epilepsi dipiro

download epilepsi dipiro

If you can't read please download the document

Transcript of epilepsi dipiro

EPILEPSY

EPILEPSY

Elly poenya

HASIL YANG INGIN DICAPAI DALAM TERAPI EPILEPSI

Tujuan utama terapi epilepsi adalah tidak adanya kejang dan efek samping, dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup yang baik diasoasiasikan dengan dengan bebas kejang. Keseimbangan antara efikasi dan efek samping harus dicapai karena dengan penggunaan antiepilepsi generasi tua sekalipun, menunjukkan kurang dari 50 % pasien menjadi bebas kejang.

Terapi yang dilakukan berkelanjutan ( seringkali seumur hidup ), efek samping kronisnya harus dipertimbangkan. Jika pasien menunjukkan ketidakasadaran, atau menunjukkan perkembangan efek samping lainnya secara signifikan, pengontrol kejang dapat dikorbankan untuk meningkatkan penggunaannya. Sangatlah tepat bila pasien dilibatkan dalam memutuskan terapi yang diberikan agar diperoleh kesimbangan frekuensi kejang dan efek sampingnya. Generasi terbaru antiepilepsi menawarkan alternative untuk menyeimbangkan frekuensi kejang dan efek samping obat.

Kualitas hidup yang optimal bergantung kepada keseimbangan kejang dan efek samping, termasuk juga perhatian yang besar terhadap pasien epilepsi. Sebagai contoh, pasien penderita epilepsi harus diperhatikan saat mengemudi, mengenai masa depannya, dalam membentuk hubungan persahabatan, tentang rasa aman, saat dikucilkan dalam kehidupan sosial dan masih banyak lagi. Yang tidak kalah pentingnya yaitu menginformasikan bahwa penderita epilepsi mungkin mengalami gangguan neuropsikiatrik seperti depresi, ansieti, serta gangguan tidur. Klinisi harus mewaspadai problem potensial ini, dan menentukan terapi yang tepat.

PENDEKATAN UMUM UNTUK TERAPI

Pendekatan umum untuk terapi dapat melalui identifikasi pada sasaran, penilaian tipe kejang & frekuensinya, mengembangkan rencana perawatan, dan melakukan evaluasi. Selama fase penilaian, penting dilakukan diagnosa yang akurat mengenai tipe kejang dan klasifikasinya. Tahap diagnosa akan sangat membantu untuk menentukan antiepilepsi yang sesuai. Pada keseluruhan pasien, sasaran yang harus dicapai adalah bebas kejang, tanpa efek samping dan kualitas hidup yang optimal . Hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang tidak mungkin pada pasien minoritas. Walaupun terapi menggunakan antiepilepsi yang sesuai, hampir 30 35 % pasien menyimpangkan terapi, sehingga pada kasus tersebut bebas kejang tidak tercapai. Mengidentifikasi sasaran spesifik akan membantu perkembangan terapi jangka panjang & pendek. Karakteristik pasien seperti umur, kondisi medis, kemampuan untuk menaati resep yang diberikan, sebaiknya diidentifikasi juga karena hal tersebut mempengaruhi pemilihan antiepilepsi, ataupun membantu menerangkan kekurangan respon yang mungkin timbul serta efek samping yang tidak diharapkan.

Jika penilaian telah sempurna, maka keuntungan dan kerugian terhadap penggunaan antiepilepsi yang sesuai dapat dibandingkan. Pada pasien kejang dengan onset baru, pertimbangannya apakah menggunakan terapi obat, jika ya, pilih yang mana? Pada pasien dengan epilepsi menahun, kecukupan terapi yang diberikan harus dievaluasi. Satu obat antiepilepsi seharusnya tidak dianggap tidak efektif, jika tidak pasien akan merasakan efek samping yang tidak bisa diterima pada kejang yang berkelanjutan.

Walaupun keputusan telah dibuat untuk memulai terapi menggunakan antiepilepsi, namun terapi tunggal lebih disukai dan sekitar 50% - 70% pasien epilepsi dapat dirawat hanya dengan 1 obat. Namun hasilnya, kebanyakan pasien tersebut tidak bebas kejang. Persentase pasien yang bebas kejang dengan 1 obat, dapat merubah tipe kejang. Prognosis untuk bebas kejang 12 bulan adalah yang terbaik untuk bangkitan tonik-klonik umum ( 48% - 55% ), yang terburuk untuk bangkitan parsial komplek ( 23% - 26 % ), dan pertengahan untuk kejang tipe campuran ( 25% - 32% ). Obat dapat dikombinasikan untuk mencapai bebas kejang. Pengkombinasian antiepilepsi dengan mekanisme aksi yang berbeda dapat menjadi sebuah keuntungan, walau belum terbukti. Hampir 65% pasien dapat dirawat dengan hanya satu antiepilepsi dengan pengawasan yang baik, walaupun memang tidak diharapkan bebas kejang. 35 % pasien dengan pengontrolon yang tidak baik, 10% nya akan diterapi dengan dua obat dengan pengawasan yang baik. 25% sisanya, 20% nya akan dilanjutkan dengan pengawasan yang tidak baik, walaupun menggunakan terapi dengan jumlah obat yang banyak. Hal ini telah direkomendasikan dewasa ini, bahwa terdapat predisposisi genetik dalam epilepsi yang berpengaruh terhadap terapi obat. Beberapa pasien akan menjadi kandidat pembedahan. Pasien yang menggunakan implan, seperti penstimulasi saraf vagal, dapat menjadi pilihan tambahan nonfarmakologi.

Jika rencana perawatan telah dibuat, sebuah resep obat dibuat untuk antiepilepsi spesifik, termasuk jadwal titrasi dosis. Pada hal ini , edukasi pasien dan jaminan kepahaman pasien terhadap terapi menjadi hal yang sangat penting. Apa yang harus dilakukan bila tiba tiba kejang terjadi, hal ini harus diberitahukan kepada pasien. Pendokumentasian penilaian, rencana perawatan dan proses edukasi merupakan hal yang sangat penting. Menyediakan sebuah buku catatan untuk pasien mengenai kejang yang dialami serta efek sampingnya akan sangat membantu dalam pelaksanaan terapi dan evaluasinya. Saat pelaksanaan terapi (dapat dilakukan di RS, klinik, apotek atau melalui telfon), keberhasilan terapi harus direview. Jika sasaran telah dicapai, sasaran baru harus telah disiapkan. Jika saat ini yang dikontrol bangkitan tonik - klonik umum, maka sasarannya berganti menjadi bangkitan parsial. Jika pasien gagal merespon antiepilepsi yang pertama, pemberian dengan antiepilepsi lain harus dicoba. Penyelesain evaluasi sering kali membutuhkan penilaian ulang terhadap pasien, serta mengembangkan rencana perawatan yang baru. Penilaian pada kasus ini harus berisi evaluasi kerelaan, efikasi, dan keamanan pada terapi yang pertama.

Pengobatan tanpa kerelaan dapat manjadi alasan tunggal utama terhadap kegagalan terapi. Dapat diestimasikan bahwa lebih dari 60 % pasien epilepsi melakukan terapi tanpa kerelaan. Ketidakrelaan ini dapat disebabkan karena obat yang diberikan begitu kompleks, dan harus diminum 3-4 kali sehari. Ketidakrelaan ini tidak disebabkan karena umur, jenis kelamin, perkembangan psikomotor, tipe kejang, dan frekuensi kejang.

KONTROVERSI KLINIS

Epilepsi merupakan diagnosa klinis yang ditunjukkan dengan kejang yang berulang ulang ( kambuh). Kontroversi dari lingkungan sekitar merupakan waktu yang tepat untuk mengawali terapi dengan antiepilepsi. Banyak klinisi tidak memulai terapi sampai terjadi kejang kedua yang muncul tanpa sebab. Beberapa klinisi memulai terapi dengan antiepilepsi setelah kejang pertama, sedangkan yang lain melakukan terapi profilaksis ( pencegahan ) karena adanya pemikiran bahwa kerusakan sistem saraf pusat dapat menyebabkan epilepsi (contohnya pada penderita stroke dan trauma kepala). Pertimbangan tentang terapi yang tepat sangat bergantung pada karakteristik klinis masing masing pasien dan lingkungan sekitar.

Terapi dengan obat tidak diindikasikan pada pasien, dimana kejang yang terjadi memberikan efek sangat minim dalam kehidupan sehari hari, atau yang hanya memiliki kejang tunggal. Setelah tejadi kejang tunggal yang terisolasi, satu dari tiga terapi dapat dilakukan; melakukan terapi, terapi yang mungkin akan terjadi, atau tidak melakukan terapi. Pertimbangan tersebut didasarkan adanya kemungkinan pasien mengalami kejang kedua. Pada pasien yang tidak memiliki faktor resiko, probabilitas terjadinya kejang kedua hanya sebesar 10% pada tahun pertama dan hampir 24% pada akhir tahun kedua. Jika faktor resiko muncul, kekambuhannya dapat muncul dan meningkat secara dramatis sehingga dapat mencapai 80% sampai lima tahun. Apakah nilai tersebut sudah cukup tinggi sehingga sudah tepat bila dilakukan terapi dengan antiepilepsi? Keputusannya sangat bergantung pada faktor spesifik pasien seperti sindrome epilepsi, etiologi kejang, adanya kerusakan anatomi saraf, adanya EEG ( electroencephalogram). Secara jelas, gaya hidup dan kesukaan pasien, merupakan kepentingan yang terpenting. Pasien yang memiliki dua atau lebih tipe kejang, secara umum sebaiknya dimulai dengan terapi antiepilepsi.

SAAT MENGHENTIKAN OBAT ANTI EPILEPSI

Permulaan AED digunakan untuk mengontrol serangan yang mungkin tidak perlu diberikan selama seumur hidup. Polifarmasi bisa dikurangi, dan beberapa pasien dapat tidak melanjutkan AED keseluruhannya. Dalam mengurangi polifarmasi obat tersebut dipertimbangkan kurang sesuai untuk tipe serangan (atau penghantar dianggap paling bertanggung jawab atas pengaruh merugikan) yang harus dihentikan dahulu. Dalam beberapa kasus, penurunan jumlah AED seorang pasien adalah penerimaan yang bisa menurunkan efek samping dan peningkatan kemampuan kognitif. Perbaikan dalam kognisi ini bisa menjadi kecil, khususnya jika pasien berada pada obat yang terutama mempengaruhi kecepatan psikomotor dengan lebih sedikit pengaruh pada pemfungsian kognitif urutan-yang lebih tinggi.

Faktor-faktor kesuksesan yang diambil dari AED meliputi 1 tahun permulaan, permulaan serangan setelah usia 2 tetapi sebelum usia 35 dan pemeriksaan neurologi normal dan EEG. Faktor-faktor yang terkait dengan prognosis lemah pada penghentian AED, meskipun interval bebas-serangan, meliputi riwayat frekuensi tinggi tipe serangan, dan perkembangan pemfungsian mental abnormal. Anak-anak yang memiliki penghentian dan gelombang aktivitas digeneralisasikan dalam rekaman EEG sebelum tindakan penghentian yang bisa memiliki tingkat kambuh lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan anak-anak tanpa bentuk aktivitas epilepsi (33%) atau anak-anak dengan tipe bentuk epilesi lain (33%) dalam rekaman akhir EEG sebelum penghentiannya. Periode 2 tahun bebas-serangan diperkirakan pada ketiadaan dan rolandik epilepsi, mengingat periode 4 tahun bebas-serangan diperkirakan untuk bagian yang sederhana, bagian kompleks dan ketiadaan sehubungan dengan klonik-tonik kejangan. AED diambil secara umum yang tidak diperkirakan bagi pasien anak-anak epilepsi mioklonik, ketiadaan serangan dengan klonik-tonik-klonik, atau dengan klonik-tonik-klonik. Akademik Neurologi Amerika memberikan garis-pandu untuk menghentikan AED pada pasien dengan bebas-serangan. Saat faktor-faktor dikaitkan dengan kesuksesan yang diambil saat ini, tingkat kambuh diperkirakan kurang dari 32% bagi anak-anak dan 39% bagi orang dewasa.

Jika keputusan tersebut dibuat atas usaha pengambilan AED, hal ini harus dilakukan secara berangsur-angsur. Yang mungkin secara khusus pas bagi pasien dengan ketidakmampuan perkembangan yang amat besar. Beberapa pasien akan memiliki kekambuhan serangan sebagaimana AED yang diambil. Pengambilan yang mendadak terkait dengan status timbulnya epileptikus. Serangan adalah khususnya berhubungan dengan penghantar sebagaimana benzodiazepine dan barbiturate. Serangan kambuh dilaporkan lebih umum jika AED diambil lebih dari 1 hingga 3 bulan dari pada lebih dari 6 bulan.

Resiko serangan kambuh diperkirakan 10% hingga 70%. Meta-analisis ditentukan bahwa tingkat kambuh adalah 25% setelah 1 tahun dan 29% setelah 2 tahun. Resiko ganda serangan kambuh untuk pertama kali 1 hingga 2 tahun namun tidak memodifikasi prognosis jangka lama pada epilepsi seseorang. Jika serangan berulang setelah diambil AED, maka AED akan dimulai lagi. 90% pasien akan memperoleh kembali paling sedikit remisi sekali lagi 2 tahun. Sebagai tambahan untuk serangan kambuh, pengambilan AED terkait dengan munculnya kecemasan dan depresi.

Kontroversi Klinis

Tidak sepenuhnya jelas, pasien dengan epilepsi akan membutuhkan tindakan kekal. Saat beberapa dokter klinis merasa terapi AED kekal, yang lainnya akan memberi gambaran bahwa pasien tertentu dengan epilepsi idiopatik dan pemeriksaan neurologi normal serta EEG yang mungkin diindikasikan untuk pengambilan AED mengikuti perpanjangan periode bebas serangan (misalnya > 2 hingga 3 tahun). Sebagian besar data mendukung penghentian AED yang diperoleh dari anak-anak. Beberapa orang dewasa akan segan dengan penghentian terapi AED bahkan jika dokter klinis memperlakukannya karena takut terjadi serangan dan mengakibatkan (misalnya kehilangan surat izin mengemudi) yang akan diperlukannya. Pasien harus mau berpartisipasi dalam rencana terapeutik untuk menghentikan AED. Pasien akan menyetujui rencana tersebut untuk mengurangi atau pengambilan terapi AED.

Kemungkinan ada keuntungan psikososial berarti pada pasien dari pengambilan AED. Pengambilan perlu dijadwalkan sesuai waktu yang sebaik-baiknya pada pasien. Tindak lanjut selama 5 tahun diperkirakan bagi beberapa pasien yang mengambil terapi AED.

Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi untuk epilepsi meliputi diet, pembedahan, dan stimulasi syaraf vagal (VNS/ vagal nerve stimulation), dengan menanamkan stimulator syaraf vagal. Stimulator syaraf vagal adalah alat medis yang ditanamkan, yang digunakan pada epilepsi. Sistem NCP (Neuro Cybernetic Prostheis) diindikasikan bermanfaat sebagai terapi tambahan dalam mengurangi frekuensi serangan pada orang dewasa dan remaja dewasa ketimbang yang berusia 12 tahun dengan serangan permulaan sebagian yang sulit disembuhkan dengan AED. Alat tersebut terdiri dari denyut generator dapat ditanamkan, diprogram yang dihubungkan dengan timah helical. Generator tersebut ditanam dalam saku infra-klavikular subkutan dan ditenagai dengan baterai litium. Timah tersebut dicantelkan pada syaraf vagus kiri dan menyampaikan arus bipasis syaraf yang dapat diprogram dengan parameter berbeda oleh dokter melalui kulit. Sebagai tambahan, pasien dapat menggunakan magnet yang ditempatkan di atas generator untuk mengaktifkan generator selama serangan atau pancaran.

Mekanisme aksi anti serangan VNS dikenal, namun studi baru saja diterima mengindikasikan bahwa VNS secara akut menyebabkan kortikal bilateral dan alterasi subkortikal meluas pada peredaran darah, yang diperkirakan mempengaruhi aktivitas sinaptik pada manusia.

Alat VNS secara relatif aman. Sebagian besar umumnya efek samping terkait dengan stimulasi keparauan, alterasi suara, batuk meningkat, sakit radang, dyspnea, gangguan pencernaan dan mual. Pengaruh serius yang merugikan dilaporkan meliputi infeksi, kelumpuhan syaraf, hiestesia, paresis pada muka, kelumpuhan pita suara sebelah kiri, kelumpuhan muka sebelah kiri, luka kambuh syaraf pangkal tenggorongan sebelah kiri, retensi urinari dan tingkat demam rendah. Dari keseluruhan studi VNS, persentase pasien mencapai 50% atau pengurangan yang lebih besar pada frekuensi serangannya (responder) tersusun dari 23% hingga 50%.

Pembedahan merupakan terapi non farmakologi yang paling luas dan paling bermanfaat. Penggunaan pembedahaan untuk epilepsi berat yang secara signifikan mengganggu kehidupan pasien dan pemfungsian meningkat pada pasien dewasa dan pasien pediatrik. Tingkat suksesnya dilaporkan menjadi antara 80% dan 90% pada pasien yang diseleksi sebagaimana mestinya. Institut Nasional Konferensi Konsensus Kesehatan mengidentifikasikan tiga kebutuhan pembedahan absolut. Mereka adalah sebuah diagnosa absolut epilepsi, kegagalan dalam percobaan terapi obat memadai, dan definisi sindrom elektronis. Fokus dalam lobe temporal yang memiliki perubahan terbaik untuk hasil positif, namun demikian, foci ekstra temporal mungkin dikeluarkan secara sukses lebih dari 75% pasien. Prosedurnya tidak tanpa resiko. Pembelajaran dan memori sebagian besar rentan dalam perbaikan secara postoperatif, dan kemampuan intelektual umum juga dipengaruhi pada sejumlah kecil pasien. Pembedahan mungkin secara khusus bermanfaat pada anak-anak dengan epilepsi berat. Pasien yang masih membutuhkan untuk menerima terapi AED untuk periode waktu mengikuti keberhasilan pembedahan epilepsi untuk mencegah serangan kambuh.

Diet ketogonik direncanakan pada tahun 1920. Ini adalah tinggi lemak dan rendah karbohidrat dan protein serta membawa pada asidosis dan ketosis. Protein dan kalori yang masuk dikumpulkan, akan dibutuhkan untuk pertumbuhan. Sebagian besar kalori tersedia dalam bentuk krim padat dan mentega. Tanpa gula diperbolehkan. Vitamin dan mineral ditambahkan. Rantai-medium triglycerida mungkin digantikan pada diet gemuk. Cairan juga dikontrol. Ini membutuhkan kontrol ketat dan kerelaan orang tua. Meskipun beberapa pusat menemukan manfaat ini untuk pasien-pasien yang sulit disembuhkan, lainnya ditemukan kurang ditoleransi oleh pasien. Pengaruh jangka panjang tidak diketahui.

hal 1028-1030

FARMAKOLOGI TERAPI

Manajemen optimal untuk terapi epilepsy diwajibkan untuk pengobatan AED tersendiri. Khususnya , sekelompok pasien yang berbeda seperti anak-anak, wanita menyusui aktif, dan orang tua ( lansia). Mungkin lebih cocok AED, disbanding dengan obat lain tipe obat yang menghilangkan serangan yang lebih baik tapi juga dapat berhasil lebih baik atau angka resiko terhadap efek samping. Berita ini akan disoroti lebih lanjut.

Optimasi dan seleksi pengobatan wajib AED tidak hanya mengetahui mekanisme suatu obat, aksi dan spectra aktivitas klinisnya, tapi juga menilai variabel farmakokinetik sama dengan pola suatu obat berdaarkan efeksamping. Suatu AED harus menunjukan efektivitas untuk pengobatan serangan yang spesifik. Pilihan pertama suatu obat tergantung pada tipe epilepsy seperti diantara tipe dalam spesfikasi suatu obat dan pilihan utama pada pasien yang tinggi epilepsynya Tabel 54-4. efektivitas AED menghasilkan reaksi oleh setiap factor disarankan dalam algoritma untuk pendekatan secara umum dalam pengobatan epilepsy ini diperlihatkan dalam gambar 54-1.

Makanisme aksi kebanyakan AED dapat dikategorikan slah satu dipengaruhi oleh kanal ion memperbesar penghambatan neurotransmitter atau mengatur neurotransmitter exitatori. Kanal ion meningkatkan pemasukan Na dan Ca kedalam kanal, memperbesar penghambatan neurotransmitter dalam meningkatkan konsentrasi CNS pada GABA, dimana usaha untuk menurunkan neurotransmitter exitatori. Perhatian utama pada pengurangan atau antagonis glutamate dan neurotransmitter aspartat . bahawAED melawan pengaruh GTC dan serangan partial yang mungkin dapat mengurangi penderitaan yang berulang-ulang aksi potensial dengan menunda pemulihan kanal Na dari aksi.

hal 1028-1030

Obat pengurangan kortikolamit tipe T dalam arus Ca mempengaruhi perlawanan serangan pada umumnya, serangan myoclonic respon obat meningkatkan penghambatan reseptor GABAa. Pada mekanisme aksi tambahan tahu tentang efek farmakokinetik yang dimiliki lihat Tabel 54-5, efek sampingnya lihat Tabel 54-6, dan interaksi antar obat lihat Tabel 54-7, dan Tabel 54-8 dapat membantu dalm optimasi terapi AED. Interaksi yang biasanya sulit adlah factor pemilihan AED. Interaksi yang bisa terjadi pada proses farmakokinetik, absorpsi, distribusi atau eliminasi peringatan yang noleh digunakan saat AED ditambahkan atau menarik dari obat yang biasa digunakan.

Efek samping AED dapat dibagi menjadi akut dan kronik lihat Tabel 54-6. akut mempengaruhi dosis atau kadar obat dalam darah atau idiosyncratic. Konsentrasi tergantung pengaruh yang biasanya ada dan masalah tapi tidak pada ancaman hdup yang biasanya. Neurotoksik efeksamping yang umumnya tidak dapat diperhitungkan dan termasuk sedative, pusing, kabur terlihat dobel, susah konsentrasi dan kehilangan keseimbangan. Banyak penyebab yang mempengaruhi peringaanan untuk mengurangi dosis obat. Kebanyakan reaksi idiosyncratic menyebabkan reaksi alergi kedinginan, tapi mereka bisa jadi lebih hipersensitiv jika melibatkan lebih dari satu system organ. Efek samping idiosyncratic lainya meliputi hepatitis, pendaharan serius tapi jarang terjadi.

Jika terjadi, kerusakan organ akut,pada umumnya tejadi dalam 6bulan pertama pada pengobatan AED. Ketidak beruntungan, svreening evaluasi hasil laborat oada darah dan urine tidak mampu membantu meramalkan deteksi awal adanya reaksi yang tidak diinginkan, dan biasanya tidak direkomendasikan untuk pasien symptomatic. Pernyataan laborat meliputi perhitungan sel darah putih dan uji fungsi hati yang layak. Tapi tidak dijelaskan pasien tentang laporan klinisnya. Seperti lesu, mutah, demam. Ini sangat penting untuk mengetahui efek samping yang mungkin akan terjadi meskipun kadar obat dalm plasma diusulkan dalam tingkatan terapi.

hal 1028-1030

Efek samping lainya yang potensial dalam masa yang lama adalah osteomalacia dan osteoporosis. Penyakit tulang yang berhubungan denganpenggunaan AED terdiri sekelompok penyakit heterogenes. Ini termasuk peningkatan yang dijumpai penyakit asymptomatic tertinggi. Dengan menemukan berat jenis mineral tulang normal, penurunan yang nyata berat jenis kecukupan mineral tulang mengakibatkan diagnosa osteoporosis. Disamping itu etiologi dari osteopathis sudah pasti mrnjadi hipotesis dari obat. Termasuk phenytoin, phenobarbital, dan mungkin carbamazepin, asam valproat, yang mengandung metabolis vitamin D. Dibandingkan AED yang baru yang berhubungan dengan efek ini yang belum diketahui, biasanya dilaborat sering dijumpai pasien yang mengandung peningkatan konsentrasi alakaline phosphate spesifik tulang, dan penurunan cairan Ca dan 25oh Vit D pasien menerima obat yang harus mengandung suplement Vit D dan calcium.

Perbandingan dampak AED terjadi kesultan dalam mengevaluasi karena perbedaan atau ketidak konsistenan dalam desain penelitian termasuk tipe serangan, control pada konsentrasi serum dan menggunakan uji patofisiologi saraf. Secara umum tidak ada perbedaan yang sangat besar antara obat-obat terdahulu, meskipun barbiturate, Phenobarbital, promidin muncul karena lebih mampu meghalangi kesadaran. Daripada AED yang umum lainya. Phenytoin, ketika dalam partikel serum konsentrasiny dapat meningkatkan dan bisa diterima sebagai terapi. Memungkinkan dampak yang lebih besar dalam fungsi gerakan dan kecepatan. Diantara AED terdahulu, asam valproat lebih rendah dalam merusak kesadaran dalam laporan dari pasien phenytoin dan phenobarbital.

hal 1028-1030

Bagaimanapun dampak-dampak ini tidak signiikan, mungkin tidak diungkapkan beberapa

pasien di area tingkatan terapi, Pengurangan pasien dari politerapi ke monoterapi juga menunjukan peningkatan kesadaran. Beberapa agen-agen baru dipercaya karena sedikit mempengaruhi system saraf atau efek kesadaran. Diantara AED yang terbaru gabapeintein, dan lamotriginmenunjukan perubahan dalam beberapa penilitian karena sedikit merusak kesadaran sebagai perbandingan pada agen-agen baru seperti carba mazepine, pengakuan topiramet dimumngkinkan karena kandunganya mampu merusak kesadaran inti secara particular saat penggunann dosis tingi menaikan aliran dosis. Akhirnya dibeberapa kasus pengoatan AED telah disarankan karena serangan yang lebih buruk mengakibatkan ketidak benaran dalam pemilihan AED untuk serangan-serangan yang spesifik atau syndrome pada paradoxical toksik efek dari suatu obat.

Lamotrigine

Aksi Farmakologi dan Mekanisme. Aksi mekanisme utama untuk lamotrigine nampak menjadi blokade canel sodium neuronal yang merupakan voltase dan bergantung-manfaat. Lamotrigine menghasilkan bergantung-dosis yang menghalangi aktivasi voltase-tinggi arus Ca2+, kemungkinan melalui penghalangan presynaptic tipe-N canel Ca2+ dan blok pelepasan asam amino eksitatori neurotransmiter seperti glumate dan aspartate.Farmakokinetik. Lamotrigine secara lengkap dan secara cepat diabsorbsi, dengan bioavailabilitas 98%. Makanan tidak secara signifikan mempengaruhi absorpsi obat. Lamotrigine juga diabsorbsi mengikuti pemberian rektal, meskipun berarti daerahnya di bawah kurva (AUC) sekitar 50% yang diterima dengan pemberian oral. Lamotrigine sekitar 55% terikat pada protein plasma. Lamotrigine yang secara ekstensif, secara hepatis dimetabolismekan dengan transferasi glucuronosyl UDP (UGT 1A4), yang tidak aktif. Eliminasi renal tidak merubah jumlah obat untuk fraksi minor dosis yang diberikan (50mcg/ml) fenitoin dapat melenyapkam kejang.

Sulit untuk ,membedakan efek samping yang kronik dari fenitoin akibat konsentrasi atau durasi. Efek samping kronik yang paling umum adalah gingival hyperplasia. Pemberian oral yang higienis dapat meminimalkan efek gingivatis hyperplasia dan harus dilakukan. Efek kronik lainnya adalah hisutism, jerawat, wajah yang kasar, kekurangan vitamin D, osteomalasia, kekurangan asam folat, intoleransi karbohidrat, gangguan imunologi, hipertiroidisme, dan neuropati periferal. Fenitoin digolongkan jarang menimbulkan reaksi hipersensitivitas dan idiosinkrasi yang menimbulkan, alergi, Steven-Johnson syndrome, pseudolimfoma, supresi sumsum tulang, reaksi mirip lupus, dan hepatitis.

Interaksi obat.

Fenitoin digunakan dengan dengan berbagai macam obat lain dapat menurunkan interaksi metabolisme, absorpsi dan ikatan protein yang dapat meningkatkan atau menurunkan efeknya. Fenitoin sebagai penginduksi dengan CYP450 dan isozym UGT. Absorpsi fenitoin dapat meningkat atau menurun berkaitan dengan pemberian makanan atau komposisi dari nutrisi daging. Bioavailibility dari suspensi fenitoin dapat menurun pada pasien yang menerima asupan nutrisi yang terus menerus. Penelitian dari dosis tunggal pada pemberian simultan dari asupan ditemukan tidak berbeda pada ketersediaan hayati fenitoin, diketahui bahwa metabolisme adalah sesuatu yang berbeda pada setiap orang.

Interaksi kompleks dari fenitoin dan asam folat telah dijelaskan, bahwa ingesti vitamin sangat penting dalam perjalanan obat. Fenitoin dilaporkan dapat mengurangi absorpsi dari asam folat, tetapi asam folat dapat meningkatkan clearence dari fenitoin. Penempatan asam folat dapat menurunkan konsentrasi fenitoin dan kehilangan efikasinya.

Dosis dan pemberian.

Empat bentuk dosis fenitoin yang diberikan secara oral pada tabel 54-10. Pada kandungan garamnya harus mempertimbangkan ketika akan diganti kedalam dosis yang lain. Penggantian bentuk dosis dapat mempengaruhi konsentrasi dari fenitoin. Kapsul fenitoin menunjukkan pelepasan cepat atau lambat. Hanya kapsul dengan pelepasan lambat yang dapat digunakan dosis sekali sehari. Ukuran partikel pada formulasi juga mempengaruhi kecepatan absorpsi. Baru ini, Phenytek telah dijual di Amerika dengan bentuk fenitoin dengan dosis pelepasan lambat.

Jika pemberian oral tidak bisa dilakukan, pemberian intravena fenitoin dapat dilakukan melalui pemberian intramuskular. Fosfofenitoin adalah prodrug dari fenitoin dan tersedia dalam bentuk sediaan parenteral. Sangat mudah larut dalam air dan mengubah kecepatan fenitoin secara sistemik. Fosfofenitoin dapat diberikan dengan cepat melalui intravena dan intramuskular dengan absorpsi yang baik dan rasa sakit yang dapat diminimalkan. Secara signifikan lebih dapat disesuaikan daripada fenitoin.

Dosis oral fenitoin dapat dimulai dari 5 mg/kg per hari untuk orang dewasa. Jika digunakan dosis oral, biasanya 20 mg/kg, dan total seluruh dosis harus dibagi empat dan diberikan dengan interval tiap 6 jam. Pengaturan dosis harus dilakukan dengan hati-hati dikarenakan eliminasinya yang nonlinier. Seorang penulis menyarankan bila konsentrasi serum kurang dari 7 mcg/ml, dosis harus ditingkatkan 100mg/hari, dan jika kadar serum antara dan 12 mcg/ml, dosis dapat ditingkatkan 50 mg/hari, dan jika konsentrasi serum lebih dari 12 mcg/ml, dosis dapat ditingkatkan 30 mg/hari atau kurang. peningkatan ini diusulkan untuk hasil kurang dari 10 % pasien yang mencapai kadar konsentrasi serum fenitoin lebih dari 25 mcg/ml.

Keuntungan.

Fenitoin sudah digunakan lebih dari 60 tahun dan ratio efek samping dan khasiat yang menguntungkan. Tersedia dalam bentuk sediaan padat oral, cair oral, oral lepas lambat, dan parenteral (fenitoin dan fosfofenotoin), yang fleksibel dalam dosis dan pemakaian pada kondisi darurat.

Kerugian.

Fenitoin memperlihatkan farmakokinetik Michaelis-Menton, yang berarti metabolisme jenuh pada dosis yang digunakan secara klinik. Ini membuat fenitoin merupakan obat yang sulit dalam pengaturan dosisnya. Juga, fenitoin adalah penginduksi isozym sitokrom P450, yang dimetabolisme oleh enzym sitokrom P450, dan terikat protein tinggi. Maka dari itu banyak obat yang berinteraksi dengan obat ini. Fenitoin juga memiliki efek samping multipel seperti kesulitan melangkah, kognitif yang lambat pada konsentrasi yang tinggi, gingival hiperplasia, perubahan kulit wajah, osteomalasia, alergi dan teratogenik.

Sasaran terapi.

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama AED untuk konvulsif umum primer dan kejang parsial. Pada penggunaaan terapi harus dievaluasi kembali sesuai pengalaman dibandingkan dengan AEDs yang baru. Fosfofenitoin adalah obat pilihan pertama pada perawatan status epileptikus.

TIAGABINE

Farmakologi dan mekanisne aksinyaTagabine berpotensi dan secara khusus sebagai penghambat GABA yang masuk ke sel glia dan bagian neuron- neuron yang lain. Tiagabine meningkatkan aksi dari GABA dengan menurunkan aksinyan dari permukaan sinaps.

Farmakokinetik

Tiagabine menyerap secara cepat dan setelah pemberian melewati oral.Ada hubungan dekat antara dosis dan konsentrasi dari serum. Halmitu dioksidasindi hati oleh enzim CYP450 3A4, dan enzim yang dapat menyebabkan peningkatan klirens. Pasien yang mengalami kerusakan hati yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi plasma darahnya. Serta disfungsi renal yang terkait dengan farmakokinetiknya.

Efek samping

Pengamatan yang sering terjadi pada efek yang tidak dihendaki dari tiagabine yaitu mengalami pusing, asthenia, nervous, tremor, diare, dan depresi. Efek dari pemakaian CNS dengan mengurangi tiagabine denga pemasokan makanan yang kecepatan absorbsinya lama.

Interaksi Obat

Enzim yang menginduksi seperti Karbamazepein dan fenitoin yaitu dengan menigkatkan klerens dan mengurangi setengah umur kita. Tiagabine ditemukan pada protein yang ada pada naproxen, salisilat, dan valproat. Bagaimanapun juga tiagabine tidak ditemukan pada obat seperti fenitoin, asam valproat, amytripitin, talbutamid, atau walfarin.

Dosis dan aturan

Respon dosis diketahui dengan minimalnya efek untuk orang dewasa dengan dosis 30 mg/hari. Dengan perincian dosis 4mg/hari yang dapat dititasi sebanyak 56 mg/harinya dengan penambahan 4-8 mg pada keseharian dosis tiap minggunya. Pada titrasi terhadap dosis rendah dapat menurukan efek dari CNS yang tidak dikehendaki..

Keuntungan

Tiagabine secara khusus diketahui mekanisme aksinya. Tiagabine ini merupakan obat yang pertama yang dipasarkan di united state yang dapat mempengaruhi pemasukan dari GABA. Obat ini linear pada farmakokinetik dan tidak berinteraksi dengan obat yang lain

Kerugian

Peningkatan dan kecepatan eskalasi dari dosis yaitu dengan meningkatnya efek dari CNS. Dengn demikian obat yang dikonsumsi dengan dosis rendah dapat menimbulkan respon dari si pasien.Dosis rendah dibutuhkan bagi pasien yang mengalami penyakit hati. Tiagabine dimetabolisme oleh enzim CYP450 3A4, dan obat yang lain mempengaruhi klerensnya, serta tidak ada formulasi dalam bentuk parenteral.

Tempat terapinya

Tiagabine digunakan pada terapi kedua untuk pasien yang mengalami serangan parsial yang mana gagal saat mengalami terapi sebelumnya.

TOPIRAMATE

Farmakologi dan mekanisme aksinya

Topiramate merupakan substitusi sulfamate dari monosakarida pada dosis ganda terhadap aksinya pada ketergantungan kanal sodium, reseptor GABA dan antagonis dari - amino- 3- hydroxyl- 5- metil- 4- isoxazole- 4- asam propionate (AMPA) yang mana merupakan subtype dari reseptor glutamate.

Farmakokinetik

Pada saat absorbsi dan eliminasi terjadi secara linear di farmakokinetik dan juga terjadi peningkatan proporsional dari konsentrasi maksimal terhadap puncak dan area konsentrasi di bawah kurva dan juga dijelaskan oleh saturasi pada obat terhadap eritrosit. Topiramate tidak ditunjukkan secara signifikan ikatan proeinnya. Kira- kira 50 % dari dosis ditukar pada renal. Bagaimanapu juga metabolisme ditingkatkan sebanyak 50 % ketika topiramate deberikan dengan enzim AEDs. Pada saluran renal direabsorbsi dalam penanganan enal dari pemakaian topiramate.

Efek samping

Efek samping dari topiramate adalah ataksia, mengganggu konsentrasi, mempersulit daya ingat, menimbulkan kebingungan, pusing, keletihan, parestesias, dan ketidak mampuan berfikir yang manjarang termasuk pada phisikosis. Masalah yang spesifik secara signifikan pada sejumlah pasien. Hal tersebut yang sering terjadi selama selama titrasi dan tingginya dosis. Ada juga yang meningkatkan insiden dari disfungsi kognitif pada pasiensaat mengalami terapi dengan topiramatedan asam valproat. Sepanjang lamanya usaha, kekurangan berat dapat terjadi dan ketergantungan obat.Neprolhitisis juga terjadi 1.5 % dari pasienyang menggunakan topiramate, yang mana 2-4 kali insiden terhadap sejmlah pasien. Pada pasien itu sendiri seharusnya menjaga ksehatan secara cukup dan meminimalkan masalah. Sekarang ini, pengguanaan topiramate diasosiasikan dengan glukoma akut, oligohidrosis dan asidosis metabolic. Asidosis metabolic merupakan penjelasan dari anoreksia dan menurunnya berat badan yang disebakan oleh obat.

Interaksi obat

Topiramate tidak merubah level plasma dari Karbamazepin, Karbamazepin- epoksid, Lamotrigine. Klirens oral dari digoxin meningkat ketika topiramate ditambahkan. Dari hasil yang didapatkan, topiramate dapat meningkatkan konsentrasi serum pada fenitoin dalam beberapa pasien dan terdapat efek yang konsisten pada studi in vitro yang menunjukkan penghambatan efek topiramate pada isoform CYP2C19. Respon variable ditunjukkan dengan interaksi dari topiramate dan fenitoin yang dijelaskan dalam proporsi dari klerens fenitoin pada metabolisme enzim CYP2C19 dan pada pasien yang memiliki carrier homozigot serta heterozigot dari alel mutan yang berasal dari CYP2C9 atau fenotif dari CYP2C19 poor metabolilzer. Topiramate dapat meningkatkan klirens oral dari asam valproat dan meningkatkan formasi dari 4-ene- metabolit berupa VPA. Secara klinik dari interaksinya kurang baik. Dosis dari topiramate lebih kurang 200 mg perhari. Karbamazepin dan fenitoin meningkatkan klerens topiramate.

Dosis dan aturan

Topiramate seharusnya dititrasi secara lambat untuk menghinari terjadinya efek yang tidak diinginkan. Dosisnya dimulai dari 12.5-50 mg perharinya dengan meningkatkan dosis dari 12.5-50 mg perhari setiap minggunya. Dosis efektif minimal dari topiramate kira- kira 200 mg perhari. Untuk pasien AEDs, dosis maksimum lebih dari 600 mg perhari agar dapat mencapai perbaikan dari efikasinya dan jug adapt menyebabkan peningkatan dari efek samping dari obat tersebut. Bagaimanapun juga dosis maksimum dapat memberikan khasiat terhapat pasien. Monoterapi dosis yang paling optimal yaitu 1000 mg perhari yang mana memiliki efektivitas untuk beberapa pasien.

Keutungan

Topiramate memiliki mekanisme aksi dan spectrum AED. Pada saat terjadi proses eliminasi obat di ginjal maka terjadi metabolisme hati. Topiramate ini linear secara farmakokinetik dan memiliki sedikit interaksi obatnya.

Kerugian

Dengan kecepatan eskalasi dari dosisnya, Tapiramate memiliki fungsi yang kognitif, termasuk dalam memperbaiki memori jangka pendek. Oleh karena itu, dosis awal yang rendah harus digunakan, dan dosis dititrasi secara lambat. Batu ginjal dan kehilangan berat badan telah diasosiasikan dengan penggunaan topiramat. Dosis seharusnya diturunkan apabila pasien mengalami kegagalan ginjal dan tidak ada formulasi dengan rute pemberian secara parenteral.

Tempat terapi

Topiramate diberikan pada tahap kedua AED untuk pasien dengan serangan parsial yang mana gagal pada terapi sebelumnya. Hal itu merupakan aturan awal untuk pengobatan antiepilepsi serta untuk tipe seizure yang lain yang seharusnya dievaluasi.

ASAM VALPROIK/ SODIUM DIVALPROEX

Farmakologi dan Mekanisme Kerja. Awalnya asam valporik diyakini dapat meningkatkan GABA dengan cara menghambat tingkat degradasi atau dengan mengaktifkan sintesisnya. Walau hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan dampak asam valproik, periode waktu peningkatan GABA dibandingkan dengan titik mula terjadinya dampak anticonvulsant menandakan bahwa perubahan atas sintesis dan degradasi GABA tidak sepenuhnya menjelaskan aktivitas anti-seizure pada asam valproik. Sebelumnya pernah dinyatakan bahwa asam valproik dapat menaikkan potensi respon post-synaptik GABA, memiliki efek stabilisasi membran, dan dapat mempengaruhi saluran potassium.

Farmakokinetik. Asam valproik tampaknya terserap secara utuh ketika diberikan secara oral dan dalam keadaan perut kosong. Namun tingkat penyerapan beragam pada persiapan yang berbeda. Kadar puncak tercapai pada 0.5 sampai 1 jam dengan sirup, 1 sampai 3 jam dengan kapsul, dan 2 sampai 6 jam dengan tablet berlapis enteric. Penggunaan formulasi pelepasan yang diperpanjang (Depakote-ER) telah disetujui oleh FDA untuk pasien migrane dan epilepsy. Namun perlu diketahui bahwa, bioavailability (ketersediaan secara biologis) atas formulasi ini 15% kurang dari sodium divalproex yang berlapis enteric (Depakote).

Asam valproik secara ekstensif dikelilingi oleh albumin, dan pembungkusan ini dapat dijenuhkan. Dengan demikian pecahan asam valproik bebas akan meningkat karena jumlah kadar serum juga mengalami peningkatan. Karena terdapat keterikatan yang dapat dijenuhkan ini, pengukuran atas serum yang tidak terikat dapat menjadi parameter pemantauan yang lebih baik dibandingkan dengan jumlah kadar serum asam valproik, terutama pada kadar yang lebih tinggi pada pasien hypoalbuminemia.

Jalan utama metabolisme asam valproik adalah -oksidasi, meskipun 40% dosis dapat diekskresikan sebagai glukronida. Setidaknya terdapat 10 metabolit yang dapat diidentifikasi. Beberapa diantaranya memiliki aktivitas anticonvulsant yang lemah, dan setidaknya satu metabolit bertanggung jawab atas hepatoksitas yang dilaporkan terdapat pada asam valporik. Salah satu diantara metabolit oksidatif, 4-en-asam valproik, menyebabkan hepatoksitas yang signifikan pada tikus. Pembentukan metabolit ini meningkat ketika asam valproik diberikan dengan obat-obat yang memicu pelepasan enzim.

Dampak merugikan. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal (sampai 20%), termasuk diantaranya, mual, muntah-muntah, anorexia dan kenaikan berat badan. Pankreatitis sangat jarang ditemukan. Keluhan gastrointestinal dapat dikurangi namun tidak dapat diatasi sepenuhnya jika menggunakan formulasi berlapis enteric atau dengan memberi obat tersebut dengan makanan. Efek samping lain yang sering dilaporkan (misalnya, mengantuk, ataksia, dan tremor postural) dapat ditanggapi dengan perubahan pada dosis (lihat table 54-6). Alopecia dan perubahan pada rambut hanya bersifat sementara, dan bahkan pertumbuhan rambut akan kembali normal dengan diteruskannya pengambilan dosis. Kenaikan berat badan dapat menjadi masalah yang signifikan bagi pasien karena berkaitan dengan stimulasi terhadap nafsu makan dan/ atau inhibisi asam lemak -oksidasi yang menyebabkan penurunan tingkat metabolisme. Asam valproik menyebabkan gangguan kognitif yang minim.

Efek samping paling serius dalam penggunaan asam valproik adalah hepatoksitas. Hyperammonemia cukum umum (50%) namun tidak selalu menyababkan kerusakan pada ginjal; namun setidaknya 67 kematian telah dihubungkan dengan hepatoksitas asam valproik. Sebagian besar kematian dilaporkan pada pasien di bawah umur dua tahun, memiliki retardasi mental, dan menerima banyak AED. Hepatoksitas terjadi pada tahap awal terapi. Pasien dengan keluhan mual, muntah-muntah, lethargy, anoreksia, dan edema pada 6 sampai 12 bulan dalam terapi sebaiknya melakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Terapi AED ganda dapat mengubah metabolisme asam valproik, yang meningkatkan pembentukan asam valproik toksik 4-en-ginjal. Asam valproik telah ditunjukkan mampu mengubah metabolisme carnitine, dan telah dinyatakan bahwa kekurangan carnitine mengubah oksidasi asam lemak yang dapat menyebabkan toksitas ginjal dan hyperammonemia. Namun, hepatoksitas asam valproik juga terdapat pada pasien yang mengambil suplemen carnitine, selain itu salah satu penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pada meningkatnya kesehatan ketika carnitine ditambah. Walau carnitine dapat memperbaiki sebagian kondisi hyperammonemia, namun harganya mahal dan hanya terdapat sedikit data yang menunjukkan penggunaan rutin pasien atas asam valproik.

Interaksi dengan Obat. Obat-obatan yang mempengaruhi enzim-enzim ginjal dapat mengubah kinetic asam valproik dengan meningkatkan atau mengurangi pembukaan (clearance); misalnya phenytoin, Phenobarbital, primidone, dan carbamazapine semuanya meningkatkan pembukaan asam valproik. Topimarate dapat sedikit mengurangi kadar serum asam valproik. Karena memiliki keterikatan protein yang tinggi, obat-obat lain yang juga memiliki keterikatan protein tinggi dapat menggantikan asam valproik. Asam lemak bebas dan aspirin dapat mengubah daya ikat asam valproik dengan pemindahan (displacement). Felbamate dapat mengganggu pembukaan valproik melalui inhibisi atas -oksidasi.

Asam valproik merupakan inhibitor (penghambat) enzim yang dapat menghambat cytochrome P450 isozyme, epoxide hydrolase, dan UGT isozyme. Penambahan asam valproik pada hasil Phenobarbital pada penurunan 30% sampai 50% atas pembukaan Phenobarbital dan toksitas berpotensial jika dosis Phenobarbital tidak dikurangi. Asam valproik dapat menaikkan kadar epoxide carbamazepine-10, 11 tanpa mempengaruhi kadar obat induk melalui inhibisi atas epoxide hydrolase. Asam valproik menjadi inhibitor potensial atas lamotrigine, melalui inhibisi enzim-enzim UGT, dan dapat menyebabkan penggandaan masa hidup setengah lamotrigine.

Dosis dan Pemberian. Walau beberapa pasien memiliki masa hidup setengah (half-life) yang cukup panjang untuk pemberian dosis harian (sekali sehari) dengan divalproex berlapis enteric, namun pemberian dosis yang lebih sering, lebih banyak dilakukan. Berdasarkan data masa hidup setengah, dosis dua kali sehari dapat dilakukan dengan bentuk dosis asam valproik apapun; namun anak-anak dan pasien yang mengambil obat penyebab pelepasan enzim mungkin membutuhkan dosis sebanyak tiga atau empat dalam sehari. Hubungan kadar serum dengan dosis berbentuk kurvalinear (yaitu rasio kadar-dosis berkurang dengan semakin tingginya dosis yang diberikan) mungkin karena kadar bebas yang semakin meningkat sehingga menyebabkan peningkatan dalam pembukaan.

Asam valproik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin, sebuah tablet berlapis enteric, sirup, penetasan (sprinkle), sebuah formulasi pelepasan yang diperpanjang, yang dirancang untuk pemberian dosis sehari sekali, dan formulasi parenteral (intravenous) untuk menggantikan terapi oral atau dalam keadaan dimana penimbunan pesat asam valproik dibutuhkan. Formulasi parenternal tidak boleh diberikan secara intramuscular karena dapat menyebabkan nerosis pada jaringan. Cara penetasan dirancang agar dibuka dan dicampur dengan makanan, memiliki tingkat penyerapan yang lebih rendah, yang menyebabkan fluktuasi rasio puncak-ke-palung lebih sedikit. Sirup diserap lebih cepat dibandingkan dengan pemberian dosis dalam bentuk padat. Tablet berlapis enteric tidak bersifat pelepasan yang diperpanjang (extended-release); hal ini terdiri dari sodium divalproex, yang harus dimetabolisis dalam tubuh ke asam valproik. Lapisan eneteric ini berfungsi untuk mengurangi gangguan gastrointestinal. Lapisan enteric memang menyebabkan penyerapan yang tertunda, meskipun ketika lapisan enteric telah larut, sodium divalproex melakukan penyerapan, metabolisme, dan tingkat eliminasi serupa dengan kapsul gelatin. Tenaga klinis perlu memantau kadar serum obat-obatan jika melakukan pengubahan dari divalproex (Depakote) kepada formulasi pelepasan yang diperpanjang pada pasien (Depakote-ER). Pasien yang diganti dari Depakote ke Depakote-ER, mestinya diikuti dengan peningkatan dosis sebesar 14% sampai 20%. Depakote-ER dapat diberikan sekali dalam sehari.

Walau 100-120 mcg/mL seringk dikutip sebagai rentang terapeutik yang di tingkat atas, pengalaman menunjukkan bahwa beberapa pasien telah menunjukkan peningkatan pengendalian seizure ketika kadarnya di atas tingkatan rentang ini. Walau terdapat beberapa laporan yang menghubungkan tremor, rasa mengantuk, rasa ingin pingsan, dan penurunan jumlah fibrinogen pada pemberian kadar di atas 80 sampai 100 mcg/mL, terdapat sedikit efek samping yang didefinisikan dan memiliki kaitan dengan kadar asam valproik. Pada pasien refaktori atau mereka dengan respon parsial, kadar asam valproik dapat dengan sangat hati-hati dinaikkan, hanya dalam pemantauan yang ketat atas pasien tersebut. Sejalan dengan peningkatan kadar, keterikatan protein dapat dijenuhkan, dan pemantauan atas kadar serum atas obat-obat bebas dapat sangat membantu.

Kelebihan. Asam valproik tersedia dengan formulasi dosis yang bersifat ganda. Hal ini memiliki indeks terapeutik dan dapat dianggap sebagai AED dengan spektrum yang luas. Selain itu, juga dapat digunakan pada berbagai gangguan neurologis dan psikiatris, termasuk migrane dan gangguan bipolar-affektif.

Kekurangan. Beberapa pasien melaporkan kenaikan berat badan sejalan dengan pemberian asam valproik sehingga mengurangi kepatuhan berobat. Asam valproik juga dihubungkan dengan efek samping lainnya, misalnya alopecia, tremor, pankreatitis, gangguan ovary polycystic, dan thrombocytopenia. Obat ini dihubungkan dengan nekrosis hepatik pada anak-anak usia awal. Asam valproik merupakan inhibitor enzim dan terlibat dalam berbagai interaksi antara obat-obatan.

Kedudukan dalam Terapi. Asam valproik menempati terapi garis depan untuk seizure primer umum termasuk myoclonic, atonic, dan seizure kehilangan. Obat ini dapat digunakan baik secara monoterapi dan sebagai terapi tambahan untuk seizure parsial, dan sangat berguna pada gangguan seizure yang tercampur dengan yang lain.

ZONISAMIDE

Farmakologi dan Mekanisme Kerja. Zonisamide, sebuah sintetik 1,2-benzisoxazole turunan diklasifikasikan sebagai sulfonamide, secara kimia berbeda dengan AED lainnya. Pada eksperimen dengan hewan hal ini menjadi AED dengan spectrum luas. Diyakini agar dapat menunjukkan pengaruh antiepileptic dengan mengurangi penembakan neuron melalui blokade saluran sodium yang sensitif akan tegangan, dengan mengurangi saluran Ca 2+ tipe T, dengan fasilitasi neurotransmisi dopaminergic dan serotonergic, dengan melakukan inhibisi lemah atas anhydrase karbonik, dan dengan memblokir K+ yang dipicu pelepasan glutamate. Diasumsikan juga bahwa zonisamide dapat melindungi neuron dari kerusakan akibat radikal bebas.

Farmakokinetik. Zonisamide terserap secara utuh, dan mencapai kadar puncak dalam dua sampai enam jam. Keterikatan protein hanya 40% dan memiliki masa hidup setengah sekitar 63 sampai 69 jam pada subjek yang tidak terinduksi. Zonisamide dimetabolisis oleh CYP3A4 (50%) dan N-acetylation (20%). Delapan metabolit tidak aktif telah diidentifikasi. Sekitar 30% diekskresikan tanpa mengubah bentuk. Gangguan renal yang terlihat (Crcl < 20 mL/menit) dihubungkan dengan peningkatan AUC pada zonisamide sebesar 35%. Zonisamide disebar ke sebagian besar jaringan, namun kadarnya dalam sel darah merah, ginjal, hati dan kelenjar adrenal dua kali lebih besar. Zonisamide menyebrangi placenta. Walaupun belum ditetapkan secara tegas namun rentang kadar 10-40 mcg/mL disarankan.

Dampak Merugikan. Pengaruh merugikan zonisamide yang paling umum adalah somnolence, kepeningan, anorexia, pusing, mual, agitasi dan irritabilitas. Dampak merugikan ini dapat bertambah sejalan dengan kenaikan pemberian dosis yang cepat. Karena zonisamide secara struktur berhubungan dengan sulfonamides, reaksi hypersensitif dapat terjadi (0,02% pasien), dan pemberian zonisamide perlu sangat hati-hati dengan pasien yang memiliki alergi terhadap senyawa sulfonamide. Kejadian batu ginjal sebesar 2,6% dilaporkan pada pasien yang dirawat di Amerika Serikat. Karena adanya laporan penurunan fungsi renal yang kecil dan reversible (dapat dikembalikan) pada beberapa pasien, pemantauan fungsi renal dapat disarankan kepada pasien tertentu. Adanya oligohydrosis juga dilaporkan. Selain itu, kenaikan berat badan yang tidak terlalu besar terjadi melalui agen ini.

Interaksi Obat. Zonisamide tidak menghambat atau mendorong sistem cytochrome P450. Pendorong enzim dan inhibitor CYP3A4 dapat mempengaruhi kadar zonisamide. Treatmen dengan pemicu enzim dapat mengurangi masa hidup setengah zonisamide dari 27 sampai 36 jam.

Dosis dan Pemberian. Pada orang dewasa, dosis awal yang direkomendasikan adalah 100mg/hari. Dosis ini harus ditetapkan dengan 100mg per hari setiap dua minggu bergantung pada respon pasien. Rentang dosis untuk orang dewasa antara 100 sampai 600 mg/hari. Pada anak-anak, zonisamide dapat diberikan pada dosis 2-4 mg/kg per hari dan ditetapkan menjadi 4-8mg/kg per hari sampai maksimum 12 mg/kg per hari. Zonisamide cukup stabil untuk waktu 48 jam ketika dicampur dengan air, jus apel, atau pudding bagi pasien yang kesulitan menelan bentuk-bentuk dosis padat secara oral.

Kelebihan. Zonisamide memiliki berbagai mekanism kerja dan termasuk AED dengan spektrum luas. Obat ini telah banyak digunakan di negara lain, dan terdapat pengalaman luas secara internasaional atas penggunaan obat ini. Obat ini memiliki masa hidup setangah yang lama, yang sangat sesuai dengan pemberian dosis sekali atau dua kali dalam sehari. Pemberian dosis sekali dihubungkan dengan fluktuasi di sekitar mean kadar dan mungkin juga berbagai efek samping. Pasien dapat mengalami sedikit pengurangan berat badan dengan obat ini.

Kekurangan. Dosis zonisamide harus ditetapkan perlahan-lahan pada respon pasien. Batu renal dan oligohydrosis juga telah dihubungkan dengan zonisamide. Selain itu, gangguan kognitif juga mungkin terjadi, terutama jika dosis ditingkatkan dengan sangat cepat.

Kedudukan dalam Terapi. Zonisamide saat ini disetujui sebagai treatmen tambahan untuk seizure parsial. Selama ini data masih kurang untuk mendukung penggunaannya pada monoterapi awal. Zonisamide dapat menjadi efektif pada berbagai jenis seizure parsial dan primer umum.