Dokter dan Informed-Consent

5
RAD Journal 2014:12:019 Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 1 Dokter dan InformedConsent Ilustrasi: Seorang dokter gigi merencanakan pencabutan gigi pada pasiennya: seorang karyawan bank. Ketika dokter gigi tersebut menanyakan apakah pasien bersedia dicabut giginya, pasien tersebut menanyakan apa risikonya. Dokter gigi menjelaskan mengenai rasa nyeri, perdarahan, bahkan mengatakan kapan pasien dapat makan kembali dan bagaimana cara menyikat gigi setelah pencabutan. Secara lisan pasien menyetujui pencabutan gigi. Dua hari setelah pencabutan gigi, pasien mengadukan dokter gigi tersebut kepada direktur rumah sakit karena merasa belum dijelaskan bahwa gigi yang telah dicabut tersebut tidak dapat tumbuh kembali. (Catatan: diinspirasi dari kisah nyata dengan sedikit perubahan.) Mengenal InformedConsent Salah satu hal yang memusingkan para manajer dan direktur rumah sakit adalah permasalahan informedconsent. Berbagai upaya dilakukan agar proses ini dilakukan secara tuntas. Salah satu penyebab permasalahan ini terus menerus terjadi adalah ilusi bahwa dengan penandatanganan berkas persetujuan tindakan medis, dokter telah terbebas dari kewajiban hukum. Hal ini perlu secara serius dipelajari oleh para dokter agar pelayanan yang diberikan makin etis dan aman. Istilah informedconsent agak sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kementrian Kesehatan memakai istilah persetujuan tindakan medis yang sebenarnya hanya separuh dari pengertian sesungguhnya. Informedconsent adalah persetujuan pasien terhadap tindakan medis tertentu setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang melayani. Beberapa rumah sakit secara praktis memakai istilah “surat ijin tindakan”, “surat persetujuan”, “surat ijin operasi”, atau istilah lain yang mengimplikasikan gagalnya gagasan penjelasan perlu dilakukan sebelum permintaan persetujuan. Banyak rumah sakit juga hanya menyediakan kolom tanda tangan pasien (atau keluarga), dokter, identitas, dan nama tindakan kedokteran yang akan dilakukan pada formulir persetujuan tindakan medis. Butirbutir penjelasannya tidak diberi tempat untuk dituliskan, dan dengan demikian, penjelasan yang diberikan sebelum persetujuan ditanyakan sangat mungkin tidak standar apalagi lengkap. Setelah era undangundang praktek kedokteran no. 29 tahun 2004, pelaksanaan informed consent ini begitu bervariasi. Peraturan menteri kesehatan no. 290 tahun 2008 menjelaskan bagaimana informed consent harus dilakukan. Nampak bahwa pemerintah pun menyadari proses informed consent masih merupakan “permintaan persetujuan” atau bahkan “permintaan tanda tangan”. Peraturan menteri kesehatan di atas bukanlah satusatunya sumber yang dapat diacu para dokter dalam memahami mengenai informedconsent. Sumber lain yang tak kalah penting adalah Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006. Dalam manual ini, disebutkan bahwa informedconsent adalah persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa tindakan preventif, tindakan penunjang diagnostik, tindakan terapetik, maupun tindakan rehabilitatif. Tindakan kedokteran berisiko tinggi adalah tindakan yang dalam probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kecacatan atau kematian. Umumnya, tindakan risiko tinggi ini adalah tindakan invasif atau tindakan bedah. Informedconsent juga merupakan pernyataan sepihak dari pasien dan bukan merupakan perjanjian antara dokter atau dokter gigi dengan pasien. Dengan demikian, persetujuan dapat ditarik kembali oleh pasien sewaktuwaktu. Pelayanan oleh dokter di rumah sakit merupakan upaya semaksimal mungkin yang di dalam konteks hukum merupakan kontrak upaya (inspanningsverbitennis) dan bukannya kontrak jaminan terhadap hasil pelayanan (resultaatsverbitennis). Jadi, proses informedconsent sesunguhnya adalah

Transcript of Dokter dan Informed-Consent

Page 1: Dokter dan Informed-Consent

RAD Journal 2014:12:019

Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 1

Dokter  dan  Informed-­‐Consent    

Ilustrasi:   Seorang   dokter   gigi   merencanakan   pencabutan   gigi   pada   pasiennya:   seorang  karyawan  bank.  Ketika  dokter  gigi   tersebut  menanyakan  apakah  pasien  bersedia  dicabut  giginya,   pasien   tersebut   menanyakan   apa   risikonya.   Dokter   gigi   menjelaskan   mengenai  rasa   nyeri,   perdarahan,   bahkan   mengatakan   kapan   pasien   dapat   makan   kembali   dan  bagaimana   cara   menyikat   gigi   setelah   pencabutan.   Secara   lisan   pasien   menyetujui  pencabutan   gigi.   Dua   hari   setelah   pencabutan   gigi,   pasien   mengadukan   dokter   gigi  tersebut   kepada   direktur   rumah   sakit   karena  merasa   belum   dijelaskan   bahwa   gigi   yang  telah  dicabut  tersebut  tidak  dapat  tumbuh  kembali.  (Catatan:  diinspirasi  dari  kisah  nyata  dengan  sedikit  perubahan.)  

 Mengenal  Informed-­‐Consent  Salah   satu   hal   yang   memusingkan   para   manajer   dan   direktur   rumah   sakit   adalah   permasalahan  informed-­‐consent.   Berbagai   upaya   dilakukan   agar   proses   ini   dilakukan   secara   tuntas.   Salah   satu  penyebab   permasalahan   ini   terus   menerus   terjadi   adalah   ilusi   bahwa   dengan   penandatanganan  berkas  persetujuan  tindakan  medis,  dokter  telah  terbebas  dari  kewajiban  hukum.  Hal  ini  perlu  secara  serius  dipelajari  oleh  para  dokter  agar  pelayanan  yang  diberikan  makin  etis  dan  aman.  Istilah   informed-­‐consent   agak   sulit   diterjemahkan   dalam  bahasa   Indonesia.   Kementrian  Kesehatan  memakai   istilah   persetujuan   tindakan   medis   yang   sebenarnya   hanya   separuh   dari   pengertian  sesungguhnya.   Informed-­‐consent   adalah   persetujuan   pasien   terhadap   tindakan   medis   tertentu  setelah  mendapatkan  penjelasan  yang  cukup  dari  dokter  yang  melayani.    Beberapa  rumah  sakit  secara  praktis  memakai  istilah  “surat  ijin  tindakan”,  “surat  persetujuan”,  “surat  ijin  operasi”,   atau   istilah   lain  yang  mengimplikasikan  gagalnya  gagasan  penjelasan  perlu  dilakukan  sebelum  permintaan  persetujuan.  Banyak  rumah  sakit  juga  hanya  menyediakan  kolom  tanda  tangan  pasien  (atau  keluarga),  dokter,  identitas,  dan  nama  tindakan  kedokteran  yang  akan  dilakukan  pada  formulir   persetujuan   tindakan   medis.   Butir-­‐butir   penjelasannya   tidak   diberi   tempat   untuk  dituliskan,  dan  dengan  demikian,  penjelasan  yang  diberikan  sebelum  persetujuan  ditanyakan  sangat  mungkin  tidak  standar  apalagi  lengkap.    Setelah  era  undang-­‐undang  praktek  kedokteran  no.  29  tahun  2004,  pelaksanaan  informed  consent  ini  begitu  bervariasi.  Peraturan  menteri  kesehatan  no.  290  tahun  2008  menjelaskan  bagaimana  informed  consent  harus  dilakukan.  Nampak  bahwa  pemerintah  pun  menyadari  proses  informed  consent  masih  merupakan  “permintaan  persetujuan”  atau  bahkan  “permintaan  tanda  tangan”.  Peraturan  menteri   kesehatan   di   atas   bukanlah   satu-­‐satunya   sumber   yang   dapat   diacu   para   dokter  dalam  memahami  mengenai   informed-­‐consent.   Sumber   lain  yang   tak  kalah  penting  adalah  Manual  Persetujuan  Tindakan  Kedokteran  yang  diterbitkan  oleh  Konsil  Kedokteran   Indonesia   tahun  2006.  Dalam   manual   ini,   disebutkan   bahwa   informed-­‐consent   adalah   persetujuan   pasien   atau   yang   sah  mewakilinya  atas  rencana  tindakan  kedokteran  atau  kedokteran  gigi  yang  diajukan  oleh  dokter  atau  dokter  gigi,  setelah  menerima  informasi  yang  cukup  untuk  dapat  membuat  persetujuan.    Tindakan   kedokteran   atau   kedokteran   gigi   yang   dimaksud   dapat   berupa   tindakan   preventif,  tindakan   penunjang   diagnostik,   tindakan   terapetik,   maupun   tindakan   rehabilitatif.   Tindakan  kedokteran  berisiko   tinggi  adalah   tindakan  yang  dalam  probabilitas   tertentu  dapat  mengakibatkan  kecacatan  atau  kematian.  Umumnya,  tindakan  risiko  tinggi  ini  adalah  tindakan  invasif  atau  tindakan  bedah.    Informed-­‐consent  juga  merupakan  pernyataan  sepihak  dari  pasien  dan  bukan  merupakan  perjanjian  antara  dokter  atau  dokter  gigi  dengan  pasien.  Dengan  demikian,  persetujuan  dapat  ditarik  kembali  oleh  pasien  sewaktu-­‐waktu.    Pelayanan  oleh  dokter  di  rumah  sakit  merupakan  upaya  semaksimal  mungkin  yang  di  dalam  konteks  hukum   merupakan   kontrak   upaya   (inspanningsverbitennis)   dan   bukannya   kontrak   jaminan  terhadap  hasil  pelayanan  (resultaatsverbitennis).   Jadi,  proses   informed-­‐consent   sesunguhnya  adalah  

Page 2: Dokter dan Informed-Consent

RAD Journal 2014:12:019

Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 2

manifestasi  hubungan  saling  hormat  dan  komunikasi  dalam  pengambilan  keputusan  bersama  atau  shared  decision  making  dalam  upaya  pelayanan  kedokteran.      Pemberian  Informasi  Pemberian   informasi   merupakan   bagian   yang   paling   besar   dan   panjang   dalam   proses   informed-­‐consent.   Masing-­‐masing   sumber   mempunyai   acuan   sendiri   apa   saja   yang   perlu   dijelaskan   dalam  pemberian  informasi.      

Manual    Persetujuan  Tindakan  Kedokteran,  KKI,  

tahun  2006  

Undang-­‐undang  Praktik  Kedokteran  no.  29  tahun  

2004  

Permenkes  RI  No.  290/MENKES/PER/III/2008  

Isi  penjelasan   Isi  penjelasan   Isi  penjelasan  

Diagnosis   Diagnosis  dan  tata  cara  tindakan  medis  

Diagnosis    

Dasar  Diagnosis   Tujuan  tindakan  medis  yang  dilakukan  

Tata  cara  tindakan  

Tindakan  Kedokteran   Alternatif  tindakan  lain  dan  risikonya  

Tujuan  tindakan  kedokteran  

Indikasi  Tindakan   Risiko  dan  komplikasi  yang  mungkin  terjadi  

Altematif  tindakan  &  risikonya;  

Tata  Cara  Tindakan   Prognosis  terhadap  tindakan  yang  dilakukan  

Risiko  dan  komplikasi    

Tujuan     Prognosis    

Resiko     Perkiraan  pembiayaan  

Komplikasi      

Prognosis      

Alternatif  dan  Resiko      

Lain-­‐lain      

Tabel  1.  Isi  penjelasan  dalam  formulir  informed-­‐consent  menurut  berbagai  sumber.  

Bagian  memberikan  penjelasan  tindakan  kedokteran  inilah  yang  ternyata  tidak  disukai  pada  dokter  di   Indonesia.   Sering   tugas   ini   didelegasikan  pada  perawat   atau  pada  dokter   jaga  bangsal   atau   jaga  IGD.  Ini  bukanlah  tindakan  yang  bijaksana  dan  bukan  sesuatu  yang  diharapkan  pasien.    Penjelasan   yang   cukup   rinci   mengenai   informasi   apa   yang   perlu   disampaikan   pada   pasien   dalam  proses  informed-­‐consent  dapat  dibaca  dengan  lebih  rinci  pada  rujukan-­‐rujukan  yang  dipakai  di  atas.    Penting  untuk  para  dokter  yang  bekerja  di  rumah  sakit,  pemberian  informasi   ini  harus  disesuaikan  dengan  pasien  atau  keluarga  yang  mendengarkan.  Dalam  uraian  tentang  customer  value  pada  tulisan  mengenai  dokter  dan  pasien  rumah  sakit,  telah  dijelaskan  dengan  gamblang  bahwa  usaha  yang  baik  dan  sungguh-­‐sungguh  dari  dokter  untuk  menciptakan  hubungan  yang  baik  akan  melipatgandakan  customer  value.    Untuk   itulah   dokter   perlu   memperhatikan   setiap   kata,   diksi,   kalimat,   dan   bahasa   tubuh   yang  digunakan   agar   pasien   atau   keluarga   yang   dijelaskan   tersebut   benar-­‐benar   nyaman   dan  mengerti  terhadap  penjelasan  dan  kemudian  dapat  memutuskan  dengan  baik  apa  tindakan  yang  dipilih  demi  kesejahteraan  yang  sakit.    Salah   satu  pertanyaan  yang   sering  membuat   jengkel  para  dokter   Indonesia   adalah,   “berapa  persen  keberhasilan   tindakan   ini,  Dok?”.  Para  dokter  biasanya   jengkel  karena  memang   tidak   tahu  dengan  jawaban   itu.  Tentu  mudah  mengatakan  bahwa  keberhasilannya  50-­‐50   (fifty-­‐fifty)  bisa  berhasil  bisa  tidak.  Namun  jawaban  itu  tentu  secara  logika  tidak  dapat  diterima.    Sebenarnya  juga  bukan  kesalahan  para  dokter  bila  jawaban  atas  pertanyaan  tersebut  tidak  diketahui.  Pusat  data  di   Indonesia  untuk  hal-­‐hal  seperti   itu  memang  belum  tersedia.  Selain   itu,  kadang  suatu  kasus  begitu  kompleks  sehingga  perlu  waktu  jauh  lebih  lama  untuk  menganalisis  keberhasilan  suatu  tindakan   kedokteran.  Walau   demikian,   perlu   disampaikan   pada   pasien   atau   keluarga   bahwa   data  

Page 3: Dokter dan Informed-Consent

RAD Journal 2014:12:019

Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 3

yang  dimaksud  belum  tersedia  di  Indonesia  dan  hanya  tersedia  data  pembanding  di  negara  tertentu.  Perlu  pula  ditambahkan  bahwa  mengingat  ini  adalah  upaya,  maka  tentu  tidak  bisa  direduksi  dalam  sebuah  rumus  pecahan  sederhana  untuk  memperkirakan  hasilnya.      Persetujuan  Tindakan  Kedokteran  Persetujuan  dapat  dinyatakan  maupun  tersirat.  Persetujuan  yang  dinyatakan  dapat  secara  lisan  dan  dapat   pula   secara   tertulis.   Persetujuan   yang   dinyatakan   secara   tertulis   dibuat   pada   persetujuan  tindakan   risiko   tinggi.   Persetujuan   secara   tersirat   atau   implied   consent   dilakukan   dengan   gerakan  tubuh   yang   mempersilakan   dokter   melakukan   tindakan.   Salah   satu   contoh   persetujuan   tersirat  adalah  menggulung  lengan  baju  ketika  akan  diambil  darah  untuk  penunjang  diagnostik.    Persetujuan   harus   diberikan   sendiri   oleh   pasien   apabila   pasien   dalam   keadaan   yang   kompeten.  Kompeten  berarti   dewasa,   bukan   anak-­‐anak  menurut  undang-­‐undang   atau   telah/pernah  menikah,  tidak   terganggu   kesadaran   fisiknya,   mampu   berkomunikasi   secara   wajar,   tidak   mengalami  kemunduran  mental,  maupun  tidak  menderita  penyakit  mental  sehingga  dapat  membuat  keputusan  secara  bebas.    Dalam  keadaan  tertentu,  pasien  dapat  berada  dalam  keadaan  fluctuating  competence  di  mana  pada  saat   tertentu   dia   kompeten   namun   berikutnya   kurang   kompeten.  Dalam  hal   ini,   proses   informed-­‐consent   tidak   dapat   dilakukan   satu   kali   melainkan   harus   dilakukan   berulang   pada   waktu   pasien  kompeten,  dan  dicatat  konsistensinya  dalam  berkas  rekam  medis.    Apabila   syarat   pasien   kompeten   tersebut   tidak   dapat   dipenuhi,   maka   persetujuan   tindakan  kedokteran  diberikan  oleh  orang  lain  yang  berhak  setelah  mendapat  penjelasan  seperti  diuraikan  di  atas.  Siapakah  orang  lain  tersebut?  Orang  lain  tersebut  adalah  keluarga  dekat,  atau  dengan  istilah  lain:  next  of  kin.  Keluarga  paling  dekat  yang  paling  berwenang  memberikan  persetujuan  adalah   istri,   suami,   orang   tua,  dan  anak.  Kerabat  lain   seperti   nenek,   kakek,   cucu,   paman,   bibi,   keponakan,   sepupu,   bukanlah   keluarga   yang   paling  dekat.  Tidak  menutup  kemungkinan  dengan  persetujuan  pasien  dan  keluarga  terdekat  mereka  bisa  bersama-­‐sama   mendapatkan   penjelasan.   Dokter   bisa   saja   menunggu   sampai   terjadi   konsensus   di  antara  keluarga  untuk  setuju  atau  tidak  terhadap  rencana  tindakan  tersebut.    Dalam  kasus  khusus,  dokter  tidak  dibebani  dengan  kewajiban  membuktikan  keluarga  terdekat  yang  muncul   dan   mendampingi   pasien.   Salah   satu   contoh   adalah   ketika   seorang   laki-­‐laki   didampingi  istrinya  di   instalasi  gawat  darurat.  Istri  memberikan  persetujuan  atas  tindakan  kedokteran  tertentu  terhadap  suaminya  yang  tidak  sadar.  Dalam  kasus  ada  istri  lain  yang  kemudian  datang,  dokter  tidak  perlu  lagi  membuktikan  siapa  di  antara  keduanya  yang  paling  berhak  membuat  persetujuan.    Baik  implied-­‐consent  maupun  persetujuan  tertulis,  sebaiknya  dokter  membuat  catatan  dalam  berkas  rekam  medis.      Mengenal  Informed-­‐Refusal  Tulisan   mengenai   informed-­‐refusal   tidak   terlalu   banyak   ditemukan.   Secara   umum,   dianggap   bila  pasien  atau  keluarganya  telah  menolak  suatu  rencana  tindakan  kedokteran,  maka  formulir  ini  diisi.    Berbeda   dengan   informed-­‐consent   yang   bisa   tersirat,   pernyataan   penolakan   harus   tertulis.   Ini  penting   karena   di   pengadilan,   beban   pembuktian   ada   pada   yang   menyatakan.   Sebaiknya,   dokter  mempunyai   bukti   tertulis   bahwa   sudah   diberikan   penjelasan   yang   cukup   dan   pasien   atau  keluarganya   menolak   rencana   tindakan   kedokteran.   Dalam   hal   ini,   pasien   dan   keluarganya  menanggung  risiko  yang  timbul  dari  penolakan  tersebut.    Penolakan   ini   juga   dapat   berhenti   sewaktu-­‐waktu.   Dalam   hal   pasien   atau   keluarga   mengubah  keputusannya,   dokter   wajib   memberikan   penjelasan   ulang   karena   kondisi   pasien   pada   saat  pembatalan  penolakan  kemungkinan  sudah  berbeda  sehingga  tingkat  risiko  juga  mungkin  berbeda.    Penolakan  yang  tidak  ditandatangani  oleh  pasien  atau  keluarganya  harus  dicatat  secara  rinci  dalam  berkas  rekam  medis  oleh  dokter  yang  melakukan  pelayanan.    

Page 4: Dokter dan Informed-Consent

RAD Journal 2014:12:019

Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 4

 Mengenal  Informed-­‐Request  Adalah   tulisan   Kayvan   Shokrollahi,   seorang   ahli   bedah   plastik   dan   rekonstruksi   di   Inggris   yang  menginspirasi  subtopik  ini.  Judul  tulisannya  adalah  “Request  for  Treatment:  the  evolution  of  consent”.  Istilah   informed-­‐request   dipakai   alih-­‐alih   memakai   padan   kata   request   for   treatment   supaya   tidak  terjebak  pada  istilah  “APS”  atau  atas  permintaan  pasien.  Shokrollahi  menulis   bahwa   informed   request  menyelaraskan   asuhan  medis   dengan  kebutuhan  dan  pilihan  pasien.  Keselarasan  ini  terbukti  dapat  membawa  luaran  klinis  yang  lebih  baik.  Lebih  penting  dicatat  bahwa  dengan  informed  request,  prinsip  patient-­‐centered  care  (penjelasan  mengenai  patient-­‐centered   care   ada   dalam   tulisan   berjudul   Dokter   dan   Pasien   Rumah   Sakit)   dapat   benar-­‐benar  diaplikasi.  Informed  consent  mengubah  proses  inti  pengambilan  keputusan  yang  sangat  penting  pada  hubungan  dokter  dan  pasien,  yaitu  persetujuan.    

 Gambar  1.  Informed-­‐consent  dan  informed  request.  

Perbedaan   utama   antara   informed-­‐consent   dan   informed-­‐request   terletak   pada   proses   aktif   dari  pasien.   Pasien   mengisi   sendiri   bagian   dokumen   yang   berisi   prosedur,   manfaat,   risiko,   dan  komplikasi.   Bagian   ini   biasanya   diisi   oleh   dokter,   menyisakan   pasien   secara   pasif   memberikan  persetujuan.  Transformasi  ini  sangat  penting  dan  mendasar  karena  pasien  memerlukan  pemahaman  yang  mendalam  mengenai  rencana  terapi  sebelum  dapat  memberikan  request.  Pemahaman  itu  dapat  dicapai  hanya  dengan  satu  cara,  yaitu  intensitas  hubungan  aktif  antara  dokter  dan  pasien.  Lebih   lanjut  Shokrollahi  menulis  bahwa   informed-­‐request  memerlukan  adanya  pengulangan  proses  diskusi   antara   dokter   dan   pasien   mengenai   rencana   tindakan,   manfaat,   dan   risikonya.   Pasien  kemudian   diminta   menuliskan   sendiri   apa   saja   informasi   yang   telah   diterima   dan   dipahaminya  dalam   pilihan   kalimat,   diksi,   dan   kata   pasien   sendiri.   Informasi   yang   ditulis   pasien   ini   sungguh  berharga  dan  dapat  menjadi   sumber   kekuatan  hukum  yang   kuat  mengenai   hubungan  kontraktual  kedua   belah   pihak.   Dengan   menuliskan   sendiri   pemahaman   mengenai   suatu   rencana   tindakan,  tingkat   pemahaman   pasien   dapat   dinilai   oleh   dokter.   Apabila   tingkat   pemahaman   belum   seperti  yang  diharapkan,  proses  pemberian  informasi  dapat  diulang.  Di  sisi  lain,  informed  consent  cenderung  memaparkan  pasien  dan  keluarga  pada  banyaknya  informasi  dalam  satu  kesempatan  sehingga  terasa  sangat  paternalistik  dan  pasif  dari  sisi  pasien.  Dalam  proses  informed   consent,   sulit   bagi   dokter   untuk   menilai   tingkat   pemahaman   pasien   dan/atau   keluarga  mengenai  informasi  yang  disampaikan.  Besarnya  informasi  yang  disampaikan  dalam  satu  waktu  bisa  sangat   banyak   dan   kompleks   sehingga  mustahil   dapat   dicerna   dengan   baik   oleh   pasien   dan/atau  keluarga.  

Page 5: Dokter dan Informed-Consent

RAD Journal 2014:12:019

Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 5

Untuk  bisa  dimulai  aplikasinya  di  rumah  sakit,  sedikitnya  ada  dua  hal  penting  untuk  dipersiapkan.  Pertama,   informed-­‐request  hanya  dapat  dipakai  untuk  rencana  tindakan  elektif.  Pada  tindakan  cito,  informed  request  tidak  dapat  dipakai  mengingat  panjangnya  proses.  Kedua,  dokter  dan  rumah  sakit  harus   menyediakan   sarana   pendidikan   pasien   dan   keluarga   yang   cukup   banyak   dan  menarik.   Ini  perlu,  mengingat  salah  satu  keunggulan  proses   informed-­‐request  adalah  tingkat  pemahaman  pasien  yang  cukup  tinggi.      Penutup  Perilaku  dokter  dalam  perspektif  pembahasan   informed-­‐consent  memang  unik.  Sebagai  bagian  dari  proses  pelayanan  kedokteran  yang  bermutu  dan  etis,  seharusnya  kemampuan  melakukan  proses  ini  ada   dalam   diri   setiap   dokter.   Sayangnya,   pengamatan   di   banyak   rumah   sakit   membuktikan  sebaliknya.   Banyak   alasan   yang   diajukan  mulai   dari   tidak   mengerti,   tidak   ada   waktu,   menambah  tulisan,  dan  lain-­‐lain.  Sebagian  justru  mengerti  bahwa  formulir  informed-­‐consent  yang  ada  di  rumah  sakitnya   tidak  mencukupi   untuk   praktek   kedokteran   dewasa   ini   namun   diam   saja   dan   tidak  mau  peduli   untuk   sekedar   membuat   usulan   perubahan.   Pemahaman   mengenai   topik   ini   diharapkan  dapat  memperbaiki  kondisi  yang  memprihatinkan  ini.      Penulis  Artikel   ini   dipersiapkan   dan   ditulis   oleh   dr.   Robertus  Arian  Datusanantyo.   Tulisan   ini  merupakan  tulisan   keempat   dari   seri   Dokter   dan   Manajemen   Rumah   Sakit   yang   sedang   ditulis   sebagai  pertanggungjawaban  keilmuan.      Daftar  Bacaan  ________,   2009.   Peraturan   Menteri   Kesehatan   no.   No.   290/MENKES/PER/III/2008   tentang  

Persetujuan  Tindakan  Kedokteran.  ________,   2009.   Undang-­‐Undang   Republik   Indonesia   Nomor   29   Tahun   2004   Tentang  Praktik  

Kedokteran.  Guwandi,  J.,  2006.  Informed  Consent  &  Informed  Refusal  4th  Edition.  Jakarta:  Balai  Penerbit  FKUI.  Guwandi,  J.,  2009.  Dugaan  Malpraktek  Medik  &  Draft  RPP:  “Perjanjian  Terapetik  antara  Dokter  dan  

Pasien”.  Jakarta:  Balai  Penerbit  FKUI.  Rafly  A.,  Sampurna  B.,  2006.  Manual  Persetujuan  Tindakan  Kedokteran.  Jakarta:  Konsil  Kedokteran  

Indonesia.    Shokrollahi,  K.  (2010).  Request  for  Treatment:  the  evolution  of  consent  .  Ann  R  Coll  Surg  Engl  (92),  

93-­‐100.