Contoh Esai Juara Temp0

210
Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Oleh: AGUSTINUS LONIS - Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Ringkasan Berbagai macam persoalan mengenai lingkungan hidup merupakan suatu masalah bersama yang dihadapi oleh manusia. Manusia perlu menanggapinya dengan serius sambil mengusahakan suatu solusi yang terbaik. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan sebagai usaha melestarikan lingkungan hidup antara lain; upaya rekonsiliasi, perubahan konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari. —————-

Transcript of Contoh Esai Juara Temp0

Page 1: Contoh Esai Juara Temp0

Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup

Oleh: AGUSTINUS LONIS - Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur

Ringkasan

Berbagai macam persoalan mengenai lingkungan hidup merupakan suatu masalah bersama

yang dihadapi oleh manusia. Manusia perlu menanggapinya dengan serius sambil

mengusahakan suatu solusi yang terbaik. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan

sebagai usaha melestarikan lingkungan hidup antara lain; upaya rekonsiliasi, perubahan

konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari.

 —————-

Page 2: Contoh Esai Juara Temp0

Permasalahan seputar lingkungan hidup selalu terdengar. Segala macam pemberitaan tentang

kerusakan lingkungan hidup tidak lagi asing di pengamatan dan pendengaran kita. Peristiwa

demi peristiwa terjadi tanpa kompromi. Kapan dan dimana akan terjadi, manusia hanya bisa

mereka-reka. Dan melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi yang ada, manusia hanya bisa

menghindar dan menyelamatkan diri. Oleh karena itu, tak jarang keresahan dan kecemasan

manusia akan suatu efek yang lebih besar, terus menerus membayangi hidup manusia.

Dengan demikian, timbullah persepsi bahwa alam adalah musuh bagi manusia, sehingga

tingkat kewaspadaan manusia pun semakin meningkat.

Kejadian demi kejadian yang dialami di dalam negeri ini telah memberi dampak yang sangat

besar. Tidak sedikit kerugian yang dialami, termasuk nyawa manusia juga. Namun hal yang

perlu dipertanyakan, apakah pengalaman tersebut sudah cukup menyadarkan manusia untuk

melihat kesalahan dalam dirinya? Ataukah manusia justru merasa lebih nyaman dengan sikap

menghindar dan menyelamatkan diri tanpa suatu pencarian solusi yang lebih baik dan lebih

tepat lagi/

Menurut saya, ada beberapa usaha yang mestinya dilakukan oleh manusia dalam upaya

pelestarian lingkungan hidup, yaitu upaya rekonsiliasi, perubahan konsep atau pemahaman

tentang alam dan menanamkan budaya pelestari.

Upaya Rekonsiliasi

Kenyataan kerusakan lingkungan hidup dan efeknya terus berlangsung dan terjadi. Manusia

cenderung untuk menangisi nasibnya. Lama-kelamaan tangisan terhadap nasib itu terlupakan

dan dianggap sebagai hembusan angin yang berlalu. Bekas tangisan karena efek  dari

kerusakan lingkungan yang dialaminya hanya tinggal menjadi suatu memori untuk

dikisahkan. Tapi perlu diingat bahwa tidaklah  cukup jika manusia hanya sebatas menangisi

nasibnya, tetapi pada kenyataannya tidak pernah sadar bahwa semua kejadian tersebut adalah

hasil dari suatu perilaku dan tindakan yang patut diperbaiki dan diubah.

Setiap peristiwa dan kejadian alam sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup

merupakan suatu pertanda bahwa manusia mesti sadar dan berubah. Upaya rekonsiliasi

menjadi suatu sumbangan positif yang perlu disadari. Tanpa sikap rekonsiliasi, maka

kejadian-kejadian alam sebagai akibat kerusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi

langganan yang terus-menerus dituai.Lalu, usaha manusia untuk selalu menghindarkan diri

dari akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut hendaknya bukan dipahami sebagai suatu

kenyamanan saja. Tetapi justru kesempatan itu menjadi titik tolak untuk memulai suatu

Page 3: Contoh Esai Juara Temp0

perubahan. Perubahan untuk dapat mencegah dan meminimalisir efek yang lebih besar. Jadi,

sikap rekonsiliasi dari pihak manusia dapat memungkinkannya melakukan perubahan demi

kenyamanan di tengah-tengah lingkungan hidupnya.

Perubahan Konsep Manusia Tentang Alam

Salah satu paham yang mungkin menjadi akar permasalahan seputar kerusakan lingkungan

hidup adalah terjadinya pergeseran konsep manusia tentang alam. Berbagai fakta kerusakan

lingkungan hidup yang terjadi di dalam tanah air kita tidak lain adalah hasil dari suatu

pergeseran pemahaman manusia tentang alam. Cara pandang tersebut melahirkan tindakan

yang salah dan membahayakan. Misalnya, konsep tentang alam sebagai obyek. Konsep ini

seolah-olah bahkan secara terang-terangan memberi indikasi bahwa manusia cenderung untuk

mempergunakan alam semau gue. Dan tindakan dan perilaku manusia dalam mengeksplorasi

alam terus terjadi, tanpa disertai suatu pertanggung jawaban bahwa alam perlu dijaga

keutuhan dan kelestariannya.Oleh karena itu, tak jarang pula binatang-binatang yang

seharusnya dilindungi pada akhirnya menjadi korban perburuan manusia-manusia yang tidak

bertanggung jawab. Pemabalakan liar yang terjadi pun tak dapat dibendung lagi. Pencemaran

tanah dan air sudah menjadi lagu lama yang terus dinikmati. Dan permasalahan seputar polusi

telah menjadi semacam udara segar yang terus dihirup manusia tanpa menyadari bahwa

terdapat kandungan toksin yang membahayakan. Jadi, di sini alam merupakan obyek yang

terus menerus dieksplorasi dan dipergunakan sejauh manusia membutuhkannya.Berhadapan

dengan kenyatan demikian, maka menurut saya perlu suatu perubahan konsep yang baru.

Konsep yang dimaksud adalah melihat alam sebagai subyek. Konsep alam sebagai subyek

berarti manusia dalam mempergunakan alam membutuhkan kesadaran dan rasa tanggung

jawab. Di sini tampak bahwa manusia dalam kesaksian hidupnya dapat menghargai dan

mempergunakan alam secara efektif dan bijaksana. Misalnya, orang Papua memahami alam

sebagai ibu yang memberi kehidupan. Artinya alam dilihat sebagai ibu yang daripadanya

manusia dapat memperoleh kehidupan. Oleh karena itu, tindakan yang merusak lingkungan

secara tidak langsung telah merusak kehidupan itu sendiri.

Membangun Budaya Pelestari

Kedua upaya melestarikan lingkungan hidup sebagaimana yang telah saya uraikan diatas akan

dapat tercapai, jika manusia sungguh-sungguh berusaha membangun dan menanamkan suatu

budaya pelestari. Dengan semangat budaya pelestari, manusia senantiasa mempertimbangan

segi baik dan buruknya dalam mempergunakan hasil alam. Segi yang baik bahwa manusia

bertindak selektif dan mengambil apa yang memang dibutuhkan tanpa bersikap boros.

Page 4: Contoh Esai Juara Temp0

Dengan demikian, manusia telah dengan sendirinya merasa sebagai bagian dari alam yang

mesti dijaga kelestariannya.

Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menanamkan budaya pelestari tersebut kepada

anak-anak sejak berada di bangku pendidikan. Misalnya pemberian porsi yang lebih kurang

banyak tentang persoalan lingkungan hidup agar terbangunlah semangat kesadaran untuk

menghargai dan menghormati lingkungan tempat tinggalnya. Tidak sebatas itu saja, tetapi

perlu juga membiasakan anak-anak untuk terlibat dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan

hidup. Jadi, adanya perpaduan antara teori dan praktek.

Penanaman budaya pelestari yang dilakukan sejak dini merupakan suatu upaya yang sangat

efektif dalam mengatasi persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Tentunya di sini

membutuhkan partisipasi dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga dan juga dalam

seluruh proses pendidikannya di bangku sekolah. Dengan demikian, melalui pembiasaan yang

dilakukan secara kontinyu tersebut generasi yang akan datang semakin menyadari akan

pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, proses penyadaran tersebut

juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan yang turut membentuk rasa tanggung jawab manusia

dalam mempergunakan lingkungan hidup.

Page 5: Contoh Esai Juara Temp0

KEM AMI Kompetisi Esai 2011

Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia

18-Aug-2011 oleh webmaster    Tidak ada Komentar    Posting didalam :

Naskah, Tahun 2009

Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

“Annyong haseyo!”

Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang

kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang

menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi.

Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsahamnida,” (terima kasih),

“Sarang haeyo,” (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan)

kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal

lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang

berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.

Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk

budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut

Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di

Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film

Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa.

Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh

gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun

bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita.

Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap

globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi

generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak

salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita.

Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya

imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan,

gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu

sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-

katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap

defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka

atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan

Page 6: Contoh Esai Juara Temp0

terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior,

yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi

bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi

itu sendiri.

Merancang Gelombang Budaya Indonesia

Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel

dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama

Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya

seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia.

Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah,

budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya

memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran

media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan

persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat

beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi

Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta

mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu

berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya

mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa

kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun

dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.

Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya

Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari,

apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya

kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu

budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan

intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada

dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus ‘menyebarkan’.

Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami

akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita

semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak

milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan

pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi

dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena

Page 7: Contoh Esai Juara Temp0

memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita

penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi.

Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.

Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas

industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka

kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan

survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju

ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi

budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri

budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan

industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri

tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun

ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi

ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.

Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat.

Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri

tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik.

Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar

negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya

pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung

dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada

seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup

dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus

memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi

massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film

yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual

memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam

komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud

film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan

sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.

Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain

seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya

suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya

berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan

Page 8: Contoh Esai Juara Temp0

budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan

Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan

perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah

untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan

suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-

produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya

kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil

contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang.

Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik,

anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu

dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan

tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka

potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya

yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.

Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan

membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri

perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi

budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan,

maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya.

Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk

memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita

diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga

dunia Barat.

Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih

pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas

berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi

suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya

seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat

minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah

terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk

go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di

negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan

masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya

Page 9: Contoh Esai Juara Temp0

hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan

jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.

Sejumlah PR

Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang

cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena

menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan

misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya

membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah

harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk

tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-

produk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia,

sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos

ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib

Page 10: Contoh Esai Juara Temp0

mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang

tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi,

atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain

itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak

dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat

menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.

Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan kita ini.

Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam

perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang

dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di

Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film

nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong,

yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta.

Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI

Jakarta.

Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal

32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan

yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan

asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh

Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah

kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari

kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa

sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. 

Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki

banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena

memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas

baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh

penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan

masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa

masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor.

Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu

dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states)

modern seperti yang kita kenal saat ini.

Page 11: Contoh Esai Juara Temp0

Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa

bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk

bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita

bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas jika

Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh

dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung

dalam rumah Indonesia.

Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan

dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya

sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan

berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh

Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang

peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek

negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu

merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan

nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah

kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri

Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita

akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.

Referensi

Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To

History, Princeton University Press

http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e

Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research

Associates

BIODATA

Nama: Sidiq Maulana Muda

TTL: Jakarta, 12 Januari 1989

Pendidikan: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Alamat: Komplek POLRI Munjul no. 258 Cipayung Jakarta Timur

No. Telp: 021-8445916

Email: [email protected]

Page 12: Contoh Esai Juara Temp0

“Pemimpin dan Budi Pekerti”

Oleh: VINISA NURUL AISYAH - UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Rangkuman :

Pemimpin kampus sebagai pemegang kekuasaan memiliki hobi unik. Penghakiman budi

pekerti. Budi pekerti dijadikan alasan demi kesewenang-wenangan atas kuasa yang dimiliki.

Pemimpin institusi pendidikan yang memberi contoh menjawab dengan logis dan tanggung

jawab selalu diabaikan. Mengapa pemimpin tak pernah mau mengakui kesalahan demi sebuah

perbaikan?

————-

 

Page 13: Contoh Esai Juara Temp0

“Mba, Mba’nya itu berjilbab. Jadi harus jujur dan nggak boleh su’udzon dengan pihak

fakultas,” kata Pembantu Dekan I Fisip Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) periode

2009 lalu. Kata-kata itu terlontar saat saya mempertanyakan pungutan uang sumbangan dari

fakultas kepada mahasiswa baru yang dilakukan tanpa ada legalitas dan sepengetahuan

rektorat. Bukannya mempertanggungjawabkan pungutan tersebut dengan jelas dan logis,

malah menghukum moral dan budi pekerti saya di ruang dekanat.

Tiga tahun berlalu, budi pekerti masih menjadi kilahan yang laris manis digunakan oleh

birokrat kampus. Kali ini terjadi di Fakultas Peternakan saat audiansi tentang adanya

pungutan untuk syarat wisuda mahasiswa angkatan 2008 bulan ramadhan tahun ini.

Saat ditanya legalitas penarikan, jawaban soal budi pekerti pun terlontar kembali. “Penarikan

ini sebenarnya untuk membuktikan bagaimana moral dan kejujuran adek-adek mahasiswa

kepada orang tua. Apalagi kan ini sedang bulan ramadhan,” ujar Dekan Fakultas Peternakan.

Kasus ini dilatarbelakangi mahasiswa yang keberatan membayar uang pungutan sebagai

syarat wisuda. Pasalnya, mahasiswa bersikeras pungutan tersebut ilegal, tak ada payung

hukumnya dan tak tahu kemana larinya uang-uang hasil pungutan itu. Bahkan pihak rektorat

sudah melarang pungutan liar bagi mahasiswanya.

Awalnya penarikan diwajibkan, namun ketika sudah mencapai tahap audiensi mereka justru

melemparkan pernyataan-pernyataan justifikasi budi pekerti. Logika “siapa yang tak mau

membayar, maka berbudi pekerti jelek” dilontarkan. Kemudian logika, “Birokrasi dengan

budi pekerti macam apa yang terus menarik pungutan paksa untuk mahasiswa?” muncul dan

hasilnya, tak seorang pun mahasiswa membayar pungutan liar tersebut.

Seolah kehabisan alasan, berkali-kali budi pekerti menjadi pemanis kesewang-wenangan bagi

orang yang yang memiliki kuasa. Bahkan di dalam instiutsi pendidikan. Benarlah apa yang

dikatakan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya, “Budi pekerti dalam pergulatan

kekuasaan, akhirnya berfungsi sebagai bedak dan gincu”.

Moral dan budi pekerti digunakan untuk menutupi kesewenang-wenangan. Seringkali

mahasiswa terkecoh kemudian tenggelam pada refleksi moral diri sendiri. Kesewenang-

wenangan pun terlupakan.

Bukankah sangat memalukan, atas nama budi pekerti dan kuasa, kesewenang-wenangan terus

terjadi? Sedang orang-orang dibawahnya? Hanya mampu menggeram karena tak digubris,

sisanya terkecoh.

Seolah tak malu dengan status lembaga pendidikan tinggi. Di dalam kelas kita selalu dituntut

untuk menjawab pertanyaan dosen dengan logis, sesuai dengan kapasitas sebagai seorang

Page 14: Contoh Esai Juara Temp0

intelektual muda. Namun di luar kegiatan belajar mengajar, kita terus dicekoki dengan

jawaban yang tak logis.

Birokrasi-birokrasi busuk terus mengoyak kehidupan kampus kecil di lereng gunung Slamet

ini. Mereka menciderai status pelayan mahasiswa dalam memperoleh pendidikan, yang pada

akhirnya mengkhianati niat baik dibangunnya institusi pendidikan tinggi.

Bahkan terang-terangan, dalam sebuah buletin LPM Solidaritas, pers mahasiswa di Fisip

Unosed, Pembantu Rektor II menyatakan mahasiswa adalah bisnisnya Unsoed. Mahasiswa

direndahkan statusnya, bukan sebagai manusia yang mengidamkan sebuah pencerahan dari

gudnag ilmu pengetahuan. Mereka memandang mahasiswa sebagai mangsa empuk yang harus

dikuras dompetnya demi menumpuk kekayaan universitas.

Tak pernah belajar dari sejarah, hal tersebut bukan satu atau dua kali namun sering layaknya

sebuah rutinitas. Pantas jika jalan yang mereka tempuh gelap tanpa cahaya pembelajaran dari

sejarah.

Tak heran, yang terjadi kini adalah ketidakpercayaan pada birokrasi. Mosi tidak percaya

karena pengkhianatan dan kesewenang-wenangan terus dilakukan. Seiring dengan hal

tersebut, mahasiswa yang mengkritisi dan mencecar kebijakan akan disebut mahasiswa

berbudi pekerti buruk. Hanya karena berjilbab dan menanyakan pertanggungjawaban

penarikan “haram” yang terjadi, atau karena segan membayar pungutan dengan akal-akalan

syarat wisuda yang entah-kebijakan-siapa.

Kasus demi kasus seolah ingin mengatakan sudah hilangnya pemimpin kampus yang

memiliki tanggung jawab pada peserta didiknya. Tak heran jika menular pada struktur

birokrasi yang ada di bawahnya.

Birokrasi yang melayani bagian akademik dan kemahasiswaan di tingkatan fakultas seringkali

menarik pungutan tak jelas. Seribu rupiah untuk selembar ijazah yang sudah dilegalisir. Tiga

ribu rupiah untuk pengambilan raport per semester. Jika dikritik, mereka hanya melempar

pada struktur yang lebih tinggi tanpa jawaban yang pasti.

Masyarakat kampus (mahasiswa) sudah tak kaget lagi jika kata-kata pemimpin tak sejalan

dengan kebijakan dan tindakan mereka. Kekecewaan dan kemuakan ini mungkin

tersampaikan juga lewat sebuah karya, lagu berjudul “Mosi Tidak Percaya” milik Band Efek

Rumah Kaca. Ini masalah kuasa, alibimu berharga. Kalau kami tak percaya, lantas kau mau

apa? Kau tak berubah, selalu mencari celah.  Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah, Jelas

kalau kami marah, kamu dipercaya susah, pantas kalau kami resah, sebab argumenmu payah!

Page 15: Contoh Esai Juara Temp0

Apa yang harus kita pelajari dari sebuah institusi pendidikan dengan pemimpin yang

mengkambinghitamkan moral? Kita hanya akan belajar bagaimana menjadi Indonesia yang

lemah.

Menjadi Indonesia yang kuat tak membutuhkan pemimpin yang pandai berkilah atas

kesalahan dan tak mengenal perbaikan. Pemimpin Indonesia adalah sejalan dengan apa yang

dikatakan Goenawan Mohamad, menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi

bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu

tidak pernah selesai.

1 Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Merajut Cita Bangsa di Balai Kambang

Oleh: DEWI MAGHFIROH - UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

 

Ringkasan

Pendidikan masih menjadi sesuatu yang prestisius. Konsep standarisasi internasional santer

diperdebatkan. Sementara, pendidikan toh tak dapat menjawab persoalan bangsa. Begitu pula

dengan sistem pendidikan yang secara tidak langsung mengarah pada academic orientad.

Tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai. Pengajar pun seolah menutup mata, dan

hanya sebatas melaksanakan tugas. Maka dari itu, pendidikan Indonesia memerlukan

terobosan-terobosan untuk mencapai cita bangsa yang termaktub dalam Undang-undang.

salah satunya pendidikan di Balai Kambang. Di tempat tersebut memadukan antara ilmu

agama, pendidikan formal, dan ketrampilan. Siswa tak lagi dituntut hanya pada satu sisi yaitu

akdemik. Namun, ketulusan untuk tercapainya sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar.

Membangun sikap kesopanan, kedisiplinan, dan kreativitas.

————————-

 

Bergelimang manusia tumpah ruah di pojok pendidikan. Iming-iming bilingual, standart

international masih menjadi dambaan. Khususnya untuk mereka yang berstatus anak

penggede. Namun, sebagai masyarakat kecil yang hanya mampu menyusur mulut dengan sirih

seadanya, pendidikan bukan pada statusnya namun lebih pada esensi. Koceh-koceh mulut

petinggi yang selalu membumbung menyoal pendidikan, toh akhirnya berujung bisnis.

Page 16: Contoh Esai Juara Temp0

Tumpulnya orang yang berpendidik tanpa bermoral menjadikan semakin merosotnya kualitas

manusia. Tak ada yang patut dipercaya kecuali menemukan jalan sendiri. Cita pendidikan di

negeri ini yang termaktub dalam undang-undang pun mulai pudar. Mencoba bangkit

merangkai serpih-serpih yang telah berserakan. Sebuah terobosan untuk merajut cita

pendidikan kembali, yakni sistem pendidikan yang menggabungkan antara ilmu agama dan

pendidikan formal.

Pendidikan masih menjadi idaman setiap rakyat. Orang tua menginginkan pendidikan tinggi

kepada anaknya. Secercah harapan pun terbesit “anakku harus menjadi orang yang sukses tak

seperti orangtuanya”. Tetes-tetes keringat dibiarkan bercucuran untuk beberapa lembar uang

lusuh, kumal.

Terik mentari menjelang, masyarakat Desa sekitar tempat tinggal saya sudah siap di peraduan

nasib. Kehidupan yang bisa dikatakan jauh dari kemewahan. Keliling dari desa ke desa

dengan memanggul dagangan, di perempatan jalan mengatur lalu lalang kendaraan tanpa

embel-embel pangkat dan hanya mengharap receh dari tangan-tangan tulus pengemudi.

Bergumul dengan debu menjadi suatu keharusan. Mereka lakukan setiap hari hingga mentari

terbenam. Semua itu tak ada yang lain demi pendidikan seorang anak.

Sejauh ini pendidikan Indonesia belum bisa sepenuhnya mencetak generasi-generasi yang

berbudi luhur dan berpemikiran luas. Sepak terjang yang selalu menekankan pada akedemik

menjerumuskan pendidikan pada kegelapan. Angka menjadi tuhan tersendiri bagi pelajar.

Pemuja nilai. Betapa tidak, pengajar selalu menekankan pada anak didiknya untuk

mempunyai nilai tinggi dan lulus cepat. Tanpa memberikan pemahaman bagaimana proses

untuk mendapatkan sebuah nilai dan kelayakan untuk meninggalkan bangku pendidikan.

Alhasil pragmatisme yang dipahami pelajar. Instan lebih dipilih daripada harus bergeliat dari

nol hingga mencapai sebuah asa. Euforia pendidikan pun seakan diamini semua lapisan.

Imbas kondisi pendidikan yang seperti itu menjadikan generasi kini bermental nglokro. Yang

ujung-ujungnya materi yang dikejar. Pendidikan tanpa didasari moral yang selaras. Sebagai

buktinya banyak koruptor yang berada di kerangkeng penjara, jauh lebih banyak lagi yang

masih berkeliaran melenggang kesana kemari. Oh, ternyata memang sistem pendidikan kita

ini ada yang salah. Mencetak yang berpendidik tanpa bermoral. Padahal moral jauh lebih

penting untuk menata kepribadian. Kesadaran setiap manusia tak akan terlahir tanpa

kepribadian yang bermoral. Sehingga jika setiap orang mempunyai moral yang baik, kualitas

hidup bermasyarakat dan bernegara pun akan baik pula.

Balai Kambang

Page 17: Contoh Esai Juara Temp0

Balai Kambang mengingatkan saya pada pendidikan yang sebenarnya. Berdiri di desa kecil di

Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Namun siswa datang dari berbagai daerah dan

kalangan. Balai kambang didirikan atas keprihatinan seorang kakak beradik terkait pendidikan

Indonesia yang semakin menapaki jurang kegelapan. Awalnya kakak-beradik tersebut

menginginkan putra-putrinya mendapatkan pendidikan yang layak. Begitu pula kondisi di

sekitar yang masih asing dengan bangkau sekolah. Kemudian mempunyai niatan untuk

mewadahi mereka agar dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang menggabungkan

antara ilmu agama dan sekolah formal. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah

Dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah

(MA) atau Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mereka

diwajibkan untuk tinggal di asrama. Di sana diajarkan kemandirian dan kreativitas.

Sebuah terobosan pendidikan di tengah konsepan sekolah yang masih grambyangan tanpa

arah yang jelas. Pengajaran di Balai Kambang menekankan pada ketulusan untuk tercapainya

sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar. Tak hanya melulu mengkaji ilmu agama, namun

juga ilmu sains. Di tengah tuntutan jaman yang serba modern dan canggih Balai Kambang

menyesuaikan dengan perubahan jaman. Namun, tetap tanpa melupakan esensi agama. Jika

setiap orang memahami akan agama masing-masing secara luas dan mengindahkan fanatisme,

kehidupan akan selaras.

Pelatihan-pelatihan ketrampilan juga semakin diberlakukan. Seperti, menjahit, merajut,

otomotif, berdagang, dan kerajinan tangan. Diungkap pengasuh yayasan, harapan mandiri

setelah lulus juga sangat diperhatikan pengajar. Mereka dibekali pengetahuan lebih setidaknya

untuk pegangan diri sendiri lebih-lebih orang disekitarnya.

Dalam pendidikan formal biasa, seorang guru diyakini menjadi orang yang bisa digugu lan

ditiru siswa. Kenyataannya, mereka hanya menjadi pengajar. Berbeda dengan di Balai

Kambang. Pengajar selain menjadi pengajar, juga menjadi pamong, pengasuh, dan pendidik.

Merajut Cita

Isu miring pendidikan Indonesia tak menjadikan semakin terpuruk. Tamparan tersebut sebagai

introspeksi semua elemen. Baik sang pemangku  kebijakan pendidikan dan rakyat biasa. Cita

pendidikan yang telah menjadi serpih-serpih daun kering yang siap diguncang angin mulai

terkumpul kembali. Banyak jalan untuk menuju Roma, begitu pula banyak jalan menuju

gerbang kemajuan pendidikan. Pendidikan tak hanya dari satu sisi yakni, pemerintah. Kita

dapat menjadi berpendidik dan bermoral dari manapun arahnya.

Page 18: Contoh Esai Juara Temp0

Balai Kambang menjadi salah satu terobosan pendidikan di Indonesia. Rakyat Indonesia harus

yakin akan pendidikan. Pendidikan bukan sebagai penentu kursi kekuasaan. Namun, melalui

pendidikan sebagai bekal ilmu untuk mengembangkan keahlian.

Cita yang terwujud tak selamanya harus ditempuh di jenjang yang eksklusif. Lebih-lebih

dengan biaya yang mahal. Bukan apa dan siapa yang dapat menentukan cita kita. Namun, kita

sendiri yang harus begerak. Jika setiap cita kecil selalu dirajut maka akan menjadikan

kekuatan besar. Kekuatan negara akan terbentuk dari generasi yang mau peduli dengan

kondisi negaranya.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Tradisi Lisan : Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau

Oleh: SITI RAHMANA - UNIVERSITAS SEBELAS MARET

 

 

Ringkasan :

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia

adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga

tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan

oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan (penuturan). Tradisi lisan

mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan

bermasyarakat maupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan  hadir di tengah-

tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai

aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang

dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat

dijumpai di dalam tradisi lisan.

—————

Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara, eksistensi

tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini

memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno

terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal

keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi

Page 19: Contoh Esai Juara Temp0

lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ada

beberapa gagasan yang dihadirkan. Diantaranya dengan pengaktualisasian tradisi lisan yang

dikemas dalam seni pertunjukan agat lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa

meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya, selain itu juga menciptakan “formula

baru” dengan membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya

sebagai ekstrakulikuler di sekolah, serta menggunakan tradisi lisan sebagai sumber

pengetahuan melalui “pendekatan historis”.

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia

adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga

tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan

oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan. Sebelum masyarakat Indonesia

mengenal tradisi tulis-menulis yang menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia

Kuno, masyarakat Indonesia telah lebih dulu mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup

pada masa tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat

tersebut memiliki kecendrungan dekat dengan alam, sehingga mereka berusaha

menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Hal ini memunculkan korelasi

yang erat antara peristiwa alam dengan cerita turun-temurun yang termuat dalam mitos,

legenda, dongeng, maupun folklore sebagai bagian dari tradisi lisan. Sehingga tradisi lisan

dapat dimaknai sebagai gagasan atau aktivitas yang dilakukan secara berkelanjutan, melalui

proses “penuturan” dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani

kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan  hadir di

tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari

berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma

yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat

dijumpai di dalam tradisi lisan. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan

belakangan ini mulai dipertanyakan. Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk

peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, terabainya tradisi lisan sudah

sepantasnya menjadi kekhawatiran bersama. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan

saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan

oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan

tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan

aspek ilmu pengetahuan.

Page 20: Contoh Esai Juara Temp0

Iklim globalisasi masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar bagi terciptanya masyarakat

modern Indonesia. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan cara berpikir masyarakat.

Lambat laun masyarakat tradisional mulai bertransformasi menjadi masyarakat modern.

Dimana segala sesuatu yang dilakukan masyarakat modern Indonesia mulai mengikuti pola

kebudayaan barat. Misalnya menjaring ikan menggunakan pukat harimau, cara hidup berbasis

teknologi ini lebih mengedepankan nilai keefektivitasan serta keefisiensian, tanpa menimbang

dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup. Perilaku masyarakat modern tersebut menjadi

salah satu penyebab menurunnya kesadaran akan identitas masyarakat Indonesia, dimana

masyarakat modern mulai meninggalkan budaya lokal pesisir yang menggunakan syair lagu

untuk memanggil ikan tangkapan. Menurunnya kesadaran identitas yang dimaksud, berupa

cara berpikir dan berperilaku layaknya orang Indonesia yang senantiasa menjaga serta

memelihara budaya lokal demi keselarasan masyarakat dengan lingkungan alamnya, seperti

yang tersirat dalam tradisi lisan. Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai

berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman.

Oleh karena itu, tradisi lisan mulai ditinggalkan sehingga  budaya lokal yang satu ini terancam

hilang dari peradaban nusantara.

Namun, anggapan yang menilai tradisi lisan tidak mampu bergerak secara dinamis merupakan

suatu kebohongan besar, mengingat hakikat tradisi adalah mengalami perkembangan yang

disesuaikan dengan jiwa zaman masyarakatnya. Bukan tidak mungkin tradisi lisan yang

terkesan kuno tersebut dikemas dengan lebih aktual mengikuti jiwa zaman saat ini. Cerita

rakyat, upacara, pantun, tarian rakyat, mantra, serta nyanyian rakyat dapat dikombinasikan

dan kemudian dikemas dalam seni pertunjukan lokal secara berkala. Aktualisasi tradisi lisan

yang dikemas dalam sebuah pertunjukan lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa

meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Terkhusus lagi, dapat membuka ruang

antusias yang tinggi terhadap tradisi lisan dikalangan generasi muda Indonesia. Sehingga

kegiatan ini dapat menghidupakan kembali “penuturan” yang dilakukan secara turun-temurun

di tengah masyarakat modern Indonesia.

Seiring dengan pengaktualisasian tradisi lisan dalam rangka menyelamatkan produk budaya

masa lampau, masalah lain yang muncul terkait dengan eksistensi tradisi lisan adalah belum

tersedianya generasi yang siap berkomitmen melestarikan tradisi lisan, pasca dikenalnya

aksara yang mendukung terciptanya tradisi tulis-menulis. Berkembangnya tradisi tulis-

menulis sejak ditemukannya prasasti di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi, ternyata

membawa pengaruh besar bagi keberlangsungan tradisi lisan. Hingga sekarang, disiplin ilmu

yang berkembang di Indonesia cendrung mengandalkan sumber tertulis daripada

Page 21: Contoh Esai Juara Temp0

menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, perlu adanya

“formula baru” untuk menghasilkan sumber daya manusia yang dibekali dengan kemampuan

khusus mempelajari tradisi lisan, sekaligus sebagai upaya mempersiapkan generasi pelopor

pelestarian tradisi lisan. “Formula baru” tersebut dapat diwujudkan dengan mengikutsertakan

tradisi lisan ke dalam lingkungan pendidikan, baik itu membuka studi khusus tradisi lisan di

perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah. Dengan begitu,

tradisi lisan mulai dikenal di dunia akademis, sehingga keberadaan tradisi lisan bisa lebih

diperkuat dengan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan akademisi.

Terakit displin ilmu di Indonesia yang cendrung menggunakan sumber tertulis, hal ini

memunculkan polemik tersendiri bagi posisi tradisi lisan yang juga sebagai sumber

pengetahuan. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keraguan terhadap

kebenaran informasi yang terkandung dalam tradisi “penuturan” ini. Tradisi lisan berupa

dongeng, hikayat, mantra, dan legenda lebih didominasi unsur “fantasi” dalam cerita,

sehingga tidak mudah membedakan antara fakta dan fiksi yang sebenarnya. Pada hakikatnya,

masyarakat pra-aksara belum mampu mendefinisikan suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu

pengetahuan. Sehingga cerita-cerita yang berkembang melalui “penuturan” senantiasa

disesuaikan dengan kemampuan berpikir, kebutuhan, dan kondisi masyarakat saat itu.

Masyarakat pra-aksara berusaha menyalurkan norma, nilai, hukum, kebiasaan, dan

pengetahuan yang berkembang saat itu melalui “penuturan” secara turun-temurun. Hal ini

didasari pada tingkat pengalaman dan pemahaman yang mereka dapati. Oleh karena itu tidak

sedikit ilmuwan berpendapat, bahwa tradisi lisan telah mengalami proses pewarisan dalam

waktu yang panjang sehingga tradisi lisan dimungkinkan mengalami distorsi. Alhasil, nilai

kebenaran dalam tradisi lisan lantas dipertanyakan.

Melalui kaca mata yang berbeda, saya mencoba untuk membalikan kenyataan. Kenapa tidak

tradisi lisan digunakan sebagai sumber pengetahuan, jika kita mampu menjadikan ritual

Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang

dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai

kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri

manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran

dalam ritual Hamis Batar, juga kebiasaan masyarakat mempersiapkan jagung yang memiliki

kualitas terbaik dari hasil panen untuk diikutsertakan dalam upacara adat, serta eksistensi nilai

dan norma yang ikut diwariskan secara turun-temurun melalui ritual Hamis Batar. Dengan

melakukan “pendekatan historis” untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa

Page 22: Contoh Esai Juara Temp0

menemukan pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan

identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.

Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat

diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk

menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk aktivitas yang

berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut

mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang

berkembang di wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan

mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa

lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya

pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar budaya nusantara,

maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi

“penuturan” ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang

dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis

sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi “penuturan”, serta

menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode ilmiah

dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat

diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga,

masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat digunakan sebagai

pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Menjadi Indonesia Lewat “Rumah Pelangi” di Bantaran Sungai Bengawan

Oleh: SEPTI DIAH PRAMESWARI - UNIVERSITAS PARAMADINA

 

Hawa dingin di pagi itu tak menyurutkan langkah seorang gadis muda untuk keluar rumah.

Dialah yang sering dipanggil “Ustadzah Ida” oleh anak-anak kecil di kampung mereka.

Seorang gadis lulusan SMA, tapi punya semangat tinggi untuk berbagi dengan sekitarnya. Ia

terus melangkah, menyusuri tanggul dan berhenti di sebuah rumah mungil di pinggir tanggul.

Meski mungil, rumah itu terlihat ada nuansa ceria yang melingkupinya. Mungkin karena cat

Page 23: Contoh Esai Juara Temp0

warna-warni di dindingnya. Mungkin juga karena suara keceriaan anak-anak yang terdengar

keluar. Di depan rumah mungil itu terpampang papan putih bertuliskan “Rumah Pelangi”

dengan huruf berwarna-warni. Apa itu Rumah Pelangi?

Ceritanya berawal saat banjir besar melanda sebagian besar Solo yang dekat dengan bantaran

sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya di akhir tahun 2007 silam. Kejadian itulah

yang menjadi awal perjuangan gadis bernama Ida yang tinggal di kampung Sawangan, di

pinggir kota Solo. Waktu itu, dia masih duduk di bangku putih abu-abu. Rumahnya ikut

terendam air bah hingga setinggi lima meter. Banjir yang datang tiba-tiba di pagi buta itu

tanpa isyarat, sehingga hanya pakaian yang menempel di badannyalah yang dapat

diselamatkan. Bantuan materiil berupa selimut, tenda, bahan makanan segera datang dari

berbagai pihak tak kurang dari 12 jam setelah air bah datang. Namun, kesedihannya belum

terobati karena buku-buku pelajaran dan ijazahnya mulai SD-SMP sekaligus sertifikat-

sertifikat penghargaan yang ia miliki ikut terendam banjir. Tidak hanya itu, ayahnya yang

sudah lama sakit tiba-tiba meninggal dunia. Dua hari setelah air bah surut dan ia mulai

membersihkan rumahnya bersama sang ibu, lagi-lagi air bah kembali datang menghampiri.

keadaan seperti itu berlangsung hingga 4 kali dalam 2 pekan. Ia putus harapan. Ia berniat tak

akan kembali ke sekolah.

Keadaan mulai berangsur normal setelah sebulan berlalu, air bah tak datang-datang lagi. Ia

membangun asa kembali setelah tersadar bahwa lingkungannya membutuhkan kehadiran dia

dan orang-orang sepertinya. Ia kembali ke sekolah, tapi sekarang tidak hanya sekolah

aktivitasnya sehari-hari. Ia tersadar ketika melihat anak kecil yang setenda dengannya di camp

pengungsian saat bencana banjir menghampiri. Anak itu masih duduk di bangku kelas 1 SD.

Namanya Eka. Eka kecil selalu merajuk pada ibunya agar diantar ke sekolah. Setiap kali ingat

sekolah, Eka kecil merajuk. Ibunya bukan malas mengantar Eka kecil ke sekolah, tapi yang

menjadi sebab ialah sekolah Eka kecil ikut terendam banjir. Kerusakan bangunan sekolahnya

pun tergolong parah, sehingga memakan waktu yang lumayan lama untuk membenahinya.

Namun, Eka kecil tak paham tentang keadaan itu. Eka kecil sering menangis meraung hanya

karena ia tak dapat pergi ke sekolah. Hingga suatu pagi suara tangis Eka kecil tak terdengar.

Eka kecil ternyata sakit. Ida begitu terharu melihat keadaan Eka kecil yang begitu antusias

pergi ke sekolah meski suhu badannya tinggi. Berbeda dengan dirinya yang kehilangan

semangat untuk melanjutkan sekolah.

Melihat Eka kecil sakit, ia bertanya pada Eka kecil dan sungguh jawaban mulut mungilnya

membuat hujan di hati gadis itu semakin deras. Eka kecil menjawab, “Eka kepingin sekolah,

mbak. Eka wedi dadi cah bodho. Eka kepingin dadi dokter. Dadi dokter kudu pinter yo,

Page 24: Contoh Esai Juara Temp0

mbak?”[1] Dari Eka kecil ia belajar. Ia bulatkan tekad untuk meraih cita-citanya. Bukan

hanya untuk sekolah, tapi ia mengabdikan dirinya untuk mengajar Eka kecil dan teman-

temannya.

Hari itu juga Ida bertekad untuk punya semangat yang tinggi layaknya Eka kecil. Di tenda

pengungsian, ia kumpulkan teman-teman Eka kecil, tentu saja bersama Eka untuk belajar dan

bermain bersama. Hal itu disambut dengan antusiasme yang tinggi, baik dari orang tua

maupun anak-anak sendiri. Selain belajar dan bermain, Ida sering mendongeng untuk anak-

anak. Ida yakin lewat dongeng, Ida dapat berbagi banyak hal dengan anak-anak. Rutinitas itu

berjalan tidak hanya saat di tenda pengungsian. Setelah rumah mereka dapat di huni kembali,

kegiatan bersama anak-anak itu tetap berlanjut di rumah Ida. Jika saat di tenda kegiatan itu

berlangsung di siang hari, namun saat di rumah Ida kegiatan itu dilakukan di sore hari

mengingat Ida pun sudah harus kembali ke sekolah. Sebagian besar anak-anak yang ikut

kegiatan Ida belum dapat kembali ke sekolah karena sekolah mereka belum selesai dibenahi.

Beberapa minggu kemudian, saat anak-anak sudah mulai kembali ke sekolah, Ida berpikir

bahwa waktunya berbagi dengan anak-anak sudah selesai. Namun, dia kembali berpikir,

kenapa ia harus berhenti untuk ikut serta membantu mencerdaskan putra-putri bangsa ini.

Akhirnya Ida tetap membuka rumahnya untuk menjadi rumah singgah bagi anak-anak. Ida

mencari donatur buku-buku bacaan anak agar anak-anak mendapat tambahan ilmu dari buku-

buku bacaan. Ida sadar, jika hanya mengandalkan orang tua anak-anak tersebut, mereka hanya

akan dapat membaca buku dari sekolah. Ekonomi orang tua mereka yang sulit, mengingatkan

bahwa dapat menyekolahkan anak-anak mereka pun sudah termasuk kebahagiaan tersendiri.

Di lingkungan Ida, hanya segelintir orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya hingga

lulus SMP apalagi SMA. Hal ini juga yang mendorong Ida untuk tetap berbagi dengan anak-

anak di sekitarnya.

Sekarang Ida telah lulus SMA, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di salah

satu perguruan tinggi di kotanya. Kesibukan sebagai mahasiswa tidak menghalanginya

melakukan aktivitas dengan anak-anak di rumah singgahnya. Lewat jerih payah Ida mencari

donatur dan mengumpulkan uang pribadinya, Ida berhasil menyewa satu ruangan kecil untuk

rumah singgahnya, tepat di bibir tanggul Bengawan Solo. Di rumah itu ia habiskan waktu

bersama anak-anak. Membagi semangat, membagi cerita dan berdongeng untuk anak-anak.

Rumah itu ia beri nama ‘Rumah Pelangi”, di mana ia berharap lewat rumah itu anak-anak di

sekitarnya mampu melihat indahnya pelangi cita-cita mereka. Cita-cita mereka yang beragam

yang tergantung di langit layaknya pelangi beraneka warna yang sering terlihat di atas riak-

riak Bengawan Solo. Lewat usaha Ida juga, teman-teman Ida tertarik menjadi sukarelawan

Page 25: Contoh Esai Juara Temp0

untuk berbagi bersama anak-anak kampung di Rumah Pelangi. Tidak hanya materiil yang

mereka bagi, tapi waktu, perhatian, semangat dan cita-cita pun mereka bagi. Sekarang Rumah

Pelangi tak pernah sepi dari aktivitasnya. Penulis yakin, di luar sana ada seribu Ida yang

peduli dengan Indonesia. Semoga terus tumbuh Ida-Ida yang lain di berbagai bidang, yang

peduli dengan masa depan anak-anak bangsa.

[1] “Eka ingin sekolah, mbak. Eka takut jadi anak bodoh. Eka ingin jadi dokter. Jadi dokter

harus pintar kan, mbak?”

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Kurikulum Sekolah Bagi Si Miskin di Pedalaman

Oleh: FIRDAUS - Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli

Ringkasan:

Salah satu faktor tingginya jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan oleh kurang

trampilnya warga negaranya. Dengan kata lain, penduduk Indonesia tidak bisa memenuhi

tuntutan kerja dewasa ini karena latar pendidikan dan skill yang tidak memadai. Akibatnya,

hal tersebut juga berdampak pada terus meningkatnya angka kemiskinan di Republik kita

tercinta ini.

Pendidikan bukan hanya sekedar menjadi wacana untuk digembar-gemborkan melalui

berbagai program yang tidak tepat sasaran. KTSP yang menjadi kurikulum pendidikan

nasional di Indonesia perlu dipertimbangkan lagi ke-efektifitasannya, mengingat, masih

banyaknya sekolah-sekolah di pedalaman yang tidak ditunjang oleh fasilitas yang lengkap,

SDM guru yang tidak bisa memanfaatkan fasilitas atau media belajar yang sudah ada pun

perlu dibenahi, dan otonomi yang ada dalam KTSP sendiri untuk membebaskan para guru

menyusun bahan ajar sendiri sesuai dengan daerah masing-masing meski harus mengacu pada

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan di bawah pengawasan dinas kabupaten atau

kota, tidaklah sesuai dengan ujian akhir nasional yang kadang soal-soalnya bertentangan

dengan apa yang selama 3 tahun dipelajari oleh para siswa di sekolah mereka masing-masing.

Page 26: Contoh Esai Juara Temp0

Adapun beberapa solusi agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik ke depan,

penulis menawarkan beberapa gagasan, yaitu: lahirkanlah guru-guru yang profesional,

kurangi jumlah mata pelajaran yang terlalu ‘gemuk’, dan stop KKN serta jangan politisir

dunia pendidikan.

 

Kebodohan itu dekat dengan kemiskinan, kemiskinan adalah tetangganya si zalim atau si

‘pencipta onar’! Dan manusia yang zalim, buruk peranggai serta biadab tingkah lakunya

tentulah akan disambut oleh malaikat Malik di pintu neraka! Di samping itu, jika bangsa ini

dihuni oleh “para kaum dungu dan buruk peranggai”, maka di hari ulang tahun negara

Republik Indonesia yang ke-400 pun, negara ini masih saja dihiasi oleh demo-demo masalah

keanaikan BBM, demo yang menuntut kenaikan upah buruh, dan berita-berita mengenai TKI

yang disiksa di luar negeri karena ketidakmapanannya manusia-manusia yang menghuni

negara ini walau hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang primer (pokok).

Nah, salah satu cara membebaskan para manusia yang mengantongi kartu tanda penduduk

(KTP) Republik Indonesia dari kebodohan adalah melalui pendidikan. Pandidikan adalah

jembatan yang menhubungkan ilmu pengetahuan dengan kesejahteraan dan si manusia yang

berbudi luhur. Namun, bagaimana kiranya warga negara kita hendak melalui jembatan

pendidikan tersebut jika pemerintah tak membangun jembatan-jembatan itu secara adil di

seluruh penjuru Indonesia. Oke, kita patut berbangga dengan adanya sekolah-sekolah

unggulan sekarang, contohnya beberapa sekolah yang ada di Aceh, dan Pidie khususnya, di

tempat penulis berdomisili, seperti: SMP dan SMA Unggul Sigli yang dulunya dibangun pada

tahun 2007 oleh Swiss Red Cross paska musibah tsunami yang diperuntukan bagi anak-anak

korban tsunami dan konflik, tapi kini justru menjadi sekolah bagi anak-anak kaum pengusaha,

pejabat, dan pegawai negeri yang berpangkat!

Dan jika pun ada beberapa sekolah unggul atau sekolah yang bertaraf internasional di negara

kita yang tercinta ini, coba kita tanyakan lagi pada diri kita masing-masing, berapa persenkah

anak-anak di seluruh pelosok nusantara mampu bersekolah di sekolah-sekolah elit tersebut?

Jawabannya tentu saja sangat SEDIKIT dan hanya bagi mereka-mereka yang punya orang tua

kayalah yang mampu menikmati pendidikan yang layak dan berkualitas.

Sistem pendidikan di negara ini pun sungguh luar biasa hebatnya! Tahukah Anda kenapa? Ya,

karena persoalan ujian nasional dan kurikulumnya yang persis sama seperti seorang penderita

penyakit kurap dan panu yang sengaja menutupi tubuhnya dengan baju agar tak terlihat

penyakit memalukan itu oleh orang lain. Sudah menjadi rahasia umum jika ujian nasional

yang diberlakukan oleh pemerintah adalah ibarat “sinetron remaja” yang dibagian

Page 27: Contoh Esai Juara Temp0

pembukanya tertulis beberapa kalimat, seperti berikut: “Ujian ini adalah fiktif belaka. Apabila

ada kesamaan cerita, tempat, dan tokoh, hal tersebut tidaklah disengaja!”

Adapun maksudnya adalah semua elemen masyarakat, praktisi pendidikan, sampai tukang

parkir pun tahu jika ujian nasional tidaklah objektif. Kunci jawaban berhamburan ketika ujian

fiktif ini diselenggarakan. Semua sekolah berlomba-lomba meluluskan semua siswa-siswa

mereka tanpa mempersoalkan fair atau tidak fairkah ujian itu sendiri, yang terpenting LULUS

100%. Nama baik sekolah dan posisi seorang kepala sekolah pun ikut dipertaruhkan dalam

ujian yang diberlakukan setahun sekali ini. Provinsi menyurati dinas pendidikan kabupaten,

dinas kabupaten kemudian membagikan maklumat “kramat” kepada semua kepala sekolah

yang berada di bawah naungannya tersebut. Apabila hasil ujian nasional disatu sekolah

tertentu mengecewakan dinas dan provinsi, maka sang kepala sekolah siap-siap untuk

dimutasi alias ‘angkat koper’ ke sekolah pedalaman atau sekolah yang letaknya di daerah

terpencil. Anehnya lagi, di koran pun, semua sekolah berlomba-lomba memasang target

kelulusan untuk ujian nasional pada bulan-bulan sebelum ujian nasional terselenggara sebagai

simbol pretise belaka.

Kurikulum nasional yang di adaptasi oleh semua sekolah di Indonesia sekarang ini

sebenarnya tidaklah efektif dan selalu tidak tepat sasaran. Mengapa demikian? Nah, mari kita

telaah terlebih dahulu apa itu kurikulum dan seperti apakah kurikulum pendidikan di

Indonesia saat ini. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan tujuan mengenai tujuan, isi,

dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai rambu-rambu (pedoman) dalam proses belajar

mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran itu sendiri. Sejak tahun 2006, kurikulum tingkat

satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum pendidikan nasional yang telah diputuskan oleh

pemerintah.[1] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sendiri merupakan model

kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK). Dalam meng-implementasi KTSP, guru diberikan kebebasan untuk

menyusun bahan ajar sendiri. Lebih lanjut, KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun

dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP juga dikembangkan sesuai

dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan

supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.[2]

Dari gambaran tentang definisi KTSP di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum ini

memberikan otonomi khusus bagi sekolah (dewan guru) untuk menyusun bahan ajar sendiri

walaupun harus mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan berada di

bawah supervisi dinas pendidikan Kabupaten/Kota. Namun dalam pelaksanaan KTSP di

sekolah-sekolah tidaklah seindah konsep KTSP yang telah tersusun sedemikian rupa.

Page 28: Contoh Esai Juara Temp0

Contohnya, banyak ditemui sekolah-sekolah yang sama sekali tak mampu meng-aplikasikan

KTSP karena fasilitas belajar yang tidak memadai, tapi uniknya lagi, ada pula sekolah yang

punya fasilitas lengkap bantuan pemerintah, justru tak menggunakan media belajar tersebut

dikarenakan oleh dari sumber daya manusia (SDM) guru yang tidak layak pakai.

Untuk lebih jelas, di sini penulis mencoba mengambil satu contoh  sekolah yang terletak

disekitar tempat tinggal penulis sendiri, yaitu: SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan.

Sekolah tersebut berada langsung di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie,

Provinsi NAD. SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan terletak pedalaman daerah

pesisir yang mayoritas penduduk di sekitar bekerja sebagai petani garam dan nelayan. Ketika

penulis mendatangi sekolah ini untuk melengkapi salah satu tugas liputan (berupa video)

untuk memenuhi tugas mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran, penulis sempat

mewawancarai sang kepala sekolah SMP tersebut. Berikut, adalah beberapa poin dari

penggalan percakapan penulis dan kepala sekolah SMP Negeri 2 Kembang Tanjung Desa

Arusan, yang bernama: Ibu Mardussana, S.Pd.

Penulis : “Sejauh mana implementasi KTSP di sekolah ini dan adakah kendala yang ditemui

di dalam kelas saat proses belajar mengajar dengan mengadaptasi kurikulum tersebut?”

Ibu Mardussana, S.Pd : “KTSPkan tentang sekolah kami sendiri, misalnya untuk sekolah

kami punya lima belas mata pelajaran, jadi untuk pengembangan kurikulum, kami bisa

menambahkan beberapa mata pelajaran muatan lokal, seperti: fiqih dll.”

Penulis : “ Bagaimana dengan jumlah guru di sini?”

Ibu Mardussana, S.Pd : “Guru melebihi karena jumlah siswanya kurang. Jumlah murid hanya

113 dari kelas 1 sampai dengan kelas 3.”

Penulis : “Apakah guru di sini mengajar sesuai dengan disiplin ilmu meraka masing-masing?”

Ibu Mardussana, S.Pd : “Misalnya begini, kamikan kadang-kadang guru-gurunya

perjurusankan lebih, kadang-kadang dijurusan yang lain tidak ada. Misalnya, TIK tidak ada

ahlinya, tapi ada guru ekonomi yang bisa pegang TIK, jadi kami kasih guru yang pegang

ekonomi itu mengajar TIK.”

Penulis : “Bagaimana dengan jumlah kelulusan siswa dalam ujian nasional tahun ini?”

Ibu Mardussana : “Alhamdullilah, sekolah kami lulus 100%.”

SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan bisa dikatakan minim peminat dikarenakan

faktor  tempat yang terletak dipedalaman dan juga anggapan negatif para orang tua siswa

terhadap kualitas sekolah ini. Hal tersebut dikatakan langsung oleh kepala sekolah, Ibu

Mardussana, S.Pd. Beliau juga menambahkan, “Dinas sudah menetapkan rayon masing-

masing, tetapi kadang-kadang orang tua menganggap sekolah di kecamatan lebih bagus.”

Page 29: Contoh Esai Juara Temp0

 

Dari segi fasilitas belajar, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kembang Tanjong Desa

Arusan hanya memiliki 1 Lab. IPA dan 1 perpustakaan, namun SMP Negeri 2 Kembang

Tanjong Desa Arusan adalah salah satu sekolah yang bisa meluluskan 100% siswa-siswanya

meskipun KTSP di sana berjalan terseok-seok sebab kurangnya fasilitas dan SDM guru.

“100% ajaib!”

Untuk keluar dari kesembrawutan sistem pendidikan nasional, maka penulis ingin

menawarkan beberapa gagasan, yaitu: guru yang mengajar di sekolah bukanlah guru jadi-

jadian, sekolah di Indonesia jangan lagi ‘egois’, dan pemerintah harus ekstra peduli terhadap

nasib-nasib sekolah di negara ini.

Mengacu pada poin yang pertama, menganai tenaga pengajar (guru) hendaknya haruslah

betul-betul profesional. Jika bisa, para guru yang diseleksi untuk menjadi pegawai negeri

bukan hanya menjawab soal-soal di kertas saja, tapi teslah juga kepribadian mereka. Bisakah

calon-calon guru tersebut menguasai kelas dan memotivasi para muridnya nanti? Karena

mengajar bukanlah hanya sekedar menstranfer ilmu saja, tapi membuat siswa mau peduli

untuk belajar jauh lebih penting agar para guru nanti tidak menguraikan dan menjelaskan

materi pelajaran pada dinding-dinding kelas, tapi mereka harus bisa menggerakkan para siswa

untuk peduli pada materi yang sedang diajarkan. Dan para guru haruslah mengajar sesuai

dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Jangan lagi ada guru Ekonomi mengajar mata

pelajaran teknologi informasi dan komunisi ataupun guru bahasa daerah yang mengajar

pelajaran bahasa Inggris.

Kedua, hendaknya jumlah mata pelajaran janganlah terlalu banyak karena hal tersebut

tidaklah mungkin ter-kaver oleh anak-anak Indonesia yang kebanyakan menderita “gizi

buruk”. Arahkan mereka sesuai minat dan bakat mereka masing-masing. Hal tersebut justru

lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu.

Yang terakhir, stop KKN dan jangan politisir dunia pendidikan! Pemerintah harus lebih peduli

tentang nasib jutaan anak manusia yang akan menjadi kunci maju atau tidaknya bangsa ini di

masa yang akan datang. “Peduli” di sini bukan hanya sekedar menciptakan program

sebanyak-banyaknya tapi tidak tepat sasaran, contohnya: sertifikasi guru yang sampai dengan

hari ini tak jua memperlihatkan dampak positif yang signifikan untuk dunia pendidikan

Indonesia, pelatihan-pelatihan jangka pendek yang menghabiskan banyak biaya, dan lain-lain,

tetapi tugaskanlah atau berikanlah posisi-posisi yang berkenaan dengan dunia pendidikan

pada ahlinya, bukan hanya pada manusia-manusia yang punya kerabat dengan pejabat

tertentu. Jika salah menempatkan orang sesuai dengan bidang masing-masing bukanlah

Page 30: Contoh Esai Juara Temp0

perubahan yang akan didapatkan, tapi MALAPETAKA yang selalu hadir di tengah-tengah

kamuflase peningkatan mutu pendidikan Indonesia.

 

[1] Eka L. Koncara, “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),” UPTD Pembinaan TK-

SD PLS KEC. PLERED, (2010), hal. 2.

[2] Jumadi, “Pengertian KTSP dan Pengembangan Silabus dalam KTSP,” (Makalah

disampaikan pada pelatihan dan Pendampingan Implementasi KTSP di SD Wedomari).

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

“Bacalah Kudai” ( sebuah kisah taman bacaan di negeri antah berantah)

Oleh: ELSA RESTRIANA - UNIVERSITAS GADJAH MADA

 

Ringkasan:

Isi essay menceritakan tentang pengalaman si penulis sendiri sewaktu mendirikan  taman 

bacaan di lokasi praktek kuliah kerja nyata ( KKN) penulis pada waktu itu. Penulis

menemukan fakta bahwa sebenarnya bukan karena malas, orang Indonesia itu membaca buku,

tetapi bisa jadi aset dan akses yang dibutuhkan untuk mendapatkan buku bacaan bermutu

memang sangatlah minim. Penulis pun mengharapkan keberadaan Taman Bacaan  tidak

hanya sebagai tempat membaca atau meminjam buku saja. Justru keberadaanya seharusnya

dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengembangan nilai seni dan budaya kita ataupun

tempat diskusi pertukaran ilmu dan pengetahuan.

 ———-

“ayuk[1] mokase yoh buku-bukunyo, aku jadi men balek sekolah idak maen layangan lagi,

mampir kudai ke sini, baco buku dulu ( ayuk, terimakasih yah buku-bukunya, sekarang tiap

pulang sekolah aku tidak main layangan lagi, tapi mampir dulu kesini, baca buku dulu)

Page 31: Contoh Esai Juara Temp0

Saya bingung, terharu dan sekaligus senang mendengar perkataan anak kecil di hadapan saya

barusan tersebut. Sebegitu tertarikkah anak-anak di desa ini dengan buku-buku bacaan yang

saya bawa, sehingga mereka bisa melupakan sejenak permainan layang-layang mereka yang

hampir dikata setiap hari sehabis pulang sekolah anak-anak disini menghabiskan waktu

mereka untuk bermain disini. Padahal buku-buku yang kami bawa ini sebagian besar buku-

buku lama yang diberikan secara cuma- cuma oleh perpustakaan kota Yogyakarta. Melihat

mereka sampai sebegitunya hati saya terenyuh, saya tidak menyangka taman bacaan ini begitu

dinantikan oleh anak-anak di desa ini.

Kejadian itu terjadi sudah lebih dari setahun yang lalu. Tepatnya di tahun 2011, di tahun itu

untuk pertama kalinya saya melaksanakan praktek Kuliah Kerja Nyata ( KKN) yang

diselenggarakan oleh pihak universitas saya. Program KKN itu sendiri merupakan mata

kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dan merupakan salah satu syarat

kelulusan. Ketika itu saya ditempatkan di  kota Pagar Alam, provinsi Sumatera Selatan.

Memang tidak banyak orang yang mengenal tempat ini atau mungkin malahan ada yang tidak

menyangka kalau tempat ini ada di dalam wilayah Indonesia. Hal itulah yang saya alami,

ketika banyak teman-teman lain yang menanyakan dimana lokasi KKN saya berada. Malahan

ada beberapa teman yang mengatakan jangan-jangan saya ini sedang KKN di negeri antah

berantah. Saya pun, walaupun orang asli Sumatera bahkan tidak pernah mengunjungi tempat

ini, hanya mendengar namanya saja tetapi tidak pernah secara langsung dan sengaja

mengunjungi tempat ini. Dikarenakan memang lokasinya yang cukup jauh dari kota

Palembang sendiri dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam dari kota Palembang, belum lagi

ditambah dengan medan yang terjal, kanan kiri curang, dan daerah perbukitan yang rawan

longsor, sehingga membuat orang berpikir dua kali untuk mengunjungi daerah ini walaupun

daerah ini sebenarnya menyimpan banyak potensi pariwisata di dalamnya, baik wisata alam,

budaya, ataupun sejarah di daerah ini. Karena bisa dibilang daerah ini kaya akan peninggalan

prasejarah zaman Megalithikum.

Tema program KKN yang diusung oleh kelompok saya ialah mengenai pengembangan

potensi pariwisata. Saya dan 23 orang teman saya lainnya ditempatkan di Kelurahan Pagar

Wangi, desa Tegur Wangi Baru. Kebetulan desa ini menyimpan salah satu peninggalan

Megalithikum di dalamnya. Selain menjalankan program-program utama yang sesuai dengan

tema di atas, kami pun menjalankan program tambahan di luar tema utama berbasiskan

kepada pengabdian masyarakat. Salah satu program yang kami jalankan disana ialah program

pembuatan taman bacaan. Program inilah yang nantinya akan mengantarkan kita kepada

cerita di awal tadi.

Page 32: Contoh Esai Juara Temp0

Awalnya sebelum program ini dijalankan, saya dan teman-teman sempat pesimis, apakah

program ini akan sukses, apakah masyarakat akan menerima, apalagi mengingat buku bacaan

yang akan kami bawa nanti jumlahnya sangatlah minim. Pada waktu itu kami hanya

mengandalkan sumbangan dari teman-teman di kampus, beruntung H-3 sebelum kami akan

berangkan KKN, kami mendapatkan bantuan buku sebanyak dua kardus berukuran sedang

dari Perpustakaan kota Yogyakarta walaupun buku-buku yang diberikan kepada kami

merupakan buku-buku cetakan lama, tapi tidak apalah, toh setidaknya buku ini masih cukup

relevan untuk dibaca hingga saat ini. Ketika program akan disosialisasikan ke warga pun kami

pun mendapatkan kendala mengenai tempat atau lokasi yang akan dijadikan taman bacaan.

Kami baru sadar bahwa untuk membuat taman bacaan dibutuhkan lokasi yang cukup

mumpuni untuk dijadikan tempat menaruh koleksi-koleksi buku ini dan tempat yang nyaman

untuk anak-anak ataupun orang dewasa yang ingin membaca buku ini. Beruntung, ada salah

satu warga yang merelakan bagian bawah rumah panggungnya yang biasanya dijadikan

sebagai gudang, beliau relakan untuk digunakan sebagai tempat berdirinya taman bacaan

tersebut tanpa kami harus membayar ganti rugi sepeser pun, melihat bantuan dan dukungan

dari masyarakat yang begitu besar. Saya optimis bahawa taman bacan ini akan diterima dan

akhirnya setelah lokasi taman bacaan didapatkan, kami pun mulai mensosialisasikan hal ini

kepada warga. Respon yang kami dapatkan pun sesuai dengan harapan kami di awal tadi.

Taman bacaan ini pun kami beri nama “ Bacalah Kudai”. Kudai merupakan bahasa setempat

yang sering digunakan oleh orang-orang setempat untuk mengajak orang-orang yang lewat di

depan rumah mereka, untuk singgah atau sekadar mampir sebentar sambil minum kopi

dahulu. Kurang lebih dapat diartikan sebagai “mampirlah dulu”,begitupun alasan filosofis

kami memilih nama ini, kami sangat mengharapkan siapa saja yang lewat di depan taman

bacaan ini dapat meluangkan waktunya sejenak untuk mampir sejenak sambil membaca buku

walaupun belum ada secangkir kopi hangat yang menemani, tetapi setidaknya itu merupakan

seruan kepada warga yang lewat untuk mampir sejenak kemari.

Tiga bulan pertama setelah kami meninggalkan lokasi KKN, kami masih sempat

mendapatkan kabar dari pengurus taman bacaan tersebut sekaligus Karang Taruna setempat

yang kami titipkan dan serahkan untuk menjadi pengurus taman bacaan tentang kondisi taman

bacaan kami tersebut. Tapi setelah 6 bulan kami tidak mendapatkan kabar apa-apa. Setahun

berlalu, tepatnya bulan juni lalu tepat setahun KKN saya. Saya pun menyempatkan diri untuk

mampir lagi ke tempat KKN saya dulu, dari kabar yang saya dengar, taman bacaan itu

memang sudah sepi peminatnya, oleh karena itu akhirnya pengurus Karang Taruna setempat

mengambil inisiatif menjadikan taman bacaan tersebut sebagai lokasi PAUD ( Pendidikan

Page 33: Contoh Esai Juara Temp0

Anak Usia Dini). Perasaan saya waktu itu bingung dan sulit sekali menjelaskannya, sedih iya

karena taman bacaan itu menjadi lokasi PAUD, tetapi senang juga ada karena menurut

pengakuan Karang Taruna setempat berkat taman bacaan inilah, ide untuk mendirikan PAUD

di desa ini muncul. Mereka pun sebenarnya memang menyayangkan animo masyarakat

terutama anak-anak disini terhadap taman bacaan semakin lama semakin menurun, mungkin

memang karena kondisi buku yang lama tidak diperbaharui. Mereka pun sudah berusaha

mencari bantuan kemana-mana tetapi sampai sekarang tidak ada bantuan yang turun, maka

dari itu menurut mereka daripada taman bacaan ini dibiarkan mubazir begitu saja maka

mereka mengubahnya menjadi PAUD. Lokasi PAUD ini pun dipindah, yang tadinya di taman

bacaan “ Bacalah Kudai”, dipindah di dekat Madrasah Ibtidaiyah ( MI) di desa tersebut,

kebetulan ada bangunan kosong bekas gudang di MI tersebut, yang kemudian setelah

diperbaiki akhirnya dipergunakan sebagai lokasi PAUD tersebut dan “bacalah kudai”

teronggok begitu saja di bawah rumah panggung warga.

“yuk, yuk, ayuk kesini nak bikin taman bacaan lagi, ado buku baru dak yuk, kalo ado buku

baru aku nak tiap balek sekolah nak ke “bacalah kudai” lagi”  ( yuk..yuk.ayuk kesini mau

bikin taman bacaan lagi, ada buku baru gak, kalau ada nanti tiap pulang sekolah aku mau ke “

bacalah kudai “ lagi) ucap anak-anak kecil di desa itu dengan riang

Lagi-lagi saya hanya mampu menatap mereka satu persatu-satu dengan senyum getir saya

katakan: “ nanti yah, “ bacalah kudai” jadi PAUD dulu, gek kalu ado buku baru, “bacalah

kudai” pasti ado lagi. ( nanti yah, “bacalah kudai” jadi PAUD dulu, nanti kalau ada buku

baru, “bacalah kudai pasti ada lagi)

Sepertinya, anggapan bahwa orang-orang Indonesia itu malas membaca buku, tidak semuanya

benar 100% dapat kita percayai. Mungkin, bukan malas lebih tepatnya, tetapi akses dan

kesempatan untuk mendapatkan buku bacaan yang bermutu dan berkualitas itu belumlah ada 

dan menyentuh lini masyarakat Indonesia. Apalagi dengan kondisi wilayah Indonesia yang

cukup luas. Masih banyak penduduk kita di belahan bumi Indonesia lain yang merindukan

buku-buku bacaan segar sebagai makanan jiwa dan otak mereka. Taman Bacaan pun tidak

semestinya dikonotasikan hanya sebagai tempat membaca dan meminjam buku belaka, tetapi

tempat diskusi pertukaran ilmu dan informasi dapat terjadi di dalamnya atau mungkin sebagai

pusat pelatihan kebudayaan dan seni. Itulah gambaran ideal taman bacaan yang saya

harapkan. Tidak hanya tempat membaca buku, teapi juga pusat kegiatan edukatif di luar

kegiatan formal anak-anak di sekolah. Ahh…andai itu terjadi yah untuk saat ini saya hanya

mampu mengangankannya, walaupun mungkin di beberapa tempat mungkin sudah ada model

taman bacaan seperti itu, tapi yah itu tidak semuanya dapat dijangkau oleh jutaan warga di

Page 34: Contoh Esai Juara Temp0

Indonesia. Di Yogyakarta saya sendiri, saya sempat menemukan taman bacaan dengan model

seperti itu, jadi di samping taman bacaan, di dalamnya juga ada sanggar kesenian dan

keterampilan untuk anak-anak. Saya harapkan juga nantinya “ Bacalah Kudai” dapat

berkembang menjadi seperti itu.

Sebelum saya pulang, salah satu pengurus karang taruna disana sekaligus pengurus taman

bacaan disana mengatakan kepada saya, bahwa tahun depan “bacalah kudai” pasti akan ada

lagi dengan lokasi yang sama dimana PAUD tersebut berdiri sekarang. Sambil tersenyum

pahit dan getir, apalagi mengingat keadaan “bacalah kudai” sekarang,  saya katakan

kepadanya untuk tidak usah menghibur saya. Dengan tegas, dia menjawab, bahwa apa yang

dia katakan barusan bukanlah bermaksud menghibur tapi ini benar-benar janji karena bagi

mereka “bacalah kudai” sudah mengubah segalanya di desa ini dan sudah menjadi bagian dari

desa ini, “bacalah kudai” ada di hati warga di desa ini. Saya yang tadinya hanya tersenyum

getir berubah menjadi ceria kembali, saya katakan kepadanya satu tahun lagi saya akan

kembali kesini menagih janji yang dia ucapkan ke saya. “Bacalah Kudai” oh “Bacalah Kudai”

kisahmu semoga tidak berakhir begitu saja dan saya harap akan ada kudai kudai yang lainnya

di desa lain.

 

 

[1] Ayuk: panggilan untuk kakak perempuan di Sumatera Selatan

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Pesan Keteguhan dari Pulau Lombok

Oleh: FATIMAH ZAHRA - UNIVERSITAS PARAMADINA

Ringkasan

Esai ini bercerita tentang warga Ahmadiyah Lombok yang sudah mengungsi di Transito sejak

2006 yang belum ada kejelasan nasibnya hingga kini. Mereka mengalami hambatan ekonomi

dan sosial, tak bisa pulang ke rumah asalnya. Namun, para pengungsi teguh dalam hadapi

segala tekanan dan pengacuhan.

 

——————————

Page 35: Contoh Esai Juara Temp0

PERTENGAHAN SEPTEMBER 2012 lalu saya berkesempatan berkunjung ke Transito,

tempat pengungsian Ahmadiyah di Lombok. Letak asrama Transito tak jauh dari pusat kota

Mataram, eks gedung transmigrasi. Ada lebih seratus warga Ahmadiyah mengungsi di sana.

Sehari-hari mereka menetap di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain-kain bekas spanduk

sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain. Tiap keluarga – ayah-ibu

serta anak-anaknya – tinggal di ruang petak berukuran 3×3 meter berbatas kain itu. Mereka

berbagi tidur, anak-anak belajar, dan memasak di ruang yang sama.

Pada 1999, Ahmadiyah Lombok  kali pertama mengalami serangan oleh orang-orang yang

menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid Ahmadiyah di Bayan,

Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal, dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir. 

Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi

dari kampungnya dan mengungsi. Sejak saat itu setidaknya delapan kali warga Ahmadi

berpindah tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok-Sumbawa. Ada yang mengungsi

ke sanak saudara, ada pula yang kembali berusaha membangun rumah di tempat lain. Namun,

tak kurang dari delapan kali itu pula mereka terus-menerus diserang dan diusir. Tahun 2010

beberapa belas kepala keluarga beli tanah dan bangun rumah dari hasil keringat sendiri di

daerah Ketapang, tapi lagi-lagi rumah mereka disasar dan dibakar. Ihwal ini, laporan

sementara Komnas HAM mengindikasikan adanya sebuah pola yang “sistematis dan meluas”,

dua unsur yang menunjukkan adanya pelanggaran berat atas kemanusiaan. Intensitas

kekerasan atas nama keyakinan naik drastis pasca-Suharto, lebih-lebih di bawah pemerintahan

Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 anti-Ahmadiyah.

Sejak 2006, warga Ahmadiyah Lombok tinggal di Transito. Ada pasangan yang menikah di

pengungsian, ada perempuan-perempuan mengandung, ada anak-anak yang lahir dan tumbuh

besar juga di sana. Para pengungsi tersebut mengalami begitu banyak hambatan sosial dan

ekonomi.

“Kami ini seperti tak diakui sebagai warga negara Indonesia,”  ujar Syahidin,  seorang

pengungsi. “Kalau ketahuan kami orang Ahmadiyah, tinggal di Transito, kami mengurus KTP

tidak akan diproses.”

Sebagian besar pengungsi tak punya kartu penduduk. Imbasnya, pasangan yang menikah tak

bisa memiliki akta nikah, lalu anak-anak pun tak punya akta lahir, yang gilirannya akan

kesulitan saat daftar sekolah. Pengungsi yang tak punya KTP tak bisa mendapat akses layanan

publik seperti jaminan kesehatan. Status kependudukan yang diabaikan di tempat asal maupun

di Transito bikin anak-anak sekolah kesulitan mendaftar beasiswa karena pejabat kelurahan

enggan memberikan dokumen pengantar.

Page 36: Contoh Esai Juara Temp0

Menurut Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina, “Tenun kebangsaan kita seperti

sedang dirobek-robek”. Sebagai sebuah negara-bangsa kita telah bersepakat untuk

membentuk dan berada dalam sebuah kesatuan yang tak membedakan  baik agama,

keyakinan, warna kulit, ataupun ras. Konstitusi menjaminnya. Namun, di pulau Lombok ini,

ada sebagian penduduk yang hak-haknya sebagai warga negara dicerabut karena keyakinan

yang dianut.

“Kami ini seperti sepetak tanah yang belum merdeka,” ujar Rahma mengungkapkan kesulitan

tanpa dokumen kewargenagaraan.

Meski demikian, mereka memilih tetap teguh dengan keyakinannya – betapapun bertahun-

tahun hidup di bawah tekanan sekaligus diabaikan keberadaannya.

“Memangnya orang-orang yang mengusir dan menyuruh kami keluar dari iman kami, bisa

menjamin bahwa jalan yang mereka paksakan bisa membuat kami tentram? Kami bertahan.

Kami rela kehilangan harta benda dan melewati segala ancaman, intimidasi, serangan—meski

sulit—serta kepedihan ini. Karena kami mendapatkan kedamaian dengan keyakinan ini.

Kedamaian itu yang membuat kami kuat melewati semua ini.”  ujar ibu-ibu satu suara saat

saya mengobrol melingkar dengan mereka. Keteguhan ibu-ibu ini, menggaris pesan untuk

kita: Silahkan penjarakan tubuh kami, tapi tak akan pernah bisa atas pikiran dan keyakinan

kami.

Saya meyakini bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tuhan menciptakan kita dalam

penuh warna, supaya kita saling belajar dan mengambil hikmah satu sama lain. Berusaha

memberangus keragaman yang ada, apalagi dengan kekerasan, adalah sebuah perbuatan yang

naif. Berkaca dari keteguhan ibu-ibu pengungsi Transito, menekan orang lain untuk menjadi

sama dengan kita hanyalah perbuatan sia-sia.

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang pasti ada. Menjadi pilihan kita, akan

bersikap seperti apa pada hal yang niscaya ada itu. Menumpah darah untuk

menyingkirkannya, telah kita lihat hanya akan menjadi rantai konflik panjang yang tak pernah

usai, dan sia-sia. Atau, menerima perbedaan sebagai sumber kekayaan.

Saya menjadikan perbedaan sebagai warna dan sumber pelajaran hidup dalam interaksi sosial.

Bersama teman-teman kampus di Dewan Keluarga Masjid (DKM) Paramadina, kami

membentuk sebuah organisasi keagamaan yang inklusif. DKM ini seperti rohis atau Lembaga

Dakwah Kampus bila di universitas-universitas lain. Rohis banyak dikenal sebagai sebuah

organisasi yang sektarian. Memandang kelompoknya paling benar dan ingin meyingkirkan

yang lain.  Namun, di DKM ini kami berusaha membentuk kultur lain. Organisasi terbuka

Page 37: Contoh Esai Juara Temp0

bagi ideologi keyakinan dan pikiran apapun. Menjadi anggota DKM tak harus mesti berjilbab,

bahkan ada juga teman non-muslim turut bergabung.

Belajar dari pengalaman,  interaksi secara personal dengan yang berbeda merupakan metode

yang ampuh untuk menerima dan menghargai keragaman. Saya senantiasa mendorong rekan-

rekan “minoritas” keyakinan untuk speak out.  Saya punya banyak teman beragam keyakinan:

Ahmadiyah, Bahai, Kristen, Syiah dan lainnya. Terutama saat kasus-kasus kekerasan terhadap

kelompok-kelompok keyakinan ini merebak, saya dorong dan perkenalkan teman-teman ini

ke organisasi. Biasanya setelah kenal secara personal dengan teman dari kelompok keyakinan

yang sedang disasar, rekan-rekan lain bisa memandang masalah yang ada secara lebih

humanis.

“Kaget sih waktu denger dia ngaku Ahmadiyah. Baru pertama kali soalnya punya temen

Ahmadiyah. Jadi seneng sih punya temen beragam. Sekarang kalau ada kejadian apa-apa saya

suka nanya keadaannya sama temenku ini.” ujar Hayat, anggota DKM setelah seorang

Ahmadi speak out.

Pendidikan publik di lingkup kecil ini sangat penting supaya lingkungan sekitar kita belajar

untuk menerima dan menghargai perbedaan. Ada begitu banyak  masa depan anak-anak yang

tercerabut karena ketidakdewasaan kita menghadapi perbedaan. Seperti puluhan anak-anak

pengungsian Transito ini, yang berebut mencium tangan saat saya hendak pulang. Masa depan

mereka masih panjang.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Merajut Benang dalam Sistem Demokrasi Kerakyatan

Oleh: MICHAEL ARNOLD PRAMUDITO - UNIVERSITAS SEBELAS MARET

 

Demokrasi dalam konsepsi yunani disebut sebagai Government or rule by the people atau

juga sering disebut Pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat seperti dalam pidato Abraham

Lincoln di Geutsberg-Amerika Serikat. Pada kondisi ini, demokrasi menghendaki adanya

kebebasan, kesetaraan berpolitik, serta adanya Sirkulasi Elit yang temporer mengingat

demokrasi berangkat dari Keutamaan Warganegara atau Kedaulatan ada ditangan Rakyat.

Rocky (2009) menyebutkan bahwa filsafat dibelakang demokrasi adalah penerimaan terhadap

Filibilisme manusia, ketidaklengkapan manusia karena itu tentang kemungkinan berbuat salah

Page 38: Contoh Esai Juara Temp0

sehingga konsesus yang dihasilkan demokrasi adalah konsesus yang menjamin kesetaraan

Hak dan kebebasan warga Negara (http://raflizulfikr.wordpress.com).

Demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti

dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga Pilkada dapat berlangsung

dengan bebas, transparan, demokratis, dan, paling penting, dalam suasana damai. Check and

balance    di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga berlangsung sangat

dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih baik dibandingkan masa Orde

Baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya beberapa kelemahan dalam batang tubuh UUD

1945 yang kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil berbeda dibanding Batang Tubuh

UUD 1945 yang asli (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hal. 99).

Perlu diakui bahwa perubahan UUD 1945  hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan

dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya

terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia. Pasca Amandement

UUD 1945 negara Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan yang terjadi muncul

sangat beragam dari masyarakat. Hal tersebut sangat wajar sebab di balik sistem demokrasi

yang dianut di Indonesia, ditemukan sisi negatif dari perkembangan nilai demokrasi.

Perkembangan demokrasi dianggap tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia. Sisi negatif

itu muncul bukan dari kehidupan rakyat dalam lingkungan kemasyarakatan, tetapi dari

pemerintahan yang berkuasa. Demokrasi yang dianut oleh elite politik bukan demokrasi yang

telah dibangun oleh founding father Republik Indonesia, tetapi demokrasi Pontokrasi yaitu

konsolidasi antara segelintir pemilik modal dengan para politisi yang duduk di parlement dan

pemerintahan. Tidaklah mengherankan bila proses politik di Indonesia menghasilkan

kepentingan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Freedom House, Organisasi non pemerintah terkemuka dari AS, yang melakukan riset dan

advokasi, kemerdekaan politik dan hak asasi manusia. Laporan penilaian tahunan yang

berjudul “Countries at the Crossroads 2012” itu dirilis di Washington DC, Amerika Serikat,

Senin 17 September 2012. Laporan tersebut memuat hasil penelitian terhadap 35 negara yang

dipandang penting dan strategis di seluruh dunia. Indonesia disorot secara khusus karena telah

terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para

wartawan. Kepemilikan media juga mengerucut pada kelompok-kelompok tertentu yang

jumlahnya semakin sedikit. Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh melakukan

pemberantasan korupsi dan melakukan penyedotan sumberdaya alam secara serampangan.

Juga disebutkan keberadaan oligarki-oligarki ekonomi yang mampu memanipulasi kebijakan

Page 39: Contoh Esai Juara Temp0

pemerintah. Dokumen laporan resmi yang diperoleh Kompas 19 September 2012 dari laman

resmi Fredoom House (www.freedomhouse.org)

Keadaan ini seolah berbanding lurus dengan para elite politik yang seakan belum bisa dewasa

untuk menyikapi apa arti demokrasi. Buktinya, pada rapat anggota DPR yang membahas

mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM, mereka seakan akan bagai singa yang

meraung raung untuk mempertahankan kekuasaan. Sangat terlihat sekali, bahwa sebenarnya

yang mereka anut bukan demokrasi, tetapi suara mayoritas yang menekan suara minoritas,

demokrasi bagi mereka adalah jalan untuk mempertahankan kekuasaan, menggunakan

popularitas sebagai alat politik.

Parahnya lagi muncul dua ribuan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin

dan anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan hasil analisis Pusat

Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan itu kuat menandakan bahwa sebagian pemimpin

dan anggota Badan Anggaran, yang seharusnya mengawasi kualitas belanja negara, justru

menjadi episentrum persoalan: bak pagar makan tanaman (Tempo, 3-9 September 2012).

Pada tanggal 7 Desember 2011 Sondang Hutanggalung, seorang aktivis mahasiswa

melakukan aksi bakar diri didepan istana sebagai protes kepada pemerintahan SBY yang dia

anggap gagal dan tidak pro rakyat. Tanggal 10 Desember, tepat dihari Hak Asasi Manusia

Sondang wafat sebagai martir. Apa yang sebenarnya dituntut Sondang adalah exspresi politik

dari ‘mayoritas diam’ yang tidak puas dengan kondisi yang ada (Usman Hamid: Bergerak

untuk daulat, hal: v).

Seakan rakyat juga tidak pernah diam. Respons politik rakyat berkembang hingga berbagai

sektor seperti mahasiswa, petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan dan lembaga

swadaya masyarakat. Pergerakan mereka didukung para aktifis perempuan, aktifis

lingkungan, pejuang HAM. Mereka bergerak menyuarakan kepentingan politik rakyat.

Perkembangan ini kemudian didukung dengan logika masyarakat yang mulai berkembang ke

arah yang positif, membuktikan bahwa rakyat terus bergerak memperjuangkan demokrasi

kerakyatan.

Sebenarnya yang memang sangat perlu diperhatikan dalam lingkungan kemasyarakatan

adalah bagaimana pemerintah dapat mengatasi sistem birokrasi yang saling bertentangan atau

berlawanan, ini muncul karena pergantian sistem birokrasi dari berbagai rejim yang berkuasa,

peninggalan antara berbagai rejim ini menyebabkan ketidak seimbangan didalam

pemerintahan, peninggalan rejim lama yang masih cenderung korup, tidak transparan, tidak

akuntabel dan tidak efektif, jika masih belum dimusnahkan maka sebaik apapun pemerintah

mengorganisir, maka pemerintahan akan tetap belum demokratis. Birokrasi diciptakan untuk

Page 40: Contoh Esai Juara Temp0

memberikan pelayanan kepada publik.  Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang

sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program

dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang

harus ada. (Toenggul  P.  Siagian: 2000).

Jokowidodo menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rezim orde lama sangat

dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang tak sejalan dengan sistem

yang ia bangun ia pecat dan digantikan dengan yang baru. Dengan dengan ketegasan ini ia

berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sisitem yang ia

bangun. Jokowi bukanlah tipe ‘pemimpin peragu’ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam

pemerintahanya  (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: 305).

Peningkatan sistem birokrasi kerakyatan ini juga harus diimbangi dengan Keberpihakan

Ekonomi Kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada

kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi

atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya

mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang

selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor

pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

UKM terbukti mampu menjadi bantalan bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, sektor

UKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar              ( padat karya angkatan kerja

tidak terdidik dan terlatih ) sehingga mampu memperluas lapangan kerja untuk mengurangi

jumlah pengganguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Riset Bank Indonesia

menunjukkan, sepanjang krisis ekonomi periode 1998 lalu, hanya 4 persen UMKM (Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah) yang bangkrut, 31 persen mengurangi skala usaha dan 65 persen

mampu mempertahankan kenerja usahanya. (Koran Tempo, Rabo 19 sept 2012)

Sehingga dengan adanya berbagai sistem pemerintahan yang pro Rakyat, mampu

menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dan sebagai akar dari pembangunan

Indonesia menjadi negara maju.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Internet Viral Marketing: Cara Baru Memperkenalkan Budaya Bangsa

Page 41: Contoh Esai Juara Temp0

Oleh: VENNI BUDI CAHYANI - UNIVERSITAS DIPONEGORO

 

Kemajuan teknologi dan informasi menjadi ancaman bagi kebudayaan nasional yang masih

tradisional. Masuknya kebudayaan dari luar melalui media baik elektronik maupun cetak

mulai menggeser kecintaan masyarakat terhadapan budaya asli Indonesia. Selain itu ancaman

musnahnya kebudayaan nasional muncul dari dalam diri masyarakat itu sendiri, terutama di

kalangan generasi muda. Generasi muda Indonesia masih sangat rendah minat dalam hal

membaca dan menulis sehingga ini merupakan tolak ukur bagi tingkat mempelajari budaya.

Namun dari kemajuan teknologi pula kita dapat menangkap peluang baru untuk melestarikan

kebudayaan nasional. Dengan cara mempopulerkan dan mengenalkan keragaman budaya

nasional melalui jejaring sosial, baik facebook, twitter maupun jejaring sosial lainnya. Hal ini

menjadi peluang yang sangat baik karena trend gaya hidup masyarakat Indonesia terutama di

kota – kota besar telah bergeser pada generasi gadget dan internet. Pengaruh jejaring sosial di

internet pun semakin besar. Misalnya dalam memilih tempat wisata para turis baik manca

maupun domestik lebih percaya pada banyaknya orang yang membicarakannya di twitter atau

rekomendasi teman – teman di facebook daripada brosur pariwisata. Kicauan – kicauan di

twitter pun dapat mempengaruhi jumlah pemilih dan pemilihan umum.

Sosialisasi melalui jejaring sosial atau lebih dikenal dengan Internet Viral Marketing ini sudah

banyak digunakan oleh negara – negara maju. Misalnya saja negara Inggris, yang mewajibkan

semua anggota parlemen dan pegawai negri sipilnya untuk ikut mensosialisasikan kebijakan –

kebijakan pemerintah yang telah dibuat. Ini merupakan salah satu pendekatan komunikasi

pemerintah dengan rakyatnya. Mengingat semakin banyaknya warga negara yang

menggunakan internet, pemerintah Inggris mengembangkan kemampuannya menggunakan

channel digital secara efektif.

Pengguna jejaring sosial di Indonesia untuk media twitter, berdasarkan data yang dilansir situs

Semiocast Dot Com, jumlah tweeps di Indonesia sebanyak 19,5 juta orang.  Jumlah tersebut

menempati posisi kelima dunia setelah Amerika Serikat (sekitar 107 juta pengguna), Brasil

(33 juta pengguna), Jepang (29 juta pengguna), dan Inggris (24 juta pengguna).

 

Sementara itu, data yang dirilis situs A World of Tweets Dot Com menempatkan Indonesia

sebagai negara ketiga terbanyak di dunia dalam menulis tweet (kicauan), yakni sebesar

11,39%. Peringkat pertama diduduki Amerika Serikat dengan jumlah tweet sebanyak 27%,

dan peringkat kedua dipegang Brazil dengan tweet sebesar 24 %.

 

Page 42: Contoh Esai Juara Temp0

Sementara untuk media fecebook, jauh lebih besar yakni 43,06 juta (data terakhir situs

Socialbakers Dot Com terlampir). Pengguna facebook berasal dari semua kalangan dan

semua usia.

Dari data di atas angka pengguna situs yang cukup besar. Terlebih lagi pengguna jejaring

sosial di Indonesia sangat aktif online dan berkicau. Terbukti dari survey bahwa Indonesia

menempati urutan ketiga dalam menuliskan tweet di twitter dapat kita simpulkan bahwa

media jejaring sosial sangat berpotensi sebagai media untuk mensosialisasikan khazanah

budaya bangsa yang sudah banyak dilupakan masyarakat.

Agar persebaran informasi dapat maksimal dan menarik, ada beberapa cara yang dapat kita

terapkan. Cara – cara tersebut adalah:

 

Membuat situs atau blog perpustakaan budaya

Situs ini berisi database, foto – foto, dan video keragaman budaya di Indonesia. Pada beranda

terdapat link masing – masing provinsi. Pada link provinsi tersebut kita dapat mengetahui

informasi dan berita terkini seputar budaya di daerah tersebut.

 

Membuat akun fanspage di facebook

Akun fanspage merupakan salah satu ikon di facebook yang dapat diikuti banyak fans tanpa

harus menjadi teman. Akun ini dapat diupdate oleh beberapa admin. Dengan menggunakan

akun ini informasi akan lebih mudah didapatkan oleh para fans.

 

Menghubungkan beberapa media

Link situs / blog yang berisi artikel – artikel, foto, video budaya dengan twitter dan facebook.

Setiap ada content blog baru maka secara otomatis akan tersiar juga di twitter dan facebook.

 

Aktiflah untuk update status ataupun tweet

Update info harus rutin dan berkelanjutan. Jangan lupa mention instansi atau orang-orang

penting dan yang terkait dengan update kita. Jika sedang tidak ada artikel baru kita bisa

update yang lain yang bermanfaat dengan tetap menyelipkan link situs / blog kita.

Buatlah kuis kebudayaan berhadiah

Kuis tentang pengetahuan budaya berhadiah dapat memotivasi masyarakat pengguna jejaring

sosial untuk mempelajari budaya nasional dan lebih sering membuka situs – situs budaya. Hal

ini sangat menarik minat masyarakat dan merupakan cara yang paling efektif untuk memaksa

masyarakat mempelajari dan mengenal budaya nasional.

Page 43: Contoh Esai Juara Temp0

 

Sebarkanlah semangat melestarikan budaya nasional

Selain memperkenalkan dan mensosialisasikan kembali kebudayaan nasional, kita dapat juga

memotivasi generasi muda untuk menggunakan kebudayaan nasional dalam event – event

yang mereka adakan. Misalnya dalam event sekolah, kampus, maupun masyarakat kita

menampilkan tari – tarian asal Indonesia ketimbang boyband ataupun dance dari luar. Inilah

tugas kita untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan pada budaya nasional pada

generasi muda.

Dimulai dari dunia maya dengan menyebarkan dan membiasakan masyarakat membaca

informasi tentang kebudayaan nasional akan dapat mempengaruhi alam bawah sadar mereka.

Bahwa kebudayaan nasional jauh lebih baik dan lebih patut untuk dibanggakan sebelum

kebudayaan lainnya. Dengan terbangunnya lagi rasa cinta budaya bangsa maka aksi – aksi

untuk melestarikan budaya nasional di dunia nyata akan banyak dilakukan. Semakin banyak

generasi muda yang peduli dan mau meningkatkan  kemampuannya dalam menggunakan

chanel digital secara efektif untuk menyebarkan semangat mengenali dan mencintai

kebudayaan nasional maka semakin mudah bagi Indonesia mengembalikan keutuhan

budayanya dan kebhinekaannya.

Ancaman lunturnya kebudayaan nasional di Indonesia dapat diimbangi dengan gencarnya

menyebarkan gerakan “kenali dan cintai budaya nasional” melalui media jejaring sosial. Hal

ini sangat potensial mengingat hampir sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini

menggunakan internet dan aktif di jejaring sosial. Kita hanya perlu mengenalkan dan

menyadarkan masyarakat akan keberadaan kebudayaan tersebut. Dengan membangun

kembali pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya nasional mealui dunia maya, maka

masyarakat sendirilah yang akan sadar dan melestarikannya dalam kehidupan nyata.

 

DAFTAR PUSTAKA

Organisation.org

awordoftweet.com

wikipedia.com

Page 44: Contoh Esai Juara Temp0

Negara Hijau Ini “Mengemis” Penghijauan

Oleh: IBNI SABIL A’IFA ZAENAL MANAN - UNIVERSITAS INDONESIA

 

 

Ringkasan Esai:

Sangat memilukan kondisi bangsa ini, semakin terdikte atau lebih tepatnya “tertindas”

keinginan bangsa lain. Negara hijau dengan julukan populer paru-paru dunia ini sekarang

dipaksa menjadi pengemis dalam penghijauan tubuhnya sendiri. Konsep REDD yang diusung

menjadi kesepakatan dunia dalam menangani perubahan iklim serta pemanasan global mulai

berbau politik yang menyebabkan negara berkembang semacam Indonesia terus dipaksa

“memubadzirkan” buminya dengan kepentingan yang mayoritas hanya untuk bangsa-bangsa

maju. Mubadzir karena saat hutan hijau kita mampu diolah dengan cermat, telah sangat cukup

untuk memakmurkan rakyat pribumi.

 

—————————————————-

 

Saya sedikit akan memulai esai ini dengan cerita, cerita yang sewaktu itu saya banggakan.

Pernah sewaktu saya menginjak tahun kedua berkuliah, saya mengikuti suatu forum se-Asia

yang membahas mengenai karbon (sebutan untuk senyawa kimia yang sekarang tenar menjadi

kambing hitam akan munculnya global warming). Setelah mengikuti forum tersebut, saya

membentuk tim penelitian dan mengajukan sebuah proposal penelitian bertopik karbon,

khususnya dalam kepentingan mengestimasi jumlahnya di Provinsi Riau. Saya dan tim cukup

bangga waktu itu karena proposalnya disetujui untuk mendapat pendanaan, tetapi itu waktu

dulu (artinya sekarang tidak begitu). Mengapa tidak bisa lagi membanggakan? Karena

sekarang mata saya terbuka, terutama mata hati bahwa kebanggaan dari penelitian ini

hanyalah prestasi semu.

Meredam Kegagalan Pembangunan Global (Gagalnya Rezim Global)

OK, saya mencoba mengawali kronologisnya seperti ini. Krisis energi global adalah persoalan

ekonomi politik yang sangat dekat dengan persoalan penguasaan akses ekonomi, alokasi

sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Hal yang perlu

ditekankan dari pengertian tersebut adalah soal siapa yang memperoleh manfaat

(keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya

kerusakan/pencemaran lingkungan. Saya bisa katakan bahwasanya krisis lingkungan global

adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

Page 45: Contoh Esai Juara Temp0

Secara umum sebagian besar penduduk negara-negara kaya (yang cenderung di belahan bumi

utara) dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap

kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta

terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka

harusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat

eksploitasi yang berlebihan di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model

pembangunan skala global. Karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan

perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga

tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang

terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi

ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.

Dalam REDD, Hutan = Tempat Sampah Pemanasan Global

Isu pemanasan global menjadi runyam karena ternyata skema mekanisme pembangunan

bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan, dan sampai hari

ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan hijau Indonesia tak ubahnya hanya

“tempat sampah” CO2 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagi

masyarakat Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air,

energi dan pangan, terutama teruntuk rakyat sekitar hutan.

Kemudian muncullah tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions from

deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme

pembangunan bersih (clean development mechanism) dengan penanganan kerusakan hutan

(deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban negara-negara “Utara” untuk

membayar kompensasi kepada negara-negara “Selatan” guna mengurangi penggundulan

hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang

dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari

deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi

karbon di atmosfer dapat dikurangi.

Tapi ada beberapa hal terpelenceng dan merugikan dari konsep REDD. Pertama, REDD

terlalu menyederhanakan fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbon

dioksida (carbon sinks) dan mengabaikan fungsi penting lain hutan sebagai daerah tangkapan

air (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood) di

sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan dari

Page 46: Contoh Esai Juara Temp0

sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentu akan

merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik.

Kedua, REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan

(termasuk Indonesia) untuk menjaga atau lebih tepatnya “mengunci” kawasan hutannya

dengan imbalan “recehan”. Tawaran ini dengan sendirinya akan membatasi akses dan

partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common

goods.

Ketiga, REDD akan berpotensi mengaburkan proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus

kejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi

kewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan begini,

posisi Departemen Kehutanan pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasional

dan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Keprihatinan REDD justru lebih condong

pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melalui

mekanisme insentif yang ditawarkan.

Saya sendiri geograf yang belajar cukup banyak mengenai kompleksitas ekosistem hutan.

Konsep REDD sangat rawan memicu ketiga celah tadi dan bahkan masih mungkin berefek

domino pada kemunculan kerugian, kecurangan, atau kerusakan yang lain.

Mereka “Mencuci Tangan” dengan REDD

Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat diarahkan pada sistem klasifikasi hutan pada

Tataguna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi,

hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak

terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan

(tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus

ditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang

kondisi masih berupa hutan. Dengan pengkatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan

semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan

melibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah.

Dengan model klasifikasi ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini berada dalam

“kawasan hutan” berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan “terusir”

dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka Pemerintah Pusat

melalui Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara “liar” menetapkan

tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatas hutan terpadu

sampai dg 30%). Ini akan berdampak pada tersingkirnya masyarakat di “kawasan hutan”.

Secara tegas dalam IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) memandatkan untuk

Page 47: Contoh Esai Juara Temp0

menegosiasikan “kebun kayu” (HTI), perkebunan kelapa sawit dan kawasan konservasi ke

dalam skema REDD. Dan ini berarti tidak ada tempat lagi untuk rakyat sekitar hutan. Sebab

yang paling diuntungkan adalah para pebisnis sektor hutan, sektor perkebunan, dan sektor

konservasi.

Perubahan Iklim Selesai dengan REDD?

“Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal

REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia)”.

Pernyataan tersebut banyak diungkap oleh berbagai pihak, termasuk saya yang setuju dengan

pernyataan di atas. Mekanisme REDD menegaskan negara hijau ini untuk “mengemis”

kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan kita sendiri, maka tak ada lagi

yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara juga

memiliki tanggung jawab besar daripada “membagi” uang receh kepada negara-negara

berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus

memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.

Mengulas kembali pernyataan saya di atas, pertama REDD tidak lebih dari upaya menutup

akses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat

yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan

menyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung

jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi (konotasi

negatif) perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Keempat, REDD

merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Hutan bukan sekedar penyerap

karbon, tetapi juga sebagai ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi

kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/

market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Protokol Kyoto mengatur berbagai cara

agar emisi karbon negara-negara industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yang

mereka keluarkan pada tahun 1990. Protokol ini mengatur salah satu pengurangan tersebut

dengan mekanisme perhitungan tertentu yang pada intinya memberi nilai moneter pada

karbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yang

mereka keluarkan.

Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secara

meyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasi dana.

Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap atau dicegah

tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidak rusak/ditebang, dan

Page 48: Contoh Esai Juara Temp0

inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.) sangat suka ide ini,

karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri.

Dilihat dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihak

industri tersebut terus melakukan polusi atmosfer kita yang pada akhirnya akan menjadi

masalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar,

mereka dapat melakukan ini. Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema ini

akan menjadi semacam area “status-quo” dimana masyarakat tidak boleh menebang atau

memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untuk

melayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanjut lagi, siapa yang akan

menentukan tanah/hutan mana untuk skema ini?

Bukan hanya itu, ternyata menurut pemaparan Meneg KLH Rachmad Witoelar, taksiran

kompensasi untuk hutan di Indonesia hanya kurang lebih sebesar Rp 95.000,- per hektar per

tahun. Bahasa kasar untuk mengumpamakan “pelecehan” ini mungkin ibarat untuk uang jaga

atau membeli kopi saja tak akan mencukupi, apalagi diandalkan sampai mencukupi kebutuhan

masyarakat yang tidak lagi diizinkan mengelola hutan. Padalah menurut perhitungan

Suparmoko (seorang ahli kehutanan), jika hutan Indonesia dikelola baik-baik akan mampu

menghasilkan US$ 191,25/ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/ha/tahun untuk hutan

sekunder, US$ 301,85/ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$ 301,85/ha/tahun untuk

hutan lindung. Melihat angka ini, saya sendiri merasa sangat dibodohi konsep REDD yang

dulu pernah saya banggakan.

Sudah saatnya bangun dan sadari bahwa negara hijau ini tidak harus mengemis untuk

menghijaukan buminya. Indonesia kita, mampu hijau dan bermanfaat dengan mandiri.

Masyarakat adat sekitar hutan yang sejak dahulu terus mewarisi budaya mereka untuk

melestarikan hutan adalah orang-orang terbaik yang akan menjaga dan mengelola potensi

besar hutan ini. Bukan orang-orang ambisius dengan harta, tapi masyarakat sekitar hutan ini

secara nurani telah menyatu dengan hutan, cukup hormati hak mereka dan terus saling

membantu mengelola hutan kita, maka tidak akan ada lagi permasalahan yang terlalu rumit,

apalagi hanya soal harus kembali hijaunya sang paru-paru dunia.

Referensi

http://basapindo.blogspot.com/ (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.15 WIB)

http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666 (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.10 WIB)

www.rareplanet.org (diakses 5 Oktober 2012, pukul 10.10 WIB)

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

Page 49: Contoh Esai Juara Temp0

15 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Lagu Daerah, Riwayatmu Kini

Oleh: DIAN NISITA - UNIVERSITAS INDONESIA

Rangkuman :

Lagu – lagu daerah kini kian tergerus oleh lagu-lagu kontemporer yang dianggap lebih

modern. Hal ini mengakibatkan lagu-lagu warisan nenek moyang tersebut kurang

mendapatkan perhatian, kemudian ditinggalkan. Kasus klaim Rasa Sayange oleh negara

Malaysia merupakan suatu bukti dimana lagu-lagu daerah Indonesia sangat mudah untuk

direbut oleh negara lain. Musisi dan peneliti telah melakukan berbagai usaha untuk

melestarikan keberadaan lagu-lagu daerah, baik dengan mengaransemen ulang maupun

dengan menciptakan peta lagu. Kini, giliran pemerintah untuk memaksimalkan apa yang telah

dirintis oleh musisi dan peneliti dalam rangka mempertahankan eksistensi lagu-lagu daerah

sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan,

seharusnya dapat melakukan lebih banyak tindakan untuk melestarikan lagu-lagu daerah.

Pelestarian tersebut dilakukan dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat akan

berharganya lagu-lagu daerah tersebut melalui berbagai hal, diantaranya adalah melaksanakan

Festival Lagu Daerah di tingkat daerah, mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan

mematenkan lagu-lagu daerah tersebut, serta mengeluarkan kebijakan bagi musisi pendatang

untuk menyelipkan minimal satu buah lagu daerah ke dalam album baru yang akan

diluncurkan.

 

—————

Rasa sayange

Rasa sayang sayange

Lihat Ambon dari jauh

Rasa sayang sayange

………

Lagu daerah Maluku ini marak terdengar di penjuru negeri. Bukan karena kesadaran dari

masyarakat untuk mendengungkannya, namun karena mencuatnya kasus klaim Malaysia atas

lagu daerah Indonesia bagian Timur ini pada tahun 2007 silam. Kasus ini berhasil

membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan lagu tersebut sebagai

bagian dari budaya Indonesia.

Page 50: Contoh Esai Juara Temp0

Hidup segan, mati tak mau.  Peribahasa tersebut sangat tepat untuk disematkan pada lagu-lagu

ciptaan nenek moyang Indonesia. Di tengah maraknya karya anak bangsa dalam bidang

musik, sebagaimana terlihat dengan banyaknya penyanyi maupun band baru yang

bermunculan, tidak ada satupun yang tampil dengan membawakan lagu daerah sebagai single

utama mereka.

Tak ayal, hal ini juga merupakan dampak akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap

keberadaan musik-musik tradisional tersebut. Bahkan, tidak terdapat data pasti mengenai

jumlah lagu daerah di Nusantara, padahal telah terdapat catatan bahwa bahasa daerah di

Indonesia berjumlah 742 bahasa[1] dan suku bangsa di Indonesia berjumlah 1.128 suku[2].

Lalu bagaimana dengan lagu daerah Indonesia?

Masyarakat meninggalkan lagu-lagu daerah karena dianggap ‘jadul’ atau ketinggalan zaman.

Mereka lebih menikmati musik kontemporer yang justru minim akan makna jika

dibandingkan dengan lagu-lagu daerah. Yap, jika syair lagu daerah ditelaah dengan baik,

maka akan tampak bahwa lagu-lagu tersebut mengandung nilai pendidikan yang sangat

kental, contohnya adalah lagu daerah Jawa Tengah berjudul Dhondhong apa Salak dengan

salah satu bagian liriknya :

…….

Adik ndherek Ibu tindak menyang pasar 

Ora pareng rewel ora pareng nakal

Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh

Kacang karo roti, adik diparingi

Dalam bahasa Indonesia, lirik lagu tersebut berarti :

……

Adik ikut Ibu pergi ke pasar

Tidak boleh rewel tidak boleh nakal

Ibu nanti pasti beli oleh-oleh

Kacang dan roti, Adik akan diberi

            Lirik yang sangat sederhana, namun mengandung nasehat yang sangat besar

maknanya. Tentunya hal ini sangat kontras dengan industri musik Indonesia sekarang ini yang

lebih banyak dihiasi dengan lagu-lagu bertemakan perselingkuhan atau patah hati. Lagu-lagu

berbahasa asing pun saat ini kian menjamur di masyarakat, khususnya kaum muda. Padahal,

kaum muda merupakan lapisan masyarakat yang memberikan kontribusi besar bagi

keberlangsungan bangsa. Mereka merasa bangga ketika berhasil menciptakan ataupun

menyanyikan lagu berbahasa asing dengan fasih, namun kebanggaan tersebut tidaklah tampak

Page 51: Contoh Esai Juara Temp0

ketika harus melantunkan lagu dalam bahasa daerah. Tidak perlu mengkritik masyarakat kota,

anak-anak muda yang tinggal di wilayah perbatasan dan jauh dari keramaian kota, seperti di

Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Barat, bahkan tidak mengenal lagu daerah mereka,

yaitu Cik Cik Periook. Mereka lebih mengenal dan hafal lirik lagu-lagu populer, seperti lagu-

lagu yang dibawakan oleh girlbands maupun boybands.

 

Tantangan dan Usaha Pelestarian Lagu Daerah

Tantangan tidak akan pernah berhenti menghantam dan kita tidak akan pernah tahu kapan ia

datang. Menilik kembali kasus klaim Rasa Sayange beberapa tahun silam, tentu menjadi

‘sentilan’ bagi bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mengingat

kembali apa yang terlupakan dan mengantisipasi peristiwa yang sama agar tidak terulang

kembali.

Lagu Rasa Sayange mungkin merupakan salah satu lagu daerah yang cukup akrab di telinga

kita karena sering diperdengarkan, khususnya saat mata pelajaran seni musik, sehingga kita

dapat segera mengenalinya sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia ketika lagu tersebut

diakui milik negara lain. Namun bagaimana dengan nasib lagu-lagu daerah lain yang kurang

akrab di telinga kita? Sebutlah lagu Sintren dari Cirebon, Sayangkene dari Maluku, atau Dung

Dung Sera dari Riau. Tidak semua orang mengenal lagu-lagu tersebut.

Jika salah satu dari ketiga lagu daerah tersebut diklaim oleh negara lain, sanggupkah kita

melakukan pembelaan seperti yang kita lakukan saat terjadinya kasus klaim Rasa Sayange?

Sebagai contoh, lagu Dung Dung Sera kemudian diklaim oleh negara Singapura, apakah kita

layak melakukan pembelaan jika kita sendiri tidak pernah mendengar lagu tersebut?

Peribahasa berkata “tak kenal maka tak sayang”. Mampukah kita menunjukkan rasa sayang

terhadap lagu tersebut jika kita bahkan tidak mengenalnya?

Kesadaran untuk melestarikan lagu-lagu daerah telah ditunjukkan oleh Hokky Situngkit (34)

yang berhasil menciptakan peta lagu dengan membedah lagu secara mekanika statistika[3].

Dalam peta lagu tersebut terdapat kluster Sumatera, Melayu, Maluku, Jawa Timur, Jawa

Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Lagu daerah yang berhasil dipetakan adalah lagu Rasa Sayange

dan memberikan hasil bahwa lagu tersebut memang termasuk kluster Maluku, bukan Melayu.

Maka klaim lagu Rasa Sayange yang merupakan budaya Malaysia dapat dipastikan salah.

Keberadaan lagu-lagu daerah yang mulai punah juga disadari oleh beberapa musisi ternama

tanah air. Mereka kemudian mengangkat kembali lagu-lagu daerah tersebut, seperti Ten 2

Five yang mengaransemen ulang lagu daerah dalam balutan musik jazz, Addie MS yang

Page 52: Contoh Esai Juara Temp0

menyajikannya dalam bentuk orkestra, dan Trisum yang memberikan nuansa baru berupa

balutan melodi gitar dalam lagu – lagu tersebut.

Namun usaha para musisi tersebut belumlah cukup untuk dapat mengangkat eksistensi lagu

daerah dalam masyarakat secara penuh. Indonesia memiliki sangat banyak lagu daerah yang

tidak mungkin dapat diabadikan hanya oleh beberapa musisi. Muchlis BA dan Azmy BA,

dalam bukunya Lagu-Lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan, mencatat terdapat 201

lagu daerah dari seluruh wilayah Indonesia. Namun jumlah ini bukanlah jumlah mutlak,

masih sangat dimungkinkan terdapat banyak lagu daerah yang belum teridentifikasi

keberadaannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Hokky dan aransemen ulang para musisi akan lagu -lagu

daerah tersebut sudah seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan dari pemerintah. Dengan

adanya konsep peta lagu, maka lagu-lagu daerah Indonesia tidak akan dengan mudah diklaim

oleh negara lain. Aransemen ulang yang dilakukan oleh para musisi juga menjadikan lagu –

lagu daerah lebih modern dan sesuai dengan selera musik masyarakat masa kini.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seharusnya

memberikan dukungan terhadap usaha pelestarian lagu-lagu daerah tersebut. Pemerintah

cenderung acuh terhadap keberadaan lagu-lagu daerah yang terancam punah. Seharusnya

pemerintah dapat bekerjasama dengan para budayawan untuk melacak lagu-lagu daerah yang

hampir hilang dari wilayah di Sabang hingga Merauke, kemudian memadukannya dalam

sebuah lembar daftar lagu-lagu daerah Indonesia dan memublikasikannya sehingga

masyarakat dapat dengan mudah mengakses data tersebut. Pendokumentasian sangat

diperlukan untuk membuktikan bahwa lagu-lagu daerah tersebut memang ada dan akan tetap

ada. Selain itu, pemerintah juga perlu mematenkan lagu-lagu tersebut agar tidak kembali

diklaim oleh negara lain. Festival Lagu Daerah yang pernah diselenggarakan pada awal 2012

perlu digiatkan, khususnya di tingkat daerah, dimana unsur budaya asli masih kental sehingga

benar-benar mencerminkan kebudayaan daerah tersebut.

Suatu kebijakan juga perlu dibentuk bagi para musisi pendatang agar menyelipkan setidaknya

satu lagu daerah yang diaransemen ulang sesuai aliran musik musisi tersebut dalam setiap

album yang akan dikeluarkan. Dengan demikian, para musisi, khususnya musisi pendatang,

tidak melulu menyanyikan lagu-lagu ‘galau’, namun juga turut melestarikan lagu-lagu daerah

Indonesia dengan talenta yang mereka miliki.

 

Penutup

Page 53: Contoh Esai Juara Temp0

Tidak ada yang dapat melestarikan keberadaan suatu budaya selain masyarakat yang hidup

dalam budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat melestarikan lagu-lagu daerah

Indonesia selain bangsa Indonesia itu sendiri. Lagu-lagu daerah semestinya menjadi suatu hal

yang dibanggakan, bukan ditinggalkan. Untaian lirik yang sarat unsur budaya dan nilai

pendidikan tersebut dapat memberikan suatu kebanggan tersendiri bagi bangsa. Jika kita, yang

merupakan bagian dari bangsa Indonesia, hanya diam melihat lagu-lagu daerah tersebut

perlahan-lahan hilang, jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan kita akan mendengar

lagu ini berkumandang :

……….

Rasa sayange

Rasa sayang sayange

Lihat Malaysia dari jauh

Rasa sayang sayange

……..

 

 

Daftar Pustaka

 

Buku

BA, Muchlis dan Azmy, BA. 2007. Lagu-lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan.

Depok : Musika.

 

Internet

“169 Bahasa Daerah Terancam Punah”

http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah

diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB

 

“Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa” http://www.jpnn.com/index.php?

mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB

 

“Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing”

http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-

tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB

Page 54: Contoh Esai Juara Temp0

[1] “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”

http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah

diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB

[2] “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa” http://www.jpnn.com/index.php?

mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB

[3] “Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing”

http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-

tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Rintihan Pantura

Oleh: MUHAMMAD ISOMUDDIN - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nur

Jati Cirebon

Ringkasan;

Budaya merupakan harta kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Tumbuh berkembangnya

bangsa ini, tidak terlepas dari budaya yang membentuk karakter bangsa. Arus modernitas

melintas tepat di garis khatulistiwa bangsa, menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadap

kebudayaan sendiri. Mencoba merangkai Indonesia lewat puzzle kecil bernama kota Cirebon.

Kota yang punya empat keraton, tak membuat nuansa erotis sensual kentara. Permasalahan

ekonomi yang menjepit pewaris kebudayaan, melakukan penyelewengan dengan menjual

warisan kebudayaan. Sapaan modernitas sudah terdengar oleh bangsa ini. Menggiring pada

bentuk masyarakat konsumtif dan ada paradoks dari kebudayaan. Teks sudah diganti dengan

praksis, bentuk asli dirubah menjadi imitasi, nilai guna diganti dengan nilai liyan :

prestice,status. Ini realita yang penulis temukan di kota Cirebon. Budaya sedang kebingungan

di persimpangan jalan. Harus segera menentukan arah kemana budaya akan dibawa.

Penyusunan strategi dan langkah konkret merupakan keniscayaan bagi penempatan posisi

kebudayaan. Berangkat dari daerah, mengalisis sampai bertindak secara nyata untuk

Page 55: Contoh Esai Juara Temp0

memperjelas rupa budaya. Dan dipersembahkan untuk Indonesia  yang berbudaya luhur

dalam menciptakan karakter bangsa.

 

 ———

 

Perbincangan mengenai Indonesia tidak akan lepas dari atmosfer kebudayaan yang

menyelimutinya. Budaya menjadi sebuah cerita indah dan panjang tak membosankan,

melebihi dari apa yang ada dalam cerita negeri dongeng. Beberapa tahun ini, budaya menjadi

barang langka untuk disaksikan di dunia nyata. Seolah cerita panjang tentang kebudayaan

menjadi riwayat akhir sebuah perjalanan selama ini, menjelma negeri dongeng tersendiri—

penuh keilusian untuk ditarik ke dunia nyata. Sapaan modernitas merasupi bangsa Indonesia

sehingga tak sadar akan warna bajunya sendiri. Bila memang demikian, Indonesia bukan lagi

sebuah bangsa yang kaya akan budaya tapi bangsa yang kaya akan “cerita budaya”.

Berangkat dari rangkaian Indonesia yang begitu kompleks, saya mencoba merangkai puzzle

kecil dari Indonesia yaitu kota Cirebon. Kota persinggahan lintas pantura ini, mempunyai

segudang kebudayaan—lengkap dengan keperihatinannya. Ada empat keraton yang berada di

tengah kota Cirebon, yang seharusnya kental dengan aura keerotisan kebudayaan. Justru

nuansa kebudayaan terasa mampat dan monoton. Tuan rumah dari tari topeng, sintren, batik,

tembang pantura dan naskah kuno kini terselip ditumpukan bata gapura keraton. Kesulitan

untuk meraba keberadaanya sekarang. Fakta mencuat ke permukaan minggu ini di harian

kabar Cirebon, maraknya penjualan naskah kuno Cirebon ke luar negeri. Untuk merestorasi

kertas naskah kuno menjadi lembaran uang kartal. Perhatian pemerintah tak begitu melirik

untuk menjaga naskah kuno, malah lebih memilih jilidan proposal siluman dari pengintaian

media.

Permasalahan ekonomi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan.

Terlihat dari rentetan peristiwa, tradisi ditumbalkan untuk sesajen pemberhalaan uang. Di sisi

lain, ada bentuk yang lebih halus namun menikam yaitu penjajahan budaya dilakukan oleh

kita sendiri tanpa disadari mengamini sebagai suatu keniscayaan. Penyingkiran budaya

dilakukan secara massal dengan merayakan pencitraan dalam menciptakan masyarakat

konsumtif. Dimana kebudayaan direduksi dari bentuk asli ke bentuk imitasi, dari teks ke

simbolik. Budaya tradisonal menghadapi tantangan industri kebudayaan yang begitu besar.

Era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan.

Pemuda yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan

keberlangsungan dan eksistensi budaya tersebut. Telah ternarik peran pemuda ke dalam poros

Page 56: Contoh Esai Juara Temp0

arus modernitas. Percepatan dan pemadatan rupa kehidupan, dilipat-lipat sampai tidak bisa

dilipat dan tidak memperlihatkan wujud asli dari apa yang dilipat. Apa yang disebut sebagai

deru mesin kapitalisme mutakhir yaitu differensiasi. Pembedaan-pembedaan telah diproduksi

secara massal untuk membangun identitas dan gaya hidup. Konsumerisme dilepas secara

bebas dengan melabelkan yang other terhadap produknya.

Kini kemodernan merupakan kiblat baru bagi masyarakat yang ingin mencicipi perubahan.

Ada banyak pembangunan hypermart, diskotik, café, hotel diamini sebagai gairah kemajuan

suatu daerah. Pembungkusan menarik yang ditawarkan dengan menonjolkan hal liyan dari

apa yang disuguhkan. Gaya hidup dan life style membangun bangunan kokoh segitiga kasta.

Dari sebuah sabda iklan oleh sang produser yang menjelma Tuhan dan mewajibkan untuk

mengimaninya. Pemuda lebih mengikuti apa yang sekarang menjadi trend, dengan siklus

pergantian dan tempo yang cepat, seolah mewajibkan diri untuk segera update. Tak ada

pendirian kukuh hanya untuk mendapatkan apa yang dikatakan Heiddeger sebagai sublasi

(pemberian pengakuan). Model kehidupan yang mengalir mengikuti arus bukan mengalir

pada alur.

Terlihat begitu kentara di kota Cirebon sebagai persinggahan supir pencinta tembang pantura.

Ada kelucuan orientasi pemuda yang mengkiblatkan pada titik gerbang rujukan, yaitu Jakarta,

Bandung dan Yogyakarta. Kalau boleh kita sebut tiga kota tersebut sudah terbingkai sebagai:

pragmatis, hedonis dan tradisionalis. Ditarik dengan menelan mentah-mentah apa yang

sedang menjadi trend di kota tersebut. Berpengaruh besar dalam sosio-kultural kota Cirebon,

khususnya para pemuja yang kehilangan orientasi asal. Dengan dalih membentuk Cirebon,

tapi tak melihat bentuk yang sudah ada yang dimiliki Cirebon sendiri. Tidak adanya pijakan

dari tanah sendiri, akultarasi lintas budaya ini hanya akan menciptakan formalism disoriented.

Mengambil bentuk dari pada etos dalam melihat budaya lain, akan menimbulkan pengagung

permukaan tanpa kedalaman. Terkecoh dengan kutang perempuan dari isi yang kurang padat.

Gaya hidup sudah seperti rukun dalam menjalani kehidupan dari sabda iklan Tuhan. Ketika

praktik kebudayaan secara sosial dicumbu sebagai bagian dari gaya hidup. Menggiring pada

bentuk paradoks antara yang inti dan luar, filosofis dan praksis. Masuk dalam bingkai

nihilism, terperangkap kesubjektifan palsu melalui dunia citra.

Ada kerancuan representasi dari sebuah apresiasi terhadap budaya. dengan dalih ingin

membudayakan apa yang dimiliki oleh kulturnya. Dengan memakai kaos bertuliskan “I love

Cirebon”, “I love batik” dan lainya, seolah-olah dengan memakai itu sudah

merepresentasikan masyarakat berbudaya. Gimana tidak keliru, cinta batik kok pakai kaos?

Page 57: Contoh Esai Juara Temp0

Kenapa tidak dengan memakai batiknya saja. mungkin ini yang dinamakan sebuah simulasi

oleh Jean Baudrillard, simbol mendahului dari apa yang disimbolkan.

Berbicara bahasa jawa Cirebon jarang ditemui di tempat-tempat umum. Ada keminderan yang

mendera di masyarakat. Jika berbicara bahasa jawa berkonotasi orang desa dan katro, lebih

suka memakai bahasa Indonesia ala Jakarta. Apalagi musik tarling pantura, hampir tidak ada

pemuda yang menyanyikannya. Lebih menggauli musik Mtv dan boy band berbehel dan

pamer BB. Tak ada café menggelar live musik pantura, cuma ditemukan di acara nikahan atau

pesta rakyat. Bahkan sampai di kampus sekelas negeri pun tidak ada. katanya sih, mengumbar

nafsu, padahal kita tahu pejabat kampus pun nafsu akreditasi toh. Tersubordinasinya kultur

Cirebon menempatkan titik terbawah dari garis vertikal status sosial.

Membentuk sebuah oposisi biner antara tradisional dan modern. Tradisional yang bersifat tua,

kuno, Statis, lambat dan modern yang bersifat muda, baru, dinamis, cepat. Sudah

menghegemoni dikalangan pemuda, tradisi terlihat sebagai wabah virus lepra yang

melumpuhkan dan lebih mengambil bentuk kemodernan sebagai vitamin perubahan. Anak

muda terjangkiti “kepikunan dini” atas dirinya sendiri yaitu tradisi asal sebagai identitas

otentik.

Perlu adanya kesadaraan dan pengakuan bahwa kebudayaan kita sekarang sedang

kebingungan di persimpangan jalan. Harus sigap dan cepat menentukan arah kemana akan

dibawanya budaya ini. Tindakan perubahan dengan wacana yang mengawang-awang di langit

harus ditarik ke bumi untuk tindakan yang konkret. Mendirikan dan menjalankan pusat-pusat

kebudayaan di daerah perlu diadakan untuk mengkat kebudayaan lokal. Indonesia tidaklah

berarti tanpa adanya budaya yang berada di daerah-daerah. Menjadi Indonesia bukanlah

memuja Indonesia. Namun, bertindak mengangkat daerah untuk dipersembahkan kepada

Indonesia.

Strategi pemerintah pun penting dalam menyusun strategi kebudayaan untuk memunculkan

kearifan lokal yang masih terselip dalam taradisi dan untuk meminimalisir penyelewengan

budaya seperti penjualan naskah kuno. Mengubah karakter masyarakat yang konsumtif

menjadi produktif, peniru menjadi pencipta, pengikut menjadi kreator. Perlu ditanamkan

secara dini dan aplikatif di lingkungan sekolah. Agar pembagunan karakter yang diharapkan

bisa terwujud ketika tulisan ini lapuk.

Kebudayaan tradisional tidaklah asketis dan konservatif terhadap dunia modern dan tidak juga

mendistorsi kebaruan secara binal. Namun menempatkan pada satu tatanan yang menjadi akar

untuk menumbuhkan karya baru sehingga dapat berdiri tegak dari terpaan angin kumbang.

Page 58: Contoh Esai Juara Temp0

Turut ambil aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, bukan menjadi mayoritas

yang diam dikuasi oleh segelintir elite.

Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa revitalisasi kebudayaan bukan sekedar menggali

puing-puing tradisi untuk diagung-agungkan semata, melainkan kearifan lokal yang tersimpan

dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerahan dalam mengubah karakter

masyarakat konsumtif. Menjadi Indonesia yang berbudaya tidaklah mustahil dan bukan

angan-angan yang terlalu muluk. Karena memang bangsa ini sudah mempunyai riwayat

sejarah budaya nyata. Kita tinggal meneruskan dan mengolahnya dalam mengahadapi budaya

modern. Pada umur Indonesia ke 100 tahun akan menjadi kiblat dari cerminan dunia.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

“Rekonstruksi Sistem Pendidikan Indonesia dengan Penerapan Sistem Focus on

Subject”

Oleh: RAHMAT HIDAYAT - UNIVERSITAS HASANUDDIN

 

 

 

Ringkasan Esai

Berbicara mengenai kehebatan serta kemajuan sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dari

yang namanya peranan penting sebuah “PENDIDIKAN”. Pendidikan di semua negara

merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian baik dari pemerintah

maupun masyarakat dalam negara tersebut. Tanpa adanya pendidikan, yakinlah bahwa negara

tersebut tidak akan pernah mengalami yang namanya perkembangan. Oleh karena itu,

diperlukan sebuah sistem yang betul-betul bagus untuk menata proses pendidikan yang akan

berjalan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh masing-masing negara itu berbeda-beda,

termasuk Indonesia. Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung di

Indonesia sekarang ini, sepertinya perlu dievaluasi keberhasilannya. Sudah banyak sistem

yang telah dicoba oleh bangsa kita, akan tetapi sistem tersebut belum bisa membuat negara

kita maju dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru yang bisa

memperbaiki kondisi pendidikan di negeri kita yang tersayang.

 

Page 59: Contoh Esai Juara Temp0

——————-

Sistem yang saya maksudkan di sini adalah sistem pembelajaran focus on subject, maksudnya

adalah di dalam menempuh sebuah pendidikan, kita tidak boleh melakukan pemaksaan

kepada orang lain untuk mempelajari dan menekuni pelajaran yang mereka tidak inginkan

atau sukai. Seharusnya kita memberikan kebebasan kepada seluruh pelajar untuk memilih

bidang yang mereka sukai sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dengan begitu,

mereka tidak akan tertekan dalam hal proses belajar mengajar, mereka akan belajar dengan

nyaman dan tanpa beban karena apa yang mereka pelajari adalah bidang yang memang

mereka inginkan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga, akhirnya nantinya akan

lahir pelajar-pelajar yang ahli di masing-masing bidangnya. Jadi, dengan begitu, dengan

penerapan sistem ini, setiap siswa atau pelajar akan difokuskan untuk belajar sedikit saja yang

penting mereka ketahui secara mendalam tentang apa yang mereka pelajari. Lagi pula, secara

logika untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan

mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam

ilmu yang kita pilih.

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak

yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyak orang yang mengatakan bahwa kuantitas

Sumber Daya Manusia (SDM) di sebuah negara merupakan salah satu faktor yang dapat

mempercepat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sebuah negara menuju negara maju.

Semakin banyak penduduk sebuah negara, maka negara tersebut juga akan cepat mengalami

perkembangan. Akan tetapi, jika kita bercermin ke negara kita yang tercinta yaitu Indonesia,

hal tersebut tidak kita dapatkan. Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang

sangat banyak, tetapi sampai sekarang negara kita masih berada pada posisi negara

berkembang. Menurut saya, kuantitas SDM dari sebuah negara memang tidak bisa kita

abaikan begitu saja, akan tetapi hal yang paling penting dari semua itu adalah kualitas yang

dimiliki oleh masyarakat yang ada di negeri tersebut.

Contohnya seperti negara China, selain memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak,

kualitas masyarakatnya juga sangat bagus yang tidak jauh berbeda dari negara-negara Eropa

dan Amerika. Di negara ASEAN sendiri, kita bisa lihat bagaimana Singapore yang hanya

sebuah negara kecil yang memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit dibandingkan

Indonesia, akan tetapi Singapore lebih baik dan lebih maju dibandingkan Indonesia, begitupun

dengan negara yang lainnya seperti Jepang, Korea dan yang lainnya. Apa sebenarnya yang

membuat mereka bisa seperti itu? tidak lain jawabannya adalah karena kualitas masyarakat

atau SDM-nya yang sangat bagus dibandingkan dengan Indonesia. Di sini, saya tidak

Page 60: Contoh Esai Juara Temp0

mengatakan bahwa kualitas SDM atau masyarakat Indonesia itu sangat tidak bagus, akan

tetapi kualitas tersebut masih perlu diperbaiki lagi dan ditingkatkan supaya kita tidak

tertinggal dari negara-negara lainnya yang sudah maju.

Indonesia memiliki potensi yang sangat bagus untuk dikembangkan, apalagi kita didukung

oleh Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak dan melimpah. Banyak negara luar yang

mengatakan bahwa Indonesia adalah surganya dunia. Jadi, apa lagi yang kurang dari negeri

kita yang tercinta ini, tinggal kita sebagai penghuninya yang harus cerdas dalam

memanfaatkan semua itu. Kualitas SDM sebuah negara tidaklah langsung tercipta begitu saja,

akan tetapi dibutuhkan sebuah proses yang panjang dalam pembentukannya. Singapore yang

dulunya tidak mendapatkan perhatian dunia internasional, sekarang sudah menjadi salah satu

negara yang dianggap berhasil memajukan negaranya, serta menjadi representative dari

komunitas ASEAN di mata dunia internasional. Oleh karena itu, untuk menjadikan negara

kita ini maju dan berhasil, maka yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kualitas SDM

yang kita miliki.

Dan menurut saya, cara yang paling bagus untuk meningkatkan kualitas SDM dari negara kita

adalah dengan memperbaiki sistem PENDIDIKAN yang selama ini kita jalani dan terapkan di

negara ini. Pendidikan sangat berperan penting dalam hal pembentukan karakter dan kualitas

masyarakat sebuah negara. Jika kita memang tidak ingin ketinggalan dari negara lainnya, dan

ingin bersaing di kancah internasional, maka Indonesia perlu mengevaluasi sistem pendidikan

yang selama ini telah diterapkan. Kita mencari alternatif baru atau memperbaiki sistem yang

sudah ada, intinya sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi. Dan menurut saya,

tidak masalah ketika kita mengadopsi ataupun belajar dari pengalaman negara-negara lain

dalam hal sistem pendidikan yang diterapkan di negaranya.

Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk peradaban bangsa setiap Negara di

dunia ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan hal yang sangat dinamis dan

sangat peka terhadap perubahan berdasarkan perkembangan zaman. Pendidikan di Indonesia

mengalami beberapa perkembangan sejak zaman perkembangan Hindu Budha sampai dengan

zaman pasca reformasi sekarang. Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa

perkembangan Hindu Budha sampai paska kemerdekaan berkembang secara stimultan. Dari

mulai perkembangan sastra yang dibawa oleh Hindu Budha, pesantren oleh masa

perkambangan Islam, sampai sekolah yang dibawa oleh masa colonial Belanda sampai

sekarang. Pendidikan di Indonesia mempunyai system semi disentralisasi. Yang dimaksud

dengan semi disentralisasi adalah setengah disentralisasi setengah sentralisasi. Dalam konsep

manajemen sekolah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan sekolah diserahkan

Page 61: Contoh Esai Juara Temp0

sepenuhnya oleh sekolah, akan tetapi dalam system evaluasi masih menganut sentralisasi

dimana ujian Negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat.

Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini

kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini

disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa

sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan

disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian

nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali

lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah

negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu

orang. Sungguh jauh panggang dari api atau bagai punguk merindukan bulan.

 

Sesuatu yang harus kita perbaiki adalah paradigma pemikiran. Baik itu dari para pengambil

kebijakan (para pejabat di kementerian), para pelaksana di tingkat managerial (Para pejabat di

tingkat dinas baik propinsi maupun kabupaten) sampai pada para pelaksana di lapangan (para

guru). Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan.

Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,

mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang

pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik,

pengawas, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan

teknisi sumber belajar. Semuanya itu harus berfungsi sebagaimana yang telah menjadi tugas

dan tanggung jawabnya. Jika semuanya bisa berjalan sesuai dengan koridornya, maka

yakinlah, bahwa pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan yang terbaik di dunia.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pendidikan yang ada di negeri ini,

seperti yang saya sebutkan tadi bahwa tidak ada salahnya ketika kita mencoba meniru,

mengadopsi serta belajar dari pengalaman negara lain dalam memajukan pendidikannya.

Sudah banyak negara di luar sana yang telah berhasil mengembangkan pendidikan dengan

metode yang mereka gunakan, dan salah satunya adalah negara Finlandia. Finlandia telah

diakui oleh dunia internasional sebagai sebuah negara yang berhasil memajukan pendidikan di

negaranya. Sedikit saya berikan gambaran pendidikan di Finlandia sebagai bahan acuan atau

pelajaran bagi kita untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Di Finlandia hanya

ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri

adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah

Page 62: Contoh Esai Juara Temp0

menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah

pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat

daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!

Jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang

sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, testing

itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita

cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di

Finlandia. Kita belajar di sekolah hanya ingin dapat nilai akademik yang bagus dan

memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknya

yang penting nilai kita bagu. Pada usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahui

kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan

tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak pra-TK. Hal ini

membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri.

Semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent.

Karena dengan adanya banyak pendiktean membuat para siswa akan merasa tertekan dan

suasana belajar menjadi tidak menyenangkan. Bagaimana dengan siswa yang kurang cepat

tanggap ? Mereka akan mendapatkan bimbingan yang lebih intensif. Inilah yang membuat

Finlandia berhasil menyandang gelar Negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia.

Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program

individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, contohnya:

Pertama, masuk kelas, kemudian datang tepat waktu, berikutnya membawa buku, dsb. Kalau

mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka

berusaha. Dari sini, dapat dilihat sangat tercermin kalau guru di sana tidak menuntut anak

didiknya untuk mengerjakan dengan hasil yang harus benar, para guru Finlandia menghargai

setiap usaha dari siswanya.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika

kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan

jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa

diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka

dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar

bangga terhadap dirinya masing-masing. Adanya ranking hanya membuat guru memfokuskan

diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Dari gambaran ini, kita

bisa belajar bahwa ternyata, negara yang tak diunggulkan bisa menjadi yang terbaik di dunia,

Page 63: Contoh Esai Juara Temp0

tentu semua itu karena adanya kemauan & usaha yang keras serta kesolidan dari berbagai

pihak.

Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem

pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa

belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran

siswa tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap siswa

memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua siswa

harus suka belajar matematika, karena ada siswa yang tidak memiliki keahlian sama sekali di

bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya.

Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan

ketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di

bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, siswa bebas menentukan kelas jurusan

apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangat

yakin bahwa siswa akan belajar dengan santai serta siswa tidak akan mengalami yang

namanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai,

mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun.

Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap siswa untuk

focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para

pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk

belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas

siswa tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk apa

kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran

tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih.

Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-

masing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa

memahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negara-

negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnya

untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orang

yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak

ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan

Indonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya

khususnya dalam bidang pendidikan.

 

 

Page 64: Contoh Esai Juara Temp0

let’s we move together and we change our nation to be better than before.. Never say give up!

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

-            Wahyudi blog

-            www.kompasiana.com

-            www.ilmu pendidikan.net

 

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Budaya Didik yang Belum ‘Mendidik’

Oleh: WAN ULFA NUR ZUHRA - UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

 

 Rangkuman:

Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,

membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Pertanyaannya adalah, sudahkah

lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan

dialektika, dan menghaluskan perasaan? Di negeri ini, guru atau dosen hanya menjadi mesin

distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian,

pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir

semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah

dihafalnya. Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik,

tanpa proses dialektika.

Anak-anak Indonesia perlu diajarkan menjadi kritis sejak dini. Mereka harus dibiasakan

menanyakan segala hal. Peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk

mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama, bukan

kesepakatan sepihak dari guru atau dosen.

 

——

Page 65: Contoh Esai Juara Temp0

Pertengahan Februari tahun 2010 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit diskusi

dengan Butet Manurung, perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan

bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi. Saat itu kami berdiskusi tentang bagaimana

perbedaan pola pikir anak-anak di kota dengan anak-anak di Suku Anak Dalam.

“Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,” begitu Butet membuka diskusi. Sebuah

statement yang membuat saya—sebagai anak yang tinggal di Kota—sedikit malu. Lalu Butet

ceritakan pengalamannya mengajar anak-anak rimba.

Mereka, anak-anak rimba selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan “Untuk apa

kami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.” Butet lalu menjelaskan tentang

konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan mereka

cukup logis, “Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.” Butet

pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian.

Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar—

karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian,

lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet.

Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak di

Kota bertanya megapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu?

Mengapa harus belajar ini itu? Bahkan saya tak pernah bertanya pada orang tua saya,

mengapa saya harus sekolah? Semua itu sudah seperti ritual yang memang harus dilakukan.

Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi menurut saya ini esensial. Ketika seorang anak bertanya

tentang sesuatu, berarti ia berpikir, dan berpikir adalah awal ditemukannya ilmu pengetahuan.

Tanpa berpikir, James Watt tak akan pernah bisa menciptakan mesin uap.

Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,

membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Bayangkan apa jadinya peradaban

manusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikan

formal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik.

Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh Negara di

Dunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakan

manusia-manusia yang bermutu.

Pertanyaannya adalah, sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun

proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali boleh

saya bilang ‘Tidak’.

Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan, meminimalkan proses

ceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan, namun proses pembelajaran

Page 66: Contoh Esai Juara Temp0

semestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuan

kalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal?

Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada

kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut

haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus

menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya.

Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik, tanpa proses

dialektika. Ya bagaimana bisa mengkritik, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan

perguruan tinggi hanyalah budaya menghapal?

Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam

proses belajar- mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarang

makan selama proses belajar-mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan

baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu.

Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak

berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jika

mereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya

begitu, tak boleh protes, tak boleh mengkritik. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturan

sepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus.

Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk

mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yang

diyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan

tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir.

Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator, bukan

diktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru seperti

dimaksud Tan Malaka.

Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah

untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki

penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didorong

untuk memiliki keberanian berbicara.

Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan.

PP 19/2005 pasal 19 menyebutkan bahwa “Satuan pendidikan diselenggarakan secara

interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan

kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik”.

Page 67: Contoh Esai Juara Temp0

Namun, pada prakteknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih

mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itu

memang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator.

Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam

belajar.

Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalah

dalam pendidikan di negeri ini sebenarnya, mulai dari dana pendidikan hingga usaha

komersialisasi pendidikan. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikan

kita, pada praktek pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada

petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Tak

cukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak pada

tataran praktek di kelas. Memikirkan dengan serius!

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Bersua Dengan Bhinneka

Oleh: HAPSARI KUSUMANINGDYAH - UNIVERSITAS INDONESIA

Rangkuman:

Konflik yang terjadi atas nama perbedaan memunculkan sejumlah kegelisahan tersendiri akan

makna persatuan dalam keberagaman. Bhinekka Tunggal Ika yang selama ini menjadi

semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara dicari keberadaanya, secuil perayaan Imlek di

kampung Sudiroprajan dianggap penulis sebagai salah contoh peristiwa yang merefleksikan

Bhinekka Tunggal Ika. Perayaan ini menggambarkan sebuah tujuan superordinat bagi kedua

belah etnis untuk saling bertemu dalam kedamaian, bila dianalogikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara sebuah tujuan superordinat juga perlu di desain guna mencipta

sebuah tujuan yakni persatuan.

 

——————–

 

Perkenalan saya dengan Bhinneka Tunggal Ika  bermula  di bangku sekolah dasar ketika

menghafal lima sila Pancasila berserta isi gambar Burung Garuda merupakan sebuah

kewajiban. 15 belas tahun lalu saya masih mempertanyakan apa pentingnya pelajaran tentang

Page 68: Contoh Esai Juara Temp0

“persatuan” ini, yang disajikan secara membosankan dan di kemas dalam narasi panjang yang

tak tahu rimbanya dengan kehidupan. Namun kini saya sangat rindu akan makna pelajaran ini,

ketika sering sekali saya dengar berita mengenai konflik antar suku, etnis, dan agama. Konflik

Syiah dan Sunni di Sampang di Madura, Teror Bom di Solo, Kampanye berbumbu sentimen

agama  menjelang Pilkada DKI, tawuran antar pelajar sekolah hingga konflik-konflik berbau

sentimen suku, etnis, agama dan antar golongan. Semua peristiwa ini membuat saya sangat

rindu, rindu untuk bersua dengan “Bhinekka Tunggal Ika” yang sebenarnya.

Adalah seorang siswa taman kanak-kanak yang membantu saya untuk berjumpa dan melihat

apa itu Bhinnekka Tunggal Ika. Wahyu, bocah TK  berusia 4  ini mungkin tidak tahu, apa itu

arti persatuan dalam keberagaman, toleransi antar suku,ras, dan agama. Namun di sudut-

sudut  rumanhnya,di tiap gang sempit dikampungnya di Sudiroprajan ada semerbak  aroma 

keberagaman dan keharmonisan yang berusaha dijaga oleh penduduknya yang mayoritas etnis

Jawa dan Tiong Hoa. Wajahnya sangat sumringah saat menyambut Imlek, walaupun dia tidak

secara langsung merayakan Imlek karena  Bapak Ibunya merupakan seorang muslim turunan

Jawa. Sepupu kecil saya ini selalu membawa cerita gembira tiap Imlek tiba. Dialah yang

menceritakan tentang senangnya mendapat angpaou merah, melihat arak-arakan parade

kebudayaan, pertunjukkan Liong dan Barongsai yang meriah, dan gunungan kue keranjang.

Seluruh narasinya tentang Imlek ini menjadi indah walaupun disajikan terbata-bata karena

naratornya saja baru baru belajar bicara. Narasi Wahyu tentang Grebeg Sudiroprajan

merupakan secuil kisah romantis tentang persatuan. Sebuah perayaan yang ihwalnya milik

orang Tiong Hoa namun turut di semarakkan oleh orang Jawa. Tidak hanya di isi oleh 

Barong Sai dan Liong saja, namun juga di percantik dengan pertunjukkan tari Manggala

Yudha. Semua berbagi, menari dalam persatuan, bahkan Gunungan yang merupakan ciri khas

perayaan adat Jawa pada akhirnya menurut untuk dikawinkan dengan kue keranjang.

Ceritanya tidak berhenti sampai situ saja, namun berlanjut ketika saban hari yang dia

sambangi adalah teman-teman mainnya yang bermata sipit, budhe dan buliknya yang

beragama Katholik hidup damai walau tinggal satu atap dengan bapak ibunya yang muslim.

Semua cerita bocah kecil tentang perbedaan itu merupakan sebuah gambaran kecil, sebuah

subsistem dari sebuah kehidupan kampung di Sudiroprajan di kota Solo yang merefleksikan

semboyan Bhineka Tunggal Ika

Sebuah Persatuan Bukan Kesatuan

Sebuah pesan singkat dalam sebuah frasa Bhinekka Tunggal Ika  ternyata menyeret sebuah

narasi panjang bernama “persatuan”. Nilai bernama “persatuan” ini sudah berusaha di

doktrinasi kepada para anak-anak sejak dini,  melalui mata pelajaran kewarganegaraan.

Page 69: Contoh Esai Juara Temp0

Didalamnya terdapat instruksi untuk menghafalkan kelima sila beserta berbagai pasal tentang

kenegaraan dan terkadang stuktur mengenai pemerintahan. Namun esensi nilai persatuan ini

seakan kabur, karena di kubur oleh kesalahan pemaknaan akan kata persatuan itu sendiri.

Segala nilai persatuan pada akhirnya di reduksi ke dalam kata keseragaman dan kesamaan

yang berarti bahwa hanya ada satu nilai yang benar dan di legitimasi. Dahulu sewaktu masih

duduk di bangku sekolah dasar Bapak Guru mengajarkan kami untuk mengasihi “sesama”.

“Sesama” yang sama agama, sama sukunya, sama bahasanya, sama pemikirannya, sama

kelompoknya.  Saya ingat bagaimana Bapak Guru menceritakan baiknya agama dan suku

kami namun tidak pernah menyingung perihal kebaikan dari kelompok lain. Kami tidak

diedukasi untuk tahu atau mengerti ada agama lain di luar agama kami, yang saya ingat hanya

kalimat “YANG LAIN KAFIR”. Semua yang makna persatuan jadi kabur karena berisi ajaran

tentang dominasi, hegemoni, kesenangan akan subordinasi, dan minimnya pengetahuan akan

eksistensi kelompok lain.

Padahal Menurut Fromm  dalam bukunya The Art of Love konsep  persatuan dan konsep

kesetaraan dapat dibahas dalam konteks cinta kasih antar sesama.  Cinta inilah di cirikan

dengan minimnya ekslusivitas karena adanya perasaan kesetaraan merasa sama-sama menjadi

manusia. Inilah yang mendasarkan manusia untuk saling mengambil tanggung jawab,

menolong, membantu, dan menghargai sesama manusia (Fromm,1956). Bahkan konsep

kesetaraan dan persatuan ini mendapatkan tempat dalam konteks religiusitas bahwa kita sama-

sama hamba Tuhan sama-sama manusia yang di ciptakan olehnya. Kesetaraan sekarang telah

berubah menjadi keseragaman bukannya persatuan “ atau rasa menjadi satu”(Fromm,1956).

 

Anasir Perjalanan Bangsa

Runyam segala runyam, karena semboyan bangsa jadi kabur dan tak tahu rimbanya dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal ihwal semboyan Bhinekka Tunggal Ika lebih tua

dibandingkan ihwal negara kita, karena 800 tahun yang lalu jauh sebelum Pancasila lahir,

kalimat itu telah tertulis dalam sebuah kitab Purusadha Santa atau yang lebih di kenal dengan

kitab Sutasoma di zaman Majapahit. Semboyan ini bukanlah sekedar rangkaian frasa atau

gantungan kaki burung garuda, tapi juga sebuah refleksi sejarah Nusantara. Hubungan antara

agama Budha dan Hindhu yang harmonis saat itulah yang mengilhami sang penulis Empu

Tantular untuk menggambarkan bagaimana persatuan dapat di bangun dalam pondhasi yang

beragam.

Bahkan sebelum teori multikulturaisme yang popular dari Kanada 50 tahun yang lalu lahir,

semboyan “Bhinekka Tunggal Ika” yang isinya hampir sama sudah mbrojol terlebih dahulu ke

Page 70: Contoh Esai Juara Temp0

Bumi Nusantara. Semboyan ini telah di tempa oleh ratusan peristiwa sejarah, pergantian

dinasti kerajaan, peperangan, kolonisasi dan akhirnya  berhasil mencuri perhatian para panitia

persiapan kemerdekaan Indonesia. Semboyan ini adalah sebuah refleksi panjang perjalanan

sebuah bangsa yang dulunya berasal dari chauvinis-chauvinis kecil kerajaan-kerajaan, dari

pecahan berbagai suku, budaya dan agama yang beragam.

Beban sebuah Konflik

Sebagai sebuah landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Bhinekka Tunggal Ika

seharusnya dapat hadir dalam keseharian kita, untuk itu memerlukan usaha para manusia-

manusia Indonesia untuk menjaganya. Namun nyata sangat sulit hanya untuk bersua dengan

Bhinekka Tunggal Ika di “alam”Indonesia. Tumpukan kesedihan mulai tumpah ketika banyak

sekali konflik terjadi atas nama perbedaan mencuat. Larangan beribadah bagi umat minoritas 

beragama tertentu seperti Ahmadiyah, konflik suku yang tak berkesudahan di Poso dan

Papua, saling serang mulai dari pelajar hingga mahasiswa, sampai cerminan pesta demokrasi

yang di gentayangi dengan isu SARA. Selain menyita perhatian, konflik-konflik ini seakan

lingkaran setan yang tak ada habisnya diulang dan di bumbui dengan korban, kematian, darah,

isak tangis, kerugian fisik dan psikologis. Berapa harga yang harus kita bayar untuk konflik

atas nama perbedaan, berapa rumah yang harus dibakar? Berapa pemuda yang harus

meregang nyawa karena paradigma primordial kesukuan, kegamaan,keanggotaan, atau

apapun itu namanya. Konflik-konflik ini merupakan sampah tersendiri bagi arus kemajuan

bangsa, hitung saja berapa energi yang kita habiskan untuk memikirkan hal-hal yang

kontraproduktif ini.

Mencipta Sebuah Tujuan Superordinat

Seorang psikolog sosial bernama Sherif tahun 1961 pernah melakukan sejumlah eksperimen

mengenai dinamika kelompok (Forsyth,2010). Ada 2 kelompok yang di desain oleh untuk

saling bermusuhan dalam sebuah setting tertentu yakni kompetisi dan sabotase. Namun di

tengah jadwal yang telah di rencanakan,eksperimen hampir di hentikan karena hasilnya

melebihi apa yang di harapkan. Kedua kelompok ini telah berkonflik sedemikian hingga

hingga memunculkan tindakan kekerasan. Pada akhirnya sebuah resolusi di ciptakan yakni

dengan membuat sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok. Eksperimen

terhadap kelompok ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah konflik dapat di desain

karena adanya rekayasa dan manipulasi akan “perbedaan” namun juga tidak menutup

kemungkinan untuk diselesaikan dengan sebuah tujuan bersama yakni tujuan superordinat.

Kembali ke narasi Wahyu, bahwa sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok

dapat mempererat hubungan antara dua kelompok. Misalnya antara etnis Jawa dan etnis Cina

Page 71: Contoh Esai Juara Temp0

di kampung Sudiroprajan yang akhirnya memiliki sebuah tujuan bersama. Merayakan Imlek

dengan menggabungkan kedua unsur budaya, dan mengajak segenap etnis yang berada disana

untuk turut memeriahkan Imlek. Dari sebuah bingkai kecil kehidupan di kampung

Sudiroprajan membawa sebuah pesan besar akan persatuan. Persatuan akan sebuah bangsa

yang tersusun atas enigma-enigma suku bangsa yang berbeda, walaupun berbeda sebenarnya

kita semua sama, sama-sama manusia, manusia Indonesia!

 

Daftar Pustaka

Forsyth, D. R. (2010). Group Dynamics. Belmont: Cenggage Learning.

Fromm, E. (1956). The Art of Loving. New York: Harper & Row Publisher.

Purwadi, D. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan

Perkembangannya di Jawa. Yogjakarta: Media Abadi.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Melihat Indonesia Lebih Dekat

Oleh: UTOMO PRIYAMBODO - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

 

Ringkasan Esai:

Berdasarkan pengamatan terhadap teman-teman sekampus saya, saya menemukan fakta

bahwa teman-teman kampus yang ketika kecil tumbuh dan besar di lingkungan

perkampungan, pedesaan, dan daerah-daerah sejenisnya yang mayoritas dihuni ‘”rakyat”,

memiliki sikap dan pemikiran yang lebih nasionalis dibandingkan teman-teman kampus yang

ketika kecil tumbuh dan besar di perumahan-perumahan kota yang justru terkesan bersikap

dan berpermikiran kapitaslis. Kata “rakyat” di sini secara khusus ditujukan untuk lapisan

masyarakat kelas bawah.

Dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia ini, saya merasa bahwa mata pelajaran

kewarganegaraan yang diajarkan di tiap-tiap instansi pendidikan masih sangat kurang

berperan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada tiap-tiap diri peserta didiknya.

Pelajaran itu, bagi saya sendiri, hanya menjadi pelajaran sampingan yang sifatnya formalitas.

Semakin lama, semakin banyak peserta didik yang justru meremehkannya.

Page 72: Contoh Esai Juara Temp0

Menurut saya, untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, rasa cinta kepada bangsa dan negara

Indonesia, kita haruslah terlebih dulu mengenal bangsa dan negara ini. Unsur utama suatu

bangsa dan negara adalah rakyatnya. Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan tiap instansi

pendidikan di negeri ini memiliki kurikulum yang memungkinkan adanya kegiatan-kegiatan

bagi peserta didiknya untuk dapat melihat kehidupan rakyat Indonesia secara lebih dekat.

Mulanya memang hanya sekedar melihat, tapi kemudian mengenal, lalu sayang, dan akhirnya

cinta.

—————————-

Ketika dulu masih kecil, saya sering merasa malu dengan lokasi rumah saya yang berada di

daerah perkampungan. Kebetulan, teman-teman sekolah saya yang lain, kebanyakan

rumahnya berada di daerah perumahan, di kompleks, atau yang sejenisnya.

Saat mengisi kolom alamat biodata pribadi, hampir semua teman mengisinya dengan nama

jalan, nama kompleks, ataupun nama perumahan. Sedangkan saya ketika itu harus secara

malu-malu mengisinya dengan rangkaian tulisan berkata pertama “Kampung”. Kenyataannya,

rumah saya memang berada di sebuah kampung bernama Kampung Kebantenan, Jatiasih,

pinggir kota Bekasi. Sejak awal, ibu saya telah mencontohkan kepada saya untuk menuliskan

“Kampung” atau bila disingkat “Kp.” sebagai kata pertama tulisan di setiap kolom alamat

biodata saya. Baik itu untuk biodata TK, SD, maupun biodata kuliah saya sekarang, meski

kini tak perlu lagi dicontohkan oleh beliau karena saya sudah terbiasa menuliskannya sendiri.

Namun, perasaan malu itu kian lama kian hilang seiring bertambahnya usia saya, juga

(mungkin) kedewasaan saya. Kini saya justru merasa beruntung karena sejak kecil saya

tumbuh dan besar di daerah perkampungan. Kenapa? Karena banyak pengalaman yang saya

peroleh selama saya tumbuh dan besar di sana yang kemungkinan besar tidak akan saya

dapatkan bila saya tinggal di daerah kompleks perumahan, atau yang sejenisnya.

Salah satunya adalah tentang beragam dan banyaknya fenomena sosial yang saya jumpai dan

alami selama saya tinggal di lingkungan rumah saya yang merupakan daerah perkampungan

itu. Bila teman-teman saya yang orang kompleks atau perumahan hanya akan menjumpai

rumah-rumah dan orang-orang yang tak jauh beda kondisi sosialnya dengan keluarga mereka;

di lingkungan rumah saya, sehari-harinya saya selalu melihat fenomena-fenomena sosial yang

mencerminkan kehidupan rakyat dengan sebenar-benarnya makna rakyat.

Di daerah perkampungan rumah saya, kasta sosial-ekonomi-pendidikan masing-masing

keluarga sangatlah beragam. Ada yang termasuk kelas atas, kelas menengah, dan banyak

kelas bawah. Keluarga saya termasuk yang beruntung karena tidak temasuk kelas bawah.

Tapi, saya memiliki teman-teman sekitar rumah yang kebanyakan berasal dari keluarga kelas

Page 73: Contoh Esai Juara Temp0

bawah alias kurang mampu. Saya senang dan bahagia bergaul dengan mereka. Walaupun

ketika kecil dulu, saya suka malu bila terlihat oleh teman-teman sekolah, saya sedang bermain

dengan teman-teman lingkungan rumah yang biasa disebut anak-anak kampung.

Namun, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, sekarang saya justru merasa beruntung

telah mendapatkan pengalaman hidup tumbuh dan besar di dekat rakyat Indonesia dengan

sebenar-benarnya makna rakyat. Apa maksud dari rakyat dengan sebenar-benarnya makna

rakyat?

Definisi rakyat secara formal adalah penduduk suatu negara[1] dan itu mencakup semua

orang tanpa terkecuali. Namun, kata rakyat, sebenarnya lebih sering ditujukan secara khusus

untuk lapisan masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu, bila kita mengamati penduduk yang

tinggal di sebuah kavling perumahan ataupun kompleks, dapat kita simpulkan sendiri bahwa

mayoritas bahkan semua orang yang tinggal di sana adalah masyarakat lapisan kelas

menengah ke atas. Mereka bukanlah rakyat yang dimaksudkan, bukan rakyat dengan sebenar-

benarnya makna rakyat.

Mengapa saya merasa beruntung pernah hidup lama di dekat rakyat? Sebab atas pengalaman

hidup itulah saya merasa terbentuk menjadi seorang yang mudah untuk bersimpati dan

berempati kepada rakyat Indonesia –dengan sebenar-benarnya makna rakyat.

Jiwa nasionalisme saya mendapat rangsangan lebih untuk memajukan bangsa dan negara ini

sebab saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa masih banyak rakyat

Indonesia yang memerlukan bantuan. Masih banyak rakyat Indonesia yang hidupnya

kesulitan. Masih banyak rakyat Indonesia yang taraf sosial, ekonomi, dan pendidikannya

rendah. Ya, banyak keluarga di dekat rumah saya di sana yang butuh diberdayakan. Banyak

teman-teman masa kecil saya di sana yang putus sekolah. Ketika sekarang saya tengah

berkuliah; kebanyakan dari mereka justru telah bekerja sejak usia remaja dan bahkan sudah

berkeluarga meski dengan status pekerjaan yang belum dapat menjamin masa depan.

Seperti yang pernah ditulis oleh seorang Soe Hok Gie, “Dan mencintai tanah air Indonesia

dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.[2] Saya

sangat menyepakati pernyataan tersebut. Apalagi saya telah merasakan sendiri dampak dari

pengalaman semacam itu.

Contoh serupa, ketika di kampus, teman-teman kuliah saya yang sejak kecil tumbuh dan besar

di lingkungan perumahan atau kompleks, terlihat lebih senang bergaul dengan sesama “anak

gaul kota” dan cenderung hura-hura. Sedangkan teman-teman lain yang sejak kecil seperti

saya tumbuh dan besar di lingkungan rakyat, sekalipun bisa saja mengikuti gaya hidup anak

gaul kota dengan menghamburkan harta orang tua, justru lebih senang bergaul secara lebih

Page 74: Contoh Esai Juara Temp0

sederhana dengan teman-teman yang berasal dari wilayah-wilayah daerah. Ketika teman-

teman saya yang “anak gaul kota” tadi memiliki cita-cita untuk bekerja di perusahaan asing

swasta dengan gaji puluhan juta; teman-teman yang ketika kecil seperti saya dan teman-teman

yang berasal dari daerah tadi justru berniat untuk bekerja membangun perusahan milik negeri

sendiri saja, atau di perusahaan-perusahan yang memungkinkan mereka untuk membangun

dan kembali ke daerah setelah lulus nanti.

Saya tidak bermaksud tinggi hati menceritakan hal di atas. Namun, itu adalah fakta di antara

teman-teman saya, meski tidak bisa juga menggeneralisasi semua teman. Sebab ada juga anak

gaul kota tapi tetap nasionalis, atau anak daerah tapi kapitalis (maaf). Tapi, sebagian besar

pembagian klasifikasi di atas adalah benar yang saya temukan.

Dua orang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban, melakukan sebuah rangkaian perjalanan

mengelilingi Indonesia untuk memotret fenomena kehidupan rakyat dan alam di segenap

daerah. Mereka menamakan rangkaian perjalanan tersebut “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa”.

Hasil rangkaian perjalanan tersebut diabadiakan dalam sebuah buku oleh Ahmad Yunus.

Buku itu berisi ringkasan tulisan, foto, dan video catatan perjalanan mereka berdua.[3]

Berdasarkan pengakuan mereka berdua, rasa cinta mereka kepada Indonesia menjadi semakin

bertambah setelah melakukan ekspedisi tersebut. Sebab, mereka telah melihat sendiri

bagaimana kenyataan kehidupan rakyat di segenap penjuru tanah air, di berbagai pelosok

daerah di Indonesia. Kenyataan itulah yang membuat mereka pun menghimbau para pembaca

buku itu untuk pergi melihat Indonesia secara lebih dekat, melihat fenomena rakyat juga

alamnya.

Saya ingin mengutip sebuah pepatah yang sering kita dengar bersama, “Tak kenal maka tak

sayang, tak sayang maka tak cinta.” Begitu benar isi pepatah itu menurut saya. Jika kita tak

mengenal bangsa dan negara ini bagaimana mungkin kita bisa mencintainya? Lengkapnya

lagi, bagaimana mugkin kita bisa mengenal sesuatu jika kita tak pernah mengamatinya,

melihatnya. Dan unsur utama sebuah bangsa dan negara adalah rakyatnya.

Saya yakin bila semua warga negara ini mau melihat Indonesia secara lebih dekat dengan

melihat, mengenal, dan membiasakan diri untuk dekat dengan rakyat Indonesia, niscaya rasa

cinta yang ada pada diri tiap-tiap warga kepada bangsa dan negara ini akan muncul dan

bertambah. Siapapun dan apapun profesi warga negara tersebut. Baik itu pelajar, pengusaha,

pejabat pemerintahan, maupun lainnya. Sehingga, bangsa dan negara ini pun akan menjadi

bangsa dan negara yang sejahtera sebab selalu diperhatikan dan dicintai oleh segenap warga

negaranya.

Page 75: Contoh Esai Juara Temp0

Melihat Indonesia lebih dekat tidaklah harus ekspedisi keliling Indonesia seperti yang

dilakukan dua jurnalis di atas. Tidak juga harus memiliki pengalaman masa kecil seperti saya

yang hidup tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan yang banyak berpenduduk

“rakyat”.

Jika kebetulan Anda adalah orang kota, Anda tak perlu juga jauh-jauh pergi ke desa-desa atau

ke kampung-kampung untuk melihat “rakyat”, untuk melihat Indonesia lebih dekat. Sebab, di

kota-kota besar banyak juga terdapat rakyat. Coba saja ke kawasan pemukiman penduduk

kelas bawah di kolong-kolong jembatan kota atau di pinggir rel kereta api stasiun kota. Tak

mengapa hanya melihat-lihat saja ketika di sana, belum sempat atau belum mampu

membantu. Dari sekadar melihat-lihat itulah, niscaya kian lama akan bertumbuh dan

bertambah rasa simpati dan empati kita kepada rakyat Indonesia. Akan semakin tumbuh rasa

cinta kita kepada bangsa dan negara ini.

Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di Indonesia, saya masih merasa kurang  dengan

sekadar adanya mata pelajaran kewarganegaaran. Menurut saya, itu hanyalah terkesan sebagai

sebuah mata pelajaran formalitas dalam kurikulum pendidikan yang sudah turun temurun.

Bagi saya pribadi, efek mata pelajaran tersebut untuk meningkatkan rasa nasionalisme dalam

diri saya sangatlah sedikit. Apalagi, berdasarkan pengamatan saya, semakin beranjak usia,

peserta didik semakin menganggap remeh mata pelajaran tersebut. Bahkan di kalangan

mahasiswa, mata kuliah kewarganergaraan hanya dianggap sebagai mata kuliah sampingan

sekaligus mata kuliah “paket A” sebab saking mudahnya untuk mendapatkan nilai tinggi

dalam mata kuliah tersebut.

Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan pemerintah beserta tiap-tiap instansi pendidikan di

negeri ini untuk membuat sebuah kurikulum pendidikan baru yang memungkinkan adanya

jadwal praktik kegiatan di luar kelas tiap minggu atau minimal tiap bulan bagi para peserta

didiknya untuk mengunjungi dan melihat kehidupan rakyat secara lebih dekat –melihat

Indonesia lebih dekat. Seperti yang telah saya utarakan, tak perlu jauh-jauh berpergian, seperti

halnya kegiatan study tour dan lainnya. Cukup ke lingkungan rakyat yang terdekat dengan

gedung sekolah yang bersangkutan.

Agar peserta didik lebih terkesan dengan kunjungan kegiatan tersebut, para pendidik dapat

secara kreatif mengadakan kegiatan sederhana dengan penduduk di lingkungan rakyat

tersebut untuk para peserta didiknya agar dapat berinteraksi dengan rakyat. Akan menjadi

nilai plus lagi apabila kegiatan yang diadakan tentunya dapat bermanfaat juga bagi penduduk

setempat.

Page 76: Contoh Esai Juara Temp0

Jikapun para pendidik tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan kegiatan untuk dapat

melibatkan para peserta didik dengan rakyat, kunjungan untuk sekadar melihat-lihat

kehidupan rakyat pun menurut saya sudah lebih bagus daripada sekadar hadir di kelas mata

pelajaran kewarganegaraan. Mata pelajaran yang materinya yang semakin sering ditemui

semakin membuat ngantuk dan diremehkan peserta didik.

Dalam proses menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, tahapan awalnya cukup dilakukan

dengan melihat-lihat terlebih dulu kehidupan rakyatnya secara lebih dekat, lalu mengenal,

kemudian sayang, dan akhirnya cinta. Inilah cara mudah lagi sederhana, tapi mampu

menggugah rasa nasionalisme kepada bangsa dan negara. Silakan dicoba!

 

___________________________________________________________________________

[1] Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

[2] Gie, Soe Hok. 1989. Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.

[3] Yunus, Ahmad. 2011. Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara. Jakarta:

Serambi.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Kotak Pandora Bernama Toleransi

Oleh: DANIEL HERMAWAN - UNIVERSITAS PARAHYANGAN

 

 

Rangkuman:

Dewasa ini, keberagaman masih dianggap sebuah jurang pemisah dalam masyarakat

Indonesia. Perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan bahasa memberikan persepsi bahwa kita

berbeda dan kita tak mungkin bersatu. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” seolah masih

menjadi utopia dan hiasan dinding sekolah semata tanpa realisasi praktik nyata di lapangan.

Jika gejala perpecahan akibat keberagaman ini terus terjadi, bukan mustahil 50 hingga 100

tahun ke depan, nama Indonesia mungkin sudah tinggal dalam catatan sejarah. Maka dari itu,

kita harus membuka kotak Pandora bernama toleransi untuk menyelamatkan dan melakukan

revitalisasi terhadap makna keberagaman itu sendiri.

Page 77: Contoh Esai Juara Temp0

 

 

 

I. Prolog

Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum

akhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolom

mendatar: Apakah arti “Bhinneka Tunggal Ika”? Aku ingin menjawab “persatuan” pada

kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanya

dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab

oleh pembuat teka-teki silang ini?

Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi

masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kita

masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai

bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung

bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakar

karya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap

keberagaman itu.

Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai

kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

 

II. Refleksi

Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku

tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budaya

Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.

Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun

terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki ke

sekolah melewati rumah warga sekitar. “Eta aya si Cina. Cina!” (Itu ada si Cina. Cina!)

Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat

langkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada.

Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku

menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. “Haiya, ada orang Cina mau ikutan

seminar!” Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkah aku

bukan bagian dari Indonesia yang katanya “Bhinneka Tunggal Ika”?

Page 78: Contoh Esai Juara Temp0

Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna

“Bhinneka Tunggal Ika” itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket

pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat “Bhinneka

Tunggal Ika” itu selama ini belum pernah ku rasakan. Konsep kebanggaan terhadap

keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan.

Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkala

terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di

ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibat

kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar

tatkala kerusuhan itu meluas, bukan mustahil kami akan menjadi target selanjutnya.

Aku bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak mempunyai

kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini? Aku sempat berpikir

warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak dengan warga pribumi. Sampai

kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang ku

pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah khayalan belaka.

Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap mendapatkan

jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti dari “Bhinneka Tunggal Ika”.

 

III. Solusi dan Aksi

Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap

keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap tersisih dan

mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka terancam oleh kepentingan

kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan bersama.

Kebanggaan terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita

di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di Indonesia. Mempelajari zaman

penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat bangsa kita mudah diadu domba yang

pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah masuk dan menjarah kekayaan bangsa

Indonesia.

Kemerdekaan yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah

diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman

haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi masyarakat

berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat bangsa yang haus akan

kebhinekaan yang sejati.

Page 79: Contoh Esai Juara Temp0

Sudah saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu. Tatkala

kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban dari pluralisme itu

terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan ini

tatkala kita masih menganggap diri kita berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita

harus mengendurkan ego dan memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Mustahil membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih

menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk berjalan

beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan sebuah bangsa adalah

kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran setiap suku, agama, etnis, dan golongan

akan menjadi elemen penting yang saling melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh

tentang Indonesia.

Ibarat menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah

bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi yang

tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat ditiru dan dibeli

dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita mengetahui nilai dari

Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap utuh dan terawat hingga anak cucu

kita kelak.

Tidak perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena kita

semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas yang kita

sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu dengan yang lainnya,

melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk lukisan indah bernama

keberagaman Indonesia.

 

IV. Epilog

Kini aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan “toleransi”

dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan baik dan aku bisa

melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata teka-teki bernama

keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami hakikat dari “Bhinneka

Tunggal Ika” itu sendiri.

Jawaban “persatuan” yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala berbicara

tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada didalamnya. Dalam hal ini,

toleransi adalah proses yang harus kita tempuh sebelum akhirnya menghasilkan persatuan

sebagai dampaknya.

Page 80: Contoh Esai Juara Temp0

Tatkala kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa

keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan

semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Teori Sampah Indonesia

Oleh: SABHRINA GITA ANINTA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Rangkuman:

            Masalah lingkungan Indonesia kebanyakan disebabkan oleh masyarakat Indonesia

sendiri. Masyarakat cederung tidak peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak

lingkungan. Contoh sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan

pesta. Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan

orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana perilaku

masyarakat Indonesia keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena ketidakpedulian

masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena ketidaktahuan. Masyarakat

Indonesia harus diedukasi mengenai masalah ini, dengan terlebih dahulu diyakinkan bahwa

ini memang sebuah masalah: lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat yang

tinggal di dalamnya. Edukasi ini harus dilakukan dengan tepat dan terus-menerus sebagai

bagian dari ikhtiar kita membangun Indonesia yang tidak akan pernah berhenti, sampai

Indonesia tidak ada lagi.

 

 

 

Perayaan Idul Fitri tahun ini membawa banyak cerita. Momen yang diperingati umat Islam ini

mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling

sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan

minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. Orang-orang yang cenderung

kedatangan tamu akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan

membereskan minuman dan makanan ke tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.

Pada hari-hari libur lebaran, ibu saya meminta saya membeli satu kardus air minum kemasan.

Perdebatan yang agak alot antara masalah kepraktisan dan sampah yang tak terurai sempat

Page 81: Contoh Esai Juara Temp0

terjadi sebelum akhirnya saya mengalah untuk pergi membeli barang tersebut. Namun dalam

perjalanan, ternyata tidak mudah mendapatkan satu kardus air minum kemasan bahkan di

minimarket. Tiga minimarket sudah saya lewati dan semuanya kehabisan air minum kemasan

merek apa pun. Jika satu minimarket melingkupi setidaknya dua wilayah perumahan yang

kisaran penduduknya bisa mencapai 10 KK, berapa banyak orang di sepanjang jalan yang

memiliki pemikiran sama dengan ibu saya?

Air minum kemasan praktis sekaligus bermasalah. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik

berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan

dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga

cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai. Dari sisi

pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang

digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat

pembuangan akhir. Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak

mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu

sepuluh ribu tahun. Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan

memerparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang

yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat lebaran.

Sampah plastik pun menumpuk.

Peristiwa kecil ini sudah cukup menggambarkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap

lingkungan. Gambaran kecil tentang perlakuan masyarakat perkotaan Indonesia terhadap

gelas plastik dapat memberikan gambaran besar perilaku masyarakat Indonesia terhadap

lingkungan. Estimasi dapat diberlakukan bahwa di setiap kilometer persegi wilayah Indonesia

dengan karakteristik masyarakat yang telah digambarkan, bahwa orang Indonesia yang

membuang sampah sembarangan lebih banyak dari yang membuang sampah di tempat

sampah. Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang

semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga

lingkungan yang membawa paradigma “lebih merepotkan”. Apalagi jika dampak langsungnya

tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah,

maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting.

Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat

tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan hidup tidak

menjamin kepeduliannya. Pernah seorang ibu yang saya tegur setelah saya mengambil

bungkus plastik yang dibuangnya ke bawah kursi angkutan umum merasa tidak enak setelah

sekian lama dan mengambil bungkus plastik itu dari saya untuk dibuangnya sendiri. Ada lagi

Page 82: Contoh Esai Juara Temp0

seorang teman yang memberikan jawaban jelas, “Kan nanti ada yang membersihkan,” atau

“Mending dibuang di dalam angkot daripada di jalan raya”. Padahal cukup sulit mencari

tempat sampah di Indonesia. Dengan kata lain, siapa pun yang nanti membersihkan itu akan

menambah sampah di tempat lain. Mereka mengerti, tapi mereka tidak peduli. Padahal,

kepedulian ini penting, seperti teori yang akan dijabarkan berikut.

Ketika suatu area sudah cenderung dipenuhi sampah yang berserakan, orang akan mudah

tidak merasa bersalah membuang sampah di tempat tersebut. Para ahli ilmu sosial

merumuskan perilaku manusia yang satu ini dalam teori jendela pecah. Jika suatu perilaku

menyimpang dibiarkan terjadi cukup sering, kemerosotan lingkungan akibat penyimpangan

ini akan terus meningkat tanpa bisa dikembalikan atau dihentikan dan pada akhirnya orang-

orang akan cenderung mengabaikan lingkungan sekitarnya. Ini biasa terjadi untuk perbuatan-

perbuatan menyimpang yang sanksi sosialnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat diamati di

dalam angkutan umum; tidak akan sulit mencari sampah yang diselipkan di sudut-sudut

tertentu atau kerusakan, bahkan vandalisme di bagian kursi atau bingkai jendela. Contoh lain

adalah sampah-sampah yang umum tampak di pasar tradisional yang digelar di jalan raya atau

alun-alun kota. Orang mungkin berpikir bahwa “nanti akan ada” orang yang membersihkan,

repot harus mencari tempat sampah, atau mengapa saya harus menjadi orang yang peduli?

Padahal, suatu bentuk penyimpangan, misalnya coretan iseng atau sampah di sembarang

tempat, jika dibiarkan dalam jumlah banyak dapat mendukung timbulnya tindakan

menyimpang yang lain, misalnya mencuri.

“Satu jendela pecah yang diperbaiki menunjukkan bahwa suatu perilaku tidak dapat

ditoleransi, namun satu jendela pecah yang dibiarkan,” Wilson dan Kelling menulis, “adalah

tanda bahwa tidak ada yang peduli sehingga memecahkan lebih banyak kaca tidak akan

merugikan siapa pun”. Hal ini berlaku juga ketika konteks “jendela pecah” disubstitusi

dengan “membuang sampah sembarangan”. Ketika berada di lingkungan yang banyak

sampahnya, orang akan berpikir bahwa tidak apa-apa menambah beberapa sampah tambahan,

terutama jika lokasi tersebut bukan lokasi yang sering didatanginya. Melihat basis teori

jendela pecah dan realita masyarakat sekarang, bukan tidak mungkin tempat dengan banyak

sampah akan menghasilkan perilaku menyimpang yang lebih parah. Tempat dengan banyak

sampah, dinding yang dicoret-coret dengan nama geng yang dibiarkan, atau fasilitas rusak

akan mengundang aktivitas sekumpulan pelaku penyimpangan dan berujung pada tindakan-

tindakan immoral. Beberapa contoh yang dapat disebutkan adalah perusakan dan vandalisme

lebih lanjut, tawuran, membuang lebih banyak sampah di tempat tersebut, dan lain-lain. Dari

sini dapat dikatakan bahwa lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat sehingga

Page 83: Contoh Esai Juara Temp0

sudah selayaknya dijaga. Lingkungan harus dijaga demi membentuk masyarakat yang lebih

baik. Ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, yang bisa diambil dari contoh

sampah ini, lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat.

Karena itu, usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak

boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya

konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah—bahkan kebohongan yang diulang-

ulang bisa menjadi kebenaran. Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan

elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungan.

Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit.

Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu

masalah. Daya tahan tubuh masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap penyakit lebih tinggi

dari masyarakat negara lain yang memang lingkungan hidupnya lebih bersih. Otomatis,

orang-orang Indonesia tidak akan merasa terganggu hanya dengan beberapa sampah plastik

saja di sekitarnya. Dapat juga dikatakan bahwa usaha membersihkan daerah sekitarnya tidak

terjaga sebagai suatu kebiasaan yang dianggap perlu. Hal ini juga yang sering dibiarkan

tertanam di anak-anak kita: nanti kan juga kotor lagi? Standar kenyamanan sebagian besar

masyarakat Indonesia yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu dari sekian banyak faktor

yang membuat negara kita tercinta menomorsekiankan masalah lingkungan.

Edukasi masyarakat memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Satu hal yang harus

disadari oleh semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua sedang berada di sebuah perahu yang sama, perahu

Indonesia. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu, seluruh penumpang akan ikut

tenggelam. Apa yang dapat kita lakukan adalah memberitahu penumpang yang sedang

berusaha melubangi perahu tersebut dampak perbuatannya, dan membujuknya untuk tidak

melakukannya. Ini jelas membutuhkan pengetahuan tentang kondisi kapal. Kondisi

lingkungan Indonesia.

Dari analogi kapal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yang mengedukasi masyarakat

tentang lingkungan haruslah orang yang tepat, dan pemberitahuan dilakukan dengan cara

yang tepat. Kaum cendekia yang mendalami tentang isu-isu lingkungan tersebut memiliki

tanggung jawab untuk memberitahu masyarakat di sekitarnya mengenai apa yang harus

dilakukan dengan lingkungan sekitar kita. Dosen teknik lingkungan perlu membagi dan

memfasilitasi penyebaran ilmu tentang pengolahan limbah air agar rumah-rumah tidak boros

air. Mahasiswa-mahasiswi ilmu alam dapat memberi tahu para pedagang kaki lima ketika

mereka membeli dagangannya betapa pentingnya menjaga daerah berjualannya tetap bersih

Page 84: Contoh Esai Juara Temp0

dari sampah. Siswa-siswi sekolah dapat mengajak orang tuanya memisah sampah di rumah

dan mengatur agar kompleks rumah mereka tidak menjadi kontributor terbesar Tempat

Pembuangan Akhir. Hal-hal ini hal-hal sederhana yang jika dilakukan oleh semua orang,

dampaknya akan besar. Tak lupa pula bahwa cara mengedukasi masyarakat harus tepat. Kita

tidak dapat menjelaskan pemanasan global kepada tukang mie tek-tek jika kita menggunakan

istilah-istilah semacam metana dan penipisan ozon. Mereka akan lebih mengerti jika kita

memakai analogi terkait kehidupan sehari-hari mereka. Mungkin “efek rumah kaca” bisa

diganti “efek panci mie kuah”. Hal ini hanya bisa kita lakukan dengan benar jika kita

mengerti kehidupan sosial mereka dan tingkat edukasi mereka.

Masalah lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya

memerhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya

membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang mereka pelajari

dapat berguna langsung bagi masyarakat. Di sinilah saat ketika tugas para cendekia menjadi

nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam dan memahami cara mengajarkannya

atau mengaplikasikannya kepada masyarakat. Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih

mengotakkan kedua aspek tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah

pendidikan maupun mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi

pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen negara. Semua

harus menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang besar.

Dengan ilmu yang tinggi, timbul tanggung jawab untuk untuk menyebarkan dan

meresapkannya ke setiap bagian masyarakat untuk kebaikan bangsa.

Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung

jawab itu kepada para cendekiawan. Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan

terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu tauladan

lebih baik dari seribu arahan. Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter

dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga

timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang

lebih baik bagi anak cucu kita, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik

bagi lingkungan kita.

Masyarakat memiliki kekuatan utama dalam melestarikan lingkungan. Masyarakatlah yang

paling dekat dengan lingkungan. Sayangnya, banyak yang termakan pesimisme karena

ketidakpedulian pemerintah sehingga banyak yang tidak mau berusaha. Padahal usaha-usaha

penting dalam melestarikan lingkungan akan lebih membawa signifikansi jika dilakukan oleh

masyarakat Indonesia. Apakah kita harus selalu menunggu pemerintah untuk peduli baru kita

Page 85: Contoh Esai Juara Temp0

berjalan? Negara adalah pemerintah, wilayah, dan rakyat. Negara adalah gambaran ketiga

elemen penyusunnya, tidak hanya pemerintah.

Edukasi masyarakat mengenai lingkungan harus terus dilakukan. Terus diulang agar meresap

ke setiap kepala yang mendengarnya secara berulang. Sesuatu yang diulang dan selalu

dilakukan dapat membantu pengertian semua orang, menjadikan hal tersebut suatu budaya,

kunci kekuatan suatu bangsa. Ini adalah ikhtiar yang akan selalu berlangsung tanpa henti,

terus dilakukan, sampai Indonesia tidak ada lagi.

Mungkin saya akan terus membeli sekardus gelas plastik setiap lebaran menjelang. Terus

menerus, sampai saya bisa membawa pulang ke rumah alat yang bisa mengubah air keran

menjadi air layak minum, atau membantu memperbaiki sistem PDAM. Namun, hari itu, hari

ketika ibu saya tidak akan mendebat saya tentang sekardus gelas plastik, pasti akan datang.

 

Sudah cukup banyak solusi untuk segala masalah lingkungan, baik dari hasil inovasi generasi

muda maupun percontohan dari berbagai etnis atau golongan masyarakat. Di media massa ada

berita mengenai tentang alat pengubah asap rokok menjadi oksigen dan pasta gigi ramah

lingkungan berbahan cangkang kerang. Banyak ulasan mengenai etnis-etnis yang

memanajemen hutan tempat tinggalnya melalui kearifan lokalnya, salah satunya suku Baduy.

Warga lokal yang terlambat menyadari pentingnya menjaga lingkungannya juga belajar.

Banyak kisah mengenai kiprah aktivis-aktivis lingkungan yang tak kenal menyerah mencari

solusi memertahankan jasa ekologis yang kita pakai. Semua itu memerlukan implementasi

tindakan dan peraturan yang didasari pemahaman, atau tinggal wacana. Semua elemen negara

harus memahami bahwa dalam mengelola lingkungan, aspek keterpaduan harus dipahami.

Lingkungan merupakan kumpulan interaksi sehingga harus dikelola secara holistik, dan ini

membutuhkan pengertian semua pihak yang terlibat. Kepedulian dan pengetahuan seluruh

elemen masyarakat menjadi kunci di sini.

 

Referensi

The Economist. 2008. ”Can the can”. http://www.economist.com/node/12630201 diakses

tanggal 28 September 2012

Weber, B. 2012. “James Q. Wilson Dies at 80; Originated ‘Broken Windows’ Policing

Strategy”. The New York Times. http://www.nytimes.com/2012/03/03/nyregion/james-q-

wilson-dies-at-80-originated-broken-windows-policing-strategy.html?_r=1&pagewanted=all

diakses tanggal 28 September 2012

Page 86: Contoh Esai Juara Temp0

Anonim. 2010. “Dioxin – Dampak Negatifnya dan Cara Menghindarinya”.

BemFKUnud.com. http://www.bemfkunud.com/2010/02/28/dioxin-dampak-negatifnya-dan-

cara-menghindarinya/ diakses tanggal 29 September 2012

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Modernitas dan Demokrasi Selebar Lima Kaki

Oleh: AZHAR IRFANSYAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA

Rangkuman:

Jalan raya merupakan ruang kontestasi dengan beragam dinamika. Di pinggiran dinamika itu

trotoar hadir sebagai ruang demokratis yang menyangga aspirasi kaum pejalan kaki. Namun

laju modernitas membuat keberadaan trotoar seolah-olah tak relevan lagi, sehingga kini

trotoar menjadi ruang yang semrawut. Kehadiran negara pun menjadi dilema yang lain dalam

upaya demokratisasi jalan.

 

 

—————————- 

Trotoar merujuk pada tepi jalan selebar lima kaki yang sedikit ditinggikan dan—idealnya—

eksklusif bagi pejalan kaki. Istilah ini dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari

lema trottoir, sedangkan secara etimologis berasal dari bahasa Perancis, trotter yang artinya

“berlari kecil”. Modernisasi transportasi telah menciptakan kendaraan bermotor. Ketika

kendaraan bermotor baik yang beroda empat maupun dua mulai menjadi konsumsi publik,

kondisi jalan-jalan kota berubah. Pejalan kaki yang dulunya dapat lenggang kangkung di

tengah-tengah jalan kota kini dalam keadaan terancam. Kendaraan bermotor menguasai jalan-

jalan. Rangka besi dengan berbagai model dari berbagai merk itu melaju puluhan kilometer

per jam, membuat pejalan kaki harus menyingkir demi keselamatan. Untuk melindungi para

pejalan kaki yang berada di pinggir jalan inilah trotar dibangun.

Lantaran fungsi idealnya inilah trotoar menjadi wujud demokratisasi di jalan raya. Trotoar

menjadi jalur aspirasi dari warga-warga yang tak menggunakan kendaraan bermotor. Selain

itu trotoar juga menjadi representasi kelas bawah karena kebanyakan warga tanpa kendaraan

bermotor ini berasal dari kelas bawah strata sosial kota. Dari trotoar mereka berjalan kaki,

menyajikan perlawanan yang puitis terhadap modernitas.[1] Trotoar menyangga kaum tak

Page 87: Contoh Esai Juara Temp0

berpunya yang puitis ini agar tak terhempas dari kontestasi ruang di jalan raya, sekalipun

ruang mereka hanya selebar lima kaki.

Namun trotoar yang merupakan penawar bagi, meminjam istilah Theodor Adorno, dilaektika

negatif modernisasi ini kini diabaikan dan terlupakan. Di hadapan kemajuan teknologi

mutakhir, keberadaan trotoar jadi terlalu remeh-temeh untuk diperhatikan. Padahal melalui

rimba trotoar yang sering dianggap remeh temeh sifat-sifat modernisasi dapat kita cermati

secara lebih mendetail.

Dari trotoar misalnya, istilah Edmund Leach yang menyebut modernitas sebagai “runaway

world” akan lebih mudah dipahami. Saat kita berada di jalan raya menggunakan kendaraan

bermotor, kita melebur dalam kecepatan modernitas. Tetapi saat kita berjalan di tepian trotoar

kita hanya menjadi penonoton dari kecepatan modernitas, sambil berharap kecepatan itu tak

melibas kita. Dalam keadaan inferior karena tak ikut berpartisipasi dalam menggunakan

teknologi akhirnya modernitas dapat kita persepsikan dengan cara yang berbeda. Teknologi

yang kita rasakan manfaatnya saat kita gunakan jadi penuh mudharat saat kita tak

memilikinya. Inilah wajah lain dari teknologi modern. Teknologi yang pada awalnya menjadi

instrumen untuk mengatasi berbagai krisis dalam hubungan manusia dengan alam, sehingga

dapat disebut sebagai kekuatan emansipatoris, kini justru tampak tak terkontrol. Teknologi

justru berubah menjadi kekuatan yang dominatif terhadap manusia.[2]

Menurut Giddens, perubahan sifat dari teknologi ini seiring dengan perubahan sifat

modernitas. Giddens membagi modernitas dalam dua periode: periode modernitas sederhana

dan modernitas refleksif. Kini kita telah memasuki modernitas refleksif yang penuh dengan

kondisi ketidakpasitan. Dunia tempat kita tinggal sekarang lebih tak menentu dari dunia yang

dialami oleh generasi sebelumnya. Ketidakmenentuan pada era ini disebut oleh Giddens

sebagai manufactured risk, resiko yang bersumber dari keterlibatan manusia dalam mencoba

untuk mengubah alur sejarah dan menguasai alam.[3] Kendaraan bermotor adalah salah satu

bentuk dari resiko ini.

Konteks-konteks kelembagaan modernitas kemudian menjadi sumber dari manufactured risk.

Beberapa konteks kelembagaan modernitas yang sesuai dengan keberadaan trotoar yaitu

polarisasi ekonomi dan ancaman teknologi terhadap ekosistem.[4] Polarisasi ekonomi telah

membuat teknologi menjadi eksklusif, sedangkan teknologi sendiri menghasilkan residu yang

dapat membahayakan kelangsungan hidup ekosistem. Kendaraan bermotor misalnya, tak bisa

diakses oleh mereka yang tak memiliki uang untuk membelinya. Eksklusifitas dari teknologi

ini membuat para pengguna teknologi menjadi kurang peka terhadap nasib mereka yang tidak

mampu mengakses teknologi. Padahal distribusi resiko dari dari residu teknologi terbagi ke

Page 88: Contoh Esai Juara Temp0

semua penghuni ekosistem, termasuk pada mereka yang tidak menggunakan teknologi. Polusi

yang dihasilkan kendaraan bermotor misalnya, harus dihirup juga oleh pengguna trotoar yang

tidak memanfaatkan kendaraan bermotor.

Trotoar, dan juga jalan, akhirnya membentang sebagai metode fenomenologis untuk

mempersepsikan kontestasi asimetris antara the haves dan the haves-not. Atau mungkin bukan

hanya antara the haves dan the haves-not, melainkan antara satu melawan semua. Kontestasi

ini ditingkahi prilaku manusia yang secara “rasional” mengutamakan kepentingannya sendiri.

Prilaku ini akhirnya menyebabkan gagalnya skema kepemilikan bersama atas jalan dan

trotoar.

 

 

Gagalnya Kepemilikan Bersama dan Dilema Kehadiran Negara

Akhirnya jalan raya dan trotoar sama-sama habis terbagi oleh egoisme kita yang tak ada

batasnya, keduanya menuju kekacauan tanpa ada solusi teknis. Status “milik bersama” jalan

raya dan trotoar membuat semua orang seakan-akan sah saja menyelenggarakan

kepentingannya secara suka-suka. Negara sebagai pengelola ruang milik bersama berupaya

membatasi sikap suka-suka ini dengan menebar rambu-rambu dan polisi di jalan raya.

Namun, terutama bagi pengguna kendaraan bermotor, seringkali rambu-rambu ini hanya

dipatuhi selama kepatuhan itu menguntungkan atau tidak merugikan pengguna jalan secara

pribadi. Lampu merah misalnya, dipatuhi karena para pengendara tak mau tertabrak atau

ditilang oleh polisi. Ketika rambu-rambu itu dianggap tak relevan dengan nasib pengguna

jalan, rambu-rambu itu hanya sekedar penanda bisu di tengan jalan. Rambu batas kecepatan

atau dilarang parkir misalnya, seringkali dilanggar karena tak berkonsekuensi langsung

terhadap nasib pelanggarnya. Di trotoar keadaannya lebih semrawut lagi. Inferioritas pejalan

kaki telah membuka berbagai tafsir baru atas trotoar. Tafsir-tafsir ini hanya berdasar pada

kepentingan diri sendiri. Pengendara motor akan menafsirkan trotoar sebagai jalan pintas

yang bisa digunakan saat macet, pedagang kaki lima akan menafsirkan trotoar sebagai lahan

usaha yang murah, lalu pemilik toko di pinggir jalan raya akan menafsirkan trotoar sebagai

lahan parkir yang serba guna. Oleh tafsir-tafsir baru ini pejalan kaki menjadi termarjinalisasi,

padahal tafsir pejalan kaki terhadap trotoar ini sudah dijadikan tafsir resmi negara dalam UU

22/2009.

Jika persoalannya memang tak adanya konsekuensi langsung atas pelanggaran-pelanggaran

rambu-rambu, maka seharusnya ada solusi teknis untuk mencegah jalan raya jatuh dalam

kekacauan: menambah kehadiran negara hingga tingkat yang paling maksimum. Namun

Page 89: Contoh Esai Juara Temp0

seandainya memproyeksikan kehadiran negara ke jalan raya ini biayanya bisa dijangkau, kita

akan ngeri membayangkan kekuasaan aparatur negara merajalela di jalanan. Hardin sebagai

penganjur ekonomi liberal menganggap keterlibatan negara juga akan membawa mudharat.

Ini karena ada sentimen lama dalam masyarakat, quis custodiet ipsos custodes? Lalu siapa

yang akan mengawasi para pengawas? Pasalnya negara dari rezim yang satu ke rezim yang

lain juga kerap memegang tafsirnya sendiri atas jalanan. Rezim pemerintah kolonial Hindia

Belanda misalnya, menafsirkan jalan raya sebagai modernisasi yang diimpor dari Eropa dan

difungsikan untuk kemaslahatan pemerintah kolonial. Tak masalah jika kaum pribumi tak

mendapatkan faedah dari pembangunan jalan raya. Pandangan ini dipelihara karena kaum

pribumi—yang ribuan dari mereka harus mati dalam kerja paksa membangun jalan raya—

dianggap tak punya saham sama sekali dalam pengadaan jalan raya di Hindia Belanda.

Pembangunan Jalan Raya Pos Daendels misalnya, dimulai saat kebanyakan kaum pribumi

bahkan bersepatu saja belum. Sejak awal, pembangunan Jalan Raya Pos Daendels memang

bukan untuk pribumi melainkan untuk menerapkan strategi Belanda membendung invasi

Inggris. Setelah merdeka dari kolonialisme Belanda dan Jepang, rezim pascakemerdekaan

dibawah kepemimpinan Sukarno juga memegang tafsirnya sendiri atas jalan. Jalan bagi rezim

Sukarno adalah mercusuar untuk ditunjukkan pada dunia sebagai manifestasi “citra

pembangunan Sukarno”. Kota-kota besar dibangun agar dapat dijadikan simbol kebanggaan.

Namun hal ini membawa dampak negatif, pembangunan jalan-jalan hanya terpusat pada kota-

kota besar saja, di Jakarta misalnya. Demi proyek mercusuarnya, Sukarno memang pernah

menanamkan bahwa “Membangun Jakarta sama dengan membangun tanah air, membangun

negara, dan membangun masyarakat.”[5] Cara pandang inilah yang kemudian menciptakan

kesenjangan antara pusat dan daerah, kesenjangan ini pada titik kulminasinya berujung pada

pemberontakan PRRI-Permesta yang menuntut pemerataan pembangunan. Pergantian rezim

pascakemerdekaan Sukarno ke rezim orde baru Suharto juga membawa perubahan pada tafsir

atas jalan. Di era Suharto, jalan merupakan sasaran pembangunan penting bersamaan dengan

proyek-proyek pemerintah lainnya. Jalan-jalan diaspal untuk mempermudah tranpostasi antar

wilayah sekaligus membukan orde ekonomi.[6] Jika di era Sukarno jalanan dibangun untuk

dimercusuarkan, jalanan di era Suharto dibangun untuk membuka akses ekonomi.

Kesenjangan antara pusat dan daerah di era Sukarno pun terulang lagi meskipun dengan

filosofi yang berbeda. Jalan-jalan yang membawa manfaat ekonomi dan investasi diaspal

berkali-kali, sedang jalan yang dianggap tidak potensial secara ekonomi dibiarkan dalam

kondisi berlubang-lubang.[7]

Page 90: Contoh Esai Juara Temp0

Setiap rezim yang mewujud dalam negara juga tak objektif dalam menafsirkan jalanan. Tafsir

yang searah oleh rezim dalam negara juga membawa dampak yang merugikan sebagian

masyarakat. Memproyeksikan kehadiran negara ke jalanan tidak mengubah arah dari

kekacauan.

Namun perlu diingat bahwa membuat semua tak merasa dirugikan itu mustahil. Bahkan dalam

keadaan yang paling demokratis pun keinginan semua orang dalam suatu masyarakat tak

mungkin terpenuhi. Maka itu penerapan hukum yang sifatnya memaksa tak selamanya berarti

buruk atau malah dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Semua tergantung pada: apakah

penerapan hukum tersebut disepakati secara bersama-sama atau hanya keinginan segelintir

elit? Jika penerapan hukum itu memang disepakati bersama maka unsur-unsur paksaan

dibutuhkan. Anjuran John Adams bahwa suatu masyarakat harus mengusung pemerintahkan

yang berasaskan hukum dan bukan hanya sekumpulan elit[8] sangat relevan dalam hal ini.

Pada pembentukan kesepakatan dan pelaksanannya itulah letak fungsi demokrasi, dan di

ruang pinggiran bernama trotoar fungsi demokrasi itu diuji. Demokrasi bukan hanya soal

penyelenggaraan pemilu berkala dan deliberasi dalam parlemen saja. Manifestasi fungsi

demokrasi justru berada di luar penyelengaraan prosedur formal. Penyediaan trotoar

sebenarnya sudah merupakan wujud dari demokrasi itu sendiri. Melalui trotoar aspirasi

mereka yang berada di pinggiran dapat tetap mengalir. Sayangnya, seperti ditulis oleh Marco

Kusumawijaya, sekalipun telah membangun kota-kota besar secara fisik masyarakat

Indonesia hingga kini belumlah mengenal budaya berkota.  Sehingga trotoar dalam

penggunaanya sering tidak pada fungsi yang telah disepakati, yaitu sebagai ruang pejalan

kaki. Hal ini menandakan demokrasi kita belum sampai ke trotoar.

 

[1] Marco Kusumawijaya, Jalan. Ditulis sebagai pengantar dalam Hani Rihana, Negara di

Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius & IMPULSE, Yogyakarta. 16

[2] Suharko, Karakteristik dan Sumber resiko dalam Era Modernisasi Reflektif, Jurnal Sosial

Politik Vol. I No.2, November 1997. 66

[3] Ibid. 69

[4] iIbid 72

[5] Abidin Kusno, Behind Post Colonial Architecture, Urban Space, and Political Culture in

Indonesia, 2000, Routledge, London. 102

Page 91: Contoh Esai Juara Temp0

[6] Hani Raihana, Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius,

Yogkakarta. 43

[7] Ibid. 44

[8] Garrett Hardin, The Tragedy of The Commons, Science Vol 162 No. 3859,  13 Desember

1968. Dapat diakses di http://www.sciencemag.org/content/162/3859/1243.full (diakses pada

1 Oktober 2012)

Page 92: Contoh Esai Juara Temp0

Merawat Indonesia dengan Dialog

Oleh: NABILAH MUNSYARIHAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA

 

Ringkasan:

Keberagaman di Indonesia adalah akumulasi budaya dari berbagai daerah. Jika kehidupan

masyarakat di daerah-daerah harmonis, wajah Indonesia pun akan menjadi ayu. Tapi konflik

di Indonesia muncul silih berganti. Konflik, diantaranya, disebabkan oleh diskursus yang

tidak disemai dengan sehat. Indonesia membutuhkan ruang dialog yang tidak elitis. Tulisan

ini mempertemukan kegelisahan dengan sebuah ikhtiar untuk menepisnya.  Inilah sopotong

sumbangsih Jombang dalam mewarnai dialog kemajemukan Indonesia. Dimulai oleh

sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Staramuda.

———————–

5 Oktober 94 tahun silam, kongres Boedi Oetomo (BO) tidak banyak berarti tanpa 1200 orang

yang menyatakan diri sebagai anggota dari pelbagai penjuru Jawa. Berkat iuran anggota dari

daerah, BO bisa beroperasi. Sampai akhirnya iuran itu tak sederas pada mulanya, BO

menyerahkan kebebasan pada pengurus di daerah. Dalam kongres tadi, kemajuan berpikir

Tjipto Mangoenkoesoemo lahir mendahului zamannya. Ia mengharap BO menjadi partai

politik berdasarkan ‘persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, jenis kelamin, atau

kepercayaan’.[1] Pemikiran ini kelak menjadi milik banyak pemuda modern. Ada dua

pelajaran berharga dari BO, pentingnya daerah dan pemikiran radikal kaum muda.

Orang daerah merasa senantiasa menjadi pinggiran dari Jakarta. Taukah, bahwa sejatinya,

Jakarta adalah pinggiran dari Eropa dan Amerika – pusat dunia?[2] Saya tersentak membaca

analisis tajam Daniel Dakhidae itu dalam salah satu edisi Jurnal Prisma. Saya merasa tiba-tiba

terhubung dengan seluruh dunia. Saya lantas menerawang, tanpa Jombang, Manokwari, pulau

We, atau hilang salah satu saja di antaranya, gagal negara ini disebut sebagai Indonesia.

Setiap daerah punya sumbangsih besar terhadap wajah Indonesia. Sebab ternyata, pilar-pilar

penting Indonesia ada di daerah, bukan di pusat.

Patut disayangkan, wajah Indonesia hari ini adalah kekerasan di Sampang, pelanggaran HAM

di Papua, dan penggusuran lahan petani di Kulon Progo. Isu HAM dan SARA, seperti Syiah,

Ahmadiyah, Gereja Yasmin, mengeruhkan rupa damai Indonesia. Kita sering kali hanya

reaktif terhadap fenomena, tapi tidak aktif merawat. Kita sibuk dengan urusan pribadi, seolah

Indonesia bisa mengurus dirinya sendiri. Lantas ketika ada darah atau api menyeruak di suatu

lokasi, barulah kita teriak, Pancasila dinodai! Indonesia butuh dirawat, bukan hanya ditilik

sesekali. Apalagi dititipkan pada politisi.

Page 93: Contoh Esai Juara Temp0

Mempersiapkan Indonesia

Dimensi mempersiapkan Indonesia tidak hanya waktu, melainkan juga ruang. Persiapan

Indonesia tidak berhenti dilakukan PPKI di masa lalu. Tetapi terus bergulir dengan tenaga-

tenaga pendorong dari daerah. Saya percaya bahwa tenaga itu bukan saja soal pertumbuhan

ekonomi dan demokratisasi, melainkan juga iklim harmonis dalam kehidupan masyarakat.

Inilah yang menjadi catatan besar, sebagian dari kita ternyata tidak betah bersebelahan dengan

tetangga beda agama. Tidak sepakat ada rumah ibadah lain di sekitar kompleks perumahan

kita.[3] Kita ini ternyata menyangkal nilai kebhinekaan sejak satu centimeter dari halaman

rumah.

Seorang kenalan kristian pernah bercerita, di desanya dulu semua umat beragama saling

bertandang saat hari raya tiba. Muslim bertandang ke rumah pemeluk kristen ketika natal.

Umat kristen bersilaturrahim ke rumah tetangga muslim ketika lebaran. Suatu saat, ada

seorang pemuka agama Islam masuk ke desanya, berceramah haram muslim mengucapkan

selamat natal. “Tahun-tahun sebelumnya rumah kami selalu ramai, tiba-tiba saja tahun itu

sepi. Kasihan ibu saya sudah capek menyiapkan makanan,” kisahnya.

“Nabila, apa memang Islam melarang laki-laki dan perempuan bersentuhan?” Pertanyaan ini

terlontar dari seorang teman ketika kami berdua sedang menunggu kendaraan pulang dari

sebuah acara lintas iman. Teman saya yang ini seorang Hindu berdarah Bali. Ia merasa

tersinggung ketika seorang teman muslimnya tidak mau bersalaman dengannya. “Memang

tanganku kotor ya?” responnya spontan ketika itu. Ia mengaku tak keberatan bila temannya

menjalankan perintah agamanya, “Tapi mereka tidak memberikan pemahaman yang cukup.

Hanya menghindar begitu saja.” Inilah akar dari selisih paham antarumat beragama di

Indonesia, banyak perbedaan yang dilarutkan dalam diam. Perdsoalan lantas membeku sulit

dipecah, rumit sukar diurai.

Saya mafhum bahwa banyak orang merasa belum selesai mempelajari ajaran agamanya

sehingga merasa tidak perlu memahami ajaran agama orang lain. Atau justru, ada yang

merasa telah selesai menempuh pendidikan agamanya dengan congkak menyalahkan ajaran

orang lain. Ada juga yang senggol bacok lantaran berebut lahan lalu kolektivisme identitas

masing-masing pihak menggumpal. Pecahlah kekerasan atas nama (kelompok) agama.

Pandangan masyarakat pun dibuat bias, ini konflik tentang agama atau bisnis? Pemerintah dan

media berlagak seperti aktor dalam sinetron. Terus bermain peran, tapi tak menjawab apa-apa.

Terkadang, pemerinta sendiri mencederai kebhinekaan atas nama hegemoni kelompok

tertentu.

Page 94: Contoh Esai Juara Temp0

Indonesia sudah makan asam garam hidup dalam kemajemukan, tapi konflik tak kunjung bisa

diredam. Seolah selalu saja ada oknum yang ambil untung sehingga berniat merawat konflik,

seperti yang tampak di Papua. Sampai sini, kita sadar ada yang salah dalam mempersiapkan

Indonesia.

Kita terima Pancasila sebagai formula paling manjur dalam meredam gelagat phobia terhadap

kelompok yang berbeda. Tapi detik ini, kita semua sedih karena Pancasila seolah lumpuh

kesaktiannya. Pancasila mandek dalam ruang kelas dan diskusi kaum terpelajar. Nan jauh di

sana, nilai Pancasila justru terlaksana di desa-desa dalam kesederhanaan dan kearifan

warganya tanpa umuk dilabeli pengamalan Pancasila. Di kota, Pancasila usang, menggantung

di tembok sekolah dan perkantoran. Lebih dari sosok garuda, kita membutuhkan kehadiran

Pancasila dalam akal budi yang menjelma dalam kesantunan berbalut keberanian untuk

berbicara dan bersikap.

Pancasila hadir dalam banyak dialog. Tapi, forum dialog antaragama seringkali diisi oleh elit

agama yang sudah selesai dengan kesalahpahaman. Almarhum Gus Dur dan Romo

Mangunwijaya, keduanya sosok yang sudah berhasil menciptakan harmoni dalam dirinya.

Tetapi, umat di bawahnya, belum cukup paham dalam memaknai dan menghadapi perbedaan.

Maka, energi fanatisme umat bisa menggelinjang sewaktu-waktu. Saya pernah menduga,

konflik dan toleransi itu sebenarnya hanya terjadi di tubuh elit masyarakat. Tetapi konflik

lebih mudah diikuti akar rumput daripada sikap toleran.

Toleransi itu tak cukup didapat dari pelajaran sekolah. Sebab, toleransi lahir dari pengalaman

menghadapi perbedaan. Orang yang hidup dalam homogenitas, relatif tak punya pengalaman

dalam menyikapi perbedaan. Toleransi merupakan keterampilan untuk merendahkan hati,

mengonfirmasi ketidakjelasan, dan menyiapkan diri untuk berdialog.

Sepakat atau tidak sepakat bukanlah tujuan, melainkan saling mengerti itulah yang ingin

dicapai. Maka, dalam perspektif dialogis, sidang isbat tiap jelang lebaran memang tak harus

ada persamaan pendapat. Sebab, masing-masing keputusan telah membawa argumentasinya

sendiri. Tapi sayangnya, kasak-kusuk di facebook dan twitter terus berlanjut, menyinidir

orang yang berbeda pendapat tentang cara menentukan awal bulan. Kasus ini mungkin tidak

berujung fatal, tetapi ini menampakkan dengan jelas ada penyakit yang mengakar dalam cara

pandang kita melihat perbedaan. Maka, mempersiapkan Indonesia adalah menghidupkan

ruang-ruang dialog di akar rumput.

 

Dia-lo-gue: Ikhtiar Staramuda Jombang  

Page 95: Contoh Esai Juara Temp0

Mengenal Jombang dari kulitnya adalah segera terbesit seribu satu nama orang asal Jombang

yang berhasil mewarnai wajah Indonesia. Bermacam respon pertama orang ketika mendengar

Jombang, ada yang sebut Gus Dur, yang lain sebut Rian si Jagal, lain lagi sebut Ponari.

Demikian Jombang, terdiri dari unsur ijo (hijau) dan abang (merah). Hijau mewakili santri

dan merah mewakili abangan.

Sejarah Jombang terendus dari catatan tentang Klentheng Tridharma di kecamatan Gudo

berdiri 1700an dan Gereja Kristen Jawi Wetan di kecamatan Mojowarno berdiri 1893.[4] R.A.

Kartini juga pernah menulis dalam suratnya, ia tertarik dengan persekutuan Mojowarno untuk

belajar menjadi perawat.[5] Tepat di depan gereja, persekutuan Mojowarno mendirikan

sebuah rumah sakit.

Di waktu yang hampir bersamaan, Abdussalam seorang bekas prajurit Diponegoro, membabat

alas di desa gedhangan dan mendirikan pesantren selawe. Keturunan Abdussalam ini yang

kini memegang kepemimpinan atas empat pesantren besar di Jombang, yaitu Tebuireng,

Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso. Sejak awalnya, Jombang tak pernah berwajah tunggal.

Tak ada catatan tentang pelanggaran HAM dan SARA yang pernah terjadi di Jombang. Relasi

kelompok-kelompok agama dan etnis juga terawat baik. Para keturunan Tioghoa, yang

mendominasi pusat pertokoan di sepanjang jalan A.Yani dan jalan KH. Abdurrahman Wahid

(dulu jalan Merdeka), memiliki sumbangsih besar terhadap pembangunan pesantren. Atas

dasar kepercayaan, mereka memberikan penundaan pembayaran kepada pesantren yang

membeli bahan bangunan di toko mereka. Gedung-gedung pesantren itu berdiri di atas

pondasi harmoni antara Jawa dan Tinghoa.

Setengah jam dari kampung saya di Jombang, saya menemui sebuah desa yang memberikan

kehidupan bagi tiga komunitas beragama sekaligus rumah ibadahnya. Survei CSIS tidak

berlaku di desa ini. Di dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, kaum muslim,

Kristen, dan Hindu berpadu jadi satu. Gereja, masjid, dan pura menanungi umat tanpa tebar

kebencian. Mereka guyub dalam satu komunitas bernama Budi Luhur untuk menjaga

harmonisasi masyarakat. Inilah wajah ayu Indonesia. Tapi sejulah tamsil ini bukan berarti

mennjukkan isu antariman di Jombang telah paripurna.

Sebagai bagian dari Jombang, saya tak pungkiri pernah mengalami fase fanatik yang amat

mendalam. Mungkin karena saya lahir dan dididik di balik dinding pesantren. Saya butuh

waktu untuk memahami bahwa stereotipe buruk terhadap Kristen itu salah. Bahwa orang Cina

itu najis karena mereka makan babi itu pandangan yang sesat. Sampai akhirnya saya duduk

semeja selama tiga tahun di SMA dengan seorang Protestan. Dalam sejumlah obrolan, kami

tak segan mengonfirmasi stereotipe masing-masing. Kami tetap berkawan sebab kami saling

Page 96: Contoh Esai Juara Temp0

memberikan pemahaman. Di titik itulah saya menemukan bahwa toleransi adalah seperangkat

pengalaman. Sahabat saya ini sangat membantu saya dalam melihat dunia yang penuh warna

berbeda.

Juni lalu saya berkenalan dengan sekelompok anak muda yang menamakan dirinya Staramuda

Community. Mereka menjadi garda depan penjaga harmonisasi antariman di Jombang.

Komunitas ini baru mei lalu dideklarasi. Setiap bulan, Staramuda menggelar nonton film

bertema lintas agama untuk menjadi bahan pantikan diskusi. Nonton bareng bulan lalu,

mereka mengundang puluhan santri putri Rejoso ke dalam ruang multimedia Gereja Katolik

St. Maria.

Pembedah film diundangkan dari tokoh-tokoh muda di sekitar Jombang yang memiliki

keterbukaan. Staramuda beruntung disambut dengan baik oleh sejumlah gereja dan tokoh

pesantren. Di setiap bedah film, pembedah terdiri dari paling tidak dua unsur yang berbeda

yang menawarkan perspektif mereka sendiri. Sejumlah anak muda dari pesantren, gereja dan

kampus turut silih berganti meramaikan diskusi.

Proses dialog juga tak pernah berlangung alot. Semuanya sama-sama belajar berdialog dengan

sehat, menghindari pernyataan yang menyudutkan pihak lain. Diskusi Staramuda selalu

dilengkapi dengan kacang dan ketela rebus, tak ketinggalan juga tawa yang renyah.

Saya merasa mewah ada komunitas diskusi seperti ini di kota sekecil Jombang. Saya tak mau

melewatkan kemewahan ini sebagai penonton, maka saya bergabung dengan Staramuda.

Sekelompok pemuda ini yang dengan telaten mengetuk pintu-pintu pesantren, gereja, dan

klenteng untuk duduk bersama saling memberikan pemahaman dan berbagi pengalaman.

Suatu hari, Staramuda menyisir wilayah selatan Jombang. Salah satunya, menemui Pendeta

Wimbo, pemimpin GKJW Mojowarno. “Kami menyambut baik komunitas ini. Karena

kadang anak yang ada di desa seperti ini tidak tahu bagaimana cara menyambung perkawanan

dengan yang di kota.” Seketika saya menyadari, jika Staramuda diseriusi, ia menjadi simpul

penting bagi Jombang. Tak hanya antariman, tapi juga menggerus dinding rural-urban yang

selama ini kokoh berdiri.

Salah satu hal yang menarik dari Staramuda, komunitas ini hanya boleh dipimpin oleh

golongan minoritas. Ini dilakukan untuk menghindari dominasi dan hegemoni mayoritas.

Ketuanya sekarang seorang Tionghoa, Adi Sudjatmika, biasa dipanggil Acong. Keluarga

Acong mengelola sebuah toko. Tapi ia sendiri tak merasa nyaman beraktivitas dalam bisnis

keluarga. “Aku lebih suka kerja sosial atau kuliah,” akunya dalam suatu obrolan. Untuk

ukuran Jombang, Acong adsalah Tionghoa yang nyeleneh.

Page 97: Contoh Esai Juara Temp0

Syawal lalu, Acong bersama Lugis, mewakili Staramuda, berangkat ke GOR Sampang.

Mereka bergabung dengan relawan lain untuk membantu umat Syiah korban kekerasan.

Mereka juga mengawal bantuan yang berhasil dihimpun Staramuda dari warga sekitar

Jombang. Bantuan justru berbondong-bondong datang dari Gereja.

Esoknya, sejumlah pegiat Staramuda akan menyusul ke Sampang. Tapi ternyata, kondisi di

GOR tidak kondusif. Acong terus memperbarui informasi bahwa mereka mendapat tekanan

dari pemerintah daerah. Acong menyesalkan pemerintah membuat SOP bagi relawan. Ini

semacam alat untuk membatasi gerak advokasi relawan terhadap korban. Satu hal yang paling

menghambat Acong, ia tak bisa berbahasa Madura. Sementara, para korban juga tak fasih

berbahasa Indonesia.

Pengalaman Acong dan Lugis memberikan kami pemahaman bahwa korban konflik

antarkelompok agama tidak mendapatkan perhatian yang sama seperti korban bencana alam.

Dalam kasus Sampang ini misal, masyarakat tidak langsung tergerak membantu karena ada

proses identifikasi diri. ‘Jangan-jangan yang mau saya bantu berbeda pandangan keimanan

dengan saya’.

Saya melihat banyak komunitas yang serupa semangatnya dengan Staramuda di berbagai

kota. Inilah yang saya sebut pilar-pilar dari daerah. Seberapapun kecil komunitas itu, ia

merupakan simpul-simpul penopang Indonesia. Komunitas ini yang membantu masyarakat

hidup dalam ruang publik yang sehat. Komunitas hanya sebuah wadah untuk terjadi dialog.

Tetapi, sejatinya dialog bisa terjadi di mana saja. Melibatkan orang ketiga, kedua, dan

pertama; dia, lo, dan gue.

Dialog bukan berdebat. Watak khas dari dialog ialah kelapangan hati untuk menerima

perbedaan dan tidak memaksakan kehendak. Dalam terminologi Pancasila, kita menyebutnya

musyawarah. Peredebatan, seperti debat calon presiden, mencari argumentasi yang paling

unggul. Sementara dialog memberikan ruang yang longgar, agree to disagree, mufakat untuk

tidak sependapat. Inilah semangat yang ingin dipelajari bersama dalam ruang-ruang diskusi

Staramuda. Tak sependapat berdasar pada keyakinan tidak membuat lepas persaudaraan.

Perlu digaris bawahi, dialog lebih pas digunakan untuk menggali wacana, bukan mengambil

keputusan praksis. Musyawarah untuk mufakat biasanya digunakan untuk yang terakhir

disebut. Namun belakangan, manusia Indonesia lebih suka menggantinya dengan pemungutan

suara.

Tidak banyak orang yang menganggap harmonisasi dalam dialog ini adalah kegiatan yang

layak diseriusi. Dialog ini tidak mendatangkan keuntungan pragmatis. Sebagian lagi masih

Page 98: Contoh Esai Juara Temp0

tabu membicarakan ajaran agama satu dengan lainnya. Buat apa kan sudah lakum dinukum wa

liya din?

Kebutuhan dan minat setiap individu dalam memahami agama lain bisa jadi berbeda-beda.

Dulu saya mengira pendeta belajar Alquran untuk mencari celah ajaran Islam. Tapi itu

berubah setelah bertemu Romo Siga di salah satu diskusi Staramuda. Saya jadi paham bahwa

dengan mempelajari agama lain, kita semakin rendah hati menemukan nilai kebenaran yang

kita yakini juga dimiliki kelompok lain. Saya juga menemukan ajaran Budha yang indah, jika

kamu menghina agama orang lain, kamu menghina agamamu sendiri. Sebab agama tak

pernah mengajarkan energi kemarahan. Ini perlu direnungkan oleh seluruh umat beragama.

Saya menyesal komunitas seperti Staramuda harus ada. Staramuda menjadi relevan hari ini

lantaran wacana harmonisasi dalam masyarakat kita belum mapan. Saya bercita-cita,

Staramuda dan komunitas serupa di seluruh Indonesia dibubarkan suatu hari nanti. Ketika

masyarakat secara otomatis telah mampu merawat harmoni setulus menghirup udara di pagi

hari.

Referensi:

Dakhidae, Daniel. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma

Karim, AG, dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in Indonesia

Yogyakarta: JPP UGM

dan IDEA.

Simbolon, T. Parakitri.  2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.

Hasil penelitian CSIS yang disadur dari 

http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-

Indonesia-Rendah

[1] Parakitri. T. Simbolon.  2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal. 252.

[2] Daniel Dakhidae. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma

[3] Hasil penelitian CSIS yang disadur dari

http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-

Indonesia-Rendah

[4] Abdul Gaffar Karim dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in

Indonesia Yogyakarta: JPP UGM dan IDEA. Hal. 104

Page 99: Contoh Esai Juara Temp0

[5] Pramoedya Ananta Toer. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Pendidikan Alternatif di Yogyakarta

Oleh: DEWI KHARISMA MICHELLIA - UNIVERSITAS GADJAH MADA

 

Entah apa yang ada di pikiran seorang guru SD ketika menyuruh muridnya mencari materi

pelajaran di internet. Entah pula apa yang ada di pikiran seorang guru dan kepala sekolah

SMA ketika membiarkan anak didiknya mengakses kunci jawaban Ujian Nasional demi

mendapati kelulusan 100% untuk sekolahnya. Bimbingan belajar dengan trik-trik instan,

tanpa menekankan pada logika ilmu pengetahuan, bermunculan bak cendawan di musim

hujan. Joki-joki menanti siapa saja yang sedia membayar sekian juta dan dengan cara apa pun

membantu mereka mendapatkan jurusan favorit. Gedung-gedung pendidikan dan fasilitas

pendidikan meniru standardisasi global. Mahasiswa, pelajar, ataupun cendekiawan pada

umumnya barangkali kehilangan orientasi, tentang apa yang mereka cari di institusi

pendidikan.

Banyak masalah terjadi. Paragraf di atas barangkali hanya contoh-contoh yang terlihat di

permukaan. Seperti batu es di lautan, yang terlihat hanya bagian permukaannya. Padahal, bisa

jadi permasalahan ini berantai dengan minimnya wawasan masyarakat tentang negara,

bangsa, dan Nusantara-nya, atau kealpaan kita tentang landasan yang membangun negara

Indonesia.

Frustrasi dan anakronisme yang terjadi lantaran permasalahan-permasalahan ini ternyata

masih memiliki jalan keluar. Ada beberapa pendidikan alternatif bagi masyarakat untuk

mengelola tradisi lokalnya dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya.

 

Pada mulanya mungkin hanyalah amanat ibu saya sebelum beliau tutup usia bahwa saya harus

menjadi seorang dokter, dan berkuliah di alma mater ibu. Amanat itu mengantarkan saya ke

Yogyakarta. Dan ternyata Bali jauh berbeda dari Jawa. Di Bali, tak ada transportasi dengan

kereta api, transportasi publik juga tak beroperasi. Beberapa saat, saya menjadi the others, tak

Page 100: Contoh Esai Juara Temp0

ada sanak famili, tak fasih bahasa Jawa. Namun kini, agaknya kota ini telah menahan saya,

bahkan hanya dengan tawaran nasib ke depan yang masih belum jelas.

Gelar diploma yang kelak saya peroleh dari universitas tak akan mampu mengantarkan saya

ke cita-cita saya menjadi jurnalis, kecuali saya mengambil kuliah lain lagi tahun depan. Meski

sayalah yang secara sadaar memilih jurusan ini lantaran merasa lelah mengejar impian ibu.

Tiga tahun lewat, saya akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang amanat ibu, dan saya tahu apa

yang saya inginkan. Namun hari ini, jurang antara saya dan cita-cita saya adalah syarat gelar

minimum sarjana.

Adalah mudah untuk sekadar mengambil alih program dari diploma ke sarjana, bila yang saya

butuhkan hanya sebatas gelar. Tetapi untuk apa? Harold Ross, pencetus The New Yorker dan

membidani tokoh-tokoh jurnalistik seperti John Hersey yang menulis laporan berita

Hiroshima malah tak pernah merampungkan pendidikan tinggi. Saya paham kami berbeda

zaman. Terlahir di zaman yang penuh standardisasi global, ketika seorang Ph.D. di Amerika

saja bisa menjadi pengangguran, saya terkadang merasa mengalami anakronisme. Suatu

sensasi, seolah seharusnya beberapa orang tak terlahir pada zaman tertentu.

Meski antipati, bagaimanapun saya telah banyak belajar dari zaman yang seperti ini. Dua

tahun menjadi bagian pers mahasiswa, saya berkesempatan mampir ke diskusi, seminar,

festival, pameran lukisan, penampilan teater, monolog puisi teatrikal, peluncuran buku,

demonstrasi jalanan, dan mengobrol dengan banyak narasumber mumpuni dalam bidang-

bidang sosial budaya, politik, pertanian, hukum, atau apa pun. Bagi saya, Yogyakarta—dan

pers mahasiswa khususnya—adalah tempat saya bertumbuh. Saya tak akan mendapatkan

pengalaman itu hanya dari kelas-kelas perkuliahan yang telah ditentukan silabusnya.

Perubahan adalah semacam keniscayaan. Silabus-silabus pendidikan kini persis menuruti

tuntutan pasar kerja, alih-alih mengejar wacana globalisasi. Saat ini, universitas negeri hanya

menyediakan jatah waktu tiga tahun untuk penerimaan mahasiswa, dan tuntutan waktu

maksimal empat tahun untuk merampungkan gelar sarjana. Gagal tiga kali dalam tes masuk,

berarti tak ada kesempatan untuk berkuliah murah; lulus lebih dari jatah waktu empat tahun

juga menjadi tak umum.

Sementara itu, universitas swasta bukan main mahalnya; mengambil satu sks (satu semester

umumnya 18-24 sks) bisa ditagihi Rp160.000 – Rp250.000, belum lagi ada biaya tambahan

pada tiap semester yang besarannya sekitar Rp2-7 jutaan. Tak ada yang menyalahkan saat

kepala yayasan universitas-universitas swasta itu berdalih kuliah di Jepang atau Amerika

Serikat lebih mahal 80 kali lipat. Padahal kita sudah sama-sama mengetahui perbedaan

kemampuan negara berkembang dan negara maju.

Page 101: Contoh Esai Juara Temp0

UGM yang dulunya dijuluki “universitas kerakyatan” pun turut menjadi semakin mahal;

mengikuti alur pikir UU BHMN sejak 2000, berlanjut ke UU Dikti yang diresmikan pada Juli

2012. Dalihnya sama, untuk membangun fasilitas, universitas tak mesti ketergantungan pada

subsidi pemerintah. Imbasnya, program internasional dibuka—yang mirisnya kelas-kelas itu

justru melulu diisi masyarakat lokal—dan semakin banyak mahasiswa baru berasal dari

keluarga menengah ke atas, ber-gadget, bermobil, dan berpakaian mentereng. Dengan

keadaan ini, angka 2%-an dari jumlah generasi muda Indonesia yang menempuh pendidikan

tinggi sepertinya tak akan bertambah.

Dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pada pasal 4, termaktub bahwa

“Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan perdagangan

budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”; namun saya lihat pendidikan tinggi justru

mencetak lulusan-lulusan yang siap kerja (istilah halus dari diperbudak). Saya meragukan

apakah teman-teman saya menikmati perkuliahannya, ataukah sebatas berniat lulus dengan

IPK bagus dan mendapat pekerjaan bergengsi.

Sekat-sekat interdisipliner semakin kentara jelas. Di zaman ini tak perlu mengharapkan

kemunculan polymath yang memiliki prekositas semacam Aristoteles atau Goethe, atau yang

paling dekat—Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir. Mahasiswa-mahasiswa di jurusan perkuliahan

IPA menghadapi keadaan yang amat ekstrim. Senin hingga Jumat, mereka mendapat lima

tugas mengerjakan laporan tak diketik, wajib dikerjakan dalam tulisan tangan. Belum lagi

sederet praktikum dan membantu dosen meriset. Mana punya waktu belajar seni dan sosial

humaniora, terkecuali mereka sudi menelantarkan separuh mata kuliahnya dan ber-Indeks

Prestasi tak bagus-bagus amat. Berbeda dengan penerapan sistem NKK/BKK pada era ’70-an,

di sini terlihat injeksi normalisasi kampus dilakukan dengan upaya sehalus mungkin. Atau

karena kita memang dituntut menjadi semakin mondial? Mungkinkah praktik-praktik riset dan

tugas yang menggunung itu ditujukan untuk menandingi penemuan-penemuan teknologi

mutakhir Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat?

Pernah ada yang berujar kepada saya, mulailah dari Yogyakarta untuk mengukur taraf

minimum pendidikan dan budaya Indonesia karena kota ini semacam miniaturnya Indonesia.

Ia menambahkan, alasannya adalah karena pemuda/i sepenjuru Indonesia merantau ke kota

ini. Maka, kalau mahasiswa-mahasiswa di UGM, misalnya, sudah marak bawa mobil dan

meninggalkan masyarakatnya, maka di Jakarta atau Bandung akan lebih parah lagi

keadaannya. Di atas telah saya paparkan sedikit mengenai apa yang kini terjadi di

Yogyakarta. Meski kemudian saya mendapati, sejumlah representasi pelajar luar kota Yogya

Page 102: Contoh Esai Juara Temp0

itu tak bisa dijadikan parameter. Karenanya, bila ditarik secara umum, perspektif ini tak layak

diterima karena Yogya, Bandung, dan Jakarta bukan tolak ukur bangsa Indonesia.

Saya mafhum bangsa kita selalu melupakan banyak hal; hutang negara kepada Bank Dunia,

politik Nasakom, tragedi G-30-S 1965, perjuangan reformasi 1998, pembukaan UUD 1945,

dan bahkan Pancasila. Termasuk juga perjuangan seorang Djuanda Kartawidjaja saat

mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia, di antara dan di dalam kepulauan

Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda ini menegaskan posisi

Indonesia yang menganut prinsip-prinsip kepulauan (Archipelagic State). Intinya, sejak

dahulu kepulauan nusantara sudah merupakan satu kesatuan; dan dipertegas demi

mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. Namun apa

yang terjadi saat ini?

Apakah kita benar masih memiliki rasa persatuan ataukah peduli dengan saudara setanah air?

Pendidikan saja tak tersebar merata ke seluruh Indonesia. Jangankan ke Sabang atau Papua, di

Denpasar saja—yang dekat dengan Jawa, tempat saya dibesarkan, tak ada toko buku bekas

semacam Shopping-nya Yogya atau Palasari-nya Bandung. Perpustakaan sekolah saya tak

menyediakan lengkap karya sastrawan dunia dan Indonesia; akibatnya, sewaktu SMA saya

lebih mengenal Gabriel García Márquez yang lebih komersil daripada Y.B. Mangunwijaya

yang sulit ditemukan di pasaran. Dan bila ukurannya adalah tenaga pengajar, saya yakin tiap

sekolah di Indonesia memiliki guru bahasa Indonesia dan guru Sejarah yang membuat

muridnya mengantuk di kelas dan membenci dua mata pelajaran penting itu.

Meski setidaknya saya beruntung keadaan SD-SMP di tahun 1990-2000-an tak seganjil apa

yang dihadapi cohort 2000-an. Pernah suatu kali, adik sepupu saya yang kelas 1 SD menerima

surel dari gurunya yang hanya berisi PR hitungan. Menjelang kelas 2-3 SD, ia mengerjakan

segala tugas sekolah yang di zaman saya baru saya peroleh di kelas 4-6 SD. Lagi-lagi, ia

mengerjakan tugas dengan bantuan internet. Saya yakin ini pun terjadi karena tuntutan

pendidikan dari pemerintah.

Di lain pihak, niat baik pemerintah mengadakan Ujian Nasional (UN)—bahkan dari level SD

—untuk memeratakan standar pendidikan Indonesia juga tak berjalan mulus. Sewaktu

mengikuti UN SMA, saya menjadi saksi bagaimana jawaban-jawaban ujian telah disebar

jauh-jauh hari sebelum ujian; bahkan oleh guru SMA bersangkutan, bahkan meski ada dua

jenis soal yang digunakan (A dan B). Tujuannya satu, agar sekolah tersebut terakreditasi baik

lantaran mampu meluluskan muridnya 100%. Murid-murid yang menjadi peringkat tiga besar

di kelas bertugas mengoreksi kunci jawaban saat ujian berlangsung. Selepas SMA, kami

dianjurkan ikut bimbingan-bimbingan belajar untuk menghafal rumus cepat demi persiapan

Page 103: Contoh Esai Juara Temp0

SNMPTN. Lembaga bimbingan itu juga menawarkan paket emas, perak, reguler dalam tarif

berbeda dengan jaminan diterima di jurusan bergengsi.

Menjelang SNMPTN, lagi-lagi saya menjadi saksi korupsi dalam sistem pendidikan. Agak

linglung dengan suasana pendaftaran tes, saya bertemu orang asing yang menawarkan jasa

perjokian. Karena suka tantangan, saya coba mengobrol iseng dengan mereka. Joki-joki itu

mengumpet di dalam mobil, menawarkan jasanya yang berkisaran harga Rp 17 juta – 175

juta. Jaminannya, pengguna jasa akan berkuliah di jurusan favorit; dan bila tidak, uang akan

dikembalikan 100%. Saya tak tergiur, terlepas dari iming-iming mereka.

Saya masih pesimis apakah kegiatan Indonesia Mengajar yang menjadi prestise bagi pengajar

fresh graduate dapat mengubah sistem karut-marut ini. Tetapi paling tidak saya

mengapresiasi Anies Baswedan; karena kegiatan itu diinisiasi di wilayah-wilayah terpencil

Indonesia yang mungkin para pelajarnya memiliki semangat yang lebih murni untuk belajar.

Di Yogyakarta, Ainun Chomsun menginisiasi gerakan Akber (Akademi Berbagi) yang meluas

hingga ke Jakarta. Meski yang disasar adalah masyarakat middle-class atau yang melek

teknologi karena mediumnya melalui Twitter, ide Ainun memberi harapan bahwa pendidikan

tak mengenal sekat-sekat dan tak saklek. Follower akun Twitter Akber Jogja dapat

mengajukan kelas apa pun yang mereka minati, dan siapapun yang berkompeten dapat

mengajukan diri menjadi pengajar dengan medium Twitter. Tiap kelas dibatasi untuk 25

orang pendaftar tercepat. Boediono Darsono, pemimpin redaksi detik.com, ketika itu menjadi

tutor pertama kelas Akber Jogja di Twitter.

Begitu juga Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menyasar pedagang pasar dalam kegiatan

Sekolah Pasar lantaran pertumbuhan waralaba asing yang tak terkendali. Masih soal ekonomi

rakyat, Center for Extension and Empowerment Studies (CEES) membuka kelas kedaulatan

pangan dengan bahwa sagu, ketela, dan ubi-ubian dapat menjadi alternatif pangan selain

beras. Kenyataannya, kedelai untuk bahan dasar tempe-tahu pun masih mengimpor dari

Amerika. Meski terbuka untuk masyarkat umum, kelas ini secara khusus diperuntukkan bagi

wirausahawan restoran dan pengusaha pangan di wilayah Yogyakarta.

Kelas-kelas untuk masyarakat juga dibuka oleh Institute for Multiculturalism & Pluralism

(IMPULSE). Baru-baru ini, mereka mengadakan kelas-kelas kritik ideologi. Hal ini dilandasi

pemikiran bahwa Indonesia nampaknya memang sedang krisis semangat kebhinnekaan. Lihat

saja akun Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab di Facebook, ada parodi tentang laskar 2D

(ber-Intelligent Quotient dua digit) untuk menyebut laskar-laskar Forum Pembela Islam.

Seringkali memang, tindak-tindak kekerasan dilakukan dengan membawa-bawa nama agama.

Di luar negeri, Indonesia lebih dikenal sebagai negara teroris. Dari sini kelihatan, keadaan

Page 104: Contoh Esai Juara Temp0

masyarakat Indonesia yang minim toleransi atas sesama bisa jadi neraca gagalnya pendidikan

—utamanya pendidikan karakter.

Selain itu, ada juga pelatihan-pelatihan antikorupsi oleh Pusat Studi Anti Korupsi (PUSKAT)

UGM yang bekerja sama dengan tim redaksi situs web Infokorupsi. Anies, rektor Universitas

Paramadina, pun sudah mulai memasukkan kurikulum antikorupsi pada mata kuliah umum di

universitas binaannya. Setelah mengikuti pelatihan jurnalisme media rakyat (citizen

journalism for anti-corruption) yang diadakan PUSKAT UGM pada Januari 2010 lalu, saya

pun mulai belajar tentang perkembangan media rakyat.

Meskipun, secara umum, permasalahan di lingkup pendidikan tak bisa lepas dari budaya kita

yang, istilahnya, masih seperti layangan. Nirwan Dewanto, melalui Kebudayaan Indonesia:

Pandangan 1991, mengingatkan kembali tentang polemik kebudayaan antara Radjiman

Wediodiningrat dengan Tjipto Mangunkusumo yang bahkan telah terjadi sejak 1908.

Paradoks yang muncul mengenai apakah perkembangan kebudayaan perlu melalui tahapan

ataukah dapat berkembang secara revolusioner dan terjadi dengan instan. Bagi Radjiman,

nasionalisme maupun kebudayaan Jawa harus dipertahankan, sementara bagi Djipto Jawa

sudah hilang kedaulatan, dan sebagai entitas baru adalah Indonesia yang perlu memanfaatkan

pengetahuan Barat dan unsur-unsur budaya lain[1].

Namun kita juga perlu melihat konteks. Di tahun 1908, teknologi belum seperti sekarang. Bila

dulu budaya bertransmisi ke masyarakat dengan bantuan literatur, kini masyarakat

mengadopsi budaya dari televisi dan media digital lainnya. Generasi muda lebih dekat dengan

budaya pop Korea daripada budaya wayang Indonesia. Ini mengingatkan saya bahwa dalam

hal ini pun, kita masih dapat mengupayakan pendidikan alternatif. Sejak 2001, masih di

Yogyakarta, ada gerakan Combine Resource Institution (CRI) yang menggiatkan media

rakyat. Rakyat diajak belajar memanfaatkan teknologi dengan cerdas; istilahnya, melek

media. Mereka akan belajar mendapatkan akses informasi secara mandiri tanpa perlu melalui

alur birokrasi. Program terbaru yang dilakukan adalah Lumbung Komunitas; di mana

masyarakat dituntun untuk mengelola pengetahuan lokal dan mengenal desa mereka sendiri.

Pada akhirnya, semua usaha-usaha pendidikan alternatif itu membuat saya yakin masih akan

ada harapan untuk Indonesia.

[1] Dewanto, Nirwan (1996), Senjakala Kebudayaan, Penerbit Yayasan Bentang Budaya

Tidak ada Komentar

Page 105: Contoh Esai Juara Temp0

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Komunikasi, Harga Kebhinekaan

Oleh: YOHANES HALIM FEBRIWIJAYA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

 

Rangkuman :

Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun di

balik kekayaan tersebut, tersimpan suatu bahaya, yang disebabkan oleh perbedaan latar

belakang. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak suku, banyak pula tembok penghalang

untuk memanfaatkan kebhinekaan yang ada menjadi suatu kekuatan, dan bukan pemecah,

untuk dapat mencapai tujuan negara Indonesia. Untuk dapat menghilangkan tembok-tembok

penghalang tersebut, perlu adanya suatu usaha komunikasi antar kelompok, yang pada

dasarnya membutuhkan keberanian untuk dapat melewati batas-batas nyaman kelompok

tersebut. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbentuk kesatuan, yang mendukung

Sekitar tujuh tahun lalu, saya mendaftar ke klub basket di SMA saya. Saya sangat

bersemangat waktu itu, selain karena saya memang menyukai olahraga basket, saya juga

menemukan jagoan-jagoan basket di SMP-SMP yang saya temui ternyata juga memasuki tim

basket. Kegembiraan saya ditambah dengan adanya jagoan-jagoan dari SMP lain yang berasal

dari luar kota. Kami yang lolos seleksi itu, konon digadang-gadang menjadi angkatan emas,

karena sejak 3 tahun sebelumnya, “Belum pernah muncul talenta-talenta sebagus  dan

sebanyak ini.”

—————————–

Selama setengah tahun, kami bersama mengikuti latihan bersama, dan selama setengah tahun

itu kami berbagi kebahagiaan. Namun di akhir semester pertama, muncullah pernyataan yang

mengejutkan dari salah seorang teman saya,” Tim ini memang bagus, tapi entah kenapa, aku

tidak menikmati permainan bersama tim ini.” Seminggu kemudian, mundurlah dia. Dan sejak

itu, teman-teman dekatnya di tim juga mundur, menyisakan kami. Dan entah kebetulan atau

tidak, teman-teman dekatnya adalah mereka yang berasal dari SMP negeri, atau yang bukan

Tionghoa. Dan kenaifan kami untuk tidak menyadari hal ini, ternyata malah menjadi

bumerang bagi kami, karena sebenarnya kami secara tidak sadar sudah membuat pemisah.

Dulu, saya berpikir, bahwa kami memiliki begitu banyak perbedaan, sehingga sulit bersatu.

Namun belakangan, muncul pemikiran sebaliknya, bahwa sebenarnya kami memiliki lebih

Page 106: Contoh Esai Juara Temp0

banyak lagi kesamaan. Kami hanya berbeda suku saja, atau paling banter berbeda golongan,

karena asal SMP kami berbeda. Saya tertegun menyadari, dua perbedaan kecil dan biasa saja

ini sangat signifikan mempengaruhi cara kami berelasi. Saya kemudian menyadari, tantangan

besar di balik kebhinekaan bangsa kita, yang terdiri dari 1128 suku bangsa[1], 6 agama yang

diakui, beberapa ras dan banyak golongan. Betapa ‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah motto yang

sangat hebat menyadari hal ini, mengingat 2 kelompok orang yang berbeda suku saja bisa

bertengkar hebat karena masalah sepele!

Kesatuan Bangsa

Slogan ‘Bhineka Tungggal Ika’ ini adalah perekat bangsa Indonesia, yang memang luar biasa

kekayaan budayanya. Slogan ini mengajak untuk melihat, meskipun banyak perbedaan, ada

kesatuan,yaitu sebagai bangsa Indonesia. Slogan ini muncul pada sayembara lambang negara

pada 8 Februari 1950[2], bersamaan dengan logo Pancasila. Pancasila adalah dasar negara,

dengan ‘Bhineka Tunggal Ika’, sebagai perekat bangsa, adalah bagian tidak terpisahkan.

Bangsa, menurut Ernest Renan adalah ” hasil dari masa lalu yang terdiri dari usaha-usaha,

pengorbanan,dan keterikatan yang sungguh-sungguh… untuk bersama memiliki kejayaan di

masa sebelumnya, dan semangat yang sama untuk memiliki kejayaan di masa sekarang; untuk

melakukan hal-hal besar bersama dan ingin terus melakukannya. “[3]

Definisi tentang bangsa menurut Ernest Renan ini adalah definisi yang digunakan oleh Ir.

Soekarno untuk menjelaskan ideologinya tentang bangsa[4]. Hal ini menunjukkan bahwa

Bung Karno memiliki suatu cita-cita bahwa nantinya orang-orang yang tetap tinggal di

Indonesia setelah merdeka “telah melakukan hal besar bersama dan ingin melakukannya

lagi.” Beliau ingin semangat kemerdekaan Indonesia adalah semangat kebersamaan,

meskipun berbeda-beda tapi tetap satu membangun bangsa Indonesia.

Hal ini tentu mensyaratkan bahwa sebelum seseorang membangun bangsa, dia harus

disadarkan dulu bahwa bangsa yang dia bangun adalah bangsa yang majemuk, dengan

berbagai perbedaan, namun berusaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang besar. Tujuan

ini tidak dapat tercapai tanpa realisasi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’. Tanpa ‘Bhineka Tunggal 

Ika’, tanpa kesatuan Indonesia, tidak akan ada kekuatan untuk mencapai tujuan bersama

tersebut.

Komunikasi

Namun alih-alih bersatu, di kacamata saya, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah dan

ketakutan menghadapi ke-Bhineka-an tersebut. Itu terbukti dengan masih seringnya terjadi

perseteruan antar suku, antar agama di berbagai tempat. Beberapa waktu yang lalu bahkan

terjadi perseteruan antara kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah. Hal ini menunjukkan,

Page 107: Contoh Esai Juara Temp0

masih tingginya tingkat kecurigaan antar sesama umat Muslim sendiri, dan saya yakin, lebih

besar lagi jurang yang terjadi antar agama, yang mengakibatkan konflik di Poso. Dan,

menurut pengalaman saya, tingkat kecurigaan yang tinggi adalah indikator dari kurangnya

komunikasi. Karena, kurangnya komunikasi akan mengakibatkan prasangka, dan prasangka

tanpa komunikasi akan menimbulkan stigma yang kuat, namun mungkin tidak benar terhadap

objeknya. Perlu suatu usaha untuk membuka komunikasi dan membongkar tembok-tembok

kebisuan masyarakat.

Saya sendiri menjadi saksi tidak adanya komunikasi tersebut, karena sejak dini pun bibit-bibit

ketakutan dan kecurigaan sudah muncul, bahkan mungkin sudah ditanamkan. Pada saat saya

kelas 6 SD, saya mengikuti sebuah lomba siswa teladan. Pada tingkat kecamatan, lomba

tersebut diadakan di sebuah SDN dekat sekolah saya. Ketika itu saya berkenalan dengan

beberapa orang, dan sayapun berbincang. Ketika mengetahui saya tidak bisa mengucapkan

huruf R dengan baik, entah kenapa pandangan mereka berubah. Kemudian kami dipanggil ke

ruangan untuk memulai ujian, dan kamipun menghentikan perbincangan kami. Pada saat

istirahat, saya mengalami sakit perut. Saya pun ke WC. Tanpa saya duga, tiba-tiba dari

jendela meluncur batu-batuan kecil. Saya pun berteriak,”Oi, ada orang di dalam.” Kemudian

ada suara dari pintu WC, “Coba ngomong R dulu yang bener.”

Saya yakin tidak ada orang yang mengajarkan dia untuk berbuat demikian, namun hinaan

sehari-hari terhadap orang Tionghoa, mungkin dilakukan oleh temannya, mungkin oleh

orangtuanya, bahkan mungkin gurunya yang membuat dia berbuat demikian.

Pernah pula di suatu saat, saya menjadi relawan di Pengalengan, Jawa Barat. Pada waktu

mendekati maghrib, saya iseng mendengarkan anak-anak kecil belajar mengaji. Saya terkejut

sekali ketika di speaker maghrib sang pengajar mengatakan “..dan tidak akan pergi ke gereja.”

Saya membayangkan, kalau mereka sudah besar, mungkin anak-anak kecil itu nanti akan

takut sekedar berteduh di gereja saat hujan.

Mungkin, hal-hal kecil seperti inilah yang membuat orang-orang dewasa di Indonesia menjadi

paranoid. Contohnya, pernah suatu ketika, saya mengobrol dengan seseorang di kereta api.

Dia merekomendasikan sebuah buku karangan Nucholish Madjid. Saya sebenarnya tertarik,

namun karena tadinya kami sedang membahas buku karangan penulis berkebangsaan Jepang,

saya bertanya, ” Kenapa tiba-tiba Nurcholish Madjid, mas?” Orang ini tiba-tiba sedikit emosi

sambil mengutarakan dia tidak sedang mencoba berdakwah.

Kecanggungan komunikasi, buat saya adalah penyebab ketiga hal diatas. Mungkin kalau si

anak terbiasa bergaul dengan orang Tionghoa, tidak mungkin dia melempari batu hanya

karena saya tidak bisa mengatakan huruf R. Mungkin, orang yang mengajar di kelas mengaji

Page 108: Contoh Esai Juara Temp0

itu tidak menyadari bahwa  pengajarannya berpotensi memicu keretakan bangsa karena di

kampung tersebut semuanya Muslim, dan tidak menduga akan ada seorang Kristen

mendengar. Mungkin orang di kereta api tersebut juga tidak terbiasa berbicara dengan orang

Kristen sehingga takut dikira melakukan dakwah.

Fobia terhadap pluralisme

Akhirnya, masalah komunikasi ini menjadi suatu penghalang besar untuk mempersatukan

bangsa Indonesia. Penolakan terhadap kebhinekaan dan slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ini

mengakibatkan ekstrim sebaliknya dari kebhinekaan, yaitu dorongan untuk menjadikan segala

sesuatu seragam dalam konteks yang terbatas, di ‘daerah kekuasaan’ orang/kelompok

tersebut, bahkan dapat memicu megalomania. Contohnya, Hitler, yang hanya menerima

keberadaan ras Arya sebagai ‘manusia super’, menganggap ras lain sebagai ‘manusia yang

lebih rendah’ yang layak diperbudak dan dikuasai[5]. Tidak jauh dari kita, ikatan

primordialisme kesukuan yang sangat kuat menimbulkan keengganan beberapa suku untuk

bercampur/menikah dengan suku lain, dan bidang-bidang pekerjaan tertentu masih dikuasai

oleh suku-suku tertentu. Tidak salah rasanya jika kita menyebut komunikasi antar golongan

masih menjadi hambatan kita untuk dapat memahami arti ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena

dengan komunikasi yang baik, tembok-tembok eksklusif kesukuan tersebut akan hilang

dengan sendirinya.

Belajar dari sejarah

Dengan alasan apapun, hal-hal di atas menegaskan bahwa komunikasi adalah hal yang

penting, dan kegagalan berkomunikasi telah memicu masalah-masalah besar, seperti

permasalahan Sunni-Syiah, kerusuhan di Poso, yang telah berujung kepada kerugian baik

moril, maupun materiil. Karena, komunikasi dalam hal-hal kecil berperan penting dalam

pembentukan mentalitas ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Hal kecil seperti perbedaan suku, agama,

ras, dan golongan dapat diatasi dengan hal kecil pula, yaitu komunikasi. Belajar dari sejarah,

melakukan hal kecil, seperti berbincang dengan orang yang berbeda suku, agama, ras atau

golongan akan mencegah masalah yang lebih besar. Dan lebih utama, biarlah ‘Bhineka

Tunggal Ika’ memampukan kita untuk bersama membangun bangsa Indonesia yang lebih

baik. Merdeka!

[1]  Dikutip dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada

2 November 2012, 19.08

Page 109: Contoh Esai Juara Temp0

 

[2] Dikutip dari  http://www.tempo.co/read/news/2010/01/27/063221646/Lambang-Garuda-

Pancasila-Dirancang-Seorang-Sultan, diakses 4 September 2012 pukul 01.13

[3] diterjemahkan secara bebas dari “Ernest Renan”,karangan Richard M. Chadbourne , 1968,

Ardent Media, halaman 101, diakses dari Google Books dengan link

http://books.google.co.id/books?

id=aRmcVxoIvMkC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=on

epage&q&f=false pada 3 November 2012 pukul 01.23

 

[4] http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/09/pengaruh-pemikiran-ernest-renan-terhadap-

nasionalisme-soekarno/ diakses pada 3 November 2012 pukul 2.30

[5] http://econ161.berkeley.edu/tceh/Nietzsche.html diakses tanggal 3 November 2012 pada

pukul 12.13

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa

Diskriminasi

Oleh: ROBBI IRFANI MAQOMA -vUNIVERSITAS INDONESIA

 

Rangkuman

Jika dianalisa secara historis terdapat kontradiksi antara redaksi dan maknawi dalam sila

pertama pancasila. Sila yang seharusnya menjadi pemersatu dan fondasi moral bangsa malah

menimbulkan diskriminasi sana sini. Analisa ini membawa pada satu gagasan untuk merubah

frasa ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang berkebudayaan’. Gagasan ini mengarah pada satu

tujuan: menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni dan bebas

diskriminasi.

 

——————————

 

Pancasila merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundang-

undangan pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar)

Page 110: Contoh Esai Juara Temp0

bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang

dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah berada dalam

masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang Indonesia.

Mari sama-sama kita resapi sejenak sila pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini:

“Ketuhanan yang maha esa”

Sila ini merupakan sila yang paling pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad

Hatta menjiwai empat sila dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa

merupakan fundamen utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya[1].

Pada awal perumusan ini, sila “ketuhanan yang maha esa” sebelumnya adalah “ketuhanan

yang berkebudayaan”. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh

masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang

tetapi saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai antara

tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok masing-masing[2].

Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan

panjang yang kita kenal dengan istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh

kata tersebut adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”.

Ketika kembali pada ruh sila pertama yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah

menyimpang. Toleransi yang diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang

berbeda malah dimaknai sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam.

Seakan-akan fondasi negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja.

Ketuhanan itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi

terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan.

Untungnya tujuh kata ini mendapat protes keras oleh golongan nasionalis karena dianggap

dapat mengganggu ketentraman nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut

dipangkas menjadi tiga kata saja, yang maha esa.

Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang

esa?

Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia

asli. Jauh sebelum munculnya Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita

telah menganut kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di

seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink menyatakan

masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme keyakinan tertentu yang

dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua

kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada

Page 111: Contoh Esai Juara Temp0

keyakinan yang mengasosiasikan gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta.

Itupun terjadi karena dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat

para dewa berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia ini

dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu(Confusianis) dan

beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan Kacaktyan pada Jawa Kuna[3]. Adanya

perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan sampai sekarang. Data dari kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun

kini kepercayaan asli Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan

dasar untuk mengatakan bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‘yang

maha esa’. Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan

keseluruhan.

Lagipula sila “ketuhanan yang maha esa” tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil

sebagian kata seperti hanya meyakini ‘ketuhanan’ atau ‘yang maha esa’ saja. Hal itu dapat

mencederai keyakinan pada pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‘ketuhanan’.

Bahkan ada beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa

sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi ketuhanan yang

ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut konsep tuhan yang tidak

esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran pancasila sebagai falsafah yang benar-

benar ada dari, oleh dan untuk bangsa?

Mungkin sebagai seorang yang awam atas suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi

kompetensi untuk emgkritisi hal ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai

pendekatan  peresapan dari hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini

adalah hal yang salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara

arti redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‘ketuhanan yang maha esa’

dengan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah jelas. Bagi saya ‘ketuhanan yang maha esa’

adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang bersifat esa. Sedangkan

‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah membudayakan nilai-nilai ketuhanan dalam

kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara

berbeda oleh setiap penganut keyakinan tertentu di Indonesia.

Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi pada sila pertama adalah perlu. Kalimat

‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah kalimat yang relevan untuk dipakai untuk

membingkai empat sila pancasila lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa

sampai saat ini tidak semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa.

Page 112: Contoh Esai Juara Temp0

Frasa ‘yang maha esa’ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan

kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‘ketuhanan yang

berkebudayaan’ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai untuk mengembangkan

demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat ketuhanan, melainkan nilai-nilai.

ketuhanan itu sendiri dan pengakuan keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui

toleransi[4].

Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi

Menurut saya ini adalah akar dari permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap

pemeluk keyakinan yang minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas  memeluk

kepercayaan dijamin oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti

dari pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,

Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu.

Pengakuan ini berimbas pada banyak hal, salah satunya adalah data kependudukan. Warga

pemeluk agama minoritas selain yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak

diyakininya jika ingin memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada

dalam sila pertama pancasila?

Merupakan langkah yang sangat tepat apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan.

Perubahan redaksi ini bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di

dalamnya melainkan hanya sekedar perubahan frasa dari ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang

berkebudayaan’. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas Indonesia

adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, ketuhanan yang

berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu

negara karena perubahan tersebut dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada

jauh sebelum republik ini berdiri.

Sebaliknya apabila tidak dilakukan perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang

terkandung secara maknawi dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran.

Artinya, diskriminasi keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan

pancasila.

Oleh karena itu perubahan ini menurut saya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan

untuk menciptakan Indonesia, negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam

konsepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki

atapun ragam diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga

akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.

 

Page 113: Contoh Esai Juara Temp0

DAFTAR PUSTAKA

Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pancuran Tujdjuh, 1974.

Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2011

[1] Pada awalnya sila Ketuhanan berada pada posisi keempat. Namun Soekarno pada saat itu

menjelaskan bahwa urutan pasal hanya bersifat sequential, bukan urutan proritas.

 

 

[3] Disampaikan oleh K.P. Sena Adiningrat Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka

Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.

 

[4] Pada alasan yang melatarbelakangi pencetusan prinsip pancasila Soekarno mengatakan ia

menggali sejarah sampai zaman Hindu dan pra-Hindu dan melihat berbagai macam saf yang

terkristalisasi pada lima prinsip pancasila tersebut(Soekarno, 1958; II 8-15). Oleh karena itu

dasar yang dicetuskan Soekarno adalah ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ bukan ‘Ketuhanan

yang maha esa’. Hal ini didasari karena Soekarno bukan melihat adanya keseragaman

konsepsi tuhan dalam masyarakat Indonesia melainkan adanya keragaman keyakinan yang

menumbuhkan serta memelihara rasa toleransi oleh para penganutnya.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Identitas, Nyala Api dalam Kebhinekaan

Oleh: SITA MAGFIRA - UNIVERITAS SANATA DHARMA

 

 

 Prolog: 

Esai ini berangkat dari pengalaman subjektif penulis tentang masalah identitas dan

kebhinekaan. Memiliki latar kesukuan yang beragam, lama hidup di perantauan, dan belajar

agama yang berbeda dengan agama yang dibawa sejak lahir, penulis merasa bahwa identitas

Page 114: Contoh Esai Juara Temp0

suku, agama, dan rasnya menjadi kabur. Identitas yang kabur tersebut jelas membawa

pengalaman yang tak menyenangkan. Di sisi lain, identitas yang kabur justru jadi

menenangkan sebab penulis membaca bahwa perasaan superior akan identitas suku, agama,

dan ras itu ibarat api dalam sekam yang mengancam kebhinekaan. Kekaburan identitas bisa

dimaknai sebagai hal yang menjauhkan dari keinginan untuk berselisih demi membela

identitas suku, agama, dan ras. Namun, sebab manusia telah mengenal dan diperkenalkan

tentang identitas suku, agama, dan rasnya sejak ia belajar mengenal sekitarnya, tak mudah

untuk menghilangkan perasaan superior akan identitas itu. Tawaran sekaligus tantangannya

adalah bagaimana menghadirkan kerendahan hati sebagai kawan dari rasa unggul tentang

identitas tersebut.

 ———————-

Menyoal kebhinekaan, sejak Sekolah Dasar saya sudah lekat dengan persoalan-persoalan

tentangnya. Bukan hanya lewat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

(PPKN) dimana guru mengajarkan ide-ide tentang keberagaman lewat pertanyaan sederhana,

“Jadi, bhineka tunggal ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap apa, anak-anak?’ yang akan

dijawab serentak oleh saya dan teman-teman yang duduk manis, “Tetapi tetap satu, bu.” Tapi

juga lewat orang-orang terdekat saya. Satu yang paling membekas adalah peringatan: “Jangan

minum dari termos air milik temanmu yang Kristen. Nanti Allah marah.” Saya tidak paham

kenapa Allah bisa marah hanya karena saya minum dari termos milik teman yang Kristen.

Namun, saya patuh-patuh saja. Saat itu saya selalu memilih menahan haus jika pilihan lainnya

adalah harus minum dari termos teman yang Kristen karena uang jajan dan bekal air di termos

saya telah habis. Seiring bertambahnya usia, saya jadi paham bahwa pernyataan tersebut

muncul sebab perkara haramnya (menurut Islam) makanan yang dikonsumsi kawan-kawan

yang Kristen. Ditambah lagi, di tahun 1999, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah

Dasar, kerusuhan besar antara Islam dan Kristen pecah di Poso (meski kemudian ada

pembacaan bahwa konflik tersebut tidaklah semata-semata konflik antar-agama). Kebetulan,

saya lahir dan menetap di Palu (yang berjarak  221 km dari Poso). Kebetulan lagi, keluarga

besar ibu saya menetap di Poso serta jadi korban langsung dari konflik itu. Peringatan yang

membekas itu datang dari adik-adik ibu saya. Sangat mungkin ada hubungan antara situasi

konflik di Poso saat itu dan peringatan yang diberikan ke saya.

Saya makin lekat dengan soal-soal tentangnya setelah memutuskan meninggalkan Palu untuk

melanjutkan SMA. Pulau Jawa adalah menjadi tujuan dengan pertimbangan klasik bahwa

pulau Jawa adalah tempat yang baik untuk belajar dibandingkan dengan Palu yang ada di

wilayah Indonesia Timur. Semarang jadi titik nol perantauan saya. Di sana, ada begitu banyak

Page 115: Contoh Esai Juara Temp0

hal yang berbeda dengan apa yang ada di Palu. Saya belajar Bahasa Jawa serta belajar

kebiasaan-kebiasaan baru. Singkatnya, saya menyerap dan beradaptasi dengan sangat cepat

terhadap banyak hal baru itu. Meski, tentu saja, awalnya saya sempat mengalami keterkejutan

budaya.

Setamat SMA, saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Yogyakarta

menambah pengalaman saya tentang keberagaman. Di Yogyakarta saya bertemu dan bertukar

pikiran dengan begitu banyak manusia. Suku mereka beragam, agama mereka tak satu, dan

masih banyak pembeda-pembeda lainnya. Tahun ini masuk tahun keempat saya di

Yogyakarta. Meski mengamini bahwa manusia yang berbeda-beda bisa hidup bersama di kota

ini, buat saya masih ada api dalam sekam terkait perbedaan itu.

Contoh sederhananya, beberapa teman yang bersuku Jawa masih suka, meski dengan

bercanda, berkata kepada saya, “Basa Jawamu wagu, kaya nang FTV (Bahasa Jawamu aneh,

seperti di FTV).” Siapapun yang pernah menyaksikan FTV (Film Televisi) yang menjadikan

Yogyakarta atau Solo sebagai latar tempatnya pastilah paham bagaimana aktris dan/atau

aktornya menggunakan Bahasa Jawa. Terkesan dipaksakan dan, karena itu, di mata teman-

teman yang penutur asli Bahasa Jawa, aneh. Padahal, saya sudah menggunakan Bahasa Jawa

sejak SMA. Satu-satunya alasan saya menggunakan Bahasa Jawa dalam keseharian,

khususnya saat bergaul dengan teman-teman yang penutur asli Bahasa Jawa, adalah masalah

kenyamanan dan keinginan untuk makin akrab. Komentar-komentar seperti itu di titik-titik

tertentu bisa diartikan sebagai cara teman-teman menegaskan perbedaan saya dengan mereka.

Contoh lainnya, saat saya bergaul dengan teman-teman yang berasal dari Palu dan berkuliah

di Yogyakarta. Jika sudah berkumpul, tak jarang sentimen-sentimen kesukuan hadir dalam

percakapan mereka. Tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka tidak peka

sebab tetap menggunakan Bahasa Jawa saat berbincang dengan mereka (dan itu membuat

mereka sebal.), tentang bagaimana mereka menyayangkan (meski selalu diungkapkan dengan

nada bercanda) bahwa anak-anak kecil di Yogyakarta yang alih-alih menggunakan Bahasa

Indonesia malah menggunakan Bahasa Jawa dalam kesehariannya (mereka bahkan menduga

bahwa anak-anak itu pastilah mendapat nilai jelek untuk pelajaran Bahasa Indonesia!),

tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka berlaku superior di hadapan

mereka, dan beberapa hal lainnya.

Fenomena berikut adalah contoh yang paling mengganggu saya. Begini. Di Yogyakarta ada

begitu banyak teman-teman yang berasal dari Papua. Kebetulan, di Yogyakarta saya

berdomisili di daerah yang sama dengan banyak teman-teman dari Papua. Saya sering melihat

mereka berkumpul bersama-bersama, entah di tempat bermain futsal, entah di warung makan.

Page 116: Contoh Esai Juara Temp0

Seorang kawan pernah berkata, “Orang-orang Timur (merujuk ke teman-teman dari Papua

itu) kok bergaulnya sama mereka-mereka saja ya?” saat kami berkendara dan melintas di

depan kawan-kawan dari Papua yang sedang berkumpul. Entah apa alasan di balik keadaan

itu, apakah kawan-kawan dari Papua memang sengaja mengasingkan diri mereka, atau justru

ada yang salah dengan cara pandang kawan-kawan bersuku lainnya terhadap kawan-kawan

dari Papua sehingga mereka tampak seperti tidak berbaur? Faktanya, term ‘orang-orang

timur’ yang merujuk pada mereka yang berasal dari Timur, khususnya yang berkulit legam

dan berambut keriting, eksis di Yogyakarta dan seringnya diikuti dengan ide-ide yang kurang

elok tentang term itu. Saya pikir term tersebut bisa jadi sama mengganggunya dengan term

‘kulit hitam’ atau ‘negro’ yang pernah eksis di Amerika Serikat.

Terkait isu keagamaan, saya jadi ingat bahwa 4 hari sebelum saya menulis esai ini, saya

terlibat pembicaraan dengan seorang bapak. Ia adalah seorang staf administrasi di universitas

saya. Dari berkas yang saya berikan padanya, ia jadi tahu di fakultas apa saya belajar. Ia

lantas menyebut nama salah seorang dosen dan bertanya apakah saya diajar olehnya. Ketika

saya katakan bahwa benar saya diajar oleh dosen tersebut, ia lalu berkata, “Kasihan dia (dosen

saya).” Saya yang tidak paham konteks jelas bertanya, “Kasihan kenapa, bapak?” Bapak itu

lalu menjelaskan bahwa dosen saya itu dulunya adalah seorang Islam tapi kemudian pindah

agama. Itulah kenapa ia mengasihani dosen saya. Menurutnya, pilihan untuk berpindah agama

adalah pilihan yang sangat salah.

Terlanjur sering saya mendengar pernyataan tentang Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia.

Jika benar Yogyakarta adalah miniatur Indonesia dan saya masih melihat ada api dalam

sekam terkait masalah kebhinekaan di sini, bisa jadi memang begitulah keadaan keberagaman

Indonesia yang sebenarnya. Benar bahwa Negara ini mengakui ada beragam suku, agama, dan

ras. Benar juga bahwa suku, agama, dan ras yang beragam itu bisa hidup bersama di satu

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ada nyala yang selalu siap terbakar dalam diri

kebhinekaan Indonesia itu. Lihatlah betapa banyak konflik berbau SARA yang terjadi di

Indonesia. Konflik Poso yang saya sebut di paragraf pertama esai ini adalah salah satunya.

Dalam tulisan berjudul Tiga “Teori” Kekerasan Poso yang dirilis Suara Pembaharuan pada 2

Desember 2005, Arianto Sangadji menyatakan konflik Poso sendiri bisa dibaca sebagai

konflik yang sarat manipulasi terhadap identitas etno-religius. Satu dari tiga “teori” yang

diajukannya terkait kekerasan di Poso adalah pertarungan politik lokal (pergantian bupati

Poso akhir 1998 hingga 1999). Ada pertarungan antar politisi saat itu untuk meraih kekuasaan

politik dan birokrasi dengan memanipulasi identitas suku dan agama. Jika argumen Sangadji

benar, ada fakta yang terkuak. Fakta bahwa identitas suku, agama, dan ras memang bisa

Page 117: Contoh Esai Juara Temp0

dengan mudah ditunggangi kepentingan lain. Tak hanya di Poso. Saya pikir masih banyak

contoh kasus penunggangan isu identitas suku, agama, dan ras oleh kepentingan-kepentingan

lain. Yang terbaru misalnya, ribut-ribut terkait identitas suku, agama, dan ras dalam Pilkada

DKI Jakarta. Ya, persoalan identitas membuat manusia seakan “rela” menyerahkan dirinya

pada medan pertempuran (entah kata, entah fisik) untuk menghadapi manusia lain yang

berbeda identitas suku, agama, dan rasnya.

Alhasil, pernyataan saya tentang api dalam sekam di tubuh kebhinekaan Indonesia

kemungkinan besar benar. Lalu apa itu yang saya maksud sebagai api dalam sekam? Ia adalah

perasaan superior dalam diri kebanyakan orang tentang suku, ras, dan agamanya sendiri.

Sesuatu yang jujur tidak saya miliki, apalagi setelah saya merantau selama 7 tahun. Betapa

saya cemburu ketika mendengar orang lain bisa berkata “Saya Jawa!”, “Saya Batak!”, “Saya

Bugis!” dan sebagainya dengan yakin.

Sejak dari darah, kesukuan saya sudah tidak murni. Ayah Tidore. Mama Palembang, Poso,

dan Gorontalo. Saya lahir di Palu yang mayoritas sukunya adalah Kaili. Tanpa sempat belajar

banyak tentang tanah kelahiran, saya sudah merantau ke pulau Jawa. Jika perasaan superior

tentang suku hadir karena rasa memiliki yang absolut, maka sepertinya saya memang pantas

untuk tidak memilikinya. Saya merasa saya setengah-setengah. Saya Tidore, Palembang,

Gorontalo, dan Poso tersebab darah, meski bahkan tidak pernah ke Tidore, Palembang, dan

Gorontalo. Saya tidak pernah menjadi Kaili, tapi lahir di Palu dan tetap merasa memiliki

ikatan emosional, meski tidak terlalu kuat, dengan tanah kelahiran saya itu. Saya merasa saya

Jawa sebab belajar banyak darinya meski tidak pernah menjadi Jawa.

Ada sentimentalia tersendiri di dalam diri saya terkait keadaan ini. Terlebih lagi jika menjadi

bagian dari acara yang meminta saya untuk menampilkan pertunjukan yang bisa mewakili

identitas kesukuan. Saya bahkan pernah menangis karena tidak bisa melakukannya. Saya

menangis karena jadi ingat pernyataan-pernyataan sinis tentang anak muda yang telah

melupakan akar budayanya. Pernyataan yang muncul karena mereka dipandang tak acuh pada

tradisinya dimana tradisi kerap kali diasosiasikan dengan peninggalan budaya (baju adat,

misalnya) dan kesenian tradisional (seperti tari-tarian dan nyanyi-nyanyian tradisional). Jujur

saja, saya juga ingin berkata dengan lantang mengenai identitas kesukuan saya, jika perlu

lewat pertunjukan kesenian. Sayangnya, saya tidak pernah bisa melakukannya.

Hal yang sama juga berlaku dalam soal agama. Keyakinan bahwa Islam adalah agama terbaik

seperti yang selama ini diajarkan oleh orang-orang terdekat saya sempat goyah. Alasannya,

saya yang kebetulan belajar di sebuah universitas swasta Katolik jadi paham bahwa ajaran

agama lain juga penuh cinta kasih seperti ajaran agama saya. Jika dengan ajaran Katolik saja

Page 118: Contoh Esai Juara Temp0

ajaran Islam sudah sama baiknya, tidak menutup kemungkinan begitu pula dengan ajaran

agama-agama yang lain. Saya bahkan sering tertawa sendiri mengingat peristiwa masa kecil

yang diceritakan di awal esai ini. Saya tak lagi takut berbagi makanan dan minuman dengan

teman-teman yang Kristen. Saya yakin Tuhan tidak mungkin marah karena berbagi makanan

dengan mereka. Apalagi sebab Tuhan yang Maha Mengetahui pastilah tahu bahwa saya sering

teringat kepadaNya saat melihat sahabat-sahabat saya itu khusyuk berdoa sebelum menyantap

makanan.

Boleh jadi, saya tidak sendiri. Ada beberapa orang yang seperti saya. Yang setengah-

setengah. Yang merasa memiliki tak hanya satu suku, agama, dan ras tertentu, tapi nyatanya

tidak pernah benar-benar memiliki. Saya mengibaratkan keadaan ini dengan keadaan

memiliki terlalu banyak rumah yang tak satupun dikenali dengan baik jalan pulang menuju

mereka. Tapi mungkin memang ada kelompok yang ditakdirkan untuk tidak pulang ke salah

satu rumah. Jadi orang-orang yang terus berjalan untuk menemukan rumah-rumah baru, untuk

mengidentifikasikan diri dengan  suku, agama, dan ras yang lain tanpa pernah benar-benar

menjadi salah satunya. Sebetapa melelahkannya perjalanan itu.

Jika saya merasakan sentimentalia dan kegundahan, bisa jadi beberapa orang seperti saya juga

merasakan hal yang sama. Tapi ada yang selalu berhasil menenangkan sentimentalia dan

kegundahan saya. Ia adalah keyakinan bahwa identitas yang kabur ini justru membuat saya

tidak akan mau menghabiskan waktu untuk menghancurkan yang-lain karena persoalan

identitas. Identitas yang kabur memang membuat saya tak bisa menari dan bernyanyi

tradisional demi menunjukan (apa yang dinamakan orang) kebanggaan akan akar budaya

bangsa. Namun, setidaknya identitas yang kabur ini membuat saya turut dalam menciptakan

perdamaian Indonesia sebab merasa tidak butuh untuk ribut karena perkara identitas.

Keadaan saya merupakan akumulasi dari pengalaman subjektif sebagai manusia. Jelas, tidak

semua manusia memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Sebagai sesuatu yang sudah

dikondisikan bertahun-tahun, perasaan superior akan identitas suku, agama, dan ras masing-

masing pastilah tertanam jauh di alam bawah sadar banyak manusia. Ia tidak bisa begitu saja

hilang dan memang tidak ada yang mengharuskannya untuk hilang. Menurut saya yang paling

mungkin dilakukan adalah mencari kawan bagi perasaan superior itu. Opsi yang saya ajukan

adalah kerendahan hati untuk menerima yang-lain. Sebab, pada akhirnya, berpikir bahwa diri

sendiri itu unggul itu tak masalah selama tetap memberi ruang dalam diri bagi kerendahan

hati.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

Page 119: Contoh Esai Juara Temp0

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

Sekuntum Puisi untuk Indonesia

Oleh: RESPATI WASESA AFFANDI - IISIP

 

 

                                                                                                                                               

Prolog:

Esai ini sekadar menceritakan gambaran sederhana kehidupan pengamen-pengamen kecil di

sebuah kota metropolitan, di dekat Ibu Kota Negara. Juga tentang nilai-nilai kehidupan dan

semangat mereka untuk menjaga kebersamaan dalam menghargai perbedaan. Mereka sangat

menginspirasi. Bagi saya, sekelumit cerita ini perlu dikabarkan: Indonesia mesti sanggup

menumbuhkan putik dan memekarkan bunga bangsa meski di tempat paling gersang, bernama

jalanan.

 

 

 

Suatu Siang di Pinggir Kalimalang

Wajah Riski (10) nampak semringah keluar dari Saung Kalimalang. Ia girang karena berhasil

menyelesaikan sebuah karya puisi. “Malam Menjelang Pagi”, begitu judul yang dia tulis.

Kemudian menyusul Khaidil (11), Wahyu (13) dan Fatimah (12). Siang itu saya bertugas

mendampingi beberapa anak jalanan menulis puisi dengan tema religi. Puisi mereka nantinya

diterbitkan di salah satu media lokal di Bekasi, di rubrik Sastra Kalimalang.

“Bang, Jenong tidak bisa menulis,” ucap Riski pada saya.

Iya, betul. Satu dari teman mereka ada yang tidak bisa menulis dan membaca. Jenong (20)

namanya. Ia malah paling dewasa di antara teman-temannya, kira-kira sepantaran saya.

Beberapa kali dia mengayunkan tangan ke pelipis, telapak kusam itu mengusap keringat. Saya

paham.

“Riski, coba kamu bantu Jenong. Jenong yang mengeja, kamu  yang menuliskannya.” Mata

kami saling bertatapan.

Mengapa yang susah semakin susah/yang mapan semakin mapan/aku ingin semua manusia

sama di hadapanMu, Tuhan.

Page 120: Contoh Esai Juara Temp0

Jenong akhirnya bisa juga menyelesaikan sebuah puisi. Itulah nukilannya. Kemudian saya

lanjutkan membaca puisi Fatimah, “….kutulis puisi ini hanya untukMu, Tuhan/ karena pena

ini digerakkan olehMu juga… Puisi Wahyu seolah melengkapi, “…susah payah kami lalui

bersama, suka duka kami hadapi bersama, kebersamaan menguatkan kami. Terima kasih,

Tuhan...”

Saya kagum pada mereka, terutama karena ketulusan dan kepolosan dalam mengungkapkan

kecintaan terhadap Tuhan dan rasa kemanusiaan serta kesetia-kawanannya yang tinggi.

Mereka menulis sambil mondar-mandir tidak karuan. Ada yang bertelanjang dada dan juga

beberapa dari mereka keluar saung kemudian nyemplung ke kali. Saking lincahnya pula

mereka kadang ada yang tertampar buku karena memang digantungkan dengan menggunakan

tali dan jepitan dari atap saung. Hujan buku ini mengingatkan kami agar tidak sombong akan

ilmu.

Tak terasa hari petang, matahari pun perlahan turun. Anak-anak jalanan yang pulang dari

mengamen semakin banyak berdatangan. Kami pun duduk di bantaran (sungai) Kalimalang.

Kalau sudah datang apalagi berkumpul, pasti mereka ribut dan cerewet, tapi saya malah

menikmati. Mereka juga ternyata pintar menghibur diri dan orang lain. Mereka terlihat ramah,

terasa sopan mengucapkan salam.

 

Dari Mimpi ke Puisi

Perkenalan saya dengan anak jalanan bermula dari Ane Matahari, seorang seniman dan tokoh

musikalisasi puisi. Setahun yang lalu, pria berusia 40 tahunan ini mengutarakan keinginannya

untuk mendirikan perpustakaan di pinggir Kalimalang, dekat Kampus Universitas Islam ‘45’.

Saya sempat ragu, sebab ia terbiasa hidup di jalanan dan tak pernah tertarik dengan buku.

Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, barulah saya sadar setelah mengetahuinya. Ane

Matahari ternyata pernah belajar di Institut Kesenian Jakarta dan kemudian dengan penuh

kesadaran memilih turun ke jalan. Dia tak mau berdiam diri. Berkat keuletan serta

bimbingannya, anak-anak jalanan berhasil menyabet sederet prestasi dan menelurkan karya

berupa album musikalisasi puisi. Bahkan, beberapa orang anak jalanan itu sudah mau kembali

ke rumah tanpa rasa minder. Menikmati kehidupan, layaknya anak-anak seusia mereka.

“Saya fokus kepada persoalan mentalitas dan moralitas anak-anak. Kadangkala, orangtua

mereka tanpa sadar melakukan perbuatan tidak baik tersebab himpitan permasalahan rumah

tangga. Kalau sudah memiliki landasan moral, mereka akan bisa menyadarkan keluarga dan

lingkungan sekitar. Saya terus menggali potensi mereka, terutama melalui puisi dan musik.

Page 121: Contoh Esai Juara Temp0

Materi inilah yang dijadikan bahan untuk edukasi kreatif bagi pertumbuhan rohani.. Ini art

therapy dan perpustakaan adalah pemantiknya,” begitu ungkap Ane suatu kali.

Semua orang bebas bermimpi. Perpustakaan di bantaran Kalimalang berdiri gagah meski

terbuat sekadar dari rakitan bambu. Buku perpustakaan tersebut sumbangan masyarakat. Buku

apa saja. Mimpi kami dengan pemuda lain akhirnya bisa terwujud. Sejak itu, anak-anak

jalanan yang biasa mandi dan main di Kalimalang bernaung di saung. Mereka mulai gemar

membaca buku, majalah, komik, dan buku pengetahuan lainnya sambil tiduran. Ada juga

yang hanya memainkan gitar kecil, sementara matanya menerawang ke perempatan lampu

merah yang tidak begitu jauh jaraknya dari  saung.

Saya sering mengamati mereka diam-diam. Kadang pura-pura sibuk menatap layar laptop

sembari mencuri pandang saat mereka asyik duduk dan membaca di saung. Bila seorang anak

membaca, yang lain akan ikut membaca. Namun, mereka tak semua bisa karena sebagian

mereka memang tidak mengenyam bangku sekolah. Kekurangan tersebut justru menjadi

kelebihan. Satu di antara mereka, yang bisa membaca, biasanya berlagak ingin menceritakan

isi buku pada teman lainnya. Ceritanya dibesar-besarkan. Nah, di sinilah, yang tidak bisa

membaca, penasaran dan mendesak si pencerita mengajari membaca. Proses itu berjalan dari

minggu ke bulan hingga akhirnya mereka pun satu persatu berangsur bisa.Sangat alamiah.

Kami menyebutnya Perpustakaan Pinggir Kali atau Saung Kalimalang karena memang bukan

perpustakaan laiknya di kampus ataupun sekolah-sekolah. Ini hanya tempat, bagaikan kata di

dalam  pantun, “Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kami menumpang…” Untuk itulah,

kami mesti memberi: berbuat sesuatu supaya bermanfaat bagi masyarakat. Hajat dan hak

orang banyak, termasuk milik mereka yang papa.

Saung inilah yang akhirnya mengantarkan saya menjadi pengais kata-kata. Sebuah media

lokal menawari dan memercayai kami menggarap serta mengisi satu halaman penuh koran

setiap minggunya sebagai ruang ekspresi budaya. Halaman itu bernama Sastra Kalimalang.

Dari situ, kami kerap mengajak anak jalanan, tukang ojek, anggota satpam, PSK, napi atau

pun pedagang asongan dan pedagang kaki lima agar ikut terlibat menuliskan puisi-puisi bagi

negeri tercinta. Dari merekalah saya menemukan rupa kata yang tidak hanya sekadar kata,

tapi makna menubuh di dalam-Nya.

Mengeja puisi, membaca negeri

Apakah Tuhan adalah Ibu?/ atau Tuhan adalah Ayah?/ katanya Tuhan itu indah/tetapi,

mengapa orang berperang karena Tuhan?/ jangan-jangan Tuhan kesepian/ Ia tak berayah,

juga tak beribu/ Ia terus mengalir dalam darah di tubuh kita/ Tuhan itu dekat sekali. (1)

Page 122: Contoh Esai Juara Temp0

Tulisan di atas ialah penggalan puisi “Yang Maha Indah” karya Khaidil dan telah dimuat di

halaman Sastra Kalimalang, Radar Bekasi (Jum’at: 27/1). Bocah berbadan kurus dan

berambut pirang ini biasa mengamen di lampu merah tepatnya di perempatan Jalan Cut

Mutia-Chairil Anwar Kota Bekasi. Ketika membaca secara seksama satu persatu karya

mereka di rumah, saya amat menikmatinya. Wajah mereka membayang ketika saya

menuliskannya kembali. Mereka selalu jadi ingatan, dan malah berlaga dengan kekerapan

insiden tawuran antarpelajar maupun tindakan anarkis mahasiswa di Bekasi. Sepintas,

tergambar pula sebaya mereka di seantero pelosok negeri yang tidak sekolah: mereka belum

dilunasi janji kemerdekaan bernama pencerdasan.

Dari media massa pernah diberitakan bahwa setiap tahun ada sekitar 880 ribu anak bangsa

berpotensi buta aksara. Tapi, anak jalanan di hadapan saya ini, meski tak sekolah, bukanlah

generasi pendendam. Mereka bukan pembenci Indonesia. Kalau datang ke Perpustakaan

Pinggir Kali, kita akan melihat bendera merah putih lusuh berukuran kecil terpasang rapi di

dinding bambu: itu pemberian mereka. Sebuah rasa dan sikap nasionalisme itu sendiri. Bisa

jadi ada perasaan mereka ingin mengibarkan Sang Saka seperti anak-anak sekolah

mengibarkannya di hari Senin, meski tanpa upacara. Berarti mereka menaruh harapan besar

pada bangsa ini.

Kadang-kadang saya malah iri melihat mereka begitu ceria berenang di kali, naik ke atas

untuk memainkan ukulele, bongol dan kecrek, atau sibuk menyiram pohon yang mereka

tanam di bantaran kali.—hal yang tentu tidak pernah dinikmati anak sekolahan. Pengetahuan

yang mereka dapatkan memang bukan melalui paparan teori dan hafalan buku-buku. Tapi,

bukankah ilmu juga berangkat dari kenyataan hidup?

Di jalan raya, ketika orang menciptakan ruang privasi dalam kendaraan masing-masing,

sebaliknya, mereka kian paham makna kebersamaan. Mereka makin menghargai perbedaan:

ternyata setiap orang mempunyai hak mengapresiasi atau tidak terhadap ekspresi mereka. 

Gambaran itu menjadi semakin jernih ketika saya menyaksikan seorang anak jalanan tengah

memakan mie instan di samping Saung.  Dua orang temannya menghampiri kemudian

mengatakan ingin ikut makan karena lapar dan hasil mengamen belum mencukupi. Tanpa

muka cemberut, anak itu membiarkan semangkuk mie instannya dimakan bertiga. Ini tentu

bukan persoalan ada atau tidaknya uang, tapi persoalan paham atau tidaknya ketika

menghadapi rasa lapar. Mereka ternyata mengerti.

Barangkali kehidupan memang telah mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia.

Begitupun saya dan anak jalanan. Sikap mereka memperjelas betapa pentingnya merawat

kebersamaan dan menghargai keberanekaragaman.

Page 123: Contoh Esai Juara Temp0

Puisi-puisi mereka pun akhirnya selalu mengingatkan saya pada tragedi kemanusiaan di

Bekasi—tragedi yang meruntuhkan bangunan toleransi. Di Ciketing, serombongan orang

menyerbu umat yang tengah menunaikan ibadah. Hal serupa berulang pada penyegelan gereja

jamaah Filadelfia di Tambun Utara. Di Kranji, satu orang tewas dibakar massa dalam insiden

bentrokan Betawi-Ambon: melihat video amatir yang merekam kejadian ini, setiap manusia

waras pasti tersinggung rasa kemanusiaannya.

Benar kata Anies Baswedan, bangsa ini harus tegas, berhenti bicara minoritas dan mayoritas

dalam urusan kekerasan. Negara mesti bertanggung jawab melindungi warganya tanpa

pandang siapa dan berapa mereka (2). Kekerasan antarkelompok masyarakat di negeri ini

sesungguhnya telah merusak tenunan kebangsaan kita. Dari tahun ke tahun tali kebersamaan

itu semakin rantas, padahal pendahulu kita sudah merajutnya susah payah. Permusuhan

dengan membawa panji agama seolah-olah membenarkan bahwa ‘aku’ boleh menundukkan

‘yang lain’ di luar aku. Bukankah kemerdekaan ini terselenggara atas berkat rahmat-Nya dan

didorong oleh keinginan luhur untuk hidup bersama?

Saya percaya, mencintai Tuhan dan sesama manusia adalah juga ikhtiar menjadi Indonesia.

Persatuan yang diajarkan Bapak Bangsa bukanlah ‘satu’ dalam hitungan angka. Satu, jika

boleh disebut, mungkin seperti yang pernah diucapkan Uskup Soegijapranata: kemanusiaan

itu satu (3).  Kata kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan dalam Pembukaan UUD

1945 menggambarkan dengan gamblang betapa ‘kita’ sebenarnya sangat nasionalis, tapi amat

humanis.  Rasa cinta itulah yang akan merawat Indonesia tetap ada di dalam hati setiap

warganya.

 

Begitulah, dari akar jalanan saya telah dituntun melihat batang tubuh Indonesia dengan dahan,

ranting, cabang dan daunnya yang terus meruyak. Pohon itu tetap tegap berdiri gagah dan

selalu menumbuhkan putik serta memekarkan kuntum-kuntum bunga bangsa: sementara,

angin terlalu kencang dan hujan teramat deras.

 

Catatan

1. Puisi-puisi tersebut telah dimuat di Harian Radar Bekasi, halaman 6, Rubrik Sastra

Kalimalang, Jumat (27/1/12). Sastra Kalimalang terbit setiap Jumat dan dikelola oleh

Komunitas Sastra Kalimalang yang berkegiatan di Saung Kalimalang.

2. Kalimat Anies Baswedan di dalam opininya yang berjudul “Tenun Kebangsaan..” dan

dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012.

3. Kalimat yang diucapkan Soegijapranata dalam film Soegija garapan Garin Nugroho.

Page 124: Contoh Esai Juara Temp0

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN

oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA

 

 

Ringkasan

Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan

zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan materi yang berjejal membuat pelajar

ogah – ogahan sekolah. Sistem evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta

didik untuk cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah eropa,

ide – ide segar lahir dan cita – cita baru terpatri di nurani. Menepis setiap kepentingan politis

demi pendidikan yang dapat mengubah sendi – sendi kehidupan adalah misi utama jika saya

kelak menyandang titel Menteri Pendidikan.

 

 

Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi

di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka

pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di

Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah

cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air,

imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di

benak saya.

 

Sekolah yang Menyenangkan

Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang

membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi

ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas.

Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk

mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya

ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang

Page 125: Contoh Esai Juara Temp0

menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala

bahasa dan cuaca yang menghadang saya.

Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo

Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita.

Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik,

selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra

Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan

berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu

yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu

Sejarah.

Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang

terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan

populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang

artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan

hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral

dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya

Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens

karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal

Britania Raya, John Locke.

Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama saya Gea. Saya datang

dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di

kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap

materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya

waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa

baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan

diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.

Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal

pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah

menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami

adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat

menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan

perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke

sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.

 

Page 126: Contoh Esai Juara Temp0

Letup Semangat yang Lenyap

Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah

yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat

kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan

waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya

berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid

disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan

dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya

pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan

(sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan

tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).

Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum

nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat.

Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama:

materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan

ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).

Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa

jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian

Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif.

Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid

yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak

bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak

semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan

para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat

nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang

belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit

pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang

pernah mengecap pendidikan formal.

Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau

berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang

kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar

oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka

statistik kelulusan.

 

Page 127: Contoh Esai Juara Temp0

Introspeksi Diri

Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang

mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang

yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan

masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk

melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata

pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi.

Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal  yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata.

Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan

harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk

mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya

tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam

menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan

entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini

diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan?

Belum tentu.

Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan,

Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan

Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran

secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran

Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber:

http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi

dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung

terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana

pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di

dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki

peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi

sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat

melihat sejauh mana pemahaman siswa.

 

Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan

Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang

memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di

setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral,

Page 128: Contoh Esai Juara Temp0

kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak

hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia.

Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar

pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca –

tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya

tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak

ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah

air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru.

Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir

pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai.

Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur

Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden

agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama

penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini

saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.

Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‘Anak

IPA lebih pintar dari anak IPS’. Nosi ‘Setiap Anak itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan

di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi

pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian

Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa

menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal

dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan

tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk

materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji

individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.

Tidak ada Komentar

Tempo Institute

14 Januari 2013

Naskah 30 Besar KEM 2012

Permalink

SURAT UNTUK ABDURRAHMAN WAHID ~ Dari Seorang Anak Kampung tentang

Gejolak Tanah Kelahiran ~

oleh: FERRY RACHMADANI SAPUTRA - UNIVERSITAS GADJAH MADA

 

Page 129: Contoh Esai Juara Temp0

Ringkasan:

 

Madura sedang krisis. Tragedi 26 Agustus 2012 telah menunjukkan betapa tak mudahnya

merawat toleransi dan keberagam(a)an. Darah tumpah di tanah Sampang. Di saat momen itu

masih menyisakan pilu, terdengar sayup-sayup nama “Gus Dur” ke permukaan. Gus Dur

mulai dirindukan saat gejolak itu melibatkan sekelompok masyarakat yang mayoritas di

antaranya adalah Nahdlatul Ulama. Dalam esai ini, seorang anak kampung dari Madura

mengungkapkan kegelisahannya kepada Gus Dur secara imajiner. Surat ini memang tak

berarti apa-apa untuk menyelesaikan kasus itu, tapi setidak-tidaknya ia mencerminkan satu

hal: bahwa masih ada pemuda yang peduli pada negerinya, pada tanah kelahirannya, pemuda

yang benar-benar ingin berikhtiar—meski tak seberapa—untuk suatu perubahan penting di

masa mendatang.

 

 

Gus Dur, percakapan kita hari ini adalah percakapan dua hati yang berbeda. Kau adalah

seorang pejuang, pemikir, pemimpin, yang setiap hari merenungkan kebersatuan negeri ini.

Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Aku bukanlah seorang pemikir sepertimu. Aku

hanyalah seorang anak kampung yang ingin berbagi kegelisahanku melihat kondisi

keberagaman kita hari ini. Maukah kau sejenak mendengarku, Gus? Aku ingin bercerita

dalam sunyi.

Keberagaman hari ini terasa berbeda dengan keberagaman saat engkau masih hidup beberapa

tahun lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tahu namamu dari

cerita orang-orang kampung. Mungkin kau perlu tahu, Gus, aku lahir di tanah Madura, tempat

di mana Nahdlatul Ulama (NU) menjadi urat nadi kami. Dulu, ketika engkau masih hidup

sehat, aku selalu melihat betapa orang-orang kampungku menaruh kagum padamu. Engkau

menjadi panutan di saat mereka sedang rapuh. Kau layaknya ikon bagi sekian umatmu di sini.

***

Sekarang, Gus, situasi telah berubah. Jika kau hidup sekarang, semakin jarang kau temui

masyarakat yang meniru jejak perjuanganmu. Entahlah, mungkin mereka terlampau

merindukanmu, atau mereka tak lagi menemukan sosok lain penggantimu.

Di sana sini, pergolakan semakin marak di kampungku. Kami hidup di tengah-tengah

masyarakat yang begitu sentimen pada perbedaan, masyarakat yang rentan dibakar emosi

hanya karena persoalan ideologi. Di sini, Gus, kau menyaksikan betapa gagasanmu tentang

toleransi ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri.

Page 130: Contoh Esai Juara Temp0

Dan, hari ini, Gus, lebih dari seribu hari setelah engkau pergi, seharusnya kami bisa melihat

kondisi keberagaman dengan lebih baik. Kondisi yang selalu engkau perjuangkan hingga di

sisa-sisa akhir hidupmu. Tapi, apa lacur, sepertinya kami harus memendam mimpi itu dalam-

dalam.

***

Di sini, di Sampang, salah satu daerah di pulau Madura, angkara murka dan kesewenangan

masih kuat merajalela. Padahal, di tempat ini, sebagaimana tempat-tempat lain di Madura, NU

selalu menjadi bagian penting dalam diri mereka, menjadi benteng terakhir saat toleransi tak

menemukan jalan keluarnya.

Tapi orang-orang tak hirau, Gus.  Di Sampang hari ini, di wilayah yang katanya memiliki

puluhan pesantren itu, ratusan orang dibunuh, puluhan dikucilkan, dan sekian ratus lainnya

terluka. Mereka dibunuh karena mereka menolak mengakui sebuah ideologi yang berbeda

dari ideologi masyarakat umumnya. Mereka dibunuh karena mereka berbeda.

Gus… kau tahu, siapa yang peduli pada mereka, pada orang-orang minoritas itu? Tidak ada.

Tidak ada, Gus. Ada sekian banyak orang yang memberi rasa simpati, sekian ratus orang yang

berbicara di forum-forum, tapi tak ada satupun dari mereka yang mampu menggerakkan

emosi kita untuk benar-benar peduli pada mereka.

Aku sejujurnya tak tahu, Gus, apakah aku adalah epigonmu, ataukah aku terlampau

merindukan sosokmu di tengah kecamuk perbedaan di negeri ini. Yang aku tahu, mereka,

orang-orang itu, benar-benar mati, justru karena konflik ideologi yang engkau perangi selama

ini.

Tapi, Gus, ingin kukabarkan kepadamu bahwa mereka telah banyak terbunuh oleh gerakan

yang selama ini engkau pimpin, gerakan yang konon selalu memegang teguh toleransi dan

keberagamaan: Nahdlatul Ulama. Ketika darah tumpah di Sampang, hatiku selalu

bergemuruh: di manakah NU yang aku kenal waktu kecil?

Gus, aku memang pemuda NU. Aku lahir di keluarga dan lingkungan yang sepenuhnya

menjunjung NU sebagai ideologi kami. Tapi, aku benar-benar kecewa, Gus. Sampai saat ini,

NU seakan buta pada konflik yang jelas-jelas melibatkan nama mereka di sana.

Madura sedang krisis, Gus. Madura tak lagi menemukan sandaran figural saat tampuk

kepemimpinan yang dulunya engkau pegang sedang berada di ‘entah siapa’. Aku hanya

khawatir, mereka, orang-orang awam yang hanya tahu peristiwa-peristiwa kekerasan

semacam itu di stasiun televisi, akan semakin tak peduli pada NU, semakin apatis pada

perbedaan, semakin meninggalkan namamu di belakang rumah-rumah mereka.

Page 131: Contoh Esai Juara Temp0

Gus, kau boleh saksikan sendiri. Tepat pada 14 September lalu, di Cirebon, Bogor, Nahdlatul

Ulama berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) demi cita-cita umat. Sayang,

pada Munas itu, hanya kekecewaan yang aku rasakan. Aku kecewa bukan karena NU tak lagi

berbicara tentang negara dan masyarakat, bukan lantaran mereka tak membahas soal air,

migrasi, investasi asing, dan sebagainya. Semua ini sudah mereka bahas panjang lebar dalam

forum itu. Bukan. Bukan itu yang membuat aku kecewa, Gus. Aku kecewa karena tak satupun

dari rekomendasi mereka menawarkan resolusi tegas tentang tragedi berdarah di Sampang.

Mereka tak lagi hirau pada semangat inti yang justru engkau perjuangkan selama ini di NU.

***

Entahlah, semakin hari, aku semakin merasa (ingin) menjadi Indonesia daripada NU, daripada

Madura. Madura tak seramah dahulu. Ideologiku juga tak (lagi) memberiku semangat, seperti

semangat yang pernah aku miliki saat kau masih hidup dulu.

Dan, aku pun mulai sadar, justru karena Indonesialah, engkau mampu menjadikan NU hingga

seperti sekarang ini. Engkau berjuang, bukan karena NU semata, tapi karena Indonesia,

karena cita-cita kesatuan dan persatuan negeri ini. Gus, ajarkan kami tentang keindonesiaan

itu, tentang semangat menghargai the others, melampaui identitas. Meski aku degil pada

sejarah, aku masih mencintai negeri ini, negeri Indonesia.

Gus… aku tak tahu berapa banyak lagi yang akan terbunuh besok, di tempat yang sama, atau

di kasus-kasus yang berbeda. Aku tak dapat menghitung berapa banyak lagi darah yang

tumpah hanya demi sebuah nafsu dan perbedaan. Aku tak tahu lagi, dengan cara apa aku

menyelamatkan mereka yang ketakutan dan terkucilkan. Aku tak tahu, dengan cara apa kami

bisa mengusir semua konflik berdarah ini.

Yang aku tahu, Gus, besok kau tak akan lagi di atas sana. Engkau akan turun dari nirvana,

menemui mereka yang sengsara, menasehati mereka yang semena-mena. Yang aku tahu, Gus,

engkau akan mengayomi kembali mereka yang minoritas, mereka yang pernah menjadi

korban perbedaan negeri ini.

Gus Dur… apakah kau mendengar kami di sana?  Maukah kau mendengar kami?

Anak-anak muda masih membutuhkan semangatmu di sini, Gus, di tengah krisis yang

menjadikan perbedaan sebagai ‘perjudian’ di antara mereka.

Madura, 28 Agustus 2012

***