Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

22
INFORMED CONSENT DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent). Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut : 1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan). 2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat- akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul. 3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.

description

IC

Transcript of Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Page 1: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

INFORMED CONSENT DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN

Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).

Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.

Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana

Page 2: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

yang dijelaskan pada ayat (6).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.

Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nundac. Suatu tindakan harus segera diambild. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Page 3: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.

Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.

KESIMPULANTindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

Page 4: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Dokter fungsional n structural?

Dalam birokrasi pemerintah dikenal jabatan karier, yakni jabatan dalam lingkungan birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Jabatan karier dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Jabatan Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan struktural di PNS Pusat adalah: Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Biro, dan Staf Ahli. Sedangkan contoh jabatan struktural di PNS Daerah adalah: sekretaris daerah, kepala dinas/badan/kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.

2. Jabatan Fungsional, yaitu jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi, misalnya: auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium pendidikan, dan penguji kendaraan bermotor.

Plasenta previa?Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi atau tertanam pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh ostium utri internum. Angka kejadian plasenta previa adala 0,4 -0,6 % dari keseluruhan persalinan.

Jabatan rangkap?

A.  Larangan memangku jabatan rangkap

1. PP no. 29 tahun 1997 tentang PNS yang menduduki jabatan rangkap2. PP no. 47 tahun 2005 tentang Perubahan atas PP no. 29 tahun 1997 tentan PNS

yang menduduki jabatan rangkap3. PP no. 30 tahun 1980 tentang peraturan displin PNS (sudah diganti dengan PP

no.53 tahun 2010)4. 53 Tahun 2010 : Disiplin Pegawai Negeri Sipil (situs asli) , pengganti PP no. 30

tahun 1980

B. Pembebasan dari Jabatan Fungsional

Pejabat fungsional dibebaskan sementara dari jabatannya apabila :

Page 5: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

1. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, atau

2. Diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966,

3. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan fungsional yang dijabatnya,4. Tugas belajar lebih dari 6 bulan, atau5. Cuti di luar tanggungan negara, kecuali untuk persalinan keempat dan seterusnya.

C.  Pengecualian untuk memangku Jabatan rangkap

1. PP no 29/1997 Pasal 2 ayat (2) untuk Jabatan Jaksa dan Peneliti2. PP no 047/2005 Pasal 2 ayat (2) selain jabatan Jaksa dan Peneliti ditambah

Perancang3. Permendiknas no 67 tahun 2008 tentang pengangkatan pimpinan PTN Pasal 2 :

dosen di lingkungan kemendiknas dapat diberi tugas tambahan dengan cara diangkat sebagai Pimpinan Perguruan Tinggi atau Pimpinan Fakultas

4. SE Dirjen no 2705 tentang pengangkatan pimpinan PTS5. PP no 37 tahun 2009 pasal 18 ayat (1) s/d (6). PNS dosen yang sudah bertugas

sebagai dosen paling sedikit 8 tahun dapat ditempatkan pada jabatan struktural di luar Perguruan Tinggi, dibebaskan sementara dari jabatan apabila ditugaskan secara penuh di luar jabatan dosen dan semua tunjangan yang berkaitan dengan tugas sebagai dosen diberhentikan sementara.

6. Kepmenkowasbangpan no 38/KEP/MK.WASPAN/8/1999 pasal 26 : Dosen dibebaskan sementara dari tuga-tugas jabatannya apabila dtugaskan secara penuh di luar jabatan fungsional dosen

D. Pengangkatan dalam Jabatan Struktural

Jabatan struktural hanya dapat diduduki oleh mereka yang berstatus sebagai PNS. Calon Pegawai Negeri Sipil tidak dapat diangkat dalam jabatan struktural. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara hanya dapat diangkat dalam jabatan struktural apabila telah beralih status menjadi PNS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangan. Eselon dan jenjang pangkat jabatan struktural sesuai PP Nomor 13 Tahun 2002.

E. Pengangkatan dalam Jabatan Fungsional l

Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi

Page 6: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Pemerintah. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Produk hukum yang mengatur pengangkatan dalam Jabatan Fungsional adalah PP No. 16 tahun 1994 dan Keppres No. 87 tahun 1999.

Audit medisDewasa ini komersialisasi pelayanan medis merupakan fenomena yang sudah umum ditengah masyarakat, jasa pelayanan medis sudah mulai merambah memasuki dunia bisnis. Jasa dan produk kesehatan sudah mulai diiklankan walaupun masih hati hati dan tidak seagresif produk atau jasa lain. Saat ini sudah jelas tampak adanya gejala bahwa pelayanan kesehatan sudah mulai bergabung dengan kegiatan bisnis. Dalam kaitannya dengan penerapan audit medis dalam pelayanan kesehatan, wadah audit medis dibentuk untuk menghadapi masalah masalah yang ditimbulkan oleh ketentuan etik dan hukum yang cukup rumit dan pelik dengan permasalahan yang sangat kompleks. Wadah ini dimaksudkan untuk membantu para dokter dalam menghadapi dilema etik.

Dalam pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul pelanggaran etik, penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau perjanjian kerja yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing masing pihak. Sementara itu, perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak didahului dengan pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien.

Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada saat berlangsungnya terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya pasien yang seharusnya tidak perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena alatnya tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal.

Menyadari hal tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatkan. Oleh karena itu dalam memfungsikan mekanisme audit medik, diperlukan adanya suatu standar operasional sebagai tolok ukur untuk mengendalikan kualitas pelayanan medis. Standar operasional ini bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana

Page 7: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

batas batas kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum dokter terhadap pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical staf dan sebaliknya. Standar operasional ini juga akan mengatur hubungan antara tenaga medis dengan sesama teman sejawat dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan paramedis, serta merupakan tolok ukur bagi seorang dokter untuk menilai dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien. Karena itu rumah sakit harus mempunyai standar atau prosedur operasional dan di organisasikan melalui suatu kelompok yang dapat mengarahkan dan mengkoordinasi kegiatan seluruh tenaga medis. Kelompok inilah yang dinamakan Komite Medis.

Menurut ketentuan Pasal 42 ayat ( 1 ) SK MenKes RI Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, dinyatakan Komite Medis adalah sekelompok tenaga medis yang keanggotaannya dipilih dari anggota staf medis fungsional. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 42 ayat ( 7 ) dinyatakan pembentukan Komite Medis di rumah sakit milik DepKes ditetapkan dengan Keputusan Dirjen Pelayanan Medis atas usul direktur rumah sakit untuk masa kerja tiga tahun. Seterusnya dalam Pasal 42 ayat ( 8 ) disebutkan bahwa untuk pembentukan Komite Medis di rumah sakit bukan milik DepKes ditetapkan dengan keputusan pemilik rumah sakit atas usul direktur rumah sakit setelah berkonsultasi dengan MenKes.

Komite Medis mempunyai tugas membantu direktur rumah sakit menyusun standar pelayanan kesehatan dan memantau pelaksanaannya, melaksanakan pembinaan etika profesi, mengatur kewenangan profesi anggota staf medis fungsional serta mengembangkan program pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta pengembangan. Mereka berkewajiban melakukan medical audit dan berbagai kegiatan yang tujuannya memelihara pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar profesi kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit. Tegasnya fungsi Komite Medis ini tidak lain adalah untuk mencegah berbagai kemungkinan terjadinya maltreatment dan malpractice serta berusaha mencari penyelesaian.

Keberadaan Komite Medis di setiap rumah sakit sangat besar manfaatnya bagi kepentingan dan perkembangan pelayanan kesehatan, terutama perlindungan terhadap hak hak pasien dari tindakan tindakan medis yang bertentangan dengan standar profesi dalam menjalani diagnosa dan terapi. Kehadiran Komite Medis juga sangat berpengaruh bagi profesi kedokteran untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka serta menjaga integritas otonomnya sebagai pengemban profesi kedokteran, sesuai dengan perkembangan peralatan kedokteran dan kemajuan teknologi di bidang kesehatan.

Page 8: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Informed consent

“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokterKompetensi pasien dalam memberikan persetujuanKesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif

Page 9: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENTDalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :

Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;

Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien

Page 10: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENTDalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara

Page 11: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

INFORMED CONSENTMenurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.

Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:1. Diagnosa yang telah ditegakkan.2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1

Page 12: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Tujuan Informed Consent:a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

PERNYATAAN IDI TENTANG INFORMED CONSENT1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.Oleh karena itu, semua tindakan medis ( diagnostik, terapeutik maupun paliatif ) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ).

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.

Page 13: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat.Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif.Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis ( berkaitan dengan informasi "Informed Consent" ).Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien.Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.

7. Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri.Untuk tindakan yang bukan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.

8. Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu.

9. "Informed Consent" diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah.

10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, "Informed Consent" diberikan oleh orangtua / kurator / wali.Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua / wali. "Informed Consent" diberikan oleh keluarga terdekat / induk semang ( guardian ).

11. Dalam hal pasien tidak sadar / pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan / atau darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan "Informed Consent" dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.

12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik, maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Page 14: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

Malpraktek

MALPRAKTEK?Banyak kasus yang dilaporkan sebagai 'malpraktek' sebenarnya bukan benar benar malpraktek. Hubungan yang tidak harmonis antara dokter dan pasien, salah satunya akibat komunikasi yang tidak berjalan seperti yang diharapkan adalah salah satu faktor pemicunya. Dokter, disatu sisi sering mengabaikan empati, yang sebenarnya justru paling diharapkan pasien.

Sebagian besar keluhan ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik antara dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien dan memberi obat saja. Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan kemungkinan kemungkinan penyakitnya.

Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan regiment therapeutic.Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak menjanjikan hasil.Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan mal praktek.

Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus ada bukti bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan.Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis ( Informed Consent ), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.

Istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat, karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga bersalah ini dapat disalahgunakan oleh pihak pihak tertentu untuk kepentingan sesaat yang akan merusak semua tatanan dan

Page 15: Informed Consent Dalam Kondisi Kegawatdaruratan

sistem pelayanan kesehatan.Masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter atau RS yang ada, pada umumnya merupakan masalah miskomunikasi antara pasien dan dokter, sehingga yang tepat adalah istilah "Sengketa Medik".Harus dianalisis terlebih dahulu setiap peristiwa buruk ( adverse event ) yang terjadi, sebab tidak semua adverse event identik dengan malpraktik kedokteran. Setelah dianalisis, baru dapat diketahui apakah masuk katagori pidana atau kecelakaan ( misadventure ).Sengketa Medik yang ada harus diselesaikan melalui peradilan profesi terlebih dahulu.