EFEK T KLORHE TOKSIK EKSIDIN LARUTA N 2% TER MESE AN ...
Transcript of EFEK T KLORHE TOKSIK EKSIDIN LARUTA N 2% TER MESE AN ...
EFEK TKLORHE
TOKSIK EKSIDIN
FAPROGRAM
UNIVERS
LARUTAN 2% TER
MESE
Bunga C1
AKULTAS M SPESIAL
JNOV
SITAS INDO
AN NaOClRHADAP VENKIM PU
TESIS
Cahya Must1206309131
KEDOKTELIS ILMU KJAKARTAVEMBER 2
ONESIA
l 2.5%, EDVIABILITULPA
tikasari
ERAN GIGKONSERVA
014
DTA 17%,TAS SEL P
I ASI GIGI
, DAN PUNCA
EFEK TKLORHE
Diajukan s
TOKSIK EKSIDIN
sebagai sala
FAPROGRAM
UNIVERS
LARUTAN 2% TER
MESE
ah satu syaraIlmu K
Bunga C1
AKULTAS M SPESIAL
JNOV
SITAS INDO
AN NaOClRHADAP VENKIM PU
TESIS at untuk meKonservasi
Cahya Must1206309131
KEDOKTELIS ILMU KJAKARTAVEMBER 2
ONESIA
l 2.5%, EDVIABILITULPA
emperoleh gGigi
tikasari
ERAN GIGKONSERVA
014
DTA 17%,TAS SEL P
gelar Spesia
I ASI GIGI
, DAN PUNCA
alis dalam
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas segala limpahan karunia dan kuasa-Nya yang
tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
ini. Penulisan yang tertuang dalam tesis ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan Pendidikan Spesialis Ilmu Konservasi Gigi Universitas Indonesia.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,
bimbingan dan dukungan moril dari berbagai pihak, oleh karen itu ijinkan saya
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Pj. Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.
2. Dr. Yosi Kusuma Eriwati, drg., M.Si, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia, beserta jajarannya.
3. Dr. Corputty Johan E.M., drg., Sp. BM, selaku Wakil Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
4. Dr. Sri Lelyati, S. U., drg, Sp. Perio (K), selaku Manajer Pendidikan dan
Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
5. Dr. Endang Suprastiwi, drg., Sp. KG (K), selaku Ketua Departemen Ilmu
Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
6. Nilakesuma Djauhari, drg., MPH, Sp.KG (K), selaku Koordinator
Pendidikan Spesialis Departemen Ilmu Konservasi Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sekaligus dosen penguji yang
telah memberikan motivasi serta masukan yang sangat berharga.
7. Dr. Anggraini Margono, drg., Sp. KG (K), selaku pembimbing I yang
sejak awal pendidikan telah banyak meluangkan waktu, memberikan ide,
arahan serta semangat yang sangat berarti kepada penulis.
8. Kamizar, drg., Sp. KG (K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan dengan sangat teliti membimbing serta memberikan arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
v
9. Dr. Endang Suprastiwi, drg., Sp.KG (K), selaku dosen penguji yang telah
memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam
penulisan ini.
10. Daru Indrawati, drg., Sp.KG (K), selaku dosen penguji yang telah
memberikan bimbingan serta masukan yang sangat berharga dalam
penulisan ini.
11. Bambang Nursasongko, drg., Sp.KG (K), selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan yang sangat berharga dalam penulisan ini.
12. Seluruh staf pengajar Ilmu Konservasi Gigi yang telah memberikan ilmu
dan motivasi yang sangat berharga bagi penulis, kepada Prof. DR. Siti
Mardewi Soerono Akbar,drg., Sp. KG (K), Prof. Dr. Narlan Sumawinata,
drg., Sp. KG (K), Dr. Ratna Meidyawati, drg., Sp.KG (K), Gatot Sutrisno,
drg., Sp. KG (K) , Dini Asriani, drg., Sp. KG, Ike Dwi Maharti,drg., Sp.
KG, Aditya Wisnu Putranto,drg., Sp. KG, Shalina Ricardo, drg., Sp. KG.
13. Karyawan Departemen Ilmu Konservasi Gigi (Mas Erwin, Pak Yani,
Mbak Devi, Mbak Yuli, Mbak Minah), karyawan perpustakaan FKG UI
(Pak Yanto, Pak Asep, dan Pak Nuh), atas semua bantuan dan semangat
yang diberikan kepada penulis.
14. Ibu Silmi dan Mbak Iin dari Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata
Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian.
Rasa terimakasih tidak lupa saya haturkan untuk keluarga tercinta papa
Emung Mustopa, mama R. Atty Surachtina serta serta adik-adikku tersayang
Yasaka Rani Mustikaputri dan Bagus Patria Adiputra atas dukungannya yang tak
terbatas selama menempuh pendidikan dokter gigi spesialis ini.
Teman-teman seperjuangan PPDGS angkatan 2012, Arie Fitriana Sari,
Asri Mariani, Emiria Dita Prasanti, Feliana Dwi Atika, Fitri Reflan, Iffi Aprillia,
Mahardhika, Priscilla Arlyta Simanjuntak, Theresia Peggy Haryanti, Rininta
Aprilia, Shelvy Soetanto, Kurniawan dan Vika Hapsari yang telah bersama-sama
melewati pahit manis perjuangan dalam studi ini. Semoga pertemanan kita akan
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
vi
terus terjalin sepanjang masa, serta teman-teman PPDGS angkatan 2011 dan
2013.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, semoga semua bantuannya mendapatkan balasan kebaikan
dari Allah SWT. Akhirnya saya berharap agar penulisan tesis yang masih jauh
dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran gigi umumnya dan ilmu
konservasi gigi khususnya.
Jakarta, November 2014
Penulis
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
viii
ABSTRAK
Nama : Bunga Cahya Mustikasari
Program Studi : Konservasi Gigi
Judul : Efek Toksik Larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan
Klorheksidin 2% Terhadap Viabilitas Sel Punca Mesenkim
Pulpa
Latar Belakang: Salah satu kunci keberhasilan perawatan regenerasi endodontik adalah disinfeksi dari sistem saluran akar. Bahan irigasi bersifat bakterisid dan mampu mempertahankan kelangsungan hidup sel punca. Tujuan: Membandingkan efek toksik larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2% terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Metode: Kultur sel primer dari gigi molar ketiga imatur. Sel punca mesenkim pulpa dideteksi dengan marker STRO-1 menggunakan uji immunofluorescence. Sel dipaparkan dengan bahan uji dan viabilitas sel dihitung dengan uji MTT. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna viabilitas sel punca mesenkim pulpa ketiga larutan dibandingkan kontrol (p ≤ 0.05). Tidak terdapat perbedaan bermakna viabilitas sel antar larutan (p ≥ 0.05). Kesimpulan: Ketiga larutan memiliki efek toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Kata Kunci: Sel punca mesenkim pulpa, NaOCl 2.5%, EDTA 17%, CHX 2%, viabilitas sel.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
ix
ABSTRACT
Name : Bunga Cahya Mustikasari
Study Program : Konservasi Gigi
Title : The Toxic Effect of NaOCl 2.5%, EDTA 17%, and CHX 2%
Solutions on Viability of Dental Pulp Mesenchymal Stem Cells.
Background: One of the key to the success of regeneration endodontic treatment is the disinfection of the root canal system. Irrigation materials not only have bactericidal properties but also able to maintain the viability of stem cells. Objective: To compare the toxic effects of NaOCl 2.5%, EDTA 17%, and CHX 2% solutions on the viability of dental pulp mesenchymal stem cells. Methods: Primary cultures cells taken from immature third molars. Dental pulp mesenchymal stem cells was detected by STRO-1 marker using immunofluorescence assay. Cells were exposed to three solutions and cell viability was analyzed using the MTT assay. Results: There were significant differences from the viability of dental pulp mesenchymal stem cells of three solutions when compared with controls (p ≤ 0.05). There were no significant differences from cell viability when compared between solutions (p ≥ 0.05). Conclusion: All solutions have toxic effects on the viability of dental pulp mesenchymal stem cells. . Keywords: Dental Pulp Mesenchymal Stem Cell, NaOCl 2.5%, EDTA 17%, CHX 2%, Cell Viability.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... iHALAMAN ORISINALITAS ........................................................................ iiLEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iiiKATA PENGANTAR ..................................................................................... ivHALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................. viiABSTRAK ....................................................................................................... viiiABSTRACT ..................................................................................................... ixDAFTAR ISI .................................................................................................... xDAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiiDAFTAR TABEL ............................................................................................ xiiiDAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xivDAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvBAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4 1.2.1 Pertanyaan Penelitian Umum ........................................ 4 1.2.2 Pertanyaan Penelitian Khusus ....................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 5BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6 2.1 Regenerasi Endodontik ............................................................ 6 2.2 Rekayasa Jaringan .................................................................... 7 2.2.1 Sel Punca ...................................................................... 8 2.2.2 Growth Factor .............................................................. 13 2.2.3 Scaffold ......................................................................... 13 2.3 Macam-macam dan Mekanisme Kerja Berbagai Bahan
Irigasi .......................................................................................
14 2.3.1 Natrium Hipoklorit (NaOCl) ........................................ 15 2.3.2 Ethylenediamine Tetra-Acetic Acid (EDTA) ............... 17 2.3.3 Klorheksidin (CHX) ..................................................... 18 2.4 Efek Bahan Irigasi Terhadap Viabilitas Sel Punca .................. 21 2.5 Uji Immunofluorescence .......................................................... 22 2.6 Uji MTT ................................................................................... 24 2.7 Kerangka Teori ........................................................................ 25BAB 3 Kerangka Konsep dan Hipotesis ...................................................... 27 3.1 Kerangka Konsep ..................................................................... 27 3.2 Hipotesis .................................................................................. 27 3.2.1 Hipotesis Mayor ............................................................ 27 3.2.2 Hipotesis Minor ............................................................ 27BAB 4 Metode Penelitian ............................................................................. 28 4.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 28 4.2 Sampel Penelitian dan Bahan Uji ............................................ 28 4.3 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 28
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
xi
4.4 Variabel Penelitian ................................................................... 28 4.4.1 Variabel Bebas ............................................................. 28 4.4.2 Variabel Terikat ........................................................... 28 4.5 Definisi Operasional ................................................................ 29 4.6 Alat, Bahan, dan Cara Kerja .................................................... 31 4.6.1 Alat ............................................................................... 31 4.6.2 Bahan ............................................................................ 32 4.6.3 Cara Kerja .................................................................... 32 4.6.3.1 Persiapan Alat dan Bahan ............................. 32 4.6.3.2 Pembuatan Medium Kultur Lengkap
(dilakukan di dalam biohazard cabinet) .......
33 4.6.3.3 Kultur Sel Punca Mesenkim Pulpa ............... 33 4.6.3.4 Uji Immunofluorescence ............................... 34 4.6.3.5 Kultur Sel Dipapar dengan Bahan Irigasi ..... 34 4.6.3.6 Uji Viabilitas Sel dengan MTT Assay .......... 34 4.7 Alur Penelitian ............................................................. 35 4.8 Analisis Data ................................................................ 35BAB 5 Hasil Penelitian ................................................................................. 36BAB 6 Pembahasan ...................................................................................... 42BAB 7 Simpulan Dan Saran ......................................................................... 49 7.1 Simpulan .................................................................................. 49 7.2 Saran ........................................................................................ 49DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 50LAMPIRAN ..................................................................................................... 54
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema prosedur regenerasi endodontik ........................... 7Gambar 2.2 Tiga komponen utama dalam rekayasa jaringan .............. 8Gambar 2.3 Prinsip dari rekayasa jaringan menggunakan sel punca
gigi menghasilkan regenerasi tulang, saraf, dan jaringan lain yang berkaitan dengan gigi ....................................... 8
Gambar 2.4 Diferensiasi sel punca ...................................................... 9Gambar 2.5 Klasifikasi sel punca dewasa ........................................... 10Gambar 2.6 Skema yang menggambarkan sumber sel punca pada
rongga mulut .................................................................... 11Gambar 2.7 Klasifikasi bahan irigasi saluran akar .............................. 15Gambar 2.8 Skema reaksi saponifikasi ................................................ 16Gambar 2.9 Skema reaksi asam amino ................................................ 16Gambar 2.10 Skema reaksi kloraminasi ................................................ 17Gambar 2.11 Struktur kimia chlorhexidine gluconate ......................... 19Gambar 2.12 Mekanisme kerja CHX .................................................... 20Gambar 2.13 Skema dari immunofluorescence direk dan indirek ......... 23Gambar 2.14 Kerangka Teori ................................................................ 25Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................. 27Gambar 4.1 Alur Penelitian ................................................................. 35Gambar 5.1 Gambaran mikroskopis dari hasil uji
immunofluorescence ........................................................ 36Gambar 5.2 Gambaran mikroskopis sel kelompok kontrol dengan
medium pada 96-wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x ............................................ 37
Gambar 5.3 Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan NaOCl pada 96-wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x .............. 38
Gambar 5.4 Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan EDTA pada 96-wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x .............. 38
Gambar 5.5 Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan CHX pada 96-wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x ............................ 39
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Nilai rerata OD dan persentase viabilitas sel serta hasil uji kemaknaan nilai rerata OD antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan .................................................. 40
Tabel 5.2 Nilai kemaknaan optical density (OD) yang dipapari dengan larutan irigasi dibandingkan dengan kontrol. Nilai p ≤ 0.05 ................................................................... 40
Tabel 5.3 Nilai kemaknaan optical density (OD) antar larutan irigasi. Nilai p ≤ 0.05 ....................................................... 41
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
xiv
DAFTAR SINGKATAN
NaOCl : Natrium Hipoklorit EDTA : Ethylenediamine Tetra-Acetic Acid CHX : Klorheksidin TGPCs : Tooth Germ Progenitor Cells DFSCs : Dental Follicle Stem Cells SGSCs : Salivary Gland Stem Cells SCAP : Stem Cells of the Apical Papilla DPSCs : Dental Pulp Stem Cells iPAPCs : Inflamed Periapical Progenitor Cells SHED : Stem Cells From Human Exfoliated Deciduous Teeth PDLSCs : Periodontal Ligament Stem Cells BMSCs : Bone Marrow Stem Cells OESCs : Oral Epithelial Stem Cells GMSCs : Gingival Derived Mesenchymal Stem Cells PSCs : Periosteal Stem Cells PCA : Para-chloranaline MCJ : Morinda citrifolia IPA : Isopropyl Alcohol
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kultur Sel ......................................................................... 54Lampiran 2 Uji MTT ........................................................................ 56Lampiran 3 Nilai optical density (OD) ................................................ 57Lampiran 4 Analisis Statistik .............................................................. 57
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan akhir dari perawatan endodontik yang sesungguhnya adalah
kesembuhan secara biologis yaitu terjadinya proses regenerasi dari jaringan
pulpa.1 Namun penyembuhan perawatan endodontik konvensional pada saat ini
masih terbatas pada perbaikan jaringan (repair), sebagai contoh terbentuknya
jaringan parut.2 Prosedur perawatan endodontik konvensional yang dilakukan
berupa penggantian jaringan yang rusak dengan material sintetik biokompatibel
tetapi tidak mengembalikan fungsi biologis dan bentuk fisik yang menyerupai
jaringan sebelumnya.3
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
bidang biomolekuler, teknik rekayasa jaringan membuka era baru bagi regenerasi
jaringan tubuh manusia.4 Adapun rekayasa jaringan merupakan bidang perawatan
biomedis yang menitik beratkan pada perkembangan dan peningkatan prosedur
dari biomaterial pendukung untuk pembentukan jaringan baru dalam
menggantikan jaringan yang rusak berdasarkan prinsip biologi, biologi molekuler,
dan rekayasa biologis. Selama periode tahun 1993-2007, berbagai penelitian telah
dikembangkan dalam rekayasa jaringan di bidang endodontik. Regenerasi
endodontik merupakan prosedur biologis yang dilakukan untuk menggantikan
struktur yang rusak, seperti dentin, struktur akar, termasuk di dalamnya kompleks
dentin-pulpa. Konsep ini berbeda dengan konsep endodontik konvensional yang
menitik beratkan pada perbaikan jaringan (repair). Tujuan regenerasi endodontik
adalah menghasilkan jaringan baru yang secara anatomi maupun fungsi sama
dengan jaringan sebelumnya.5
Salah satu faktor penting yang berperan dalam teknik rekayasa jaringan
adalah sel punca karena sel ini memiliki kemampuan memperbaharui diri dan
mengalami diferensiasi membentuk jaringan baru sesuai dengan galurnya.
Berbagai penelitian menunjukkan adanya kemungkinan untuk mengisolasi sel
punca pulpa dengan menggunakan protokol yang sama dengan sel punca sumsum
1
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
2
Universitas Indonesia
tulang.3 Penelitian mengenai isolasi sel punca pulpa ini mengalami perkembangan
pesat terutama setelah Gronthos (2000) berhasil mengisolasi sel punca pulpa.6
Berbagai penelitian dalam regenerasi endodontik menunjukkan keberhasilan
dalam meregenerasi kompleks dentin-pulpa menggunakan teknik rekayasa
jaringan.7 Berbagai sumber dari sel punca postnatal telah diidentifikasi seperti sel
punca pulpa (DPSCs), stem cells from human exfoliating deciduous teeth (SHED),
dan sel punca papila apikal (SCAP). Sel-sel punca ini berasal dari mesenkim,
dapat mengalami diferensiasi menjadi berbagai tipe sel secara in vitro dan
memperlihatkan kemampuan multiplikasi yang baik. DPSCs merupakan jenis sel
punca gigi pertama yang diisolasi. Sumber sel juga dapat diperoleh dengan mudah
dari gigi orang dewasa ataupun gigi molar ketiga yang diekstraksi. Sel punca ini
memiliki morfologi yang menyerupai fibroblas. Berbagai penelitian menggunakan
kultur primer dari DPSCs. DPSCs memiliki kemampuan proliferasi yang tinggi
bahkan setelah dilakukan subkultur beberapa kali. Kultur DPSCs dengan berbagai
media memperlihatkan kemampuan diferensiasi dentinogenik, osteogenik,
adipogenik, neurogenik, kondrogenik, dan miogenik. DPSCs juga memiliki
kemampuan memperbaharui diri dan membentuk jaringan lir pulpa, sel lir
odontoblas, dentin ektopik seperti juga jaringan lir dentin reparatif dan jaringan lir
tulang. Gambaran karakteristik dan kemampuan diferensiasi tersebut
menunjukkan bahwa DPSCs memegang peranan penting dalam perawatan
regeneratif.8-10
Perawatan regenerasi endodontik pada mulanya dilakukan pada gigi
imatur dengan pulpa nekrosis. Dimana proses regenerasi ditandai dengan
revaskularisasi dan perkembangan pada ujung apeks. Sebelumnya, prosedur
perawatan pada gigi permanen imatur dilakukan dengan perawatan apeksifikasi
(Frank AL (1966) dan Steiner (1968)) dengan menggunakan kalsium hidroksida.
Akan tetapi, penelitian jangka pendek oleh Rosenberg dkk (2007) dan penelitian
jangka panjang oleh Andreason dkk (2002 dan 2006), penggunaan kalsium
hidroksida akan menurunkan kekuatan akar karena denaturasi kolagen. Ballesio
dkk dan Felippe dkk (2006) memperlihatkan apeksifikasi tidak seluruhnya
menghasilkan perkembangan akar dan dinding dentin yang tipis masih merupakan
permasalahan bagi klinisi. Oleh karena itu, terdapat pergeseran paradigma dari
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
3
Universitas Indonesia
apeksifikasi ke prosedur regenerasi.11 Beberapa penelitian menunjukkan
banyaknya keberhasilan dalam revaskularisasi jaringan pulpa pada prosedur
regenerasi endodontik. Prosedur perawatan dimulai dengan irigasi saluran akar,
instrumentasi minimal yang dilanjutkan disinfeksi dengan campuran antibiotik.
Tahapan selanjutnya adalah memicu pendarahan ke dalam ruang saluran akar
melalui overinstrumentasi. Dalam hal ini diharapkan bekuan darah akan berperan
sebagai scaffold dimana sel punca dari apical papilla terkumpul dalam bekuan
darah tersebut. Sebagai tambahan, growth factor dari platelet dan dinding dentin
membantu proses diferensiasi.12 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
keberhasilan prosedur regenerasi membutuhkan disinfeksi yang baik dari sistem
saluran akar.7
Disinfeksi saluran akar dapat dicapai melalui instrumentasi, irigasi saluran
akar dan penggunaan obat-obat saluran akar. Menurut Wu dkk (2003), di dalam
saluran akar oval, hanya 40% daerah dinding saluran akar apikal yang dapat
berkontak dengan instrumen ketika digunakan teknik instrumentasi putar. 13
Sedangkan menurut Desai dkk (2009), Brito dkk (2009) dan Howard dkk (2011),
sebagian besar daerah dinding saluran akar tidak terpreparasi melalui
instrumentasi, terutama pada daerah sepertiga apeks.14 Oleh karena, itu bahan
irigasi saluran akar sangat diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme,
debris, dan jaringan nekrotik lainnya. Bahan irigasi harus memiliki beberapa sifat
utama seperti, memiliki aktivitas antibakteri, melarutkan jaringan organik,
debridement dari saluran akar, namun tidak toksik terhadap jaringan periapeks.1, 15
Bahan irigasi yang banyak digunakan dalam regenerasi endodontik adalah
NaOCl dan EDTA. Bahan irigasi harus memiliki sifat bakterisid, akan tetapi harus
dapat mempertahankan kelangsungan hidup sel punca untuk mengoptimalkan
proses regenerasi.16 Beberapa penelitian telah membandingkan pengaruh berbagai
bahan irigasi ini terhadap viabilitas sel punca. Pada penelitian Trevino dkk (2011),
EDTA 17% memperlihatkan hasil yang baik dalam mempertahankan
kelangsungan hidup sel punca, sedangkan CHX 2% menunjukkan sifat toksik
terhadap sel punca dengan tidak adanya sel yang hidup, begitu pula dengan
NaOCl 6% yang dapat menurunkan jumlah sel punca yang hidup. Konsentrasi
larutan NaOCl yang banyak dipergunakan pada saat ini adalah NaOCl 2.5%.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
4
Universitas Indonesia
Menurut Walton dan Rivera (2002), NaOCl 2.6% memiliki efektivitas yang sama
dengan NaOCl 5.25%.17 Oleh karena itu, saat ini banyak digunakan NaOCl 2.5%
karena selain memiliki efektivitas antibakteri yang baik, toksisitasnya juga lebih
rendah jika dibandingkan NaOCl 5.25%. Berdasarkan latar belakang di atas,
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai metode penelitian dan
konsentrasi bahan irigasi yang berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu kunci keberhasilan perawatan regenerasi endodontik adalah
disinfeksi dari sistem saluran akar, dimana bahan irigasi tidak menghambat proses
penyembuhan dan integrasi dari rekayasa jaringan pulpa dengan dinding saluran
akar. Pemilihan bahan irigasi tidak hanya berdasarkan pertimbangan memiliki
sifat bakterisid tetapi juga memiliki kemampuan mempertahankan kelangsungan
hidup dan kemampuan proliferasi sel punca. Hal ini berbeda dengan pemilihan
bahan irigasi pada perawatan endodontik konvensional yang tidak
mempertimbangan efek kimiawi pada sel punca host.8
Dari rumusan masalah di atas yang menjadi pertanyaan penelitian adalah:
1.2.1 Pertanyaan Penelitian Umum
Apakah larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2% memiliki efek
toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa?
1.2.2 Pertanyaan Penelitian Khusus
1. Apakah NaOCl 2.5% lebih toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim
pulpa dibandingkan EDTA 17%?
2. Apakah NaOCl 2.5% lebih toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim
pulpa dibandingkan CHX 2%?
3. Apakah EDTA 17% lebih toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim
pulpa dibandingkan CHX 2%?
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
5
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian Umum:
Menganalisis efek toksik larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2%
terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
Tujuan Penelitian Khusus
1. Membandingkan efek toksik larutan NaOCl 2.5% dan EDTA 17%,
terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
2. Membandingkan efek toksik larutan NaOCl 2.5% dan CHX 2% terhadap
viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
3. Membandingkan efek toksik larutan EDTA 17% dan CHX 2% terhadap
viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
Secara teoritis menjelaskan efek larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan
CHX 2% terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
Secara klinis hasil penelitian memberikan informasi dalam memilih
larutan untuk bahan irigasi yang memiliki sifat antibakteri tetapi tidak
mempengaruhi viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
6
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Regenerasi Endodontik
Regenerasi endodontik merupakan prosedur biologis yang dilakukan untuk
menggantikan struktur yang rusak seperti dentin, struktur akar, dan kompleks
dentin pulpa.2 Berbagai pro dan kontra terjadi dalam perkembangan prosedur
regenerasi endodontik yang menyatakan bahwa pulpa pada gigi yang telah matur
tidak memiliki peranan dalam pembentukan, fungsi, dan estetik, sehingga
penggantian dengan bahan pengisi dalam perawatan saluran akar merupakan
perawatan yang paling praktis. Sebuah studi retrospektif menunjukkan gigi yang
masih memiliki vaskularisasi yang baik akan bertahan lebih lama dibandingkan
gigi yang sudah dirawat saluran akar. Di sisi lain, walaupun penggantian jaringan
pulpa berpotensi merevitalisasi gigi, namun masih berpotensi mengalami penyakit
pulpa yang memerlukan perawatan saluran akar ulang. Proses rekayasa jaringan
membutuhkan metode kontrol mikrobiologi untuk regenerasi jaringan yang
cukup. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan
metode yang memungkinkan dan aman secara biologis untuk regenerasi
endodontik.18
Beberapa penelitian telah mengembangkan teknik yang digunakan dalam
regenerasi endodontik. Berbagai teknik tersebut di antaranya adalah
revaskularisasi melalui bekuan darah, terapi sel punca postnatal, implantasi pulpa,
implantasi scaffold, penghantaran injeksi scaffold, pemetaan sel tiga dimensi, dan
penghantaran gen. Berbagai teknik ini bergantung dari prinsip rekayasa jaringan.18
Beberapa laporan kasus telah menunjukkan keberhasilan revaskularisasi
dari sistem saluran akar nekrotik melalui disinfeksi yang dilanjutkan pembuatan
pendarahan ke dalam sistem saluran akar melalui overinstrumentasi. Perawatan
dilakukan pada gigi permanen nekrosis dengan apeks imatur. Overinstrumentasi
dilakukan untuk memicu pendarahan sampai daerah servikal. Selanjutnya bekuan
darah ditutup dengan MTA dan bahan restorasi. Tujuan akhir perawatan adalah
terjadinya regenerasi pulpa dan berlanjutnya penutupan apeks (Gambar 2.1).19
6
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
A
p
m
m
p
T
d
t
m
p
r
2
k
m
M
b
m
s
m
Aspek penti
penggunaan
mendisinfek
maupun nek
penting kare
Terdapat b
diantaranya,
tanpa tekno
menggunaka
penolakan s
rekayasa jari
2.2 Rekay
Menu
konsep pem
menghasilka
Murray dkk
biologis yan
meningkatka
sesuai dari
mengarahka
ing dari kas
antibiotik
ksi saluran ak
krosis. Pemil
ena membe
eberapa ke
, teknik ini
ologi yang
an sel darah
sistem imun
ingan.18
Gamba
yasa Jaring
urut MacAr
mahaman m
an pengganti
(2007), reka
ng bertujua
an fungsi jar
sel punca
an perkemban
us ini adala
k selama
kar dan men
lihan berbag
rikan efek
euntungan d
sederhana d
mahal. Sel
h pasien sen
n dan transm
ar 2.1. Skema P
gan
rthur dan O
mengenai per
ian jaringan
ayasa jaring
an menggan
ringan.18 Re
a atau prog
ngan jaringa
ah pengguna
beberapa
ningkatkan re
gai bahan iri
dalam regen
dari pendek
dan dapat d
lain itu, re
ndiri dapat m
misi patogen
Prosedur Rege
Oreffo (2005
rkembangan
n fungsional
an merupak
ntikan, mem
egenerasi jar
genitor, gro
an yang diing
aan bahan ir
minggu. K
evaskularisa
igasi dan ob
nerasi selain
katan tekni
diselesaikan
egenerasi ja
mencegah ke
n dari peng
enerasi Endodo
5), rekayasa
n jaringan,
secara klini
an pengguna
mperbaiki, m
ringan memb
owth factor,
ginkan (gam
Universita
rigasi saluran
Kombinasi
asi dari gigi y
bat saluran a
n sifat antib
ik revaskul
dengan oba
aringan pulp
emungkinan
ggantian pul
ontik.
a jaringan m
dan diguna
is. Sedangka
aan strategis
mempertahan
butuhkan su
, dan scaff
mbar 2.2).5
7
as Indonesia
n akar dan
ini akan
yang avulsi
akar sangat
bakterinya.
arisasi ini
at dan alat
pa dengan
terjadinya
lpa dengan
merupakan
akan untuk
an menurut
s terapeutik
nkan, serta
umber yang
ffold untuk
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
8
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. Tiga komponen utama dalam rekayasa jaringan.
Berbagai penelitian mengenai rekayasa jaringan menunjukkan
kemungkinan isolasi sel punca pulpa menggunakan protokol yang sama dengan
sel punca sumsum tulang. DPSC dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel
seperti adiposit, kondrosit, neuron, dan odontoblas. SHED juga dapat
diidentifikasi dan diisolasi. SHED diketahui dapat berdiferensiasi menjadi
adiposit, kondrosit, osteosit, endotel dan odontoblas (gambar 2.3).3
Gambar 2.3. Prinsip dari Rekayasa Jaringan Menggunakan Sel Punca Gigi Menghasilkan
Regenerasi Tulang, Saraf, dan Jaringan lain yang Berkaitan dengan Gigi.
2.1.1 Sel Punca
Sel punca merupakan sel yang mampu berkembang menjadi tipe lain dari
sel tubuh. Sel punca berfungsi menggantikan sel yang disfungsi, umumnya
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
9
Universitas Indonesia
mempertahankan kesehatan optimal. Sel punca memiliki kemampuan
berdiferensiasi dan bermultiplikasi untuk membentuk sel jaringan. Pertama-tama
sel punca akan membelah menjadi divisi sel simetris untuk membentuk sepasang
sel punca, selanjutnya menjadi divisi sel asimetris untuk membentuk satu sel
punca dan satu sel progenitor. Sel progenitor selanjutnya menjadi divisi sel
progenitor untuk membentuk dua sel progenitor, yang selanjutnya akan menjadi
divisi terakhir untuk membentuk sel diferensiasi (gambar 2.4).4
Gambar 2.4. Diferensiasi Sel Punca.
Terdapat dua jenis sel punca, yaitu sel punca dewasa dan sel punca
embrionik. Sel punca embrionik memiliki tiga tipe berdasarkan kemampuan
plastisitasnya, yaitu totipoten, pluripoten, dan multipoten. Sel totipoten dan
pluripoten memiliki kemampuan berkembang menjadi berbagai tipe sel dalam
tubuh manusia. Sel pluripoten mempunyai kemampuan membentuk hampir
seluruh tipe jaringan dalam tubuh, dan hanya ditemukan pada tahap embrionik
tertentu. Sel punca multipoten berdiferensiasi sebagian, oleh karenya hanya dapat
membentuk tipe jaringan yang terbatas. Sel multipoten dapat ditemukan pada
fetus, sejumlah jaringan dewasa dan darah tali pusat.4 Sel punca dewasa dibagi
dua berdasarkan sumbernya, yaitu sel punca germline dan sel punca somatik.
Beberapa tipe sel punca somatik ditemukan pada lokasi yang berbeda. Sel punca
mesenkim ditemukan pada stroma dari sumsum tulang dewasa. Sel punca ini
dapat berdiferensiasi menjadi osteoblas, kondrosit, adiposit dan juga jaringan non
mesodermal seperti endoderm (gambar 2.5).9 MSC ditemukan di dalam stroma
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
10
Universitas Indonesia
sumsum tulang belakang dewasa. MSC dikarakteristikkan secara in vitro oleh
ekspresi marker seperti STRO-1, CD146 atau CD44. STRO-1 yang merupakan
antigen permukaan sel yang digunakan untuk mengidentifikasi prekursor
osteogenik di dalam sumsum tulang.9
Gambar 2.5. Klasifikasi Sel Punca Dewasa.
Berdasarkan sumbernya, sel punca dibagi menjadi sel punca autogenus,
allogenik, dan xenogenik. Sel punca autogenus berasal dari individu yang sama
yang akan menerima sel tersebut. Sel punca allogenik berasal dari donor dengan
spesies yang sama. Sedangkan sel xenogenik diisolasi dari individu yang berasal
dari spesies lain.18 Terdapat beberapa sumber sel punca pada rongga mulut. Tipe
sel tersebut meliputi tooth germ progenitor cells (TGPCs), dental follicle stem
cells (DFSCs), salivary gland stem cells (SGSCs), stem cells of the apical papilla
(SCAP), dental pulp stem cells (DPSCs), inflamed periapical progenitor cells
(iPAPCs), stem cells from human exfoliated deciduous teeth (SHED), periodontal
ligament stem cells (PDLSCs), bone marrow stem cells (BMSCs), oral epithelial
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
11
Universitas Indonesia
stem cells (OESCs), gingival derived mesenchymal stem cells (GMSCs),
periosteal stem cells (PSCs) (gambar 2.6).5
Gambar 2.6. Skema yang Menggambarkan Sumber Sel Punca pada Rongga Mulut.
Dental pulp stem cells (DPSC) dinamakan juga dengan sel-sel
odontoblastoid karena sel ini dapat mensintesis dan mensekresi matriks dentin
seperti sel odontoblas dengan sinyal-sinyal tertentu. Sinyal-sinyal tersebut antara
lain adalah bahan yang mengandung kalsium hidroksida atau kalsium fosfat yang
biasa digunakan sebagai bahan pulp capping.20 Morfologi DPSC seperti fibroblas
dan dapat mempertahankan tingkat proliferasi yang tinggi bahkan setelah
subkultur yang banyak. DPSC mengekspresikan beberapa marker antara lain
STRO-1 dan CD146.9
Stem cells of human exfoliated deciduous teeth (SHED) dapat diisolasi dari
jaringan pulpa di mahkota gigi sulung.9 SHED memiliki tingkat proliferasi yang
tinggi dibandingkan DPSC. Sel ini menunjukkan plastisitas yang tinggi karena sel
ini dapat berdiferensiasi menjadi neuron, adiposit, osteoblas dan odontoblas.20
SHED mengekspresikan marker MSC yaitu STRO-1 dan SD146. Tidak seperti
DPSC, SHED tidak membentuk kompleks dentin-pulpa setelah transplantasi in
vivo. Hal ini mengindikasikan bahwa SHED memiliki potensi diferensiasi
odontogenik yang berbeda dari DPSC. SHED tidak dapat berdiferensiasi menjadi
osteoblas atau osteosit, namun dapat menginduksi sel inang untuk melakukan
diferensiasi osteogenik. Dengan demikian SHED memiliki potensi osteoinduktif.9
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
12
Universitas Indonesia
Stem cells of the apical papilla (SCAP) berpotensi untuk berdiferensiasi
menjadi odontoblas. Selama proses pembentukan gigi, papila gigi berkembang
menjadi pulpa dan berkontribusi dalam perkembangan akar. Papila apikal berada
menempel pada akar yang sedang berkembang dan dipisahkan dari jaringan pulpa
oleh cell rich zone. SCAP menunjukkan tingkat proliferatif yang lebih tinggi dan
lebih efektif dibandingkan dengan DPSC dalam formasi gigi. Selain itu, SCAP
juga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam formasi jaringan lir dentin,
kapasitas regenerasi dentin, dan motilitas sel.21 Seperti sel punca gigi yang lain,
SCAP mengekspresikan marker permukaan mesenkimal seperti STRO-1 dan
CD146. SCAP memiliki kapasitas untuk mengalami diferensiasi dentinogenik,
oseteogenik, adipogenik, kondrogenik dan neurogenik.9 Hasil penelitian
Sonoyama dkk (2008), SCAP yang ditransplantasikan ke tikus dengan matriks
yang sesuai membentuk strukur lir dentin-pulpa dengan sel-sel lir odontoblas.22
Yang paling penting adalah SCAP sangat mudah didapat karena dapat diisolasi
dari gigi molar tiga manusia.20
Periodontal ligament stem cells (PDLSC) adalah jaringan spesifik yang
berlokasi antara sementum dan tulang alveolar dan berperan dalam sistem
penyangga gigi.20 Selain itu PDL juga berkontribusi dalam pemberian nutrisi,
homeostasis dan proses perbaikan. Regenerasinya berhubungan dengan progenitor
mesenkimal dari folikel gigi. PDL mengandung sel STRO-1 positif yang memiliki
plastisitas karena dapat berkembang menjadi fenotip adipogenik, osteogenik dan
kondrogenik in vitro. Oleh karena itu PDL sendiri mengandung progenitor yang
dapat diaktivasi untuk memperbaharui diri dan beregenerasi menjadi jaringan
sementum dan tulang alveolar.9, 20
Bone marrow-derived mesenchymal stem cells (BMMSC) telah diuji
kemampuannya untuk membentuk jaringan periodontal. Sel-sel ini secara in vivo
dapat membentuk sementum, PDL dan tulang alveolar setelah implantasi ke
dalam jaringan periodontal yang rusak. Oleh karena itu, sumsum tulang dapat
menjadi sumber alternatif dari MSC untuk perawatan penyakit periodontal.
BMMSC memiliki banyak kesamaan karakteristik dengan DPSC dan keduanya
dapat membentuk struktur lir tulang atau lir gigi. Namun BMMSC menunjukkan
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
13
Universitas Indonesia
potensi odontogenik yang lebih rendah daripada DPSC yang mengindikasikan
bahwa MSC dari asal embrionik yang berbeda tidak ekuivalen.20
2.1.2 Growth Factor
Berbagai growth factor telah dievaluasi untuk kemampuannya memicu
diferensiasi dari populasi sel punca mesenkim menjadi sel lir odontoblas.
Berbagai penelitian telah mengevaluasi pemberian growth factor baik tunggal
maupun kombinasi dapat menyebabkan diferensiasi sel lir odontoblas. Akan tetapi
penelitian lain menyatakan growth factor tunggal tidak memungkinkan hasil
maksimal dari diferensiasi, sehingga dibutuhkan kombinasi dari growth factor.
Walaupun dentin mengandung banyak tipe protein non kolagen, diketahui bahwa
transforming growth factor 1 (TGF- 1) merupakan subtipe TGF yang dideteksi
berada pada dentin manusia. Oleh karena itu, aplikasi EDTA dengan kuat
membuka imunoreaktif TGF-1 dari dentin dengan sedikit aktivitas dikeluarkan
setelah perawatan dengan Ca(OH)2, natrium hipoklorit (NaOCl), mineral trioxide
aggregate (MTA), atau asam sitrat. Oleh karena itu, dentin yang mengandung
protein non kolagen dapat memicu diferensiasi odontoblas atau angiogenesis.2
2.1.3 Scaffold
Scaffolds merupakan kerangka sementara yang digunakan untuk
memberikan lingkungan mikro tiga dimensi dimana sel dapat berproliferasi,
berdiferensiasi, dan membentuk jaringan yang diinginkan. Idealnya, scaffold
harus dapat membiarkan sel melekat dan bermigrasi, mampu menyebabkan
growth factor dihantarkan terus menerus dan terlokalisir, dan mampu
menyebabkan masuknya oksigen untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme
yang tinggi dari sel pada regenerasi jaringan.3
Scaffold dapat diklasifikasikan menjadi natural atau sintetik. Contoh dari
scaffold natural adalah kolagen, glikosaminoglikans, matriks dentin
terdemineralisasi, dan fibrin. Kategori kedua ialah scaffold dari bahan sintetik.
Contoh yang termasuk kategori ini adalah polyatic acid (PLA), polyglycolic acid,
polylactic-coglycolic acid (PLGA), polyepsilon caprolacton, hidroksiapatit/
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
14
Universitas Indonesia
trikalsium fosfat, bioceramic, hidrogel, dan varian dari polyethylene glycol
(PEG).2
2.3 Macam-macam dan Mekanisme Kerja Bahan Irigasi
Salah satu faktor etiologi perkembangan lesi pulpa dan periapeks adalah
bakteri. Keberhasilan dari perawatan saluran akar bergantung dari debridement
kemomekanis yang seksama dari jaringan pulpa, debris dentin, dan infeksi
mikroorganisme. Bahan irigasi dapat memberikan debridement mekanis dengan
melarutkan debris, jaringan mati, dan mendisinfeksi sistem saluran akar.
Debridement kimiawi terutama dibutuhkan untuk gigi dengan anatomi saluran
akar yang kompleks yang tidak terinstrumentasi. Syarat ideal dari bahan irigasi
saluran akar yaitu memiliki spektrum antimikroba yang luas, kemampuan
melawan mikroorganisme anaerob dan fakultatif dalam biofilm, kemampuan
melarutkan sisa jaringan pulpa nekrotik, kemampuan menonaktifkan endotoksin,
mencegah pembentukan smear layer selama instrumentasi, serta tidak toksik
ketika berkontak dengan jaringan vital, tidak kaustik terhadap jaringan
periodonsium dan berpotensi kecil menyebabkan reaksi anafilaktik.23
Sejumlah bahan telah digunakan sebagai bahan irigasi saluran akar
meliputi asam (sitrat dan fosforik), agen chelasi (EDTA), enzim proteolitik,
larutan alkalin (natrium hipoklorit, natrium hidroksida, urea dan pottasium
hidroksida), agen oksidatif (hidrogen peroksida dan Gly-Oxide), larutan anestetik
lokal dan saline. Bahan irigasi yang paling banyak digunakan adalah natrium
hipoklorit (NaOCl) dengan konsentrasi 0.5% sampai 6% karena kemampuan
bakterisidal dan kemampuan melarutkan jaringan vital dan jaringan organik.
Akan tetapi, larutan NaOCl tidak memiliki kemampuan menghilangkan smear
layer dan jaringan inorganik. Chelants dan larutan asam memiliki kemampuan
menghilangkan smear layer setelah instrumentasi saluran akar seperti EDTA,
asam sitrat dan asam fosforik.24 Klasifikasi beberapa macam larutan irigasi
berdasarkan bahan dasar dan fungsinya diuraikan pada gambar 2.7.23
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
15
Universitas Indonesia
Gambar 2.7. Klasifikasi Bahan Irigasi Saluran Akar.
2.3.1. Natrium Hipoklorit (NaOCl)
NaOCl memenuhi sifat-sifat yang diinginkan dari bahan irigasi saluran
akar. Dalam bidang endodontik NaOCl memiliki aktivitas antimikroba spektrum
luas dalam melawan mikroorganisme dan biofilm, termasuk mikrobiota yang sulit
dihilangkan dari saluran akar seperti Enterococcus, Actinomyces, dan Candida.
NaOCl melarutkan material organik seperti jaringan pulpa dan kolagen.
Konsentrasi NaOCl yang digunakan bervariasi mulai dari 0.5% sampai 6%.
Konsentrasi yang rendah (0.5% – 1%) melarutkan jaringan nekrotik. Konsentrasi
yang lebih tinggi melarutkan baik jaringan nekrotik maupun jaringan vital, akan
tetapi NaOCl memiliki kemampuan yang rendah dalam melarutkan debris dentin
atau smear layer.25
Picora dkk melaporkan bahwa NaOCl menunjukan keseimbangan dinamis
melalui reaksi:
NaOCl + H2O ↔ NaOH + HOCl ↔ Na + + OH− + H + + OCl−
Reaksi kimia antara jaringan organik dan NaOCl diantaranya NaOCl
bertindak sebagai pelarut organik dan lemak, mendegradasi asam lemak dan
mengubahnya menjadi garam asam lemak (sabun) dan gliserol (alkohol), yang
akan mengurangi tegangan permukaan dari larutan (gambar 2.8).23
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
16
Universitas Indonesia
Gambar 2.8. Skema Reaksi Saponifikasi.
NaOCl juga menetralisir asam amino membentuk garam dan air (gambar
2.9)23 Dengan adanya pelepasan ion hidroksil, terjadi penurunan pH.
Gambar 2.9. Skema Reaksi Asam Amino.
Ketika hypoclorous acid, sebuah substansi yang ada di larutan NaOCl,
berkontak dengan jaringan organik, dia akan beraksi sebagai pelarut dan
melepaskan klorin, yang akan berikatan dengan protein grup amino membentuk
kloramin (gambar 2.10).23 Pada pH antara 4 dan 7, sebagian besar klorin akan
berbentuk HClO, bagian yang aktif dan bertanggung jawab dalam inaktivasi
bakteri, dimana pada pH di atas 9, akan didominasi oleh OCl- yang sifatnya lebih
kurang aktif.1 Hypochlorous acid (HOCl-) dan ion hipoklorit (OCl-) akan
menyebabkan degradasi asam amino dan hidrolisis. Reaksi kloraminasi antara
klorin dan grup amino (NH) akan membentuk kloramin yang menghambat
metabolism sel. Klorin adalah oksidan yang kuat, yang mempunyai aksi
antimikroba dengan menghambat enzim bakteri dan memicu oksidari ireversibel
dari grup SH (Sulphydryl Grup) dari enzim bakteri yang esensial. Dengan
demikian, saponifikasi, neutralisasi asam amino, dan reaksi kloraminasi yang
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
17
Universitas Indonesia
terjadi pada mikroorganisme dan jaringan organik akan memberikan efek
antimikroba dan proses pelarutan jaringan.23 Selain itu, preparasi hipoklorit
bersifat sporisidal dan virusidal dan menghasilkan efek melarutkan yang lebih
besar pada jaringan nekrosis dibandingkan pada jaringan vital. Hal ini mendasari
penggunaan larutan natrium hipoklorit sebagai bahan irigasi utama sejak awal
tahun 1920.24
Gambar 2.10. Skema Reaksi Kloraminasi.
Hasil penelitian sitotoksisitas NaOCl menujukan sitotoksisitas yang lebih
tinggi dan efeknya pada jaringan sehat lebih besar pada NaOCl 5,25%
dibandingkan NaOCl 1% dan 0,5%. Oleh karena itu, penggunaan NaOCl dengan
konsentrasi lebih rendah lebih disenangi, menghindari efeksi sitotoksisitasnya
yang tinggi.1
2.3.2. Ethylenediamine Tetra-Acetic Acid (EDTA)
Walaupun penggunaan natrium hipoklorit terlihat sebagai larutan irigasi
yang paling disenangi dalam perawatan endodontik, natrium hipoklorit tidak dapat
melarutkan partikel dentin inorganik dan dengan demikian mencegah
pembentukan smear layer selama instrumentasi. Oleh karena itu, agen
demineralisasi seperti EDTA dan asam sitrat direkomendasikan sebagai tambahan
dalam perawatan saluran akar. Walaupun asam sitrat terkesan lebih potensial pada
konsentrasi yang sama dibandingkan EDTA, keduanya menunjukan efisiensi yang
tinggi dalam membuang smear layer. Sebagai tambahan mengenai kemampuan
pembersihannya, agen chelasi dapat berikatan dengan biofilm yang melekat pada
dinding saluran akar.24
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
18
Universitas Indonesia
EDTA 17% mempunyai aktivitas antibakteri yang rendah. Paparan
langsung pada waktu yang lama, dapat menyebabkan lepasnya protein permukaan
beberapa bakteri dengan cara berikatan dengan ion logam pada pembungkus sel.
Hal ini bahkan dapat menyebabkan kematian bakteri. Akan tetapi, yang terpenting
adalah EDTA merupakan agen pelunak/ chelating agent dari saluran akar. EDTA
akan bereaksi dengan ion kalsium pada dentin dan membentuk kalsium lunak
yang larut. EDTA mengangkat smear layer bila digunakan dengan NaOCl (tidak
secara bersamaan / simultan), dengan beraksi pada komponen inorganik dari
dentin. Oleh karena itu, dengan memfasilitasi pembersihan dan pembuangan
jaringan terinfeksi, EDTA berkontribusi dalam mengeliminasi bakteri di dalam
saluran akar. Selain itu, pembuangan smear layer oleh EDTA juga meningkatkan
efek antibakteri dari penggunaan agen disinfeksi sampai lapisan dentin yang lebih
dalam. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa EDTA dapat melarutkan
dentin sampai kedalaman 20-30 μm dalam waktu 5 menit. Pembilasan secara
kontinu dari 17% EDTA sebanyak 5ml selama 3 menit secara efisien dapat
membuang smear layer dari dinding saluran akar. Berdasarkan hasil penelitian
ultrastruktur oleh Niu,dkk, lebih banyak debris yang terangkat pada irigasi dengan
EDTA diikuti NaOCl, dibandingkan EDTA sendiri.1 Akan tetapi, Calt dan Serper
mendemonstrasikan bahwa 10 ml irigasi dengan 17% EDTA selama 1 menit
efektif dalam membuang smear layer, akan tetapi aplikasi setelah 10 menit dapat
menyebabkan erosi dentin peritubular dan intertubular yang berlebihan. Sehingga
perlu diingat juga bahwa dengan meningkatkan waktu kontak dan konsentrasi dari
EDTA dari 10% dengan 17% seperti halnya pH 7,5 dengan pH 9 telah
menunjukkan meningkatnya demineralisasi dentin.24
2.3.3 Klorheksidin (CHX)
CHX mulai dikembangkan pada akhir tahun 1940-an. Garam asli dari
klorheksidin adalah chlorhexidine acetate dan hydrochloride, dimana keduanya
relatif sulit larut dalam air. Oleh karena itu, mereka digantikan dengan
chlorhexidine digluconate (gambar 2.11).24 Klorheksidin merupakan cationic
biguanide yang aktif pada pH 5,5 sampai 7,0 dan bekerja dengan berikatan
dengan dinding sel bakteri yang bermuatan negatif dan kompleks ekstramikrobial.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
P
m
p
m
k
d
m
o
s
e
k
l
N
m
m
m
e
b
a
k
E
Pada konsen
menyebabka
potassium d
menyebabka
kematian ba
Chlo
disinfeksi k
mulai popul
obat saluran
sedap, dan t
efek pemuti
kontrol plak
literatur end
NaOCl, me
meningkatka
Klorh
melawan ba
melawan jam
efektif mela
bakteri gram
antibakteri
kumpulan ba
Enterococcu
ntrasi rendah
an perubaha
dan fosfor.
an presipita
akteri.26
Gam
orhexidine d
karena aktifi
er digunakan
n akar. Tidak
tidak terlalu
ihan bila ter
k adalah 0,1%
dodontik bia
manaskan k
an efektivita
heksidin me
akteri vege
mur dan viru
awan bakter
m-positif b
chlorhexidi
akteri yang r
us faecalis.26
h, klorheksid
an keseimban
Pada konsen
asi sitoplasm
mbar 2.11. Stru
digluconate (
tas antimikr
n di bidang
k seperti Na
u mengiritas
rkena pakaia
% - 0,2%, s
sanya meng
klorheksidin
asnya sambil
erupakan an
etatif dan m
us, serta men
ri gram-posi
batang dan
ine sebandi
resisten terh6
din mempun
ngan osmos
ntrasi tingg
mik dari s
uktur kimia ch
(CHX) suda
robanya yan
endodontik
aOCl, CHX
si jaringan p
an pasien. K
sedangkan u
ggunakan ko
dengan ko
l menjaga tok
ntimikroba d
mikobakteria
nghambat ge
itif kokus, d
bakteri gra
ing dengan
hadap kalsium
yai efek bak
sis sel bakte
i, klorheksid
sel bakteri,
lorhexidine glu
ah banyak di
ng sangat b
sebagai laru
tidak memp
periapeks, se
Konsentrasi y
untuk irigasi
nsentrasi 2%
onsentrasi y
ksisitasnya t
dengan spek
a, mempuny
rminasi spor
dan tidak te
am–negatif
n NaOCl d
m hidroksida
Universita
kteriostatik, y
eri dan kebo
din bersifat
, yang me
uconate.
igunakan seb
baik. CHX j
utan irigasi d
punyai bau
erta tidak m
yang dianjur
saluran aka
%. Seperti h
yang lebih k
tetap rendah
ktrum luas
yai aktivita
ra. Klorheks
erlalu efekti
batang. K
dan efektif
a, seperti gra
19
as Indonesia
yang dapat
ocoran dari
bakterisid
enyebabkan
bagai agen
juga sudah
dan sebagai
yang tidak
memberikan
rkan untuk
ar beberapa
alnya pada
kecil dapat
.26
yang aktif
as moderat
sidin paling
f melawan
Kemampuan
f melawan
am-positif-
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
20
Universitas Indonesia
Gambar 2.12. Mekanisme Kerja CHX.23
Salah satu alasan penggunaan klorheksidin adalah toksisitasnya yang
minimal pada jaringan. Walaupun klorheksidin sepertinya tidak menyebabkan
kerusakan jangka panjang pada jaringan, klorheksidin tetap dapat menyebabkan
inflamasi bila keluar dari saluran akar. Berdasarkan penelitian Yesilsoy,dkk,
0,12% klorheksidin yang diinjeksikan ke jaringan subkutan dari babi, menunjukan
respon inflamasi ringan setelah dua jam, inflamasi moderat setelah dua hari, dan
pembentukan jaringan granuloma setelah dua minggu, yang akan hilang dengan
berjalannya waktu. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Tanamaru Filho,dkk,
injeksi 2% klorheksidin pada jaringan peritoneal dari tikus menyebabkan
inflamasi yang sama dengan injeksi salin buffer fosfat, sementara injeksi dengan
0,5% NaOCl menghasilkan sel radang yang jauh lebih banyak. Oleh karena itu,
mereka menyimpulkan bahwa klorheksidin 2% bersifat biokompatibel. Berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faria, dkk, yang menemukan adanya
reaksi inflamasi jaringan terhadap injeksi klorheksidin pada ruang subplantar dari
telapak tikus dan adanya korelasi positif antara kematian jaringan dengan
konsentrasi klorheksidin yang digunakan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa
konsentrasi 0,5% dan 1% dari klorheksidin menyebabkan nekrosis jaringan,
0,25% menyebabkan sedikit jaringan nekrosis, sementara konsentrasi 0,125%
tidak menyebabkan nekrosis jaringan. Selain itu, penelitian ini juga meneliti efek
dari klorheksidin terhadap penyembuhan jaringan, dimana dalam konsentrasi
rendah klorheksidin akan menginduksi apoptosis dari fibroblas dan pada
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
21
Universitas Indonesia
konsentrasi tinggi akan menyebabkan kematian jaringan. Dari hasil penelitian ini,
dapat diperkirakan bahwa klorheksidin 2% sebagai bahan irigasi endodontik
mempunyai efek toksik pada jaringan apabila melewati akar dan menghambat
penyembuhan jaringan.26
Pertimbangan toksisitas lain dari klorheksidin adalah pembentukan para-
chloranaline (PCA), yang merupakan aromatik amin. Ketika dilakukan penelitian
pada tikus, kelinci, dan kucing, paparan yang berulang terhadap PCA dapat
menyebabkan cyanosis dan terutama pembentuk methemeglobinaemia.
Sedangkan pada manusia, paparan PCA yang tidak disengaja menyebabkan gejala
seperti meningkatnya methaemoglobin dan sulfhaemoglobin, cyanosis, anemia,
dan perubahan sistemik dari anoxia. Sementara klorheksidin dapat terhidrolisis
secara spontan menjadi PCA dengan berjalannya waktu, klorheksidin juga dapat
bereaksi dengan NaOCl dan membentuk presipitasi yang mengandung PCA. Air
ataupun alkohol dapat digunakan sebagai bahan irigan untuk membuang NaOCl
dari saluran akar sebelum klorheksidin digunakan, dengan demikian
meminimalisir pembentukan PCA. Selain itu, EDTA juga merupakan bahan yang
tepat untuk membuang NaOCl dari saluran akar, dimana kombinasi antara
klorheksidin dan EDTA tidak menghasilkan reaksi kimia.26
2.4 Efek Bahan Irigasi Terhadap Viabilitas Sel Punca
Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan keberhasilan
revaskularisasi jaringan melalui regenerasi endodontik pada gigi nekrosis imatur
yang didisinfeksi dan dilakukan overinstrumentasi ke saluran akar. Berbagai
protokol disinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan irigasi dan obat saluran
akar. Pemilihan bahan irigasi tersebut dilakukan berdasarkan kemampuan
bakterisidalnya. Akan tetapi, penggunaannya berpotensi sitotoksik pada sel punca
yang dapat mempengaruhi hasil regenerasi jaringan.8
Penelitian Ring dkk (2008), membandingkan beberapa bahan irigasi yaitu
6% NaOCl, 2% CHX, EDTA, MTAD, dan bahan terbaru seperti Morinda
citrifolia, dan AquatineEC. Hasil penelitian memperlihatkan jumlah DPSCs yang
melekat pada permukaan saluran akar bervariasi setelah penggunaan berbagai
bahan irigasi. Jumlah DPSCs terbanyak yang melekat pada permukaan saluran
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
22
Universitas Indonesia
akar ialah yang diirigasi menggunakan AquatineEC dan EDTA, dan yang
terendah diperoleh dari NaOCl dan MTAD. Urutan perlekatan DPSCs dari yang
terendah ialah sebagai berikut NaOCl/MTAD, CHX/EDTA, NaOCl,
NaOCl/EDTA, MCJ/EDTA, dan Aquatine EC/EDTA. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa Aquatine EC/EDTA dan MCJ/EDTA merupakan larutan
irigasi yang paling optimal untuk membantu mempertahankan kelangsungan
hidup dan perlekatan DPSCs yang penting dalam regenerasi endodontik.27
Penelitian Trevino dkk (2001) menunjukkan penggunaan berbagai bahan
irigasi memperlihatkan perbedaan kelangsungan hidup pada SCAP. Trevino
menggunakan bahan irigasi yang terdiri dari EDTA 17%, NaOCl 6%-EDTA 17%,
EDTA 17%-CHX 2%, dan NaOCL 6%-EDTA 17%-IPA 70%-CHX 2%. Metode
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan simulasi prosedur regenerasi
endodontik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa EDTA memiliki kemampuan
yang paling baik dalam kelangsungan hidup SCAP, sementara CHX 2%
menunjukkan sifat sitotoksik dengan tidak adanya sel yang hidup.8
Penelitian Galler dkk (2011), menggambarkan pendekatan regenerasi
jaringan pulpa menggunakan DPSCs yang dikombinasi dengan scaffold hidrogel
untuk menghantarkan sel ke silinder dentin yang menyerupai saluran akar. Untuk
mengetahui pengaruh bahan irigasi pada aktivitas seluler dan differensiasi silinder
dipapar dengan 5.25% NaOCl atau 5.25% NaOCl yang diikuti 17% EDTA.
Dentin yang dipapar dengan NaOCl ditutupi dengan smear layer memperlihatkan
stimulasi aktivitas klastik dimana mekanismenya masih dipertanyakan. Interaksi
antara DPSCs dan dentin pada spesimen EDTA menghasilkan adhesi sel terhadap
fibril kolagen yang terbuka dan differensiasi seluler oleh larutan EDTA.
Permukaan yang dipapar EDTA memicu hubungan sel yang erat dengan dentin
dan diferensiasi menjadi fenotip odontoblas. Ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang memperlihatkan bahwa EDTA memberikan kelangsungan hidup
yang baik pada SCAPs dan perlekatan sel dari DPSCs.16
2.5 Uji Immunofluorescence
Immunofluorescence merupakan teknik pewarnaan histokimia yang
digunakan untuk melihat adanya ikatan antibodi dengan antigen atau sirkulasi
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
23
Universitas Indonesia
cairan tubuh. Teknik ini banyak digunakan untuk evaluasi sel dalam suspensi,
kultur sel, jaringan, beads, dan microarrays untuk deteksi dari protein spesifik.
Pada teknik ini, antibodi di konjugasi ke dye fluorescent seperti fluorescein
isothiocyanate (FITC) atau tetramethyl rhodamine isothiocyanate (TRITC). Ini
akan menandai ikatan antibodi (langsung atau tidak langsung) terhadap antigen
yang akan mendeteksi antigen melalui teknik fluoresecence. Fluorescence dapat
dihitung menggunakan flow cytometer, array scanner atau automated imaging
instrument, atau dilihat menggunakan mikroskop fluorescence atau konfokal.28, 29
Metode utama untuk uji ini adalah metode direk dan indirek. Metode
immunofluorescence direk lebih jarang digunakan dimana antibodi berikatan
terhadap molekul penting dikonjugasi secara kimia terhadap dye fluorescent. Pada
metode indirek, antibodi spesifik untuk molekul penting (antibodi primer) tidak
ditandai, dan antibodi anti-imunoglobulin kedua yang berkontak langsung dengan
bagian konstan dari antibodi pertama (antibodi sekunder) ditandai dengan dye
fluorescent.
Gambar 2.13. Skema dari immunofluorescence direk dan indirek.
Prinsip dari fluorescence yaitu material fluorescent melepaskan cahaya
karena struktur atomiknya. Elektron diatur pada tingkat energi yang berbeda di
sekeliling nukleus atom dengan tiap tingkatan memiliki sejumlah energi tertentu.
Ketika elektron menyerap energi dari cahaya foton elekron akan mengalami
eksitasi dan naik ke tingkat energi yang lebih tinggi tetapi kurang stabil. Tahap
eksitasi tidak berlangsung lama, umumnya kurang dari 10 detik. Elektron
kehilangan sejumlah kecil energi sebagai panas dan sisa kelebihan energi
dilepaskan dalam bentuk foton. Emisi fluorescence memiliki energi yang lebih
kecil dibandingkan cahaya yang diabsorbsi, sehingga panjang gelombang dari
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
24
Universitas Indonesia
cahaya emisi lebih panjang dari cahaya eksitasi (kecuali pada kasus eksitasi
multifoton). Kisaran panjang gelombang dari cahaya dapat mengeksitasi elektron
dari fluorochrome. Contohnya fluorescein akan berpendar ketika terkena cahaya
dengan panjang gelombang antara 450 nm dan 520 nm. Semakin dekat panjang
gelombang ke 495 nm, semakin banyak fluorescence yang dihasilkan.
2.6 Uji MTT
Tes sitotoksisitas merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah suatu
bahan bersifat toksik terhadap sel tertentu. Uji sitotoksisitas dapat dilakukan
dengan scanning electron microscopy (SEM), enzim assay dan cytokine
expression. Sitotoksisitas umumnya ditandai dengan adanya penurunan proliferasi
sel/ viabilitas sel/ sintesis asam nukleat atau protein. Viabilitas sel adalah
kemungkinan sel untuk dapat bertahan hidup. Viabilitas sel menunjukkan adanya
respons sel jangka pendek atau segera, seperti perubahan permeabilitas membran
atau gangguan pada jalur metabolisme tertentu. Oleh karena itu, viabilitas sel
dapat menjadi tanda sitotoksisitas suatu bahan.
Enzim assay, merupakan metode yang banyak dipilih untuk mempelajari
viabilitas sel. Metode ini mengukur aktivitas metabolisme dari pertumbuhan sel
pada bahan yang akan diuji. Tes yang dapat dilakukan adalah menggunakan
Alamar BlueTM dan 3-(4,5-dimethythiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazoliun bromide
(MTT) assay. MTT assay pertama kali dikenalkan oleh Mosmann pada tahun
1983, MTT merupakan bahan kimia yang berwarna kuning dan dapat larut dalam
air. Prinsip dasar MTT assay adalah mengukur aktivitas selular berdasarkan
aktivitas succinic dehydogenase mitocondria sel untuk mereduksi garam
methythiazol tetrazolium (MTT). Pada proses metabolisme, sel-sel yang hidup
akan menghasilkan succinic dehydrogenase mitocondria. Enzim ini akan bereaksi
dengan MTT dan membentuk kristal formazan ungu yang jumlahnya sebanding
dengan aktivitas sel yang hidup.
Kristal formazan ungu bersifat impermeabel pada membran sel dan tidak
larut dalam air. Oleh karena itu, diperlukan pelarut tambahan seperti isopropanol,
dimethyl sulfoxide (DMSO) atau larutan deterjen sodium dodecyi sulfate (SDS)
yang diencerkan dalam asam hidroklorida (HCI) untuk melarutkan kristal
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
25
Universitas Indonesia
formazan ungu. Nilai absorbansi (OD) dari kristal formazan yang telah dilarutkan
dapat diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang antara
550 - 570 nm. Selanjutnya, viabilitas dinyatakan dengan membandingkan nilai
absorbansi kelompok. Perlakuan yang dipaparkan bahan uji dengan kelompok
kontrol (sampel tanpa bahan uji) menggunakan rumus dari In Vitro Technologies
sebagai berikut:
Viabilitas Sel = Nilai absorbansi kelompok Perlakuan x 100%
(% dari Kontrol) Nilai absorbansi kelompok Kontrol
Jika persentasi viabilitas sel lebih kecil dari 100%, maka material yang dipaparkan
pada sel tersebut dikatakan bersifat toksik.30
2.7 Kerangka Teori
Gambar 2.14. Kerangka Teori
Keterangan:
Diteliti
Tidak diteliti
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
26
Universitas Indonesia
Tujuan akhir perawatan endodontik konvensional adalah terjadi perbaikan
jaringan (repair) dimana jaringan pulpa digantikan oleh material sintetik yang
biokompatibel untuk diperoleh kesembuhan secara biologis. Sedangkan
endodontik regeneratif ialah diperolehnya jaringan baru dengan struktur dan
fungsi yang sama dengan jaringan sebelumnya. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi pergeseran konsep dari perawatan
endodontik konvensional menjadi perawatan endodontik regeneratif.
Tiga hal yang berperan penting dalam prosedur regenerasi endodontik
adalah sel punca, scaffold, dan growth factor. Salah satu tahapan penting dalam
prosedur regenerasi endodontik adalah disinfeksi saluran akar dengan
menggunakan bahan irigasi dan obat saluran akar. Bahan irigasi harus memiliki
kemampuan bakterisid akan tetapi juga harus dapat mempertahankan
kelangsungan hidup sel punca untuk keberhasilan regenerasi. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini akan dianalisis pengaruh bahan irigasi terhadap kelangsungan
hidup sel punca.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
3
C
h
d
3
3
t
3
3.1 Kera
Sel p
CHX 2%, k
hasil optical
dan jika kura
3.2 Hipo
3.2.1 Hipo
Laru
terhadap via
3.2.2 Hipo
1. NaO
diban
2. CHX
diban
3. CHX
diban
KERA
angka Kons
punca mesen
kemudian via
l density lebi
ang dari 100
otesis
otesis Mayo
utan NaOCl
abilitas sel p
otesis Minor
OCl 2.5% leb
ndingkan ED
X 2% lebih
ndingkan Na
X 2% lebih
ndingkan ED
ANGKA KO
sep
Gambar 3
nkim pulpa d
abilitas selny
ih dari 100%
0% bahan ter
r:
2.5%, EDT
punca mesen
r:
bih toksik te
DTA 17%.
toksik terh
aOCl 2.5%.
toksik terh
DTA 17%.
BAB 3
ONSEP DA
3.1. Kerangka
dipajankan d
ya diukur de
% maka baha
rsebut dinya
TA 17%, da
nkim pulpa.
erhadap viab
hadap viabi
hadap viabi
27
AN HIPOTE
Konsep
dengan NaO
engan MTT
an tersebut d
takan toksik
an CHX 2%
bilitas sel p
ilitas sel pu
ilitas sel pu
Universita
ESIS
OCl 2.5%, ED
assay. Jika
dinyatakan ti
k.
% memiliki e
punca mesen
unca mesen
unca mesen
27
as Indonesia
DTA 17%,
a persentasi
idak toksik
efek toksik
nkim pulpa
nkim pulpa
nkim pulpa
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
28
Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik
4.2 Sampel Penelitian dan Bahan Uji
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel punca mesenkim
dari pulpa gigi molar 3 permanen imatur dengan apeks yang masih terbuka.
Kriteria inklusinya adalah:
1. Gigi molar 3 permanen yang diindikasikan untuk diekstraksi
2. Pasien pria atau wanita dengan usia antara 16-25 tahun
3. Pemeriksaan radiografik menunjukkan bahwa gigi imatur pada tahap
perkembangan dengan apeks terbuka (>1.5 mm)
Kriteria eksklusinya adalah:
1. Gigi molar 3 permanen dengan karies atau penyakit pulpa dan periapikal
2. Kultur terkontaminasi jamur/ bakteri lain, warna media berubah
3. Sel-sel tidak tumbuh baik pada pasase 1 dan seterusnya
Sedangkan bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOCl
2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2%.
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata Institut
Pertanian Bogor. Waktu penelitian dari bulan Juli-Oktober 2014.
4.4 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas
NaOCl 2.5%, EDTA 17%, CHX 2%.
4.3.2 Variabel terikat
Viabilitas sel-sel punca mesenkim pulpa.
28
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
29
Universitas Indonesia
4.5. Definisi Operasional
Variabel Deskripsi
Variabel
Cara
Pengukuran
Hasil Ukur Skala
Pengukuran
Variabel
bebas:
NaOCl 2.5%
EDTA 17%
CHX 2%
Larutan natrium
hipoklorit
5.25% yang
didapatkan
dengan
pengenceran
sebesar 1:1
dengan
menggunakan
rumus
C1V1=C2V2.
Larutan MD-
Cleanser 17
EDTA Solution
(Metabiomed)
yang
mengandung
ethylene-
diamine
tetraacetic acid
17 %.
Larutan
Concepsis
(Ultradent)
yang
mL
mL
mL
Nominal
Nominal
Nominal
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
30
Universitas Indonesia
mengandung
klorheksidin
2%..
Variabel
terikat:
Viabilitas Sel
Sel punca
mesenkim
pulpa
(DPSC)
Kemampuan sel
untuk dapat
hidup setelah
terpapar suatu
bahan atau
senyawa
bioaktif.
Sel punca yang
diperoleh dari
isolasi dan
identifikasi
kultur primer
Uji MTT
dihitung pada
microplate
reader dengan
panjang
gelombang
595 nm dan
didapatkan
nilai optical
density (OD).
Kemudian
nilai viabilitas
sel dinyatakan
dalam persen
hasil
perbandingan
OD kelompok
uji terhadap
kelompok
kontrol.
Dideteksi
dengan
penanda
molekuler
Stro-1 yang
Toksik jika
persentase
viabilitas sel
lebih kecil
dari 100%
dan tidak
toksik jika
persentase
viabilitas sel
≥ 100%.
Numerik
Numerik
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
31
Universitas Indonesia
jaringan pulpa
gigi dewasa
muda (16-25
tahun).
dipropagasi
secara in vitro.
4.6 Alat, Bahan, dan Cara Kerja
4.6.1 Alat
1. Botol Schott
2. Tube 15 ml
3. Tube 50 ml
4. Flask 25 ml
5. Vial
6. Centrifuge
7. 6 well plate
8. 96 microwell plate
9. Micropippettor
10. Tips micropippet
11. Syringe 50 ml
12. Sartorius Minisart single use syringe filter sterile-EO (0.20 µm)
13. Inkubator
14. Orbital Shaker
15. Microplate reader (Bio-Rad)
16. Biohazard cabinet
17. Mikroskop Inverted
18. Mikroskop Fluorescence
19. Haemocytomer glass
20. Scalpel
21. Kertas parafilm
22. Spidol
23. Masker dan sarung tangan
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
32
Universitas Indonesia
4.6.2 Bahan
1. Medium kultur: Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM),
rendah glukosa dan mengandung L-Glutamine, 110 mg/L Sodium
Pyruvate dan Pyridoxine Hydrochloride.
2. Penicillin – Streptomycin yang mengandung 10.000 Units/ml
Penicillin G Sodium dan 10.000 µg/ml Streptomycin Sulfate dalam
salin 0.85%.
3. Fetal Bovin Serum (FBS)
4. Gigi molar 3 imatur yang baru diekstraksi
5. Carborandum disc
6. Mikromotor
7. Trypsin EDTA
8. Phosphate Buffer Saline (PBS)
9. Trypan Blue
10. Slide chamber
11. Aceton methanol absolute
12. Primary Antibody STRO-1 mouse monoclonal IgM (sc-47733)
13. Secondary Antibody Goat Anti-Mouse Ig-M-FITC (sc-2082)
14. NaOCl 2.5% (Byclin)
15. EDTA 17% (Metabiomed)
16. CHX 2% (Concepsis, Ultradent)
17. Larutan MTT 5 mg/ml
18. Ethanol
19. Evans Blue
4.6.3 Cara Kerja
4.6.3.1 Persiapan Alat dan Bahan
Dalam penelitian in vitro ini, seluruh alat, bahan dan prosedur kerja harus
dijaga agar tetap steril. Oleh karena itu sebelum memulai penelitian, beberapa alat
dan bahan seperti tips micropippette, botol Schott, dan PBS disterilisasi dengan
autoclave (120 °C) selama 20 menit. Seluruh prosedur kerja dilakukan di dalam
biohazard cabinet.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
33
Universitas Indonesia
4.6.3.2 Pembuatan Medium Kultur Lengkap (dilakukan di dalam biohazard
cabinet)
Medium kultur lengkap adalah medium DMEM yang mengandung
Penicillin Streptomycin dan FBS 20 %. Kemudian medium kultur tersebut
difiltrasi dengan menggunakan Sartorius Minisart single use syringe filter sterile
50 ml dengan diameter 0.2 µm. Simpan di lemari pendingin.
4.6.3.3 Kultur Sel Punca Mesenkim Pulpa
a. Isolasi sel primer
Gigi molar 3 imatur yang baru diekstraksi (kurang dari 24 jam)
dibersihkan, lalu direndam di dalam 20 ml medium kultur lengkap. Gigi
dibelah dengan menggunakan carborandum disc. Jaringan pulpa diambil
dan dipotong menjadi fragmen 2x2x1 mm dan diinkubasi di dalam petri
dish dengan trypsin 0.25% selama 5 menit. Kemudian sel dimasukkan ke
dalam 6 well plate dengan DMEM lengkap. Sel diinkubasi di dalam
inkubator 37 °C, 5 % CO2 sampai confluent.
b. Subkultur sel
Setelah sel confluent, medium dibuang dan sel dicuci dengan PBS
untuk membersihkan sisa medium yang ada. Tambahkan trypsin sebanyak
sebanyak 5ml dan inkubasi pada suhu 37 selama 5 menit. Kemudian
tambahkan medium kultur sebanyak 10 ml untuk mengehentikan kerja
trypsin. Sel yang telah lepas dari substrat dimasukkan ke dalam tabung 15
ml, sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan
dibuang kemudian sel diresuspensi di dalam flask 25 ml dengan DMEM
lengkap.
c. Perhitungan jumlah sel dan penempatan ke dalam well plate
Sel dihitung dengan menggunakan hemocytometer. Sel disiapkan
pada 96 well plate dengan jumlah sel 5000 per well. Jumlah sel dihitung
dengan rumus: C1 x V1 = C2 x V2, Sel kemudian diinkubasi selama 24 jam
di dalam medium pada suhu 37C dan 5% CO2.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
34
Universitas Indonesia
4.6.3.4 Uji Immunofluorescence
Sel ditanam di dalam slide chamber sebanyak 5000 sel kemudian
diinkubasi pada suhu 37 °C dan 5% CO2 selama 3 hari. Pada hari ke-3, medium
dibuang dan difiksasi menggunakan larutan aceton methanol absolute selama 2
menit. Setelah difiksasi, sel dicuci dengan larutan PBS sebanyak tiga kali,
pencucian terakhir dilakukan selama 5 menit.
Setelah kering preparat diberi antibodi primer yang dilarutkan dalam PBS
dengan konsentrasi 100%, 50%, dan 25% dengan jumlah per chamber 100 µl..
Kemudian inkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit untuk memberi waktu bagi
antibodi untuk berikatan dengan antigen. Preparat kembali dicuci dengan larutan
PBS sebanyak tiga kali dengan pencucian terakhir dilakukan selama 5 menit,
kemudian ditambahkan antibodi sekunder FITC yang akan berikatan dengan
antibodi pertama. Preparat diinkubasi selama 60 menit menit pada suhu 37°C
untuk memberi waktu bagi antibodi sekunder berikatan dengan antibodi primer.
Preparat kembali dicuci menggunakan larutan PBS sebanyak tiga kali
dengan pencucian terakhir dilakukan selama 5 menit. Setelah itu preparat diberi
pewarna Evans Blue untuk memberi warna latar belakang, kemudian preparat
dibilas dengan aquabides. Setelah kering, diakukan pengamatan preparat sel
dengan menggunakan mikroskop fluorescence.
4.6.3.5 Kultur Sel Dipapar dengan Bahan Irigasi
Medium kultur sel pada tiap well dibuang. Lalu tiap well dipaparkan
100L larutan uji dengan 3 kali ulangan. Kemudian sel diinkubasi kembali pada
suhu 37C dan 5% CO2 selama 2 hari.
4.6.3.6 Uji Viabilitas Sel dengan MTT Assay
Setelah inkubasi selama 48 jam, bahan uji dibuang dari well. Senyawa 3-
(4, 5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) (MTT) ditambahkan
sebanyak 100 µl kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C dan 5% CO2 selama 4 jam.
Supernatan sel dibuang dan kristal formazan yang terbentuk dilarutkan dengan
etanol 70%. Pembacaan optical density dilakukan menggunakan microplate
reader dengan panjang gelombang 595 nm. Nilai absorbansi (OD) tiap kelompok
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
35
Universitas Indonesia
perlakuan kemudian dipersentasekan terhadap kelompok kontrol untuk
menentukan viabilitas sel.
4.7 Alur Penelitian
Gambar 4.1. Alur Penelitian
4.8 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menentukan rerata
dan simpangan baku. Jenis data penelitian ini merupakan jenis data kategorik dan
numerik, sehingga apabila distribusi data normal dengan varians data yang sama
data dianalisis dengan uji statistik parametrik One way ANOVA. Perbandingan
nilai optical density (OD) antar kelompok dianalisis dengan menggunakan uji
Post-Hoc Bonferonni.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
36
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini telah dilakukan uji eksperimental laboratorik untuk
membandingkan efek larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2% terhadap
kultur sel punca mesenkim pulpa. Untuk memastikan bahwa sel kultur primer dari
pulpa gigi yang digunakan adalah benar merupakan sel punca mesenkim, maka
dilakukan uji immunofluorescence dengan menggunakan antibodi STRO-1.
Gambaran mikroskopis dari hasil uji tersebut dapat dilihat pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Gambaran mikroskopis dari hasil uji immunofluorescence. Gambaran dengan
pendaran berwarna hijau menandakan bahwa sel tersebut benar merupakan sel punca mesenkim. (A) Kelompok kontrol yaitu sampel yang tidak ditambahkan dengan antibodi primer STRO-1, (B)
Kelompok perlakuan pertama, ditambahkan dengan antibodi primer tanpa pengenceran, (C) Kelompok perlakuan kedua, ditambahkan antibodi primer dengan pengenceran 2x, (D) Kelompok
perlakuan ketiga, sampel ditambahkan antibodi primer dengan pengenceran 4x.
Pada gambar 5.1 terlihat gambaran hasil uji immunofluorescence pada sel
punca mesenkim pulpa. Lingkaran menunjukkan gambaran koloni atau kumpulan
A B
C D
36
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
37
Universitas Indonesia
sel. Pada gambar A yang merupakan kelompok kontrol, terlihat gambaran
berwarna merah yang menyatakan antibodi primer tidak berikatan dengan antibodi
sekunder. Pada gambar B, C, D terlihat pendaran hijau yang menandakan sel
tersebut memang merupakan sel punca mesenkim pulpa. Bagian yang berpendar
merupakan sitoplasma dari sel punca mesenkim pulpa.
Selanjutnya sel dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
kelompok kontrol dan kelompok kedua adalah kelompok perlakuan. Pada
kelompok perlakuan, sel punca mesenkim pulpa dipaparkan dengan larutan
NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2%. Gambaran mikroskopis kelompok
kontrol dan perlakuan setelah diinkubasi selama 2 hari pada 96-wellplate dapat
dilihat pada gambar 5.2 – 5.5.
Gambar 5.2 Gambaran mikroskopis sel kelompok kontrol dengan medium pada 96-wellplate
setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x.
Gambar 5.2 memperlihatkan gambaran mikroskopis sel setelah inkubasi
selama 2 hari. Lingkaran menunjukkan koloni sel. Anak panah menunjukkan sel
punca mesenkim pulpa. Sel punca mesenkim pulpa memiliki morfologi badan sel
yang kecil dengan bentuk spindle panjang yang tipis.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
38
Universitas Indonesia
Gambar 5.3. Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan NaOCl pada
96-wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x.
Gambar 5.3 memperlihatkan sel yang telah dipaparkan larutan NaOCl
2.5%. Gambaran mikroskopis memperlihatkan tidak adanya sel yang tersisa
setelah dipaparkan oleh larutan NaOCl 2.5%.
Gambar 5.4. Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan EDTA pada 96-
wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x.
Gambar 5.4 merupakan kelompok sel yang dipaparkan larutan EDTA.
Gambaran mikroskopis menunjukkan masih terlihatnya sisa sel setelah perlakuan.
Anak panah menunjukkan salah satu sel punca mesenkim pulpa setelah perlakuan.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
39
Universitas Indonesia
Masih dapat terlihat sel punca mesenkim pulpa pada kelompok ini. Anak panah
menunjukkan salah satu sel punca mesenkim pulpa.
Gambar 5.5. Gambaran mikroskopis sel kelompok perlakuan yang dipapar dengan CHX pada 96-
wellplate setelah inkubasi selama 2 hari dengan pembesaran 32x.
Gambar 5.5 merupakan kelompok sel yang dipaparkan larutan CHX 2%.
Gambaran mikroskopis menunjukkan masih terlihatnya sisa sel setelah perlakuan.
Anak panah menunjukkan salah satu sel punca mesenkim pulpa setelah perlakuan.
Masih dapat terlihat sel punca mesenkim pulpa pada kelompok ini. Anak panah
menunjukkan salah satu sel punca mesenkim pulpa.
Untuk dapat menyatakan hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya
perbedaan kondisi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah
akibat dari intervensi pada penelitian ini, maka dilakukan uji statistik kemaknaan
One-Way ANOVA dengan confidence interval 95%. Untuk dapat melakukan uji
tersebut, sebelumnya data harus memenuhi syarat yaitu memiliki data kategorik
dan numerik dengan perlakukan lebih dari 2 kelompok. Data harus memiliki
distribusi yang normal dengan varians data yang sama.
Dari uji normalitas diperoleh diperoleh distribusi data yang normal dengan
varians data yang sama. Nilai rerata OD dan persentase dari larutan serta uji
kemaknaannya tertera dalam tabel 5.1.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
40
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Nilai rerata OD dan persentase viabilitas sel serta hasil uji kemaknaan nilai rerata OD antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
Jenis Larutan N Rerata OD ± SD Viabilitas Sel
± SD (%)
P
Kontrol 3 0.103 ± 0.007 100 ± 6.8 0.000
NaOCl 2.5% 3 0.035 ± 0.002* 34 ± 1.94* 0.000
EDTA 17% 3 0.023 ± 0.004 22.3 ± 3.88 0.000
CHX 2% 3 0.033 ± 0.006 32.04 ± 5.83 0.000
Keterangan Tabel 5.1: Menunjukkan hasil viabilitas kultur sel punca pulpa yang dipapar dengan larutan irigasi. Nilai viabilitas sel tertinggi diperoleh dari larutan NaOCl 2.5 % (34 %) dan nilai viabilitas terendah diperoleh dari EDTA 17% (22.3%).
Tabel 5.1 menunjukkan hasil viabilitas kultur sel punca pulpa yang
dipapar dengan larutan irigasi. Nilai viabilitas sel tertinggi diperoleh dari larutan
NaOCl 2.5 % (34 %) dan nilai viabilitas terendah diperoleh dari EDTA 17%
(22.3%).
Tabel. 5.2 Nilai kemaknaan optical density (OD) yang dipapari dengan larutan irigasi dibandingkan dengan kontrol. Nilai p ≤ 0.05.
p ≤ 0.05
Larutan Irigasi Kemaknaan OD
Kontrol vs NaOCl 2.5% 0.000*
Kontrol vs EDTA 17% 0.000*
Kontrol vs CHX 2% 0.000*
Keterangan Tabel 5.2: Perbedaan bermakna(*) diperoleh dari seluruh larutan yang dibandingkan dengan kontrol.
Dari Tabel 5.2 dapat dilihat seluruh larutan irigasi memiliki nilai OD yang
lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan hasil yang berbeda
bermakna (p ≤ 0.05).
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
41
Universitas Indonesia
Tabel 5.3 Nilai kemaknaan optical density (OD) antar larutan irigasi. Nilai p ≤ 0.05.
p ≤ 0.05
Jenis Larutan Kemaknaan OD
NaOCl 2.5% vs EDTA 17% 0.108
NaOCl 2.5% vs CHX 2% 1.000
EDTA 17% vs CHX 2% 0.183
Keterangan Tabel 5.3: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan optikal density (OD) pada semua kelompok larutan.
Dari Tabel 5.3 perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p ≥ 0.05)
ditunjukkan oleh kelompok larutan NaOCl 2.5% dibandingkan dengan EDTA
17% (p = 0.108), kelompok larutan NaOCl 2.5% dibandingkan dengan CHX 2%
(p = 1.000), dan kelompok larutan EDTA 17% dibandingkan dengan CHX 2% (p
= 0.183).
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
42
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
Perkembangan ilmu biologi molekuler memberikan pengaruh besar pada
pendekatan perawatan yang menitikberatkan regenerasi dari kompleks dentin
pulpa pada manusia. Pada regenerasi jaringan diperlukan tiga hal penting untuk
memicu perkembangan jaringan yang diinginkan, yaitu sel punca, growth factor,
dan scaffold. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan prosedur
regenerasi di bidang endodontik membutuhkan disinfeksi yang baik dari sistem
saluran akar.5, 7, 21 Keberhasilan dari perawatan regenerasi endodontik tergantung
dari desinfeksi sistem saluran akar yang tidak menghambat proses penyembuhan
dan integrasi dari jaringan rekayasa pulpa dengan dinding saluran akar. Oleh
karena itu, diperlukan bahan irigasi yang memiliki sifat bakterisid tetapi juga
memiliki kemampuan mempertahankan kelangsungan hidup dan kemampuan
proliferasi sel punca.8
Pada penelitian ini telah diuji efek larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan
CHX 2% terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Ketiga larutan ini
merupakan larutan yang banyak dipergunakan sebagai bahan irigasi saluran akar.
Berbeda dengan perawatan endodontik konvensional yang tidak
mempertimbangkan efek kimiawi terhadap sel punca, pada perawatan regenerasi
endodontik perlu diketahui efek ketiga bahan ini terhadap viabilitas sel punca.21
Sumber sel punca mesenkim pulpa pada penelitian ini diperoleh dari gigi
molar ketiga imatur yang diindikasikan untuk diekstraksi. Gigi molar ketiga
merupakan sumber yang umum untuk isolasi sel punca gigi. Gigi ini merupakan
gigi terakhir yang erupsi, normalnya sedang berada pada tahap awal
perkembangan dan mampu menghasilkan kuantitas yang optimal dari jaringan
pulpa untuk isolasi sel punca pulpa.31 Penggunaan sel primer di dalam penelitian
ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh Perez dkk (2003) yang mengusulkan
penggunaan sel primer untuk menguji suatu bahan endodontik hasilnya akan jauh
lebih representatif dibandingkan dengan penggunaan sel sekunder, meskipun
42
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
43
Universitas Indonesia
tehnik pengambilannya lebih sensitif karena mempunyai masa hidup yang pendek
dan labil.32
Pada kebanyakan penelitian regenerasi endodontik sumber sel punca yang
digunakan adalah sel punca papila apikal. Sedangkan pada penelitian ini
dipergunakan sel punca mesenkim pulpa. Gronthos dkk (2000) menyatakan stem
punca pulpa memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan sel punca sumsum tulang secara in vitro. Studi ini menyatakan sel punca
pulpa dapat mempertahankan proliferasi yang tinggi walaupun telah dilakukan
subkultur beberapa kali. Sel punca pulpa yang dikultur dari gigi molar ketiga
imatur yang berada pada tahap perkembangan menunjukkan kemampuan
diferensiasi yang tinggi untuk menjadi sel lir odontoblas, dengan potensi migrasi
yang aktif dan mineralisasi. Terdapat zona kaya sel yang menghubungkan sel
punca pulpa dengan sel punca papila apikal, sehingga walaupun memiliki
karakteristik yang berbeda, tapi keduanya masih membawa informasi
morfogenetik yang sama. Keduanya merupakan sumber sel punca dengan
proliferasi tinggi yang mampu berdiferensiasi menjadi sel lir odontoblas. Selain
itu, SCAP memiliki jumlah kuantitas yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
DPSC, sehingga pengambilan sampel lebih sulit. Letak SCAP yang berada di
ujung apeks juga menyebabkan kemungkinan kontaminasi yang lebih tinggi saat
proses ekstraksi gigi.6, 33
Antibodi STRO-1 merupakan antibodi monoklonal yang menandai
subpopulasi sel punca mesenkim sebagai colony forming unit fibroblast karena sel
punca mesenkim memiliki morfologi yang menyerupai fibroblas secara in vitro.
Antibodi ini mengidentifikasi antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh
fraksi osteogenik dari prekursor stromal pada sumsum tulang manusia dan juga
pada prekursor eritroid.10, 34 Antigen STRO-1 belum banyak dikelompokkan,
menyebabkan terbatasnya penggunaan pada penelitian. Ekspresi STRO-1
mengalami penurunan regulasi apabila digunakan dalam kultur jangka panjang,
akan tetapi memiliki peranan penting untuk migrasi sel punca mesenkim dan
perlekatan ke matrix ekstraseluler.30 Pada uji immunofluorescence, sel punca
mesenkim pulpa menunjukkan hasil positif dengan mengekspresikan antibodi
STRO-1. Deteksi dari antibodi STRO-1 pada penelitian ini menggunakan uji
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
44
Universitas Indonesia
immunofluorescence. Uji immunofluorescence digunakan luas untuk
menunjukkan enzim, hormon, protein plasma, sel, dan konstituennya. Metode ini
juga memiliki potensi untuk menentukan interaksi antigen-antibodi terhadap
mitokondria, mikrosom seperti juga struktur permukaan sel yang kecil. Teknik
indirek immunofluorescence yang digunakan memiliki kelebihan 10 kali lebih
sensitif jika dibandingkan dengan teknik direk. Keuntungan lain dari teknik ini
adalah tekniknya sederhana, memiliki waktu prosedur yang singkat yaitu 1 sampai
3 jam, sensitivitas tinggi, dan memiliki nilai prognostik yang penting.35
Terdapat berbagai metode untuk mendeteksi viabilitas sel. Berbagai
metode tersebut bergantung dari berbagai fungsi sel, seperti aktivitas enzim,
permeabilitas membran sel, perlekatan sel, produksi ATP, produksi ko-enzim, dan
aktivitas nukleotida. Metode untuk menghitung jumlah sel yang hidup di
antaranya adalah Colony Formation Method, Crystal Violet Method, Tritium-
Labeled Thymidine Uptake Method, MM, WST Method. Uji yang digunakan pada
penelitian ini adalah uji garam tetrazolium MTT untuk menghitung aktivitas
dehidrogenase mitokondria. Uji ini memiliki kelebihan dibandingkan uji yang lain
yaitu mudah dilakukan, aman, memiliki prosedur yang cukup cepat sehingga
mengurangi kemungkinan kematian sel, mudah apabila akan dilakukan
pengulangan, dan digunakan luas baik untuk uji viabilitas sel maupun
sitotoksisitas suatu bahan. Selain itu, uji MTT merupakan uji yang paling baik
untuk menentukan aktivitas dehidrogenase mitokondria pada sel hidup jika
dibandingkan uji lainnya.15, 36, 37
Pada tabel 5.1 menunjukkan terdapat penurunan viabilitas sel punca
mesenkim pulpa dari larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2%. Larutan
NaOCl 2.5% terbukti paling rendah menurunkan viabilitas sel punca mesenkim
pulpa (34 % ± 1.94), sedangkan larutan EDTA 17% paling tinggi menurunkan
viabilitas sel punca mesenkim pulpa (22.3 ± 3.88). Penurunan viabilitas ini
menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik (p ≤ 0.05) ketika dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 5.2). Oleh karena itu, hipotesis mayor dari penelitian ini
diterima, yaitu larutan NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2% memiliki efek
toksik terhadap viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
45
Universitas Indonesia
Pada tabel 5.3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada
penurunan viabilitas sel ketika dibandingkan antar seluruh kelompok larutan yang
diuji (p ≥ 0.05). Oleh karena itu, hipotesis minor pertama, kedua, dan ketiga pada
penelitian ini ditolak, yaitu efek toksik NaOCl 2.5% terhadap viabilitas sel punca
mesenkim pulpa tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan EDTA 17% dan
CHX 2%, demikian juga halnya dengan CHX 2% dibandingkan dengan EDTA
17%.
Pada penelitian ini terbukti NaOCl 2.5% menurunkan viabilitas sel punca
mesenkim pulpa dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 5.2). Hasil ini
sesuai dengan penelitian Alkahtani dkk (2014) dan Longo dkk (2010). Alkahtani
dkk menyatakan NaOCl toksik terhadap sel punca mesenkim sumsum tulang dan
menyebabkan kerusakan seluler. Begitu juga Longo dkk (2010) yang menyatakan
NaOCl sitotoksik pada konsentrasi yang tinggi (2%) sedangkan NaOCl dengan
konsentrasi yang lebih rendah (1%) genotoksik dengan peningkatan mikronukleus
pada sel KB. Adapun toksisitas NaOCl disebabkan tingginya pH (aktivitas ion
hidroksil), yang mempengaruhi integritas membran sitoplasmik. NaOCl memiliki
mekanisme kerja dengan cara mendegradasi struktur lipid dan inaktivasi protein
melalui reaksi saponifikasi dan kloroaminasi. Reaksi kloroaminasi menghasilkan
radikal bebas seperti ion hidroksil yang menciptakan lingkungan alkalin yang
berpotensi menimbulkan stres biologis terhadap bagian seluler yang berbeda..
Oleh karena itu, perbedaan dari respon sel berdasarkan konsentrasi NaOCl
berhubungan dengan banyaknya radikal bebas yang mengenai sel. Radikal bebas
dapat menyebabkan peningkatan kerusakan DNA seluler yang mengarah ke
penyimpangan pembentukan kromosom. Sel yang terpapar NaOCl dengan
konsentrasi yang tinggi mengalami kerusakan pada siklus sel pertama, sedangkan
sel yang terpapar NaOCl dengan konsentrasi yang lebih rendah akan mengalami
kerusakan pembentukan DNA. Tabel 5.1 menunjukkan NaOCl 2.5% paling
rendah dalam menurunkan viabilitas sel punca mesenkim pulpa jika dibandingkan
EDTA 17% dan CHX 2%. Hal ini sejalan dengan penelitian Saghiri dkk (2011)
dan Bajrami dkk (2014). Saghiri dkk menyatakan NaOCl dengan konsentrasi
kurang dari 2.6% memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan bahan irigasi
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
46
Universitas Indonesia
lainnya. Begitu juga Bajrami dkk yang menyatakan NaOCl 3% memiliki
toksisitas lebih rendah dibandingkan CHX 2% dan MTAD.38-40
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa EDTA 17% juga terbukti menurunkan
viabilitas sel punca mesenkim pulpa ketika dibandingkan dengan kontrol.
Menurut Alkahtani dkk (2014), peningkatan sitotoksisitas EDTA kemungkinan
disebabkan efek chelasi dan kemampuan menurunkan pH. Hal ini sejalan dengan
penelitian Amaral dkk (2007) yang meneliti pengaruh EDTA terhadap makrofag.
Amaral dkk menyatakan EDTA menyebabkan perubahan pada membran sel
karena ion chelator seperti Ca2+ dan Mg2+ dan mempercepat proses apoptosis sel.
Selain itu, EDTA dapat menyebabkan efek tidak langsung pada metabolisme sel.
EDTA dapat menurunkan pH dari medium kultur dan mengurangi nutrisi sel yang
menyebabkan penurunan viabilitas sel.40, 41 Akan tetapi, hasil ini berbeda dengan
penelitian Trevino dkk (2011) yang menyatakan EDTA 17% menunjukkan efek
yang paling baik terhadap viabilitas sel dan perlekatan sel. Hal ini kemungkinan
disebabkan metode penelitian yang berbeda, dimana Trevino dkk tidak melakukan
pemaparan sel punca langsung dengan larutan irigasi tetapi menggunakan
simulasi sistem saluran akar yang dilakukan prosedur endodontik dan irigasi
kemudian diinjeksikan sel punca papila apikal untuk selanjutnya dilihat sel yang
bertahan hidup di bawah mikroskop. Selain itu, waktu inkubasi pada penelitian ini
yang memerlukan waktu 48 jam kemungkinan dapat mempengaruhi toksisitas dari
larutan. Hal ini sesuai dengan pernyatan Alkahtani dkk (2014) yaitu toksisitas
meningkat seiring lamanya waktu pemaparan.21, 40
Tabel 5.2 juga memperlihatkan bahwa CHX terbukti menyebabkan
penurunan viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Sitotoksisitas CHX disebabkan
ikatan komponennya dengan membran plasma sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas yang menyebabkan hilangnya enzim lisosomal. Sitotoksisitas CHX
juga dikemukakan Lee dkk (2010) yang menyatakan CHX sitotoksik terhadap sel
dengan menghambat sintesis kolagen sel. Hasil ini juga sesuai dengan studi
sebelumnya oleh Pucher dan Daniel (1993), Chang dkk (2001), dan Mariotti dan
Rumph (1999) yang menyatakan CHX menghambat sintesis protein dan sintesis
kolagen sel fibroblas. Tingginya kation dalam CHX mempengaruhi biosintesis
protein secara spesifik yang menyebabkan efek inhibitor secara umum pada sel.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
47
Universitas Indonesia
Kemampuan CHX menghambat pertumbuhan sel, proliferasi sel, dan sintesis
kolagen dapat menghambat potensi perbaikan dan regenerasi jaringan.40, 42
Selain penilaian sitotoksisitas dengan uji MTT dilakukan juga penilaian
morfologi sel secara mikroskopis untuk mengetahui toksisitas secara seluler.
Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dari viabilitas sel
antar larutan (Tabel 5.3), terdapat perbedaan morfologi sel secara mikroskopis.
Sel yang dipaparkan dengan EDTA 17% dan CHX 2% memperlihatkan
perubahan morfologis yang lebih kecil jika dibandingkan dengan NaOCl 2.5%.
Sel yang dipaparkan EDTA 17% dan CHX 2% memperlihatkan dinding sel yang
masih intak yang menunjukkan tahap awal dari apoptosis sel, sedangkan sel yang
dipaparkan NaOCl 2.5% memperlihatkan membran yang ruptur atau lisisnya sel
yang merupakan karakteristik dari nekrosis sel. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Alkahtani dkk (2014) yang membandingkan NaOCl dengan campuran EDTA dan
CHX yaitu ketiga larutan sitotoksik tetapi memiliki kemampuan mematikan sel
yang berbeda karena memiliki komposisi yang berbeda. Gambaran sel yang
dipaparkan NaOCl 2.5% menunjukkan ciri sel mengalami nekrosis dimana hanya
ditemukan sisa-sisa material yang merupakan akibat lisisnya sel dan tidak
ditemukan lagi struktur sel. Sedangkan apoptosis merupakan bentuk kematian sel
yang disebut kematian sel terprogram yang ditandai dengan penyusutan sel,
kondensasi kromatin nukleus, yang diikuti dengan fragmentasi nukleus, dengan
tampilan morfologi yang normal dari organel sitoplasmik dan membran plasma
yang intak. Hal ini sesuai dengan temuan hasil penelitian ini, dimana proses
apoptosis sesuai dengan gambaran mikroskopis sel yang dipaparkan dengan
larutan EDTA 17% dan CHX 2%.40
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa ketiga larutan NaOCl 2.5%,
EDTA 17%, dan CHX 2% menurunkan viabilitas sel punca mesenkim pulpa.
Penelitian secara in vitro ini murni merupakan penelitian secara seluler yang tidak
dapat dibandingkan langsung dengan hasil penelitian in vivo. Penelitian dilakukan
pada kultur sel dan hasilnya hanya merepresentasikan respon sel saat diisolasi
tanpa mempertimbangkan mekanisme pertahanan host untuk detoksifikasi. Waktu
inkubasi setelah sel dipaparkan bahan uji yang terlalu lama juga menjadi
kekurangan penelitian ini, karena kurang merepresentasikan waktu pada aplikasi
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
48
Universitas Indonesia
klinis, sehingga efek toksik yang ditunjukkan hasil penelitian ini lebih besar. Oleh
karenanya, diperlukan penelitian lebih lanjut baik pada hewan maupun manusia
untuk mengevaluasi sitotoksisitas dan biokompatibilitas ketiga larutan secara in
vivo.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
49
Universitas Indonesia
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
NaOCl 2.5%, EDTA 17%, dan CHX 2% memiliki efek toksik terhadap
viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Penurunan nilai viabilitas sel punca
mesenkim pulpa yang paling rendah ditunjukkan oleh NaOCl 2.5% sedangkan
nilai penurunan yang paling tinggi ditunjukkan oleh EDTA 17%.
7.2 Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek larutan NaOCl, EDTA, dan
CHX dengan metode in vitro yang berbeda.
Dari hasi penelitian in vitro ini, perlu ditindaklanjuti secara in vivo agar
dapat memperoleh gambaran yang lebih mendekati keadaan secara klinis.
49
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
50
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Haapsalo M, Qian W. Irrigants and Intracanal Medicaments. In: Ingle JI, Backland LK, Baumgartner JC, editors. Ingle’s Endodontics 6. Connecticut: People’s Medical Publishing House; 2008. p. 992, 94.
2. Hargreaves KM, Law AS. Regenerative Endodontic. In: Hargreaves KM,
Cohen S, editors. Cohen’s Pathways of The Pulp. 10 ed. St. Louis: Mosby Elsevier 602-603; 2011. p. 602-03.
3. Rosa V, Bona AD, Cavalcanti BN, Nor JE. Tissue Engineering: From
Research to Dental Clinics. Dental Material 2012;28:341-48. 4. Bhat V, Prasad K, S SB, Bhat A. Role of tissue Engineering In Dentistry.
JIADS Januari-Maret 2011;2 (1):37-42. 5. Hargreaves KM, Diogenes A, Teixeira FB. Treatment Options: Biological
Basis of Regenerative Endodontics Procedures. Pediatric Dentistry Maret-April 2013;35(2):129-40.
6. Gronthos S, Mankani M, Brahim J, Robey PG, Shi S. Postnatal Human
Dental Pulp Srem Cells (DPSCs) in Vitro and in Vivo. PNAS Desember 2000;97(25):13625-30.
7. Ruparel NB, Teixeira FB, Ferraz CCR, Diogenes A. Direct Effect of
Intracanal Medicaments on Survival of Stem Cells of The Apical Papilla. Journal of Endodontics Oktober 2012;38(10):1372-75.
8. Trevino EG, Patwardhan AN, Henry MA, et al. Effect of Irrigants on The
Survival of Human Stem Cells of The Apical Papilla in a Platelet-rich Plasma Scaffold in Human Root Tips. Journal of Endodontics 2011;37(8):1109-15.
9. Jamal M, Chogle S, Goodis H, Karam SM. Dental Stem Cells and Their
Potential Role in Regenerative Medicine. Journal of Medical Sciences 2011;4(2):53-61.
10. D’aquino R, Rosa AD, Laino G, et al. Human Dental Pulp Stem Cells:
From Biology to Clinical Applications. Journal Of Experimental Zoology (Mol Dev Evol) 2008:7.
11. Mishra N, Narang I, Mittal N. Platelet‑rich Fibrin‑mediated Revitalization
of Immature Necrotic Tooth. Contemporary Clinical Dentistry Jul-Sep 2013 4(3):412-13.
50
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
51
Universitas Indonesia
12. Nostrat A, Li KL, Vir K, Hicks ML, Fouad AF. Is Pulp Regeneration Necessary for Root Maturation. Journal of Endodontics Oktober 2013;39(10):1291-95.
13. Sluis LWM, Versluis M, Wu MK, Wesselink PR. Passive ultrasonic
irrigation of the root canal: a review of the literature International Endodontic Journal 2007;40:415-26.
14. Alkahtani A, Kudhairi TDA, Anil S. A comparative study of the
debridement efficacy and apical extrusion of dynamic and passive root canal irrigation systems. BMC Oral Health 2014;14(12):1-7.
15. Saghiri MA, Delvarani A, Mehrvarzfar P, et al. The Impact of pH on
Cytotoxic Effects of Three Root Canal Irrigants. The Saudi Dental Journal 2011;23:151.
16. Galler KM, D'Souza RN, Federlin M, et al. Dentin Conditioning
Codetermines Cell Fate in Regenerative Endodontics. Jounal of Endodontics November 2011;37(11):1536-41.
17. Walton RE, Rivera EM. Cleaning and Shaping. In: Walton RE,
Torabinejad M, editors. Principles and Practice of Endodontics. 3rd ed. United States of America: W. B Saunders Company; 2002. p. 219.
18. Murray PE, Godoy FG, Hargreaves KM. Regenerative Endodontics: A
Review of Current Status and a Call for Action. Journal of Endodontics April 2007;33(4):377-90.
19. Welk A Trends in Endodontic Therapy: Regenerative Endodontics. 2012.
"www.thetoothofthematter.org/trends-in-endodontic-therapy-regenerative-endodontics/".
20. Bluteau G, Luder H-U, Bari CD, Mitsiadis TA. Stem Cells for Tooth
Engineering. European Cells and Materials 2008;16:1-9. 21. Trevino EG, Patwardhan AN, Henry MA, et al. Effects of Irrigants on the
Survival of Human Stem Cells of the Apical Papilla in a Platelet-rich Plasma Scaffold in Human Root Tips. Jounal of Endodontics 2011;37(8):1109-15.
22. Sonoyama W, Liu Y, Yamaza T, et al. Characterization of the apical
papilla and its residing stem cells from human immature permanent teeth: a pilot study. J Endod 2008;34:166-71.
23. Kandaswamy D, Venkateshbabu N. Root canal irrigants. Journal of
Conservative Dentistry Oktober-Desember 2010;13(4):256-64.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
52
Universitas Indonesia
24. Jaju S, Jaju PP. Newer Root Canal Irrigants in Horizon: A Review. International Journal of Dentistry 2011:1-10.
25. Peters OA, Peters CI. Cleaning and Shaping of The Root Canal System.
In: Hargreaves KM, Cohen S, editors. Cohen’s Pathways of The Pulp. 10 ed. St. Louis: Mosby Elsevier 2011. p. 312.
26. Ryan S. Chlorhexidine as a Canal Irrigant : A Review. Compendium
2010;31(5):338-42. 27. Ring KC, Murray PE, Namerow KN, Kuttler S, Godoy FG. The
Comparison of The Effect of Endodontic Irrigation on Cell Adherence to Root Canal Dentin. Journal of Endodontics Desember 2008;34(12):1474-79.
28. Mohan KH, Pai S, Rao R, Sripathi H, Prabhu S. Techniques of
Immunofluorescence and Their Significance. Indian J Dermatol Venereol Leprol July-August 2008;74(4):415.
29. Robinson JP, Sturgis J, Kumar GL. Immunofluorescence. IHC Staining
Methods. 5 ed. p. 61. 30. Boxall SA, Jones E. Markers for Characterization of Bone Marrow
Multipotential Stromal Cells. Hindawi Publishing Corporation 2012:2. 31. Atari M, Barajas M, Hernández-Alfaro F, et al. Isolation of Pluripotent
Stem Cells From Human Third Molar Dental Pulp. Histol Histopathol 2011;26:1067.
32. Perez AL, Spears R, Gutmann JL, Opperman LA. Osteoblasts and MG-63
Osteosarcoma Cells Behave Differently When in Contact With ProRoot MTA and White MTA. Int Endod J 2003;36:564-70.
33. Estrela C, Alencar AHGd, Kitten GT, Vencio EF, Gava E. Mesenchymal
Stem Cells in the Dental Tissues: Perspectives for Tissue Regeneration. Braz Dent J 2011;22(2):93-94.
34. Lovelace TW, Henry MA, Hargreaves KM, Diogenes A. Evaluation of
The Delivery of Mesenchymal Stem Cells into The Root Canal Space of Necrotic Immature Teeth After Clinical Regenerative Endodontic Procedure Journal of Endodontics 2011;37(2):135.
35. R PB, Rao RS, Mysorekar V. Immunofluorescence in Oral Pathology: Part
I—Methodology. World Journal of Dentistry October-December 2011;2(4):326, 28, 30.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
53
Universitas Indonesia
36. Keiser K, Johnson C, Tipton DA. Citotoxicity of Mineral Trioxide Aggregate Using Human Periodontal Ligament Fibroblast. Journal of Endodontics 2000;26(5):289-90.
37. Measuring Cell Viability / Cytotoxicity.
"http://www.dojindo.com/Protocol/Cell_Proliferation_Protocol_Colorimetric.pdf". Accessed 9 November 2014.
38. Bajrami D, Hoxha V, Gorduysus O, et al. Cytotoxic Effect of Endodontic
Irrigants in Vitro. Med Sci Monit Basic Res 2014;20:25. 39. Longo JPF, Valois CA, Tapajós ÉCC, Santos MdFMA, Azevedo RBd.
Cytotoxicity And Genotoxicity Of Endodontic Irrigants On Human Cells Rev Clín Pesq Odontol 2010;6(2):135-40.
40. AlKahtani A, Alkahtany SM, Mahmood A, et al. Cytotoxicity of QMix™
Endodontic Irrigating Solution on Human Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells. BMC Oral Health 2014;14(27):5-9.
41. Amaral KF, Rogero MM, Fock RA, Borelli P, Gavini G. Cytotoxicity
Analysis of EDTA And Citric Acid Applied On Murine Resident Macrophages Culture. International Endodontic Journal 2007;40:341-42.
42. Lee TH, Hu CC, Lee SS, Chou MY, Chang YC. Cytotoxicity of Chlorhexidine on Human Osteoblastic Cells is Related to Intracellular Glutathione Levels. International Endodontic Journal, 2010;43:433-34.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
54
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Kultur Sel
Gigi hasil OD dimasukkan ke dalam tabung 15 ml berisi DMEM lengkap
Gigi dibelah menggunakan carborandum disc di dalam biohazard
Sel pulpa dicincang, kemudian ditambahkan trypsin edta dan inkubasi 5 menit
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
Super
Dipindahka
Sentr
rnatan dibuan
an ke dalam
rifugasi pada
ng, kemudia
6 well plate
a 1500rpm s
an tambahka
es, inkubasi d
CO2
selama 15 me
an DMEM le
di inkubator
Universita
enit
engkap, pipet
dengan 370C
55
as Indonesia
(lanjutan)
tting
C dan 5%
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
56
Universitas Indonesia
Lampiran 2
Uji MTT
Setelah inkubasi selama 48 jam, bahan uji dibuang dari well. Senyawa 3-(4, 5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) (MTT) ditambahkan sebanyak 100 µl.
Inkubasi pada suhu 37 °C dan 5% CO2 selama 4 jam
Supernatan sel dibuang dan kristal formazan yang terbentuk dilarutkan dengan etanol 70%. Pembacaan OD menggunakan microplate reader dengan panjang gelombang 595 nm.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
57
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Nilai Optical Density
No Nama Bahan I II III 1 Kontrol 0.101 0.097 0.110 2 NaOCl 2.5 % 0.036 0.035 0.033 3 EDTA 17% 0.027 0.023 0.019 4 CHX 2% 0.036 0.027 0.037
Lampiran 4
Analisis Statistik
Case Processing Summary
Larutan
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Optical_density Kontrol 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
NaOCl 2.5% 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
EDTA 17% 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
CHX 2% 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptives
Larutan Statistic Std. Error
Optical
_densit
y
Kontro
l
Mean .10267 .003844
95%
Confidence
Interval for
Mean
Lower Bound .08613
Upper Bound
.11921
5% Trimmed Mean .
Median .10100
Variance .000
Std. Deviation .006658
Minimum .097
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Maximum .110
Range .013
Interquartile Range .
Skewness 1.056 1.225
Kurtosis . .
NaOC
l 2.5%
Mean .03467 .000882
95%
Confidence
Interval for
Mean
Lower Bound .03087
Upper Bound
.03846
5% Trimmed Mean .
Median .03500
Variance .000
Std. Deviation .001528
Minimum .033
Maximum .036
Range .003
Interquartile Range .
Skewness -.935 1.225
Kurtosis . .
EDTA
17%
Mean .02300 .002309
95%
Confidence
Interval for
Mean
Lower Bound .01306
Upper Bound
.03294
5% Trimmed Mean .
Median .02300
Variance .000
Std. Deviation .004000
Minimum .019
Maximum .027
Range .008
Interquartile Range .
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Skewness .000 1.225
Kurtosis . .
CHX
2%
Mean .03333 .003180
95%
Confidence
Interval for
Mean
Lower Bound .01965
Upper Bound
.04701
5% Trimmed Mean .
Median .03600
Variance .000
Std. Deviation .005508
Minimum .027
Maximum .037
Range .010
Interquartile Range .
Skewness -1.668 1.225
Kurtosis . .
Tests of Normality
Larutan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Optical_density Kontrol .265 3 . .953 3 .583
NaOCl 2.5% .253 3 . .964 3 .637
EDTA 17% .175 3 . 1.000 3 1.000
CHX 2% .353 3 . .824 3 .174
a. Lilliefors Significance Correction
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
60
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Histogram
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
61
Universitas Indonesia
Normal Q-Q Plots
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
62
Universitas Indonesia
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
63
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Detrended Normal Q-Q Plots
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
64
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Oneway
Notes
Output Created 03-Nov-2014 13:27:41
Comments
Input Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 12
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
65
Universitas Indonesia
Cases Used Statistics for each analysis are based on cases
with no missing data for any variable in the
analysis.
Syntax ONEWAY Optical_density BY Larutan
/STATISTICS HOMOGENEITY
/MISSING ANALYSIS
/POSTHOC=BONFERRONI ALPHA(0.05).
Resources Processor Time 00:00:00.124
Elapsed Time 00:00:00.092
Test of Homogeneity of Variances
Optical_density
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.910 3 8 .206
ANOVA
Optical_density
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .012 3 .004 172.286 .000
Within Groups .000 8 .000
Total .012 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Optical_density
Bonferroni
(I) Larutan (J) Larutan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol NaOCl 2.5% .068000* .003937 .000 .05430 .08170
EDTA 17% .079667* .003937 .000 .06597 .09336
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014
66
Universitas Indonesia
CHX 2% .069333* .003937 .000 .05564 .08303
NaOCl 2.5% Kontrol -.068000* .003937 .000 -.08170 -.05430
EDTA 17% .011667 .003937 .108 -.00203 .02536
CHX 2% .001333 .003937 1.000 -.01236 .01503
EDTA 17% Kontrol -.079667* .003937 .000 -.09336 -.06597
NaOCl 2.5% -.011667 .003937 .108 -.02536 .00203
CHX 2% -.010333 .003937 .183 -.02403 .00336
CHX 2% Kontrol -.069333* .003937 .000 -.08303 -.05564
NaOCl 2.5% -.001333 .003937 1.000 -.01503 .01236
EDTA 17% .010333 .003937 .183 -.00336 .02403
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Efek toksik…, Bunga Cahya Mustikasari, FKG UI, 2014