak kondusif. Acong terus memperbarui informasi bahwa mereka mendapat tekanan
dari pemerintah daerah. Acong menyesalkan pemerintah membuat SOP bagi relawan. Ini
semacam alat untuk membatasi gerak advokasi relawan terhadap korban. Satu hal yang paling
menghambat Acong, ia tak bisa berbahasa Madura. Sementara, para korban juga tak fasih
berbahasa Indonesia.
Pengalaman Acong dan Lugis memberikan kami pemahaman bahwa korban konflik
antarkelompok agama tidak mendapatkan perhatian yang sama seperti korban bencana alam.
Dalam kasus Sampang ini misal, masyarakat tidak langsung tergerak membantu karena ada
proses identifikasi diri. ‘Jangan-jangan yang mau saya bantu berbeda pandangan keimanan
dengan saya’.
Saya melihat banyak komunitas yang serupa semangatnya dengan Staramuda di berbagai
kota. Inilah yang saya sebut pilar-pilar dari daerah. Seberapapun kecil komunitas itu, ia
merupakan simpul-simpul penopang Indonesia. Komunitas ini yang membantu masyarakat
hidup dalam ruang publik yang sehat. Komunitas hanya sebuah wadah untuk terjadi dialog.
Tetapi, sejatinya dialog bisa terjadi di mana saja. Melibatkan orang ketiga, kedua, dan
pertama; dia, lo, dan gue.
Dialog bukan berdebat. Watak khas dari dialog ialah kelapangan hati untuk menerima
perbedaan dan tidak memaksakan kehendak. Dalam terminologi Pancasila, kita menyebutnya
musyawarah. Peredebatan, seperti debat calon presiden, mencari argumentasi yang paling
unggul. Sementara dialog memberikan ruang yang longgar, agree to disagree, mufakat untuk
tidak sependapat. Inilah semangat yang ingin dipelajari bersama dalam ruang-ruang diskusi
Staramuda. Tak sependapat berdasar pada keyakinan tidak membuat lepas persaudaraan.
Perlu digaris bawahi, dialog lebih pas digunakan untuk menggali wacana, bukan mengambil
keputusan praksis. Musyawarah untuk mufakat biasanya digunakan untuk yang terakhir
disebut. Namun belakangan, manusia Indonesia lebih suka menggantinya dengan pemungutan
suara.
Tidak banyak orang yang menganggap harmonisasi dalam dialog ini adalah kegiatan yang
layak diseriusi. Dialog ini tidak mendatangkan keuntungan pragmatis. Sebagian lagi masih
tabu membicarakan ajaran agama satu dengan lainnya. Buat apa kan sudah lakum dinukum wa
liya din?
Kebutuhan dan minat setiap individu dalam memahami agama lain bisa jadi berbeda-beda.
Dulu saya mengira pendeta belajar Alquran untuk mencari celah ajaran Islam. Tapi itu
berubah setelah bertemu Romo Siga di salah satu diskusi Staramuda. Saya jadi paham bahwa
dengan mempelajari agama lain, kita semakin rendah hati menemukan nilai kebenaran yang
kita yakini juga dimiliki kelompok lain. Saya juga menemukan ajaran Budha yang indah, jika
kamu menghina agama orang lain, kamu menghina agamamu sendiri. Sebab agama tak
pernah mengajarkan energi kemarahan. Ini perlu direnungkan oleh seluruh umat beragama.
Saya menyesal komunitas seperti Staramuda harus ada. Staramuda menjadi relevan hari ini
lantaran wacana harmonisasi dalam masyarakat kita belum mapan. Saya bercita-cita,
Staramuda dan komunitas serupa di seluruh Indonesia dibubarkan suatu hari nanti. Ketika
masyarakat secara otomatis telah mampu merawat harmoni setulus menghirup udara di pagi
hari.
Referensi:
Dakhidae, Daniel. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma
Karim, AG, dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in Indonesia
Yogyakarta: JPP UGM
dan IDEA.
Simbolon, T. Parakitri. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Hasil penelitian CSIS yang disadur dari
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-
Indonesia-Rendah
[1] Parakitri. T. Simbolon. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal. 252.
[2] Daniel Dakhidae. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma
[3] Hasil penelitian CSIS yang disadur dari
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-
Indonesia-Rendah
[4] Abdul Gaffar Karim dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in
Indonesia Yogyakarta: JPP UGM dan IDEA. Hal. 104
[5] Pramoedya Ananta Toer. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Pendidikan Alternatif di Yogyakarta
Oleh: DEWI KHARISMA MICHELLIA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Entah apa yang ada di pikiran seorang guru SD ketika menyuruh muridnya mencari materi
pelajaran di internet. Entah pula apa yang ada di pikiran seorang guru dan kepala sekolah
SMA ketika membiarkan anak didiknya mengakses kunci jawaban Ujian Nasional demi
mendapati kelulusan 100% untuk sekolahnya. Bimbingan belajar dengan trik-trik instan,
tanpa menekankan pada logika ilmu pengetahuan, bermunculan bak cendawan di musim
hujan. Joki-joki menanti siapa saja yang sedia membayar sekian juta dan dengan cara apa pun
membantu mereka mendapatkan jurusan favorit. Gedung-gedung pendidikan dan fasilitas
pendidikan meniru standardisasi global. Mahasiswa, pelajar, ataupun cendekiawan pada
umumnya barangkali kehilangan orientasi, tentang apa yang mereka cari di institusi
pendidikan.
Banyak masalah terjadi. Paragraf di atas barangkali hanya contoh-contoh yang terlihat di
permukaan. Seperti batu es di lautan, yang terlihat hanya bagian permukaannya. Padahal, bisa
jadi permasalahan ini berantai dengan minimnya wawasan masyarakat tentang negara,
bangsa, dan Nusantara-nya, atau kealpaan kita tentang landasan yang membangun negara
Indonesia.
Frustrasi dan anakronisme yang terjadi lantaran permasalahan-permasalahan ini ternyata
masih memiliki jalan keluar. Ada beberapa pendidikan alternatif bagi masyarakat untuk
mengelola tradisi lokalnya dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
Pada mulanya mungkin hanyalah amanat ibu saya sebelum beliau tutup usia bahwa saya harus
menjadi seorang dokter, dan berkuliah di alma mater ibu. Amanat itu mengantarkan saya ke
Yogyakarta. Dan ternyata Bali jauh berbeda dari Jawa. Di Bali, tak ada transportasi dengan
kereta api, transportasi publik juga tak beroperasi. Beberapa saat, saya menjadi the others, tak
ada sanak famili, tak fasih bahasa Jawa. Namun kini, agaknya kota ini telah menahan saya,
bahkan hanya dengan tawaran nasib ke depan yang masih belum jelas.
Gelar diploma yang kelak saya peroleh dari universitas tak akan mampu mengantarkan saya
ke cita-cita saya menjadi jurnalis, kecuali saya mengambil kuliah lain lagi tahun depan. Meski
sayalah yang secara sadaar memilih jurusan ini lantaran merasa lelah mengejar impian ibu.
Tiga tahun lewat, saya akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang amanat ibu, dan saya tahu apa
yang saya inginkan. Namun hari ini, jurang antara saya dan cita-cita saya adalah syarat gelar
minimum sarjana.
Adalah mudah untuk sekadar mengambil alih program dari diploma ke sarjana, bila yang saya
butuhkan hanya sebatas gelar. Tetapi untuk apa? Harold Ross, pencetus The New Yorker dan
membidani tokoh-tokoh jurnalistik seperti John Hersey yang menulis laporan berita
Hiroshima malah tak pernah merampungkan pendidikan tinggi. Saya paham kami berbeda
zaman. Terlahir di zaman yang penuh standardisasi global, ketika seorang Ph.D. di Amerika
saja bisa menjadi pengangguran, saya terkadang merasa mengalami anakronisme. Suatu
sensasi, seolah seharusnya beberapa orang tak terlahir pada zaman tertentu.
Meski antipati, bagaimanapun saya telah banyak belajar dari zaman yang seperti ini. Dua
tahun menjadi bagian pers mahasiswa, saya berkesempatan mampir ke diskusi, seminar,
festival, pameran lukisan, penampilan teater, monolog puisi teatrikal, peluncuran buku,
demonstrasi jalanan, dan mengobrol dengan banyak narasumber mumpuni dalam bidang-
bidang sosial budaya, politik, pertanian, hukum, atau apa pun. Bagi saya, Yogyakarta—dan
pers mahasiswa khususnya—adalah tempat saya bertumbuh. Saya tak akan mendapatkan
pengalaman itu hanya dari kelas-kelas perkuliahan yang telah ditentukan silabusnya.
Perubahan adalah semacam keniscayaan. Silabus-silabus pendidikan kini persis menuruti
tuntutan pasar kerja, alih-alih mengejar wacana globalisasi. Saat ini, universitas negeri hanya
menyediakan jatah waktu tiga tahun untuk penerimaan mahasiswa, dan tuntutan waktu
maksimal empat tahun untuk merampungkan gelar sarjana. Gagal tiga kali dalam tes masuk,
berarti tak ada kesempatan untuk berkuliah murah; lulus lebih dari jatah waktu empat tahun
juga menjadi tak umum.
Sementara itu, universitas swasta bukan main mahalnya; mengambil satu sks (satu semester
umumnya 18-24 sks) bisa ditagihi Rp160.000 – Rp250.000, belum lagi ada biaya tambahan
pada tiap semester yang besarannya sekitar Rp2-7 jutaan. Tak ada yang menyalahkan saat
kepala yayasan universitas-universitas swasta itu berdalih kuliah di Jepang atau Amerika
Serikat lebih mahal 80 kali lipat. Padahal kita sudah sama-sama mengetahui perbedaan
kemampuan negara berkembang dan negara maju.
UGM yang dulunya dijuluki “universitas kerakyatan” pun turut menjadi semakin mahal;
mengikuti alur pikir UU BHMN sejak 2000, berlanjut ke UU Dikti yang diresmikan pada Juli
2012. Dalihnya sama, untuk membangun fasilitas, universitas tak mesti ketergantungan pada
subsidi pemerintah. Imbasnya, program internasional dibuka—yang mirisnya kelas-kelas itu
justru melulu diisi masyarakat lokal—dan semakin banyak mahasiswa baru berasal dari
keluarga menengah ke atas, ber-gadget, bermobil, dan berpakaian mentereng. Dengan
keadaan ini, angka 2%-an dari jumlah generasi muda Indonesia yang menempuh pendidikan
tinggi sepertinya tak akan bertambah.
Dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pada pasal 4, termaktub bahwa
“Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan perdagangan
budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”; namun saya lihat pendidikan tinggi justru
mencetak lulusan-lulusan yang siap kerja (istilah halus dari diperbudak). Saya meragukan
apakah teman-teman saya menikmati perkuliahannya, ataukah sebatas berniat lulus dengan
IPK bagus dan mendapat pekerjaan bergengsi.
Sekat-sekat interdisipliner semakin kentara jelas. Di zaman ini tak perlu mengharapkan
kemunculan polymath yang memiliki prekositas semacam Aristoteles atau Goethe, atau yang
paling dekat—Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir. Mahasiswa-mahasiswa di jurusan perkuliahan
IPA menghadapi keadaan yang amat ekstrim. Senin hingga Jumat, mereka mendapat lima
tugas mengerjakan laporan tak diketik, wajib dikerjakan dalam tulisan tangan. Belum lagi
sederet praktikum dan membantu dosen meriset. Mana punya waktu belajar seni dan sosial
humaniora, terkecuali mereka sudi menelantarkan separuh mata kuliahnya dan ber-Indeks
Prestasi tak bagus-bagus amat. Berbeda dengan penerapan sistem NKK/BKK pada era ’70-an,
di sini terlihat injeksi normalisasi kampus dilakukan dengan upaya sehalus mungkin. Atau
karena kita memang dituntut menjadi semakin mondial? Mungkinkah praktik-praktik riset dan
tugas yang menggunung itu ditujukan untuk menandingi penemuan-penemuan teknologi
mutakhir Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat?
Pernah ada yang berujar kepada saya, mulailah dari Yogyakarta untuk mengukur taraf
minimum pendidikan dan budaya Indonesia karena kota ini semacam miniaturnya Indonesia.
Ia menambahkan, alasannya adalah karena pemuda/i sepenjuru Indonesia merantau ke kota
ini. Maka, kalau mahasiswa-mahasiswa di UGM, misalnya, sudah marak bawa mobil dan
meninggalkan masyarakatnya, maka di Jakarta atau Bandung akan lebih parah lagi
keadaannya. Di atas telah saya paparkan sedikit mengenai apa yang kini terjadi di
Yogyakarta. Meski kemudian saya mendapati, sejumlah representasi pelajar luar kota Yogya
itu tak bisa dijadikan parameter. Karenanya, bila ditarik secara umum, perspektif ini tak layak
diterima karena Yogya, Bandung, dan Jakarta bukan tolak ukur bangsa Indonesia.
Saya mafhum bangsa kita selalu melupakan banyak hal; hutang negara kepada Bank Dunia,
politik Nasakom, tragedi G-30-S 1965, perjuangan reformasi 1998, pembukaan UUD 1945,
dan bahkan Pancasila. Termasuk juga perjuangan seorang Djuanda Kartawidjaja saat
mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia, di antara dan di dalam kepulauan
Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda ini menegaskan posisi
Indonesia yang menganut prinsip-prinsip kepulauan (Archipelagic State). Intinya, sejak
dahulu kepulauan nusantara sudah merupakan satu kesatuan; dan dipertegas demi
mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. Namun apa
yang terjadi saat ini?
Apakah kita benar masih memiliki rasa persatuan ataukah peduli dengan saudara setanah air?
Pendidikan saja tak tersebar merata ke seluruh Indonesia. Jangankan ke Sabang atau Papua, di
Denpasar saja—yang dekat dengan Jawa, tempat saya dibesarkan, tak ada toko buku bekas
semacam Shopping-nya Yogya atau Palasari-nya Bandung. Perpustakaan sekolah saya tak
menyediakan lengkap karya sastrawan dunia dan Indonesia; akibatnya, sewaktu SMA saya
lebih mengenal Gabriel García Márquez yang lebih komersil daripada Y.B. Mangunwijaya
yang sulit ditemukan di pasaran. Dan bila ukurannya adalah tenaga pengajar, saya yakin tiap
sekolah di Indonesia memiliki guru bahasa Indonesia dan guru Sejarah yang membuat
muridnya mengantuk di kelas dan membenci dua mata pelajaran penting itu.
Meski setidaknya saya beruntung keadaan SD-SMP di tahun 1990-2000-an tak seganjil apa
yang dihadapi cohort 2000-an. Pernah suatu kali, adik sepupu saya yang kelas 1 SD menerima
surel dari gurunya yang hanya berisi PR hitungan. Menjelang kelas 2-3 SD, ia mengerjakan
segala tugas sekolah yang di zaman saya baru saya peroleh di kelas 4-6 SD. Lagi-lagi, ia
mengerjakan tugas dengan bantuan internet. Saya yakin ini pun terjadi karena tuntutan
pendidikan dari pemerintah.
Di lain pihak, niat baik pemerintah mengadakan Ujian Nasional (UN)—bahkan dari level SD
—untuk memeratakan standar pendidikan Indonesia juga tak berjalan mulus. Sewaktu
mengikuti UN SMA, saya menjadi saksi bagaimana jawaban-jawaban ujian telah disebar
jauh-jauh hari sebelum ujian; bahkan oleh guru SMA bersangkutan, bahkan meski ada dua
jenis soal yang digunakan (A dan B). Tujuannya satu, agar sekolah tersebut terakreditasi baik
lantaran mampu meluluskan muridnya 100%. Murid-murid yang menjadi peringkat tiga besar
di kelas bertugas mengoreksi kunci jawaban saat ujian berlangsung. Selepas SMA, kami
dianjurkan ikut bimbingan-bimbingan belajar untuk menghafal rumus cepat demi persiapan
SNMPTN. Lembaga bimbingan itu juga menawarkan paket emas, perak, reguler dalam tarif
berbeda dengan jaminan diterima di jurusan bergengsi.
Menjelang SNMPTN, lagi-lagi saya menjadi saksi korupsi dalam sistem pendidikan. Agak
linglung dengan suasana pendaftaran tes, saya bertemu orang asing yang menawarkan jasa
perjokian. Karena suka tantangan, saya coba mengobrol iseng dengan mereka. Joki-joki itu
mengumpet di dalam mobil, menawarkan jasanya yang berkisaran harga Rp 17 juta – 175
juta. Jaminannya, pengguna jasa akan berkuliah di jurusan favorit; dan bila tidak, uang akan
dikembalikan 100%. Saya tak tergiur, terlepas dari iming-iming mereka.
Saya masih pesimis apakah kegiatan Indonesia Mengajar yang menjadi prestise bagi pengajar
fresh graduate dapat mengubah sistem karut-marut ini. Tetapi paling tidak saya
mengapresiasi Anies Baswedan; karena kegiatan itu diinisiasi di wilayah-wilayah terpencil
Indonesia yang mungkin para pelajarnya memiliki semangat yang lebih murni untuk belajar.
Di Yogyakarta, Ainun Chomsun menginisiasi gerakan Akber (Akademi Berbagi) yang meluas
hingga ke Jakarta. Meski yang disasar adalah masyarakat middle-class atau yang melek
teknologi karena mediumnya melalui Twitter, ide Ainun memberi harapan bahwa pendidikan
tak mengenal sekat-sekat dan tak saklek. Follower akun Twitter Akber Jogja dapat
mengajukan kelas apa pun yang mereka minati, dan siapapun yang berkompeten dapat
mengajukan diri menjadi pengajar dengan medium Twitter. Tiap kelas dibatasi untuk 25
orang pendaftar tercepat. Boediono Darsono, pemimpin redaksi detik.com, ketika itu menjadi
tutor pertama kelas Akber Jogja di Twitter.
Begitu juga Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menyasar pedagang pasar dalam kegiatan
Sekolah Pasar lantaran pertumbuhan waralaba asing yang tak terkendali. Masih soal ekonomi
rakyat, Center for Extension and Empowerment Studies (CEES) membuka kelas kedaulatan
pangan dengan bahwa sagu, ketela, dan ubi-ubian dapat menjadi alternatif pangan selain
beras. Kenyataannya, kedelai untuk bahan dasar tempe-tahu pun masih mengimpor dari
Amerika. Meski terbuka untuk masyarkat umum, kelas ini secara khusus diperuntukkan bagi
wirausahawan restoran dan pengusaha pangan di wilayah Yogyakarta.
Kelas-kelas untuk masyarakat juga dibuka oleh Institute for Multiculturalism & Pluralism
(IMPULSE). Baru-baru ini, mereka mengadakan kelas-kelas kritik ideologi. Hal ini dilandasi
pemikiran bahwa Indonesia nampaknya memang sedang krisis semangat kebhinnekaan. Lihat
saja akun Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab di Facebook, ada parodi tentang laskar 2D
(ber-Intelligent Quotient dua digit) untuk menyebut laskar-laskar Forum Pembela Islam.
Seringkali memang, tindak-tindak kekerasan dilakukan dengan membawa-bawa nama agama.
Di luar negeri, Indonesia lebih dikenal sebagai negara teroris. Dari sini kelihatan, keadaan
masyarakat Indonesia yang minim toleransi atas sesama bisa jadi neraca gagalnya pendidikan
—utamanya pendidikan karakter.
Selain itu, ada juga pelatihan-pelatihan antikorupsi oleh Pusat Studi Anti Korupsi (PUSKAT)
UGM yang bekerja sama dengan tim redaksi situs web Infokorupsi. Anies, rektor Universitas
Paramadina, pun sudah mulai memasukkan kurikulum antikorupsi pada mata kuliah umum di
universitas binaannya. Setelah mengikuti pelatihan jurnalisme media rakyat (citizen
journalism for anti-corruption) yang diadakan PUSKAT UGM pada Januari 2010 lalu, saya
pun mulai belajar tentang perkembangan media rakyat.
Meskipun, secara umum, permasalahan di lingkup pendidikan tak bisa lepas dari budaya kita
yang, istilahnya, masih seperti layangan. Nirwan Dewanto, melalui Kebudayaan Indonesia:
Pandangan 1991, mengingatkan kembali tentang polemik kebudayaan antara Radjiman
Wediodiningrat dengan Tjipto Mangunkusumo yang bahkan telah terjadi sejak 1908.
Paradoks yang muncul mengenai apakah perkembangan kebudayaan perlu melalui tahapan
ataukah dapat berkembang secara revolusioner dan terjadi dengan instan. Bagi Radjiman,
nasionalisme maupun kebudayaan Jawa harus dipertahankan, sementara bagi Djipto Jawa
sudah hilang kedaulatan, dan sebagai entitas baru adalah Indonesia yang perlu memanfaatkan
pengetahuan Barat dan unsur-unsur budaya lain[1].
Namun kita juga perlu melihat konteks. Di tahun 1908, teknologi belum seperti sekarang. Bila
dulu budaya bertransmisi ke masyarakat dengan bantuan literatur, kini masyarakat
mengadopsi budaya dari televisi dan media digital lainnya. Generasi muda lebih dekat dengan
budaya pop Korea daripada budaya wayang Indonesia. Ini mengingatkan saya bahwa dalam
hal ini pun, kita masih dapat mengupayakan pendidikan alternatif. Sejak 2001, masih di
Yogyakarta, ada gerakan Combine Resource Institution (CRI) yang menggiatkan media
rakyat. Rakyat diajak belajar memanfaatkan teknologi dengan cerdas; istilahnya, melek
media. Mereka akan belajar mendapatkan akses informasi secara mandiri tanpa perlu melalui
alur birokrasi. Program terbaru yang dilakukan adalah Lumbung Komunitas; di mana
masyarakat dituntun untuk mengelola pengetahuan lokal dan mengenal desa mereka sendiri.
Pada akhirnya, semua usaha-usaha pendidikan alternatif itu membuat saya yakin masih akan
ada harapan untuk Indonesia.
[1] Dewanto, Nirwan (1996), Senjakala Kebudayaan, Penerbit Yayasan Bentang Budaya
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Komunikasi, Harga Kebhinekaan
Oleh: YOHANES HALIM FEBRIWIJAYA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Rangkuman :
Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun di
balik kekayaan tersebut, tersimpan suatu bahaya, yang disebabkan oleh perbedaan latar
belakang. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak suku, banyak pula tembok penghalang
untuk memanfaatkan kebhinekaan yang ada menjadi suatu kekuatan, dan bukan pemecah,
untuk dapat mencapai tujuan negara Indonesia. Untuk dapat menghilangkan tembok-tembok
penghalang tersebut, perlu adanya suatu usaha komunikasi antar kelompok, yang pada
dasarnya membutuhkan keberanian untuk dapat melewati batas-batas nyaman kelompok
tersebut. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbentuk kesatuan, yang mendukung
Sekitar tujuh tahun lalu, saya mendaftar ke klub basket di SMA saya. Saya sangat
bersemangat waktu itu, selain karena saya memang menyukai olahraga basket, saya juga
menemukan jagoan-jagoan basket di SMP-SMP yang saya temui ternyata juga memasuki tim
basket. Kegembiraan saya ditambah dengan adanya jagoan-jagoan dari SMP lain yang berasal
dari luar kota. Kami yang lolos seleksi itu, konon digadang-gadang menjadi angkatan emas,
karena sejak 3 tahun sebelumnya, “Belum pernah muncul talenta-talenta sebagus dan
sebanyak ini.”
—————————–
Selama setengah tahun, kami bersama mengikuti latihan bersama, dan selama setengah tahun
itu kami berbagi kebahagiaan. Namun di akhir semester pertama, muncullah pernyataan yang
mengejutkan dari salah seorang teman saya,” Tim ini memang bagus, tapi entah kenapa, aku
tidak menikmati permainan bersama tim ini.” Seminggu kemudian, mundurlah dia. Dan sejak
itu, teman-teman dekatnya di tim juga mundur, menyisakan kami. Dan entah kebetulan atau
tidak, teman-teman dekatnya adalah mereka yang berasal dari SMP negeri, atau yang bukan
Tionghoa. Dan kenaifan kami untuk tidak menyadari hal ini, ternyata malah menjadi
bumerang bagi kami, karena sebenarnya kami secara tidak sadar sudah membuat pemisah.
Dulu, saya berpikir, bahwa kami memiliki begitu banyak perbedaan, sehingga sulit bersatu.
Namun belakangan, muncul pemikiran sebaliknya, bahwa sebenarnya kami memiliki lebih
banyak lagi kesamaan. Kami hanya berbeda suku saja, atau paling banter berbeda golongan,
karena asal SMP kami berbeda. Saya tertegun menyadari, dua perbedaan kecil dan biasa saja
ini sangat signifikan mempengaruhi cara kami berelasi. Saya kemudian menyadari, tantangan
besar di balik kebhinekaan bangsa kita, yang terdiri dari 1128 suku bangsa[1], 6 agama yang
diakui, beberapa ras dan banyak golongan. Betapa ‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah motto yang
sangat hebat menyadari hal ini, mengingat 2 kelompok orang yang berbeda suku saja bisa
bertengkar hebat karena masalah sepele!
Kesatuan Bangsa
Slogan ‘Bhineka Tungggal Ika’ ini adalah perekat bangsa Indonesia, yang memang luar biasa
kekayaan budayanya. Slogan ini mengajak untuk melihat, meskipun banyak perbedaan, ada
kesatuan,yaitu sebagai bangsa Indonesia. Slogan ini muncul pada sayembara lambang negara
pada 8 Februari 1950[2], bersamaan dengan logo Pancasila. Pancasila adalah dasar negara,
dengan ‘Bhineka Tunggal Ika’, sebagai perekat bangsa, adalah bagian tidak terpisahkan.
Bangsa, menurut Ernest Renan adalah ” hasil dari masa lalu yang terdiri dari usaha-usaha,
pengorbanan,dan keterikatan yang sungguh-sungguh… untuk bersama memiliki kejayaan di
masa sebelumnya, dan semangat yang sama untuk memiliki kejayaan di masa sekarang; untuk
melakukan hal-hal besar bersama dan ingin terus melakukannya. “[3]
Definisi tentang bangsa menurut Ernest Renan ini adalah definisi yang digunakan oleh Ir.
Soekarno untuk menjelaskan ideologinya tentang bangsa[4]. Hal ini menunjukkan bahwa
Bung Karno memiliki suatu cita-cita bahwa nantinya orang-orang yang tetap tinggal di
Indonesia setelah merdeka “telah melakukan hal besar bersama dan ingin melakukannya
lagi.” Beliau ingin semangat kemerdekaan Indonesia adalah semangat kebersamaan,
meskipun berbeda-beda tapi tetap satu membangun bangsa Indonesia.
Hal ini tentu mensyaratkan bahwa sebelum seseorang membangun bangsa, dia harus
disadarkan dulu bahwa bangsa yang dia bangun adalah bangsa yang majemuk, dengan
berbagai perbedaan, namun berusaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang besar. Tujuan
ini tidak dapat tercapai tanpa realisasi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’. Tanpa ‘Bhineka Tunggal
Ika’, tanpa kesatuan Indonesia, tidak akan ada kekuatan untuk mencapai tujuan bersama
tersebut.
Komunikasi
Namun alih-alih bersatu, di kacamata saya, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah dan
ketakutan menghadapi ke-Bhineka-an tersebut. Itu terbukti dengan masih seringnya terjadi
perseteruan antar suku, antar agama di berbagai tempat. Beberapa waktu yang lalu bahkan
terjadi perseteruan antara kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah. Hal ini menunjukkan,
masih tingginya tingkat kecurigaan antar sesama umat Muslim sendiri, dan saya yakin, lebih
besar lagi jurang yang terjadi antar agama, yang mengakibatkan konflik di Poso. Dan,
menurut pengalaman saya, tingkat kecurigaan yang tinggi adalah indikator dari kurangnya
komunikasi. Karena, kurangnya komunikasi akan mengakibatkan prasangka, dan prasangka
tanpa komunikasi akan menimbulkan stigma yang kuat, namun mungkin tidak benar terhadap
objeknya. Perlu suatu usaha untuk membuka komunikasi dan membongkar tembok-tembok
kebisuan masyarakat.
Saya sendiri menjadi saksi tidak adanya komunikasi tersebut, karena sejak dini pun bibit-bibit
ketakutan dan kecurigaan sudah muncul, bahkan mungkin sudah ditanamkan. Pada saat saya
kelas 6 SD, saya mengikuti sebuah lomba siswa teladan. Pada tingkat kecamatan, lomba
tersebut diadakan di sebuah SDN dekat sekolah saya. Ketika itu saya berkenalan dengan
beberapa orang, dan sayapun berbincang. Ketika mengetahui saya tidak bisa mengucapkan
huruf R dengan baik, entah kenapa pandangan mereka berubah. Kemudian kami dipanggil ke
ruangan untuk memulai ujian, dan kamipun menghentikan perbincangan kami. Pada saat
istirahat, saya mengalami sakit perut. Saya pun ke WC. Tanpa saya duga, tiba-tiba dari
jendela meluncur batu-batuan kecil. Saya pun berteriak,”Oi, ada orang di dalam.” Kemudian
ada suara dari pintu WC, “Coba ngomong R dulu yang bener.”
Saya yakin tidak ada orang yang mengajarkan dia untuk berbuat demikian, namun hinaan
sehari-hari terhadap orang Tionghoa, mungkin dilakukan oleh temannya, mungkin oleh
orangtuanya, bahkan mungkin gurunya yang membuat dia berbuat demikian.
Pernah pula di suatu saat, saya menjadi relawan di Pengalengan, Jawa Barat. Pada waktu
mendekati maghrib, saya iseng mendengarkan anak-anak kecil belajar mengaji. Saya terkejut
sekali ketika di speaker maghrib sang pengajar mengatakan “..dan tidak akan pergi ke gereja.”
Saya membayangkan, kalau mereka sudah besar, mungkin anak-anak kecil itu nanti akan
takut sekedar berteduh di gereja saat hujan.
Mungkin, hal-hal kecil seperti inilah yang membuat orang-orang dewasa di Indonesia menjadi
paranoid. Contohnya, pernah suatu ketika, saya mengobrol dengan seseorang di kereta api.
Dia merekomendasikan sebuah buku karangan Nucholish Madjid. Saya sebenarnya tertarik,
namun karena tadinya kami sedang membahas buku karangan penulis berkebangsaan Jepang,
saya bertanya, ” Kenapa tiba-tiba Nurcholish Madjid, mas?” Orang ini tiba-tiba sedikit emosi
sambil mengutarakan dia tidak sedang mencoba berdakwah.
Kecanggungan komunikasi, buat saya adalah penyebab ketiga hal diatas. Mungkin kalau si
anak terbiasa bergaul dengan orang Tionghoa, tidak mungkin dia melempari batu hanya
karena saya tidak bisa mengatakan huruf R. Mungkin, orang yang mengajar di kelas mengaji
itu tidak menyadari bahwa pengajarannya berpotensi memicu keretakan bangsa karena di
kampung tersebut semuanya Muslim, dan tidak menduga akan ada seorang Kristen
mendengar. Mungkin orang di kereta api tersebut juga tidak terbiasa berbicara dengan orang
Kristen sehingga takut dikira melakukan dakwah.
Fobia terhadap pluralisme
Akhirnya, masalah komunikasi ini menjadi suatu penghalang besar untuk mempersatukan
bangsa Indonesia. Penolakan terhadap kebhinekaan dan slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ini
mengakibatkan ekstrim sebaliknya dari kebhinekaan, yaitu dorongan untuk menjadikan segala
sesuatu seragam dalam konteks yang terbatas, di ‘daerah kekuasaan’ orang/kelompok
tersebut, bahkan dapat memicu megalomania. Contohnya, Hitler, yang hanya menerima
keberadaan ras Arya sebagai ‘manusia super’, menganggap ras lain sebagai ‘manusia yang
lebih rendah’ yang layak diperbudak dan dikuasai[5]. Tidak jauh dari kita, ikatan
primordialisme kesukuan yang sangat kuat menimbulkan keengganan beberapa suku untuk
bercampur/menikah dengan suku lain, dan bidang-bidang pekerjaan tertentu masih dikuasai
oleh suku-suku tertentu. Tidak salah rasanya jika kita menyebut komunikasi antar golongan
masih menjadi hambatan kita untuk dapat memahami arti ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena
dengan komunikasi yang baik, tembok-tembok eksklusif kesukuan tersebut akan hilang
dengan sendirinya.
Belajar dari sejarah
Dengan alasan apapun, hal-hal di atas menegaskan bahwa komunikasi adalah hal yang
penting, dan kegagalan berkomunikasi telah memicu masalah-masalah besar, seperti
permasalahan Sunni-Syiah, kerusuhan di Poso, yang telah berujung kepada kerugian baik
moril, maupun materiil. Karena, komunikasi dalam hal-hal kecil berperan penting dalam
pembentukan mentalitas ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Hal kecil seperti perbedaan suku, agama,
ras, dan golongan dapat diatasi dengan hal kecil pula, yaitu komunikasi. Belajar dari sejarah,
melakukan hal kecil, seperti berbincang dengan orang yang berbeda suku, agama, ras atau
golongan akan mencegah masalah yang lebih besar. Dan lebih utama, biarlah ‘Bhineka
Tunggal Ika’ memampukan kita untuk bersama membangun bangsa Indonesia yang lebih
baik. Merdeka!
[1] Dikutip dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada
2 November 2012, 19.08
[2] Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2010/01/27/063221646/Lambang-Garuda-
Pancasila-Dirancang-Seorang-Sultan, diakses 4 September 2012 pukul 01.13
[3] diterjemahkan secara bebas dari “Ernest Renan”,karangan Richard M. Chadbourne , 1968,
Ardent Media, halaman 101, diakses dari Google Books dengan link
http://books.google.co.id/books?
id=aRmcVxoIvMkC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=on
epage&q&f=false pada 3 November 2012 pukul 01.23
[4] http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/09/pengaruh-pemikiran-ernest-renan-terhadap-
nasionalisme-soekarno/ diakses pada 3 November 2012 pukul 2.30
[5] http://econ161.berkeley.edu/tceh/Nietzsche.html diakses tanggal 3 November 2012 pada
pukul 12.13
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa
Diskriminasi
Oleh: ROBBI IRFANI MAQOMA -vUNIVERSITAS INDONESIA
Rangkuman
Jika dianalisa secara historis terdapat kontradiksi antara redaksi dan maknawi dalam sila
pertama pancasila. Sila yang seharusnya menjadi pemersatu dan fondasi moral bangsa malah
menimbulkan diskriminasi sana sini. Analisa ini membawa pada satu gagasan untuk merubah
frasa ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang berkebudayaan’. Gagasan ini mengarah pada satu
tujuan: menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni dan bebas
diskriminasi.
——————————
Pancasila merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundang-
undangan pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar)
bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang
dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah berada dalam
masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang Indonesia.
Mari sama-sama kita resapi sejenak sila pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini:
“Ketuhanan yang maha esa”
Sila ini merupakan sila yang paling pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad
Hatta menjiwai empat sila dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa
merupakan fundamen utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya[1].
Pada awal perumusan ini, sila “ketuhanan yang maha esa” sebelumnya adalah “ketuhanan
yang berkebudayaan”. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh
masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang
tetapi saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai antara
tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok masing-masing[2].
Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan
panjang yang kita kenal dengan istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh
kata tersebut adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”.
Ketika kembali pada ruh sila pertama yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah
menyimpang. Toleransi yang diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang
berbeda malah dimaknai sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam.
Seakan-akan fondasi negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja.
Ketuhanan itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi
terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan.
Untungnya tujuh kata ini mendapat protes keras oleh golongan nasionalis karena dianggap
dapat mengganggu ketentraman nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut
dipangkas menjadi tiga kata saja, yang maha esa.
Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang
esa?
Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia
asli. Jauh sebelum munculnya Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita
telah menganut kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di
seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink menyatakan
masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme keyakinan tertentu yang
dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua
kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada
keyakinan yang mengasosiasikan gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta.
Itupun terjadi karena dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat
para dewa berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia ini
dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu(Confusianis) dan
beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan Kacaktyan pada Jawa Kuna[3]. Adanya
perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan sampai sekarang. Data dari kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun
kini kepercayaan asli Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan
dasar untuk mengatakan bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‘yang
maha esa’. Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan
keseluruhan.
Lagipula sila “ketuhanan yang maha esa” tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil
sebagian kata seperti hanya meyakini ‘ketuhanan’ atau ‘yang maha esa’ saja. Hal itu dapat
mencederai keyakinan pada pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‘ketuhanan’.
Bahkan ada beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa
sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi ketuhanan yang
ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut konsep tuhan yang tidak
esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran pancasila sebagai falsafah yang benar-
benar ada dari, oleh dan untuk bangsa?
Mungkin sebagai seorang yang awam atas suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi
kompetensi untuk emgkritisi hal ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai
pendekatan peresapan dari hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini
adalah hal yang salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara
arti redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‘ketuhanan yang maha esa’
dengan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah jelas. Bagi saya ‘ketuhanan yang maha esa’
adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang bersifat esa. Sedangkan
‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah membudayakan nilai-nilai ketuhanan dalam
kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara
berbeda oleh setiap penganut keyakinan tertentu di Indonesia.
Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi pada sila pertama adalah perlu. Kalimat
‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah kalimat yang relevan untuk dipakai untuk
membingkai empat sila pancasila lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa
sampai saat ini tidak semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa.
Frasa ‘yang maha esa’ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan
kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‘ketuhanan yang
berkebudayaan’ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai untuk mengembangkan
demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat ketuhanan, melainkan nilai-nilai.
ketuhanan itu sendiri dan pengakuan keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui
toleransi[4].
Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi
Menurut saya ini adalah akar dari permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap
pemeluk keyakinan yang minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas memeluk
kepercayaan dijamin oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti
dari pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu.
Pengakuan ini berimbas pada banyak hal, salah satunya adalah data kependudukan. Warga
pemeluk agama minoritas selain yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak
diyakininya jika ingin memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada
dalam sila pertama pancasila?
Merupakan langkah yang sangat tepat apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan.
Perubahan redaksi ini bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di
dalamnya melainkan hanya sekedar perubahan frasa dari ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang
berkebudayaan’. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas Indonesia
adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, ketuhanan yang
berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu
negara karena perubahan tersebut dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada
jauh sebelum republik ini berdiri.
Sebaliknya apabila tidak dilakukan perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang
terkandung secara maknawi dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran.
Artinya, diskriminasi keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan
pancasila.
Oleh karena itu perubahan ini menurut saya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan
untuk menciptakan Indonesia, negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam
konsepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki
atapun ragam diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga
akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pancuran Tujdjuh, 1974.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011
[1] Pada awalnya sila Ketuhanan berada pada posisi keempat. Namun Soekarno pada saat itu
menjelaskan bahwa urutan pasal hanya bersifat sequential, bukan urutan proritas.
[3] Disampaikan oleh K.P. Sena Adiningrat Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka
Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.
[4] Pada alasan yang melatarbelakangi pencetusan prinsip pancasila Soekarno mengatakan ia
menggali sejarah sampai zaman Hindu dan pra-Hindu dan melihat berbagai macam saf yang
terkristalisasi pada lima prinsip pancasila tersebut(Soekarno, 1958; II 8-15). Oleh karena itu
dasar yang dicetuskan Soekarno adalah ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ bukan ‘Ketuhanan
yang maha esa’. Hal ini didasari karena Soekarno bukan melihat adanya keseragaman
konsepsi tuhan dalam masyarakat Indonesia melainkan adanya keragaman keyakinan yang
menumbuhkan serta memelihara rasa toleransi oleh para penganutnya.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Identitas, Nyala Api dalam Kebhinekaan
Oleh: SITA MAGFIRA - UNIVERITAS SANATA DHARMA
Prolog:
Esai ini berangkat dari pengalaman subjektif penulis tentang masalah identitas dan
kebhinekaan. Memiliki latar kesukuan yang beragam, lama hidup di perantauan, dan belajar
agama yang berbeda dengan agama yang dibawa sejak lahir, penulis merasa bahwa identitas
suku, agama, dan rasnya menjadi kabur. Identitas yang kabur tersebut jelas membawa
pengalaman yang tak menyenangkan. Di sisi lain, identitas yang kabur justru jadi
menenangkan sebab penulis membaca bahwa perasaan superior akan identitas suku, agama,
dan ras itu ibarat api dalam sekam yang mengancam kebhinekaan. Kekaburan identitas bisa
dimaknai sebagai hal yang menjauhkan dari keinginan untuk berselisih demi membela
identitas suku, agama, dan ras. Namun, sebab manusia telah mengenal dan diperkenalkan
tentang identitas suku, agama, dan rasnya sejak ia belajar mengenal sekitarnya, tak mudah
untuk menghilangkan perasaan superior akan identitas itu. Tawaran sekaligus tantangannya
adalah bagaimana menghadirkan kerendahan hati sebagai kawan dari rasa unggul tentang
identitas tersebut.
———————-
Menyoal kebhinekaan, sejak Sekolah Dasar saya sudah lekat dengan persoalan-persoalan
tentangnya. Bukan hanya lewat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKN) dimana guru mengajarkan ide-ide tentang keberagaman lewat pertanyaan sederhana,
“Jadi, bhineka tunggal ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap apa, anak-anak?’ yang akan
dijawab serentak oleh saya dan teman-teman yang duduk manis, “Tetapi tetap satu, bu.” Tapi
juga lewat orang-orang terdekat saya. Satu yang paling membekas adalah peringatan: “Jangan
minum dari termos air milik temanmu yang Kristen. Nanti Allah marah.” Saya tidak paham
kenapa Allah bisa marah hanya karena saya minum dari termos milik teman yang Kristen.
Namun, saya patuh-patuh saja. Saat itu saya selalu memilih menahan haus jika pilihan lainnya
adalah harus minum dari termos teman yang Kristen karena uang jajan dan bekal air di termos
saya telah habis. Seiring bertambahnya usia, saya jadi paham bahwa pernyataan tersebut
muncul sebab perkara haramnya (menurut Islam) makanan yang dikonsumsi kawan-kawan
yang Kristen. Ditambah lagi, di tahun 1999, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah
Dasar, kerusuhan besar antara Islam dan Kristen pecah di Poso (meski kemudian ada
pembacaan bahwa konflik tersebut tidaklah semata-semata konflik antar-agama). Kebetulan,
saya lahir dan menetap di Palu (yang berjarak 221 km dari Poso). Kebetulan lagi, keluarga
besar ibu saya menetap di Poso serta jadi korban langsung dari konflik itu. Peringatan yang
membekas itu datang dari adik-adik ibu saya. Sangat mungkin ada hubungan antara situasi
konflik di Poso saat itu dan peringatan yang diberikan ke saya.
Saya makin lekat dengan soal-soal tentangnya setelah memutuskan meninggalkan Palu untuk
melanjutkan SMA. Pulau Jawa adalah menjadi tujuan dengan pertimbangan klasik bahwa
pulau Jawa adalah tempat yang baik untuk belajar dibandingkan dengan Palu yang ada di
wilayah Indonesia Timur. Semarang jadi titik nol perantauan saya. Di sana, ada begitu banyak
hal yang berbeda dengan apa yang ada di Palu. Saya belajar Bahasa Jawa serta belajar
kebiasaan-kebiasaan baru. Singkatnya, saya menyerap dan beradaptasi dengan sangat cepat
terhadap banyak hal baru itu. Meski, tentu saja, awalnya saya sempat mengalami keterkejutan
budaya.
Setamat SMA, saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Yogyakarta
menambah pengalaman saya tentang keberagaman. Di Yogyakarta saya bertemu dan bertukar
pikiran dengan begitu banyak manusia. Suku mereka beragam, agama mereka tak satu, dan
masih banyak pembeda-pembeda lainnya. Tahun ini masuk tahun keempat saya di
Yogyakarta. Meski mengamini bahwa manusia yang berbeda-beda bisa hidup bersama di kota
ini, buat saya masih ada api dalam sekam terkait perbedaan itu.
Contoh sederhananya, beberapa teman yang bersuku Jawa masih suka, meski dengan
bercanda, berkata kepada saya, “Basa Jawamu wagu, kaya nang FTV (Bahasa Jawamu aneh,
seperti di FTV).” Siapapun yang pernah menyaksikan FTV (Film Televisi) yang menjadikan
Yogyakarta atau Solo sebagai latar tempatnya pastilah paham bagaimana aktris dan/atau
aktornya menggunakan Bahasa Jawa. Terkesan dipaksakan dan, karena itu, di mata teman-
teman yang penutur asli Bahasa Jawa, aneh. Padahal, saya sudah menggunakan Bahasa Jawa
sejak SMA. Satu-satunya alasan saya menggunakan Bahasa Jawa dalam keseharian,
khususnya saat bergaul dengan teman-teman yang penutur asli Bahasa Jawa, adalah masalah
kenyamanan dan keinginan untuk makin akrab. Komentar-komentar seperti itu di titik-titik
tertentu bisa diartikan sebagai cara teman-teman menegaskan perbedaan saya dengan mereka.
Contoh lainnya, saat saya bergaul dengan teman-teman yang berasal dari Palu dan berkuliah
di Yogyakarta. Jika sudah berkumpul, tak jarang sentimen-sentimen kesukuan hadir dalam
percakapan mereka. Tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka tidak peka
sebab tetap menggunakan Bahasa Jawa saat berbincang dengan mereka (dan itu membuat
mereka sebal.), tentang bagaimana mereka menyayangkan (meski selalu diungkapkan dengan
nada bercanda) bahwa anak-anak kecil di Yogyakarta yang alih-alih menggunakan Bahasa
Indonesia malah menggunakan Bahasa Jawa dalam kesehariannya (mereka bahkan menduga
bahwa anak-anak itu pastilah mendapat nilai jelek untuk pelajaran Bahasa Indonesia!),
tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka berlaku superior di hadapan
mereka, dan beberapa hal lainnya.
Fenomena berikut adalah contoh yang paling mengganggu saya. Begini. Di Yogyakarta ada
begitu banyak teman-teman yang berasal dari Papua. Kebetulan, di Yogyakarta saya
berdomisili di daerah yang sama dengan banyak teman-teman dari Papua. Saya sering melihat
mereka berkumpul bersama-bersama, entah di tempat bermain futsal, entah di warung makan.
Seorang kawan pernah berkata, “Orang-orang Timur (merujuk ke teman-teman dari Papua
itu) kok bergaulnya sama mereka-mereka saja ya?” saat kami berkendara dan melintas di
depan kawan-kawan dari Papua yang sedang berkumpul. Entah apa alasan di balik keadaan
itu, apakah kawan-kawan dari Papua memang sengaja mengasingkan diri mereka, atau justru
ada yang salah dengan cara pandang kawan-kawan bersuku lainnya terhadap kawan-kawan
dari Papua sehingga mereka tampak seperti tidak berbaur? Faktanya, term ‘orang-orang
timur’ yang merujuk pada mereka yang berasal dari Timur, khususnya yang berkulit legam
dan berambut keriting, eksis di Yogyakarta dan seringnya diikuti dengan ide-ide yang kurang
elok tentang term itu. Saya pikir term tersebut bisa jadi sama mengganggunya dengan term
‘kulit hitam’ atau ‘negro’ yang pernah eksis di Amerika Serikat.
Terkait isu keagamaan, saya jadi ingat bahwa 4 hari sebelum saya menulis esai ini, saya
terlibat pembicaraan dengan seorang bapak. Ia adalah seorang staf administrasi di universitas
saya. Dari berkas yang saya berikan padanya, ia jadi tahu di fakultas apa saya belajar. Ia
lantas menyebut nama salah seorang dosen dan bertanya apakah saya diajar olehnya. Ketika
saya katakan bahwa benar saya diajar oleh dosen tersebut, ia lalu berkata, “Kasihan dia (dosen
saya).” Saya yang tidak paham konteks jelas bertanya, “Kasihan kenapa, bapak?” Bapak itu
lalu menjelaskan bahwa dosen saya itu dulunya adalah seorang Islam tapi kemudian pindah
agama. Itulah kenapa ia mengasihani dosen saya. Menurutnya, pilihan untuk berpindah agama
adalah pilihan yang sangat salah.
Terlanjur sering saya mendengar pernyataan tentang Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia.
Jika benar Yogyakarta adalah miniatur Indonesia dan saya masih melihat ada api dalam
sekam terkait masalah kebhinekaan di sini, bisa jadi memang begitulah keadaan keberagaman
Indonesia yang sebenarnya. Benar bahwa Negara ini mengakui ada beragam suku, agama, dan
ras. Benar juga bahwa suku, agama, dan ras yang beragam itu bisa hidup bersama di satu
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ada nyala yang selalu siap terbakar dalam diri
kebhinekaan Indonesia itu. Lihatlah betapa banyak konflik berbau SARA yang terjadi di
Indonesia. Konflik Poso yang saya sebut di paragraf pertama esai ini adalah salah satunya.
Dalam tulisan berjudul Tiga “Teori” Kekerasan Poso yang dirilis Suara Pembaharuan pada 2
Desember 2005, Arianto Sangadji menyatakan konflik Poso sendiri bisa dibaca sebagai
konflik yang sarat manipulasi terhadap identitas etno-religius. Satu dari tiga “teori” yang
diajukannya terkait kekerasan di Poso adalah pertarungan politik lokal (pergantian bupati
Poso akhir 1998 hingga 1999). Ada pertarungan antar politisi saat itu untuk meraih kekuasaan
politik dan birokrasi dengan memanipulasi identitas suku dan agama. Jika argumen Sangadji
benar, ada fakta yang terkuak. Fakta bahwa identitas suku, agama, dan ras memang bisa
dengan mudah ditunggangi kepentingan lain. Tak hanya di Poso. Saya pikir masih banyak
contoh kasus penunggangan isu identitas suku, agama, dan ras oleh kepentingan-kepentingan
lain. Yang terbaru misalnya, ribut-ribut terkait identitas suku, agama, dan ras dalam Pilkada
DKI Jakarta. Ya, persoalan identitas membuat manusia seakan “rela” menyerahkan dirinya
pada medan pertempuran (entah kata, entah fisik) untuk menghadapi manusia lain yang
berbeda identitas suku, agama, dan rasnya.
Alhasil, pernyataan saya tentang api dalam sekam di tubuh kebhinekaan Indonesia
kemungkinan besar benar. Lalu apa itu yang saya maksud sebagai api dalam sekam? Ia adalah
perasaan superior dalam diri kebanyakan orang tentang suku, ras, dan agamanya sendiri.
Sesuatu yang jujur tidak saya miliki, apalagi setelah saya merantau selama 7 tahun. Betapa
saya cemburu ketika mendengar orang lain bisa berkata “Saya Jawa!”, “Saya Batak!”, “Saya
Bugis!” dan sebagainya dengan yakin.
Sejak dari darah, kesukuan saya sudah tidak murni. Ayah Tidore. Mama Palembang, Poso,
dan Gorontalo. Saya lahir di Palu yang mayoritas sukunya adalah Kaili. Tanpa sempat belajar
banyak tentang tanah kelahiran, saya sudah merantau ke pulau Jawa. Jika perasaan superior
tentang suku hadir karena rasa memiliki yang absolut, maka sepertinya saya memang pantas
untuk tidak memilikinya. Saya merasa saya setengah-setengah. Saya Tidore, Palembang,
Gorontalo, dan Poso tersebab darah, meski bahkan tidak pernah ke Tidore, Palembang, dan
Gorontalo. Saya tidak pernah menjadi Kaili, tapi lahir di Palu dan tetap merasa memiliki
ikatan emosional, meski tidak terlalu kuat, dengan tanah kelahiran saya itu. Saya merasa saya
Jawa sebab belajar banyak darinya meski tidak pernah menjadi Jawa.
Ada sentimentalia tersendiri di dalam diri saya terkait keadaan ini. Terlebih lagi jika menjadi
bagian dari acara yang meminta saya untuk menampilkan pertunjukan yang bisa mewakili
identitas kesukuan. Saya bahkan pernah menangis karena tidak bisa melakukannya. Saya
menangis karena jadi ingat pernyataan-pernyataan sinis tentang anak muda yang telah
melupakan akar budayanya. Pernyataan yang muncul karena mereka dipandang tak acuh pada
tradisinya dimana tradisi kerap kali diasosiasikan dengan peninggalan budaya (baju adat,
misalnya) dan kesenian tradisional (seperti tari-tarian dan nyanyi-nyanyian tradisional). Jujur
saja, saya juga ingin berkata dengan lantang mengenai identitas kesukuan saya, jika perlu
lewat pertunjukan kesenian. Sayangnya, saya tidak pernah bisa melakukannya.
Hal yang sama juga berlaku dalam soal agama. Keyakinan bahwa Islam adalah agama terbaik
seperti yang selama ini diajarkan oleh orang-orang terdekat saya sempat goyah. Alasannya,
saya yang kebetulan belajar di sebuah universitas swasta Katolik jadi paham bahwa ajaran
agama lain juga penuh cinta kasih seperti ajaran agama saya. Jika dengan ajaran Katolik saja
ajaran Islam sudah sama baiknya, tidak menutup kemungkinan begitu pula dengan ajaran
agama-agama yang lain. Saya bahkan sering tertawa sendiri mengingat peristiwa masa kecil
yang diceritakan di awal esai ini. Saya tak lagi takut berbagi makanan dan minuman dengan
teman-teman yang Kristen. Saya yakin Tuhan tidak mungkin marah karena berbagi makanan
dengan mereka. Apalagi sebab Tuhan yang Maha Mengetahui pastilah tahu bahwa saya sering
teringat kepadaNya saat melihat sahabat-sahabat saya itu khusyuk berdoa sebelum menyantap
makanan.
Boleh jadi, saya tidak sendiri. Ada beberapa orang yang seperti saya. Yang setengah-
setengah. Yang merasa memiliki tak hanya satu suku, agama, dan ras tertentu, tapi nyatanya
tidak pernah benar-benar memiliki. Saya mengibaratkan keadaan ini dengan keadaan
memiliki terlalu banyak rumah yang tak satupun dikenali dengan baik jalan pulang menuju
mereka. Tapi mungkin memang ada kelompok yang ditakdirkan untuk tidak pulang ke salah
satu rumah. Jadi orang-orang yang terus berjalan untuk menemukan rumah-rumah baru, untuk
mengidentifikasikan diri dengan suku, agama, dan ras yang lain tanpa pernah benar-benar
menjadi salah satunya. Sebetapa melelahkannya perjalanan itu.
Jika saya merasakan sentimentalia dan kegundahan, bisa jadi beberapa orang seperti saya juga
merasakan hal yang sama. Tapi ada yang selalu berhasil menenangkan sentimentalia dan
kegundahan saya. Ia adalah keyakinan bahwa identitas yang kabur ini justru membuat saya
tidak akan mau menghabiskan waktu untuk menghancurkan yang-lain karena persoalan
identitas. Identitas yang kabur memang membuat saya tak bisa menari dan bernyanyi
tradisional demi menunjukan (apa yang dinamakan orang) kebanggaan akan akar budaya
bangsa. Namun, setidaknya identitas yang kabur ini membuat saya turut dalam menciptakan
perdamaian Indonesia sebab merasa tidak butuh untuk ribut karena perkara identitas.
Keadaan saya merupakan akumulasi dari pengalaman subjektif sebagai manusia. Jelas, tidak
semua manusia memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Sebagai sesuatu yang sudah
dikondisikan bertahun-tahun, perasaan superior akan identitas suku, agama, dan ras masing-
masing pastilah tertanam jauh di alam bawah sadar banyak manusia. Ia tidak bisa begitu saja
hilang dan memang tidak ada yang mengharuskannya untuk hilang. Menurut saya yang paling
mungkin dilakukan adalah mencari kawan bagi perasaan superior itu. Opsi yang saya ajukan
adalah kerendahan hati untuk menerima yang-lain. Sebab, pada akhirnya, berpikir bahwa diri
sendiri itu unggul itu tak masalah selama tetap memberi ruang dalam diri bagi kerendahan
hati.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Sekuntum Puisi untuk Indonesia
Oleh: RESPATI WASESA AFFANDI - IISIP
Prolog:
Esai ini sekadar menceritakan gambaran sederhana kehidupan pengamen-pengamen kecil di
sebuah kota metropolitan, di dekat Ibu Kota Negara. Juga tentang nilai-nilai kehidupan dan
semangat mereka untuk menjaga kebersamaan dalam menghargai perbedaan. Mereka sangat
menginspirasi. Bagi saya, sekelumit cerita ini perlu dikabarkan: Indonesia mesti sanggup
menumbuhkan putik dan memekarkan bunga bangsa meski di tempat paling gersang, bernama
jalanan.
Suatu Siang di Pinggir Kalimalang
Wajah Riski (10) nampak semringah keluar dari Saung Kalimalang. Ia girang karena berhasil
menyelesaikan sebuah karya puisi. “Malam Menjelang Pagi”, begitu judul yang dia tulis.
Kemudian menyusul Khaidil (11), Wahyu (13) dan Fatimah (12). Siang itu saya bertugas
mendampingi beberapa anak jalanan menulis puisi dengan tema religi. Puisi mereka nantinya
diterbitkan di salah satu media lokal di Bekasi, di rubrik Sastra Kalimalang.
“Bang, Jenong tidak bisa menulis,” ucap Riski pada saya.
Iya, betul. Satu dari teman mereka ada yang tidak bisa menulis dan membaca. Jenong (20)
namanya. Ia malah paling dewasa di antara teman-temannya, kira-kira sepantaran saya.
Beberapa kali dia mengayunkan tangan ke pelipis, telapak kusam itu mengusap keringat. Saya
paham.
“Riski, coba kamu bantu Jenong. Jenong yang mengeja, kamu yang menuliskannya.” Mata
kami saling bertatapan.
Mengapa yang susah semakin susah/yang mapan semakin mapan/aku ingin semua manusia
sama di hadapanMu, Tuhan.
Jenong akhirnya bisa juga menyelesaikan sebuah puisi. Itulah nukilannya. Kemudian saya
lanjutkan membaca puisi Fatimah, “….kutulis puisi ini hanya untukMu, Tuhan/ karena pena
ini digerakkan olehMu juga… Puisi Wahyu seolah melengkapi, “…susah payah kami lalui
bersama, suka duka kami hadapi bersama, kebersamaan menguatkan kami. Terima kasih,
Tuhan...”
Saya kagum pada mereka, terutama karena ketulusan dan kepolosan dalam mengungkapkan
kecintaan terhadap Tuhan dan rasa kemanusiaan serta kesetia-kawanannya yang tinggi.
Mereka menulis sambil mondar-mandir tidak karuan. Ada yang bertelanjang dada dan juga
beberapa dari mereka keluar saung kemudian nyemplung ke kali. Saking lincahnya pula
mereka kadang ada yang tertampar buku karena memang digantungkan dengan menggunakan
tali dan jepitan dari atap saung. Hujan buku ini mengingatkan kami agar tidak sombong akan
ilmu.
Tak terasa hari petang, matahari pun perlahan turun. Anak-anak jalanan yang pulang dari
mengamen semakin banyak berdatangan. Kami pun duduk di bantaran (sungai) Kalimalang.
Kalau sudah datang apalagi berkumpul, pasti mereka ribut dan cerewet, tapi saya malah
menikmati. Mereka juga ternyata pintar menghibur diri dan orang lain. Mereka terlihat ramah,
terasa sopan mengucapkan salam.
Dari Mimpi ke Puisi
Perkenalan saya dengan anak jalanan bermula dari Ane Matahari, seorang seniman dan tokoh
musikalisasi puisi. Setahun yang lalu, pria berusia 40 tahunan ini mengutarakan keinginannya
untuk mendirikan perpustakaan di pinggir Kalimalang, dekat Kampus Universitas Islam ‘45’.
Saya sempat ragu, sebab ia terbiasa hidup di jalanan dan tak pernah tertarik dengan buku.
Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, barulah saya sadar setelah mengetahuinya. Ane
Matahari ternyata pernah belajar di Institut Kesenian Jakarta dan kemudian dengan penuh
kesadaran memilih turun ke jalan. Dia tak mau berdiam diri. Berkat keuletan serta
bimbingannya, anak-anak jalanan berhasil menyabet sederet prestasi dan menelurkan karya
berupa album musikalisasi puisi. Bahkan, beberapa orang anak jalanan itu sudah mau kembali
ke rumah tanpa rasa minder. Menikmati kehidupan, layaknya anak-anak seusia mereka.
“Saya fokus kepada persoalan mentalitas dan moralitas anak-anak. Kadangkala, orangtua
mereka tanpa sadar melakukan perbuatan tidak baik tersebab himpitan permasalahan rumah
tangga. Kalau sudah memiliki landasan moral, mereka akan bisa menyadarkan keluarga dan
lingkungan sekitar. Saya terus menggali potensi mereka, terutama melalui puisi dan musik.
Materi inilah yang dijadikan bahan untuk edukasi kreatif bagi pertumbuhan rohani.. Ini art
therapy dan perpustakaan adalah pemantiknya,” begitu ungkap Ane suatu kali.
Semua orang bebas bermimpi. Perpustakaan di bantaran Kalimalang berdiri gagah meski
terbuat sekadar dari rakitan bambu. Buku perpustakaan tersebut sumbangan masyarakat. Buku
apa saja. Mimpi kami dengan pemuda lain akhirnya bisa terwujud. Sejak itu, anak-anak
jalanan yang biasa mandi dan main di Kalimalang bernaung di saung. Mereka mulai gemar
membaca buku, majalah, komik, dan buku pengetahuan lainnya sambil tiduran. Ada juga
yang hanya memainkan gitar kecil, sementara matanya menerawang ke perempatan lampu
merah yang tidak begitu jauh jaraknya dari saung.
Saya sering mengamati mereka diam-diam. Kadang pura-pura sibuk menatap layar laptop
sembari mencuri pandang saat mereka asyik duduk dan membaca di saung. Bila seorang anak
membaca, yang lain akan ikut membaca. Namun, mereka tak semua bisa karena sebagian
mereka memang tidak mengenyam bangku sekolah. Kekurangan tersebut justru menjadi
kelebihan. Satu di antara mereka, yang bisa membaca, biasanya berlagak ingin menceritakan
isi buku pada teman lainnya. Ceritanya dibesar-besarkan. Nah, di sinilah, yang tidak bisa
membaca, penasaran dan mendesak si pencerita mengajari membaca. Proses itu berjalan dari
minggu ke bulan hingga akhirnya mereka pun satu persatu berangsur bisa.Sangat alamiah.
Kami menyebutnya Perpustakaan Pinggir Kali atau Saung Kalimalang karena memang bukan
perpustakaan laiknya di kampus ataupun sekolah-sekolah. Ini hanya tempat, bagaikan kata di
dalam pantun, “Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kami menumpang…” Untuk itulah,
kami mesti memberi: berbuat sesuatu supaya bermanfaat bagi masyarakat. Hajat dan hak
orang banyak, termasuk milik mereka yang papa.
Saung inilah yang akhirnya mengantarkan saya menjadi pengais kata-kata. Sebuah media
lokal menawari dan memercayai kami menggarap serta mengisi satu halaman penuh koran
setiap minggunya sebagai ruang ekspresi budaya. Halaman itu bernama Sastra Kalimalang.
Dari situ, kami kerap mengajak anak jalanan, tukang ojek, anggota satpam, PSK, napi atau
pun pedagang asongan dan pedagang kaki lima agar ikut terlibat menuliskan puisi-puisi bagi
negeri tercinta. Dari merekalah saya menemukan rupa kata yang tidak hanya sekadar kata,
tapi makna menubuh di dalam-Nya.
Mengeja puisi, membaca negeri
Apakah Tuhan adalah Ibu?/ atau Tuhan adalah Ayah?/ katanya Tuhan itu indah/tetapi,
mengapa orang berperang karena Tuhan?/ jangan-jangan Tuhan kesepian/ Ia tak berayah,
juga tak beribu/ Ia terus mengalir dalam darah di tubuh kita/ Tuhan itu dekat sekali. (1)
Tulisan di atas ialah penggalan puisi “Yang Maha Indah” karya Khaidil dan telah dimuat di
halaman Sastra Kalimalang, Radar Bekasi (Jum’at: 27/1). Bocah berbadan kurus dan
berambut pirang ini biasa mengamen di lampu merah tepatnya di perempatan Jalan Cut
Mutia-Chairil Anwar Kota Bekasi. Ketika membaca secara seksama satu persatu karya
mereka di rumah, saya amat menikmatinya. Wajah mereka membayang ketika saya
menuliskannya kembali. Mereka selalu jadi ingatan, dan malah berlaga dengan kekerapan
insiden tawuran antarpelajar maupun tindakan anarkis mahasiswa di Bekasi. Sepintas,
tergambar pula sebaya mereka di seantero pelosok negeri yang tidak sekolah: mereka belum
dilunasi janji kemerdekaan bernama pencerdasan.
Dari media massa pernah diberitakan bahwa setiap tahun ada sekitar 880 ribu anak bangsa
berpotensi buta aksara. Tapi, anak jalanan di hadapan saya ini, meski tak sekolah, bukanlah
generasi pendendam. Mereka bukan pembenci Indonesia. Kalau datang ke Perpustakaan
Pinggir Kali, kita akan melihat bendera merah putih lusuh berukuran kecil terpasang rapi di
dinding bambu: itu pemberian mereka. Sebuah rasa dan sikap nasionalisme itu sendiri. Bisa
jadi ada perasaan mereka ingin mengibarkan Sang Saka seperti anak-anak sekolah
mengibarkannya di hari Senin, meski tanpa upacara. Berarti mereka menaruh harapan besar
pada bangsa ini.
Kadang-kadang saya malah iri melihat mereka begitu ceria berenang di kali, naik ke atas
untuk memainkan ukulele, bongol dan kecrek, atau sibuk menyiram pohon yang mereka
tanam di bantaran kali.—hal yang tentu tidak pernah dinikmati anak sekolahan. Pengetahuan
yang mereka dapatkan memang bukan melalui paparan teori dan hafalan buku-buku. Tapi,
bukankah ilmu juga berangkat dari kenyataan hidup?
Di jalan raya, ketika orang menciptakan ruang privasi dalam kendaraan masing-masing,
sebaliknya, mereka kian paham makna kebersamaan. Mereka makin menghargai perbedaan:
ternyata setiap orang mempunyai hak mengapresiasi atau tidak terhadap ekspresi mereka.
Gambaran itu menjadi semakin jernih ketika saya menyaksikan seorang anak jalanan tengah
memakan mie instan di samping Saung. Dua orang temannya menghampiri kemudian
mengatakan ingin ikut makan karena lapar dan hasil mengamen belum mencukupi. Tanpa
muka cemberut, anak itu membiarkan semangkuk mie instannya dimakan bertiga. Ini tentu
bukan persoalan ada atau tidaknya uang, tapi persoalan paham atau tidaknya ketika
menghadapi rasa lapar. Mereka ternyata mengerti.
Barangkali kehidupan memang telah mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia.
Begitupun saya dan anak jalanan. Sikap mereka memperjelas betapa pentingnya merawat
kebersamaan dan menghargai keberanekaragaman.
Puisi-puisi mereka pun akhirnya selalu mengingatkan saya pada tragedi kemanusiaan di
Bekasi—tragedi yang meruntuhkan bangunan toleransi. Di Ciketing, serombongan orang
menyerbu umat yang tengah menunaikan ibadah. Hal serupa berulang pada penyegelan gereja
jamaah Filadelfia di Tambun Utara. Di Kranji, satu orang tewas dibakar massa dalam insiden
bentrokan Betawi-Ambon: melihat video amatir yang merekam kejadian ini, setiap manusia
waras pasti tersinggung rasa kemanusiaannya.
Benar kata Anies Baswedan, bangsa ini harus tegas, berhenti bicara minoritas dan mayoritas
dalam urusan kekerasan. Negara mesti bertanggung jawab melindungi warganya tanpa
pandang siapa dan berapa mereka (2). Kekerasan antarkelompok masyarakat di negeri ini
sesungguhnya telah merusak tenunan kebangsaan kita. Dari tahun ke tahun tali kebersamaan
itu semakin rantas, padahal pendahulu kita sudah merajutnya susah payah. Permusuhan
dengan membawa panji agama seolah-olah membenarkan bahwa ‘aku’ boleh menundukkan
‘yang lain’ di luar aku. Bukankah kemerdekaan ini terselenggara atas berkat rahmat-Nya dan
didorong oleh keinginan luhur untuk hidup bersama?
Saya percaya, mencintai Tuhan dan sesama manusia adalah juga ikhtiar menjadi Indonesia.
Persatuan yang diajarkan Bapak Bangsa bukanlah ‘satu’ dalam hitungan angka. Satu, jika
boleh disebut, mungkin seperti yang pernah diucapkan Uskup Soegijapranata: kemanusiaan
itu satu (3). Kata kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan dalam Pembukaan UUD
1945 menggambarkan dengan gamblang betapa ‘kita’ sebenarnya sangat nasionalis, tapi amat
humanis. Rasa cinta itulah yang akan merawat Indonesia tetap ada di dalam hati setiap
warganya.
Begitulah, dari akar jalanan saya telah dituntun melihat batang tubuh Indonesia dengan dahan,
ranting, cabang dan daunnya yang terus meruyak. Pohon itu tetap tegap berdiri gagah dan
selalu menumbuhkan putik serta memekarkan kuntum-kuntum bunga bangsa: sementara,
angin terlalu kencang dan hujan teramat deras.
Catatan
1. Puisi-puisi tersebut telah dimuat di Harian Radar Bekasi, halaman 6, Rubrik Sastra
Kalimalang, Jumat (27/1/12). Sastra Kalimalang terbit setiap Jumat dan dikelola oleh
Komunitas Sastra Kalimalang yang berkegiatan di Saung Kalimalang.
2. Kalimat Anies Baswedan di dalam opininya yang berjudul “Tenun Kebangsaan..” dan
dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012.
3. Kalimat yang diucapkan Soegijapranata dalam film Soegija garapan Garin Nugroho.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN
oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA
Ringkasan
Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan
zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan materi yang berjejal membuat pelajar
ogah – ogahan sekolah. Sistem evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta
didik untuk cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah eropa,
ide – ide segar lahir dan cita – cita baru terpatri di nurani. Menepis setiap kepentingan politis
demi pendidikan yang dapat mengubah sendi – sendi kehidupan adalah misi utama jika saya
kelak menyandang titel Menteri Pendidikan.
Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi
di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka
pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di
Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah
cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air,
imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di
benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang
membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi
ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas.
Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk
mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya
ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang
menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala
bahasa dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo
Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita.
Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik,
selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra
Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan
berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu
yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu
Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang
terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan
populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang
artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral
dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya
Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens
karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal
Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama saya Gea. Saya datang
dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di
kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap
materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya
waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa
baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan
diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal
pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah
menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami
adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat
menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan
perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke
sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah
yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat
kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan
waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya
berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid
disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan
dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya
pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan
(sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan
tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum
nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat.
Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama:
materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan
ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa
jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian
Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif.
Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid
yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak
bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak
semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan
para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat
nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang
belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit
pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang
pernah mengecap pendidikan formal.
Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau
berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang
kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar
oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka
statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang
mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang
yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan
masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk
melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata
pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata.
Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan
harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk
mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya
tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam
menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan
entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini
diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan?
Belum tentu.
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan,
Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan
Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran
secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi
dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung
terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana
pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di
dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki
peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi
sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat
melihat sejauh mana pemahaman siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang
memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di
setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral,
kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak
hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia.
Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar
pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca –
tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya
tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak
ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah
air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru.
Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir
pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai.
Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur
Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden
agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama
penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini
saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‘Anak
IPA lebih pintar dari anak IPS’. Nosi ‘Setiap Anak itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan
di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi
pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian
Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa
menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal
dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan
tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk
materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji
individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
SURAT UNTUK ABDURRAHMAN WAHID ~ Dari Seorang Anak Kampung tentang
Gejolak Tanah Kelahiran ~
oleh: FERRY RACHMADANI SAPUTRA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan:
Madura sedang krisis. Tragedi 26 Agustus 2012 telah menunjukkan betapa tak mudahnya
merawat toleransi dan keberagam(a)an. Darah tumpah di tanah Sampang. Di saat momen itu
masih menyisakan pilu, terdengar sayup-sayup nama “Gus Dur” ke permukaan. Gus Dur
mulai dirindukan saat gejolak itu melibatkan sekelompok masyarakat yang mayoritas di
antaranya adalah Nahdlatul Ulama. Dalam esai ini, seorang anak kampung dari Madura
mengungkapkan kegelisahannya kepada Gus Dur secara imajiner. Surat ini memang tak
berarti apa-apa untuk menyelesaikan kasus itu, tapi setidak-tidaknya ia mencerminkan satu
hal: bahwa masih ada pemuda yang peduli pada negerinya, pada tanah kelahirannya, pemuda
yang benar-benar ingin berikhtiar—meski tak seberapa—untuk suatu perubahan penting di
masa mendatang.
Gus Dur, percakapan kita hari ini adalah percakapan dua hati yang berbeda. Kau adalah
seorang pejuang, pemikir, pemimpin, yang setiap hari merenungkan kebersatuan negeri ini.
Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Aku bukanlah seorang pemikir sepertimu. Aku
hanyalah seorang anak kampung yang ingin berbagi kegelisahanku melihat kondisi
keberagaman kita hari ini. Maukah kau sejenak mendengarku, Gus? Aku ingin bercerita
dalam sunyi.
Keberagaman hari ini terasa berbeda dengan keberagaman saat engkau masih hidup beberapa
tahun lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tahu namamu dari
cerita orang-orang kampung. Mungkin kau perlu tahu, Gus, aku lahir di tanah Madura, tempat
di mana Nahdlatul Ulama (NU) menjadi urat nadi kami. Dulu, ketika engkau masih hidup
sehat, aku selalu melihat betapa orang-orang kampungku menaruh kagum padamu. Engkau
menjadi panutan di saat mereka sedang rapuh. Kau layaknya ikon bagi sekian umatmu di sini.
***
Sekarang, Gus, situasi telah berubah. Jika kau hidup sekarang, semakin jarang kau temui
masyarakat yang meniru jejak perjuanganmu. Entahlah, mungkin mereka terlampau
merindukanmu, atau mereka tak lagi menemukan sosok lain penggantimu.
Di sana sini, pergolakan semakin marak di kampungku. Kami hidup di tengah-tengah
masyarakat yang begitu sentimen pada perbedaan, masyarakat yang rentan dibakar emosi
hanya karena persoalan ideologi. Di sini, Gus, kau menyaksikan betapa gagasanmu tentang
toleransi ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri.
Dan, hari ini, Gus, lebih dari seribu hari setelah engkau pergi, seharusnya kami bisa melihat
kondisi keberagaman dengan lebih baik. Kondisi yang selalu engkau perjuangkan hingga di
sisa-sisa akhir hidupmu. Tapi, apa lacur, sepertinya kami harus memendam mimpi itu dalam-
dalam.
***
Di sini, di Sampang, salah satu daerah di pulau Madura, angkara murka dan kesewenangan
masih kuat merajalela. Padahal, di tempat ini, sebagaimana tempat-tempat lain di Madura, NU
selalu menjadi bagian penting dalam diri mereka, menjadi benteng terakhir saat toleransi tak
menemukan jalan keluarnya.
Tapi orang-orang tak hirau, Gus. Di Sampang hari ini, di wilayah yang katanya memiliki
puluhan pesantren itu, ratusan orang dibunuh, puluhan dikucilkan, dan sekian ratus lainnya
terluka. Mereka dibunuh karena mereka menolak mengakui sebuah ideologi yang berbeda
dari ideologi masyarakat umumnya. Mereka dibunuh karena mereka berbeda.
Gus… kau tahu, siapa yang peduli pada mereka, pada orang-orang minoritas itu? Tidak ada.
Tidak ada, Gus. Ada sekian banyak orang yang memberi rasa simpati, sekian ratus orang yang
berbicara di forum-forum, tapi tak ada satupun dari mereka yang mampu menggerakkan
emosi kita untuk benar-benar peduli pada mereka.
Aku sejujurnya tak tahu, Gus, apakah aku adalah epigonmu, ataukah aku terlampau
merindukan sosokmu di tengah kecamuk perbedaan di negeri ini. Yang aku tahu, mereka,
orang-orang itu, benar-benar mati, justru karena konflik ideologi yang engkau perangi selama
ini.
Tapi, Gus, ingin kukabarkan kepadamu bahwa mereka telah banyak terbunuh oleh gerakan
yang selama ini engkau pimpin, gerakan yang konon selalu memegang teguh toleransi dan
keberagamaan: Nahdlatul Ulama. Ketika darah tumpah di Sampang, hatiku selalu
bergemuruh: di manakah NU yang aku kenal waktu kecil?
Gus, aku memang pemuda NU. Aku lahir di keluarga dan lingkungan yang sepenuhnya
menjunjung NU sebagai ideologi kami. Tapi, aku benar-benar kecewa, Gus. Sampai saat ini,
NU seakan buta pada konflik yang jelas-jelas melibatkan nama mereka di sana.
Madura sedang krisis, Gus. Madura tak lagi menemukan sandaran figural saat tampuk
kepemimpinan yang dulunya engkau pegang sedang berada di ‘entah siapa’. Aku hanya
khawatir, mereka, orang-orang awam yang hanya tahu peristiwa-peristiwa kekerasan
semacam itu di stasiun televisi, akan semakin tak peduli pada NU, semakin apatis pada
perbedaan, semakin meninggalkan namamu di belakang rumah-rumah mereka.
Gus, kau boleh saksikan sendiri. Tepat pada 14 September lalu, di Cirebon, Bogor, Nahdlatul
Ulama berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) demi cita-cita umat. Sayang,
pada Munas itu, hanya kekecewaan yang aku rasakan. Aku kecewa bukan karena NU tak lagi
berbicara tentang negara dan masyarakat, bukan lantaran mereka tak membahas soal air,
migrasi, investasi asing, dan sebagainya. Semua ini sudah mereka bahas panjang lebar dalam
forum itu. Bukan. Bukan itu yang membuat aku kecewa, Gus. Aku kecewa karena tak satupun
dari rekomendasi mereka menawarkan resolusi tegas tentang tragedi berdarah di Sampang.
Mereka tak lagi hirau pada semangat inti yang justru engkau perjuangkan selama ini di NU.
***
Entahlah, semakin hari, aku semakin merasa (ingin) menjadi Indonesia daripada NU, daripada
Madura. Madura tak seramah dahulu. Ideologiku juga tak (lagi) memberiku semangat, seperti
semangat yang pernah aku miliki saat kau masih hidup dulu.
Dan, aku pun mulai sadar, justru karena Indonesialah, engkau mampu menjadikan NU hingga
seperti sekarang ini. Engkau berjuang, bukan karena NU semata, tapi karena Indonesia,
karena cita-cita kesatuan dan persatuan negeri ini. Gus, ajarkan kami tentang keindonesiaan
itu, tentang semangat menghargai the others, melampaui identitas. Meski aku degil pada
sejarah, aku masih mencintai negeri ini, negeri Indonesia.
Gus… aku tak tahu berapa banyak lagi yang akan terbunuh besok, di tempat yang sama, atau
di kasus-kasus yang berbeda. Aku tak dapat menghitung berapa banyak lagi darah yang
tumpah hanya demi sebuah nafsu dan perbedaan. Aku tak tahu lagi, dengan cara apa aku
menyelamatkan mereka yang ketakutan dan terkucilkan. Aku tak tahu, dengan cara apa kami
bisa mengusir semua konflik berdarah ini.
Yang aku tahu, Gus, besok kau tak akan lagi di atas sana. Engkau akan turun dari nirvana,
menemui mereka yang sengsara, menasehati mereka yang semena-mena. Yang aku tahu, Gus,
engkau akan mengayomi kembali mereka yang minoritas, mereka yang pernah menjadi
korban perbedaan negeri ini.
Gus Dur… apakah kau mendengar kami di sana? Maukah kau mendengar kami?
Anak-anak muda masih membutuhkan semangatmu di sini, Gus, di tengah krisis yang
menjadikan perbedaan sebagai ‘perjudian’ di antara mereka.
Madura, 28 Agustus 2012
***