Paper Epilepsi
-
Upload
otneil-k-keliat -
Category
Documents
-
view
97 -
download
13
description
Transcript of Paper Epilepsi
1
MAKALAH NEUROLOGI
DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN EPILEPSI
DISUSUN OLEH:
OTNEIL KARNIANTA KELIATNIM: 070100342
Pembimbing:
dr. Haflin S. H, Sp.S
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAFPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN2012
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani yang berarti Epilepsia yang harus
diambil, disita atau diserang. Salah serorang ilmuwan dari Yunani Hippokrates (460-377
SM) menyatakan bahwa penyebab dari epilepsi berasal dari otak. Ilmuwan lain dari
Yunani juga yaitu Galen (130-210 A.D) menyatakan bahwa bangkitan kejang pada
epilepsi sebagai gejala dari disfungsi intrakranial atau penyakit sistemik, disebabkan
oleh akumulasi lendir di sistem pembuluh darah. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai etiologi. ⁷
Selama Abad Pertengahan, epilepsi dianggap berhubungan dengan kekuatan
supranatural. Orang yang menderita epilepsi dianggap gila atau dirasuki setan, namun
pada abad ke 19, pemahaman tentang epilepsy yang berhubungan dengan supranatural
mulai ditinggalkan. Para dokter dari Calmeil membuat klasifikasi tentang serangan
epilepi pada tahun 1824. Ahli sarah John Hughlings Jackson juga telah menyatakan
klasifikasi epilepsi harus berdasarkan letak anatomis, proses fisiologis dan juga patologis.
John H. Jackson juga membuat perbedaan antara kejang parsial dan kejang umum
berdasarkan pengamatan klinis.
Electroenchepalography (EEG) yang diperkenalkan pada tahun 1929 oleh Jerman
Hans Berger sangat membantu kemajuan ulmu pengetahuan tentang patogenesis dari
epilepsi. Meskipun pada masa sekarang ilmu pengetahuan dan alat-alat pemeriksaan telah
mengalami kemajuan pesat, insiden epilepsi tetap terjadi.³ ¹º
Menurut WHO terdapat 50 juta orang diseluruh dunia menderita epilepsi, dan 85%
diantarang berada di negara berkembang, dan juga ditemui sekitar 2-4 juta kasus epilepsi
setiap tahunnya. Rata-rata prevalensi epilepsi di seluruh dunia mencapai 8,2 per 1000
penduduk. Sedankan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70
kasus per 100.000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
3
menurun pada usia dewasa muda nda pertengahan kemudian meningkat lagi pada
kelompok usia lanjut.
Oleh karena itu saat ini telah berkembang terapi untuk para penderita epilepsi. Tujuan
utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien sesuai
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis merasa tertarik untuk mengetahui secara
mendalam tentang diagnosis dan penatalaksanaan epilepsi.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis epilepsi
2. Untuk memahami tentang diagnosis dan penatalaksanaan epilepsi untuk
diaplikasikan dimasa yang akan datang.
3. Memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUP H. Adam Malik Medan
1.3 Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini antara lain adalah;
1. Memperkokoh landasan teori di bidang Ilmu Penyakit Syaraf khususnya tentang
epilepsi.
2. Sebagai bahan informasi bagi penulis dan juga pembaca untuk mendalami
berbagai topik tentang epilepsi.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten, yang
disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismalm dan disebabkan oleh berbagai etiologi.
2.2. Etiologi
Idiopatik: Penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik⁷
Kriptogenik: Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahu, termasuk
adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus. ⁷
Simtomatik: Disebabkan oleh kelainan / lesi pada SSP, misalnya cedera kepala,
infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksis
(alcohol, obat), metabolik, kelainan neuro-degeneratif. ⁷
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi:
1. Berkaitan dengan letak fokus
1.1. Idiopatik (primer)
1.1.1 Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna )
1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
1.1.3 Primary reading epilepsy
1.2. Simtomatik (sekunder)
1.2.1 Lobus temporalis
5
1.2.2 Lobus frontalis
1.2.3 Lobus parietalis
1.2.4 Lobus oksipitalis
1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua
1.3. Kriptogenik
2. Umum
2.1. Idiopatik (primer)
2.1.1 Kejang neonatus familial benigna
2.1.2 Kejang neonatus benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi absans pada anak
2.1.5 Epilepsi absans pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi tonik kionik dengan serangan acak
2.2. Kriptogenik atau simtomatik
2.2.1 Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)
2.2.2 Sindroma Lennox Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi absans miokionik
2.3. Simtomatik
2.3.1 Etiologi non spesifik
- Ensefalopati miokionik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolism
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
6
- Epilepsi miokionik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Epilepsi berkaitan dengan situasi
4.1 Kejang demarn
4.2 Berkaitan dengan alkohol
4.3 Berkaitan dengan obat-obatan
4.4 Eklamsi
4.5 Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
2.4. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. ⁹
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara
tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron
yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan
listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam
serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi
otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi. ⁹
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terbagi dalam 3 hal yaitu⁹:
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
7
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan
maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di
otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada
penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada..
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat
terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi
ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (
gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik
( Glutamat ) berlebihan. ⁹
8
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi
bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
2.5. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu⁷:
1. Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsy atau bukan epilepsi
2. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana.
3. Langkah ketiga : tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau epilepsy apa yang diderita oleh pasien.
Anamnesis (auto dan alo-anamnesis) ⁷
o Pola / bentuk bangkitan
o Lama bangkitan
o Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
o Frekuensi bangkitan
o Faktor pencetus
o Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
o Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi anak
o Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
9
Pemeriksaan fisik umum dan nerologik⁷
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsy, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital, gangguan neurologic
fokal difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang dan kanker.
Pemeriksaan penunjang
o Electroenchepalography (EEG) ²
EEG merupakan salh sati pemeriksaan penunjang yang membantu dalam
diagnosis dan klasifikasi epilepsi. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada sat
bangunm tidurm dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu
sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks)
Sebuah gambaran EEG normal tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi.
Kelainan EEG pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada
pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 69-77%.²
Bila EEG pertama normal sedangkan kecurigaan epilepsi sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur, atau dengan
menghentikan obat anti-epilepsi.
Indikasi pemeriksaan EEG:
Membantu menegakkan diagnosis epilepsy
Menentukan prognosis pada kasus tertentu
Pertimbangan dalam penghentian OAE
Membantu dalam menentukan letak focus
Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.
10
Gambar 1. Gambaran EEG normal
Gambar 2. Gambaran EEG abnormal saat bangkitan kejang.
11
Pemeriksaan Pencitraan otak (brain imaging)
Pemeriksaan pencitraan otak mendeteksi lesi pada 21-37 % dari pasien
dengan diagnosa epilepsi
Indikasi:
Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan
structural
Adanya perubahan bentuk bangkitan
Terdapat deficit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
Untuk persuapan tindakan pembedahan epilepsi
Contoh Pemeriksaan pencitraan otak antara lain Magnetic Resonance
Imaging (MRI), dan Computed Tomography (CT Scan).
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan dengan epilepsi dengan
sensitivitas tinggi. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi
yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.
Computed Tomography (CT Scan)
CT Scan memiliki peran dalam penilaian kejang dalam kasus-kasus
gawat darurat, atau ketika ada kontraindikasi dilakukan MRI,
missalnya pasien memiliki alat pacu jantung, tetapi CT Scan memiliki
tingkat spesifitas yang lebih rendah dibandingkan MRI.
o Pemeriksaan Laboratorium
Darah : pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, elektrolit,
kadar gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), dan fungsi ginjal
(Ureum, Kreatinin).
Cairan Serebrospinal : Bila dicurigai ada infeksi SSP
12
2.6. Diagnosis Banding⁷
Sinkope, dapat bersifat vasovagal attack, kardiogenik, hipovolumik, hipotens dan
sinkope saat miksi
Transient Ischemic Attack
Vertigo
Transient global amnesia
Narkolepsi
Bangkitan panic, psikogenik
Sindrom Menier
Tics
2.7. Gambaran Klinik⁷
1. Bentuk bangkintan
Bangkitan umum lena
Gangguan kesadaran mendadak berlangsung beberapa detik
Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa
reaksi
Mata memandang jauh ke depan
Mungkin terdapat automatisme
Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaaan bingung
Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
Bangkitan umum tonik-klonik
Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik,
diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase
klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa.
Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak
bingung
Pasein sering tidur setelah bangkitan selesai
Bangkitan parsial sederhana
Tidak terjadi perubahan kesadaran
13
Bangkitan dimulai dari lengan, tungkai atau muka (unilateral/fokal)
kemudian menyebar pada sisi yang sama
Kepala mungkin berpaling kea rah bagian tubuh yang mengalami
kejang
Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
Sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti mengunyah,
menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas.
Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami
kejang (adversif)
Bangkitan umum sekunder
Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks dalam
waktu singkat menjadi bangkitan umum.
Bangkitan parsial dapat berupa aura
Bangkita umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik.
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip terapi epilepsi⁸:
Pemilihan obat : Disesuaikan dengan keadaan klini, efek samping, interaksi antar-
OAE (Obat anti epilepsi) , dan harga obat⁸
Strategi pengobatan : Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat hasil yang optimal
dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak
teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
Konseling: Beritahukan kepada keliarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka
lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang
untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat
atau dosis harus sepengetahuan dokter.
Tindak lanjut : Periksa pasien secara berkala dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodic pada beberapa
OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin.
Penanganan jangka panjang: Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun
14
Penghentian pengobatan: Dilakukan secara bertahap. Jika pengehentian pengobatan
dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat
mencetuskan bangkitan atau bahkan bangkitan status epileptikus. Jika bangkitan
timbul selama atau sesudah penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
OAE mulai diberikan bila⁷:
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua kali bangkitan dalam setahun
o Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
o Pasien dan/atau keluarganya telah dibertahu tentang kemungkinan efek
samping.
Jenis-jenis obat anti epilepsi dan mekanisme kerjanya.
Tabel 1. Mekanisme Kerja dan tempat ekskresi OAE¹ ¹
Obat Mekanisme Kerja Ekskresi
Karbamazepin Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja
juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin
>95% hati
Fenitoin Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan
kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage
dependent
>90% hati
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan
eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium,
kalium dan kalsium
75% hati
25% ginjal
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan
ambang konduktan kalsium dan kalium
>95% hati
Levetiracetam Tidak diketahuiu Cairan tubuh
Gabapentin Modulasi calcium channel tipe N 100% ginjal
Lamotrigin Blok konduktan natrium yang voltage dependent 85% hati
Okskarbazepin Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel kalsium
45% hati
45% ginjal
15
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influx GABA-
Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABA,
bekerja pada reseptro AMPA
90% hati
Zonisamid Blok sodirum, potassioum, calcium channels, inhibisi
eksitasi glutamat
>90% hati
Tabel.2 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan.
Tipe Bangkitan OAE Lini pertama OAE Lini ke dua OAE Lini ke tiga
Lena VPA
LTG
ESM LEV
ZNS
Mioklonik VPA TPM
LEV
ZNS
LTG
CLB
CZP
PB
Tonik klonik VPA
CBZ
PHT
PB
LTG
OXC
TPM
LEV
ZMX
PRM
Atonik VPA LTG
TPM
FBM
Parsial CBZ
PHT
PB
OXC
LTG
TPM
GBP
VPA
LEV
ZNS
PGB
TGB
VGB
FBM
PRM
Tidak
terklasifikasikan
VPA LTG TPM
LEV
ZNS
16
Keteragan: CBZ: Carbamazepine, CLB: Clobazam, CLZ: Clonazepam, ESM: Ethosuximide,
FBM: Felbarnate, GBP: Gabapentin, LEV: Levetiracetam, LTG: Lamotrigine, OXC:
Oxcarbazepine, PB: Phenobarbital, PGB: Pregabalin, PHT: Phenitoin, PRM: Pirimidon,
TGB: Tiagabine, TPM: Topiramate, VGB: Vigabirin, VPA: Sodium valproate,
ZNS:Zonisamide.
Tabel 3. Dosis OAE untuk orang dewasa.¹³ ¹
OAE Dosis
Awal
(mg/hari)
Dosis
Rumatan
(mg/hari)
Jumlah
dosis per
hari
Titrasi OAE Waktu
Paruh
Plasma
(Jam)
Waktu
tercapainya
Steady State
Karbamazepin 400-600 400-1600 2-3x Mulai 100/200
mg/hr ↑ sampai
target dalam 1-4
minggu
15-25 2-7
Fenitoin 200-300 500-400 1-2x Mulai 100mg/hr ↑
sampai target
dalam 3-7 hari
10-80 3-15
Asam
Valproat
500-1000 500-2500 2-3x Mulai 500 mg/hari
↑ bila perlu setelah
7 hari
12-18 2-4
Fenobarbital 50-100 50-200 1 Mulai 30-50mg
malam hari ↑ bila
perlu setelah 10-15
hari
50-170 8-30
Klonazepam 1 4 1or2 20-60 2-10
Klobazam 10 10-30 1-2x Mulai 10 mg/hr
bila perlu ↑ sampai
20mg/har setelah
1-2 minggu
10-30 2-6
Okskarbazepin 600-900 600-3000 2-3x Mulai 300mg/hr ↑
sampai target
8-15 2-4
17
dalam 1-3 minggu
Levetiracetam 1000-
2000
1000-
3000
2x Mulai 500/1000
mg/hr tiap 2
minggu
6-8 2
Topiramat 100 100-400 2x Mulai 25 mg.hr ↑
25-50 mg/hr tiap 2
minggu
20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x Mulai 300-900
mg.hr ↑ sampai 5-
10 hr
5-7 2
Lamotrigin 50-100 50-200 1-2x Mulai 25 mg/hr
selama 2 minggu ↑
sampai 50 mg/hr
selama 2 minggu,
↑ 50mg/2minggu
15-35 2-6
Efek Samping penggunaan OAE antara lain dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Efek Samping OAE ¹ ¹
Obat Efek Samping yang
mengancam jiwa
Efek samping minor
Karbamazepin Anemia aplastik,
hepatotoksisitas, Steven-
Johnson Syndrome.
Dizzines, ataksia, diplopia,
mual, kelelahan,
leucopenia,trombositopenia,
hiponatremia, ruam
Fenitoin Anemia aplastik, gangguan
fungsi hati, Steven Johnson
Syndrome
Hipertrofi gusi, hirsurtisme,
ataksia, nistagmus, diplopia,
ruam, anoreksia, mual
Fenobarbital Hepatotoksik, gangguan
jaringan ikat dan sumsum
tulang, Steven Johnson
Syndrom
Mengantuk, ataksia,
nistagmus, ruam kulit,
depresi, hiperaktif, gangguan
belajar.
Asam Valproat Hepatotoksisitas, Mual, muntah, rambut
18
hiperamonemia, leucopenia,
trombositopenia, pankreatitis
menipis, tremor, amnore,
konstipasi
Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala,
kelemahan, mengantuk,
gangguan perilaku
Gabapentin Belum diketahui Somnolen, kelelahan, ataksia,
, dizziness.
Lamotrigin Steven Johnson Syndrom,
gangguan hepar akut,
kegagalan multi-organ
Ruam, dizziness, tremor,
ataksia, diplopia, pandangan
kabur, nyeri kepala, mual,
muntah, insomnia
Okskarbazepin Ruam kulit Dizzines, ataksia, nyeri
kepala, mual, kelelahan,
hiponatremia
Topiramat Batu ginjal, hipohidrosis,
gangguan fungsi hati
Gangguan kognitif,
dizziness, ataksia, nyeri
kepala, kelelahan,, penurunan
berat badan, mual, parestesia,
glukoma
Zonisamid Batu ginjal, hipohidrosis,
anemia aplastik
Mual, nyeri kepala,
dizziness, kelelahan,
parestesia, ruam, gangguan
berbahasa.
Penghentian Pemberian OAE ¹¹ ¹²
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan
waktu yang lebih lama (5 tahun).
Syara umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal
2 tahun bebas bangkitan
Gambaran EEG normal
19
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari 1 OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama
2.9 Prognosis¹
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy akan sembuh,
dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat 20 - 30% mungkin akan berkembang
menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin sulit sehingga 5 % di antaranya akan
tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis
epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik dapat
menyebabkan prognosis yang buruk.¹
BAB 3
20
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia. Epilepsi berpotensi untuk
menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal yang secara keseluruhan dapat
menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi. Oleh karena itu perlu dilakukan
deteksi dini melalui anamneses, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosa epilepsi dan dilakukan pemberian OAE yang sesuai dengan jenis
epilepsi untuk meningkatkan taraf hidup pasien epilepsi dimasa yang akan datang.
3.2 Saran
Apabila ada kecurigaan terhadap pasien yang dicurigai menderita epilepsy, maka
segera lakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa, dan penanganan lebih lanjut bias
segera dilaksanakan. Aspek medikolegal epilepsy juga harus diperhatikan oleh para praktisi
kesehatan oleh karena kelalaian dan rekam medik yang kurang lengkap dapat mempersulit
proses penyembuhan pasien epilepsi, dan juga dapat menyebabkan dokter berurusan dengan
hukum.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikawati Zulies. Epilepsi. Availalble at URL http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/epilepsy.pdf (diakses 15 Maret 2012)
2. Scottush Intercollegiate Guidelines Networrk. Diagnosis and Management of
Epilepsy in Adults. 2003
3. Stokes T, Shaw EJ, Juarez-Garcia A, Camosso-Stefinovic J, Baker R. Clinical
Guidelines and Evidence Review for the Epilepsies: diagnosis and management in
adults and children in primary and secondary care London: Royal College of General
Practitioners. 2004
4. WHO. Epilepsy. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy/en/index.html
(diakses 14 Maret 2012)
5. The Commission on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for Revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981; 22:489-501
6. Brodie MJ, Dichter MA. Antiepileptic drugs. N Eng J Med. 1996;334:168-75
7. Kelompok Studi Epilepsi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Jakarta. 2008
8. Dewanto George, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Syaraf. Jakarta: ECG.
2007
9. Raharjo Tri Budi. Faktor-faktor Resiko Epilepsi Pada Anak Di bawah Usia 6 Tahun.
Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Syaraf Universitas Diponegoro.
Semarang 2007
10. Berendt M. Epilepsy. IVIS. New York. USA. 2004
22
11. Pellegrino TR. Seizures and Status Epilepticus in Adult. In Tintinali JE, Ruiz E,
Krome RL. Emergency. New York: Mc Graw Hill 1996
12. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Toronto. Blackwell Science Ltd.2000
13. Perucha E. General Principles of Medical Treatment. In Shorvon S, Perucha E, Fish
D, Dodson E. The treatment of Epilepsy 2nd ed. USA Blacwell Science. 2004; 139-
160
14. Walker MC. Shorvon SD. Emergency Treatment of Seizures and Status Epilepticus in
The Treatment of Epilepsy 2nd ed. Blackwell Science USA 2004; 227-43
15. Karen Ballaban-Gill, Jacqueline A. French. Selection of Antiepileptic Drugs.
Continuum, August 2004. Vol 10 Issue 4; 80-99
16. Roger J. Porter, David C. Overview: General approach to treatment, in: Engel J.
Pedley TA. Epilepsy : A comperehensive textbook. Lippincort raven, Philadelphia.
1997; 1101-6