Efek Tambahan DiquafosolTetrasodium pada Monoterapi Sodium Hyaluronate Pasien Dry Eye Syndrome

15
Evaluasi Klinis Efek Tambahan Diquafosol Tetrasodium Terhadap Monoterapi Sodium Hyaluronate pada Pasien dengan Dry Eye Syndrome: Studi Multisenter, Acak, Prospektif ABSTRAK Tujuan: Untuk menilai efek tambahan diquafosol tetrasodium terhadap monoterapi sodium hyaluronate pada pasien dengan dry eye syndrome. Metode: Studi ini mengevaluasi 64 mata dari 32 pasien (usia: 62.6 + 12.8 tahun (rata-rata + SD)) dimana terapi dengan sodium hyaluronate 0.1% tidak cukup responsif. Mata dengan acak diterapkan terhadap satu dari dua regimen pada setiap pasien: pemberian topikal sodium hyaluronate dan diquafosol tetrasodium pada satu mata, dan sodium hyaluronate pada mata lainnya. Sebelum terapi, serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, kami menentukan volume air mata, BUT (break up time) air mata, skor pewarnaan rose bengal dan fluorescein, gejala subyektif, dan efek merugikan. Hasil: Kami menemukan perbaikan pada BUT (P = 0.049, tes Dunnett), skor pewarnaan rose bengal dan fluorescein (P = 0.02), dan pada gejala subyektif (P = 0.004 untuk sensasi 1

description

Dry Eye Syndrome

Transcript of Efek Tambahan DiquafosolTetrasodium pada Monoterapi Sodium Hyaluronate Pasien Dry Eye Syndrome

Evaluasi Klinis Efek Tambahan Diquafosol Tetrasodium Terhadap Monoterapi Sodium Hyaluronate pada Pasien dengan Dry Eye Syndrome: Studi Multisenter, Acak, Prospektif

ABSTRAKTujuan: Untuk menilai efek tambahan diquafosol tetrasodium terhadap monoterapi sodium hyaluronate pada pasien dengan dry eye syndrome.Metode: Studi ini mengevaluasi 64 mata dari 32 pasien (usia: 62.6 + 12.8 tahun (rata-rata + SD)) dimana terapi dengan sodium hyaluronate 0.1% tidak cukup responsif. Mata dengan acak diterapkan terhadap satu dari dua regimen pada setiap pasien: pemberian topikal sodium hyaluronate dan diquafosol tetrasodium pada satu mata, dan sodium hyaluronate pada mata lainnya. Sebelum terapi, serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, kami menentukan volume air mata, BUT (break up time) air mata, skor pewarnaan rose bengal dan fluorescein, gejala subyektif, dan efek merugikan.Hasil: Kami menemukan perbaikan pada BUT (P = 0.049, tes Dunnett), skor pewarnaan rose bengal dan fluorescein (P = 0.02), dan pada gejala subyektif (P = 0.004 untuk sensasi mata kering, P = 0.02 untuk nyeri, dan P = 0.02 untuk sensasi benda asing) 4 minggu setelah terapi pada mata diquafosol. Di sisi lain, kami tidak menemukan perubahan signifikan pada parameter-parameter tersebut setelah terapi pada mata kontrol.Kesimpulan: Pada mata kering, dimana monoterapi sodium hyaluronate tidak cukup, diquafosol tetrasodium efektif dalam memperbaiki gejala obyektif dan subyektif, menunjukkan viabilitas sebagai opsi untuk terapi tambahan mata tersebut.

PENDAHULUANMata kering merupakan kelainan permukaan mata yang umum ditandai dengan kekeringan dan kerusakan pada permukaan mata, dengan estimasi prevalensi 5 30%, tergantung pada usia pasien. Hal ini berhubungan dengan penurunan produksi air mata dan abnormalitas profil lipid, protein, dan mucin. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan instabilitas air mata dengan kerusakan potensial pada permukaan mata, peningkatan osmolalitas air mata, dan merupakan penyebab utama rasa tidak nyaman pada mata. Terapi medis saat ini untuk pengelolaan mata kering meliputi suplementasi air mata, retensi, stimulasi, agen anti-inflamasi, dan strategi lingkungan. Pemberian topikal sodium hyaluronate telah terbukti memberikan perbaikan subyektif dan obyektif pada pasien dengan dry eye syndrome yang timbul dari Sjgren syndrome atau keratokonjuctivitis sicca, dan sehingga, pada prakteknya, ini sangat luas digunakan pada terapi pasien tersebut. Sodium hyaluronate juga telah dilaporkan memberikan proteksi epitel kornea yang lebih baik terhadap kekeringan dibandingkan hydroxyethylsellulose atau salin fosfat. Namun, terapi dengan sodium hyaluronate saja tidak cukup untuk memperbaiki gejala subyektif atau obyektif pada beberapa pasien mata kering di praktek klinis.Diquafosol tetrasodium ialah agonis reseptor purinergik P2Y2 yang mengaktivasi reseptor P2Y2 pada permukaan mata, menyebabkan rehidrasi melalui aktivasi mekanisme pompa cairan dari glandula lakrimalis accesosoria pada permukaan konjunctiva. Agonis P2Y2 juga merupakan musin sekretorik dan menstimulasi sekresi sel goblet musin mata. Saat ini, larutan mata baru ini telah tersedia komersial di Jepang untuk penggunaan klinis, dan menjanjikan terapi yang efektif untuk dry eye syndrome. Namun, demi pengetahuan kita, sejauh ini belum terdapat studi klinis mengenai efek tambahan diquafosol tetrasodium terhadap monoterapi sodium hyaluronate pada pasien dengan dry eye syndrome. Tujuan studi ini ialah untuk meneliti secara prospektif efek tambahan diquafosol tetrasodium pada mata kering dimana terapi solo dengan sodium hyaluronate tidak memperbaiki gejala-gejalanya.

BAHAN DAN METODEStudi prospektif ini berfokus pada 64 mata dari 32 pasien konsekutif (5 pria dan 27 wanita) dimana dry eye syndrome, disebabkan keratokonjunctivitis sicca atau Sjgren syndrome, didiagnosis oleh spesialis di 4 RS medis mayor (Kitasato University Hospital, Yamato Municipal Hospital, Ebina University Hospital, dan Kitasato Institute Medical Center Hospital), dan yang dengan terapi solo tetes mata sodium hyaluronate 0.1% (0.1% Hyalein Ophthalmic Solution, Santen Pharmaceuticals, Osaka, Jepang) 6 kali sehari tidak efektif. Minimum besar sampel 28 mata pada setiap kelompok diperlukan untuk memiliki kekuatan statistik 80% pada tingkat 5% untuk mendeteksi perbedaan 1 detik pada BUT antara kedua kelompok, saat SD rata-rata perbedaan ialah 1.8 detik. Dengan kemungkinan tingkat penarikan sebesar 10%, diperkirakan bahwa perekrutan yang diperlukan setidaknya 31 pasien. Rata-rata usia pasien (+SD) 62.6 + 12.8 tahun (kisaran usia, 31 80 tahun). Kriteria inklusinya sebagai berikut: usia > 20 tahun, kedua mata didiagnosis dengan dry eye syndrome, dan gejala subyektif dan obyektif (tes I Schirmer < 5 mm, BUT film air mata 3, atau skor rose bengal> 3, dan beberapa derajat ketidaknyamanan pasien subyektif) masih ada setelah terapi solo dengan sodium hyaluronate. Riwayat operasi mata apapun sebelumnya, trauma mata, penggunaan lensa kontak, oklusi atau diathermi punktus, atau penyakit mata berupa inflamasi aktif pada mata, dieksklusi dari studi. Studi ini disetujui oleh the Institusional Review Board di Kitasato University School of Medicine, dan mengikuti prinsip the Declaration of Helsinki. Informed consent diperoleh dari seluruh pasien.Mata dari setiap pasien dengan acak diterapkan terhadap satu dari dua regimen: pemberian topikal sodium hyaluronate dan diquafosol tetrasodium (3% Diquas ophthalmic solution, Santen Pharmaceuticals) 6 kali sehari pada satu mata, sebagai kelompok studi (kelompok diquafosol), dan pemberian topikal sodium hyaluronate 6 kali sehari pada mata sebelahnya, sebagai kelompok kontrol. pH dan osmolalitas larutan mata diquafosol antara 7.2 7.8, dan antara 286 315 mOsm, masing-masing. Sodium hyaluronate dan diquafosol tetrasodium sama-sama mengandung benzalkonium chloride sebagai pengawet. Sebelum terapi serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, kami menentukan hal-hal berikut pada kedua kelompok: volume air mata ditentukan dengan tes I Schirmer, BUT film air mata, skor fluorscein, skor rose bengal, efek merugikan, dan gejala subyektif (kecuali untuk 2 minggu setelah terapi). Volume air mata natural diukur menggunakan tes I Schirmer, dimana air mata yang diperoleh dengan kertas saring yang diletakkan pada bagian lateral fornix posterior mata diukur selama periode 5 menit tanpa tetes anestesi. Pengukuran BUT film air mata standar dilakukan. Setelah pewarna fluoroscein 1% diteteskan ke dalam kantung konjunctiva, interval antara kedipan komplit terakhir dan munculnya noda hitam kornea pertama pada film air mata yang diwarnai diukur sebanyak tiga kali dan rata-rata nilai pengukuran dihitung. Skor fluoroscein dinilai dengan cairan fluoroscein 1% menggunakan sistem scoring 0 9 yang dijelaskan oleh Shimmura, dkk. Pewarnaan kornea superior, mid-kornea, dan kornea inferior diberi derajat pada skala 0 (tidak ada pewarnaan) sampai 3 (pewarnaan kuat) menggunakan mikroskop slit-lamp. Skor rose bengal dinilai menggunakan sistem scoring 0 15. Pewarnaan konjunctiva bulbi nasal dan temporal, kornea superior, mid-kornea, dan kornea inferior diberi derajat pada skala 0 (tidak ada pewarnaan) sampai 3 (pewarnaan kuat). Gejala subyektif (asthenopia, discharge, epiphora, sensasi gatal, kemerahan, sensasi mata kering, nyeri, sensasi benda asing, penglihatan buram, kelopak mata berat, rasa tidak nyaman generalisata, dan photophobia) juga dinilai menggunakan skor intensitas gejala VAS (Visual Analogue Scale) pada skala 0 (tidak ada gejala) sampai 100 (intensitas maksimal). Kepatuhan dikonfirmasi dengan menghitung jumlah botol kosong yang dikumpulkan pada setiap kunjungan.Seluruh analisis statistik dilakukan menggunakan StatView versi 5.0 (SAS, Cary, NC, AS). Analisis satu jalur varians (ANOVA) digunakan untuk analisis waktu perubahan, dengan tes Dunnett untuk perbandingan multipel. Setelah distribusi normal data dikonfirmasi dengan tes Kolmogorov-Smirnov (P > 0.05), tes t berpasangan digunakan untuk analisis statistik untuk membandingkan data pra-pengobatan antara kedua kelompok, dan untuk membandingkan skor VAS pra- dan pasca-pengobatan. Kecuali dinyatakan lain, hasil dinyatakan sebagai rata-rata + SD, dan nilai P < 0.05 dianggap signifikan secara statistik.

HASILPopulasi PasienDemografis pra-operasi populasi studi dirangkum pada Tabel 1. Seluruh pasien berhasil menyelesaikan studi dan memenuhi syarat untuk analisis statistik. Sebelum terapi, tidak terdapat perbedaan signifikan pada volume air mata (P = 0.27, tes t berpasangan), BUT (P = 0.68), skor fluorescein (P = 0.25), skor rose bengal (P = 0.15), atau skor gejala subyektif (P = 0.06 untuk asthenopia, P = 0.84 untuk discharge, P = 0.06 untuk epiphora, P = 0.07 untuk sensasi gatal, P = 0.09 untuk kemerahan, P = 0.06 untuk sensasi mata kering, P = 0.06 untuk nyeri, P = 0.52 untuk sensasi benda asing, P = 0.31 untuk penglihatan buram, P = 0.46 untuk kelopak mata berat, P = 0.10 untuk rasa tidak nyaman generalisata, dan P = 0.60 untuk photophobia), antara kedua kelompok.

Volume Air Mata (Tes I Schirmer)Volume air mata (tes I Schirmer) ialah sebesar 7.4 + 5.2, 8.7 + 7.0, 7.8 + 4.2 mm, sebelum terapi serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing, pada kelompok diquafosol. Varians data tidak signifikan secara statistik (P = 0.67, ANOVA). Perbandingan multipel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.30, tes Dunnett) dan (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.56). Serupa pada kelompok kontrol, sebesar 8.9 + 8.0, 9.0 + 7.7, 8.0 + 5.4 mm sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing. Varians datanya tidak signifikan secara statistik (P = 0.83, ANOVA). Perbandingan multipel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan yang dibuat (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.65) dan (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.84) terapi.

Break-up Time (BUT)BUT film air mata sebesar 3.5 + 1.5, 4.5 + 1.9, 4.4 + 2.1 detik, sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing, pada kelompok diquafosol (Gambar 1). Varians datanya signifikan secara statistik (P = 0.045, ANOVA). Perbandingan multipel menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.03), (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.049). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, sebesar 3.6 + 1.7, 3.7 + 1.6, 4.1 + 1.7 detik, sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing (Gambar 1). Varians datanya tidak signifikan secara statistik (P = 0.38, ANOVA). Perbandingan multipel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.51) atau (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.15), terapi.

Skor Pewarnaan FluorosceinSkor pewarnaan fluoroscein sebesar 3.4 + 2.6, 2.0 + 1.8, 2.2 + 2.0, sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing, pada kelompok diquafosol (Gambar 2). Varians datanya signifikan secara statistik (P = 0.01, ANOVA). Perbandingan multipel menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.007) dan (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.02). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, sebesar 2.9 + 2.7, 2.3 + 2.4, 2.7 + 2.5, sebelum serta 2 dan 4 setelah terapi, masing-masing (Gambar 2). Varians datanya tidak signifikan secara statistik (P = 0.70, ANOVA). Perbandingan multipel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.32), atau (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.54), terapi.Skor Pewarnaan Rose BengalSkor pewarnaan rose bengal sebesar 2.8 + 2.2, 1.6 + 1.6, 1.8 + 1.6, sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing, pada kelompok diquafosol (Gambar 3). Varians datanya signifikan secara statistik (P = 0.02, ANOVA). Perbandingan multipel menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.009) dan (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.02), terapi. Sebaliknya, pada kelompok kontrol, sebesar 2.3 + 2.2, 2.4 + 2.1, 2.8 + 2.7, sebelum serta 2 dan 4 minggu setelah terapi, masing-masing (Gambar 3). Varians datanya tidak signifikan secara statistik (P = 0.60, ANOVA). Perbandingan multipel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran yang dibuat sebelum terapi dan (a) pada 2 minggu setelah (P = 0.75) atau (b) pada 4 minggu setelah (P = 0.93), terapi.

Gejala SubyektifPada kelompok diquafosol, kami menemukan perbaikan yang signifikan pada gejala subyektif, seperti sensasi mata kering (tes t berpasangan, P = 0.004), nyeri (P = 0.02), dan sensasi benda asing (P = 0.02), tetapi tidak terdapat perbaikan yang signifikan pada gejala subyektif lainnya (Gambar 4a). Sebaliknya, kami tidak menemukan perubahan yang signifikan pada gejala-gejala subyektif pada kelompok kontrol (Gambar 4b).

Efek MerugikanRasa terbakar dan pedas pada pemberian tetes mata terjadi pada satu mata (3.1%) pada kelompok diquafosol. Sebaliknya, tidak terdapat efek merugikan serius yang terlihat selama periode penelitian baik pada kelompok diquafosol maupun kontrol.

PEMBAHASANPada studi ini, hasil kami menunjukkan bahwa diquafosol tetrasodium tidak hanya efektif untuk perbaikan gejala obyektif, seperti BUT, skor fluoroscein, dan skor rose bengal, tetapi juga efektif untuk gejala subyektif, seperti sensasi mata kering, nyeri, dan sensasi benda asing, pada mata dimana sodium hyaluronate memiliki peran terbatas pada perbaikan gejala-gejala tersebut. Diquafosol tetrasodium mengaktivasi reseptor P2Y2 pada permukaan mata dan pada permukaan dalam kelopak mata, meningkatkan proses alami sekresi air mata.Stimulasi sekresi air mata dengan diquafosol menyebabkan pelepasan garam, air, mucin, dan komponen lain film air mata, yang menyebabkan hidrasi permukaan mata. Hasil kami juga menunjukkan bahwa efek merugikan tambahan terapi diquafosol serupa dengan terapi diquafosol solo, seperti rasa terbakar dan pedas pada saat penetesan, nyeri mata, dan injeksi, menunjukkan bahwa terapi kombinasi diquafosol dan hyaluronate tidak menginduksi efek merugikan baru, dan sehingga hal ini dapat ditoleransi dengan baik secara klinis dan bermanfaat untuk pasien mata kering dimana terapi solo dengan sodium hyaluronate tidak cukup. Kami menemukan perbaikan secara signifikan statistik pada gejala subyektif dan obyektif di studi ini; tetapi perbedaan sebelum dan setelah terapi tidaklah sangat baik. Oleh karena itu, signifikansi klinisnya harus diinterpretasikan dengan beberapa perhatian, dan kohort besar pasien diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan awal tersebut.Tujuan primer studi ini ialah untuk menentukan apakan terapi tambahan dengan diquafosol tetrasodium pada pasien yang telah menggunakan monoterapi sodium hyaluronate bermanfaat secara klinis saat terapi terakhir tidak adekuat, dan karena itu kami tidak menggunakan terapi pengencer pada kelompok kontrol. Meskipun efek tambahan diquafosol tertrasodium tetap belum terjawab, temuan kami mendukung pandangan bahwa terapi kombinasi diquafosol dan hyaluronate memperbaiki gejala subyektif dan obyektif untuk dry eye syndrome pada praktek klinis. Selain itu, penggunaan sumbat (punctal plug) ialah opsi terapi lain untuk pasien yang berespon buruk terhadap monoterapi dengan sodium hyaluronate. Namun, berbagai efek merugikan, seperti ekstrusi spontan, migrasi, granuloma pyogenik, pembentukan biofilm, dan ulserasi kornea perifer, telah dilaporkan setelah insersi sumbat tersebut. Juga terdapat beberapa pasien yang tidak berharap menjalani intervensi operasi. Oleh karenaa itu, kami meyakini bahwa penggunaan tambahan diquafosol tetrasodium dapat menjadi terapi alternatif untuk dry eye syndrome, khususnya untuk pasien yang tidak dapat melanjutkan penggunaan punctal plug karena efek merugikan, atau untuk mereka yang tidak berharap menjalani intervensi operasi.Terdapat dua keterbatasan studi ini. Pertama, kami menilai gejala subyektif pada setiap mata. Telah dinyatakan bahwa meringan atau memburuknya gejala pada satu mata dapat mempengaruhi penilaian pasien terhadap gejala pada mata lainnya. Kedua, meskipun tidak terdapat perbaikan signifikan dari gejala subyektif atau obyektif, kami meneliti kecenderungan perbaikan gejala-gejala tersebut pada mata di kelompok kontrol, menunjukkan bahwa kepatuhan tetes mata dapat menghasilkan efek yang bermanfaat pada gejala-gejala tersebut di beberapa pasien. Dengan demikian, kami tidak dapat menyangkal kemungkinan bahwa perbaikan signifikan gejala-gejala tersebut pada kelompok diquafosol disebabkan oleh efek tambahan diquafosol tetrasodium serta efek kepatuhan tetes mata. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi poin ini.Kesimpulannya, studi multisenter, acak, prospektif kami mengindikasikan bahwa diquafosol tetrasodium efektif untuk perbaikan gejala subyektif dan obyektif pada mata dimana sodium hyaluronate tidak adekuat pada pasien dengan dry eye syndrome. Selain itu, tidak terdapat efek merugikan serius dari diquafosol tetrasodium yang terjadi selama periode follow-up. Temuan tersebut menunjukkan bahwa terapi tambahan baru ini, yang tidak memerlukan intervensi operasi, dapat menjadi opsi terapi yang baik untuk pasien mata kering dimana sodium hyaluronate memiliki peran terbatas pada perbaikan gejala subyektif dan obyektif.9