Eko Terbaru

25
STUDY KEANEKARAGAMAN, KEMERATAAN, DAN KEKAYAAN SERANGGA MALAM DI KAWASAN HUTAN PANTAI TRIANGULASI NASIONAL ALAS PURWO BANYUWANGI Laporan KKL Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Praktikum Ekologi Dasar yang Dibina oleh Prof.hj.mimien henie irawati, M.S dan Drs. Ibroim, M.Si Oleh: Kelompok Off AA / 09 1. Fendy Hardian Permana () 2. Ikhwanul Azmi () 3. Atik Purwati () 4. Cahyani Ardilla () 5. Juwita Ayu Laksmi (209341420905) 6. Erna Wijayanti () UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Transcript of Eko Terbaru

Page 1: Eko Terbaru

STUDY KEANEKARAGAMAN, KEMERATAAN, DAN KEKAYAAN SERANGGA

MALAM DI KAWASAN HUTAN PANTAI TRIANGULASI NASIONAL ALAS PURWO

BANYUWANGI

Laporan KKL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Praktikum Ekologi Dasar

yang Dibina oleh Prof.hj.mimien henie irawati, M.S dan Drs. Ibroim, M.Si

Oleh:

Kelompok

Off AA / 09

1. Fendy Hardian Permana ()2. Ikhwanul Azmi ()3. Atik Purwati ()4. Cahyani Ardilla ()5. Juwita Ayu Laksmi (209341420905)6. Erna Wijayanti ()

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

April 2011

Page 2: Eko Terbaru

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Alas Purwo (atau biasa disingkat Alas Purwo) terletak di ujung

timur Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Bagi masyarakat

sekitar, nama alas purwo memiliki arti sebagai hutan pertama, atau hutan tertua di Pulau

Jawa. Taman nasional yang diresmikan melalui SK Menteri Kehutanan No. 283/Kpts-II/92

ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa.

Ketinggiannya berada pada kisaran 0—322 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan

topografi datar, bergelombang ringan, dengan puncak tertinggi di Gunung Lingga Manis

(322 meter dpl).

Berdasarkan ekosistemnya, tipe-tipe hutan di Taman Nasional Alas Purwo dapat

dibagi menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan tanaman, hutan

alam, dan padang penggembalaan (Feeding Ground). Jika diamati sekilas, dari luas lahan

sekitar 43.420 hektar, taman nasional ini didominasi oleh hutan bambu, yang menempati

areal sekitar 40 % dari seluruh area yang ada. Secara umum, keadaan tanah di taman ini

sebagian besar adalah tanah liat berpasir, sedangkan sebagian kecil lainnya berupa tanah

lempung. Curah hujan per tahun rata-rata berkisar antara 1.000—1.500 mm dengan

temperatur antara 27°-30° C, dan kelembaban udara antara 40—85 %. Biasanya, musim

kemarau terjadi pada bulan April sampai Oktober, sementara musim penghujan terjadi

sebaliknya, yaitu pada bulan Oktober.

Berdasarkan sebaran vegetasi tumbuhan yang ada di kawasan hutan pantai Taman

Nasional Alas Purwo ini dari tepi pantai ke arah daratan, vegetasi berubah dari vegetasi

mangrove menjadi vegetasi hutan heterogen. Fisiognomi vegetasinya memiliki kanopi yang

lebat sehingga cahaya matahari tidak sampai ke dasar hutan. Kondisi ini berpengaruh

terhadap hewan di dalamnya. Menurut Syafei (1990) hewan yang hidup di suatu daerah

(habitat) tertentu memiliki cara khas ynag bergantung pada spesies tumbuhannya.

Tentunya kita semua pasti tahu yang namanya serangga. Di Alas Purwo ini terdapat

banyak jenis serangga. Serangga adalah golongan hewan yang dominant di muka bumi

Page 3: Eko Terbaru

sekarang ini. Dalam jumlah, mereka melebihi semua hewan melata darat lainnya dan praktis

mereka terdapat dimana-mana. Serangga telah hidup di bumi kira-kira 350 juta tahun,

dibanding dengan manusia yang kurang dari 2 juta tahun (Borror, 1992). Menurut Ferb

(1989) dalam Irawan (1999), hutan mampu menampung kepadatan populasi serangga lebih

besar dibandingkan dengan hewan lain sehingga apabila dibandingkan antara massa

keseluruhan hewan lain maka massa serangga lebih besar. Menurut Widagdo (2002)

serangga malam merupakan hewan nokturnal yaitu hewan yang beraktivitas pada malam

hari dengan menggunakan sebagian besar hidupnya tanpa cahaya matahari. Untuk itu sudah

tentu serangga malam memiliki mekanisme tertentu untuk bisa bertahan hidup dan

berkembang biak.

Maka dari hal tersebut, tentunya kita akan merasa tertarik untuk mengamati jenis

serangga apa saja yang ada di Alas Purwo. Baik keanekaragamannya, kemerataannya, dan

kekayaannya. Adanya fenomena stratifikasi vegetasi hutan pantai yang berhubungan dengan

adanya keberadaan komunitas serangga menarik untuk dikaji dan diamati. Maka dalam

rangka pelaksanaan kegiatan KKL Ekologi Dasar diadakan observasi dengan judul

“Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai

Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo”.

1.2 Rumusan Masalah1. Jenis-Jenis Serangga Malam apa saja yang kita temukan di Hutan Pantai Taman Nasional

Alas Purwo Banyuwangi?2. Bagaimana Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam berdasarkan

waktu Pengambilan? 3. Bagaimana pola distribusi serangga malam yang ditemukan berdasarkan waktu

pengambilan?4. Bagaimana waktu aktif serangga malam yang ditemukan?5. Spesies apa yang mendominasi pada tiap jam pengamatan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jenis-jenis serangga malam yang ditemukan di Hutan Pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

2. Mengetahui Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam berdasarkan waktu Pengambilan

3. Mengetahui pola distribusi serangga malam yang ditemukan berdasarkan waktu pengambilan

Page 4: Eko Terbaru

4. Mengetahui waktu aktif serangga malam yang ditemukan5. Mengetahui Spesies yang mendominasi pada tiap jam pengamatan

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah PenelitianKegiatan Penelitian dan observasi ini hanya terbatas pada pengamatan serangga malam di

hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo. Baik keanekaragamannya, kemerataannya, kekayaannya

dan dominansi.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian yang kami lakukan diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memberikan informasi tentang jenis serangga malam yang terdapat di Pantai Triangulasi

Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

2. Sebagai media pengajaran keanekaragaman hewan invertebrata.

3. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan tentang serangga malam yang ada di hutan Alas

Purwo

Page 5: Eko Terbaru

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem hutan hujan

dataran rendah di Pulau Jawa. Tumbuhan khas dan endemik pada taman nasional ini yaitu sawo

kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya

adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), kepuh (Sterculia

foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu. Taman Nasional Alas Purwo

merupakan habitat dari beberapa satwa liar seperti lutung budeng (Trachypithecus auratus

auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), burung merak (Pavo

muticus), ayam hutan (Gallus gallus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera

pardus melas), dan kucing bakau (Prionailurus bengalensis javanensis). Satwa langka dan

dilindungi seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys

coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas) biasanya

sering mendarat di pantai Selatan taman nasional ini pada bulan Januari s/d September. (Anonim,

Serangga

Stuktur Luar Tubuh Serangga

Serangga (insecta) merupakan hewan yang hidupnya melimpah pada lingkungan

teresterial dan air tawar karena bersifat kosmopolitan. Beberapa di antaranya merupakan

serangga berbahaya., namun ada juga yang bermanfaat dalam mengontrol hama dan

penyerbukan tanaman. Beberapa jenis serangga merupakan pemakan tumbuhan dengan cara

memakan daun, menggerek dan mengebor dalam batang dan buah-buahan, membuat saluran

pada daun dan bunga, menyerang akar atau menyerang bagian-bagian bunga yang lain. Akan

tetapi ada juga jenis serangga yang bersifat karnivora, yaitu memangsa serangga lain yang

berukuran lebih kecil atau memakan sisa-sisa bangkai jenis serangga atau hewan lainnya

(Irawan, 1999).

Serangga tergolong filum Arthropoda, subfilum Mandibulata, dan kelas Insekta. Tubuh

serangga terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (torak), dan perut (abdomen). Pada

kepala terdapat alat-alat untuk memasukkan makanan atau mulut, mata majemuk (mata faset)

dan sepasang antena. Thoraks terdiri dari tiga ruas yang berturut-turut dari depan yaitu

prothoraks, mesothoraks dan metathoraks. Ketiga ruas thoraks tersebut pada hampir semua

serangga dewasa dan sebagian serangga muda memiliki tungkai. Sayap terdapat pada

Page 6: Eko Terbaru

mesothoraks jika satu pasang, dan terdapat pada metathoraks jika dua pasang. Abdomen

merupakan bagian tubuh yang hanya sedikit mengalami perubahan, berisi antaranya adalah alat

pencernaan. Tidak seperti vertebrata serangga tidak memiliki kerangka dalam. Tubuh serangga

ditopang oleh pengerasan dinding tubuh melalui proses sklerotisasi yang berfungsi sebagai

kerangka luar (eksoskeleton). Dinding tubuh (integumen) serangga terdiri atas satu lapis

epidermis dan selaput dasar dan kutikula (Widagdo, 2002).

Kepala (caput) pada dasarnya tersusun atas 6 segmen yang berfusi. Pada kedua sisi

kepala terdapat sepasang mata majemuk berwarna hitam. Selain itu, terdapat pula sepasang

antenna yang bersifat mobile (bergerak-gerak).

Dada (thorax) terdiri atas tiga segmen, yaitu prothorax (anterior), mesothorax (tengah),

dan metathorax (posterior). Masing-masing bagian memiliki sepasang kaki yang beruas-ruas.

Pada serangga bersayap sepasang, pangkal sayap terletak pada mesothorax, sedangkan jika

sayapnya dua pasang maka pangkal sayap terletak pada metathorax (Irawan, 1999).

Perut (abdomen) merupakan bagian ketiga dan paling posterior dari tubuh serangga yang

strukturnya relatif sederhana dan di dalamnya terdapat organ-organ pencernaan. Menurut Ross

(1964) dalam Irawan (1999), abdomen serangga dewasa tidak memiliki kaki jalan sebagaimana

pada bagian kepala.

Serangga Malam

Menurut Odum (1993) serangga malam merupakan golongan hewan yang menghabiskan

sebagian besar hidupnya untuk beraktivitas pada malam hari. Sebagai hewan berdarah dingin

(poikilotermik) serangga memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap suhu yang rendah.

Borror, dkk (1992) menjelaskan bahwa beberapa serangga tahan hidup pada suhu-suhu yang

rendah ini menyimpan etilen glikol di dalam jaringan tubuh mereka untuk melindungi dari

pembekuan (Widagdo, 2002).

Aktivitas serangga malam dalam mencari makan pada malam hari sekaligus merupakan

mekanisme yang membantu dalam mempertahankan diri terhadap suhu rendah. Seperti

penjelasan Borror, dkk (1992) bahwa pada kebanyakan serangga, aksi urat-urat daging thoraks

dalam penerbangannya biasanya meningkatkan suhu tubuh serangga di atas suhu lingkungan

tersebut (Widagdo, 2002).

Page 7: Eko Terbaru

Habitat Serangga

Serangga ini bisa ditemukan pada hampir semua habitat, di atas dan di bawah tanah, di

daerah akuatik dan semi-akuatik (Borror, 1992 dalam Irawan, 1999). Intensitas cahaya matahari

sangat mempengaruhi aktivitas serangga. Ada beberapa serangga yang dalam melakukan

aktivitasnya membutuhkan cahaya yang sedikit dan ada yang terbang pada malam hari. Pada

umumnya, serangga yang melakukan aktivitas dengan cahaya yang sedikit akan lebih menyukai

daerah yang remang-remang, seperti di daerah dasar hutan yang tertutupi kanopi, di bawah batu,

dan lain-lain. Dari sini serangga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jenis serangga diurnal yang

terbang pada siang hari, dan serangga nocturnal yang terbang pada malam hari. Serangga

nocturnal aktivitas pada malam hari untuk menghindari terjadinya dehidrasi yang berlebihan

pada tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Soetjipto (1993) dalam Irawan (1999),

yaitu hewan seringkali mengatur aktivitas mereka untuk menghindari dehidrasi sehingga mereka

bergerak ke tempat terlindung atau aktif pada malam hari. Menurut Ferb (1980) dalam Irawan

(1999), terdapat tiga hal yang menunjang sukses hidup serangga dalam habitatnya.

Jenis-jenis Serangga yang Banyak Ditemukan di Indonesia

Menurut Jumar (2000) dalam Widagdo (2002), kelas Insekta terbagi menjadi dua sub

kelas yaitu Apterygota dan sub kelas Pterygota.

Sub kelas Apterygota memiliki ciri-ciri sebagi berikut:

a. Serangga primitif yang berukuran kecil.

b. Tidak memiliki sayap sejak nenek moyangnya.

c. Mempunyai struktur thoraks yang sederhana.

d. Pada abdomen terdapat satu pasang embelan atau lebih selain embelan alat kelamin.

e. Tidak mengalami metamorfosis.

sub kelas Pterygota adalah sebagi berikut:

a. Pada serangga dewasa prothoraks membesar atau termodifikasi untuk menunjang sayap.

b. Sayap serangga dewasa memiliki satu atau dua pasang sayap, kehilangan sayap pada proses

evolusinya.

c. Abdomen tanpa embelan kecuali embelan alat kelamin.

d. Mengalami metamorfosis.

Page 8: Eko Terbaru

Menurut Siwi (1991) dalam Widagdo (2002), ordo-ordo serangga adalah sebagai berikut:

a. Ordo Odonata

Ukuran tubuh sedang sampai besar, antena pendek dan kaku, abdomen panjang dan ramping.

Tipe alat penggigit pengunyah, sayap seperti selaput yang mempunyai banyak vena.

b. Ordo Orthoptera

Ukuran tubuh sedang sampai besar, ada yang bersayap dan tidak. Yang bersayap mempunyai

dua pasang sayap. Sayap depan panjang dan menyempit, banyak vena, menebal seperti kertas

parkamen. Alat mulut penggigit pengunyah.

c. Ordo Plecoptera

Warna tubuh pudar, tidak mengkilap ukuran tubuh sangat kecil, antena panjang. Ada yang

bersayap ada yang tidak, ada yang bersayap panjang dan ada pula yang pendek, sayap seperti

selaput. Tipe lalat mulut penggigit.

d. Ordo Dermaptera

Jantan mempunyai forcep yang kokoh dan kasar (bergerigi), betina lebih langsing dan

ramping. Tubuh pipih, berukuran kecil sampai sedang.

e. Ordo Isoptera

Sayap dua pasang, membraneus, sayap depan dan belakang mempunyai bentuk dan ukuran

yang sama, ada yang tidak bersayap. Alat mulut penggigit dan pengunyah.

f. Ordo Hemiptera

Tubuh pipih, ukuran sangat kecil sampai besar. Yang bersayap, pada bagian pangkal sayap

menebal sedangkan ujungnya membraneus.

g. Ordo Mecoptera

Tubuh ramping dengan ukuran kecil sampai sedang, kepala dengan muka panjang, alat mulut

penggigit dan memanjang kearah bawah berbentuk seperti parut.

h. Ordo Trichoptera

Ukuran tubuh kecil sampai sedang, sayap seperti selaput, agak berambut dan bersisik. Warna

suram, antena panjang dan ramping, alat mulut penggigit.

i. Ordo Lepidoptera

Sayap dua pasang tertutup buku dan sisik. Antena agak panjang, mulut pada larva bertipe

pengigit pengunyah dan pada dewasa penghisap.

j. Ordo Coleoptera

Page 9: Eko Terbaru

Sayap depan keras, tebal, menanduk yang berfungsi sebagai pelindung. Ukuran tubuhnya

0,5-125 mm. Sayap belakang membraneus dan melipat di bawah sayap depan. Alat mulut

menggigit dan habitatnya di berbagai ekosistem. Contohnya: Hydrophilus triangularis.

k. Ordo Hymenoptera

Tubuh berukuran 5-40 mm, sayap dua pasang yang seperti selaput. Sayap depan lebih besar,

antena 10 ruas, mulut penghisap. Habitatnya yang dewasa disegala habitat. Contohnya,

Formica sp.

Hutan Pantai

Taman Nasional Alas Purwo terletak di kecamatan Tegaldlimo kabupaten Banyuwangi

yang merupakan tempat konservasi flora dan fauna. Taman Nasional Alas Purwo mempunyai

luas 43.420 ha. Kawasan ini didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Menurut Syafei (1990)

hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik dataran rendah. Pada hutan ini hujan jatuh

sepanjang tahun, umumnya dengan satu bulan atau lebih dengan periode relatif kering. Suhu dan

laju penyinaran adalah tinggi dan sangat kecil adanya variasi musim (Irawan, 1999).

Hutan Mangrove

Menurut Nontji (1987) dalam Widagdo (2002) mangrove adalah tipe hutan yang khas,

terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Istilah mangrove digunakan sebagai pengganti istilah bakau. Hutan mangrove di Taman Nasional

Alas Purwo didominasi oleh genus Rhizopora dan Aricennia.

Hutan campuran

Hutan campuran di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh pohon yang selalu hijau

dan sangat tinggi. Hutan campuran daunnya berkecenderungan hijau tua dan rimbun. Teksturnya

yang berkulit kayu mampu melindungi dari suhu yang tinggi dan juga penyinaran yang

berlebihan (Syafei, 1990).

Keanekaragaman pohon di hutan campuran sangat tinggi. Menurut Anwar (1984) dalam

Irawan (1999) keanekaragaman yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya kandungan humus

pada tanah hutan campuran lebih rendah dari pada hutan yang beriklim sedang, curah hujan yang

lebih besar, cahaya matahari bersinar lebih lama.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman

Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman ada enam yang mana satu sama lain

tidak dapat dipisahkan. Faktor-faktor tersebut antara lain:

Page 10: Eko Terbaru

1. Faktor waktu

Dalam Irawan (1999) disebutkan bahwa waktu mempengaruhi kematangan suatu

komunitas. Selama perubahan waktu suatu organisme akan berkembang dan mengalami proses

keanekaragaman menjadi lebih baik. Ditambahkan lagi bahwa keanekaragaman ini merupakan

produk evolusi. Di daerah tropis organisme berkembang dan memiliki keanekaragaman lebih

tinggi dibandingkan dengan organisme di daerah kutub. Dan komunitas memiliki proses

keanekaragaman sepanjang waktu sehingga komunitas yang lebih tua memiliki banyak spesies

daripada komunitas yang muda.

2. Faktor heterogenitas spasial (ruang)

Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) relief atau topografi atau heterogenitas

makrospasial memiliki efek yang besar terhadap keanekaragaman spesies. Wilayah tropis

mempunyai kompleksitas lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini faktor fisik, komunitas

tumbuhan dan hewan sangat heterogen dan sangat cepat mengalami proses keanekaragaman

spesies. Di area yang memiliki relief topografi yang tinggi mengandung banyak habitat yang

berbeda sehingga berisi banyak spesies.

3. Faktor kompetisi

Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi mempengaruhi

kekayaan spesies yang digambarkan melalui hubungan relung antar spesies. Faktor ini sangat

penting dalam evolusi karena merupakan persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan

menjadi lebih terbatas dan makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah

tropis memiliki lebih banyak spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang

tinggi.

4. Faktor predasi

Predasi dan kompetisi sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies. Dalam

komunitas yang kompleks dan mendukung banyak spesies, interaksi yang dominan adalah

predasi, sedangkan dalam komunitas sederhana yang dominan adalah kompetisi. Keberadaan

predator dan parasit dapat menekan populasi mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah.

Adanya pengurangan kompetisi memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan

mendukung munculnya predator baru.

5. Faktor stabilitas lingkungan

Page 11: Eko Terbaru

Faktor ini menunjukkan bahwa semakin stabil parameter lingkungan maka spesies yang

ada semakin banyak. Adanya kombinasi faktor stabilitas dengan waktu dapat mempengaruhi

keanekaragaman.

6. Faktor produktivitas

Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) stabilitas dari produksi primer mempunyai

pengaruh utama terhadap keanekaragaman spesies dalam komunitas. Semakin besar

produktivitasnya maka keanekaragamannya juga semakin besar. Namun tidak selalu benar kalau

semakin rendah produktivitasnya maka keanekaragamannya juga semakin rendah. Ada

kemungkinan besar bahwa overlap bisa terjadi antar keenam faktor di atas.

Page 12: Eko Terbaru

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian jenis deskriptif dengan menggunakan suatu metode survei yang diatur secara sistematik, bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keanekaragaman serangga malam.

3.2. Populasi dan Sampel

3.3. Waktu dan Tempat

3.4. Prosedur Pengambilan Data

1. memasukkan sedikit air ke dalam flakon.

2. memasang jebakan bagi serangga malam, yaitu kain putih berbentuk limas segi empat yang

masing-masing sudutnya diikat pada pohon lalu ujungnya dilubangi dan dihubungkan

dengan flakon berisi air.

3. memasang lampu dop 25 watt di atas kain jebakan dan dop dilindungi dengan kertas

minyak yang disusun sehigga menyerupai bentukan kerucut.

4. pada jam 19.15, light-trap diletakkan dalam hutan kemudian dilakukan pengambilan

pertama serangga malam yang terjebak dalam flakon pada jam 20.15 WIB.

5. mengamati serangga malam yang terjebak light-trap dimulai dari jam 19.15-00.15 WIB.

Pengambilan serangga dilakukan setiap 1 jam sekali dan memberi label waktu pada tiap

flakon sebagai penanda.

6. memberi sedikit larutan formalin ke dalam masing-masing botol flakon agar specimen tidak

rusak dan tetap utuh.

7. membawa spesimen ke laboratorium Biologi untuk dilakukan pengamatan dan

pengidentifikasian lebih lanjut di bawah mikroskop stereo dengan menggunakan kunci

determinasi serangga.

8. melakukan kompilasi data serangga malam yang diperoleh dengan semua kelompok (20

kelompok) KKL Alas Purwo.

9. memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel data Light-trap.

Page 13: Eko Terbaru

3.5. Tabulasi Data

3.6. Metode Analisis DataUntuk mengetahui analisis kepadatan digunakan paremeter densitas relatif dan untuk

mengukur analisis kelimpahan digunakan dominansi relatif. Untuk mencari parameter

kepadatan relatif dan dimonansi relatif tersebut dengan cara pendekatan sebagai berikut:

Densitas absolut :

JumlahindividusuatujenisJumlahareayangberisijenisitu

Densitas relatif :

DensitasabsolutsuatujenisTotaldensitasabsolutseluruhnya X 100%

Dominansi absolut : Jumlah individu suatu jenis

Densitas relatif :

JumlahindividuduatujenisJumlahtotalindividu X 100%

Untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman pada tiap-tiap plot dilakukan

analisis secara deskriptif dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Parameter

keanekaragaman yang diukur meliputi:

1) Indeks keanekaragaman Shanon – Wiener

H’ = - Pi ln Pi

Keterangan: Pi = n/N

H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever

n: Jumlah masing-masing spesies

N : Jumlah total spesies dalam sampel

(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

2) Setelah memperoleh indeks keanekaragaman Shanon–Wiener, selanjutnya menghitung

nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:

E= H 'ln . S

Keterangan: E: Indeks kemerataan evennes

H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever

S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, …..)

∑ ¿ ¿∑ ¿

Page 14: Eko Terbaru

(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

3) Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indeks

Richness:

R= S−1ln . N

Keterangan: R : Indeks Richness

S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, …..)

N : Total individu dalam pengambilan sampel

(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

4) Untuk mengetahui dominansi suatu spesies dilakukan perhitungan nilai dominansi

sebagai berikut:

Keterangan: D : Dominansi spesies

n : Jumlah individu masing-masing spesies

N : Total individu dalam pengambilan sampel

(Odum, 1993 dalam Irawan, 1999)

Setelah semua penghitungan selesai, dibuat grafik yang menunjukkan keanekaragaman

( H’ ) dan kemerataan serangga malam ( E ).

D= nN

×100 %

Page 15: Eko Terbaru

BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA

Page 16: Eko Terbaru

BAB V PEMBAHASAN

1. Jenis-Jenis Seranga Malam Di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional

Alas Purwo Banyuwangi

Serangga malam yang ditemukan di hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi terdiri dari banyak spesies bervariasi antara lain Aedes solicitans, Aedes sp, Aedes stimulans, Agapostemon virescens, Allonemobius fasciatus, Amitermes tubiformans, Anelastes druryi, Anopheles sp, Anormenis septentrionalis, Anthopora occidentalis,Archichauliodes guttiferus, Arilus cristasus, Asaphes lucens, Bembix americanus, Caenotus inornatus, Catonia inpunctacta, Cephedepalotes depresus, Chironosus plumosus, Chrooptus bellragei stahl, Chrysops univittatus macquate, Cixius angutatus, Clioperta clio, Coleoptera sp., Colosoma scrutator, Conydalus cornitus, Cryooptul berfragel, Ctenicera noxia, Cyrboptus belfragei, Depressaria pastinacella, Dicerca lepida, Diesma cinerea, Diptera sp., Drosophila anannase, Drosophila sp., Dyspteris atortivaria, Empoascea mabae, Eupelmidae, Euphelmidae, Eurdmidae, Forficula auricularia, Heplalidae, Lepidoptera sp., Liburniela ornata, Lymantria dispar, Megaloptera, Melanoplus sanguinipes, Microlepidoptera, Mydas clavatus, Narvesus carolinensis, Neplomorpha perpsocdudes, Oecantus quadrimaculatus, Oecleus borealis, Oerantus quadrimaculatus, Oestrus ovis, Ogcodes sp, Oligostoma soundersii, Orfelia fultoni, Orthoptera, Ostrinia nubilalis, Panorpa helena, Parcoblatta pennsylvania, Philaenus spumarius, Philaenus sp., Phobocam pedisparis, Phobocamte disparis, Phryganea sp., Phryganea cinetea, Phygadeuon subfuscus, Phyllophaga portoricensis, Phyllopaga sp., Plantycentropus radiatus, Plecianebracia, Plecoptera, Poecilogonalos costalis, Ponera sp., Prionoxytus robiniae, Psilocephala aldichi coquillet, Pyspteris abortivaria, Rhysella nitida, Scuderia rucata, Simulium sp., Simulium nigrocoxum stone, Spilocalpys flafepicta, Stenopsis argenteomaculotus, Stratiomys laticepsloew, Symphoromyia artipes, Synanthedon exitiosa, Syrphus torvus, Tabanidae sulafrons, Tabanus lineola fabricius, Tetanocera vicina, Tettigidea lateralis, Thylozygus bifidus, Tiphia papilavara, Tracelus tabidus, Tragoxylon parallelopipadum, Trichoptera, Triepeolus lunatus, Xenophloea major, Zorotypus hubbardi

Page 17: Eko Terbaru

DAFTAR PUSTAKA

Irawan, K.F. 1999. Kelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam di Hutan Pantai Timur Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Borror, T. 1992. Pengeratan Pelajaran Serangga, terjemahan Soetiyono. Yogyakarta: UGM.

Soetjipto. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 18: Eko Terbaru

Widagdo, Kristian. 2002. Keanekaragaman Serangga Malam pada Berbagai Ketinggian di Gunung Arjuna. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

LAMPIRAN