epilepsi
description
Transcript of epilepsi
Pendahuluan
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulny serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Episode dari gerakn tak
terkontrol, kehilangan kesadaran, sensasi aneh, emosi dan sikap, tatapan kosong untuk
beberapa detik atu spasme otot hebat.
Secara klinis, epilepsy merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron
korteks cerebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau
sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara
kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang merupkan epilepsy.
Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara cepat dapat
terdengar keteriakan akibat spasme toraks atau spasme abnormal yang menyebabkan eprilasi
kuat. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu, fase kronik
berupa kontraksi dan relaksasi kelompok otot-otot yang berlawanan sehingga menimbulkan
gerakan yang tersentak-sentak, kontraksi sedikit demi sedikit berkurang krontraksinya tetapi
tidak kukuatannya: lidah dapat tergigit, seperti yang terjadi pada sekitar separuh dari
penderitaan kejang (spasme rahang dan lidah). serangan itu berlangsung sekitar 3 – 5 menit
kemudian diikuti dengan periode tidak sadar yang berlangsung selama beberapa menit
sampai sekitar setengah jam, kemudian sadar kembali tampak bingung, stupor atau bodoh,
biasanya tidak dapat mengingat serangan yang telah dialaminya.
Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi dapat dibedakan sebagai sintomatik dan idiopatik:
1.Epilepsi sintomatik
Epilepsi sintomatik (sekunder) dapat disebabkan oleh faktor intracranial, seperti
infeksi. Misalnya meningitis, engselparitis, neurolsifilis, akses tuberculosis, trauma, misalnya
saat lahir atau cidera kepala lesi faskuler, degenerasi serebral, tumor, atau disebabkan oleh
faktor ekstralfranial, seperti anoksia, racun, misalnya alcohol, etil klorida, timah, kokain,
gangguan metabolic, misalnya uremia, alkolosis, gagal hati, hipoglikimia, penghentian
pengobatan misalnya, hipnotik, opiate. Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat
adanya kelainan pada jaringan otak, kelainan ini dapat disebabkan karena bawaan sejak lahir
atau adanya jaringan perut sebagai akibat kerusakan otak pada sewaktu lahir atau pada masa
pekembangan anak, cidera kepala (cidera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikimia, feniltonuria, defisiensi vitamin B6), faktor-
faktor toksik (putus alcohol, uremia), ensel falitis anoksia, gangguan sirkulasi dan
neoplasma.1
2.Epilepsi idiopatik
Epilepsi dikatakan idiopatik (primer) bila tidak ada penyebabnya perlu diingat bahwa
otak yang hidup mempunyai kapasitas menimbulkan serangan kejang jika stimulusnya cukup,
adanya orang mengalami serangan secara spontan tanpa stimulus pemicu, sedangkan orang
lain dipengaruhi stimulus, seperti gerakan cahaya, minuman alkohol berlebihan atau sangat
kelelahan atau memerlukan shock elektro konvulsif, baru timbul kejang.1
Jenis epilepsi idiopatik terbagi tiga:
1.Serangan tonik-klonik
Serangan ini didahului dengan masa ketegangan yang meningkat, hilang kesadaran,
jatuh ke tanah dalam keadaan kaku, kemudian sadar kembali dalam keadaan 5 – 15 menit,
bingung sekitar 15 menit dan dapat langsung tidur lelap.
2.Serangan abses sederhana
Serangan ini hanya terjadi pada anak yang mengalami sekitar 10 – 15 detik saat
mereka menatap lurus kedepan, kadang berkedip-kedip atau menongok. Kemudian kembali
pada aktivitas sebelumnya.
3.Serangan mioklonik
Serangan berupa kedutan satu tungkai atau semua tungkai, paling jelas jam pertama
setelah bangun atau satu jam setelah tidur.
Pada kejang primer lepas muatan listrik terjadi pada struktur yang dalam di garis
tengah otak, seperti pada thalamus dan batang otak. Pada kejang ini tidak terdapat aura, dan
tidak terdapat gejala vocal selama kejang. Sebagai contoh kejang primer adalah petit mall
(sekarang dikenal sebagai absens) dan grand mall idiopatik pada anak. Kejang epilepsy grand
mall (saat ini dikenal sebagai kejang tonik klonik) merupakan kejang motorik utama yang
melibatkan segenap anggota gerak. Jenis kejang ini dapat terlihat sebagai kejang vocal dan
menyebar ke arah sentral dan mengalami generalisasi yang menyebabkan Kedua hemisfer
atau dapat dimulai sebagai kejang umum. 2
Epilepsi primer secara umum terbagi tiga, yaitu:
1. Bangkitan tonik klonik (epilepsi grand mall), yaitu jenis bangkitan yang paling dramatis,
terjadi pada 10% populasi epilepsy.
2. Bangkitan lena (epilepsi petit mall) yaitu terjadi secara mendadak dan juga hilang secara
mendadak (10 – 45 detik), namun dikendali atas postur masih baik, tidak jatuh, biasanya
disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang), maka berkedip gerakan-gerakan
ekstremitas berkurang, gerakan mengunyah.
3. Bangkitan klonik (mio klonik), yaitu berupa kontraksi otot sebagian/ seluruh tubuh yang
terjadi secara cepat dan mendadak.
Yang ditanyakan pertama seputar gejala yang timbul, seperti kapan mulai terjadi serangan, stimulus
yang sering menyebabkan kejang, ada tidaknya aura, dan juga seberapa parah akibat kejang dengan
respons fisik dan psikologis pasien tersebut setelah terjadinya serangan kejang. Selain itu perlu
ditanyakan apakah ada riwayat epilepsi yang berulang.
Kemudian perlu ditanyakan juga faktor – faktor yang memungkinkan terjadinya serangan epilepsi.
Apakah sebelumnya pernah mengalami trauma kepala, penyakit sistemik, penyakit metabolik,
penyakit infeksi, ataupun keracunan. Selain itu apa penanganan setelah terjadinya kejang, serta
apakah sudah pergi ke dokter untuk penanganan lebih lanjut atau belum.
Riwayat penggunaan obat juga perlu ditanyakan, seperti pemakaian obat – obat antikonvulsi,
antipiretik, dan sebagainya. Apakah ada riwayat putus obat, ataupun gagal dalam pengobatan yang
sudah berjalan.2,3
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua
sebaiknya dilakukan auskultasi di daerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
Pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh
karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti
sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti café au
lait spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis. Ash leaf spots, shahgreen patches, subungual
fibromas, adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port - wine stain (capilarry hemangioma) pada
Sturge – Weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan di lidah yang bisa terjadi pada
waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh
akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena
pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat terlihat oleh karena
pemberian fenobarbital jangka lama.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik
dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia,
gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi
struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena
efek toksis dari obat antiepilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin
terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dismorphisme dan gangguan belajar mungkin ada
kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan
kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.4
Pemeriksaan Penunjang
Aktivitas listrik korteks memilki voltase yang sangat rendah. Aktivitas listrik ini dapat
diperkuat dan direkam oleh elektroensefalograf. EEG harus digunakan bersamaan dengan evaluasi
klinis yang cermat. Sekitar 10% pasien kejang memperlihatkan gambaran EEG yang normal. Bahkan
setelah pemeriksaan EEG berulang, hampir 20% dari antaranya masih menunjukkan gambaran yang
normal. Gambaran EEG normal sering dijumpai pada anak dengan kejang tonik klonik. Selain itu
rekaman abnormal pun belum tentu bersifat diagnostik. Pada sebagian pasien digunakan teknik
pengaktivan tertentu, seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip – kedip, untuk memicu
munculnya pola listrik yang abnormal.
Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video EEG secara simultan, yang
mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam dengan radiotelemetri. Elektroda
ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri yang dipasang di kepala pasien. Rekaman EEG
digunakan untuk mengidentifikasi daerah – daerah otak yang terlibat dalam lepasnya muatan
abnormal, dan data ini dikorelasikan dengan rekaman video. Pemeriksaan ini juga mencakup
pencitraan saraf dengan CT scan dan MRI untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal.1
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukosa,
kalsium, magnesium, urea nitrogen darah, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya penyalahgunaan obat – obatan.4
Diagnosis Kerja
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan skenario, laki – laki tersebut mengalami kejang tonik klonik.
Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila secara umum pasien sudah harus mengalami minimal dua kali
serangan kejang.1
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dipertimbangkan adalah epilepsi dengan jenis yang lain, antara lain
kejang tonik, kejang klonik, dan kejang mioklonik. Semuanya akan di bahas lebih lanjut pada bagian
gejala klinis.
Sedangkan diagnosis banding yang lain lebih didasarkan kepada adanya kehilangan
kesadaran, seperti sinkop, penyakit serebrovaskular (TIA, stenosis a. carotis, iskemia vertebrobasilar),
curah jantung yang rendah (aritmia jantung, stenosis aorta, kardiomiopati), hipoglikemia.5
Gejala Klinik
Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh
atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi
parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini
bergantung pada lokasi fokus kejang di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks
motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks
sensorik, maka pasien mengalami gejala –gejala sensorik termasuk rasa baal, sensasi seperti ada yang
merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik,
karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan,
kemerahan, berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan déjà vu adalah contoh gejala
psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral
disertai hilangnya kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dulu dikenal sebagai kejang psikomotor
atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan
melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta prilaku
motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya, berkedip-kedip, atau rangsangan
lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involuntar yang terkoordinasi yang dikenal
sebagai perilaku otomatis. Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda,
bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin
mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi
umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi
kejang generalisata.
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon dan serta ditandai
dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi dikedua hemisfer tanpa tanda-
tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan
sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih
dahulu.
Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara
singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba
menghentikan pembicaraan, manatap kosong atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin
mengalami satu atau dua kejang dalam sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir
selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin
menghilang saat pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik.
Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grandmal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang
tonik klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara mengangis
akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi
berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau
keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-
kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-
gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah.
Lidah mungkin tergigit, hal ini mungkin terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan
lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang
mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar, pasien mungkin
tampak kebingungan, agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.
Umumnya pasien tidak dapat memngingat kejadian kejangnya.
Efek fisiologik kejang tonik klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik
yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologic dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini
disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlangsung lebih dari 15
menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat.
Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan napas.
Kejang tonik memperlihatkan peningkatan mendadak tonus otot wajah dan tubuh bagian atas,
fleksi lengan dan ekstensi tungkai (menjadi kaku, kontraksi), mata dan kepala mungkin berputar ke
satu sisi, serta dapat menyebabkan henti napas.
Pada kejang klonik, terlihat adanya gerakan yang menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso.
Pada kejang mioklonik ditandai oleh kontraksi yang mirip dengan syok mendadak yang
terbatas pada beberapa otot tertentu atau tungkai, dan cenderung singkat.
Sedangkan kejang atonik memperlihatkan hilangnya tonus otot secara mendadak, yang
disertai dengan lenyapnya postur tubuh (drop attacks).1
Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan
korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenic. Sedangkan lesi di serebelum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, dan termasuk
beberapa hal berikut:1
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron – neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (hiperpolarisasi, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam – basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan – perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan
metabolik secara drastis meningkat. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di jaringan serebrospinalis selama dan setelah kejang. Asam
glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.1
Etiologi
Epilepsi dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya sebagai tipe idiopatik atau
simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral.
Epilepsi idiopatik seringkali menunjukkan predisposisi genetik, dan merupakan sebagian besar dari
penderita epilepsi. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang
mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai penyakit yang mungkin menyebabkan
epilepsi sekunder antara lain cedera kepala, gangguan metabolik dan gizi, faktor toksik, ensefalitis,
hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan neoplasma.1,6
Epidemiologi
Data mengenai insidensi kejang memperkirakan bahwa sekitar 10% orang akan mengalami
paling sedikit satu kali kejang selama hidupnya, dan sekitar 0.3% - 0.5% akan didiagnosis menderita
epilepsi. Berdasarkan laporan – laporan klinis, insidensi epilepsi lebih sering terjadi pada laki – laki
dibandingkan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola yang konsisten berupa
angka kejadian tertinggi pada tahun pertama kehidupan dan kaum lansia (> 60 tahun). Lebih dari 75%
pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun, dan apabila kejadian kejang
tejadi diatas 20 tahun, biasanya sekunder.1
Sekitar 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20 – 50 pasien baru
terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian akibat epilepsi per tahunnya adalah
2 per 100.000. Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi
serangkaian kejang yang tidak terkontrol, atau terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma.
Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.6
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran
kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi cenderung lebih bersifat membatasi proses penyebaran
kejang daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian, secara umum ada dua mekanisme kerja,
yaitu peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi
konduksi ion Na, Ca, K, dan Cl, atau aktivitas neurotransmitter.7
1. Golongan Hidantoin
Obat golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi, yaitu fenitoin (difenilhidantoin),
mefenitoin, dan etotoin, dengan fenitoin sebagai prototipe.
Fenitoin semulanya merupakan obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali epilepsi
absence. Kemudian sesuai perkembangannya, fenitoin mulai tergeser penggunaannya dengan
valproate dan lamotrigin yang profil keamanannya lebih baik. Yang menjadi perhatian adalah fenitoin
bersifat teratogenik.
Fenitoin memiliki efek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat antikonvulsi
fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Fenitoin mempengaruhi beberapa sistem fisiologik, khususnya konduktans ion – ion neuron, potensial
membran, dan neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin, dan GABA.
Untuk pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 300
– 400 mg, maksimum 600 mg sehari.
2. Golongan Barbiturat
Barbiturat memiliki efek hipnotik-sedatif, sekaligus efektif untuk obat antikonvulsi. Barbiturat yang
digunakan biasanya adalah barbiturat long acting. Fenobarbital merupakan prototipe barbiturat yang
memiliki efek antiepilepsi.
Fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan, serta menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi
pilihan karena cukup efektif, murah, dan dosis efektifnya relatif rendah. Fenobarbital merupakan obat
pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak.
Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah dua kali 120 – 250 mg sehari. Dosis anak 30 – 100 mg
sehari.
Primidon merupakan antikonvulsi yang mirip dengan fenobarbital, namun lebih efektif daripada
fenobarbital terutama untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik klonik. Primidon sendiri efektif
untuk semua bentuk epilepsi, kecuali bangkitan lena.7
3. Golongan Suksinimid
Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah etosuksimid, metsuksimid, dan
fensuksimid. Etosuksimid adalah yang paling efektif dibandingkan dua obat lainnya. Etosuksinid
merupakan obat paling selektif terhadap epilepsi tipe absence. Tetapi etosuksinid ini tidak dipasarkan
di Indonesia.7
4. Karbamazepin
Karbamazepin efektif terhadap epilepsi parsial kompleks dan kejang tonik klonik. Saat ini di Amerika
Serikat, karbamazepin merupakan antiepilepsi utama untuk mengatasi bangkitan lena. Dosis awal
dewasa yang dianjurkan 2 kali 200 mg sehari pertama, selanjutnya ditingkatkan secara bertahap.
Dosis pemeliharaan antara 800 – 1200 mg sehari untuk dewasa.7
5. Golongan Benzodiazepin
Obat – obat golongan benzodiazepin selain sebagai antiansietas, sebagian juga memiliki efek
antikonvulsi, khususnya untuk epilepsi. Diazepam merupakan prototipe benzodiazepin.
Diazepam biasanya digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini
juga bermanfaat untuk bangkitan parsial sederhana. Diazepam juga efektif pada bangkitan lena,
karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik.
Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa, dapat disuntikkan diazepam IV 0.2
mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu
15 – 20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20 – 30 mg.7
6. Asam Valproat
Valproat ini terutama untuk terapi epilepsi tonik klonik umum, terutama yang primer, dan kurang
efektif terhadap epilepsi fokal. Valproat efektif terhadap epilepsi umum, yakni bangkitan lena yang
disertai dengan kejang tonik klonik. Terapi dimulai dengan dosis 3 kali 200 mg/hari. Jika perlu,
setelah 3 hari dosis dinaikkan menjadi 3 kali 400 mg/hari.7
Nonmedikamentosa
Dahulu, diet dan pembedahan juga merupakan pengobatan untuk kejang, dan metode –
metode ini hingga kini terkadang masih digunakan. Diet ketogenik popular pada tahun 1920-an.
Variasi dari diet ketogenik, diet trigliserida rantai sedang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an.
Diet rendah karbohidrat tinggi lemak mengubah kimia tubuh dengan menghasilkan keton. Keadaan
asidosis yang terjadi tampaknya memiliki efek antikejang pada sebagian anak dengan kejang
mioklonik.
Sekitar 20% – 30% pasien dengan kejang refrakter terhadap penatalaksanaan medis. Sebagian
dari pasien ini merupakan kandidat untuk terapi bedah dalam usaha untuk lebih dapat mengendalikan
akivitas kejang, bahkan pada beberapa kasus dapat mengilangkan sama sekali. Pasien dengan
gangguan kejang parsial paling cocok untuk terapi bedah. Walaupun angka keberhasilan bervariasi,
namun 60% pasien mengalami eliminasi total atas kejangnya dan 20% pasien mengalami
pengurangan frekuensi kejang. Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat jaringan otak sesedikit
mungkin, sehingga aktivitas kejang akan tereliminasi atau berkurang secara bermakna.
Prognosis
Enam tahun setelah ditegakkannya diagnosis epilepsi, 40% pasien akan sudah mengalami
keadaan bebas kejang selama 5 tahun. Prognosis yang relatif buruk dikaitkan dengan kombinasi
antara grand mal dengan jenis kejang yang lain.
Komplikasi
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi.
Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita
penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh
kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti
epilepsi terhadap perkembangan janin.
Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian
kejang yang tidak terkontrol, atau terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian
mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang dan
kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.6
Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap epilepsi terutama mencegah terjadinya faktor risiko, antara lain:4
Mencegah trauma kepala
Penanganan bila terjadi kejang
Kontrol kehamilan
Imunisasi
Mengelola penyakit – penyakit metabolik dengan baik
Screening genetik
Kesimpulan
Berdasarkan masalah yang ada dalam skenario, pria tersebut menderita kejang tonik klonik.
Daftar Pustaka
1. Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi: konsep klinis proses – proses
penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC, 2012.
2. Dewanto G, Suwini WJ, Riyanto B, Taruna Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC, 2009.
3. Muttaqin A. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika, 2008.
4. Sunaryo U. Diagnosis epilepsi. J Kedokt Wijaya Kusuma 2006 Jan; 1(1): 32-48.
5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Ed 6.
Jakarta: Erlangga, 2007.
6. Ginsberg L. Lecture notes: neurologi. Ed 8. Jakarta: Erlanga, 2008.
7. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Ed 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011.