PORTOFOLIO EPILEPSI

download PORTOFOLIO EPILEPSI

If you can't read please download the document

description

sfds

Transcript of PORTOFOLIO EPILEPSI

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu menyebabkan sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik yang berlebihan dan tidak terkontrol. Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas sosial. Penyakit ini terjadi pada pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun. prevalensi epilepsi aktif kurang lebih 8,2 per 1000 penduduk..1,2,3,4Penelitian di negara maju memperkirakan insiden penyakit epilepsi setiap tahun kurang lebih 50 per 100.000 penduduk. Penelitian di negara berkembang menunjukkan angka hampir dua kali lipat, yaitu 100 per 100.000 penduduk. Insiden epilepsi di negara berkembang lebih tinggi karena risiko yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen juga lebih tinggi. 5International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan, Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan Umum..1 Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului dengan kejang demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi, dan kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi. Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan partial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam.2 Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas tetapi autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya.2

BAB IIEPILEPSI

DEFINISI

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang kurang lebih berarti sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh. Dahulu serangan epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi disebabkan oleh sesuatu diluar badan si penderita, biasanya dianggap sebagai akibat kutukan oleh roh jahat atau setan yang menimpa penderita. Anggapan demikian juga masih terdapat dewasa ini, terutama dalam masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu menyebabkan sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik yang berlebihan dan tidak terkontrol. Menurut WHO, epilepsi adalah suatu keadaan bangkitan akibat disfungsi sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada populasi neuron peka rangsangan yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul secara tiba-tiba dan sesaat. Sedangkan bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan, dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

2.2. EPIDEMIOLOGIInsiden dan prevalensi epilepsi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dari berbagai negara, tetapi sulit untuk dibandingkan karena definisi, cara pendekatan, klasifikasinya. Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas sosial. Penyakit ini terjadi pada pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun. Diduga kebanyakan terjadi sejak dalam kandungan, masa kanak-kanak, remaja, dan orang tua. Siapa saja dapat terkena serangan? Kenyataannya, 5% penduduk dunia terkena serangan satu kali seumur hidup. Sedangkan diagnosa epilepsi terbatas pada serangan yang terjadi berulang-ulang, paling tidak dua serangan yang tiba-tiba. Prevalensi epilepsi berbanding dengan jumlah penduduk, yang meningkat setiap tahunnya. Beberapa penelitian di seluruh dunia memperkirakan jumlah prevalensi epilepsi aktif kurang lebih 8,2 per 1000 penduduk. Bagimanapun, perkiraan ini mungkin terlalu rendah untuk negara berkembang seperti Colombia, Ecuador, India, Liberia, Nigeria, Panama, Tanzania, dan Venezuela yang prevalensinya lebih dari 10 per 1000. Penelitian di negara maju memperkirakan insiden penyakit epilepsi setiap tahun kurang lebih 50 per 100.000 penduduk. Penelitian di negara berkembang menunjukkan angka hampir dua kali lipat, yaitu 100 per 100.000 penduduk. Insiden epilepsi di negara berkembang lebih tinggi karena risiko yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen juga lebih tinggi. Keadaan ini meliputi neurocysticercosis, meningitis, malaria, komplikasi perinatal, dan malnutrisi. ng berbeda. Sekalipun demikian banyak peneliti menyebutkan insiden penyakit ini sekitar 20-70 per 100.000 penduduk per tahun (rata-rata 11-34/10.000 per tahun) dan prevalensinya sekitar 4-10/1000 pada populasi umum (rata-rata sekitar 1,5-30/1000). Di negara berkembang ditemukan angka insiden yang lebih tinggi, termasuk Indonesia, kurang lebih sebesar 100-190 per 100.0000 penduduk. Angka ini bervariasi menurut golongan umur dan jenis kelamin, dimana didapatkan tertinggi pada kanak-kanak dan usia lanjut, menurun pada usia dewasa dan pertengahan, dan lebih banyak pria dibandingkan dengan wanita. Dalam populasi umum , sekitar 2-5% diantaranya beresiko mengalami kejang epilepsi. Di lain pihak, lebih dari separuh penyandang epilepsi mengalami serangan pertamanya sebelum berusia 16 tahun.Sekitar 77% epilepsi merupakan kasus primer idiopatik yang bisa ditemukan pada semua golongan umur dan memuncak pada usia dewasa muda (20-30 tahun). Sisanya terbagi menjadi simtomatik (trauma, infeksi, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, dll), dan kriptogenik. Epilepsi vaskuler umumnya dijumpai pada lansia. Kasus herediter dan akibat trauma lahir biasanya muncul pada usia muda (kurang dari 10 tahun).

2.3. KLASIFIKASIKlasifikasi epilepsi dapat didasarkan pada bentuk klinis (jenis bangkitan), penyebab, usia, gambaran EEG, dan kelainan anatomisnya. International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan, Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan Umum. Dimana bangkitan fokal meupakan cetusan epelepsi yang dimulai dari fokus terlokalisir di otak, sedangkan bangkitan umum adalah cetusan umum terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

2.3.1 Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1989)I. Epilepsi berelasi dengan lokasi / fokal atau parsialA. IdiopatikB. SimtomatikC. Kriptogenik II. Epilepsi generalisataA. IdiopatikB. SimtomatikC. Kriptogenik III. Tidak terdeterminasiIV. Situasi Khusus

2.3.2. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1981)I. Bangkitan parsial A. Bangkitan parsial sederhanaA.1. Dengan manifestasi motorikA.2. Dengan manifestasi sensorikA.3. Dengan manifestasi autonomikA.4. Dengan manifestasi psikikB. Bangkitan parsial kompleksB.1. Dengan gambaran parsial sederhana pada awalnya diikuti dengan bangkitan lena B.2. Dengan bangkitan lena pada awalnya C. Bangkitan umum sekunder II. Bangkitan umumA. Bangkitan Lena / absence seizuresB. Bangkitan mioklonikC. Bangkitan klonikD. Bangkitan tonikE. Bangkitan atonik / astatikF. Bangkitan tonik-klonikIII. Bangkitan epilepsi yang tidak terklasifikasi

Gambar 2. Gambaran serangan Epilepsi

FAKTOR RESIKO

Faktor resiko epilepsi adalah faktor-faktor yang tidak kelihatan sebagai penyebab epilepsi secara langsung, tetapi memiliki hubungan melalui beberapa cara. Memiliki faktor resiko epilepsi membuat seseorang memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena epilepsi tetapi tidak selalu harus terkena epilepsi. Dan sebaliknya seseorang yang tidak memiliki faktor resiko belum tentu tidak terkena epilepsi.Faktor resiko epilepsi antara lain :Bayi dengan berat badan lahir rendah

Bayi yang pernah mengalami kejang pada usia kurang dari 1 bulan

Bayi yang lahir dengan kelainan struktur otak

Perdarahan otak

Pembuluh darah otak abnormal dalam otak

Trauma otak berat atau hipoksia otak

Tumor otak

Infeksi otak misalnya : abses, meningitis

Stroke akibat oklusi arteri

Cerebral palsy

Cacat mental

Kejang yang terjadi beberapa hari setelah trauma kepala

Riwayat keluarga dengan epilepsi

Alzheimers disease

Kejang demam

Penggunaan kokain yang ilegal

Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului dengan kejang demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi, dan kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi.Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan partial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative Project (NCPP) melaporkan tingginya risiko epilepsi diantara anak-anak dengan perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua atau saudara kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam kompleks. Pada 60% anak dengan kejang demam tanpa satupun faktor risiko diatas, 2% akan berkembang epilepsi sebelum usia 7 tahun. 34% anak dengan satu faktor risiko, 3% akan menjadi epilepsi, dan jika mempunyai 2 atau 3 faktor risiko, maka kejadian epilepsi menjadi 13 %. 5,9

Tabel. 2.1. Faktor risiko untuk mendapatkan epilepsi dari kejang demam

Perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama

Riwayat keluarga dengan epilepsi

Kejang demam kompleks

Faktor Genetik. Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas tetapi autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya. Anak dengan kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai riwayat kejang demam. Tingginya kejadian epilepsi dalam keluarga yang mempunyai anak dengan kejang demam tidak sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsi juga tinggi pada saudara kandung yang mempunyai kejang demam, tetapi tidak untuk saudara yang lain.PATOFISIOLOGI

Secara umum sifat epileptogenik jaringan saraf ditentukan oleh 2 faktor, yaitu eksitabilitas dan sinkronisasi. Pada saat mendapatkan serangan epileptik yang memegang peranan adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron secara sendiri-sendiri tidak akan menghasilkan suatu respon fungsional, oleh karena itu harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Adanya serangan epileptik ditentukan oleh mekanisme yang mengganggu eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal tersebut. Munculnya bangkitan epileptik yang disebabkan karena adanya gangguan eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal belum banyak diketahui. Hipotesis terakhir disebutkan karena adanya (a) kelainan membran neuronal, (b) kelainan mekanisme inhibisi, (c) kelainan mekanisme eksitasi, atau (d) kegagalan sistem pengaturan fungsi eksitasi dan inhibisi.

Membran NeuronSecara fisiologis, peranan membran neuron adalah untuk mempertahankan perbedaan potensial antara ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler. Dalam keadaan istirahat ruang intraseluler bermuatan negatif dan ruang ekstraseluler bermuatan positif. Potensial membran istirahat ini dipertahankan melalui proses pengeluaran ion Na dari dalam sel dan diikuti pemasukan ion K ke dalam sel, sehingga di dalam sel kekurangan ion Na, Cl, Ca dan kelebihan ion K. Aktivitas ini memerlukan energi yang diambil melalui pemecahan ATP oleh enzim NA-K ATP ase.Kelainan membran neuron pada bangkitan epilepsi dimulai dari suatu neuron epileptik yang berperan memicu terjadinya aksi potensial. Depolarisasi yang terjadi pada neuron epileptik tersebut bersifat paroksismal, yang disebut paroxysmal depolarization shifts (PDSs), yaitu mempunyai amplitudo lebih tinggi, durasi lebih lama dan diikuti oleh after depolarization yang diperpanjang. Teejadinya PDSs tersebut tergantung masuknya ion Ca ke dalam neuron, yang disebabkan adanya kelainan membran itu sendiri.

Mekanisme eksitasi dan inhibisiExcitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul transmitter pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl atau K dan menyebabkan hiperpolarisasi membran, dan biasanya terjadi pada sinaptik aksosomatik yang disebut postsynaptic inhibitory transmission Pada kasus epilepsi terjadi kelainan mekanisme eksitasi dan inhibisi tersebut, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara sisitem eksitasi dan inhibisi yang menjadi dasar patofisiologi epilepsi

Neurotransmitter GABAGamma Amino Butiric Acid (GABA) adalah suatu inhibitor utama neurotransmiter pada susunan saraf pusat. Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat menghasilkan serangan (seizure)Secara tradisional yang berperan pada inhibisi oleh GABA adalah resaptor GABAA dalam bentuk inhibisi potensi postsinaptik (ISPSs= inhibitory post synaptic potentials). Terikatnya GABA pada reseptor mengakibatkan saluran klorida terbuka sehingga untuk sesaat potensial membran sel ditentukan oleh potensial keseimbanfan klorida. Reversal potensial dari IPSP umumnya adalahsekitar -70 mV. Perubahan voltase yang ditimbulkan GABAA tergantung pada resting potential dari sel tersebut dan pada gradien klorida antara kompartment intra dan ekstrasel. Gradien ini tentunya terpengaruh oleh mekanisme lalu lintas klorida. Interfensi pada proses ini akan mendorong akumulasi klorida intrasel. Pada saat saluran GABAA terbuka sel akan mengalami depolarisasi dan ion klorida keluar.Perubahan induksi yang menyertai pembukaan saluran klorida menyebabkan shunting aliran dari sel yang memulai bangkitan dan blocking ini merupakan penghambat yang lebih kuat daripada yang ditimbulkan oleh mekanisme GABAA sendiri. Pada susunan saraf pusat juga terdapat reseptor GABAB yang terkait dengan saluran kalium oleh suatu protein penghubung yaitu guanosine triphosphate binding protein (G-protein) yang merupakan sistem-perantara-intrasel. Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB ini merupakan komponen inhibitorik (IPSP) yang tahan lama. Efeknya tergantung pada konsentrasi kalium ekstrasel. Bila kalium naik efek hiperpolarisasinya akan berkurang. Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB terutama peting dalan mengendalikan bangkitan yang berlangsung lama. Mekanisme GABAB baru nampak bilamana pengaruh GABAB kurang menonjol. Kemampuan memodulasi eksitabilitas oleh GABAB terkait dengan interneuron GABA-ergic.

Neuron GABA-ergicBanyak dari neuron yang melepaskan GABA di korteks adalah interneuron GABAergic. Sel jenis ini merupakan circuit cells beda dengan tipe sel primer (sel piramidal dan sel projection cell). Sel yang sejenis ini juga ditemukan di neocortex dan di hipokampus. Kelompok sel ini mempunyai kemampuan fast-spiking dan secara terus menerus mengeluarkan inhibisi tonik terhadap sel piramidal. Praktis semua interneuron menerima impuls dari sumber yang sama dan berfungsi inhibitorik.Semua interneuron di hipokampus menggunakan GABA sebagai transmiternya. Blocking terhadap pengaruh inhibisi GABAA akan menimbulkan aktivitas epileptik.EPILEPSY- A CRITICAL BALANCE

EXCITATION INCREASE

SEIZURE

INHIBITION DECREASE

SEIZURE

Na+ channel antagonistsCa2+ channel antagonistsGlutamate receptor antagonists

GABAA agonistsEnhanced GABA levelsK+ channels modulators

Gambar 2. Animasi patofisiologi epilepsi dari ketidak seimbangan eksitasi dan inhibisi.2.6. DIAGNOSIS

Hal ini meliputi pemeriksaan klinis (anamnesis dari faktor risiko, pemeriksaan fisik), dan imaging (pencitraan).

2.6.1. Pemeriksaan klinis 1. Anamnesis Melalui anamnesis yang baik dan teratrah diperoleh informasi mengenai keluhan dan riwayat penyakitnya, hal ini sangat penting untuk mendiagnosa epilepsi, meliputi :Bentuk bangkitan

Gejala sebelum, sewaktu, dan setelah bangkitan

Durasi bangkitan

Bentuk dari setiap kejadian bangkitan

Faktor pencetus bangkitan

Usia pertama kali mengalami bangkitan

Riwayat perinatal dan perkembangan

Riwayat penyakit yang mungkin menjadi penyebab

Riwayat pengobatan

Riwayat keluarga

2. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum dan neurologik, yang bertujuan mencari :Gejala penyakit yang sering disertai bangkitan epilepsi.

Defisit neurologis yang mungkin menerangkan suatu cacat otak yang epileptogen

Adanya cedera yang mungkin disebabkan kehilangan kesadaran saat bangkitan epilepsi.

Tabel 2.2. Pemeriksaan FisikPemeriksaan UmumPemeriksaan Neurologis

Tanda vitalKepala

BB, TB, Lingkar kepala N. Kraniales termasuk fundus okuli

Kulit Penglihatan

OrganomegaliFungsi motorik, reflek tendon

PerkembanganFungsi luhurSensorik

2.6.2. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)Indikasi EEG pada penderita epilepsi antara lain: (1) membantu menegakkan diagnosa epilepsi; (2) menentukan hubungan antara abnormalitas kejang dan frekwensi kejang; (3) memonitor keefektifan obat antikonvulsan; (4) aspek psikiatrik; (5) aspek medikolegal, misalnya kemungkinan timbulnya epilepsi pasca trauma, penentuan hukuman pada penderita, konsultasi perkawinan, SIM dan sebagainya.

Gambar 3. Hasil EEG penderita epilepsi

2.6.3. Pemeriksaan radiodiagnostik / imagingPemeriksaan Imaging yang dilaksanakan antara lain : Pemeriksaan CT scan, dan MRI dilakukan atas indikasi :Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural

Perubahan bentuk bangkitan

Terdapat defisit neurologik fokal

Bangkitan pertama kali terjadi di atas usia 25 tahun.

2.6.4.Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium darah rutin, elektrolit, gula darah, fungsi hati, kadar obat dalam plasma dan lain-lain sesuai indikasi.

2.7. Prognosis 2.7.1. Prognosis MedikPrevalensi epilepsi kronik sekitar 1 dalam 200 orang, yang berarti bahwa mayoritas epilepsi tidak menjadi kronik. Sekali remisi lama (lebih dari 24 bulan) tercapai, resiko untuk mengalami serangan berikutnya akan berkurang. Serangan yang sejak dini terkendali oleh obat memiliki prognosis yang lebih baik.

2.7.2. Prognosis PsikososialSebagian besar penderita epilepsi dapat hidup normal. Komunikasi antara dokter, orang tua anak penyandang epilepsi, dan lingkungan penderita epilepsi sangat penting dalam mempengaruhi perkembangan mental dan kognitif penderita.

2.8. Penatalaksanaan2.8.1 Pengobatan epilepsiPada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat. Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan oksigen. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan seksama. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian antipiretika.Kejang harus segera dihentikan, ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Dosis intravena 0,30,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5/kg atau 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg.Apabila kejang belum berhenti, 5-10 menit kemudian dapat diulangi lagi pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti, diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20-30 menit setelah dilarutkan dalam cairan NaCl fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakan perlu pengobatan profilaksis atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak tersebut.Untuk mengurangi resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif maka dalam pengobatan epilepsi perlu diperhatikan beberapa prinsip pengobatanPengobatan dilakukan bila terdapat minimun 2 kali bangkitan dalam setahun

Pengobatan mulai diberikan bila diagnosis tellah ditegakkan dan setelah penderita dan keluarga menerima penjelasan tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping

Pemilihan jenis obat sesuai jenis bangkitan

Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahapnsamapi dosis efektif tercapai.

Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap.

Bila didapat kegagalan monoterapi maka dapat diprtimbangkan kombinasi OAE

Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi

Tabel 1. Pemilihan Obat Antiepilepsi Atas dasar Jenis Bangkitan EpilepsiType of seizures and epileptic syndromeFirst-line drugSecond-line drug

Simple and complex partial seizures, primary and secondarily generalized tonic-clonic seizures

Generalized absence seizures

Atypical absence, tonic, and clonic seizures

Myoclonic seizuresCarbamazepine, valproate, and phenytoin

Valproate, ethosuximide

Valproate

ValproateAcetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide, felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine, PhenobarbitalAcetazolamide, clobazam, clonazepam, lamotrigine, Phenobarbital, primidoneAcetazolamide, carbamazepine, clobazam, clonazepam, lamotrigine, oxcarbazepine, phenobarbital, phenytoin,Primidone, topiramateClobazam, clonazepam, ethosuximide, lamotrigine, Phenobarbital, piracetam, primidone

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. 2004, Pelatihan Epilepsi Mudah, Aman, dan Sederhana, Malang, pp. 1-24.

Aninimous.2005, Epileptic seizures and their classification, in : Panayiotopoulos, CP. (ed) The Epilepsies, 1st ed, Bladon Medical Publishing, UK, pp.8-23

Budiarto, G. 1998, Patofisiologi Epilepsi, in : anonim (ed) PKB Neurologi, Surabaya, pp. 1-20.

Hartono, B. 2004, The Cognitive Problems and Learning Disabilities in Epilepsy, in : anonim (ed) Pertemuan Nasional 1 Epilepsi PERDOSSI, Semarang, pp. 194-200.

Merrick dan Bernstam, F., Pollock, R.E. 2005, Neurology, in : Brunicardi, F Charles et al. (eds) Schwartzs Principles of Surgery, 8th ed, McGraw Hill, New York, pp.249-294.

Holmes GL.Epilepsi and other seizure disorders. Dalam: Bruce O.Berg, Ed. Principles of child neurology; edisi ke-1. New York: McGraw-Hill, 1996; 221-33.

Duchowny M. Febrile seizures in childhood. Dalam: Elaine W, Ed. The treatment of epilepsy : principle & Practice; edisi ke-2. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 622-8.

Nelson K, Ellenberg JH. Predictors of epilepsy in children who have experience febrile seizure. N Eng J Med 1976; 259:1029-33.

Pui C H, Crist W M. Epilepsy. In: Rudolf A M. Rudolfs Pediatrics. 19th ed. International edition: Appleton Lange, 1991

Kliegman R.M. Nelson Essentials of Pediatrics. 5th ed. China: Elsevier Saunders, 2005. p 737-40

Suraatmaja S., Soetjiningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Denpasar: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/ RSUP Sanglah, 2000.