epilepsi

20
Pendahuluan Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulny serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Episode dari gerakn tak terkontrol, kehilangan kesadaran, sensasi aneh, emosi dan sikap, tatapan kosong untuk beberapa detik atu spasme otot hebat. Secara klinis, epilepsy merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron korteks cerebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang merupkan epilepsy. Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara cepat dapat terdengar keteriakan akibat spasme toraks atau spasme abnormal yang menyebabkan eprilasi kuat. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu, fase kronik berupa kontraksi dan relaksasi kelompok otot-otot yang berlawanan sehingga menimbulkan gerakan yang tersentak-sentak, kontraksi sedikit demi sedikit berkurang krontraksinya tetapi tidak kukuatannya: lidah dapat tergigit, seperti yang terjadi pada sekitar separuh dari penderitaan kejang (spasme rahang dan lidah). serangan itu berlangsung sekitar 3 – 5 menit kemudian diikuti dengan periode tidak

description

neuro

Transcript of epilepsi

Page 1: epilepsi

Pendahuluan

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri

timbulny serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak

secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Episode dari gerakn tak

terkontrol, kehilangan kesadaran, sensasi aneh, emosi dan sikap, tatapan kosong untuk

beberapa detik atu spasme otot hebat.

Secara klinis, epilepsy merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron

korteks cerebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau

sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara

kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang merupkan epilepsy.

Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara cepat dapat

terdengar keteriakan akibat spasme toraks atau spasme abnormal yang menyebabkan eprilasi

kuat. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu, fase kronik

berupa kontraksi dan relaksasi kelompok otot-otot yang berlawanan sehingga menimbulkan

gerakan yang tersentak-sentak, kontraksi sedikit demi sedikit berkurang krontraksinya tetapi

tidak kukuatannya: lidah dapat tergigit, seperti yang terjadi pada sekitar separuh dari

penderitaan kejang (spasme rahang dan lidah). serangan itu berlangsung sekitar 3 – 5 menit

kemudian diikuti dengan periode tidak sadar yang berlangsung selama beberapa menit

sampai sekitar setengah jam, kemudian sadar kembali tampak bingung, stupor atau bodoh,

biasanya tidak dapat mengingat serangan yang telah dialaminya.

Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi dapat dibedakan sebagai sintomatik dan idiopatik:

1.Epilepsi sintomatik

Page 2: epilepsi

Epilepsi sintomatik (sekunder) dapat disebabkan oleh faktor intracranial, seperti

infeksi. Misalnya meningitis, engselparitis, neurolsifilis, akses tuberculosis, trauma, misalnya

saat lahir atau cidera kepala lesi faskuler, degenerasi serebral, tumor, atau disebabkan oleh

faktor ekstralfranial, seperti anoksia, racun, misalnya alcohol, etil klorida, timah, kokain,

gangguan metabolic, misalnya uremia, alkolosis, gagal hati, hipoglikimia, penghentian

pengobatan misalnya, hipnotik, opiate. Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat

adanya kelainan pada jaringan otak, kelainan ini dapat disebabkan karena bawaan sejak lahir

atau adanya jaringan perut sebagai akibat kerusakan otak pada sewaktu lahir atau pada masa

pekembangan anak, cidera kepala (cidera selama atau sebelum kelahiran), gangguan

metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikimia, feniltonuria, defisiensi vitamin B6), faktor-

faktor toksik (putus alcohol, uremia), ensel falitis anoksia, gangguan sirkulasi dan

neoplasma.1

2.Epilepsi idiopatik

Epilepsi dikatakan idiopatik (primer) bila tidak ada penyebabnya perlu diingat bahwa

otak yang hidup mempunyai kapasitas menimbulkan serangan kejang jika stimulusnya cukup,

adanya orang mengalami serangan secara spontan tanpa stimulus pemicu, sedangkan orang

lain dipengaruhi stimulus, seperti gerakan cahaya, minuman alkohol berlebihan atau sangat

kelelahan atau memerlukan shock elektro konvulsif, baru timbul kejang.1

Jenis epilepsi idiopatik terbagi tiga:

1.Serangan tonik-klonik

Serangan ini didahului dengan masa ketegangan yang meningkat, hilang kesadaran,

jatuh ke tanah dalam keadaan kaku, kemudian sadar kembali dalam keadaan 5 – 15 menit,

bingung sekitar 15 menit dan dapat langsung tidur lelap.

2.Serangan abses sederhana

Page 3: epilepsi

Serangan ini hanya terjadi pada anak yang mengalami sekitar 10 – 15 detik saat

mereka menatap lurus kedepan, kadang berkedip-kedip atau menongok. Kemudian kembali

pada aktivitas sebelumnya.

3.Serangan mioklonik

Serangan berupa kedutan satu tungkai atau semua tungkai, paling jelas jam pertama

setelah bangun atau satu jam setelah tidur.

Pada kejang primer lepas muatan listrik terjadi pada struktur yang dalam di garis

tengah otak, seperti pada thalamus dan batang otak. Pada kejang ini tidak terdapat aura, dan

tidak terdapat gejala vocal selama kejang. Sebagai contoh kejang primer adalah petit mall

(sekarang dikenal sebagai absens) dan grand mall idiopatik pada anak. Kejang epilepsy grand

mall (saat ini dikenal sebagai kejang tonik klonik) merupakan kejang motorik utama yang

melibatkan segenap anggota gerak. Jenis kejang ini dapat terlihat sebagai kejang vocal dan

menyebar ke arah sentral dan mengalami generalisasi yang menyebabkan Kedua hemisfer

atau dapat dimulai sebagai kejang umum. 2

Epilepsi primer secara umum terbagi tiga, yaitu:

1. Bangkitan tonik klonik (epilepsi grand mall), yaitu jenis bangkitan yang paling dramatis,

terjadi pada 10% populasi epilepsy.

2. Bangkitan lena (epilepsi petit mall) yaitu terjadi secara mendadak dan juga hilang secara

mendadak (10 – 45 detik), namun dikendali atas postur masih baik, tidak jatuh, biasanya

disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang), maka berkedip gerakan-gerakan

ekstremitas berkurang, gerakan mengunyah.

3. Bangkitan klonik (mio klonik), yaitu berupa kontraksi otot sebagian/ seluruh tubuh yang

terjadi secara cepat dan mendadak.

Yang ditanyakan pertama seputar gejala yang timbul, seperti kapan mulai terjadi serangan, stimulus

yang sering menyebabkan kejang, ada tidaknya aura, dan juga seberapa parah akibat kejang dengan

respons fisik dan psikologis pasien tersebut setelah terjadinya serangan kejang. Selain itu perlu

ditanyakan apakah ada riwayat epilepsi yang berulang.

Page 4: epilepsi

Kemudian perlu ditanyakan juga faktor – faktor yang memungkinkan terjadinya serangan epilepsi.

Apakah sebelumnya pernah mengalami trauma kepala, penyakit sistemik, penyakit metabolik,

penyakit infeksi, ataupun keracunan. Selain itu apa penanganan setelah terjadinya kejang, serta

apakah sudah pergi ke dokter untuk penanganan lebih lanjut atau belum.

Riwayat penggunaan obat juga perlu ditanyakan, seperti pemakaian obat – obat antikonvulsi,

antipiretik, dan sebagainya. Apakah ada riwayat putus obat, ataupun gagal dalam pengobatan yang

sudah berjalan.2,3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua

sebaiknya dilakukan auskultasi di daerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.

Pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh

karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti

sinkop kardiovaskular.

Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti café au

lait spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis. Ash leaf spots, shahgreen patches, subungual

fibromas, adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port - wine stain (capilarry hemangioma) pada

Sturge – Weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan di lidah yang bisa terjadi pada

waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh

akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena

pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat terlihat oleh karena

pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik

dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia,

gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi

struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena

efek toksis dari obat antiepilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin

terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dismorphisme dan gangguan belajar mungkin ada

kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat

diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya

kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan

kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.4

Page 5: epilepsi

Pemeriksaan Penunjang

Aktivitas listrik korteks memilki voltase yang sangat rendah. Aktivitas listrik ini dapat

diperkuat dan direkam oleh elektroensefalograf. EEG harus digunakan bersamaan dengan evaluasi

klinis yang cermat. Sekitar 10% pasien kejang memperlihatkan gambaran EEG yang normal. Bahkan

setelah pemeriksaan EEG berulang, hampir 20% dari antaranya masih menunjukkan gambaran yang

normal. Gambaran EEG normal sering dijumpai pada anak dengan kejang tonik klonik. Selain itu

rekaman abnormal pun belum tentu bersifat diagnostik. Pada sebagian pasien digunakan teknik

pengaktivan tertentu, seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip – kedip, untuk memicu

munculnya pola listrik yang abnormal.

Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video EEG secara simultan, yang

mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam dengan radiotelemetri. Elektroda

ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri yang dipasang di kepala pasien. Rekaman EEG

digunakan untuk mengidentifikasi daerah – daerah otak yang terlibat dalam lepasnya muatan

abnormal, dan data ini dikorelasikan dengan rekaman video. Pemeriksaan ini juga mencakup

pencitraan saraf dengan CT scan dan MRI untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal.1

Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat

mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukosa,

kalsium, magnesium, urea nitrogen darah, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan

petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila

dicurigai adanya penyalahgunaan obat – obatan.4

Diagnosis Kerja

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan skenario, laki – laki tersebut mengalami kejang tonik klonik.

Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila secara umum pasien sudah harus mengalami minimal dua kali

serangan kejang.1

Diagnosis Banding

Page 6: epilepsi

Diagnosis banding yang dipertimbangkan adalah epilepsi dengan jenis yang lain, antara lain

kejang tonik, kejang klonik, dan kejang mioklonik. Semuanya akan di bahas lebih lanjut pada bagian

gejala klinis.

Sedangkan diagnosis banding yang lain lebih didasarkan kepada adanya kehilangan

kesadaran, seperti sinkop, penyakit serebrovaskular (TIA, stenosis a. carotis, iskemia vertebrobasilar),

curah jantung yang rendah (aritmia jantung, stenosis aorta, kardiomiopati), hipoglikemia.5

Gejala Klinik

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh

atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi

parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).

Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini

bergantung pada lokasi fokus kejang di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks

motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks

sensorik, maka pasien mengalami gejala –gejala sensorik termasuk rasa baal, sensasi seperti ada yang

merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik,

karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan,

kemerahan, berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan déjà vu adalah contoh gejala

psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral

disertai hilangnya kesadaran.

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dulu dikenal sebagai kejang psikomotor

atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan

melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta prilaku

motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya, berkedip-kedip, atau rangsangan

lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involuntar yang terkoordinasi yang dikenal

sebagai perilaku otomatis. Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda,

bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin

mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi

umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi

kejang generalisata.

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon dan serta ditandai

dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi dikedua hemisfer tanpa tanda-

tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan

Page 7: epilepsi

sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih

dahulu.

Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara

singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba

menghentikan pembicaraan, manatap kosong atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin

mengalami satu atau dua kejang dalam sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir

selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin

menghilang saat pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik.

Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grandmal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang

tonik klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara mengangis

akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi

berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau

keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh

mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-

kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-

gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah.

Lidah mungkin tergigit, hal ini mungkin terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan

lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang

mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar, pasien mungkin

tampak kebingungan, agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.

Umumnya pasien tidak dapat memngingat kejadian kejangnya.

Efek fisiologik kejang tonik klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik

yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologic dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini

disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlangsung lebih dari 15

menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat.

Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan napas.

Kejang tonik memperlihatkan peningkatan mendadak tonus otot wajah dan tubuh bagian atas,

fleksi lengan dan ekstensi tungkai (menjadi kaku, kontraksi), mata dan kepala mungkin berputar ke

satu sisi, serta dapat menyebabkan henti napas.

Pada kejang klonik, terlihat adanya gerakan yang menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan

tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso.

Pada kejang mioklonik ditandai oleh kontraksi yang mirip dengan syok mendadak yang

terbatas pada beberapa otot tertentu atau tungkai, dan cenderung singkat.

Page 8: epilepsi

Sedangkan kejang atonik memperlihatkan hilangnya tonus otot secara mendadak, yang

disertai dengan lenyapnya postur tubuh (drop attacks).1

Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang

atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian

bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan

korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenic. Sedangkan lesi di serebelum dan batang

otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, dan termasuk

beberapa hal berikut:1

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

Neuron – neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun

dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

Kelainan polarisasi (hiperpolarisasi, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-

aminobutirat (GABA).

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam – basa atau elektrolit,

yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada

depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan

berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan – perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan

oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan

metabolik secara drastis meningkat. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan

glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di jaringan serebrospinalis selama dan setelah kejang. Asam

glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.1

Etiologi

Page 9: epilepsi

Epilepsi dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya sebagai tipe idiopatik atau

simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral.

Epilepsi idiopatik seringkali menunjukkan predisposisi genetik, dan merupakan sebagian besar dari

penderita epilepsi. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang

mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai penyakit yang mungkin menyebabkan

epilepsi sekunder antara lain cedera kepala, gangguan metabolik dan gizi, faktor toksik, ensefalitis,

hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan neoplasma.1,6

Epidemiologi

Data mengenai insidensi kejang memperkirakan bahwa sekitar 10% orang akan mengalami

paling sedikit satu kali kejang selama hidupnya, dan sekitar 0.3% - 0.5% akan didiagnosis menderita

epilepsi. Berdasarkan laporan – laporan klinis, insidensi epilepsi lebih sering terjadi pada laki – laki

dibandingkan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola yang konsisten berupa

angka kejadian tertinggi pada tahun pertama kehidupan dan kaum lansia (> 60 tahun). Lebih dari 75%

pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun, dan apabila kejadian kejang

tejadi diatas 20 tahun, biasanya sekunder.1

Sekitar 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20 – 50 pasien baru

terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian akibat epilepsi per tahunnya adalah

2 per 100.000. Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi

serangkaian kejang yang tidak terkontrol, atau terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma.

Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi diasumsikan berhubungan dengan

aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.6

Penatalaksanaan

Medikamentosa

Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran

kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi cenderung lebih bersifat membatasi proses penyebaran

kejang daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian, secara umum ada dua mekanisme kerja,

yaitu peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi

konduksi ion Na, Ca, K, dan Cl, atau aktivitas neurotransmitter.7

1. Golongan Hidantoin

Page 10: epilepsi

Obat golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi, yaitu fenitoin (difenilhidantoin),

mefenitoin, dan etotoin, dengan fenitoin sebagai prototipe.

Fenitoin semulanya merupakan obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali epilepsi

absence. Kemudian sesuai perkembangannya, fenitoin mulai tergeser penggunaannya dengan

valproate dan lamotrigin yang profil keamanannya lebih baik. Yang menjadi perhatian adalah fenitoin

bersifat teratogenik.

Fenitoin memiliki efek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat antikonvulsi

fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.

Fenitoin mempengaruhi beberapa sistem fisiologik, khususnya konduktans ion – ion neuron, potensial

membran, dan neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA.

Untuk pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 300

– 400 mg, maksimum 600 mg sehari.

2. Golongan Barbiturat

Barbiturat memiliki efek hipnotik-sedatif, sekaligus efektif untuk obat antikonvulsi. Barbiturat yang

digunakan biasanya adalah barbiturat long acting. Fenobarbital merupakan prototipe barbiturat yang

memiliki efek antiepilepsi.

Fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan

bangkitan, serta menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi

pilihan karena cukup efektif, murah, dan dosis efektifnya relatif rendah. Fenobarbital merupakan obat

pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak.

Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah dua kali 120 – 250 mg sehari. Dosis anak 30 – 100 mg

sehari.

Primidon merupakan antikonvulsi yang mirip dengan fenobarbital, namun lebih efektif daripada

fenobarbital terutama untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik klonik. Primidon sendiri efektif

untuk semua bentuk epilepsi, kecuali bangkitan lena.7

3. Golongan Suksinimid

Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah etosuksimid, metsuksimid, dan

fensuksimid. Etosuksimid adalah yang paling efektif dibandingkan dua obat lainnya. Etosuksinid

merupakan obat paling selektif terhadap epilepsi tipe absence. Tetapi etosuksinid ini tidak dipasarkan

di Indonesia.7

4. Karbamazepin

Page 11: epilepsi

Karbamazepin efektif terhadap epilepsi parsial kompleks dan kejang tonik klonik. Saat ini di Amerika

Serikat, karbamazepin merupakan antiepilepsi utama untuk mengatasi bangkitan lena. Dosis awal

dewasa yang dianjurkan 2 kali 200 mg sehari pertama, selanjutnya ditingkatkan secara bertahap.

Dosis pemeliharaan antara 800 – 1200 mg sehari untuk dewasa.7

5. Golongan Benzodiazepin

Obat – obat golongan benzodiazepin selain sebagai antiansietas, sebagian juga memiliki efek

antikonvulsi, khususnya untuk epilepsi. Diazepam merupakan prototipe benzodiazepin.

Diazepam biasanya digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini

juga bermanfaat untuk bangkitan parsial sederhana. Diazepam juga efektif pada bangkitan lena,

karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik.

Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa, dapat disuntikkan diazepam IV 0.2

mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu

15 – 20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20 – 30 mg.7

6. Asam Valproat

Valproat ini terutama untuk terapi epilepsi tonik klonik umum, terutama yang primer, dan kurang

efektif terhadap epilepsi fokal. Valproat efektif terhadap epilepsi umum, yakni bangkitan lena yang

disertai dengan kejang tonik klonik. Terapi dimulai dengan dosis 3 kali 200 mg/hari. Jika perlu,

setelah 3 hari dosis dinaikkan menjadi 3 kali 400 mg/hari.7

Nonmedikamentosa

Dahulu, diet dan pembedahan juga merupakan pengobatan untuk kejang, dan metode –

metode ini hingga kini terkadang masih digunakan. Diet ketogenik popular pada tahun 1920-an.

Variasi dari diet ketogenik, diet trigliserida rantai sedang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an.

Diet rendah karbohidrat tinggi lemak mengubah kimia tubuh dengan menghasilkan keton. Keadaan

asidosis yang terjadi tampaknya memiliki efek antikejang pada sebagian anak dengan kejang

mioklonik.

Sekitar 20% – 30% pasien dengan kejang refrakter terhadap penatalaksanaan medis. Sebagian

dari pasien ini merupakan kandidat untuk terapi bedah dalam usaha untuk lebih dapat mengendalikan

akivitas kejang, bahkan pada beberapa kasus dapat mengilangkan sama sekali. Pasien dengan

gangguan kejang parsial paling cocok untuk terapi bedah. Walaupun angka keberhasilan bervariasi,

namun 60% pasien mengalami eliminasi total atas kejangnya dan 20% pasien mengalami

Page 12: epilepsi

pengurangan frekuensi kejang. Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat jaringan otak sesedikit

mungkin, sehingga aktivitas kejang akan tereliminasi atau berkurang secara bermakna.

Prognosis

Enam tahun setelah ditegakkannya diagnosis epilepsi, 40% pasien akan sudah mengalami

keadaan bebas kejang selama 5 tahun. Prognosis yang relatif buruk dikaitkan dengan kombinasi

antara grand mal dengan jenis kejang yang lain.

Komplikasi

Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi.

Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita

penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh

kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti

epilepsi terhadap perkembangan janin.

Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian

kejang yang tidak terkontrol, atau terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian

mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang dan

kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.6

Pencegahan

Tindakan pencegahan terhadap epilepsi terutama mencegah terjadinya faktor risiko, antara lain:4

Mencegah trauma kepala

Penanganan bila terjadi kejang

Kontrol kehamilan

Imunisasi

Mengelola penyakit – penyakit metabolik dengan baik

Screening genetik

Kesimpulan

Page 13: epilepsi

Berdasarkan masalah yang ada dalam skenario, pria tersebut menderita kejang tonik klonik.

Page 14: epilepsi

Daftar Pustaka

1. Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi: konsep klinis proses – proses

penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC, 2012.

2. Dewanto G, Suwini WJ, Riyanto B, Taruna Y. Panduan praktis diagnosis dan tata

laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC, 2009.

3. Muttaqin A. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persarafan. Jakarta: Salemba Medika, 2008.

4. Sunaryo U. Diagnosis epilepsi. J Kedokt Wijaya Kusuma 2006 Jan; 1(1): 32-48.

5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Ed 6.

Jakarta: Erlangga, 2007.

6. Ginsberg L. Lecture notes: neurologi. Ed 8. Jakarta: Erlanga, 2008.

7. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Ed 5.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011.